Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus
1. Definisi
Smeltzer dan Bare (2002) mendefinisikan Diabetes Mellitus adalah
sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar
glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Sedangkan Price dan Wilson
(2006) mengatakan

bahwa diabetes melitus merupakan gangguan

metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan


manifesasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Dari definisi di atas
dapat

disimpulkan

bahwa

Diabetes

Mellitus

adalah

gangguan

metabolisme dalam tubuh yang ditandai dengan peningkatan kadar


glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang disebabkan oleh defisiensi
dan resistensi insulin.

2. Etiologi Diabetes Mellitus


Diabetes Mellitus mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai
lesi dapat menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik
biasanya memegang peranan penting pada mayoritas Diabetes Melitus.
Faktor lain yang dianggap sebagai kemungkinan etiologi Diabetes
Mellitus yaitu (Ismail,2008):
a. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai
kegagalan sel beta melepas insulin.
b. Faktor faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara
lain agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan
karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan
kehamilan.
c. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh
autoimunitas yang disertai pembentukan sel sel antibodi

antipankreatik dan mengakibatkan kerusakan sel - sel penyekresi


insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta oleh virus.
d. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan
jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang
terdapat pada membran sel yang responsif terhadap insulin.

3. Faktor Resiko Diabetes Mellitus


a. Diabetes tipe I:
Menurut American Associatio of Clinical Endocrinologist (2007)
Faktor Resiko Diabetes Mellitus tipe I ialah
1. Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus
2. Penyakit jantung
3. Obesitas
4. Gaya hidup yang tidak baik
5. Hipertensi.
6. Sebelumnya diidentifikasi terjadi gangguan intoleransi glukosa
dan gangguan glukosa puasa.
b. Diabetes tipe II
Menurut WHO (2002) Faktor Resiko Diabetes Mellitus tipe II ialah
1. Usia >45 tahun
2. Obesitas
3. Hipertensi ( TD > 140/90 mmHg)
4. Riwayat diabetes dalam garis keturunan
5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir
bayi> 4.000 gram
6. Riwayat Diabetes Melitus Gestasional
7. Riwayat toleransi gula terganggu (TGT) atau glukosa darah
glokosa terganggu (GDPT)
8. Penderita penyakit jantung koroner,tuberkolosis, hipertiroidisme
9. Kolesterol HDL <0.38 g/L dan atau trigliserida 2.0 g/L.
10. Kurang aktifitas fisik

c. Diabetes Mellitus Gestasional:


Menurut American Associatio of Clinical Endocrinologist (2007)
Faktor Resiko Diabetes Mellitus Gestasional ialah
1. Usia >25 tahun
2. Obesitas
3. Riwayat keluarga dengan diabetes tipe II
4. Riwayat metabolisme glukosa yang abnormal
5. Pernah melahirkan bayi dengan berat lahir lebih dari 4 kg.
6. Riwayat intoleransi glukosa dan glikosuria.

4. Klasifikasi Diabetes Mellitus


WHO (2002) membagi diabetes mellitus berdasarkan etiologinya, yaitu
diabetes mellitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes mellitus bentuk
khusus (diabetes tipe lain), dan diabetes mellitus gestasional.
a. Diabetes Mellitus Tipe I
Dikenal dua bentuk yaitu auotoimun dan idiopatik, di mana
ditemukan kerusakan sel beta dan mengakibatkan terjadinya
defisiensi insulin yang absolut.
b. Diabetes mellitus tipe II
Diabetes tipe II dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau maturity onset
dan tipe nondependen insulin. Diabetes tipe II terjadi karena
kegagalan sekresi insulin dan resistensi insulin.
c. Diabetes mellitus tipe lain
Diabetes mellitus tipe lain yang terjadi antara lain:
1. Defek genetik fungsi sel beta
2. Defek genetik insulin: sindrom resistensi insulin berat
3. Penyakit eksokrin pankreas: Fibrocalculous pancreatopathy,
Pancreatitis, Trauma/pancreatectomy, Neoplasia, Cystic fibrosis
dan Haemochromatosis

10

4. Endokrinopati:

sindrom

Cushing,

Phaeochromocytoma,

Glucagonoma,Hyperthyroidism,Somatostatinoma

dan

akromegali.
5. Karena obat / zat kimia
6. Karena infeksi
7. Penyebab imunologi yang jarang ; antibodi ; antiinsulin.
8. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes melitus:
Down's syndrome, Friedreich's ataxia, Huntington's chorea,
Klinefelter's
Myotonic

syndrome,

dystrophy,

Lawrence-Moon-Biedel
Porphyria,

Prader-Willi

syndrome,
syndrome,

Turner's syndrome dan Wolfram's syndrom.


d.

Diabetes mellitus gestasional (GDM)


Diabetes mellitus gestasional diartikan sebagai intoleransi glukosa
yang ditemukan pada saat hamil dan diperkirakan insidens sebesar
1-3%. Pada umumnya mulai ditemukan pada kehamilan trimester
kedua atau ketiga, pada saat itu terjadi keadaan resistensi insulin.
Kriteria GDM oleh OSulivan dan Mahan menyebutkan bahwa
GDM terjadi bila terdapat dua atau lebih dari nilai berikut ini
ditemukan atau dilampaui sesudah pemberian 75 g glukosa oral:
puasa, 105 mg/dl; 1 jam, 190 mg/dl; 2 jam, 165 mg/dl; 3 jam 145
mg/dl. Masalah yang terjadi karena GDM adalah perubahan lama
kehamilan, plasenta previa, hipertensi, preeklamsi dan bayi lahir
dengan berat badan yang tinggi (American Associatio of Clinical
Endocrinologist, 2007).

5. Patofisiologi Diabetes Mellitus


a. Diabetes Mellitus tipe 1
Pasien diabetes mellitus tipe 1 mengalami ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan
oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi
glukosa yang tidak teratur oleh hati. Glukosa yang berasal dari

11

makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada


dalam darah dan menimbulkan hiperglikemi postprandial (sesudah
makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal
tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,
akibatnya terjadi glukosuria yang juga disertai pengeluaran cairan
dan elektrolit yang berlebihan (deuresis osmotik). Sebagai akibat
dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuri) dan rasa haus (polidipsi)
(Smeltzer dan Bare, 2002).

Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak


yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagi) akibat menurunnya simpanan
kalori.

Secara

normal

insulin

mengendalikan

glikogenolisis

(pemecahan glukosa yang disimpan) glukoneogenesis (pembentukan


glukosa baru dari asam-asam amino serta substansi lain). Namun
pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa
hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemi.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan
peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping
pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu
keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan
(ketoasidosis) (Smeltzer dan Bare, 2002).
b. Diabetes Mellitus tipe II
Masalah utama klien diabetes mellitus tipe II yaitu resistensi insulin
dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terkait dengan
reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terkaitnya
insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin disertai
penurunan reaksi intrasel sehingga insulin menjadi tidak efektif
untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk

12

mengatasi resistensi insulin dengan mencegah terbentuknya glukosa


dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Penderita mengalami toleransi glukosa yang terganggu,
keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar
glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit
meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi penigkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes melitus tipe II
(Smeltzer dan Bare, 2002).

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas


diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang
adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan
keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak
terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II
yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang
dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK)
(Smeltzer dan Bare, 2002).
c. Diabetes Mellitus Gestasional
Kehamilan adalah kondisi diabetogenik dengan karakteristik
resistensi insulin serta meningkatnya mekanisme kompensasi respon
sel- dan hiperinsulinemia. Di masa akhir kehamilan kebutuhan
insulin sangat tinggi dan hanya sedikit berbeda antara wanita normal
dan wanita yang menderita GDM. GDM mulai pada trimester kedua
sampai akhir masa kehamilan, sensitivitas insulin menurun 80%.
Penyebab potensial dari kurang adekuatnya fungsi sel- cukup
banyak dan masih belum dapat dijabarkan dengan jelas (Gonta,
2007).

Mayoritas wanita dengan GDM nampaknya memiliki gangguan


fungsi sel- yang terjadi dengan dasar resistensi insulin yang kronis.

13

Normalnya resistensi insulin pada kehamilan merupakan hal yang


bersifat tambahan. Tetapi wanita hamil dengan GDM cenderung
untuk memiliki resistensi insulin yang lebih besar daripada wanita
hamil normal. Perbedaan sensitifitas insulin seluruh tubuh cenderung
untuk lebih kecil pada trimester ketiga. Pada Trimester III terdapat
resistensi

berlebihan

terhadap

kemampuan

insulin

dalam

menstimulasi penggunaan glukosa dan untuk menekan baik produksi


glukosa serta kadar asam lemak. Setelah proses kelahiran, ketika
resistensi insulin yang didapat selama kehamilan menghilang, wanita
penderita GDM rata-rata berakhir dengan ambang resistensi insulin
yang lebih besar dari pada wanita hamil normal (Gonta,2007).

Sekresi insulin pada wanita yang menderita GDM dapat meningkat


selama beberapa minggu atau bulan sesuai dengan keadaan resistensi
insulin yang didapatkannya oleh karena kehamilan. Tetapi,
peningkatan tersebut terjadi bersamaan dengan sekresi insulin
sensitif yang lebih rendah sekitar 50% (50% lebih sedikit insulin dari
resistensi insulin manapun) daripada wanita normal. Respon jangka
pendek ini muncul didasari oleh disfungsi sel- yang selama
beberapa tahun menjurus ke arah hiperglikemia progresif dan
diabetes (Gonta,2007).

6. Manifestasi Klinis Diabetes mellitus


Gejala dari diabetes adalah letargi yang ditandai dengan hiperglikemi,
poliuri, polidipsi, kehilangan berat badan, penglihatan kabur dan
kerentanan terhadap infeksi (WHO,2002). Sedangkan Price dan Wilson
(2006) menjelaskan manifestasi klinis diabetes melitus sebagai berikut:
a. Poliuria (peningkatan pengeluaran urine)
Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar
glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan.
Pada hiperglikemia yang parah yang melebihi ambang ginjal normal

14

(konsentrasi glukosa darah sebesar 160 180 mg/100 ml ), akan


timbul glikosuria karena tubulus-tubulus renalis tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis
osmotik yang menyebabkan peningkatan pengeluaran urine (poliuri).
Poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat.
b. Polidipsi (peningkatan rasa haus)
Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Volume
urin yang sangat besar dan keluarnya air menyebabkan dehidrasi
ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air
intrasel akan berdifui keluar sel mengikuti penurunan gradien
konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi
intrasel merangsang pengeluaran ADH dan menimbulkan rasa haus.
c. Polifagi (peningkatan rasa lapar)
Glukosa yang hilang bersama urin mengakibatkan pasien mengalami
keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar
yang semakin tinggi akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori.
Rasa lapar meningkatkan nafsu makan sehingga orang akan sering
makan (polifagi).
Selain manifestasi di atas Ismail (2008) menyebutkan manifestasi
yang lain, yaitu:
1. Astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat
telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau
hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan
karbohidrat untuk energi.
2. Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis,
penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer.
Ini akan memudahkan terjadinya ulkus diabetikum.
d. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di dalam
otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan
glukosa sebagai energi.

15

e. Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa di


sekresi mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah
pada penderita diabetes kronik.

7. Komplikasi Diabetes Mellitus


Menurut Smeltzer dan Bare (2002) komplikasi diabetes mellitus bisa
berupa komplikasi akut dan komplikasi kronis jangka panjang.
a. Komplikasi akut
1. Hipoglikemia
Suatu keadaan klinis yang disebabkan penurunan glukosa
darah. Hipoglikemia terjadi bila kadar glukosa turun dibawah
50-60 mg/dl. Gejala hipoglikemia berupa gejala adrenergik
(penurunan respon hormonal) dan sistem saraf pusat (Smeltzer
dan Bare, 2002).
2. Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh tiga penyebab utama,
yaitu tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin,
keadaan sakit atau infeksi dan manifestasi pertama pada
diabetes yang tidak terdiagnosis dan terobati dengan baik.
Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein. Ada tiga gambaran klinis yang
penting pada ketoasidosis diabetik, yaitu: dehidrasi, kehilangan
elektrolit dan asidosis (Smeltzer dan Bare, 2002).
3. Hiperosmolar non ketotik (HONK atau HHNK)
Hiperosmolar non ketotik merupakan keadaan yang didominasi
oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan
tingkat kesadaran. Kelainan ini disebabkan karena kekurangan
jumlah insulin efektif, namun jumlah insulin yang sedikit dapat
mencegah terjadinya pemecahan lemak. Pada Hiperosmolar
non ketotik tidak terjadi ketosis dan asidosis (Smeltzer dan
Bare, 2002).

16

b. Komplikasi Jangka Panjang


1. Komplikasi makrovaskuler
Pada diabetes mellitus sering terjadi perubahan aterosklerotik
dalam

pembuluh

darah

besar.

Berbagai

tipe penyakit

makrovaskuler dapat terjadi tergantung pada lokasi lesi


aterosklerotik. Penyakit yang sering terjadi adalah arteri
koroner, penyakit serebrovaskuler dan vaskuler perifer.
Penyakit vaskuler perifer merupakan perubahan aterosklerotik
dalam pembuluh darah besar pada ekstremitas bawah, dapat
menyebakan ulkus diabetikum dan amputasi ektremitas bawah
(Smeltzer dan Bare, 2002).
2. Komplikasi mikrovaskuler
Penyakit mikrovaskuler diabetik (mikroangiopati) ditandai oleh
penebalan membran basalis pembuluh kapiler. Ada dua tempat
dimana gangguan fungsi kapiler dapat berakibat serius, yaitu
mikrosirkulasi retina mata dan ginjal. Gangguan fungsi kapiler
di

retina

menyebabkan

retinopati

diabetik.

Sedangkan

gangguan fungsi kapiler di ginjal mengakibatkan nefropati


(Smeltzer dan Bare, 2002).
3. Neuropati
Neuropati pada diabetes mengacu pada sekelompok penyakit
yang menyerang semua tipe saraf. Tipe neuropati diabetik yang
sering terjadi adalah neuropati perifer dan neuropati otonom.
Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf,
khususnya saraf pada ekstremitas bawah. Kelainan ini
mengenai kedua sisi tubuh dengan distribusi yang simetris dan
secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Neuropati
pada sistem saraf otonom mengakibatkan berbagai disfungsi
yang hampir mengenai semua sistem organ tubuh (Smeltzer
dan Bare, 2002).

17

8. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus


Penatalaksanaan diabetes berdasarkan pada regimen diabetik, yang
meliputi diet, olahraga, obat-obatan, edukasi mengenai diabetes,
manajemen diri dan pemantauan kadar glukosa di rumah (Price dan
Wilson, 2006). Penatalaksanaan penderita diabetes tipe I, penekanannya
adalah pada suntikan insulin harian atau yang berfrekuensi lebih sering
yang diseimbangkan secara seksama dengan olah raga dan diet. Untuk
penderita diabetes tipe II, penekanannya adalah pada diet, pengendalian
berat badan dan olah raga Jenis : latihan jasmani endurans (aerobik)
untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging,
berenang, bersepeda, dan lain-lain. Frekuensi : jumlah olahraga per
minggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5x/minggu, Durasi : 30-60
menit dan Intensitas : sedang. Pengobatan seperti agen antidiabetes dan
insulin digunakan seperlunya (Price dan Wilson, 2006). Pada diabetes
gestasional diatasi dengan diet dan insulin (jika diperlukan) untuk
mempertahankan secara ketat kadar glukosa dalam darah normal (Gonta,
2007).

B. Praktik Pengelolaan Diabetes Mellitus


1. Praktik Pengelolaan diabetes melitus
Menurut Notoatmodjo (2003) menyatakan praktik ialah suatu sikap yang
belum otomatis terwujud dalam bentuk praktik. Untuk mewujudkannya
sikap agar menjadi perbuatan nyata (praktik) diperlukan faktor pendukung
atau kondisi yang memungkinkan. Menurut Smeltzer dan Bare (2002)
menyatakan pengelolaan diabetes (pengendalian diabetes mellitus) ialah
pengendalian glukosa yang intensif terhadap proses timbulnya dan
perkembangan komplikasi diabetes mellitus.

Menurut Arif (2006) menyatakan dalam melakakukan praktik pengelolaan


diabetes mellitus ada dua segi perlu diperhatikan: yaitu tujuan jangka
pendek untuk menghilangkan keluhan dan gejala tujuan jangka panjang

18

untuk mencegah komplikasi, yaitu mikroangiopati dan neuropati. Kedua


tujuan ini sebaiknya dijelaskan sejak awal kepada pasien, sehingga pasien
mempunyai persepsi yang sama dengan dokter. Yang perlu menjadi
perhatian bagi klien diabetes mellitus adalah dengan menjalankan tiga
Pilar Utama Pengelolaan DM, yaitu:
a. Perencanaan Makan
Perencanaan makan Istilah ini sangat relevan, karena pasien DM
memang harus mampu memilih dan menetapkan santapan dengan
komposisi seimbang. Kemampuan ini diberikan lewat penyuluhan
dengan semboyan 4 sehat, 5 lengkap dan tidak terlalu sulit dipahami
karena pola makan tetap sesuai dengan pola makan umum yaitu:
karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, lemak 20-25%, sesuai jumlah
kalori, pertumbuhan, status gizi, umur. Menurut Kristanti (2002) tujuan
penatalaksanaan

diet

pada

diabetes

adalah

mencapai

dan

mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal, mencapai dan


mempertahankan lipid mendekati normal, mencegah komplikasi akut
dan kronik serta meningkatkan kualitas hidup. Dalam membuat
perencanaan makanan yang cocok untuk tiap pasien DM, harus
dilakukan individualisasi, disesuaikan dengan cara hidupnya, pola jam
kerjanya,

latar

belakang

kulturnya,

tingkat

pendidikan

dan

penghasilannya.

Menurut Gibney (2009) setiap jenis diet dapat membantu penderita


mengurangi pemasukan kalori setiap hari dan digabung dengan
peningkatan aktivitas fisik akan menyebabkan penurunan berat badan
selama kurang lebih satu tahun. Menurut Jauhari (2007) pola diet pada
pasien diabetes mellitus ada 6 yaitu :
1) Kurangi energi
Jumlah energi disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur,
stres

akut

dan

kegiatan

jasmani

mempertahankan berat badan ideal.

untuk

mencapai

dan

19

2) Kurangi lemak
Makanan lemak tinggi dapat meningkatkan kadar kolesterol, selain
membuat kerja insulin menjadi tidak efesien, juga dapat
mempertinggi resiko penyakit jantung. Menurut Instansi gizi RSCM
(2006) bahwa asupan lemak jangan lebih dari 30% dan kolesterol
kurang dari 300 mg/hari.
3) Karbohidrat
Karbohidrat jenis itu terdapat pada bakery seperti cake, roti halus
cepat sekali diserap dan akan meningkatkan kadar glukosa darah.
Dengan diet tinggi karbohidrat dan tinggi serat menjadi kadar
kolesterol dan trigliserida akan menjadi baik.
4) Pemanis
Gula pasir dan es krim adalah penyebab masalah besar bagi
penderita diabetes. Makanan yang manis-manis tetapi bahannya
tidak seluruh dari gula pasir atau gula buah yang sederhana,
kombinasinya dengan protein, lemak dan karbohidrat dapat
memperlambat penyerapan gula sederhana.
5) Serat
Menurut Instansi gizi RSCM (2006) menunjukkan bahwa pasien
diabetes untuk konsumsi seratnya 30-40 g/hari dan serat pada
diabetes lebih banyak berasal dari sayur-sayuran yang mengandung
lebih banyak serat tak larut dibandingkan dengan serat yang berasal
dari buah-buahan.

Penentuan status gizi, dapat dipakai Indeks Massa tubuh (IMT) dan
rumus Broca. Indeks massa tubuh (IMT) dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB ( Kg ) / TB ( M2 ). IMT Normal Wanita = 18.5 23.5; IMT
Normal Pria = 22.5 25 dan BB kurang = < 18.5. Dan BB lebih,
Dengan resiko = 23.0- 24.9; Obes I = 2.5.0 - 29.9 dan Obes II = 30.0.
Setelah IMT dihitung maka kebutuhan kalori, dapat ditentukan jenis
dietnya. Menurut Instansi gizi RSCM (2006) jenis diet ada 2 yaitu :

20

1. Jenis diet Diabetes Mellitus I (1700 Kalori)


Kandungan energi dari jenis diet Diabetes Mellitus I adalah 1700
kalori dan jumlah kandungan zat gizi karbohidrat 275 gram, protein
55,5 gram dan lemak 36,5 gram.
2. Jenis diet Diabetes Mellitus II (1900 Kalori)
Kandungan energi dari jenis diet Diabetes Mellitus II adalah 1900
Kalori dan jumlah kandungan zat gizi karbohidrat 299 gram, protein
60 gram dan lemak 48 gram.
b. Latihan Jasmani
Pilar ini sangat dianjurkan karena tujuan latihan Jasmani ialah
meningkatkan kepekaan insulin, mencegah kegemukan, memperbaiki
aliran darah, merangsang pembentukan glikogen baru dan mencegah
komplikasi lebih lanjut tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan
dan kondisi penyakit lain pada pasien (Arif, 2006). Bila mungkin
latihan teratur (3-4 kali seminggu 1,5 jam) dijalankan menurut
pedoman CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive,
Endurance training), Continuous yaitu Latihan jasmani harus
berkesinambungan dan dilakukan terus

menerus tanpa berhenti.

Contoh: Jogging 30 menit , maka pasien harus melakukannya selama 30


menit tanpa henti; Rhytmical yaitu Latihan olah raga dipilih yang
berirama yaitu otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur,
contoh berlari, berenang, jalan kaki; Interval yaitu Latihan dilakukan
selang-seling antar gerak cepat dan lambat. Contoh: jalan cepat
diselingi jalan lambat, jogging diselangi jalan; Progressive yaitu
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan, dari intensitas
ringan sampi sedang selama mencapai 30 60 menit, sasaran HR

75 85 % dari maksimal HR dan maksimal HR = 220 (umur) dan


Endurance training yaitu Latihan daya tahan untuk meningkatkan
kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan jogging dan sebagainya.

21

Peran aktivitas fisik untuk mencegah penyakit tidak menular yang


kronik

sangat

penting,

namun

data

yang

berguna

untuk

menginformasikan hal tersebut masih kurang. Oleh karena itu, WHO


mengembangkan Global Physical Activity Questionnaairre (GPAQ)
untuk pengawasan aktivitas fisik di negara-negara terutama negara yang
sedang berkembang. GPAQ merupakan instrumen yang mutakhir dan
terbaik yang dirancang untuk menyediakan data valid tentang pola
aktivitas yang dapat digunakan untuk pengumpulan data nasional
(Kristanti, 2002). GPAQ telah mengalami sebuah program penelitian
yang menunjukkan bahwa GPAQ adalah valid dan reliabel, tetapi juga
mudah beradaptasi dengan perbedaan budaya yang ada di negara-negara
berkembang (WHO, 2002).

GPAQ mencakup 4 area aktivitas fisik yaitu aktivitas fisik pada harihari kerja, aktivitas fisik di luar pekerjaan, dan olahraga, transportasi,
pekerjaan rumah tangga, dan merawat anak/orangtua (Kristanti,2002).
Berikut ini adalah paparan cakupan 4 area dari aktivitas fisik tersebut :
Aktivitas fisik pada hari-hari kerja membutuhkan energi lebih banyak
daripada energi yang dikeluarkan dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas
fisik di luar pekerjaan dan olahraga. Berikut ini adalah tabel nilai MET
(metabolic energy turnover) dari sejumlah aktivitas fisik yang sering
dilakukan :
Tabel 1.1
Nilai MET (metabolic energy turnover) dari sejumlah aktivitas fisik
yang sering dilakukan

Aktivitas
Konstruksi umum luar gedung
Tukang kayu, umum
Membawa barang berat
Kehutanan, umum
Duduk, pekerjaan kantor yang ringan, pertemuan,
perakitan/perbaikan yang ringan
Berdiri, ringan (penjaga toko, piata rambut, dll)
Berdiri sedang (pedagang, mengangkat barang yang ringan)

Nilai MET
5,5
3,5
8,0
8,0
1,5
2,5
3,5

22

Aktivitas
Membersihkan, umum (sambil berdiri)
Mencuci piring (sambil berdiri)
Memasak (sambil berdiri)
Menyetrika
Menggosok lantai
Lebih dari satu pekerjaan rumah tangga
Bermain musik, umum
Merawat anak
Berbaring atau duduk diam (sambil menonton TV,
mendengarkan, musik)
Memperbaiki rumah, mereparasi kendaraan
Mereparasi rumah, mencuci dan memoles mobil
Memotong rumput dengan alat potong manual
Memetik buah dari pohon
Berkebun, umum
Menanam tanaman
Mengemudikan kendaraan
Mengendarai bus, kereta api
Mengemudikan sepeda motor
Menarik becak
Bersepeda umum, pergi pulang tempat kerja (<16km/jam)
Bersepeda (<16 22 km/jam )
Bersepeda (<22 km/jam )
Berjalan, perlahan (< 3,2 km/jam)
Berjalan, sedang (4,8 km/jam)
Berjalan, cepat (6,4 km/jam)
Bola basket, umum
Bola basket, pertandingan
Bowling
Golf, umum
Berkuda, umum
Bermain skateboard
In-line skating
Sepak bola, pertandingan
Sepak bola, umum
Squash
Tenis meja
Bola voli, pertandingan
Berlari (8 10 km/jam)
Berlari (11 13 km/jam)
Berlari (14 16 km/jam)
Mendaki bukit
Enuruni bukit, umum
Berenang, umum

Nilai MET
3,5
2,3
2,5
2,3
5,5
3,5
2,5
2,5
1,0
3,0
4,5
4,5
3,0
6,5
4,0
2,0
1,5
2,5
6,5
4,0
6,5
10,0
2,0
3,5
4,0
6,0
8,0
3,0
4,5
4,5
5,0
7,0
10,0
7,0
10,0
4,0
8,0
8,0 10,5
11,5 14,0
14,5 17,0
16,0
6,0
4,0

Sumber : WHO
Penilaian intensitas aktivitas fisik yang dilakukan oleh responden,
GPAQ dikelompokkan intensitas menjadi 3 tingkatan menurut nilai
METs (menit), yaitu :

23

1. Nilai MET 1500 MET-menit/3 hari mendapat kriteria tinggi.


2. Nilai MET minimal 600 MET-menit/3hari mendapat kriteria
sedang.
3. Nilai tidak memenuhi dari kriteria diatas mendapat kriteria rendah
Pengelompokkan intensitas aktivitas fisik ini mempermudah kita
mengklasifikasikan setiap aktivitas fisik yang dilakukan responden
sesuai dengan intensitasnya (ringan, sedang, atau berat) pada saat
menilai kuesioner GPAQ yang telah diisi oleh responden.

c. Farmakologi
Menurut Gibney (2009) tujuan penatalaksanaan pengobatan pada
diabetes adalah mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah
mendekati normal, mencegah komplikasi akut dan kronik serta
meningkatkan kualitas hidup. Dalam membuat perencanaan pengobatan
harus dilakukan secara teratur dalam mengkonsumsi obat anti diabetes
berdasarkan dosis dan waktu minum obat dalam sehari. Semakin baik
praktik pengelolaan pengobatan pasien diabetes mellitus maka resiko
terjadinya komplikasi sangat rendah sedangkan semakin buruk praktik
pengelolaan pengobatan pasien diabetes mellitus maka resiko terjadinya
komplikasi sangat tinggi.

Menurut Arif (2001) ada 3 obat antidiabetes (OAD) yang ada di


Indonesia yaitu :
1. Tipe I (Short Acting)
Jenis ini memiliki paruh waktu sekitar 4 jam, daya kerjanya cepat,
diberikan

1-3

kali

sehari

(pagi-siang-sore).yang

termasuk

kelompok ini adalah : rastinon, orinase, nadisan, dymelor,


tolynase, glymidine.
2. Tipe 2 (Intermediate Acting)
Memiliki paruh waktu antara 5-8 jam, diberikan 1-2 kali sehari
(pagi dan siang jangan pagi dan sore) apabila diberikan cukup

24

sekali sehari, berikanlah pada pagi hari saja.Termasuk golongan


ini adalah glibenclamide (euglukon, daonil), Golongan gliclazide
(diamicron), Golongan gliquidone (glurenorm) dan golongan
glipizide (minidiab).
3. Tipe 3 (Long Acting)
Mempunyai paruh waktu antara 24-36 jam, diberikan sekali saja
setiap pagi jangan diberikan dalam dosis terbagi.

C. Faktor Yang Mempengaruhi Praktik Pengelolaan Diabetes Mellitus


Dalam hal ini faktor yang mempengaruhi praktik pengelolaan diabetes
mellitus yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat
(Green, 1988, dalam Notoatmodjo, 2003).
a. Faktor Predisposisi (predisposing factors)
Faktor ini mencakup sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi, dan kepercayaan masyarakat terhadap hal hal yang
berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat
pendidikan, tingkat social ekonomi dan sebagainya.
b. Faktor Pemungkin (enabling factors)
Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat, misalnya fasilitas pelayanan kesehatan seperti
Puskesmas, Rumah Sakit, fasilitas umum seperti media massa dan
pendidikan kesehatan.untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan
sarana dan prasarana pendukung.
c. Faktor Penguat (reinforcing factors)
Faktor ini meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan, tokoh agama,
tokoh masyarakat dan keluarga. Untuk berperilaku sehat, masyarakat
kadang kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap dan dukungan
positif saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari tokoh
masyarakat, tokoh agama, keluagra lebih lebih petugas kesehatan.
Disamping itu undang undang juga diperlukan untuk memperkuat
perilaku masyarakat tersebut.

25

D. Pendidikan Kesehatan Terstruktur


1. Definisi pendidikan kesehatan terstruktur
Pendidikan kesehatan ialah segala upaya yang direncanakan untuk
mempegaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat
sehingga mereka melakukan apa yang dharapkan oleh pelaku pendidikan
(Notoatmodjo, 2003). Sedangkan menurut Suliha (2002) pendidikan
kesehatan adalah suatu proses perubahan pada diri seseorang yang
dihubungkan

dengan

pencapaian

tujuan

kesehatan

individu

dan

masyarakat. Pendidikan kesehatan terstruktur ialah pendidikan kesehatan


yang dilakukan secara runtut dari perencanaan, pembuatan satuan acara
pembelajaran, persiapan materi dan media, pelaksanaan pendidikan
kesehatan menggunakan media lembar balik dan pemberian leaftlet setelah
pendidikan kesehatan dan dilakukan evaluasi praktik yang dilakukan klien
setelah pendidikan kesehatan.

2. Tujuan pendidikan kesehatan terstruktur


Secara umum, tujuan dari pendidikan kesehatan ialah mengubah perilaku
individu atau masyarakat dibidang kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Tujuan
ini dapat diperinci lebih lanjut menjadi :
a. Menjadikan kesehatan sebagai suatu yang bernilai dimasyarakat.
b. Menolong individu agar mampu secara mandiri atau berkelompok
mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat.
c. Mendorong perkembangan dan penggunaan secara tepat sarana
pelayanan kesehatan yang ada.
Secara operasional, tujuan kesehatan diperinci oleh Notoatmodjo
(2003)sebagai berikut :
a. Agar klien memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada
kesehatannya, keselamatan lingkungan dan masyarakat.
b. Agar klien melakukan langkah langkah positif dalam mencegah
berkembangnya sakit menjadi lebih parah dan mencegah keadaan

26

ketergantungan melalui rehabilitasi cacat yang disebabkan oleh


penyakit.
c. Agar klien memiliki pengertian yang lebih baik tentang eksistensinya
dan perubahan perubahan system dan cara memanfaatkan dengan
efisien dan efektif.
d. Agar klien mempelajari apa yang dapat dilakukan sendiri dan
bagaimana caranya, tanpa selalu meminta pertolongan kepada system
pelayanan kesehatan formal.

3. Proses pendidikan kesehatan terstruktur


Kegiatan pendidikan kesehatan terstruktur terdapat tiga persoalan pokok,
yaitu persoalan masukan (input), proses dan persoalan keluaran (out put).
Persoalan masukan berupa sasaran belajar (sasaran didik) yaitu individu,
kelompok atau masyarakat yang sedang belajar itu sendiri dengan berbagai
latar belakang, persoalan proses berupa mekanisme dan interaksi yang
terjadinya perubahan perilaku atau kemampuan pada diri subyek belajar
dan dalam proses terjadi pengaruh timbal balik antar berbagai faktor antara
lain subyek belajar, pengajar (pendidik atau fasilitator) metode dan teknik
mengajar, alat bantu dan materi atau bahan yang dipelajari. Sedangkan
keluaran berupa hasil belajar itu sendiri, yaitu berupa kemampuan atau
perubahan perilaku dari subyek belajar.

Faktor faktor yang mempengaruhi proses belajar dikelompokkan


menjadi 4 faktor besar yaitu faktor materi (bahan belajar), lingkungan,
instrumental, dan subjek belajar. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah
membuat satuan acara pembelajaran dan membuat materi. Metode yang
digunakan adalah ceramah dan diskusi karena menurut peneliti metode ini
lebih efektif digunakan karena setelah diberi penjelasan responden dapat
bertanya (berinteraksi langsung) kepada penyuluh. Design pendidikan
kesehatan yang digunakan adalah secara mandiri tidak berkelompok, jadi
pendidikan kesehatan dilakukan pada setiap responden. Setelah pendidikan

27

kesehatan selesai dilakukan maka dilakukan evaluasi dengan catatan untuk


mengetahui praktik pengelolaan yang sudah dilakukan responden.

4. Pengaruh pendidikan kesehatan terstruktur terhadap praktik pengelolaan


diabetes melitus.
Salah satu kelompok terbesar yang membutuhkan pendidikan kesehatan
terstruktur dewasa ini adalah mereka yang menderita penyakit Diabetes
Melitus dan yang belum menderita penyakit tersebut. Banyak ahli
kesehatan berkeyakinan bahwa orang orang yang menderita penyakit
tersebut berhak atas informasi pelayanan kesehatan untuk melibatkan
mereka berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab terhadap perawatan
mereka sendiri. Pendidikan kesehatan terstruktur dapat membantu individu
individu tersebut untuk beradabtasi dengan lingkungan, merubah diet,
menerapkan informasi yang sudah didapat dan belajar untuk memecahkan
masalah baru dalam situasi yang baru. Disamping itu manfaat dari
pendidikan kesehatan terstruktur dipandang sebagai strategi menerapkan
praktik pengelolaan diabetes mellitus, menurunkan kasus penyakit
Diabetes Melitus mulai dari kesehatan diri sendiri dan kesehatan
lingkungan masyarakat untuk meningkatkan kepuasan masyarakat
(Smeltzer dan Bare, 2002).

Pendidikan kesehatan terstruktur terutama untuk masyarakat yang


menderita

penyakit

Diabetes

Mellitus

harus

direncanakan

dan

dimplementasikan pada waktu yang tepat, serta mempertimbangkan


masyarakat sebagai individu, dengan mempertimbangkan keunikan
ansietas, kebutuhan dan harapan harapannya. Apabila pendidikan
kesehatan

terstruktur

dilakukan

dengan

tanpa

adanya

observasi,

masyarakat mungkin tidak ingat apa yang telah diberikan dan jika
diberikan dengan tanpa adanya tindak lanjut dari penyuluh mungkin
masyarakat akan banyak tidak melakukan tindakan dari apa yang sudah
diberikan oleh peneliti. Idealnya pendidikan kesehatan dibagi dalam

28

berbagai

periode

waktu

untuk

memungkinkan

masyarakat

mengasimilasikan informasi dan mengajukan pertanyaan ketika timbul


pertanyaan. Sering kali, pendidikan kesehatan terstruktur ini bersamaan
dengan berbagai persiapan prosedur untuk memudahkan aliran informasi.
Syarat syarat pendidikan kesehatan terstruktur harus melebihi deskripsi
tentang berbagai langkah langkah prosedur dan harus mencakup
penjelasan tentang kebutuhan masyarakat.

29

E. Kerangka Teori

Faktor Pemudah
(Predisposing Factor) :
a. Pendidikan.
b.Pengetahuan.
c. Lingkungan.
d.Ekonomi.
e. Sikap.

Faktor Pemungkin
(Enabling Factor) :
a. Fasilitas Fisik :
Kesehatan:
Puskesmas, Rumah
Sakit.
b.Fasilitas Umum :
Media Massa ( TV,
Koran, Radio).
c. Pendidikan
Kesehatan

Praktik Pengelolaan
Diabetes Mellitus

Faktor Penguat
(Reinforcing factor) :
a. Dukungan Anggota
Keluarga.
b.Dukungan Tenaga
Kesehatan.

Skema 2.1 Kerangka Teori


Sumber : Lawrence Green (1988) dalam Notoatmodjo (2003).

30

F. Kerangka Konsep

Skema 2.2 Kerangka Konsep

Variabel Independen
Pendidikan Kesehatan
Terstruktur

Variabel Dependen
Praktik Pengelolaan Diabetes
Mellitus

G. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini dikemukakan dua variabel yaitu :
1. Variabel bebas (independent) : Variabel yang menjadi sebab
timbulnya atau berubahnya variabel dependent (terikat) jadi variabel
independent adalah variabel yang mempengaruhi. Variabel bebas
(independent) dalam penelitian ini adalah pendidikan kesehatan
terstruktur. Dalam penelitian ini variabel independent juga berfungsi
sebagai kontrol, yang dimaksud kontrol ialah perlakuan pada
responden kode ganjil sesuai definisi operasional.
2. Variabel terikat (dependent) : Variabel terikat merupakan variabel
yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel
bebas. Variabel terikat (dependent) dalam penelitian ini adalah praktik
pengelolaan diabetes mellitus.

H. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah hipotesis minor, yaitu :
1. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terstruktur terhadap praktik
pengelolaan diet pada klien diabetes mellitus di wilayah kerja
Puskesmas Srondol Semarang.
2. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terstruktur terhadap praktik
pengelolaan latihan jasmani pada klien diabetes mellitus di wilayah
kerja Puskesmas Srondol Semarang.

31

3. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terstruktur terhadap praktik


pengelolaan pengobatan pada klien diabetes mellitus di wilayah kerja
Puskesmas Srondol Semarang.

Anda mungkin juga menyukai