A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara maritim, dimana dua pertiga wilayahnya
berupa laut. Ditambah dengan letak Indoneisa yang termasuk dalam
daerah tropis, membuat perairan Indonesia cocok untuk tempat tinggal
berbagai jenis spesies laut. Sehingga perairan Indonesia memiliki
keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Pada tahun 2012 dan 2013,
volume produksi perikanan tangkap adalah sebesar 5.829.194 dan
5.863.170 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan, 2014).
Ikan sebagai salah satu kekayaan laut yang banyak dieksploitasi,
mengandung nilai gizi yang tinggi. Kandungan protein yang tinggi dalam
ikan laut memegang peranan penting dalam pembentukan sel otak, yang
mempengaruhi tingkat kecerdasan seseorang. Protein juga berperan
penting dalam metabolisme tubuh manusi. Protein berperan sebagai zat
pembangun sel-sel tubuh. Hal ini meningkatkan kesadaran masyarakat
akan pentingnya mengkonsumsi ikan laut maupun olahannya.
Ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) adalah ikan yang
memiliki kandungan gizi yang tinggi, rasa yang enak dan harga yang
masih cukup terjangkau. Perairan Indonesia juga merupakan salah satu
penghasil tangkapan ikan tenggiri terbesar di dunia. Ikan ini disukai
karena teksturnya yang lembut, juga rasanya yang gurih menjadi nilai
tambah ikan.
Disamping dipasarkan dalam bentuk segar, ikan juga dipasarkan
dalam bentuk produk olahan. Produk olahan khas Indonesia yang telah
terindustrialisasi dengan mapan meliputi kerupuk, pindang dan beberapa
olahan lain, yang daya tariknya bagi konsumen anak-anak relatif rendah.
Barangkali diantara berbagi produk tersebut hanya kerupuk yang mudah
meningkatkan
nilai
gizi
dari
produk.
Percobaan
ini
(25-40%)
(Berge
and
Barnathan,
2005)
dalam
Ikan yang telah dipotong dan dicuci bersih direbus agar daging ikan
menjadi lunak dan mudah dihancurkan. Setelah 20-40 menit, daging ikan
ditiriskan dalam wadah khusus agar air rebusannya cepat hilang.
3. Tahap penghancuran
Pada tahap ini tulang, kulit dan sisik ikan dibuang. Agar lebih mudah,
sebaiknya pembuangan tulang, kulit dan sisik dilakukan pada saat daging
ikan masih dalam keadaan panas. Daging ikan kemudian dicabik-cabik
dan diremas dengan tangan hingga terbentuk serat daging yang halus dan
berukuran seragam.
4. Tahap pembuatan bumbu
Sebenarnya bumbu abon dapat disesuaikan dengan selera masing-masing,
apakah abon yang dibuat akan mengandung rasa pedas, manis atau asin.
Akan tetapi sebagai patokan dapat digunakan komposisi bumbu yaitu
untuk abon dengan bahan baku 100 kg ikan; campurkan dan lumatkan 2 kg
bawang merah; 1,6 kg bawang putih; 300 g ketumbar; 1,5 kg garam; 900 g
asam dan 15 kg gula. Setelah lumat tambahkan 100 g laos serta salam dan
sereh secukupnya. Tambahkan pula 750 cc santan yang diperoleh dari 400
g kelapa parut.
5. Tahap penggorengan
Masukkan bumbu ke dalam kuali dan panaskan di atas api yang tidak
terlalu besar sampai mendidih. Selanjutnya masukkan pula daging ikan
yang telah dihancurkan sedikit demi sedikit sambil terus diaduk hingga
rata. Setelah agak kering, tambahkan sedikit minyak goreng sambil terus
diaduk. Tahap penggorengan dianggap selesai bila abon benar-benar telah
kering.
6. Tahap pengepakan
Setelah penggorrengan selesai, abon dibiarkan beberapa saat di tempat
terbuka dan berangin hingga dingin. Abon kemudian dimasukkan ke dalam
kantong plastik dengan takaran sesuai dengan kebutuhan. Abon siap untuk
dipasarkan atau dikonsumsi sendiri
(Alpinia
galarga
L.)
merupakan
anggota
familia
C. METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 1 November 2014 pukul
07.00-09.00 WIB bertempat di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan
Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Bahan dan Alat
a. Bahan
i. Ikan tenggiri
ii. Kacang polong utuh
iii. Kacang polong kasar
iv. Kacang tanah kasar
v. Kacang tanah halus
vi. Ikan teri
vii. Serai
viii.Daun salam
ix. Bawang merah
x. Bawang putih
xi. Gula merah
xii. Ketumbar
xiii.Lengkuas
xiv.Garam
xv. Santan
b. Alat
i. Wajan
ii.Spatula
iii.
Cobek
iv.
Ulekan
v.Solet
ii. Baskom
iii. Pisau
iv. Sendok
v. Kompor
vi. Gas
vii. Sarung tangan plastik
viii.Plastik
ix. Kertas label
3. Cara Kerja
Pembuatan furikake
Bawang merah, bawang putih, gula merah, ketumbar, lengkuas, garam, kemiri
Perebusan (30 menit, sampai daging empuk
Penghalusan
Bumbu
Penyuiran
Daging suir
Santan
Pencampuran
Minyak goreng
Formulas
i
F1
F2
F3
F4
F5
Tenggiri
Bahan Tambahan
300 gram
300 gram
300 gram
300 gram
300 gram
Energi
(kkal)
106.64
106.64
157.94
157.94
101.87
Protein
(%)
19.00
19.00
22.25
22.25
19.76
Lemak
(%)
2.34
2.34
7.31
7.31
2.40
Karbohidrat
(%)
0.0089
0.0089
2.04
2.04
0.31
Ikan yang akan digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan abon
dikelompokkan berdasarkan jenis, ukuran dan tingkat kesegarannya.
Selanjutnya, ikan disiangi dengan cara membersihkan sisik (bila ada),
membuang bagian kepala, isi perut maupun sirip ikan agar tidak
mempengaruhi kualitas abon. Ikan kemudian dipotong menjadi bagian
yang lebih kecil dengan ukuran 4x3x3 cm dan dicuci dengan air bersih
yang mengalir, untuk menghilangkan darah, lendir maupun kotoran yang
masih menempel.
2. Tahap perebusan ikan
Ikan yang telah dipotong dan dicuci bersih direbus agar daging ikan
menjadi lunak dan mudah dihancurkan. Setelah 20-40 menit, daging ikan
ditiriskan dalam wadah khusus agar air rebusannya cepat hilang.
3. Tahap penghancuran
Pada tahap ini tulang, kulit dan sisik ikan dibuang. Agar lebih mudah,
sebaiknya pembuangan tulang, kulit dan sisik dilakukan pada saat daging
ikan masih dalam keadaan panas. Daging ikan kemudian dicabik-cabik
dan diremas dengan tangan hingga terbentuk serat daging yang halus dan
berukuran seragam.
4. Tahap pembuatan bumbu
Sebenarnya bumbu abon dapat disesuaikan dengan selera masing-masing,
apakah abon yang dibuat akan mengandung rasa pedas, manis atau asin.
Akan tetapi sebagai patokan dapat digunakan komposisi bumbu yaitu
untuk abon dengan bahan baku 100 kg ikan; campurkan dan lumatkan 2 kg
bawang merah; 1,6 kg bawang putih; 300 g ketumbar; 1,5 kg garam; 900 g
asam dan 15 kg gula. Setelah lumat tambahkan 100 g laos serta salam dan
sereh secukupnya. Tambahkan pula 750 cc santan yang diperoleh dari 400
g kelapa parut.
5. Tahap penggorengan
Masukkan bumbu ke dalam kuali dan panaskan di atas api yang tidak
terlalu besar sampai mendidih. Selanjutnya masukkan pula daging ikan
yang telah dihancurkan sedikit demi sedikit sambil terus diaduk hingga
rata. Setelah agak kering, tambahkan sedikit minyak goreng sambil terus
diaduk. Tahap penggorengan dianggap selesai bila abon benar-benar telah
kering.
6. Tahap pengepakan
Setelah penggorrengan selesai, abon dibiarkan beberapa saat di tempat
terbuka dan berangin hingga dingin. Abon kemudian dimasukkan ke dalam
kantong plastik dengan takaran sesuai dengan kebutuhan. Abon siap untuk
dipasarkan atau dikonsumsi sendiri
Sedangkan pada praktikum, abon atau furikake dibuat dengan proses
sebagai berikut :
1. Tahap perebusan ikan
Ikan direbus bersama serai dan daun sama selama 30 menit, setelah empuk
daging ikan disuir-suir.
2. Tahap pencampuran ikan dan bumbu
Untuk 300 g daging ikan suir ditambahnkan campuran bumbu halus terdiri
dari bawang merah, bawang putih, gula merah, ketumbar, lengkuas dan
garam yang semuanya dilarutkan dalam santan.
3. Tahap penggorengan
Campuran ikan dan bumbu dipanaskan hingga abon berwarna kering
kecoklatan, ditambahkan sedikit minyak goreng jika diperlukan.
Pada praktikum ini digunakan bahan dasar berupa ikan tenggiri. Ikan
tenggiri memiliki kelebihan diantaranya berupa adanya kandungan asam
lemak tak jenuh majemuk (PUFA) omega-3 dalam ikan. PUFA omega-3 ini
adalah
20:5
eicosapentaenoic
acid
(EPA)
sebesar
17,44
Dari formulasi yang telah dibuat dapat diketahui energi total (kkal) dari
masing-masing formulasi tersebut. Untuk formulai tertinggi hingga terendah
berturut-turut adalah sebagai berikut : sampel F3 dan F4 dengan total 189.55
kkal; sampel F1 dan F2 dengan total 128.00 kkal dan sampel F5 dengan
energi total sebesar 124.34 kkal.
Berdasarkan DKBM, nilai gizi furikake tertinggi diperoleh dari
kombinasi antara ikan tenggiri dan kacang tanah. Kacang tanah sebagai
variasi bahan tambahan memiliki nilai gizi yang lebih besar dibandingkan
dengan kacang polong dan ikan teri. Bahan ini mengandung energi, protein,
lemak dan karbohidrat masing-masing sebesar 344 kkal, 12.50%, 2.10% dan
69.40%. Untuk kacang polong, kandungan energi, protein, lemak dan
karbohidrat berturut-turut sebesar 74 kkal, 10.30%, 1.40% dan 4.10%.
Sedangkan pada ikan teri hanya mengandung energi, protein, lemak dan
kabohidrat sebesar 89 kkal, 3.8%, 2.2% dan 13.1%.
Secara alami, kacang tanah telah mengandung nutrisi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kacang polong maupun ikan teri. Selain itu adanya
perlakuan pengolahan seperti penggorengan pada kacang tanah maupun
kacang polong adalah relatif lebih singkat sehingga gizi yang hilang dari
bahan juga relatif lebih rendah sedangkan ikan teri memiliki proses
pengolahan yang panjang mulai dari penggaraman, pengeringan sampai
penggorengan semakin menurunkan nilai gizi dari ikan tersebut sehingga
furikake dengan nilai gizi terbesar didapatkan dari kombinasi antara ikan
tenggiri dengan bahan tambahan berupa kacang tanah.
Nilai Kesukaan
1.92a
2.04ab
2.44ab
2.48ab
2.64b
Berdasarkan Tabel 1.3 didapatkan hasil nilai uji kesukaan sampel F1,
F2, F3, F4 dan F5 berturut-turut adalah 1.92, 2.04, 2.44, 2.48 dan 2.64. Hasil
menunjukkan bahwa sampel F1 berbeda nyata dengan sampel F5. Sampel F2
memiliki dua subset yaitu subset a dan subset b. Untuk subset a, sampel F2
berbeda nyata dengan sampel F3, F4, dan F5; kemudian untuk subset b,
sampel F2 berbeda nyata dengan sampel F1, F3, dan F4. Sampel F3 memiliki
dua subset yaitu subset a dan subset b. Untuk subset a, sampel F3 berbeda
nyata dengan sampel F2, F4, dan F5; kemudian untuk subset b, sampel F3
berbeda nyata dengan sampel F1, F2, dan F4. Sampel F4 memiliki dua subset
yaitu subset a dan subset b. Untuk subset a, sampel F4 berbeda nyata dengan
sampel F2, F3, dan F5; kemudian untuk subset b, sampel F4 berbeda nyata
dengan sampel F1, F2, dan F3.
Sangat
Suka
3
13
5
3
13
Agak Suka
Netral
11
4
8
8
5
7
2
8
9
3
Agak Tidak
Suka
4
6
4
5
4
Sangat Tidak
Suka
0
0
0
0
0
Dari pengujian organoleptik yang telah dilakukan pada panelis anakanak dapat diketahui bahwa sampel yang paling disukai oleh panelis adalah
sampel F5 yang mendapatkan 18 poin penilaian suka. Faktor utama yang
menyebabkan sampel ini memiliki penilaian tertinggi dimungkinkan karena
adanya perpaduan rasa yang baik dari abon tenggiri yang cenderung manis
dan ikan teri yang asin sehingga lebih digemari. Tidak ada sampel yang
sangat tidak disukai sehingga berbagai formulasi furikake secara keseluruhan
menunjukkan penerimaan yang baik oleh panelis.
Formulasi
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, Eddy dan Evi Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan.
Kanisius. Yogyakarta.
Arief, Hariana. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Penebar Swadaya. Jakarta.
Bakhiet, H.H. Abbas dan F.A.E. Khogakie. 2012. Effect of Different Salt
Concentrations on Chemical Composition of the Fish (Hydrocynus spp.).
Journal of Life Science and Biomedicine. 3 (1): 01-03. 2013.
Dewi, Eko Nurcahya, dkk. 2011. Daya Simpan Abon Ikan Nila Merah
(Oreochromis niloticus Trewavas) yang Diproses dengan Metode
Penggorengan Berbeda. Jurnal Saintek Perikanan, Vol. 6, No. 1, Hal : 6-12.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2014. Produksi Perikanan Indonesia.
www.kkp.go.id. Diakses November 2014.
Fachruddin, Lisdiana. 1997. Membuat Aneka Abon. Kanisius. Yogyakarta.
Handajani., Noor Soesanti, dan Tjahjadi Purwoko. 2008. Aktivitas Ekstrak
Rimpang Lengkuas (Alpinia galangal) terhadap Pertumbuhan Jamur
Aspergillus spp. Penghasil Aflaktosin dan Fusarium moniliforme. Jurnal
Biodiversitas. Vol. 9. No.3.
Perez-Gregorio, Rosa Maria, et al. 2010. Identification and Quantification of
Flavonoids in Traditional Cultivars of Red and White Onions at Harvest.
Journal of Food Composition and Analysis, Vol. 23, hal : 592 598.
Phornphisutthimas, Somkiat. 2010. Pilot-scale Development of Dried Seasoning
with Tom Yam Flavour Using Mushroom as Adsorbent. Asian Journal of
Food and Agro-Industry, Vol. 3, No. 3, hal : 335 342,
Rahayu, Winiati Pudji. 2000. Aktivitas Antimikroba Bumbu Masakan Tradisional
Hasil Olahan Industri Terhadap Bakteri Patogen dan Perusak. Buletin
Teknologi dan Industri Pangan, Vol. 11, No. 2, hal : 42 48.
Pratama, Rusky I., dkk. 2011. Komposisi Asam Lemak Ikan Tongkol, Layur, dan
Tenggiri dari Pameuungpeuk, Garut. Jurnal Akuatika, Vol.2, No. 2.
Ramasari, Egi Lukiasa, dkk. 2012. Aplikasi Karagenan sebagai Emulsifier di
Dalam Pembuatan Sosis Ikan Tenggiri (Scomberomorus guttatus) pada
Penyimpanan Suhu Ruang. Jurnal Perikanan, Vol. 1, No. 2, Hal : 1-8.
Setyorini, Endang. 2006. Pangan Laut : Belajar Dari Jepang. Jurnal Inovasi. Vol.
6, No. 18, Hal 53-57.
Silalahi, Jansen. 2006. Makanan Fungsional. Kanisius. Yogyakarta.
Shee., Anoop Kumar, R. Balaji Raj, Deepika Sethi, Anushree Kunhambu, dan
Kantha D. Arunachalam. Studies on the antibacterial activity potential of
commonly used food preservatives. International Journal of Engineering
Science and Technology. Vol. 2 (3). 2010.
ACARA II
PENGARUH PENAMBAHAN JENIS TEPUNG, KONSENTRASI
CURDLAN, DAN METODE PEMASAKAN TERHADAP
KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK KAMABOKO
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 2/3 wilayahnya
merupakan lautan sehingga potensi ikan di Indonesia sangat berlimpah.
Produksi ikan di Indonesia pada tahun 2012 mencapai lebih dari 15 juta
ton, sementara produksi sumber protein hewani lainnya jauh lebih rendah
dibandingkan dengan produksi ikan. Sumber daya perikanan yang besar
ini, menjadikan ikan berpeluang tinggi dalam memberikan kontribusi
dalam memasok total kebutuhan konsumsi protein di Indonesia, khususnya
sumber protein hewani.
Selama ini, tingkat konsumsi ikan per kapita masyarakat Indonesia
tertinggal hampir dari semua negara di ASEAN, padahal asupan nutrisi
yang esensial pada ikan dapat membentuk kecerdasan karena adanya
kandungan Omega-3, Omega-6, dan DHA pada ikan. Tingkat konsumsi
ikan di Indonesia pada tahun 2012 adalah sebesar 34,76 kg/kapita/tahun
dan
pada
tahun
2013
ditargetkan
meningkat
menjadi
35,14
dan elastis. Irisan kamaboko bisa langsung dimakan begitu saja atau
digunakan sebagai pelengkap berbagai macam makanan berkuah, seperti
ramen, soba, atau udon.
Pada penelitian ini akan dibuat produk kamaboko yang dimodifikasi
agar sesuai dengan taste orang Indonesia. Produk kamaboko yang dibuat
berbahan dasar ikan tongkol sebagai pengganti ikan tenggiri yang
harganya relatif mahal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan
pengaruh jenis pati dan konsentrasi curdlan terhadap karakteristik
organoleptik kamaboko meliputi warna, aroma, kenampakan, tekstur, dan
overall. Selain itu, juga untuk mengetahui teknik pemasakan yang tepat
(dikukus atau dipanggang) pada kamaboko ikan tongkol terhadap
karakterisik organoleptik.
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
a. Bagaimana
pengaruh
variasi
penambahan
tepung
terhadap
B. TINJAUAN PUSTAKA
Kamaboko merupakan produk makanan tradisional Jepang dari hasil
olahan daging ikan berbentuk gel, yang bersifat kenyal dan elastis. Bahan
baku yang digunakan pada pembuatan kamaboko adalah daging ikan. Hampir
semua jenis ikan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku, tetapi kekuatan gel
atau kekenyalan dan elastisitasnya bervariasi menurut jenisnya. Ikan yang
digunakan harus mempunyai kandungan protein yang sesuai untuk
pembentukan gel kamaboko dan harus mempunyai tingkat kesegaran yang
tinggi. Kamaboko dibuat dari bahan daging ikan giling atau surimi, pati,
garam, dan bumbu-bumbu (Suryono, 2013).
Kamaboko adalah jenis makanan laut tradisional yang terbuat dari
pasta ikan jelly khas Jepang. Daging imitasi kepiting terbuat dari kamaboko
pasta ikan jelly yang telah dikomersialkan di seluruh dunia. Ikan giling atau
surimi adalah bahan utama dari kamaboko (Harada, 2013).
Bahan utama pembuatan kamaboko adalah surimi. Surimi adalah
istilah Jepang yang mengacu pada pasta daging ikan. Surimi merupakan
bahan utama dalam berbagai prodak makanan olahan seperti kamaboko, kani,
chikuwa, satsumage, sosis ikan dan bakso ikan. Kualitas prodak yang
dihasilkan tergantung pada kualitas surimi yang digunakan. Gel merupakan
karakteristik penting untuk produk berbasis surimi. Banyak teknik untuk
meningkatkan tekstur produk berbasis surimi telah diusulkan dan
diimplementasikan, termasuk menyesuaikan pH pasta surimi, pengaturan
suhusebelum memasak, dan menggunakan aditif seperti polifosfat dan kalium
bromat (Nopianti et al., 2010).
Ikan dan produk perikanan merupakan bahan pangan yang mudah
rusak (perishable food), oleh karena itu perlakuan yang benar pada ikan
setelah ikan tertangkap sangat penting peranannya. Mutu kesegaran dapat
mencakup rupa atau kenampakan, rasa, bau, dan juga tekstur yang secara
sadar ataupun tidak sadar akan dinilai oleh pembeli atau pengguna dari
produk tersebut. lkan tongkol (Euthynnus affinis C.) adalah ikan yang
berpotensi cukup tinggi serta memiliki nilai ekonomis tinggi. Ikan tongkol
memiliki kandungan protein yang tinggi dan juga sangat kaya akan
kandungan asam lemak omega-3. Ikan cepat mengalami proses pembusukan
dibandingkan dengan bahan makanan lain yang disebabkan oleh bakteri dan
perubahan kimiawi pada ikan mati (Milo, et al., 2013).
Agar adalah istilah umum yang berkaitan dengan ciri-ciri gel. Agar
terdiri atas fraksi yang mengandung sulfat disebut agarosa dan fraksi yang
tidak mengandung sulfat disebut dengan agaripektin. Agarosa dapat
membentuk gel, sedangkan agaropektin tidak dapat. Agar bersifat anionik,
dapat membentuk gel yang jernih, liat yang tidak mantap pada perlakuan
pembekuan-pelelehan. Penggunaan agar pada pangan sebagai pembentuk gel
dalam industri roti, hasil olahan daging, ikan, dan lain-lain (Cahyadi, 2009).
Senyawa hidrokoloid seperti agar memiliki pasar cukup baik, karena
senyawa tersebut memiliki daya gelasi yang cukup kuat. Senyawa ini
dikandung oleh makroalga (rumput laut). Secara kimiawi, agar merupakan
senyawa polisakarida berantai panjang yang dibangun oleh agarosa dan
agaropektin secara berulang. Senyawa ini memiliki fungsi utama sebagai
bahan pemantap, penstabil, pengemulsi, pengental, pengisi, pembuat gel dan
lain-lain. Hal inilah yang menyebabkan agar banyak dimanfaatkan dalam
berbagai industri seperti makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, kertas,
tekstil, fotografi, pasta gigi dan industri lainnya (Widyastuti, 2009).
Sodium tripoliphospat (Na5P3O10, STPP) merupakan bahan tambahan
yang dapat mengenyalkan bakso. Penggunaan STPP sampai sekarang tidak
dilarang oleh Departemen Kesehatan RI. STPP dapat menurunkan penyusutan
makanan, meningkatkan daya mengikat air dan bersifat sebagai antioksidan.
Garam merupakan bahan tambahan lain yang dapat meningkatkan daya
mengikat air, menstabilkan emulsi daging dan menambah citarasa.
Penggunaan garam dengan penambahan STPP secara sinergis dapat
meningkatkan daya mengikat air. Penambahan fosfat alkali yang dicampur
dengan garam pada daging berguna dalam melarutkan protein myofibril
terutama miosin. Protein-protein hasil ekstraksi yang digunakan sebagai
bahan pengikat akan saling berinteraksi dan akan mengakibatkan ruang antar
filament menjadi lebih besar sehingga air dapat ditahan dan mengakibatkab
tingginya daya mengikat air (Ulupi et al., 2005).
Natrium tripolifosfat berperan meningkatkan tekstur daging yang
disebabkan oleh kenaikan derajat keasaman daging, kekuatan ion, dan
disosiasi
kompleks
aktomiosin.
Penambahan
natrium
tripolifosfat
menghambat turunnya kadar protein dan asam amino akibat reaksi hidrolisis,
meningkatkan daya cerna protein, serta mencegah oksidasi lemak daging.
Sebagai antioksidan, natrium tripolifosfat mengurangi ransiditas oksidatif,
mempertahankan flavor, aroma dan warna daging. Penggunaan natrium
tripolifosfat akan menghambat pertumbuhan bakteri sehingga mengurangi
kerusakan bahan makanan akibat mikroba, hal ini disebabkan oleh penurunan
aw (water activity) bahan dan terjadinya pengikatan kation logam yang
bersifat essensial bagi pertumbuhan bakteri (Yuanita et al., 2009).
Bahan pengikat dapat berupa tepung terigu, tepung tapioka, dan
tepung maizena. Tepung maizena sangat baik untuk produk-produk emulsi
karena mampu mengikat air dan menahan air tersebut selama pemasakan.
Fungsi dari tepung maizena antara lain adalah memperbaiki tekstur, citarasa,
daya ikat air, dan memperbaiki elastisitas pada produk akhir. Selain itu,
tekstur juga merupakan salah satu penilaian kualitas suatu produk selain
daripada nilai makanan dan 90% responden mengemukakan mutu
berhubungan dengan tekstur (Wellyalina, et al., 2012).
Tepung terigu merupakan hasil ekstraksi dari proses penggilingan
gandum (T. sativum) yang tersusun oleh 67-70% karbohidrat, 10-14%
protein, dan 1-3% lemak (Riganakos and Kontominas, 1995). Menurut
Damodaran and Paraf (1997) pada sebagaian besar produk makanan, pati
terigu terdapat dalam bentuk granula kecil (1-40 m) dan dalam suatu sistem,
contohnya adonan, pati terigu terdispersi dan berfungsi sebagai bahan
pengisi. Protein dari tepung terigu membentuk suatu jaringan yang saling
berikatan (continous) pada adonan dan bertanggung jawab sebagai
komponen yang membentuk viscoelastik (Fitasari, 2009).
Tepung tapioka adalah pati dari umbi singkong yang dikeringkan dan
dihaluskan. Tepung tapioka memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
dengan bahan bakunya (singkong), yaitu lebih tahan dalam penyimpanan,
lebih mudah didistribusikan karena praktis, ringan, dan aman, daya jangkau
pemasarannya auh lebih luas, dan kegunaanya lebih banyak. Tepung tapioka
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku ataupun campuran/tambahan pada
berbagai macam produk antara lain kerupuk, biskuit/kue kering, jajanan/kue
tradisional, misalnya cenil, klanthing, opak/semprong/ledre, wadah es krim,
kacang shanghai, pilus, dan ladu, bahan baku produk biji mutiara, sirup cair,
dekstrin, alkohol, dan lem. Selain itu, tepung tapioka dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pengental (thickener), bahan pemadat/pengisi (filler), bahan
pengikat pada industri makanan olahan, dan dapat juga sebagai bahan penguat
benang (warp seizing) pada industri tekstil (Suprapti, 2005).
Bawang merah Allium cepa L. merupakan salah satu jenis komoditas
yang mempunyai arti penting bagi masyarakat, baik dilihat dari nilai
ekonomisnya maupun kandungan gizinya. Bawang merah Allium cepa L.
digemari karena karakteristik rasa dan aromanya yang khas. Aroma bawang
merah Allium cepa L. disebabkan karena aktivitas enzim allinase. Aroma ini
akan tercium apabila jaringan tanaman rusak karena enzim allinase akan
mengubah senyawa s-alkil sistein sulfoksida yang mengandung belerang.
Umbi bawang merah Allium cepa L. juga mengandung allisin, flavonol,
kuersetin, dan kuersetin glikosida yang bersifat antibakteri, anticendawan,
antikoagulan serta menunjukkan aktivitas enzim antikanker (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1998). Menurut Rukmana (1994) dalam Ambarwati dan Yudono
(2003), bawang merah Allium cepa L. mengandung senyawa allin dan allisin
yang bersifat bakterisida. Pendapat yang sama dari Wibowo (2009),
mengatakan bahwa bawang merah Allium cepa L. mengandung senyawa
allicin dan minyak atsiri yang bersifat bakterisida dan fungisida terhadap
bakteri dan cendawan. Bahan aktif minyak atsiri terdiri dari sikloaliin,
metilaliin, kaemferol, kuersetin, dan floroglusin (Hatijah, et al., 2013).
perubahan.
Perubahan
protein
selama
pembuatan
akan
c. Cita rasa. Cita rasa produk dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya
jenis ikan (kandungan protein), tingkat kesegaran., bumbu yang
diberikan, serta komposisi bahan.
d. Kadar garam. Kadar gara, pada produk kamaboko berkisar antara 2,53,5%. Kadar garam yang terlalu rendah akan mengahsilkan kamaboko
dengan tekstur kurang baik. Bila terlalu tinggi, rasanya menjadi terlalu
asin.
e. Daya tahan. Produk kamaboko yang dapat disimpan dalam waktu lama
akan lebih menarik. Untuk itu, perlu disimpan pada suhu rendah.
(Suprapti, 2008).
C. METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Pengolahan
Pangan dan Gizi, Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta pada hari Jumat, 31
Oktober 2014 pukul 07.00-09.00 WIB.
2. Bahan dan Alat
a. Bahan
1. Ikan tongkol
2. Tepung maizena
3. Tepung tapioka
4. Tepung terigu
5. Nutrijel
6. STPP
7. Putih telur
8. Bumbu (bawang merah, bawang putih, lada, garam, gula)
b. Alat
1.
Pisau
2. Spatula
3. Alumunium foil
4. Timbangan
5. Blender
6. Panci
7. Baskom
8. Oven
9. Kompor gas
3. Cara Kerja
Pengecilan ukuran
Bumbu halus, STPP, nutrijel, 1/2 butir telur Pencampuran dengan tepung
Pengujian organoleptik
Gambar 1.1 Diagram alir pembuatan kamaboko
4. Rancangan Percobaan
2.92a
3.04a
3.16a
3.12a
3.44b
2.92ab
2.72a
2.76
2.72
2.76
3.00
926
2.76a
2.60a
2.72a 3.08a
767
Sumber: Laporan sementara
Keterangan:
1. Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf superscript berbeda
(a.b) menunjukkan berbeda nyata (p<0.05).
2. Formulasi :
kode 429 = tepung tapioka + 0% nutrijel
kode 591 = tepung tapioka + 0,75% nutrijel
kode 924 = tepung maizena + 0% nutrijel
kode 740 = tepung maizena + 0,75% nutrijel
kode 812 = tepung terigu + 0% nutrijel
kode 438 = tepung tapioka + 0% nutrijel
kode 756
kode 389
kode 926
kode 767
sel dan menghambat sintesis protein (Sunanti, 2007). Menurut Mustar (2013),
lada putih banyak digunakan sebagai bumbu masakan dalam makanan yang
tidak menginginkan kontaminan penampakan.
Bahan dari protein ikan, garam, gula, dan STPP juga mempengaruhi
tekstur kamaboko. STPP berfungsi menurunkan penyusutan makanan,
meningkatkan daya mengikat air dan bersifat sebagai antioksidan.
Penggunaan garam dengan penambahan STPP secara sinergis dapat
meningkatkan daya mengikat air. Penambahan fosfat alkali yang dicampur
dengan garam pada daging berguna dalam melarutkan protein myofibril
terutama miosin. Protein-protein hasil ekstraksi yang digunakan sebagai
bahan pengikat akan saling berinteraksi dan akan mengakibatkan ruang antar
filament menjadi lebih besar sehingga air dapat ditahan dan mengakibatkan
tingginya daya mengikat air (Ulupi et al., 2005). Menurut SNI 01-0222-1995,
penggunaan bahan tambahan makanan seperti STPP pada pembuatan produk
daging olahan adalah 3 gram per kilogram (anhidrat). Penggunaan garam
2,5% merupakan konsentrasi maksimum untuk memberikan kekentalan dan
elastisitas pasta ikan yang maksimum (Agustin, 2010). Penggunaan garam
yang terlalu banyak sekali menimbulkan rasa asin yang berlebihan juga
menyebabkan denaturasi protein. Penggunaan garam yang terlalu sedikit
menyebabkan tekstur produk kamaboko yang dihasilkan kurang baik karena
ekstraksi protein aktomiosin kurang sempurna. Daging ikan yang baik untuk
kamaboko adalah daging ikan yang masih segar karena mutu protein
khususnya protein miofibril sebagai pembentuk tekstur pada ikan segar masih
tinggi.
Nilai kekompakan kamaboko dipengaruhi oleh perlakuan seperti
pemanasan, bahan dari protein dari protein ikan, air, dan garam. Kekuatan gel
dipengaruhi oleh suhu pemanasan. Gel merupakan suatu bentuk dari bahan
antara antara padat dan cair, dimana zat cair adalalah cair, sedangkan zat
padat berupa protein atau polisakarida atau kombinasi keduanya, yang
membentuk struktur tiga dimensi. Proses pertama dalam pembuatan gel
kamaboko adalah perubahan protein myofibril dalam otot membentuk sol
oleh garam dan menjadi gel suwari pada suhu 50C, lalu menjadi gel yang
melemah disebut modori pada suhu 60C dan kemudian menjadi gel
kamaboko yang kompak dan kenyal pada suhu di atas 60C (Suryono, 2013).
Selain itu, juga ditambahkan putih telur. Fungsi dari putih telur adalah
sebagai inhibitor enzim untuk menghambat tahap "modori" (fenomena
pelunakan gel) selama pemanasan. Proses gelasi untuk membuat produk lebih
elastis (Jafarpour et al., 2012).
Pada praktikum ini selain bahan-bahan yang sudah disebutkan,
ditambahkan pula variasi jenis tepung dan konsentrasi curdlan. Tepung yang
digunakan adalah pati jagung (tepung maizena), pati singkong (tepung
tapioka), dan tepung terigu. Tepung maizena sangat baik untuk produkproduk emulsi karena mampu mengikat air dan menahan air tersebut selama
pemasakan. Fungsi dari tepung maizena antara lain adalah memperbaiki
tekstur, citarasa, daya ikat air, dan memperbaiki elastisitas pada produk akhir
(Wellyalina et al., 2012). Tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pengental (thickener), bahan pemadat/pengisi (filler), bahan pengikat pada
industri makanan olahan (Suprapti, 2005). Sedangkan tepung terigu berfungsi
sebagai bahan pengisi. Protein dari tepung terigu membentuk suatu jaringan
yang saling berikatan (continous) pada adonan dan bertanggung jawab
sebagai komponen yang membentuk viscoelastik (Fitasari, 2009).
Curdlan yang ditambahkan berupa karagenan yaitu agar-agar atau
nutrijel. Agar adalah senyawa hidrokoloid yang memiliki daya gelasi cukup
kuat. Secara kimiawi, agar merupakan senyawa polisakarida berantai panjang
yang dibangun oleh agarosa dan agaropektin secara berulang. Senyawa ini
memiliki fungsi utama sebagai bahan pemantap, penstabil, pengemulsi,
pengental, pengisi, pembuat gel dan lain-lain. Hal inilah yang menyebabkan
agar banyak dimanfaatkan dalam berbagai industri pangan maupun nonpangan (Widyastuti, 2009).
Pada percobaan yang dilakukan oleh kelas A, proses pemasakan
kamaboko menggunakan teknik pemanggangan. Formulasi berbagai macam
jenis pati dan konsentrasi curdlan atau nutrijel digunakan dalam percobaan
kamaboko lebih dipengaruhi bahan dari protein ikan dan perlakuan pencucian
dalam proses pembuatan adonan kamaboko. Kamaboko yang mengandung
residu non polar rendah akan membentuk jaringan gel yang warna transparan,
elastis dan kemampuan mengikat air yang tinggi. Tujuan pencucian adalah
untuk menghasilkan kamaboko yang berwarna putih dan bersih serta untuk
melarutkan protein sarkoplasma.
Untuk parameter aroma, semua perlakuan pada pembuatan kamaboko
ini tidak memberi pengaruh beda nyata pada kamaboko. Hal ini terbukti
dengan hasil SPSS yang dibuat, semua perlakuan ada pada subset yang sama.
Pada umumnya, panelis tidak menyukai aroma kamaboko yang terlalu tajam.
Berdasarkan hasil praktikum, sampel dengan kode 429 (tapioka + 0%
nutrijel) dan kode 924 (maizena + 0% nutrijel) pada perlakuan panggang
lebih disukai oleh panelis. Menurut Girard (1992) dalam Atmaja (2009),
komponen kimia dalam asap menentukan flavor produk pengasapan. Salah
satu senyawa yang berperan dalam pembentukan flavor adalah senyawa fenol
yaitu 4-metil guakiol dan 2,6-dimetoksi fenol. Guakiol memberikan rasa asap
sementara siringol member aroma asap.
Pada parameter rasa, semua perlakuan pada pembuatan kamaboko
tidak memberikan pengaruh beda nyata terhadap kamaboko yang dihasilkan.
Hal ini dapat dilihat dari hasil SPSS yang menunjukkan semua perlakuan
berada pada subset yang sama. Metode pemasakan yang digunakan tidak
berpengaruh kepada rasa kamaboko yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Suryono (2013) bahwa rasa kamaboko dipengaruhi oleh oleh
bahan-bahan yang terdapat dalam adonan seperti protein daging ikan tenggiri,
garam dan gula.
Untuk parameter tekstur, hasil SPSS menunjukkan semua perlakuan
berada pada subset yang sama. Hal ini berarti tidak ada pengaruh beda nyata
terhadap tekstur kamaboko yang dihasilkan. Baik pada perlakuan kukus
maupun panggang, formulasi antara tepung tapioka dengan penambahan
0,75% nutrijel menunjukkan tekstur kamaboko paling disukai panelis. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Widyastuti (2009) bahwa agar memiliki fungsi
aroma
yang
disukai
konsumen,
akan
tetapi
jenis
pati
untuk
mengetahui
pengaruhnya
terhadap
ACARA III
PERLAKUAN PERBEDAAN VARIASI PATI DAN KONSENTRASI CMC
PADA PROSES BREADING NUGGET TERHADAP PARAMETER
ORGANOLEPTIK
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua
produk hasil pengolahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta
tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daya
simpan daging sangatlah rendah bila masih dalam bentuk segarnya karena
kadar air dan aktivitas air yang tinggi. Oleh karena itu, sudah banyak
dibuat produk olah daging untuk meningkatkan umur simpannya, salah
satunya adalah nugget. Nugget adalah produk olahan daging yang banyak
dikonsumsi dan sangat populer di kalangan masyarakat. Nugget yang
banyak dijumpai di pasaran terbuat dari daging ayam. Nugget berasal dari
daging giling yang dibumbui, kemudian diselimuti oleh perekat tepung
(batter), pelumuran tepung roti (breading), dan digoreng setengah matang
lalu dibekukan untuk mempertahankan mutunya selama penyimpanan.
Dalam pembuatan nugget, bahan pengisi dan bahan dasar
menentukan karakteristik nugget yang dihasilkan. Biasanya digunakan
bahan dasar berupa daging ayam, ikan, udang, maupun rajungan sebagai
bahan utamanya, sedangkan bahan pengisi berupa tepung terigu, tapioka
maupun maizena. Selain itu juga digunakan bahan pengikat (breading)
yang berbeda. Biasanya bahan campuran breading berupa tepungtepungan dengan ditambahkan bahan tambahan pangan misalnya CMC
sebagai emulsifier.
Praktikum acara ini mencakup pembuatan nugget ayam dengan
penambahan tepung yang mengandung pati sebagai bahan pengikat agar
diperoleh nugget dengan kualitas yang dapat diterima konsumen sehingga
meningkatkan nilai jual produk. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui
batas
dapat
menyebabkan
berkurangnya
cita
rasa
Pengaruh
pengadukan
secara
manual
dan
maupun
yang
campuran
adonan
nugget
yang
homogen,
sehingga
menjadi
faktor
penerimaan
konsumen.
Produk
daging
direstrukturisasi harus berisi daging yang tidak kurang dari 60% dalam
formulasi apapun. Bahan pengisi nugget harus kurang dari berat produk.
Kualitas nugget secara signifikan dipengaruhi oleh pengolahan, bahan baku
dan bahan faktor, baik dari nilai gizi atau keseluruhan (Lukman, 2009).
Komposisi kimia daging ayam bervariasi. Daging ayam putih
(tanpa kulit) mengandung kira-kira 64% air, 32% protein dan 3,5% lemak.
Protein unggas mengandung mineral natrium, kalium, megnesium, kalsium,
besi, fosfor, sulfur, chlor dan iod. Warna daging ayam yang normal berwarna
putih keabuan sampai merah pudar atau ungu. Warna daging dapat berubah
atau terjadi penyimpangan warna menjadi coklat, merah cerah, merah pink,
dan hijau. Perubahan ini terjadi karena mioglobin bereaksi dengan senyawa
lain
atau
mengalami
oksigenasi,
oksidasi,
reduksi
dan
denaturasi
adonan
sedangkan
tepung
maizena
memiliki
karakteristik
mengikat
retrogradasi
pati
air.
sehingga
Karboksimetil
dapat
selulosa
digunakan
dapat
rantai-basa
mencegah
pada
roti
(Cahyadi, 2006).
Pemantap adalah bahan tambahan pangan yang berfungsi untuk
membuat bahan campuran menjadi baik. Pemantap nabati antara lain selulosa
yang dimodifikasi secara alami misalnya natrium karboksi metil selulosa
(CMC). CMC bisa digunakan pada jenis makanan krim, yoghurt beraroma,
kaldu, keju, dan krim pateurisasi atau sterilisasi dengan batas maksimal
penggunaan
yang
berbeda
untuk
tiap
jenis
makanan
Cita rasa bahan pangan terdiri dari tiga komponen yaitu bau, rasa,
dan rangsangan mulut. Bau makanan banyak menentukan kelezatan bahan
makanan. Bau menyangkut alat panca indra pembau. Pada umumnya bau
yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan
atau campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus. Rasa
rasa melibatkan panca indra lidah. Pengindraan cecapan dapat dibagi menjadi
empat cecapan utama yaitu asin, asam, manis, dan pahit. Manis dan asin
paling banyak dideteksi oleh kuncup pada ujung lidah, kuncup pada sisi lidah
paling peka asam, sedangkan kuncup di bagian pangkal lidah peka terhadap
pahit. Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi cita rasa yang
ditimbulkan oleh bahan tersebut. Perubahan tekstur atau viskositas bahan
dapat mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi
kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor olfaktori dan kelenjar
air liur. Semakin kental suatu bahan, penerimaan terhadap intensitas rasa, bau,
dan cita rasa semakin berkurang. Penambahan zat-zat pengental seperti CMC
(Carboxy Methyl Cellulose) dapat mengurangi rasa asam sitrat, rasa pahit
kafein, ataupun rasa manis sukrosa, sebaliknya akan meningkatkan rasa asin
NaCl dan rasa manis sakarin (Winarno, 2008).
Adhesiveness merupakan daya yang dibutuhkan untuk menarik
makanan dari permukaannya. Nilai adhesiveness merupakan area yang berada
diantara area kompresi pertama dan kedua. sifat tekstur seperti hardness dan
adhesiveness berkolerasi dengan kandungan amilosa dan retrogradasi pati.
Sampel dengan kandungan amilosa tinggi diketahui memiliki nilai hardness
yang tinggi dan adhesiveness yang rendah (Haliza, 2013).
Salah satu proses pengolahan daging ayam yang populer adalah
pembuatan nugget ayam. Produk nugget daging mempunyai serat pangan dan
vitamin yang sedikit. Hal ini menyebabkan beberapa masalah kesehatan
seperti kanker kolon, obesitas, dan penyakit kardiovaskular. Untuk menambah
nilai gizi nugget ayam dilakukan penambahan serat pangan. Serat pangan
yang dapat digunakan adalah bekatul (Maliluan et al., 2013).
C. METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Praktikum acara nugget dilaksanakan pada hari jumat, tanggal 31
Oktober 2014 bertempat di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan
dan Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bahan dan Alat
a. Bahan
-
Tepung terigu
Tepung tapioka
Tepung maizena
Tepung panir
Air
Minyak goreng
Bawang merah
Bawang putih
Lada (merica)
CMC
Garam
Gula jawa
b. Alat
-
Kompor
Wajan
Baskom
Timbangan
Cobek/blender
Sendok
Pisau
Freezer
Label
Plastik
Borang
c. Cara Kerja
200 g daging ayam tanpa
tulang
Bumbu halus
Tepung panir
PPPP ee n c
PBPPeea em
p
n
i
P
e
n
Urnmen
j
mmgb egu i ge r b ao nr
ee nca r n na g t aa
kgebgoah ui ri n g
g
a
n
e
g
a
mdagl d ni ng a an
ndnpin t ao
upkual el ead nl i i s
lniug mr
rpkoa i tsn i a n
rg aa a n
ann k
nn
d. Rancangan Percobaan
Praktikum ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan
dua faktor yaitu jenis tepung yang digunakan (terigu, tapioka, dan
= 5%.
elas
F
o
r
m
u
l
a
s
i
7
5
6
e
k
st
u
r
v
e
r
a
ll
,
7
6
,
6
0
,9
2
,
4
4
,
5
2
,1
2
,
0
0
,
9
6
,0
0
,
7
2
,
6
0
,7
2
,
9
2
,
8
0
,0
8
,
8
8
,
7
5
,7
1
,
9
6
,
7
1
ar
na
ro
m
a
asa
,5
6
,3
6
,8
0
5
4
8
8
2
1
2
3
0
6
5
5
7
5
6
5
4
8
8
,6
4
,5
2
,7
2
,0
0
,5
4
a
,2
9
a
,8
8
,7
6
b
,5
2
b
,6
0
b
,5
0
a
,6
3
a
2
1
2
3
0
6
5
5
,5
8
a
,7
7
,6
7
a
,4
6
a
,8
4
a
,7
9
a
,7
9
,
6
7
,
7
9
,8
4
,
8
4
,
0
7
,9
6
,
5
4
,
8
3
adonan
sedangkan
tepung
maizena
memiliki
karakteristik
formulasi 821 (campuran daging ikan dengan breading tepung tapioka 150g
dan 0 CMC. Sedangkan panelis kelas B lebih menyukai nugget dengan
formulasi 756 (campuran daging ikan dengan breading tepung tapioka 150g
dan 1,5 CMC. Menurut Kusumanegara (2012), rasa nugget yang dihasilkan
terutama berasal dari bumbu-bumbu yang ditambahkan selama proses
pembuatan adonan. Bumbu-bumbu tersebut terdiri atas garam, bawang putih,
bawang merah, lada dan gula jawa. Selain itu, Menurut Gaman and
Sherrington (1994) dalam Hartati (2006), rasa yang terbentuk pada nugget
disebabkan pengaruh lemak pada minyak goreng yang digunakan saat
penggorengan., makanan yang digoreng mempunyai warna dan flavour yang
khas dan diterima oleh hampir semua orang.
Pada parameter tekstur, p-value kelas A dan B lebih lebih besar dari
(0,273 dan 0,790 > 0,05) yang menunjukkan tidak ada beda nyata antara
formulasi nugget. Formulasi yang paling disukai panelis kelas A adalah
formulasi 821 (campuran daging ayam dan breading tepung tapioka 150g dan
0 CMC). Formulasi yang paling disukai panelis kelas B adalah formulasi 548
(campuran daging ayam dan breading (tepung terigu + tepung tapioka) 150g
dan 0 CMC). Faktor yang mempengaruhi penerimaan panelis terhadap
parameter tekstur adalah perlakuan penambahan bahan pengisi dan perlakuan
penambahan bahan dasar (Rohaya, 2013).
Signifikansi nugget pada parameter overall kelas A dan B lebih besar
dari taraf kepercayaan (0,387 dan 0,390 > 0,05). Nilai tersebut menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antar formulasi nugget.
Berdasarkan Tabel 3.2, panelis kelas A cenderung lebih menyukai nugget
dengan formulasi 821 (campuran daging ayam dan breading tepung tapioka
150g dan 0 CMC). Sedangkan panelis kelas B cenderung lebih menyukai
nugget dengan formulasi 230 (campuran daging ayam dan breading (tepung
maizena + tepung tapioka) 150g dan 0 CMC). Tepung maizena dapat larut
dalam air tetapi kurang mampu menahan air sehingga tepung maizena lebih
sering digunakan dalam proses breading dibanding sebagai bahan pengisi
(filler) dalam pembuatan nugget. Apabila penggunaannya berlebihan, dapat
menyebabkan tekstur nugget terasa keras. Hal ini lah yang menyebabkan
nugget dengan breading tepung maizena pada parameter overall disukai oleh
panelis.
Pada kelas A, menurut uji organoleptik, formulasi nugget yang paling
baik dan sampel yang paling disukai adalah nugget dengan formulasi 821
(campuran daging ayam dan breading tepung tapioka 150g dan 0 CMC). Hal
ini dikarenakan pada sampel ini terdapat tiga parameter yang paling disukai
panelis yaitu parameter rasa, tekstur dan overall. Pada kelas B, menurut uji
organoleptik, formulasi nugget yang paling baik dan sampel yang paling
disukai adalah nugget dengan formulasi 230 (campuran daging ayam dan
breading (tepung maizena + tepung tapioka) 150g dan 0 CMC). Hal ini
dikarenakan pada sampel ini terdapat tiga parameter yang paling disukai
panelis yaitu parameter warna, aroma dan overall.
Terigu mengandung 25% amilosa dan 75% amilopektin. Nugget yang
dihasilkan dari breading tepung terigu akan semakin lekat dan kenyal Pada
tepung tapioka mengandung 17 % amilosa dan 73 % amilopektin (Belitz dan
Grosch, 1999 dalam Suprapto, 2006). Tepung maizena mengandung kadar
amilosa dan amilopektin 25-30% : 70-75% Ellingosa (1994), Winarno (1997)
dalam Suarni (2006).
Kandungan amilosa dan amilopektin dalam tepung akan berpengaruh
terhadap karakteristik gelatinisasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi
kualitas nugget yang dihasilkan. Ketika pati dipanaskan bersama air, pati akan
mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti dengan peningkatan viskositas
yang kemudian akan membentuk pasta. Apabila pemanasan dilanjutkan dalam
jangka waktu tertentu kemudian dilakukan pendinginan maka perubahan
viskositas pati akan membentuk profil yang berbeda-beda tergantung dari
jenis pati.
Perbandingan jumlah amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi
kekenyalan nugget. Perbandingan antara amilopektin dan amilosa di dalam
pati akan mempengaruhi daya kembang dari makanan yang dihasilkan.
Kadar amilopektin yang tinggi pada pati akan mengalami gelatinisasi mengisi
tekstur
nugget
yang
dihasilkan
akan
semakin
lekat
(Kusumanegara, 2012).
Penambahan tepung tapioka dalam proses pembuatan nugget
berpengaruh nyata mempengaruhi tekstur, akan tetapi tidak berpengaruh
terhadap warna dan rasa nugget yang dihasilkan. Penambahan tepung tapioka
dapat mempengaruhi tekstur produk nugget yang dihasilkan, sehingga
kualitasnya lebih baik dan rasanya lebih enak. Tingkat kekenyalan produk
semakin meningkat sejalan dengan penambahan tepung tapioka. Hal ini
disebabkan tepung tapioka mempunyai kemampuan untuk menyerap air.
Tepung maizena memiliki karakteristik dapat melembutkan adonan (Risti,
2013). Menurut Wellyalina (2013), produk nugget yang memiliki elastisitas
baik adalah produk dengan bahan pengikat tepung maizena karena lebih
rendah mengandung kadar lemak dari tepung lainnya sehingga tidak cepat
menimbulkan ketengikan pada hasil olahan produk, selain itu tepung maizena
sangat baik untuk produk-produk emulsi karena mampu mengikat air dan
menahan air tersebut selama pemasakan. Produk pangan yang menggunakan
tepung maizena lebih renyah dibandingkan tepung lainnya.
Kadar amilopektin yang tinggi akan membuat yang dihasilkan
semakin lekat. Sampel yang memiliki nilai penerimaan tekstur terbaik pada
kelas A adalah sampel 821, sedangkan pada kelas B sampel 548. Keduanya
menggunakan variasi breading tepung terigu dan tapioka. Hal ini telah sesuai
dengan teori yang ada dimana baik tepung terigu dan tepung tapioka memiliki
kadar amolopektin tinggi sekitar 75%. Sedangkan menurut Yu (2006), dalam
Haliza (2012), kandungan amilosa dan retrogradasi pati berkolerasi dengan
sifat tekstur seperti hardness dan adhesiveness. Sampel dengan kandungan
amilosa tinggi diketahui memiliki nilai hardness yang tinggi dan
adhesiveness yang rendah.
g.
2. Saran
Saran yang bisa disampaikan adalah:
a. Sebaiknya dilakukan variasi penggunaan daging misal daging ayam
dan daging ikan sehingga terlihat perbedaannya.
b. Sebaiknya digunkan variasi filler pada pembuatan nugget agar sesuai
dengan tujuan acara yang sebenarnya.
c. Sebaiknya hanya dilakukan pembahasan pada satu kelas saja, karena
bila dilakukan pada 2 kelas, panelis yang digunakan berbeda orang
sehingga data menjadi bias.
DAFTAR PUSTAKA
Afrisanti, DW 2010. Kualitas kimia dan organoleptik nugget daging kelinci
dengan penambahan tepung tempe. Fakultas Pertanian UNS Surakarta.
Ali, MA, Daud A, Latip R A., Othman NH Islam M A. 2014. Impact of chicken
nugget presence on the degradation of canola oil during. International Food
Research Journal 21(2): 1119-1124.
Cahyadi, Wisnu 2006. Analisis dan aspek bahan tambahan pangan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Haliza W, Sari Intan Kailaku, Sri Yuliani 2012. Penggunaan mixture response
surfa ce methodology pada optimasi formula brownies berbasis tepung talas
banten (xanthosoma undipes K. Koch) sebagai alternatif pangan sumber
serat. J. Pascapanen 9(2) 2012 : 96 106.
Hartati, Puji 2006. Pengaruh penambahan berbagai jenis bahan pengikat terhadap
mutu nugget rajungan. Jurnal Agrisistem 2(1).
Kamal, Netty 2010. Pengaruh bahan aditif CMC (carboxyl methyl cellulose)
terhadap beberapa parameter pada larutan sukrosa. Jurnal Teknologi 1(17):
(78-84).
Kusumanegaram, Arum Intan, Jamhari, Yuny E 2012. Kualitas fisik, sensoris dan
kadar kolesterol nugget ampela dengan imbangan filler tepung mocaf yang
berbeda. Buletin Peternakan Vol. 36(1): 19-24.
Lukman, Ismed, Nurul Huda, Noryati I 2009. Physicochemical and sensory
properties of commercial chicken nuggets. Asian Jousnal of Food AgroIndustry 2(02): 171-180.
Maliluan C, Pramono Y.B, Dwiloka B 2013. Physical and sensory characteristic of
chicken nuggets with utilization rice bran to substitute wheat flour. Aaplied
Food Technology 2(2): 71-74.
Muchtadi, Tien, Sugiyono, Fitriyono A 2010. Ilmu pengetahuan bahan. Bogor:
Alfabeta.
Risti, Yustisia dan A. Rahayuni. 2013. Pengaruh penambahan telur terhadap kadar
protein, serat, tingkat kekenyalan dan penerimaan mie basah bebas gluten
berbahan baku tepung komposit (tepung komposit : tepung mocaf, tapioka
dan maizena). Journal of Nutrition College 2(4): 696-703.
Rohaya, Syarifah, Nida El Husna, Khairul Bariah 2013. Penggunaan bahan
pengisi terhadap mutu nugget vegetarian berbahan dasar tahu dan tempe.
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia 5(1): 7-11.
Saparinto, Cahyo, Diana H 2006. Bahan tambahan pangan. Yogyakarta: Kanisius.
Suarni, S. Widowati 2006. Struktur, komposisi, dan nutrisi jagung. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
Suprapto, Hadi 2006. Pengaruh substitusi tapioka untuk tepung beras ketan
terhadap perbaikan kualitas wingko. Jurnal Teknologi Pertanian 2(1): 19-23.
Wellyalina, F. Azima, Aisman. 2013. Pengaruh Perbandingan Tetelan Merah Tuna
dan Tepung Maizena terhadap Mutu Nugget. Jurnal Aplikasi Teknologi
Pangan 2(1): 9-17.
Winarno 2008. Kimia pangan dan gizi. Bogor: M-Brio Press.
ACARA IV
PENGARUH PERBEDAAN FORMULASI DAGING SAPI, TAPIOKA,
DAN RUMPUT LAUT (Eucheuma cottoni) PADA PEMBUATAN BAKSO
TERHADAP PENGUJIAN ORGANOLEPTIK
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bakso merupakan salah satu produk daging yang sudah tidak asing
lagi dan banyak digemari dan disukai pada kalangan masyarakat. Sebagian
konsumen menyukai produk bakso salah satu alasannya adalah karena
teksturnya yang kenyal, jika dikunyah terasa lembut dan rasanya enak.
Meskipun belum ada ketentuan ataupun standart dalam pembuatan bakso,
kriteria tersebut dapat dijadikan sebagai parameter kualitas.
Menurut Astawan dan Astawan (1989) dalam Avianita (1996), kualitas
bakso sangat ditentukan oleh kualitas daging, jenis tepung yang digunakan,
dan perbandingan banyaknya daging dan tepung yang digunakan untuk
membuat adonan. Ditambahkan bahwa pemakaian jenis bahan tambahan yang
digunakan, misalnya garam dan bumbu-bumbu juga berpengaruh terhadap
kualitas bakso segar. Penggunaan daging yang berkualitas tinggi dan tepung
yang baik disertai dengan perbandingan tepung yang besar dan penggunaan
bahan tambahan makanan yang aman serta cara pengolahan yang benar akan
dihasilkan produk bakso yang berkualitas baik.
Akan tetapi pada umumnya bakso yang dijual oleh para pedagang
bakso mempunyai tekstur kenyal yang mendekati keras, hal ini disebabkan
karena bakso tersebut menggunakan bahan baku tapioka dan daging sapi saja.
Oleh karena itu untuk memperbaiki tekstur pada bakso, maka perlu dicari
solusi untuk mengatasi hal tersebut. Adapun caranya adalah dengan
penambahan dengan rumput laut Eucheuma cottoni pada pembuatan bakso
yang diharapkan mampu menurunkan tingkat kekerasan pada bakso. Untuk
lebih meningkatkan nilai ekonomi dari rumput laut Eucheuma cottoni, maka
rumput laut Eucheuma cottoni dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan
selain tapioka dalam pembuatan bakso.
2. Perumusan Masalah
Permasalahan dalam praktikum Pengaruh Perbedaan Formulasi
Daging Sapi, Tapioka, dan Rumput Laut (Eucheuma cottoni) pada
Pembuatan Bakso Terhadap Pengujian Organoleptik adalah :
a. Bagaimanakah pengaruh perbedaan formulasi daging sapi, tapioka, dan
yang
disukai
B. TINJAUAN PUSTAKA
Bakso adalah produk makanan berbentuk bulat atau lainnya yang
diperoleh dari campuran daging ternak dan pati atau serelia dengan atau tanpa
tambahan makanan lain, serta bahan tambahan makanan yang diijinkan. Bakso
merupakan makanan yang mudah rusak (perishable food). Bakso merupakan
produk makanan yang umumnya berbentuk bulatan yang diperoleh dari
campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau
serelia dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain, serta bahan
tambahan makanan yang diizinkan. Kandungan gizi bakso terdiri dari kadar
protein minimal 9% b/b, kadar lemak maksimal 2% b/b, kadar air maksimal
70% b/b dan kadar abu maksimal 3% b/b (SNI 01-3818-1995). Bakso sapi
mengandung gizi seperti protein dan lemak serta mengandung kadar air tinggi
yang cocok untuk pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu, bakso sapi
mempunyai masa simpan yang relatif pendek (Arief, 2012).
Daging sapi merupakan produk makanan yang digemari dan hampir
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Disamping kandungan gizinya
lengkap, produk hewani ini memiliki nilai organoleptik spesifik, sehingga
cocok untuk masakan dan produk olahan tertentu. Daging sapi dapat diolah
dengan berbagai cara, yaitu dengan cara dimasak, digoreng, diasap,
dipanggang, disate atau diolah menjadi produk lain yang menarik selera,
antara lain : daging korned (corned-beef), sosis, dendeng, abon, daging asap
(smoke-beef), bakso (Hasrati, 2011). Berikut komposisi kimia daging sapi
dalam 100 gram bahan :
Tabel 4.1 Komposisi Kimia Daging Sapi dalam 100 gram bahan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Komponen
Air (g)
Protein (g)
Lemak (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin B1 (mg)
Energi (kkal)
Jumlah
66,00
18,80
14,00
11,00
170,00
2,80
30,00
0,08
207,00
jenis karaginoft, seperti Eucheuma sp, Chondrus sp, Hypnea sp, dan
Gigartina sp. (Zakaria, 2010).
Karaginan adalah polimer yang larut dalam air dari rantai linear dari
sebagian sulfat galaktan yang mengandung potensi tinggi sebagai pembentuk
lapisan tipis (Skurtys et al. dalam Chrismanuel 2012). Menurut Lacroix dan
Canh dalam Chrismanuel (2012) karaginan berasal dari rumput laut merah dan
merupakan campuran kompleks dari beberapa polisakarida. Lapisan tipis
polisakarida
memberikan
perlindungan
efektif
terhadap
pencoklatan
fungsional
pada
produk
daging,
mengaktifkan
protein
untuk
indusri makanan obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri
lainnya (Winarno, 2008).
Karkas ternak daging tersusun oleh kira-kira 600 jenis otot yang
berbeda ukuran dan bentuknya, berbeda pula susunan syaraf dan persediaan
darahnya, serta melekatnya pada tulang, persendin dan tujuan serta jenis
gerakkannya. Perbedan jenis ternak menunjukkan perbedaan dalam mioglobin
otot, teapi perbedaan yang besar adalah dalam hal warna dari mioglobin yang
timbul karena keadaan kimiawinya. Seperti halnya haemioglobin, mioglobin
juga dapat membentuk suatu senyawa tambahan yang dapat bereaksi dengan
oksigen dan mengakibatkan perubahan warna (Buckle, 2010).
Tekstur adalah karakteristik terpenting yang mempengaruhi karakter
bakso, sementara warna sedikit berperan dalam kualitas produk. Konsumen
lebih memilih produk yang bertekstur keras dan berwarna cerah. Tekstur atau
kekuatan
gel
dari
bakso
ayam
mengingkat
dengan
penambahan
C. METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu Praktikum
Praktikum
ini
dilaksanakan
di
Laboratorium
Rekayasa
dan
b. Pembuatan bakso
4. Rancangan Percobaan
Percobaan yang dilakukan dalam praktikum ini dibuat berdasarkan
kombinasi variasi atau fomulasi antara rumput laut Eucheuma cottoni,
tapioka, dan daging sapi. Formulasi yang digunakan sebanyak 5 formulasi,
setiap formulasi tersebut mempunyai komposisi tersendiri. Kelima
formulasi yang digunakan adalah sebagai berikut :
Tabel 4.2 Formulasi Daging Sapi, Rumput Laut Eucheuma cottoni dan
Tapioka pada Pembuatan Bakso
Komposisi
Daging Sapi
Rumput Laut
Tapioka (gram)
(gram)
(gram)
1
Formulasi 1
250
150
100
2
Formulasi 2
287,5
112,5
100
Formulasi 3
3
325
75
100
Formulasi 4
37,5
4
362,5
100
5
Formulasi 5
400
0
100
Sumber : Buku Petunjuk Praktikum Teknologi Daging dan Ikan (2014)
No
Formulasi
Parameter yang dipakai dalam uji organoleptik ini adalah tekstur, warna,
aroma, kenampakan, dan overall. Pada analisis setiap parameter tersebut
menggunakan program SPSS yang kepanjangannya Statistical Product
and Service Solutions dengan analisa variansi satu arah atau One Way
ANOVA dengan tingkat signifikansi atau tingkat kepercaayaan 95%
(p<0.05) serta dengan menggunakan uji DMRT yang kepanjangannya
Duncan Multiple Range Test untuk mengetahui beda atau tidak beda nyata
antar sampel.
2.76a
3.04a
2.36a
2.76a
2.40a
2.96a
2.92a
2.76a
3.00a
2.56a
2.24a
2.60a
2.48a
3.28b
2.76ab
2.84ab
3.08b
2.40a
3.00ab
2.64ab
Overal
l
2.56ab
3.12b
2.40a
3.12b
2.64ab
3.04, 2.36, 2.76, dan 2.40. Nilai dari parameter tekstur ini dari semua sampel
masih dalam kisaran sesuai dengan keterangan skor yaitu suka dan netral. Ini
berarti jika dilihat dari parameter tekstur, sampel yang paling disukai oleh
panelis adalah sampel 739 dan yang paling tidak disukai adalah sampel 521.
Ini dikarenakan pada sampel 739 tersebut merupakan formulasi yang memiliki
penambahan rumput laut paling banyak, sedangkan sampel 521 merupakan
fomulasi yang tanpa menggunakan rumput laut, ini sesuai dengan pernyataan
Kurniawan (2012) bahwa banyaknya rumput laut mempengaruhi tekstur
bakso. Parameter tekstur tersebut, dilihat dari tabel menunjukkan bahwa
nilainya tidak berbeda nyata dari semua sampel dengan ditunjukkan subset
yang sama dari semua sampel tersebut. Dari nilai yang tidak berbeda nyata
tersebut maka dari semua formulasi yang digunakan dalam praktikum kali ini
tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada parameter tekstur ini.
Dari nilai parameter warna 157, 521, 739, 912, dan 918 berturut-turut
adalah 2.96, 2.92, 2.76, 3.00, dan 2.56. Nilai dari parameter warna ini dari
semua sampel masih dalam kisaran sesuai dengan keterangan skor yaitu suka
dan netral. Ini berarti jika dilihat dari parameter warna, sampel yang paling
disukai oleh panelis adalah sampel 918 dan yang paling tidak disukai adalah
sampel 912. Menurut Soekarto dalam (Wiraswanti 2008) sifat produk yang
paling menarik perhatian konsumen dan memberikan kesan disukai atau tidak
adalah warna. Warna bakso selain dipengaruhi oleh rumput laut juga
dipengaruhi komposisi dagingnya. Daging memiliki pigmen khas daging yang
mempengaruhi warna dari bakso yang biasanya akan semakin coklat. Semakin
sedikit komposisi daging pada pembuatan bakso makan semakin pudar warna
khas daging pada bakso. Parameter warna tersebut, dilihat dari tabel
menunjukkan bahwa nilainya tidak berbeda nyata dari semua sampel dengan
ditunjukkan subset yang sama dari semua sampel tersebut. Dari nilai yang
tidak berbeda nyata tersebut maka dari semua formulasi yang digunakan
dalam praktikum kali ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada
parameter warna ini.
Dari nilai parameter aroma 157, 521, 739, 912, dan 918 berturut-turut
adalah 2.24, 2.60, 2.48, 3.28, dan 2.76. Nilai dari parameter aroma ini dari
semua sampel masih dalam kisaran sesuai dengan dengan keterangan skor
yaitu suka dan netral. Ini berarti jika dilihat dari parameter aroma, sampel
yang disukai panelis adalah sampel 157 dan yang paling tidak disukai adalah
sampel 912. Menurut Hasrati (2011) bau (aroma) merupakan sesuatu yang
diamati dengan indera penciuman. Aroma dan rasa bakso daging sapi
cenderung berasal dari kandungan lemak daging dari bahan penyusun bakso
tersebut. Dari parameter aroma sampel 157, 521 dan 739 tidak berbeda nyata,
sedangkan sampel 912 berbeda nyata dengan sampel yang lainnya, untuk
sampel 918 memiliki dua subset a dan b ini berarti untuk subset a maka tidak
berbeda nyata dengan sampel 157, 521 dan 739 sedangkan untuk subset b
berarti berbeda nyata dengan sampel 157, 521 dan 739, tetapi tidak berbeda
nyata dengan sampel 912. Ini berarti untuk parameter aroma menunjukkan
bahwa fomulasi yang berbeda memberikan pengaruh pada sebagian besar
aroma bakso yang dibuat.
Dari nilai parameter kenampakan 157, 521, 739, 912, dan 918 berturutturut adalah 2.84, 3.08, 2.40, 3.00, dan 2.64. Nilai dari parameter kenampakan
untuk semua sampel sesuai dengan keterangan skor masih dalam kisaran suka
dan netral. Ini berarti jika dilihat dari parameter kenampakan, sampel yang
paling disukai adalah sampel 739 dan sampel yang paling tidak disukai adalah
sampel 521. Menurut Puspitasari (2008) kenampakan merupakan sifat visual
bahan makanan yang meliputi ukuran, bentuk, warna, dan kesesuaian. Faktor
kenampakan berkaitan dengan tingkat gelatinisasinya, bila proses gelatinisasi
berlanjut maka kenampakan akan jelek (seperti bubur). Dari pernyataan tersebut
Dari parameter kenampakan sampel 157, 912, 918 memiliki dua subset a dan
b ini berarti untuk subset a maka tidak berbeda nyata dengan sampel 739 dan
berbeda nyata dengan sampel 521 sedangkan untuk subset b berarti berbeda
nyata dengan sampel 739, tetapi tidak berbeda nyata dengan sampel 521.
Sampel 739 berbeda nyata dengan sampel 521, begitupun sebaliknya. Ini
Dari parameter overall sampel 157 dan 918 memiliki dua subset a dan b ini
berarti untuk subset a maka tidak berbeda nyata dengan sampel 739 dan
berbeda nyata dengan sampel 521 dan 912 sedangkan untuk subset b berarti
berbeda nyata dengan sampel 739, tetapi tidak berbeda nyata dengan sampel
521 dan 912. Sampel 521 dan 912 tidak berbeda nyata dengan ditunjukkan
dengan subset yang sama dan nilai yang sama, untuk sampel 739 berbeda
nyata dengan sampel 521 dan 912 dengan ditunjukkan subset yang berbeda.
Ini berarti parameter overall menunjukkan pada formulasi yang berbeda
memberikan pengaruh pada sebagian bakso yang dibuat.
Tabel 4.4 Kriteria Mutu Sensoris Bakso Daging Sapi
Parameter
Kenampakan
Warna
Bau/Aroma
Rasa
Keterangan
Bentuk bulat, halus, berukuran seragam, bersih dan
cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak berjamur dan
berlendir.
Coklat muda cerah/sedikit agak kemerahan/coklat muda
hingga coklat muda keputih-putihan/abu-abu. Dan warna
tersebut merata tanpa warna lain yang menggangu.
Bau khas daging rebus segar dominan, tanpa
bau tengik/masam/basi/busuk dan bau
bumbu cukup tajam, tapi tidak berlebihan.
Rasa lezat, enak, rasa daging sapi dominan dan rasa
bumbunya cukup menonjol, tetapi tidak berlebihan.
yang
terdapat
pada
rumput
laut
membentuk
matriks
adalah 100 400 gram untuk setiap 1 kg daging sapi. Menurut Suprapti
dalam Hasrati (2012) dalam pembuatan bakso, tepung tapioka ini berfungsi
untuk memperbaiki dan menstabilkan emulsi, meningkatkan daya ikat air,
memperkecil penyusutan menambah volume dan memperbaiki tekstur bakso.
Dan karena harganya yang relatif murah, bila digunakan sebagai bahan
pengisi bakso, dapat menekan biaya produksi.
Garam dapur yang dibutuhkan dalam pembuatan bakso biasanya 2,5%
dari berat daging, sebagai bumbu penyedap dapat digunakan bumbu campuran
bawang merah, bawang putih dan merica bubuk (Wibowo dalam Arief, 2012).
Menurut Widyaningsih dan Murtini dalam Arief (2012) garam dapur berfungsi
untuk memperbaiki cita rasa, melarutkan protein dan sebagai pengawet,
konsentrasi garam yang digunakan mempunyai batasan yang pasti. Tekstur,
warna dan rasa dapat diperbaiki dengan menggunakan garam sebanyak 2
3%.
Bawang merah sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85 %, protein
1,55 %, lemak 0,3 % dan karbohidrat 9,2 %. Selain itu dalam umbi bawang
merah juga terdapat suatu senyawa yang mengandung ikatan asam
amino
yang tidak berbau, tidak berwarna dan dapat larut dalam air. Ikatan asam
amino ini disebut dengan alliicin (Wibowo dalam Wiraswanti, 2008). Bawang
merah mengandung cukup banyak vitamin B dan vitamin C dan biasanya
bawang
sativum)
meningkatkan
berfungsi
cita
rasa
sebagai
produk,
penambah
aroma
serta
untuk
meningkatkan
selera
makan
serta
meningkatkan daya awet bahan makanan. Belguith dalam Arief (2012) bahwa
bawang putih sebagai bumbu yang dapat digunakan sebagai obat untuk
pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit. Bawang putih juga bersifat
antibakteri dan sebagai penghambat untuk bakteri gram positif maupun gram
negatif
seperti
Escherichia
coli,
Salmonella,
Streptococcusnmutans,
Porphyromonas
gingivalis,
Staphylococcus,
Klebsiella,
Proteus
and
Helicobacter pylori.
Merica atau lada (Papernigrum) termasuk divisi Spermatophyta yang
sering ditambahkan dalam bahan pangan sebagai penyedap masakan dan
memperpanjang daya awet makanan (Rismunandar dalam Arief, 2012).
Merica, merupakan salah satu bahan bumbu untuk memberikan kesan rasa
pedas pada produk pangan serta dapat memperbaiki rasa dan aroma. Manfaat
lain adalah untuk meningkatkan nafsu makan, karena efek stimulasi dalam
saluran usus, sehingga memberikan reaksi rasa pedas dari pengaruh non volatil
ether extract yang terkandung dalam merica (Desrosier dalam Hasrati, 2011).
Menurut Widyaningsih dan Murtini dalam Arief (2012) es batu
dicampur pada saat penggilingan. Hal ini dimaksudkan agar selama
penggilingan daya elastisitas daging tetap terjaga sehingga bakso yang
dihasilkan akan lebih kenyal. Biasanya untuk hasil lebih baik, es yang
ditambahkan sebanyak 10-15% dari berat daging. Menurut Indarmono dan
Priyatna dalam Arief (2012) jumlah es (%) yang ditambahkan ke dalam
adonan memberikan pengaruh terhadap kadar air, Water Holding Capacity
(WHC), kekenyalan dan kekompakan bakso.
Penambahan garam pada daging dapat mempertahankan daya ikat air.
Karakteristik daging prarigor sangat optimal sebagai bahan baku produk
olahan daging emulsi karena pH dan kelarutan proteinnya masih maksimum
disebabkan protein aktin-myosin belum bersatu. Upaya mempertahankan
karakteristik daging prarigor perlu dilakukan guna mempertahankan kualitas
produk. Fosfat (Sodium Tripolyphosphate/STPP) dan garam (Natrium
Cloride/NaCl) memiliki kemampuan untuk menfasilitasi protein daging
sebagai pengemulsi. Berdasarkan hal tersebut, maka penambahan fosfat dan
garam pada daging prarigor diharapkan mampu mempertahankan kualitas
daging, sehingga diperoleh daging postrigor yang baik sebagai bahan baku
pembuatan bakso (Hatta, 2012).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas bakso menurut
Kharismawan (2002) adalah kondisi daging. Daging yang digunakan harus
masih segar karena memiliki daya ikat air dan kelarutan protein yang tinggi.
Kadar lemak pada daging yang mempengaruhi tekstur bakso dan protein yang
juga berfungsi sebagai pengemulsi. Faktor kimia daging seperti kadar air, pH
juga mempengaruhi kualitas bakso yang dibuat. Selain daging yang
mempengaruhi kualitas bakso adalah bahan pengisi yang digunakan dan
garam. Untuk yang mempengaruhi kualitas rasa bakso adalah suhu, senyawa
kimia dan interaksi dengan komponen rasa yang lain.
Menurut Wibowo dalam Hasrati (2011) daging dalam pembuatan
bakso mempunyai peranan yang sangat dominan, karena daging merupakan
bahan utamanya. Aroma, rasa dan tekstur dapat dipengaruhi oleh daging yang
digunakan, sehingga sangat menentukan mutu organoleptik bakso yang
dihasilkan. Dalam pembuatan bakso daging, kesegaran dan jenis daging
sangatlah mempengaruhi mutu dari bakso tersebut. Kesegaran daging ditandai
dengan penampakan yang mengkilap dan tidak pucat, tidak berbau asam atau
busuk. Teksturnya elastis atau sedikit kaku (tidak lembek), yaitu basah tapi
tidak lengket di tangan. Disamping itu dipilih daging yang tebal dan tidak
banyak lemak dan tidak berserat, sehingga rendemennya tinggi.
Oleh Widyaningsih dan Murtini dalam Hasarti (2011) dikatakan
bahwa daging yang digunakan harus daging segar dari ternak yang baru
dipotong. Dan sebaiknya jangan menggunakan daging yang telah dilayukan,
yaitu daging yang telah mengalami proses aging atau penuaan, karena bila
menggunakan daging yang telah layu, tekstur bakso yang dihasilkan menjadi
kurang kenyal. Daging yang digunakan harus yang bebas lemak dan jaringan
ikat. Sebaiknya berasal dari bagian paha belakang, paha depan, daging
penutup, tanjung, pendasar, gandik atau bagian-bagian lain yang berserat
halus. Jenis daging sapi yang baik untuk pembuatan bakso adalah : daging
(beef) bagian bahu atas maupun bahu bawah atau yang disebut : Sampil
(blade) yang merupakan daging yang tebal dan empuk yang komposisinya 5,5
% dari bobot karkas sapi.
Jika diurutkan dari nilai parameter tekstur dari yang paling disukai
sampai yang tidak disukai berturut-turut adalah dari sampel 739, 918, 157 dan
912, serta yang terakhir 521. Jika diurutkan dari nilai parameter warna dari
yang paling disukai sampai yang tidak disukai adalah dari sampel 918, 739,
521, 157 serta yang terakhir 912. Jika diurutkan dari nilai parameter aroma
dari yang paling disukai sampai yang tidak disukai berturut-turut adalah dari
sampel 157, 739, 521, 918, dan yang terakhir 912. Jika diurutkan dari nilai
parameter kenampakan dari yang paling disukai sampai yang tidak disukai
berturut-turut adalah dari sampel 739, 918, 157, 912, dan yang terakhir 521.
Jika diurutkan dari parameter overall atau keseluruhan dari yang paling
disukai sampai yang tidak disukai berturut-turut adalah dari sampel 739, 157,
918, 521, dan yang terakhir 912. Dilihat dari keseluruhan sampel 739 adalah
sampel yang terbaik untuk digunakan, ini sangat sesuai dengan pernyaataan
Kurniawan (2012) bahwa penambahan rumput laut akan membuat bakso
menjadi lebih kenyal atau dengan kata lain semakin banyak rumput laut yang
digunakan dalam praktikum maka akan membuat bakso menjadi lebih kenyal
dan lebih enak.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum Pengaruh Perbedaan
12. Urutan formulasi dari yang paling disukai secara keseluruhan pada
bakso rumput laut ini adalah sampel 739, 918, 157, 521, dan 912.
13. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas bakso adalah daging yang
digunakan (kesegaran, pH, kadar air, protein dan lemak), bahan
pengisi, garam dan bumbu yang digunakan, suhu yang digunakan saat
memasak dan suhu penyimpanan.
14. Komposisi daging pada bakso semakin tinggi maka warna bakso
semakin coklat (warna khas daging matang), kenampakan semakin
berongga, terkstur semakin padat dan secara keseluruhan disukai
konsumen.
2. Saran
Dari hasil praktikum yang telah dilakukan, disarankan untuk
menggunakan formulasi dengan daging sapi sebanyak 250 gram dan
penambahan rumput laut Eucheuma cottoni 150 gram serta tapioka
sebanyak 100 gram pada pembuatan bakso daging sapi. Pada perlakuan
atau formulasi tersebut dihasilkan bakso daging sapi yang secara
keseluruhan dapat diterima atau paling disukai oleh panelis. Dan dari
formulasi tersebut bisa dibuat sebagai acuan dalam pembuatan bakso
daging sapi yang menggunakan rumput laut yang kemungkinan juga
disukai oleh kalangan masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Arief HS, Pramono YB, Bintoro VP. 2012 Pengaruh Edible Coating dengan
Konsentrasi Berbeda terhadap Kadar Protein, Daya Ikat Air dan Aktivitas
Air Bakso Sapi selama Masa Penyimpanan. Animal Agriculture Journal.
Vol. 1. No. 2 : 100-108.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 2010. Ilmu Pangan. Jakarta : UI
Press.
Chrismanuel A, Pramono YB, Setyani BE. 2012. Efek Pemanfaatan Karaginan
Sebagai Edible Coating Terhadap pH, Total Mikroba Dan H2S Pada
Bakso Selama Penyimpanan 16 Jam. Animal Agriculture Journal. Vol. 1.
No. 2 : 286 292.
Effendi MS. 2009. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Bandung :
Alfabeta.
Hasrati E, Rusnawati R. 2011. Kajian Penggunaan Daging Ikan Mas (Cyprinus
Carpio Linn) terhadap Tekstur dan Cita Rasa Bakso Daging Sapi.
Agromedia. Vol. 29, No. 1 Maret : 17-31.
Hatta M, Murpiningrum E. 2012. Kualitas Bakso Daging Sapi dengan
Penambahan Garam (NaCl) Dan Fosfat (Sodium Tripolifosfat/STPP) pada
Level dan Waktu yang Bebeda. JITP. Vol. 2 No.1, Januari:30-38.
Huda, N., Y.H. Shen., Y. L. Huey., R. Ahmad., A. Mardiah. 2010. Evaluation of
Phsyco-Chemical Properties of Malaysian Commercial Beef Meatballs.
American Journal of Food Technology. Vol. 5 No. 1: 13-21.
Kharismawan MB. 2002. Kandungan Gizi Bakso Daging Ayam Broiler yang
Dibuat dengan Penambahan Konsentrasi Tepung Sagu dan Wortel yang
Berbeda. Skripsi. Program Studi Pengolahan Hasil Ternak, Institut
Pertanian Bogor.
Kurniawan AB, Al-Baarri AN, Kusrahayu. 2012. Kadar Serat Kasar, Daya Ikat
Air, dan Rendemen Bakso Ayam dengan Penambahan Karaginan. Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan. Vol. 1 No. 2 : 23-27.
Petracci M, Bianchi M. 2012. Functional ingredients for poultry meat products.
Pp 1-14. XXIV Worlds Poultry Congress. Salvador, 5 - 9 August 2012.
LAMPIRAN
DOKUMENTASI PRAKTIKUM
ACARA I
DOKUMENTASI PRAKTIKUM
ACARA II
DOKUMENTASI PRAKTIKUM
ACARA III
Gambar 3.1
Bahan-bahan
Gambar 3.2
dengan cobek
Pengalusan bumbu
Gambar 3.3
ayam dengan
Pencampuran daging
bumbu halus