Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan untuk
menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum tindakan/tenaga
kesehatanan selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang berguna
bagi kehidupan. Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan tepat, maka
sering dimanfaatkan untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan bahkan
pelayanan rawat jalan bagi penderita dan keluarga yang menginginkan pelayanan
secara cepat. Oleh karena itu diperlukan tenaga kesehatan yang mempunyai
kemampuan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan pengkajian gawat darurat
untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial
mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak di
perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan.
Asuhan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek pengkajian gawat
darurat yang diberikan kepada klien oleh tenaga kesehatan yang berkompeten di
ruang gawat darurat. Asuhan pengkajianyang diberikan meliputi biologis, psikologis,
dan sosial klien baik aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak, maupun
resiko tinggi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi asuhan pengkajian gawat
darurat, yaitu : kondisi kegawatan seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien
maupun jumlah klien yang datang ke ruang gawat darurat, keterbatasan sumber daya
dan waktu,
kesehatan yang bekerja di ruang gawat darurat, pengkajian diberikan untuk semua
usia dan sering dengan data dasar yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan
harus cepat dan dengan ketepatan yang tinggi (Maryuani, 2009).
Mengingat sangat pentingnya pengumpulan data atau informasi yang mendasar
pada kasus gawat darurat, maka setiap tenaga kesehatan gawat darurat harus
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
Tenaga kesehatanan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak
berbeda dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa,
pengkajian dan manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan
dilakukan oleh dokter yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus langsung
memberikan pengarahan secara keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap
pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde, 2009) :
1. Primary survey
2. Resuscitation
3. History
4. Secondary survey
5. Definitive care
A. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari
tenaga kesehatanan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti
oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui
pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert.,
DSouza., & Pletz, 2009) :
a) General Impressions
1. Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
2. Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
3. Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka
jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi
selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau
dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
1. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
2. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
a. Adanya snoring atau gurgling
b. Stridor atau suara napas tidak normal
c. Agitasi (hipoksia)
d. Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
e. Sianosis
3. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
a. Muntahan
b. Perdarahan
c. Gigi lepas atau hilang
d. Gigi palsu
e. Trauma wajah
4. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
5. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
6. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
a. Chin lift/jaw thrust
b. Lakukan suction (jika tersedia)
c. Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask
Airway
d. Lakukan intubasi
c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai,
maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase
tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan
(Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
1. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
a. Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
b. Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan
pneumotoraks.
c. Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
2. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
3. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
4. Penilaian kembali status mental pasien.
5. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
6. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
a. Pemberian terapi oksigen
b. Bag-Valve Masker
c. Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
6
2. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bias
dimengerti
3. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas
4. awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
5. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
f) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk
dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien.
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan
telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,
kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
1.
2. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak
stabil atau kritis. (Gilbert., DSouza., & Pletz, 2009)
B. Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan
setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tandatanda syok telah mulai membaik.
10
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan
utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial,
dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien
secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa,
budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan
anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran
mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien
dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A: Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M: Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P:
L:
Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam komponen ini)
E:
Events, hal sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk
dalam -hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan
dengan kondisi pasien.
Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan
beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):
a. C. have you ever felt should Cut down your drinking?
b. A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
c. G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
11
d. E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your
nerver or get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah
konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan
dalam proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : dalam
setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu (Emergency Nursing Association,
2007):
a. Hurt you physically?
b. Insulted or talked down to you?
c. Threathened you with physical harm?
d. Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien
yang meliputi :
a. Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa
yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda
terbangun saat tidur?
b. Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,
tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan
pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
c. Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
d. Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak
ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
e. Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa
lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah
pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan
nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan
tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi
oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
12
13
Komponen
Suhu
Nilai normal
36,5-37,5
Keterangan
Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial
dengan pengukur suhu.
Suhu dipengaruhi oleh
aktivitas, pengaruh
lingkungan, kondisi
Nadi
60-100x/menit
Respirasi
12-20x/menit
dan kesamaan.
Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi,
auskultasi suara nafas, dan
inspeksi dari usaha
bernafas. Tada dari
peningkatan usah abernafas
adalah adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi
interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat
Saturasi oksigen
>95%
penuh.
Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan
hal ini penting bagi pasien
dengan gangguan respirasi,
penurunan kesadaran,
penyakit serius dan tanda
vital yang abnormal.
Pengukurna dapat
dilakukan di jari tangan
Tekanan darah
120/80mmHg
atau kaki.
Tekana darah mewakili dari
gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan
tahanan vaskuler perifer.
Tekanan sistolik
menunjukkan cardiac
output, seberapa besar dan
seberapa kuat darah itu
14
2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang
kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk
adanya pigmentasi,
perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata
nyeri,
gatal-gatal,
ptosis,
exophthalmos,
apabila
ada
deformitas
(pembengkokan)
4) Rahang atas
expansi
dinding
dada,
penggunaan
otot
Auskultasi
ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk
mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah
kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas
yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal,
dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG
16
(Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala
mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi
berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila
diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis
menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam
keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk
mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema,
atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan
sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari
lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan
tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan
adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat,
karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh
memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua
wanita usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra
pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury.
Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin
(pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12
kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan
keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil,
frekuensi, hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk
analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan
lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat
pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat
menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan
intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran
darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau
kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam,
lesi,
kontraktur, sedangkan
serta catat
17
adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat
s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat
pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat
menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat
disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat
dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin
menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat
didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila
belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul
adalah :
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga
terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam
keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah
kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan
pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet,
luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada
kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status
neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan
oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan
short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai
terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk
melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih
dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita
memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis.
18
Pertimbangan
Pastikan bahwa peralatan airway : Oro
Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask
Airway , maupun Endotracheal Tube
(salah satu dari peralatan airway) tetap
efektif untuk menjamin kelancaran jalan
napas. Pertimbangkan penggunaaan
peralatan dengan manfaat yang optimal
dengan risiko yang minimal.
19
Breathing
Circulation
Disability
Balance cairan
Exposure
fraktur
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika
penderita dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan
secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih
spesifik seperti :
1)
Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan
Esofagus
arises,erosi,ulkus,tumor
b.
Gaster
: Erosi, ulkus,
Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra
CT Scan
21
USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik
gelombang suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk
menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat mendengar
gelombang suara 20-20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14
kilohertz digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat
yang disebut transducer atau probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan kembali
gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul
tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup
tergantung dari rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat menayangkan
suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan berwarna. USG bisa
dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011)
5)
Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di
adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan
ini. Ini karena pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan
berbanding pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak, 2012).
6)
digunakan pada kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi
adanya emboli paru, udara bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya
adalah prosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali
rumah sakit yang memiliki, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat
diapaki pada pasien yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu
pendengaran ( Widjaya,2002 ).
23
BAB III
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang
memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain
di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan
psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan
intervensi terapeutik segera, antara lain: (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto,
2010)
a.
b.
c.
d.
e.
Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat
aadalah tujuan utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan
segera yang harus dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara
ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat.
Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat
melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif,
negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh
terhadap informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan
mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa
yang dkatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan
dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik
24
High-potency
antipsychotics
seperti
haloperidol,
Delirium
Skizofrenia katatonik
Gangguan skizotipal
Gangguan psikotik akut dan sementara
Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
Amok
26
meningo-ensefalitis,
gangguan
pembuluh
darah
otak,
neoplasma
intracranial, dan sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus
abdominalis, pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol,
dan sebagainya) dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi
sebagai psikosa atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan
patologik-anatomik pada otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut
biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik menahun
biasanya terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik menahun
(misalnya tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat
saja pada suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk
mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan evaluasi internal
dan neurologis yang teliti (Maramis dan Maramis, 2009).
2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal
Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu
merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak
berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan
dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.
Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita.
Secara mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat
inkoherensi serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas
maka hal ini biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga
tidak ada perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses
berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecahbelah atau bercabang = schizo; jiwa = phren), yaitu yang satu meningkat, tetapi yang
lain menurun. Pokok gangguannya terletak pada proses berpikir (Maramis dan
Maramis, 2009).
Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduhgelisah ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik.
27
Di samping psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afekemosi yang inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi (Maramis dan
Maramis, 2009).
3. Gangguan psikotik akut dan sementara
Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang
dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau
konflik dari dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya
dengan tiba-tiba kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan
bencana.Gangguan psikotik akut yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah adalah
gaduh-gelisah reaktif dan kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).
4. Psikosis bipolar
Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok
gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang
menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang
dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah
itu. Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada
skizofrenia; pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun,
maka aspek yang lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata
yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat
atau melayang (flight of ideas). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal
dianggap mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara (logorea) dan
sering ia lekas tersinggung dan marah (Maramis dan Maramis, 2009).
5. Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan
Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok
Fenomena dan Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia
(culture bound phenomena). Efek malu (pengaruh sosibudaya) memegang
peranan penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode meditasi atau tindakan
ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan
destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi kemudian
terhadap siapa saja dan apa saja yang dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun
atau berkabut (seperti dalam keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau
28
sebagian. Amok sering berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang
lain, karena kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin
sampai ia menemui ajalnya(Maramis dan Maramis, 2009).
Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan
Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007):
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
kekerasan.
Kegelisahan katatonik
Episode manik
Episode depresi agitatif
Gangguan Kepribadian tertentu
30
Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak
mengamuk lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati
keadaan fisik bila sudah terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis
skizofrenia dan bipolar memerlukan pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika
(Maramis dan Maramis, 2009).
B. Tindak kekerasan (violence)
Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi diri
atau tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul
akibat berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang
tidak dapat mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.
a. Gambaran klinis dan diagnosis
Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:
1. Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid
dan
2.
3.
4.
5.
6.
mengalami
halusinasi
yang
bersifat
suruhan
(commanding
hallucination),
Intoksikasi alkohol atau zat lain,
Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif
Katatonik furor
Depresi agitatif
Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan
pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan
antisosial),
7. Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan
temporalis otak.
Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :
1. Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
kekerasan,
Adanya rencana spesifik,
Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,
Laki-laki,
Usia muda (15-24 tahun),
Tatus sosioekonomi rendah,
Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,
Tindakan antisosial lainnya
Riwayat percobaan bunuh diri.
31
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang
sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang.
Utnuk penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine
lalu berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik
seringkali memberikan respon yang baik dengan pemberian -blocker seperti
propanolol. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
C. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum
Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang diniatkan
dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti
Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya
sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009).Ada
macam-macam
33
2.
3.
Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):
a.
Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-laki.
Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini berkaitan
dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri,
meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan
overdosis obat-obatan atau menggunakan racun.
b.
Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki,
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih
jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.
c.
Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri
Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di
rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh diri.
Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya telah
meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
e.
Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status
sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter
memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri
memiliki resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain
yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi,
polisi, montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko
lebih tinggi untuk bunuh diri.
f.
Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan
dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang
kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
g.
Gangguan mental
35
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri
memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%,
skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan
gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.
h.
Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80%
pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari pasien
kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota keluarga atau
pasangan dalam satu tahun terakhir.
i.
Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian.
c.
d.
e.
dan lain-lain)
Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan,
pembicaraan serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan
f.
harta/barang-barang miliknya.
Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.
36
a.
d. Selidiki :
1. Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana
bunuh dirinya?
2. Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan
obat?
3. Seberapa pesimiskah mereka?
4. Aakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?
Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat
kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam
atau bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila
keracunan atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada
hubungan antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis.
Penting sekali dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk
pasien dengan depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan (Maramis
dan Maramis, 2009).
Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan
tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat
membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru melakukan
percobaan bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan
secara impulsif.
Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang
depresi berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi pasien
secara ketat di ruma. De bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah
sesudah menghentkan pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian
akan berespon baik bila mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk
memecahkan masalah dengancara rasionald an bertanggung jawab.
Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan
mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu
37
Diaforesis
Disfagia
Tremor
Inkontinensia
Penurunan kesadaran
Mutism
Takikardia
Tekanan darah yang meningkat atau labil
Leukositosis
Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka
o Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas.
Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2
38
neuroleptik maligna.
Hentikna pemberian antipsikotik segera.
Monitor tanda-tanda vital secara berkala.
Lakukan pmeriksaan laboratorium
Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan
39
Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.
Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins.
Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.
42