Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai banyak
kekayaan alam baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Jenis
kekayaan alam yang tidak dapat diperbaharui contohnya adalah sumber daya alam berupa
tambang. Banyak sekali jenis bahan tambang yang ada di Indonesia, antara lain emas. Dari
proses kegiatan produksi tersebut, akan menghasilkan suatu sisa hasil produksi (limbah).
Dimana, limbah tersebut akan dibuang ataupun diolah kembali menjadi sesuatu yang
bermanfaat. Proses pembuangan limbah dari suatu proses produksi, ada yang dilakukan
dengan baik sesuai aturan (memperhatikan kandungan yang akan dibuang, ataupun dilakukan
penyaringan atau pengolahan limbah sebelum dibuang), dan ada yang tidak (langsung
dibuang ke lingkungan).
Area Pertambangan emas yang mulai dioprasikan oleh masyarakat lombok barat pada
tahun 2008 di kecamatan Sekotong Lombok Barat memberi mata pencaharian baru untuk
kegiatan pengolahan emas. Namun pengolahan emas yang marak terjadi dilakukan secara
tradisional dan berpeluang besar memberi sumbangan terhadap kerusakan lingkungan. Dari
Harian Lomboknew.com, 2010 menyatakan meskipun 16 Desember 2009 Pemerintah
Kabupaten Lombok Barat menutup Penambangan Liar oleh Penduduk, namun ribuan
masyarakat dari berbagai daerah tetap berdatangan untuk menggali potensi yang semula
diekplorasi PT. Newmont Nusa Tenggara. Kawasan penambangan dan pengolahan emas
tersebar di tiga desa di kecamatan Sekotong: Buwun Mas, Kerato, dan Pelangan, meliputi
sekitar 20 titik, melibatkan sekitar 5.000 petambang dan 100 fasilitas gelundung (BaliFokus,
2013).
Para penambang emas secara tradisional menggunakan merkuri (Hg) untuk
menangkap dan memisahkan butir-butir emas dari butir batuan. Air sisa penambangan yang
mengandung Hg dibiarkan mengalir kesungai dan dijadikan irigasi untuk lahan pertanian.
Menurut Mimin, 2013 Bila nilai pH antara lima dan tujuh, maka kosentrasi raksa di dalam
tanah akan meningkat karena mobilitas raksa dari dalam tanah. Setelah raksa telah mencapai
permukaan air atau tanah dan bersenyawa dengan karbon membentuk senyawa Hg organik
oleh mikroorganisme yang merupakan senyawa yang berpotensi memyebabkan toksisitas
terhadap sistem saraf pusat (Anonim, 2016b).
Selain proses penggelondongan berkembang pula usaha pengelolaan emas tanpa izin
dengan menggunakan tong, yaitu proses akhir untuk memperoleh bijih emas dengan tingkat
keberhasilan 99% (Tangkuman, 2008). Limbah proses pengolahan ditampung dalam bak

penampung yang tidak permanen. Tidak jarang dari usaha ini limbah cair dialirkan langsung
ke selokan, parit, kolam atau sungai yang pada akhirnya digunakan sebagai air irigasi lahan
pertanian. Kedua proses pengolahan batuan biji emas diatas memberi sumbangan terhadap
kerusakan lingkungan terutama lahan pertanian.
Salah satu isu strategis Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) provinsi
Nusa Tenggara Barat 2009-2013 adalah menurunnya kualitas lingkungan hidup. Faktor
dominan terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup adalah menurunnnya produktifitas
tanah yang pada akhirnya menggangu pertumbuhan tanaman. Berdasarkan Hasil Analisa
kandungan merkuri pada contoh tanah dari kegiatan Identifikasi Dampak Pengolahan Emas
Secara Tradisional Terhadap Kualitas Produk Pertanian Dilahan Sawah Pulau Lombok Nusa
Tenggara Barat dilokasi pengolahan emas secara tradisional di Kabupaten lombok Barat dan
Lombok tengah dibeberapa titik lokasi teridentifikasi kandungan merkuri (Titin, 2013).
Bertitik tolak laporan kegiatan yang dilaksanakan pada tahun 2013 tersebut maka
dilakukan penelitian lanjutan terhadap penyebaran cemaran mercuri pada tanah sawah pada
beberapa titik pengolahan emas secara tradisional di Kabupaten Lombok Barat dan
Kabupaten Lombok Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebaran
cemaran tanah sawah akibat aktifitas pengolahan emas secara tradisional yang masih
berlangsung sampai saat ini.
Akibat dari pembuangan sisa produksi B3 yang sembarangan dan seenaknya
kelingkungan oleh suatu pertambangan, maka akan menimbulkan suatu gangguan kesehatan
masyarakat, sumber pencemaran dan sumber kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, sangat
perlu dan penting untuk mengelola limbah B3 yang ada sebelum dilakukan pembuangan
kepada lingkungan. Upaya yang dilakukan untuk mengelolah limbah B3 secara baik dan
benar akan memberikan dampak yang baik pula. Salah satunya dapat meminimalisir dampak
yang akan terjadi, yang dihasilkan oleh limbah B3 tersebut.
Pengelolaan limbah B3 haruslah dilakukan oleh seluruh pertambangan baik yang ada
di Indonesia maupun dunia. Kesadaran manusia untuk melakukan pengolahan limbah
menjadi faktor utama yang harus dibentuk. Sebelum dilakukan pengolahan limbah B3
tersebut, kita haruslah mengetahui baik sumber, karakteristik, prinsip pengolahan, dampak
yang akan ditimbulkan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk limbah B3.
Ketika semua mengenai limbah B3 telah diketahui, maka akan lebih mudah dan efisien dalam
mengolah limbah tersebut. Oleh karena itu, mengupayakan proses pengolahan limbah yang
baik dan benarlah yang harus dilakukan oleh semua proses produksi pertambangan, untuk
mengatasi limbah berbahaya tersebut sebelum dibuang ke lingkungan dan juga diperlukan

upaya antisipasi efek buruk yang ditimbulkan oleh limbah cemaran logam merkuri tersebut
dengan penerapan teknologi pengendalian limbah pengolahan emas tradisional.

BAB II
BAHASAN STUDI KASUS
2.1 Definisi Limbah B3
Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah)
suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena
sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang
baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau
membahayakan kesehatan manusia.
Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu
usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena
sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk
hidup lain. Intinya adalah setiap materi yang karena konsentrasi dan atau sifat dan atau
jumlahnya mengandung B3 dan membahayakan manusia, mahluk hidup dan lingkungan,
apapun jenis sisa bahannya.
2.1 Tujuan Pengelolaan Limbah B3
Tujuan pengelolaan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau
kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan
kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.
Dari hal ini jelas bahwa setiap kegiatan/usaha yang berhubungan dengan B3, baik
penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun B3, harus
memperhatikan aspek lingkungan dan menjaga kualitas lingkungan tetap pada kondisi
semula. Dan apabila terjadi pencemaran akibat tertumpah, tercecer dan rembesan limbah B3,
harus dilakukan upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali kepada fungsi semula.
2.3 Peraturan Pengelolaan Limbah B3
Peraturan yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum dalam pengelolaan limbah B3
pertambangan di Indonesia antara lain :
1. Undang Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup
2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya
dan beracun

3. Peraturan pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan


Berbahaya dan beracun
4. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Tata
Laksana Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
5. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 2009 tentang Tata
Laksana Perizinan dan Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun Serta Pengawasan Pemulihan Akibat Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun Oleh Pemerintah Daerah
6. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Pemanfaatan Limbah Bahaya Berbahaya dan Beracun
7. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 02/BAPEDAL/01/1998 tentang Tata Laksana
Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahaya Berbahaya dan Beracun
8. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 01/BAPEDAL/09/1995 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun
9. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 02/BAPEDAL/09/1995 tentang Dokumen Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun.
10. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 03/BAPEDAL/09/1995 tentang Persyaratan
Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
11. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 04/BAPEDAL/09/1995 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Teknis Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas
Pengolahan dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
12. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 68 Tahun 1994 tentang Tata Cara Memperoleh
Izin Penyimpanan, Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan, Pengolahan dan
Penimbunan Akhir Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
2.4 Definisi Emas
Emas adalah logam mineral yang merupakan salah satu bahan galian logam yang
bernilai tinggi baik dari sisi harga maupun sisi penggunaan. Emas terbentuk dari proses
magmatisme atau pengkonsentrasian di permukaan. Beberapa endapan terbentuk karena
proses metasomatisme kontak dan larutan hidrotermal, sedangkan pengkonsentrasian secara
mekanis menghasilkan endapan letakan (placer). Emas terdapat di alam dalam dua tipe
deposit, pertama sebagai urat (vein) dalam batuan beku, kaya besi dan berasosiasi dengan urat
kuarsa. Lainnya yaitu endapan atau placer deposit, dimana emas dari batuan asal yang
tererosi terangkut oleh aliran sungai dan terendapkan karena berat jenis yang tinggi. Emas
terbentuk karena adanya kegiatan vulkanisme, bergerak berdasarkan adanya thermal atau
panas di dalam bumi. Dalam proses geokimia, emas biasanya dapat diangkut dalam bentuk

larutan komplek sulfida atau klorida. Pengendapan emas sangat tergantung kepada besarnya
perubahan pH, H2S, oksidasi, pendidihan, pendinginan, dan adsorpsi oleh mineral lain.
Sebagai contoh, emas akan mengendap jika suasana menjadi sedikit basa dan terjadi
perubahan dari reduksi menjadi oksidasi. Atau emas akan mengendap jika terikat mineral
lain, seperti pirit. (Nelson, 1990).

Gambar 2.1 Butiran Emas (Sumber: Anonim, 2016a)


Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa. Tingkat
kekerasannya berkisar antara 2,5 3 (skala Mohs). Berat jenisnya dipengaruhi oleh jenis dan
kandungan logam lain yang berpadu dengannya. Umumnya emas didapatkan dalam bentuk
bongkahan, tetapi di Indonesia hal tersebut sudah jarang ditemukan. Batuan berkadar emas
rendah merupakan batuan yang mengandung emas lebih kecil dari 100 mg emas dalam 1 kg
batuan. Emas ialah unsur kimia dalam sistem periodik unsur dengan simbol Au (aurum) dan
nomor atom 79. Emas merupakan logam lembut, berkilat, berwarna kuning, padat, dan tidak
banyak bereaksi dengan kebanyakan bahan kimia, walau dapat bereaksi dengan klorin,
fluorin dan akua regia. Logam ini selalu ada dalam bentuk bongkahan dan butiran batuan
maupun dalam pendaman alluvial. (Esna, 1988).
2.5 Pertambangan Emas Menggunakan Merkuri (Hg)
Pertambangan adalah aktivitas pembongkaran, penggalian, serta pengangkutan
endapan mineral yang terkandung dalam suatu area. Pertambangan ini mempunyai beberapa
tahapan kegiatan secara efektif dan ekonomis menggunakan beberapa peralatan mekanis dan
beberapa peralatan sesuai yang dibutuhkan dengan mengikuti teknologi saat ini.
Pada hakikatnya, pembangunan sektor pertambangan dan energi

adalah

mengupayakan suatu proses pengembangan energi dan sumber daya mineral yang memiliki
potensial yang dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Sumber daya mineral ini bersifat
tidak terbaharui (wasting asset or unrenewable). Dengan demikian dalam aplikasinya
diharapkan dapat keselamatan kinerja dan kelestarian lingkungan hidup serta masyarakat
sekitar.

Sebagai contoh proses penambangan emas dengan teknik amalgamasi adalah dengan
menggunakan merkuri (Hg). Setiap satu lokasi pengolahan bijih emas menggunakan 16
gelondong (setiap gelondong dapat mengolah 12-25 kg bijih dalam sehari). kemudian bijih
dimasukkan ke dalam gelondong yang ditambahkan air dan merkuri (diputar selama 4-8 jam)
dengan menggunakan mesin diesel (mesin generator). Setelah proses amalgamasi selesai,
kemudian amalgam dipisahkan dari tailingnya (diperas dengan kain parasut).

Gambar 2.2 Contoh Proses Penambangan Emas dengan Teknik Amalgamasi


(Sumber: Anonim, 2016a)
Setelah itu tailingnya dialirkan ke sungai dan tanah sehingga menyebabkan
lingkungan tersebut tercemar (terkontaminasi). Penambangan yang dilakukan secara terus
menerus akan menyebabkan terakumulasinya merkuri pada lingkungan sehingga kadar
merkuri akan semakin tinggi. Konsentrasi atau kadar merkuri disebabkan oleh pelarutan dari
sedimen sungai yang mengandung merkuri serta partikel halus yang terbawa oleh limbah
akibat proses amalgamasi. Jangka waktu yang cukup lama, logam merkuri dapat teroksidasi
dan terlarut dalam air permukaan sehingga membahayakan lingkungan.
Para penambang emas tradisional menggunakan merkuri untuk menangkap dan
memisahkan butir-butir emas dari butir-butir batuan. Endapan Hg ini disaring menggunakan
kain untuk mendapatkan sisa emas. Endapan yang tersaring kemudian diremas-remas dengan
tangan. Air sisa-sisa penambangan yang mengandung Hg dibiarkan mengalir ke sungai dan
dijadikan irigasi untuk lahan pertanian. Selain itu, komponen merkuri juga banyak tersebar di
karang, tanah, udara, air, dan organisme hidup melalui proses fisik, kimia, dan biologi yang
kompleks. Pertambangan memerlukan proses lanjutan pengolahan hasil tambang menjadi
bahan yang diinginkan. Misalnya proses dipertambangan emas, memerlukan bahan air raksa
atau merkuri akan menghasilakan limbah logam berat cair penyebab keracunan syaraf dan
merupakan bahan teratogenik.

Merkuri dapat terakumulasi dilingkungan dan dapat meracuni hewan, tumbuhan, dan
mikroorganisme. Acidic permukaan air dapat mengandung signifikan jumlah raksa. Bila nilai
pH adalah antara lima dan tujuh, maka konsentrasi raksa di dalam air akan meningkat karena
mobilisasi raksa dari dalam tanah. Setelah raksa telah mencapai permukaan air atau tanah dan
bersenyawa dengan karbon membentuk senyawa Hg organik oleh mikroorganisme (bakteri)
di air dan tanah. Senyawa Hg organik yang paling umum adalah methyl mercury, suatu zat
yang dapat diserap oleh sebagian besar organisme dengan cepat dan diketahui berpotensi
menyebabkan toksisitas terhadap sistem saraf pusat.
Bila mikroorganisme (bakteri) itu kemudian termakan oleh ikan, ikan tersebut
cenderung memiliki konsentrasi merkuri yang tinggi. Ikan adalah organisme yang menyerap
jumlah besar methyl raksa dari permukaan air setiap hari. Akibatnya, methyl raksa dapat ikan
dan menumpuk di dalam rantai makanan yang merupakan bagian dari mereka. Efek yang
telah raksa pada hewan adalah kerusakan ginjal, gangguan perut, intestines kerusakan,
kegagalan reproduksi DNA dan perubahan.
2.6 Karakteristik Merkuri dan Dampaknya
Sifat fisik dari Elemen Hg berwarna kelabu-perak, sebagai cairan pada suhu kamar
dan mudah menguap bila dipanaskan. Hg2+ (Senyawa Anorganik) dapat mengikat karbon,
membentuk senyawa organomercury. Sebagian senyawa merkuri yang dilepas ke lingkungan
akan mengalami proses methylation menjadi methylmercury (MeHg) oleh mikroorganisme
dalam air dan tanah. MeHg dengan cepat akan diakumulasikan dalam ikan atau tumbuhan
dalam air permukaan. Kadar merkuri dalam ikan dapat mencapai 100.000 kali dari kadar air
disekitarnya. Kontaminasi merkuri dapat melalui secara oral mulut, kulit maupun terhirup
oleh hidung.
Merkuri organik (RHg, R2Hg, ArHg) merupakan bentuk senyawa merkuri yang
paling berbahaya. Sebagian besar peristiwa keracunan merkuri disebabkan oleh senyawa ini.
Merkuri organik digunakan secara luas pada industri pertanian, industri pulp dan kertas, dan
dalam bidang kedokteran. Senyawa ini juga dapat terbentuk dari metabolisme merkuri
metalik atau dari merkuri anorganik dengan bantuan mikroorganime tertentu baik dalam
lingkungan perairan ataupun dalam tubuh manusia.
Efek toksisitas merkuri terutama pada susunan saraf pusat (SSP) dan ginjal, dimana
merkuri terakumulasi yang dapat menyebabkan kerusakan SSP dan ginjal antara lain tremor
serta kehilangan daya ingat. MeHg mempunyai efek pada kerusakan janin dan terhadap
pertumbuhan bayi. Kadar MeHg dalam darah bayi baru lahir dibandingkan dengan darah ibu

mempunyai kaitan signifikan. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terpajan MeHg bisa
menderita kerusakan otak, retardasi mental, tuli dan kebutaan. Efek terhadap sistem
pernafasan dan pencernaan makanan dapat terjadi pada keracunan akut.Inhalasi dari
elemental Mercury dapat mengakibatkan kerusakan berat dari jaringan paru. Sedangkan
keracunan makanan yang mengandung merkuri dapat menyebabkan kerusakan liver.
Oleh karena itu, merkuri harus ditangani dengan hati-hati, dijauhkan dari anak-anak dan
wanita yang sedang hamil. Standard yang ditetapkan badan-badan internasional untuk
merkuri adalah sebagai berikut: di air minum 2 ppb (2 gr dalam 1.000.000.000 (satu milyar gr
air atau kira-kira satu juta liter)). Di makanan laut 1 ppm (1 gram tiap 1 juta gram) atau satu
gram dalam 10 ton makanan. Di udara 0,1 mg (miligram) metilmerkuri setiap 1 m3, 0,05
mg/m3 logam merkuri untuk orang-orang yang bekerja 40 jam seminggu (8 jam sehari).
Logam merkuri atau air raksa (Hg) berwarna perak cair dengan nama kimia
hydrargyrum. Merkuri bersifat sangat beracun sehingga U.S. Food and Administration (FDA)
menentukan Nilai Ambang Batas (pembakuan) kadar merkuri yang berada dalam jaringan
tubuh yaitu sebesar 0,005 ppm. Merkuri adalah suatu jenis logam yang banyak ditemukan di
alam dan senyawa organik dan anorganik yang terkandung dalam batu-batuan, bijih tambang,
tanah, air dan udara.
Pada umumnya kadar merkuri dalam tanah, air dan udara relatif rendah. Akan tetapi
karena adanya aktivitas manusia sehingga dapat meningkatkan kadar ini misalnya aktivitas
penambangan. Aktivitas penambangan dapat menghasilkan merkuri sebanyak 10.000 ton
/tahun. Apabila pekerja terpapar secara terus menerus terhadap kadar 0,05 Hg mg /
menyebabkan neutratenia, sedangkan pada kadar 14 0,1 0,2 akan menyebabkan Tremor
(Penyakit gemetar). Sedangkan dosis fatal adalah 1 gram merkuri. Merkuri dengan
konsentrasi yang tinggi sangat berbahaya untuk lingkungan maupun manusia sendiri. Dengan
adanya merkuri dengan konsentrasi yang tinggi pada tanah, air dan udara menyebabkan
organisme yang berada di daerah tersebut mengandung merkuri atau bahkan menyebabkan
organisme mengalami kematian karena tidak bisa bertahan hidup karena adanya merkuri yang
bersifat toksik. Ikan atau bahan lainnya yang mengandung merkuri dikonsumsi oleh manusia
juga sangat berbahaya dan apabila mengkonsumsi terus menerus akan menyebabkan penyakit
yang berujung pada kematian. Apabila merkuri masuk ke dalam tubuh manusia akan
menyebabkan kerusakan permanen pada hati, otak dan ginjal. Efek toksitas merkuri
tergantung jalan masuknya ke dalam tubuh, pada bentuk komposisi merkuri dan lamanya
berkembang. Sebagai contoh bentuk merkuri (HgCl2) lebih beracun (toksik) dari bentuk
merkuri (HgCl).

Dampak adanya merkuri yang teraakumulasi pada lingkungan akan mempunyai


dampak terhadap ekonomi yaitu penurunan hasil panen disebabkan berkurang produksi
pertanian (pendapatan menurun), ikan dan hasil sungai lainnya yang terkontaminasi (tidak
dapat dipasarkan) dengan demikian mengurangi pendapatan dari sektor perikanan serta biaya
program kesehatan dan pendidikan khusus akan mengalami peningkatan. Dampak merkuri
terhadap kesehatan dari tremor hingga menuju fase kematian. Sulit untuk menduga seberapa
besar akibat yang ditimbulkan oleh adanya logam berat dalam tubuh. Namun, sebagian besar
toksisitas yang disebabkan oleh beberapa jenis logam berat seperti Pb, Cd, dan Hg adalah
karena kemampuannya untuk menutup sisi aktif dari enzim dalam sel. Hg mempunyai bentuk
kimiawi yang berbeda-beda dalam menimbulkan keracunan pada mahluk hidup, sehingga
menimbulkan gejala yang berbeda pula. Toksisitas Hg dalam hal ini dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu toksisitas organik dan anorganik.
Pada bentuk anorganik, Hg berikatan dengan satu atom karbon atau lebih, sedangkan
dalam bentuk organik, dengan rantai alkil yang pendek. Senyawa tersebut sangat stabil dalam
proses metabolisme dan mudah menginfiltrasi jaringan yang sukar ditembus, misalnya otak
dan plasenta. Senyawa tersebut mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible, baik
pada orang dewasa maupun anak. Toksisitas Hg anorganik menyebabkan penderita biasanya
mengalami tremor. Jika terus berlanjut dapat menyebabkan pengurangan pendengaran,
penglihatan, atau daya ingat. Senyawa merkuri organik yang paling populer adalah methyl
mercury yang berpotensi menyebabkan toksisitas terhadap sistem saraf pusat.
2.7 Penanganan Kontaminasi Merkuri
Terapi khelasi merupakan suatu metoda yang digunakan dalam mengatasi keracunan
logam berat seperti merkuri. Dalam metoda ini digunakan senyawa organik tertentu yang
dapat mengikat merkuri dan mengeluarkannya dari dalam tubuh manusia. Senyawa tersebut
memiliki gugus atom dengan pasangan elektron bebas, elektron tersebut akan digunakan
dalam pembentukan ikatan dengan merkuri. Salah satu senyawa organik yang bisa digunakan
sebagai khelator adalah dimercaprol, 2,3-dimercaptosuccinic acid (DMSA). 2,3-dimercaptosuccinic acid (DMSA) merupakan senyawa organik larut dalam air, yang mengandung dua
gugus tiol (-SH). DMSA merupakan khelator yang efektif dan aman digunakan dalam
penanganan keracunan logam berat seperti timbal, arsen dan merkuri.
Senyawa ini telah digunakan dalam penanganan keracunan merkuri sejak tahun 1950an di Jepang, Rusia dan Republik Rakyat China, dan sejak tahun 1970-an digunakan di Eropa
dan Amerika Serikat. Senyawa organik yang dikenal juga dengan nama dagang chemet ini

merupakan khelator yang efektif dalam penanganan keracunan logam berat seperti timbal,
arsen dan merkuri. Serangkaian penelitian menunjukkan bahwa DMSA mampu
mengeluarkan 65 % merkuri dari dalam tubuh manusia dalam selang waktu tiga jam. DMSA
relatif aman digunakan sebagai khelator. Pada manusia normal, manusia, yang tidak
terkontaminasi merkuri, 90 % DMSA yang diabsorbsi tubuh, diekskresikan melalui urin
dalam bentuk disulfida dengan gugus thiol sistein. Sedangkan sisanya berada dalam bentuk
bebas atau tanpa ikatan dengan gugus lain. Dalam upaya mempercepat proses pengeluaran
merkuri dalam tubuh manusia, DMSA dapat digunakan bersamaan dengan khelator lain
seperti ALA (Alpha Lipoic Acid). DMSA juga dapat digunakan bersamaan dengan anti
oksidan, seperti vitamin E dan vitamin C, dalam upaya mengurangi gangguan kesehatan
sebagai akibat pembentukan radikal bebas oleh merkuri.
2.8 Kasus Penyebaran Cemaran Merkuri pada Tanah Sawah Dampak Pengolahan
Emas Tradisional di Pulau Lombok NTB
Dari Kegiatan penelitian yang dilakukan diperoleh data sekunder dan data hasil
analisa kandungan merkuri kemudian diperoleh dari laporan pengkajian di BPTP NTB. Pada
tiap kabupaten disampling masing-masing lima titik pengambilan sample contoh tanah. Pada
hasil observasi ditemukan bahwa di Kabupaten Lombok Barat ada tiga desa yang lokasinya
tidak berjauhan karena masih dalam satu kecamatan yaitu Sekotong banyak dijumpai unit
penggelondongan. Sekotong menjadi pusat kegiatan pengolahan emas secara tradisional
karena lokasi tambang batuan bijih emas yang berpusat di Sekotong sehingga sebagian besar
proses pengolahan emas secara tradisional di kecamatan Sekotong. Berdasarkan data dari
camat Sekotong yang dikutip dari laporan akhir penelitian dan kajian strategis kebijakan
penataan emas rakyat di Sekotong Lombok Barat tahun 2009 terdapat enam ratus sembilan
(609) orang yang melakukan proses pengolahan emas secara tradisional dengan jumlah
gelondongan mencapai 3.245 buah.
Pada lokasi pengolahan emas di Kabupaten Lombok Tengah menunjukkan kecamatan
Pringgerate menjadi lokasi tertinggi dengan tiga desa yang proses pengolahan emas secara
tradisional masih aktif sampai saat ini. Berdasarkan laporan akhir studi kandungan merkuri di
kawasan pemukiman di kecamatan Pringgerate kabupaten Lombok Tengah Nusa Tenggara
Barat tahun 2011 kandungan merkuri pada tailing dan sungai di kecamatan Pringgerate
dengan enam desa yaitu berkisar terendah 3,48 ppm dan tertinggi 692,35 ppm. Dari data
tersebut dititik beratkan pada intensitas tertinggi dan kadar kandungan cemaran merkuri yang

tinggi. Menurut Junizar, 2012 mengutip dari Pusat Sumber Daya Geologi konsentrasi
kandungan merkuri yang dizinkan pada tanah yaitu 0,005 ppm.
Berdasarkan hasil analisa kadar merkuri pada tanah sawah di kabupaten Lombok
Barat menunjukkan penurunan kadar merkuri pada tanah seiring semakin jauhnya lokasi
pengolahan emas secara tradisional. Air yang merupakan salah satu bahan baku pengolahan
emas secara tradisioanl untuk wilayah sekotong sering menjadi kendala sehingga penggunaan
air sangat diminimalisasikan dalam proses pengolahan. Hal ini juga menyebabkan sebaran
cemaran lahan sawah oleh merkuri semakin rendah dengan semakin jauhnya lokasi lahan
sawah dari lokasi pengolahan emas secara tradisional. Namun yang patut untuk
dikhawatirkan adalah walaupun kadar merkuri menurun namun pada hampir semua titik nilai
kadar merkuri yang terkandung didalam tanah sawah masih diatas nilai kadar merkuri yang
diizinkan.

Gambar 2.3 Contoh Lokasi Proses Penambangan Emas di daerah Tanah Sawah
(Sumber: Anonim, 2016b)
Berdasarkan hasil analisa kadar merkuri pada contoh tanah di kabupaten Lombok
Tengah menunjukkan hal yang sama yaitu penyebaran cemaran merkuri pada tanah sawah
pada jarak 30 m masih terdeteksi tinggi yaitu diatas nilai yang diizinkan 0,005 ppm. namun
bila dibandingkan dengar kadar yang dikandung di kabupaten Lombok Barat kandungan
merkuri pda kabupaten Lombok Tengah jauh tinggi hal ini disebabkan titik-titik aktivitas
pengolahan tepat berada di tengah-tengah areal persawahan atau bersinggungan langsung
dengan lahan persawahan. Sehingga air limbah yang dialirkan langsung mengendap di tanah
sawah.

Menurut M. Camps Arbestain, et al, (2009) Air limbah yang dihasilkan baik setelah
penyaringan atau melalui kegiatan pencucian yang dibuang di sekitar lahan pertanian
menyebabkan tanah di sekitar areal produksi mengandung kadar kontaminasi Hg tinggi.
Gambaran ini menunjukkan bahwa sebaran lokasi cemaran merkuri pada tanah sawah oleh
pertambangan tradisional sangat luas. Hasil senada juga dilaporkan oleh Lu (2013) yang
menyatakan bahwa lokasi deteksi untuk kandungan air pada aliran sungai di Philipina
mencapai 91%. Luasnya lokasi penyebaran merkuri disebabkan karena merkuri merupakan
bahan kimia yang umum digunakan dan paling efisien pada pengolahan bijih emas
(Muddarisna et al., 2013 ; Logsdon, 1999). Disamping itu, distribusi logam berat akibat
limbah tambang emas tradisional sangat ditentukan oleh keadaan tanah misalnya saja akibat
suhu dan disintegrasi bebatuan. Konsentrasi merkuri (Hg) akan lebih besar pada musim
kemarau, sehingga tingkat mobilitas merkuri (Hg) tidak akan jauh dari tempat pengolahan
(sumbernya) hal ini disebabkan oleh arus air sungai yang menurun (Y. Miu, 2013). Berbagai
proses biologi dan mikrobiologi dapat melokalisasi logam ke dalam tanah. Kontaminasi
logam berat biasanya terakumulasi di kedalaman 75 cm diatas tanah memiliki resiko besar
dimakan oleh ternak ruminansia karena mudah diserap oleh akar rumput dan tanaman yang
hidup diatasnya sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan ternak (Raikwar, 2008 ;
Wilkinson, et al., 2003).
Sesuai dengan maksud dari strategi pengelolaan kualitas lingkungan adalah cara untuk
menentukan kualitas lingkungan yang lebih baik, maka beberapa cara yang dapat dilakukan:
a. Tata Letak Lokasi Ruang
Dilihat dari lokasi penambangan emas yang mulai dioprasikan oleh masyarakat
lombok barat pada tahun 2008 di kecamatan Sekotong Lombok Barat menunjukkan bahwa
air limbah yang dihasilkan baik setelah penyaringan atau melalui kegiatan pencucian yang
dibuang di sekitar lahan pertanian menyebabkan tanah di sekitar areal produksi mengandung
kadar kontaminasi Hg tinggi. Gambaran ini menunjukkan bahwa sebaran lokasi cemaran
merkuri pada tanah sawah oleh pertambangan tradisional sangat luas, dimana seharusnya area
pertambangan dilakukan jauh dari kawasan yang tidak digunakan karena dapat mengganggu
ekosistem yang terdapat pada lingkungan tersebut.
b. Sistem Pengelolaan Limbah
Sistem pengelolaan limbah yang dilakukan masyarakat lombok barat pada tahun 2008
di kecamatan Sekotong Lombok Barat yaitu air limbah hasil pengolahan emas secara
tradisional yang mengandung merkuri dibiarkan mengalir kesungai dan dijadikan irigasi
untuk lahan pertanian. Hal ini menyebabkan terjadinya pencemaran merkuri pada tanah

sawah Selain proses penggelondongan berkembang pula usaha pengelolaan emas tanpa izin
dengan menggunakan tong, yaitu proses akhir untuk memperoleh bijih emas dengan tingkat
keberhasilan 99% (Tangkuman, 2008). Limbah proses pengolahan ditampung dalam bak
penampung yang tidak permanen. Tidak jarang dari usaha ini limbah cair dialirkan langsung
ke selokan, parit, kolam atau sungai yang pada akhirnya digunakan sebagai air irigasi lahan
pertanian. Oleh karena itu proses penambangan tersebut mengakibatkan pelanggaran dari
berbagai aspek yang terkait dengan pembuangan limbah tersebut ke area irigasi, sungai dan
sebagainya diantaranya adalah :
1. UU no. 4 tahun 1982 yang telah dirubah menjadi UU no. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. PP no. 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
3. PP no. 18 tahun 1994 jo PP no. 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3.
Dari penjelasan di atas dalam pasal 3 menyatakan "Setiap orang yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang
dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan bidup tanpa pengolahan
terlebih dahulu" dan pasal 29 ayat 2 menyatakan bahwa "Tempat penyimpanan limbah B3
sebagaimana dimaksud paa ayat 1 wajib memenuhi syarat :
a). lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir, tidak rawan bencana, dan di luar kawasan
lindung serta sesuai dengan rencana tata ruang.
B). rancangan bangunan disesuaikan dengan jumlah, karakteristik limbah B3 dan upaya
pengendalian pencemaran lingkungan".
Sebagai pengelolaan lebih lanjut seharusnya lebih ditindak lanjuti lebih jauh agar
sistem pengelolaan limbah lebih terstruktur dan terjaga terhadap lingkungan sekitar maupun
ekosistem yang terdapat didalamnya.

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan studi kasus yang terdapat pada bahasan dapat ditarik kesimpulan:
1.

Konsentrasi atau kadar merkuri disebabkan oleh pelarutan dari sedimen sungai yang
mengandung merkuri serta partikel halus yang terbawa oleh limbah akibat proses
amalgamasi atau proses penambangan yang menggunakan merkuri

2.

Dampak adanya merkuri yang terakumulasi pada lingkungan akan mempunyai dampak
terhadap beberapa aspek seperti aspek ekonomi yaitu penurunan hasil panen disebabkan
berkurang produksi pertanian (pendapatan menurun) maupun pada aspek kesehatan dari
tremor hingga menuju fase kematian.

3.

Sebaran limbah merkuri dilahan sawah sekitar lokasi pengolahan emas tradisional
terdeteksi sampai radius 10-30 m dengan konsentrasi melebihi batas ambang minimum
0,005 ppm. Teridentifikasinya cemaran merkuri pada lahan sawah ini dapat mengancam
kualitas pangan terutama pada padi sawah dan kesehatan masyarakat sekitar lokasi
pengolahan emas tradisional.

REFERENSI

Anonim, 2016a. Pembeli Emas Tambang, http://aceh.tribunnews.com. Diakses pada tanggal


12 Maret 2016.
Anonim, 2016b. Dampak Pencemaran Merkuri (Hg), http://www.mineraltambang.com
Diakses pada tanggal 12 Maret 2016.
Badan Lingkungan Hidup Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2009. Laporan Akhir Penelitian
dan Kajian Strategi Kebijakan Penataan Penambangan Emas Rakyat Di sekotong
Kabupaten Lombok Barat Tahun 2009. Hal 1-59.
BaliFokus, 2013. Titik Rawan Merkuri di Indonesia. Situs PESK Poboyo dan Sekotong di
Indonesia. Arnika Association (republik Ceko) IPEN Heavy Metals Working Group.
Yayasan BaliFokus.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, 2013. Tingkat Keasaman (pH) Air Hujan di
Indonesia Juni 2013.
Esna, Ashari. 1988. Method and Installation for Extracting Gold From Gold Ores. Germany:
Klockner Humboldt AG
Lu, L., J. 2013. Cyanide and mercury concentrationas in surface water in a large mining
area in the philippines. AWER Procedia Advances in Applied Sciences. Proceedings of
Gobal Conference on Environmental Studies (CENVISU-2013), 24-27 April 2013, pp
450-465.
M. Camps Arbestain,1,2 L. Rodrguez-Lado,1,3 M. Bao,4 and F. Macas, 2009. Assessment
of Mercury-Polluted Soils Adjacent to an Old Mercury-Fulminate Production Plant.
Applied and Environmental Soil Science Volume 2009 (2009).
Raikwar, M. K., P. Kumar, M. Singh and A. Singh. 2008. Toxic Effect Of Heavy Metals In
Livestock Health. Veterinary World, Vol.1(1): pp 28-30.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). 2009. Daerah Provinsi Nusa Tenggara
Barat
Tangkuman. dkk, 2008. Pengaruh Konsentrasi Sianida Terhadap Produksi Emas. Jurusan
Kimia Fakultas MIPA Universitas Sam Ratu Lagi Manado. Chem. Prog. Vol. 1, No. 1,
2008.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson., J.D. Beaton. 1990. Soil Fertility and Ferilizers. Macmillan
Publishing Company. New York.
Titin Sugianti, 2013. Laporan Akhir Pengkajian Identifikasi Dampak Pengolahan Emas
Secara Tradisional Terhadap Kualitas Produksi Pertanian di Lahan Sawah Pulau
Lombok Nusa Tenggara Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara
Barat.
Yunita Miu, 2013. Analisis Kandungan Merkuri (hg) pada Tanah Sawah di Desa Taluduyunu
Kecamatan Buntulia Kabupaten Pohuwato. Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas
Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo.

KASUS PENYEBARAN CEMARAN MERKURI PADA TANAH SAWAH


DAMPAK PENGOLAHAN EMAS TRADISIONAL
DI PULAU LOMBOK NTB

OKTIANI RAHMANITA FAUZIAH


081311133019

PROGAM STUDI S-1 ILMU DAN TEKNOLOGI LINGKUNGAN


DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2016

Anda mungkin juga menyukai