belum terjadi; (4) egocentrism; keakuan, kesulitan untuk menerima paham orang lain, (5)
animism, meyakini bahwa seluruh benda-benda di sekitarnya hidup,
Tahap operasional kongkrit (6/7 - 11 tahun). Kemampuan anak telah menjadi lebih baik,
dia memiliki kemampuan untuk membayangkan satu proses yang belum terjadi, mampu
untuk menghadapi persoalan lebih dari 1, serta mulai memahami kehadiran orang lain
dengan pendapatnya yang mungkin berbeda dengan dirinya. Penalaran mereka sudah
mulai sistematis, demikian juga proses berpikirnya. Meski demikian hal tersebut terbatas
pada konsep-konsep yang telah mereka alami.
Tahap terakhir dari teori Piaget adalah tahap operasi formal (di atas 11 tahun). Pada tahap
ini individu mengembangkan kemampuan berpikir logis tentang hal-hal yang abstrak, dan
mampu menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi secara lebih baik.
Meski Piaget menyatakan bahwa teorinya berlaku universal, namun tampaknya perlu
dicermati secara baik. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan antara lain:
1. Apakah empat tahap menurut Piaget itu selalu terjadi dalam urutan seperti yang ia
postulatkan? Sebab mungkin saja pada budaya
ternyata ditemukan bahwa tidak ada anak berusia Empat tahun yang secara khas kurang
memiliki kesadaran akan keabadian objek atau di mana ada anak berusia lima tahun yang
mengerti prinsip konservasi.
Untuk pertanyaan kedua ternyata dari hasil penelitian lintas budaya hingga saat ini
menunjukkan bahwa ada variasi budaya yang mengejutkan dalam usia dimana anak-anak
dalam masyarakat yang berbeda secara khas mencapai tahapan ke 3 dan ke 4 teori Piaget.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dasen, Lavallee, dan Retschitzki, (1979), Dasen,
Noini dan Lavallee (1979), Dasen (1982), jika ada kelompok anak yang berasal dari satu
kebudayaan yang belum terbiasa dengan satu konsep tertentu, maka tatkala konsep itu
ditanyakan pada mereka dengan sendirinya mereka akan menjawab salah. Meski demikian,
setelah mereka menyadari kesalahan yang mereka lakukan, dan tatkala tes tersebut diulang,
ternyata dari hasil penelitian tersebut terbukti banyak anak yang mencoba memperbaiki
jawaban yang mereka berikan pada tes awal tersebut.
Terkait dengan pertanyaan ketiga, ternyata dari penelitian terhadap beberapa
masyarakat yang berbeda bahwa ada variasi dalam pencapaian urutan tahapan-tahapan
Piaget. Dalam sebuah studi komparatif terhadap anak-anak suku-suku (suku Inuit di Kanada,
suku Baoule di Afrika dan suku Aranda di Australia), setengah dari semua anak suku Inuit
yang di tes mampu menyelesaikan tugas spasial pada usia tujuh tahun; setengah anak suku
Aranda menyelesaikannya pada usia sembilan tahun; anak suku Baoule, ternyata tidak
mencapai setengah poin hingga usia 12 tahun (Dasen, 1975). Dalam tes konservasi benda
cair, urutan itu berubah secara dramatis; setengah anak suku Baoule menyelesaikan masalah
ketika mereka berusia 8 tahun, anak suku Inuit pada usia 9 tahun, dan anak suku Aranda pada
usia 12 tahun. Salah satu alasan terjadinya hal ini adalah bahwa anak-anak suku Inuit dan
Aranda hidup dalam masyarakat yang nomaden, dimana anak-anak perlu belajar keahliankeahlian spasial sejak dini karena keluarga mereka terus menerus berpindah. sebaliknya,
anak-anak suku Baoule, hidup dalam masyarakat yang menetap, dimana mereka jarang
bepergian namun sering mengambil air dan menyimpan padi. Keahlian-keahlian yang
digunakan anak-anak ini dalam kehidupan sehari-hari mereka tampaknya mempengaruhi
urutan dimana mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas dalam tahapan operasi konkrit
yang diajukan Piaget.
Pertanyaan keempat yang diajukan adalah apakah kebudayaan-kebudayaan non-Barat
juga menganggap penalaran ilmiah sebagai titik akhir perkembangan
kognisi yang
diharapkan? Dari hasil kesimpulan penelitiannya, Piaget menyatakan bahwa puncak tertinggi
tahapan perkembangan kognisi seseorang adalah kemampuannya dalam berpikir ilmiah, dan
itu menurutnya berlaku universal. Untuk itu bagi Piaget, ukuran seseorang telah mencapai
puncak dalam perkembangan kognisinya adalah kemampuannya dalam berpikir ilmiah.
Pertanyaannya adalah, benarkah hal ini berlaku secara universal?
Tampaknya pendapat Piaget ini tidak berlaku universal, sebab pada dasarnya
masyarakat dari budaya tertentu menghargai ketrampilan/perilaku tertentu sebagai puncak
tahapan perkembangan kognisi, yang tentu saja bagi budaya lain mungkin saja tidak sama.
Dicontohkan oleh Matsumoto dan Hull, pada masyarakat Islam tradisional mereka lebih
menghargai para pemimpin agama dan penyair -meskipun di lain sisi sistem pendidikan Islam
meliputi ilmu pengetahuan dan matematik, namun tujuan utamanya bukanlah melatih orang
dalam metode-metode ilmiah, melainkan untuk menstransmisikan keimanan--. Tentu saja
dalam model yang diajukan Piaget, kelompok ini tidak termasuk dalam kelompok mereka
yang mampu mencapai tahap terakhir dalam teori perkembangan kognisi yang diajukan
Piaget, sebab tolok ukur yang dijadikan patokan Piaget adalah kemampuan penalaran secara
matematis, ataupun fisika.
Dengan begitu tampaknya ada perbedaan patokan dalam menentukan puncak prestasi
dari perkembangan kognisi. Mungkin saja satu ketrampilan yang bagi budaya tertentu
dinyatakan sebagai puncak prestasi, maka bagi budaya lain belum tentu hal tersebut dianggap
sebagai prestas. Sebagai misal dalam budaya Amerika, proses pemikiran hipotetik dan
abstrak adalah titik akhir yang diharapkan dalam perkembangan kognitif, maka budaya yang
kolektif, pemikiran abstrak kerap tidak disukai.
Mencandra fenomena ini, maka muncul pertanyaan apakah pada budaya tertentu tidak
semua kelompok masyarakatnya mampu mencapai tahapan tertinggi dalam teori
perkembangan kognisi Piaget? Haruskah dilakukan evaluasi kritis atas teori yang diajukan
Piaget? Mengingat tolok ukur yang digunakan Piaget adalah budaya barat, maka tampaknya
perlu juga dicermati hasil penelitian yang dilakukan oleh Launrendeau Bendavid (1977), She
(1985) yang menyimpulkan bahwa bagaimanapun orang yang tidak mengenyam pendidikan
tinggi dalam sisitem sekolah model barat akan berpenampilan sangat rendah dalam tes-tes
operasi formal. Hasil penelitian ini menyadarkan kita, bahwa kemampuan memenuhi kriteria
tahapan akhir dari teori yang diajukan Piaget ternyata lebih bergantung pada pengetahuan
yang sudah ada sebelumnya, dan nilai-nilai budaya (barat) dibanding ketrampilan kognitif.
Dari kenyataan ini, tampaknya teori yang diajukan oleh Piaget memiliki bias budaya.
Tentu saja dengan adanya bias ini, maka dengan sendirinya sulit secara baik (apa adanya)
menggunakan konsep Piaget pada budaya yang berbeda, dengan budaya saat teori tersebut
diajukan. Kenyataan ini secara langsung merekomendasikan perlulanya dievaluasi alat tes
yang digunakan dalam menentukan tahapan perkembangan kognisi, agar alat tersebut
memiliki sensitif budaya, cullture fair test.
pemberian klasifikasi antara dua kelompok (Barat dan non-barat), namun semuanya merujuk
pada muara yang sama, yaitu dalam semua teori tersebut, perkembangan peradaban
pemikiran orang non-barat biasanya diyakini kurang sempurna atau inferior terhadap
perkembangan perdaban
Mengacu pada pendapat para pemikir tersebut, maka tampak betapa para pemikir
tersebut selalu mendudukkan kebudayaannya lebih tinggi dari budaya yang dimiliki oleh
etnik lain. Tampaknya perilaku ini juga menimpa pada hampir seluruh masyarakat,
setidaknya penelitian yang dilakukan Brewel dan Campbell (1976) pada 30 masyarakat di
Afrika Timur, yang ternyata juga mendudukkan kelompoknya lebih tinggi (etnosentris),
tatkala dilakukan pembandingan dengan kelompok lain.
Membandingkan teori perkembangan kongnitif yang diajukan Piaget, dengan teori
tahapan lainnya, tampak teori yang diajukan Piaget memiliki beberapa kelebihan. Setidaknya
dalam teorinya Piaget telah mencoba membuat pembagian tahapan yang di dalamnya ada
seperangkat aktivitas yang mencirikan tahapan tersebut.
universalitas dari teori tahapan Piaget juga memang masih perlu dipertanyakan, sebab pada
beberapa tahapan, aktivtias yang dipersyaratkan untuk tahapan tersebut lebih merupakan
kebiasan-kebiasan yang dilakukan di dunia Barat, dan mungkin bagi budaya non-Barat
menjadi hal yang tidak biasa?
kemampuan mental atau kognitif. Mengacu pada konsep ini, maka bagi masyarakat Barat
(Amerika) konsep kecerdasan meliputi beberapa hal, yaitu: ingatan (bagaimana dan seberapa
banyak seseorang dapat mengingat dan untuk berapa lama); kosa kata (seberapa banyak kata
yang diketahui seseorang dan dapat digunakannya dengan tepat); pemahaman (bagaimana
seseorang memahami sebuah pesan atau meletakkan ide atau pernyataan), kemampuan
matematis (penambahan, pengurangan dsb.) penalaran logis (bagaimana seseorang dapat
memahami penerapan logika dalam berbagai macam peristiwa, benda atau obyek).
Harus diakui bahwa banyak bahasa di banyak budaya tidak mempunyai kata yang
sesuai untuk istilah kecerdasan. Dengan sendirinya definisi-definsi kecerdasan lebih
merupakan refleksi nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Bagi orang Cina
kecerdasan itu ditandainya ciri-ciri seperti peniruan, usaha, dan tanggung jawab sosial (Keats,
1982). Tentu saja bagi budaya Amerika, sifat-sifat itu bukan merupakan unsur penting
kecerdasan.
Sementara itu Howard Gardner (1983, Psikolog dari Harvard University) mengajukan
tujuh macam perilaku yang dapat digolongkan dalam perilaku cerdas, yaitu:
1. Linguistic intelligence; kemampuan yang digunakan dalam membaca buku, menulis, dan
memahami kata-kata lisan;
2. Logical-Mathematical Intelligence, kemampuan yang digunakan dalam memecahkan
persoalan matematis, dan penalaran ilmiah;
3. Spatial intelligence, kemampuan yang digunakan untuk berpindah dari satu tempat ke
tampat lain, membaca peta;
4. Musical
intelligence;
digunakan
untuk
menyanyi,
memainkan
alat
musik,
masyarakat dengan masyrakat lainnya. Tampaknya masyarakat dari budaya yang berbeda
belum memiliki kesamaan konsep kecerdasan, terlebih mereka juga mempunyai aturan yang
berbeda untuk menunjukkan kemampuan yang diiliki seseorang. Di budaya Barat seperti
Amerika, mereka yang secara demonstratif menunjukkan kemampuannya diberi satu
penghargaan khusus, namun tampaknya carai ini tidak lazim pada masyarakat dengan budaya
kolektif. Perilaku tersebut justru dianggap sebagai tidak sopan, arogan, atau bahkan sombong.
Dari deskripsi tersebut secara jelas menggambarkan, betapa satu perilaku yang oleh
budaya tertentu dianggap sebagai cara terbaik untuk menunjukkan kecerdasan (oleh budaya
ini dianggap sopan, dan patut diberi penghargaan), mungkin oleh budaya lain perilaku yang
sama justru dianggap sebaliknya. Perbedaan sikap terhadap perilaku yang sama tentu saja
menghasilkan satu simpulan yang berbeda, yang dengan sendirinya jika dikaitkan dengan
kecerdasan mungkin yang semula dianggap cerdas justru malah sebaliknya, dan ini
menjadikan simpulan tersebut tidak akurat.
Kesulitan lain yang dihadapi dalam membandingkan kecerdasan antar lintas budaya
(selain konsep cerdas pada masing-masing budaya berbeda) adalah penggunakaan alat ukur
yang tidak tepat. Harus diakui bahwa hingga saat ini instrumen yang digunakan untuk
mengukur kecerdasan seringkali didasarkan pada pengetahuan yang khusus bagi sebuah
kebudayaan tertentu. Dari sinilah muncul bias budaya, yang menyebabkan penarikan satu
kesimpulan menjadi tidak akurat.
Terman
(Profesor
psikologi
Universitas
Stanford)
mengembangkan
Americanized test1 berdasarkan pada teori dan instrumen yang dibuat oleh Binet. Konsep tes
yang diajukan oleh Binet pada awalnya dimaksudkan untuk memprediksi keberhasilan
akademik seseorang, namun pada giliran selanjutnya penggunaan tes ini pada akhirnya tidak
hanya ada di dunia akademik, tetapi meluas sampai dunia kerja dan bisnis.
Mengingat desain awal dirancangnya tes ini dengan menggunakan budaya Amerika,
menyebabkan dalam pelaksanaannya tidak semua orang diuntungkan dengan hadirnya tes ini
--terutama mereka yang berasal dari budaya yang berbeda--. Sebagai misal saat
dilaksanakannya tes kecerdasan pada awal tahun 1913 untuk para imigran di P. Ellis (para
Konsep instrumen ini pada akhirnya dikenal dengan nama The Stanford-Binet Inteligence Scale,
revisi pertama dilakukamn pada tahun 1937, dan revisi kedua pada tahun 1960. Hingga saat ini tes
tersebut telah mengalami revisi ketiga (edisi keempat) sejak awal dikembangkannya tes ini pada tahun
1905. Perlu dipahami desain awal dari dibuatnya tes ini adalah untuk membedakan anak yang
diramalkan memiliki sukses dalam akademik, dan anak yang diperkirakan gagal. Sternber
mengungkap kondisi ini menyebabkan sebenarnya tes ini hanya cocok diberikan pada anak-anak, dan
bukan pada orang dewasa (1996), yang tentunya juga harus dipersempit lagi dengan pembatasan pada
budaya tertentu (Amerika, Eropa).
imigran berasal dari Hungaria, Italia, dan Israel). Dari hasil tes tersebut disimpulkan bahwa
tigaperempat dari para imigran tersebut masuk dalam kategori lemah mental.
Tentu saja hasil tersebut sangat kontroversial, dan menjadi bahan perdebatan. Bagi
mereka yang mendukung hasil tersebut berpendapat bahwa memang demikianlah senyatanya,
--para imigran tersebut memang memiliki kemampuan rendah--. Adapun mereka yang
menolaknya menyatakan bahwa tes tersebut bias budaya, dan hal ini menjadikan mereka
yang berasal dari budaya lain yang berbeda dari budaya asal tes tersebut tidak mampu
memahami apa yang dimaksud oleh tes tersebut. Artinya tes tersebut tidak mengukur secara
akurat kemampuan mental orang yang berasal dari budaya lain.
Hingga mendekati akhir abad 20, kontroversi itu belum juga reda. Perdebatan sekitar
penafsiran skor tes kelompok-kelompok
berlangsung hingga kini. Perdebatan ini sangat penting dalam psikologi secara umum, dan
psikologi lintas budaya secara khusus, karena pada akhirnya debat tersebut bermuara pada
pengaruh nature atau nurture dalam membentuk kecerdasan seseorang.
Untuk membuktikannya Bouchard dan McGue (1981) melakukan penelitian dengan
membandingkan anak kembar satu telur yang tumbuh dalam rumah yang terpisah dengan
anak kembar bersaudara yang tumbuh secara bersama. Jika skor tes kecerdasan ditentukan
oleh keturunan (nature), maka anak kembar satu telur yang tumbuh terpisah akan
mendapatkan skor yang sama, tetapi jika lingkungan (nurture) sebagai faktor penentu utama,
maka skor anak kembar yang bersaudara yang tumbuh bersama akan memiliki skor yang
sama. Studi terhadap anak kembar ini kemudian menunjukkan bahwa anak kembar satu telur
yang tumbuh dalam lingkungan yang berbeda secara signifikan lebih serupa dibandingkan
dengan anak kembar bersaudara yang tumbuh bersama. Meskipun demikian skor anak
kembar satu telur yang tumbuh terpisah lebih bervariasi dibandingkan anak kembar satu telur
yang tumbuh bersama.
Hasil ini ternyata dapat digunakan oleh dua pihak yang saling berdebat, pada pihak
nature, hasil itu ditafsirkan untuk memperkuat klaim bahwa 80% kecerdasan adalah bersifat
genetik, meskipun para penentangnya memberikan dugaan yang jauh lebih rendah. Namun
demikian ada kesepakatan yang diterima luas bahwa paling tidak 40 % kecerdasan dapat
dihubungkan dengan faktor keturunan (Henderson, 1982; Jencks, dkk. 1972).
Dari pihak nurture berpendapat bahwa kebudayaan dan lingkungan sangat
mempengaruhi perbedaan dalam skor IQ, hal ditunjukkan dari perbedaan skor IQ antara
orang kulit putih dan kelompok minoritas di AS. Para pendukung pendapat ini mengklim
bahwa kelompok minoritas memiliki skor rendah karena sebagian besar sub-sub budaya
dalam negara ini adalah sangat lemah secara ekonomi (Blau, 1981, Wolf, 1965). Para
pendukung pendapat ini juga merujuk pada sutdi yang menunjukkan bahwa skor IQ orang
miskin kulit putih, misalnya adalah 10-20 % lebih rendah dibandingkan skor rerata kelas
menengah. Pengaruh lingkungan terhadap skor tes kecerdasan dapar dilihat lebih jelas lagi
dalam studi yang menunjukkan bahwa orang miskin kulit putih yang dites di negara bagian
selatan mempunyai skor lebih rendah dibandingkan orang kulit hitam di negara bagian utara.
F. Simpulan
Dari paparan di muka, semakin memperjelas kenyataan bahwa definisi kecerdasan
antara budaya satu dengan budaya lainnya tidaklah sama. Satu perilaku yang bagi satu
kelompok budaya dikatakan sebagai perilaku yang menunjukkan watak cerdas, mungkin bagi
budaya lain tidaklah demikian, bahkan mungkin menjadi sebaliknya. Karena alasan itulah,
maka penggunaan tes kecerdasan tidak dapat begitu saja diterapkan dari budaya asalnya ke
budaya lain. Agar tes tersebut dapat diterapkan di budaya lain harus memenuhi persyaratan
sensitif budaya (culture fair). ( Muhammad Idrus, 12121999)