Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Limfoma merupakan keganasan jaringan limfoid dengan karakteristik
proliferasi sel-sel limfoid atau prekursornya. Limfoma berupa tipe
keganasan nonepitelial yang paling umum pada kepala dan leher. Ada dua
tipe utama limfoma, yaitu limfoma Hodgkin (LH) dan limfoma nonHodgkin (LNH). LH biasanya dicirikan dengan penyebaran penyakit yang
tersebar ke kelompok limfonodus yang bersebalahan. Berbeda dengan LH,
LNH dapat bermanifestasi ke lokasi ekstranodal, seperti cincin Waldeyer,
kelenjar ludah, dan tiroid selain pada nodal basins kepala dan leher.1
Sebanyak 85% angka kejadian limfoma adalah tipe LNH dan termasuk
dalam lima keganasan yang paling sering terjadi di Amerika Serikat, selain
kanker kulit. Angka kejadian limfoma berbeda pada tiap ras; orang kulit
putih memiliki risiko lebih tinggi bila dibandingkan dengan orang kulit
hitam dan orang Asia-Amerika.1
Limfoma non Hodgkin disebabkan oleh translokasi kromosom di sel
B, sel T, atau sel natural killer (NK) yang menyebabkan inaktivasi gen
tumor suppressor atau aktivasi onkogen. Sebanyak 90% kasus LNH
merupakan limfoma sel B; dua subtipe histologik yang paling banyak adalah
limfoma folikel dan limfoma sel B difusa yang lebih agresif.1
Penderita keganasan memiliki kualitas hidup yang buruk terutama
ketika dihadapkan dengan stadium akhir. Deteksi dini dan pengobatan
kanker kepala dan leher dapat meningkatkan kualitas hidup dan prognosis
yang lebih baik. Metastasis samar dapat terjadi sektar 10-30% pada kanker
kepala dan leher. Metastasis samar harus dideteksi sedini mungkin untuk
prognosis yang lebih baik.1,3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Limfatik


Sistem limfatik adalah jaringan tubuli-tubuli yang amat
tipis

yang

bercabang-cabang

seperti

pembuluh

darah.

Pembuluh limfe berisi cairan bening yang berisi sel limfosit


dan merupakan sarana yang mengalirkan sel limfosit ke
seluruh tubuh. Struktur kelenjar limfe terbagi dalam tiga
bagian utama, yaitu korteks, parakorteks, dan medulla. Di
dalam korteks terdapat folikel-folikel yang berbentuk sferis,
yang terisi penuh limfosit B. Di tengah-tengah folikel ini
dapat ditemukan daerah yang berwarna agak pucaat yang
dinamakan pusat germinal (centrum germinativum) yang di
dalamnya

dapat

ditemukan

sel

blast,

makrofag

yang

memberi

gambaran

sel

besar,

seperti

dan

langit

berbintang. Daerah parakorteks berisi limfosit T, sedangkan


daerah medulla pada dasarnya dihuni oleh sel B. 2 Ada
sekitar 300 kelenjar getah bening di daerah kepala dan
leher, gambaran lokasi terdapatnya KGB pada daerah kepala
dan leher adalah sebagai berikut:2,13

Gambar 1. Lokasi kelenjar getah bening di kepala dan leher. 2

Secara anatomi aliran getah bening aferen masuk ke dalam kelenjar


getah bening melalui kapsul dan membawa cairan getah bening dari jaringan
sekitarnya dan aliran getah bening eferen keluar dari kelenjar getah bening
melalui hilus. Cairan getah bening masuk kedalam kelenjar melalui lobanglobang di kapsul. Di dalam kelenjar, cairan getah bening mengalir dibawah
simpai di dalam ruangan yang disebut sinus perifer yang dilapisi oleh sel
endotel. Ikat trabekula terentang melalui sinus-sinus yang menghubungkan
simpai dengan kerangka retikuler dari bagian dalam kelenjar dan merupakan
alur untuk pembuluh darah dan syaraf. Dari bagian pinggir cairan getah
bening menyusup kedalam sinus penetrating yang juga dilapisi sel endotel.
Pada waktu cairan getah bening di dalam sinus penetrating melalui hilus,
sinus ini menempati ruangan yang lebih luas dan disebut sinus meduleri.
Dari hilus cairan ini selanjutnya menuju aliran getah bening eferen.2
Pada dasarnya limfosit mempunyai dua bentuk, yang berasal dari sel T
(thymus) dan sel B (bursa) atau sumsum tulang. Fungsi dari limfosit B dan
sel-sel turunannya seperti sel plasma, imunoglobulin, yang berhubungan
dengan humoral immunity, sedangkan T limfosit berperan terutama pada
cell-mediated immunity. Terdapat tiga daerah pada KGB yang berbeda:
korteks, medula, parakorteks, ketiganya berlokasinya antara kapsul dan
3

hilus. Korteks dan medula merupakan daerah yang mengandung sel B,


sedangkan daerah parakorteks mengandung sel T. Dalam korteks banyak
mengandung nodul limfatik (folikel), pada masa postnatal, biasanya berisi
pusat germinal. Akibatnya terjadi stimulasi antigen, sel B di pusat germinal
berubah menjadi sel yang besar, inti bulat dan anak inti menonjol yang
sebelumnya dikenal sebagai sel retikulum, sel-selnya besar yang ditunjukan
oleh Lukes dan Collins sebagai sel noncleaved besar, dan sel noncleaved
kecil. Sel noncleaved yang besar berperan pada limphopoiesis atau berubah
menjadi immunoblas diluar pusat germinal dan berkembang didalam sel
plasma.2

2.2. Peran dari Sel T dan Sel B


Ada dua jenis utama sel limfosit yaitu sel T dan sel B, Seperti jenis sel
darah lainnya, limfosit dibentuk dalam sumsum tulang. Kehidupannya
dimulai dari sel imatur yang disebut sel induk. Pada awal masa kanak-kanak,
sebagian limfosit bermigrasi ke timus, suatu organ di puncak dada, dimana
mereka menjadi matur menjadi sel T. Sisanya tetap tinggal di sumsum tulang
dan menjadi matur disana sebagai sel B. Sel T dan sel B keduanya berperan
penting dalam mengenali dan menghancurkan organisme penyebab infeksi
seperti bakteri dan virus.2,3
Dalam keadaan normal, kebanyakan limfosit yang bersirkulasi dalam
tubuh adalah sel T. Mereka berperan untuk mengenali dan menghancurkan
sel tubuh yang abnormal sebagai contoh sel yang telah diinfeksi oleh virus.
Sel B mengenali sel dan materi asing, jika sel ini bertemu dengan protein
asing, mereka memproduksi antibodi yang kemudian melekat pada
permukaan sel asing dan menyebabkan perusakannya.3,4
Limfoma adalah suatu penyakit limfosit. Ia seperti kanker, dimana
limfosit yang terserang berhenti beregulasi secara normal. Dengan kata lain,
limfosit dapat membelah secara abnormal atau terlalu cepat, dan atau tidak
mati dengan cara sebagaimana biasanya. Limfosit abnormal sering

terkumpul di kelenjar getah bening, sebagai akibatnya kelenjar getah bening


ini akan membengkak.3,4
2.3. Limfoma Non Hodgkin
2.3.1 Definisi
Limfoma non Hodgkin adalah kelompok keganasan prirner limfosit
yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T dan sangat jarang berasal dari
sel natural killer yang berada dalam sistem lirnfe. Limfoma non Hodgkin
(LNH) merupakan penyakit yang sangat heterogen dilihat dari segi patologi
dan klinisnya. Penyebarannya juga tidak seteratur penyakit Hodgkin serta
bentuk ekstra-nodal jauh lebih sering dijumpai.1,3
2.3.2 Epidemiologi
Limfoma merupakan penyakit keganasan yang sering ditemukan pada
anak, hampir sepertiga dari keganasan pada anak setelah leukemia dan
keganasan susunan syaraf pusat. Insiden penyakit ini khususnya LNH
terlihat terus mengalami peningkatan sekitar 3,4% setiap tahunnya. The
American Cancer Society memperkirakan terdapat 65.980 kasus baru setiap
tahun dan 19.500 di antaranya meninggal dunia akibat LNH pada tahun
2009.3 Angka kejadian tertinggi pada umur 7-10 tahun dan jarang dijumpai
pada usia di bawah 2 tahun. Laki-laki lebih sering bila dibandingkan dengan
perempuan dengan perbandingan 2,5:1. Angka kejadiannya setiap tahun
diperkirakan meningkat dan di AS 16,4 per sejuta anak di bawah usia 14
tahun. Angka kejadian limfoma malignum di Indonesia sampai saat ini
belum diketahui dengan pasti.1
2.3.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi terjadinya sebagian besar LNH sampai saat ini belum
diketahui namun LNH dapat disebabkan oleh abnomalitas sitogenik, seperti
translokasi kromosom dan infeksi virus. Translokasi kromosom dan
perubahan molekular sangat berperan penting dalam patogenesis limfoma,
dan berhubungan dengan histologi serta imunofenotiping. Translokasi
t(14;18)(q32;q21) adalah translokasi kromosomal abnormal yang paling
5

sering dihubungkan dengan LNH. Beberapa infeksi virus berperan dalam


patogenesis LNH, seperti virus Epstein Barr yang merupakan penyebab
paling sering pada limfoma Burkitt, limfoma pada pasien dengan
imunocompremised dan penyakit Hodgkin.4,5
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan limfoma non Hodgkin
anatara lain imunodefisiensi diketahui sekitar 25% kelainan herediter langka
yang berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah severe
combined immunodeficiency, hypogamma globulinemia, common variable
immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia.
Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali
dihubungkan pula dengan Epstein-Barr virus (EBV) dan jenisnya beragam,
mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga limfoma monokional. Agen
Infeksius antara lain EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma Burkit
endemik dan lebih jarang ditemukan pada limfoma Burkit sporadik. Karena
tidak pada semua kasus limfoma Burkit ditemukan EBV, hubungan dan
mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkit belum diketahui. EBV
juga dihubungkan dengan posttranspIant lymphoproIifer ative disorders
(PTLDs) dan AIDS-associat ed lymphomas.4
Selain EBV DNA, HTLV-1 juga merupakan agen penyebab limfoma
sel T dewasa (herediter atau didapat) yang merupakan faktor pencetus untuk
terjadinya limfoma sel B. Pada sindrom defisiensi imun didapat (AIDS)
terdapat peningkatan insidensi limfoma di tempat-tempat yang tidak umum,
misalnya di sistem saraf pusat. Limfoma tersebut biasanya berasal dari sel B
dan secara histologi berderajat tinggi atau sedang. Enteropati yang diinduksi
gluten serta limfadenopati angioimunoblastik merupakan faktor pencetus
terjadinya limfoma sel T, dan beberapa limfoma jaringan limfoid yang
terkait dengan mukosa (mucosa-assosiated lymphoid tissue, MALT) di
lambung, faktor pencetusnya dikaitkan dengan infeksi Helicobacter. Infeksi
hepatitis C juga telah diajukan sebagai faktor risiko terjadinya limfoma nonHodgkin.4
2.3.4 Klasifikasi

Klasifikasi

histopatologik

merupakan

topik

yang

paling

membingungkan dalam studi limfoma maligna karena perkembangan


klasifikasi ini demikian cepat dan dijumpai berbagai jenis klasifikasi yang
satu sama lain tidak kompatibel. Pada tahun 1994 telah dikeluarkan
klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL) dan diterapkan
secara luas. Klasifikasi REAL/WHO mencakup semua keganasan limfoid
dan limfoma dan lebih berdasarkan klinis dibandingkan dengan skemaskema klasifikasi sebelumnya. Secara umum terjadi pergeseran pembagian
limfoma yang awalnya hanya berdasarkan penampilan histologik menjadi
lebih ke arah sindrom dengan gambaran morfologik, imunofenotip, genetik
dan klinis yang khas. Klasifikasi ini juga berguna untuk mempertimbangkan
kemungkinan asal keganasan masing-masing limfoid berdasarkan fenotipe
dan status penataan ulang imunoglobulinnya.7
Sel B (85%)
Neoplasma prekursor sel B
Limfoma/leukimia
limfoblastik prekursor B
(ALL-B/LBL)

Sel T dan sel NK (15%)


Neoplasma prekursor sel T
Limfoma/leukimia
limfoblastik prekursor T
(ALL-T/LBL)

Neoplasma sel B matur (perifer)


Leukimia limfositik kronik
sel B/ Limfoma limfositik
kecil
Leukimia prolimfositik sel B
Limfoma limfoplasmasitik
Limfoma sel B zona
marginal limpa (limfosit
vilosa)
Leukimia sel berambut
Myeloma sel plasma/
plasmasitoma
Limfoma sel B zona
marginal ekstranodal tipe
MALT
Limfoma sel mantel

Neoplasma sel T matur (perifer)


Leukimia prolimfositik sel T
Leukimia limfositik granular
sel T
Leukimia sel NK agresif
Leukimia/Limfoma sel T
dewasa (HTLV-1)
Limfoma sel T/NK
ekstranodal, tipe nasal
Limfoma sel T jenis
enteropati
Mycosis fungoides/ sindrom
Sezary
Limfoma sel besar anaplastik,
tipe kutaneus primer
Limfoma sel T perifer, tidak

Limfoma folikular
Limfoma sel B zona
marginal nodal
Limfoma sel B besar difus
Limfoma Burkitt

dispesifikasi
Limfoma sel T
angioimunoblastik
Limfoma sel besar anaplastik,
tipe sistemik primer

Tabel 1. Klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL)


untuk neoplasma limfoid7

2.3.5 Patogenesis
Prekursor

limfosit

dalam

sumsum

tulang

adalah

limfoblas.

Perkembangan limfosit terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak
tergantung antigen (antigent independent) dan tahap yang tergantung antigen
(antigent dependent).8
Pada tahap I, sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B,
kemudian menjadi sel B imatur dan sel B matur, yang beredar dalam
sirkulasi, dikenal sebagai naive B-cell. Apabila sel B terkena rangsangan
antigen, maka proses perkembangan akan masuk tahap 2 yang terjadi dalam
berbagai kopartemen folikel kelenjar getah bening, dimana terjadi
immunoglobuline gene rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel
plasma yang akan pulang kembali ke sumsum tulang.8
Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan
tubuh seperti sel limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi
suatu sel yang disebut imunoblas T atau imunoblas B. Pada LNH, proses
proliferasi ini berlangsung secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini

disebabkan akibat terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi


berlebihan ini menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal,
ukurannya membesar, kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat,
dan protein permukaan selnya mengalami perubahan.8
Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B cell
dapat langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian
menjadi sel plasma. Sebagian besar naiv B cell dapat langsung mengalami
transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian
besar naiv B cell mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular Bblast, centroblast, centrocyte, monocyte B cell dan sel plasma.8
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat
terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua
yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi
akibat adanya rangsangan imunogen). Proses ini terjadi di dalam kelenjar
getah bening, dimana sel limfosit tua berada di luar pusat germinal
sedangkan imunoblas berada di bagian paling sentral dari pusat germinal.
Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain ukurannya
makin besar, kromatin inti menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, protein
permukaan sel mengalami perubahan reseptor.8
Penataan ulang kromosom yang salah merupakan mekanisme mutasi
yang penting terhadap LNH sel B. Memahami mekanisme dasar yang
berkontribusi terhadap proses ini relevan dengan pembahasan epidemiologi
saat ini. Sedikit yang diketahui tentang agen yang mempengaruhi
penyusunan ulang kromosom abnormal, namun pada pertemuan ini
Kirschhas telah memberikan bukti bahwa paparan kerja pestisida dapat
meningkatkan laju pembentukan rekombinasi yang salah misalnya, inv(7)
PL3, Q35) antara gen reseptor sel T. Sementara inversi ini tidak terkait
dengan aktivasi onkogen, ini menunjukkan bahwa faktor-faktor eksogen
dapat mempengaruhi proses rekombinasi dalam sel. Telah dijelaskan
penyusunan ulang kromosom, termasuk translokasi stabil dalam aplikator
fumigan (pengasapan) terpajan fosfin. Gen Ig di B-sel (dan T-sel reaktivitas

gen dalam sel-T) mengalami perubahan struktural yang luas selama


perkembangan normal. Ada dua proses penataan ulang terpisah: V-(D)-J
penyusunan ulang yang terjadi selama tahap pro-B/pre-Bawal dan berat
rantai isotipe beralih yang terjadi di matang perifer B-sel. Dalam setiap
proses DNA rusak dan bergabung kembali, enzim yang berbeda mungkin
terlibat dalam kedua proses. V-(D)-J gen menata ulang langkah melibatkan
gen Ig dalam tiga lokus kromosom yang berbeda, DHJH, VHDHJH pada
kromosome(chr) 14, VKJK pada kromosom2 dan V J pada kromosom
22.8
Disamping itu, BCL-6 represor transkripsi yang sering mengalami
translokasi dalam limfoma, mengatur deferensiasi pusat germinal sel B dan
peradangan. Skrining mikroangiopati DNA mengidentifikasi gen-gen yang
ditekan oleh BCL-6, termasuk banyak gen aktivasi limfosit, menunjukkan
bahwa BCL-6 memodulasi sinyal reseptor sel B. BCL-6 represi dari dua
genkemokin, MIP-1 alpha dan IP-10, juga mungkin meminimalkan respon
inflamasi. Blimp-1, BCL-6 target lain, sangat penting untuk diferensiasi
plasmacytic. Sejak ekspresi BCL-6 tidak ada dalam sel plasma,
represibalon-1 oleh BCL-6 dapat mengontrol diferensiasi plasmacytic.
Memang, penghambatan BCL-6 fungsi melakukan perubahan indikasi
diferensiasi

plasmacytic,

termasuk

penurunan

ekspresic-Myc

dan

peningkatan ekspresi siklus inhibitor p27KIP1 sel. Data ini menunjukkan


bahwa transformasi maligna oleh BCL-6 melibatkan penghambatan
diferensiasi dan peningkatan proliferasi.8
Selain mutasi gen, penuaan mungkin merupakan faktor penting dalam
patogenesis kelompok I LNH sel B, karena tumor ini terjadi terutama di
kelompok usia yang lebih tua, dan peningkatan angka kejadian dalam setiap
kelompok usia lebih dari 55 tahun. Penjelasan biologis bagaimana penuaan
berpengaruh terhadap limfoma genesis belum dipahami dengan baik. Efek
penuaan pada sistem kekebalan tubuh telah dipelajari selama beberapa
tahun. Konsep bahwa penuaan adalah keadaan imunodefisiensi mungkin
peryataan yang terlalu umum. Pada pemeriksaan sumsum tulang ditemukan

10

Clonotypes baru. Hasil yang didapatkan oleh peneliti sebelumnya yaitu


adanya disregulasi dari sistem kekebalan tubuh. Pertama, diketahui bahwa
timus berinvolusi sehingga sel T bergantung lebih banyak pada kolam
perifer. Selain itu, proliferasi sel Tdan produksi IL-2 mengalami penurunan.
Sel T autoreaktif muncul dengan bertambahnya usia. Dalam garis keturunan
sel B respon humoral terhadap antigen asing menurun sementara produksi
antibodi autoreaktif meningkat. Perubahan dalam repertoar B-sel pada tikus
terjadi dengan penuaanyang mungkin berubah yaitu gen V, D,dan J. sel B
manusia dari individu yang berusia tua mengalami proliferasi 50% kurang
efisien dibandingkan dari usia muda, perbedaan ini mungkin karena
gangguan dalam komponen jalur transduksi sinyal tertentu dalam sel-B.
Penuaan juga berhubungan dengan ketidakseimbangan dalam T- dan Brepertoar. Pengaturan ukuran dan aktifitas proliferasi clonotypes B-sel
tertentu pada orang tua mungkin kurang dikontrol dengan baik karena
perubahan dalam kompartemen sel-T. Ini ditambah dengan peningkatan
frekuensi autoreaktif clonotypes, dapat menghasilkan populasi B-sel yang
kurang patuh pada peraturan oleh sel T, sehingga meningkatan risiko untuk
mengalami pertumbuhan otonom.8
Selain itu LNH sel B memiliki hubungan dengan keadaan
immunodefisiensi, yang paling sering adalah oligoklonal atau poliklonal,
dan ini telah mengangkat isu bahwa beberapa limfoma ini lebih kepada
lymphoproliferative daripada gangguan neoplastik. Banyak limfoma timbul
dalam berbagai bentuk immunodeficiency seperti EBV+, menunjukkan peran
partisipatif gen EBV dalam proses lymphomagenic. Mekanisme dasar untuk
limfomagenesis pada immunodefisiensi diduga melibatkan gangguan
pengawasan imunologi dan kemampuan sel-T untuk menghilangkan sel-sel
mengekspresikan antigen permukaan sel atipikal. Dalam sel B virus
dipertahankan sebagai plasmid dalam sitoplasma sel yang beristirahat,
sehingga sejumlah besar sel B terinfeksi. Kondisi ini akan mempengaruhi
pertumbuhan sel B menjadi sel ganas. Sel B yang baru terinfeksi
(nonneoplastik) dan baris sel lymphoblastoid yang dibiakkan dari darah

11

orang yang terinfeksi terus-menerus mengekspresikan beberapa protein virus


EBNAs1, 2a, 3a, 3b, 3c dan EBNA-LP, LMP1, 2A, 2B tapi menghasilkan
sangat sedikit virus. Protein membran merupakan target antigen untuk
sitotoksik T-sel.8
Sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap rnempertahankan
sifat

"dasar"nya.

Misalnya

sel

kanker

dari

limfosit

tua

tetap

mempertahankan sifat mudah masuk aliran darah namun dengan tingkat


mitosis yang rendah, sedangkan sel kanker dari imunobias amat jarang
masuk ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat mitosis yang tinggi.8
2.3.6 Stadium
Penentuan stadium didasarkan pada jenis patologi dan tingkat
keterlibatan. Jenis patologi didasarkan pada formulasi kerja (IWF) yang
baru. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor.1
Karakteristik pada tingkat rendah berupa limfositik kecil, sel folikulas kecil
berbelah, sel folikulas dan campuran sel besar dan kecil berbelah. Pada
tingkat sedang ditandai dengan sel folikulis besar, sel kecil berbelah dan
difus dan sel campuran besar dan kecil difus, sel besar difus. Sedangkan
pada tingkat tinggi ditandai dengan sel besar imunoblastik, limfoblastik, dan
sel kecil tak berbelah.11 Penentuan stadium limfoma non Hodgkin
berdasarkan tingkat keterlibatan menurut Ann arbor adalah sebagai berikut:1
Stadium I
Keterlibatan satu daerah kelenjar getah bening (I)atau keterlibatan satu
organ atau satu tempatekstralimfatik (IIE)
Stadium II
Keterlibatan 2 daerah kelenjar getah bening ataulebih pada sisi diafragma
yang sama. II2: pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi diafragma. II3:
pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi diafragma. IIE: pembesaran 1
regio atau lebih KGB dalam 1 sisi diafragma dan 1 organ ekstra limfatik
tidak difus / batas tegas.
Stadium III

12

Keterlibatan daerah kelenjar getah bening padakedua did diafragma (III),


yang juga dapat disertaidengan keterlibatan lokal pada organ atau
tempatekstralimfatik (IIIE) atau keduanya (IIIE+S)
Stadium IV
Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus.
Tabel 2. klasifikasi menurut Ann Arbor.1

2.3.7 Diagnosis
Penegakan diagnosa limfoma membutuhkan beberapa langkah
pemeriksaan antara lain anamnesis, pemeriksaan fisik menyeluruh,
pemeriksaan hematologi, pemeriksaan pencitraan atau radiografi dan
pemeriksaan histopatologi.1,3
Pada anamnesis, sebagian besar penderita limfoma non Hodgkin
datang dengan keluhan utama pembesaran kelenjar limfe yang tidak
nyeri selama lebih dari dua minggu, biasanya terdapat pada
area supraklavikula leher. Gejala sistemik atau konstitusional
dapat berupa demam lebih dari 380C, keringat malam, dan
berat badan berkurang lebih dari 10% selama 6 bulan tanpa
sebab yang jelas merupakan gejala B. Gejala B dianggap
sebagai faktor prognosis yang negatif pada LH dan LNH dan
dapat memprediksi respon pengobatan dan presentase
harapan hidup. Pasien dengan kasus limfoma juga sering ditemukan
berada pada kondisi anemia. Sebanyak 5-10% penderita yang memiliki
kelainan/ penyakit di struktur orofaringeal (cincin Waldeyer) mengeluhkan
gejala berupa sakit tenggorok atau nafas berbunyi atau tersumbat. Pasien
dapat datang dengan gejala nyeri abdomen akut bila penyakit ini telah
meyebar hingga saluran gastrointestinal.9
Pada pemeriksaan fisik berupa inspeksi dan palpasi seringkali
ditemukan pembesaran kelenjar getah bening dan pembesaran organ hati dan
limpa. Saluran gastrointestinal adalah lokasi ekstranodal yang paling sering
terkena setelah sumsum tulang. Pemeriksaan menggunakan cermin atau

13

laringoskopi fleksibel sebaiknya dilakukan untuk melihat struktur cincin


Waldeyer.9
Pemeriksaan laboratorium meliputi darah rutin dan profil biokimia
darah dapat memberikan gambaran yang sesuai dengan gejala penyakit LNH
berupa kelainan hematologi yaitu anemia normositik normokrom, tetapi
kondisi anemia hemolitik autoimun juga dapat terjadi.3 Pada penyakit lanjut
yang disertai dengan keterlibatan sumsum tulang, mungkin terdapat
netropenia, trombositopenia (khususnya jika limpa membesar), atau
gambaran leukoeritroblastik pada pemeriksaan hitung jenis. Temuan berupa
sel-sel limfoma (misalnya sel zona selubung, sel limfoma folikuler berbelah,
atau blast) dengan kelainan inti yang bervariasi, dapat ditemukan dalam darah
tepi beberapa pasien.9
Pemeriksaan lain berupa test faal ginjal dan hati termasuk serum
lactate dehydrogenase (LDH) sebaiknya diukur pada seluruh pasien karena
merupakan prediktor yang penting terhadap persentase harapan hidup, dan
bila mengalami peningkatan dapat menunjukkan kerusakan jaringan
ekstralimfatik, limfoma relaps atau pertumbuhan yang baru. Pemeriksaan
imaging/pencitraan berupa CT Scan dengan kontras pada kepala, leher, dada,
abdomen dan pelvis secara rutin dilakukan untuk mengevaluasi limfoma
nodal dan nonnodal. Pemeriksaan radiografi meliputi foto dada PA/lateral,
tomografi mediastinum dan limfografi kedua tungkai bawah juga diperlukan
untuk

membantu

penentuan

stadium

klinik

penderita.

Sedangkan

pemeriksaan lain berupa rekam jantung/ ekokardiogram (EKG) sebaiknya


dilakukan pada seluruh pasien yang berusia lebih dari 65 tahun atau pada
pasien yang terindikasi.9
Pemeriksaan histopatologi jaringan diperlukan untuk menentukan
jenis dan stadium limfoma serta terapi yang tepat. Gold standard untuk
pemeriksaan limfoma di kepala dan leher adalah biopsi eksisi. Namun,
dengan adanya klasifikasi baru dari Revised Europan-American Lymphoma
(REAL) di pertengahan tahun 1900 dan klasifikasi terbaru dari WHO,
pemeriksaan lebih ditekankan pada imunofenotip dan karakteristik

14

sitogenetik dibandingkan dari segi arsitekturnya untuk pengkategorian


tumor. Karena itu, investigasi terkini lebih ditekankan pada fine needle
aspiration (FNA) dan core needle biopsy (CNB) sebagai alat diagnostik
independen untuk mendiagnosis limfoma.9
Bila dibandingkan dengan biopsi, FNA memiliki kelebihan dalam hal
kecepatan, biaya, dan risiko komplikasi yang lebih minimal. Namun
pemeriksaan dari hasil aspirasi jarum (FNA) tidak memadai untuk diagnosis
konfirmatif.9

Aspirasi

jarum

dapat

memberikan

material

untuk

cytomorphology dan flow cytometry, teknik yang spesifik terhadap


permukaan antigen yang menentukan asal sel limfoid atau myeloid. Sitologi
FNA

telah

menunjukkan

tingkat

akurasi

sebesar

80-90%

untuk

mendiagnosis LH dan LNH. Flow cytometry sendiri cukup akurat sebagai


tes pendukung independen. Sebuah rangkaian studi pada Universitas Iowa
menunjukkan sensitivitas sebesar 91,8% dan spesifitas 95,5% dalam
mendiagnosis LNH sel B. Pemeriksaan punksi/aspirasi dapat mengambil
sampel lewat cairan pleura, ascites dan cairan serebrospinal.9
Pemeriksaan petanda imunologik untuk melihat ekspresi antigen pada
permukaan sel sangat berperan penting dalam menentukan jenis sel (sel B
atau sel T) serta tingkat perkembangannya. Berbagai subtipe limfoma non
Hodgkin dikaitkan dengan translokasi kromosom khas yang mempunyai
nilai diagnostik dan prognostik. Kalainan yang sangat khas adalah t(8;4)
pada limfoma Burkitt, t(14;18) pada limfoma folikular, t(11;14) pada
limfoma sel selubung, t(2;5) pada sel besar anaplastik.9
2.3.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan penderita kasus limfoma non Hodgkin dapat
dilakukan setelah penentuan diagnosa patologi dan staging/ derajat stadium
penyakit tumor tersebut.
Terdapat pilihan terapi penderita dengan limfoma non Hodgkin
menurut klasifikasi International Working Formulation (IWF) berdasarkan
derajat keganasan limfoma antara lain derajat keganasan rendah (DKR)/
indolen; derajat keganasan menengah (DKM)/ agresif limfoma; derajat

15

keganasan tinggi (DKT). Pada prinsipnya penatalaksanaan penderita LNH


dengan DKR bersifat simptomatik, namun jika dianggap perlu dapat diberikan
kemoterapi

oral

berupa

obat

tunggal

atau

ganda,

yaitu

COP

(Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone). Penatalaksanaan lain berupa


radioterapi pada lokasi dimana tumor berada (radioterapi lokal). Jenis
radioterapi yang diberikan berupa low dose TOI

dan Involved Field

Radiotherapy.8
Pada kasus penderita limfoma non Hodgkin dengan DKM, pengobatan
bersifat kombinasa antara kemoterapi dan radioterapi. Pada stadium I,
kemoterapi yang diberikan (CHOP/CHVMP/BU) dan radioterapi CHOP
(Cyclophosphamide, Hydroxydouhomycin,Oncovin, Prednisone). Sedangkan
pada stadium II IV, penatalaksanaan yang diberikan adalah kemoterapi
parenteral kombinasi serta radioterapi berperan untuk paliatif.9
Pada kasus penderita limfoma non Hodgkin dengan DKT Derajat
Keganasan Tinggi (DKT), pengobatan yang diberikan sama seperti pada kasus
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah dengan kemoterapi intensif dan
radioterapi. evaluasi ulang hasil pengobatan dilakukan setelah siklus
kemoterapi keempat atau setelah siklus pengobatan lengkap.9
Pasien dengan lifoma non Hodgkin agresif dapat didiagnosis pada
stadium dini (stadium I atau II). Ini disebabkan karena mereka umumnya
menyadari pertumbuhan yang cepat dari kelenjar getah bening yang terkena
dan karenanya mengunjungi dokter dan cepat dirujuk untuk pengobatan oleh
dokter spesialis.8
Pengobatan yang biasa diberikan untuk pasien dengan limfoma non
Hodgkin agresif stadium dini adalah beberapa jadwal kemoterapi, kombinasi,
dengan lebih dari satu obat kemoterapi yang diberikan, biasanya bersama
dengan steroid, seperti prednisolon (contohnya, CHOP). Di kebanyakan
negara, diberikan antibodi monoklonal rituximab dalam kombinasi dengan
kemoterapi CHOP sebagai terapi standar. Antibodi monoklonal meningkatkan
efektivitas pengobatan bermakna, tanpa meningkatkan efek samping.9
Radioterapi terkadang diberikan setelah kemoterapi. Jarang kedua
pengobatan diberikan pada saat yang sama. Radioterapi ditujukan secara
spesifik terhadap kelenjar getah bening yang terkena. Pengobatan stadium dini
16

(stadium I dan II) limfoma non Hodgkin agresif dapat mencapai kesembuhan
atau remisi pada sekitar 80% pasien. Beberapa pasien tidak memberikan
respon terhadap terapi standar. Pada pasien-pasien ini, dan pada mereka yang
mengalami kekambuhan, diperlukan pengobatan lebih lanjut.8,9
Pasien yang didiagnosis dengan limfoma non Hodgkin agresif pada
stadium lanjut (stadium III atau IV) diberi kemoterapi kombinasi dengan
ataupun tanpa antibodi monoklonal. Meski demikian, kemoterapi kadangkadang diberikan lebih lama daripada pada penyakit stadium awal dan
mungkin juga diberikan radioterapi. Secara keseluruhan, antara 40% dan 70%
pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif dapat disembuhkan dengan
pengobatan pertama.9
Pada penderita

Limfoma

non

Hodgkin

khususnya

limfoma

limfoblastik sel T seringkali disertai dengan berbagai komplikasi, untuk itu


dibutuhkan pengelolaan secepatnya. Sebelum pengobatan dengan kemoterapi
harus diperhatikan terlebih dahulu problem jalan napas, pembuluh darah dan
gangguan metabolik yang ada.8,9
Pemberian alopurinol, hidrasi yang cukup, dan alkalinisasi urin perlu
segera diberikan pada pasien dengan tumor yang cukup luas untuk mencegah
terjadinya nefropati akibat lisis tumor yang seringkali terjadi pada limfoma
limfoblastik sel T.8
2.3.9 Prognosis
Banyak pasien yang dapat mencapai respons sempurna, sebagian
diantaranya dengan limfoma sel besar difus, dapat berada dalam keadaan
bebas gejala dalam periode waktu yang lama dan dapat pula disembuhkan.
Pemberian regimen kombinasi kemoterapi agresif berisi doksorubisin
mempunyai respons sempurna yang tinggi berkisar 40-80%.10

17

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Limfoma merupakan keganasan jaringan limfoid dengan karakteristik
proliferasi sel-sel limfoid atau prekursornya. Ada dua tipe utama limfoma,
yaitu limfoma Hodgkin (LH) dan limfoma non-Hodgkin (LNH). Etiologi
terjadinya sebagian besar LNH sampai saat ini belum diketahui. Ada
beberapa faktor risiko terjadinya LNH, yaitu imunodefisiensi, agen
infeksius, paparan lingkungan dan pekerjaan, diet dan paparan lainnya.
Klasifikasi REAL/WHO mencakup semua keganasan limfoid dan limfoma
dan lebih berdasarkan klinis dibandingkan dengan skema-skema klasifikasi
sebelumnya. Sel limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi
suatu sel yang disebut imunoblas T atau imunoblas B. Pada LNH, proses

18

proliferasi ini berlangsung secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini
disebabkan akibat terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Johnson, J.T., C.A. Rosen. 2014. Baileys Head and Neck Surgery:
Otolaryngology Vol.2 Fifth Edition. Wolter Kluwer: Lippincott Wiliams and
Wilkins. Hal. 2032-2036.
2. Reksodiputro, A.H., C. Irawan. 2009. Limfoma Non-Hodgkin (LNH). Dalam: :
Sudoyo, A.W. dkk. (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (hal. 12511253). Interna Publishing, Palembang, Indonesia.
3. Sudarmanto M, Sumantri AG. Limfoma Maligna. Dalam: Buku Ajar
Hematologi Onkologi. IDAI. Ed-3. Jakarta: 2012. h. 248-54.
4. Komite Nasional Penanggulangan Kanker. 2015. Limfoma Non-Hodgkin.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
5. Hoffbrand A.V. 2005. Limfoma maligna. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4.
Jakarta: EGC; 185-198
6. Potter M. 2011. Pathogenetic Mechanisms in B-Cell Non-Hodgkin's
Lymphomas in Humans. Cancer Research. 52: 5525s-5528s.
7. Hoffbrand A.V. 2008. Limfoma maligna. Kapita Selekta Hematologi Edisi 6.
Jakarta: EGC; 185-198
8. Iskandar, N. Bronkoskopi. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Ketujuh Cetakan
Ketiga. Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2010:p266-269.

19

9. Clarke, Ray. Diseases of the Ear, Nose and Throat Eleventh ed.
Wiley Blackwell. UK. 2014:p190-199
10. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi
Ketujuh Cetakan Ketiga. Jakarta: Badan Penerbit FK UI;
11. Santoso, M., Krisfu, C. 2004. Diagnostik dan Penatalaksanaan LNH. Dexa
media: No. 4(17).

20

Anda mungkin juga menyukai