Haeruddin
IKL/C.66.102.0061
E-mail: herdian2003@yahoo.com
Pendahuluan
Dalam suatu diskusi dengan topik hujan buatan, yang dihadiri oleh beberapa
mahasiswa aktivis kampus, seorang peserta diskusi melontarkan pandangannya
tentang hukum hujan buatan menurut syariat Islam. Dalam pandangan sang
mahasiswa tadi, yang kebetulan jebolan pesantren kenamaan di Jawa, hujan buatan
itu hukumnya haram, karena mendahului kehendak Tuhan, yang berkuasa
menurunkan hujan.
Pada kesempatan lain, seorang kyai dalam suatu ceramah menyatakan bahwa
mempelajari hukum positif seperti yang diajarkan di fakultas hukum di perguruan tinggi,
haram hukumnya menurut ajaran Islam. Dalam pandangan sang kyai, hukum yang
boleh dipelajari hanyalah hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Kedua ilustrasi diatas memberi kesan betapa masih kerdilnya pemahaman
sebagian umat Islam, dari golongan terdidik sekalipun, terhadap ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terus berkembang hingga kini. Bahkan seolah memberi kesan bahwa
ada sebagian umat Islam yang masih anti ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lebih
menyenangi hidup konservatif seperti zaman dahulu. Walaupun kadang-kadang
pandangan dan sikap mereka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
konsisten. Sebagai contoh ada beberapa kalangan yang tidak mau menggunakan
sendok dan garpu pada saat makan, karena menurutnya hal itu tidak sesuai dengan
sunnah Rasulullah SAW. Namun anehnya, mereka kemana-mana tidak berjalan kaki
atau naik unta, seperti pada Zaman Rasulullah, melainkan naik motor atau mobil, yang
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
Jika kita menoleh ke belakang menapaki alur perjalanan sejarah peradaban
umat manusia, maka sikap konservatif ini pernah menghinggapi semua peradaban di
dunia. Dari sejarah diketahui bahwa sikap seperti ini telah menimbulkan korban pada
berbagai kalangan yang memiliki pandangan yang berbeda dengan keyakinan agama
yang berkembang saat itu. Dalam Sejarah Kristen tercatat banyak ilmuwan menjadi
korban, oleh karena memiliki pandangan yang berbeda dengan pihak gereja, sedang
dalam Sejarah Islam pengajaran filsafat pernah dilarang dipelajari termasuk diajarkan
di perguruan tinggi seperti perguruan tinggi kenamaan Al-Azhar yang ada di Kairo,
Mesir.
Sejarah telah membuktikan bahwa adanya sikap konservatif terhadap
pandangan-pandangan baru, telah menghantarkan peradaban ke dalam masa-masa
kegelapan. Sejarah Islam telah mencatat bahwa masa keemas-an Islam (The Golden
Age of Islam) terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbas (Abbasiyah), yang
sangat terbuka terhadap perkembangan berbagai pemikiran baru. Bersamaan dengan
dilarangnya belajar-mengajar filsafat, umat Islam mengalami kemunduran, hingga
terpuruk ke dalam belenggu penjajahan Negara-negara Barat.
Timbulnya kesadaran baru di kalangan umat Islam untuk keluar dari belenggu
penjajahan, tidak lepas dari keberanian beberapa pembaharu dunia Islam seperti
Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh, yang menganjurkan agar umat Islam
kembali mempelajari filsafat dan membuka diri kepada munculnya ide-ide baru.
Berangkat dari uraian diatas, maka dalam tulisan berikut ini akan dipa-parkan
bagaimana sumbangan peradaban Islam pada masa keemasannya dahulu terhadap
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, dengan maksud untuk meluruskan
pandangan bahwa Umat Islam itu seolah-olah anti ilmu pengetahuan dan teknologi.
Daftar Pustaka
Durant, W. 1933. The story of philosophy. Simon and Schuster, New York.
Praja, J.S. 2002. Filsafat dan metodologi ilmu dalam Islam. Penerbit Teraju, Jakarta
Suriasumantri, J.S. 2002. Filsafat ilmu, sebuah pengantar populer, cetakan ke-15.
Pustaka Sinar harapan, Jakarta
Wells, H.G. 1951. The out line of history. Cassel and Company, London.