Anda di halaman 1dari 38

SENSOR DAN TRANSDUSER

TUTORIAL 5
MODULASI

DISUSUN OLEH:

ALDY RACHMAN
3AEB / 214341075
POLITEKNIK MANUFAKTUR NEGERI BANDUNG
Jl. Kanayakan 21, Dago Bandung 40135 Tlp (022)2500241 faks (022)2502649
Homepage: http://www.polman-bandung.ac.id E-mail: secretariat@polman-bandung.ac.id

1. Modulasi Analog
Dalam membahas modulasi analog yang perlu diketahui adalah adanya suatu teori
yaitu

Modulation

Theorem yang

juga

dikenal

dengan

sebutan Frequency

Translation. Hal ini dikarenakan adanya shifting atau pergeseran dari spektrum di
dalam frequency domain. Adapun fungsi modulasi adalah untuk merubah atau
menempatkan frekuensi rendah menjadi frekuensi yang lebih tinggi agar dapat
dikirimkan atau ditransmisikan melalui media transmisi. Modulasi Analog yang
umum dikenal ada beberapa macam bentuk modulasi antara lain:

1. Amplitude Modulation (AM)


2. Frequency Modulation (FM)
3. Pulse Amplitude Modulation (PAM)

1.1

Amplitude modulation (AM)

Modulasi ini adalah modulasiyang paling sederhana, dimana frekuensi pembawa


atau carrier diubah amplitudonya sesuai dengan signal informasi atau message
signal yang akan dikirimkan. Dengan kata lain AM adalah modulasi yang mana
amplitudo dari signal pembawa (carrier) berubah karakteristiknya sesuai dengan
amplitudo signal informasi. Modulasi ini disebut juga linear modulation, artinya
bahwa pergeseran frekuensinya bersifat linier mengikuti signal informasi yang akan
ditransmisikan. Amplitudo modulasi ini biasanya digunakan pada stasiun pemancar
radio telegrafi dan merupakan jenis modulasi yang paling tua. Amplitudo modulasi
sekarang ini sudah sangat luas digunakan untuk pemakaian suara analog yang
memerlukan penerima yang sangat sederhana seperti pemancar radio komersial
atau dipancarkan melalui propagasi ionosfir yang memerlukan bandwith yang kecil.
amplitudo modulasi terdiri dari tiga persamaan yang menunjukan gelombang
pembawa tidak termodulasi, frekuensi Lower side band (fc-fm) dan Upper side band
(fc+fm). Karena antara lower side band dan upper side band bentuknya sama,
sehingga sinyal AM membutuhkan bandwith ganda.
Jika sinyal modulasi bukan berupa gelombang sinus, kemudian dimodulasi dan
memunculkan

dua

sinyal

baseband frekuensi maka bandwith yang dibutuhkan 2 kalinya. Spektrum frekuensi


AM dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.1 Sinyal Amplitude Modulation

Sesudah sinyal dimodulasi, maka ada dua bentuk gelombang sinyal baseband pada
gelombang AM yang disebut dengan band sisi atas dan sisi bawah (upper and lower
sideband). Sebagian besar daya dari sinyal modulasi berada pada gelombang
pembawanya,

sedangkan

sinyal informasi hanya berada pada sidebandnya. Hal inilah yang menyebabkan
gelombang AM sangat tidak efisien. Bentuk gelombang AM disebut juga modulasi

DSBSC (Double Sideband Suppressed Carrier). Karena antara sisi atas dan bawah
berisi gelombang informasi yang sama maka salah satu sisinya dapat ditindas
dengan tujuan mereduksi bandwith. Proses ini sering dikenal dengan SSBSC (Single
Side Band Suppressed Carrier) atau SSB. Dengan SSB, maka sinyal yang modulasi
hanya membutuhka separuh dari bandwith, sehingga daya akan lebih hemat.
Amplitudo modulasi banyak digunakan pada komunikasi mobile seperti handy talky,
radio siaran maupun komunikais HF. Alasan utama mengapa amlitudo modulasi
masih digunakan karena bentuk gelombang AM mempunyai kelebihan sederhana
pada bagian pembangkitanya dan pada penerimanya.

1.2

Frequency Modulation (FM)

Frekuensi dari gelombang pembawa (carrier wave) diubahubah menurut besarnya


amplitudo dari sinyal informasi. Karena noise pada umumnya terjadi dalam bentuk
perubahan amplitudo, FM lebih tahan terhadap noise dibandingkan dengan
AM.Bandwith

sinyal

FM

lebih

besar dibandingkan sinyal AM. Modulasi FM merupakan modulasi analog yang


sangat banyak digunakan, hal ini dikarenakan noise yang rendah, tahan terhadap
perubahan amplitudi yang berubah-ubah sebagai akibat fading. Penggunaan
modulasi FM misalnya pada pengiriman siaran televisi, telephone dan lain-lain.
Proses modulasi FM antara sinyal informasi dengan sinyal pembawa dapat
digambarkan seperti pada gambar di bawah ini :

Gambar 1.2 Sinyal Frequency Modulation

1.3

Phase Amplitude Modulation (PAM)

Pada modulasi fasa, adalah fase dai gelombang pembawa yang diubah-ubah sesuai
dengan sinyal informasi yang dikirimkan. Bentuk gelombang radionya hampir sama
dengan yang termodulasi frekuensi (FM).

Gambar 1.1 Sinyal Phase Amplitude Modulation

2. Modulasi digital
Modulasi adalah suatu proses dimana parameter dari suatu gelombang divariasikan
secara proposional terhadap gelombang lain. Parameter yang diubah tergantung
pada besarnya modulasi yang diberikan. Proses modulasi membutuhkan dua buah
sinyal pemodulasi yang berupa sinyal informasi dan sinyal pembawa (carrier)
dimana sinyal informasi tersebut ditumpangkan oleh sinyal carrier.
Modulasi digital adalah Modulasi digital adalah teknik pengkodean sinyal dari sinyal
analog ke dalam sinyal digital (bit-bit pengkodean). Pada teknik ini, sinyal informasi
digital yang akan dikirimkan dipakai untuk mengubah frekuensi dari sinyal
pembawa. Dalam komunikasi digital, sinyal informasi dinyatakan dalam bentuk
digital berupa biner 1 dan 0, sedangkan gelombang pembawa berbentuk
sinusoidal yang termodulasi disebut juga modulasi digital

Gambar 2.1 Modulasi Digital


2.1

ASK (Amplitudo Shift Keying)

Modulasi digital Amplitude Shift Keying (ASK) adalah pengiriman sinyal digital
berdasarkan pergeseran amplitudo. Sistem modulasi ini merupakan sistem modulasi
yang menyatakan sinyal digital 1 sebagai suatu nilai tegangan dan sinyal digital 0
sebagai suatu nilai tegangan yang bernilai 0 volt. Sehingga dapat diketahui bahwa
didalam

sistem

modulasi

ASK,

kemunculan

frekuensi

gelombang

pembawa

tergantung pada ada tidaknya sinyal informasi digital. Adapun bentuk dari sinyal
modulasi digital Amplitude Shift Keying (ASK) adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2 Sinyal modulasi digital Amplitude Shift Keying (ASK).


2.2

FSK (Frekuensi Shift Keying)

Modulasi digital Frequency Shift Keying (FSK) merupakan sejenis Frequency


Modulation (FM), dimana sinyal pemodulasinya (sinyal digital) menggeser outputnya
antara dua frekuensi yang telah ditentukan sebelumnya, yang biasa diistilahkan
frekuensi mark dan space. Modulasi digital dengan FSK juga menggeser frekuensi
carrier menjadi beberapa frekuensi yang berbeda didalam band-nya sesuai dengan
keadaan digit yang dilewatkannya. Jenis modulasi ini tidak mengubah amplitudo
dari signal carrier yang berubah hanya frekuensi. Teknik FSK banyak digunakan
untuk informasi pengiriman jarak jauh atau teletype. Standar FSK untuk teletype
sudah dikembangkan selama bertahun-tahun, yaitu untuk frekuensi 1270 Hz
merepresentasikan mark atau 1, dan 1070 Hz merepresentasikan space atau 0.
Adapun bentuk dari sinyal modulasi digital Frequency Shift Keying (FSK) adalah
sebagai berikut:

Gambar 2.3 Sinyal modulasi digital Frequency Shift Keying (FSK).

2.2.1 Perangkat keras pendukung modulator Frequency Shift Keying


(FSK)
Di dalam perancangan

modulator

Frequency Shift Keying

(FSK) digunakan

perangakat keras pendukung modulator tersebut yaitu dengan menggunakan


Integrated Circuit (IC) XR-2206. IC XR- 2206 merupakan generator fungsi monolitik
sirkuit terpadu mampu menghasilkan bentuk gelombang pulsa yang stabil dan
memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Keluaran gelombang pulsa baik amplitudo
ataupun frekuensinya dapat diatur oleh tegangan eksternal. Frekuensi operasi

eksternal dapat dipilih antara rentang 0.01Hz sampai dengan 1 MHz. Adapun bentuk
fisik dari IC XR-2206 adalah sebagai berikut:

Gambar 2.4 Bentuk fisik IC XR-2206

Tabel 2.1 Konfigurasi pin dari IC XR-2206

2.2.2 Multivibrator Astabil


Multivibrator astabil adalah multivibrator yang keluarannya selalu berubah dengan
sendirinya, dari rendah ke tinggi kemudian ke rendah secara berulang. Perubahan
ini akan berhenti apabila catu daya diputuskan. Rangkaian multivibrator astabil

menggunakan IC pewaktu NE 555. Adapun bentuk fisik dan konfigurasi pin NE 555
adalah sebagai berikut:

Gambar 2.5 Bentuk fisik dan konfiigurasi pin NE 555 multivibrator astabil
2.3

PSK (Phase Shift Keying)

Modulasi digital Phase Shift Keying (PSK) merupakan modulasi yang menyatakan
pengiriman sinyal digital berdasarkan pergeseran fasa. Biner 0 diwakilkan dengan
mengirim suatu sinyal dengan fasa yang sama terhadap sinyal yang dikirim
sebelumnya dan biner 1 diwakilkan dengan mengirim suatu sinyal dengan fasa
berlawanan dengan sinyal dengan sinyal yang dikirim sebelumnya. Dalam proses
modulasi ini, fasa dari frekuensi gelombang pembawa berubah- ubah sesuai dengan
perubahan status sinyal informasi digital.

Gambar 2.6 Sinyal modulasi digital Phase Shift Keying (PSK)

Namun untuk cara kerja sistem dari perancangan alat lebih dititik beratkan pada
modulasi digital Frequency Shift Keying (FSK). Dua jenis modulasi PSK yang sering
kita jumpai yaitu : 1. BPSK ( Binary Phase Shift Keying ) BPSK adalah format yang
paling sederhana dari PSK. Menggunakan dua yang tahap yang dipisahkan sebesar
180 dan sering juga disebut 2-PSK. Modulasi ini paling sempurna dari semua
bentuk modulasi PSK. Akan tetapi bentuk modulasi ini hanya mampu memodulasi 1
bit/simbol dan dengan demikian maka modulasi ini tidak cocok untuk aplikasi datarate yang tinggi dimana bandwidthnya dibatasi. 2. QPSK ( Quadrature Phase Shift
Keying ) QPSK Kadang-Kadang dikenal sebagai quarternary atau quadriphase PSK
atau 4-PSK, QPSK menggunakan empat titik pada diagram konstilasi, terletak di
sekitar suatu lingkaran. Dengan empat tahap, QPSK dapat mendekode dua bit per
simbol. Hal ini berarti dua kali dari BPSK. Analisis menunjukkan bahwa ini mungkin
digunakan untuk menggandakan data rate jika dibandingkan dengan sistem BPSK.
Walaupun QPSK dapat dipandang sebagai sebagai suatu modulasi quaternary, lebih
mudah untuk melihatnya sebagai dua quadrature carriers yang termodulasi
tersendiri.

3. Modulasi Pulsa
Dimungkinkan

mentransmisikan

sinyal

listrik

informasi

dengan

hanya

mentransmisikan sampel dan buat receiver merekonstruksi sinyal total dengan


tingkat akurasi yang tinggi. Teknik ini disebut dengan modulasi pulsa. Modulasi
pulsa

sendiri

dapat

didefinisikan

sebagai

proses

menggunakan

beberapa

karakteristik dari pulse (amplitudo, lebar (width), posisi) untuk membawa sinyal
analog.

Gambar 3.1 Jenis-jenis modulasi pulsa

Pada modulasi pulsa, pembawa informasi berupa deretan pulsa-pulsa.


Pembawa yang berupa pulsa-pulsa ini kemudian dimodulasi oleh sinyal informasi,
sehingga parameternya berubah

sesuai dengan

besarnya amplitudo sinyal

pemodulasi (sinyal informasi). Jenis-jenis modulasi pulsa antara lain:

1.

PAM (Pulse Amplitude Modulation)

2.

PCM (Pulse Code Modulation)

3.

PWM (Pulse Width Modulation)

4.

PPM (Pulse Position Modulation)


Teknik modulasi pulsa mulai menggantikan sistem analog, karena beberapa
keuntungan antara
lain:

1.

Kebal terhadap derau.

2.

Sirkuit digital cenderung lebih murah.

3.

Dapat dilakukan penjamakan dengan basis waktu (TDM) dengan sinyal lain.

4.

Jarak transmisi yang dapat ditempuh lebih jauh (dengan penggunaan


pengulang regeneratif).

5.

Rentetan pulsa digital dapat disimpan.

6.

Deteksi dan koreksi kesalahan dapat dengan mudah diimplementasikan.

Pada subbab berikut, akan dibahas satu per satu.

3.1
Pada

PAM (Pulse Amplitude Modulation)


PAM,

amplitudo

pulsa-pulsa

pembawa

dimodulasi

oleh

sinyal

pemodulasi. Amplitudo pulsa-pulsa pembawa menjadi sebanding dengan amplitudo


sinyal pemodulasi. Semakin besar amplitudo sinyal pemodulasi maka semakin
besar pula amplitudo pulsa pembawa. Pembentukan sinyal termodulasi PAM dapat
dilakukan dengan melakukan pencuplikan (sampling), yaitu mengalikan sinyal
pencuplik dengan sinyal informasi. Proses ini akan menghasilkan pulsa pada saat
pencuplikan yang besarnya sesuai dengan sinyal informasi (pemodulasi). Hal ini
dapat dilihat pada gambar 2-6.

Gambar 3.2 (a) Sinyal asli, (b) PAM polaritas ganda, (c) PAM polaritas tunggal

Pada proses pemodulasian ini perlu diperhatikan bahwa kandungan informasi


pada sinyal pemodulasi tidak boleh berkurang. Hal ini dapat dilakukan dengan
persyaratan bahwa pencuplikan harus dilakukan dengan frekuensi minimal dua kali
frekuensi maksimum sinyal pemodulasi (2.f m), atau sering disebut dengan syarat
Nyquist. Jika frekuensi sinyal pencuplik dinotasikan dengan f s dan frekuensi
maksimum sinyal pemodulasi dinotasikan dengan f m, maka syarat Nyquist dapat

ditulis sebagai:
fs 2.fm
Gambar 2-7 memperlihatkan sinyal yang dicuplik dengan beberapa macam
frekuensi pencuplik. Sebagai contoh, dalam komunikasi melalui telefon, sinyal
informasi yang berupa suara manusia (atau yang lain) dicuplik dengan frekuensi 8
kHz. Hal ini didasarkan pada persyaratan Nyquist, karena lebar bidang jalur telefon
dibatasi antara 300 Hz sampai dengan 3400 Hz. Ada selisih kira-kira 1200 Hz yang
dapat digunakan sebagai guard band.

3.2

PCM (Pulse Code Modulation)

Pada modulasi PCM, sinyal informasi dicuplik dan juga dikuantisasi. Proses ini
akan membuat sinyal menjadi lebih kebal terhadap derau. Setelah proses ini maka
dilakukan proses penyandian

(coding) menggunakan kode biner, sehingga terbentuk sinyal PCM. Sinyal ini
dapat direpresentasikan dengan pulsa-pulsa yang menyatakan kode-kode biner
untuk setiap hasil cuplikan.

3.2.1 Kuantisasi Sinyal


Kuantisasi merupakan proses pengelompokan pada selang-selang (interval)
tertentu. Besarnya selang kuantisasi ini disebut juga dengan istilah step size.
Berdasarkankan besarnya step size dapat dibedakan dua jenis kuantisasi, yaitu:

1. Kuantisasi seragam
2. Kuantisasi tak seragam

Gambar 3.3 Sinyal yang dimodulasi dengan beberapa macam frekuensi modulasi

Banyaknya

selang

(interval)

bergantung

pada

banyaknya

bit

yang

akan

digunakan untuk proses penyandian. Jika konverter A/D n bit maka jangkauan sinyal
n

analog akan dikuantisasikan (dikelompokkan) menjadi sejumlah 2 selang (interval).

Pada gambar 2-8 diperlihatkan ilustrasi kuantisasi sinyal analog menjadi 16 selang
(n = 4).
Banyaknya jumlah bit yang akan digunakan untuk proses penyandian akan
menentukan banyaknya jumlah selang (interval) kuantisasi. Semakin besar n maka
semakin besar pula jumlah selang (interval) yang digunakan. Hal ini juga berarti besar
selang

(interval)

semakin

kecil.

Semakin

kecil

selang

interval,

maka

proses

pemodulasian akan semakin teliti, sehingga sinyal yang diperoleh semakin mendekati
sinyal aslinya. Pada gambar 2-9 memperlihatkan proses pembentukan sinyal PCM
dengan penyandian 4 bit.

Gambar 3.4 Kuantisasi sinyal analog menjadi 16 selang (interval)

3.2.2 Distorsi Kuantisasi


Derau kuantisasi didefinisikan sebagai selisih antara hasil kuantisasi sinyal
dengan sinyal aslinya. Dilihat dari proses kuantisasi itu sendiri, maka dapat dipastikan
bahwa derau kuantisasi maksimum adalah sebesar S/2, dengan S adalah besarnya
selang (interval) kuantisasi, atau dinyatakan sebagai:

Derau kuantisasi S/2


Derau kuantisasi dapat diperkecil dengan cara memperkecil besarnya selang
kuantiasasi, yang berarti memperbanyak jumlah selang kuantisasi, yang juga
berarti memperbanyak jumlah bit untuk proses penyandian (n). Semakin kecil

derau kuantisasi berarti sinyal hasil kuantisasi semakin mirip (mendekati) sinyal
aslinya.

3.2.3 Pengembangan PCM


Modulasi PCM dikembangkan menjadi beberapa jenis lagi, yaitu:

1.

DPCM (Differensial PCM)

2.

DM (Delta Modulation)

3.

Adaptive Delta modulation

Berikut akan dibahas satu per satu.


Pada PCM, sandi-sandi yang dikirimkan merupakan hasil penyandian (coding)
dari hasil pencuplikan. Salah satu pengembangan PCM adalah DPCM yaitu
Differential Pulse Code Modulation. Pada DPCM, sandi-sandi yang dikirimkan
(ditransmisikan) adalah nilai selisih (beda) hasil pencuplikan sekarang dengan hasil
pencuplikan sebelumnya. Keuntungan yang diperoleh adalah bahwa jumlah bit
yang diperlukan untuk proses penyandian menjadi lebih sedikit.
Pengembangan lebih lanjut adalah DM atau Delta Modulation. Jenis modulasi
ini mirip dengan DPCM, namun selisih hasil pencuplikan sekarang dengan yang
sebelumnya hanya disandikan dengan 1 bit saja. Jenis pengembangan lain adalah
yang

disebut

Adaptive

Delta

Modulation.

Pengembangan

ini

menggunakan

kuantisasi tidak seragam, sehingga sistem akan menyesuaikan besarnya step size
menjadi sebanding dengan besarnya sinyal informasi.

Gambar 3.5 Proses pembentukan sinyal PCM dengan penyandian 4 bit

3.3

PWM (Pulse Width Modulation)


Pada modulasi PWM, lebar pulsa pembawa diubah-ubah sesuai dengan

besarnya tegangan sinyal pemodulasi. Semakin besar tegangan sinyal


pemodulasi (informasi) maka semakin lebar pula pulsa yang dihasilkan.
Modulasi PWM juga dikenal sebagai Pulse Duration Modulation (PDM).

Ilustrasi sinyal PWM dapat dilihat pada gambar 2-10 berikut.

Gambar 3.6 Sinyal PWM

3.4

PPM (Pulse Position Modulation)


Pulse Position Modulation merupakan bentuk modulasi pulsa yang

mengubah-ubah posisi pulsa (dari posisi tak termodulasinya) sesuai dengan


besarnya tegangan sinyal pemodulasi. Semakin besar tegangan sinyal
pemodulasi (informasi) maka posisi pulsa PPM menjadi semakin jauh dari
posisi pulsa tak-termodulasinya. Ilustrasi sinyal PPM dapat dilihat pada
gambar 2-11 berikut.

Gambar 3.7 Sinyal PPM

4. Signal Processing
Sinyal memegang peranan penting dalam kehidupan modern,
karena saat ini masyarakat tidak lepas dari telekomunikasi terutama
handphone, yang mana piranti ini sarat dengan pengolahan sinyal.
Tanpa disadari di alam, sinyal juga dapat ditemukan di sekitar manusia
dalam bentuk sinyal elektromagnetik tubuh makhluk hidup.
Agar sinyal dapat bermanfaat sesuai kebutuhan manusia dengan
efisien dan optimal, maka diperlukan pengolahan sinyal dengan
menggunakan suatu sistem elektronika analog maupun yang digital.
Pengolahan

sinyal

adalah

suatu

operasi

matematik

yang

dilakukan terhadap suatu sinyal sehingga diperoleh informasi yang


berguna. Dalam hal ini terjadi suatu transformasi. Pengolahan sinyal
analog memamfaatkan komponen-komponen analog, misalnya dioda,
transistor, op-amp dan lainnya. Pengolahan sinyal secara digital
menggunakan komponenkomponen digital, register, counter, dekoder,
summuninh, mikrokontroler, dan lainya. Secara umum, Pemrosesan
sinyal

merupakan

meningkatkan,

oprerasi

yang

menyimpan

dan

dirancang

untuk

mengirimkan

mengekstrak,

informasi

yang

bermanfaat.
Pengolahan sinyal secara umum dipetakan menjadi dua macam
yaitu pengolahan sinyal analog dan pengolahan sinyal digital.
4.1

Pengolahan Sinyal Analog


Pengolahan Sinyal Analog adalah Pemrosesan Sinyal yang
mempunyai

kaitan

dengan

penyajian,

manipulasi dari sisi sinyal dan informasi.

nperubahan

bentuk

dan

Input
Sinyal
Analog

Analog Sinyal
Prosessin
g

Output Sinyal
Analog

Gambar 4.1 Diagram Proses/Pengolahan Sinyal


Analog
Dalam proses pengolahan sinyal, sinyal input masuk ke ASP
(Analog Signal Processing), diberi berbagai perlakuan (misalnya
pemfilteran, penguatan, dsb) dan outputnya berupa sinyal
analog.
Dalam era elektronika modern, dengan perkembangan
teknologi Integrated Circuit, maka rangkaian elektronika analog
dibahas dalam blok fungsi, dimana Operational Amplifier (OpAmp) sebagai building block. Aplikasi Op-Amp dapat sebagai
penguat sinyal, penguat audio, penguat mic, filter, integrator,
differensiator, pembangkit sinyal seperti oscillator dan banyak
aplikasi lainnya. Komponen elektronika analog dalam kemasan
IC ini memang adalah komponen serbaguna dan diapakai pada
banyak aplikasi hingga sekarang. Hanya dengan menambah
beberapa resistor dan potensiometer, dalam sekejap (atau dua
kejap) sebuah pre-amp audio kelas B sudah dapat jadi dirangkai.
4.1.1 Dasar-dasar Karakteristik Op-Amp
Penguat Differensial
Penguat diferensial seperti yang ditunjukkan pada
gambar 4.2 merupakan rangkaian dasar dari sebuah opamp.

Gambar 4.2 Penguat Differensial

Pada rangkaian yang demikian, persamaan pada titik Vout


adalah Vout
= A(v1-v2) dengan A adalah nilai penguatan dari penguat
diferensial ini. Titik input v1 dikatakan sebagai input noniverting,
sebab tegangan vout satu phase dengan v1. Sedangkan
sebaliknya titik v2 dikatakan input inverting sebab berlawanan
phasa dengan tengangan vout.
Diagram Op-Amp
Op-amp di dalamnya terdiri dari beberapa bagian, yang
pertama adalah penguat diferensial, lalu ada tahap penguatan
(gain), selanjutnya ada rangkaian penggeser level (level shifter)
dan kemudian penguat akhir yang biasanya dibuat dengan
penguat push-pull kelas B. Gambar 3.3(a) berikut menunjukkan
diagram dari op-amp yang terdiri dari beberapa bagian tersebut.

Gambar 4.3(a) Blok DiagramPenguat Differensial

Gambar 4.3(b) Diagram Schematic Simbol Op-Amp

Penguatan Open-loop
Op-amp

idealnya memiliki

penguatan

open-loop

(AOL) yang

tak

terhingga. Namun pada prakteknya op-amp semisal LM741 memiliki penguatan


yang terhingga kira-kira 100.000 kali. Sebenarnya dengan penguatan yang
sebesar ini, sistem penguatan op-amp menjadi tidak stabil. Input diferensial
yang amat kecil saja sudah dapat membuat outputnya menjadi saturasi. Pada
bab berikutnya akan dibahas bagaimana umpan balik bisa membuat sistem
penguatan op-amp menjadi stabil.
Unity-gain frequency
Op-amp ideal mestinya bisa bekerja pada frekuensi berapa saja mulai
dari sinyal dc sampai frekuensi giga Herzt. Parameter unity-gain frequency
menjadi penting jika op-amp digunakan untuk aplikasi dengan frekuensi
tertentu. Parameter AOL biasanya adalah penguatan op-amp pada sinyal DC.
Response penguatan op-amp menurun seiring dengan menaiknya frekuenci
sinyal input. Op-amp LM741 misalnya memiliki unity-gain frequency sebesar 1
MHz. Ini berarti penguatan op-amp akan menjadi 1 kali pada frekuensi 1 MHz.
Jika perlu merancang aplikasi pada frekeunsi tinggi, maka pilihlah op-amp yang
memiliki unity-gain frequency lebih tinggi.
Slew Rate
Di dalam op-amp kadang ditambahkan beberapa kapasitor untuk
kompensasi dan mereduksi noise. Namun kapasitor ini menimbulkan kerugian
yang menyebabkan response op-amp terhadap sinyal input menjadi lambat.
Op-amp ideal memiliki parameter slew-rate yang tak terhingga. Sehingga jika
input berupa sinyal kotak, maka outputnya juga kotak. Tetapi karena ketidak
idealan op-amp, maka sinyal output dapat berbentuk ekponensial. Sebagai
contoh praktis, op-amp LM741 memiliki

slew-rate sebesar 0.5V/us. Ini berarti perubahan output op-amp


LM741 tidak bisa lebih cepat dari 0.5 volt dalam waktu 1 us.
Parameter CMRR
Ada satu parameter yang dinamakan CMRR (Common
Mode Rejection Ratio). Parameter ini cukup penting untuk
menunjukkan
diartikan

kinerja

sebagai

Op-Amp

kemampuan

tersebut.

Parameter

Op-Amp

untuk

CMRR

menekan

penguatan tegangan (common mode) sekecil-kecilnya. CMRR


didefinisikan dengan rumus CMRR = ADM/ACM yang dinyatakan
dengan satuan dB. CMRR yang makin besar maka op-amp
diharapkan akan dapat menekan penguatan sinyal yang tidak
diinginkan (common mode) sekecilkecilnya. Jika kedua pin input
dihubung singkat dan diberi tegangan, maka output op-amp
mestinya nol. Dengan kata lain, op-amp dengan CMRR yang
semakin besar akan semakin baik.
4.1.2 Aplikasi Op-Amp sebagai Penguat, Integrator, dan
Differensiator
Operational Amplifier atau di singkat op-amp merupakan
salah satu komponen analog yang popular digunakan dalam
berbagai aplikasi rangkaian elektronika. Aplikasi op-amp popular
yang paling sering dibuat antara lain adalah rangkaian inverter,
non-inverter, integrator dan differensiator. Pada pokok bahasan kali
ini akan dipaparkan beberapa aplikasi op-amp yang paling dasar,
dimana rangkaian feedback (umpan balik) negatif memegang
peranan

penting.

Secara

umum,

umpanbalik

positif

akan

menghasilkan osilasi sedangkan umpanbalik negatif menghasilkan


penguatan yang dapat terukur.
Op-Amp ideal
Op-amp

pada

dasarnya

adalah

sebuah

differential

amplifier (penguat diferensial) yang memiliki dua masukan.


Input (masukan) op-amp seperti yang telah dimaklumi ada yang

dinamakan input inverting dan non-inverting. Op-amp ideal


memiliki open loop gain (penguatan loop terbuka)

yang tak terhingga besarnya. Seperti misalnya op-amp LM741


yang sering digunakan oleh banyak praktisi elektronika, memiliki
karakteristik tipikal open loop gain sebesar 104 ~ 105. Penguatan
yang sebesar ini membuat op-amp menjadi tidak stabil, dan
penguatannya menjadi tidak terukur (infinite). Disinilah peran
rangkaian negative feedback (umpanbalik negatif) diperlukan,
sehingga op-amp dapat dirangkai menjadi aplikasi dengan nilai
penguatan yang terukur (finite). Impedasi input op-amp ideal
mestinya adalah tak terhingga, sehingga mestinya arus input
pada tiap masukannya adalah 0.
Ada

dua

aturan

rangkaian op-amp

penting

dalam

melakukan

analisa

berdasarkan karakteristik op-amp

ideal.

Aturan ini dalam beberapa literatur dinamakan golden rule,


yaitu:
Aturan 1: Perbedaan tegangan antara input v+ dan v- adalah nol
(v+ - v- = 0 atau v+ = v- )
Aturan 2: Arus pada input Op-amp adalah nol (i+ = i- = 0)
Inverting Amplifier
Rangkaian dasar penguat inverting adalah seperti yang
ditunjukkan pada gambar 3.4, dimana sinyal masukannya dibuat
melalui input inverting. Seperti tersirat pada namanya, pembaca
tentu sudah menduga bahwa fase keluaran dari penguat
inverting ini akan selalu berbalikan dengan inputnya. Pada
rangkaian ini, umpanbalik negatif di bangun melalui resistor R2.

Gambar 4.4 Penguat Inverter

Input non-inverting pada rangkaian ini dihubungkan ke


ground, atau v+ = 0. Dengan mengingat dan menimbang aturan
1 (lihat aturan 1), maka akan dipenuhi v- = v+ = 0. Karena
nilainya = 0 namun tidak terhubung langsung ke ground, input
op-amp v- pada rangkaian ini dinamakan virtual ground. Dengan
fakta ini, dapat dihitung tegangan jepit pada R1 adalah vin
v- = vin dan tegangan jepit pada reistor R2 adalah vout v- =
vout. Kemudian dengan menggunakan aturan 2, di ketahui
bahwa:
iin + iout = i- = 0, karena menurut aturan 2, arus masukan opamp adalah 0.
iin + iout = vin/R1 + vout/R2 = 0 Selanjutnya
vout/R2 = - vin/R1 .... atau vout/vin = - R2/R1
Non-Inverting Amplifier
Prinsip utama rangkaian penguat non-inverting adalah
seperti yang diperlihatkan pada gambar 4.4 berikut ini. Seperti
namanya, penguat ini memiliki masukan yang dibuat melalui
input

noninverting.

Dengan

demikian

tegangan

keluaran

rangkaian ini akan satu fasa dengan tegangan inputnya. Untuk


menganalisa rangkaian penguat op-amp non inverting, caranya
sama seperti menganalisa rangkaian inverting.

Gambar 4.5 Penguat Non-Inverter

Dengan menggunakan aturan 1 dan aturan 2, kita uraikan


dulu beberapa fakta yang ada, antara lain:
vin = v+ v+ = v- = vin ... lihat aturan 1.
Dari sini ketahui tegangan jepit pada R2 adalah vout v- = vout
vin, atau iout
= (vout-vin)/R2. Lalu tegangan jepit pada R1 adalah v- = vin,
yang berarti arus iR1 = vin/R1.
Hukum kirchkof pada titik input inverting merupakan fakta yang
mengatakan bahwa: iout + i(-) = iR1
Aturan 2 mengatakan bahwa i(-) = 0 dan jika disubsitusi ke
rumus yang sebelumnya, maka diperoleh iout = iR1 dan Jika
ditulis dengan tegangan jepit masing-masing maka diperoleh
(vout vin)/R2 = vin/R1 yang kemudian dapat disederhanakan
menjadi :
vout = vin (1 + R2/R1)
Jika penguatan G adalah perbandingan tegangan keluaran
terhadap tegangan masukan, maka didapat penguatan op-amp
non-inverting:
(2)
Integrator
Opamp bisa juga digunakan untuk membuat rangkaianrangkaian
penapis

dengan
(filter).

respons

Salah

satu

frekuensi,
contohnya

misalnya

rangkaian

adalah

rangkaian

integrator seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.5. Rangkaian


dasar sebuah integrator adalah rangkaian op-amp inverting,
hanya saja rangkaian umpanbaliknya (feedback) bukan resistor
melainkan menggunakan capasitor C

Gambar 4.6 Integrator

Dengan menggunakan 2 aturan op-amp (golden rule) maka pada


titik inverting akan didapat hubungan matematis:
iin = (vin v-)/R = vin/R , dimana v- = 0 (aturan1) iout = -C
d(vout v-)/dt = - C dvout/dt; v- = 0 iin = iout ; (aturan 2)
Maka jika disubtisusi, akan diperoleh persamaan:
iin = iout = vin/R = -C dvout/dt, atau dengan kata lain
...(3)

Differensiator
Kalau komponen C pada rangkaian penguat inverting di
tempatkan

di

depan,

maka

akan

diperoleh

rangkaian

differensiator seperti pada gambar 4.6. Dengan analisa yang


sama seperti rangkaian integrator, akan diperoleh persamaan
penguatannya:

Rumus

ini

secara

matematis

menunjukkan

bahwa

tegangan keluaran vout pada rangkaian ini adalah differensiasi


dari

tegangan

input

vin.

Contoh

praktis

dari

hubungan

matematis ini adalah jika tegangan input berupa sinyal segitiga,


maka outputnya akan mengahasilkan sinyal kotak.

Gambar 4.7 Differensiator

4.2

Pengolahan Sinyal Digital

Pengolahan Sinyal Digital adalah Pemrosesan sinyal yang


mempunyai kaitan dengan penyajian dan perubahan bentuk dan
manipulasi dari sisinya dan informasi dalam bentuk digital. Namun,
secara umum pengolajan sinyal merupakan operasi yang dirancang
untuk meng-ekstrak, meningkatkan, menyimpan, dan mengirimkan
informasi yang bermanfaat.
Input
Sinyal

Output
Processor
Siny
al

Digital

Digital
Digital

Pengolahan Sinyal ADC dan DAC

Input
Sinyal

ADC
Sampling

DAC
Dequatizing

Output
Sinyal

Analog

Quatizing

Decoding

Analog

Coding

Gambar 4.8 Proses/Pengolahan Sinyal ADC dan DAC


Pemrosesan sinyal digital dapat dilakukan terhadap sinyal
Analog maupun Sinyal Digital. Blok ADC mengubah sinyal analog
menjadi digital sedangkan blok DAC mengubah sinyal digital menjadi
sinyal Analog. Proses pengolahan sinyal secara digital memiliki bentuk
sedikit berbeda. Komponen utama sistem ini berupa sebuah processor
digital yang mampu bekerja apabila inputnya berupa sinyal digital.
Untuk sebuah input berupa sinyal analog perlu proses awal bernama
digitalisasi melalui perangkat yang bernama analog-to-digital converter
(ADC), dimana sinyal analog harus melalui proses sampling, quantizing
dan coding. Demikian juga output dari processor digital harus melalui
peragkat digital-to-analog converter (DAC) agar outputnya kembali
menjadi bentuk analog. Ini bisa kita amati pada perangkat seperti PC,
digital sound system, dsb.
4.2.1 Sistem DSP
Proses pengolahan sinyal digital, diawali dengan proses
pencuplikan sinyal masukan yang berupa sinyal kontinyu. Proses ini
mengubah representasi sinyal yang tadinya berupa sinyal kontinyu
menjadi sinyal diskrete. Proses ini dilakukan oleh suatu unit ADC
(Analog to Digital Converter). Unit ADC ini terdiri dari sebuah
bagian Sample/Hold dan sebuah bagian quantiser. Unit sample/hold
merupakan bagian yang melakukan pencuplikan orde ke-0, yang

berarti nilai masukan selama kurun waktu T dianggap memiliki nilai


yang

sama. Pencuplikan dilakukan setiap satu satuan waktu yang lazim


disebut sebagai waktu cuplik (sampling time). Bagian quantiser
akan merubah menjadi beberapa level nilai, pembagian level nilai
ini bisa secara uniform ataupun secara non-uniform misal pada
Gaussian quantiser. Unjuk kerja dari suatu ADC bergantung pada
beberapa

parameter,

parameter

utama

yang

menjadi

pertimbangan adalah sebagai berikut:


Kecepatan maksimum dari waktu cuplik.
Kecepatan ADC melakukan konversi.
Resolusi dari quantiser, misal 8 bit akan mengubah menjadi 256
tingkatan nilai.
Metoda kuantisasi akan mempengaruhi terhadap kekebalan
noise.

Gambar 3.9 Proses Sampling


Sinyal input asli yang tadinya berupa sinyal kontinyu, x(T)
akan dicuplik dan diquantise sehingga berubah menjadi sinyal
diskrete x(kT). Dalam representasi yang baru inilah sinyal diolah.
Keuntungan dari metoda ini adalah pengolahan menjadi mudah
dan dapat memanfaatkan program sebagai pengolahnya. Dalam
proses sampling ini diasumsikan kita menggunakan waktu cuplik
yang sama dan konstan, yaitu Ts. Parameter cuplik ini menentukan
dari frekuensi harmonis tertinggi dari sinyal yang masih dapat
ditangkap oleh proses cuplik ini. Frekuensi sampling minimal
adalah 2 kali dari frekuensi harmonis dari sinyal.
Untuk mengurangi kesalahan cuplik maka lazimnya digunakan
filter anti-aliasing sebelum dilakukan proses pencuplikan. Filter ini
digunakan untuk meyakinkan

bahwa komponen sinyal yang

dicuplik adalah benar-benar yang kurang dari batas tersebut.


Sebagai ilustrasi, proses pencuplikan suatu sinyal digambarkan
pada gambar berikut ini.

Gambar 4.10 Pengubahan dari Sinyal Kontinyu ke Sinyal


Diskret
Setelah sinyal diubah representasinya menjadi deretan data
diskrete,

selanjutnya

menggunakan

data

suatu

ini

dapat

algoritma

diolah

oleh

pemrosesan

prosesor
yang

diimplementasikan dalam program. Hasil dari pemrosesan akan


dilewatkan ke suatu DAC (Digital to Analog Converter) dan LPF
(Low Pass Filter) untuk dapat diubah menjadi sinyal kontinyu
kembali. Secara garis besar, blok diagram dari suatu pengolahan
sinyal digital adalah sebagai berikut
:

Gambar 4.11 Blok Diagram Sistem DSP

4.2.2 Proses Pengambangan Aplikasi DSP


Apabila proses pengolahan sinyal dilakukan menggunakan
komputer biasa, maka pengembangan program tidak berbeda
seperti halnya pemrograman biasa lazimnya. Hanya algoritma
yang diterapkan dan teknik pengkodean harus mempertimbangkan
waktu eksekusi dari program tersebut.
Tata cara pengembangan perangkat lunak menjadi berbeda
apabila kita menggunakan sistem chip DSP, misal TMS320C25.
Terlebih lagi bila sistem tersebut nantinya akan bekerja sendiri
(stand alone). Pengembangan model harus dilakukan dengan
menggunakan perangkat bantu pengembang (development tool).
Sebagai contoh digambarkan suatu sistem pendisain perangkat
lunak DSP buatan SPW- DSP Frameworks, yang secara garis besar

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.12 Perangkat Lunnak Pengembang Aplikasi DSP


Pada komputer utama, kita melakukan simulasi, disain filter,
dan uji-coba awal. Program bantu tersebut tersedia pada program
pengembang (development tool program). Apabila kita telah puas
dengan algoritma tersebut, kita dapat mengimplementasikan
sesuai dengan sistem yang akan kita gunakan. Program akan
menghasilkan kode atau deskripsi yang dibutuhkan oleh jenis
implementasi tertentu. Misal akan menghasilkan deskripsi dalam
format VHDL, apabila kita ingin mengimplementasikan sistem
menggunakan chip ASIC. Atau juga dapat dihasilkan kode dalam
bahasa C bila kita menginginkan portabilitas dari implementasi
yang dihasilkan.
Untuk lebih jelasnya langkah-langkah pengembangan
program untuk sistem DSP dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.13 Langkah-langkah Pengembangan DSP

Dalam tahapan pengembangan ini, digunakan komputer


utama sebagai perangkat bantu pengembang, dan sebuah DSP
board,

sebagai

sasaran

(target

board)

dari

pengembangan

program. DSP Board ini ada yang berhubungan dengan PC melalui


ekspansion slot, dan melalui memori share, ada juga yang
berhubungan dengan PC menggunakan hubungan serial atau
parallel printer card, sehingga benar-benar terpisah dari PC dan
proses hubungan dengan PC hanyalah pentransferan kode biner.
Dengan demikian, secara garis besar langkah-langkah
pengembangan perangkat lunak untuk sistem DSP dapat diringkas
sebagai berikut:
Simulasikan algoritma dengan menggunakan data simulasi.
Lakukan simulasi dengan sinyal sesungguhnya, pengolahan
secara off-line dan proses masih dilakukan di PC
Tulis program menggunakan instruksi DSP.
Kompilasi dan transfer ke RAM di DSP board.
Eksekusi dan uji dengan sinyal sesungguhnya.
Bila program sudah tidak ada kesalahan, tulis kode biner dari
program ke ROM.
Sistem siap pakai dengan ditambahkan prosesor utama yang
menangani sistem pendukung.

4.3 Perbandingan Pengolahan Sinyal secara Digital dengan Secara Analog

Pengolahan Sinyal Analog (PSA)


Aplikasi pemrosesan
sinyal
lebih kompleks
Dibutuhkan proses waktu lebih
sedikit
Memiliki jumlah kemungkinan
nilai amplitude dan
level
tegangan yang tak terhingga
Lebih
memakan biaya karena
membutuhkan komponen yang
lebih banyak.
Mudah terganggu
terhadap
noise atau derau

Pengolahan Sinyal Digital (PSD)


Aplikasi pemrosesan
sinyal
lebih sederhana dan dapat di
kembangkan
semaksimal
mungkin.
Diperlukan waktu proses yang
lebih lama karena perlu waktu
sampling dan rekontruksi ulang
Memiliki jumlah kemungkinan
nilai amplitude dan
level
tegangan yang terbatas
Lebih murah karena fungsifungsi bisa di
modifikasi
menggunakan program PC
Tidak
terpengaruh terhadap
noise atau derau

Anda mungkin juga menyukai