Anda di halaman 1dari 11

Kecerdasan dan Budaya

Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd


A. Pengantar
Makalah ini disadur dari artikel David Matsumoto dan Philip Hull yang berjudul
Cognitive Development and Intelligence dalam buku People: Psychology From A Cultural
Perspective, oleh Matsumoto. Selain itu dari buku Culture and Psychology, Matsumoto, D.
1996: Pasific Grove: Brooks/Cole; Successful Intelegence, How practical and creative
intelligence determine success in life, Sternberg, R.J. 1996. New York: Plume Book.

B. Teori Perkembangan Kognisi


Pada banyak negara, tes kecerdasan (tes IQ) menentukan mungkin tidaknya seseorang
memasuki dunia pendidikan tinggi, atau dunia kerja. Namun belakangan, tes IQ ini mendapat
kritik yang cukup tajam, terlebih dari hasil penelitian yang dikemukakan oleh Daniel
Goleman yang menyatakan bahwa IQ bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan seseorang
dalam kehidupannya, bahkan secara fantastik Goleman menyebut bahwa kecerdasan hanya
menentukan 20 % dalam keberhasilan seseorang, sedangkan sisanya 80 % ditentukan oleh
kelas dalam kehidupan, kecerdasan emosi, dan lain-lain. Kritik tajam ini jelas mengharuskan
kalangan psikolog untuk secara cermat kembali mengevaluasi tentang alat tes IQ tersebut.
Terkait dengan diskursus kecerdasan, tampaknya perlu dilakukan review atas teori-teori
yang terkait dengannya, salah satu di antaranya adalah teori perkembangan kognisi. Di antara
sekian banyak teori perkembangan kognisi, tampaknya teori yang diajukan oleh Jean Piaget
menjadi teori yang mendominasi pada awal abad XX ini. Berdasar pada penelitian yang
dilakukan pada anak-anak Swiss, Piaget mengajukan empat tahapan perkembangan kognisi
yang menurutnya pasti dilalui oleh semua anak yang ada di dunia. Keempat tahapan itu
adalah:
Tahap sensorimotor (0-2 tahun). Secara ringkas, pada tahapan ini konsep yang dimiliki
seorang anak adalah sesuatu yang ada di sini, pada saat ini (here and now). Bagi anak
keberadaan sesuatu, hanya ada tatkala benda tersebut ada dan dekat dengan dirinya, jika
tidak ada di dekat mereka, maka bagi anak keberadaan benda itu menjadi tidak ada
(berkurang). Pada tahap ini anak sudah mulai melakukan pemecahan masalahnya secara
sederhana.
Tahap praoperasional (2-6/7 tahun). Piaget mencirikan tahap ini dengan 5 karakteristik
yaitu: (1) konservasi; (2) pemusatan/centration, kecenderungan untuk memfokuskan pada

satu aspek tertentu; (3)

irreversibility, ketidakmampuan membayangkan proses yang

belum terjadi; (4) egocentrism; keakuan, kesulitan untuk menerima paham orang lain, (5)
animism, meyakini bahwa seluruh benda-benda di sekitarnya hidup,
Tahap operasional kongkrit (6/7 - 11 tahun). Kemampuan anak telah menjadi lebih baik,
dia memiliki kemampuan untuk membayangkan satu proses yang belum terjadi, mampu
untuk menghadapi persoalan lebih dari 1, serta mulai memahami kehadiran orang lain
dengan pendapatnya yang mungkin berbeda dengan dirinya. Penalaran mereka sudah
mulai sistematis, demikian juga proses berpikirnya. Meski demikian hal tersebut terbatas
pada konsep-konsep yang telah mereka alami.
Tahap terakhir dari teori Piaget adalah tahap operasi formal (di atas 11 tahun). Pada tahap
ini individu mengembangkan kemampuan berpikir logis tentang hal-hal yang abstrak, dan
mampu menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi secara lebih baik.
Meski Piaget menyatakan bahwa teorinya berlaku universal, namun tampaknya perlu
dicermati secara baik. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan antara lain:
1. Apakah empat tahap menurut Piaget itu selalu terjadi dalam urutan seperti yang ia
postulatkan? Sebab mungkin saja pada budaya

berbeda akan terjadi perbedaan pula

dalam tahapan tersebut.


2. Apakah rentang-rentang usia yang dihubungkan dengan tiap tahapan seperti
dipostulasikan Piaget bersifat universal bagi seluruh kebudayaan? Bayi dan anak-anak
dari kebudayaan-kebudayaan lain mungkin memasuki dan meninggalkan tahapan yang
berbeda pada usia yang berbeda.
3. Apakah ada variasi dalam tahapan di antara budaya berbeda? Mungkin saja budaya akan
membedakan tentang gambaran ketrampilan yang seharusnya dimiliki oleh tahapan
tertentu.
4. Akhirnya, apakah semua kebudayaan memandang penalaran ilmiah sebagai titik akhir
dalam perkembangan? Budaya tertentu mungkin sesungguhnya mengingikan satu
ketrampilan tertentu sebagai puncak perkembangan kognisi.
Pertanyaan pertama ternyata mendapat pembenar dari penelitian yang dilakukan oleh
Skayer, Demetriou, dan Peret, (1988). Dari hasil penelitian yang dilakukan pada anak-anak di
Inggris, Australia, Yunani dan Pakistan menunjukkan bahwa anak-anak sekolah di
masyarakat yang berbeda itu melakukan tugas-tugas Piaget di dalam tahapan operasi konkrit
yang sama. Hal ini secara meyakinkan menunjukkan bahwa tahapan-tahapan Piaget terjadi
dalam urutan yang sama dalam budayaa yang berbeda. Dari hasil penelitian tersebut juga

ternyata ditemukan bahwa tidak ada anak berusia Empat tahun yang secara khas kurang
memiliki kesadaran akan keabadian objek atau di mana ada anak berusia lima tahun yang
mengerti prinsip konservasi.
Untuk pertanyaan kedua ternyata dari hasil penelitian lintas budaya hingga saat ini
menunjukkan bahwa ada variasi budaya yang mengejutkan dalam usia dimana anak-anak
dalam masyarakat yang berbeda secara khas mencapai tahapan ke 3 dan ke 4 teori Piaget.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dasen, Lavallee, dan Retschitzki, (1979), Dasen,
Noini dan Lavallee (1979), Dasen (1982), jika ada kelompok anak yang berasal dari satu
kebudayaan yang belum terbiasa dengan satu konsep tertentu, maka tatkala konsep itu
ditanyakan pada mereka dengan sendirinya mereka akan menjawab salah. Meski demikian,
setelah mereka menyadari kesalahan yang mereka lakukan, dan tatkala tes tersebut diulang,
ternyata dari hasil penelitian tersebut terbukti banyak anak yang mencoba memperbaiki
jawaban yang mereka berikan pada tes awal tersebut.
Terkait dengan pertanyaan ketiga, ternyata dari penelitian terhadap beberapa
masyarakat yang berbeda bahwa ada variasi dalam pencapaian urutan tahapan-tahapan
Piaget. Dalam sebuah studi komparatif terhadap anak-anak suku-suku (suku Inuit di Kanada,
suku Baoule di Afrika dan suku Aranda di Australia), setengah dari semua anak suku Inuit
yang di tes mampu menyelesaikan tugas spasial pada usia tujuh tahun; setengah anak suku
Aranda menyelesaikannya pada usia sembilan tahun; anak suku Baoule, ternyata tidak
mencapai setengah poin hingga usia 12 tahun (Dasen, 1975). Dalam tes konservasi benda
cair, urutan itu berubah secara dramatis; setengah anak suku Baoule menyelesaikan masalah
ketika mereka berusia 8 tahun, anak suku Inuit pada usia 9 tahun, dan anak suku Aranda pada
usia 12 tahun. Salah satu alasan terjadinya hal ini adalah bahwa anak-anak suku Inuit dan
Aranda hidup dalam masyarakat yang nomaden, dimana anak-anak perlu belajar keahliankeahlian spasial sejak dini karena keluarga mereka terus menerus berpindah. sebaliknya,
anak-anak suku Baoule, hidup dalam masyarakat yang menetap, dimana mereka jarang
bepergian namun sering mengambil air dan menyimpan padi. Keahlian-keahlian yang
digunakan anak-anak ini dalam kehidupan sehari-hari mereka tampaknya mempengaruhi
urutan dimana mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas dalam tahapan operasi konkrit
yang diajukan Piaget.
Pertanyaan keempat yang diajukan adalah apakah kebudayaan-kebudayaan non-Barat
juga menganggap penalaran ilmiah sebagai titik akhir perkembangan

kognisi yang

diharapkan? Dari hasil kesimpulan penelitiannya, Piaget menyatakan bahwa puncak tertinggi
tahapan perkembangan kognisi seseorang adalah kemampuannya dalam berpikir ilmiah, dan

itu menurutnya berlaku universal. Untuk itu bagi Piaget, ukuran seseorang telah mencapai
puncak dalam perkembangan kognisinya adalah kemampuannya dalam berpikir ilmiah.
Pertanyaannya adalah, benarkah hal ini berlaku secara universal?
Tampaknya pendapat Piaget ini tidak berlaku universal, sebab pada dasarnya
masyarakat dari budaya tertentu menghargai ketrampilan/perilaku tertentu sebagai puncak
tahapan perkembangan kognisi, yang tentu saja bagi budaya lain mungkin saja tidak sama.
Dicontohkan oleh Matsumoto dan Hull, pada masyarakat Islam tradisional mereka lebih
menghargai para pemimpin agama dan penyair -meskipun di lain sisi sistem pendidikan Islam
meliputi ilmu pengetahuan dan matematik, namun tujuan utamanya bukanlah melatih orang
dalam metode-metode ilmiah, melainkan untuk menstransmisikan keimanan--. Tentu saja
dalam model yang diajukan Piaget, kelompok ini tidak termasuk dalam kelompok mereka
yang mampu mencapai tahap terakhir dalam teori perkembangan kognisi yang diajukan
Piaget, sebab tolok ukur yang dijadikan patokan Piaget adalah kemampuan penalaran secara
matematis, ataupun fisika.
Dengan begitu tampaknya ada perbedaan patokan dalam menentukan puncak prestasi
dari perkembangan kognisi. Mungkin saja satu ketrampilan yang bagi budaya tertentu
dinyatakan sebagai puncak prestasi, maka bagi budaya lain belum tentu hal tersebut dianggap
sebagai prestas. Sebagai misal dalam budaya Amerika, proses pemikiran hipotetik dan
abstrak adalah titik akhir yang diharapkan dalam perkembangan kognitif, maka budaya yang
kolektif, pemikiran abstrak kerap tidak disukai.
Mencandra fenomena ini, maka muncul pertanyaan apakah pada budaya tertentu tidak
semua kelompok masyarakatnya mampu mencapai tahapan tertinggi dalam teori
perkembangan kognisi Piaget? Haruskah dilakukan evaluasi kritis atas teori yang diajukan
Piaget? Mengingat tolok ukur yang digunakan Piaget adalah budaya barat, maka tampaknya
perlu juga dicermati hasil penelitian yang dilakukan oleh Launrendeau Bendavid (1977), She
(1985) yang menyimpulkan bahwa bagaimanapun orang yang tidak mengenyam pendidikan
tinggi dalam sisitem sekolah model barat akan berpenampilan sangat rendah dalam tes-tes
operasi formal. Hasil penelitian ini menyadarkan kita, bahwa kemampuan memenuhi kriteria
tahapan akhir dari teori yang diajukan Piaget ternyata lebih bergantung pada pengetahuan
yang sudah ada sebelumnya, dan nilai-nilai budaya (barat) dibanding ketrampilan kognitif.
Dari kenyataan ini, tampaknya teori yang diajukan oleh Piaget memiliki bias budaya.
Tentu saja dengan adanya bias ini, maka dengan sendirinya sulit secara baik (apa adanya)
menggunakan konsep Piaget pada budaya yang berbeda, dengan budaya saat teori tersebut
diajukan. Kenyataan ini secara langsung merekomendasikan perlulanya dievaluasi alat tes

yang digunakan dalam menentukan tahapan perkembangan kognisi, agar alat tersebut
memiliki sensitif budaya, cullture fair test.

C. Membandingkan Teori Piaget dengan Teori Tahapan Lain


Harus diakui bahwa teori Piaget merupakan salah teori tahapan perkembangan kognisi
yang mendominasi pada abad XX, meskipun demikian pada abad-abad sebelumnya banyak
pemikir mengajukan teori tahapan. Salah satu teori tahapan terawal misalnya dikemukakan
oleh seorang filsuf Jerman abad 18, Hegel. Hegel menempatkan semua masyarakat dalam
sebuah skala evolusioner yang didasarkan pada klasifikasi kepercayaan-kepercayaan agama
dengan agama kristen sebagai puncaknya. Taylor (1865), Spencer (1876) mengemukakan
bahwa umat manusia telah mengalami perkembangan dari kebiadaban ke peradaban dalam
sebuah rangkaian tahapan.
Teori tahapan lain yang berpengaruh pada awal abad 20 dikemukakan oleh filsuf
perancis, Levy-Bruhl (1910, 1922, 1949). Seperti halnya para pakar sebelumnya, Levy-Bruhl
menarik sebagian besar kesimpulan dari materi-materi yang berkaitan dengan kepercayaankepercayaan agama dan mistis orang non-Barat. Levy mengajukan teori bahwa ada
pembagian besar antara pemikiran orang barat dan pemikiran orang yang tinggal dalam
masyarakat-masyarakat primitf. Ia menggambarkan orang-orang non-Barat mempunyai cara
berpikir yang berbeda yang ia hubungkan dengan pengaruh kebudayaan. Menurutnya, orangorang non-Barat tidak terganggu oleh kontradiksi-kontradiksi logis dan mereka kurang
memiliki makna yang jelas tentang jati diri.
Teori yang hampir senada dengan yang diajukan Bruhl, adalah apa yang dikemukakan
oleh Goody (1968, 1977), Luria (1976),

Hipler (1980). Mesk ada perbedaan dalam

pemberian klasifikasi antara dua kelompok (Barat dan non-barat), namun semuanya merujuk
pada muara yang sama, yaitu dalam semua teori tersebut, perkembangan peradaban
pemikiran orang non-barat biasanya diyakini kurang sempurna atau inferior terhadap
perkembangan perdaban

orang Eropa. Selain itu, teori-teori tahapan juga bersikukuh

mengevaluasi rasionalitas orang-orang non-Barat dalam hal kepercayaan-kepercayaan agama


dan magis, sementara rasionalitas kepercayaan orang barat biasanya tidak dipertanyakan.
Banyak keberatan atas teori Bruhl, terutama datangnya dari para antropolog, yang
mempertanyakan metodologi dan kesimpulan yang diambilnya, terlebih Bruhl mendasarkan
karyanya pada cerita-cerita yang disampaikan para minionaris dan pelancong --orang-orang
yang hampir tidak pernah berbicara dengan bahasa asli--..

Mengacu pada pendapat para pemikir tersebut, maka tampak betapa para pemikir
tersebut selalu mendudukkan kebudayaannya lebih tinggi dari budaya yang dimiliki oleh
etnik lain. Tampaknya perilaku ini juga menimpa pada hampir seluruh masyarakat,
setidaknya penelitian yang dilakukan Brewel dan Campbell (1976) pada 30 masyarakat di
Afrika Timur, yang ternyata juga mendudukkan kelompoknya lebih tinggi (etnosentris),
tatkala dilakukan pembandingan dengan kelompok lain.
Membandingkan teori perkembangan kongnitif yang diajukan Piaget, dengan teori
tahapan lainnya, tampak teori yang diajukan Piaget memiliki beberapa kelebihan. Setidaknya
dalam teorinya Piaget telah mencoba membuat pembagian tahapan yang di dalamnya ada
seperangkat aktivitas yang mencirikan tahapan tersebut.

Meski demikian persoalan

universalitas dari teori tahapan Piaget juga memang masih perlu dipertanyakan, sebab pada
beberapa tahapan, aktivtias yang dipersyaratkan untuk tahapan tersebut lebih merupakan
kebiasan-kebiasan yang dilakukan di dunia Barat, dan mungkin bagi budaya non-Barat
menjadi hal yang tidak biasa?

D. Definisi dan Konsep Kecerdasan dalam Berbagai Budaya


Istilah yang digunakan untuk menyebut kecerdasan dalam bahasa Inggris adalah
intelegence yang berasal dari bahasa Latin, ditemukan 2000 tahun lalu oleh orator Romawi
Cicero. Di USA, intelegence digunakan untuk menunjuk sejumlah kemampuan, keahlian,
bakat dan pengetahuan yang berbeda-beda, secara umum

semuanya menunjukkan pada

kemampuan mental atau kognitif. Mengacu pada konsep ini, maka bagi masyarakat Barat
(Amerika) konsep kecerdasan meliputi beberapa hal, yaitu: ingatan (bagaimana dan seberapa
banyak seseorang dapat mengingat dan untuk berapa lama); kosa kata (seberapa banyak kata
yang diketahui seseorang dan dapat digunakannya dengan tepat); pemahaman (bagaimana
seseorang memahami sebuah pesan atau meletakkan ide atau pernyataan), kemampuan
matematis (penambahan, pengurangan dsb.) penalaran logis (bagaimana seseorang dapat
memahami penerapan logika dalam berbagai macam peristiwa, benda atau obyek).
Harus diakui bahwa banyak bahasa di banyak budaya tidak mempunyai kata yang
sesuai untuk istilah kecerdasan. Dengan sendirinya definisi-definsi kecerdasan lebih
merupakan refleksi nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Bagi orang Cina
kecerdasan itu ditandainya ciri-ciri seperti peniruan, usaha, dan tanggung jawab sosial (Keats,
1982). Tentu saja bagi budaya Amerika, sifat-sifat itu bukan merupakan unsur penting
kecerdasan.

Masyarakat Afrika Timur (suku Baganda), menggunakan kata Obugezi untuk


menunjukkan kombinasi dari keahlian-keahlian mental dan sosial yang membuat seseorang
menjadi lebih tegar, berhati-hati, dan bersahabat (Wober, 1974). Suku Djerma-Songhai di
Afrika Barat, menggunakan sebuah kata yang mempunyai arti yang bahkan lebih luas, yaitu
kata akkal yang berarti kombinasi dari kecerdasan, pengetahuan teknis dan keahlian sosial
(Bisilliat, Laya, Pierre dan Pidoux, 1967). Sementara masyarakat yang lain, Suku Baoule,
menggunakan kata ngluele yang menggambarkan anak-anak yang tidak saja siap secara
mental, tetapi juga berkeinginan membantu dengan suka rela tanpa diminta (Dasen, dkk,
1985).
Piaget menyatakan bahwa kecerdasan merupakan refleksi dari tahapan kognisi --yang
terdiri dari beberapa tahapan-- dimana pada tahapan tertinggi seseorang memiliki
kemampuan menghubungkan berpikir abstrak dengan prinsip-prinsip yang ada. Sperman
(1927) dan Thurstone (1938) mengembangkan teori faktor kecerdasan. Teori ini memandang
kecerdasan sebagai konsep yang terdiri dari banyak faktor termasuk faktor pemahaman
verbal, pemahaman spatial, kelancaran kata/kalimat, kecepatan mempersepsi.
Guilford (1985) juga mengajukan teori faktor, dia menggunakan 3 dimensi untuk
menjelaskan kecerdasan, yaitu dimensi operasional, dimensi isi dan dimensi produk/hasil.
Ketiga dimensi ini saling terpisah. Selanjutnya dengan mengkombinasikan ke-tiga dimensi
ini, Guilford menyatakan bahwa sesungguhnya kecerdasan itu disusun lebih dari 150 faktor
terpisah.
Alfred Binet (Sternberg, 1996) mengajukan tiga aspek kecerdasan yang disebutnya
direction, adaptation, criticism. Direction merujuk pada apa yang harus dilakukan dan
bagaimana cara melakukannya, adaptation merupakan kemampuan menggunakan stategi
dalam menyelesaikan satu tugas, dan tetap menggunakan strategi tersebut tatkala
dilakukannya implementasi sambil melakukan adaptasi, sedangkan criticism merujuk pada
kemampuan untuk mengkritisi hasil pemikiran dan tindakan diri sendiri.
Sternberg sendiri mengajukan teori kecerdasan yang berdasarkan pada 3 sub teori yang
saling terpisah yang disebutnya sebagai kecerdasan kontekstual, kecerdasan eksperiental, dan
kecerdasan komponensial. Kecerdasan kontekstual adalah kemampuan individu untuk
mengadaptasi terhadap lingkungan, pemecahan masalah pada situasi yang khusus.
Kecerdasan eksperiental merupakan kemampuan untuk memformulasikan ide-ide baru dan
mengkombinasi fakta-fakta yang tidak saling berhubungan, sedangkan kecerdasan
komponensial adalah kemampuan untuk berpikir abstrak dalam memproses informasi serta
menentukan kebutuhan yang harus dilakukannya.

Sementara itu Howard Gardner (1983, Psikolog dari Harvard University) mengajukan
tujuh macam perilaku yang dapat digolongkan dalam perilaku cerdas, yaitu:
1. Linguistic intelligence; kemampuan yang digunakan dalam membaca buku, menulis, dan
memahami kata-kata lisan;
2. Logical-Mathematical Intelligence, kemampuan yang digunakan dalam memecahkan
persoalan matematis, dan penalaran ilmiah;
3. Spatial intelligence, kemampuan yang digunakan untuk berpindah dari satu tempat ke
tampat lain, membaca peta;
4. Musical

intelligence;

digunakan

untuk

menyanyi,

memainkan

alat

musik,

mengaransemen musik/lagu, mengapresiasi musik;


5. bodily kinesthetic intelligence; digunakan untuk menari, berlari, melempar, olah raga;
6. Interpersonal intelligence; digunakan dalam berhubungan dengan orang lain, memahami
perilaku, motivasi ataupun emosi orang lain;
7. Intrapersonal intelligence; digunakan untuk memahami diri sendiri.
Adanya teori baik yang diajukan Gardner (the theory of multiple intelligence) ataupun
lainnya seharusnya menyadarkan pada semua orang bahwa kecerdasan bukan hanya diukur
dari sisi kemampuan kognitif saja, tetapi banyak aspek yang merujuk pada terminologi
cerdas. Meski demikian, tampaknya pelbagai definisi kecerdasan lebih banyak mengacu pada
konsep yang dipakai di dunia Barat, yang lebih mengunggulkan sisi kognisi. Selain itu
beberapa definisi kecerdasan yang diungkap dari beberapa budaya lebih menyadarkan kita
bahwa makna kecerdasan untuk pelbagai budaya memiliki variasi, dan terkadang satu
ketrampilan yang dianggap sebagai wujud kecerdasan untuk satu budaya tertentu, bagi
budaya lain mungkin biasa saja, atau bahkan sebaliknya.
Adanya perbedaan definsisi kecerdasan antar budaya, dengan sendirinya menjadi sulit
untuk membuat perbandingan yang valid mengenai konsep

kecerdasan antara satu

masyarakat dengan masyrakat lainnya. Tampaknya masyarakat dari budaya yang berbeda
belum memiliki kesamaan konsep kecerdasan, terlebih mereka juga mempunyai aturan yang
berbeda untuk menunjukkan kemampuan yang diiliki seseorang. Di budaya Barat seperti
Amerika, mereka yang secara demonstratif menunjukkan kemampuannya diberi satu
penghargaan khusus, namun tampaknya carai ini tidak lazim pada masyarakat dengan budaya
kolektif. Perilaku tersebut justru dianggap sebagai tidak sopan, arogan, atau bahkan sombong.
Dari deskripsi tersebut secara jelas menggambarkan, betapa satu perilaku yang oleh
budaya tertentu dianggap sebagai cara terbaik untuk menunjukkan kecerdasan (oleh budaya
ini dianggap sopan, dan patut diberi penghargaan), mungkin oleh budaya lain perilaku yang

sama justru dianggap sebaliknya. Perbedaan sikap terhadap perilaku yang sama tentu saja
menghasilkan satu simpulan yang berbeda, yang dengan sendirinya jika dikaitkan dengan
kecerdasan mungkin yang semula dianggap cerdas justru malah sebaliknya, dan ini
menjadikan simpulan tersebut tidak akurat.
Kesulitan lain yang dihadapi dalam membandingkan kecerdasan antar lintas budaya
(selain konsep cerdas pada masing-masing budaya berbeda) adalah penggunakaan alat ukur
yang tidak tepat. Harus diakui bahwa hingga saat ini instrumen yang digunakan untuk
mengukur kecerdasan seringkali didasarkan pada pengetahuan yang khusus bagi sebuah
kebudayaan tertentu. Dari sinilah muncul bias budaya, yang menyebabkan penarikan satu
kesimpulan menjadi tidak akurat.

E. Pengaruh Kebudayaan terhadap Pengukuran Kederdasan


Pada tahun 1904, Departemen Pengajaran Umum di Paris membuat satu komisi yang
bertugas untuk membedakan anak yang kurang sempurna mentalnya, yang mungkin
mengalami kegagalan di sekolah. Untuk kebutuhan itulah Alfred Binet dan Theodore Simon
merancang sebuah instrumen, yang dimaksudkan sebagai tes penempatan (placement test).
Konsep yang digunakan Binet untuk menyusun instrumen tersebut berdasar pada teorinya
tentang kecerdasan --seperti yang disebutkan di atas--.
Lewis

Terman

(Profesor

psikologi

Universitas

Stanford)

mengembangkan

Americanized test1 berdasarkan pada teori dan instrumen yang dibuat oleh Binet. Konsep tes
yang diajukan oleh Binet pada awalnya dimaksudkan untuk memprediksi keberhasilan
akademik seseorang, namun pada giliran selanjutnya penggunaan tes ini pada akhirnya tidak
hanya ada di dunia akademik, tetapi meluas sampai dunia kerja dan bisnis.
Mengingat desain awal dirancangnya tes ini dengan menggunakan budaya Amerika,
menyebabkan dalam pelaksanaannya tidak semua orang diuntungkan dengan hadirnya tes ini
--terutama mereka yang berasal dari budaya yang berbeda--. Sebagai misal saat
dilaksanakannya tes kecerdasan pada awal tahun 1913 untuk para imigran di P. Ellis (para

Konsep instrumen ini pada akhirnya dikenal dengan nama The Stanford-Binet Inteligence Scale,
revisi pertama dilakukamn pada tahun 1937, dan revisi kedua pada tahun 1960. Hingga saat ini tes
tersebut telah mengalami revisi ketiga (edisi keempat) sejak awal dikembangkannya tes ini pada tahun
1905. Perlu dipahami desain awal dari dibuatnya tes ini adalah untuk membedakan anak yang
diramalkan memiliki sukses dalam akademik, dan anak yang diperkirakan gagal. Sternber
mengungkap kondisi ini menyebabkan sebenarnya tes ini hanya cocok diberikan pada anak-anak, dan
bukan pada orang dewasa (1996), yang tentunya juga harus dipersempit lagi dengan pembatasan pada
budaya tertentu (Amerika, Eropa).

imigran berasal dari Hungaria, Italia, dan Israel). Dari hasil tes tersebut disimpulkan bahwa
tigaperempat dari para imigran tersebut masuk dalam kategori lemah mental.
Tentu saja hasil tersebut sangat kontroversial, dan menjadi bahan perdebatan. Bagi
mereka yang mendukung hasil tersebut berpendapat bahwa memang demikianlah senyatanya,
--para imigran tersebut memang memiliki kemampuan rendah--. Adapun mereka yang
menolaknya menyatakan bahwa tes tersebut bias budaya, dan hal ini menjadikan mereka
yang berasal dari budaya lain yang berbeda dari budaya asal tes tersebut tidak mampu
memahami apa yang dimaksud oleh tes tersebut. Artinya tes tersebut tidak mengukur secara
akurat kemampuan mental orang yang berasal dari budaya lain.
Hingga mendekati akhir abad 20, kontroversi itu belum juga reda. Perdebatan sekitar
penafsiran skor tes kelompok-kelompok

yang memiliki kebudayaan dominan terus

berlangsung hingga kini. Perdebatan ini sangat penting dalam psikologi secara umum, dan
psikologi lintas budaya secara khusus, karena pada akhirnya debat tersebut bermuara pada
pengaruh nature atau nurture dalam membentuk kecerdasan seseorang.
Untuk membuktikannya Bouchard dan McGue (1981) melakukan penelitian dengan
membandingkan anak kembar satu telur yang tumbuh dalam rumah yang terpisah dengan
anak kembar bersaudara yang tumbuh secara bersama. Jika skor tes kecerdasan ditentukan
oleh keturunan (nature), maka anak kembar satu telur yang tumbuh terpisah akan
mendapatkan skor yang sama, tetapi jika lingkungan (nurture) sebagai faktor penentu utama,
maka skor anak kembar yang bersaudara yang tumbuh bersama akan memiliki skor yang
sama. Studi terhadap anak kembar ini kemudian menunjukkan bahwa anak kembar satu telur
yang tumbuh dalam lingkungan yang berbeda secara signifikan lebih serupa dibandingkan
dengan anak kembar bersaudara yang tumbuh bersama. Meskipun demikian skor anak
kembar satu telur yang tumbuh terpisah lebih bervariasi dibandingkan anak kembar satu telur
yang tumbuh bersama.
Hasil ini ternyata dapat digunakan oleh dua pihak yang saling berdebat, pada pihak
nature, hasil itu ditafsirkan untuk memperkuat klaim bahwa 80% kecerdasan adalah bersifat
genetik, meskipun para penentangnya memberikan dugaan yang jauh lebih rendah. Namun
demikian ada kesepakatan yang diterima luas bahwa paling tidak 40 % kecerdasan dapat
dihubungkan dengan faktor keturunan (Henderson, 1982; Jencks, dkk. 1972).
Dari pihak nurture berpendapat bahwa kebudayaan dan lingkungan sangat
mempengaruhi perbedaan dalam skor IQ, hal ditunjukkan dari perbedaan skor IQ antara
orang kulit putih dan kelompok minoritas di AS. Para pendukung pendapat ini mengklim
bahwa kelompok minoritas memiliki skor rendah karena sebagian besar sub-sub budaya

dalam negara ini adalah sangat lemah secara ekonomi (Blau, 1981, Wolf, 1965). Para
pendukung pendapat ini juga merujuk pada sutdi yang menunjukkan bahwa skor IQ orang
miskin kulit putih, misalnya adalah 10-20 % lebih rendah dibandingkan skor rerata kelas
menengah. Pengaruh lingkungan terhadap skor tes kecerdasan dapar dilihat lebih jelas lagi
dalam studi yang menunjukkan bahwa orang miskin kulit putih yang dites di negara bagian
selatan mempunyai skor lebih rendah dibandingkan orang kulit hitam di negara bagian utara.
F. Simpulan
Dari paparan di muka, semakin memperjelas kenyataan bahwa definisi kecerdasan
antara budaya satu dengan budaya lainnya tidaklah sama. Satu perilaku yang bagi satu
kelompok budaya dikatakan sebagai perilaku yang menunjukkan watak cerdas, mungkin bagi
budaya lain tidaklah demikian, bahkan mungkin menjadi sebaliknya. Karena alasan itulah,
maka penggunaan tes kecerdasan tidak dapat begitu saja diterapkan dari budaya asalnya ke
budaya lain. Agar tes tersebut dapat diterapkan di budaya lain harus memenuhi persyaratan
sensitif budaya (culture fair). ( Muhammad Idrus, 12121999)

Anda mungkin juga menyukai