Anda di halaman 1dari 9

1.

Best practice proyek IT


Ada 4 (empat) hal penting yang harus dipahami oleh seorang project manager ketika melaksanakan
suatu proyek, yaitu cakupan proyek (project scope), waktu pelaksanaan proyek (project timeline), biaya
proyek (project cost) dan kualitas dari proyek itu sendiri (project quality). Keempat hal tersebut
menjadi pilar utama dalam project management body of knowledge (PMBOK), sebuah best practise
yang digunakan oleh seluruh project manager di dunia, khususnya mereka yang telah memiliki
sertifikasi sebagai project manager professional (PMP). Gambar berikut akan menggambarkan
bagaimana keempat hal tersebut berinteraksi.

da 4 (empat) hal penting yang harus dipahami oleh seorang project manager ketika melaksanakan suatu proyek,
yaitu cakupan proyek (project scope), waktu pelaksanaan proyek (project timeline), biaya proyek (project cost)
dan kualitas dari proyek itu sendiri (project quality). Keempat hal tersebut menjadi pilar utama dalam project
management body of knowledge (PMBOK), sebuah best practise yang digunakan oleh seluruh project manager
di dunia, khususnya mereka yang telah memiliki sertifikasi sebagai project manager professional (PMP).
Gambar berikut akan menggambarkan bagaimana keempat hal tersebut berinteraksi.

1. Scope
Scope berbicara masalah cakupan pekerjaan yang dilakukan. Terkadang hal ini yang menjadi perdebatan antara
pelaksana proyek dengan pemilik proyek. Scope yang menjadi luas (biasanya terjadi pada proyek yang
dilakukan ad-hoc, tanpa perencanaan atau metode yang tepat) akibat permintaan owner yang datang terus
menerus dapat mempengaruhi waktu pelaksanaan proyek dan biaya proyek.
2.Time
Merupakan waktu pelaksanaan proyek. Semakin lama suatu proyek dikerjakan, maka semakin besar biaya
operasional proyek yang dibutuhkan. Project Time management yang baik akan mempengaruhi besar kecilnya
profit margin proyek yang didapat
3.Cost
Merupakan komponen biaya proyek. Komponen ini juga saling terkait dengan 2 komponen sebelumnya (scope
and time) karena besar kecilnya biaya proyek (termasuk penambahan biaya jika diperlukan) akan
mempengaruhi besarnya scope proyek serta cepatnya waktu pelaksanaan proyek
4.Quality
Kualitas merupakan harapan yang ingin didapatkan owner dari proyek tersebut dan atau mengacu pada standar
tertentu (misal ISO). Kualitas dapat diraih dengan menentukan biaya, waktu dan scope proyek sesuai dengan
kebutuhan.

Idealnya, Suatu proyek yang baik adalah proyek yang dapat selesai tepat waktu (time) dengan budget yang telah
direncanakan sebelumnya (cost) sesuai dengan cakupan pekerjaan yang disetujui (scope) dengan kualitas yang
diharapkan / ditentukan sebelumnya (quality).

2.

Daya saing global

DAYA SAING NEGARA DAN PENANAMAN MODAL


Wacana tentang bagaimana membangun daya saing negara dilontarkan Michael Porter tahun 1990 dalam
bukunya The Competitive Advantage of Nations. Karya Porter merupakan evolusi pemikirannya tentang
bagaimana sebaiknya negara membangun daya saing. Dalam bagian pertama uraiannya Porter mengingatkan
perlunya paradigma baru dalam kebijakan ekonomi suatu negara. Teori Porter tentang daya saing berangkat dari
keyakinannya bahwa teori ekonomi klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparative (Comparative
Advantage) tidak mencukupi, atau bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh keunggulan
daya saing jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh
kemampuan
industri
melakukan
inovasi
dan
meningkatkan
kemampuannya.
Daya saing negara menurut World Economic Forum (WEF) adalah kemampuan nilai tukar mata uang suatu
negara (exchange rate) mempengaruhi produktivitas nasional. Daya saing diartikan sebagai akumulasi berbagai
faktor, kebijakan dan kelembagaan yang mempengaruhi produktivitas suatu negara sehingga akan menentukan
tercapainya kesejahteraan rakyat dalam sistem perekonomian nasional. Produktivitas adalah penentu utama
tingkat Return on Investment (ROI) dan agregasi pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, semakin kompetitif
daya saing sebuah sistem perekonomian, maka pembangunan akan tumbuh lebih cepat dalam waktu menengah
dan
panjang.
Dengan memiliki daya saing yang kompetitif, suatu negara akan memiliki daya tarik bagi para investor untuk
menanamkan modalnya. Semakin banyaknya aliran investasi (Foreign Direct Investment) yang masuk ke suatu
negara maka akan mempunyai akibat yang signifikan. Para ekonom menganggap Foreign Direct Investment
sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi karena memberi kontribusi pada ukuran-ukuran ekonomi
nasional seperti Produk Domestik Bruto (PDB/GDP). Namun jika suatu negara tidak memiliki daya saing yang
kompetitif, maka negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam meningkatkan perekonomian domestiknya.
Tidak
adanya
atau
tidak
banyak
aliran
investasi
yang
masuk.
Ada tiga kelompok faktor yang menentukan tingkat daya saing sebuah negara (Gambar 1). Pertama,
persyaratan-persyaratan dasar seperti kelembagaan, infrastruktur, kondisi ekonomi makro dan tingkat
pendidikan serta kesehatan masyarakat. Faktor-faktor ini dianggap sebagai motor utama penggerak
proses/pertumbuhan ekonomi. Secara empiris, faktor-faktor ini sudah terbukti berkorelasi positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Kelompok kedua adalah faktor-faktor yang bisa meningkatkan efisiensi (atau
produktivitas) ekonomi seperti pendidikan tinggi dan pelatihan (kualitas sumber daya manusia), kinerja pasar
yang efisien, dan kesiapan teknologi di tingkat nasional maupun perusahaan secara individu. Kelompok ketiga
adalah faktor-faktor inovasi dan kecanggihan proses produksi di dalam perusahaan yang secara bersama
menentukan tingkat inovasi suatu negara.
Daya
Saing
Indonesia
World Economic Forum (WEF) yang berkedudukan di Swiss, mengembangkan dan menerbitkan setiap tahun
Global Competitiveness Index (GCI), yang merupakan suatu indeks gabungan dari sejumlah indikator ekonomi
yang telah teruji secara empirik memiliki korelasi positif dengan PDB untuk jangka menengah dan panjang, dan
berarti secara teoretik juga mempunyai suatu krelasi positif dengan tingkat daya saing. Indeks ini dikembangkan
dengan menggunakan data kuantitatif (sekunder) dan kualitatif (primer). Data kuantitatif memberikan suatu

pandangan komprehensif mengenai keadaan ekonomi secara keseluruhan dari suatu negara, termasuk data
makro
dan
mikro.
Laporan dari World Economic Forum (WEF) tahun ini melalui The Global Competitiveness Report 2007-2008
menunjukkan bahwa tingkat daya saing Indonesia berada pada peringkat ke 54 dari 131 negara yang masuk di
dalam sampel survei, dibandingkan peringkat ke 50 dari 125 negara yang disurvei untuk laporan periode 20062007
(Tabel
1).
Tabel 2 menunjukkan posisi Indonesia untuk ketiga kelompok faktor tersebut. Untuk persyaratan-persyaratan
dasar yang merupakan faktor-faktor kunci penggerak ekonomi (Key for Factor-Driven Economics), posisi
Indonesia relatif memburuk dari 68 (2006-2007) menjadi 82 (2007-2008). Untuk faktor-faktor kunci
peningkatan efisiensi (Key for Efficiency-Driven Economics), peringkat Indonesia 37 dibandingkan 50 setahun
yang lalu. Sedangkan untuk faktor-faktor yang menentukan kemampuan suatu negara membuat inovasi (Key for
Innovation-Driven Economics), Indonesia juga sedikit lebih baik, di 34 dibandingkan 41 untuk periode 20062007.
Dari kelompok faktor-faktor persyaratan dasar, posisi Indonesia tidak bagus, karena berada di luar 50% pertama
dari jumlah negara yang disurvei. Untuk kualitas kelembagaan, jumlah dan kualitas infrastruktur, stabilitas
ekonomi makro, dan kesehatan dan pendidikan primer masyarakat, peringkat Indonesia memburuk tahun ini
dibandingkan
periode
sebelumnya
(Tabel
3).
Dari kelompok faktor-faktor penggerak efisiensi, posisi Indonesia tidak tidak tambah bagus, terkecuali untuk
luas pasar karena jumlah penduduk Indonesia sangat besar maka dengan sendirinya skornya termasuk bagus.
Tentu untuk luas pasar, Indonesia tidak bisa dengan sendirinya berada pada peringkat pertama, atau kedua, atau
lebih baik daripada 15, karena pendapatan per kapita juga merupakan faktor penting penentu pasar, yang mana
Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan misalnya Singapura, Malaysia dan Thailand (Tabel 4).
Untuk inovasi dan kecanggihan bisnis, posisi Indonesia memang masih di dalam 50% pertama dari jumlah
negara yang disurvei (Tabel 5). Namun demikian, keadaan Indonesia masih termasuk buruk. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa Indonesia adalah sebuah negara besar dengan potensi sumber daya manusia (SDM)
yang sangat besar, yang berarti seharusnya Indonesia harus lebih unggul dibandingkan misalnya Singapura
dalam
kemampuan
membuat
berbagai
inovasi.
Lebih jelasnya, Indonesia berada di posisi ke 51 dibandingkan misalnya Malasyia pada peringkat 22 atau
Singapura pada peringkat 23 dalam hal kemampuan melakukan sendiri inovasi. Peringkat pertama dipegang
oleh Jerman. Di dalam kelompok ASEAN, Malaysia, Singapura dan Vietnam lebih baik dibandingkan Indonesia
(Gambar 2). Hasil survei ini tentu sangat memprihatinkan, karena kemampuan inovasi merupakan salah satu
atau mungkin faktor kunci terpenting dalam menentukan kemampuan suatu negara untuk bisa unggul di dalam
persaingan
di
pasar
global
saat
ini,
dan
terlebih
lagi
di
masa
depan.
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Analisis
Kebijakan
Ekonomi
Indonesia
Dalam buku The Competitive Advantage of Nations, Porter mengingatkan perlunya perubahan dalam paradigma
kebijakan
ekonomi
suatu
negara
dalam
rangka
meningkatkan
daya
saingnya.
Pemerintah Indonesia belum lama ini (Tanggal 22 Mei 2008) mengeluarkan INPRES no. 5 Tahun 2008 tentang
fokus program ekonomi 2008-2009 memuat berbagai kebijakan ekonomi yang dapat dikelompokkan ke dalam 8
bidang yaitu kebijakan perbaikan iklim investasi, kebijakan ekonomi makro dan keuangan, kebijakan ketahanan
energi, dan kebijakan sumber daya alam, lingkungan dan pertanian. Empat bidang lainnya adalah kebijakan
pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), kebijakan pelaksanaan komitmen masyarakat
ekonomi ASEAN, kebijakan menyangkut infrastruktur, dan kebijakan menyangkut ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian.
Paket kebijakan itu merupakan kelanjutan dari paket kebijakan ekonomi sebelumnya yaitu Inpres nomor 6 tahun
2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. Berbagai kebijakan
yang termuat di dalamnya merupakan program-program ekonomi prioritas selama 2008-2009 yang memerlukan
koordinasi dari berbagai pejabat mulai dari tingkat menteri hingga tingkat bupati/walikota. Inpres itu
menginstruksikan kepada 29 pejabat mulai dari menteri hingga bupati/walikota untuk mengambil langkah-

langkah yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009. Pelaksanaan
Fokus Program Ekonomi 2008-2009 itu dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menjaga
kelestarian sumber daya alam, peningkatan ketahanan energi dan kualitas lingkungan, dan untuk pelaksanaan
komite
dalam
rangka
menuju
Masyarakat
Ekonomi
ASEAN.
Dari paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah itu, masih terkesan bahwa pemerintah hanya berfokus jangka
pendek yaitu 2009. Dimana pada tahun 2009 nanti merupakan tahun akhir dari masa pemerintahan SBY-JK. Ini
merupakan kebiasaan yang sudah menjadi tradisi kepemimpinan pemerintahan indonesia. Dimana ketika datang
masa-masa injury-time, munculah kebijakan-kebijakan yang terkesan populis bagi masyarakat. Untuk
mendongkrak dan meningkatkan citra pemerintah di mata masyarakat. Walaupun tidak menutup mata bahwa
sebenarnya pemerintah telah dengan berani memutuskan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan
menurunkan
citranya.
Masalah lain di dalam paket kebijakan itu adalah tidak tersentuhnya perhatian pemerintah terhadap sektor
kesehatan dan pendidikan. Dimana kedua sektor ini merupakan basic requirement dalam peningkatan daya saing
negara seperti yang dijelaskan Porter. Tingkat kematian bayi masih tinggi, usia sekolah bagi anak yang tidak
duduk di bangku sekolah masih tinggi pula, walaupun sebagian wilayah di Indonesia telah mencanangkan
sekolah
gratis.
Dibandingkan dengan Vietnam, pada tahun 2006 nilai investasi PMA di Vietnam mencapai US$ 10,2 miliar.
Angka kematian bayi turun drastis, harapan hidup bertambah, dan hampir tiga perempat anak Vietnam usia
sekolah menengah duduk dibangku sekolah, naik dari sekitar sepertiga pada tahun 1990. Hengkangnya dua
perusahaan sepatu, Reebok dan Nike, diikuti Sony Electronic Indonesia ke Vietnam dan menutup pabriknya di
Indonesia memperkuat fakta: Indonesia bukanlah lokasi yang menarik bagi para investor.
Infrastruktur
Salah satu yang menarik dari hasil survey perusahaan-perusahaan yang dilakukan WEF adalah mengenai
permasalahan-permasalahan utama yang dihadapi pengusaha-pengusaha di Indonesia. Seperti yang dapat dilihat
di Gambar 3, hasil survei 2006-2007 menunjukkan bahwa menurut 20% dari 123 pengusaha yang mengisi daftar
pertanyaan, masalah paling besar adalah keterbatasan infrastruktur. Mereka pada umumnya mengatakan bahwa
kualitas jalan raya, transportasi, kereta api, dan fasilitas telekomunikasi serta listrik dibawah nilai rata-rata, yang
artinya buruk. Kelompok kedua dan ketiga, masing-masing hampir 15% mengatakan bahwa masalah bisnis
terbesar adalah birokrasi pemerintah yang tidak efisien yang mengakibatkan biaya tinggi dan ketidakstabilan
politik. Gambaran ini relatif tidak terlalu berubah dengan hasil survei 2007-2008, khususnya dalam dua
persoalan terbesar. Seperti yang ditunjukkan di Gambar 4, infrastruktur yang buruk (dalam arti kuantitas terbatas
dan kualitas buruk) tetap pada peringkat pertama, dan birokrasi pemerintah yang tidak efisien pada peringkat
kedua. Jika dalam survei tahun lalu keterbatasan akses keuangan tidak merupakan suatu problem serius, hasil
survei
tahun
ini
masalah
itu
berada
di
peringkat
ketiga.
Gambar

3.

Masalah-masalah

utama

dalam

melakukan

bisnis

di

Indonesia,

2006-2007

Gambar

4.

Masalah-masalah

utama

dalam

melakukan

bisnis

di

Indonesia,

2007-2008

Sumber:

(WEF,

2007)

Infrastruktur memiliki peran yang sangat penting dalam sistem perekonomian. Semakin baik keadaan
infrastruktur, semakin baik pula pengaruhnya terhadap keadaan ekonomi. Infrastruktur merupakan urat nadi
perekonomian, yang menentukan lancar atau tidaknya kegiatan perekonomian. Jika memiliki infrastruktur yang
bagus, bisa dipastikan sebuah daerah memiliki keadaan ekonomi yang kuat. Sebaliknya, jika suatu daerah

memiliki infrastruktur yang relatif jelek, keadaan ekonominya pun cenderung tidak begitu bagus.
Secara konseptual, kebijakan paket infrastruktur ini bisa dikatakan cukup memadai, bahkan bisa dikatakan
cukup komprehensif karena menyentuh banyak aspek strategis terkait pengembangan infrastruktur. Namun,
tentu saja paket ini tidak otomatis berjalan dengan sendirinya karena masih berfungsi seperti "blueprint" saja,
yang
perlu
tindak
lanjut
manajemen
pemerintahan
di
lapangan.
Terkait dengan paket tersebut, ada beberapa kritik yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam penyusunan
kebijakan infrastruktur. Pertama, sejak tahun 2005, pemerintah sudah memulai membuat kebijakan mengenai
infrastruktur, yaitu peningkatan peran swasta dalam pembangunan infrastruktur. Sebenarnya kebijakan ini bagus
dan sangat realistis karena kehadiran swasta diperlukan pada saat anggaran pemerintah mengalami keterbatasan.
Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan bahwa dana untuk pembangunan infrastruktur kurang dan tidak bisa
diambil dari dana APBN saja. Namun, pada perkembangan selanjutnya, yaitu tahun 2005 sampai sekarang,
kebijakan ini hanya menjadi kebijakan tertulis tanpa ada implementasi dan realisasi dari kebijakan tersebut.
Sudah dapat dipastikan bahwa hasil dari kebijakan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Selama ini
peran swasta sama sekali belum dirasakan memadai, bahkan bisa dikatakan hampir nihil karena paket kebijakan
tersebut sepertinya hanya berada pada tataran konsep saja. Implementasi paket kebijakan infrastruktur menjadi
lebih
penting
dari
sekadar
konsep.
Paket kebijakan pemerintah yang sangat krusial dan paling sulit adalah dalam hal pengadaan tanah. Dalam
pengadaan tanah ini pemerintah hampir bisa dikatakan tidak bisa menyelesaikan secara maksimal. Hal ini terjadi
karena pemerintah harus berhadapan dengan dinamika transisi demokrasi kurang terarah dan eforia reformasi
yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat, atas nama reformasi, berani menentang dan memberontak keras
terhadap berbagai inisiatif yang datang dari negara. Ketika pembangunan infrastruktur melewati tanah rakyat,
negosiasi sangat sulit dilakukan, padahal kebutuhan barang publik begitu mendesak. Hal sederhana saja, seperti
yang terjadi pada pembangunan jalan tol menuju ke Bandara Surabaya yang sampai saat ini belum selesai.
Bahkan, fenomena ini dijadikan ajang praktik percaloan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab dengan
menaikkan harga tanah setinggi-tingginya. Tentu saja hal ini tidak benar dan merupakan praktik pemerasan
terhadap negara. Jika dahulu terjadi pemerasan kepada rakyat, sekarang sebaliknya. Negara menjadi mandul dan
tidak
mampu
mengembangkan
fungsi
publiknya
secara
baik.
Pemerintah harus membuat dan mempunyai target untuk mendukung rencana induk pengembangan
infrastruktur. Hal ini bisa dikatakan tidak terlalu sulit karena pemerintah sudah mempunyai cetak biru, seperti
pembangunan
jalan
tol,
pasar,
saluran
air,
dan
jembatan.
Masalah lain yang kemudian muncul dalam kebijakan pembangunan infrastruktur adalah masalah kelembagaan
dan regulasi. Untuk masalah ini, pemerintah sudah membentuk semacam komisi pengembangan infrastruktur.
Kelembagaan baru ini semestinya lebih produktif memfasilitasi koordinasi antarmenteri atau departemen. Akan
tetapi, semua itu bermuara pada implementasi di lapangan. Justru kelemahan selama ini adalah dalam
implementasi kebijakan yang langsung pada injeksi modal dan memulai proyek. Kebijakan yang selama ini
sudah ada tampaknya belum dapat diimplementasikan dengan baik. Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten
Malang, Jawa Timur, berupaya keras melakukan pembebasan tanah di jalur selatan yang menghubungkan Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Malang tidak didukung oleh
kinerja
pemerintah
pusat
sehingga
pembangunan
tersebut
berhenti.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, sudah saatnya pemerintah bergerak dalam tataran praktis strategis
bukan hanya pada tataran konsep. Di samping itu, apa yang menjadi kebijakan pemerintah dalam upaya
pembangunan perekonomian bangsa harus didukung oleh semua elemen masyarakat tanpa terkecuali sehingga
tercipta
sinergi
antara
pemerintah
pusat,
pemerintah
daerah,
dan
masyarakat.
Makroekonomi
Harus diakui, di masa pemerintahan SBY-JK, ketidakstabilan makroekonomi dan ketidakpastian kebijakan
ekonomi makro sudah jauh menurun dibanding di masa lalu. Angka-angka indikator makroekonomi pun boleh
dikata berada dalam kondisi "aman dan terkendali". Selama periode 20052007, rata-rata per tahun
pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7%, inflasi 10%, bunga SBI 9,9%, dan kurs Rp9.343/US$. Pasar modal pun

diwarnai oleh rekor-rekor baru Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Surat Utang Negara (SUN), yang terus
diminati oleh investor domestik maupun asing. Obligasi Republik Indonesia (ORI) selalu terserap oleh investor
perseorangan dengan nilai yang melebihi target. Cadangan devisa melonjak secara signifikan, dari posisi akhir
tahun 2006 sebesar US$34,7 miliar, naik menjadi US$55,1 miliar pada 7 Desember 2007.
Dari indikator-indikator diatas bisa dikatakan kinerja perekonomian khususnya perekonomian makro sangat
baik. Meskipun demikian kondisi makro saat ini patut diwaspadai karena too good to be true, serta sangat
didominasi pertumbuhan sektor keuangan. Jika kinerja perekonomian diartikan lebih luas, yaitu tidak mencakup
ekonomi makro tetapi juga mambahas kinerja sektor usaha dan variable kesejahteraan seperti pengangguran dan
kemiskinan,
maka
disitulah
problem
indonesia
muncul.
Tidak ada yang membantah bahwa kestabilan makro adalah basic requirement bagi kemajuan suatu
perekonomian, tetapi bukan satu-satunya syarat. Harus ada upaya lebih agar akhirnya kestabilan tersebut
diterjemahkan dalam penciptaan lapangan kerja, perbaikan pendapatan masyarakat, serta bergairahnya dunia
usaha
menjalankan
aktivitasnya.
Ada dua kemungkinan yang menyebabkan terjadi kesenjangan makro dan mikro di Indonesia. Kemungkinan
pertama adalah jeda waktu yang cukup lama antara terjadinya perbaikan makro dan penyebaran dampak dari
perbaikan tersebut ke berbagai aspek perekonomian. Artinya struktur ekonomi indonesia tidak cukup responsive
dan fleksibel mendorong terjadinya perubahan menyeluruh sebagai akibat dari adanya dorongan eksternal.
Kekakuan struktur seperti ini harus segera diperbaiki dengan selalu mencari dan membuka simpul-simpul yang
dirasa sebagai penghambat. Kemungkinan kedua adalah masih buruknya iklim investasi yang memandulkan
upaya mendorong pergerakan sektor riil. Kalau masalah buruknya iklim investasi lebih diakibatkan oleh
masalah kelembagaan yang akut dan membutuhkan penanganan segera dalam hal menyadarkan berbagai pihak
yang
terlibat
bahwa
merekalah
sumber
permasalahan.
Reformasi
Birokrasi
Masalah birokrasi kerap dituding sebagai sumber inefisiensi perekonomian nasional. Bukan rahasia lagi bahwa
birokrasi di Indonesia, pusat dan daerah, kurang ramah terhadap kegiatan bisnis dn mempunyai kecenderungan
menciptakan biaya tinggi yang akhirnya mematikan semangat pengembangan investasi itu sendiri.
Memang upah tenaga kerja di Indonesia tergolong rendah, tetapi Indonesia tempat yang tinggi biaya untuk
berbisnis. Alasannya sebenarnya adalah ruwetnya mengurus segala sesuatu. Transparansi rendah, yang berarti
bahwa ketidakjelasan tinggi. Terlalu banyak pihak yang berkepentingan dalam mempertahankan transparansi
yang rendah ini. Semakin banyak ketidakjelasan, semakin banyak peluang bagi para konsultan dan
fasilitator untuk menjejalkan diri ke dalam persamaan untuk membantu orang-orang bisnis mengarungi
kekacauan. Dan semakin banyak birokrasi dan formulir yang harus di isi, semakin besar peluang bagi pejabat
untk meminta suap. Korupsi sudah begitu parahnya di Indonesia sampai-sampai layanan resmi apapun yang
seharusnya
diberikan
secara
gratis
hanya
terlaksana
jika
ada
pembayaran.
Waktu yang diperlukan di Indonesia untuk mengurus berbagai prosedur birokrasi 151 hari, Thailand 33 hari,
Malaysia 30 hari, dan Vietnam 50 hari. Prosedur yang harus dilewati di China lebih banyak ketimbang
Indonesia, mencapai 13 prosedur, tetapi waktu yang dibutuhkan hanya 48 hari. Dari 13 negara yang disurvei,
Indonesia membutuhkan waktu yang paling lama. Sedang-kan rata-rata hari yang dibutuhkan untuk negara yang
disurvei 57,5 hari. Jadi, untuk Indonesia waktu yang diperlukan hampir empat kali rata-rata dari 13 negara yang
disurvei. Dalam hal waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan perizinan, Indonesia ternyata juga tertinggal
dibandingkan dengan negara di kawasan Asia Tenggara. Indonesia membutuhkan waktu 224 hari, Thailand 147
hari,
dan
Filipina
197
hari
Dari apa yang telah digambarkan diatas nampaknya untuk membenahi urusan birokrasi, Indonesia mengalami
kesulitan dan hanya reformasi birokrasi yang tegas dan meyeluruh dapat meningkatkan kepercayaan investor
untuk
berinvestasi
di
Indonesia.
Kesehatan
dan
Pendidikan
Penentu daya saing yang paling mendasar lainnya adalah kesehatan dan pendidikan dasar. Kedua indikator ini

memiliki hubungan yang saling mengikat dalam penentu daya saing negara. Masyarakat atau bangsa yang sehat
dan
berpendidikan
menjadi
modal
awal
bangsa
tersebut
dalam
bersaing.
Angka kematian bayi di Indonesia masih tinggi, pertumbuhan penderita-penderita penyakit yang mematikan dan
menular masih tinggi. Jumlah penderita virus flu burung (avian influenza) menduduki peringkat tertinggi di
dunia. Banyak balita yang kekurangan gizi buruk. Sebagai akibat tingkat kemiskinan yang masih tinggi.
Program-program pemerintah di dalam menangani kasus-kasus kesehatan sudah tergolong meningkat dan
serius. Hal ini terlihat dalam APBN bidang kesehatan yang meningkat dari tahun ke tahun.
Pembenahan sistem pendidikan di Indonesia melalui pengembangan kurikulum, peningkatan jumlah tenaga
didik dan pembangunan gedung-gedung sekolah terus digalakkan. Hanya saja belum terlihat konsisten dan
serius dalam implementasinya. Banyak aparat pelaksana dilapangan yang belum sadar dan tulus dalam
melaksanakan program-program tersebut. Pemerintah tidak memiliki alat kontrol dan pengendalian yang bisa
membuat
program-program
tersebut
berjalan
sesuai
ekspektasi
masyarakat.
Masih banyak petani-petani di Indonesia yang tidak tamat sekolah atau bahkan buta huruf. Kekuatan fisik dan
pengalamannya dijadikan modal dalam bertani. Pola pikir dan pengetahun yang dimiliki terbatas. Berbeda
dengan petani di Thailand yang selalu unggul dalam menghasilkan produk-produk pertaniannya. Salah satu
faktor
penyebabnya
adalah
mereka
berpendidikan
yang
cukup
tinggi.
Dari hampir 4,2 juta orang tenaga kerja industri dalam 22.894 perusahaan pada tahun 1996, hanya 2 persen
berpendidikan sarjana, sekitar 0,1 persen berpendidikan master, dan 0,005 persen (hanya 225 orang)
berpendidikan doktor. Sementara itu, intensitas pelatihan yang dilaksanakan oleh industri belum juga
menggembirakan. Hasil survei tahun 1990-an menunjukkan hanya 18,9 persen perusahaan di Indonesia
melaksanakannya. Di Malaysia, kegiatan yang sama dilakukan oleh hampir 84 persen perusahaanperusahaannya.
SDM
dengan
kualitas
ini
akan sulit diharapkan menghasilkan peningkatan produktivitas apalagi inovasi-inovasi yang bermutu untuk
teknologi
produksinya.
Penguasaan
dan
Penerapan
Teknologi
Selain permasalahan berkenaan dengan kondisi ekonomi, faktor-faktor penting di luar ekonomi juga belum
menunjukkan perbaikan kinerja secara nyata. Sebagai salah satu contoh, pengembangan dan penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terutama untuk kepentingan produksi masih sangat terbatas. Dengan urutan
Indonesia di posisi ke 60 dari 72 negara dalam Indeks Pencapaian Teknologi (IPT), hal tersebut
mengindikasikan bahwa integrasi peningkatan IPTEK untuk produksi masih akan banyak mengalami hambatan.
Munculnya negara-negara industri baru, seperti Korea Selatan, Thailand, Singapura (industri jasa), Malaysia,
Taiwan, dan China yang menunjukkan bahwa investasi yang didorong oleh kemajuan di bidang IPTEK sangat
terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Kegiatan IPTEK di negara-negara tersebut sangat
terkait dengan sektor riil. Pengalaman dan visi IPTEK negara-negara tersebut memacu negara-negara lain,
termasuk Indonesia, untuk melakukan tinjauan ulang terhadap berbagai kebijakan dan langkah-langkah yang
telah dilakukan, serta memandang jauh ke depan dalam kurun waktu 20 tahun mendatang ke tahun 2025.
Pada ranah ini diperlukan penyadaran seluruh elemen bangsa bahwa eksistensi dan harga diri bangsa ini hanya
akan bisa dipertahankan jika IPTEK sebagai elemen dasar kehidupan berbangsa di masa depan dapat dikuasai
dan didayagunakan. Untuk mencapai tingkat penyadaran pada seluruh elemen bangsa, IPTEK harus menjadi
politik negara. Untuk menciptakan keberlanjutan yang konsisten dalam upaya mewujudkan IPTEK sebagai pilar
pembangunan
bangsa.
Proses inovasi dan difusi teknologi merupakan proses yang penting bagi perkembangan iptek dalam kegiatan
sosial-ekonomi. Melalui proses ini segenap potensi ekonomi dari kemajuan ilmu pengetahuan dapat digali,
dimanfaatkan, dan dikembangkan lebih lanjut, untuk mendapatkan cara baru yang dapat meningkatkan efisiensi
dan efektifitas proses produksi atau untuk menghasilkan barang dan jasa yang baru atau menyempurnakan yang
baru
agar
lebih
kompetitif.
Kebijakan

Penanaman

Modal

Penyelenggaraan penanaman modal yang didasarkan pada asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,
perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Penerapan
asas tersebut bertujuan antara lain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan
kerja, meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional, meningkatkan kapasitas dan teknologi
nasional, mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan, yang pada gilirannya akan meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
Investasi merupakan salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang penting. Selain itu dapat
membangkitkan kegiatan ekonomi baru seperti pembangunan industri yang juga akan menimbulkan multiplier
effect terhadap kegiatan perekonomian. Selanjutnya, kegiatan investasi tersebut akan mendorong peningkatan
sumber-sumber pertumbuhan ekonomi lainnya dalam bentuk peningkatan ekspor dan konsumsi dalam negeri
serta peningkatan penyerapan tenaga kerja. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh
investasi yang kuat akan lebih menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi jangka panjang dan
meningkatkan
daya
saing
bangsa.
Secara prinsip pemerintah Indonesia telah dengan serius dan tegas merumuskan berbagai kebijakan yang terkait
dengan penanaman modal. Namun dalam pelaksanaannya masih banyak dijumpai berbagai hambatan dan
kendala, baik itu berasal dari pemerintah itu sendiri maupun pada faktor lainnya. Terdapat kegamangan dalam
menarik dan mengelola modal asing di Indonesia. Sikap anti-asing mungkin cerminan dari kecurigaan pada diri
sendiri, bahwa di negeri ini semua gampang disogok. Padahal, di China dan Singapura yang lebih pandai
memanfaatkan modal asing misalnya, tidak lantas pemerintahnya bisa dikendalikan pemodal asing.
Kepercayaan diri merupakan aset berharga. Akan tetapi, justru saat ini pesimisme berkembang kian luas di
masyarakat. Pesimisme bisa terjadi di banyak negara, tetapi di Indonesia terjadi sangat intens, sehingga
menimbulkan frustrasi. Itu karena pada masyarakat ini banyak yang merasa Indonesia begitu kaya sehingga
seharusnya
menjadi
bangsa
besar
dan
terhormat,
tetapi
kenyataannya
tidak
begitu.
Terkait dengan penanaman modal di sektor industri, bentuk lain dari ketidakpercayaan investor adalah amat
terbatasnya insentif dan perlakuan preferensial. Perlakuan preferensial diperlukan jika diberikan demi
kepentingan nasional, bukan kepentingan segelintir orang. Misalnya seorang investor mendapat pembebasan
pajak, tetapi dalam waktu sekian tahun ia harus menyerap sekian pekerja, mengalihkan teknologi, dan
seterusnya.
Jika
tak
tercapai,
langsung
dicabut.

Kesimpulan
Daya saing ternyata tak hanya dibentuk oleh faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan ekonomi,
produktivitas dan jasa. Daya saing tak bakal terbentuk kokoh dan bernapas panjang tanpa faktor non-ekonomi,
pendidikan dan adanya sistem nilai-nilai. Tersebut terakhir itu antara lain berupa sikap bangsa itu terhadap kerja,
kekayaan,
tanggung
jawab
sosial.
Daya saing negara amat berlainan dengan daya saing perusahaan. Ada setidaknya dua alasan. Pertama, dalam
realitas, yang bersaing bukan negara, tetapi perusahaan dan industri. Kebanyakan orang menganalogkan daya
saing negara identik dengan daya saing perusahaan. Bila negara Indonesia memiliki daya saing, belum tentu
seluruh perusahaan dan industri Indonesia memiliki daya saing di pasar domestik maupun internasional. Kedua,
mendefinisikan daya saing negara lebih problematik daripada daya saing perusahaan. Bila suatu perusahaan
tidak dapat membayar gaji karyawannya, membayar pasokan bahan baku dari para pemasok, dan membagi
dividen, maka perusahaan itu akan bangkrut dan terpaksa keluar dari bisnis yang digelutinya. Perusahaan
memang bisa bangkrut, namun negara tidak memiliki bottom line alias tidak akan pernah keluar dari arena
persaingan.
Kondisi permasalahan Indonesia yang multikomplek bukannya tidak ada jalan keluar, jika kita mau
merubahnya. Nasib suatu bangsa tidak akan berubah, kecuali bangsa itu sendiri mau mengubahnya. Perubahan
harus mendasar dan dengan skala prioritas. Salah satu prioritas utama adalah pembangunan kualitas SDM
melalui pendidikan. Untuk mengejar ketertinggalan daya saing global, kebijakan di bidang pendidikan harus

konsisten dan berkelanjutan. Alokasi dana APBN yang diamanatkan UUD 45 minimal 20% dari APBN dan
ketentuan lainnya wajib segera diimplementasikan, buka hanya sekedar angin surga atau tebar pesona belaka.

Anda mungkin juga menyukai