Anda di halaman 1dari 21

ANASTESI SPINAL

Di susun oleh :
KELOMPOK III

SITI AISYAH

( 12 071 014 105 )

RISKA RAHMATIKA

( 12 071 014115 )

NOVITA SARI PARASSA

( 12 071 014126 )

RESKI SRI NARENDRA

( 12 071 014141 )

BOBI SUPRIADIN

( 12 071 014101 )

YUNITA

( 12 071 014122 )

FATMAWATI

( 12 071 014172 )

MUH IRFAN S

( 13 071 014106 )

SUDARFIS

( 15 071 014 102 )

NURHAYATI MURDJ

( 12 071 014 118 )

WAHDA AKMAL

( 12 071 014 108 )

FICKRY F

( 12 071 014 095 )

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAkULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
MAKASSAR
2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi nikmat
dan kasih sayangNya lah kami dapat menyelesaikan tugas yang di berikan oleh dosen Mata
Kuliah Anastesi ini dengan baik. Seperti kata pepatah Taka ada gading yang tak retak kami pun
menyadari bahwa makalah yang telah kami susun ini masih banyak kekurangan baik secara
sistematik penulisan, bahasa, dan penyusunannya.
Oleh karena itu, kami memohon saran serta pendapat yang dapat membuat kami menjadi
lebih baik dalam melaksanakan tugas di lain waktu. Mudah-mudahan askep yang kami buat menjadi
bermanfaat bagi kami khususnnya dan pada umumnya bagi pembaca.

Makassar, 27 Desember 2015

DAFTAR ISI

Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penulisan
Bab II Pembahasan
1. Pengetian dari Anastesi Spinal
2. Kontra indikasi anesthesia spinal
3. Teknik Anestesia Spinal
4. O-obatan Yang Dipakai
5. Persiapan analgesia spinal
6. Peralatan analgesia spinal
7. Teknik analgesia spinal
8. Tinggi blok analgesia spinal
9. Komplikasi anestesia spinal,
10. Pencegahan
11. pengobatan
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUA
1.1 Latar Belakang

Anestesi spinal adalah salah satu metode anestesi yang diinduksi dengan
menyuntikkan sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam cairan cerebro-spinal
(CSF). Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal.
A. Pre-Operatif
Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan
status fisik ASA & risk. Diputuskan kondisi fisik pasien termasuk ASA II
(pasien giatri), serta ditentukan rencana jenis anestesi yang dilakukan yaitu
regional anestesi dengan teknik SubArachoid Block.
Pasien yang akan menjalani operasi prostattectomy umumnya adalah
pasien geriatri, untuk itu penting dilakukan evaluasi ketat terhadap fungsi
kardiovaskuler, respirasi dan ginjal. Pasien-pasien ini dilaporkan mempunyai
prevalensi yang cukup tinggi untuk mengalami gangguan kardiovaskular dan
respirasi, hal lain yang perlu diperhatikan pada pembedahan ini adalah darah
harus selalu tersedia karena perdarahan prostat dapat sangat sulit dikontrol,
terutama pada pasien yang kelenjar prostatnya > 40 gram.
Jenis anastesi yang dipilih adalah regional anastesi cara spinal. Anastesi
regional baik spinal maupun epidural dengan blok saraf setinggi T10
memberikan efek anastesi yang memuaskan dan kondisi operasi yang optimal
bagi prostattectomy. Dibanding dengan general anastesi, regional anastesi
dapat menurunkan insidens terjadinya post-operative venous trombosis.
B. Durante operatif
Prosedur pembedahan ini adalah membuka perlekatan prostat dengan
vesika urinaria kemudian mereseksi kelenjar prostat yang membesar, selalu
memerlukan cairan irigasi kontinyu dalam jumlah besar. Penggunaan sejumlah
besar cairan irigasi membawa beberapa komplikasi antara lain TURP syndrom,
hipotermi, dan koagulopati.

Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan alasan


operasi yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup memblok
bagian tubuh inferior saja. Obat anastesi yang diberikan pada pasien ini adalah
Buvanest spinal 20 mg (berisi bupivakain Hcl 20 mg), Buvanest spinal dipilih
karena durasi kerja yang lama. Bupivakain Hcl merupakan anastesi lokal
golongan amida. Bupivakain Hcl mencegah konduksi rangsang saraf dengan
menghambat aliran ion, meningkatkan ambang eksitasi elekton, memperlambat
perambatan rangsang saraf dan menurunkan kenaikan potensial aksi. Selain itu
Buvanest juga dapat ditoleransi dengan baik pada semua jaringan yang terkena.
1.2 Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mempelajari isi dari makalah tentang Anastesi Spinal.
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui konsep dari Anastesi Spinal
2. Untuk mengetahui indikasi anestesi spinal
3. Untuk mengetahui kontra indikasi anesthesia spinal
4. Untuk mengetahui teknik Anestesia Spinal
5. Untuk mengetahui obat-obatan Yang Dipakai
6. Untuk mengetahui persiapan analgesia spinal
7. Untuk mengetahui peralatan analgesia spinal
8. Untuk mengetahui teknik analgesia spinal
9. Untuk mengetahui tinggi blok analgesia spinal
10. Untuk mengetahui komssplikasi anestesia spinal,pencegahan dan
pengobatan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian

Anestesia spinal (intratekal, intradural, subdural, subarakhnoid) ialah anestesi


regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam ruang
subarakhnoid. Larutan anestesi lokal yang disuntikan pada ruang subarachnoid akan
memblok konduksi impuls sepanjang serabut syaraf secara reversible. Terdapat tiga
bagian syaraf yaitu motor, sensori dan autonom. Motor menyampaikan pesan ke
otot untuk berkontraksi dan ketika di blok, otot akan mengalami paralisis. Syaraf
sensori akan menghantarkan sensasi seperti rabaan dan nyeri ke sumsum tulang dan
ke otak, sedangkan syaraf otonom akan mengontrol tekanan darah, nadi, kontraksi
usus dan fungsi lainnya yang diluar kesadaran. Pada umumnya, serabut otonom dan
nyeri adalah yang pertama kali diblok dan serabut motor yang terakhir. Hal ini akan
menimbulkan timbal balik yang penting. Contohnya, vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah yang mendadak mungkin akan terjadi ketika serabut otonom
diblok dan pasien merasakan sentuhan dan masih merasakan sakit ketika
tindakan pembedahan dimulai. Anestesi spinal merupakan pilihan anestesi pada
daerah dibawah umbilikus,misalnya repair hernia, ginekologi, operasi urogenital
dan operasi di daerah perineum dan genitalia
Spinal anestesi mudah untuk dilakukan dan memiliki potensi untuk
memberikan kondisi operasi yang sangat baik untuk operasi di bawah umbilikus.
Spinal anestesi dianjurkan untuk operasi di bawah umbilikus misalnya hernia,
ginekologi dan operasi urologis dan setiap operasi pada perineum atau alat kelamin.
Semua operasi pada kaki, tapi amputasi meskipun tidak sakit, mungkin merupakan
pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien yang dalam kondisi terjaga.
Dalam situasi ini dapat menggabungkan tehnik spinal anestesi dengan anestesi
umum.
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis
hipotalamus-pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk menekan
transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal. Teknik

anestesia yang lazim digunakan dalam seksio sesarea adalah anestesi regional, tapi
tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap mental pasien.
Anestesi spinal sangat cocok untuk pasien yang berusia tua dan orang-orang
dengan penyakit sistemik seperti penyakit pernapasan kronis, hati, ginjal dan
gangguan endokrin seperti diabetes. Banyak pasien dengan penyakit jantung ringan
mendapat manfaat dari vasodilatasi yang menyertai anestesi spinal kecuali orangorang dengan penyakit katub pulmonalis atau hipertensi tidak terkontrol. Sangat
cocok untuk menangani pasien dengan trauma yang telah mendapatkan resusitasi
yang adekuat dan tidak mengalami hipovolemik.
2. Indikasi anestesi spinal adalah:
1)
2)
3)
4)
5)
6) Bedah

Bedah panggul
Bedah ekstremitas bawah.
Tindakan sekitar rectum-perineum
Bedah obstetric-ginekologi
Bedah urologi
abdomen bawah Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatric

biasanya dikombinasi dengan anesthesia umum ringan.


7) Pasien lanjut usia dan pasien dengan penyakit sistemik seperti penyakit
pernafasan, hepar, renal dan gangguan endokrin (diabetes mellitus).

3. Kontra indikasi anesthesia spinal ada dua macam yakni relative dan
absolute.
Kontra indikasi absolute
Pasien menolak

Kontra indikasi relative


1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)

Infeksi pada tempat suntikan

2. Infeksi sekitar tempat suntikan

Hipovolemia berat, syok

3. Kelainan neurologis

Koagulopati atau mendapat terapiantikoagulan 4. Kelainan psikis

Tekanan intracranial meninggi

5. Bedah lama

Fasilitas resusitasi minim

6. Penyakit jantung

Kurang pengalaman atau / tanpa didampingi 7. Hipovolemia ringan


konsultan anesthesia

8. Nyeri punggung kronis

Kelebihan pemakaian anestesi spinal diantaranya adalah biaya minimal, tidak


ada efek pada pernafasan, jalan nafas pasien terjaga, dapat dilakukan pada pasien
diabetes mellitus, perdarahan minimal, aliran darah splancnic meningkat, terdapat
tonusvisceral,

jarang

terjadi

gangguan koagulasi. Sedangkan kekurangan

pemakaian anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi, hanya dapat digunakan


pada operasi dengan durasi tidak lebih dari dua jam, bila tidak aseptik akan
menimbulkan infeksi dalam

ruang subarachnoid

dan

meningitis,

serta

kemungkinan terjadi postural headache.


4. Teknik Anestesia Spinal :
1) Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi
termudah. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa di pindah lagi,karena
perubahan posisi berlebihan dalam waktu 30 menit pertama akan menyebabkan
penyebaran obat. Jika posisinya duduk, pasien disuruh memeluk bantal, agar
posisi tulang belakang stabil, dan pasien membungkuk agar prosesus spinosus
mudah teraba. Jika posisinya dekubitus lateral, maka beri bantal kepala, agar
pasien merasa enak dan menstabilkan tulang belakang.
2) Tentukan tempat tusukan. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua
krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Untuk operasi hernia
ini, dilakukan tusukan pada L3-4. Tusukan pada L1-2 atau dia atasnya berisiko
trauma terhadap medulla spinalis.
3) Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol.
4) Beri anestetik lokal pada tempat tusukan. Pada kasus ini diberikan obat anestesi
lokal bupivakain.

5) Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial


dengan sudut 10-30 derajad terhadap bidang horizontal ke arah cranial. Jarum
lumbal akan
6) Menembus kulit-subkutis-lig.supraspinosum-lig.interspinosum-lig.flavum-ruang
epidural- uramater-ruang sub arakhnoid. Kira-kira jarak kulit-lig.flavum dewasa
6cm.
7) Cabut stilet maka cairan serebrospinal akan menetes keluar.
8) Pasang spuit yang berisi obat, masukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, untuk memastikan posisi jarum tetap baik.
5. Obat-Obatan Yang Dipakai
1) Atropin sulfat

Farmakodinamika
Atropin merupakan antimuskarinik. Atropin memblok asetilkolin
endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih besar pada eksogen.
Kepekaan reseptor muskarinik terhadap anti muskarinik berbeda antar organ.
Pada dosis kecil (sekita 0,25 mg) dapat menekan sekresi air liur, mucus
bronkus dan keringat. Pada dosis yang lebih besar (0,5 1 mg) baru terlihat
dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan penghambatan N.Vagus sehingga
terjadi takikardi. Pada dosis sekitar 0,3 mg dapat merangsang N.vagus
sehingga frekunesi denyut jantung berkurang. Perangsangan respirasi sebagai
akibat dari dilatasi bronkus. Pada dosis yang besar atropin malah dapat
menyebabkan depresi nafas,delirium dll. Pada saluran nafas dapat bekerja
sebagai pengurang secret hidung, mulut, faring dan bronkus. Sehingga
penggunaan pada premedikasi anestesi mengurangi resiko aspirasi.

Indikasi
Antidotum keracunan antikolinesterase dan keracunan kolinergik yang

ditandai dengan gejala muskarinik


Medikasi praanestesi
Menghambat motilitas usus dan lambung

Efek samping
Mulut kering
Gangguan miksi

Meteorisme
Sindrom demensia pada orang tua
Alergi atropine namun jarang ditemukan
Muka memerah
2) Bunascan Spinal 0,5% Heavy
Bunascan Spinal 0,5% Heavy merupakan nama dagang, isinya adalah
bupivacaine HCL 5mg/ml dan dextrose 80mg/ml. Pada pasien ini, diberikan
Bunascan Spinal 0,5% Heavy 10mg.

Farmakodinamik :
Anestesi lokal adalah obat yang digunakan untuk mencegah rasa nyeri

dengan memblok konduksi sepanjang serabut saraf secara reversible. Obat


menembus saraf dalam bentuk tidak terionisasi (lipofilik), tetapi saat di dalam
akson terbentuk beberapa molekul terionisasi, dan molekul-molekul ini
memblok kanal Na+, serta mencegah pembentukan potensial aksi. Anestesi
lokal dapat menekan jaringan lain yang dapat dieksitasi (miokard) bila
konsentrasi dalam darah cukup tinggi, namun efek sistemik utamanya
mencakup system saraf pusat. Pada konsentrasi darah yang dicapai dengan
dosis terapi, terjadi perubahan konduksi jantung, eksitabilitas, refrakteritas,
kontraktilitas dan resistensi vaskuler perifer yang minimal. Kontraktilitas
miokardium ditekan dan terjadi vasodilatasi perifer, mengakibatkan penurunan
curah jantung dan tekanan darah arteri. Absorpsi sistemik anestetik lokal juga
dapat mengakibatkan perangsangan dan atau penekanan sistem saraf pusat.
Rangsangan pusat biasanya berupa gelisah, tremor dan menggigil, kejang,
diikuti depresi dan koma, akhirnya terjadi henti napas. Fase depresi dapat
terjadi tanpa fase eksitasi sebelumnya.

Farmakokinetik :
Kecepatan absorpsi anestetik lokal tergantung dari dosis total dan

konsentrasi obat yang diberikan, cara pemberian, dan vaskularisasi tempat


pemberian, serta ada tidaknya epinefrin dalam larutan anestetik. Bupivacaine

mempunyai awitan lambat (sampai dengan 30 menit) tetapi mempunyai durasi


kerja yang sangat panjang,sampai dengan 8 jam bila digunakan untuk blok
syaraf. Lama kerja bupivacaine lebih panjang secara nyata daripada anestetik
lokal yang biasa digunakan. Juga terdapat periode analgesia yang tetap setelah
kembalinya sensasi.
Efek samping :

Penyebab utama efek samping kelompok obat ini mungkin berhubungan


dengan kadar plasma yang tinggi, yang dapat disebabkan oleh overdosis,
injeksi intravaskuler yang tidak disengaja atau degradasi metabolik yang
lambat.
Sistemik : Biasanya berkaitan dengan sistem saraf pusat dan
kardiovaskular seperti hipoventilasi atau apneu, hipotensi dan henti jantung.
SSP : Gelisah, ansietas, pusing, tinitus, dapat terjadi penglihatan kabur
atau tremor, kemungkinan mengarah pada kejang. Hal ini dapat dengan cepat
diikuti rasa mengantuk sampai tidak sadar dan henti napas. Efek SSP lain
yang mungkin timbul adalah mual, muntah, kedinginan, dan konstriksi pupil.
Kardiovaskuler : Depresi miokardium, penurunan curah jantung,
hambatan jantung, hipotensi, bradikardia, aritmia ventrikuler, meliputi
takikardia ventrikuler dan fibrilasi ventrikuler, serta henti jantung.
Alergi : Urtikaria, pruritus, eritema, edema angioneuretik (meliputi
edema laring), bersin, episode asma, dan kemungkinan gejala anafilaktoid
(meliputi hipotensiberat).
Neurologik : Paralisis tungkai, hilangnya kesadaran, paralisis
pernapasan dan bradikardia (spinal tinggi), hipotensi sekunder dari blok
spinal, retensi urin,inkontinensia fekal dan urin, hilangnya sensasi perineal
dan fungsi seksual;anestesia persisten, parestesia, kelemahan, paralisis
ekstremitas bawah dan hilangnya kontrol sfingter, sakit kepala, sakit
punggung,

meningitis

septik,

meningismus,

lambatnya

persalinan,

meningkatnya kejadian persalinan dengan forcep, atau kelumpuhan saraf


kranial karena traksi saraf pada kehilangan cairanserebrospinal.
3) Ketopain 30 mg sebagai analgesik
Farmakodinamik
Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik.
Obat ini merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan
aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine
menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik
yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat.
Farmakokinetik
Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah
pemberian intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma
sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu
paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang
lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat pada
konsentrasi yang beragam. Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah
pemberian secara intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear.
Kadar steady state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam
sehari. Pada dosis jangka panjang tidak dijumpai perubahan bersihan.
Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume distribusinya rata-rata
0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat dan metabolit parahidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata-rata
6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral tidak
mengubah hemodinamik pasien.
Indikasi
Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek
terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total
Ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari. Ketorolac secara parenteral
dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Harus diganti ke analgesik

alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5 hari.


Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetri
atau untuk analgesia obstetri karena belum diadakan penelitian yang adekuat
mengenai hal ini dan karena diketahui mempunyai efek menghambat
biosintesis prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus.
Kontra indikasi
Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena

ada kemungkinan sensitivitas silang.


Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian

Asetosal atau obat anti-inflamasi nonsteroid lain.


Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif.
Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti.
Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi.
Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau bronkospasme.
Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.
Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain.
Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum >160

mmol/L).
Riwayat asma.
Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau hemostasis
inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin dosis rendah

(2.5005.000 unit setiap 12 jam).


Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium.
Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi.
Anak < 16 tahun.
Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Steven-Johnson atau ruam

vesikulobulosa.
Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal).
Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif jika

hemostasis benar-benar dibutuhkan karena tingginya risiko perdarahan.


Dosis
Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau
bolus intravena. Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal

15 detik. Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal.
Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa,
kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2
jam. Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya
disesuaikan dengan keparahan nyeri dan respon pasien. Lamanya terapi :
Pemberian dosis harian multipel yang terus-menerus secara intramuskular dan
intravena tidak boleh lebih dari 2 hari karena efek samping dapat meningkat
pada penggunaan jangka panjang.
Dewasa
Ampul : Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan
1030 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif
terendah. Dosis harian total tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa
dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien gangguan ginjal dan pasien yang
berat badannya kurang dari 50 kg. Lamanya terapi tidak boleh lebih dari 2
hari. Pada seluruh populasi, gunakan dosis efektif terendah dan sesingkat
mungkin. Untuk pasien yang diberi Ketorolac ampul, dosis harian total
kombinasi tidak boleh lebih dari 90 mg (60 mg untuk pasien lanjut usia,
gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg).
Efek Samping :
Efek samping di bawah ini terjadi pada uji klinis dengan Ketorolac IM
20 dosis dalam 5 hari. Insiden antara 1 hingga 9% : Saluran cerna : diare,
dispepsia, nyeri gastrointestinal, nausea. Susunan Saraf Pusat : sakit kepala,
pusing, mengantuk, berkeringat.
6. Persiapan analgesia spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan

kesulitan,misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk


sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan
hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran Hb, Ht, pt, ptt
7. Peralatan analgesia spinal
1. Peralatan monitor: tekanan darah, pulse oximetri, EKG
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum
spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)
8. Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.

1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri


bantal kepala,selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi
lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista
iliaka,missal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya
berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.
4. Beri anastesi local pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,23G,25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc.
tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,kemudian
masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar
dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas
atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin
jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obar
dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal
pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90 biasanya
likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter..

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa
6cm.
9. Tinggi blok analgesia spinal
Factor yang mempengaruhi:
1. Volume obat analgetik local: makin besar makin tinggi daerah analgesia
2.

Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia

3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas


daerah analgetik.
4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
7. Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik
8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik


sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan
posisi pasien.
10. Komplikasi anestesia spinal
1. Komplikasi sirkulasi:
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin
tinggi blok makin berat hipotensi. Pencegahan hipotensi dilakukan
dengan memberikan infuse cairan kristaloid(NaCl,Ringer laktat) secara
cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah penyuntikan
anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuscepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena
sebanyak 19mg diulang setiap 3-4menit sampai mencapai tekanan darah
yang dikehendaki.
2. Bradikardia
Dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok
simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.
3. Komplikasi respirasi:
a. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi,bila
fungsi paru-paru normal.
b. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok
spinal tinggi.

c. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
d. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan pernafasan buatan.
3. Komplikasi gastrointestinal:
Nausea

dan

muntah

karena

hipotensi,hipoksia,tonus

parasimpatis berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi


pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala
pasca pungsi lumbalmerupakan nyeri kepala dengan cirri khasterasa
lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai
terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,dengan kekerapan yang
bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.
11. Pencegahan:
1. Pakailah jarum lumbal yang lebih halus
2. Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater
3. Hidrasi adekuat,minum/infuse 3L selama 3 hari
12.Pengobatan:Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
1. Hidrasi adekuat
2. Hindari mengejan

3. Bila cara diatas tidak berhasil berikan epidural blood patch yakni
penyuntikan darah pasien sendiri 5-10ml ke dalam ruang epidural.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anestesia spinal (intratekal, intradural, subdural, subarakhnoid) ialah anestesi
regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam ruang
subarakhnoid. Larutan anestesi lokal yang disuntikan pada ruang subarachnoid akan
memblok konduksi impuls sepanjang serabut syaraf secara reversible. Terdapat tiga
bagian syaraf yaitu motor, sensori dan autonom.
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis
hipotalamus-pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk menekan
transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal. Teknik
anestesia yang lazim digunakan dalam seksio sesarea adalah anestesi regional, tapi
tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap mental pasien.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat menjadi bahan referensi dalam pembuatan makalah
selanjutnya yang berkaitan dengan pembahasan di atas meskipun makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami selaku penyusun mangharapakan saran
dan kritik yang membangun dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif. dkk. Anestesi spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran edisi
III hal.261-264. 2000. Jakarta.
Spinal Anesthesia For Inguinal Herniorrhaphy: A Randomized Double-Blind
Study. Anesth Analg 2003;96:1496-1503.
Syarif, Amir. Et al. Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik. Dalam: Farmakologi
dan Terapi edisi 5 hal.259-272. 2007. Gaya Baru, jakarta

Anda mungkin juga menyukai