PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Antibiotik adalah salah satu obat yang paling sering diresepkan dalam
pengobatan modern dan digunakan untuk mengobati infeksi bakteri pada
tubuh jika digunakan dengan benar. Antibiotik juga dikenal sebagai
antibacterial; antibiotic diambil dari kata Yunani dimana anti berarti
melawan dan bios berarti hidup ( bakteri bentuk kehidupan . penisilin
adalah antibiotic pertama kali ditemukan oleh Alexander Fleming pada
tahun 1929 dan ini merupakan penemuan yang signifikan dalam ilmu
(Setiadi, 2003).
Menurut National Health Services (NHS) di United Kingdom , ada
berbagai jenis antibiotic dan dipakai tergantung pada jenis infeksi.
Diantaranya
adalah
aminoglikosida,
beta
laktam,
sulfonamide,
makrolid,
glikopreptida
tetrasiklin,
dan
kuinolon,
oxazozolidinones..
staphylococcus
aureus
dan
Methicilin-resistent
BAB 2
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Antibiotika berasal dari bahasa latin yang terdiri dari anti = lawan, bios
=hidup. Adalah zat-zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi dan
bakteri tanah, yang dapat menghambat pertumbuhan atau membasmi mikroba
jenis lain, sedang toksisitasnya terhadap manusia relatif kecil (Setiadi, 2003).
Antibiotik pertama kali ditemukan oleh sarjana Inggris dr.Alexander Fleming
(Penisilin) pada tahun 1928. Tetapi penemuan ini baru dikembangkan dan
digunakan dalam terapi di tahun 1941 oleh dr. Florey. Kemudian banyak zat
dengan khasiat antibiotik diisolir oleh penyelidik-penyelidik lain diseluruh
dunia, namun toksisitasnya hanya beberapa saja yang dapat digunakan
sebagai obat. Antibiotik juga dapat dibuat secara sintetis, atau semisintetis.
Aktivitas antibiotik umumnya dinyatakan dalam satuan berat(mg) kecuali
yang belum sempurna permurniannya dan terdiri dari campuran beberapa
macam zat, atau karena belum diketahui struktur kimianya, aktivitasnya
dinyatakan dalam satuan internasional = Internasional Unit (IU) (Harahap,
2000).
2.2 Klasifikasi
Meskipun terdapat beberapa golongan untuk antibiotik berdasarkan spektrum
bakteri atau cara pemberian ( injeksi, oral dan topikal) atau sifat ( bakterisid
dan bakteriostatis). Golongan antibiotik yang umum digunakan dilihat dari
keefektivitasan, toksisitas, dan potensial alergi (Schwartz, 2010).
1. Penisilin
Merupakan golongan antibiotik paling lama dan memiliki struktur kimia
yang sama dengan chepalosporins. Keduanya sama seperti beta-laktam dan
umumnya bersifat bakteriosid. Penisilin masih dapat dibagi lagi. Penisilin
berdasarkan strukturnya ; penisilinase resisten, terutama methicillin dan
oxacillin. Aminopenisilin seperti ampisillin dan amoxicillin termasuk
dalam golongan spektrum luas dibandingkan dengan penisilin. Penisilin
dengan spektrum luas dapat melawan infeksi karena bakteri dalam jumlah
yang besar. Biasanya mencakup Pseudomonas aeruginosa dan dapat
pemberian
penisilin
dapat
dikombinasikan
dengan
penghambat
Obat antibiotik ini berasal dari bakteri Streptomyces, yang mana bakteri
tersebut memiliki struktur kimia makrosiklik lakton. Eritromisin
merupakan bentuk dasar dari golongan ini, sedangkan spektrum dan
penggunaannya sama seperti penisilin. Kelompok
azithromisin
dan
clarithyromycin.
pengobatan infeksi
Clarithyromycin
dalam
(Schwartz, 2010).
Pada golongan antibiotik lainannya termasuk aminoglikosida, yang
digunakan dan efektif dalam pengobatan infeksi Pseudomonas aeruginosa ;
linkosamin, klindamisin, dan lincomisin sangat berperan pada bakteri patogen
anaerob. Terdapat beberapa obat lainnya yang digunakan untuk infeksi yang
lebih spesifik.
2.3 Mekanisme Kerja Antibiotik
Mekanisme kerja antibiotika antara lain (Gelmetti, 2008):
1. Menghambat sintesa dinding sel, akibatnya pembentukan dinding sel tidak
sempurna dan tidak dapat menahan tekanan osmosa dari plasma, akhirnya
sel akan pecah (penisilin dan sefalosporin).
2. Menghambat sintesa membran sel, molekul lipoprotein dari membran sel
dikacaukan pembentukannya, hingga bersifat lebih permeable akibatnya
zat-zat penting dari isi sel dapat keluar (kelompok polipeptida)
3. Menghambat sintesa protein sel, akibatnya sel tidak sempurna terbentuk
(kloramfenicol, tetrasiklin)
4. Menghambat pembentukan asam-asam inti (DNA dan RNA) akibatnya sel
tidak dapat berkembang (rifampisin)
1. Reaksi alergi
Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan
melibatkan sistem imun tubuh hospes. Terjadinya tidak bergantung pada
besarnya dosis obat. Manifestasi gejala dan derajat beratnya reaksi dapat
bervariasi (Wasitaatmadja, 2007).
Prognosis reaksi seringkali sukar diramalkan walaupun didasarkan
atas riwayat reaksi alergi pasien. Orang yang pernah mengalami reaksi
alergi, misalnya oleh penisilin, tidak selalu mengalami reaksi itu kembali
ketika diberikan obat yang sama. Sebaliknya orang tanpa riwayat alergi
dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan ulang penisilin. Reaksi
alergi pada kulit akibat penggunaan penisilin dapat menghilang sendiri,
walaupun terapinya diteruskan. Peristiwa ini mungkin berdasarkan pada
desensitisasi. Tetapi pada kejadian reaksi alergi yang lebih berat daripada
eksantem kulit, sebaiknya terapi antibiotik tersebut dihentikan. Sebab
makin berat sifat reaksi pertama makin besar kemungkinan timbulnya
reaksi yang lebih berat pada pemberian ulang, berupa anafilaksis,
dermatitis eksfoliativa, angioedema, dan lain-lain (Harahap, 2000).
2. Reaksi idiosinkrasi
Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik
terhadap pemberian antibiotik tertentu. Sebagai contoh, 10% pria berkulit
hitam akan mengalami anemia hemolitik berat bila mendapat primakuin,
ini disebabkan mereka kekurangan enzim G6PD (Harahap, 2000).
3. Reaksi toksik
Antibiotik pada umumnya bersifat toksik selektif, tetapi sifat ini
relatif. Efek toksik pada hospes dapat ditimbulkan oleh semua jenis
antibiotik. Yang mungkin dapat dianggap relatif tidak toksik sampai saat
ini adalah golongan penisilin. Dalam menimbulkan efek toksik, masingmasing antibiotik dapat memiliki predileksi terhadap organ atau sistem
tertentu pada tubuh hospes(Harahap, 2000).
Golongan aminoglikosida pada umumnya bersifat toksik terutama
terhadap nervus octavus. Golongan tetrasiklin cukup terkenal dalam
mengganggu pertumbuhan jaringan tulang, termasuk gigi, akibat deposisi
5
kompleks tetrasiklin kalsium ortofosfat. Dalam dosis besar obat ini bersifat
hepatotoksik, terutama pada pasien pielonefritis dan pada wanita hamil.
Di samping faktor jenis obat, berbagai faktor dalam tubuh juga dapat
menentukan terjadinya reaksi toksik, antara lain fungsi organ/sistem
tertentu sehubungan dengan biotransformasi dan ekskresi obat (Mohajeri,
2012).
4. Perubahan biologik dan metabolik
Pada tubuh hospes, baik yang sehat maupun yang menderita infeksi,
terdapat populasi mikroflora normal. Dengan keseimbangan ekologik,
populasi mikroflora tersebut biasanya tidak menunjukkan sifat patogen.
Penggunaan antibiotik terutama yang berspektrum luas dapat mengganggu
keseimbangan ekologik mikroflora sehingga jenis mikroba yang
meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen. Gangguan
keseimbangan ekologik mikroflora normal tubuh dapat terjadi di saluran
cerna, napas, saluran kelamin dan pada kulit. Pada beberapa keadaan
perubahan ini dapat menimbulkan superinfeksi, yaitu suatu infeksi baru
yang terjadi akibat terapi infeksi primer dengan suatu antibiotik. Mikroba
penyebab superinfeksi biasanya ialah jenis mikroba yang menjadi dominan
pertumbuhannya
akibat
penggunaan
antibiotik
berspektrum
luas,
hebat
lagi
dapat
terjadi
syok,
contohnya
Penisilin
danKloramfenikol. Guna mencegah bahaya ini maka sebaiknya salepsalep menggunakan antibiotika yang tidak akan diberikan secara
sistemis (oral dan suntikan).
6
b.
Resistensi
Jika obat digunakan dengan dosis yang terlalu rendah, atau waktu
terapi kurang lama, maka hal ini dapat menyebabkan terjadinya
resistensi artinya bakteri tidak peka lagi terhadap obat yang
bersangkutan. Untuk mencegah resistensi, dianjurkan menggunakan
kemoterapi dengan dosis yang tepat atau dengan menggunakan
kombinasi obat.
c.
Super infeksi
Yaitu infeksi sekunder yang timbul selama pengobatan dimana sifat
dan penyebab infeksi berbeda dengan penyebab infeksi yang pertama.
Super infeksi terutama terjadi pada penggunaan antibiotika broad
spektrum yang dapat mengganggu keseimbangan antara bakteri di
dalam usus saluran pernafasan dan urogenital. Spesies mikroorganisme
yang lebih kuat atau resisten akan kehilangan saingan, dan berkuasa
menimbulkan infeksi baru misalnya timbul jamur Candida albicans.
Selain antibiotik obat yang menekan sistem tangkis tubuh yaitu
kortikosteroid dan imunosupressiva lainnya dapat menimbulkan super
infeksi. Khususnya, anak-anak dan orang tua sangat mudah dijangkiti
super infeksi ini.
Pada pasien yang lemah, superinfeksi potensial dapat sangat
berbahaya, sebab kebanyakan mikroba penyebab superinfeksi biasanya
adalah kuman gram-negatif dan stafilokokus yang multi-resisten
terhadap obat, candida serta fungus sejati. Keadaan superinfeksi secara
khusus dapat menimbulkan kesulitan di rumah sakit. Kejadian resistensi
galur kuman yang tadinya sensitif terhadap suatu antibiotik di rumah
sakit terus meningkat, sehingga bila superinfeksi terjadi dengan
mikroba yang telah menjadi resisten, terapi akan sangat sukar berhasil.
Faktor yang mempermudah terjadinya superinfeksi adalah:
substansi berminyak atau terdiri dari emulsi lemak atau lilin yang
mengandung air dalam proporsi relatif tinggi (Bonner, 2008).
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau
lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.
Krim mempunyai konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam
minyak atau minyak dalam air. Sekarang batasan tersebut lebih diarahkan
untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi
mikrokristal asam asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air yang
dapat dicuci dengan air. Prinsip pembuatan krim adalah berdasarkan proses
penyabunan (saponifikasi) dari suatu asam lemak tinggi dengan suatu basa
dan dikerjakan dalam suasana panas yaitu temperatur 70- 80 C. Krim
merupakan obat yang digunakan sebagai obat luar yang dioleskan ke bagian
kulit badan. Obat luar adalah obat yang pemakaiannya tidak melalui mulut,
kerongkongan, dan ke arah lambung. Menurut defenisi tersebut yang
termasuk obat luar adalah obat luka, obat kulit, obat hidung, obat mata, obat
tetes telinga, obat wasir dan sebagainya (Bonner, 2008).
Ada beberapa tipe krim seperti emulsi, air terdispersi dalam minyak
(A/M) dan emulsi minyak terdispersi dalam air (M/A). sebagai pengemulsi
dapat digunakan surfaktan anionik, kationik dan non anionik. Untuk krim tipe
A/M digunakan : sabun monovalen, tween, natrium laurylsulfat, emulgidum
dan lain-lain. Krim tipe M/A mudah dicuci. Dalam pembuatan krim
diperlukan suatu bahan dasar. Bahan dasar yang digunakan harus memenuhi
kriteria-kriteria tertentu. Kualitas dasar krim yang diharapkan adalah sebagai
berikut (Gelmetti, 2008):
a. Stabil
b. Lunak
c. Mudah dipakai
d. Dasar krim yang cocok
e. Terdistribusi merata
Fungsi krim adalah:
a. Sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit
b. Sebagai bahan pelumas bagi kulit
9
10
kulit untuk menangani akne vulgaris ringan sampai sedang serta merupakan
terapi adjunctive dengan obat oral. Untuk infeksi superfisial dengan area yang
terbatas, seperti impetigo, penggunaan bahan topikal dapat mengurangi
kebutuhan akan obat oral, problem kepatuhan, efek samping pada saluran
pencernaan, dan potensi terjadinya interaksi obat. Selanjutnya, antibiotika
topikal seringkali diresepkan sebagai bahan profilaksis setelah tindakan bedah
minor atau tindakan kosmetik (dermabrasi, laser resurfacing) untuk
mengurangi resiko infeksi setelah operasi dan mempercepat penyembuhan
luka (Ozkan, 2000).
2.7 Pengobatan Topikal Untuk Akne
Efikasi antibiotika topikal pada pengobatan akne vulgaris dan rosasea
berhubungan langsung dengan efek antibiotika, dan diduga beberapa
antibiotika topikal memiliki efek anti-inflamasi dengan menekan neutrophil
chemotactic factor atau melalui mekanisme lain. Banyak hal yang harus
dipertimbangkan dalam memilih antibiotika topikal untuk akne vulgaris
karena meningkatnya resistensi terhadap antibiotika yang sering digunakan.
Ini menyebabkan para ahli mencari kemungkinan terapi kombinasi untuk
akne vulgaris yang dapat mengurangi terjadinya resistensi (Ozkan, 2000).
a. Eritromisin
Eritromisin termasuk antibiotika golongan makrolid dan efektif baik
untuk kuman gram positif maupun gram negatif. Antibiotika ini dihasilkan
oleh Streptomyces erythreus dan digunakan untuk pengobatan akne.
Eritromisin berikatan dengan ribosom 50S bakteri dan menghalangi
translokasi molekul peptidil-tRNA dari akseptor ke pihak donor,
bersamaan dengan pembentukan rantai polipepetida dan menghambat
sintesis protein. Eritromisin juga memiliki efek anti-inflamasi yang
membuatnya memiliki kegunaan khusus dalam pengobatan akne
(Wasitaatmadja, 2007).
Eritromisin tersedia dalam sediaan solusio, gel, pledgets dan salep 1,5
%-2% sebagai bahan tunggal. Juga tersedia dalam sediaan kombinasi
dengan benzoil peroksida, yang dapat menghambat resistensi antibiotika
12
adalah
antibiotika
linkosamid
semisintetik
yang
terhadap
Propionibacterium
acnes
dan
Staphylococcus
bakteri (tempat yang pasti sampai saat ini belum diketahui). Pada
organisme aerobik terdapat inhibisi enzim oksidoreduktif. Pada bakteri
anaerobik terdapat inhibisi pada enzim oksidoreduksi (seperti tyrosinase,
mitochondrial enzymes of the respiratory chain, 5-alpha reductase, dan
DNA polymerase). Pada bakteri anaerob, terdapat gangguan proses
glikolisis. Asam Azelaik digunakan terutama untuk pengobatan akne
vulgaris, dan ada yang menyarankan digunakan untuk hiperpigmentasi
(misalnya melasma), meskipun FDA tidak menyetujui indikasi ini. Asam
Azelaik tersedia dalam sediaan krim 20% (Ozkan, 2000).
2.8 Pengobatan Topikal Pada Infeksi Bakteri Superfisial
a. Mupirosin
Mupirosin, yang dahulu dikenal sebagai asam pseudomonik A adalah
antibiotika yang diturunkan dari Pseudomonas fluorescens. Obat ini secara
reversibel mengikat sintetase isoleusil-tRNA dan menghambat sintesis
protein bakteri. Aktifitas mupirosin terbatas terhadap bakteri gram positif,
khususnya
staphylococcus
dan
streptococcus.
Aktifitas
obat
ini
karena
pemakaian
antibiotika
topikal
untuk
menggunakan
basitrasin,
salep
polimiksin
antibiotika
B,
dan
kombinasi
gramisidin
yang
berhasil
menghambat kolonisasi pada 80% (9 dari 11) penderita yang setelah difollow-up selama 2 bulan tetap menunjukkan dekolonisasi. Semua kasus (6
dari 6) terhadap mupirosin-sensitive MRSA dieradikasi, sedangkan 3 dari 5
kasus terhadap mupirosin-sensitive MRSA dieliminasi. Formulasi baru
yang menggunakan asam kalsium (kalsium membantu dalam stabilisasi
bahan kimia) tersedia untuk penggunaan intranasal dalam bentuk salep 2%
dan krim 2% (Mondino, 2003).
2.9 Pengobatan Topikal Untuk Mencegah Infeksi Setelah Tindakan Bedah
Atau Untuk Pengobatan Dermatitis Kronik
Antibiotika topikal banyak dipakai untuk mengurangi infeksi setelah
tindakan bedah minor, pada dermatitis kronik seperti dermatitis stasis dan
dermatitis atopi, atau setelah abrasi ringan pada kulit. Studi terakhir
difokuskan pada insidens infeksi setelah biopsi kulit atau tindakan bedah
yang diberi antibiotika topikal. Pada beberapa kasus, antibiotika topikal
tampaknya menurunkan angka penyembuhan luka. Studi lain menunjukkan
bahwa penggunaan pembawa (vehicle) memberi hasil yang sama seperti
pemberian antibiotika pada penyembuhan luka tanpa resiko dermatitis kontak
iritan atau alergi terhadap bahan antibiotika. Hasil studi yang besar yang
membandingkan basitrasin dan petrolatum pada lebih dari 1200 tindakan
bedah minor dan biopsi menunjukkan bahwa bahan aktif basitrasin tidak
menurunkan angka infeksi secara bermakna, tetapi malah berhubungan
dengan dermatitis kontak alergi (Singh, 2007).
a. Basitrasin
Basitrasin adalah antibiotika polipeptida topikal yang berasal dari
isolasi strain Tracy-I Bacillus subtilis, yang dikultur dari penderita dengan
fraktur compound yang terkontaminasi tanah. Basi ini diturunkan dari
Bacillus, dan trasin berasal dari penderita yang mengalami fraktur
compound (Tracy). Basitrasin adalah antibiotika polipeptida siklik dengan
15
16
Paromomisin
Aminoglikosida adalah kelompok antibiotika yang penting yang
digunakan baik secara topikal atau pun sistemik untuk pengobatan infeksi
yang disebabkan bakteri gram negatif. Aminoglikosida memberi efek
membunuh bakteri melalui pengikatan subunit ribosomal 30S dan
mengganggu sintesis protein (Manoharan, 2012).
Neomisin sulfat, aminoglikosida yang sering digunakan secara topical
adalah hasil fermentasi Strep. faridae. Neomisin yang tersedia di pasaran
adalah campuran neomisin B dan C , sedangkan framisetin yang digunakan
di Eropa dan Canada adalah neomisin B murni. Neomisin sulfat memiliki
efek mematikan bakteri gram negatif dan sering digunakan sebagai
profilaksis infeksi yang disebabkan oleh abrasi superfisial, terluka, atau luka
bakar. Tersedia dalam bentuk salep (3,5 mg/g) dan dikemas dalam bentuk
kombinasi dengan antibiotika lain seperti basitrasin, polimiksin dan
gramisidin (Bonner, 2008).
Bahan lain yang sering dikombinasikan dengan neomisin adalah
lidokain, pramoksin, atau hidrokortison. Neomisin tidak direkomendasikan
oleh banyak ahli kulit karena dapat menyebabkan dermatitis kontak alergi.
Dermatitis kontak karena pemakaian neomisin memiliki angka prevalensi
yang tinggi, dan pada 6 8% penderita yang dilakukan patch test memberi
hasil positif. Neomisin sulfat (20%) dalam petrolatum digunakan untuk
menilai alergi kontak (Bonner, 2008).
Gentamisin sulfat diturunkan dari hasil fermentasi Micromonospora
purpurea. Tersedia dalam bentuk topikal krim atau salep 0,1%. Antibiotika
ini banyak digunakan oleh ahli bedah kulit ketika melakukan operasi
telinga, terutama pada penderita diabet atau keadaan immunocompromised
lain, sebagai profilaksis terhadap otitis eksterna maligna akibat P.
Aeruginosa (Gelmetti, 2008).
Paromomisin berhubungan erat dengan neomisin dan memiliki efek
antiparasit.
Sediaan
topikal
terdiri
dari
paramomisin
sulfat
dan
17
Antibiotika Lain
a. Gramisidin
Gramisidin adalah antibiotika topikal yang merupakan derivat B.
brevis. Gramisidin adalah peptida linier yang membentuk stationary
ion channels pada bakteri yang sesuai. Aktifitas antibiotika gramisidin
terbatas pada bakteri gram positif (Wasitaatmadja, 2007).
b. Kloramfenikol
Kloramfenikol di Amerika Serikat penggunaannya terbatas untuk
pengobatan infeksi kulit yang ringan. Kloramfenikol pertama kali
diisolasi dari Strep. venezuela, tetapi saat ini disintesis karena struktur
kimianya sederhana. Mekanisme kerjanya hampir mirip dengan
eritromisin dan klindamisin, yaitu menghambat ribosom 50S
memblokade translokasi peptidil tRNA dari akseptor ke penerima.
Kloramfenikol tersedia dalam krim 1 %. Obat ini jarang digunakan
karena dapat menyebabkan anemia aplastik yang fatal atau supresi
sum-sum tulang (Schwatz, 2010).
c. Sulfonamida
Struktur sulfonamida mirip dengan para-aminobenzoic acid (PABA)
dan bersaing dengan zat tersebut selama sintesis asam folat.
Sulfonamida jarang digunakan secara topikal, kecuali krim silver
sulfadiazine (Silvaden) dan krim mafenid asetat. Silver sulfadiazine
melepas silver secara perlahan-lahan. Silver memberi efek pada
membran dan dinding sel bakteri. Mekanisme kerja mefenid tidak
sama dengan sulfonamid karena tidak ada reaksi antagonis terhadap
PABA. Mafenid asetat yang digunakan untuk lesi yang luas pada kulit
dapat menyebabkan asidosis metabolik dan dapat menyebabkan rasa
nyeri. Golongan ini adalah antibiotika broad-spectrum dan digunakan
untuk luka bakar. Superinfeksi oleh Candida dapat terjadi karena
pemakaian krim mafenid (Wasitaatmadja, 2007).
18
d. Clioquinol / Iodochlorhydroxiquin
Clioquinol adalah antibakteri dan antijamur yang di-indikasi-kan
untuk pengobatan kelainan kulit yang disertai peradangan dan tinea
pedis serta infeksi bakteri minor. Clioquinol adalah sintetik
hydroxyquinoline
yang
mekanisme
kerjanya
belum diketahui.
terapi
tambahan.
Pada
85,6%
pasien
dengan
20
BAB 3
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
Bonner, Mark W. Benson, Paul M. James, William D. 2008. Topical Antibiotic.
In : Wolff, Klaus. Goldsmith, Lowell A. Katz, Stephen I. Glicherst,
Barbara A. Paller, Amy S. Leffel, David J. FitzPatricks Dermatology In
General Medicine. 7th ed. New York : McGraw Hill
Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Schwartz MN, Johnson RA. 2008.
Superficial cutaneus infection and pyodermas. Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine, 7th ed. New York: McGraw-Hill.
Gelmetti, carlo. 2008. Local antibiotics in dermatology. Journal Dermatologic
Therapy, Vol. 21. United States.
Harahap, M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates
Manoharan M. 2012. Penggunaan Antibiotik Terhadap Pasien Pioderma di RSUP
Haji Adam Malik, Medan Berdasarkan Jenis Infeksi Bakteri Kulit.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Mohajeri, P. Gholamine, B. Rezai, M. Khamisabadi, Y. 2012. Frequency of
Mupirocin Resistant Staphylococcus aureus Strain Isolated From Nasal
Carriers in Hospital Patients in Kermashah : Jundishapur Journal of
Microbiology.
Mondino, P. Santos, K. Bastos, M. deMarval, M. 2003. Improvement of
Mupirocin E-Test for Susceptibility Testing of Staphylococcus aureus.
Rio de Janeiro : Journal of Microbiology.
Ozkan, Metin. Dormaz, Gul. Sabuncu, Ilham. Saracoglu, Nurhan. Akgun,
Yurdanur. Urar, Selim. 2000. Clinical Efficacy of Topical Clindamycin
Phospate and Azelaic Acid on Acne Vulgaris and Emergence of Resistant
Coagulase-Negative Staphyloccoci. Tubitak : Turk Journal Medical
Science
Schwartz, Robert A. Al-Mutairi, Nawaf. 2010. Topical Antibiotics In Dermatology
: An Update. USA and Kuwait : The Gulf Journal of Dermatology and
Venerology.
Setiadi R, Vincent H.S. 2003. Pengantar Antimikroba. Farmakologi dan Terapi.
p.571-583. Jakarta. Gaya baru.
Singh G. 2007. Paedrus Dermatitis. Indian J Dermatol Venereol Leprol. JanuaryFebruary 2007. Vol 73. Issue 1.
22
23