Anda di halaman 1dari 20

PORTOFOLIO

Topik: Laringomalacia
Tanggal (kasus): 02/03/2016
Tangal presentasi: 17/03/2016

Persenter: dr. Asyiyatur Raudhah


Narasumber: dr. H Pandji, Sp.A

Pembimbing : dr. Neneng Tresna I


Tempat presentasi: Ruang Aula RS. TK.IV Dr. Bratanata Jambi
Obyektif presentasi:
Keilmuan

Tinjauan pustaka

Diagnostik
Istimewa

Bayi

Keterampilan

Penyegaran

Manajemen
Anak

Masalah

Remaja

Neonatus
Deskripsi:

Lansia

Dewasa

Bumil

An. M.I sesak napas hilang timbul yang semakin memberat sejak tadi
malam (13 jam SMRS)
Tujuan: Mengetahui penegakan diagnosa, etiologi, epidemiologi,
klasifikasi dan tatalaksana laringomalacia
Bahan

Tinjauan Riset
bahasan:
Cara
membahas:
Data pasien:

pustaka
Diskusi

Presentasi

Kasus
dan Email

Audit
Pos

diskusi
Nama: An. M.I

Nama RS: RS TK.IV Dr. Bratanata Usia: 8 tahun


Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/ Gambaran Klinis:

No

registrasi:

24.82.11
Terdaftar sejak: -

An. M.I 8 th Sesak napas hilang timbul yang semakin memberat sejak tadi
malam (13 jam SMRS), Keluhan sesak nafas yang dialami pasien telah
sering berulang. Pasien juga mengalami kejang pada seluruh tubuh
disertai demam saat di rumah, sebanyak 4 kali, Saat di IGD os kejang 1x,
masing-masing berlangsung selama 1 menit, dengan jarak 1 jam
antara kedua kejang tersebut dan pasien dikatakan sadar diantara kejang
tersebut serta setelahnya. Os tidak tidur setelah kejang. Pasien pernah
1

mengalami kejang sejak umur 2 bulan, kejang terakhir timbul 2 tahun


yang lalu. Pada pemeriksaan fisik BB: 9kg, TB : 102cm RR: 26 x/menit,
Nadi:130 x/menit, isi cukup, kuat angkat, teratur. T axial: 37,6C.
Konjungtiva: anemis. Thoraks : pectus excavatum, Retraksi subcostal,
stridor inspirasi +/+ .
2. Riwayat Pengobatan: (+)
3. Riwayat kesehatan/ Penyakit:

Riwayat sesak napas berulang

Riwayat kejang

Riwayat alergi makanan / obat disangkal.

Riwayat gusi berdarah, mimisan, mudah memar, darah sukar


membeku disangkal.

Riwayat masuk rumah sakit sebelumnya (+).


4. Riwayat keluarga/ masyarakat: Tidak ada keluarga yang mengalami
keluhan seperti ini
Daftar Pustaka:
1. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
EGC; 1997.
2. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher,
Edisi 13, Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994.
3. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson Textbook Of Pediatrics. 19 th
ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 2002.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku Bagan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2008.
5. Novialdi, Rusdi D. Diagnosis dan Penatalaksanaan Laringomalasia dan
Trakeomalasia.

Padang:

Bagian

Ilmu

Kesehatan

Telinga

Hidung

Tenggorokan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas


Andalas/RSUP dr. M. Djamil; 2011.
6. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idrid NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.
7. Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak.
2

Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.


8. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku Ajar Pediatri Rudolph.
Edisi 20. Jakarta: EGC; 2006.
9. Soetjiningsih, Suandi IKG, Utama DL. Petunjuk Pemeriksaan Fisik Pada
Bayi Dan Anak. Denpasar: SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. 2001.
10. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak

FKUI.

Buku Kuliah Ilmu

Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI; 2005.


11. WHO Indonesia. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Pedoman

Bagi

Rumah

Sakit

Rujukan

Tingkat

Pertama

di

Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO Indonesia Depkes RI; 2010.


Hasil pembelajaran:
1. Diagnosis laringomalacia
2. Etiologi dan epidemiologi laringomalacia
3. Klasifikasi laringomalacia
4. Penatalaksanaan Laringomalacia
Subyektif
An. M.I 8 tahun datang Ke IGD RS dr. Bratanata dengan keluhan sesak
napas hilang timbul yang semakin memberat sejak tadi malam (13 jam
SMRS), tidak tentu waktu kemunculannya, memberat bila pasien menangis
dan berkurang bila pasien tertidur. Sesak nafas yang dialami pasien disertai
bunyi melengking keras disertai dengan adanya tarikan pada dinding dada.
Keluhan sesak nafas yang dialami pasien telah sering berulang,

keluhan

tersebut semakin sering muncul dan dapat terjadi sepanjang hari. Ibu pasien
mengatakan bahwa saat bayi pasien sering tersedak saat diberi ASI dan
terkadang memuntahkan ASI tersebut yang mulai terjadi sejak berusia 1
bulan. Ibu pasien menyangkal adanya kebiruan pada bibir maupun bagian
tubuh pasien yang lain saat sesak terjadi.
Pasien juga mengalami kejang pada seluruh tubuh disertai demam
saat di rumah, sebanyak 4 kali, Saat di IGD os kejang 1x, masing-masing
berlangsung selama 1 menit, dengan jarak 1 jam antara kedua kejang
tersebut dan pasien dikatakan sadar diantara kejang tersebut serta
3

setelahnya. Os tidak tidur setelah kejang. Pasien pernah mengalami kejang


sejak umur 2 bulan, kejang terakhir timbul 2 tahun yang lalu.
BAB (+) normal, frekuensi 1kali perhari, konsistensi lunak, berwarna
kuning kecoklatan, darah(-), lendir (-). BAK (+) normal, frekuensi 5-6 kali
perhari, volume 200 cc tiap BAK, berwarna kuning jernih, merah seperti
teh (-).
Riwayat Penyakit Sebelumnya:

Riwayat sesak napas berulang

Riwayat kejang

Riwayat alergi makanan / obat disangkal.

Riwayat gusi berdarah, mimisan, mudah memar, darah sukar


membeku disangkal.

Riwayat masuk rumah sakit sebelumnya (+).

Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial:

Riwayat kejang pada keluarga disangkal.

Riwayat alergi obat / makanan disangkal.

Riwayat kelainan darah (talasemia, hemofilia, leukemia) disangkal.

Obyektif
Pemeriksaan Fisik

Status Present
-

KU

: Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

RR

: 26 x/menit.

Nadi

: 130 x/menit, isi cukup, kuat angkat, teratur.

T axial

: 37,6C.

Status Gizi
4

Berat badan : 9 Kg.

Panjang badan : 102 cm.

Status General :
o Kepala dan Leher :
Kepala :

Normocephali

Mata :

Palpebra

: tidak edema

Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut


Konjungtiva : anemis
Sklera

: tidak ikterik

Produksi air mata : cukup


Pupil : Diameter
Simetrisitas

: 3 mm/3 mm

: isokor, normal

Reflek cahaya : +/+


Telinga :

Hidung :

Kornea

: jernih

Bentuk

: simetris

Sekret

: tidak ada

Serumen

: minimal

Nyeri

: tidak ada

Bentuk

: simetris

Pernafasan cuping hidung : tidak ada


Mulut :

Epistaksis

: tidak ada

Bentuk

: normal

Bibir

: mukosa bibir kering, sianosis tidak ada

Gusi

: tidak mudah berdarah, pembengkakan

Lidah :

Bentuk

tidak ada
: normal

Pucat/tidak : tidak pucat


Tremor/tidak

: tidak tremor

Kotor/tidak : tidak kotor


Faring :

Warna

: kemerahan

Hiperemi

: Tidak Ada
5

Edema

: tidak ada

Membran/pseudomembran : (-)
Tonsil :

Warna

: pink

Pembesaran

: tidak ada

Abses/tidak : tidak ada


Membran/pseudomembran : (-)

Leher :Vena Jugularis :

Pulsasi

: tidak terlihat

Tekanan

: tidak meningkat

Pembesaran kelenjar leher : tidak ada


Kaku kuduk

: tidak ada

Massa

: tidak ada

o Thoraks :

Dinding dada/paru :
Inspeksi: Bentuk

: simetris, pectus excavatum

Retraksi

: Ada, subcostal

Dispnea

: ada

Pernafasan

: abdomino-thorakal

Palpasi:

kesan simetris, massa (-)

Perkusi:

sonor/sonor

Auskultasi:Suara Napas Dasar : Suara napas vesikuler


Suara Napas Tambahan : stridor inspirasi +/+ Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)

Jantung :
Inspeksi: Iktus : tidak terlihat
Palpasi:

Apeks : tidak teraba


Thrill : tidak ada
6

Perkusi:

Batas kanan
Batas kiri

: kesan ICS IV LPS dextra

: kesan ICS V LMK sinistra

Batas atas : kesan ICS II LPS dextra


Batas bawah
Auskultasi:

: kesan ICS IV LMK sinistra

Frekuensi

: 130 x/menit

Suara dasar : S1 dan S2 tunggal


Bising

: tidak ada

o Abdomen
Inspeksi

: datar,

Auskultasi : bising usus (+) normal


Perkusi

: Timpani, asites tidak ada

Palpasi:

Hati

: tidak teraba

Lien

: tidak teraba

Ginjal : tidak teraba


Massa: tidak ada
o Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-) CRT< 2 detik

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan :


Laboratorium :
Pemeriksaaan

Hematologi
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
MCV/MCH/MCHC/RD
W-CV
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV

Hasil
(02.03.2016
)

Hasil
(03.03.20
16)

Nilai
rujukan

Satuan

8,0
24,20
14,1
508
2,6

10,6
31,80
11,9
277
3,5

11-16
35-47
4.0-11.0
150-450
4.40-5.50

g/dL
%
109/L
109/L
1012/L

65,3
19,6
30
17.9

70,0
21,4
31
21,3

80.0-100.0
26.0-34.0
32.0-36.0
11.5-14.5

Fl
Pg
g/dl
%
7

Golongan darah/Rh
Mixed (Eo/Mo/Ba)
Limfosit
Neutrofil

B, Rh (+)
10,8
17,9
71,3

8,9
9,2
71,9

3-10
20-40
40-70

%
%
%

Assessment
I.

Definisi
Laringomalacia

adalah

kelainan

kongenital

pada

laring

berupa

flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika


ariepiglotik dan epiglotis, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran
napas yang menimbulkan gejala utama berupa stridor inspiratoris kronik
pada bayi dan anak.
II.

Epidemilogi
Laringomalasia diperkenalkan oleh Jackson dan Jackson pada tahun
1942. Laringomalasia adalah anomali kongenital pada laring yang paling
sering terjadi. Anak laki-laki dilaporkan mengalami laringomalasia 2 kali lebih
sering daripada anak perempuan. Laringomalasia secara umum merupakan
kondisi self-limiting, akan tetapi dapat mengancam jiwa karena obstruksi
jalan nafas yang ditimbulkannya. Selain itu, laringomalasia juga dapat
menyebabkan terjadinya kor pulmonal dan kegagalan pertumbuhan pada
anak. Laringomalasia dan trakeomalasia merupakan dua kelainan kongenital
tersering pada laring (59,8%) dan trakea (45,7%) neonatus,bayi,dan anak
yang sering menyebabkan stridor.
8

Hawkins

dan

Clark

(1987)

yang

melakukan

evaluasi

dengan

laringoskopi fleksibel pada 453 pasien, menemukan 84 orang dengan


laringomalasia primer dan 29 orang dengan laringomalasia sekunder.
Sedangkan Nussbaum dan Maggi (1990) melaporkan sebanyak 68% dari 297
anak dengan laringomalasia juga mempunyai kelainan pernafasan lainnya.
Pada penelitian Holinger pada 219 pasien dengan stridor, kelainan kongenital
pada laring dan trakea menempati urutan pertama (60,3%) dan kedua
(16%). Penyebab tersering keadaan stridor pada bayi ialah laringomalasia
dan trakeomalasia sebagai dua kelainan kongenital yang tersering pada
laring (59,8%) dan trakea (45,7%) pada neonatus, bayi dan anak-anak.
Beberapa penelitian melaporkan sebanyak 65-75% bayi dengan stridor
disebabkan oleh laringomalasia. Pada 10-15% kasus laringomalasia bersifat
berat dan dibutuhkan suatu intervensi bedah untuk penatalaksanaannya.
Melissa dkk, menemukan dari 22 anak dengan laringomalasia, 2 (9,1%)
diantaranya membutuhkan intervensi bedah karena laringomalasia berat.

III. Etiologi
Penyebab laringomalasia masih belum diketahui, namun banyak teori
yang menjelaskan patofisiologi laringomalasia. Terdapat hipotesis yang
dibuat berdasarkan model embriologi. Epiglotis dibentuk oleh lengkung
brakial ketiga dan keempat. Pada laringomalasia terjadi pertumbuhan
lengkung ketiga yang lebih cepat dibandingkan yang keempat sehingga
epiglotis

melengkung

ke

dalam.

Secara

umum

terdapat

dua

teori

patofisiologi laringomalasia, yaitu teori anatomi dan teori neurogenik.


Menurut teori anatomi, terdapat hipotesis bahwa terjadi abnormalitas
kelenturan tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya
struktur supraglotis. Teori anatomi pertama kali disampaikan oleh Sutherland
dan Lack, 1897, setelah mempelajari 18 kasus obstruksi laring kongenital.
Mereka menyimpulkan bahwa kelainan ini merupakan kelainan kongenital
9

disertai dengan imaturitas jaringan pada bayi yang baru lahir. Pada
kepustakaan disebutkan bahwa kelainan congenital ini bersifat otosomal
dominan. Teori ini didukung oleh penemuan Presscott yang mempelajari 40
pasien dengan laringomalasia. Semuanya mempunyai plika ariepiglotika
yang pendek. Dan sebanyak 68% mempunyai bentuk epiglotis infantile yang
semuanya bermanifestasi berat yang membutuhkan intervensi bedah. Dari
penelitian Wilson pada 10 bayi dengan laringomalasia didapatkan bentuk
laring infantile pada 2 bayi, 3 bayi dengan epiglottis melipat seperti omega
dan 5 sisanya memiliki epiglottis yang normal.
Pada teori neuromuskular, dipercaya penyebab primer kelainan ini
adalah

terlambatnya

perkembangan

kontrol

neuromuskular

dibanding

dengan teori anatomi. Thompson dan Turner melaporkan terjadinya prolap


struktur supraglotis setelah dilakukan pemotongan saraf laring pada
percobaan binatang. Penelitian ini didukung dengan beberapa laporan
tentang pasien yang menderita laringomalasia setelah mengalami luka
neurologi. Peron, dkk melaporkan 7 pasien mengalami flasiditas plika
ariepliglotika

setelah

mengalami

kerusakan

otak

berat.

Keadaan

ini

digolongkan sebagai laringomalasia didapat. Dua dari 7 pasien ini


mengalami perbaikan keadaan neurologi yang diikuti dengan kembali
normalnya fungsi laring.
Dilaporkan

pula

terjadinya

laringomalasia

pada

pasien

yang

mengalami paresis serebral (cerebral palsy), overdosis obat, meningitis,


stroke, retardasi mental dan trisomi 21. Penyebab neurogenik selanjutnya
dihubungkan pula dengan abnormalitas neurogenik lainnya. Belmont dan
Grundfast menemukan 80% dari 30 anak dengan laringomalasia mempunyai
penyakit refluks gastroesofagus (PRGE), 13% terjadi hipotonia dan 10%
mengalami apnea tidur sentral. Mereka menganggap bahwa disfungsi atau
imaturitas dari control neuromuscular yang menjadi akar penyebab semua
kelainan tersebut. Pada kepustakaan lain disebutkan PRGE ditemukan pada
35-68% bayi dengan laringomalasia dan dianggap berperan menyebabkan
edema di supraglotik sehingga terjadi peningkatan hambatan saluran nafas
10

yang cukup mampu menimbulkan obstruksi nafas. Namun dapat pula terjadi
sebaliknya dimana laringomalasia menyebabkan PRGE akibat perubahan
gradien tekanan intraabdominal/ intratorakal.
IV. Klasifikasi Laringomalasia
Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk
membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Laringomalasia umumnya
dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis
supraglotis yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat
terjadi.
Tipe pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang
kedua melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya sendiri, dan yang
ketiga prolapsnya mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas
selama periode inspirasi.

Gambar . Tipe 1 laringomalasia, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid


yang tumpang tindih;

11

Gambar .Tipe 2 laringomalasia, yaitu memendeknya plika ariepiglotika;

Gambar . Tipe 3 Laringomalasia, yaitu melekuknya epiglotis ke arah


posterior.
V.

Manifestasi Klinis
Tiga gejala yang terjadi pada berbagai tingkat dan kombinasi pada

anak dengan kelainan laring kongenital adalah obstruksi jalan napas, tangis
abnormal yang dapat berupa tangis tanpa suara (muffle) atau disertai stridor
inspiratoris serta kesulitan menelan yang merupakan akibat dari anomali
laring yang dapat menekan esofagus.
Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh
spontan pada 70% bayi saat usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi
kebanyakan timbul segera setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu
atau bulan kemudian. Pada beberapa bayi tidak menimbulkan gejala sampai
anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau dipresipitasi oleh infeksi saluran
nafas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan bernada tinggi. Stridor
akan bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan
12

dan kemudian bersifat intermiten dan hanya timbul bila usaha bernafas
bertambah seperti saat anak aktif, menangis, makan, kepala fleksi, atau
posisi supinasi. Setelah itu keadaan makin membaik. Rata-rata stridor terjadi
adalah

selama

tahun

bulan.

Tidak

ada

korelasi

antara

lama

berlangsungnya stridor dengan derajat atau waktu serangan.


Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum, interkosta, dan
epigastrium akibat usaha pernafasan, dan anak dapat ditemukan dalam
keadaan pektus ekskavatum.
Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi napas yang berat.
Penderita laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang
disertai muntah sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah
gizi kurang dan gagal tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks
lambung terjadi pada 80% dan regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan.
Masalah makan dipercaya sebagai akibat sekunder dari tekanan negative
yang tinggi di esophagus intratorak pada saat inspirasi.
Pneumonitis

aspirasi

dilaporkan

terjadi

pada

7%

anak

dengan

laringomalasia. Mekanisme kelainan ini belum jelas, namun mungkin


berhubungan dengan tekanan negative dan masalah makan.
Apne obstruksi tidur (23%) dan apnea sentral (10%) juga ditemukan.
Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat hipoksia dan hiperkapnia akibat
obstruksi nafas atas yang lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya
serangan apnea yang mengancam jiwa dan timbul hipertensi pulmonal, yang
dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung, penyakit paru obstruksi
kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder dari
laringomalasia.
Berdasarkan

letak

prolaps

dari

struktur

supraglotis,

Olney

dkk

membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasi ini bertujuan untuk


mempermudah pemilihan teknik operasi supraglotoplasti. Klasifikasinya
adalah sebagai berikut: tipe 1, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid
yang tumpang tindih; tipe 2, yaitu memendeknya plika ariepiglotika; tipe 3,
yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior. Bentuk omega epiglotis tidak
13

selalu menjadi ciri khas karena ini hanya ditemukan pada 30-50% pasien,
dan kebanyakan tidak ditemukan adanya stridor.

VI.

Diagnosis
Laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang berupa laringoskopi fleksibel dan radiologi.
a) Anamnesis
Dari anamnesis dapat kita temukan :
-

Riwayat stridor inspiratoris diketahui mulai 2 bulan awal kehidupan.


Suara biasa muncul pada minggu 4-6 awal.

Stridor berupa tipe inspiratoris dan terdengar seperti kongesti nasal,


yang biasanya membingungkan. Namun demikian stridornya persisten
dan tidak terdapat sekret nasal.

Stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis,


ketika terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa
kasus, selama dan setelah makan.

Tangisan bayi biasanya normal

Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi


kadang tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada refluks pada
bayi.

Bayi gembira dan tidak menderita.

b) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis ditemukan
- Pada pemeriksaan bayi terlihat gembira dan berinteraksi secara wajar.
- Dapat terlihat takipneu ringan
14

- Tanda-tanda vital normal, saturasi oksigen juga normal


- Biasanya terdengar aliran udara nasal, suara ini meningkat jika posisi
bayi terlentang
- Tangisan bayi biasanya normal, penting untuk mendengar tangisan
bayi selama pemeriksaan
- Stridor murni berupa inspiratoris. Suara terdengar lebih jelas di sekitar
angulus sternalis
c) Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laring dengan
menggunakan

laringoskop

serat

fiber

fleksibel

selama

periode

pernapasan spontan. Penemuan endoskopik yang paling sering adalah


kolapsnya plika ariepiglotik dan kartilago kuneiform ke sebelah dalam.
Laringoskopi

langsung

merupakan

cara

yang

terbaik

untuk

memastikan diagnosis. Pemeriksaan dilakukan pada anak dalam


keadaan sadar dengan posisi tegak melalui kedua hidung tanpa
adanya premedikasi. Bilah laringoskop dimasukkan ke valekula dengan
tekanan yang minimal pada epiglotis untuk menegakkan diagnosis.
Pada inspirasi, struktur sekitar vestibulum, terutama plika ariepiglotik,
epiglotis, dan kartilago aritenoid akan tampak turun ke saluran nafas,
disertai stridor yang sinkron. Visualisasi langsung memperlihatkan
epiglotis berbentuk omega selama inspirasi.
Melalui pemeriksaan ini, juga dapat dinilai pasase hidung,
nasofaring, dan supraglotis. Pada laringomalasia, pita suara dapat
bergerak

dengan

baik,

namun

pada

keadaan

berat,

sulit

memvisualisasikan pita suara akibat kolapnya supraglotis


Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian,
yaitu risiko terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien
menangis dan penilaian keadaan subglotis kurang akurat
Olney, dkk membuat kategori kandidat yang sebaiknya dilakukan
laringoskopi dan bronkoskopi. Kriterianya adalah:
15

1.

Bayi

dengan

gangguan

pernapasan

berat,

gagal

tumbuh,

mengalami fase apnea, atau pneumonia berulang.


2.

Bayi

dengan

gejala

yang

tidak

sesuai

dengan

gambaran

laringomalasia pada laringoskopi fleksibel.


3.

Bayi dengan lesi lain di laring.

4.

Bayi yang akan dilakukan supraglotoplasti.


Nusbaum

dan

laringomalasia

Maggi

melaporkan

mempunyaikelainan

68%

dari

297

pernafasan

anak
lainnya

dengan
yang

ditemukan dengan bronkoskopi.

Gambar . Laringoskop Langsung


VII.

Diagnosis Banding
Setiap kelainan yang menyebabkan obstruksi pada laring diagnosis
banding dari laringomalasia baik akibat kelainan kongenital, infeksi,
trauma, benda asing, tumor, paralisis pita suara, stenosis laring dan
trakea.
Laringomalasia
inspiratoris

lain

didiagnosis

pada

banding

anak-anak.

Antara

dengan
lain

penyebab

yaitu,

stridor

hemangioma

supraglotik, massa atau adanya jaringan intraluminal seperti laryngeal


web dan kista laring, kelainan akibat trauma seperti edema dan stenosis
supraglotik, maupun kelainan pada pita suara.

15,16

Plan
Diagnosis Masuk : Dispnea + observasi Kejang + Suspek Cerebral
Palsy + Gizi Buruk
16

Diagnosis Pulang : Laringomalacia


Terapi IGD
Oksigen nasal canul 2-3 lpm
Stesolid supp rectal 10 mg (ekstra)
IVFD RL 10 tpm (makro)
P.O : Paracetamol 3x 1 cth
Konsul dr. Pandji, SpA , advice :
Observasi di IGD selama 1 jam, jika tidak kejang rawat ruang biasa.
IVFD RL 12 tpm
Ampicilin 3x500mg IV
Dexamethason 3x 2,5 mg
Paracetamol sirup 4x 1 cth.
Terapi di ruang perawatan :
IVFD RL 12 tpm
Ampicilin 3x500mg IV
Dexamethason 3x 2,5 mg
Paracetamol sirup 4x 1 cth.
Tranfusi PRC 100cc (02.03.2016)
Terapi Pulang :
Paracetamol 4x 1cth
Cefixime 2x1 cth
Edukasi :
Pada keadaan ini, hal yang dapat dilakukan adalah memberi keterangan dan
keyakinan untuk menenangkan orang tua pasien tentang prognosis dan
pentingnya kontrol yang teratur. Sebagian besar anak dengan kelainan ini
dapat ditangani secara konservatif.
Tatalaksana
17

Pada lebih dari 99% kasus, satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan


adalah waktu. Lesi sembuh secara berkala, dan stridor rata-rata hilang
setelah dua tahun. Stridor mulanya meningkat pada 6 bulan pertama, seiring
bertambahnya aliran udara pernafasan bersama dengan bertambahnya
umur. Pada beberapa kasus, stridor dapat menetap hingga dewasa. Dalam
hal ini, stridor baru muncul setelah beraktifitas berat atau terkena infeksi.
Jika bayi mengeluarkan stridor yang lebih keras dan mengganggu tidur, hal
ini dapat diatasi dengan menghindari tempat tidur, bantal atau selimut yang
terlalu lembut, sehingga akan memperbaiki posisi bayi sehingga dapat
mengurangi bunyi. Jika terjadi hipoksemia berat pada bayi (ditandai dengan
saturasi oksigen <90%) maka sebaiknya diberikan tambahan oksigen. Tidak
ada obat-obatan yang dibutuhkan untuk kelainan ini.
Sebagian besar anak dengan kelainan ini dapat ditangani secara
konservatif. Pada keadaan ini, hal yang dapat dilakukan adalah memberi
keterangan dan keyakinan untuk menenangkan orang tua pasien tentang
prognosis dan tindak lanjut yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang
dan pertumbuhan yang normal dapat dicapai. Jarang terjadi dimana seorang
anak memiliki kelainan yang signifikan sehingga memerlukan operasi.
Trakeostomi merupakan prosedur pilihan untuk laringomalasia berat.
Supraglotoplasti dapat dilakukan pada kasus-kasus yang lebih ringan.
Berdasarkan klasifikasi Olney terdapat tiga teknik supraglotoplasti yang
dapat

dilakukan.

Teknik

yang

dipilih

tergantung

pada

kelainan

laringomalasianya. Pada tipe 1, dimana terjadi prolaps mukosa aritenoid


pada kartilago aritenoid yang tumpang tindih, dilakukan eksisi jaringan
mukosa yang berlebihan pada bagian posterolateral dengan menggunakan
pisau bedah atau dengan laser CO2. Laringomalasia tipe 2 dikoreksi dengan
cara

memotong

plika

ariepiglotika

yang pendek

yang menyebabkan

mendekatnya struktur anterior dan posterior supraglotis. Laringomalasia tipe


3 ditangani dengan cara eksisi melewati ligament glosoepiglotika untuk
menarik epiglottis ke depan dan menjahitkan sebagian dari epiglottis ke
dasar lidah.
18

Gambar . Supraglotoplasti
Follow Up
Tangg

02.03.2016

03.03.2016

04.03.2016

al
S

Demam (+), Kejang

Demam (+), Kejang

Demam (-), Kejang

(-)sesak , menangis.
T : 37,6 C

(-)sesak berkurang,
T : 38C

(-)sesak(-),
T : 37 C

RR : 26 x/i

RR : 22 x/i

RR : 18 x/i

Nadi : 130 x/i


Anemia +

Nadi : 100 x/i


Laringomalacia

Nadi : 90 x/i
Laringomalacia

Laringmalacia
IVFD RL 12 tpm

IVFD RL 12 tpm

Boleh Pulang

Ampicilin 3x500mg IV

Ampicilin 3x500mg IV

Terapi oral :

Dexamethason 3x 2,5

Dexamethason 3x 2,5

Paracetamol 4x 1cth

mg

mg

Cefixime 2x1 cth

Paracetamol sirup 4x 1

Paracetamol sirup 4x 1

kontrol ulang tanggal

cth.

cth.

08.03.2016

Tranfusi PRC 100cc

Propiretik supp rectal

(02.03.2016)

80 mg (ekstra)

Prognosis

19

Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya dapat sembuh


sendiri, dan tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian
besar pasien, gejala menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada
usia satu tahun. Pada beberapa kasus, walaupun tanda dan gejala
menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini, biasanya stridor
akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa.
Pada pasien An. M. I prognosis quo ad vitam dubia ad bonam, quo ad
fungsionam dubia ad malam, dan quo ad sanationam dubia ad malam.

20

Anda mungkin juga menyukai