Anda di halaman 1dari 4

Bab IX.

Kesimpulan
BAB IX
KESIMPULAN
1. Kondisi Geologi dan Aspek Pengontrol Mineralisasi
Kondisi geologi di daerah penelitian terdiri dari geomorfologi, stratigrafi dan
struktur geologi. Geomorfologi daerah penelitian terdiri dari 2 satuan, yaitu satuan
perbukitan struktural denudasional dan satuan perbukitan karst. Stratigrafi daerah
penelitian terdiri dari 4 satuan dari tertua hingga termuda, yaitu satuan perulangan
gradasi batupasir batulanau yang termasuk Formasi Halang dengan umur Miosen
Tengah Miosen Akhir. Kemudian diikuti secara tidak selaras pengendapan satuan
tuf yang diselaraskan dengan Formasi Kumbang yang berumur Pliosen Awal.
Kemudian secara tidak selaras diikuti pengendapan satuan batupasir karbonatan dan
satuan batugamping secara menjari yang termasuk dalam Formasi Tapak dengan
umur Pliosen Awal. Sedangkan struktur geologi yang terdapat di daerah penelitian
adalah kekar ekstensi, kekar gerus, lipatan (Sinklin Cihonje, Antiklin Gunung
Kembar dan Sinklin Dawuhan) dan sesar (Sesar Naik Kali Tajum, Sesar Geser Kiri
Menurun Babakan, Sesar Geser Kiri Paningkaban, Sesar Geser Kanan Menaik
Panaruban, dan Sesar Turun Menganan Watukandel).
Aspek geologi yang mengontrol mineralisasi di daerah penelitian didasarkan
pada 2 faktor yaitu litologi dan struktur geologi. Satuan perulangan gradasi batupasir
batulanau berperan sebagai batuan induk pada proses mineralisasi di daerah
penelitian. Satuan ini memiliki porositas dan permeabilitas yang baik sehingga
memungkinkan terjadinya penetrasi fluida meteorik menuju kedalaman yang lebih
dalam dan bertemu dengan fluida magmatik sehingga terjadi mixing dan cooling
kemudian terjadi pencampuran dengan fluida lain seperti larutan yang kaya CO 2 (air
bikarbonat) dan larutan yang bersifat asam (air asam sulfat) sehingga memungkinkan
terjadinya presipitasi mineral. Sedangkan litologi breksi diatrema dan satuan tuf
diperkirakan terbentuk bersamaan proses mineralisasi. Breksi diatrema terbentuk
pada mineralisasi tahap awal. Sedangkan satuan tuf tidak mengalami alterasi
dikarenakan memiliki permeabilitas yang kecil dan berfungsi sebagai lithocaps dalam

Geologi, Alterasi, Mineralisasi Bijih, dan Karakteristik Fluida Hidrotermal pada Endapan Emas Epitermal
Sulfidasi Rendah di Daerah Cihonje-Paningkaban, Kec. Gumelar, Kab. Banyumas, Propinsi Jawa Tengah

180

Bab IX. Kesimpulan


proses mineralisasi di daerah penelitian. Sedangkan struktur geologi yang mengontrol
mineralisasi adalah kekar ekstensi, Sesar Geser Kiri Menurun Babakan dan Sesar
Geser Kiri Paningkaban. Sesar geser ini mengontrol naiknya fluida hidrotermal yang
kemudian diteruskan ke permukaan oleh bukaan pada kekar ekstensi. Sistem bukaan
urat ini dikenal sebagai tipe Jogs yang bersifat transtensional. Bukaan ini berupa enechelon tension vein. Bukaan ini dicirikan dengan kehadiran urat yang tidak menerus.
Bukaan urat yang paling banyak terdapat mineralisasi bijih adalah urat dengan arah
barat laut tenggara.
Secara umum kontrol struktur terhadap mineralisasi dapat dijelaskan sebagai
berikut: Struktur lipatan dan sesar naik (Sinklin Cihonje, Antiklin Gunung Kembar,
Sinklin Dawuhan dan Sesar Naik Kali Tajum) merupakan struktur pre-mineralisasi,
sedangkan deretan sesar geser kiri (Sesar Geser Kiri Menurun Babakan dan Sesar
Geser Kiri Paningkaban) merupakan struktur syn-mineralisasi, kekar ekstensi
merupakan struktur pre-syn-mineralisasi, dan yang terakhir sesar paling muda yaitu
Sesar Geser Kanan Menaik Panuruban dan Sesar Turun Menganan Watukandel
merupakan struktur post-mineralisasi.
2. Karakteristik Mineralisasi
Alterasi hidrotermal di daerah penelitian dibagi menjadi 4 jenis alterasi yaitu
alterasi filik, alterasi argilik, alterasi sub-propilitik, dan alterasi lemah sub-propilitik.
Alterasi filik dicirikan oleh kehadiran mineral serisitkuarsapirit karbonat klorit.
Zona alterasi ini menempati satuan breksi diatrema. Mineral bijih yang terdapat pada
zona alterasi ini adalah pirit dan hematit.
Alterasi argilik dicirikan oleh kehadiran mineral illitsmektitillit/smektit
karbonatkuarsaserisitdikit klorit. Zona alterasi ini menempati satuan perulangan
gradasi batupasir batulanau. Mineral bijih yang terdapat pada zona alterasi ini
antara lain, pirit, arsenopirit, cubanite, emas, galena, sfalerit, kalkopirit, tenantit,
markasit, elektrum, perak, dan kovelit. Kehadiran pirit, arsenopirit, galena, sfalerit
dan kalkopirit cukup melimpah dibanding mineral lainnya.

Geologi, Alterasi, Mineralisasi Bijih, dan Karakteristik Fluida Hidrotermal pada Endapan Emas Epitermal
Sulfidasi Rendah di Daerah Cihonje-Paningkaban, Kec. Gumelar, Kab. Banyumas, Propinsi Jawa Tengah

181

Bab IX. Kesimpulan


Alterasi sub-propilitik dicirikan oleh kehadiran mineral kloritklorit/smektit
smektitkarbonat kuarsa zeolit. Zona alterasi ini menempati satuan perulangan
gradasi batupasir batulanau. Mineral bijih yang terdapat pada zona alterasi ini
antara lain pirit, galena, sfalerit, kalkopirit, markasit, dan hematit.
Alterasi lemah sub-propilitik dicirikan oleh kehadiran mineral klorit/smektit
karbonat. Zona alterasi ini menempati bagian distal/terluar dari zona mineralisasi.
Zona alterasi ini menempati satuan perulangan gradasi batupasir batulanau. Mineral
bijih yang hadir hanya pirit dan hematit.
Tekstur urat yang dijumpai di daerah penelitian antara lain normal banded,
cockade, crustiform, bladed, sakaroidal, dan comb. Sedangkan mineral gangue yang
mengisi urat tersebut antara lain mineral karbonat (kalsit, ankerit, dolomit, siderit,
rodokrosit, dan witherite) dengan sedikit kehadiran kuarsa, adularia dan serisit pada
tahap awal mineralisasi. Berdasarkan data geokimia kelimpahan unsur emas (Au)
hingga 83 ppm, perak (Ag) hingga 114 ppm, serta kelimpahan unsur tembaga (Cu),
seng (Zn) dan timbal (Pb) > 1% terdapat pada tekstur urat cockade-crustiform dengan
mineral gangue dominan berupa ankerit dan kalsit.
Berdasarkan interpretasi tekstur urat, mineralogi gangue dan bijih, serta
paragenesis mineral bijih, maka tahapan mineralisasi di daerah penelitian dapat dibagi
menjadi 5 tahapan, dimana tahap 1-4 merupakan tahap hipogen dan tahap 5
merupakan tahap supergen. Tahapan mineralisasi tersebut adalah tahap 1 (fluidized
breccia), tahap 2 (quartz vein), tahap 3 (carbonate-base metal), tahap 4 (late
carbonate), dan yang terakhir tahap 5 (supergene). Tahapan mineralisasi tersebut
berkisar pada suhu 230~>300 oC untuk tahap hipogen dan 150-210oC untuk tahap
supergen.
3. Karakteristik Fluida Hidrotermal
Berdasarkan analisis inklusi fluida, fluida hidrotermal di daerah penelitian
memiliki salinitas yang rendah berkisar antara 0,71 1,07 wt.% NaCl eq. pada
mineral induk kuarsa (tahap awal) dan 0,18 wt.% NaCl eq. pada mineral induk kalsit
(tahap akhir) dengan temperatur pembentukan antara 250,6 - 290 oC. Perkembangan

Geologi, Alterasi, Mineralisasi Bijih, dan Karakteristik Fluida Hidrotermal pada Endapan Emas Epitermal
Sulfidasi Rendah di Daerah Cihonje-Paningkaban, Kec. Gumelar, Kab. Banyumas, Propinsi Jawa Tengah

182

Bab IX. Kesimpulan


fluida hidrotermal menunjukkan telah terjadi percampuran fluida awal dengan fluida
yang lebih dingin dan kurang salin. Analisis temperatur pada sampel yang mewakili
mineralisasi di daerah penelitian menunjukkan kedalaman pembentukan endapan
berkisar pada 890 m dibawah paleosurface dengan tekanan sekitar 74,4 bar.
4. Tipe Endapan Emas
Berdasarkan karakteristik mineralisasi dan karakteristik fluida hidrotermal,
tipe endapan emas di daerah penelitian merupakan endapan epitermal sulfidasi rendah
dengan tipe Carbonate Base Metal Gold. Sistem endapan ini dicirikan oleh
kehadiran logam dasar dan emas yang cukup melimpah dengan mineral gangue yang
didominasi oleh mineral karbonat. Mineral karbonat ini diperkirakan merupakan hasil
presipitasi fluida hidrotermal awal yang bercampur dengan larutan yang kaya CO2
(larutan bikarbonat).

Geologi, Alterasi, Mineralisasi Bijih, dan Karakteristik Fluida Hidrotermal pada Endapan Emas Epitermal
Sulfidasi Rendah di Daerah Cihonje-Paningkaban, Kec. Gumelar, Kab. Banyumas, Propinsi Jawa Tengah

183

Anda mungkin juga menyukai