Anda di halaman 1dari 54

A.

SKENARIO A BLOK 13 TAHUN 2013


Tn. Budi, 22 tahun, datang ke klinik penyakit dalam RSMH dengan keluhan utama
batuk berdahak yang hilang timbul sejak 4 bulan yang lalu. Tn. Budi juga mengeluh demam
yang tidak terlalu tinggi, nafsu makan berkurang, serta berkeringat terutama menjelang
malam hari. Selama menderita keluhan-keluhan ini, Tn. Budi belum pernah berobat. Ayah
Tn. Budi juga menderita penyakit yang sama.
Pemeriksaan Fisik:
Tampak sakit sedang, sensorium compos mentis, BB: 45 kg, TB: 160 cm, sedikit
anemis, RR:24x /menit, nadi: 72x/menit, T: 37,9 oC, pada auskultasi didapatkan ronchi basah
kasar pada kedua apex paru.
Status Lokalis: pada colli sinistra teraba 2 nodul ukuran 2x2 cm dan 2x1 cm berbatas tegas.
Hasil Laboratorium: Hb: 11,2 g%, leukosit 10.800/dl, LED 42 mm/jam, Diff. Count
0/1/4/50/40/5
Pemeriksaan Sputum: (BTA 3x) +/+/+
Hasil Rontgen: didapat infiltrat pada kedua apex paru serta pembesaran limfonodi hilar
paru
Penderita kemudian dikirim ke bagian Patologi Anatomi dan dilakukan pemeriksaan
Fine Needle Aspiration (FNA) region colli, gambaran mikroskopic sitologi menunjukan
adanya granuloma-granuloma yang terdiri atas kelompok sel-sel epitheloid, 1-2 sel datia
langhans dan nekrosis perkijuan. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas.

B. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Batuk berdahak

: Batuk yang menghasilkan dahak atau sputum

2. Ronchi basah kasar

: Seperti suara gelembung udara besar yang pecah terdengar


pada saluran nafas besar bila terisi banyak secret. Dengan
suara terputus-putus

3. Nodul

: Tonjolan atau masa jaringan kecil berbentuk benjolan padat


yang dapat dikenali melalui sentuhan
1

4. Infiltrat

: Difusi atau penimbunan patologis substansi di suatu jaringan


yang tidak terdapat yang tidak terdapat pada jaringan tersebut
atau dalam jumlah yang melebihi normal.

5. Limfonodi

: Suatu benjolan yang berisi cairan bening yang sering kali


opalesen biasanya sedikit kekuningan dan dijumpai didalam
pembuluh limfe

6. Hilar paru

: Suatu lekukan pada facies mediastinalis paru yang menjadi


tempat masuknya radix pulmonalis (arteri, vena, plexus saraf,
pembuluh limfe, dan bronkus)

7. Fine needle aspiration : Biopsi untuk memperoleh jaringan dengan cara penghisapan
(FNA)
8. Granuloma

dengan menggunakan jarum yang terpasang pada spuit


: Sejenis kumpulan makrofag termodifikasi yang menyerupai
sel epitel biasanya dikelilingi oleh limfosit

9. Sel epitheliod

: Makrofag yang teraktivasi yang berbentuk seperti sel epitel


dimana

makrofag

tersebut

memanjang,

bergranula,

eosinophilic, dan berinti ovoid.


10. Sel datia langhans

: Sel raksasa berinti banyak yang terbentuk dari fusi sel sel
epiteloid, biasa ditemukan pada reaksi radang granulomatous.

11. Nekrosis perkijuan

: Nekrosis dengan jaringan yang lembek, kering, dan


menyerupai keju lembut, paling sering dijumpai pada
tuberculosis dan sifilis.

C. IDENTIFIKASI MASALAH
Tn. Budi, 22 tahun, datang ke klinik penyakit dalam RSMH dengan keluhan
utama batuk berdahak yang hilang timbul sejak 4 bulan yang lalu. Tn. Budi

Chief

juga mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi, nafsu makan berkurang,

Complain

serta berkeringat terutama menjelang malam hari.


Selama menderita keluhan-keluhan ini (batuk berdahak yang hilang timbul
sejak 4 bulan yang lalu, demam yang tidak terlalu tinggi, nafsu makan
berkurang, serta berkeringat terutama menjelang malam hari.), Tn. Budi
belum pernah berobat. Ayah Tn. Budi juga menderita penyakit yang sama.

Pemeriksaan Fisik: Tampak sakit sedang, sensorium compos mentis, BB:


45 kg, TB: 160 cm, sedikit anemis, RR:24x /menit, nadi: 72x/menit, T:
37,9oC, pada auskultasi didapatkan ronchi basah kasar pada kedua apex paru.
Status Lokalis: pada colli sinistra teraba 2 nodul ukuran 2x2 cm dan 2x1 cm
berbatas tegas
Hasil Laboratorium: Hb: 11,2 g%, leukosit 10.800/dl, LED 42 mm/jam,
Diff. Count 0/1/4/50/40/5
Pemeriksaan Sputum: (BTA 3x) +/+/+
Hasil Rontgen: didapat infiltrat pada kedua apex paru serta pembesaran
limfonodi hilar paru
Penderita kemudian dikirim ke bagian Patologi Anatomi dan dilakukan
pemeriksaan Fine Needle Aspiration (FNA) region colli, gambaran

Main

mikroskopic sitologi menunjukan adanya granuloma-granuloma yang terdiri

Problem

atas kelompok sel-sel epitheloid, 1-2 sel datia langhans dan nekrosis
perkijuan. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas.

D. ANALISIS MASALAH
1. Tn. Budi, 22 tahun, datang ke klinik penyakit dalam RSMH dengan keluhan utama batuk
berdahak yang hilang timbul sejak 4 bulan yang lalu. Tn. Budi juga mengeluh demam
yang tidak terlalu tinggi, nafsu makan berkurang, serta berkeringat terutama menjelang
malam hari
a. Bagaimana patofisiologi dari batuk berdahak kronik?
Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan
trakeobronkial. Batuk juga merupakan gejala tersering penyakit pernapasan seperti
bronkhitis kronis, asma, tuberkulosis, dan pneumonia..Rangsangan yang biasanya
menyebabkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia, dan peradangan. Pada kasus
ini hipotesis penyebab batuk berdahak kronik adalah akibat dari peradangan.
Komponen refleks batuk adalah reseptor, saraf aferen, pusat batuk, saraf
eferan dan efektor. Reseptor batuk tersebar di larings, trakea, bronkus, telinga,
3

lambung, hidung, sinus paranasal, faring dan perikardium serta diafragma.


Sedangkan saraf yang berperan sebagai aferen yaitu n.vagus, trigeminus dan n.
frenikus. Pusat batuk tersebar merata di medula dekat dengan pusat pernafasan. Saraf
eferan yaitu n.vagus, frenikus, interkostal, lumbalis, trigeminus, fasial, hipoglosus.
Sedangkan yang bertindak sebagai efektor adalah otot laring, trakea, bronkus,
diafragma, interkostal dan abdominal. Secara umum, batuk disebabkan oleh
mekanisme sebagai berikut:
1. Adanya rangsangan pada reseptor batuk (eksogen dan endogen) akan diteruskan
oleh saraf aferen ke pusat batuk di medula.
2. Dari pusat batuk, impuls akan diteruskan oleh saraf eferen ke efektor yaitu
beberapa otot yang berperan dalam proses respiratorik. Kemudian terjadi proses
batuk.
Setiap proses peradangan saluran nafas dapat mengakibatkan batuk.
(1) Proses terjadinya batuk diawali dengan terangsangnya reseptor batuk akibat
peradangan atau benda asing.
(2) Kemudian terjadi inspirasi yaitu fase yang dimulai dengan inspirasi singkat dan
cepat dari sejumlah besar udara, pada saat ini glotis sudah terbuka dan tekanan
intratorakal meningkat.
(3) Kemudian terjadi fase kompresi, glotis akan tertutup selama 0,2 detik, otot perut
berkontraksi sehingga diafragma naik dan menekan paru-paru akibatnya tekanan
intratorakal dan intraabdomen meningkat.
(4) Kemudian pada fase ekspirasi secara aktif glotis akan terbuka lagi dan akibat
tekanan intratorakal dan tekanan intraabdomen yang tinggi
ekspirasi yang cepat

terjadilah proses

dan singkat sehingga menggetarkan pita suara dan

menimbulkan suara batuk yang kita kenal. Apabila banyak mukus yang terkumpul
akibat radang atau benda asing lainnya maka reseptor batuk akan terangsang
sehingga udara beserta mukus akan terlempar keluar dari saluran napas.

b. Mengapa batuk berdahak pada Tn. Budi hilang timbul sejak 4 bulan yang lalu?
Batuk berdahak yang dialami Tn. Budi terjadi secara hilang timbul
disebabkan oleh adanya iritan dari bakteri M. tuberculosis. Bakteri ini terutama aktif
dimalam hari, dan kurang aktif di siang hari, dikarenakan baakteri ini sensitive
terhadap paparan sinar UV dan menyukai udara yang lembab.
c. Apasajakah kemungkinan penyakit yang menyebabkan batuk berdahak kronik?
Selain tuberkulosis, beberapa penyakit yang dapat menimbulkan batuk
berdahak kronik adalah sebagai berikut.
1. Bronkitis. Bronkitis merupakan salah satu tipikal Penyakit Paru Obstruksi
Kronis. Sputum yang dihasilkan dapat jernih, berwarna hijau, abu-abu, atau
kuning.
2. Pneumonia. Sputum yang dihasilkan dapat hijau, kuning, atau berdarah.
3. Kanker paru.
d. Bagaimana mekanisme demam subfebril pada pasien ini?
Substansi penyebab demam disebut pirogen. Pirogen eksogen berasal dari
luar tubuh, baik dari produk proses infeksi maupun non infeksi. Lipopolisakarida
(LPS) pada dinding bakteri gram negatif atau peptidoglikan dan teichoic acid pada
bakteri gram positif, merupakan pirogen eksogen. Substansi ini merangsang
makrofag, monosit, limfosit, dan endotel untuk melepaskan IL1, IL6, TNF-, dan
IFN-, yang bertindak sebagai pirogen endogen.

Pirogen endogen ini akan berikatan dengan reseptornya di hipotalamus dan


fosfolipase A2. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan asam arakidonat dari
membran fosfolipid atas pengaruh enzim siklooksigenase-2 (COX-2). Asam
arakidonat selanjutnya diubah menjadi prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 baik secara
langsung maupun melalui adenosin monofosfat siklik (c-AMP), akan mengubah
setting termostat (pengatur suhu tubuh) di hipotalamus pada nilai yang lebih tinggi.
Selanjutnya terjadi peningkatan produksi dan konservasi panas sesuai setting suhu
tubuh yang baru tersebut. Hal ini dapat dicapai melalui refleks vasokonstriksi
pembuluh darah kulit dan pelepasan epinefrin dari saraf simpatis yang menyebabkan
peningkatan metabolisme tubuh dan tonus otot. Sehingga penderita akan merasakan
dingin lalu menggingil dan menghasilkan panas.
e. Bagaimana patofisiologi penurunan berat badan pada pasien ini?
Peningkatan laju metabolisme, akan menyebabkan peningkatan pemecahan
cadangan makanan sehingga nutrisi untuk tubuh berkurang. Peningkatan laju
metabolisme disertai penurunan nafsu makan yang merupakan respon tubuh terhadap
infeksi bakteri ini akan menyebabkan penurunan berat badan.
3. Selama menderita keluhan-keluhan ini, Tn. Budi belum pernah berobat. Ayah Tn. Budi
juga menderita penyakit yang sama.
a. Apa hubungan riwayat penyakit ayah Tn. Budi dengan kondisinya saat ini?
Salah satu penyebab batuk kronik adalah peradangan akibat infeksi bakteri.
Riwayat ayah Tn. Budi yang memiliki penyakit yang sama dapat memperkuat
dugaan bahwa ayah Tn. Budi menularkan penyakitnya kepada Tn. Budi.
6

b. Bagaimana cara penularan penyakit ini?


Tuberkulosis adalah penyakit menular, artinya orang yang tinggal serumah
dengan penderita atau kontak erat dengan penderita yang mempunyai risiko tinggi
untuk tertular. Sumber penularannya adalah pasien TB paru dengan BTA positif
terutama pada waktu batuk atau bersin, dimana pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak dan umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama (Depkes, 2008).
Adanya ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara keberadaan
sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi 16
derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor
yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB paru ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes, 2008).
Biasanya penyebaran terjadi melalui transmisi aerosol yang mengandung
kuman tuberkulosis terhirup oleh penderita. Selain itu, tuberkulosis dapat disebarkan
melalui makanan, kulit yang terluka, ataupun janin-ibu. Pada penyebaran dengan
transmisi aerosol, daya penularan tuberkulosis dari seorang penderita ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak
negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Kemungkinan seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Penularan tuberculosis terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas
selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar UV, ventilasi yang buruk, dan
kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari
sampai berbulan-bulan. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5
mikrometer.

4. Pemeriksaan Pemeriksaan Fisik: Tampak sakit sedang, sensorium compos mentis, BB:
45 kg, TB: 160 cm, sedikit anemis, RR:24x /menit, nadi: 72x/menit, T: 37,9 oC, pada
auskultasi didapatkan ronchi basah kasar pada kedua apex paru.
Status Lokalis: pada colli sinistra teraba 2 nodul ukuran 2x2 cm dan 2x1 cm berbatas
tegas
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik dan status lokalis regio colli
sinistra?
1. Sensorium compos mentis
Sensorium Compos Mentis merupakan suatu tingkat kesadaran. Dimana
tingkat kesadaran tersebut merupakan ukuran dari kesadaran dan respon
seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan. Compos Mentis (conscious),
yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan
tentang keadaan sekelilingnya.
2. IMT (BB dan TB)
IMT menurut Depkes RI (1994)
IMT (kg/m2)
< 17,0
17,0 18,4
18,5 25,0
25,1 27,0
>27,0

Kategori
Kekurangan BB tingkat berat
Kekurangan BB tingkat ringan
Normal
Kelebihan BB tingkat berat
Kelebihan BB tingkat ringan

Kurus
Normal
Gemuk

Untuk menentukan status gizi dapat digunakan indeks massa tubuh, dengan
rumus:
IMT
= BB (kg) / TB2 (m2)
= 45/(1,60)2
= 17,58
3. Sedikit anemis
Untuk pemeriksaan fisik anemia, biasanya diperiksa pada bagian
konjungtiva palpebra, bibir, dan kuku. Pada keadaan anemia biasanya bagian
tersebut tampak lebih pucat. Keadaan anemis disebabkan karena jumlah
pembawa Oksigen di darah rendah, yakni Sel Darah Merah dan Hemoglobin.
4. RR
Nilai normal: 18-24 kali/menit. Pada pasien normal.
5. Nadi
Nilai normal: 60-100kali/menit. Pada pasien ini normal.
Status Lokalis
8

Normalnya, tidak teraba adanya nodul tersebut (paling tidak, teraba 0,5 cm).
Biasanya bila terabanya lebih dari 1 cm, maka dikatakan kelenjar getah bening
membesar. Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran 2 cm biasanya
disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya
disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan
pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis.
Limfadenitis terjadi bila kuman TB terkena pada kelenjar getah bening,
maka akan terjadi radang kelenjar getah bening menahun, yang ditandai dengan
pembesaran kelenjar getah bening leher hanya di satu sisi, tidak terasa sakit tetapi
berpotensi membesar dan menjadi banyak. Penyebaran ke kelenjar getah bening
biasanya disebabkan karena kuman TBC tertahan di kelenjar amandel dan kemudian
menular ke kelenjar getah bening leher. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh
pembesaran kelenjar getah bening, padat / keras, multiple.
Limfadenitis biasanya merupakan komplikasi awal TB primer, umumnya
terjadi pada 6 bulan pertama setelah infeksi. Penyebaran infeksi pada kelenjar
superfisial tersering adalah melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah.
Masuknya basil TB ke dalam aliran limfe selama fase awal TB primer paru
dapat tertahan pada satu atau lebih kelenjar superfisial. Dalam beberapa bulan,
penyebaran secara hematogen dapat diketahui jika ditemukan pembesaran seluruh
kelenjar limfe yang bersifat sementara.
Jones dan Campbell mengklasifikasikan lymph nodes tuberculosis ke dalam
beberapa stadium:
-

Stadium 1: pembesaran, tegas, mobile, nodus yang terpisah yang menunjukkan

hyperplasia reaktif non-spesifik


Stadium 2: rubbery nodes yang berukuran besar yang terfiksasi ke jaringan

sekitarnya
Stadium 3: perlunakan sentral akibat pembentukan abses
Stadium 4: formasi abses collar-stud
Stadium 5: formasi traktus sinus
Nodul yang timbul dalam skenario termasuk dalam stadium 1. Mekanisme

timbulnya nodul yaitu akibat proliferasi limfosit dan makrofag pada folikel dan sinus
9

limfoid dan reaksi granulomatosa dari KGB tipikal sebagai respon akibat adanya
infeksi M. Tuberculosis .
b. Mengapa ronchi basah pada pemeriksaan auskultasi paru hanya didapatkan pada
kedua apex paru?
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang bersifat aerob yakni
menyukai daerah yang kaya akan oksigen. Oleh karena itu, M. Tuberculosis senang
tinggal di daerah apeks paru yang kandungan oksigennya tinggi.
Ronchi basah disebabakan oleh adanya eksudat atau cairan dalam
bronkiolus atau alveoli dan bisa juga pada bronkus dan trakea. Ada ronki basah
nyaring contohnya pada infiltrat paru dan ronchi basah tak nyaring misalnya pada
bendungan paru. Ada ronki basah kasar, ini biasanya berasal dari cairan yang berada
dibronkus besar atau trakea.
Ada ronki basah sedang dan ada pula ronki basah halus yang terutama
terdengar pada akhir inspirasi, terdengar seperti bunyi gesekan rambut antara jari
telunjuk dengan empu jari.
c. Bagaimana hubungan jumlah, ukuran dan bentuk nodul dengan progresifitas
penyakit?
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran 2 cm biasanya
disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya
disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan
pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis (Narang, 2005). Maka dapat
disimpulkan bahwa penyebab limfadenopati pada kasus ini adalah karena
M.tuberculosis.
Adanya limfadenitis biasanya merupakan komplikasi dini TB primer,
umumnya terjadi dalam 6 bulan pertama setelah infeksi. Kelenjar yang sering
terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau posterior. Secara klinis, karakteristik
kelenjar yang dijumpai biasanya multipel, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak hangat
pada perabaan, mudah digerakkan, dan dapat saling melekat (confluence) satu sama
lain.

10

Tuberkulosis kelenjar leher umumnya pada bagian anterior. Tuberkulosis


kelenjar supraklavikula biasanya perilateral dan dapat terjadi bersama dengan TB
kelenjar leher.
d. Bagaimana patofisiologi timbulnya anemia pada pasien ini?
Anemia pada tuberkulosis dapat dikarenakan terjadinya gangguan pada
proses eritropoesis oleh mediator inflamasi, pemendekan masa hidup eritrosit,
gangguan metabolisme besi, adanya malabsorbsi dan ketidakcukupan zat gizi. Baik
anemia penyakit kronik maupun anemia defisiensi besi dapat terjadi pada penderita
tuberkulosis. Sebuah penelitian yang dilakukan di Korea pada tahun 2006
menunjukan dari 202 pasien tuberkulosis yang mengalami anemia, terdapat 71,9%
memiliki gambaran normositik normokromik yang merupakan salah satu ciri dari
anemia penyakit kronik.
Respon imun yang muncul karena reaksi infeksi dan inflamasi menyebabkan
dilepasnya protein yang disebut sitokin. Protein ini membantu dalam proses
penyembuhan dan melawan infeksi, tetapi juga dapat mempengaruhi fungsi tubuh
yang normal. Pada anemia penyakit kronik, sitokin mengganggu kemampuan tubuh
dalam mengabsorbsi dan menggunakan Fe. Sitokin juga dapat mengganggu kegiatan
normal dari erythropoietin dalam pembentukan sel darah merah.
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia penyakit kronik adalah
tuberkulosis, endokaditis, dan osteomyelitis. Reaksi inflamasi yang menyebabkan
anemia penyakit kronik antara lain arthritis rheumatoid, lupus, diabetes mellitus,
gagal jantung, dan Inflammatory Bowel Disease (IBD).
Proses pembentukan eritrosit dapat dipengaruhi oleh penyakit kronis melalui
infiltrasi sel tumor ke sumsum tulang atau oleh mikroorganisme, seperti pada HIV,
infeksi, hepatitis C, malaria, dll.

Karakteristik anemia penyakit kronik adalah terganggunya homeostasis Fe,


dengan adanya peningkatan uptake dan retensi Fe dalam sel RES. Hal ini
menyebabkan terjadinya pengalihan Fe dari sirkulasi ke tempat penyimpanan sistem
RES, yang diikuti keterbatasan persediaan Fe untuk sel progenitor eritroid, dan
menyebabkan terbatasnya proses pembentukan eritrosit.
11

Suatu penelitian yang dilakukan di Scotlandia menunjukkan bahwa pada


mencit yang disuntik dengan sitokin proinflamasi interleukin-1 dan tumor necrosis
factor (TNF-), keduanya dapat menyebabkan hipoferremia dan terjadinya anemia.
Kombinasi ini dikaitkan dengan induksi sitokin dalam sintesis ferritin, yaitu protein
mayor yang berhubungan dengan penyimpanan Fe, oleh makrofag dan hepatosit.
Pada inflamasi kronis, proses pengambilalihan Fe oleh makrofag kebanyakan terjadi
melalui proses eritrofagositosis dan proses transmembran Fe oleh protein Divalent
Metal Transporter 1 (DMT1).
e. Bagaimana pathogenesis penjalaran peyakit dari paru ke kelenjar getah bening?
Pembuluh-pembuluh limfe akan mengalir ke KGB sehingga dari lokasi
KGB akan diketahui aliran pembuluh limfe yang melewatinya. Oleh karena dilewati
oleh aliran pembuluh getah bening yang dapat membawa antigen (mikroba, zat
asing) dan memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang
menginfeksi maka kelenjar getah bening dapat menghasilkan sel-sel pertahanan
tubuh yang lebih banyak untuk mengatasi antigen tersebut sehingga kelenjar getah
bening membesar.
Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel
pertahanan tubuh yang berasal dari KBG itu sendiri seperti limfosit, sel plasma,
monosit dan histiosit atau karena datangnya sel-sel peradangan (neutrofil) untuk
mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi (masuknya) selsel ganas atau timbunan dari penyakit metabolite macrophage (gaucher disease).
Dengan mengetahui lokasi pembesaran KGB maka kita dapat mengarahkan
kepada lokasi kemungkinan terjadinya infeksi atau penyebab pembesaran KGB.
Benjolan, bisa berupa tumor jinak atau ganas, bisa juga berupa pembesaran KGB.

5. Hasil Laboratorium: Hb: 11,2 g%, leukosit 10.800/dl, LED 42 mm/jam, Diff. Count
0/1/4/50/40/5
Pemeriksaan Sputum: (BTA 3x) +/+/+
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan sputum?

Hemoglobin
12

Pembagian anemia menurut National Cancer Institute


Grade
0
1
2
3
4

Kategori
Normal
Ringan
Sedang
Berat
Mengancam

Hb
12,0-16,0g/dl (wanita) dan 14,0-18,0g/dl (pria)
10,0g/dl s.d batas normal
8,0-10,0g/dl
6,5-7,9g/dl
<6,5g/dl

Berdasarkan pembagian di atas, kadar Hb Tn. Budi tergolong rendah dan


termasuk kategori anemia ringan.

Leukosit
Kadar leukosit Tn. Budi termasuk tinggi, dengan kadar normal 5.00010.000/mm3 darah. Jumlah leukosit ini dapat meningkat saat terdapat infeksi pada
tubuh. Salah satu fungsi kelenjar limfa adalah untuk menghasilkan sel darah
putih. Ketika terjadi infeksi, kelenjar limfe mengeluarkan wbc lebih banyak

sebagai mekanisme pertahanan tubuh.


LED
LED pada kasus ini menigkat karena terjadinya infeksi.
o Nilai normal LED
Wintrobe Laki-laki = 0-5 mm/jam
Perempuan = 0-15 mm/jam
Westergreen Laki-laki = 0-10 mm/jam
Perempuan = 0 15 mm/jam
o LED adalah kecepatan dimana sel darah merah mengendap dalam tube tes.
Pada peradangan, kecepatan meningkat, kemungkinan karena perubahan pada
komponen plasma yang terjadi selama proses inflamasi. LED digunakan untuk
memantau aktivitas berbagai penyakit inflamasi.
o LED bisa meningkat karena beberapa faktor, salah satunya akibat faktor
plasma:

Peningkatan kadar fibrinogen dalam darah akan mempercepat


pembentukan rouleaux LED .
Peningkatan jumlah leukosit (sel darah putih) biasanya terjadi pada
proses infeksi akut maupun kronis
Diff. Count
Basofil
: 0 % (Normal: 0-1 %)
Eosinofil
: 1 % (Normal: 1-3 %)
N. batang
: 4 % (Normal: 2-6 %)
N. segmen
: 50 % (Normal: 50-70 %)
Limfosit
: 40 % (Normal: 20-40 %)
Monosit
: 5 % (Normal: 2-8 %)
Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa kadar neutrofil segmen berada
pada batas minimum normalnya sedangkan limfosit berada pada batas maksimum
13

kadar normalnya.
Hitung jenis menunjukkan kemungkinan akan terjadinya shift to the right
(peningkatan jumlah limfosit dan monosit relatif dibanding neutrofil) yang
menunjukkan adanya infeksi kronik, sekiranya hitung jenis menunjukkan
kemungkinan shift to the left (peningkatan jumlah neutrofil relatif dibanding
limfosit dan monosit) ini bermaksud adanya infeksi akut.

Sputum
Pada

pemeriksaan

Sputum

didapatkan

bahwa

terdapat

bakteri

Mycobacterium tuberculosis pada sputum pasien.


Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :

Tidak ditemukan BTAdalam 100 lapang pandang, disebut negatif

Ditemukan 1-9 BTAdalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan

Ditemukan 10-99 BTAdalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

Ditemukan >10 BTAdalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:


a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
Tuberkulosis paru BTA (-)
a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik
dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif
b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis positif
b. Mengapa pemeriksaan sputum dilakukan hingga 3 kali?
Supaya mendapatkan hasil yang akurat dianjurkan pengambilan sampel
14

dahak sebanyak 3 kali (selama 3 hari berturut-turut) atau ambil dahak saat
kunjungan, keesokan hari diambil lagi dan terakhir sewaktu mengantar dahak pagi
ke laboratorium. Maksudnya, apabila dari hasil biakan didapatkan hasil: 3 kali positif
atau 2 kali positif, 1 kali negatif berarti BTA positif, artinya yang bersangkutan
menderita TB. Kalau 1 kali positif, 2 kali negatif, berarti BTA positif juga dan berarti
tertular penyakit TB. Sedangkan bila 3 kali pemeriksaan hasilnya negatif, berarti
BTA negatif, yang bersangkutan tidak tertular TB.
6. Hasil Rontgen: didapat infiltrat pada kedua apex paru serta pembesaran limfonodi
hilar paru
a. Bagaimana makna klinis dari ditemukannya infiltrat pada kedua apex paru?
Lokasi lesi tuberkulosis utamanya di daerah apeks paru (segmen apikal
lobus atas atau segmen apikal lobus bawah). Partikel infeksi bisa menempel pada
saluran napas atau jaringan paru. Bila kuman menetap di jaringan paru maka akan
berbentuk sarang tuberkulosis kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau
fokus Ghon.
Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian dari jaringan paru. Pada awal
p e n y a k i t , gambaran radiologisnya berupa bercak-bercak seperti awan
dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi ini sudah diliputi jaringan ikat maka
bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas,yang dikenal dengan
tuberkuloma. Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus (pada tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis fibrotik,
kalsifikasi, kavitas (nonskelortik/sklerotik). Adanya bayangan (lesi) berupa infiltrat
pada foto dada menunjukkan adanya aktivitas penyakit. Gambaran infiltrat dan
tuberkuloma diartikan sebagai pneumonia, karsinoma bronkus dan mikosis paru.
b. Mengapa terjadi pembesaran limfonodi di hilar paru?
Pada penderita tuberkulosis konsolidasi biasanya bersifat unifokal dengn
melibatkan multilobar. Konsolidasi dapat terjadi pada lobus manapun, tetapi paling
sering dilaporkan bahwa lobus bawah paling sering terkena pada orang dewasa.
c. Bagaimana histopatologi dari pembesaran limfonodi?
Pembesaran

kelenjar getah bening baik local maupun general, dapat

merupakan konsekuensi dari beberapa mekanisme patologis yang berbeda.


15

Lymphadenopathy dapat terlihat pada peningkatan jumlah dan ukuran folikel limfoid
bersamaan dengan proliferasi limfosit sebagai respo terhadap adanya antigen baru.
Pembesaran KGB dengan infiltrasi sel-sel yang normalnya tidak ada seperti tumor
yang metastase atau sel leukemik. Lymphadenopathy dapat terjadi secara sekunder
terhadap suatu stimuli yang tidak diketahui yang menyebabkan sel bertransformasi
menjadi sel limfoma dan berproliferasi secara otonom. Kelenjar getah bening dapat
diinfiltrasi oleh sel polimorfonuklear, kondisi ini disebut lymphadenitis, atau kelenjar
getah bening dapat diinfiltrasi oleh macrophages laden dengan metabolit, seperti
pada lipid storage diseases.

7.

Penderita kemudian dikirim ke bagian Patologi Anatomi dan dilakukan pemeriksaan


Fine Needle Aspiration (FNA) region colli, gambaran mikroskopic sitologi menunjukan
adanya granuloma-granuloma yang terdiri atas kelompok sel-sel epitheloid, 1-2 sel datia
langhans dan nekrosis perkijuan. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas.
a. Bagaimana prosedur pelaksanaan FNA?
1. Bersihkan permukaan kulit dengan cairan antiseptic.
2. Dapat dilakukan anestesi pada area yang akan dilakukan FNA.
3. Dapat juga digunakan ultrasound untuk menentukan lokasi yang tepat untuk
melakukan FNA.
4. Insersikan jarum halus yang terpasang pada spuit pada area abnormal
5. Piston di dalam tabung suntik ditarik ke arah proksimal hingga sejumlah sel dari
massa tersebut masuk ke dalam lumen jarum suntik.
6. Tarik keluar jarum dari massa tersebut dengan searah.
b. Bagaimana gambaran mikroskopis dari granuloma?
16

Tuberculous lymphadenitis adalah radang kronik spesifik granulomatous dengan nekrosis


kaseosa. Karakteristik komponen secara morfologi berupa tuberculous granuloma (caseating
tubercule) : giant multinucleated cells (Langhans cells), dikelilingi oleh agregasi sel epithelioid,
limfosit-T dan beberapa fibroblast. Tuberkel granulomatous mempunyai bagian tengah berupa
nekrosis caseosa dan menjadi konfluen dan menggantikan jaringan limfoid (H&E, ob. x4)

Tuberculous granuloma. Multinucleated giant cell (mature - Langhans type) : berukuran 50 100 microns, inti kecil dan banyak (>20) terletak pada perifer dari sel (tapal kuda), sitoplasma
eosinophilic. Epithelioid cells adalah macrophage yang teraktiavasi dan menyerupai sel epitel.
Pada bagian tepi dari granuloma terdapat lymphocytes (T cells) dan kadang-kadang terdapat
17

plasma cells dan fibroblasts. Caseous necrosis adalah area yang berada ditengah, amorphous,
finely granular, eosinophilic (pink). caseum ini merupakan hasil dari destruksi giant cells dan
epitheloid cells. (Hematoxylin-eosin, ob. x20)

Tuberculous granuloma (Hematoxylin-eosin, ob. x20)

c. Bagaimana proses pembentukan granuloma?

Mekanisme pertahanan spesifik terjadi 4-8 minggu setelah infeksi berupa


sensitisasi sel T terhadap antigen spesifik. Mekanisme tersebut pada tuberkulosis
18

ditandai dengan dimulainya respons cell-mediated immunity (CMI) dan delayedtype hipersensitivity (DTH) yang akan meningkatkan kemampuan pejamu untuk
menghambat atau mengeliminasi kuman. Respons CMI dan DTH merupakan
fenomena yang sangat erat hubungannya dan timbul akibat aktivasi sel T yang
bersifat spesifik. Kedua fenomena yang belum dapat dipisahkan tersebut terjadi
melalui mekanisme respons imun yang sama dan akan mengubah respons pejamu
terhadap pajanan antigen berikutnya.
Respons DTH ditandai dengan nekrosis perkijuan akibat lisisnya sel
makrofag alveoli yang belum teraktivasi, sedang respons CMI timbul setelah
makrofag alveoli teraktivasi sehingga menjadi sel epiteloid matur. Penelitian pada
binatang percobaan menddapatkan kesan bahwa kedua respons imun tersebut terjadi
pada pejamu yang rentan maupun resisten tetapi dengan derajat yang berbeda.13
Pada pejamu yang resisten didapatkan rasio sel-sel epiteloid

terhadap nekrosis

perkijuan jauh lebih besar dibandingkan pejamu yang rentan.


Granuloma adalah bentuk khusus DTH yang terjadi pada saat antigen
bersifat persisiten dan/atau tidak dapat didegradasi. Infiltrat awal sel T CD4+
perivaskular secara progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3
minggu; makrofag yang berakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti
morfologis adanya aktivasi, yaitu semakin membesar dan memipih, dan eosinofilik
(disebut sebagai sel epiteloid).
Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah pengaruh sitokin tertentu
untuk membentuk sel raksasa (giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis
sel epiteloid secara khusus dikelilingi oleh sautu lingkaran limfosit, yang disebut
granuloma, dan polanya disebut infeksi granulomatosa.
d. Bagaimana proses pembentukan nekrosis perkijuan?
Pada keadaan lain sel-sel nekrotik hancur tetapi pecahannya tetap berada
pada tempatnya selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun dan tidak bisa
dicerna. Jaringan nekrotik ini tampak seperti keju yang hancur. Jenis nekrosis ini
disebut nekrosis kaseosa, contohnya pada tuberkulosis paru
e. Bagaimana hubungan antara adanya granuloma dengan tanda-tanda keganasan?
Adanya gambaran granuloma-granuloma pada pemeriksaan mikroskopis
19

lebih menunjukan adanya proses radang, sedangkan tanda-tanda keganasan yang


dapat ditemukan pada kelenjar getah bening yaitu berupa gambaran sel-sel yang
monoton, banyak, dan ditemukan Reed-Sterberg Cell (RS Cell) pada Hodgkin
Lymphoma.
f. Apa indikasi untuk dilakukannya pemeriksaan FNA?
Indikasi dilakukannya FNA adalah apabila terdapat kista (benjolan berisi
cairan), nodul atau massa, dan pembesaran limfonodus.
Spesifik untuk Lymphonodus, indikasinya adalah sebagai berikut:
1.

Menentukan diagnosis pada kasus pembesaran kelenjar getah bening yang


persisten dan tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Contohnya pada pasien yang
di suspect menderita lymphoma.

2.

Memastikan diagnosis klinis. Contohnya metastatic squamous carcinoma pada


karsinoma di bagian kepala dan leher..

3.

Sebagai bagian dari diagnosis pada penyakit sistemik dengan Lymphadenopathy, contohnya rheumatoid arthritis dan lupus erythematosus.

4.

Untuk menentukan staging protocol pada kanker

5.

Monitor perkembangan diagnosis lalu pada malignant lymphoma

g. Selain FNA, apa saja cara yang dilakukan untuk mendapatkan specimen?

Biopsi insisional yaitu pengambilan sampel jaringan melalui pemotongan

dengan pisau bedah.


Biopsi eksisional yaitu pengambilan seluruh massa yang dicurigai untuk
kemudian diperiksa di bawah mikroskop.

Core biopsi jarum yaitu pengambilan sampel jaringan atau cairan dengan cara

disedot lewat jarum berukuran besar.


Biopsi jarum dengan bantuan endoskopi. Prinsipnya sama yaitu pengambilan
sampel jaringan dengan aspirasi jarum, hanya saja metode ini menggunakan

endoskopi sebagai panduannya.


Punch biopsy. Biopsi ini biasa dilakukan pada kelainan di kulit. Metode ini
dilakukan dengan alat yang ukurannya seperti pensil yang kemudian ditekankan
pada kelainan di kulit, lalu instrument tajam di dalamnya akan mengambil
jaringan kulit yang ditekan.
20

h. Apakah pulasan khusus untuk pemeriksaan BTA?


Untuk pemeriksaan BTA dapat dilakukan dengan pewarnaan Ziehl Neelsen.
Dengan bahan: Carbol Fuchsin 0,3 %, Alkohol Asam 3 %, Methylen Blue 0,3 %.
Bakteri genus Mycobacterium dan beberapa spesies nocardia pada dinding
selnya mengandung banyak zat lipid (lemak) sehingga bersifat permiable dengan
pewarnaan biasa. Bakteri tersebut bersifat tahan asam, (+) terhadap pewarnaan tahan
asam. Bakteri tahan asam (BTA) tahan terhadap pencucian dengan alkohol asam,
walau telah dicuci dengan alkohol asam BTA tidak melepaskan zat warna yang telah
diikatnya. Bakteri tahan asam akan berwarna merah, dan bakteri tidak tahan asam
berwarna biru.

i. Bagaimanakah reaksi immunologi pada hipersensitivitas tipe 4?


Tahapan selular dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberculin. Ketika
seorang individu pertama kali terekspos terhadap antigen protein dari tuberkel
bacilli, sel CD4+ T nave mengenali peptida turunan antigen dan terkait dengan
molekul kelas II pada permukaan APC. Hal ini memicu diferensiasi dari sel T CD4+
nave menjadi sel Th1. Induksi sel Th1 merupakan hal yang penting karena ekspresi
DTH bergantung pada sebagian besar sitokin yang disekresi oleh sel Th1. Beberapa
sel Th1 akan memasuki sirkulasi dan tetap berada pada pool memori sel T untuk
waktu yang lama. Atau injeksi intrakutan dari tuberculin pada seseorang yang
sebelumnya terekspos tuberkel bacilli, dimana sel memori Th1 akan mengenali
antigen yang ditampilkan APC dan teraktivasi. Sel-sel Th1 ini akan menyekresi
sitokin, terutama IFN-, yang bertanggung jawab terhadap ekspresi DTH. Sitokinsitokin yang paling relevan dalam reaksi ini dan kerja mereka adalah sbb:

21

IL-2 menyebabkan proliferasi parakrin dan autokrin dari sel T, menyebabkan


akumulasi di situs DTH.

TNF dan limfotoksin merupakan 2 sitokin yang memiliki efek terhadap sel
endotel: (1) peningkatan sekresi dari prostasiklin, yang meningkatkan aliran darah
dan menyebabkan vasodilatasi lokal; (2) peningkatan ekspresi P-E-selektin,
molekul adhesi yang mempromosikan penempelan limfosit dan monosit; dan (3)
induksi dan sekresi kemokin seperti IL-8.

Kemokin yang diproduksi sel T dan makrofag merekrut lebih banyak lagi leukosit
ke situs reaksi. Tipe inflamasi ini terkadang disebut inflamasi imun.
Reaksi ini diperantarai oleh sel T terssensititasi secara khusus bukan antibodi

dan merupakan hipersensitivitas selular. Delayed Type Hypersensitivity (DTH)


ditandai dengan penumpungkan sel helper-T CD4+ perivaskular dan makrofag dalam
jumlah sedikit. Urutan kejadain pada DTH dimulai dengan pajanan pertama individu
terhadap basil tuberkel. Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel
dan juga antigen kelas II pada permukan monosit atau sel dendrit yang telah
memproses antigen mikrobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe
Th1 terssensititasi yang tetap berada dalam sirkulasi selama bertahun-tahun.

j. Bagaimana pathofisiologi dari tuberculosis primer dan sekunder?

22

TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja
dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana
terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar
hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar
23

sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan


menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal
sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus
c.

Penyebaran secara hematogen dan limfogen.


Kejadian penyebaran ini sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh,

jumlah dan virulensi basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara
spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy.
Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh
lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.
Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan Sembuh dengan
meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah
mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau meninggal.

TUBERKULOSIS POST-PRIMER/SEKUNDER
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer
mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis
inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi
sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang
umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior.
Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang
pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih
keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya
dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
24

3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti


akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Nasib kaviti ini :
a. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas.
b. Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin
pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi .
c. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed
cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
k. Bagaimanakah mekanisme terjadinya kompleks ghon?

Biasanya basil yang terhirup tersangkut di rongga distal di bagian bawah


lobus atau lobus bawah, umumnya dekat ke pleura. Seiringnya dengan terbentuk
sensititasi, muncul daerah konsolidasi meradang yang disebut fokus Ghon. Pada
sebagian besar kasus , bagian tengah fokus ini mengalami nekrosis perkijuan. Basil
tuberkel, baik bebas atau di dalam fagosit, mengalir ke kelenjar regional yang juga
mengalami perkijuan.
Kombinasi lesi parenkim dan keterlibatan kelenjar getah bening ini disebut
sebagai kompleks Ghon. Terbentuknya imunitas seluler berhasil mengendalikan
infeksi. Oleh karena itu, kompleks Ghon mengalami fibrosis progresif.
l. Bagaimanakah penatalaksanaan dari penyakit ini?
25

Penatalaksanaan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3


bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1.

Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah

Rifampisin

Streptomisin

INH

Etambutol

Pirazinamid

2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap ini
terdiri dari : Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan Tiga obat
antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan
pirazinamid. 400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

Kanamisin

Kuinolon

Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat

Derivat rifampisin dan INH Dosis OAT

Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/minggu atau


BB > 60 kg : 600 mg , BB 40-60 kg : 450 mg , BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali

INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg/kg BB 3 X seminggu, 15


mg/kg BB 2X semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600
mg / kali

Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50


mg/kg BB 2 X semingggu atau :
BB > 60 kg : 1500 mg, BB 40-60 kg : 1 000 mg, BB < 40 kg : 750 mg

Etambutol : fase intensif 20mg/kg BB, fase lanjutan 15 mg/kg BB,


30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :
26

BB >60kg : 1500 mg, BB 40 -60 kg : 1000 mg , BB < 40 kg : 750 mg


Dosis intermiten 40 mg/kgBB/kali

Streptomisin:15mg/kgBB atau
BB >60kg : 1000mg, BB 40 - 60 kg : 750 mg, BB < 40 kg : sesuai BB

Kombinasi dosis tetap

m. Apasajakah komplikasi dari penyakit ini?


Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
Batuk darah

Gagal napas

Pneumotoraks

Gagal jantung

Luluh paru

Efusi pleura

E. LEARNING ISSUE

TUBERCULOSIS
1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis yang biasa menyerang paru tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lain seperti pada kelenjar getah bening, ginjal, jantung, dan lain sebagainya.

2. Etiologi
Penyebab tuberkulosis paru adalah kuman Mycobacterium tuberculosa, yang
berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC
27

cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat gelap dan lembab. Oleh karena itu dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman
(tidur), tertidur lama selama beberapa tahun.
M. tuberculosis merupakan kuman berbentuk batang, berukuran panjang 5 dan
lebar 3, tidak membentuk spora, dan termasuk bakteri aerob, pada pewarnaan gram
maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu M.
tuberculosis disebut sebagai Basil Tahan Asam atau BTA. Pada dinding sel M.
Tuberculosis lapisan lemak berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan
yang ada dibawahnya, hal ini menurunkan permeabilitas dinding sel, sehingga
mengurangi efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, yaitu suatu molekul lain
dalam dinding sel M. tuberculosis, yang berperan dalam interaksi antara inang dan
patogen, sehingga M. tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofag.
3. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan
bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus
BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia
tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah
penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar
dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian
akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39
orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per
100.000 penduduk, prevalens HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat
kasus TB yang muncul.
4. Gejala Klinis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
28

darah, sesak nafas, badan lemas, napsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan. Gejalagejala tersebut dapat juga dijumpai pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasi,
bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
5. Cara Penularan
Tuberkulosis adalah penyakit menular, artinya orang yang tinggal serumah
dengan penderita atau kontak erat dengan penderita yang mempunyai risiko tinggi untuk
tertular. Sumber penularannya adalah pasien TB paru dengan BTA positip terutama pada
waktu batuk atau bersin, dimana pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei).
Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak dan umumnya
penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama
Adanya ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara keberadaan sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa
jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan
oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi 16 derajat
kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang
memungkinkan seseorang terpajan kuman TB paru ditentukan oleh konsentrasi percikan
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut
6. Perjalanan Penyakit
Riwayat terjadinya TB paru ada dua yaitu infeksi primer dan pasca primer.
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Droplet
yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di
sana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di
sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya
infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi
dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi
positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang
29

masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi
daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun
demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant
(tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan
kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita
TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi
sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
Tuberkulosis paska primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi
HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paska primer adalah
kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
7. Klasifikasi Diagnosis
Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit TB paru maka dilakukan
serangkaian tindakan yang dimulai anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lanjutan
dapat berupa pemeriksaan bakteri, radiologi dan tes tuberkulin. Penetapan diagnosis
tuberkulosis paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak menurut Depkes RI (2002)
dikelompokkan menjadi penderita TB paru BTA positif yakni sekurang kurangnya 2 dari
3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif, atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran Tuberkulosis aktif.
Penderita TB paru BTA Negatif

jika pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS

hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
Penderita Tuberkulosis Extra Paru, yakni Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru,misalnya, selaput otak,selaput jantung kelenjar limfe,tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

8. Pengobatan Penyakit Tuberkulosis paru


Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :
30

1.

Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.


Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir,
sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.

2.

Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin


dan Kanamisin.

RADANG KRONIK SPESIFIK GRANULOMATOUS


Inflamasi kronik adalah inflamasi yang memanjang, terjadi inflamasi aktif, jejas
jaringan, dan penyembuhan berjalan secara serentak.
31

Berciri-ciri :

Infiltrasi sel mononuclear (makrofag, limfosit, sel plasma)


Destruksi sel jaringan
Repair
Infeksi mikroba persisten, sebagian besar dditandai dengan adanya serangkaian

mikroorganisme terpilih termasuk mikobakterium (basil tuberkel). Organisme ini


memiliki patogenisitas langsung yang lemah, tapi menimbulkan respon imun
hipersensitivitas lambat, yang berpuncak ke reaksi granulomatosa.

Makrofag adalah sel jaringan yang berasal dari monosit. Waktu paruh monosit
dalam sirkulasi sekitar 1 hari, di bawah pengaruh molekul adhesi dan faktor kemotaksis
monosit mulai beremigrasi ke tempat jejas dalam waktu 24-48 jam pertama setelah onset
inflamasi akut. Pada saat mencapai jaringan, monosit berubah menjadi makrofag yang
lebih besar.
Makrofag juga bisa menjadi teraktivasi, proses yang menyebabkan ukuran sel
bertambah besar, meningkatnya kandungan enzim lisosom, metabolisme yang lebih
aktif, dan memiliki kemampuan lebih besar untuk membunuh organism yang dimangsa.
Dengan pewarnaan HE standar, di bawah mikroskop sel ini tampak besar, pipih, merah
muda, dan menyerupai sel skuamosa sehingga disebut makrofag epiteloid.
32

Makrofag juga mensekresi : protease asam dan netral, komponen faktor


koagulasi, spesies oksigen reaktif, NO, metabolit AA, sitokin (IL-1 dan TNF)
Normalnya, pada inflamasi akut, makrofag yang mati akhirnya masuk ke
pembuluh limfe. Namun pada peradangan kronik, akumulasi makrofag menetap akibat
pelepasan terus menerus faktor yang berasal dari limfosit. Bahkan induksi IL-4 dan
Interferon gamma juga dapat menginduksi fusi makrofag menjadi sel besar berinti
banyak, giant cell.
Limfosit T memiliki hubungan timbal balik dengan makrofag dalam inflamasi
kronik. Limfosit T mulanya teraktivasi oleh interaksi dengan makrofag yang menyajikan
fragmen antigen terproses pada permukaan selnya. Limfosit teraktivasi kemudian
menghasilkan interferon gamma suatu sitokin perangsang untuk mengaktivasi monosit
dan makrofag. Makrofag teraktivasi selanjutnya melepaskan sitokin, yaitu IL-1 dan TNF
yang lebih jauh mengaktivasi limfosit. Hasil akhirnya adalah suatu fokus radang, yaitu
tempat makrofag dan sel T secara persisten dapat saling merangsang satu sama lain
sampai antigen pemicu hilang.
Inflamasi granulomatosa merupakan suatu pola inflamasi kronik khusus, yang
ditandai dengan agregasi makrofag teraktivasi yang gambarannya menyerupai sel
skuamosa (epiteloid). Granuloma dapat erbentuk pada keadaan respons sel T yang
persist terhadap mikroba tertentuk seperti Mycobacterium tuberculosis, Treponema
pallidum. Granuloma juga dapat berespons terhadap benda asing yang relative inert
seperti benang, serpihan, implant payudara.
Agregat makrofag epiteloid dikelilingi oleh serangkaian limfosit yag menyekresi
sitokin yang bertanggung jawab untuk aktivasi makrofag secara terus-menerus. Pada
grannuloma yang lebih tua juga terdapat lingkaran fibroblast dan jaringan ikat, akibat
meluasnya sitokin oleh makrofag teraktivasi.

Lingkaran jaringan parut ini berguna untuk menahan agen berbahaya yang
disebabkan oleh pembentukan granuloma di tempat pertama jejas, walaupun dapat juga
menjadi penyebab jejas dan disfungsi jaringan. Sering kali sel raksasa berinti banyak dan
berdiameter 40-50 mikron juga ditemukan dalam granuloma. Sel itu terdiri atas massa
sitoplasma besar dan berinti sel banyak dan berasal dari fusi 20 atau lebih makrofag.
33

Pada granuloma yang disebabkan oleh basil tuberkel, suatu kombinasi antara hipoksia
dan jejas akibat radikal bebas menimbulkan nekrosis zona sentral. Secara makroskopis
granuloma memiliki gambaran granular dan perkijuan sehingga disebut nekrosis
kaseosa.
Oleh karena penghubung saluran limfe longgar, cairan limfe akhirnya
menyeimbangkan dengan cairan ekstravaskular. Akibatnya selama peradangan, aliran
saluran limfe meningkat dan membantu mengalirkan cairan edema dari ruang
ekstravaskular. Selain cairan, leukosit dan debris sel juga bisa menemukan jalan masuk
ke dalam limfe. Bahkan pada keadaan inflamasi luas, aliran limfe juga dapat
mengangkut agen penyerang. Akibatnya saluran limfe itu sendiri dapat mengalami
peradangan sekunder (limfangitis), begitu pula kelenjar getah bening (limfadenitis).
Pembesaran kelenjar tersebut biasanya disebabkan oleh proliferasi limfosift dan
makrofag pada folikel dan sinus limfoid, serta hipertrofi sel fagositik.
Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberculin, yang muncul pada seseorang yang
telah tersensititasi terhadap basil tuberkel oleh infeksi sebelumnya. Delapan hingga 12
jam setelah injeksi tuberculin (ekstrak protein-lipopolisakarida basil tuberkel) intrakutan,
muncul suatu area eritema dan indurasi setempat yang mencapai puncaknya dalam
waktu 24-72 jam. Secara histologist, reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel Thelper CD4 dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin oleh sel
radang mononuclear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas mikrovaskular,
sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin. Urutan kejadian pada
DTH dimulai dengan pajanan pertama individu terhadap basil tuberkel. Limfosfit CD4
mengenali antigen peptide dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II pada makrofag
yang telah memprosesnya.
Proses ini membentuk sel CD4 yang tersensititasi yang tetap berada di dalam
sirkulasi selama bertahun-tahun. Saat terjadi pajanan ulang, sel memori akan
memberikan respons dan Th1 akan mensekresi sitokin. Secara keseluruhan sitokin :

IL-12 merupakan sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal
dengan basil tuberkel, fungsinya mematangkan sel Th1. Th1 akan mensekresi

Interferon gamma.
Interferon gamma (paling penting) merupakan activator makrofag yang sangat
poten yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi
mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga
34

meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai


aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat. Makrofag teraktivasi juga
mensekresi TFG-alfa yang merangsang proliferasi fibroblast dan meningkatkan

sintesis kolagen.
IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang terakumulasi pada DTH.
TNF dan limfotoksin menggunakan efek pentingnya pada sel endotel.
Meningkatkan sekresi NO dan prostasiklin, meningkatnya pengeluaran selektin E
(molekul adhesi sel mononuclear), induksi dan sekresi IL-8 yang memudahkan
keluarnya limfosit dan monosit dari pembuluh arah.
Molekul MHC kelas II berperan dalam jenis reaksi selular yang berbeda dari

MHC kelas I. Apabila suatu PAC seperti makrofag menyajikan epitop yang suadh
diproses di permukaannya, maka epitop tersebut dikaitkan dengan antigen MHC kelas
II. Sel T CD4 akan mengenali epitop tersebut dan menigkat kompleks MHC-imunogen
melalui kompleks TCR nya. Protein CD4 dari sel T CD4 menstabilkan interaksi, dan sel
CD4 menjadi aktif untuk melanjutkan respons imun.
Tuberkulosis adalah suatu penyakit granulomatosa kronis menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Patogenesis tuberculosis pada individu
imunokopmeten yang belum pernah terpajan berpusat pada pembentuk imunitas selular
yang menimbulkan resistensi terhadap organism dan menyebabkan terjadinya
hipersensitivitas jaringan terhadap antigen tubercular. Gambaran patologik tuberculosis,
seperti granuloma perkijuan dan kavitasi, terjadi akibat hipersensitivitas jaringan yang
destruktif. Urutan terjadinya pathogenesis dari TB :

Setelah strain virulen mikobakteri masuk ke endosom makrofag (suatu proses yang
diperantarai oleh reseptor makrofag yang mengenali glikolipid berselubung manosa
di dinding sel tubercular), organism mampu menghambat respons mikrobisida
normal dengan memanipulasi pH endosom dan menghentikan pematangan
endosom. Hasil akhir manipulasi endosom ini adalah gangguan pembentuk
fagolisosom efektif sehingga mikobakteri berproliferasi tanpa terhambat.

Oleh karena itu, fase terdini pada tuberculosis primer (<3 minggu) pada orang yang
belum tersensititasi ditandai dengan proliferasi basil tanpa hambatan di dalam
makrofag alveolus dan rongga udara

Meskipun terjadi bateremia, sebagian besar pasien pada tahap ini asimtomatik atau
mengalami gejala mirip flu

35

Timbulnya imunitas selular terjadi sekitar 3 minggu setelah pajanan. Antigen


mikobakterium yang telah diproses mencapai kelenjar getah bening regional dan
disajikan dalam konteks histokompabilitas mayor kelas II oleh makrofag ke sel TH
CD4.

Di bawah pengaruh IL-12 yang dikeluarkan makrofag, sel TH0 ini mengalami
pematangan menjadi TH1 CD4 yang mempu mengeluarkan interferon gamma.

Interferon gamma yang dikeluarkan sangat penting untuk mengaktifkan makrofag.


Makrofag akan mensekresi TNF yang berperan merekrut monosit, yang pada
gilirannya mengalami pengaktifan dan diferensiasi menjadi histiosit epiteloid yang
menandai respons granulomatosa.

Selain mengaktifkan makrofag, sel T CD4 juga mempermudah terbentuknya sel T


sitotoksik CD8 yang dapat mematikan makrofag yang terinfeksi oleh tuberculosis.

MEKANISME TERBENTUKNYA GRANULOMA

36

37

Tuberkulosis primer adalah bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang belum
pernah terpajan. Dampak utama tuberculosis primer adalah bahwa penyakit ini memicu
timbulnya hipersensitivitas dan resistensi. Fokus jaringan parut mungkin mengandung
basil hidup selama bertahun-tahun, bahkan seumur hidup, sehingga menjadi nidus saat
reaktivasi pada masa mendatang ketika pertahanan pejamu menyerang.
38

Biasanya basil yang terhirup tersangkut di rongga udara distal di bagian bawah
lobus, atau bagian atas lobus bawah, umumnya dekat ke pleura. Seiring dengan
terbentuknya sensititasi, muncul daerah konsolidasi meradang berukuran 1-1,5 cm yaitu
fokus Ghon. Pada sebagian besar kasus, bagian tengah fokus ini mengalami nekrosis
perkijuan. Basil tuberkel, baik bebas atau I dalam fagosit, mengalir ke kelenjar regional
yang juga sering mengalami perkijuan. KOmbinasi lesi parenkim dan keterlibatan
kelenjar getah bening ini disebut sebagai kompleks Ghon. Oleh karena itu kompleks
Ghon mengalami fibrosis progresit, sering diikuti oleh kalsifikasi yang terdeteksi secara
radiologis (kompleks Ranke).
Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus
Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik
terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang
didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam
beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit.
Tuberkulosis sekunder merupakan pola penyakit yang terjadi pada pejamu yang
telah tersensititasi. Penyakit ini mungkin terjadi segera setelah tuberculosis primer, tetapi
umumnya muncul karena reaktivasi lesi primer dorman beberapa decade setelah infeksi
awal, terutama jika resistensi pejamu melemah. Penyakit ini juga dapat terjadi akibat
reinfeksi eksogen karena berkurangnya proteksi yang dihasilkan oleh penyakit primer
atau karena besarnya inokulum basil hidup. Tuberkulosis paru sekunder biasanya terbatas
di apeks satu atau kedua lobus atas. Mungkin berkaitan dengan tingginya tegangan
oksigen di apeks. Karena sudah terdapat hipersensitivitas, cenderung terjadi pembatasan
fokus. Akibat lokalisasi ini, pada awal perkembangan penyakit kelenjar getah bening
regional kurang terlalu terlibat dibandingkan dengan tuberculosis primer. Di pihak lain,
kavitasi mudah terjadi pada bentuk sekunder, yang menyebabkan penyebaran di
sepanjang saluran napas.
Dapat terjadi tuberculosis paru progresif. Lesi di apeks membesar disertai
meluasnya daerah perkijuan. Erosi ke dalam bronkus menyebabkan bagian tengah
perkijuan keluar, menciptakan suatu kavitas irregular yang dilapisi oleh bahan kaseosa
yang kurang dibungkus oleh jaringan fibrosa. Erosi pembuluh darah menyebabkan
hemoptisis. Tuberkulosis paru miliaris terjadi jika organism keluar melalui limfatik ke
dalam duktus limfatikus, yang mengalirkan isinya ke dalam aliran balik vena untuk
menuju ke sisi kanan jantung dan kemudian ke dalam arteri paru. Setiap lesi adalah fokus
39

mikroskopik atau fokus kecil (2mm) konsolidasi yang tersebar di seluruh parenkim paru
(miliaris berasal dari kemiripan fokus ini dengan biji millet). Tuberkulosis milier sistemik
terjadi jika fokus infeksi di paru mencemari aliran balik vena paru ke jantung, organism
kemudian menyebar melalui sistem arteri sistemik. Tuberkulosis milier banyak
ditemukan di hati, sumsum tulang, limpa, adrenal, meningen, ginjal, tuba fallopii, dan
epididimis.
Induksi terjadinya atau terbentuknya giant cell yaitu adanya glikolipid proinflamasi pada dinding sel mycobacterium yang meninduksi penggabungan makrofag
menjadi giant cell via Toll-Like Receptor 2-dependent, ADAM9- and 1 integrin
mediated pathway.
Pembuluh limfe paru berasal dari plexus superficialis dan plexus profundus,
pembuluh-pembuluh ini tidak terdapat pada dinding alveoli. Plexus superficialis
(subpleural) terletak di bawah pleura visceralis dan mengalirkan cairannya melalui
permukaan paru ke arah hilum pulmonis, tempat pembuluh limfe bermuara ke nodi
bronchopulmonales. Plexus profundus berjalan sepanjang bronchi dan arteriae, venae
pulmonalis menuju ke hilum pulmonis, mengalirkan limfe ke nodi intrapulmonales yang
terletak

di

dalam

substansi

paru,

limfe

kemudian

masuk

ke

dalam

nodi

bronchopulmonales di dalam hilum pulmonis. Semua cairan limfe paru meninggalkan


hilum pulmonis mengalir ke nodi tracheobronchiales dan kemudian masuk ke dalam
truncus lymphaticus bronchomediastinalis.
Di leher terdapat nodi lymphoidei cervicales superficiales terletak sepanjang V.
jugularis externa, superficialis terhadap M. sternocleidomastoideus. Kelenjar ini
menerima pembuluh limfe dari nodi lymphoidei occipitals dan mastoideus. Nodi
lymphoidei utama leher adalah nodi lymphoidei cervicales profundi, yang membentuk
rantai sepanjang permukaan anterolateral v. jugularis interna. Modi ini terdapat di dalam
selubung carotis dan menampung pembuluh limfe aferen dari struktur yang ada di
dekatnya dan dari seluruh kelompok nodi lymphoidei lainnya di leher dan kepala.
Pembuluh limfe eferen dari nodi bergabung membentuk truncus lymphaticus jugularis,
yang bermuara ke ductus thoracicus. 2 kelenjar yang paling sering dirujuk di klinik :
Nodus jugulodigastricus dan jugulo-omohyoideus.
Lymph nodes regional leher : Nodi lymphoidei occipitals, retroauricales
(mastoidei), buccales (facials), parotidei, submandibulares, submentales, cervicales
40

anteriores, cervicales superficiales, retropharyngeales, laryngeals, tracheales.


Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah tatau tengah, kelenjar limfe yang
akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus. Jika fokus primer terletak di apeks paru,
yang akan telribat adalah kelenjar paratrakeal.
Pembesaran

KGB

dapat

dibedakan

menjadi

pembesaran

KGB

lokal

(limfadenopati lokalisata) dan pembesaran KGB umum (limfadenopati generalisata).


Limfadenopati lokalisata didefinisikan sebagai pembesaran KGB hanya pada satu daerah
saja, sedangkan limfadenopati generalisata apabila pembesaran KGB pada dua atau lebih
daerah yang berjauhan dan simetris.
Pada awal infeksi, aspirat mengandung campuran neutrofil dan limfosit.
Kemudian mengandung bahan pirulen dari neutrofil dan massa debris. Limfadenitis
bakterial akut biasanya menyebabkan KGB berwarna merah, panas dan nyeri tekan.
Pada infeksi oleh Mikobakterium tuberkulosis, aspirat tampak karakteristik sel
epiteloid dengan latar belakang limfosit dan sel plasma. Sel epiteloid berupa sel bentuk
poligonal yang lonjong dengan sitoplasma yang pucat, batas sel yang tidak jelas, kadang
seperti koma atau inti yang berbentuk seperti bumerang yang pucat, berlekuk dengan
kromatin halus.
Aspirat Limfoma non-Hodgkin berupa populasi sel yang monoton dengan
ukuran sel yang hampir sama. Biasanya tersebar dan tidak berkelompok. 1,2,4
Diagnostik sitologi Limfoma Hodgkin umumnya dibuat dengan ditemukannya tanda
klasik yaitu sel Reed Sternberg dengan latar belakang limfosit, sel plasma, eosinofil dan
histiosit. Sel Reed Sternberg adalah sel yang besar dengan dua inti atau multinucleated
dengan sitoplasma yang banyak dan pucat Lokasi pembesaran KGB pada dua sisi leher
secara mendadak biasanya disebabkan oleh infeksi virus saluran pernapasan bagian atas.

Ukuran: normal bila diameter 0,5 cm dan lipat paha >1,5 cm dikatakan abnormal.

Nyeri tekan: umumnya diakibatkan peradangan atau proses perdarahan.

Konsistensi: keras seperti batu mengarahkan kepada keganasan, padat seperti karet
mengarahkan kepada limfoma; lunak mengarahkan kepada proses infeksi; fluktuatif
mengarahkan telah terjadinya abses/pernanahan.

Penempelan/bergerombol: beberapa KGB yang menempel dan bergerak bersamaan bila


digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis, sarkoidosis atau keganasan.
41

Pada pembesaran KGB oleh infeksi virus, umumnya bilateral lunak dan dapat
digerakkan. Bila ada infeksi oleh bakteri, kelenjar biasanya nyeri pada penekanan, baik
satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif dan dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan
suhu lebih panas dari sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif
menandakan terjadinya abses. Bila limfadenopati disebabkan keganasan tanda-tanda
peradangan tidak ada, KGB keras dan tidak dapat digerakkan oleh karena terikat dengan
jaringan di bawahnya.
Pada infeksi oleh mikobakterium, pembesaran kelenjar berjalan bermingguminggu sampai berbulan-bulan, walaupun dapat mendadak, KGB menjadi fluktuatif dan
kulit diatasnya menjadi tipis, dan dapat pecah dan terbentuk jembatan-jembatan kulit di
atasnya
Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula
(Dorland, 1998). Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling
sering terjadi (Kumar, 2004). Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti
pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.) menyebutkan istilah tumor skrofula
pada sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini juga sudah dikenal sejak zaman
raja-raja Eropa pada zaman pertengahan dengan nama Kings evil, dimana dipercaya
bahwa sentuhan tangan raja dapat menyembuhkannya.
Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut
sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang
sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran
kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.
Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe
regional di hilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi
inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional
(limfadenitis). Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat
penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru.
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis,
kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris,
mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra, 2004).
Berdasarkan penelitian oleh Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe yang terlibat
yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe servikalis
42

Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2004) limfadenopati


tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan sekitar oleh
karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran 2 cm biasanya
disebabkan oleh M.tuberculosis. Oleh karena dilewati oleh aliran pembuluh getah bening
yang dapat membawa antigen (mikroba, zat asing) dan memiliki sel pertahanan tubuh
maka apabila ada antigen yang menginfeksi maka kelenjar getah bening dapat
menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih banyak untuk mengatasi antigen
tersebut sehingga kelenjar getah bening membesar. Pembesaran kelenjar getah bening
dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari KBG itu
sendiri seperti limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit,atau karena datangnya sel-sel
peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis),
infiltrasi (masuknya) sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolit makrofag
(gaucher disease).
Rute yang menjadi kemungkinan tempat masuknya mikobakterium tuberkulosa
ke kelenjar limfe:
1. Reaktifasi dari TB paru atau pelebaran hilus (paling sering).
2. Keterlibatan cervical melalui infeksi laring
3. Jalur hematogen
Penyebaran kuman TB dapat terjadi secara limfogen dan hematogen. Pada
penyebaran limfogen, kuman melalui kelenjar getah bening membentuk kompleks
primer. Pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke aliran sikrulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh dan terjadi manifestasi ekstrapulmonal seperti otak, ginjal,
tulang, dan lain-lain.

43

Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, biasanya berlangsung dalam 3-6
bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura
terjadi dalam 3-6 bulan, tuberculosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama,
walaupun dapat juga pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya lebih
lama yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer.
Komplikasi pembesaran kelenjar limfe regional

PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMI

Fine Needle Aspiration (FNA)

Fine Needle Aspiration (FNA) adalah prosedur yang dilakukan untuk memperoleh
jaringan dengan cara penghisapan di benjolan atau massa yang berada di bawah lapisan kulit
44

dengan menggunakan jarum yang halus yang terpasang pada spuit (jarum biasanya berukuran 22
atau 25G). Ada 2 jenis FNA:
1. FNAC (Fine Needle Aspiration Cytology) untuk pemeriksaan specimen sel.
2. FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) untuk pemeriksaan specimen jaringan.

Perbedaan hasil pengambilan specimen dengan FNAC dan FNAB


Hemangioma: FNAC: (a dan b) Cluster sel endotel spindle jinak pada latar belakang darah (H
dan E, 400). FNAB: (c) ruang dengan latar darah dilapisi oleh sel endotel hambar dengan
hepatosit jinak yang berdekatan (H dan E, 100). Hemangioendothelioma Hati: FNAB: (d)
Batasnya lobular vaskular dengan hepatosit jinak yang berdekatan (H dan E, 100). (e)
Beberapa interkoneksi saluran pembuluh darah dari berbagai ukuran dilapisi oleh lapisan tunggal
pada atau sel endotel gemuk (H dan E, 400)
FNA dapat dilakukan pada:
- Kista (benjolan berisi cairan)
- Nodul atau massa
- Pembesaran limfonodus

Beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum melakukan FNA:


Beberapa hari sebelum melakukan FNA pasien dianjurkan untuk menghentikan

penggunaan aspirin dan warfarin.


Bebrapa jam sebelum FNA dilakukan, pasien tidak boleh makan atau minum.

Prosedur FNA:
Bersihkan permukaan kulit dengan cairan antiseptic.
Dapat dilakukan anestesi pada area yang akan dilakukan FNA.
Dapat juga digunakan ultrasound untuk menentukan lokasi yang tepat untuk melakukan
FNA.
45

Insersikan jarum halus yang terpasang pada spuit pada area abnormal
Piston di dalam tabung suntik ditarik ke arah proksimal; tekanan di dalam tabung
menjadi negatif; jarum manuver mundur-maju. Dengan cara demikian sejumlah sel dari

massa tersebut masuk ke dalam lumen jarum suntik.


Tarik keluar jarum dari massa tersebut dengan searah.
Piston dalam tabung dikembalikan pada posisi semula dengan cara melepaskan

pegangan.
Aspirat dikeluarkan dan dibuat sediaan hapus, dikeringkan di udara dan dikirimkan ke
laboratorium. Sering terjadi false negative karena kemungkinan jarum tidak tepat saat

pengambilan sel.
Hasil sample dari FNA dapat langsung diperiksa di bawah mikroskop atau dikirim ke
laboratorium untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Berikut ini adalah metode lain:

Biopsi insisional yaitu pengambilan sampel jaringan melalui pemotongan dengan pisau
bedah. Pasien akan dibius total atau lokal tergantung lokasi massa, lalu dengan pisau
bedah, kulit disayat hingga menemukan massa dan diambil sedikit untuk diperiksa.

Biopsi eksisional yaitu pengambilan seluruh massa yang dicurigai untuk kemudian
diperiksa di bawah mikroskop. Metode ini dilakukan di bawah bius umum atau lokal
tergantung lokasi massa dan biasanya dilakukan bila massa tumor kecil dan belum ada
metastase atau penyebaran tumor.

Core biopsi jarum yaitu pengambilan sampel jaringan atau cairan dengan cara disedot
lewat jarum berukuran besar.
46

Biopsi jarum dengan bantuan endoskopi. Prinsipnya sama yaitu pengambilan sampel
jaringan dengan aspirasi jarum, hanya saja metode ini menggunakan endoskopi sebagai
panduannya. Cara ini baik untuk tumor dalam saluran tubuh seperti saluran pernafasan,
pencernaan dan kandungan. Endoskopi dengan kamera masuk ke dalam saluran menuju
lokasi kanker, lalu dengan jarum diambil sedikit jaringan sebagai sampel.

Punch biopsy. Biopsi ini biasa dilakukan pada kelainan di kulit. Metode ini dilakukan
dengan alat yang ukurannya seperti pensil yang kemudian ditekankan pada kelainan di
kulit, lalu instrument tajam di dalamnya akan mengambil jaringan kulit yang ditekan.
Pasien akan dibius lokal saja dan bila pengambilan kulit tidak besar maka tidak perlu
dijahit.

47

PEMERIKSAAN PATOLOGI KLINIK


a. Hb
Pemeriksaan Hb menurut Sahli digolongkan kepada metoda colorimetri. Prinsipnya, Hb
darah diubah menjadi hematin chlorida, yang warnanya menjadi coklat tua (tengguli).
Warna yang terjadi diencerkan dengan aquadest sampai dengan warna standart Hematin
chlorida.
Cara Pemeriksaan
1. Siapkan tabung dan isilah dengan HCl 0,1 N hingga garis yang terendah (pada angka
2)
2. Dengan pipet Hb hisap darah sampai angka 20 cmm jangan sampai ada gelembung
udara yang ikut dihisap
3. Tuang darah ke dalam tabung pengencer, bilas dengan HCl bila masih ada darah
4.
5.
6.
7.

dalam pipet
Biarkan selama 1 menit
Tambahkan aquadest tetes demi tetes, aduk dengan batang kaca pengaduk
Bandingkan larutan dalam tabung pengencer dengan warna larutan standart
Bila sudah sama warnanya penambahan aquadest dihentikan, baca kadar Hb pada
skala yang ada di tabung pengencer.

b. Leukosit
Alat-alat
1. Alkohol 70%
2. kapas
3. Hemolet
4. Cairan turk

5. Mikroskop
6. Hemocytometer lengkap
7. Kamar hitung
8. Kaca penutup
9. Pipet leukosit
10. Pipet karet
48

Cara
1. Isap darah kapiler dengan pipet leukosit sampai tanda 0.5, hapuslah kelebihan
darah yang melekat di ujung luar pipet.
2. Isap ke dalam pipet (1) cairan Turk sampai tanda 11, sambil memutar-mutar
pipetnya, lepaskan karetnya.
3. Kocok pipet 10-15 detik dalam posisi horizontal sambil diputar-putar.
4. Kocok lagi selama 3 menit, buanglah 4 tetesan yang pertama lalu diisikan ke
dalam kamar hitung yang bersih, biarkan 2-3 menit.
5. Hitung di bawah mikroskop dengan kamar hitung Improved Neubauer:
Leukosit : dengan HPF dalam 64 kotak kecil atau dalam 4 x 16 kotak kecil dan
hasilnya dikalikan dengan 50
c. LED
Pemeriksaan laju endap darah (LED) ialah tes darah yang menggambarkan kecepatan
pengendapan eritrosit dalam plasma sampel darah menggunakan antikoagulan natrium
sitrat. Makin banyak eritrosit yang mengendap maka makin tinggi Laju Endap Darah
(LED)-nya. Ada beberapa metode yang digunakan untuk tes LED manual, tetapi metode
Westergreen merupakan metode yang disarankan oleh International Committee for
Standardization in Hematology (ICSH). Tes LED manual metode Westergreen
mempunyai beberapa kelebihan, antara lain memiliki skala tabung yang panjang
sehingga

memungkinkan

untuk

menghitung

skala

pembacaan

yang

besar.

Kekurangannya bila pemasangan tabung tidak tegak lurus akan memberikan hasil yang
berbeda. Metode inilah yang digunakan dalam pemeriksaan LED kali ini.
MetodeWintrobe:
1. Dengan memakai pipet Wintrobe, masukkanlah darah yang telah dicampur dengan
antikoagulan ke dalam tabung Wintrobe setinggi garis tanda 0 mm. Jagalah jangan
sampai terjadi gelembung hawa atau busa.
2. Biarkan tabung Wintrobe itu dalam sikap tegak-lurus selama 60 menit.
3. Bacalah tingginya lapisan plasma dengan milimeter dan laporkanlah angka itu
sebagai laju endap darah.
MetodeWestergreen:
1. Isaplah 0,4 ml larutan natrium sitrat 3,8% yang steril dalam spuit yang steril juga.
2. Lakukanlah pungsi vena dengan spuit itu dan isaplah 1,6 ml darah sehingga
mendapatkan campuran sebanyak 2,0 ml.
3. Masukkanlah campuran itu ke dalam tabung dan campurlah baik-baik.
49

4. Isaplah darah itu ke dalam pipet Westergreen sampai garis bertanda 0 mm, kemudian
biarkan pipet itu dalam sikap tegak lurus dalam rakWestergreen selama 60 menit.
5. Bacalah tingginya lapisan plasma dengan milimeter dan laporkanlah angka itu
sebagai laju endap darah.
Sangat penting untuk meletakkan pipet atau tabung laju endap darah dalam sikap
tegak-lurus benar karena selisih kecil dari garis vertikal sudah dapat berpengaruh banyak
terhadap hasil laju endap darah.

d. Diff.count
Alat dan Bahan
Alat :

Blood lancet atau alat suntik


Object Glass (2 buah)
Deck Glass

Mikroskop
Pipet
Pirng kecil

Metanol
Aquadest
Larutan Buffer

Bahan :

Darah (kapiler/ kapiler dengan EDTA)


Larutan Giemsa
Alkohol 70%

Cara Kerja
Membuat Sediaan Apus Darah
1. Mengambil darah kapiler dan mencampurkan dengan EDTA, lalu meneteskan 1 tetes
darah dengan menggunakan pipet (garis tengah tetesan tidak lebih dari 2 mm).
Meletakkan gelas objek tersebut di atas meja dengan tetes darah di sebelah kanan.
2. Mengambil objek lain yang digunakan sebagai kaca penghapus, memilih yang bertepi
3.

benar-benar rata.
Meletakkan kaca penghapus di sebelah kiri tetesan darah dengan tangan kanan,
menyentuhkan kaca pada tetesan darah dan membiarkannya hingga darah menyebar ke

seluruh sisi kaca tersebut. Menunggu sampai darah mengenai titik cm dari sudut kaca.
4. Mengatur sudut kaca penghapus antara 30 - 45 dan segera Menggerakkan kaca ke arah
kiri sambil memegangnya dengan sudut. Jangan menekan kaca pembesar itu ke bawah.
50

Mengusahakan darah telah habis sebelum kaca penghapus mencapai ujung lain dari gelas
objek. Hapusan darah tidak boleh terlalu tipis atau terlalu tebal. Ketebalan dapat diatur
dengan mengubah sudut antara kedua kaca objek dan kecepatan menggeser. Makin besar
sudut atau makin cepat menggeser, makin tipis hapusan darah yang dihasilkan.
5. Membiarkan sediaan kering di udara. Meletakkan sediaan yang akan dipulas di atas rak
tempat memulas dengan lapisan darah ke atas.
6. Meneteskan methanol ke atas sediaan itu, sehingga bagian yang terlapis darah tertutup
seluruhnya. Membiarkan selama 5 menit atau lebih lama. Menuang kelebihan methanol
dari kaca.
7. Meliputi sediaan itu dengan Giemsa yang telah diencerkan (giemsa stain 1 cc menjadi 10
cc dengan aquadest) dan membiarkan selama 30 menit. Membilas dengan air suling.
8. Meletakkan sediaan dalam sikap vertikal dan membiarkan mengering pada udara.
Memeriksa Sediaan Apus Darah
1. Meneteskan satu tetes minyak emersi pada bagian sediaan apus yang baik untuk
diperiksa dan menutup dengan kaca penutup (Deck Glass).
2. Melihat sediaan dengan pembesaran lemah (lensa objektif 10x dan lensa okuler 10x)
untuk mendapat gambaran menyeluruh.
3. Memperhatikan penyebaran sel-sel darah yang telah cukup merata, dan jumlah leukosit
dan kelompok trombosit.
4. Mulailah hitung jenis leukosit dengan pembesaran 100x. Saat dilakukan hitung jenis
leukosit, sediaan digerakkan sedemikian rupa sehingga satu lapang pandang tidak dinilai
lebih dari satu kali. Mencatat semua jenis leukosit yang dijumpai. Makin banyak leukosit
yang dihitung, makin kecil kesalahan yang terjadi. Biasanya perhitungan dilakukan atas
100 leukosit.
5. Jumlah setiap jenis sel dinyatakan dalam persen

F. KERANGKA KONSEP
G.
Inhalasi aerosol
H.
M. tuberculosis

Difagosit alveolar
macrophage

Menyebar via
Limfogen

Bekembangbiak
I.
didalam macrophage

51

Limfadenopati

Perubahan
Morfologi

Integrasi
Macrophage

Sel
epitheloid

SekresiJ.
sitokin

Aktivasi
K.
Limfosit

Sel Datia
langhans

Aktivasi
macrophage lain

Macrofag
mati

M. tuberculosis
keluar

Nekrosis
Caseosa

GRANULOMA
H. KESIMPULAN
Tn. Budi, 22 tahun, menderita Tuberculosis Paru dan Limfadenitis akibat infeksi M.
tuberculosis yang menyebabkan terbentuknya granuloma-granuloma sehingga terbentuk
gambaran radang kronik spesifik granulomatous.

52

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. "Tinjauan Pustaka". http://igdilib.unimus.ac.id/files/disk1/107/jtptunimus-gdlnoorainnyg-5318-2-bab2.pdf.


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis : Pedomanan Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Dalam http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html,
diakses 28 November 2013.
Price, Sylvia A & Lorraine M. Wilson. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Devi Martina, Adinda. 2012. Hubungan Usia, Jenis Kelamin dan Status Nutrisi Dengan
Kejadian Anemia pada Pasien Tuberkulosis di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Ridzon, Renee. 2004. Tuberculosis. Dalam www.nejm.org diakses pada 26 November 2013
Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis. Jakarta: Widya Medika
Sattar, Farzan. 1999. Chapter 38 Cough and Sputum Production dalam Clinical Methods :
The History, Clinical, and Laboratory Examinations 3rd Edition. Dalam
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK359/, diakses 28 November 2013.
Made
Mahaguna
Putra.
Diakses
pada
26-11-13
di
http://made-m-pfkp11.web.unair.ac.id/artikel_detail-50032-Keperawatan%20Respirasi%20-Pemeriksaan
%20Sputum%20dan%20Analisa%20Gas%20Darah%20.html
Pangau,Stephanie MPH. diakses pada 26-11-13di http://reformata.com/news/view/808/lama53

penyembuhan-penyakit-tbc
Karpf, Michael. Chapter 149 Lymphadenopathy.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK256/

Di

akses

pada

26-11-13

ATLAS
OF
PATHOLOGY
2nd
Edition.
Di
akses
pada
26-11-13
http://www.pathologyatlas.ro/tuberculous-lymphadenitis-granuloma.php

di
di

54

Anda mungkin juga menyukai