Profile Industri Oleokimia 2014 PDF
Profile Industri Oleokimia 2014 PDF
DAN BIODIESEL
Pendahuluan
Sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, peran pemerintah dalam mendorong kemajuan
sektor industri ke depan dilakukan secara terencana serta disusun secara sistematis dalam suatu dokumen perencanaan. Dokumen
perencanaan tersebut harus menjadi pedoman dalam menentukan arah kebijakan pemerintah dalam mendorong pembangunan
sektor industri dan menjadi panduan bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembangunan industri nasional.
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) disusun sebagai pelaksanaan amanat pasal 8 ayat 1, Undang-Undang No.
3 tahun 2014, dan menjadi pedoman bagi pemerintah dan pelaku industri dalam perencanaan dan pembangunan industri
sehingga tercapai tujuan penyelenggaraan Perindustrian. RIPIN memiliki masa berlaku untuk jangka waktu 20 tahun, dan bila
diperlukan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.
Di dalam RIPIN telah ditentukan 10 industri prioritas yang dikelompokkan ke dalam industri andalan, industri pendukung dan
industri hulu sebagai berikut :
Industri Andalan
1. Industri Pangan
2. Industri Farmasi, Kosmetik dan Alat Kesehatan
3. Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki dan Aneka
4. Industri Alat Transportasi
5. Industri Elektronika dan Telematika (ICT)
6. Industri Pembangkit Energi
Industri Pendukung
7. Industri Barang Modal, Komponen, Bahan Penolong dan Jasa Industri
Industri Hulu
8. Industri Hulu Agro
9. Industri Logam Dasar dan Bahan Galian Bukan Logam
10. Industri Kimia Dasar Berbasis Migas dan Batubara
Kesepuluh industri prioritas tersebut merupakan bagian dari Bangun Industri Nasional. Bangun industri nasional berisikan industri
andalan masa depan, industri pendukung, dan industri hulu, dimana ketiga kelompok industri tersebut memerlukan modal dasar
berupa sumber daya alam, sumber daya manusia, serta teknologi, inovasi dan kreativitas. Pembangunan industri di masa depan
tersebut juga memerlukan prasyarat berupa ketersediaan infrastruktur dan pembiayaan yang memadai, serta didukung oleh
kebijakan dan regulasi yang efektif. Adapun bagan Bangun Industri Nasional bisa dilihat seperti Gambar I.1. berikut.
Gambar I.1.
Bangun Industri Nasional
Industri Oleokimia Dasar dan Kemurgi merupakan salah satu industri hulu prioritas yang akan dikembangkan. Dalam RIPIN 20152035, industri hulu agro yang akan dikembangkan antara lain adalah industri oleofood, oleokimia dan kemurgi. Industri oleofood
yang difokuskan untuk dikembangkan atau dibangun hingga tahun 2035 adalah olein; stearin; gliserol; Palm Fatty Acid Distillate
(PFAD); coco butter substitute; margarin; shortening; other specialty fats; Specialty fats (coco butter substitute); tocopherol;
betacaroten; asam organik dan alkohol dari limbah industri sawit dan specialty fats bahan tambahan pangan. Industri oleokimia
yang difokuskan untuk dikembangkan atau dibangun hingga tahun 2035 meliputi fatty acids, fatty alcohols, Asam lemak nabati
(fatty amine), methyl estersulfonat (biosurfactant), biolubricant (rolling oils), glycerine based chemical, Isopropyl Palmitate (IPP),
Isopropyl Myristate (IPM), Asam stearat (Stearic acid),
Methyl esters, Bioplastic (Polybetahydroxybutirate/PHB,
Polyhydroxyvalerate/ PHV, polylactate) berbasis limbah industri sawit; dan polymers turunan minyak sawit. Sedangkan industri
kemurgi yang difokuskan untuk dikembangkan atau dibangun hingga tahun 2035 adalah Biodiesel (Fatty Acid Methyl Ester/
FAME), Bioavtur (Bio jet fuel), Biodiesel, Bioethanol, Biogas dari POME, Biomaterial untuk peralatan medis, aromatic building blocks
berbasis lignin untuk sintesis obat/farmasi; dan Nano-cellulose derivatives, bio-based fiber & polymers (carbon fiber, viscous), new
generation of biobased composite, secondary biofuel.
Gambar II.1
Pertumbuhan Industri CPO Tahun 2013
Sumber : Data Ditjen Perkebunan Kementan
4
Dilihat dari pertumbuhan produksi CPO per provinsi, rata-rata pertumbuhan tertinggi pada tahun 2013 terhadap 2012 didominasi
oleh Pulau Kalimantan. Kalimantan Timur mempunyai pertumbuhan produksi CPO sebesar 14,2 persen, Kalimantan Barat sebesar
13,13 persen dan Kalimantan Selatan sebesar 11,27 persen. Di Pulau Sumatera, Provinsi Bangka Belitung memimpin pertumbuhan
dengan 14,36 persen disusul dengan Sumatera Barat dengan 10,04 persen. Pulau Sumatera dan Kalimantan merupakan sumber
utama produksi CPO, dan pulau lainnya seperti Sulawesi dan Papua hampir tidak ada peningkatan produksi. Selengkapnya
dapat dilihat pada tabel II.1.
Tabel II.1.
Produksi CPO per Provinsi (Ton)
No
Provinsi
1
2
3
4
5
6
7
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kepulauan Bangka
Belitung
Bengkulu
Lampung
Jawa Barat
Banten
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
8
9
10
11
12
13
14
5
Perubahan
2013/2012
2009
2010
2011
2012
2013*
482.895
3.158.144
833.476
5.932.310
187
1.265.788
2.036.553
662.201
3.113.006
962.782
6.358.703
13.367
1.509.560
2.227.963
585.744
4.071.143
937.715
5.736.722
14.501
1.684.174
2.203.275
724.548
4.182.052
960.969
6.421.228
14.546
1.885.530
2.603.536
736.090
4.432.611
1.057.440
6.629.864
15.332
2.065.185
2.737.324
1,59
5,99
10,04
3,25
5,4
9,53
5,14
482.206
511.330
504.268
546.275
624.739
14,36
602.735
364.862
24.957
24.674
862.515
1.677.976
689.643
396.587
23.787
25.972
1.102.860
2.251.077
862.450
394.813
16.793
25.956
1.434.171
2.146.160
871.463
401.539
20.072
29.360
1.601.200
2.771.268
930.249
402.705
20.072
29.662
1.811.416
2.984.841
6,75
0,29
0
1,03
13,13
7,71
No
Provinsi
2009
Kalimantan
424.309
Selatan
16 Kalimantan Timur
553.834
17 Sulawesi Tengah
154.638
18 Sulawesi Selatan
30.949
19 Sulawesi Barat
314.520
20 Sulawesi Tenggara
21 Papua
33.533
22 Papua Barat
63.233
Total
19.324.294
Sumber : Ditjen Perkebunan Kementan
*) Data Sementara
15
2010
Perubahan
2013/2012
2011
2012
2013*
698.702
1.044.492
1.164.672
1.295.945
11,27
800.362
157.257
32.849
285.157
84.349
50.606
21.958.120
805.587
197.057
33.456
244.446
15.113
73.865
64.641
23.096.541
1.092.483
264.775
46.409
246.765
24.520
74.032
68.278
26.015.518
1.247.616
264.775
46.409
247.021
24.520
74.032
68.278
27.746.125
14,2
0
0
0,1
0
0
0
6,65
Produksi CPO dan CPKO di Indonesia tidak sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. CPO (HS 1511100000) dan
CPKO (HS 1513211000) juga diekspor dan menghasilkan devisa negara yang sangat menguntungkan. Provinsi Riau mengekspor
CPO sebesar 2,57 juta ton, kemudian Lampung 1,35 juta ton. Ekspor yang tinggi dari Lampung ini karena CPO yang diekspor
berasal Sumatera Selatan, Jambi, dan Bangka Belitung. Total produksi CPO yang diekspor turun sejak tahun 2010. Pada tahun
2010, CPO yang diekspor adalah 1,34 juta ton, dan turun pada tahun 2011 dengan 1,1 juta ton, dan turun lagi pada tahun
2012 dengan 626 ribu ton, dan kemudian turun lagi pada tahun 2013 dengan ekspor sebesar 452 ribu ton. Dengan produksi
CPO yang meningkat pada tabel II.1 dan ekspor yang menurun pada tabel II.2 menandakan bahwa konsumsi CPO dalam negeri
meningkat. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa program hilirisasi dari CPO berhasil, yang nanti akan diperlihatkan pada
pada bab berikutnya. Selengkapnya untuk data ekspor CPO dan CPKO dapat dilihat pada tabel II.2.
Tabel II.2
Distribusi Ekspor CPO dan CPKO per Provinsi (Ribu Ton)
No
CPO
1
2
3
4
5
6
Provinsi
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Lampung
Kepulauan Bangka
7
Belitung
8 Kepulauan Riau
9 Dki Jakarta
10 Jawa Tengah
11 Jawa Timur
12 Kalimantan Barat
13 Kalimantan Tengah
14 Kalimantan Selatan
15 Kalimantan Timur
16 Kalimantan Utara
17 Sulawesi Utara
18 Sulawesi Tengah
19 Sulawesi Barat
20 Papua
TOTAL CPO
CPKO
1 Sumatera Utara
2 Sumatera Barat
3 Riau
4 Jambi
5 Sumatera Selatan
6 Lampung
7
2010
2011
2012
2013
1.877
1.272
3.868
168
98
668
1.594
1.145
3.357
117
48
764
1.196
976
2.791
13
879
869
2.574
933
1.354
170
150
135
46
169
0
3
13
13
306
287
377
62
14
23
32
26
9.444
190
16
390
11
210
19
3
9
170
377
422
51
2
3
72
418
277
29
2
5
19
4
16
300
258
37
8.424
7.253
6.585
262
180
551
50
55
108
167
124
511
21
18
121
84
46
203
16
18
162
54
59
74
9
2
3
165
No
Provinsi
Kepulauan Bangka
7
Belitung
8 Kepulauan Riau
9 Dki Jakarta
10 Jawa Timur
11 Kalimantan Barat
12 Kalimantan Tengah
13 Kalimantan Selatan
14 Kalimantan Timur
15 Kalimantan Utara
16 Sulawesi Utara
TOTAL CPKO
Sumber : BPS, diolah Kemenperin
2010
2011
2012
2013
1
35
18
11
57
10
17
86
4
3
3
1.101
9
1.336
1
2
3
72
4
1
12
626
88
2
7
452
Luas Kebun Kelapa Sawit di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun terutama di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan.
Pada tahun 2013 tercatat luas kebun kelapa sawit di Indonesia adalah 10 juta hektar, meningkat 4,8 persen dari tahun 2012
yang seluas 9,57 juta hektar. Perluasan kebun sawit yang signifikan terjadi di Provinsi Lampung dengan pertumbuhan perluasan
sebesar 13,26 persen, kemudian Kalimantan Barat dengan 9,29 persen dan Kalimantan Selatan dengan 7,86 persen. Kebun sawit
terluas terdapat di Provinsi Riau dengan luas 2,13 juta hektar, Sumatera Utara dengan 1,24 juta hektar, disusul Kalimantan
Tengah dengan 1,03 juta hektar. Di Pulau Jawa dan Sulawesi hampir tidak ada perluasan yang signifikan. Di Pulau Jawa,
terdapat perluasan kebun sawit di Provinsi Banten sebesar 4,99 persen menjadi 21 ribu hektar, dan di Pulau Sulawesi terjadi
perluasan kebun sawit di Sulawesi Barat sebesar 0,61 persen. Kebun sawit di Sulawesi yang terluas adalah di Provinsi Sulawesi
Tengah dengan 112 ribu hektar. Selengkapnya untuk data perkebunan sawit per provinsi dapat dilihat pada Tabel II.3.
Tabel II.3
Distribusi Kebun Kelapa Sawit per Provinsi (Hektar)
No
1
8
Provinsi
Aceh
2009
313.745
2010
329.562
2011
2012
354.615
363.660
2013*
374.323
Perubahan
2013/2012
2,93
No
2
3
4
5
6
7
Provinsi
2009
Sumatera Utara
1.044.854
Sumatera Barat
344.352
Riau
1.925.344
Kepulauan Riau
2.645
Jambi
489.384
Sumatera Selatan
775.339
Kepulauan Bangka
8
141.897
Belitung
9 Bengkulu
224.651
10 Lampung
153.160
11 Jawa Barat
12.140
12 Banten
15.023
13 Kalimantan Barat
602.124
14 Kalimantan Tengah
1.091.620
15 Kalimantan Selatan
312.719
16 Kalimantan Timur
530.552
17 Sulawesi Tengah
65.055
18 Sulawesi Selatan
17.407
19 Sulawesi Barat
107.249
20 Sulawesi Tenggara
21.669
21 Papua
26.256
22 Papua Barat
31.142
Total
8.248.328
Sumber : Ditjen Perkebunan Kementan
*) Data Sementara
9
1.054.849
353.412
2.031.817
8.488
488.911
777.716
1.175.078
374.211
1.912.009
8.535
625.974
820.787
1.192.466
376.858
2.037.733
8.932
687.892
821.391
1.240.934
394.852
2.126.038
9.125
722.095
865.596
Perubahan
2013/2012
4,06
4,77
4,33
2,16
4,97
5,38
164.482
178.408
197.586
202.253
2,36
274.728
157.402
12.323
15.734
750.948
911.441
353.724
446.094
55.214
19.853
95.770
25.465
35.664
21.798
8.385.394
299.886
117.673
9.196
16.491
683.276
1.003.100
420.158
676.395
95.820
23.416
100.059
38.660
35.502
23.575
8.992.824
309.723
144.466
9.039
20.044
885.075
1.024.973
423.208
716.662
112.661
41.982
94.819
40.041
39.928
23.575
9.572.715
322.989
163.618
9.039
21.044
967.290
1.026.820
456.492
754.734
112.661
41.982
95.396
40.041
39.928
23.575
10.010.824
4,28
13,26
4,99
9,29
0,18
7,86
5,31
0,61
4,58
2010
2011
2012
2013*
Gambar III.1.
Pohon Industri Hulu Agro berbasis Kelapa Sawit
10
Jika dilihat dari dari gambar III.1, dimana yang berwarna hijau adalah industri yang telah ada di Indonesia, yang berwarna
kuning adalah industri yang sedang dibangun dan yang berwarna merah adalah industri yang belum ada di Indonesia, maka
dapat disimpulkan bahwa hilirisasi harus dikembangkan pada industri berbahan baku fatty acids. Industri hilir dari fatty acids yang
dapat dikembangkan adalah metalic salt ( Ba-oleat; Ca, Zn - palmilat stearat; Ca, Mgstearat; Al, Li stearat; Zn, Pb oleat);
polyethoxylated derivatives (palmitat/ethylene propylene oxide; stearat/ethylene propylene oxide; oleic acid dimer ethylene propylene
oxide); oxygenated fatty acids/esther (epoxy stearic/octanol ester; epthio stearin mono & polyhdric alcohol ester); processed fatty
alcohol (C16&C18 alcohol/sulphated; C16&C18 alcohol/ethoxylation; monogliserida ethoxylation); fatty acids amides (stearamide;
alkanolamides; suphated alkanolamide of palmitat, stearic&oleic acids; dan oleamide). Sedangkan industri yang sedang dibangun di
Indonesia adalah beta karoten, glyserol mono oleat dan food emulsifier.
Teknologi Proses Produksi Oleokimia Dasar
Oleokimia adalah bahan kimia yang diturunkan dari minyak atau lemak melalui proses splitting trigliserida (triacylgliserol)
menjadi turunan asam-asam lemaknya dan gliserol. Proses tersebut dapat dilakukan secara kimia maupun enzymatis. Keunggulan
oleokimia dari petrokimia ialah bahwa oleokimia adalah produk yang terbarukan, biodegradable, lebih aman (tidak beracun).
Oleokimia dasar yang banyak diproduksi antara lain fatty acids, , fatty alcohols, fatty methyl ester, fatty amines dan gliserol.
Oleokimia dasar tersebut dapat diproses lebih lanjut menjadi produk akhir yang mempunyai nilai lebih tinggi.
Produksi oleokimia dasar yang telah dilakukan dalam industri adalah melalui proses termal, yaitu, melalui proses pemecahan
lemak (fat splitting), esterifikasi, transesterifikasi dan hidrogenasi (Gambar III.2.). Alternatif lain untuk proses termal tersebut
adalah reaksi enzimatik yang memanfaatkan enzim lipase dari mikroorganisme sebagai biokatalisator bagi reaksi penguraian
minyak/lemak (hidrolisis) menjadi gliserin asam-asam lemak murni. Kemudian asam lemak hasil hidrolisis tersebut difraksinasi
dengan cara destilasi.Diagram proses pembuatan oleokimia dari minyak sawit maupun inti sawit melalui proses splitting dapat
dilihat pada Gambar III.2.
11
Gambar III.2.
Diagram proses pembuatan Oleokimia Dasar
Produksi fatty acids melibatkan pretreatment dengan asam phospat untuk menghilangkan phosphatida. Umumnya untuk minyak inti
sawit tidak memerlukan pre-treatment, karena minyak tersebut relatif bersih. Namun untuk minyak sawit mentah (CPO) diperlukan
12
proses pre-treatment untuk menghilangkan gum dan bahan padatan lainnya. Selanjutnya minyak dilakukan splitting dengan
menggunakan demineralized water. Produk yang dihasilkan berupa campuran asam lemak dan glyserin sekitar 15%.
Campuran asam lemak dan gliserin dimurnikan untuk menghilangkan warna, glyserida, bahan tak tersabunkan dan asam lemak
yang terpolimer dengan cara distilasi atau pemisahan asam-asamnya dengan distilasi fraksinasi. Proses hidrogenasi dapat juga
dilakukan untuk menghasilkan asam lemak jenuh dengan kualitas tinggi. Asam lemak tersebut diatas dapat direaksikan lebih lanjut
menjadi produk oleokimia dasar lainnya seperti fatty methyl ester dan fatty alcohol. Pembuatan methyl ester dapat melalui jalur
esterifikasi yaitu reaksi antara asam lemak dan methanol menggunakan katalis asam atau jalur transesterifikasi antara minyak
sawit dan methanol menggunakan katalis basa. Transesterifikasi minyak menjadi methyl ester dapat dilakukan dalam satu step
atau dua step tergantung pada kualitas bahan baku yang digunakan. Jika bahan baku mengandung asam lemak bebas > 5%
maka proses perlu dilakukan dalam dua step yaitu step pertama merubah asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak
menjadi esternya dan kedua merubah minyak netral menjadi fatt methyl ester. Fatty alcohol dapat dibuat dengan mereaksikan
fatty methyl ester dengan hydrogen menggunakan katalis logam.
Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut transesterifikasi dimana gliserin dipisahkan dari minyak nabati. Proses ini
menghasilkan dua produk yaitu metil esters (biodiesel)/mono-alkyl esters dan gliserin yang merupakan produk samping. Bahan
baku utama untuk pembuatan biodiesel antara lain minyak nabati, lemak hewani, lemak bekas/lemak daur ulang. Sedangkan
sebagai bahan baku penunjang yaitu alkohol. Pada ini pembuatan biodiesel dibutuhkan katalis untuk proses esterifikasi, katalis
dibutuhkan karena alkohol larut dalam minyak.
Alkohol yang digunakan sebagai pereaksi untuk minyak nabati adalah methanol, namun dapat pula digunakan ethanol,
isopropanol atau butyl, tetapi perlu diperhatikan juga kandungan air dalam alcohol tersebut. Bila kandungan air tinggi akan
mempengaruhi hasil biodiesel kualitasnya rendah, karena kandungan sabun, ALB dan trig;iserida tinggi.
Katalisator dibutuhkan pula guna meningkatkan daya larut pada saat reaksi berlangsung, umumnya katalis yang digunakan
bersifat basa kuat yaitu NaOH atau KOH atau natrium metoksida. Blok diagram proses pembuatan biodiesel dapat dilihat pada
gambar berikut.
13
hasil pertanian termasuk kayu dan getah (gum), seperti asam formiat, asam asetat, asam citrat, asam benzoat, fatty acid, fatty
alkohol, furfural, sorbitol dan bahan kimia organik lainnya dari hasil pertanian. Termasuk biofuel.
Pertumbuhan industri pupuk, kimia dan barang dari karet pada tahun 2013 tercatat sebesar 2,21 persen, lebih rendah daripada
pertumbuhan industri pengolahan non migas yang sebesar 6,10 persen dan pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,78 persen.
Akan tetapi hal ini bukan merupakan sesuatu yang negatif mengingat pada tahun 2012, pertumbuhan industri pupuk, kimia dan
barang dari karet mencapai double digit yaitu 10,50 persen. Rata-rata pertumbuhan per tahun untuk industri pupuk,
kimia&barang dari karet adalah 5,34 persen, masih lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan per tahun untuk industri pengolahan
non-migas dari tahun 2010-2013 yaitu sebesar 6,09 persen. Pertumbuhan industri pupuk, kimia dan barang dari karet dari tahun
2010 hingga 2013 dapat dilihat pada Tabel IV.1.
Tabel IV.1.
Pertumbuhan Industri Pupuk, Kimia& Barang dari Karet (Persen)
Lapangan Usaha
2010
2011
2012
2013
4,70
3,95
10,50
2,21
5,12
6,74
6,42
6,10
6,22
6,49
6,26
5,78
Sumber : BPS
Nilai PDB industri pupuk, kimia dan barang dari karet adalah Rp. 230,2 triliun rupiah atau menyumbang 12,2 persen dari total
PDB Industri Non Migas pada tahun 2013, konstribusinya menurun dibandingkan pada tahun 2012 yang menyumbang sebesar
12,6 persen walaupun secara nilai PDB tahun 2012 lebih rendah dari tahun 2013 yaitu sebesar Rp. 216,8 triliun. Selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel IV.2.
15
Tabel IV.2.
Nilai dan Kontribusi Industri Pupuk, Kimia & Barang dari Karet terhadap Industri Non Migas
Lapangan Usaha
PDB Pupuk, Kimia & Barang dari karet (Rp.
Miliar)
Kontribusi Pupuk, Kimia & Barang dari karet
(persen)
2010
2011
2012
2013
176.212,4
189.700,0
216.863,8
230.236,1
12,7
12,2
12,6
12,2
Perkembangan investasi industri kimia dan farmasi meningkat signifikan khususnya pada PMDN. Pada tahun 2012, nilai investasi
PMDN sebesar 5,07 triliun rupiah, meningkat menjadi 8,89 triliun rupiah pada tahun 2013. Begitu pula dari sisi PMA dimana
terjadi peningkatan investasi, dimana tahun 2013 investasi PMA senilai 3,14 milyar USD meningkat 13,45 persen dibandingkan
dengan tahun 2012 yang senilai 2,77 milyar USD. Rata-rata pertumbuhan investasi PMDN per tahun adalah 48,42 persen dan
investasi PMA per tahun adalah 62,39 persen. Selengkapnya untuk perkembangan investasi industri kimia dan farmasi, baik PMA
maupun PMDN dapat dilihat pada Tabel IV.3
Tabel IV.3.
Perkembangan Investasi Industri Kimia dan Farmasi
Lapangan Usaha
Industri Kimia dan
Farmasi
Investasi
Satuan
2010
2011
2012
2013
PMDN
Rp Miliar
3.266,02
2.711,87
5.069,45
8.886,48
PMA
Sumber : BKPM, diolah Kemenperin
US$ Juta
793,36
1.467,40
2.769,79
3.142,31
Untuk mengetahui indikator ekspor dan impor, perlu kita ketahui pengelompokan HS ke dalam komoditi oleokimia dasar dan
biodiesel seperti yang terlihat pada Tabel IV.4.
16
Tabel IV.4.
Pengelompokan HS 2012 ke dalam Kelompok Oleokimia Dasar dan Biodiesel
Komoditi
Fatty Acid
Fatty Alcohol
Gliserol
Biodiesel
HS12
3823110000
3823120000
3823191000
3823701000
3823709000
1520001000
1520009000
2905450000
3826009010
DESKRIPSI
Stearic acids
Oleic acids
Acids oil from refining
Industry fatty alcohols in the form of wax
Oth industry fatty alcohols in the form of wax
Crude glycerol
Glycerol waters & glycerol lyes
Glycerol
Fatty acid methyl ester (FAME)
Ekspor fatty acid mempunyai kecenderungan menurun pada tahun 2011-2013, pada tahun 2012 ekspor fatty acid mencapai
645,60 ribu ton menurun dibandingkan pada tahun 2011 yang sebesar 685,52 ribu ton, dan pada tahun 2013 menurun lagi
sebesar 16,73 persen yaitu sebesar 537,37 ribu ton. Pada tahun 2013, ekspor fatty alcohol sebesar 259,78 ribu ton, naik 41,63
persen dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 183,41 ribu ton. Gliserol juga mengalami kenaikan, jika pada tahun 2012
ekspor gliserol adalah sebesar 409,38 ribu ton, maka pada tahun 2013 meningkat menjadi 485,27 ribu ton. Sedangkan Biodiesel
meningkat dari 1,32 juta ton pada tahun 2012 menjadi 1,69 juta ton pada tahun 2013. Rata-rata pertumbuhan ekspor fatty acid
sebesar 3,52 persen, fatty alcohol sebesar 19,88 persen, gliserol sebesar 43, 18 persen dan biodiesel sebesar 27,72 persen.
Untuk selengkapnya mengenai ekspor industri oleokimia dasar dan biodiesel dapat dilihat pada Tabel IV.5.
Tabel IV.5.
Perkembangan Ekspor Industri Oleokimia Dasar (Ribu Ton)
Komoditi
Fatty Acid
Fatty Alcohol
Gliserol
Biodiesel
Total
Sumber : BPS, diolah Kemenperin
17
2010
516,11
156,13
170,86
2011
685,52
188,13
291,20
843,10
1.164,85
2012
645,60
183,41
409,38
1.321,40
2.559,79
2013
537,57
259,78
485,27
1.687,68
2.970,30
Dibandingkan dengan ekspor, maka nilai impor industri oleokimia dasar dan biodiesel lebih rendah. Namun demikian, nilai impor
secara total dari oleokimia dasar dan biodiesel meningkat dari tahun ke tahun. Total impor oleokimia dasar dan biodiesel pada
tahun 2013 adalah sebesar 48,65 ribu ton, meningkat dari tahun 2012 yang sebesar 27,87 ribu ton. Impor fatty Acid dan fatty
alcohol meningkat, fatty acid mengalami rata-rata kenaikan impor sebesar 118,93 persen karena kenaikan yang cukup tajam
dari tahun 2013 terhadap tahun 2012. Sedangkan fatty alcohol mengalami kenaikan sebesar 22,54 persen per tahun, namun
demikian pertumbuhan tahun 2013 terhadap tahun 2012 untuk fatty alcohol terbilang cukup rendah dibanding tahun sebelumnya
yaitu 5,5 persen. Sementara itu, impor gliserol dan biodiesel menurun, bahkan untuk tahun 2013, tercatat tidak ada impor
biodiesel. Data selengkapnya mengenai impor oleokimia dasar dan biodiesel dapat dilihat pada Tabel IV.6.
Tabel IV.6.
Perkembangan Impor Industri Oleokimia Dasar (Ribu Ton)
Komoditi
2010
2011
2012
2013
Fatty Acid
5,45
5,05
5,62
25,45
Fatty Alcohol
11,45
14,26
19,62
20,70
Gliserol
7,79
14,24
2,53
2,50
Biodiesel
Total
0,10
24,69
33,54
27,87
48,65
Sedangkan pemain besar atau major player dari industri biodiesel adalah PT. Wilmar Bioenergy Indonesia Dumai , Riau
(1.300.000 Ton/tahun); PT. Wilmar Nabati Indonesia Gresik, Jatim (1.300.000 Ton/tahun); PT. Musim Mas Batam, Kepri
(615.000 Ton/tahun); PT. Ciliandra Perkasa , Dumai Riau (250.000 Ton/tahun); PT. Cemerlang Energi Perkasa, Dumai Riau
(250.000 Ton/tahun); PT. Musim Mas Medan ( 235.000 Ton/tahun); PT. Pelita Agung Agri Industries Bengkalis Riau (200.000
Ton/tahun); PT. Multi Biofuel Indonesia, Kalsel (160.000 Ton/tahun); PT. Darmex Biofuels, Cikarang Jabar (150.000 Ton/tahun);
PT. Anugerah Inti Gemanusa, Gresik Jatim (120.000 Ton/tahun); PT. Sumi Asih Oleo Chem, Bekasi Jabar (100.000 Ton/tahun).
Total kapasitas terpasang untuk industri biodiesel pada tahun 2013 adalah 4.977.000 Ton/tahun.
Gambar IV.1.
Sebaran Industri Oleokimia Dasar (Sumber : Ditjen IA, Kemenperin)
19
Gambar IV.2.
Sebaran Industri Biodiesel (Sumber : Ditjen IA, Kemenperin)
Dari jumlah perusahaan industri penghasil produk oleokimia dasar dan biodiesel di atas, baru satu perusahaan yang melakukan
verifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang sertifikatnya masih berlaku pada tahun 2014 seperti tampak pada Tabel
IV.7. berikut.
20
Tabel IV.7.
TKDN Produk Oleokimia Dasar dan Biodiesel
No
21
Nama Perusahaan
Jenis Produk
Spesifikasi
Biodiesel
90,17
Biodiesel
90,12
Biodiesel
89,65
Gambar V.1.
Prediksi Konsumsi Fatty Acid Dunia tahun 2022 (Sumber : Frost and Sullivan)
Pada tahun 2022 diperkirakan konsumsi dunia untuk fatty acid meningkat sebesar rata-rata 4 persen pertahun
(Compund Annual Growth Rate (CAGR)). Pertumbuhan konsumsi fatty acid tertinggi adalah di Asia dengan
rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 5,9 persen. Jika pada tahun 2011 konsumsi fatty acid di Asia
sebesar 3 juta ton, maka pada tahun 2022 konsumsi fatty acid diperkirakan sebesar 5,5 juta ton. Pertumbuhan
22
konsumsi fatty acid di Amerika dan Eropa pada tahun 2011 adalah sebesar 1,3 juta ton dan diperkirakan
meningkat pada tahun 2022 menjadi 1,5 juta ton. Sedangkan untuk bagian dunia lainnya, konsumsi fatty acid
adalah sebesar 1 juta ton pada tahun 2011 dan diperkirakan meningkat dengan rata-rata pertumbuhan
sebesar 7 persen pertahun sehingga konsumsi fatty acid di bagian dunia lainnya selain Amerika Utara, Eropa
dan Asia adalah sebesar 1,8 juta ton. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar V.1.
Gambar V.2.
Prediksi Konsumsi Fatty Alcohol Dunia tahun 2022 (Sumber : Frost and Sullivan)
23
Pada tahun 2022 diperkirakan konsumsi dunia untuk fatty alcohol meningkat sebesar rata-rata 4 persen
pertahun (Compund Annual Growth Rate (CAGR)). Pertumbuhan konsumsi fatty alcohol tertinggi di Asia adalah
di India dan China. Pertumbuhan konsumsi fatty alcohol di India diperkirakan 10 persen pertahun, jika pada
tahun 2011 konsumsi fatty alcohol India adalah 76 ribu ton maka pada tahun 2022 diperkirakan konsumsi
fatty alcohol sebesar 235 ribu ton. Di China, pada tahun 2011 konsumsi fatty alcohol sebesar 380 ribu ton
maka pada tahun 2022 diperkirakan sebesar 878 ribu ton dengan rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar
8,9 persen. Di Eropa, pada tahun 2011 konsumsi fatty alcohol sebesar 653 ribu ton dan pada tahun 2022
diperkirakan menjadi 736 ribu ton. Pertumbuhan konsumsi fatty alcohol di Amerika diperkirakan 0,9 persen
pertahun sehingga pada tahun 2022 konsumsi fatty alcohol di Amerika Utara sebesar 641 ribu ton. Sedangkan
untuk bagian dunia lainnya, konsumsi fatty alcohol adalah sebesar 50 ribu ton pada tahun 2011 dan
diperkirakan meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7 persen pertahun sehingga konsumsi fatty
alcohol di bagian dunia lainnya (selain Amerika Utara, Amerika Selatan, India, China, Jepang dan Asia
Tenggara) sebesar 104 ribu ton. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar V.2.
24
Gambar V.3.
Rencana Pengembangan Kapasitas Industri Biodiesel (Sumber : Ditjen IA, Kemenperin)
Industri oleokimia dasar dan biodiesel berkembang signifikan di Indonesia, hal ini dibuktikan dengan rencana penambahan
kapasitas produksi untuk industri biodiesel pada tahun 2015. Direncanakan pada tahun 2015, kapasitas industri biodiesel
ditingkatkan sebesar 2,322 juta ton/tahun, sehingga proyeksi total kapasitas industri biodiesel berbahan dasar kelapa sawit
pada tahun 2015 adalah sebesar 7,319 juta Ton/tahun.
25
VI. KESIMPULAN
1. Luas perkebunan kelapa sawit sebagai potensi sumber daya alam untuk industri oleokimia dasar dan
biodiesel meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 luas kebun kelapa sawit di Indonesia sebesar 10
juta hektar atau naik 4,58 persen dari tahun sebelumnya
2. Produksi CPO Indonesia sebagai feedstock industri oleokimia dasar dan biodiesel meningkat sebesar 6,65
persen pada tahun 2013 dari 26 juta ton pada tahun 2012 menjadi 27,75 juta ton pada tahun 2013.
3. Permintaan fatty acid dan fatty alcohol diperkirakan naik dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi pertahun
sebesar 4 persen hingga tahun 2022.
4. Dengan potensi yang dimiliki Indonesia untuk industri oleokimia dasar dan biodiesel serta permintaan dunia
yang terus meningkat maka tidak mengherankan bahwa Industri ini menjadi industri prioritas yang akan
dikembangkan di Indonesia, sesuai dengan Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional, dengan
memperkuat struktur industrinya
26