Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS

MATA KIRI DENGAN PTERIGIUM

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kepaniteraan Senior


Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji Kasus

: dr. Liana Ekowati, Sp.M

Pembimbing

: dr. Yurike Tiurna Parsaulin

Dibacakan Oleh

: Julius King

Dibacakan Tanggal

: 12 Februari 2016

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016

HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan wanita 53 tahun dengan Pterigium pada mata kiri:


Penguji Kasus

: dr. Liana Ekowati, Sp.M

Pembimbing

: dr. Yurike Tiurna Parsaulin

Dibacakan Oleh

: Julius King

Dibacakan Tanggal

: 12 Februari 2016

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Senior di Bagian Ilmu Kesehatan


Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Semarang, 12 Februari 2016
Mengetahui
Penguji kasus

Pembimbing

dr. Liana Ekowati, Sp.M

dr. Yurike Tiurna Parsaulin

LAPORAN KASUS

Kepada Yth.

: dr. Liana Ekowati, Sp.M

Pembimbing

: dr. Yurike Tiurna Parsaulin

Dibacakan oleh

: Julius King

Dibacakan tanggal

: 12 Februari 2016

I.

PENDAHULUAN
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang

bersifat degenerative dan invasif berbentuk segitiga dengan puncak di bagian


sentral atau ditengah-tengah kornea. Pertumbuhan biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea.1
Di Amerika Serikat angka kejadian pterigium sangat bervariasi tergantung
pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, prevalensinya berkisar
kurang dari 2% untuk daerah di atas 400 lintang utara sampai 5-15% untuk daerah
garis lintang 280-360. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang
prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran
ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini. Secara Internasional
hubungan antara menurunnya insidensi pada daerah atas lintang utara dan relative
terjadi peningkatan untuk daerah di bawah garis balik lintang utara.2
Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2%
pada daerah yang terletak di atas 400 lintang. Insiden pterigium cukup tinggi di
Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.3
Pterigium pada umumnya prognosisnya baik secara kosmetik maupun
penglihatan, namun hal itu juga tergantung dari ada tidaknya infeksi pada daerah
pembedahan.

II.

III.

IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Ny. S
Umur
: 53 tahun
Agama
: Islam
Alamat
: Karangjati, Blora
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
No. CM
: C391438
Tanggal Periksa : 2 Februari 2016

ANAMNESIS

(Autoanamnesis pada tanggal 2 Februari 2016 pukul 13.30 WIB di poli mata
RSDK)
Keluhan Utama : Tumbuh daging di bola mata putih kiri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sekitar 6 tahun yang lalu pasien mengeluh seperti ada daging tumbuh di
bmata kiri, rasa mengganjal (+), mata merah (-), nyeri (-). Pasien memeriksakan
diri ke dokter dan dokter hanya memberikan obat tetes mata. Obat tetes mata
mengurangi keluhan. Pasien jarang kontrol dikarenakan keluhan tidak terlalu
menggangu. Lama-kelamaan, daging tumbuh semakin membesar sampai ke teleng
mata kiri.
Sekitar 6 bulan terakhir, keluhan daging tumbuh dirasakan cukup
menggangu. Mata kiri semakin mengganjal, mudah merah, dan nrocos terutama
jika terpapar sinar matahari, debu dan asap.
Riwayat Penyakit Dahulu :
-

Riwayat trauma disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


-

Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat Sosial Ekonomi :


-

Pasien sering memasak (buka catering).


4

Biaya pengobatan ditanggung asuransi kesehatan dari PNS.


Kesan : Sosial ekonomi cukup.

IV.

PEMERIKSAAN

PEMERIKSAAN FISIK
Status Praesen (Tanggal 2 Februari 2016)
Keadaan umum

: Baik

Kesadaran

: Komposmentis

Tanda Vital

: TD : 120/80 mmHg
Suhu : 360C
Nadi : 80x/menit
RR : 18x/menit

Pemeriksaan Fisik

: Kepala

: Mesosefal

Thoraks

: Cor : tidak ada kelainan


Paru : tidak ada kelainan

Abdomen

: Tidak ada kelainan

Ekstremitas : Tidak ada kelainan.

Status Oftalmologi (Tanggal 2 Februari 2016)


Oculus Dexter
6/12
S -0,5 6/6
tidak dilakukan
Gerak bola mata bebas ke

VISUS
KOREKSI
SENSUS COLORIS
PARASE/PARALYSE

Oculus Sinister
6/12
S -0,5 6/6
tidak dilakukan
Gerak bola mata bebas ke

segala arah
Tidak ada kelainan
Edema (-), spasme (-)

SUPERSILIA
PALPEBRA

segala arah
Tidak ada kelainan
Edema (-), spasme (-)

Edema (-), spasme (-)

SUPERIOR
PALPEBRA

Edema (-), spasme (-)

Hiperemis (-), Sekret (-),

INFERIOR
CONJUNGTIVA

Hiperemis (-), Sekret (-),

Edema (-)
Hiperemis (-), Sekret (-),

PALPEBRALIS
CONJUNGTIVA

Edema (-)
Hiperemis (-), Sekret (-),

Edema (-)

FORNICES

Edema (-)

Injeksi (-), Sekret (-)

CONJUNGTIVA

Injeksi konjungtiva minimal

BULBI

(+), jaringan fibrovascular


(+) berbentuk segitiga di
bagian temporal, apex di

Jernih
Kedalaman cukup, Tyndall

CORNEA
CAMERA OCULI

parasentral kornea (2 mm)


Jernih
Kedalaman cukup, Tyndall

Effect (-)
Kripte (+)
Bulat, sentral, regular,

ANTERIOR
IRIS
PUPIL

Effect (-)
Kripte (+)
Bulat, sentral, regular,

d : 3mm, Refleks pupil (+) N


Keruh tak merata
(+) cemerlang
T Digital N
Tidak dilakukan

LENSA
FUNDUS REFLEKS
TENSIO OCULI
SISTEM CANALIS

d : 3mm, Refleks pupil (+) N


Keruh tak merata
(+) cemerlang
T Digital N
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

LACRIMALIS
TEST FLUORESCEIN

Tidak dilakukan

Status Oftalmologi (Tanggal 2 Februari 2016)

OD
Lensa keruh tak merata

OS
Injeksi konjungtiva minimal
(+), Jaringan fibrovascular (+)
berbentuk segitiga di temporal,
apex di parasentral kornea (2
mm),
Lensa keruh tak merata,
6

V. RESUME
Sekitar 6 tahun yang lalu terdapat jaringan fibrovaskuler di sklera pasien,
rasa mengganjal (+), injeksi konjungtiva (-), nyeri (-). Pasien memeriksakan diri
ke dokter dan dokter hanya memberikan obat tetes mata Obat tetes mata
mengurangi keluhan. Pasien jarang kontrol dikarenakan keluhan tidak terlalu
menggangu. Lama-kelamaan, jaringan fibrovaskuler semakin membesar sampai
ke parasentral kornea (2 mm). Tidak ada penurunan visus yang bermakna.
Sekitar 6 bulan terakhir, jaringan fibrovaskuler dirasakan cukup
menggangu. Mata kiri semakin mengganjal, injeksi konjungtiva (+), dan lakrimasi
(+) terutama jika terpapar sinar matahari, debu dan asap. Tidak ada penurunan
visus yang bermakna.
Status Oftalmologi :
Oculus Dexter
Injeksi (-), Sekret (-)

CONJUNGTIVA

Oculus Sinister
Injeksi konjungtiva minimal

BULBI

(+), jaringan fibrovascular


(+) berbentuk segitiga di
bagian temporal, apex di

Keruh tak merata

LENSA

parasentral kornea (2 mm)


Keruh tak merata

VI. DIAGNOSA DIFERENSIAL


OS Pterigium temporal
OS Pseudopterigium temporal
OS Pingeukula temporal
OS Pannus
VII. DIAGNOSA
Os Pterigium temporal grade II

VIII. DIAGNOSA TAMBAHAN


ODS Katarak Senilis Imatur
ODS Miopia
IX. TERAPI
Fluorometholon eye drops/ 6 jam OS
Eksisi pterigium + konjungtival limbal autograft + MMC

X.

PROGNOSIS
Quo ad visam
Quo ad sanam
Quo ad vitam
Quo ad cosmeticam

OD
Ad bonam
Ad bonam

OS
Dubia ad bonam
Dubia ad bonam
Ad bonam
Dubia ad bonam

XI. SARAN
Pemeriksaan lab darah, PTT (Partial Thromboplastin Time), PTTK (Partial
Thromboplastine Time with Kaolin), gula darah sewaktu, dan sekret
konjungtiva untuk persiapan operasi
XII. EDUKASI
Menjelaskan kepada penderita dan keluarga bahwa saat ini terdapat daging
tumbuh pada mata kiri yang merupakan jaringan ikat. Daging tumbuh
tersebut kemungkinan besar bersifat jinak, dan diakibatkan oleh iritasi dari
-

sinar matahari dan kebiasaan memasak.


Menjelaskan kepada penderita dan keluarga bahwa jaringan ikat tersebut
apabila dibiarkan dapat menyebabkan penurunan penglihatan, karena

semakin meluas menutupi teleng mata kiri.


Menjelaskan kepada penderita dan keluarga bahwa pengobatan yang
diberikan saat ini untuk meredakan peradangan. Obat tetes yang diberikan
bukan

untuk

menyembuhkan/menghilangkan

daging

tumbuh

untuk

menghilangkan daging tumbuh itu sendiri sebaiknya dilakukan operasi.


Menjelaskan kepada penderita dan keluarga untuk menurunkan paparan
terhadap sinar matahari, asap dan debu dapat dilakukan dengan menggunakan

sunglasses.
Menjelaskan kepada penderita dan keluarga mengenai katarak minimal yang
mulai muncul pada mata pasien dan kekaburan dapat terjadi seiring
bertambahnya usia.

XIII. DISKUSI
Pterigium
Definisi
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea.
Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau tengah kornea.1
Pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan
penebalan, berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke dalam
kornea, dengan puncak segitiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang
menuju ke puncak pterigium. Pada kornea penjalaran ini mengakibatkan
kerusakan epitel kornea dan membran bowman.4
Pterigium adalah semacam pelanggaran batas suatu pinguecula berbentuk
segitiga berdaging ke kornea, umumnya disisi nasal dan bilateral, dimana lapis
bowman kornea diganti oleh jaringan hialin dan elastis.2
Pterigium adalah pertumbuhan konjuntiva bulbi melimpah keatas kornea
dan , biasanya diikuti adanya jaringan fibrovaskular. Pada potongan yang tegak
lurus dengan sumbunya terdapat bentuk seperti sayap yang pelekatan pada
konjuntiva memanjang pada sumbunya. Kadang konjuntiva bulbi digunakan
untuk membuat flap ke kornea, bentuk seperti pterigium, tetapi tak ada perlekatan
kekonjuntiva bulbi sehingga disebut pterigium palsu.5
Epidemiologi Pterigium
1. Lokasi
Daerah lintang utara dimana paparan sinar ultraviolet tinggi6
2. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita dikarenakan pekerjaan (sering
outdoor)
3. Umur
Jarang pada umur dibawah 20 tahun. Meningkat pada umur 40 tahun
keatas dan tertinggi pada umur 20-40 tahun.
Etiologi Pterigium
Penyebab dari pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga
merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi. Pterigium juga diduga
disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara panas.

Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar
matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan
penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti
zat allegen, kimia dan zat pengiritasi lainnya.1
Faktor resiko untuk pterygium itu bisa meliputi sebagai berikut :
1. Meningkatnya terkena sinar ultraviolet, termasuk tinggal di daerah yang
beriklim subtropis dan tropis.
2. Melakukan pekerjaan dan memerlukan kegiatan di luar rumah serta orang
yang hidup di daerah dengan banyak sinar matahari, daerah berpasir atau
daerah berangin. Petani, nelayan dan orang-orang yang hidup di sekitar
garis khatulistiwa sering terpengaruh.
Predisposisi genetika timbulnya pterygia cenderung pada keluarga tertentu.
Kecenderungan laki-laki mengalami kasus ini lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan, meskipun disini hasil temuan ini lebih banyak disebabkan besarnya
paparan sinar ultraviolet dalam kelompok populasi tertentu.6
Gangguan lain yang mungkin ikut berperan adalah Pseudopterygia (misalnya
disebabkan oleh bahan kimia atau luka bakar, trauma, penyakit kornea marginal)
dan Neoplasma (misalnya karsinoma in situ yang menyebabkan konjungtiva
perilimbal yang tidak meluas sampai ke kornea).

Patofisiologi Pterigium
Sinar ultraviolet, angin, dan debu dapat mengiritasi permukaan mata, hal
ini akan mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan
pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh darah.
Pertumbuhan ini biasanya progresif dan melibatkan sel-sel kornea sehingga
menyebabkan timbulnya pterigium. Radiasi sinat termasuk sinar atau cahaya
tampak dan sinar ultraviolet yang tidak tampak itu sangat berbahaya bisa
mengenai bagian tubuh. Permukaan luar mata diliputi oleh lapisan sel yang
disebut epitel. Epitel pada mata lebih sensitif dibanding dengan epitel bagian
tubuh lain khususnya terhadap respon kerusakan jaringan akibat paparan

10

ultraviolet karena epitel pada lapisan mata tidak mempunyai lapisan luar yang
disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan membran dasar terpapar oleh ultraviolet
secara berlebihan maka radiasi tersebut akan merangsang pelepasan enzim yang
akan merusak jaringan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang akan
menstimulasi pertumbuhan jaringan baru. Jaringan baru yang tumbuh ini akan
menebal dari konjungtiva dan menjalar ke arah kornea. Kadar enzim tiap individu
berbeda, hal inilah yang menyebabkan terdapatnya perbedaan respon tiap individu
terhadap paparan radiasi ultraviolet yang mengenainya. 7
Patofisiologi pterygia ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
ploriferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium,
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan
basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat
dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastic yang
sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.6
Ditemukan epitel konjungtiva ireguler, kadang-kadang berubah menjadi
epitel gepeng berlapis. Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan pada
daerah ini membran Bowman menghilang. Terdapat degenerasi stroma yang
berproliferasi sebagai jaringan granulasi yang penuh pembuluh darah. Degenerasi
ini menyebuk ke dalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma
kornea bagian atas. Pterigium juga dapat muncul sebagai degenerasi stroma
konjungtiva dengan penggantian oleh serat elastis yang tebal dan berliku-liku.
Fibroblas aktif pada ujung pterigium menginvasi lapisan Bowman kornea dan
diganti dengan jaringan hialin dan elastis. Pterigium sering muncul pada
pembedahan. Lesi muncul sebagai luka fibrovaskuler yang berasal dari daerah
eksisi. Pterigium ini mungkin tidak ada hubungannya dengan radiasi sinar
ultraviolet, tetapi kadang dikaitkan dengan pertumbuhan keloid di kulit. Kondisi
pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah
dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses
cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun
pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan
hilangnya penglihatan si penderita.8
Gejala klinis Pterigium

11

Pasien yang menderita pterygia sering mempunyai berbagai macam


keluhan, yang mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi merah
sekali, pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur disertai
dengan jejas pada konjungtiva yang membesar dan kedua mata terserang penyakit
ini.6
Penderita biasanya datang untuk pemeriksaan mata lainnya, misalnya
untuk pemeriksaan kacamata dan tidak mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh
diatas korneanya, namun terkadang penderita merasa penglihatannya terganggu
misalnya astigmatisma.6
Klasifikasi Pterigium
Klasifikasi Pterigium
1. Pterigium Simpleks
Jika terjadi hanya di nasal/temporal saja
2. Pterigium Dupleks
Jika terjadi di nasal dan temporal
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang
tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis
menurut Youngson):9
1. Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea)
2. Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea
3. Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar
3-4 mm)
4. Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan
Derajat pterigium menurut clinical slit-lamp grading scale:10
1. Derajat T1 (atrophic)
Pembuluh darah episkleral masih dapat dibedakan dengan badan pterigium
2. Derajat T2 (intermediate)

12

Pterigium yang tidak masuk kedalam 2 kategori tersebut (pembuluh darah


episkleral sebagian dapat dibedakan)
3. Derajat T3 (fleshy)
Pembuluh darah episkleral secara total tertutup oleh jaringan fibrovaskuler
(tidak dapat dibedakan dengan badan pterigium)
Pengelolaan Pterigium
Pengobatan pterigium tergantung dari keadaan pteriumnya sendiri, dimana
pada keadaan dini tidak perlu dilakukan pengobatan, namun bila terjadi proses
inflamasi dapat diberikan steroid topikal untuk menekan proses peradangan, dan
pada keadaan lanjut misalnya terjadi gangguan penglihatan (refraktif), pterigium
telah menutupi media penglihatan (menutupi sekitar 4mm permukaan kornea)
maupun untuk alasan kosmetik maka diperlukan tindakan pembedahan berupa
eksisi pterigium.4
Obat-obatan yang sering digunakan pada kasus pterigium adalah :2
1. Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata)
untuk membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada
lapisan air. Obat ini merupakan obat tetes mata topikal atau air mata
artifisial (air mata penyegar, Gen Teal (OTC)air mata artifisial akan
memberikan pelumasan pada permukaan mata pada pasien dengan
permukaan kornea yang tak teratur dan lapisan permukaan air mata yang
tak teratur. Keadaan ini banyak terjadi pada keadaan pterygium.
2. Salep untuk pelumas topikal suatu pelumas yang lebih kental pada
permukaan okular. alep untuk pelumas mata topikal (hypotears,P.M
penyegar (OTC). Suatu pelumas yang lebih kental untuk permukaan mata.
Sediaan yang lebih kental ini akan cenderung menyebabkan kaburnya
penglihatan sementara; oleh karena itu bahan ini sering dipergunakan pada
malam hari terkecuali bila pasien merasakan sakit dalam pemakaiannya.
3. Obat tetes mata anti inflamasi untuk mengurangi inflamasi pada
permukaan mata dan jaringan okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan
sangat membantu dalam penatalaksanaan pterygia yang inflamasi dengan
mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan
okular di dekat jejasnya. Prednisolon asetat (Pred Forte 1%) suatu
suspensi kortikosteroid topikal yang dipergunakan untuk mengu-rangi
13

inflamasi mata. Pemakaian obat ini harus dibatasi untuk mata dengan
inflamasi yang sudah berat yang tak bisa disembuhkan dengan pelumas
topikal lain.
Teknik Operasi:
1. Teknik Barre Sclera
Dengan mengeksisi kepala dan tubuh pterygium dengan membiarkan
sclera terbuka untuk kembali berepitelisasi, tingkat kekambuhan tinggi,
antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai
laporan.
2. Konjungtival Limbal Autograft
Memiliki tingkat kekambuhan antara 2 persen dan 40 persen dalam
beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft,
biasanya dari bulbar konjungtiva superotemporal, dan menjahit autograft
tersebut di atas tempat eksisi pterygium tersebut. Lawrence W. Hirst,
MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar
untuk eksisi pterygium dan graft besar dan telah melaporkan tingkat
kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.11
3. AMT (Amniotic Membrane Transplantation)
AMT telah digunakan juga untuk mencegah kekambuhan pterigium.
Meskipun mekanisme pasti dari efek menguntungkan membrane amnion
belum diketahui. Membran basal dari amnion tersebut memiliki factor
penting dalam menghambat inflamasi dan fibrosis dan memicu
epitelisasi.12
Terapi Adjuvan:
1. MMC (Mitomycin C)
Telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblast. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun,
dosis minimum dan efektif dari terapi ini belum ditentukan. Biasanya
digunakan saat operasi berlangsung (secara langsung ke sklera setelah
eksisi pterigium) dan setelah operasi (obat tetes).
2. Radiasi Beta
Telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat
mitosis pada sel-sel yang membelah dengan cepat dari pterigium. Tapi
jarang digunakan karena efek samping dari radiasi yang tinggi (nekrosis
sklera, endophthalmitis, katarak).
Komplikasi Pterigium

14

Komplikasi dari pterigium sebagai berikut:6


1. Penurunan visus
2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
5. Astigmatisma
Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan
memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot
rektus umumnya menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang
belum dilakukan pembedahan.
Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan focal
kornea mata akan tetapi sangat jarang terjadi. Komplikasi postooperasi pterygium
meliputi : Infeksi, diplopia, perforasi bola mata, perdarahan vitreous dan yang
sering adalah kambuhnya pterigium post operasi yaitu sekitar 50-80%, namun
kejadian ini akan berkurang sekitar 5-15% apabila menggunakan autograf
konjungtiva pada saat proses eksisi. Sesudah operasi, eksisi pterygium, steroid
topikal pemberiannya lebih di tingkatkan secara perlahan-lahan. Pasien pada
steroid topikal perlu untuk diamati, untuk menghindari permasalahan tekanan
intraocular dan katarak. Untuk mencegah kekambuhan dapat juga dengan
pemberian Mitomicin C intraoperative.13
Pencegahan Pterigium
Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi
resiko berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih
tinggi. Pasien di sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran,
sebagai tambahan terhadap radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata
pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting
untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien yang
memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet
(misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah
berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata
atau topi pelindung.14
Prognosis Pterigium
Pterigium merupakan suatu neoplasma konjungtiva benigna, umumnya
prognosisnya baik secara kosmetik maupun penglihatan, namun hal itu juga
tergantung dari ada tidaknya infeksi pada daerah pembedahan. Untuk mencegah
15

kekambuhan pterigium (sekitar 50-80 %) sebaiknya dilakukan penyinaran dengan


Strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan apabila residif maka dapat
dilakukan pembedahan ulang. Pada beberapa kasus pterigium dapat berkembang
menjadi degenerasi ke arah keganasan jaringan epitel.2

16

XIV. ANALISA KASUS


Pasien didiagnosis sebagai OS pterigium temporal sebagai berikut :
1.

Anamnesis:
-

Sekitar 6 tahun yang lalu pasien mengeluh seperti ada daging


tumbuh di mata kiri, rasa mengganjal (+), mata merah (-), nyeri (-).
Lama-kelamaan, daging tumbuh semakin membesar sampai ke
teleng mata kiri.

Sekitar 6 bulan terakhir, keluhan daging tumbuh dirasakan cukup


menggangu. Mata kiri semakin mengganjal, mudah merah, dan
ngerocos terutama jika terpapar sinar matahari, debu dan asap.

2.

Pemeriksaan oftalmologis:
-

Tidak adanya penurunan visus yang signifikan.

OS terdapat jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga di bagian


temporal, apex di parasentral kornea (2 mm).

Penatalaksanaan pada pasien ini medikasi berupa fluorometholon yang


merupakan obat golongan kortikosteroid ringan yang penetrasinya cukup baik di
permukaan okuler dan resiko peningkatan tekanan intraokuler rendah. Pada kasus
ini karena keluhan hanya terdapat pada permukaan okuler maka kita cukup
memberikan kortikosteroid ringan untuk mengurangi proses inflamasi (mata
merah).
Tindakan definitif pada kasus ini adalah tindakan eksisi pterigium +
konjungtival limbal autograft + MMC. Indikasi dilakukan operasi karena
pterigium telah meluas ke parasentral kornea, yang dapat menutupi aksis visual
apabila dibiarkan. Selain itu juga, adanya pterigium menggangu kosmetik pasien.
Konjungtival limbal autograft merupakan teknik tambahan operasi yang
dapat menurunkan angka rekurensi sampai dibawah 20%, dibandingkan dengan
teknik lain. Pemberian MMC pada kasus ini adalah sebagai antifibrotik untuk
mencegah pertumbuhan berulang.

17

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Vol. 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008.
Vaughan D.G AT, Riordan P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Vol.
17. Jakarta: Widya Medika, 2010.
G Gazzard, Saw SM, Farrok M, Koh D, WIdjaja D, Chia SE, Hong CY,
Tan DTH. Pterygium in Indonesia: prevalence, severity and risk factors.
bjophthalmol 2002;86:1341-6.
S Ilyas, Mailangkay H.B., Taim H. Ilmu Penyakit Mata. Vol. 2. Jakarta:
Sagung Seto, 2002.
Al-Ghozi M. Handbook of Ophtalmology: a Guide to Medical
Examination. Yogyakarta: FK UMY, 2002.
J P Fisher, Trattler W Pterygium. 2001.
Anonim. A guide to Pterygium and Pterygium Surgery. 2006.
Anonim. Pterigium karena Lalai Menjaga Mata. 2006.
Inascrs. Panduan Penatalaksanaan Medis. 2011.
Edward J. Holland, Mannis Mark J. Ocular Surface Disease: Medical and
Surgical Management: Springer Science & Business Media, 2006.
Hirst LW. Opthalmology. 2008;115:1663-72.
Krachmer JH. Cornea. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005; v. 2.
Anonim. Conjungtivitis. 2007.
M T Coroneo, Digerolamo N, Wakefield D. The Pathogenesis of
Pterygium. curr Opin Ophthalmol 1999;10:282-8.

18

Anda mungkin juga menyukai