Anda di halaman 1dari 9

www.irwantoshut.

com
8 Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutamamasyarakat sekitar
hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove.Begitu pula kegiatan industri,
tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dansebagainya di sekitar hutan mangrove harus
diidentifikasi dengan baik.
Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum
Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, sertaDepartemen
Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompetendalam pengelolaan
mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah
mendesak untuk dilakukan saat ini.Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang
yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan
yang dibuatoleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove.
Yangdiperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap
perangkathukum tersebut.
Strategi dan Pelaksanaan Rencana
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utamayang dapat
diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasidan pengertian bahwa
mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agardapat tetap lestari. Kedua
kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove danrehabilitasi hutan mangrove (Bengen,
2001). Salah satu cara yang dapat dilakukandalam rangka perlindungan terhadap keberadaan
hutan mangrove adalah denganmenunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan
kawasan konservasi, dansebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.Dalam
konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat danfungsinya, status pengelolaan
ekosistem mangrove dengan didasarkan data TatagunaHutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri
atas :

Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, tamanlaut, taman
hutan raya, cagar biosfir).

Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).

www.irwantoshut.com
9 Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasanhutan
mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya statushutan ini dikelola
oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan
sebagainya.Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem
mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran b
ahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaanmangrove
dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.Pola pengawasan
pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah
pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan,institus

i formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan,mekanisme pengawasan,
serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).
KESIMPULAN

Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khasyang bernilai
ekologis dan ekonomis.

Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, makadiperlukan pengelolaan


mangrove yang meliputi aspek perlindungan dankonservasi.

Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaanmangrove yang


melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat.
DAFTAR ACUAN
Bengen, D.G. 2000.
Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir
. Pusat KajianSumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor,
Indonesia.Bengen, D.G. 2001.
Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove
. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.Bogor,
Indonesia.Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996.
Pengelolaan Sumber DayaWilayah Pesisir Secara Terpadu
. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan
Perencanaan Lansekap Hutan MangroveDi Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga,
Jawa Barat
. Tesis Magister
.Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

www.irwantoshut.com
10IUCN - The Word Conservation Union. 1993.
Oil and Gas Exploration and Productionin Mangrove Areas
. IUCN. Gland, Switzerland.Kaswadji, R. 2001.
Keterkaitan Ekosistem Di Dalam Wilayah Pesisir
. Sebagian bahankuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir dan Laut). Fakultas Perikanan
danKelautan IPB. Bogor, Indonesia.Khazali, M. 1999.
Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat
.Wetland International Indonesia Programme. Bogor, Indonesia.Lawrence, D. 1998.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu
. Alih bahasa oleh T. Mack dan S. Anggraeni. The Great Barrier Reef Marine ParkAuthority.
Townsville, Australia. Nybakken, J.W. 1992.
Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis
. Alih bahasa oleh M.Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT.
GramediaPustaka Utama. Jakarta, Indonesia.Santoso, N., H.W. Arifin. 1998.

Rehabilitas Hutan Mangrove Pada Jalur Hijau Di Indonesia


. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove).Jakarta,
Indonesia.Santoso, N. 2000.
Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove
. Makalah disampaikan padaLokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem
Laut Tahun2000. Jakarta, Indonesia.Supriharyono. 2000
. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di WilayahPesisir Tropis
. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.Widigdo, B. 2000. Diperlukan Pembakuan
Kriteria Eko-Biologis Untuk MenentukanPotensi Alami Kawasan Pesisir Untuk Budidaya
Udang. Dalam :
ProsidingPelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
. Pusat KajianSumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor dan Proyek Pesisir
danCoastal Resources Center University of Rhode Island. Bogor, Indonesia.Yahya, R.P. 1999.
Zonasi Pengembangan Ekoturisme Kawasan Mangrove YangBerkelanjutan Di Laguna Segara
Anakan Kabupaten Cilacap Propinsi Jawa Tengan.
Tesis Magister
. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan -Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia

dampak ekonomi kerusakan mangrove


Assalamualaikum
DAMPAK EKONOMI KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE
(Studi Kasus Di Kabupaten Demak)
Oleh : Budi Sulistyawan (NIM. K4A008008)

A. PENDAHULUAN
Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di
sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu
lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah
anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang
tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai)
yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya
bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang
terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya
di dalam suatu habitat mangrove.
Hutan mangrove memiliki produktivitas primer yang paling tinggi. Hutan mangrove dapat
memberikan konstribusi besar terhadap detritus organic yang sangat penting sebagai sumber
energi bagi biota diperairan sekitarnya. Proses dekomposisi daun mangrove menciptakan rantai
makanan detritus yang komplek, sehingga memperkaya produktivitas hewan bentos yang hidup
di dasar perairan. Kehadiran organisme decomposer yang melimpah merupakan
sumbermakanan bagi berbagai jenis larva ikan, udang, dan biota lainnya yang sudah
beradaptasi sebagai pemakan dasar. Detritus yang dihasilkan tidak hanya menjadi dasar bagi
pembentukan rantai makanan di ekosistem mangrove, tetapi juga penting sebagai sumber
makanan dan nutrient bagi biota di perairan pantai yang berada dekat dengan estuaria.
Berdasarkan hasil-hasil studi dibeberapa daerah pantai juga menunjukkan bahwa keberadaan
hutan mangrove sangat memberikan manfaat pada masyarakat pesisir, baik yang didapat
melalui peningkatan hasil tangkapan, perolehan kayu bakau yang mempunyai nilai ekspor
tinggi dan keamanan pantainya.
Wilayah pesisir tersebut merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan laut, ke arah
darat meliputi bagian tanah baik yang kering maupun yang terendam air laut, dan masih
dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak dan gelombang serta
perembesan air laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian perairan laut yang dipengaruhi
oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai
maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat. Wilayah pesisir adalah daerah
pertemuan antara darat dan laut, dengan batas kearah darat meliputi bagian daratan, baik
kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut,
pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh jenis vegetasi yang khas. Wilayah pesisir
juga merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis
pantai (coastline) maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu
batas sejajar garis pantai (longshore) dan batas tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore).
Batas wilayah pesisir kearah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada daerah paparan
benua (continental shelf) dimana ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh
kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Kerusakan hutan mangrove telah terjadi di Kabupaten Demak hingga saat ini masih terus
terjadi dan kian parah. Kerusakan ini terjadi sebagaian besar karena disebabkan pengelolaan
wilayah pesisir yang kurang tepat. Kondisi ini harus mendapatkan perhatian serius agar
kelestarian hutan mangrove. Berdasarkan kodisi tersebut di atas, maka kajian ini mengambil
kajian studi kasus di wilayah pesisir Kabupaten Demak yakni ingin mengetahui dampak

kerusakan hutan dan bagaimana upaya-upaya pemecahannya.


B. KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE DI KABUPATEN DEMAK
Kabupaten Demak adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terletak pada 643'26" 709'43" LS dan 11048'47" BT dan terletak sekitar 25 km di sebelah timur Kota Semarang.
Demak dilalui jalan negara (pantura) yang menghubungkan Jakarta-Semarang-SurabayaBanyuwangi. Kabupaten Demak memiliki luas wilayah seluas 1.149,77 km, yang terdiri dari
daratan seluas 897,43 KM, dan lautan seluas 252,34 km. Sedangkan kondisi tekstur
tanahnya, wilayah Kabupaten Demak terdiri atas tekstur tanah halus (liat) dan tekstur tanah
sedang (lempung). Dilihat dari sudut kemiringan tanah, rata-rata datar. Dengan ketinggian
permukaan tanah dari permukaan air laut (sudut elevasi) wilayah Kabupaten Demak terletak
mulai dari 0 M sampai dengan 100 m. Kabupaten Demak mempunyai pantai sepanjang 34,1 km,
terbentang di 13 desa yaitu desa Sriwulan, Bedono, Timbulsloko dan Surodadi (Kecamatan
Sayung), kemudian Desa Tambakbulusan Kecamatan Karangtengah, Desa Morodemak,
Purworejo dan Desa Betahwalang (Kecamatan Bonang) selanjutnya Desa Wedung,
Berahankulon, Berahanwetan, Wedung dan Babalan (Kecamatan Wedung). Sepanjang pantai
Demak ditumbuhi vegetasi mangrove seluas sekitar 476 Ha.
Gambar 1 Mangrove di sepanjang sungai di Kabupaten Demak Tahun. 2008
Secara ekologis hutan mangrove telah dikenal mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Ekosistem mangrove bagi sumberdaya
ikan dan udang berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara juvenil dan
berkembang biak. Bagi fungsi ekologi sebagai penghasil sejumlah detritus dan perangkap
sedimen. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa baik sebagai habitat pokok
maupun sebagai habitat sementara. Bagi fungsi ekonomis dapat bermanfaat sebagai sumber
penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar, bahan arang, alat tangkap
ikan dan sumber bahan lain seperti tannin dan pewarna. Arang dari jenis Rhizophora spp
mempunyai nilai panas yang tinggi dan asapnya sedikit. Mangrove juga mempunyai peran
penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut. Disamping itu sebagai
peredam gelombang dan angin badai, penahan lumpur, perangkap sedimen yang diangkut oleh
aliran permukaan (Bengen, 1999).
Beberapa faktor yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di pesisir
Kabupaten Demak adalah: pertambakan, penebangan, reklamasi/ konversi lahan menjadi
pemukiman dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan.
1. Pertambakan
Konversi ekosistem mangrove menjadi tambak merupakan faktor utama penyebab hilangnya
hutan mangrove dunia, tidak terkecuali di pesisir Kabupaten Demak. Di kawasan ini tambak
merupakan pemandangan umum, baik tambak udang dan bandeng maupun tambak garam.
Pada musim penghujan, tambak garam yang bersalinitas tinggi biasanya juga diubah menjadi
tambak bandeng.
Tambak-tambak ikan dan udang di kawasan ini dikelola secara intensif hingga jauh ke arah
daratan. Hampir semua pantai yang mengalami sedimentasi membentuk dataran lumpur dan
memiliki ekosistem mangrove diubah menjadi areal tambak.
2. Penebangan
Pencurian kayu untuk bangunan rumah maupun kayu bakar dan juga merupakan bahan
pembuatan arang yang baik.
3. Reklamasi/ konversi lahan menjadi pemukiman.
Reklamasi pantai untuk kepentingan industri dan pelabuhan telah banyak dilakukan di pantai
utara Jawa. Di Kabupaten Demak, reklamasi pantai untuk kegiatan usaha relatif masih terbatas.
Dibeberapa tempat dibangun rumah, TPI dan tempat wisata.
4. Sedimentasi

Sedimentasi merupakan faktor dinamis yang dapat mendorong terbentuknya ekosistem


mangrove, namun sedimentasi dalam skala besar dan luas dapat merusak ekosistem mangrove
karena tertutupnya akar nafas dan berubahnya kawasan rawa menjadi daratan. Sedimentasi di
pesisir Kabupaten Demak di beberapa tempat memungkinkan terus bertambah luasnya daratan
ke arah laut sehingga terbentuk tanah timbul, dan memungkinkan pertumbuhan ekosistem
mangrove.
5. Abrasi
Abrasi pantai akan merusak hutan mangrove, namun hutan mangrove dapat mencegah
terjadinya abrasi karena hutan mangrove mengikat tanah dengan kuat.
6. Pencemaran lingkungan.
Pencemaran dari limbah pertanian dan limbah rumah tangga serta industry menyumbang
pencemaran yang cukup tinggi sehingga akan meracuni mangrove. Bahan pencemar seperti
minyak, sampah, dan limbah industri dapat menutupi akar mangrove sehingga mengurangi
kemampuan respirasi dan osmoregulasi tumbuhan mangrove, dan pada akhirnya menyebabkan
kematian.
C. DAMPAK KERUSAKAN MANGROVE
Dampak dari kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak adalah pengubahan
fungsi hutan mangrove menjadi fungsi lain secara tidak wajar akan mengakibatkan timbulnya
keadaan yang tidak sesuai dengan kaifah pembangunan yang berkelanjutan. Alih fungsi hutan
mangrove saat ini banyak digunakan untuk pembukaan areal tambak tidak akan memberikan
hasil yang lebih besar jika dibandingkan dengan membiarkan ekosistem mangrove sebagai
habitat biota secara alamiah. Alih fungsi mangrove akan merusak siklus rantai makanan bagi
seluruh biota ekosositem mangrove yang juga berkaitan dengan biota yang di depannya yakni
padang lamun dan terumbu karang, karena anda interaksi yang sangat kuat dari ketiga
ekosistem tersebut. Apabila fungsi-fungsi hutan mangrove akibat alih fungsi maka otomatis
akan akan mengganggu bahkan merusak kedua ekosisitem lain. Pada akhirnya menurunnya
daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia karena menurunnya sumber daya hayati
seperti stok ikan, kepiting dan lain-lain.
Kerusakan ekosistem ini juga secara sistemik sebagai salah satu penyebab global warming,
dampak yang ditimbulkan berikutnya adalah :
1. Peningkatan muka air laut sehingga terjadi rob.
Gambar 1. Rob menggenangi jalan di Desa Sriwulan Kec. Sayung Kabupaten Demak Tahun
2008
Gambar 2. Rob menggenangi pemukiman di Besa Sriwulan Kec. Sayung Kabupaten Demak
Tahun 2008
Gambar 2. Rob menggenangi tambak di Besa Sriwulan Kec. Sayung Kabupaten Demak Tahun
2008
Kerugian secara ekonomi yaitu menimbulkan biaya meninggikan pondasi rumah, jalan,
infrastruktur yang lain. Disamping itu tambak yang sebelumnya menjadi areal budidaya udang
dan bandeng tidak dapat berproduksi lagi.
2. Rusaknya infrasturktur yang telah dibangun.
3. Terpaan angin yang kencang
Mangrove secara alami adalah pematah angin sehingga angin tidak terlalu kencang, dengan
rusaknya mangrove angin sering merusak genting rumah.
4. Biaya pengelolaan kota akan bertambah.
Akibat rob berdampak lanjutan pada pengelolaan kota menjadi lebih mahal.

5. Kegiatan sehari hari masyarakat terhenti.


Akibat rob berdampak lanjutan pada terhentinya aktivitas masyarakat seperti memasak,
mencuci, bekerja, makan, minum sekolah dan lain-lain.
6. Terputusnya sarana penerangan, transportasi dan komunikasi.
Akibat rob berdampak lanjutan pada terputusnya sarana penerangan transportasi dan
komunikasi yang akan berdampak sistemik pada masyarakat.
7. Abrasi
Mangrove secara alami merupakan pematah ombak, dengan rusaknya mangrove ini
menyebabkan tambak abrasi. Sehingga timbul biaya pembuatan breakwater sebagai pemecah
ombak yang membutuhkan biaya yang cukup besar.
8. Relokasi
Kegiatan relokasi merupakan salah satu solusi namun membutuhkan biaya yang sangat besar.
9. Hilangnya mata pencaharian masyarakat sebagai petani tambak akibat rob.
Tambak yang sebelumnya menjadi areal budidaya udang dan bandeng tidak dapat berproduksi
lagi. Permasalahan ini adalah sangat serius karena menyangkut ekonomi.
D. PEMECAHAN MASALAH
Pemecahan masalah terhadap kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak
adalah restorasi ekositem mangrove. Restorasi diperlukan apabila ekosistem telah terdegradasi
dan berubah jauh, tidak dapat memperbaharui diri secara alami untuk kembali ke kondisi
semula, serta tidak dapat melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya, sehingga memerlukan
pengelolaan dan perlindungan Tujuan utama restorasi mangrove adalah mengelola struktur,
fungsi, dan proses-proses ekologi pada ekosistem tersebut, serta mencegahnya dari kepunahan,
fragmentasi atau degradasi lebih lanjut Ekosistem mangrove di Jawa mengalami penurunan
sangat drastis, akibat tingginya tekanan pertambahan penduduk yang berimplikasi pada
besarnya kegiatan pertambakan, penebangan hutan, reklamasi dan sedimentasi, serta
pencemaran lingkungan, sehingga perlu dilakukan restorasi untuk mengembalikan karakteristik
dan fungsi ekosistem ini. Hutan mangrove yang rusak dapat melakukan penyembuhan sendiri
melalui suksesi sekunder dalam periode 15-30 tahun, dengan syarat sistem hidrologi pasangsurut tidak berubah, dan tersedia biji (propagul) atau bibit. Tindakan sengaja dengan restorasi
buatan seringkali diperlukan untuk memastikan berhasilnya proses penyembuhan alami
tersebut.
Gambar 2. Restorasi Mangrove di Desa Purwosari Kec. Sayung Kabupaten Demak Tahun 2008
Kegagalan restorasi mangrove dapat disebabkan kesalahan pemahaman pola hidrologi,
perubahan arus laut, tipe tanah, pemilihan spesies, penggembalaan hewan ternah, sampah,
kelemahan manajemen, dan ketiadaan partisipasi masyarakat. Di pesisir Kabupaten Demak,
partisipasi kelompok tani dalam manajemen pengelolaan mangrove sangat menentukan
keberhasilan restorasi mangrove. Masyarakat diwajibkan menjaga kelestarian mangrove, sebagi
imbalannya mereka mendapatkan manfaat ekologi seperti perlindungan garis pantai dan
terjaganya biodiversitas ikan, serta manfaat ekonomi secara langsung berupa produk kayu
Rhizophora dan bibit Rhizophora yang dijual untuk kepentingan program restorasi. Kawasan ini
merupakan salah satu salah pusat pembibitan Rhizophora terbesar di Jawa.
Salah satu strategi penting yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang dalam konteks
pengelolaan sumbedaya alam, termasuk ekosistem hutan mangrove adalah pengelolaan berbasis
masyarakat (Community Based Management) yang mengandung arti keterlibatan langsung
masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan. Mengelola di sisi
mengandung arti, masyarakat ikut memikirkan, memformulasikan, merencanakan,
mengimplemetasikan, mengevaluasi maupun memonitorinya, sesuatu yang menjadi
kebutuhannya. Dengan istilah community-based management itu juga mengandung arti suatu
pendekatan (approach), dalam hal ini pendekatan dari bawah (bottom-up approach), sebagai

kebalikannya pendekatan dari atas (top-down approach). Dasar pemikiran atau landasan
berpijak pada pemberdayaan mangrove bagi kesejahteraan masyarakat pesisir berbasis
masyarakat adalah keberlanjutan (sustainability) usaha pemanfaatan dan pelestarian hutan
mangrove, baik ditinjau dari aspek sosial-ekonomi maupun aspek lingkungan hidup, dan
bersifat merakyat (bottom up). Sifat merakyat ini merupakan bentuk implementasi dari
kebutuhan, kemampuan dan kesepakatan masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi
lingkungan yang ada. Kegiatan ini bertujuan untuk:
1. Mengembangkan suatu bentuk pengelolaan pesisir terpadu dimana masyarakat menjadi
pelaku utama dalam pemanfaatan lahan mangrove sebagai areal pertambakan secara
berkelanjutan.
2. Menumbuhkan tanggung jawab masyarakat dengan cara meningkatkan kepedulian dan
partisipasi mereka dalam menjaga dan melestarikan sumberdaya alam di lingkungan mereka.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Kabupaten Demak mempunyai pantai sepanjang 34,1 km, terbentang di 13 desa yaitu desa
Sriwulan, Bedono, Timbulsloko dan Surodadi (Kecamatan Sayung), kemudian Desa
Tambakbulusan Kecamatan Karangtengah, Desa Morodemak, Purworejo dan Desa Betahwalang
(Kecamatan Bonang) selanjutnya Desa Wedung, Berahankulon, Berahanwetan, Wedung dan
Babalan (Kecamatan Wedung). Sepanjang pantai Demak ditumbuhi vegetasi mangrove seluas
sekitar 476 Ha.
Beberapa faktor yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di pesisir
Kabupaten Demak adalah: pertambakan, penebangan, reklamasi/ konversi lahan menjadi
pemukiman dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Akibat kerusakan mangrove maka
otomatis akan akan mengganggu bahkan merusak kedua ekosisitem lain dan pada akhirnya
menurunkan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia karena menurunnya
sumber daya hayati seperti stok ikan, kepiting dan lain-lain. Kerusakan ekosistem ini juga
secara sistemik sebagai salah satu penyebab global warming, dampak yang ditimbulkan
berikutnya adalah :
1. Peningkatan muka air laut sehingga terjadi rob.
2. Rusaknya infrasturktur yang telah dibangun.
3. Terpaan angin yang kencang
4. Biaya pengelolaan kota akan bertambah.
5. Kegiatan sehari hari masyarakat terhenti.
6. Terputusnya sarana penerangan, transportasi dan komunikasi.
7. Abrasi
8. Relokasi
9. Hilangnya mata pencaharian masyarakat sebagai petani tambak akibat rob.
Pemecahan masalah terhadap kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak
adalah restorasi ekositem mangrove dengan keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola
sumberdaya alam di suatu kawasan. Dasar pemikiran atau landasan berpijak pada
pemberdayaan mangrove bagi kesejahteraan masyarakat pesisir berbasis masyarakat adalah
keberlanjutan (sustainability) usaha pemanfaatan dan pelestarian hutan mangrove, baik
ditinjau dari aspek sosial-ekonomi maupun aspek lingkungan hidup, dan bersifat merakyat
(bottom up).
F. DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL.
IPB. Bogor.
Setyawan, A.D. dkk. 2004. Tumbuhan mangrove di Jawa: 2. Restorasi. Biodiversitas 5 (2): 105118.

Setyawan, A.D. K. Winarno. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir


Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Biodiversitas 7 (2): 159-163.
Snedaker. 1978. Mangrove; their values and perpetuation. National Resources. 14:6-13.

DAMPAK EKONOMI KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE

Tugas Mata Kuliah

Oleh :
BUDI SULISTYAWAN
K4A008008

MAGISTER SAINS MANAJEMEN SUMBER DAYA PANTAI


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2010 klik aja http://www.jualan.dizza.co.cc

Anda mungkin juga menyukai