Anda di halaman 1dari 74

PANDUAN MAHASISWA KEPERAWATAN

KUMPULAN ASUHAN
KEPERAWATAN
(Askep Acute Kidney
Injury dan Gagal Ginjal
Kronis)
2012

t yG
a iGr lAa .nW
g gO
a .RwDo P
r dRpEr Se S
s s. .Cc O
o mM
W W W . S A K T wY wA wI R. sLaAk N

Page 1

Acute Kidney Injury(AKI)


Definisi
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48
jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 mol/L) atau
meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam
(Molitoris et al, 2007).
Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan
ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan
(Eric Scott, 2008).
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit (Brady et al, 2005).
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI
klasik) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease atau AoCKD). Dahulu, hal di
atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam,
sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada
berbagai

kepustakaan.

Hal

itu

menyebabkan

permasalahan

antara

lain

kesulitan

membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas


kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit
yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien (Mehta et al, 2003)
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan
para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF
menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu
pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap
lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 2

menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap
penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi
prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif
yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum;
(4)penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum
adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat
dilakukan di mana saja (Rusli, 2007).

Klasifikasi Etiologi
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni
(1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan
obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat
tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Sinto, 2010)

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 3

AKI Prarenal

I. Hipovolemia
-

Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular

Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia,


obstruksi

usus

Kehilangan darah

Kehilangan cairan ke luar tubuh

Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui


saluran

kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit

(luka bakar)

II. Penurunan curah jantung


-

Penyebab miokard: infark, kardiomiopati

Penyebab perikard: tamponade

Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal

Aritmia

Penyebab katup jantung

III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik


-

Penurunan resistensi vaskular perifer

Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan

(contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)

Vasokonstriksi ginjal

Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,


takrolimus,

amphotericin B

Hipoperfusi ginjal lokal

Stenosis a.renalis, hipertensi maligna

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 4

IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal


-

Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen

AKI Renal

I. Obstruksi renovaskular
-

Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli,

diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis,

kompresi)

II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal


-

Glomerulonefritis, vaskulitis

III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)


-

Iskemia (serupa AKI prarenal)

Toksin

Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,

pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis,


hemolisis,

asam urat, oksalat, mieloma)

IV. Nefritis interstitial


-

Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi


(bakteri,

viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),

idiopatik

V. Obstruksi dan deposisi intratubular


-

Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,


sulfonamida

VI. Rejeksi alograf ginjal

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 5

I. Obstruksi ureter

AKI pascarenal

Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi


eksternal

II. Obstruksi leher kandung kemih


-

Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu,


keganasan, darah

III. Obstruksi uretra


-

Striktur, katup kongenital, fimosis

Klasifikasi AKI
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri
dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau
kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang
menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 2. (Rusli,
2007).

Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007


Kategori

Peningkatan kadar SCr

Penurunan LFG

Kriteria UO

Risk

>1,5 kali nilai dasar

>25% nilai dasar

<0,5 mL/kg/jam,
>6 jam

Injury

>2,0 kali nilai dasar

>50% nilai dasar

<0,5 mL/kg/jam,
>12 jam

Failure

>3,0 kali nilai dasar

>75% nilai dasar

<0,3 mL/kg/jam, >24


jam

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 6

Loss

Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4


minggu

End stage

Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3


Bulan

2.1.2

Patofisiologi
Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular
seperti yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini:

Gambar 1. Patofisiologi AKI (Bonventre, 2008)


Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan tubular,
bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen pembuluh medulla
ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan vasokonstriksi dan penurunan vasodilatasi pada
respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Dengan peningkatan endhotelial dan
kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan adhesi leukosit endothelial yang
menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksi pembuluh dengan aktivasi leukosit dan
berpotensi terjadi inflamasi.
Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti oleh
www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 7

apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dan kembali terjadi kebocoran filtrate
glomerulus melalui membrane polos dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus menyebabkan
mediator vasoaktif inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk meningkatkan
kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi sebagai hasil kerjasama
vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus, sehingga menyebabkan mediator
vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi dan interaksi endothelial-leukosit
(Bonventre, 2008).
Pendekatan Diagnosis
1. Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan
berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS,
penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi
ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor
kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal
jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan
status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan
dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya
mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan
dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut,
atau hipertensi maligna.
AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau
suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri
pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut.
Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada
pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat.
Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 8

disfungsi saraf otonom (Sinto, 2010).


2. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,
tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang
didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga
menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan
pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast
yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented muddy brown
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast
eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan
pigmented muddy brown granular cast pada nefritis interstitial (Schrier et al, 2004).
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas
urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI,
seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Kelainan analisis urin (Sinto, 2010)

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 9

Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah


pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung
dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil
kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto
polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi.
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang
belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan
tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana
spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain (Brady, 2005).
Penatalaksanaan
1. Terapi nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status
katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah dimodifikasi oleh Sutarjo seperti
pada tabel berikut:

Tabel 4. Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008)

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 10

2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin


Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan
selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial.
Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja
menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel
thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien
AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar
hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi
non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan
dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas
dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan
tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian
dari tata laksana AKI adalah: (Mohani, 2008)
a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 11

keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes
cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila
jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal
(keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak
terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 16 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari.
Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk
meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil
(keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan
dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Robert,
2010).
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler
sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria.
Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan
ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan
menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian
manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat
meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien
(Sjabani, 2008).
Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam
tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal.
Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal,
menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 12

dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan


vasokonstriksi.
Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu
terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak
terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin.
Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang
meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi,
diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya
dalam dunia nyata tidak ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada literatur.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak
terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia
miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain.
Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan
respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar
menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat
digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi)
untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal (Sinto, 2010).
3. Dialisis
Menurut Workeneh (2012), indikasi dialisis pada pasien dengan AKI adalah sebagai
berikut:
1. Ekspansi volume yang tidak dapat dikelola dengan diuretik
2. Refrakter terhadap terapi medis hiperkalemia
3. Koreksi parah gangguan asam-basa yang refrakter terhadap terapi medis
4. Parah azotemia (BUN> 80-100)
5. Uremia

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 13

2.1.7

Komplikasi dan Penatalaksanan


Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara
konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. Penatalaksanaan Komplikasi AKI (Sinto, 2010)

Teori Asuhan Keperawatan AKI


1. Fokus Pengkajian (Efendy, 2008)
Sistem Pernafasan (B1)
a. Gejala : nafas pendek
b. Tanda : Takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, kusmaul, nafas amonia, batuk
produktif dengan sputum kental merah muda( edema paru ).
Sistem Kardiovaskuler (B2)
Tanda : hipotensi/hipertensi (termasuk hipertensi maligna,eklampsia, hipertensi
akibat

kehamilan),

disritmia

jantung,

nadi

lemah/halus,

hipotensi

ortostatik(hipovalemia), DVI, nadi kuat, hipervolemia, edema jaringan umum


(termasuk area periorbital mata kaki sakrum), pucat, kecenderungan perdarahan.
www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 14

Sistem Persyarafan (B3)


a. Gejala

: Sakit kepala penglihatan kabur. Kram otot/kejang, sindrom kaki

Gelisah.
b. Tanda

:Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,

ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat


kesadaran (azotemia, ketidak seimbangan elektrolit/ asama basa, kejang, faskikulasi
otot, aktifitas kejang.
Sistem Perkemihan (B4)
a. Gejala : Perubahan pola berkemih, peningkatan frekuensi, poliuria 2-6 liters / day
(kegagalan dini), atau penurunan frekuensi/oliguria 12-21 hari (fase akhir), disuria,
ragu-ragu, dorongan, dan retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi), abdomen kembung
diare atau konstipasi, riwayat HPB, batu/kalkuli
b. Tanda : Perubahan warna urine contoh kuning pekat,merah, coklat, berawan.
Oliguri (biasanya 12-21 hari) poliuri (2-6 liter/hari).
Sistem Pencernaan (B5)
a. Gejala : Peningkatan berat badan (edema) ,penurunan berat badan (dehidrasi), mual
, muntah, anoreksia, nyeri uluhati.
b.

Tanda : Perubahan turgor kulit/kelembaban, edema (umum, bagian bawah).

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien AKI adalah:
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder:
volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah.

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 15

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui


alkalosis respiratorik.
5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.
3. Intervensi
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan

: Penurunan curah jantung tidak terjadi

Kriteria hasil : Mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan
frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu
pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R/ Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin
angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder :


volume

cairan

Tujuan
Kriteria

tidak

seimbang

oleh

karena

retensi

Na

dan

H2O

: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan


hasil:

tidak

ada

edema,

keseimbangan

antara

input

dan

output

Intervensi:
a. Monitor status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 16

haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital


b. Batasi masukan cairan
R/ Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap
terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R/ Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan
cairan
e. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama
pemasukan dan haluaran
R/Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual,


muntah
Tujuan

: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat

Kriteria hasil

: Menunjukan BB stabil

Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R/ Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R/ Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau
menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Berikan makanan TKTP
R/ Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R/ Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 17

R/ Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut
yang dapat mempengaruhi masukan makanan

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi


melalui alkalosis respiratorik
Tujuan

: Pola nafas kembali normal / stabil

Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R/ Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R/ Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R/ Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R/ Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis


Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga
Kriteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya
kemerahan
R/ Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan
pembentukan dekubitus / infeksi.

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 18

b.Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa


R/ Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi
sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R/ Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R/ Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk
menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R/ Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R/ Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan
tekanan pada area pruritis
R/ Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R/ Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada
kulit

Gagal Ginjal Kronik


Definisi CKD
Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the
National Kidney Foundation (NKF) pada tahun 2009, mendefenisikan gagal ginjal kronis
sebagai suatu kerusakan ginjal dimana nilai dari GFR nya kurang dari 60 mL/min/1.73 m2
selama tiga bulan atau lebih. Dimana yang mendasari etiologi yaitu kerusakan massa

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 19

ginjal dengan sklerosa yang irreversibel dan hilangnya nephrons ke arah suatu
kemunduran nilai dari GFR.
Dalam CKD juga terdapat kondisi Acute On CKD (AoCKD). Perbedaan antara
acute on CKD dengan AKI ada lima kondisi yaitu :
1. Pada AKI kondisi umum ginjal masih bagus, sedangkan pada AoCKD kondisi
ginjal umumnya sudah rusak
2. Pada AKI sebelumnya telah disertai dengan penyakit akut baik pra-renal, renal
maupun post-renal, sedangkan pada AoCKD tidak ada.
3. Pada AoCKD selalu diawali dengan penyakit kronis, sedangkan AKI tidak
4. Pada AoCKD ada gejala klinis khas seperti anemia, peningkatan kadar fosfat
dalam darah dan tekanan darah tinggi, sedangkan pada AKI tidak ada.
5. AKI sifatnya reversible, sedangkan AoCKD sifatnya irreversible.

Klasifikasi
Menurut KDOQI, ada 5 tingkatan atau stage dari CKD seperti yang ditunjukkan
oleh table 6 dibawah ini :
(The Renal Association, 2010)
Tabel 6 KDOQI stages of kidney diseases

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 20

Suffixes:
p suffix:tambahan p pada tiap tingkatan (misal 3Ap, 4p) menunjukkan adanya
proteinuria
T - : tambahan T pada tiap tingkatan (misalnya 3AT) mengindikasikan bahwa
pasien telah menjalani transplantasi ginjal.
D -: tambahan D pada tingkatan/stage ke 5 (misalnya. 5D) mengindikasikan
bahwa pasien sedang menjalani Dialisis.

Etiologi
Menurut Arora (2012) penyebab Chronic Kidney Disease adalah sebagai
berikut :
1. Diabetes Mellitus
2. Hipertensi
3. Penyakit glomerular (primer atau sekunder)
4. Penyakit tunulointerstisial
5. Obstruksi saluran kemih
Penyakit pembuluh darah yang dapat menyebabkan Chronic Kidney Disease
adalah sebagai berikut :
1. Renal artery stenosis
2. Pola cytoplasmic antineutrophil cytoplasmic antibody ( C-ANCA)- vaskulitis
positif dan pola perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody ( C-ANCA)vaskulitis positif
3. Antineutrophil cytoplasmic antibody ( ANCA)- vaskulitis negatif
4. Atheroemboli
5. Hipertensi nefrosklerosis
6. Trombosis vena ginjal

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 21

7. Acute kidney injury (AKI) yang tidak tertangani


Penyakit glomerulus primer yang dapat menyebabkan Chronic Kidney Disease
adalah sebagai berikut :
1. Membranous nephropathy
2. Immunoglobulin A (IgA) nephropathy
3. Glomerulosclerosis fokal dan segmental
4. Perubahan penyakit yang minimal
5. Membranoproliferative glomerulonephritis
Progresifitas cepat glomerulonefritis sekunder disebakan oleh penyakit glomerulus
meliputi :
1. Diabetes Mellitus
2. Sistemik lupus eritematosus
3. Rheumatoid arthritis
4. Penyakit campuran jaringan ikat
5. Scleroderma
6. Sindrom Goodpasture
7. Wegener granulomatosis
8. Postinfectious glomerulonephritis
9. Endocarditis
10. Hepatitis B dan C
11. Sifilis
12. Human immunodeficiency virus (HIV)
13. Infeksi parasit
14. Penggunaan Heroin
15. Emas
16. Penisilamin

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 22

17. Amiloidosis
18. Light chain deposition disease
19. Neoplasia
20. Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)
21. Hemolytic-uremic syndrome (HUS)
22. Henoch Schonlein purpura
23. Alport syndrome
24. Refluks nefropati
Penyebab penyakit tubulointerstitial meliputi:
1. Obat-obatan (misalnya sulfa, allopurinol)
2. Infeksi (virus, bakteri, parasit)
3. Sjgren syndrome
4.

Hipokalemia kronis

5.

Hiperkalsemia kronis

6.

Sarkoidosis

7.

Multiple myeloma cast nephropathy

8.

Logam berat

9.

Radiasi nefritis

10. Polikistik ginjal


11. Cystinosis
Obstruksi saluran kemih dapat disebabkan oleh salah satu dari berikut ini:
1. Urolitiasis
2. Benign prostatic hypertrophy
3. Tumor
4. Retroperitoneal fibrosis
5. Striktur uretra

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 23

6.

Neurogenic bladder

Manifestasi Klinik
Ada beberapa manifestasi klinik gagal gagal ginjal kronik : ( Schrier, 2003)
1. Gangguan keseimbangan elektrolit : hipernatremia, huiperkalemia
2. Asidosis metabolic (ditemukan jika LFG<25%)
3. Gangguan metabolism karbohidrat dan lemak
4. Anemia normokrom mormositer
5. Hipertensi
6. Gangguan neurologi
7. Osteodistrofi ginjal
8. Gangguan pertumbuhan
9. Gangguan perdarahan

Gambar 3. Gejala CKD (Schrier, 20030

Patofisiologi
Perjalanan penyakit dari CKD akan digambarkan dalam bagan berikut ini: (Novoa
et al, 2010)

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 24

Gambar 4. Hipertensif nefropathy

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 25

Gambar 5. Diabetic Nefropathy

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 26

Gambar 6. Nefropaty kronik akibat Renal Mass Reduction (RMR)

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 27

Gambar 7. Nefropaty akibat ureteral obstruction

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 28

Gambar 8. Mekanisme CKD

Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
1. LED: meninggi, yang diperberat oleh adanya anemia, dan hipoalbuminemia.
Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosi yang rendah.
2. Ureum dan kreatinin: meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20:1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan
obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang: ureum lebih kecil dari
kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
3. Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia: biasanya terjadi
pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya dieresis.
4. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 29

D3 pada GGK.
5. Phosphat alkaline meninggi akibat gangguan metabolism tulang, terutama
isoenzim fosfatase lindi tulang
6. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan gangguan
metabolism dan diet rendah protein.
7. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal
ginjal (resitensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
8. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolism lemak, disebabkan peninggian
hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
9. Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang
menurun, BE menurun, HCO3 menurun, PCO2 menurun, semuanya disebabkan
retensi asam-asam organic pada gagal ginjal.
b. Pemeriksaan lain
1. Foto polos abdomen: untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau
adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal, oleh
sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
2. IVP (Intra Vena pielografi): untuk menilai system pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu,
misalnya usia lanjut, diabetes mellitus, dan nefropati asam urat.
3. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginajl, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih,
dan prostat.
4. Renogram, untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vascular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
5. EKG, untuk melihat kemungkina hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 30

Penatalaksanaan
1. Stage 1 dan 2
Pada CKD stage 1 fungsi ginjal sebenarnya normal tapi terdapat beberapa tanda
adanya kelainan pada ginjal. CKD stage 2 ditandai dengan menurunnya sebagian
fungsi ginjal, GFR 60-89mls/min/1.73m2
Pengkajian Awal pada CKD stage 1+2:
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi resiko peningkatan kelainan
ginjal pada klien, dan untuk mengurangi resiko terkait. Yang perlu dikaji adalah
a. Hematuria
b. Proteinuria
Jika pengkajian pertama menemukan adanya peningkatan kreatinin maka
penting bagi kita untuk memastikan kestabilan nilainya. Ulangi test 14 hari
berikutnya.
Managemen CKD stage 1+2 :
Dalam 12 bulan pencapaian yang harus didapat adalah :
a. Kreatinin : perubahan signifikan pada eGFR telah ditentukan sebagai shortterm eGFR fall >15% atau [creatinine] meningkat >20%; atau yang terbaru
berdasar NICE guideline adnya kehilangan GFR 1y dari 5ml/min, atau
kehilangan dalam 5y dari 10ml/min.
b. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50
bagi klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
c. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
d. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok,
olahraga teratur dan gaya hidup.

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 31

2. Stage 3
Dalam CKD stage 3 ini nilai eGFR 30-60%: eGFR 45-59 (3A) atau 30-44 (3B).
Pengkajian awal CKD stage 3
a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi,
memeriksa adanya pembesaran kandung kemih
b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat ketika
GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.
c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan
ginjal yang progresif
d. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada
sistem ginjal
Manajemen CKD stage 3
Dalam 6 sampai 12 bulan targetnya adalah :
a. Creatinine and K :pertimbangkan turunnya nilai eGFR yang tib-tiba >25%
sebagai ARF. NICE menyarankan untuk meminta advis dari specialist ketika
GFR turun lebih 1y dari 5ml/min, atau 5y dari 10ml/min.
b. Hb bila di bawah 110 g/l, terapi spesifik perlu dilakukan. Hb turun secara
progresif mengindikasikan turunnya GFR.
c. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
d. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
e. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga
teratur dan gaya hidup.
f. Immunization - influenza dan pneumococcal
g. Medication review review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 32

untuk mencegah nephrotoxic drugs


3. Stage 4+5
Tanda CKD stage4 adalah adanya penurunan fungsi ginjal yang parah, 15-30% (eGFR
15-29ml/min/1.73m2). Tanda CKD stage 5 adalah adanya penurunan fungsi ginjal
yang sangat parah (endstage atau ESRF/ESRD), <15% (eGFR kurang dari 15 ml/min).
Pengkajian awal CKD stage 4
a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi,
memeriksa adanya pembesaran kandung kemih
b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat ketika
GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.
c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan
ginjal yang progresif
d. Tes darah : Ca, PO4, Hb
e. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada
sistem ginjal
f. Persiapan pelaksanaan TPG atau Terapi Pengganti Ginjal
Manajemen CKD stage 4 dan 5
Dalam 3 bulan :
a. Kretainin dan K : waspadai hiperkalemia
b. Hb : Hb rendah, waspadai penyebab lain selain ginjal
c. Ca dan PO4 : obat oral phospat seringkali dibutuhkan
d. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekanan darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
e. Tekanan darah:

maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120-

129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.


f. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 33

teratur dan gaya hidup.


g. Immunization - influenza dan pneumococcal, dan imunisasi Hepatitis B jika
transplantasi ginjal akan dilakukan
h. Medication review review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan untuk
mencegah nephrotoxic drugs
i. Jika klien osteoporosis: jangan menggunakan bisphosphonates karena bisa
mengarah ke renal osteodystrophy.
j. Tindakan Terapi Pengganti Ginjal (TPG) atau Renal Replacement Theraphy

Gambar 9. CKD stages


Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Theraphy)
Pada penderita Gagal Ginjal Kronis stadium terminal dengan fungsi ginjal yang tersisa
di bawah 10-15% maka ginjal tidak dapat memengeluarkan zat-zat sisa metabolisme,
mengatur keseimbangan asam-basa, dan fungsi ginjal yang lain sehingga memerlukan
penanganan yang disebut Terapi Pengganti Ginjal atau Renal Replacement Therapy (RRT).
Berikut adalah macam RRT secara umum (Phillip et al, 2005)

Gambar 10. RRT Modalities (Phillip et al, 2005)


www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 34

Terapi Pengganti Ginjal yang secara umum digunakan saat ini ada dua pilihan yaitu
Dialisis dan Transpalantasi Ginjal. Dialisis sendiri ada dua metode yaitu Hemodialisis dan
Peritoneal Dialisis (Wijaya, 2010).
Menurut Philip et al (2005), indikasi dan kontraindikasi dari RRT ini adalah seperti
yang ditunjukkan dalam table berikut :

Tabel 6. Indikasi dan kontraindikasi RRT (Philip et al, 2005)

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 35

1. Hemodialisis
Hemodialisis merupakan suatu membrane atau selaput semi permiabel. Membran ini
dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut membrane yaitu
proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membrane semi permiabel. Terapi
hemodialisa merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisasisa membrane atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium,
membrane, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membrane semi permiabel
sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi,
osmosis dan ultra filtrasi (Brunner & Suddarth, 2001).
Kandungan cairan dialisat adalah macam-macam garam/elektrolit/zat antara lain:
1. NaCl/sodium klorida
2. CaCl/kalium klorida
3. MgCl2/magnesium klorida
4. NaC2H3O2 3H2O/acetat atau NaHCO3/bikarbonat
5. KCl/potassium klorida, tidak selalu terdapat pada dialisat.
6. Dextrose

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 36

Gambar 11. Mekanisme Hemodialisis (Mehta et al, 2003)

Gambar 12. Ilustrasi Hemodialisis (Davis, 2005)

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 37

Gambar 13. Akses pembuluh darah untuk HD (Davis, 2005)


Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal atau tahap
akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu penderita.
Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia
penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien
tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal
(Wijayakusuma, 2008).
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat
adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekskresikan produk akhir
metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan
bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara
kolektif dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet
rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian
meminimalkan gejala (Brunner & Suddarth, 2001).
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung
kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari
resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 38

pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan


pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan (Brunner & Suddarth, 2001).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang
memerlukan

obat-obatan

(preparat

glikosida

jantung,

antibiotik,

antiaritmia

dan

antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam
darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik (Brunner &
Suddarth, 2001).
Indikasi, Kontraindikasi dan Komplikasi Terapi Hemodialisis
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis adalah laju
filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari 5 mL/menit, sehingga dialisis dianggap baru
perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah :
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
b. K serum > 6 mEq/L
c. Ureum darah > 200 mg/Dl
d. pH darah < 7,1
e. Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )
f. Fluid overloaded (Shardjono dkk, 2001).
Menurut Rayner (2002) indikasi akut hemodialisis adalah :

INDIKASI

KARAKTERISTIK

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 39

1. Uremia

1. lemah, asteriksis, kejang, mual &


muntah, perikarditis, kesadaran
turun

K+ > 6,5 mmol/L

2. Hiperkalemia

2. K+ 5,5-6,5 mmol/L + kelainan


EKG
3. Kelebihan cairan
3. kelebihan cairan, resisten
diuretika ; terutama edema paru

4. Asidosis metabolik
4. pH tetap < 7,2 walau sudah terapi
bikarbonat / tidak bisa terapi
bikarbonat karena kelebihan
cairan

Menurut Rayner (2002) kontaindikasi dari hemodialisis adalah :


Absolut

Relatif

Tidak ada akses vaskuler (pembuluh

Akses vaskuler sulit

darah tidak dapat diakses)

Fobia jarum

Gagal jantung

Kelainan pembekuan darah

Menurut Al-hilali (2009), walaupun hemodialisa sangat penting untuk menggantikan


www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 40

fungsi ginjal yang rusak tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum
berupa hipertensi (20-30% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan muntah (515% dari dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-5% dialisis), sakit tulang
belakang(2-5% dialysis), 5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari dialisis) dan demam pada anakanak (<1% dari dialisis). Sedangkan komplikasi serius yang paling sering terjadi adalah
sindrom disequilibrium, arrhythmia, tamponade jantung, perdarahan intrakaranial, hemolisis
dan emboli paru.
2. Peritoneal Dialisis
Peritoneal Dialisis merupakan dialisis yang berlangsung di dalam rongga perut. Cairan
dialisis (dialisat) dimasukkan ke dalam rongga perut melalui kateter two way (disebut
Tenckhoff Catheter) yang lembut dan didiamkan dalam beberapa waktu(disebut dwell time).
Darah dengan cairan dialisis dibatasi oleh membran peritonium yang berfungsi sebagai media
pertukaran zat. Ketika cairan dialisis (dialisat) berada di rongga peritonium maka terjadi
pertukaran zat. Zat yang masih berguna akan terserap kembali dalam darah sedangkan zat
yang tidak berguna dan kelebihan air akan terserap ke dalam cairan dialisis melalui proses
ultrafiltrasi (Wijaya 2010).

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 41

Gambar 14. Ilustrasi Peritoneal dialysis (Davis, 2005)


Menurut Wijaya (2010) Peritonal Dialisis dilakukan setiap hari dan cairan dialisis
harus senantiasa berada di rongga perut agar terjadi pembersihan darah scara adekuat.

Metode Peritoneal Dialisis:


1. Continous Ambulatory Peritoneal Dialisys (CAPD). CAPD dilakukan sementara
pasien aktif melakukan aktivitas sehari-hari, dilakukan 3-6 kali perhari dengan jumlah
cairan dialisis sebanyak 2 liter tiap satu putaran. Cairan dialisis berada dalam rongga
peritoneium selama 4-6 jam.
2. Continous Cyclic Peritonel Dialisys (CCPD). CCPD dilakuakn dengan memakai
bantuan mesin ketika pasien sedang tidur. Mesin secara otomatis akan melakukan
penukaran cairan dialisis sebanyak 4-8 kali pada malam hari selama 8-12 jam ketika
pasien tidur.
Komplikasi Peritonal Dialisis:
1. Peritonitis
2. Peningkatan kadar glukosa
3. Kekurangan vitamin dan mineral
Keuntungan Peritonal Dialisis :
1. Pasien diajar mandiri dalam dialisis sehingga lebih percaya diri.
2. Waktu lebih bebas, dapat dilakukan dirumah atau di tempat kerja.
3. Tidak terjadi lonjakan penurunan tekanan darah yang drastis separti pada hemodialisis
sehingga lebih cocok bagi pasien dengan gangguan fungsi jantung.
4. Tahan lama asalkan dilakukan dengan benar sesuai petunjuk serta dilakukan secra
higienis
Kontraindikasi Peritonal Dialisis (Rayner, 2002)

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 42

Absolut

Hilangnya fungsi peritoneal sehingga

Relatif

klirens tidak memadai

Adanya graft aorta di abdomen yang


baru

Ada perlekatan

Shunt ventriculoperitoneal

Adanya hernia yang tidak dapat

Tidak tahan terhadap adanya cairan di

dioperasi

abdomen

Adanya stoma di dinding abdomen

Massa otot yang besar

Kebocoran cairan lewat diafragma

Obesitas morbid

Pasien tidak dapat melakukan

Malnutrisi berat

penggantian cairan sendiri.

Infeksi kulit

Penyakit usus

3. Transplantasi Ginjal
Menurut The Indonesian Diatrans Kidney Foundation (2010) Transplantasi ginjal
adalah suatu metode terapi dengan cara operasi dimana seseorang yang mengalami gagal
ginjal menerima ginjal yang sehat dari pendonor yang masih hidup atau yang telah meninggal,
untuk menganbil alih fungsi ginjalnya yang sudah tidak berfungsi lagi. Kedua ginjal yag lama
tidak dibuang dan tetap pada tempat yang semula, kecuali kedua ginjalnya mengalami infeksi
atau tekanan darah tinggi. Ada dua jenis transplantasi ginjal: orang-orang yang berasal dari
donor hidup dan orang-orang yang berasal dari berhubungan donor yang telah meninggal
(non-living donor atau cadaver).
Pemeriksaan untuk memastikan kecocokan ginjal
1.

Tes kecocokan golongan darah (blood Type Matching). Tes ini untuk melihat apakah
golongan darah pasien dan pendonor sejenis.

2.

Tes kecocokan jaringan (Tissue Matching). Tes ini untuk melihat kesamaan dari
protein yang dinamakan HLA (Human Leucocyte Antigen yang ada dalam darah dan
www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 43

jaringan antara donor dan penerima donor. (recipient) Kecocokan 100 persen antara
donor dan recipent sulit untuk dicapai kecuali kembar. Untuk itu dicari kompabilitas
yang setinggi mungkin. Donor dan recipient dikatakan memiliki compatibilitas yang
terbaik apabila terdapat kesamaan pada 6 set antigen, diikuti selanjutnya dengan 5 set
antigen, 4 set antigen dan seterusnya. Namun saat ini dengan perkembangan obat
obatan

obat

anti-rejeksi

atau

imunosupresan

memungkinkan

dilakukannya

transplantasi meskipun tidak terdapat kecocokan jaringan (zero antigen match). Atas
dasar tersebut kecocokan jaringan dapat dianggap sebagai keuntungan (benefit) namun
bukan sebagai prasyarat untuk kesuksesan transplantantasi ginjal.
3.

Uji Cocok Silang (Crossmatching). Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi adanya
antibodi dalam tubuh recipient

yang dapat merusak HLA. Hasil tes positif

menunjukkan adanya antibodi didalam darah recipient sehingga sebuah operasi


transplantasi ginjal tidak mungkin untuk dilakukan. Sebaliknya hasil tes negatif
menunjukkan tidak adanya respon negatif dari tubuh recipient sehingga operasi dapat
dilakukan.

Terjadinya penolakan tubuh terhadap ginjal yang baru mungkin saja terjadi. Sistem
pertahanan tubuh mungkin saja mengenali jaringan di ginjal yang baru sebagai benda asing
yang masuk di dalam tubuh serta melakukan reaksi yang negatif terhadap ginjal yang baru.
Untuk mencegah terjadinya reaksi penolakan ini, pasien perlu mengonsumsi obat-obatan
diantaranya obat anti-rejeksi atau imunosupresan segera sesudah menjalani transplantasi
ginjal. Obat-obat imunosupresan bekerja dengan jalan menekan sistem imun tubuh sehingga
mengurangi risiko terjadinya reaksi penolakan tubuh terhadap ginjal cangkokan.
Berkurangnya sistem imun dalam tubuh akibat obat immunosupresan akan menyebabkan
tubuh lebih rentan terhdapa infeksi. Untuk itu pasien akan diberikan juga obat obat
antibactierial, antiviral dan antifungal.

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 44

Tindakan yang diperlukan pascatransplantasi ginjal


Selain mengkonsumsi obat obatan yang diberikan oleh dokter seumur hidupnya,
pasien juga diharuskan secara berkala memeriksakan ginjalnya. Diet tinggi protein bagi
pasien pasca transplantasi juga perlu dijalani. Pasien yang sebelumnya menjalani dialisis akan
merasakan bahwa diet pasca transplant tidak akan seketat seperti saat dialisis.
Semua terapi ada kelemahan dan kelebihan masing-masing. Berikut perbandingan
antara HD, RRT dan PD menurut Mehta et al (2005):

Gambar 15. Perbandingan antara CRRT, IHD dan PD (Mehta et al, 2003)

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 45

ASUHAN KEPERAWATAN

Teori Keperawatan CKD


Fokus Pengkajian (Efendy, 2008)
1. Sistem Pernafasan (B1)
Gejala : nafas pendek
Tanda : Takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, kusmaul, nafas amonia, batuk
produktif dengan sputum kental merah muda( edema paru ).
2. Sistem Kardiovaskuler (B2)
Tanda : hipotensi/hipertensi (termasuk hipertensi maligna,eklampsia, hipertensi
akibat

kehamilan),

disritmia

jantung,

nadi

lemah/halus,

hipotensi

ortostatik(hipovalemia), DVI, nadi kuat, hipervolemia, edema jaringan umum


(termasuk area periorbital mata kaki sakrum), pucat, kecenderungan perdarahan.
3. Sistem Persyarafan (B3)
Gejala

: Sakit kepala penglihatan kabur. Kram otot/kejang, sindrom kaki

Gelisah.
Tanda

: Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,

ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat


kesadaran (azotemia, ketidak seimbangan elektrolit/ asama basa, kejang,
faskikulasi otot, aktifitas kejang.
4. Sistem Perkemihan (B4)
Gejala : Perubahan pola berkemih, peningkatan frekuensi, poliuria (kegagalan
dini), atau penurunan frekuensi/oliguria (fase akhir), disuria, ragu-ragu, dorongan,
dan retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi), abdomen kembung diare atau konstipasi,
riwayat HPB, batu/kalkuli

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 46

Tanda : Perubahan warna urine contoh kuning pekat,merah, coklat, berawan.


Oliguri (biasanya 12-21 hari) poliuri (2-6 liter/hari).
5. Sistem Pencernaan (B5)
Gejala : Peningkatan berat badan (edema) ,penurunan berat badan (dehidrasi),
mual , muntah, anoreksia, nyeri uluhati.
Tanda : Perubahan turgor kulit/kelembaban, edema (umum, bagian bawah).

Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien CKD adalah:
1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urin, diet berlebihan dan retensi cairan dan
natrium
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual, muntah, pembatasan
diet dan perubahan membran mukosa mulut
3. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisis
4. PK Anemia
Asuhan Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urin, diet berlebihan dan retensi cairan dan
natrium
Tujuan

: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan

Kriteria Hasil : dalam waktu 3x24 jam pasien akan :


a. Menunjukkan perubahan berat badan
b. Mempertahankan pembatasan diet dan cairan
c. Menunjukkan turgor kulit normal tanpa edema
Intervensi

1. Batasi masukan cairan

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 47

2. Identifikasi sumber potensial cairan :


a. Medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan : oral, intravena
b. Makanan
3. Monitor status cairan
a. Timbang berat badan harian
b. Keseimbangan masukan dan haluaran
c. Turgor kulit dan adanya edema
d. Distensi vena leher
e. Tekanan darah, denyut dan irama nadi
4. Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan
Rasional

: 1. Mempertahankan pembatasan diet dan cairan


2. Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi
3. Pengkajian merupakan dasar dan data dasar berkelanjutan untuk memantau
perubahan dan mengevaluasi intervensi
4. Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan

2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual, muntah, pembatasan
diet dan perubahan membran mukosa mulut
Tujuan

: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat

Kriteria Hasil : a. Pasien melaporkan peningkatan nafsu makan


b. Pasien menunjukkan turgor kulit yang normal
Intervensi

: 1. Monitor status nutrisi


2. Tambahkan diet TKTP
3. Tingkatkan masukan protein
4. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 48

Rasional

: 1. Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan mengevaluasi


intervensi
2. Pola diet dapat dipertimbangkan dalam menyusun menu
3. Protein diberikan untuk mencapai keseimbangan nitrogen yang diperlukan
untuk pertumbuhan dan penyembuhan
4. Meminimalkan faktor tidak menyenangkan dan menimbulkan anoreksia

3. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisis
Tujuan

: Pasien berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi

Kriteria Hasil : Dalam 3x24 jam pasien akan


a. Melaporkan peningkatan rasa sejahtera
b. Berpartisipasi dalam meningkatkan tingkat aktivitas dan latihan
c. Melakukan istirahat dan aktivitas secara bergantian
d. Berpartisipasi dalam aktivitas perawatan mandiri yang dipilih
Intervensi

: 1. Cegah faktor yang menimbulkan keletihan


2. Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat
ditoleransi
3. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
4. anjurkan untuk istirahat setelah melakukan dialisis

Rasional

: 1. Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat keletihan


2. Meningkatkan aktivitas ringan/sedang dan memperbaiki harga diri
3. Mendorong latihan dan aktivitas dalam batas-batas yang dapat
ditoleransi dan istirahat yang adekuat
4. Istirahat yang adekuat dianjurkan setelah dialisis yang bagi banyak
pasien sangat melelahkan

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 49

4.

PK Anemia

Tujuan

: Pasien tidak menunjukkan gejala anemia

Kriteria Hasil

: Dalam 3x24 jam pasien menunjukkan :


a. Warna kulit pasien normal
b. Nilai hematologi dalam batas yang diterima
c. Tidak mengalami perdarahan

Intervensi

: 1. Instruksikan pasien bagaimana untuk mencegah perdarahan (menghindari


olahraga yang berat dan anjurkan pemakaian sikat gigi yang lembut)
2. Berikan terapi komponen darah sesuai indikasi
3. Berikan medikasi sesuai resep mencakup suplemen besi, asam folat,
Epogen maupun multivitamin
4. Hindari pengambilan spesimen darah yang tidak perlu
5. Pantau hitung sel darah merah dan kadar hematokrit sesuai indikasi

Rasional

: 1. Perdarahan dapat memperburuk anemia


2. Terapi komponen darah mungkin diperlukan
3. Sel darah merah membutuhkan zat besi, asam folat dan vitamin untuk
produksinya.Epogen menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi
sel darah merah
4. Anemia dicetuskan oleh pengambilan sejumlah spesimen
5. Untuk mengetahui tingkat keparahan dan untuk memantau perkembangan
anemia setelah dilakukan intervensi

Kasus
Ny. A usia 65 tahun mengeluh sulit berkemih dan sakit pinggang sebelah kanan, disertai
lemah, mual, sakit kepala, nafsu makan akhir-akhir ini berkurang, dan penurunan berat badan
yang cukup drastis. Ny. A menceritakan bahwa ia pernah menderita urolithiasis atau batu

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 50

ginjal sekitar 1 tahun yang lalu. Ny. A mengeluhkan edema di sekitar mata, ekstremitas pucat
dan edema, Ny. A mengatakan tangan dan kakinya terasa dingin, sehingga terasa sangat
lemah untuk digerakkan. Nafasnya pun pendek dan cepat, sekitar 28 x/menit. Ny. A
mengeluhkan kencingnya sedikit sekali, diperkirakan produksi urin tidak sampai 300ml dan
terjadi lebih dari 1 bulan, urin berwarna coklat seperti teh. TD 130/ 90 mmHg. Nadi 110 x/
menit, suhu Badan 36,2 C. Ny.A telah memeriksakan diri ke RSP Unair, dengan hasil ureum
urin meningkat, BUN dan kreatinin meningkat, serta dokter mendiagnosa Ny. A mengalami
kegagalan ginjal akut.

Pengkajian
Anamnesa, meliputi :
1. Identitas pasien
Nama

: Ny. A

Umur

: 65 tahun

Berat badan

: 45 kg

Tinggi badan

: 160 cm

Alamat

: Surabaya

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

2. Riwayat sakit dan kesehatan


2.1

Keluhan utama
Klien mengeluh sulit berkemih dan sakit pinggang sebelah
kanan.

2.2

Riwayat penyakit sekarang


Ny. A mengatakan sulit berkemih, sakit pinggang sebelah
kanan, lemah, mual, sakit kepala, nafsu .makan akhir-akhir ini
berkurang, dan penurunan berat badan yang cukup drastis

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 51

2.3

Riwayat penyakit dahulu


Adanya riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi dan nyeri
dada. Serta pernah memiliki riwayat urolithiasis.

2.4

Riwayat keluarga
Adanya riwayat hipertensi.

2.4

Riwayat psikososial
Klien merasa stress, tak ada kekuatan, ansietas dan takut.

3.

Pemeriksaan fisik

Review Of System (ROS)


a.

B1(BREATH)
Napas pendek, dispnea, RR : 28x/menit. Pada pemeriksaan perkusi : redup

b.

B2(BLOOD)
Nadi lemah dan cepat, hipotensi ortostatik yang menunjukkan hipovolemia,
pucat, TD : 130/90, nadi : 110x/menit, Hb : 5 g/dl, CRT: 4 detik.

c.

B3(BRAIN)
Stress, ansietas, takut, penurunan kesadaran, bicara agak melantur.

d.

B4(BLADDER)
Oliguria (produksi urine 300cc/24 jam), adanya rasa nyeri saat buang

air

kecil dan kandung kemih yang menegang.


e.

B5(BOWEL)
Antropomeri : BB = 45kg, TB = 160 cm
Biochemical : Hb= 5 g/dl, creatin = 65 mol/l, albumin = 60 g/dl
Clinis : Pucat, nafsu makan menurun, mual dan muntah, pucat, turgor jelek
dan edema
Diet : Makan 2x sehari, porsi makan tidak pernah habis.

f.

B6(BONE)

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 52

Klien mengalami kelemahan serta edema ekstremitas

4. Pemeriksaan diagnostik
a. Urin
Warna : secara abnormal warna urin kotor, kecoklatan seperti teh
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin.
Volume urin: kurang dari 300 ml/ 24 jam
Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat
Osmolatas : kurang dari 350 m0sm/ kg menunjukkan kerusakan ginjal
tubular dan resiko urin / serum sering 1:1
Protein: derajat tinggi proteinuria (3-41) secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada
Klirens kreatinin: agak menurun
Natrium : lebih besar dari 40 mEg / l karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium

b. Darah
HT: menurun karena adanya anemia. Hb 5 gr/ dl
BUN/ kreatinin : 65 mol/l
GDA: asidosis metabolic, pH 6
Albumin = 60 g/dl
Natrium serum: 125 mEq/L
Kalium : 6,0 mEq/L

c. Osmolalitas Serum
350 mOsm/ kg

d. Pelogram Letrograd
Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 53

e. Ultrasonografi ginjal
Ginjal berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm dan tidak
ada masa kista obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas

f. Endoskopi ginjal, nefroskopi


Tidak terdapat pulvis ginjal, keluar batu dan pengangkutan tumor selektif

g. EKG
Tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi

Analisa Data
Data
DS: DO:- TD 130/90 mmHg
-

Nadi

perifer

teraba dan cepat

Etiologi

Masalah

Sindrom uremik

Penurunan curah jantung

tidak

Asidosis metabolic

Hipertensi sitemik

Beban kerja jantung

Curah jantung

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 54

Aliran darah ginjal

Gangguan keseimbangan

DO: Natrium 125 mEq/ L

cairan dan elektrolit

(normal= 135-145 mEq/ L

Destruksi struktur ginjal

DS:-

(mmol/L))
-

Kalium 6,0 mEq/ L


(normal

3,5

mEq/L)
-

GFR

Penyerapan elektrolit di

Ureum: 202,32 mg/dl

tubulus terganggu

(normal: 20-40 mg/dl)

Penumpukan toksik uremia,


hiponatremia, dan
hiperkalemia

DS: - klien mengatakan mual,


tidak nafsu makan

Sindrom uremik

Perubahan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh

DO: - porsi makan sedikit dan

Ureum pada saluran cerna

tidak pernah habis, hanya 3

sendok makan.
-

Mata cowong

Peradangan mukosa saluran


cerna

Stomatitis, ulkus lambung


Mual, muntah

anoreksia

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 55

Sindrom uremik

Gangguan pola nafas tidak

terasa seperti sesak

efektif

DO:- RR 28 x/menit

Asidosis metabolic

DS: - klien mengeluh nafas

Hb

Distribusi O2

Sesak
DS:

RAAS

DO:- nadi tidak teraba

Gangguan perfusi jaringan

CRT >2 detik= 4 detik

Ekstremitas

pucat,

basah, dan dingin

Pelepasan Angiotensin II

Vasokonstriksi pembuluh
darah

nadi cepat-lemah , pucat,


akral dingin, basah

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 56

DS:- klien mengatakan lemah

Sindroma uremik

DO:- klien berbaring ditempat

tidur
-

Intoleransi aktivitas

Ureum pada jaringan otot


Kebutuhan

klien

sebagian besar dibantu


oleh keluarga.

Oksigenasi otot

Restless leg sindrom

Letargi (kelemahan)

Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder:
volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah.
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi
melalui alkalosis respiratorik.
5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat,
keletihan.

Intervensi
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi
www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 57

Kriteria hasil :
Mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung
dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
Rasional: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur.
b. Kaji adanya hipertensi
Rasional: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem
aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala
0-10)
Rasional: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
Rasional: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder


: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan
Kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Batasi masukan cairan
Rasional: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan
respon terhadap terapi
b. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
Rasional: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 58

c. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama


pemasukan dan haluaran
Rasional: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual,


muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
Rasional: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
Rasional: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat
mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Berikan makanan sedikit tapi sering
Rasional: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
Rasional: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek social
e. Berikan perawatan mulut sering
Rasional: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai
dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
4. Perubahan pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan

: Pola nafas kembali normal / stabil

Kriteria hasil : RR dalam rentang normal: 16-20 x/menit


Intervensi

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 59

a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles


Rasional: Menyatakan adanya pengumpulan secret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
Rasional: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
Rasional: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
Rasional: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis


Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga setelah dilakukan perawatan 2X24 jam
Criteria hasil :
-

Mempertahankan kulit utuh

Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit


Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya
kemerahan
Rasional: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
Rasional: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap edema
Rasional: Jaringan edema lebih cenderung rusak
d. Ubah posisi sesering mungkin
Rasional: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 60

untuk menurunkan iskemia


e. Berikan perawatan kulit
Rasional: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan
tekanan pada area pruritis
Rasional: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
Rasional: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi
lembab pada kulit
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat,
keletihan
Tujuan

: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi setelah


perawatan 2x 24 jam

Kriteria hasil :
a. Klien kooperatif
b. Klien dapat miring ke kanan dan ke kiri
c. Klien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti makan dan minum
Intervensi :
a) Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b) Kaji faktor yang menyebabkan keletihan
c) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d) Pertahankan status nutrisi yang adekuat

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 61

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam
48 jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 mol/L) atau
meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam
(Molitoris et al, 2007). Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya
kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan
elektrolit dan cairan (Eric Scott, 2008).
Penyakit ginjal kronik adalah suatu keadaan yang ditandai dengan adanya kerusakan
ginjal yang terjadi lebih daeri 3 bulan berupa kelainan structural atau fungsional dengna
penurunan laju filtrasi glomerulus dengan etiologi yang bermacam-macam, disertai kelainan
komposisi darah atau urin dan kelainan dalam tes pencitraan. Secara laboratorik dinyatakan
penyakit ginjal kronik apabila pemeriksaan klirens kreatinin <15mg/dl (NKF-DOQI, 1997)

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 62

DAFTAR PUSTAKA

Arora,

Pradeep.

2012.

Chronic

Kidney

Disease.

Diakses

dari

http://

emedicine.medscape.com/ article/238798 pada tanggal 2 Juni 2012


American Journal of Kidney Disease. 2006. Hemodialysis Guidelines. Diakses dari
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/pdf/12-50-0210_JAG_DCP_Guidelines
HD_Oct06_SectionA_ofC.pdf pada tanggal 12 Mei 2012
Astiawanti, Prima. 2008. Perbedaan Pola Gangguan Hemostasis Antara Penyakit
Ginjal Kronik Prehemodialisis Dengan Diabetes Mellitus dan Non Diabetes Mellitus. Diakses
dari http://www.pernefri.org/1-kamus-ginjal.php pada tanggal 12 Mei 2012.
Bonventre, Joseph, MD, PhD. Pathophysiology of Cy. Nephrology rounds (2007),
Volume 6 Issue 7.
Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrisons principle of internal medicine. Ed
16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.
Efendy

F.2008.

Asuhan

Keperawatan

Gagal

Ginjal

Akut.

Diakses

dari

http://indonesiannursing.com/2008/07/asuhan-keperawatan-gagal-ginjal-akut/ pada tanggal 14


Mei 2012 jam 18.27
Effendi,

Ferri.

2008.

Asuhan

Keperawatan

Acute

kidney

http://indonesiannursing.com/2008/07/asuhan-keperawatan-gagal-ginjal-akut/.

injury.
Diakses

tanggal 1 Mei 2012


Hadi, Sjahfiri. 1996. Penatalaksaan Acute kidney injury. Dexa Media, No. 4, Vol.9,
Oktober-Desember

1996.

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/94962734.pdf.

Diakses

tanggal 1 Mei 2012


Hudak dan Gallo.1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume 2. Edisi 6.
Jakarta: EGC

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 63

J. M Lopez Novoa et al. Common Pathophysioogical Mechanism Of Chronic Kidney


Disease : Therapeutic Perspectives. Pharmacology & therapeutic 128 (2010) 61-81
Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time for
change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87.
Mohani CI. Diuretika pada kasus dengan oligouria. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH,
editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on
hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.9-10.
Molitoris BA, Levin A, Warnock DG, et al; Acute Kidney Injury Network. Improving
outcomes from acute kidney injury. J Am Soc Nephrol. 2007;18(7): 1992-1994.
National

Kidney

Foundation.

2010.

About

CKD

Guide.

Diakses

dari

http://www.kidney.org/atoz/atozcopy.cfm?pdflink=AboutCKDGuidePatFam.pdf pada tanggal


12 Mei 2012.
National Kidney Foundation. NKF-DOQI clinical practice guidelines for dyalisis
adequaly. Am J Kidney Dis. 1997:567-5136.
Noer, Muhammad Sjaifullah, Ninik Soemyarso. 2012. Acute kidney injury .
http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pd
f=&html=07110-jlqk257.htm diakses 1 Mei 2012 jam 8.00
Philip OReilly, MD, Ashita Tolwani, MD. Renal Replacement Therapy III:IHD,
CRRT, SLED. Crit Care Clin 21 (2005) 367 378
Roesli R. Kriteria RIFLE cara yang mudah dan terpercaya untuk menegakkan
diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007;7(1):18-24.
Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest.2004;114:5-14.
Schrier RW. Renal and Electrolyte Disorders. 6th edition. Lippincolt Williams and
Willkins;2003
Scott, Eric. 2008. Identifying Acute Kidney Injury In High Risk Patients. AGE Health

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 64

MR Publication : Scotland
Sinto, Robert, Ginova Nainggolan. 2010. Acute Kidney Injury :Pendekatan Klinis dan
Tata Laksana. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 6p Nomor : 2 Pebruari 2010
Sjabani M. Penggunaan manitol: dampaknya pada ginjal. Dalam Dharmeizar, Marbun
MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and
symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.21-22.
Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH, editor.
Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on
hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9.
The Indonesian Diatrans Kidney Foundation (2010). Transpalntasi. Diakses dari
http://www.ygdi.org/_kidneydiseases.php?view=_transplantasi_detail&id=3
Wijaya, Ari M., (2010). Terapi Pengganti Ginjal atau Renal Replacement Terapy.
Diakses dari http://www.infodokterku.com diakses pada tanggal15 Mei 2012
Workeneh,

Biruh

T.

(2012).

Acute

Renal

Failure.

Diakses

dari

http://www./emedicine.medscape.com/article/243492 pada tanggal 3 Juni 2012

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 65

Lampiran WOC GGK

Faktor yang dapat berubah:

Faktor yang tidak dapat di ubah:


-

Genetic
Usia > 60 th

Gangguan metabolic
Hipertensi
Gangguan pembuluh darah ginjal
Gangguan imunologis
Infeksi
Gangguan tubulus primer
Obstruksi traktus urinarius
Kelainan konginetal

Penurunan aliran darah di ginjal

GFR

Fungsi nefron banyak yang hilang

Gagal ginjal akut

Gangguan pada fungsi ginjal

Ekskresi

Regulasi cairan elektrolit


Retensi cairan dan
elekttrolit

fungsi ekskresi
ureum dan nitrogen non protein

Kelebihan volume cairan

Uremia
Pada uretral

Beban kerja jantung


Pada kulit
Pruritus

MK: gangguan proses pikir

MK: kelebihan volume

MK: gangguan intregitas kulit

CO
Perfusi jaringan
MK: penurunan perfusi jaringan

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 66

Keseimbangan
asam basa

Retensi substansi

Kegagalan/penuruna
n reabsorbsi HCO3& sekresi H+ pada
tubulus ginjal

Glukosa
Kegagalan/ reabso
rbsi glukosa

Asidosis metabolic

Glukosaria

MK: gangguan
keseimbangan
asam basa

Perfusi jaringan

Iritasi lambung

PK anemia

Proteinuria

Kelebihan volume
cairan

Produksi asam

Hematomesis
melena

Kegagalan/
reabsorbsi protein

Fosfat
Retensi fosfat oleh
ginjal
konsentrasi
fosfat serum

Edema

uremia

Perdarahan

Protein

pengikatan fosfat
dengan kalium
dalam plasma
konsentrasi Ca+
Merangsang hormone
paratiroid

Nausea, vormit

Hiperparatiroidisme

Risiko gangguan
nutrisi inadekuat

Pelepasan Ca dalam
tulang

Kadar glukosa

Demineralisasi tulang

energy untuk otak

Tulang rawan cedera

Pusing

Risiko cedera

Risiko cedera
www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 67

Hormonal

Eritroprotein

Rennin

sekresi
ertroprotein

Jaringan ginjal
iskemik

Pembentukan
RBC
tergganggu

Sekresi rennin
Pembentukan angiotensi II

Kadar NL
Hipertansi
PK anemia

Oksihemoglobin

Suplai O2

Suplai O2 di
otak

Gangguan perfusi
jaringan

Intoleransi
aktivitas

Gangguan
proses pikir

www.saktyairlangga.wordpress.com

Page 68

Chronic Kidney Disease


Lampiran WOC AKI

AKI Prarenal

AKI Pasca renal

AKI Renal

)
Perubahan rasio retensi
vascular ginjal sistemik

Penyakit mikrovaskuler ginjal

Obstruksi renovaskuler

hipovolemia
Penurunan
transport O2

Obstruksi leher vesika


urinaria
Nefritis interstisial

Penan curah
jantung
hipoperfusi
ginjal

Obstruksi ureter

Obstruksi uretra
MK:
Gangguan
perfusi
jaringan

Obstruksi dan deposisi


intratubular
Rejeksi alograf ginjal

Iskemia atau nefrotoksin

AKI

MK:
69
-Kurang Pengetahuan
-Ansietas

Mikrovaskuler

Tubular

Kerusakan/ hilangnya polaritas


Peningkatan endhotelial

RAAS

Adhesi leukosit endhotel


meningkat

Retensi Na + H2O

Angiotensin II
Vasokonstriksi pembuluh darah

Aktivasi system koagulasi

MK: Resiko
Hipertermia

MK: Kelebihan
volume cairan

Apoptosis
nekrosis
Obstruksi intratubuler

Edema, CRT , RR>, nadi


cepat-lemah , pucat, akral
dingin, basah

Obstruksi pembuluh

inflamasi

Edema

Dilatasi pelviokalises

MK: Gangguan perfusi jaringan

Kebocoran filtrat
penan daya reabsorbsi
tubular

MK: Nyeri Akut

70

Oliguri

Retensi cairan
interstisial dan pH

Fase diuresis ginjal

Ekskresi kalium
menurun

MK: Gangguan pola eliminasi urin

Peningkatan
metabolit pada
jaringan otot

Peningkatan metabolit
pada gastrointestinal

Urin hipotonis
Edema paru,
asidosis metabolik

MK: Gangguan
pola nafas tidak
efektif

Pengeluaran cairan
tubuh berlebih
dehidrasi

MK: Ketidak
seimbangan cairan
dan elektrolit

Hiperkalemi

MK: Defisit
volume cairan

Kelelahan, kram
otot

MK: Intoleransi
aktivitas

Peningkatan ureum
dalam saluran
cerna
Peradangan
mukosa saluran
cerna
Ulkus lambung

MK: Resiko
Tinggi Kejang,
Resti Aritmia

Perubahan
konduksi
elektrikal
jantung

Mual, muntah

Anoreksia
MK: Penurunan
Curah Jantung
71

MK: Nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh

Penatalaksanaan

Terapi nutrisi

Terapi farmakologi

Furosemid

Manitol

Dosis
>250mg/kgBB/4jam

Dosis max 1gr/hari

Dopamin

Dosis rendah (o,5-3


g/kgBB/menit)

Dosis semakin
meningkat

pean dosis lebih lanjut


nefrotoksik
toksisitas
Mekan aliran darah
Mual, muntah
Iskemia jaringan
MK: -Nutrisi Kurang
dari kebutuhan

Iskemia miokard,
tachiaritmia
MK: penurunan
curah jantung

vasokonstriksi
MK: gangguan
perfusi jaringan

nekrosis

-Defisit volume cairan


oliguri

MK: ggn eliminasi urin

72

KOMPLIKASI AKI

Kelebihan cairan
intravaskulair

hiponatremia

hiperkalemia

Edema
MK: Kelebihan
volume cairan

MK: -Gangguan
keseimbangan elektrolit
-Penurunan curah
jantung
-Resiko Aritmia

Asidosis metabolik

hiperphosphate
mia

RR

Sirkulasi darah
buruk

hipokalsemia

Merangsang
hormone
paratiroid

Sesak

MK: Gangguan pola


nafas

hiperurisemia

Asam urat tinggi

Nyeri persendian
MK: Gangguan
perfusi jaringan

Pengambilan
kalsium tulang

MK: -Nyeri Akut


-Intoleransi
Aktivitas

MK:
-Nyeri akut
-Resiko cedera

73

74

Anda mungkin juga menyukai