Anda di halaman 1dari 12

PENJAMINAN MUTU RADIOLOGI

BAB II
REGULASI PEMERINTAH TENTANG JAMINAN MUTU RADIOLOGI DAN KESELAMATAN
RADIOLOGI
A. Kebijakan Penjaminanan Mutu Kementerian Kesehatan
1. Pendahuluan
Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan sampai saat ini telah berkembang dengan
pesat, namun hal ini belum membuahkan hasil yang memuaskan dan belum dapat dinikmati oleh
seluruh masyarakat karena berbagai hambatan dan kendala, terutama dalam menghadapi
desentralisasi dan globalisasi saat ini.
Mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh berbagai sarana kesehatan pada berbagai
tingkat pelayanan baik pemerintah maupun swasta juga belum merata dan belum sepenuhnya dapat
memenuhi tuntutan kebutuhan pengguna jasa dan masyarakat.
Untuk mengatasi berbagai hal tersebut di atas maka mutu pelayanan kesehatan harus
ditingkatkan, karena dengan dilakukannya peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang
berkesinambungan akan meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan, yang pada akhirnya akan
berdampak pada peningkatan kualitas hidup individu dan derajat kesehatan masyarakat,
Kebijakan jaminan mutu pelayanan kesehatan akan menjadi pedoman bagi semua pihak dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan kesehatan yang dimaksudkan
adalah pelayanan kesehatan pada umumnya dan pelayanan penunjang kesehatan,
2. Pelayanan kesehatan dan Mutu Pelayanan
Mengacu pada ISO 2000, mutu diartikan sebagai degree to which a set of inherent
characteristics fulfills requirements. Mutu adalah sesuatu untuk menjamin pencapaian tujuan atau
luaran yang diharapkan, dan harus selalu mengikuti perkembangan pengetahuan professional terkini
( consist with current professional knowledge ). Untuk itu mutu harus diukur dengan derajat
pencapaian tujuan. Berpikir tentang mutu berarti berpikir mengenai tujuan. Mutu harus memenuhi
berbagai standar / spesifikasi.
Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh berbagai sarana/unit pelayanan kesehatan
haruslah dipandang sebagai suatu kegiatan yang menghasilkan produk dalam bentuk
pelayanan/service. Pelayanan yang berorientasi pada pasar ( market driven ) harus dapat
memberikan
kepuasan
kepada
pelanggan/client
satisfaction yang
dapat
terdiri
dari
pasien/keluarga/masyarakat, pemberi pelayanan/provider, pemasok atau pihak berkepentingan
lainnya.
Untuk
menjamin
mutu
pelayanan
kesehatan
maka
berbagai
komponen input, process dan output harus ditetapkan standar/spesifikasinya secara jelas dan rinci,
mencakup aspek manajemen dan teknis dengan berpedoman pada pencapaian visi dan pewujudan
misi yang telah ditetapkan bersama. Merumuskan visi dan misi harus dilakukan secara bottom up
dan disosialisasikan kepada seluruh karyawan.
Kebijakan dalam menjamin mutu pelayanan kesehatan, mencakup :
a.

Peningkatan kemampuan dan mutu pelayanan kesehatan melalui pengembangan dan pemantapan
jejaring pelayanan kesehatan dan rujukannya serta penetapan pusat-pusat unggulan sebagai pusat
rujukan (top referral).

b.

Penetapan dan penerapan berbagai standar dan pedoman dengan memperhatikan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi terkini dan standar internasional .

c.

Peningkatan mutu sumber daya manusia diarahkan pada peningkatan profesionalisme mencakup
kompetensi, moral dan etika.

d.

Penyelenggaraan Quality Assurance untuk mengendalikan dan meningkatkan mutu pelayanan


kesehatan disertai dengan Evidence-based Parcipitatory Continuous Quality Improvement.

e.

Percepatan pelaksanaan aktreditasi yang diarahkan pada pencapaian akreditasi untuk berbagai
aspek pelayanan kesehatan.

f.

Peningkatan public private mix dalam mengatasi berbagai problem pelayanan kesehatan

g.

Peningkatan kerjasama dan koordinasi antar berbagai pihak yang berkepentingan dalam
peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

h.

Peningkatan peran serta masyarakat termasuk swasta


penyelenggaraan dan pengawasan pelayanan kesehatan.

dan

organisasi

profesi

dalam

Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan agar lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat,
maka perlu dilaksanakan berbagai upaya. Upaya ini harus dilakukan secara sistematik, konsisten dan
terus menerus. Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan mencakup :
a.

Penataan organisasi
Penataan organisasi menjadi organisasi yang efisien, efektif dengan struktur dan uraian tugas yang
tidak tumpang tindih, dan jalinan hubungan kerja yang jelas dengan berpegang pada
prinsip organization through the function.

b.

Regulasi peraturan perundangan.


Pengkajian secara komprehensif terhadap berbagai peraturan perundangan yang telah ada dan
diikuti dengan regulasi yang mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut di atas.

c.

Pemantapan jejaring.
Pengembangan dan pemantapan jejaring dengan pusat unggulan pelayanan dan sistem rujukannya
akan sangat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan kesehatan, sehingga dengan demikian
akan meningkatkan mutu pelayanan.

d.

Standarisasi
Standarisasi merupakan kegiatan penting yang harus dilaksanakan, meliputi standar tenaga baik
kuantitatif maupun kualitatif, sarana dan fasilitas, kemampuan, metode, pencatatan dan pelaporan
dan lain-lain. Luaran yang diharapkan juga harus distandarisasi.

e.
1)

Langkah-langkah yang telah dan akan dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan
radiologi diantaranya adalah:
Pengembangan sumber daya manusia.
Penyelenggaraan berbagai pendidikan dan pelatihan secara berkelanjutan dan berkesinambungan
untuk menghasilkan sumber daya manusia yang profesional, yang kompeten dan memiliki moral dan
etika, mempunyai dedikasi yang tinggi, kreatif dan inovatif serta bersikap antisipatif terhadap berbagai
perubahan yang akan terjadi baik perubahan secara lokal maupun global.

2)

Quality Assurance
Berbagai komponen kegiatan quality assurance harus segera dilaksanakan dengan diikuti oleh
perencanaan dan pelaksanaan berbagai upaya perbaikan dan peningkatan untuk mencapai
peningkatan mutu pelayanan. Data dan informasi yang diperoleh dianalysis dengan cermat ( root

cause analysis ) dan dilanjutkan dengan penyusunan rancangan tindakan perbaikan yang tepat
dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Semuanya ini dilakukan dengan
pendekatan tailors model dan Plan- Do- Control- Action (PDCA)
3)

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan dengan membangun kerjasama dan
kolaborasi dengan pusat-pusat unggulan baik yang bertaraf lokal atau dalam negeri maupun
internasional. Penerapan berbagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut harus
dilakukan dengan mempertimbangkan aspek pembiayaan.

4)

Peningkatan peran serta masyarakat dan organisasi profesi.


Peningkatan peran organisasi profesi terutama dalam pembinaan anggota sesuai dengan standar
profesi dan peningkatan mutu sumber daya manusia.

5)

Peningkatan kontrol sosial.


Peningkatan pengawasan dan kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan
akan meningkatkan akuntabilitas, transparansi dan mutu pelayanan.
3. Kebijakan Jaminan Mutu Pelayanan Bidang Radiologi
Seperti halnya dengan pelayanan kesehatan pada umumnya, pelayanan bidang radiologi yang
merupakan pelayanan penunjang kesehatan juga perlu menjaga dan meningkatkan mutu
pelayanannya. Pelayanan radiologi merupakan pelayanan kesehatan yang menggunakan sinar pengion ataupun bahan radioaktif sehingga penggunaan bahan tersebut mempunyai dua sisi yang saling
berlawanan, yaitu dapat sangat berguna bagi penegakan diagnosa dan terapi penyakit dan di sisi lain
akan sangat berbahaya bila penggunaannya tidak tepat dan tidak terkontrol. Untuk itu setiap
pengguna ataupun pelaksana pelayanan radiologi harus senantiasa merjamin mutu pelayanannya
yaitu harus tepat dan aman baik bagi pasien, pekerja maupun lingkungan atau masyarakat
sekitarnya.
Kebijakan dan upaya peningkatan mutu pelayanan radiologi pada dasarnya juga sama seperti
kebijakan pelayanan kesehatan umumnya.
Berbagai upaya yang menjadi prioritas utama saat ini yang perlu segera dilaksanakan antara
lain :

a.

Regulasi perizinan penyelenggaraan radiologi

b.

Pemantapan jejaring pelayanan radiologi

c.

Penyelenggaraan quality assurance

d.

Penetapan dan penerapan berbagai stndar pelayanan radiologi

e.

Pemenuhan persyaratan dalam standar

f.

Pelaksanaan akreditasi pelayanan radiologi (radiodiagnostik dan radioterapi)

g.
h.

Peningkatan pengawasan pelaksanaan pelayanan radiologi baik oleh pusat yang dilakukan oleh
Depkes dan Bapeten maupun oleh daerah
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Upaya peningkatan mutu di bidang pelayanan radiologi harus dilakukan baik untuk kepentingan
diagnostik maupun untuk pengobatan, agar dengan demikian selain dapat memberikan mutu
pelayanan yang tepat dan teliti, sekaligus dapat meminimalkan interpersonal discrapancies dan

intrapersonal disagreement serta dapat memberikan perlindungan maksimal terhadap keselamatan


pasien, petugas dan lingkungan.
4. Penutup
Uraian di atas memberi gambaran tentang pentingnya pelayanan kesehatan yang bermutu,
termasuk di dalamnya pelayanan penunjang kesehatan yang mencakup antara lain pelayanan
radiologi dalam rangka upaya memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat serta era persaingan dan
keterbukaan.
Kebijakan jaminan mutu pelayanan kesehatan akan menjadi pedoman bagi semua pihak yang
berkepentingan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang bermutu melalui berbagai upaya
dapat dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang peran serta aktif masyarakat dan organisasi
profesi.
B.

Badan Pengawas Tenaga Nuklir

1. PENDAHULUAN
Di Indonesia, pemanfaatan radiasi untuk bidang kesehatan, untuk terapi maupun diagnostik,
menjadi semakin luas dan penting. Berbagai jenis peralatan sinar-X diagnostik seperti CT-Scan dan
C-Arm telah dimanfaatkan di berbagai kota kecil. Dalam kedokteran nuklir diagnostik, perangkat PET
Scan akan segera terwujud di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Pada beberapa
tahun terakhir, pemasanagan atau rencana pemasangan LINAC untuk radioterapi juga berkembang.
Untuk terapi, kontribusi penyembuhan berbagai jenis penyakit keganasan melalui radioterapi
di banyak negara maju sangatlah nyata [1][2]. Namun, dengan mempertimbangkan bahwa radiasi
memiliki efek-efek negatif tertentu dan sifat-sifat penyakit keganasan itu sendiri, suatu pengendalian
harus dilakukan. Seperti diketahui, radiasi yang ditujukan untuk menghancurkan sel-sel tumor
berpotensi pula untuk merusak jaringan sehat lainnya. Di sisi lain, dosis radiasi yang tidak diberikan
secara akurat dan terencana temponya kepada sel-sel tumor tidak dapat menghentikan laju
keganasannya atau bahkan dapat berakibat fatal terhadap organ tubuh lainnya. Dalam kedokteran
nuklir dan radiologi, pengendalian juga harus dilakukan mengingat (terutama) efek stokastik dan
deterministik dari radiasi.
Dengan demikian, jelas dibutuhkan suatu mekanisme atau sistem untuk memberikan jaminan
efektivitas, efisiensi, mutu maupun keselamatan dalam pemanfaatan radiasi di bidang kesehatan. Hal
tersebut dapat dilakukan melalui penetapan dan pelaksanaan program jaminan mutu (PJM) dan
kendali mutu, atau sistem manajemen mutu. Paper ini ingin menjelaskan kebijakan pengawasan
BAPETEN dan hal-hal terkait dengan jaminan mutu untuk pemanfatan dalam bidang kesehatan.
Diuraikan pula contoh yang cukup rinci dalam pemanfaatan radioterapi.
2. ASPEK LEGAL
Pengawasan jaminan mutu, termasuk untuk bidang kesehatan, tertuang dalam PP No 63
tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion (PP
63/2000). Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan di sini, yaitu:
2.1 Instansi berdampak radiologi tinggi
Pasal 26 dari PP 63/2000 menjelaskan bahwa Pemanfaat dengan dampak radiologi tinggi
wajib menyusun Program Jaminan Kualitas. Program tersebut harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan BAPETEN sebelum dilaksanakan, demikian pula apabila dokumen direvisi. Ketentuan
penyusunan diatur lebih jauh dengan Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN. Kemudian, Pasal 27 PP

yang sama mengatur bahwa BAPETEN melakukan inspeksi dan audit PJK untuk memastikan
efektivitas pelaksanaannya.
Pada saat ini, konsep final revisi atas PP ini sedang diproses pada tahap akhir. Ada banyak
perubahan yang diajukan. Dalam bidang jaminan mutu ini, sesuai dengan BSS-115 [3], PJM
seharusnya ditetapkan, diimplementasikan, dievaluasi dan dikembangkan oleh semua jenis
pemanfatan radisi, bukan hanya oleh yang berdampak radiologi tinggi. Kedalam penerapan hanya
perlu diatur, disesuaikan dengan ukuran fasilitas dan kegiatannya serta tingkat risiko yang
ditimbulkan.[1]
2.2 Monitor perorangan
Seperti diketahui, keselamatan pekerja radiasi secara tidak langsung ditentukan oleh laporan
hasil evaluasi monitor perorangan (film badge atau TLD) yang wajib digunakannya. Laporan ini
menjelaskan dosis radiasi yang diterima pekerja radiasi pada setiap periode tertentu. Dengan
demikian, adalah sangat penting bagi BAPETEN untuk memastikan mutu evaluasi yang dilakukan
oleh pengevaluasi tersebut.
Pasal 10 dari PP yang sama menjelaskan bahwa monitor perorangan harus dievaluasi oleh
laboratorium yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh BAPETEN. Akreditasi tentu dilakukan oleh
instansi yang berwenang, yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN). Penunjukan dilakukan oleh
BAPETEN untuk menjamin keselamatanbagi pekerja pada laboratorium pengevaluasi tersebut dan
masyarakat umum, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup; dan yang tak kalah pentingnya
adalah keselamatan pekerja yang menggunakan monitor perorangan itu sendiri. Untuk itu, salah satu
persyaratan yang diberikan BAPETEN kepada laboratorium pengevaluasi adalah memiliki sistem
mutu. Agar memudahkan, laboratorium dapat memilih standar mutu sebagaimana yang
dipersyaratakan untuk mendapatkan akreditasi, yaitu SNI 19-17025 [4].
Pada saat ini, Departemen Kesehatan mengoperasikan empat BPFK untuk melayani
permintaan evaluasi film badge fasilitas kesehatan. Keempat balai tersebut berlokasi di Medan,
Jakarta, Surabaya dan Makassar. Keempat BPFK telah mengajukan permohonan penunjukan dari
BAPETEN dan telah diproses pada tahap akhir.
2.3 Kalibrasi
Ada dua kalibrasi yang diatur dalam PP 63/2000, yaitu: Kalibrasi alat ukur radiasi (AUR) dan
kalibrasi keluaran radioterapi. Kalibrasi AUR secara langsung menentukan keselamatan pekerja
radiasi yang terlibat. Dengan AUR yang terkalibrasi baik, pekerja radiasi dapat menentukan tindakan
yang tepat: menentukan laju dosis di tempat bekerja dan memperkirakan dosis yang bakal ia terima
dengan memperhatikan niai batas dosis (NBD) sesuai dengan aturan yang ditentukan. Kalibrasi
keluaran radioterapi, di sisi lain, berhubungan langsung dengan keselamatan pasien.
Kedua jenis kalibrasi di atas memiliki fungsi yang sangat kritis dari segi keselamatan.
Sehingga, senada dengan Pasal 10, maka Pasal 30 mengatur bahwa kalibrasi Alat Ukur Radiasi dan
kalibrasi keluaran radioterapi harus dilakukan oleh laboratorium yang telah terakreditasi dan ditunjuk
oleh BAPETEN. Saat ini keempat BPFK yang dimiliki Kementerian Kesehatan sedang
mempersiapkan kompetensi mereka untuk dapat memberikan pelayanan kalibrasi ini. Sementara itu,
laboratorium kalibrasi PTKMR BATAN[2], satu-satunya laboratorium yang beroperasi memberi
pelayan kedua jenis kalibrasi, telah melayangkan permohonan penunjukan kepada BAPETEN, dan
masih dalam proses.
2.4 Pembuangan zat radioaktif

Pada pemanfaatan kedokteran nuklir terapi, sesalu ada limbah radioaktif yang harus dibuang
ke lingkungan. Buangan zat radioaktif ke lingkungan tidak boleh melebihi nilai batas radioaktivitas
yang ditentukan. Pengusaha instalasi harus melakukan pemantauan tingkat radioaktivitas buangan
zat radioaktif secara terus-menerus, berkala dan atau sewaktu-waktu. Pasal 16 PP 63/2000,
mengatur bahwa bila Pengusaha tidak melakukan pemantauan tersebut, maka, sejalan dengan Pasal
10 dan Pasal 30, ia dapat meminta bantuan dari instansi yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh
BAPETEN.
2.5 Status saat ini
Satu-satunya Perka yang memberi pedoman penetapan dan pelaksanaan PJM dibidang
kesehatan, sebagaimana diatur dalam PP 63/2000 tadi, untuk saat ini adalah SK No 21/KaBAPETEN/XII-02 tentang Program Jaminan Kualitas Instalasi Radioterapi (PJKIR) yang diterbitkan
tahun 2002 [5]. Dengan demikian, bab brikut akan membahas lebih jauh mengenai SK tersebut dan
metode penerapannya.
Meskipun belum ada Perka yang mengatur secara khusus mengenai jaminan mutu dalam
bidang radiodiagnostik ataupun kedokteran nuklir, tidak berarti BAPETEN melalaikan pengawasan
jaminan mutu untuk kedua bidang tersebut. Beberapa hal berikut perlu dicatat: Pertama,
pengendalian dokumen dan rekaman, seperti prosedur dan kartu dosis, yang merupakan salah satu
bagian terpenting dari jaminan mutu telah menjadi kewajiban setiap pemanfaat, sebagaimana diatur
dalam PP 63/2000. Kedua, saat ini pun BAPETEN sedang memfinalisasikan draf Perka tentang
jaminan mutu radiodiagnostik maupun kedokteran nuklir. Khusus untuk radiodiagnostik, draf
menginginkan adanya proses uji kepatuhan (compliance test) secara periodik bagi setiap perangkat
sinar-X. Sebagaimana kita ketahui, uji ini adalah bagian dari PJM. Demikian pula untuk kedokteran
nuklir, ada banyak pengendalian dan pengujian yang harus dilaksanakan.
3. JAMINAN MUTU RADIOTERAPI
3.1 Pengertian umum
Secara sederhana, PJM dalam bidang ini dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian
kegiatan yang sistematik dan terencana untuk memastikan bahwa dosis radiasi dan geometri sasaran
yang diberikan adalah akurat, dapat mematikan sel-sel tumor secara efektif dan masih dalam batas
toleransi bagi jaringan sehat di sekitarnya [5], [6].
Pendefinisan seperti di atas adalah sederhana namun cukup menyeluruh. Referensi [7]
mendefinisikannya secara lebih rinci. Dinyatakan, Jaminan Mutu (JM) adalah suatu perangkat
manajemen yang, melalui pengembangan kebijakan dan penetapan prosedur tinjauan (review),
bertujuan untuk memastikan bahwa setiap pemeriksaan dan pengobatan pada suatu bagian radiologi
adalah penting dan tepat guna bagi persoalan medik, serta hal ini dilaksanakan:

sesuai dengan protokol klinik yang sebelumnya telah diterima;

oleh personil yang terlatih secara mencukupi;

dengan peralatan yang dipilih dan berfungsi secara wajar;

untuk kepuasan pasien dan dokter rujukan;

dalam kondisi yang selamat, dan

dengan biaya yang minimum.

Dengan demikian, PJM harus memasukkan tinjauan berkala pola-pola yang dirujuk, protokol
klinik, kesempatan pelatihan yang berkesinambungan bagi staff, inspeksi fasilitas, pengujian
peralatan, dan prosedur administratif yang berkaitan dengan pengadaan. Singkatnya, tujuan akhir
dari JM adalah untuk meningkatkan perawatan pasien.
Dalam bidang radioterapi eksternal, [2] menggariskan pula bahwa tujuan utama JM adalah
untuk memastikan bahwa suatu dosis yang akurat diberikan kepada volume (tumor, pen.) yang
terdefinisi, dalam waktu yang terjadwal, dan dengan dosis yang terbatas bagi jaringan sehat di
sekelilingnya. JM juga merupakan kepatuhan total terhadap resep yang diberikan dan ketegasan
dalam pelaksanaannya (the total compliance with the prescription and the strictness of its
execution[3]) dengan menggunakan segala cara yang tersedia. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa
JM memungkinkan:

suatu evaluasi atas hasil yang didapat dalam suatu bagian dan antara pusat-pusat;
optimisasi pengobatan dengan mengkuantifikasikan ketidakpastian dan dengan mengurangi
risiko setiap kesalahan yang berhubungan dengan peralatan terhadap definisi volume target, akuisisi
data anatomik, penetapan rencana pengobatan, dan terhadap pelaksanaan pengobatan.
Definisi-definisi di atas sebetulnya bukan hanya saling melengkapi, namun memiliki pondasi
yang sama sebagaimana dijelaskan dalam konsep ALARA, melalui asas justifikasi, limitasi dan
optimisasi. Standar internasional terbaru mengenai proteksi radiasi dan keselamatan sumber [7]
menambahkan konsep itu dengan asas pembatas dosis (dose constraint.)suatu pengaturan bahwa
dosis yang diberikan kepada pasien untuk keperluan medik hendaknya dibatasi dengan level-level
tertentu yang disebut sebagai level panduan.
Langkah-langkah dalam menetapkan dan melaksanakan PJM dalam instalasi radioterapi.
Beberapa hal lain yang berkaitan akan dibahas pula seperti: persyaratan minimum; hal-hal yang
dapat mengancam kelangsungan program; hubungan program dengan masalah kesiapsiagaan nuklir,
akreditasi RS ataupun sertifikasi ISO; serta skema pengembangan secara nasional atau pembagian
peran institusi terkait.
3.2 Persyaratan minimum
Pada dasarnya, ada tiga komponen utama dalam setiap sistem, termasuk sistem pengobatan
radioterapi. Ketiga komponen itu adalah: Orang, Mesin/Fasilitas dan Antar-muka. Pasal 10 dari ref. [5]
menyatakan bahwa untuk menjamin kualitas, setiap pekerjaan di bidang radioterapi harus dilakukan
oleh tenaga-tenaga yang cakap, yang sekurang-kurangnya terdiri atas: (a) dokter spesialis onkologi
radiasi; (b) ahli fisika medis; (c) ahli radiografi terapi; (d) petugas dosimetri; (e) PPR bidang
kesehatan; dan (f) perawat kesehatan. Sepantasnya, dalam sistem peraturan perundang-undangan di
Indonesia, kecakapan itu dibuktikan riwayat pendidikan dan melalui proses sertifikasi. Peran lembaga
pendidikan formal (universitas atau akademi), asosiasi ilmiah/profesional dan lembaga litbang seperti
BATAN sangatlah penting dalam pembangunan SDM di bidang ini.
Desain dan perlengkapan minimum instalasi radioterapi diatus dalam Pasal 7 pada
Keputusan yang sama dan rinciannya diuraikan pada Lampiran IV. Fasilitas terapi berkas eksternal
disyaratkan memiliki: kamar pemeriksaaan, kamar simulator, kamar perencanaan pengobatan, kamar
cetak molding, kamar pengobatan, dan area ruang tunggu. Desain dari kamar simulator, kamar
perencanaan pengobatan dan kamar pengobatan harus dikonsultasikan dengan pembuatnya.
Persyaratan daya, sistem pendingin udara dan sistem kedaruratan haruslah diperhatikan.
Perlengkapan yang dibutuhkan dalam hal ini adalah: Simulator; sistem perencanaan pengobatan
(TPS); perlengkapan pengobatan seperti Unit Co-60; perlengkapan jaminan kualitas seperti sistem
dosimetri ionometrik; dan perlengkapan keselamatan radiasi.

Untuk brakiterapi laju dosis rendah (LDR) harus menggunakan perlengkapan manual atau
remote afterloading kecuali pada beberapa kondisi (implan tetap, implan mata). Apapun jenis
peralatan yang digunakan, alat itu akan membutuhkan kamar persiapan dan penyimpanan sumber,
kamar operasi, kamar perencanaan pengobatan dan kamar pasien. Fasilitas-fasilitas ini harus tidak
terlalu jauh terpisahkan untuk mengurangi jarak yang harus ditempuh oleh pasien dan sumber.
Kedekatan relatif dari fasilitas-fasilitas ini dapat secara signifikan mempengaruhi efisiensi dan alur
prosedur. Desain fasilitas harus menggabungkan fitur-fitur untuk menghindari pemindahan pasien
yang badannya mengandung sumber radioaktif melalui lift. Fasilitas sterilisasi aplikator juga akan
diperlukan. Proses sterilisasi harus memadai untuk menghindari kerusakan aplikator.
Fasilitas brakiterapi laju dosis tinggi (HDR) diharuskan untuk memiliki: kamar operasi atau
kamar bedah pasien rawat jalan, sistem pencitraan radiografis, kamar pengobatan, dan daerah
rencana pengobatan. Kedekatan fasilitas-fasilitas ini dapat secara signifikan mempengaruhi aliran
dan efisiensi prosedur. Tiga pilihan utama untuk tiga elemen pertama keperluan di atas, dalam urutan
biaya dari yang termurah adalah:
a.

kamar pengobatan untuk unit brakiterapi HDR, penggunaan bersama dari kamar operasi yang telah
ada atau kamar prosedur dan sistem imaging, seperti simulator. Pemindahan pasien (antara kamar
operasi, kamar pencitraan dan kamar pengobatan) mengurangi efisiensi dan menghalangi imobilisasi
sistem aplikator;

b.

kamar pengobatan untuk pemasukan aplikator terpisah dengan kamar untuk pencitraan. Kondisi
untuk anastesi dan sterilisasi memerlukan investasi yang signifikan dan juga staf medis lainnya
seperti dokter spesialis onkologi ginekologi, dan ahli anastesiologi harus memiliki komitmen untuk
melakukan pekerjaannya di luar situasi yang biasanya mereka bekerja. Seperti telah diterangkan di
atas, pemindahan pasien (antara kamar operasi, pencitraan dan pengobatan) mengurangi efisiensi
dan menghalangi imobilisasi sistem aplikator; dan

c.

kamar brakiterapi terpadu. Pilihan ini menambahkan sistem pencitraan ke dalam kamar pengobatan
pada butir b. Pilihan ini adalah pilihan yang paling efisien karena pasien tidak perlu dipindahpindahkan.
Perlengkapan yang dibutuhkan dalam sistem brakiterapi, LDR maupun HDR, dibagi ke dalam
lima kategori utama, yaitu: pencitraan, perencanaan pengobatan, pengobatan (termasuk
perlengkapan afterloading, sumber radiasi, penyimpanan sumber, transportasi, dan aplikator),
jaminan kualitas dan keselamatan radiasi, serta penanganan sumber.
Untuk memastikan unjuk kerjanya, Pasal II.13 BSS-115 [3] mempersyaratkan bahwa
perlengkapan instalasi radioterapi seperti generator radiasi dan yang berisi sumber radiasi terbungkus
yang dibutuhkan untuk paparan medis haruslah:

a.

sesuai dengan standar Internasional Electrotechnical Commission (IEC) yang berlaku dan
International Standard Organization (ISO) atau standar-standar lain yang dianggap setara; dan

b.

spesifikasi unjuk kerja, instruksi operasi dan pemeliharaan, termasuk instruksi proteksi dan
keselamatan, tersedia dalam bahasa utama dunia yang mudah dipahami oleh pengguna dan sesuai
dengan standar IEC atau ISO berkenaan dengan dokumen yang menyertainya, dan informasi ini
harus diterjemahkan dalam bahasa setempat apabila dibutuhkan. Pada saat peralatan yang dibuat
dalam satu negara akan diekspor ke negara lainnya dengan bantuan IAEA, bukti-bukti dokumen
(seperti salinan) dari standar nasional harus tersedia dengan penawaran harga untuk mengkaji
apakah standar nasionalnya telah sesuai dengan standar ISO dan IEC.
Sebagai antar muka yang menjembatani antara Orang dengan Mesin/Fasilitas adalah
prosedur. Sebetulnya, dalam sistem manajemen mutu [7], dokumentasi dibagi menjadi sekurangkurangnya menjadi 3 level. Pada Level 1 harus tersedia Program Jaminan Mutu (PJM) atau Manual
Mutu sebagai dokumen acuan utama, yang antara lain berisi Pernyataan Kebijakan Mutu sebagai

perwujudan dari tekad manajemen dan karyawan untuk memandang masalah mutu sebagai hal
utama yang ingin terus ditingkatkan. Sebagaiamana disebutkan dalam Pasal 3, Pengusaha Instalasi
wajib menyusun PJKIR untuk mendapat persetujuan BAPETEN sebelum ditindak-lanjuti. Namun,
hingga saat ini baru sebagian kecil RS terapi yang telah menyampaikan PJKIR kepada BAPETEN.
Level 2 terdiri atas prosedur manajemen dan prosedur teknis. Prosedur kendali dokumen dan
rekaman, prosedur kendali ketidak-sesuaian (non-conformance) dan tindakan korektif, prosedur audit
dan pengkajian, serta prosedur pengendalian kualifikasi SDM adalah contoh-contoh prosedur
manajemen yang harus disediakan. Sedangkan prosedur operasi dan prosedur kedaruratan adalah
bagian dari prosedur teknis.
Pada level 3 terdapat petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaan yang diturunkan dari setiap
prosedur yang dibuat, termasuk blanko checklist pemeriksaan perlengkapan secara rutin (tahunan,
bulanan, mingguan dan harian). Himpunan data dan dokumen acuan, lembar resep dan form
permintaan adalah dokumentasi yang dibutuhkan selama masa pelaksanaan dan rekamannya harus
dikendalikan. Kegiatan kendali kualitas yang diuraikan secara rinci pada Keputusan Kepala
BAPETEN ini membutuhkan banyak form checklist yang harus didokumentasikan secara rutin. Dari
aspek klinis, dokumentasi harus memasukkan pula hasil diskusi kasus klinis (clinical cases
conference) yang diselenggarakan setiap pagi, rencana dan pelaksanaan tindak lanjut klinis dan
kajian statistik terutama mengenai efektivitas pengobatan.
Ketiga elemen di atas (Orang, Mesin/Fasilitas dan Antar-muka) tentu tidak akan berjalan
dengan sendirinya tanpa adanya organisasi, yang dalam hal ini adalag organisasi jaminan kualitas
yang terdiri atas: pengusaha instalasi, ketua tim JK dan anggota tim JK. Sebagaimana lazimnya
organisasi mutu, ketua tim JK tanpa dibatasi oleh hambatan birokrasi harus dapat berhubungan
langsung dengan pengusaha instalasi. Harus dicatat pula bahwa tersedianya organisasi pun tidak
menjamin pelaksanaan sistem mutu yang efektif. Komitmen manajemen dan corporate culture akan
memainkan peran yang lebih penting. Peran stakeholder (seperti Departemen Kesehatan, organisasi
profesi, universitas, badan pengawas, dan bahkan umpan balik dari pasien dan keluarganya) juga
menjadi penting dalam menunjang keberhasilan institusi radioterapi.
3.3 Kesempatan dan ancaman
Terlepas dari beberapa kekurangan-kekurangan yang ada, Keputusan Kepala Bapeten
tentang PJKIR memberi banyak peluang bagi peningkatan efektivitas radioterapi melalui pelaksanaan
yang sistematis dan terencana. Pedoman-pedoman yang menjadi lampiran Keputusan tersebut
menguraikan secara lengkap mengenai format dan isi dokumen PJKIR, pedoman pelaksanaan
melalui aspek klinis maupun fisik dan aspek lainnya, rincian kendali kualitas, uraian persyaratan
desain dan perlengkapan, serta kualifikasi personil.
Mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan dalam Keputusan itu akan secara teknis maupun
administratif mempermudah sebagian besar proses akrediatasi RS maupun apabila pihak RS ingin
mendapatkan sertifikasi keluarga ISO 9000. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan hubungan
antara bab-bab dalam PJKIR dengan klausul-klausul ISO 9001-2001 atau SNI 19-9001-2001:
PJKIR
Bab I Pendahuluan
Definisi
Pernyataan Kebijakan Kualitas
Bab II Struktur Organisasi
Bab III Pelatihan dan Kualifikasi

ISO 9001-2001 atau SNI 19-90012001


0 Pendahuluan
3 Istilah dan definisi
5.3 Kebijakan mutu
5 Tanggung jawab manajemen.
6 Pengelolaan sumber daya,
terutama
6.2.2
Kompetensi,
kesadaran dan pelatihan

Bab IV Kendali Ketidaksesuaian


dan Tindakan Pembetulan
Bab V Kendali Dokumen dan
Rekaman
Bab VI Kerja
Bab VII Audit dan Pengkajian
Kualitas

8 Pengukuran, analisis dan


perbaikan,
terutama
8.3
Pengendalian produk yang tidak
sesuai; dan 8.5 Perbaikan.
4 Sistem Manajemen Mutu,
terutama
4.2.3
Pengendalian
dokumen; dan 4.2.4 Pengendalian
rekaman.
7 Realisasi Produk
8 Pengukuran, analisis dan
perbaikan,
terutama
8.2
Pemantauan dan pengukuran;
8.2.2 Audit internal; dan 8.4
Analisis data.

Tabel 1. Perbandingan antara isi PJKIR dengan ISO 9001:2000 (SNI 19-9001-200)
Pertemuan kerja mengenai JM dalam Radioterapi yang disponsori oleh IAEA dan
International Society for Radiation Oncology pada bulan Mei 1995 di Vienna [8] menghasilkan
beberapa konsensus penting. Antara lain, untuk menerapkan standar ISO 9000 yang telah terbukti
sebagai pedoman yang mudah digunakan dalam infrastruktur radioterapi. Tetapi hal tersebut
dilengkapi dengan dua catatan: (1) Uni Eropa telah mengeluarkan rekomendasi JK (Juni 95) untuk
peralatan: dalam rangka melengkapi rekomendasi ISO, persyaratan dasar lain (CE label) akan
diterapkan oleh Uni Eropa untuk setiap jenis peralatan; (2) Penerapan rekomendasi ISO 9000 per
se tidaklah memadai, sebab hal tersebut tidak dapat memastikan bahwa peralatan digunakan sebagai
mana mestinya oleh staf radioterapi. Dengan demikian, tiga tahun kemudian IAEA menerbitkan [6]
yang diadopsi menjadi Keputusan Kepala BAPETEN tentang PJKIR.
Kesempatan lain yang juga didapatkan dengan semangat keteraturan (sistematik), antisipatif
(terencana) dan pencegahan yang terdapat dalam PJKIR adalah bahwa program kesiapsiagaan
nuklir dengan mudah dapat direncanakan dan disusun. Seperti diketahui, persyaratan disusunnya
prosedur kedaruratan secara eksplit dinyatakan dalam Pasal 4 Keputusan Kepala BAPETEN tentang
PJKIR.
Suatu studi mengenai kecelakaan dalam radioterapi telah dilakukan oleh J. Novotny [9] untuk
150 kecelakaan yang dilaporkan, melibatkan lebih dari 3000 pasien dengan efek berlawanan, 15
pasien meninggal dan sekitar 5000 staf dan publik yang terkena paparan yang tidak
diperlukan. Analisis penyebab awal dan penyebab tambahan mengahsilkan tabel berikut:
Prosentase relatif
Penyebab
Kesalahan dalam pertimbangan
Kesalahan dalam prosedur
Kesalahan Profesional
Kesalahan komunikasi
Kesalahan piranti keras dan lunak
Pelatihan
Pengawasan
Kesalahan dalam interpretasi
Lainnya

5,7
29,8
16,7
15,7
4,6
8,5
6,0
7,0
6,0

Tabel 2. Prosentase relatif penyebab awal dan penyebab tambahan


pada kecelakaan radioterapi

Pelajaran yang diperoleh dari fakta di atas adalah bahwa kebanyakan dari kecelakaan
tersebut disebabkan oleh kurang atau tidak diterapkannya prosedur JK atau karena menilai rendah
(underestimating) prosedur JK. Akhirnya, Novotny menggariskan bahwa kebanyakan dari kecelakaan
itu sebetulnya dapat dihindari apabila PJK yang komprtehensif ditetapkan dan dijalankan secara
wajar pada seluruh departemen radioterapi, apapun ukurannya.
Selain kesempatan-kesempatan yang diberikan untuk memperbaiki keadaan, ada beberapa
hal yang dapat mengancam pelaksanaan PJKIR. Suatu ancaman besar adalah apabila instalasi
radioterapi tidak menyusun PJKIR ataupun menyusunnya hanya sebatas formalitas persyaratan
perizinan tanpa ada kesungguh-sungguhan dalam realisasinya. Komitmen manajemen adalah hal
utama. Komitmen berarti manajemen menyanggupi upaya sungguh-sungguh, pendanaan dan alokasi
waktu bagi setiap kegiatan yang dibutuhkan untuk memastikan mutu.
Dari segi SDM, secara umum masih perlu banyak pembenahan terutama untuk kualifiikasi
fisikawan medis, ahli radiografi terapi, petugas dosimetri, dan ketua/anggota tim jaminan mutu. Untuk
tiga kualifikasi pertama, maka universitas dan Departemen Kesehatan diharapkan dapat
menyelesaikan permasalahan itu sesegera mungkin. Apabila diperlukan, maka suatu crash
program dapat dicanangkan sebagai upaya penyelesaian jangka pendek. Untuk masalah kualifikasi
ketua/anggota tim jaminan mutu, pihak RS dapat bekerja sama dengan oragnisasi profesi (PDSRI
maupun PORI) dan BAPETEN. Suatu hal penting pula adalah masalah sertifikasi keahlian dalam halhal yang disebutkan di atas. Sebagai contoh, pelatihan dan ujian kualifikasi untuk mendapatkan Surat
Izin Bekarja (SIB) sebagai operator radiografi (OR) dan ahli radiografi (AR) dalam bidang industri
dilakukan oleh BATAN dan validasinya dilakukan oleh BAPETEN. Secara ringkas, adalah saat yang
tepat apabila Departemen Kesehatan membuat suatu master plan mengenai pembangunan (dan
kualifikasi) SDM dalam bidang radioterapi dan merealisasikannya dalam waktu dekat.
Dari segi SDM, juga sangat diperlukan interaksi antar personil atau antar bagian secara
sinergis. Tidak boleh ada kesombongan suatu jabatan fungsional terhadap jabatan fungsional lainnya,
sebagaimana tidak diperkenankannya seorang dokter yang tidak mau mendengarkan pertimbangan
profesional dari fisikawan medis, dosimetris maupun PPR. Suatu komunikasi yang efektif harus
dirawat setiap hari dan hal itu dapat dilakukan dalam diskusi kasus klinis.
Ketersediaan peralatan dan fasiltas dalam suatu instalasi radioterapi dapat merupakan
ancaman tersendiri. Apabila dalam suatu intalasi teleterapi tidak terdapat simulator dan TPS maka
tidaklah mungkin ada jaminan bahwa dosis radiasi dan geometri sasaran yang diberikan adalah
akurat, dapat mematikan sel-sel tumor secara efektif dan masih dalam batas toleransi bagi jaringan
sehat di sekitarnyasebagaimana yang menjadi tujuan utama dari PJKIR. Peralatan dosimetri
absolut dan pelaksanaan kalibrasi keluaran jelas mutlak diperlukan. Setiap instalasi radioterapi
hendaknya segera mengkaji kebutuhan peralatan dan fasilitas yang dibutuhkan sesuai dengan ref. [5]
maupun [6], serta segera melakukan pengadaan yang diperlukan. Dalam pengadaan ini, hendaknya
diperhatikan persyaratan standar dan spesifikasi teknis yang menjadi syarat pembayaran.
Untuk pengadaan peralatan yang belum ada panduan kendali kualitasnya dari IAEA,
seperti gamma knife, maka pengkajian yang lebih rinci mengenai hal tersebut perlu dilakukan. Dokter,
fiskawan medis dan staf teknis lainnya harus mendapat pelatihan yang memadai dari pabrikan
ataupun vendor mengenai sistem peralatan dan kendali mutunya. Yang menjadi baseline adalah
adanya jaminan bahwa dosis radiasi dan geometri sasaran yang diberikan adalah akurat, dapat
mematikan sel-sel tumor secara efektif dan masih dalam batas toleransi bagi jaringan sehat di
sekitarnya.
Hal strategis lain yang juga dapat mengancam kelangsungan realisasi PJKIR adalah
kesulitan, teknis maupun non-teknis, dalam melaksanakan audit mutu dan pengkajian efektivitas
PJKIR. Kursus Auditor Internal ISO 9000 yang secara tahunan diselenggarakan oleh Badan

Standardisasi Nasional (BSN) dapat merupakan masukan yang berharga. Pengkajian efektivitas
PJKIR harus dilakukan bersama-sama seluruh personil yang terlibat dalam PJKIR. Pengkajian dapat
dilakukan melalui diskusi, interview maupun dalam bentuk kuesioner. Pelbagai data statistik harus
disediakan, terutama mengenai hasil-hasil yang dicapai bagi setiap pasien yang ditangani. Secara
non-teknis, audit internal agak sulit dilakukan apabila masalah senioritas masih diberlaklukan
meskipun secara implisit.

Anda mungkin juga menyukai