Anda di halaman 1dari 30

Ujian Bedah Plastik

SEORANG LAKI-LAKI 43 TAHUN DENGAN FRAKTUR MAXILLA


SINISTRA, EKSORIASI REGIO FRONTAL DEXTRA- REGIO
INFRA ORBITA DEXTRA, SKINLOSS SEPTUM NASI

Oleh:
Firza Fatchya

G99141117

Pembimbing :
dr. Amru Sungkar, Sp. B. Sp.BP-RE
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

BAB I
STATUS PASIEN
A.
ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama

: Tn. S

Umur

: 43 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


Alamat

: Ngawi, Jawa Timur

No RM

: 0132098

MRS

:16 Desember 2015

Tanggal Periksa : 17 Desember 2015


2. Keluhan Utama
Luka dan nyeri pada wajah dan kepala setelah KLL
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Satu hari SMRS saat sedang mengendarai sepeda motor dan menggunakan helm
standart. Kecelakaan terjadi secara tuggal menabrak material pembangunan jalan
raya. Pasien jatuh tersungkur. Sebelum terjatuh, helm yang dipakai pasien terlepas
dan wajah pasien membentur aspal. Setelah kejadian pasien mngeluh nyeri dibagian
kepala, wajah. Pasien tidak pingsan, tidak muntah ataupun mual. Oleh penolong,
pasien dibawa ke RSUD Karanganyar, karena keterbatasan sarana, pasien dirujuk ke
RS. Kustati diinfus, mendapat injeksi obat-obatan, dirawat selama 1 hari, dilakukan
rontgen Toraks, CT scan kepala. Karena pasien ingin mengurus Jamkesda,keluarga
meminta untuk dirujuk ke RS Dr. Moewardi Surakarta dengan COS, EDH region
frontal, faktur zigomaticus, fraktur compresi Vth 3-4.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi
Riwayat penyakit jantung
Riwayat asma
Riwayat diabetes
Riwayat trauma sebelumnya

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat alergi
Riwayat penyakit jantung
Riwayat asma
Riwayat diabetes

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

6. Riwayat kebiasaan
Nutrisi
Olahraga
Merokok

: pasien makan 3 kali sehari dengan gizi seimbang.


: pasien kurang melakukan aktivitas olahraga
: pasien merokok sudah 20 tahun

7. Riwayat sosial ekonomi


Pasien masih akan mengurus Jamkesda,, saat ini pasien dirawat dengan tanpa
menggunakan fasilitas asuransi apapun.
GENERAL SURVEY
1.

Primary Survey
a. Airway
: bebas, collar brace (+)
b. Breathing
: spontan, frekuensi pernafasan 24 x/menit
Inspeksi
: pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi
: fremitus raba kanan = kiri, krepitasi (-)
Perkusi
: sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
c. Circulation : tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 88x/menit, CRT<2 detik
d. Disability
: GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/
3mm), lateralisasi (-/-)
e. Exposure
: suhu 36,5C, Jejas (+) lihat status lokalis

2.

Secondary Survey
a. Keadaan umum
b. Kepala
c. Mata

: compos mentis, tampak sakit sedang


: lihat status lokalis
: konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), hematom palpebra (-/-),

diplopia (-/-), oedem palpebra (+/+)


d. Telinga: sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tragus (-/-).
e. Hidung
: lihat status lokalis
f. Mulut
: laserasi mukosa ginggiva (+), maloklusi (+), gusi berdarah
g. Leher

(+), lidah kotor (-), jejas (-)


:pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), nyeri tekan

h. Thorak

(-), JVP tidak meningkat.


: bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-).

i.

Jantung
Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak.

Palpasi

: ictus cordis teraba, tidak kuat angkat.

Perkusi

: batas jantung kesan tidak melebar.

Auskultasi

: bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising


(-).

j. Pulmo
Inspeksi

: pengembangan dada kanan = kiri.

Palpasi

: fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan


(-/-).

Perkusi

: sonor/sonor.

Auskultasi

: suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan


(-/-).

k. Abdomen
Inspeksi

: distended (-)

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Perkusi

: timpani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), defens muscular (-)

l. Genitourinaria

: BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK

(-).
m. Muskuloskletal
n. Ekstremitas

: jejas (+), nyeri (+)

Akral dingin

Motorik

Oedema

Status Lokalis:
1. Regio Facial
I : Eksoriasi regio frontal dextra dan region infra orbita dextra
Skinloss septum nasi

Hematom palpebra / orbita D/S


Pendataran malam iminen (+/-)
P : krepitasi region infra orbita dextra dan nyeri tekan region orbita dextra
Maxilla goyang (+)
Tragus pai (-/-)
B.

ASSESSMENT I
Suspek fraktur condyle mandibula sinistra
Eksoriasi regio frontal dextra dan region infra orbita dextra
Skinloss septum nasi

C.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

PLANNING I
O2 2 lpm
Pasang infus NaCl 0,9% 20 tpm
Injeksi Metamizole 1 gram/8 jam
Injeksi Ranitidine 50 mg/12 jam
Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam
Cek laboratorium darah
CT-Scan

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil pemeriksaan laboratorium (18 November 2015)
Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai Normal

Darah Rutin
Hemoglobin

17,4

g/dl

14.0 17.5

Hematokrit

39,4

33 45

Leukosit

4,4

ribu/ul

4.5 14.5

Trombosit

95

ribu/ul

150 450

Eritrosit

4,40

ribu/ul

4.50 5.90

Golongan darah

HBsAg

Non reactive

Non reactive

Hemostasis
PT

14,5

menit

1-3

APTT

36,1

Menit

3-7

INR

1.200
ELEKTROLIT

Natrium darah

138

mmol/L

136 - 145

Kalium darah

3.7

mmol/L

3.3 5.1

Chlorida darah

106

mmol/L

98 106

b. Hasil CT scan kepala

EDH regio frontal


Hematosinus
Fraktur maxilla D/S

c. Foto Cervikal di RSDM

Spinal cord injury complete type setinggi Vth 6

E.

ASSESSMENT II
Fraktur maxilla sinistra
Eksoriasi regio frontal dextra dan region infra orbita dextra
Skinloss septum nasi

F.

PLANNING II
Repair vulnus
ORIF elektif

G. PROGNOSIS
a. Ad vitam

: bonam

b. Ad sanam

: bonam

c. Ad fungsionam

: bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur maxilla dapat disebabkan oleh trauma atau karena proses patologis.
1) Traumatic fracture
Fraktur yangdisebabkan oleh pukulan pada:

perkelahian

kecelakaan

tembakan

2) Pathologic fracture
Fraktur yang disebabkan oleh keadaan patologis dimana tulang dalam keadaan sakit,
tulang tipis atau lemah, sehingga bila ada trauma ringan seperti berbicara, makan dan
mengunyah dapat terjadi fraktur.
Terjadi karena :
a) Penyakit tulang setempat
o Kista
o Tumor tulang jinak atau ganas
o Keadaan dimana resorpsi tulang sangat besar sekali sehingga dengan
atau tanpa trauma dapat terjadi fraktur, misalnya pada osteomielitis
b) Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang mudah patah.
o Osteomalacia
o Osteoporosis
o Atrofi tulang secara umum
A. Klasifikasi Fraktur
1. Single fracture
Fraktur dengan satu garis fraktur
2. Multiple fracture

Terdapat dua atau lebih garis fraktur yang tidak berhubungan satu sarna lain
Unilateral = jika kedua garis fraktur terletak pada satu sisi
Bilateral = jika 1 garis fraktur pada 1 sisi dan garis fraktur lain pada sisi lain.
3. Communited fracture
Tulang hancur atau remuk menjadi beberapa fragmen keci 1 atau berkeping-keping,
misalnya symphis mandibularis dan di daerah anterior maxila.
4. Complicated fracture
Terjadi suatu dislokasi/displacement dari tulang sehingga mengakibatkan kerusakan
tulang-tulang yang berdekatan, gigi, dan jaringan lunak yang berdekatan
5. Complete fracture
Tulang patah semua secara lengkap menjadi 2 bagian atau lebih.
6. Incomplete fracture
Tulang tidak patah sarna sekali, tetapi hanya retak juga penyatuan tulang tidak
terganggu. Dalam keadaan seperti ini lakukan dengan bandage dan rahang
diistirahatkan 1-3 minggu.
7. Depressed fracture
Bagian tulang yang fraktur masuk ke dalam suatu rongga. Sering pada fraktur
maxilla yaitu pada permukaan fasial dimana fraktur tulang terdorong masuk ke
sinus maxillaris.
8. Impacted fracture
Dimana fraktur yang 1 didorong masuk ke fragmen tulang lain. Sering pada tulang
zygomaticus.
B. Pembagian Area Fraktur Pada rahang
1. Rahang Atas Maxilla (Killey)
- Dento alveolar fraktur
- Le Fort I
- Le Fort II
- Le Fort III

C. Insidens , Klasifikasi, Tanda dan Gejala


1. Dento Alveolar Fracture
Suatu fraktur di daerah processus maxillaris yang belum mencapai daerah Le Fort I dan
dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Fraktur ini meliputi processus alveolaris dan
gigi-gigi.
Gejala klinik
Extra oral :
o Luka pada bibir atas yang dalam dan luas. Luka laserasi pada bibir
sering disertai perdarahan, kadang-kadang terdapat patahan gigi dalam
bibir yang luka tersebut.
o Bibir bengkak dan edematus
o Echymosis dan hematoma pada muka
Intra oral :
o Luka laserasi pada gingiva daerah fraktur dan sering disertai perdarahan.
o Adanya subluxatio pada gigi sehingga gigi tersebut bergerak, kadangkadang berpindah tempat.
o Adanya alvulatio gigi, kadang-kadang disertai tulang alveolusnya
o Fraktur corona gigi dengan atau tanpa terbukanya kamar pulpa
2. Le Fort I:
Pada fraktur ini, garis fraktur berada di antara dasar dari sinus maxillaris dan
dasar dari orbita. Pada Le Fort I ini seluruh processus alveolaris rahang atas,
palatum durum, septum nasalis terlepas dari dasarnya sehingga seluruh tulang
rahang dapat digerakkan ke segala arah. Karena tulang-tulang ini diikat oleh
jaringan lunak saja, maka terlihat seperti tulang rahang tersebut mengapung
(floating fracture). Fraktur dapat terjadi unilateral atau bilateral. Suatu tambahan
fraktur pada palatal dapat terjadi, dimana terlihat sebagai suatu garis echymosis.

Geiala klinik
Extra oral :
o Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum
o Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris
o Hematoma atau echymosis pada daerah yang terkena fraktur, kadang-kadang
terdapat infraorbital echymosis dan subconjunctival echymosis
o Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior rahang atas dan
rahang bawah telah kontak lebih dulu.
Intra oral :
o Echymosis pacta mucobucal rahang atas
o Vulnus laceratum, pembengkakan gingiva, kadang-kadang disertai goyangnya
gigi dan lepasnya gigi.
o Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi yang luka, gigi
fraktur atau lepas.
o Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah
3. Le Fort II :
Garis fraktur meliputi tulang maxillaris, nasalis, lacrimalis, ethmoid,
sphenoid dan sering tulang vomer dan septum nasalis terkena juga.

Gejala klinik
Extra oral :
o Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada daerah tersebut terasa sakit.
o Dari samping muka terlihat rata karena adanya deformitas hidung.
o Bilateral circum echymosis, subconjunctival echymosis.
o Perdarahan dari hi dung yang disertai cairan cerebrospinal.
Intra oral
o Mulut sukar dibuka dan rahang bawah sulit digerakkan ke depan
o Adanya maloklusi open bite sehingga penderita sukar mengunyah.
o Palatum mole sering jatuh ke belakang sehingga dorsum lidah tertekan
sehingga timbul kesukaran bernafas.
o Terdapatnya kelainan gigi berupa fraktur, avultio,luxatio.
o Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerakkan, pada bagian hidung
terasa adanya step atau bagian yang tajam dan terasa sakit.
4. Le Fort III
Fraktur ini membentuk garis fraktur yang meliputi tulang-tulang nasalis,
maxillaris, orbita, ethmoid, sphenoid dan zygomaticus arch. Sepertiga bagian
tengah muka terdesak ke belakang sehingga terlihat muka rata yang disebut "Dish

Shape Face". Displacement ini selalu disebabkan karena tarikan ke arah belakang
dari M.pterygoideus dimana otot ini melekat pda sayap terbesar tulang sphenoid
dan tuberositas maxillary.

Geiala klinik
Extra oral :
o Pembengkakan hebat pada muka dan hidung
o Perdarahan pada palatum, pharinx, sinus maxillaris, hidung dan telinga.
o Terdapat bilateral circum echymosis dan subconjunctival echymosis.
o Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan N.opticus dan saraf
motoris dari mata yang menyebabkan diplopia, kebutaan dan paralisis bola
mata yang temporer.
o Deformitas hidung sehingga mata terlihat rata.
o Adanya cerebrospinal rhinorrhoea dan umumnya bercampur darah
o paralisis N.Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen yang menyebabkan
Bells Palsy.
Intra oral :
o Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang berat.
o Rahang atas dapat lebih mudah digerakkan

o Perdarahan pada palatum dan pharynx.


o Pernafasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah.
5. Zygomaticus Complex Fracture
Tulang zygoma adalah tulang yang kokoh pada wajah dan jarang mengalami
fraktur. Namun tempat penyambungan dari lengkungnya sering fraktur. Yang paling
sering mengalami fraktur adalah temporal sutura dari lengkung rahang.Fraktur garis
sutura rim infra orbital, garis sutura zygomatic frontal dan zygomatic maxillaris.

Fraktur ini biasanya unilateral, sering bersifat multiple dan communited,


tetapi karena adanya otot zygomatic dan jaringan pelindung yang tebal, jarang
bersifat compound. Displacement terjadi karena trauma, bukan karena tarikan otot.
Trauma/pukulan biasanya mendorong bagian-bagian yang patah ke dalam.
Geiala klinik
o Penderita mengeluh sukar membuka rahang, merasa ada sesuatu yang
menahan, waktu membuka mulut ke depan condyle seperti tertahan.
o Bila cedera sudah beberapa hari dan pembengkakan hilang, terlihat adanya
depresi yang nyata sekeliling lengkung dengan lebar 1 atau 2 jari yang dapat
diraba.
o Pembengkakan periobital, echymosis.

o Palpasi lunak
o Rasa nyeri
o Epistaksis, perdarahan hidung disebabkan karena cedera, tersobeknya selaput
lendir antral oleh depresi fraktur zygomatic dengan perdarahan lebih lanjut ke
antrum melalui ostium maxilla ke rongga hidung.
o Rasa baal di bawah mata, rasa terbakar dan paraesthesia
o Perdarahan di daerah konjungtiva
o Gangguan penglihatan diplopia, kabur.
D. Pemeriksaaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi digunakan untuk menunjang diagnosa. Untuk menegakkan
diagnosa yang tepat sebaiknya digunakan beberapa posisi pengambilan foto, karena
tulang muka kedudukannya sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan kita
untuk melihatnya dari satu posisi saja.
Pemeriksaan Ro Foto untuk fraktur maxilla antara lain :
1. PA position
2. Waters position
3. Lateral position
4. Occipito Mental Projection
5. Zygomaticus
6. Panoramic
7. Occlusal view dari maxilla
8. Intra oral dental
Pemeriksaan radiologi Fraktur Le Fort meliputi Foto Polos Cranium 3 posisi : AP,
Lateral

Fraktur Le fort II

Fraktur Le Fort II posisi AP

E. Perawatan Fraktur
Perawatan fraktur ditujukan pada penempatan ujung tulang yang fraktur pada
hubungan yang benar sehingga ujung tulang tersebut bersentuhan dan dipertahankan
pada posisi tersebut sampai penyembuhan terjadi.
Reposisi/reduksi fraktur ada 2 cara :
1) Close reduction
Banyak terdapat cara reposisi. Cara yang mudah adalah reposisi tertutup
yaitu manipulasi tulang dengan tarikan yang dilakukan di bawah kulit yang

intact sampai fraktur berada pada posisi yang benar. fraktur yang dapat
dilakukan reposisi tertutup, bila garis fraktur simpe1, posisi cukup baik dan
terjadinya fraktur masih baru
a) Reduksi yang dilakukan pada fraktur dengan cara manipulasi. Cara ini dilakukan
pada fraktur yang masih baru dan mudah dikembalikan pada tempat semula.
Caranya :
Kita raba permukaan tulang yang patah melalui intra dan ekstra oral,
lalu kita perhatikan oklusinya. Setelah kawat fiksasi dipasang, baru
reduksi dikerjakan yaitu dengan manipulasi bagian-bagian tulang yang
patah itu sampai kedudukannya seperti semula.
b) Reduksi dengan tarikan
Yang paling sering dipakai yaitu intermaxillary traction yaitu
penarikan rahang bawah dan rahang atas. Cara ini dilakukan bila
displacement sukar dimanipulasi pada tempat-tempat yang diinginkan
yang mungkin oleh karena adanya spasmus otot dan fraktur yang
sudah lama sehingga terjadi malunion yang sukar dikembalikan ke
keadaan semula.
2) Open reduction (dengan cara operasi)
Cara ini dipakai jika reduksi tertutup tidak dapat dikerjakan, lebih sering
dikerjakan untuk fiksasi dari pada untuk reduksi fraktur.
F. Fiksasi dan Immobilisasi
Pada fraktur yang dilakukan reposisi tertutup ketika tulang rahang dan gigi
sudah terletak pada posisi yang tepat, maka dapat dipertahankan dengan menggunakan
kawat Arch Bar, membebat gigi, pita elastic atau kawat yang menghubungkan
mandibula dan maksila. Fiksasi dapat dilakukan langsung pada gigi atau otot-otot
sekitar rahang, sehingga dapat dibagi menjadi :
1) Indirect dental fixation

Mengikat rahang atas dan rahang bawah bersama-sama dalam keadaan


oklusi dengan mempergunakan pengikat atau elastic band. Pada fiksasi harus
diperhatikan oklusi gigi atas dan bawah harus baik.
Ada 2 macam cara :
a) Kombinasi wiring dengan intermaxillary fixaton menurut cara Gilmer atau
Ivy.
b) Kombinasi arch bar dengan intermaxillary fixation.
c) Macam-macam arch bar : Jelenko, Erich, Winter
2) Direct Dental Fixation
Immobilisasi dari fragmen-fragmen dengan menggunakan splint bar atau
wire di antara dua atau lebih gigi pada daerah fraktur.
Wiring merupakan cara yang paling mudah. Tekniknya : Mengelilingi dua gigi
yang berdekatan kemudian menuju garis fraktur dengan sepotong kawat dengan
mengikatnya kuat-kuat. Cara ini kurang stabil dan tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga jarang dipakai.
3) Indirect Skletal Fixation
Yang termasuk cara ini :
- Denture atau gurting splint dengan head bandage
- Circumferential wiring
- External fixation
G. Perawatan Definitif Fraktur Maxilla
A) Fraktur Dentoalveolar
Beberapa kemungkinan dapat terjadi :
1) Korona gigi patah tanpa mengenai pulpa - Buat Ro foto dan tes pulpanya
-

Vitalitas pulpa perlu diikuti perkembangannya di kemudian hari

Kematian pulpa dapat berakibat dental granuloma atau kista radikularis


di kemudian hari.

2) Patah korona gigi dan mengenai pulpa


- Ro foto dan perawatan endodontik
- Bila giginya remuk atau patah akarnya sebaiknya dicabut.

Patah akar gigi yang kurang dari 1/3 apikal dapat dicoba dipertahankan.
3) Gigi yang dislokasi
- Ro foto dalam keadaan reposisi dan fiksasi
- Bila gigi terlepas, diadakan pengisian seluruh akar secara retrograd atau
konvensional dan diadakan replantasi. Biasanya gigi ini dapat bertahan
beberapa tahun meskipun akhirnya terjadi ankilosis dan resorpsi.
4) Fraktur tulang alveolar

Seringkali diperlukan debridement untuk membersihkan kepingan


tulang yang terlepas, jaringan nekrotik dan benda asing.

Bila sebagian tulang alveolar terlepas sarna sekali dari mukoperiosteum, sebaiknya diangkat. Bila masih melekat dapat direposisi
dan fiksasi.

Umumnya fiksasi dengan Arch Bar memberikan hasil yang


memuaskan, intermaxillary fixation tidak diperlukan keculai pada
fraktur tulang alveolar regia molar dan premolar. Fiksasi dengan
eyelet, baik jenis Ivy dan Stout's jarang memuaskan.

B) Fraktur Le Fort I, II, III


Penanganan fraktur langsung pada memposisikan kembali maxilla pada
hubungan yang tepat dengan mandibula serta dengan dasar tengkorak dan
mengimmobilisasikannya.
Secara garis besar immobilisasi dapat dibagi dalam 2 golongan besar :
1) Immobilisasi extra oral = External fixation
Termasuk apa yang disebut sekarang ini sebagai modern concept
merupakan suatu cara rutin dalam perawatan fraktur 1/3 tengah tulang muka.
Di Barat teknik ini kurang sesuai dengan situasi di Indonesia, karena
peralatan yang mahal dan laboratorium yang kurang memadai. Ditinjau dari
segi stabilitas, alat ini sangat ideal tetapi secara psikologis sering tidak dapat
diterima secara baik oleh penderita. Ini disebabkan bentuk alat yang
menakutkan bagi penderita yang harus terus memakainya selama perawatan.

Berarti dia harus tinggal di RS selama pemakaian alat tersebut. Meskipun


demikian peralatan itu tetap diperlukan pada perawatan fraktur 1/3 tengah
tulang muka yang parah dan rumit.
Secara singkat teknik ini sebagai berikut :
-

Maxilla yang mengalami fraktur ditahan Plaster of Paris Head Cap dengan
bantuan bar penghubung (connecting bar), cap splint, dan extention rodnya.
Maxilla yang dihubungkan dengan head cap disebut Craniomaxillary fixa
tion. Bi la mandibu1a yang dihubungkan dengan head cap disebut Craniomandibula fixation.

Selain itu dapat diperkuat dengan menambahkan transbucal check wire. Bila
cap splint pada gigi ge1igi tidak dapat dibuat dapat diganti dengan Arch Bar
pada maxilla dan mandibula dan disatukan dengan IMF. Arch bar mandibula
perlu diperkuat dengan circumferential wiring pada 3/3 dan dihubungkan
dengan head cap melalui transbuccal check wire.

Head cap dapat diganti dengan haloframe yang mempunyai fungsi sarna
dengan head cap tetapi jauh lebih stabile Frame ditempatkan di sekitar
cranium dengan 4 buah paku.
Supraorbital pins adalah pilihan lain dari head cap. Dua buah pin di
tempatkan pada supraorbital ridge kanan dan kiri. Kedua pin ini dihubungkan
dengan sebuah bar yang melengkung. Bar ini kemudian dihubungkan dengan
perantaraan suatu connecting bar lurus dengan extension rod dari alat-alat
fiksasi pada rahang.

2) Immobilisasi dalam jaringan Jenis ini dapat berupa


a. Fiksasi langsung dengan transosseus wiring pada garis fraktur
b. Teknik suspensi dari kawat (internal wire suspension technique)
Teknik fiksasi ini tidak memerlukan alat-alat yang mahal atau
fasilitas laboratorium yang mutakhir. Teknik ini dapat diterima dengan
baik oleh penderita karena peralatan fiksasi tidak tampak dari luar sehingga penderita dapat meninggalkan RS lebih cepat. Pada teknik ini
maksila ditahan dengan kawat pada bagian tulang muka yang tidak

mengalami cedera yang berada di a tas garis fraktur. Kawa t suspensi ini
dihubungkan dengan kawat fiksasi/arch bar pada mandibula. Untuk
memperkuat arch bar mandibula terhadap tarikan kawat suspensi,
dianjurkan pemakaian circumferential wiring pada 3/3. Dengan demikian
maksila terj epi t di antara mandibula dan bagian tulang muka yang
stabil.
Teknik suspensi dengan kawat ini dapat berupa :
a) Circumzygomatic
Kawat penggantung/penahan melalui atau meliputi arcus
zygomaticus
b) Zygomatic-mandibula
Kawat melalui lubang pada tulang zygoma
c) Inferior orbital border-mandibula
Kawat melalui lubang pada lower orbital rim
d) Fronto-mandibular
Kawat melalui lubang pada zygomatic processus pada tulang
frontal
e) Pyriform fossa mandibular
Kawat me1alui lubang pada fossa pyriformis. Ini hanya untuk
perawatan Le Fort I dan sangat kurang stabil.
f) Nasal septum-mandibular
Fiksasi ini sangat tidak stabil
Pada beberapa keadaan, suspensi langsung terhadap maksila dapat
dilakukan yaitu apabila artikulasi gigi geligi yang tepat tidak mutlak
diperlukan , misalnya pada :
a) Salah satu rahang tidak bergigi
b) Immobilisasi mandibula tidak diperlukan
c) Suatu keadaan dimana immobilisasi mandibula merupakan
kontraindikasi, misalnya pada obstruksi nasal yang berat.

H. Lamanya fiksasi
Yang dimaksud dengan sembuh yaitu tidak terdapatnya mobilitas pada daerah fraktur
bila dilakukan manipulasi dengan tangan.
- RA (maksila) 4 minggu
- RB (mandibula) 5-9 minggu
- Fracture condyle 2 minggu
Mengingat cepatnya penyembuhan fraktur dipengaruhi banyak faktor, misalnya
hebatnya fraktur, keadaan umum penderita, gizi penderita, ketrampilan operator dan
berbagai faktor lokal, maka sebelum dilakukan pembukaan alat-alat fiksasi,
diperlukan suatu pengamatan lebih dulu terhadap penyembuhan fraktur tersebut.
I. Perawatan Pasca bedah
A) Perawatan segera setelah operasi
Setelah operasi dengan narkose, ahli anestesi akan mengangkat endotrakeal
tube, bila reflek batuk sudah pulih. Bila keadaan jalan nafas penderita
mengkhawatirkan, nasopharingeal tube dapat dipertahankan sampai 24 jam, ini
dapat kita diskusikan dengan ahli anestesi.
Alat penyedot dan alat pemotong kawat harus selalu tersedia bilamana
diperlukan. Seharusnya seorang perawat yang berpengalaman mengawasi di
sisi pasien sampai pasien sadar betul.
B) Antibiotika dan analgetik
Pemberian antibiotik sangat perlu sekali bagi setiap fraktur rahang, apalagi
setelah dilakukan tindakan reposisi dan fiksasi. Pemberian dalam bentuk
kapsul atau tablet adalah sulit karena adanya IMF.
Obat dalam bentuk cairan lebih baik bagi penderi ta. Pemberian secara
parenteralpum dapat dilakukan.
Bila fiksasi baik analgetik biasanya tidak mutlak diberikan.
C) Pemberian makanan
Makanan umumnya dalam bentuk cairan atau setengah cairan.

Makan dapat diberikan melalui celah yang ada antara gigi atau pada fossa
retromolar.
D) Kebersihan mulut
Pembersihan gigi dan kawat fiksasi adalah sangat penting untuk mengurangi
terjadinya infeksi.
E) Pemberian vitamin A, D, B compleks, mineral Ca, fosfat.
J. Komplikasi Fraktur Rahang
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya komplikasi fraktur:
1) Besarnya trauma yang terjadi
Bila trauma yang terjadi begitu besar sehingga selain kerusakan tulang juga
terjadi kerusakan jaringan.
2) Daerah fraktur yang terbuka
Pada fraktur kemungkinan terjadi sebagian daerah fraktur yang terbuka, yang
memudahkan terjadinya infeksi. Dengan adanya infeksi kemungkinan terjadinya
kerusakan jaringan makin lebih besar.
3) Fraktur tidak dirawat atau perawatan yang tidak sempurna.
Pada fraktur yang tidak dirawat dapat terjadi komplikasi seperti malunion,
delayed union dan keadaan yang lebih berat. Demikian juga pada perawatan
yang tidak sempurna, keadaan yang lebih berat dapat terjadi dengan timbulnya
infeksi akibat komplikasi yang terjadi dan ini berpengaruh pada penyembuhan
yang diharapkan.
4) Keadaan gigi-geligi
Keadaan gigi yang kurang baik seperti anatomi gigi, posisi gigi yang kurang
baik dan adanya gigi yang gangren dapat mernpermudah tirnbulnya komplikasi
bila terjadi fraktur di regio tersebut.

K. Komplikasi setelah perawatan fraktur


1) Infeksi
2) Delayed union
Sebab :
o Reduksi kurang baik
o Adanya interposisi dari serat-serat otot, fragmen
o tulang yang keci1-kecil atau adanya gigi pada garis fraktur
o Adanya fokal infeksi
o Reaksi penyembuhan dari tubuh yang rendah
o Penyakiy -penyakit sistemik seperti sifilis, TBC, dan
o lain-lain.
o Fiksasi dan imobilisasi yang tidak baik

Perawatan terhadap delayed union


o Hilangkan semua faktor penyebab
o Bila perlu lakukan operasi ulang
3) Malunion
Sebab :
- Reduksi yang tidak tepat
- Alat fiksasi dan immobilisasi yang tidak baik Perawatan malunion :
- Refracturing, kemudian ulangi reduksi, immobilisasi dan fiksasi
- Bila union sudah kuat, perlu tindakan osteotomi melalui garis fraktur semula
4) Non union
Sebab :
- Menangguhkan perawatan yang terlalu lama
- Reduksi yang buruk
- Fiksasi dan immobilisasi yang tidak baik
- Alat fiksasi terlalu cepat dibuka

- Adanya benda asing di garis fraktur


5) Kerusakan saraf
Dapat terjadi paraesthesia karena kerusakan n.alveolaris inferior pada RB,
kerusakan n.infra orbitalis, n.alveolaris superior serta cabang-cabangnya pada
RA.
6) Trismus
Penderita sukar membuka mulut.
L. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan tersebut, antara lain
1) Umur
2) Keadaan umum
3) Bentuk fraktur
4) Jarak antara kedua fragmen tulang
5) Vaskularisasi dari kedua fragmen
6) Infeksi
7) Perawatan
M. Fraktur Pada Anak-Anak
Fraktur maksila pada anak-anak jarang ditemukan, lebih sering ditemukan fraktur pada os
mandibula atau os nasal. Displace minimal dan greenstick fracture dapat ditangani secara
konservatif. Displaced fracture ditangani dengan cara penanganan yang sama dengan
fraktur pada dewasa: repair segera dengan reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF). Plate
dan skrew sebaiknya jangan diletakkan di dekat gigi yang akan tumbuh. Beberapa ahli
berpendapat akan memindahkan semua alat-alat tersebut saat pasien sudah sembuh. Fiksasi
maksilomandibular (MMF) tradisional pada anak-anak yang belum memiliki gig permanen
sangat berisiko. Jika memang diperlukan, hal itu dapat digantikan dengan acrylic splints
dan circummandibular wires, sehingga kerusakan pada tunas gigi dapat dihindari.

DAFTAR PUSTAKA
Akoglu E et al.2011.Heading the ball: a case of a Le Fort II fracture in a football
Match. BMJ Case Reports.
Bali R et al .2012.A comprehensive study on maxillofacial trauma
conducted in Yamunanagar, India. Ivresearch.
Ballon A, Ling, Lelke, Sader, Landes CA.2009. Complex facial trauma with combined
surgical and orthodontic rehabilitation. Dept. of Oral and Maxillofacial and Plastic
Facial Surgery University Medical Centre Frankfurt.
Chalya et al. 2011. Etiological spectrum, injury characteristics and treatment outcome of
maxillofacial injuries in a Tanzanian teaching hospital. BMC.
Cole P, Kaufman Y, Hollier LH.2009.Managing the Pediatric Facial Fracture. Thieme
Medical Publishers.
Dang N P et al.2014.Etiology, distribution, treatment modalities
and complications of maxillofacial fractures. Med Oral Patol Oral Cir Bucal.
Dufresne CR, Manson PN.2011.Pediatric Craniofacial Trauma: Challenging
Pediatric CasesCraniofacial Trauma.Thieme Medical Publishers.
Ebenezer V, Balakrishnan R, Padmanabhan A .2014.Management Of Lefort Fractures.
Biomedical & Pharmacology Journal.
Gonzlez CC et al.2014. Epidemiology of pediatric facial trauma in Chile:
A retrospective study of 7,617 cases in 3 years. Med Oral Patol Oral Cir Bucal.

Joshi SR et al.2012.Pattern and Prevalence of Maxillofacial Fractures in Rural Children of


Central Maharashtra, India. A Retrospective Study. Association of Oral and
Maxillofacial Surgeons of India.
Karim T, Khan AH, Ahmed SS. 2009. Trauma of facial skeleton in children: An indian
perspective. SPRINGER.
Khan N.2012. Post-traumatic near-complete aseptic necrosis of the maxilla: a case report
and review of the literature. The British Institute of Radiology.
Kraft A.2012. Craniomaxillofacial Trauma: Synopsis of 14,654 Cases with 35,129 Injuries
in 15 Years. Thieme Medical Publishers.
Malara P, Malara B, Drugacz J.2006. Characteristics of maxillofacial injuries resulting
from road traffic accidents a 5 year review of the case records from Department
of Maxillofacial Surgery in Katowice, Poland. BMC.
Massarelli O, Gobbi R, Raho MT.2011. An Aesthetically Possible Alternative
Approach for Craniomaxillofacial Trauma: The Pretrichial Incision. Thieme
Medical Publishers.
Munem A, Raza M, Khan AH.2010.Facial Fractures In Children A Study. Pakistan Oral
& Dental Journal.
Arslan ED et al.2014.Assessment of maxillofacial trauma in emergency
Department. World Journal of Emergency Surgery
Oppenheimer AJ, Monson LA, Buchman SR.2013. Pediatric Orbital Fractures. Thieme
Medical Publishers.

Pappachan B, Alexander M.2011.Biomechanics of Cranio-Maxillofacial Trauma.


Association of Oral and Maxillofacial Surgeons of India.
Porosio JM et al.2011.CT Imaging of facial trauma. Role of different types of
reconstruction. Part I bones. Pol J Radiol.
Porosio JM et al.2011. CT Imaging of facial trauma. The role of different types of
reconstruction. Part II soft tissues. Pol J Radiol.
Rajanikanth K et al.2014. The pattern of maxillofacial fractures in central India A
Unicentric retrospective study. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences
(IOSR-JDMS).
Randolph C et al.2010. Orthognathic Surgery for Patients with Maxillofacial
Deformities. AORN Journal.
Ravindran V, Nair R.2011. Metaanalysis of Maxillofacial Trauma in the Northern Districts
of Kerala: One Year Prospective Study. Government Dental College, Calicut,
Kerala.
Regan BO et al. 2013. Screw-Wire Osteo-Traction: An Adjunctive or Alternative Method of
Anatomical Reduction of Multisegment Midfacial Fractures? A Description of
Technique and Prospective Study of 40 Patients. Department of Oral and
Maxillofacial Surgery, Queen Margaret Hospital, United Kingdom.
Ronald P. et al. 2009. Blindness Following Facial Fracture: Treatment Modalities and
Outcomes. Thieme Medical Publishers.

Wheeler J, Phillips J.2011. Pediatric Facial Fractures and Potential Long-Term Growth
Disturbances. Thieme Medical Publishers.

Anda mungkin juga menyukai