Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi uraian atas teori-teori yang berkaitan dengan LSB, validitas
dan reliabilitas instrumen penelitian, dimensi kualitas produk serta metode yang
akan digunakan dalam pengembangan desain. Teori-teori tersebut diuraikan
dengan tujuan agar dapat dijadikan sebagai landasan dalam melakukan penelitian
ini. Selain itu bab ini juga berisi penjelasan tentang perbandingan antara
penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan penelitian ini.
2.1

Long Spinal Board (LSB)


LSB adalah alat yang digunakan untuk imobilisasi tulang belakang bagi

korban kecelakaan yang diduga memiliki cedera tulang belakang (American


College of Surgeons Committee on Trauma, 2004). Bentuk dasar dari seperangkat
LSB dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Tali Pengikat
Penahan Kepala
Penahan Leher
Papan LSB

Gambar 2.1

Seperangkat LSB Standar Merek Ferno (Sumber:


http://www.ferno.com.au/, 2015)

LSB serbaguna untuk digunakan pada lingkungan pra-Rumah sakit karena


memiliki beberapa fungsi lain diantaranya sebagai perangkat untuk pengangkatan
korban, perangkat untuk melakukan transfer korban, perangkat perlindungan
korban selama berada dalam kendaraan serta perangkat untuk imobilisasi korban
dengan fraktur berat pada tulang belakang, kaki atau panggul. Meskipun ada
banyak upaya untuk menggantikan penggunaan alat ini namun tidak ada
perangkat tunggal lainnya yang dapat tahan lama serta mampu melakukan banyak
tugas seperti yang dapat dilakukan oleh LSB (Hann, 2004).
Jenis lain dari LSB adalah Extrication Devices. Perangkat ini berupa jaket
semi-kaku yang dapat diikat di sekitar batang tubuh dan dapat diperpanjang ke
bagian kepala dan leher korban. Pada dasarnya fungsi extrication devices sama

dengan LSB namun penggunaan perangkat ini dikhususkan untuk mengurangi


pergerakan tulang belakang bagi korban yang ditemukan terjepit dalam kondisi
duduk atau berada dalam ruang yang terbatas (Tintinalli et al., 2010). Bentuk
dasar dari extrication devices dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2
2.2

Extrication Devices (Sumber: http://www.ferno.com.au/, 2015)

Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian


Syarat yang harus dipenuhi oleh suatu instrumen penelitian mencakup

persyaratan validitas, reliabilitas serta kepraktisan. Valid dalam artian instrumen


mampu mengukur dengan tepat apa yang akan diukur, reliabel dalam artian dapat
menghasilkan ukuran yang konsisten walaupun digunakan berkali-kali serta
praktis dalam artian mudah untuk dilaksanakan, mudah dimengerti, dan hemat
(Sanusi, 2010).
2.2.1

Validitas Konstruk
Validitas konstruk (construct validity) merujuk kepada kesesuaian antara

hasil pengukuran dengan konsep teoritis tentang customer requirement yang


diteliti. Dalam validitas konstruk skor-skor hasil pengukuran instrumen ditinjau
kemampuannya

dalam

merefleksikan

konstruk

teoritis

yang

mendasari

penyusunan instrumen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa validitas konstruk


dapat secara tepat menilai kesahihan suatu instrumen karena dapat menentukan
ketepatan dan kecermatan dalam mengukur apa yang hendak diukur. Semua
customer requirement pada instrumen yang telah memiliki validitas konstruk
berarti telah dapat mengukur konsep yang ingin diukur (Yusrizal, 2008). Beberapa

cara yang digunakan untuk menguji validitas konstruk adalah contrasted groups,
pengujian hipotesis, analisis faktor dan MT-MM (Devon et al., 2007).
Salah satu uji validitas dengan pengujian hipotesis dapat dilakukan dengan
mencari korelasi Pearson Product Moment menggunakan program SPSS. Analisis
ini dengan cara mengkorelasikan masing-masing skor item dengan skor total.
Skor total adalah penjumlahan dari keseluruhan item. Item-item pertanyaan yang
berkorelasi signifikan dengan skor total menunjukkan item-item tersebut mampu
memberikan dukungan dalam mengungkap apa yang ingin diungkap. Pengujian
menggunakan uji dua pihak dengan taraf signifikansi 0,05. Kriteria pengujian
adalah sebagai berikut (Putra et al., 2014):
1. Jika r hitung r tabel (uji dua pihak dengan sig. 0,05) maka instrumen
atau item-item pertanyaan berkorelasi signifikan terhadap skor total
2.

(dinyatakan valid).
Jika r hitung < r tabel (uji dua sisi dengan sig. 0,05) maka instrumen atau
item-item pertanyaan tidak berkorelasi signifikan terhadap skor total
(dinyatakan tidak valid).
Rumus dari korelasi Pearson Product Moment yaitu:
n . ( XY ) - ( X ) .( Y )
r hitung =
( n . X2 - ( X )2 ) .( n . Y2 - ( Y )2 )

...(2.1)
Keterangan:
X = Skor customer requirement
Y = Skor total customer requirement
n = Jumlah responden
2.2.2

Internal Consistency
Internal consistency adalah salah satu metode yang digunakan dalam

pengujian reliabilitas. Metode ini mengukur konsistensi dalam sebuah instrumen


dan mempertanyakan seberapa baik customer requirement di dalamnya dapat
mengukur perilaku responden dalam kegiatan pengukuran. Koefisien reliabilitas
pada metode ini diperoleh dari rata-rata interkorelasi antar semua customer
requirement pada hasil pengukuran (Drost, 2011).

Cara yang paling populer digunakan untuk uji reliabilitas dengan metode
internal

consistency

adalah

menghitung

koefisien

alfa.

Koefisien

alfa

dipopulerkan oleh Cronbach (1951) sehingga sering disebut dengan Cronbanchs


alpha. Kegunaan koefisien ini telah diakui secara umum dan lebih tepat
digunakan

untuk

memperkirakan

reliabilitas

pengukuran

yang

sifatnya

unidimensional. Hal ini mendasari pentingnya dilakukan perhitungan terhadap


Cronbanchs alpha ketika menggunakan skala Likert, karena skala Likert
termasuk unidimensional. Melalui Cronbanchs alpha, koefisien reliabilitas
internal consistency dapat diperoleh dengan menentukan hubungan antar satu
customer requirement dengan customer requirement lainnya dan hubungan antara
setiap customer requirement dengan keseluruhan customer requirement dalam
instrumen. Cronbanchs alpha biasanya berkisar antara 0 dan 1, namun
sebenarnya tidak ada batas bawah untuk koefisien reliabilitas ini. Internal
consistency dari suatu instrumen akan semakin besar jika Cronbanchs alpha
semakin mendekati nilai 1 (Gliem dan Gliem, 2003). Rumus Cronbanchs alpha
yaitu (Warmbrod, 2014):

Cronbanchs alpha

n
Vi
1 n - 1
Vobs

...(2.2)
Keterangan:

= Jumlah customer requirement pada instrumen

Vi

= Variansi dari nilai pada setiap

customer

requirement
Vobs

2.3

= Total variansi dari nilai keseluruhan pengukuran

Dimensi Kualitas Produk


Kualitas produk didefinisikan sebagai ukuran terpenuhi atau terlampauinya

harapan pengguna atas persyaratan yang ada pada produk. Kualitas produk
menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan bagi industri manufaktur sehingga
mendasari Garvin (1987) untuk mengembangkan kerangka pengukur kualitas
produk. Kerangka tersebut terdiri atas delapan dimensi kualitas yang telah

10

mencakup berbagai konsep (Ashim dan Qureshi, 2014). Besterfield (1994)


kemudian melengkapi kerangka ini dengan menambahkan dimensi response
sehingga total dimensi kualitas menjadi sembilan. Kesembilan dimensi kualitas
tersebut yaitu (Besterfield, 1994):
1. Performance
Dimensi ini mengacu pada karakteristik utama dari produk, seperti
kenyamanan dan keamanan.
2. Features
Dimensi ini mengacu pada karakteristik sekunder dari produk atau dapat
dikatakan sebagai karakteristik yang melengkapi fungsi dasar suatu produk
contohnya remote control pada televisi.
3. Conformance
Dimensi ini mengacu pada kesesuaian antara produk dengan spesifikasi
atau standar industri contohnya keahlian pekerja dalam membuat produk.
4. Reliability
Dimensi ini mengacu pada konsistensi produk dalam memenuhi fungsi
dasarnya selama dipakai atau dapat dikatakan sebagai besarnya
kemungkinan produk mengalami kerusakan dalam periode waktu tertentu.
5. Durability
Dimensi ini mengacu pada umur pakai produk atau jumlah pemakaian
produk yang dapat diperoleh sebelum produk mengalami kerusakan atau
perlu perbaikan.
6. Service
Dimensi ini mengacu pada pemecahan masalah atau penyelesaian keluhan
atas produk contohnya kemudahan dan kecepatan produk untuk diperbaiki.
7. Response
Dimensi ini mengacu pada interaksi antar muka manusia yang berkaitan
dengan produk contohnya keramahan agen penjualan produk terhadap
pengguna.
8. Aesthetics
Dimensi ini mengacu pada bagaimana produk dilihat, didengar atau
dirasakan contohnya tampilan luar dari produk.
9. Reputation
Dimensi ini berkaitan dengan citra produk selama ini contohnya merek
produk atau peringkat yang telah diraih produk.
2.4

Pengembangan Produk

11

Indifferent
One-dimensional
Reverse
Must-be
Attractive

Pengembangan produk memiliki risiko kegagalan yang besar sehingga

perusahaan harus fokus pada kekurangan yang terdapat pada produk kemudian
menemukan dan mengukur kebutuhan dan keinginan pengguna secara tepat (Zaim
dan Sevkli, 2002). Beberapa teknik yang digunakan dalam pengembangan produk
antara lain model Kano, QFD (Quality Function Deployment), TRIZ (Teoriya
Requirement Fulfilled
Resheniya Izobreatatelskikh Zadach) dan FMEA (Failure Mode Effect Analysis).

Teknik-teknik tersebut dapat membantu untuk mewujudkan atau meningkatkan


uirement Unfulfilled
kualitas karena memenuhi kriteria sebagai berikut (Mazur, 2000):
1. Dapat diukur atau menggunakan metrik.
Satisfaction
2.Customer
Secara sistematis
mengikuti langkah didefinisikan dengan input, analisis,
dan output.
3. Menghasilkan dokumentasi untuk dapat diperiksa dan digunakan kembali.
2.4.1 Model Kano
Customer Dissatisfaction
Model Kano dikembangkan pada tahun 1984 oleh Noriaki Kano. Melalui
model ini dapat dilihat hubungan antara terpenuhinya persyaratan produk dengan
kepuasan pengguna. Diagram kano dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3

Diagram Kano (Sumber: Kano et al., 1984)

Sumbu horizontal pada diagram Kano menunjukkan sejauh mana


customer requirement pada produk dapat memenuhi kebutuhan pengguna dan
sumbu vertikal menunjukkan sejauh mana pengguna puas terhadap produk. Pada
model Kano customer requirement yang terdapat dalam produk dibagi ke dalam
lima kategori berdasarkan pengaruh pemenuhannya terhadap kepuasan pengguna.

12

Kelima kategori tersebut adalah Attractive, One-dimensional, Must be, Indifferent


dan Reverse. Kategori yang mempengaruhi kepuasan pengguna tertinggi adalah
Attractive, One-dimensional dan Must-be (Qiting et al., 2013). Berikut ini
penjelasan dari kategori-kategori tersebut (Kano et al., 1984):
1. Must-be
Kategori ini mengacu pada persyaratan dasar produk. Customer
requirement yang termasuk ke dalam kategori ini minimal harus ada atau
terpenuhi dalam suatu produk. Jika customer requirement ini tidak
dipenuhi maka pengguna akan merasa tidak puas dan tidak tertarik dengan
produk. Namun jika customer requirement ini sepenuhnya terpenuhi,
pengguna tetap hanya akan memperoleh kepuasan di tingkat standar, tanpa
ada kepuasan tambahan.
2. One-dimensional
Kategori ini harus diprioritaskan dalam pengembangan produk karena bisa
menjadi sumber kepuasan pengguna terhadap produk. Pengguna akan
semakin puas jika customer requirement yang termasuk dalam kategori ini
terpenuhi di dalam produk namun sebaliknya jika tidak terpenuhi
pengguna akan merasa tidak puas.
3. Attractive
Kategori ini berkaitan dengan customer requirement yang tidak secara
eksplisit dinyatakan atau diharapkan pengguna. Terpenuhinya customer
requirement yang termasuk dalam kategori ini di dalam produk akan
memberikan kepuasan kepada pengguna namun jika tidak terpenuhi,
pengguna tidak akan memperoleh ketidakpuasan.
4. Indifferent
Kategori ini tidak memberikan pengaruh besar terhadap produk karena
terpenuhi atau tidaknya customer requirement yang termasuk ke dalam
kategori ini, tidak akan memberikan kepuasan atau ketidakpuasan terhadap
pengguna.
5. Reverse
Customer requirement yang termasuk ke dalam kategori ini akan
memberikan ketidakpuasan terhadap pengguna jika terpenuhi dan begitu
juga sebaliknya akan memberikan kepuasan terhadap pengguna jika tidak
terpenuhi.

13

Keuntungan penggunaan model Kano adalah sebagai berikut (Qiting et al.,


2013):
1. Menentukan prioritas pengembangan.
Model Kano menunjukkan bahwa kategori must-be memiliki prioritas
tertinggi dalam pengembangan produk. Jika kategori ini telah terpenuhi,
maka inevstasi sebaiknya lebih dititikberatkan kepada peningkatan kualitas
kategori one-dimensional dan attractive.
2. Pemahaman yang lebih baik terhadap persyaratan produk.
Penggunaan model Kano dapat memberikan kemudahan

dalam

mengidentifikasi secara kuantitatif customer requirement produk yang


dapat memberikan pengaruh lebih besar terhadap kepuasan pengguna
berdasarkan nilai koefisien kepuasan pengguna.
3. Pembeda antara karakteristik segmen pasar.
Segmen pasar yang berbeda dapat dibentuk berdasarkan harapan pengguna
terhadap produk yang ditunjukkan oleh hasil kuesioner dalam diagram
Kano.
4. Membantu dalam trade-off proses desain.
Model Kano bisa menentukan secara kuantitatif customer requirement
produk yang akan memberikan kepuasan lebih tinggi terhadap pengguna
jika dalam proses desain ditemui dua customer requirement yang
mengalami trade-off berdasarkan nilai koefisien kepuasan pengguna.
Langkah-langkah dalam menggunakan model Kano adalah sebagai berikut
(Qiting et al., 2013):
1.
Pembuatan kuesioner Kano
Kuesioner Kano terdiri atas dua jenis pertanyaan berpasangan (fungsional
dan disfungsional) terkait customer requirement. Pertanyaan disfungsional
merupakan bentuk negatif dari pertanyaan fungsional. Setiap pertanyaan
memiliki lima alternatif jawaban. Kelima alternatif jawaban tersebut diberi

2.

skor sebagai berikut:


1 = suka apabila dipenuhi (like)
2 = harus dipenuhi (must-be)
3 = netral (neutral)
4 = tidak suka tetapi jika dipenuhi tidak berpengaruh apapun (live with)
5 = sangat tidak suka jika dipenuhi (dislike)
Evaluasi hasil kuesioner

14

Langkah ini dilakukan dengan menggunakan tabel evaluasi Kano untuk


menghitung dan meringkas hasil. Tabel evaluasi Kano dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1

3.

Evaluasi Kano (Sumber: Qiting et al., 2013)

Keterangan:
A = Attractive
O = One-dimensional
M = Must-be
I = Indifferent
R = Reverse
Q = Questionable result
Menentukan kategori Kano
Frekuensi setiap kategori pada setiap customer requirement direkapitulasi
kemudian kategori kano untuk setiap customer requirement ditentukan
dengan Blauths formula. Aturan Blauths formula adalah sebagai berikut:
a. Jika frekuensi kategori (O + A + M) > frekuensi kategori (I + R + Q),
maka kategori yang dipilih merupakan kategori yang memiliki nilai
paling maksimum diantara (O, A, M).
b. Jika frekuensi kategori (O + A + M) < frekuensi kategori (I + R + Q),
maka kategori yang dipilih merupakan kategori yang memiliki nilai
paling maksimum diantara (I, R, Q).
c. Jika frekuensi kategori (O + A + M) = frekuensi kategori (I + R + Q),
maka kategori yang dipilih harus mengikuti urutan prioritas M > O >

4.

A > I.
Menentukan koefisien kepuasan pengguna
Koefisien kepuasan pengguna menunjukkan sejauh mana kepuasan
meningkat jika persyaratan produk terpenuhi atau sejauh mana kepuasan
berkurang jika persyaratan produk tidak terpenuhi. Hal ini berguna untuk
mengetahui rata-rata dampak persyaratan produk terhadap kepuasan semua
pengguna. Rumus untuk menghitung koefisien kepuasan pengguna yaitu:

15

Satisfaction Coefficients

A + O
= A + O + M + I

...(2.3)

O+M
-1
Dissatisfaction Coefficients = A + O + M + I
...(2.4)
Satisfaction coefficients berada pada kisaran nilai 0 dan 1 dimana semakin
mendekati nilai 1 maka pengaruh customer requirement tersebut terhadap
kepuasan pengguna semakin tinggi. Hal ini juga berlaku pada
dissatisfaction coefficients yang nilainya berada pada kisaran 0 dan -1
sehingga semakin mendekati -1 maka pengaruh customer requirement
terhadap ketidakpuasan pengguna akan semakin tinggi.
2.4.2

QFD (Quality Function Deployment)


QFD adalah metode perencanaan dan pengembangan produk yang

terstruktur dan memungkinkan tim pengembang untuk menentukan dengan jelas


keinginan dan kebutuhan pengguna kemudian mengevaluasi secara sistematis
dampak setiap usulan atas produk terhadap pemenuhan kebutuhan tersebut. Proses
dalam QFD terdiri atas 4 fase. Masing-masing fase tersebut menggunakan matriks
untuk menerjemahkan persyaratan pengguna sehingga setiap fase menghasilkan
persyaratan produk yang semakin spesifik. Fase-fase tersebut antara lain (Jaiswal,
2012):
1. Perencanaan Produk:
Fase ini dipimpin oleh departemen pemasaran dan menitikberatkan pada
pengumpulan data yang tepat atas pengguna. Pada fase ini dibuat HoQ
(House of Quality) yang mencakup dokumen persyaratan pengguna, data
garansi, peluang kompetitif, pengukuran produk, pengukuran produk
saingan, dan kemampuan teknis perusahaan untuk memenuhi setiap
persyaratan pengguna.
2. Desain Produk:
Fase ini dipimpin oleh departemen teknik. Selama fase ini konsep produk
dibuat dan spesifikasi part produk didokumentasikan. Part yang

16

ditetapkan paling penting untuk memenuhi kebutuhan pengguna kemudian


diserahkan ke fase selanjutnya.
3. Perencanaan Proses
Fase ini dipimpin oleh manufacturing engineering. Selama fase ini aliran
proses

manufaktur

dari

produk

dibuat

dan

parameter

proses

didokumentasikan.
4. Pengendalian Proses
Fase ini dipimpin oleh departemen penjaminan kualitas. Pada fase ini
indikator kinerja dibuat untuk memantau proses produksi, jadwal
perawatan dan pelatihan keterampilan bagi operator. Selain itu pada fase
ini ditentukan proses yang berisiko besar mengalami kegagalan sehingga
perlu memerlukan kontrol lebih untuk mencegah kegagalan tersebut.
Keuntungan yang diperoleh dengan penggunaan QFD antara lain (Jaiswal,
2012):
1. Minimasi waktu dan biaya pengembangan serta memperpendek siklus
desain. Selain itu secara signifikan mengurangi biaya, pengulangan dan
masalah start up.
2. Mengacu kepada kepuasan pengguna secara utuh.
3. Meningkatkan komunikasi dalam organisasi dimana partisipasi dan
kerjasama tim yang sifatnya multifungsi didorong secara bersama-sama.
4. Kualitas dan produktivitas pelayanan menjadi lebih tepat dalam proses
perbaikan yang berkesinambungan sehingga perusahaan dapat mencapai
kelas dunia.
5. QFD memperjelas prioritas pengguna untuk keunggulan kompetitif.
6. Memungkinkan seseorang untuk fokus secara proaktif pada persyaratan
pengguna di awal tahapan desain produk. Customer requirement yang
penting

diidentifikasi

untuk

menjadi

parameter

desain

sehingga

perencanaan produk jauh lebih mudah untuk dilaksanakan. Selain itu


diperoleh kepastian konsistensi antara perencanaan dan proses produksi
produk.

17

QFD tradisional memiliki banyak kelemahan dalam pelaksanaannya


terutama yang berkaitan dengan diagram HoQ (House of Quality). Kelemahan
tersebut antara lain (Zhang et al., 2014):
1.

Ukuran matriks yang terlalu besar sehingga memakan waktu dan

2.
3.

meningkatkan kompleksitas perhitungan .


Kelengkapan dan efektivitas kebutuhan pengguna tidak dapat dijamin.
Penentuan karakteristik teknis produk bergantung pada individu perancang

4.

yang tentunya memiliki subjektivitas yang kuat.


Metode QFD tradisional tidak melibatkan cara-cara khusus dan alat untuk

5.

memecahkan masalah yang inovatif.


Metode QFD tradisional tidak melibatkan metode untuk evaluasi
alternatif.
Kelemahan pada QFD tradisional tersebut telah mendorong perlunya

pendekatan baru untuk penerapan metode QFD yaitu dengan cara menggabungkan
QFD dengan teknik lainnya (Bouchereau dan Rowlands, 2000). Penelitian
Hashim dan Dawal (2012) telah menunjukkan bahwa integrasi model Kano dan
QFD dapat diterapkan dalam pengembangan produk yang ergonomis. Langkahlangkah pembuatan HoQ pada integrasi model Kano dan QFD yaitu (Hashim dan
Dawal, 2012):
1. Penentuan customer requirement
Customer requirement yang dimasukkan ke dalam HoQ adalah customer
requirement yang berdasarkan hasil model Kano termasuk kategori
attractive, one-dimensional atau must-be.
2. Penentuan k value
K value untuk kategori indifferent adalah 0, untuk kategori must-be adalah
0,5; untuk kategori one-dimensional adalah 1 dan untuk kategori attractive
adalah 1,5.
3. Penentuan tingkat kepentingan pengguna (i)
Nilai (i) untuk setiap customer requirement diperoleh dengan membagi
total nilai tingkat kepentingan pada setiap customer requirement dengan
jumlah pengguna. Nilai (i) berada pada rentang antara 1 sampai 5.
4. Penentuan nilai tingkat kepuasan pengguna (u)
Cara menentukan nilai (u) ini sama dengan nilai tingkat kepentingan,
5. Penentuan nilai adjustment factor (f)

18

Nilai adjustment factor ditentukan oleh nilai absolut maksimal antara


satisfaction coefficients dan dissatisfaction coefficients. Berikut ini rumus
untuk menentukan adjustment factor:
Adjustment factor = max ( [SC] , [DC] )
...(2.5)
Keterangan:
SC = Satisfaction coefficients
DC = Dissatisfaction coefficients
6. Penentuan nilai improvement ratio (R0)
Rumus untuk menentukan improvement ratio adalah sebagai berikut:
t
Improvement ratio (R0) = u
...(2.6)
Keterangan:
t = Target kepuasan pengguna
u = Tingkat kepuasan pengguna terhadap produk yang dikembangkan
7. Penentuan nilai adjusted improvement ratio (R1)
Rumus untuk menentukan nilai adjusted improvement ratio adalah:
Adjusted improvement ratio (R ) = (1 + f)k R
...(2.7)
1

Keterangan:
f = Adjustment factor
k = k value
R0 = Improvement ratio
8. Penentuan nilai adjustment importance (j)
Rumus untuk menentukan nilai adjustment importance adalah:
Adjustment importance (j) = R i
1

...(2.8)

Keterangan:
R1 = Adjusted improvement ratio
i = Tingkat kepentingan pengguna
9. Penentuan karakteristik teknis
Langkah ini dilakukan untuk menentukan syarat-syarat teknis apa yang
diperlukan untuk dapat memenuhi customer requirement. Seluruh
karakteristik teknis harus dapat terukur secara global dan dapat memenuhi
seluruh persyaratan pengguna (Zaim dan Sevkli, 2002).
10. Penentuan hubungan antar karakteristik teknis
Tujuan penentuan ini adalah untuk melihat hubungan positif dan negatif
diantara karakteristik teknis sehingga kontradiksi yang terjadi pada proses
desain dapat diidentifikasi. Hubungan antar karakteristik teknis ini ditandai
dengan simbol sebagai berikut (Zaim dan Sevkli, 2002):
= Hubungan antar kedua karakteristik teknis kuat dan positif

= Hubungan antar kedua karakteristik teknis lemah dan positif


= Hubungan antar kedua karakteristik teknis kuat dan negatif

19


= Hubungan antar kedua karakteristik teknis lemah dan negatif
11. Penentuan nilai relationship rating (r)
Nilai relationship rating diperoleh dengan menentukan hubungan antara
setiap karakteristik teknis dengan setiap customer requirement produk.
Hubungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2
Hubungan Karakteristik Teknis dengan Customer
Requirement (Sumber: Zaim dan Sevkli, 2002)

12. Penentuan nilai bobot absolut (AW)


Nilai bobot absolut ditentukan untuk masing-masing karakteristik teknis.
Rumus untuk menentukan bobot absolut adalah:
Bobot absolut (AW) = (i x r)

...(2.9)

Keterangan:
r = Relationship rating
i = Tingkat kepentingan pengguna
13. Penentuan nilai tingkat kepentingan absolut (AI)
Rumus untuk menghitung nilai tingkat kepentingan absolut adalah:
Tingkat kepentingan absolut (AI) = (r x j)

...

(2.10)
Keterangan:
r = Relationship rating
j = Adjustment importance
Seluruh langkah pembuatan HoQ dapat dilihat dalam matriks HoQ pada
Gambar 2.4.

Gambar 2.4
2.4.3

House of Quality (Sumber: Hashim dan Dawal, 2012)

TRIZ (Teoriya Resheniya Izobreatatelskikh Zadach)

20

TRIZ adalah pendekatan sistematis untuk menemukan solusi kreatif yang


lebih maju dalam penyelesaian masalah-masalah sulit dengan cara yang lebih efisien
dan efektif untuk memastikan bahwa solusi yang diterapkan masih relevan untuk
digunakan pada saat dan kondisi tersebut. TRIZ juga dipandang sebagai sebuah
filsafat, proses, dan serangkaian tools untuk menyelesaikan kontradiksi (Jani, 2013).
TRIZ membagi kontradiksi menjadi dua yaitu kontradiksi fisik dan
kontradiksi teknis. Kontradiksi fisik terjadi pada situasi di mana salah satu objek
memiliki persyaratan yang berlawanan. Kontradiksi ini dapat diselesaikan dengan
prinsip pemisahan. Sementara kontradiksi teknis terjadi ketika dua parameter teknis
saling bertentangan, dimana semakin baik suatu parameter maka parameter lain akan
semakin buruk. Kontradiksi ini dapat diselesaikan dengan matriks kontradiksi dan 40
prinsip inventif. Analisis kontradiksi adalah proses untuk mengidentifikasi dan
merumuskan kontradiksi tertentu dengan mengubahnya menjadi kontradiksi genetis
TRIZ mengandalkan 39 parameter teknis. Analisis kontradiksi adalah kunci untuk
menggunakan alat TRIZ. Setiap alat dalam TRIZ menyediakan solusi yang efektif
untuk inovasi produk. Selain itu alat yang utama digunakan dalam TRIZ juga
sederhana dan mudah digunakan. Alat-alat tersebut antara lain (Zhang et al., 2014):
1. 40 prinsip inventif
Prinsip ini digunakan untuk memandu perancang dalam mengembangkan
konsep solusi yang berguna untuk situasi inventif. Seluruh prinsip ini ada di
dalam matriks kontradiksi. 40 prinsip tersebut antara lain:
1) Segmentasi
2) Ekstraksi
3) Optimasi lokal
4) Ketidaksimetrisan
5) Penggabungan
6) Multi guna
7) Persarangan
8) Penyeimbangan
9) Pencegahan
10) Penyiapan
11) Pengamanan
12) Penyelarasan
13) Pembalikan
14) Pelengkungan
15) Pendinamisan / Adaptasi
21

16) Pelebihan / Pengurangan


17) Penambahan dimensi
18) Penggetaran
19) Periodesasi
20) Pemberlanjutan manfaat
21) Percepatan perlakuan
22) Pemanfaatan kerugian
23) Umpan balik
24) Perantara
25) Perbaikan sendiri
26) Penyalinan
27) Objek berumur pendek
28) Penggantian mekanik
29) Pneumatic dan hidrolik
30) Lapisan atau membran
31) Material berongga/berpori
32) Pengubahan warna
33) Homogenitas
34) Penghilangan dan pemunculan
35) Transformasi
36) Transisi
37) Pemuaian
38) Oksidator
39) Lingkungan netral
40) Material komposit
2. Matriks kontradiksi
Matriks kontradiksi ini berukuran 39 x 39 dan terdiri atas 39 parameter teknis
yang paling sering terlibat dalam proses desain. Setiap sel pada matriks
kontradiksi berisi 0 sampai 4 kemungkinan prinsip inventif yang dapat
digunakan untuk memecahkan kontradiksi pada pengembangan desain. 39
parameter dalam matriks kontradiksi antara lain:
1) Berat benda bergerak
2) Berat benda tidak bergerak
3) Panjang objek bergerak
4) Panjang objek tidak bergerak
5) Luas objek bergerak
6) Luas objek tidak bergerak
7) Volume objek berjerak
8) Volume objek tidak bergerak
9) Kecepatan
10) Kekuatan
11) Ketegangan dan tekanan
12) Bentuk
13) Stabilitas objek
14) Kekuatan

22

15) Daya tahan objek bergerak


16) Daya tahan objek tidak bergerak
17) Suhu
18) Kecerahan
19) Energi yang terpakai dari objek bergerak
20) Energi yang terpakai dari objek tidak bergerak
21) Tenaga
22) Limbah energi
23) Limbah zat
24) Kehilangan informasi
25) Buang waktu
26) Jumlah zat
27) Keandalan
28) Akurasi pengukuran
29) Akurasi manufaktur
30) Faktor berbahaya yang bekerja pada objek
31) Efek samping berbahaya
32) Kemampuan manufaktur
33) Kenyamanan penggunaan
34) Dalam perbaikan
35) Penyesuaian
36) Kompleksitas perangkat
37) Kompleksitas kontrol
38) Tingkat otomasi
39) Produktivitas
3. Prinsip pemisahan
Prinsip ini terdiri atas empat jenis yang setiap jenisnya berkaitan dengan 40
prinsip inventif. Empat jenis prinsip tersebut antara lain:
1) Pemisahan dari persyaratan ruang atau tempat yang berlawanan
2) Pemisahan dari persyaratan waktu yang berlawanan
3) Pemisahan dalam seluruh bagian
4) Pemisahan atas kondisi
Langkah penyelesaian kontradiksi dengan menggunakan TRIZ adalah
sebagai berikut (Zhang et al., 2014):
1. Identifikasi kontradiksi tertentu berdasarkan 39 parameter teknis
2. Penentuan jenis kontradiksi. Jika jenis kontradiksi adalah kontradiksi teknis,
maka kontradiksi tersebut dibagi ke dalam parameter yang ingin diperbaiki
dan parameter yang menjadi lebih buruk akibat perbaikan parameter tersebut.
Selanjutnya sesuaikan kedua parameter tersebut dengan matriks kontradiksi.
Jika jenis kontradiksi adalah kontradiksi fisik, maka pilih jenis prinsip
pemisahan yang paling sesuai dengan kontradiksi.
3. Pemilihan prinsip inventif yang paling sesuai diantara beberapa alternatif
pilihan prinsip inventif yang terdapat pada sel matriks kontradiksi yang

23

terpilih untuk kasus kontradiksi teknis atau pada jenis prinsip pemisahan
yang terpilih untuk kasus kontradiksi fisik.
4. Merumuskan solusi spesifik berdasarkan prinsip inventif yang paling sesuai.
2.4.4

FMEA (Failure and Mode Effects Analysis)


FMEA merupakan alat rekayasa desain dan manufaktur yang penting untuk

membantu mencegah kegagalan terjadi dan cacat diterima oleh pengguna.


Penggunaan metode ini membantu perancang dalam menemukan penyebab dan efek
dari kegagalan sebelum desain selesai. Oleh sebab itu integrasi antara QFD dan
FMEA sering dilakukan dalam pengembangan produk untuk menciptakan produk
yang berkualitas tinggi dan minim kegagalan. Dalam melakukan FMEA, produk dan
atau sistem produksi diperiksa untuk menentukan semua hal yang dapat
menyebabkan kegagalan terjadi. Jenis kegagalan tersebut antara lain:
1. Kegagalan karena desain yang salah atau tidak tepat.
2. Kegagalan karena metode manufaktur yang tidak tepat dan metode perakitan
yang tidak benar.
3. Kegagalan karena manajemen mutu yang buruk.
4. Kegagalan karena proses operasi yang tidak benar.
5. Kegagalan karena pertimbangan terhadap aspek sakit dalam desain yang
menyangkut keselamatan.
Tingkatan jenis kegagalan dalam FMEA dapat dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3

Tingkatan Jenis Kegagalan (Sumber: Hsiao, 2002)

Prosedur pelaksanaan FMEA adalah sebagai berikut:


1.
2.
3.
4.
2.5

Mengidentifikasi fungsi setiap bagian produk.


Mengidentifikasi alasan operasi tidak berjalan dengan mulus.
Menganalisis tingkat dari dampak dan memilih faktor kunci.
Mengusulkan strategi perbaikan untuk faktor kunci yang dipilih.
Penelitian Terdahulu

24

Penelitian terdahulu yang berkaitan dan mendasari penelitian ini dapat dilihat
pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Hashim dan Dawal (2012) menggunakan


integrasi metode Kano dan QFD dalam proses desain. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa dengan menggunakan integrasi kedua metode tersebut dapat
diperoleh desain stasiun kerja workshop baru yang lebih ergonomis karena sesuai
dengan antropometri dan kebutuhan siswa sebagai pemakai stasiun kerja. Hal ini
menunjukkan bahwa integrasi model Kano dan QFD juga dapat digunakan untuk
memperoleh desain LSB yang ergonomis pada penelitian ini.
Penelitian

yang

dilakukan

oleh

Hsiao

(2002)

bertujuan

untuk

menghasilkan desain produk mainan musik anak-anak yang sesuai dengan


keinginan konsumen melalui integrasi metode QFD, AHP, DFA dan FMEA.
Penerapan FMEA dalam penelitian ini terlihat dalam proses evaluasi desain
mainan musik yang telah dikembangkan sebelumnya dengan menggunakan
metode QFD. FMEA mampu menunjukkan faktor penyebab kegagalan pada
desain sehingga dapat dilakukan tindakan preventif sebelum proses produksi

25

produk dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi antara FMEA dan QFD
juga sesuai untuk diterapkan dalam pengembangan desain LSB ini.
Zhang et al. (2014) melakukan penelitian untuk menciptakan desain
kompor dapur yang ergonomis melalui integrasi beberapa metode yaitu
identifikasi kebutuhan konsumen, house of quality pada QFD, TRIZ serta fuzzy.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa integrasi beberapa metode tersebut
mampu meningkatkan proses desain sehingga diperoleh alternatif desain kompor
dapur yang inovatif, ergonomis dan teruji kelayakannya. Hal ini menunjukkan
bahwa metode TRIZ bisa digunakan pada penelitian pengembangan desain LSB
ini, sebagai tindak lanjut bila terdapat kontradiksi antar karakteristik teknis dalam
pembuatan House of Quality dengan metode QFD. Selain itu Zhang et al. (2014)
juga menghasilkan model terintegrasi yang dapat digunakan dalam proses desain
produk yang ergonomis lainnya. Model tersebut menunjukkan langkah-langkah
penggunaan keempat metode yang ada dalam penelitiannya. Adanya beberapa
metode pada penelitian Zhang et al. (2014) yang juga digunakan pada penelitian
pengembangan desain LSB ini seperti metode house of quality pada QFD dan
TRIZ menunjukkan bahwa model hasil penelitian Zhang et al. (2014) ini dapat
dikembangkan melalui penyesuaian model tersebut dengan langkah-langkah
penggunaan metode yang ada dalam penelitian pengembangan desain LSB ini.
Model hasil penelitian Zhang et al. (2014) dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut.

26

Gambar 2.5

Model Terintegrasi untuk Desain Produk yang Ergonomis


(Sumber: Zhang et al., 2014)

Penelitian Putra (2014) menunjukkan bahwa penggunaan QFD telah tepat


untuk menghasilkan rancangan LSB yang ergonomis. Namun kontradiksi antar
karakteristik teknis pada penelitian tersebut tidak dibahas lebih lanjut, sehingga
persyaratan desain LSB hasil penelitian Putra (2014) sebenarnya masih bisa
diinovasikan. Oleh sebab itu penelitian tentang pengembangan desain LSB ini
dilakukan dengan mengintegrasikan metode QFD dengan beberapa metode lain
agar persyaratan desain LSB yang diperoleh lebih optimal.
Penelitian yang dilakukan Bifadhlih (2014) menunjukkan bahwa integrasi
antara model Kano, QFD dan TRIZ dapat menghasilkan desain thresher yang
lebih ergonomis. Namun penelitian ini tidak mengevaluasi kegagalan yang
mungkin terjadi dari desain baru thresher. Oleh sebab itu penelitian tentang
pengembangan LSB ini dilakukan dengan mengintegrasikan model Kano, QFD,
TRIZ dan FMEA untuk mewujudkan desain hasil pengembangan LSB yang
ergonomis, sesuai dengan kebutuhan konsumen dan minim kegagalan.

27

Anda mungkin juga menyukai