Anda di halaman 1dari 21

Dermatitis Atopik

2.2.1 Definisi Dermatitis atopik adalah suatu penyakit kulit kronis, berulang, ditandai dengan
adanya inflamasi dan disertai rasa gatal yang hebat, dan distribusinya pada tempat-tempat
tertentu dari tubuh (Beck, 2004; Sicherer dan Sampson, 2004; Leung, 2003; Williams, 2005)
ditandai dengan eritema dengan batas tidak tegas, disertai edema, vesikel, dan basah pada
stadium akut, dan penebalan kulit (likenifikasi) pada stadium kronis (Williams, 2005).
Patofisiologi
Patofisiologi dermatitis atopik adalah adanya disfungsi imun yang menyebabkan
terbentuknya IgE, dan gangguan barrier epitel kulit. Teori hipotesis yang pertama disebut juga
teori imun hipotesis, menyatakan pada individu yang sehat, terdapat keseimbangan antara 2
subpopulasi sel T yang utama yaitu Th1 dan Th2. Tetapi pada individu tertentu terdapat
ketidakseimbangan dimana terdapat dominansi Th2, yang mengakibatkan diproduksinya sitokin
yaitu interleukin (IL) 4, IL-5, IL-13 dan granulocyte macrophage colony-stimulating factor (GM
CSF), yang menyebabkan peningkatan jumlah IgE dan menurunkan kadar interferon gamma.
Namun demikian pada dermatitis atopik yang kronis, jenis sel Th1 yang dominan. Selain kedua
sub populasi sel T tersebut, sel lain yang juga terlibat dalam proses ini adalah sel Langerhans,
keratinosit, dan sel B (Krafchik, 2008). Hipotesis yang kedua melibatkan defek fungsi barier dari
stratum korneum epitel kulit pada pasien dermatitis atopik, yang memudahkan masuknya antigen
yang berakibat pada terbentuknya sitokin inflamasi. Xerosis juga diketahui berhubungan dengan
gejala pada dermatitis atopik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa terdapat kehilangan fungsi yang
kompleks akibat mutasi dari gen filaggrin (FLG) pada pasien dermatitis atopik di Eropa dan
mutasi filaggrin tipe yang lain di Jepang. Gen ini bermutasi pada pasien dengan ichthyosis
vulgaris yang berhubungan dengan dermatitis atopik dengan onset pada masa awal kehidupan
dan penyakit pada saluran nafas pada pasien dermatitis atopik. Perubahan ini hanya terlihat pada
30 % pasien di Eropa, sehingga memunculkan 17 dugaan bahwa faktor genetik berperan pada
patogenesis penyakit dermatitis atopik (Krafchik, 2008). Pada dermatitis atopik, terjadi
peningkatan kehilangan air transepidermal, defek pada badan lamelar yang disebabkan oleh
ketidakknormalan produksi ceramide karena defek pada filagrin. Inflamasi yang terjadi
disebabkan kerusakan epidermal barrier secara primer ataupun sekunder, sampai saat ini belum
diketahui dengan jelas, tetapi dengan diketahuinya keterlibatan filaggrin dalam disrupsi epitel,

dapat dijelaskan bahwa hal ini dapat meningkatkan penetrasi dari alergen lingkungan, yang
bertanggung jawab pada patogenesis terjadinya dermatitis atopik (Krafchik, 2008; Soebaryo,
2004).
Faktor Risiko
2.2.5.1. Genetik Dermatitis atopik merupakan suatu penyakit kompleks yang merupakan hasil
interaksi beberapa faktor. Beberapa gen telah diidentifikasi dapat menjelaskan beberapa kasus
namun faktor genetik bukan faktor tunggal penyebab dermatitis atopik. Peran lingkungan ikut
berperan penting, seperti dalam penelitian pada anak Jamaica yang tinggal di London memiliki
risiko 2 kali lipat lebih tinggi untuk mengalami dermatitis atopik dibanding anak-anak Jamaica
yang tinggal di Jamaica (Boediardja, 2004; William, 2008; Soebaryo, 2004). Transmisi dari gen
pembawa risiko atopi ini berasal dari beberapa lokus gen (Schafer, 2006). Penurunan gen risiko
atopi ini sangat kuat berasal dari gen ibu dan ditemukan bahwa terdapat peran yang potensial
dari kromosom 5q31- 33 yang terkandung dalam keluarga gen sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan
GMCSF yang diekspresikan oleh sel Th2 (Leung, 2003). Menurut Janeway dkk. (2001),
kromosom 11q dan 5q mempunyai peran yang penting dalam atopi, dimana gen-gen pada
kromosom ini mengkode subunit dari reseptor IgE yang memiliki afinitas tinggi. Kromosom 5
terdiri kelompok gen yang diantaranya mengkode IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-13 dan
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Sitokin- 20 sitokin ini sangat
penting dalam aktifitas IgE, kelangsungan hidup eosinofil, dan proliferasi sel mast. Pada suatu
penelitian yang dilakukan oleh Moore dkk. (2004) tentang faktor prediktor perinatal terhadap
dermatitis atopik pada 6 bulan pertama kehidupan, didapatkan bahwa riwayat keluarga atopi
memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya dermatitis atopik, dan riwayat atopi pada ibu
memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan riwayat atopi pada ayah. Riwayat dermatitis
atopik pada orangtua adalah faktor risiko penting terjadinya dermatitis atopik pada anak, dan
kejadian dermatitis atopik pada kembar monozigot lebih tinggi daripada kembar dizigot
(Boediardja, 2004; Liu dkk., 2003).
2.2.5.2. Alergen Makanan Pada awal abad ke-20, Schloss, Talbot, dan Blackfan
mempublikasikan suatu laporan kasus mengenai perbaikan klinis yang dialami oleh pasien
dermatitis atopik setelah dilakukan penghindaran terhadap makananmakanan tertentu dalam diet
mereka. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa alergen menginduksi aktivasi sel mast yang

dimediasi IgE dan menghasilkan suatu hasil akhir berupa reaksi hipersensitifitas yang
dikarakteristikkan dengan adanya infiltrasi monosit dan limfosit pada jaringan, contohnya kulit.
Pola dari ekspresi sitokin yang ditemukan pada limfosit yang menginfiltrasi lesi dermatitis atopik
yang akut adalah predominan Th2, IL-4, IL-5, IL-13. Sebagai tambahan, sitokin-sitokin ini
memicu masuknya eosinofil yang telah aktif, dan melepaskan produk-produk dari eosinofil. Sel
Langerhans yang menghasilkan IgE, diregulasi 21 oleh sitokin-sitokin ini sehingga menjadi
sangat efisien dalam tugasnya mengantarkan alergen pada sel T (Leung, 2003). Fiocchi dkk.
dalam review-nya terrhadap sedikitnya 15 penelitian dari tahun 1975 sampai tahun 2003,
didapatkan alergen susu sapi paling sering menimbulkan alergi (Sinagra dkk, 2007). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Rennick dkk. (2006), dilakukan skin prick test alergen makanan
pada populasi bayi dermatitis atopi derajat sedang dan berat yang mendapat ASI. Didapatkan
91,5 % positif terhadap satu atau lebih alergen makanan di antaranya susu sapi, putih telur,
kacang dan gandum. Menurut Hanifin (1992), diperkirakan alergen makanan diabsorpsi melalui
usus halus, kemudian memasuki sirkulasi dan terikat dengan sel mast yang telah tersensitisasi
dengan IgE spesifik di kulit. Interaksi ini akan melepaskan histamin dan mediator-mediator lain
yang menyebabkan eritema dan pruritus. Hal yang mendukung perkiraan mekanisme ini adalah
pada pasien dermatitis atopik terdapat peningkatan permeabilitas usus terhadap molekulmolekul
makanan yang berukuran besar. Kemungkinan yang lain adalah mediator-mediator yang
dilepaskan oleh sel mast usus, akan menuju sirkulasi dan menyebabkan reaksi pada kulit dan
saluran nafas. Dermatitis atopik tidak selalu disebabkan oleh alergi makanan, tapi dapat
diprovokasi oleh makanan tertentu. Suatu penelitian yang dilakukan dengan sampel pasien
dermatitis atopik yang dirawat di rumah sakit, terbukti bahwa alergen makanan dapat
menimbulkan eksaserbasi sebesar 32% - 40%. Yang menarik adalah alergen yang bertanggung
jawab terhadap lebih dari 90% reaksi 22 tersebut adalah susu sapi, telur ayam, gandum, kedelai,
kacang dan ikan. Hasil ini ternyata konsisten dengan penelitian akhir tahun 1980 dan akhir tahun
1990 (Schafer, 2006). Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa dengan eliminasi makanan
yang diperkirakan sebagai penyebab, terjadi penurunan dalam jumlah spontaneous basophil
histamine release (SBHR) pada anak dengan dermatitis atopik yang telah lama mengkonsumsi
makanan dimana dia alergi terhadap makanan tersebut (Leung, 2003). Beberapa penelitian klinis
menunjukkan bahwa eleminasi dari alergen makanan yang relevan, dapat memberikan perbaikan
gejala pada kulit, dan pemberian kembali makanan tersebut, memicu terulangnya gejala (Leung,

2003). Suatu penelitian prospektif dan acak German Infant Nutrition and Prevention Study
(GINI) yang dilakukan Laubereau (2004), didapatkan data yang valid tentang efek pencegahan
dermatitis atopik pada formula hipoalergenik, dimana penggunaannya dapat menurunkan insiden
dermatitis atopik setelah 1 tahun pada anak tanpa predisposisi genetik. Sebaliknya, insiden
dermatitis atopik menurun pada anak dengan riwayat dermatitis atopik pada keluarga hanya bila
diberikan formula ekstensif hidrolisis berbasis kasein.
2.2.5.3. Pengenalan Makanan Padat Dini Pengenalan makanan padat yang terlalu dini (saat umur
4 bulan) berhubungan dengan meningkatnya risiko dermatitis atopik, karena memudahkan
masuknya makromolekul dari alergen makanan melalui saluran cerna yang imatur. Imaturnya
saluran cerna ini mulai dari saliva yang masih sedikit 23 menghasilkan enzim ptialin pencerna
karbohidrat, pH lambung yang cukup tinggi sehingga penghancuran makanan tidak sempurna,
dan tight junction usus yang masih longgar. Kombinasi ini menghasilkan makanan dalam bentuk
molekul yang besar, atau disebut juga makromolekul. Komite nutrisi AAP menyarankan
penundaan pemberian makanan padat sampai umur 4 bulan dimana telah terjadi maturasi dan
kesiapan dari sistem saraf dan saluran cerna (Sicherer dan Sampson, 2004). Hasil sebaliknya
didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Snijders dkk.(2007), bahwa tidak ada hubungan
antara pemberian makanan padat dini dengan dermatitis atopik. 2.2.5.4 Aeroalergen Aeroalergen
adalah suatu substansi , biasanya protein atau glikoprotein berukuran 10-50 kDa yang terdapat di
udara, yang mampu untuk menginduksi respon IgE (sensitisasi) pada seseorang yang mempunyai
predisposisi genetik. Aeroalergen dibedakan menjadi dua yaitu alergen luar rumah, dan alergen
dalam rumah (Yunginger, 2003). a. Alergen Luar Rumah Sumber utama alergen luar rumah
adalah pollen dan jamur. Paparan terhadap pollen tergantung dari jenis tanaman dan lokasi
tumbuhnya. Diperkirakan 20-100 serbuk pollen/m3 , cukup untuk menimbulkan sensitisasi pada
individu tertentu. Serbuk pollen berdiameter antara 10-100 m, dan kebanyakan menempati
rongga hidung atau nasofaring Jamur banyak terdapat di negara-negara dengan kelembaban
tinggi, termasuk Indonesia. Beberapa spesies 24 jamur yang dapat menimbulkan sensitisasi
adalah Alternaria, Aspergillus, Cladosporium, dan Penicillium (Yunginger, 2003). Kebanyakan
alergi pada manusia disebabkan oleh sejumlah kecil alergen protein inhalan yang dapat
menimbulkan produksi IgE pada individu yang rentan. Kita menghirup banyak macam protein
yang tidak semuanya menginduksi timbulnya IgE. Kebanyakan protein yang bersifat alergen

inhalan berukuran sangat kecil, dan mempunyai sifat larut yang tinggi. Pada kontak dengan
mukosa hidung misalnya, partikel alergen yang kecil ini, contohnya pollen, akan berdifusi ke
dalam mukosa. Alergen secara tipikal dipresentasikan pada sistem imun dalam dosis yang sangat
rendah, mengubah keseimbangan Th2 yang akan menginduksi produksi dari IgE dalam
responnya terhadap dosis alergen yang sangat kecil ini. Produksi antibodi IgE memerlukan sel
Th2 yang memproduksi Interleukin (IL) 4 dan IL-13, dan hal ini dapat dihambat oleh Th1 yang
memproduksi interferon (IFN-) ( Janeway dkk., 2001). b. Alergen dalam rumah Alergen
dalam rumah contohnya tungau debu rumah, bulu binatang dan kecoa. Dilihat dari struktur dan
fungsinya alergen dalam rumah adalah berupa protein atau glikoprotein dengan berat molekul
10-50 kDa. Alergen ini akan memicu diferensiasi sel T menjadi sel Th2 yang memproduksi IL-4,
IL-13 dan menginduksi terbentuknya IgE (Yunginger, 2003). Tungau debu rumah
(Dermatophagoides pteronyssimus), adalah suatu parasit yang menginvasi inangnya dengan cara
mensekresi enzim proteolitik yang merusak keutuhan jaringan sehingga memudahkan parasit
masuk ke dalam 25 jaringan host. Diduga bahwa enzim yang dihasilkan tersebut secara aktif
akan memicu respon dari Th2. Alergenisitas dari Dermatophagoides pteronyssimus (Der p 1 ) ini
juga dipicu oleh sifat proteolitiknya terhadap beberapa reseptor protein pada sel B dan sel T.
Selain itu Der p 1 ini juga mampu memecah subunit dari reseptor IL-2 dan CD 25 dari sel T.
Hilangnya aktivitas reseptor IL-2 akan mengganggu jumlah sel Th1, sehingga akan terjadi
dominansi jumlah sel Th2 (Janeway dkk., 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
terjadi lesi kulit eksematous yang gatal setelah dilakukan bronchial inhalation challenge dengan
aeroalergen pada pasien dermatitis atopik yang tersensitisasi dengan alergen inhalan. Aplikasi
suatu aeroalergen pada permukaan kulit, menimbulkan suatu lesi kulit yang eksematoid pada
30% - 50% pasien dermatitis atopik. Reaksi positif ditimbulkan oleh alergen tungau debu rumah,
bulu binatang dan jamur (Leung, 2003). Aeroalergen terutama tungau debu rumah telah lama
diketahui sebagai faktor pencetus dermatitis atopik. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
meneliti hubungan antara pengurangan alergen load dan titik akhir klinis. Sebagian besar
penelitian ini memiliki dampak yang bermanfaat dalam menurunkan prevalensi dermatitis
atopik, meskipun penelitian-penelitian yang lebih kecil belum dapat mengkonfirmasinya.
Hubungan klinis antara dermatitis atopik dengan sensitisasi terhadap tungau debu rumah dapat
dilihat pada suatu penelitian epidemiologi pada 2201 anak sekolah. Dan hubungan yang linear
antara derajat sensitisasi terhadap tungau debu rumah dengan derajat keparahan dermatitis atopik

juga telah dilaporkan (Schafer, 2006). 26 Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa
penghindaran terhadap aeroalergen berhasil menghasilkan perbaikan klinis pada dermatitis
atopik. Data laboratorium menunjukkan bahwa terdapat antibodi IgE terhadap alergen inhalan
yang spesifik pada kebanyakan pasien dermatitis atopik. Penelitian terakhir menemukan bahwa
95 % serum pasien dermatitis atopik terdapat antibody IgE terhadap alergen tungau debu rumah
jika dibandingkan dengan jumlah 42 % pada pasien asma. Derajat sensitisasi alergen inhalan ini
berbanding lurus dengan derajat keparahan penyakit dermatitis atopik. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa respon imun pada kulit pasien dermatitis atopik ditimbulkan oleh alergen
inhalan atau aeroalergen (Leung, 2003). b. Binatang dalam rumah Hubungan antara binatang
dalam rumah terhadap terjadinya penyakit atopi telah banyak diteliti. Studi terdahulu mendukung
bahwa binatang peliharaan merupakan faktor risiko terjadinya penyakit atopi terutama pada bayi
yang berisiko tinggi. Di pihak lain, beberapa penelitian terkini mendapatkan hasil bahwa alergen
tertentu malah memberikan efek pencegahan terhadap terjadinya penyakit atopi (Schafer, 2006).
Moore dkk. (2004) mendapatkan adanya kecoa di dalam rumah merupakan salah satu faktor
prediktor terjadinya dermatitis atopik pada 6 bulan pertama kehidupan. Binatang-binatang lain
yang telah diteliti untuk hal ini adalah kelinci, tikus, guinea pig, dan pada penelitian
epidemiologi di Jerman mendapatkan bahwa tikus merupakan faktor risiko dermatitis atopik, dan
pada anak sekolah didapatkan peningkatan kejadian dermatitis atopik jika memelihara kelinci
dan babi guinea di dalam rumah (Schafer, 2006). Metodologi 27 penelitian yang baik dan teliti
diperlukan untuk mengetahui hubungan antara binatang dengan dermatitis atopik (Schafer,
2006). Penelitian-penelitian pada anak-anak yang tumbuh dan besar di peternakan menunjukkan
efek protektif terhadap sensitisasi alergen dan penyakit atopi, yang diperkirakan karena paparan
endotoksin (Schafer, 2006). c. Faktor lingkungan yang lain Beberapa penelitian telah meneliti
hubungan antara manifestasi atopi dengan eksema dengan parameter polusi udara. Di Jerman
Barat dan Timur didapatkan hubungan linear yang signifikan antara parameter paparan NOx
terhadap prevalensi dermatitis atopik dengan hasil 16,5 % dibandingkan dengan 14,9 % pada
kontrol. Hasil yang sama didapatkan bahwa insiden dermatitis atopik meningkat pada daerah
dengan kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi. Ekspose terhadap komponen volatil organik
khususnya toluene, juga dihubungkan dengan terjadinya dermatitis atopik pada anak (Schafer,
2006). Asap rokok juga diduga berhubungan dengan dermatitis atopik. Penelitian terhadap 421
anak prasekolah yang ibunya pada waktu hamil dan menyusui merokok, memiliki angka risiko

2,3 kali dibanding dengan yang tidak merokok (Benn dkk. dkk., 2004; Schafer, 2006). Menurut
Terr (2003), asap rokok memiliki efek sebagai adjuvant terhadap produksi antibodi IgE total dan
IgE spesifik.
Penyebab pasti dermatitis atopik masih belum diketahui, oleh karena itu pengobatannya terutama
masih bersifat simptomatik. Penyakit ini dapat bermanifestasi mulai dari yang ringan sampai
berat sekali dengan berbagai faktor pencetus yang bervariasi sehingga memerlukan beragam
pendekatan sistematik dan holistik dalam penatalaksanaannya. Hingga saat ini penatalaksanaan
dermatitis atopik terutama ditujukan untuk mengurangi tanda dan gejala penyakit, mencegah atau
mengurangi kekambuhan sehingga dapat mengatasi penyakit dalam jangka waktu lama serta
mengubah perjalanan penyakit. Sebaiknya 42 penatalaksanaan ditekankan pada kontrol jangka
waktu lama, bukan hanya untuk mengatasi kekambuhan (Sugito, 2009). The Second
International Consensus Conference on Atopic Dermatitis (ICCAD II) diselenggarakan di
Amerika Serikat pada tahun 2002 untuk menyusun suatu pedoman internasional mengenai
pilihan terapi yang ada sekarang dan di masa depan untuk penatalaksanaan dermatitis atopik.
Disepakati suatu algoritme sebagai dasar pedoman praktek klinis yang dapat digunakan untuk
penatalaksanaan dermatitis atopik pada stadium apapun dan di negara manapun (Sugito, 2009).
Pengobatan awal dermatitis atopik terdiri atas penggunaan tak terbatas pelembab untuk hidrasi
kulit yang disertai edukasi kepada pasien dan atau orang tua/pengasuhnya untuk menghindari
faktor pencetus. Dalam keadaan flare, dapat diberikan kortikosteroid topikal jangka waktu
pendek. Penghambat kalsineurin topikal juga merupakan pilihan lain pada fase akut tersebut
untuk mengatasi inflamasi dan pruritus. Bila radang telah teratasi, kembali hanya diberikan
pelembab (Sugito, 2009). Untuk pengobatan pemeliharaan pada kasus yang persisten atau sering
kambuh, dapat diberikan penghambat kalsineurin topikal. Pimekrolimus terbukti dapat mencegah
progresivitas penyakit dan mengurangi terjadinya flare. Takrolimus juga efektif untuk
pengobatan dermatitis atopik jangka waktu lama, walaupun pengaruhnya terhadap insidens flare
belum diteliti. Kortikosteroid topikal hanya diberikan pada eksaserbasi akut, dengan demikian
lama 43 penggunaannya dapat dikurangi. Bila sudah remisi, pelembab dilanjutkan (Sugito,
2009). Bersamaan dengan pengobatan, beberapa terapi tambahan perlu dilakukan untuk
mendapatkan hasil yang maksimal, mulai dari menghindari faktor pencetus sampai dukungan
psikologis. Infeksi dapat mengubah perjalanan penyakit, sehingga bila terdapat infeksi harus

dievaluasi dan diberikan antibiotik, antijamur, dan antiviral yang sesuai secepatnya. Sebelum
melakukan pemberian antiinflamasi, infeksi klinis pada lesi harus sudah teratasi (Sugito, 2009).
Bila gejala dermatitis atopic refrakter dan tidak dapat diatasi dengan penghambat kalsineurin
topikal

maupun

kortikosteroid

topikal

secara

intermiten,

beberapa

pilihan

dapat

dipertimbangkan, bergantung pada keadaan pasien. Pilihan tersebut antara lain fototerapi,
kortikosteroid yang lebih poten maupun sediaan oral, imunosupresan : siklosporin, metotreksat,
atau azatioprin (sendiri-sendiri atau dalam kombinasi), dan psikoterapi/psikofarmakologi
(Sugito, 2009).

Acne vulgaris atau jerawat, selanjutnya disebut acne, adalah penyakit kulit obstruktif dan
inflamatif kronik pada unit pilosebasea yang sering terjadi pada masa remaja. Acne sering
menjadi tanda pertama pubertas dan dapat terjadi satu tahun sebelum menarche atau haid
pertama. Onset acne pada perempuan lebih awal daripada laki-laki karena masa pubertas
perempuan umumnya lebih dulu daripada laki-laki. Prevalensi acne pada masa remaja cukup
tinggi, yaitu berkisar antara 47-90% selama masa remaja.
Acne memiliki gambaran klinis beragam, mulai dari komedo, papul, pustul, hingga nodus
dan jaringan parut, sehingga disebut dermatosis polimorfi k dan memiliki peranan poligenetik.
Pola penurunannya tidak mengikuti hukum Mendel, tetapi bila kedua orangtua pernah menderita
acne berat pada masa remajanya, anak-anak akan memiliki kecenderungan serupa pada masa
pubertas. Meskipun tidak mengancam jiwa, acne memengaruhi kualitas hidup dan memberi
dampak sosioekonomi pada penderitanya.
Banyak penelitian belum dapat menyimpulkan peranan diet terhadap acne dan membutuhkan
penelitian lebih lanjut. American Academy of Dermatology mengeluarkan rekomendasi pada
tahun 2007 bahwa restriksi kalori tidak memiliki dampak pada pengobatan acne dan buktibukti
yang ada belum cukup kuat untuk menghubungkan konsumsi makanan tertentu dengan acne.11
Akan tetapi, beberapa penelitian menemukan bahwa produk olahan susu memperberat acne.
Produk olahan susu, mungkin juga makanan lain, mengandung hormon 5 reduktase dan
prekursor DHT lain yang merangsang kelenjar sebasea. Selain itu, acne dipengaruhi oleh hormon
dan growth factors, terutama insulin-like growth factor (IGF-1) yang bekerja pada kelenjar
sebasea dan keratinosit folikel rambut. Produk olahan susu mengandung enam puluh growth
factors, salah satunya akan meningkatkan IGF-1 langsung melalui ketidakseimbangan
peningkatan gula darah dan kadar insulin serum. Makanan dengan indeks glikemik tinggi juga
meningkatkan konsentrasi insulin serum melalui IGF-1 dan meningkatkan DHT sehingga
merangsang proliferasi sebosit dan produksi sebum. Bersama dengan terapi antiacne standar,
semua produk olahan susu dan makanan dengan indeks glikemik tinggi, sebaiknya dihentikan
minimal 6 bulan. Suplementasi vitamin A dapat mengurangi sumbatan pori pada individu yang
kekurangan asupan vitamin A. Makanan mengandung asam lemak esensial omega 3 dapat
mengurangi inflamasi.

Dalam komunitas dermatologi, suatu konsensus umum telah berkembang yang


menyatakan bahwa diet (makanan) tidak berhubungan dengan etiologi akne vulgaris.9 Saat ini
terdapat beberapa data yang mendukung pernyataan ini. Sebaliknya, sejumlah bukti juga telah
ditemukan yang menunjukkan bagaimana diet, baik secara langsung maupun tidak langsung,
mempengaruhi ke-4 penyebab akne vulgaris.
Klasifikasi Karbohidrat
Karbohidrat merupakan molekul organik yang paling banyak ditemukan di alam.
Karbohidrat memiliki manfaat yang luas, meliputi sumber energi utama pada kebanyakan
makhluk hidup, cadangan energi tubuh, dan komponen membran sel yang berperan sebagai
perantara berbagai komunikasi antar sel. Karbohidrat juga berfungsi sebagai komponen struktur
pada berbagai jenis makhluk hidup.
Berdasarkan jumlah gula sederhana pembentuknya, karbohidrat digolongkan menjadi
monosakarida (1 molekul; antara lain glukosa, galaktosa dan fruktosa), disakarida (2 molekul;
antara lain sukrosa, laktosa), oligosakarida (3-10 molekul; contohnya raffinose dan stachyose),
polisakarida (> 10 molekul; contohnya pati, selulosa dan glikogen).
Di masa lalu, karbohidrat diklasifikasikan atas karbohidrat sederhana dan kompleks
berdasarkan jumlah kandungan monosakarida yang terdapat di dalamnya. Karbohidrat yang
terdiri dari satu atau dua gula (seperti fruktosa, glukosa, atau sukrosa) disebut sebagai
karbohidrat sederhana, sedangkan yang mengandung pati atau zat tepung disebut sebagai
karbohidrat kompleks. Nasehat untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung sedikit
karbohidrat sederhana dan lebih banyak karbohidrat kompleks berdasarkan asumsi bahwa
makanan yang mengandung zat tepung hanya sedikit meningkatkan kadar glukosa darah. Asumsi
ini sangatlah sederhana, karena respons glukosa darah terhadap karbohidrat kompleks ternyata
sangatlah bervariasi. Indikator yang lebih akurat dari respons glikemia terhadap karbohidrat
dalam makanan adalah indeks glikemik.
Indeks glikemik
Indeks glikemik, yang awalnya dikembangkan oleh Jenkins dkk. pada tahun 1981, adalah
respons glukosa darah tubuh terhadap makanan dibandingkan dengan respons glukosa darah
tubuh terhadap glukosa murni. Indeks glikemik berguna untuk menentukan respons glukosa
darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik berbeda-beda

tergantung respons biologis atau respons fisiologis bahan makanan tersebut, bukan pada
kandungan kimiawinya.
Karbohidrat yang dengan cepat dipecah selama proses pencernaan dan diserap dengan
cepat memiliki IG yang tinggi, sedangkan yang dipecah dengan lambat, melepaskan glukosa
secara perlahan-lahan ke dalam aliran darah, memiliki IG yang rendah. Respons glikemik yang
rendah seringkali dianggap sama dengan demand insulin yang lebih rendah, kontrol glukosa
darah yang lebih baik, dan penurunan kadar lipid. Tapi kenyataannya, beberapa makanan yang
memiliki IG yang rendah atau kandungan karbohidrat yang sangat kecil ternyata dapat
menyebabkan suatu respons insulin yang tinggi atau peningkatan kadar lipid dalam darah;
sehingga indeks insulin juga dapat berguna karena dapat memberikan suatu pengukuran langsung
terhadap respons insulin pada suatu makanan.
Indeks glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya (immediate effect)
terhadap kadar gula darah. Sebagai perbandingan, IG glukosa murni adalah 100. Indeks glikemik
dapat digunakan oleh semua orang, yaitu orang sehat, penderita diabetes, atlit dan penderita
obesitas. Pada penderita diabetes misalnya, dengan mengetahui IG pangan, maka penderita dapat
memilih jenis makanan yang tidak menaikkan kadar gula darah secara drastis sehingga kadar
gula darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman.
Makanan dengan IG rendah dapat membantu seseorang untuk mengendalikan rasa lapar,
nafsu makan, dan kadar gula darah. Indeks glikemik dapat membantu orang yang sedang
berusaha menurunkan berat tubuhnya dengan cara memilih makanan yang cepat mengenyangkan
dan tahan lama.
Pada awalnya, timbul keraguan pada kalangan klinisi mengenai bagaimana IG untuk
makanan tunggal dapat diterapkan terhadap makanan riil (terdiri dari campuran berbagai jenis
makanan tunggal). Namun setelah IG untuk lebih dari 600 jenis makanan dapat diketahui, semua
keraguan tersebut berakhir. Para ilmuwan menemukan bahwa kenaikan kadar gula darah dapat
diperkirakan dari makanan yang mengandung beberapa jenis makanan dengan IG berbeda. Oleh
karena itu, maka kandungan karbohidrat total makanan dan sumbangan masing-masing makanan
terhadap karbohidrat total harus diketahui. Untuk praktisnya, digunakan the rule of thumb. The
rule of thumb menyatakan bahwa IG makanan campuran berada diantara IG makanan tertinggi
dan IG makanan terendah diantara komponen penyusun makanan. Oleh karena itu, membuat
menu makanan lebih bervariasi berarti juga menurunkan IG makanan secara keseluruhan.

Beban glikemik
Pada tahun 1997, konsep BG diperkenalkan untuk menentukan potensial dari suatu
makanan dalam meningkatkan kadar glukosa dalam darah berdasarkan pada kualitas dan
kuantitas karbohidrat yang terkandung dalam makanan. Beban glikemik untuk penyajian
makanan tunggal dapat dihitung berdasarkan jumlah kandungan karbohidrat dalam makanan
(gram) dikali IG, dan kemudian dibagi 100. Dari pernyataan tersebut dapat dinilai bahwa BG
berbanding lurus dengan kandungan karbohidrat. Artinya, semakin tinggi kandungan karbohidrat
maka semakin besar BG makanan untuk IG yang sama. Manfaat BG didasarkan pada ide bahwa
makanan dengan IG tinggi namun dalam jumlah yang kecil akan memiliki efek yang sama
dengan makanan yang mempunyai IG rendah namun jumlahnya lebih banyak.
Kecepatan peningkatan kadar gula darah berbeda untuk setiap jenis makanan. Sehingga
dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi makanan dengan IG rendah dan mengurangi konsumsi
makanan dengan IG tinggi. Tujuannya adalah untuk mengurangi BG makanan secara
keseluruhan. Beban glikemik bertujuan untuk menilai dampak konsumsi karbohidrat dengan
memperhitungkan IG makanan. Beban glikemik memberikan informasi yang lebih lengkap
mengenai pengaruh konsumsi pangan aktual terhadap peningkatan kadar gula darah.
Insulin-like growth factor-1
Insulin-like growth factor-1 adalah suatu rantai polipeptida tunggal yang terdiri dari 70 residu
asam amino dengan berat molekul 1760 Da. Sintesis IGF-1 distimulasi oleh GH dan asupan
makanan Pada manusia, kadar IGF-1 dalam plasma hampir tidak terdeteksi pada saat lahir,
kemudian meningkat secara perlahan-lahan selama masa kanak-kanak, mencapai puncaknya
pada pertengahan pubertas sampai usia kira-kira 40 tahun, kemudian menurun secara perlahan.
Kadarnya dalam plasma maternal meningkat selama kehamilan. Pada penyakit dengan gangguan
pertumbuhan, pemeriksaan IGF-1 berguna sebagai suatu indikator sekresi hormon pertumbuhan.
Konsentrasi IGF-1 dalam plasma atau serum yang normal merupakan suatu bukti kuat tidak
adanya defisiensi GH. Nilai IGF-1 yang rendah menunjukkan adanya defisiensi GH dan
memerlukan uji tambahan untuk menentukan apakah sekresi GH subnormal. Pemeriksaan IGF-1
juga bermanfaat untuk menentukan perubahan status nutrisi.
Insulin-like growth factor-1 yang bersirkulasi dalam darah disintesis di hati. Hormon
pertumbuhan menstimulasi sintesis dan sekresi IGF-1 hepatik. Sebaliknya, IGF-1 mengatur
sekresi GH dari hipofisis melalui mekanisme umpan balik negatif. Selain oleh GH, sintesis IGF-

1 juga distimulasi oleh insulin. Tidak adanya insulin sebagaimana yang terlihat pada penderita
diabetes tipe 1, ditandai dengan penurunan insulin dan kadar IGF-1, walaupun sekresi GH
meningkat.
Kadar IGF-1 dalam serum seperti telah disebut di atas terutama diatur oleh 3 faktor, yaitu
GH, insulin dan nutrisi. Ketiga faktor ini saling berkaitan secara erat. Asupan makanan, yang
menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa dan asam amino dalam serum, menyebabkan
terjadinya peningkatan sekresi insulin yang menghentikan produksi glukosa oleh hati dan
menginduksi pengambilan dan penyimpanan glukosa dalam otot dan hati. Pada saat yang
bersamaan, insulin menghentikan lipolisis sehingga kadar asam lemak bebas menurun dan
glukosa untuk sementara menjadi sumber energi utama selama periode post pandrial. Sekresi
GH mencapai puncaknya pada malam hari dan menurun setelah asupan makanan yang kaya akan
protein jika kadar asam amino meningkat. Di lain pihak, peningkatan kadar glukosa dalam darah
menekan sekresi GH. Jika nutrisi tidak adekuat, sekresi insulin menurun dan sekresi GH dapat
meningkat menyebabkan insulin insensitive atau insulin resistant melalui peningkatan lipolisis
dan ketogenesis dan mengubah organisme menjadi lipid-oxidizing machinery. Selama puasa yang
berkepanjangan atau pada para penderita diabetes, sekresi insulin dari hati menurun dan kadar
IGF-1 dalam serum juga berkurang. Dapat disimpulkan bahwa GH dapat berperan pada sintesis
IGF-1 di dalam hati hanya jika asupan nutrisi cukup adekuat dan ditemukan adanya insulin.
Selain keadaan itu, GH tidak akan dapat menyebabkan peningkatan kadar IGF-1 dalam serum.
Pada berbagai kondisi patofisiologi dimana baik nutrisi yang tidak adekuat ataupun kurangnya
insulin, GH tidak dapat merangsang sintesis IGF-1. Oleh karena itu, aktivitas GH dalam
anabolisme diperantarai oleh IGF-1 hanya jika dibantu oleh insulin dan asupan makanan yang
adekuat. Selain keadaan itu, pada keadaan dimana konsentrasi IGF-1 rendah, defisiensi insulin,
dan asupan makanan yang tidak adekuat oleh jaringan, GH akan merangsang lipolisis,
ketogenesis dan glukoneogenesis.
Keadaan lain yang dapat berpengaruh adalah obesitas, terutama obesitas sentral
(abdominal). Obesitas sentral ini berkaitan dengan resistensi insulin, yaitu suatu kelainan
metabolik yang dicirikan oleh menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin. Resistensi
insulin terjadi ketika jaringan gagal merespon insulin secara normal. Implikasi klinisnya adalah
intoleransi glukosa yang selanjutnya dapat menyebabkan diabetes tipe 2. Cara sederhana untuk
mengetahui adanya obesitas abdominal adalah dengan mengukur panjang lingkar pinggang.

Untuk masyarakat Asia, obesitas sentral dianggap beresiko menderita penyakit jika panjang
lingkar pinggang untuk wanita dan pria masing-masing minimal 80 dan 90 cm.
Penelitian yang dilakukan oleh Juul A. dkk (1998) memperlihatkan adanya sedikit variasi
diurnal terhadap kadar total IGF-1 dan insulin-like growth factor binding protein-3 (IGFBP-3).
Berbagai penelitian lain menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara Selama masa
kehamilan, kadar IGF-1 meningkat dan kembali ke nilai normal 2-3 hari setelah
melahirkan.merokok dengan kadar IGF-1 dalam serum. Dikaitkan dengan siklus menstruasi,
disimpulkan bahwa siklus menstruasi hanya sedikit (hampir tidak) mempengaruhi konsentrasi
IGF-1 dan IGFBP-3 dalam serum. Namun tidak demikian halnya dengan kontrasepsi oral,
dimana penggunaan kontrasepsi oral pada wanita muda dihubungkan dengan kadar IGF-1 yang
lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak menggunakan kontrasepsi oral.
Selain itu, peningkatan kadar androgen serum tampaknya berhubungan dengan
peningkatan kadar IGF-1. Sebagai contoh, pada wanita menopause yang kemudian diberikan
suntikan DHEA-S, akan didapati peningkatan kadar IGF-1. Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan kadar androgen dalam serum ternyata dapat secara langsung merangsang produksi
IGF-1.
Sebaliknya, IGF-1 juga dapat menstimulasi pembentukan DHEA-S oleh kelenjar adrenal.
Hal ini terjadi karena IGF-1 dapat meningkatkan dan mempertahankan enzim-enzim
steroidogenik yang bertanggung jawab untuk mengubah kolesterol menjadi prekursor steroid
untuk sintesis DHEA-S dan androgen. Selain itu IGF-1 juga dapat menginduksi enzim 5reductase pada fibroblas kulit manusia yang mengakibatkan peningkatan konversi testosteron
menjadi dehidrotestosteron.
Insulin-like Growth Factor-1 mempunyai peranan penting yang luas dalam mengatur
fungsi-fungsi di dalam tubuh manusia. Hampir semua sel dalam tubuh manusia dipengaruhi oleh
IGF-1, khususnya sel otot, tulang rawan, tulang, hepar, ginjal, saraf, kulit dan paru-paru. Peranan
IGF-1 secara garis besar adalah merangsang proliferasi dan pertumbuhan sel, anabolik protein,
inhibisi apoptosis, menurunkan kadar GH dan hormon insulin. Peranan ini akan terhambat atau
berkurang bila IGF-1 berada dalam ikatan dengan IGFBP-3
Hubungan antara diet, IGF-1 dan akne vulgaris
Data menunjukkan bahwa IGF-1 dibutuhkan untuk proliferasi keratinosit pada manusia
dan pada tikus transgenik, ekspresi yang meningkat dari IGF-1 menyebabkan hiperkeratosis dan

hiperplasia epidermis, yang mendukung pernyataan bahwa peningkatan kadar IGF-1 bebas yang
dipicu oleh insulin dapat mencetuskan akne vulgaris melalui hiperkeratinisasi.
Pada orang yang sehat, kadar glukosa dalam darah akan mencapai puncaknya 1 jam
setelah makan dan kemudian kembali ke nilai normal dalam 2-3 jam. Dalam waktu 3 sampai 5
menit sesudah terjadi peningkatan segera kadar glukosa darah, insulin meningkat sampai hampir
10 kali lipat. Keadaan ini disebabkan oleh pengeluaran insulin yang sudah terbentuk lebih dahulu
oleh sel beta pulau langerhans pankreas. Akan tetapi, kecepatan sekresi awal yang tinggi ini tidak
dapat dipertahankan, sebaliknya, dalam waktu 5 sampai 10 menit kemudian kecepatan sekresi
insulin akan berkurang sampai kira-kira setengah dari kadar normal. Kira-kira 15 menit
kemudian, sekresi insulin meningkat untuk kedua kalinya, sehingga dalam waktu 2 sampai 3 jam
akan mencapai gambaran seperti dataran yang baru, biasanya pada saat ini kecepatan sekresinya
bahkan lebih besar daripada kecepatan sekresi pada tahap awal. Sekresi ini disebabkan oleh
adanya tambahan pelepasan insulin yang sudah lebih dahulu terbentuk dan oleh adanya aktivasi
sistem enzim yang mensintesis dan melepaskan insulin baru dari sel.
Indeks glikemik hanya memberikan informasi mengenai kecepatan perubahan
karbohidrat menjadi gula darah. Indeks glikemik tidak memberikan informasi mengenai
banyaknya karbohidrat dan dampak makanan tertentu terhadap kadar gula darah. Untuk
mengetahui jenis makanan yang baik bagi kesehatan (efek makanan terhadap kadar gula darah),
maka kadar karbohidrat dan IG makanan harus diketahui.
Beberapa pengamatan menyatakan bahwa akne vulgaris dapat timbul pada kelompokkelompok dengan IG makanan yang tinggi. Makanan dengan kadar glikemik yang tinggi atau
kadar karbohidrat yang tinggi (> 55% energi berasal dari karbohidrat) pada anak remaja dan
dewasa yang sehat ternyata meningkatkan konsentrasi insulin dalam plasma, dan dapat
menyebabkan hiperinsulinemia jangka panjang dan resistensi insulin. Diet hiperinsulinemia
sebelumnya dianggap sebagai faktor lingkungan yang tidak disadari dalam perkembangan akne
vulgaris melalui pengaruhnya pada pertumbuhan epitelial folikular, keratinisasi, dan sekresi
sebum yang diperantarai androgen. Beberapa peneliti menyatakan bahwa hiperinsulinemia yang
diinduksi oleh makanan dengan IG yang tinggi akan meningkatkan respons endokrin dan
mempercepat pertumbuhan jaringan yang tidak teratur serta meningkatkan sintesis androgen,
yang akhirnya mempengaruhi perkembangan akne vulgaris melalui sejumlah mediator antara

lain androgen, IGF-1, IGFBP-3 dan jalur sinyal retinoid. IGF-1 dan IGFBP-3 secara langsung
mengatur proliferasi dan apoptosis keratinosit.
Hiperinsulinemia akut dan kronik secara bersamaan meningkatkan kadar IGF-1 bebas
namun menurunkan IGFBP-3. Insulin-like growth factor-1 bebas secara langsung merangsang
proliferasi keratinosit basal, sedangkan IGFBP-3 menghambat proliferasi keratinosit basal tanpa
tergantung pada aktivitas reseptor IGF-1.
Penurunan kadar IGFBP-3, yang distimulasi oleh peningkatan insulin dalam serum atau
melalui asupan akut karbohidrat dengan BG yang tinggi, berperan menurunkan proliferasi sel di
dalam folikel. Maka IGFBP-3 menghambat pertumbuhan melalui pencegahan ikatan IGF-1
dengan reseptornya. Hiperinsulinemia secara tidak langsung meningkatkan jumlah reseptor
faktor-faktor pertumbuhan epidermal melalui peningkatan kadar asam lemak non ester dalam
plasma, dan juga menginduksi pembentukan transforming growth factor-1. Peningkatan
konsentrasi sitokin-sitokin ini menekan sintesis keratinosit lokal oleh IGFBP-3, sehingga
meningkatkan jumlah IGF-1 bebas untuk berikatan dengan reseptornya, yang akan meningkatkan
proliferasi keratinosit. Akibatnya, hiperkeratinisasi folikel sebasea dihasilkan melalui sinergitas
peningkatan kadar IGF-1 bebas dan atau penurunan konsentrasi IGFBP-3.
Produksi sebum merupakan faktor yang penting dalam patogenesis akne vulgaris
walaupun sinyal molekular yang terlibat pada produksi sebum sebagian besar belum diketahui.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kadar IGF-1 mencapai puncaknya pada usia remaja
dan kemudian menurun bersamaan dengan menurunnya insiden akne pada banyak individu.
Kelompok yang sama juga menunjukkan bahwa IGF-1 merangsang lipogenesis kelenjar sebasea.
Lipogenesis juga dirangsang oleh IGF-1 pada pertumbuhan kelenjar sebasea pada kultur organ.
Insulin berperan penting dalam perkembangan akne vulgaris. Pernyataan ini juga didukung oleh
tingginya prevalensi akne vulgaris pada wanita dengan PCOS, suatu kondisi yang dihubungkan
dengan resistensi insulin, hiperinsulinemia dan hiperandrogenisme.
Walaupun telah dikemukakan sejumlah bukti di atas, beberapa studi mengenai diet yang
terkontrol telah dilakukan untuk meneliti pengaruh makanan terhadap akne vulgaris. Fulton dkk.,
dalam suatu penelitian cross-over tersamar tunggal, menemukan bahwa ternyata tidak ada
pengaruh coklat pada akne vulgaris dibandingkan dengan plasebo.

Meskipun demikian,

penelitian berikutnya mengenai kandungan pada plasebo mengindikasikan bahwa komposisi

8
asam lemak dan kandungan gula secara virtual identik dengan yang terdapat pada coklat. Selain
itu stres ditemukan berperan sebagai kontributor yang penting, dan diet ditentukan menggunakan
suatu pemeriksaan kualitas makanan yang sifatnya non kuantitatif. Saat ini, suatu evaluasi
retrospektif dari intake makanan menunjukkan suatu hubungan positif antara asupan susu dan
beratnya akne vulgaris.
Cordain dkk. menyatakan bahwa diet dengan BG yang tinggi mungkin merupakan suatu
kontributor yang signifikan terhadap tingginya prevalensi akne vulgaris di negara-negara barat.
Para peneliti berspekulasi bahwa sering mengkonsumsi karbohidrat dengan IG yang tinggi dapat
menyebabkan para remaja berulangkali terpapar dengan hiperinsulinemia akut. Oleh karena itu,
intervensi diet dengan BG yang rendah dapat memberikan efek terapeutik pada akne berdasarkan
pada efek endokrin yang menguntungkan dari makanan ini. Hipotesis ini berdasarkan fakta
bahwa diet dengan BG yang tinggi dapat mempengaruhi satu atau lebih dari 4 faktor yang
mendasari terjadinya akne seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Smith dkk. adalah penelitian pertama yang menunjukkan
suatu efek terapeutik dari intervensi makanan pada akne vulgaris. Setelah 12 minggu, diet
dengan BG yang rendah secara signifikan ternyata dapat menurunkan jumlah lesi akne vulgaris
dan memperbaiki sensitivitas insulin dibandingkan diet dengan BG yang tinggi. Walaupun
peneliti tidak dapat mengisolasi pengaruh diet dengan BG yang rendah terhadap hilangnya berat
badan, penemuan mereka konsisten dengan usulan sebelumnya mengenai hubungan antara
hiperinsulinemia dan akne vulgaris. Meskipun demikian, pengamatan ini perlu diperkuat dan
mekanisme yang mendasarinya ditentukan melalui suatu penelitian dengan skala yang lebih
besar.

Produk Olahan Susu (dairy products)


Susu merupakan hasil sekresi kelenjar susu hewan mamalia betina. Susu mengandung
banyak komponen seperti protein, kalsium, fosfor, serta gula yang cukup tinggi. Karbohidrat
utama susu adalah laktosa yang merupakan disakarida yang terdiri dari glukosa dan galaktosa.
Jenis- jenis susu setelah diolah menjadi beraneka ragam dan mengandung kadar lemak yang
berbeda beda, yaitu susu pasteurisasi, susu tanpa lemak, susu kental manis dan susu bubuk full
cream yang mengandung kadar lemak paling tinggi.
Sekarang ini susu dapat dikonsumsi dalam berbagai bentuk produk olahan susu, ada yang
dalam bentuk minuman maupun makanan yang dalam proses pembuatannya sudah ditambahkan
bahan-bahan lain (gula,dll) sehingga kadar lemak dan gula produk produk olahan susu ini
semakin tinggi. Seperti produk berikut ini yang sering dikonsumsi masyarakat:

Keju, terbuat dari susu segar yang dipadatkan. Secara sederhana proses pembuatannya
melalui 3 tahap yaitu pasteurisasi, pemeraman dan pengepresan. Keju reguler yang tidak

rendah lemak mengandung lemak jenuh sebanyak 6 gr.


Yogurt, baik untuk pencernaan. Dibuat dengan cara susu di fermentasi dengan bakteri
lactobacillus bulgaricus dan streptococcus thermophilus untuk mengubah susu menjadi

asam laktat. Biasanya yogurt dikonsumsi dengan menambahkan sirup atau gula.
Es krim, bahan utamanya adalah susu, lalu ditambahkan lagi gula, flavor dan pengemulsi.

Es krim mengandung lemak jenuh sekitar 4,9 gr.


Mentega, memiliki komposisi lemak yang sangat tinggi karena terbuat dari krim susu
atau lemak susu.mentega sering dikonsumsi sebagai olesan roti atau bahan campuran

kue.mengandung lemak jenuh sebanyak 2,4 gr.


Kue dan puding, dalam pembuatan kue seringkali ditambahkan susu atau mentega agar
kue menjadi lembut harum dan gurih. Kue- kue mengandung asam lemak jenuh sebanyak
40%.

Susu kental manis, berasal dari susu dengan lemak nabati yang dihilangkan sebagian

airnya dari campuran susu.kadar lemaknya tidak kurang dari 8%.


Susu bubuk full cream , adalah produk olahan susu berbentuk bubuk yang merupakan
pencampuran dari susu cair dengan susu kental atau bubuk dang melalui proses
pengeringan.kadar lemaknya tinggi, yaitu sekitar tidak kurang dari 26 %, sedangkan susu
murni kadar lemak susunya sekitar 3%.
Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa terdapat hubungan antara konsumsi
susu dan dairy product dengan akne. Susu yang merupakan bahan baku dairy products
mengandung hormon- hormon seperti estrogen, progesteron, prekursor androgen,
termasuk androstenedione, dehydroepiandrosterone sulfate dan dihydrotestosterone,
Hormon- ini akan meningkat secara normal pada usia dewasa, dewasa muda dan
pubertas, namun dengan tingginya konsumsi makanan yang mengandung susu akan lebih
meningkatkan lagi kadarnya sehingga semakin menstimulasi perubahan pada unit
pilosebasea dan memicu terbentuknya akne. Selain dari hormon-hormon tersebut, produk
olahan susu juga mengandung gula tambahan yang dapat mempengaruhi peningkatan
produksi IGF-1. IGF-1 dapat menstimulasi sintesis dari androgen di ovarium, adrenal dan
testis sehingga hormon androgen makin banyak ditubuh dan mempengaruhi pertumbuhan
folikel dan pertumbuhan kelenjar sebasea. Pada produk olahan susu Pengaruh hormon
juga terjadi pada konsumsi keju karena proses fermentasi menyebabkan produksi
testosteron yang lebih banyak dari prekursornya pada susu. (Rezakovic S, 2012; Danby
W, 2005; Davidovici, 2010)

Hubungan Makanan dengan Kejadian Akne Vulgaris


Makanan sendiri tidak dapat secara langsung menyebabkan akne. Setelah diteliti
ternyata terdapat faktor hormon yang memicu timbulnya akne vulgaris yaitu androgen,
insulin like growth factor, insulin like growth factor binding protein 3 dan retinoid
signaling pathway. Hormon androgen selain berperan besar dalam memicu timbulnya
hiperproliferasi folikular keratinosit, juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap
aktivitas sel sebosit dalam memproduksi sebum. Androgen yang terpenting dalam
stimulasi produksi sebum adalah testosteron yang akan diubah menjadi bentuk aktifnya
oleh perantaraan enzim type I-5 reductase menjadi 5 DHT. Hal inilah yang memicu
timbulnya akne pada masa pubertas, dimana sudah umum diketahui bahwa pada usia

pubertas terjadi peningkatan yang signifikan dari hormon androgen. Dengan demikian,
peningkatan sebum dapat ditingkatkan apabila terjadi peningkatan dari androgen,
peningkatan sensitivitas reseptor sel sebosit terhadap 5-DHT atau akibat peningkatan
dari enzim type I-5 reductase (Cordain L, 2002).
Hasilnya studi terbaru dari American Journal of Clinical Nutrition pada Juli 2007
melihat pengaruh faktor diet atau nutrisi khususnya pada sisi glycemic load (GL) dalam
menyebabkan jerawat. Glycemic index (GI) merupakan suatu sistem peringkat untuk
menilai seberapa cepat glukosa atau gula dari suatu jenis makanan memasuki aliran
darah, atau dapat dikatakan seberapa cepat karbohidrat dalam makanan dapat
meningkatkan kadar gula darah. Berbeda dengan GI, GL tidak hanya menilai seberapa
cepat glukosa dari makanan memasuki peredarah darah, tetapi juga menilai seberapa
banyak glukosa yang terkandung dari makanan tersebut sehingga GL lebih menilai secara
keseluruhan. GL dinyatakan sebagai peringkat standar saji dari suatu makanan untuk
dapat meningkatkan kadar gula darah. Makin rendah GL, makin kecil kemampuan
makanan yang disajikan memicu peningkatan gula darah secara berlebihan (Smith R,
2007)
Makanan dengan Glycemic Load yang tinggi meningkatkan kadar gula dalam
darah sehingga terjadi suatu kondisi hiperinsulinemia. Kondisi ini akan meningkatkan
kadar IGF 1 (insulin like growth factor) yang merangsang terjadinya jerawat lewat
peningkatan proses keratinisasi pada folikel polisebasea dan stimulasi pada ovarium dan
testikular untuk memproduksi hormon androgen yang mengakibatkan produksi minyak
atau sebum. Selain itu hiperinsulinemia akan menyebabkan meningkatknya kadar non
stratified fatty acid di dalam plasma yang akan meningkatkan epidermal growth factor
receptor. Bersamaan dengan ini insulin akan meningkatkan transforming growth factor 1
yang mana akan menghambat sintesis insulin growth factor binding protein 3 di
keratinosit, dimana IGFBP 3 merupakan inhibitor dari IGF 1, sehingga tidak terjadi
hiperkeratinisasi. Retinoid signaling pathway juga mungkin berperan dalam hal ini.
Retinoid merupakan penghambat proliferasi dari sel dan bertugas untuk mengadakan
apoptosis pada sel. Ada 2 bentuk dari retinoid di dalam tubuh yaitu trans retinoid dan 9
cis retinoid acid yang mempunyai 2 reseptor RAR-RXR yang berperan untuk transkripsi
dan RXR-RXR yang berperan untuk membatasi proliferasi dari hampir seluruh sel tubuh.

Di kulit sendiri, terdapat RXR yang berperan untuk membatasi proliferasi sel folikular,
akan tetapi terjadi penurunan sensitifitas pada sistem ini akibat penurunan dari kadar
plasma IGFBP 3. Peningkatan insulin dan IGF 1 juga diketahui akan menghambat hati
mensisntesis sex hormone binding globulin (SHBG) sehingga bioavaibilitas androgen
terhadap jaringan akan meningkat drastis (Cordain L, 2002; Smith R, 2007; Guyton A C,
Hall J E, 2007).

Anda mungkin juga menyukai

  • Trauma Brain Injury
    Trauma Brain Injury
    Dokumen9 halaman
    Trauma Brain Injury
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Penanganan
    Penanganan
    Dokumen4 halaman
    Penanganan
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Shock Septic
    Shock Septic
    Dokumen5 halaman
    Shock Septic
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Trauma Kapitis
    Trauma Kapitis
    Dokumen23 halaman
    Trauma Kapitis
    Doli P Hutauruk
    Belum ada peringkat
  • Manajemen Penanggulangan Bencana Di Indonesia
    Manajemen Penanggulangan Bencana Di Indonesia
    Dokumen7 halaman
    Manajemen Penanggulangan Bencana Di Indonesia
    Zulvikar Matike
    Belum ada peringkat
  • Latar Belakang Bencana
    Latar Belakang Bencana
    Dokumen1 halaman
    Latar Belakang Bencana
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Evakuasi
    Evakuasi
    Dokumen1 halaman
    Evakuasi
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Trauma Kapitis
    Trauma Kapitis
    Dokumen23 halaman
    Trauma Kapitis
    Doli P Hutauruk
    Belum ada peringkat
  • Evakuasi
    Evakuasi
    Dokumen1 halaman
    Evakuasi
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Penanggulangan Bencana
    Penanggulangan Bencana
    Dokumen8 halaman
    Penanggulangan Bencana
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Dissadter Plan
    Dissadter Plan
    Dokumen1 halaman
    Dissadter Plan
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Bencana
    Bencana
    Dokumen8 halaman
    Bencana
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Evakuasi
    Evakuasi
    Dokumen1 halaman
    Evakuasi
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Disaster
    Disaster
    Dokumen6 halaman
    Disaster
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Penang An An
    Penang An An
    Dokumen3 halaman
    Penang An An
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • SAP Gizi Seimbang Balita
    SAP Gizi Seimbang Balita
    Dokumen5 halaman
    SAP Gizi Seimbang Balita
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Antasida
    Antasida
    Dokumen16 halaman
    Antasida
    Milka Lina
    Belum ada peringkat
  • Kasus Kumis DM
    Kasus Kumis DM
    Dokumen3 halaman
    Kasus Kumis DM
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Satuan Acara Penyuluhan
    Satuan Acara Penyuluhan
    Dokumen5 halaman
    Satuan Acara Penyuluhan
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Manajemen Penanggulangan Bencana Di Indonesia
    Manajemen Penanggulangan Bencana Di Indonesia
    Dokumen7 halaman
    Manajemen Penanggulangan Bencana Di Indonesia
    Zulvikar Matike
    Belum ada peringkat
  • Bahaya Merokok
    Bahaya Merokok
    Dokumen9 halaman
    Bahaya Merokok
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Farmako Antibiotik
    Farmako Antibiotik
    Dokumen6 halaman
    Farmako Antibiotik
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Ilmu Kulit Kelamin
    Ilmu Kulit Kelamin
    Dokumen7 halaman
    Ilmu Kulit Kelamin
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Farmakologi
    Farmakologi
    Dokumen15 halaman
    Farmakologi
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • ANTIARITMIA
    ANTIARITMIA
    Dokumen2 halaman
    ANTIARITMIA
    dian_c87
    Belum ada peringkat
  • Urtikaria
    Urtikaria
    Dokumen8 halaman
    Urtikaria
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • Desk Rip
    Desk Rip
    Dokumen1 halaman
    Desk Rip
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat
  • DM
    DM
    Dokumen7 halaman
    DM
    Crystal Lucas
    Belum ada peringkat