Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I
PENDAHULUAN

II.1 Latar Belakang


Otitis Media Akut (OMA) merupakan peradangan sebagian atau seluruh
bagian mukosa telinga tengah, tuba eusthacius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid
yang berlangsung mendadak yang disebabkan oleh invasi bakteri maupun virus ke
dalam telinga tengah baik secara langsung maupun secara tidak langsung sebagai
akibat dari infeksi saluran napas atas yang berulang.
Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh terganggu. Sumbatan
tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi
tuba Eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga
terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan.
Selain itu, tuba Eusthacius sebagai saluran yang menghubungkan rongga telinga
tengah dengan nasofaring yang fungsinya juga sebagai ventilasi, drainase sekret dan
menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke telinga tengah. OMA dibagi menjadi
5 stadium yaitu, stadium oklusi, stadium presupruasi, stadium supurasi, stdium
perforasi dan stadium resolusi.
Prevalensi kejadian OMA banyak diderita oleh anak-anak maupun bayi
dibandingkan pada orang dewasa tua maupun dewasa muda. Pada anak-anak makin
sering menderita infeksi saluran napas atas, maka makin besar pula kemungkinan
terjadinya OMA disamping oleh karena sistem imunitas anak yang belum
berkembang secara sempurna.
Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh yang terganggu,
sumbatan dan obstruksi pada tuba eusthacius merupakan faktor penyebab utama dari
otitis media sehingga invasi kuman ke dalam telinga tengah juga gampang terjadi
yang pada akhirnya menyebabkan perubahan mukosa telinga tengah sampai dengan
terjadinya peradangan berat. Penyakit otitis media akut (OMA) masih merupakan
masalah kesehatan khususnya pada anak-anak. Penatalaksanaan OMA mendapat
sejumlah tantangan.Otitis media akut yang tidak diobati dengan adekuat dapat

menjadi otitis media supuratif kronik dengan gejala yang lebih berat dengan
pengobatan yang lebih sulit.

II.2 Batasan Masalah


Pembahasan referat ini dibatasi pada otitis media akut dan penatalaksaan.
II.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui dan memahami
mengenai penatalaksanaan pada otitis media akut.
II.4 Metode Penulisan
Metode penulisan referat ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. Otitis Media Akut


II.1 Definisi
Otitis media akut merupakan radang infeksi atau inflamasi pada

telinga

tengah oleh bakteri atau virus dengan gejala klinik nyeri telinga, demam, bahkan
hingga hilangnya pendengaran, tinnitus dan vertigo. Penyakit ini lebih sering terjadi
pada anak-anak dan umumnya berlangsung dalam waktu 3-6 minggu.
II.2 Etiologi
Penyebab utama otitis media akut (OMA) adalah invasi bakteri piogenik ke
dalam telinga tengah yang normalnya adalah steril. Bakteri tersering penyebab OMA
diantaranya Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pnemokokus. Selain itu
kadang-kadang ditemukan juga Haemofilus influenza, Escherichia coli, Streptokokus
anhemolitikus, Proteus vulgaris dan Pseudomonas aurogenosa. Haemofilus influenza
sering ditemukan pada anak berusia dibawah 5 tahun. Infeksi saluran napas atas yang
berulang dan disfungsi tuba eustachii juga menjadi penyebab terjadinya OAM pada
anak dan dewasa.
II.3 Insidensi
Otitis media akut paling sering diderita oleh anak usia 3 bulan- 3 tahun. Tetapi
tidak jarang juga mengenai orang dewasa. Anak-anak lebih sering terkena OMA
dikarenakan beberapa hal, diantaranya :
1. Sistem kekebalan tubuh anak yang belum sempurna
2. Tuba eusthacius anak lebih pendek, lebar dan terletak horizontal
3. Adenoid anak relative lebih besar dan terletak berdekatan dengan muara saluran
tuba eusthachii sehingga mengganggu pembukaan tuba eusthachii. Adenoid yang
mudah terinfeksi menjadi jalur penyebaran bakteri dan virus ke telinga tengah.
II.4 Patogenesis dan Manifestasi Klinik

Faktor pencetus terjadinya OMA dapat didahului oleh terjadinya infeksi


saluran pernapasan atas yang berulang disertai dengan gangguan pertahanan tubuh
oleh silia dari mukosa tuba eusthachii, enzim dan antibodi yang menimbulkan
tekanan negative sehingga terjadi invasi bakteri dari mukosa nasofaring ke dalam
telinga tengah melalui tuba eusthachii dan menetap di dalam telinga tengah menjadi
otitis media akut.
Gejala klinik otitis media akut tergantung pada stadium penyakit dan umur
pasien. Keluhan yang biasanya timbul adalah otalgia, otorea, pendengaran berkurang,
rasa penuh di telinga, demam. Pada anak-anak biasanya timbul keluhan demam, anak
gelisah dan sulit tidur, diare, kejang, kadang-kadang anak memegang telinga yang
sakit. Stadium otitis media akut berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah terdiri
dari1 :
Ada 5 stadium otitis media akut (OMA) berdasarkan pada perubahan mukosa
telinga tengah, yaitu :
1. Stadium Oklusi
Tanda adanya oklusi tuba eustachius ialah adanya gambaran retraksi
membran timpani akibat tekanan negatif didalam telinga tengah, karena adanya
absorpsi udara. Posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga
berkurang, edema yang terjadi pada tuba eustachius juga menyebabkannya
tersumbat. Kadang-kadang membrane timpani tampak normal atau berwarna
keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini
sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau
alergi.

2. Stadium Hiperemis
Pada stadium ini tampak seluruh membrane timpani hiperemis serta
edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa
sehingga sukar terlihat1. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang
berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses
inflamasi terjadi di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti.
Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin
masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di
kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu
hari.

3. Stadium Supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel
superficial, serta terbentuknya sekret eksudat yang purulen di cavum timpani
menyebabkan membrane timpani menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat,
serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Apabila tekanan nanah di cavum
timpani tidak berkurang maka terjadi iskemia akibat tekanan pada kapilerkapiler, kemudian timbul tromboflebitis pada vena-vena kecil serta nekrosis pada
mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membrane timpani terlihat sebagai
daerah yang lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot. Di tempat ini
akan terjadi rupture1.

4. Stadium Perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotic atau
virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi rupture membrane timpani dan
nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar, secret yang keluar
terlihat seperti berdenyut. Anak-anak yang tadinya gelisah sekarang menjadi
tenang, suhu badan turun dan anak-anak dapat tidur nyenyak1.

5. Stadium Resolusi
Stadium terakhir dari OMA. Bila membrane timpani tetap utuh maka
keadaan membrane timpani perlahan-lahan akan normal kembali bila sudah
terjadi perforasi hingga perforasi membrane timpani menutup kembali dan sekret
purulen tidak ada lagi., kemudian secret akan berkurang dan akhirnya kering.
Pendengaran kembali normal. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman
rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. Otitis media
akut dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa bila

secret menetap di cavum timpani tanpa terjadinya perforasi. Apabila stadium


resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik.
Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran

timpani menetap, dengan

sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul1.


II.5 Diagnosis
Diagnosis OMA harus memenuhi 3 hal berikut ini :
1. Penyakit ini onsetnya mendadak (akut)
2. Ditemukannya tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan di suatu rongga
tubuh) di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan memperhatikan tanda
berikut:
a. Mengembangnya gendang telinga
b. Terbatas/tidak adanya gerakan gendang telinga
c. Adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga
d. Cairan yang keluar dari telinga
3. Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah yang dibuktikan dengan
adanya salah satu diantara tanda berikut :
a. Kemerahan pada gendang telinga
b. Nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal
Anak dengan OMA dapat mengalami nyeri telinga atau riwayat menarik-narik
daun telinga pada bayi, keluarnya cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran,
demam, sulit makan, mual dan muntah serta rewel. Namun gejala-gejala ini tidak
spesifik untuk OMA sehingga diagnosis OMA tidak dapat didasarkan pada riwayat
semata.
Efusi telinga tengah diperiksa dengan otoskop untuk melihat dengan jelas
keadaan gendang telinga/membrane timpani yang menggembung, eritema bahkan
kuning dan suram serta adanya cairan berwarna kekuningan di liang telinga.
Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi pneumatic
(alat untuk melihat gendang telinga yang dilengkapi dengan pompa udara kecil untuk
menilai respon gendang telinga terhadap perubahan tekanan udara). Gerakan gendang
telinga yang kurang dapat dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini dapat
digunakan sebagai pemeriksaan tambahan untuk memperkuat diagnosis OMA.
Namun umunya OMA sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan otoskop biasa.
Efusi telinga tengah juga dapat dibuktikan dengan timpanosentesis
(penusukan terhadap gendang telinga). Namun pemeriksaan ini tidak dilakukan pada

sembarang anak. Indikasi perlunya timpanosentesis anatara lain OMA pada bayi
berumur di bawah 6 minggu dengan riwayat perawatan intensif di rumah sakit, anak
dengan gangguan kekebalan tubuh, anak yang tidak member respon pada beberapa
pemberian antibiotic atau dengan gejala sangat berat dan komplikasi.
OMA harus dibedakan dengan otitis media dengan efusi yang dapat
menyerupai OMA. Untuk membedakannya dapat diperhatikan hal-hal berikut :
GEJALA DAN TANDA
Nyeri telinga, demam, rewel
Efusi telinga tengah
Gendang telinga suram
Gendang yang menggembung
Gerakan gendang berkurang
Berkurangnya pendengaran

OMA
+
+
+
+/+
+

OMA EFUSI
+
+/+
+

II.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan

OMA

tergantung

pada

stadium

penyakitnya.

Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran


napas,

dengan

pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan

antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari


komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala,
memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani,
dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik.2
Terapi tergantung pada stadium penyakitnya :
1.

Stadium oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba eustachius sehingga
tekanan negative di telinga tengah hilang dengan diberikan :
a. Obat tetes hidung HCL efedrin 0.5% dalam larutan fisiologis (anak<12
tahun) atau HCL efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak di
atas 12 tahun atau dewasa.
b. Mengobati sumber infeksi lokal dengan antibiotika bila penyebabnya
kuman. Sumber infeksi juga harus diobati dengan memberikan
antibiotik selama 7 hari:

Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x


sehari atau

Amoksisilin: Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x


sehari atau

Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x


sehari

2.

Stadium hiperemis (presupurasi)


a. Antibiotic (golongan penisilin atau ampisilin) selama 7 hari dengan
pemberian IM pada awalnya agar tidak terjadi mastoiditis terselubung,
gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan relaps.
b. Obat tetes hidung (decongestan)
c. Analgesic / antipyretic
Bila membran timpani sudah hiperemi difus, sebaiknya dilakukan
miringotomi. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin atau eritromisin,
selama 10-14 hari:
Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x sehari atau
Amoksisilin: Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x sehari atau
Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x sehari
Jika terdapat resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam
klavunalat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin IM agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah. Antibiotik diberikan minimal
selama 7 hari. Pada anak diberikan ampisilin 4x50-100 mg/KgBB,
amoksisilin 4x40 mg/KgBB/hari, atau eritromisin 4x40 mg/kgBB/hari.
Kemudian diberikan obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari,
antihistamin bila ada tanda-tanda alergi, antipiretik, analgetik dan
pengobatan simtomatis lainnya.2

3.

Stadium supurasi
Bila tidak dilakukan insisi membrane timpani (miringotomi) pada
stadium ini, maka kemungkinan besar membrane timpani akan rupture dan
nanah keluar ke liang telinga. Dengan dilakukan miringotomi luka
insisiakan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi rupture, maka

10

lubang tempat rupture (perforasi) tidak mudah menutup kembali.


Miringotomi dilakukan jika membrane timpani masih utuh.2
Selain miringotomi, diberikan juga antibiotik pada stadium ini, yaitu:

Amoxyciline : Dewasa 3x 500mg/hari, Bayi/anak 50mg/kgBB/hari

Erythromycine : Dewasa/ anak sama dengan dosis amoxyciline

Cotrimoxazole : (kombinasi trimethroprim 80mg dan sulfamethoxazole


400mg-tablet) untuk dewasa 2x2 tablet, Anak ( trimethroprim 40mg dan
sulfamethoxazole 200mg) suspense 2x1 cth.

Jika kuman sudah resisten (infeksi berulang): kombinasi amoxyciline


dan asam clavulanic, dewasa 3x625 mg/hari. Bayi /anak, disesuaikan
dengan BB dan usia.
Antibiotik diberikan 7-10 hari, pemberian yang tidak adekuat dapat

menyebabkan kekambuhan. Penderita yang alergi penicillin dapat


diberikan golongan makrolid (Azithromicine, Roxythromicine).2
a. Diberikan dekongestan, antibiotika, analgetik/antipiretik.
b. Pasien harus dirujuk untuk dilakukan mirongotomi bila membrane
timpani masih utuh sehingga gejala-gejala klinis cepat hilang dan
4.

rupture (perforasi) dapat dihindari.


Stadium perforasi
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar,
kadang

secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear

toilet) H2O2 3% (4-5 tetes sehari) selama 3 sampai dengan 5 hari serta
antibiotik yang adekuat, berupa ciprofloxacin 200 mg (2x1) selama 3-14
hari. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali
dalam 7 sampai dengan 10 hari. 2 , 3
Diberikan obat cuci telinga perhidrol atau H2O3 3% selama 3-5 hari
a. Antibiotika yang adekuat sampai 3 minggu.
b. Biasanya secret akan hilang dan perforasi akan menutup sendiri dalam
5.

7-10 hari.
Stadium resolusi

11

Antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu bila tidak ada perbaikan


membrane timpani, secret dan perforasi1.
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi
biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di
membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila
keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis. 2
Pengobatan pada anak-anak dengan kecenderungan mengalami otitis media
akut dapat bersifat medis atau pembedahan. Penatalaksanaan medis berupa pemberian
antibiotic dosis rendah dalam jangka waktu hingga 3 bulan. Alternative lain adalah
pemasangan tuba ventilasi untuk mengeluarkan secret terutama pada kasus-kasus
yang membandel. Keputusan untuk melakukan miringotomi umumnya berdasarkan
kegagalan profilaksis secara medis atau timbul reaksi alergi terhadap antimikroba
yang lazim dipakai2.
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian
antibiotik. Observasi dapat

dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak

membaik dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata
pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya
komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang
terbentuknya bakteri

muncul

adalah

risiko

yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut

American Academy of Pediatrics (2004), mengkategorikan OMA yang dapat


diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut.
Tabel 1. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA
Usia

Diagnosis pasti (certain) Diagnosis meragukan


(uncertain)

Kurang dari 6 bulan

Antibiotik

Antibiotik

6 bulan sampai 2 tahun Antibiotik


2 tahun ke atas

Antibiotik
berat,

Antibiotik jika gejala berat,


jika

gejala Observasi

12

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut,
terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga
tengah.

Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari

39C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga
sedang-berat atau demam 39C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat
dilakukan pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala
ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun.
Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan
ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi.
Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan
first-line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal
selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika
pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti
cefdinir.

Second-line

terapi seperti amoksisilin-klavulanat

efektif terhadap

Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus


penumoniae. Pneumococcal 7- valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk
menurunkan prevalensi otitis media

Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA
rekuren,

seperti

miringotomi

dengan

insersi

tuba

timpanosintesis,

dan

adenoidektomi.
1.

Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani,
supa ya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar.
Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus
tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi
miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan
sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus
di telinga tengah. Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah

13

nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis,


mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi
merupakan terapi third-line pada pasien yang

mengalami kegagalan

terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu
tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA
yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk
menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur.
2.

Timpanosintesis
Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan
analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan.
Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat
komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun
tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun
morbiditas

OMA seperti

otalgia,

efusi

telinga

tengah,

gangguan

pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga


penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
3.

Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media
dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan
miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak
memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah
didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika
terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren.
Pada tahun 2004, American Academy of Pediatrics dan the American

Academy of Family Physicians mengeluarkan rekomendasi penatalaksanaan OMA.


Petunjuk rekomendasi ini ditujukan pada anak usia 6 bulan sampai 12 tahun. Pada
petunjuk ini di rekomendasikan bayi berumur kurang dari 6 bulan mendapat
antibiotika, dan pada anak usia 6-23 bulan observasi merupakan pilihan pertama pada
penyakit yang tidak berat atau diagnosis tidak pasti, antibiotika diberikan bila
diagnosis pasti atau penyakit berat. Pada anak diatas 2 tahun mendapat antibiotika

14

jika penyakit berat. Jika diagnosis tidak pasti, atau penyakit tidak berat dengan
diagnosis pasti observasi dipertimbangkan sebagai pilihan terapi.
a. Observasi
Spiro dkk, membuktikan bahwa penanganan OMA dengan menunggu dan
melihat (observasi) secara bermakna menurunkan penggunaan antibiotik pada
populasi urban yang datang ke instalasi gawat darurat. Metoda menunggu dan melihat
menurunkan penggunaan antibiotik pada 56% anak usia 6 bulan sampai 12 tahun
dengan OMA.
Namun, dibanding dengan observasi saja, pemberian antibiotik segera
berhubungan dengan penurunan jumlah kegagalan terapi dan memperbaiki kontrol
gejala tetapi meningkatkan efek samping yang disebabkan antibiotik dan persentase
yang lebih tinggi terhadap strain multidrug resistant S.pneumoniae di nasofaring.
Indikasi untuk protokol observasi adalah: tidak ada demam, tidak ada muntah,
pasien atau orang tua pasien menyetujui penundaan pemberian antibiotik. Kontra
indikasi relatif protokol observasi adalah telah mendapat lebih dari 3 seri antibiotik
dalam 1 tahun ini, pernah mendapat antibiotik dalam 2 minggu terakhir, terdapat
otorea. Pilihan observasi ini mengacu pada penundaan pemberian antibiotik pada
anak terpilih tanpa komplikasi untuk 72 jam atau lebih, dan selama waktu itu,
penatalaksanaan terbatas pada analgetik dan simtomatis lain. Pemberian antibiotik
dimulai jika pada hari ketiga gejala menetap atau bertambah.
Faktor-faktor kunci dalam menerapkan strategi observasi adalah: metoda
untuk mengklasifikasi derajat OMA, pendidikan orang tua, penatalaksanaan gejala
OMA, akses ke sarana kesehatan, dan penggunaan regimen antibiotik yang efektif
jika diperlukan. Jika hal tersebut diperhatikan, observasi merupakan alternatif yang
dapat diterima untuk anak dengan OMA yang tidak berat.
Metoda observasi ini masih menjadi kontroversi pada kalangan dokter anak di
AS yang secara rutin masih meresepkan antibiotik untuk OMA dan percaya bahwa
banyak orang tua mengharapkan resep tersebut. Sebagian kecil dokter sudah
menerapkan metoda observasi. Sebagian orang tua dapat menerima penerapan terapi
observasi dengan pengontrolan nyeri sebagai terapi OMA, sehingga penggunaan

15

antibiotik dapat diturunkan. Penggunaan metoda observasi secara rutin untuk terapi
OMA dapat menurunkan biaya dan efek samping yang ditimbulkan oleh antibiotik
dan menurunkan resistensi kuman terhadap antibiotik yang umum digunakan.
b. Terapi simtomatis
Penatalaksanaan OMA harus memasukkan penilaian adanya nyeri. Jika
terdapat nyeri, harus memberikan terapi untuk mengurangi nyeri tersebut.
Penanganan nyeri harus dilakukan terutama dalam 24 jam pertama onset OMA tanpa
memperhatikan penggunaan antibiotik. Penanganan nyeri telinga pada OMA dapat
menggunakan analgetik seperti: asetaminofen, ibuprofen, preparat topikal seperti
benzokain, naturopathic agent, homeopathic agent, analgetik narkotik dengan kodein
atau analog, dan timpanostomi / miringotomi.
Antihistamin dapat membantu mengurangi gejala pada pasien dengan alergi
hidung. Dekongestan oral berguna untuk mengurangi sumbatan hidung. Tetapi baik
antihistamin

maupun

dekongestan

tidak

memperbaiki

penyembuhan

atau

meminimalisir komplikasi dari OMA, sehingga tidak rutin direkomendasikan.


Manfaat pemberian kortikosteroid pada OMA juga masih kontroversi.
Dasar pemikiran untuk menggunakan kortikosteroid dan antihistamin adalah:
obat tersebut dapat menghambat sintesis atau melawan aksi mediator inflamasi,
sehingga membantu meringankan gejala pada OMA. Kortikosteroid dapat
menghambat perekrutan leukosit dan monosit ke daerah yang terkena, mengurangi
permeabilitas pembuluh darah, dan menghambat sintesis atau pelepasan mediator
inflamasi dan sitokin. Tetapi penelitian Chonmaitree dkk menunjukkan tidak ada
manfaat yang jelas pemakaian kortikosteroid dan antihistamin, sendiri atau dalam
kombinasi pada pasien yang memakai antibiotik.
c. Terapi antibiotik
Antibiotik direkomendasikan untuk semua anak di bawah 6 bulan, 6 bulan
2 tahun jika diagnosis pasti, dan untuk semua anak besar dari dua tahun dengan
infeksi berat (otalgia sedang atau berat atau suhu tubuh lebih dari 39oC ). Jika
diputuskan perlunya pemberian antibiotik, lini pertama adalah amoksisilin dengan
dosis 80-90 mg/kg/hari. Pada pasien dengan penyakit berat dan bila mendapat infeksi

16

-laktamase positif Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis terapi dimulai


dengan amoksisilin-klavulanat dosis tinggi (90 mg/kg/hari untuk amoksisilin, 6,4
mg/kg/hari klavulanat dibagi 2 dosis).
Jika pasien alergi amoksisilin dan reaksi alergi bukan reaksi hipersensitifitas
(urtikaria atau anafilaksis), dapat diberi cefdinir (14 mg/kg/hari dalam 1 atau 2 dosis),
cefpodoksim (10 mg/kg/hari 1 kali/hari) atau cefuroksim (20 mg/kg/hari dibagi 2
dosis). Pada kasus reaksi tipe I (hipersensitifitas), azitromisin (10 mg/kg/hari pada
hari 1 diikuti 5 mg/kg/hari untuk 4 hari sebagai dosis tunggal harian) atau
klaritromisin (15 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi). Obat lain yang bisa digunakan
eritromisin-sulfisoksazol

(50

mg/kg/hari

eritromisin)

atau

sulfametoksazol-

trimetoprim (6-10 mg/kg/hari trimetoprim.


Alternatif terapi pada pasien alergi penisilin yang diterapi untuk infeksi yang
diketahui atau diduga disebabkan penisilin resistan S.pneumoniae dapat diberikan
klindamisin 30-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi. Pada pasien yang muntah atau
tidak tahan obat oral dapat diberikan dosis tunggal parenteral ceftriakson 50 mg/kg.
Hoberman dkk menunjukkan bahwa terapi dengan amoksisilin-klavulanat selama 10
hari pada anak usia 6 23 bulan dapat menurunkan waktu penyembuhan gejala dan
tanda infeksi akut pada pemeriksaan otoskop.6 Demikian juga hasil penelitian
Tahtinen dkk pada anak 6 35 bulan menunjukkan keuntungan pada anak yang
diterapi dengan antibiotik dibandingkan dengan plasebo.
Jika pasien tidak menunjukkan respon pada terapi inisial dalam 48 -72 jam,
harus diperiksa ulang untuk mengkonfirmasi OMA dan menyingkirkan penyebab
lain. Jika OMA terkonfirmasi pada pasien yang pada awalnya diterapi dengan
observasi, harus dimulai pemberian antibiotik. Jika pasien pada awalnya sudah diberi
antibiotik, harus diganti dengan antibiotik lini kedua, seperti amoksisilin-klavulanat
dosis tinggi, sefalosporin, dan makrolid. Waktu yang optimum dalam terapi OMA
masih kontroversi. Terapi jangka pendek (3 hari azitromisin, 5 hari antibiotik lain)
adalah pilihan untuk anak umur diatas 2 tahun dan terapi paket penuh (5 hari
azitromisin, 7-10 hari antibiotik lain) lebih baik untuk anak yang lebih muda.
Terdapat beberapa keuntungan dari terapi jangka pendek yaitu: kurangnya biaya, efek

17

samping lebih sedikit, komplian lebih baik dan pengaruh terhadap flora komensal
dapat diturunkan. Terapi antibiotik jangka panjang dapat mencegah rekurensi dari
OMA. Pertanyaan antibiotik apa yang akan digunakan, untuk berapa lama, dan
berapa episode OMA untuk menilai terapi belum dievaluasi secara adekuat.
Timbulnya resistensi bakteri telah memunculkan pemikiran risiko dibanding
keuntungan dalam meresepkan antibiotik untuk seluruh OMA. Risiko antibiotik
termasuk reaksi alergi, gangguan pencernaan, mempercepat resistensi bakteri dan
perubahan pola flora bakteri di nasofaring. Hal tersebut menyebabkan penggunaan
antibiotik dianjurkan berdasarkan hasil timpanosintesis.26 Di bagian THT-KL RSUP
Dr.M.Djamil Padang, antibiotik merupakan terapi rutin yang diberikan pada penderita
OMA pada semua stadium tanpa memandang umur atau berat-ringan penyakit.
d. Terapi bedah
Walaupun observasi yang hati-hati dan pemberian obat merupakan
pendekatan pertama dalam terapi OMA, terapi pembedahan perlu dipertimbangkan
pada anak dengan OMA rekuren, otitis media efusi (OME), atau komplikasi supuratif
seperti mastoiditis dengan osteitis. Beberapa terapi bedah yang digunakan untuk
penatalaksanaan OMA termasuk timpanosintesis, miringotomi, dan adenoidektomi.
Timpanosintesis adalah pengambilan cairan dari telinga tengah dengan
menggunakan jarum untuk pemeriksaan mikrobiologi. Risiko dari prosedur ini adalah
perforasi kronik membran timpani, dislokasi tulang-tulang pendengaran, dan tuli
sensorineural traumatik, laserasi nervus fasialis atau korda timpani. Oleh karena itu,
timpanosintesis harus dibatasi pada: anak yang menderita toksik atau demam tinggi,
neonatus risiko tinggi dengan kemungkinan OMA, anak di unit perawatan intensif,
membran timpani yang menggembung (bulging) dengan antisipasi ruptur spontan
(indikasi relatif), kemungkinan OMA dengan komplikasi supuratif akut, OMA
refrakter yang tidak respon terhadap paket kedua antibiotik.
Timpanosintesis dapat mengidentifikasi patogen pada 70-80% kasus.
Walaupun timpanosintesis dapat memperbaiki kepastian diagnostik untuk OMA, tapi
tidak memberikan keuntungan terapi dibanding antibiotik sendiri. Timpanosintesis
merupakan prosedur yang invasif, dapat menimbulkan nyeri, dan berpotensi

18

menimbulkan bahaya sebagai penatalaksanaan rutin. Miringotomi adalah tindakan


insisi pada membran timpani untuk drainase cairan dari telinga tengah. Pada
miringotomi dilakukan pembedahan kecil di kuadran posterior-inferior membran
timpani. Untuk tindakan ini diperlukan lampu kepala yang terang, corong telinga
yang sesuai, dan pisau khusus (miringotom) dengan ukuran kecil dan steril.
Miringotomi hanya dilakukan pada kasus-kasus terpilih dan dilakukan oleh ahlinya.
Disebabkan insisi biasanya sembuh dengan cepat (dalam 24-48 jam), prosedur ini
sering diikuti dengan pemasangan tabung timpanostomi untuk ventilasi ruang telinga
tengah. Indikasi untuk miringotomi adalah terdapatnya komplikasi supuratif, otalgia
berat, gagal dengan terapi antibiotik, pasien imunokompromis, neonatus, dan pasien
yang dirawat di unit perawatan intensif.
II.7 Prognosis dan Komplikasi
Komplikasi dari OMA dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu
melalui erosi tulang, invasi langsung dan tromboflebitis. Komplikasi ini dibagi
menjadi komplikasi intratemporal dan intrakranial. Komplikasi intratemporal terdiri
dari: mastoiditis akut, petrositis, labirintitis, perforasi pars tensa, atelektasis telinga
tengah, paresis fasialis, dan gangguan pendengaran. Komplikasi intrakranial yang
dapat terjadi antara lain yaitu meningitis, encefalitis, hidrosefalus otikus, abses otak,
abses epidural, empiema subdural, dan trombosis sinus lateralis. Komplikasi tersebut
umumnya sering ditemukan sewaktu belum adanya antibiotik, tetapi pada era
antibiotik semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai komplikasi dari
otitis media supuratif kronik (OMSK). Penatalaksanaan OMA dengan komplikasi ini
yaitu dengan menggunakan antibiotik spektrum luas, dan pembedahan seperti
mastoidektomi.
Prognosis otitis media akut adalah dubia ad bonam, biasanya gejala membaik
dalam 24 jam dan dapat sembuh dalam 3 hari dengan pengobatan yang adekuat, tetapi
jika tidak diobati dengan benar, otitis media akut dapat menimbulkan komplikasi
mulai dari mastoiditis, kolesteatom, abses subperiosteal sampai abses otak dan
meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada OMSK.

19

Jika perforasi menetap dan secret tetap keluar lebih dari 3 bulan maka keadaan ini
disebut OMSK.
II.8 Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah
ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat,
menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan
terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain.
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi faktor resiko terutama pada
anak-anak, bisa dengan beberapa seperti : pencegahan terjadinya ISPA pada bayi dan
anak, pemberian ASI minimal 6 bulan, hindari memberi makanan atau minuman
ketika anak berbaring, hindari dari pajanan asap rokok, hindari memaksa keluarkan
terlalu keras mucus, biasakan untuk tidak sering mengorek-ngorek liang telinga,
lindungi telinga selama penerbangan atau saat berenang.
Vaksin untuk mencegah OMA
Vaksin dapat digunakan untuk mencegah anak menderita OMA. Secara teori,
vaksin terbaik adalah yang menawarkan imunitas terhadap semua patogen berbeda
yang menyebabkan OMA. Walaupun vaksin polisakarida mengandung jumlah
serotipe yang relatif besar, preparat poliksakarida tidak menginduksi imunitas seluler
yang bertahan lama pada anak dibawah 2 tahun. Oleh karena itu, strategi vaksin
terkini untuk mengontrol OMA adalah konjungat polisakarida peneumokokal dengan
protein nonpneumokokal imunogenik, pendekatan yang dapat memicu respon imun
yang kuat dan lama pada bayi.
Vaksin pneumokokus konjugat yang disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) yang dapat menginduksi respon imun lama terhadap
Pneumococcus serotipe 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F (PCV-7). Serotipe ini dipilih
berdasarkan frekuensinya yang sering ditemukan pada penyakit pneumokokus invasif
dan hubungannya dengan organisme yang mutltidrug-resistant.8 Data dari penelitian
di AS dari 500 pasien dengan OMA menunjukkan bahwa 84% dari total

20

pneumokokus dan 95% serotipe yang resisten antibiotik diisolasi dari aspirasi telinga
tengah merupakan kandungan dari vaksin konyugat.
Dosis primer pemberian vaksin adalah empat dosis tunggal 0,5 ml intramuskular.
Selama pemberian pada 23 juta vaksin dosis di AS, reaksi lokal dan demam merupakan efek
samping umum. Rekomendasi imunisasi universal pada anak dibawah umur 2 tahun

adalah 4 dosis vaksin intramuskular yang diberikan pada usia 2, 4, 6, dan terakhir
pada usia 12-15 bulan. Vaksin dini dapat diberikan bersamaan dengan imunisasi rutin.
American Academy of Pediatrics (AAP) dan Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP) merekomendasikan penggunaan vaksin 23 valen
polisakarida pada anak risiko tinggi untuk memperluas cakupan serotipe. Vaksinasi
selektif pada anak usia 2-5 tahun yang tidak punya daya tahan dianjurkan pada pasien
dengan risiko tinggi menderita penyakit invasif pneumokokus, termasuk penyakit sel
sabit, HIV, dan penyakit kronik lainnya. Vaksin pneumokokus konjugat sebaiknya
dimasukkan dalam strategi penatalaksanaan anak usia 2-5 tahun yang menderita
OMA rekuren. Anak tersebut memperoleh manfaat dari imunisasi dengan vaksin 23valen polisakarida ini, 8 minggu setelah menyelesaikan paket vaksin konyugat
pneumokokal.

21

BAB III
KESIMPULAN

Otitis media akut adalah peradangan sebagian atau seluruh bagian mukosa
telinga tengah, tuba eusthacius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid yang berlangsung
mendadak yang disebabkan oleh invasi bakteri maupun virus ke dalam telinga tengah
baik secara langsung maupun secara tidak langsung sebagai akibat dari infeksi
saluran napas atas yang berulang. Manifestasi klinis dari penyakit yang lebih sering
terkena pada anak ini tergantung dari stadium penyakitnya, diantaranya stadium
oklusi, hiperemis atau presupurasi, supurasi, perforasi dan resolusi.
Prinsip penatalaksanaan dari otitis media akut juga tergantung pada stadium
penyakitnya. Setiap stadium mendapatkan pengobatan yang berbeda. Pengobatan
pada otitis media akut harus dilakukan dengan adekut. Pengobatan yang tidak adekuat
dapat menyebabkan infeksi yang lebih serius salah satunya otitis media supuratif
kronik (OMSK). Prognosis dari otitis media akut adalah baik jika pengobatan
dilakukan dengan adekuat dan tuntas.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Djaafar, Zainul A., Helmi, Ratna D. Restuti. Kelainan Telinga Tengah. Dalam:
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi
Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 65-68.

2. Adam, George L, Lawrence R.Boies, dan Peter A.Higler. Embriologi


Anatomi dan Fisiologi Telinga dan Penyakit Telinga Tengah dan
Mastoid.BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC. 2012
3. Munilson, Jacky., Edward, Yan., Yolazenia. Penatalaksanaan Otitis Media Akut.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang: Bagian Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala Leher (THT-KL)
4. Healy GB, Rosbe KW. Otitis media and middle ear effusions. In: Snow JB,
Ballenger JJ,eds. Ballengers otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th
edition. New York: BC Decker;2003. p.249-59.
5. Donaldson JD. Acute Otitis Media. Updated Oct 28, 2011. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com. Accessed February 6, 2012.
6. Hoberman A, Paradise JL, Rockette HE, Shaikh N, Wald ER, Kearney DH, et al.
Treatment of acute otitis media in children under 2 years of age. N Engl J Med.
2011;364(2):105-115.
7. Jacobs MR. Current considerations in the management of acute otitis media.
Infectious disease Otitis Media. US Pediatrics review 2007:15-16.
8. Schilder AGM. Management of acute otitis media without antibiotics. In: Alper
CM, Bluestone CD, Caselbrant ML, Dohar JE, Mandel EM, editors. Advanced
therapy of otitis media. Ontario:BC Decker Inc;2004. p.44-8.
9. American Academy of Pediatrics and American Academy of Family Physicians.
Diagnosis and management of acute otitis media. Clinical practice guideline.
Pediatrics 2004;113(5):1451-1465.
10. Gulya AJ. Anatomy of the ear and temporal bone. In: Glasscock III ME, Gulya
AJ, editors. Glasscokc-Shambaugh, surgery of the ear. Fifth edition. Ontario:BC
Decker Inc.,2003.p.44.

23

11. Sanna M, Russo A, De Donato G. Color atlas of otoscopy. From diagnosis to


surgery. New York:Thieme;1999.p.4.
12. Ramakrishnan K, Sparks RA, Berryhill WE. Diagnosis and treatment of otitis
media. Am Fam Physician. 2007;76(11):1650-58.
13. Titisari H. Prevalensi dan sensitivitas Haemophillus influenza pada otitis media
akut di RSCM dan RSAB Harapan Kita [Tesis]. Jakarta:FKUI;2005.
14. Darrow DH, Dash N, Derkay CS. Otitis media: concepts and controversies. Curr
Opin Otolaryngol Head Neck Surg 2003;11:416-423.
15. Ghanie A. Penatalaksanaan otitis media akut pada anak. Tinjauan pustaka.
Palembang: Departemen THT-KL FK Unsri/RSUP M.Hoesin;2010.
16. Bhargava KB, Bhargava SK, Shah TM. A short textbook of ENT diseases. 7th
edition. Mumbai:USHA publication;2005.p.45-50.
17. Buku acuan modul telinga. Radang telinga tengah. Edisi pertama. Kolegium ilmu
kesehatan THT-KL, 2008.
18. Spiro DM, Tay, KY, Arnold DH, Dziura JD, Baker MD, Shapiro ED. Wait and see
prescription for the treatment of acute otitis media. A randomized controlled trial.
JAMA 2006;296(10):1235-41.
19. McCormick DP, Chonmaitree T, Pittman C, Saeed K, Friedman NR, Uchida T, et
al. Nonsevere acute otitis media: a clinical trial comparing outcomes of watchful
waiting ersus immediate antibiotic treatment. Pediatrics 2005;115:1455-65.
20. Helmi. Diagnosis dan penatalaksanaan otitis media. Dalam: Satelit symposium.
Penanganan mutakhir kasus telinga hidung tenggorok, Jakarta, 2003.
21. Siegel RM, Kiely M, Bien JP, Joseph EC, Davis JB, Mendel SG, et al. Treatment
of otitis media with observation and a safety-net antibiotic prescription. Pediatrics
2003;112:527-31.
22. Coleman C, Moore M. Decongestants and antihistamines for acute otitis media in
children.
23. Chonmaitree T, Saeed K, Uchida T, Heikkinen T, Baldwin CD, Freeman DH, et
al. A randomized, placebo-controlled trial of the effect of antihistamine or
corticosteroid treatment in acute otitis media. J Pediatr.2003;143(3):377.
24. Finn R. Corticosteroids, antihistamins, no use in AOM. Available from:
http://findarticles.com/p/articles/mi_hb4384/is_9_40/ai_n29294275/.
Accessed
March 4, 2012.

24

25. Tahtinen PA, Laine MK, Huovinen P, Jalava J, Ruuskanen o, Ruohola A. A


placebo-controlled trial of antimicrobial treatment for acute otitis media. N Engl J
Med 2011;364(2):116-26.
26. Shaikh N. Hoberman A, Kearney DH, Yellon R. Tympanocentesis in children with
acute otitis media. N Engl J Med 2011. Available from: http://www.nejm.org.
27. Joloba ML, Windau A, Bajaksouzian S, Appelbaum PC, Hausdorff WP, Jacobs
MR. Pneumococcal conjugate vaccine serotypes of Streptococcus pneumoniae
isolates and the antimicrobial susceptibility of such isolates in children with otitis
media. Clin Infect Dis 2001;33:1489-94.
28. Pelton SI, Klein JO. The future of pneumococcal conjugate vaccines for
prevention of pneumococcal disease in infants and children. Pediatrics
2002;110(4):805-14.
29. From the Centers for Disease Control and Prevention. Updated recommendations
on the use of pneumococcal conjugate vaccine in a setting of vaccine shortage.
Advisory committee on immunization practices. JAMA 2002;287:833-4.
30. American Academy of Pediatrics. Comminttee on Infectious Diseases. Policy
statement: recommendations for the prefention of pneumococcal infections,
including the use of pneumococcal conjugate vaccine, pneumococcal
polysaccharide vaccine, and antibiotic prophylaxis. Pediatrics 2000;106(2 Pt
1):362-6.
31. Zimmerman RK. Pneumococcal conjugate vaccine for young children. Am Fam
Physician 2001;63:1991-8.
32. Priyono H. Restuti RD, Iswara A. Handryastuti S. Komplikasi intratemporal dan
intrakranial pada otitis media akut anak. Laporan kasus. Jakarta: Departemen
THT-KL FKUI/RSCM

Anda mungkin juga menyukai