Penguji Kasus
Pembimbing
Dibacakan Oleh
: Julius King
Dibacakan Tanggal
: 12 Februari 2016
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing
Dibacakan Oleh
: Julius King
Dibacakan Tanggal
: 12 Februari 2016
Pembimbing
LAPORAN KASUS
Kepada Yth.
Pembimbing
Dibacakan oleh
: Julius King
Dibacakan tanggal
: 12 Februari 2016
I.
PENDAHULUAN
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang
II.
III.
IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Ny. S
Umur
: 53 tahun
Agama
: Islam
Alamat
: Karangjati, Blora
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
No. CM
: C391438
Tanggal Periksa : 2 Februari 2016
ANAMNESIS
(Autoanamnesis pada tanggal 2 Februari 2016 pukul 13.30 WIB di poli mata
RSDK)
Keluhan Utama : Tumbuh daging di bola mata putih kiri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sekitar 6 tahun yang lalu pasien mengeluh seperti ada daging tumbuh di
bmata kiri, rasa mengganjal (+), mata merah (-), nyeri (-). Pasien memeriksakan
diri ke dokter dan dokter hanya memberikan obat tetes mata. Obat tetes mata
mengurangi keluhan. Pasien jarang kontrol dikarenakan keluhan tidak terlalu
menggangu. Lama-kelamaan, daging tumbuh semakin membesar sampai ke teleng
mata kiri.
Sekitar 6 bulan terakhir, keluhan daging tumbuh dirasakan cukup
menggangu. Mata kiri semakin mengganjal, mudah merah, dan nrocos terutama
jika terpapar sinar matahari, debu dan asap.
Riwayat Penyakit Dahulu :
-
IV.
PEMERIKSAAN
PEMERIKSAAN FISIK
Status Praesen (Tanggal 2 Februari 2016)
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Komposmentis
Tanda Vital
: TD : 120/80 mmHg
Suhu : 360C
Nadi : 80x/menit
RR : 18x/menit
Pemeriksaan Fisik
: Kepala
: Mesosefal
Thoraks
Abdomen
VISUS
KOREKSI
SENSUS COLORIS
PARASE/PARALYSE
Oculus Sinister
6/12
S -0,5 6/6
tidak dilakukan
Gerak bola mata bebas ke
segala arah
Tidak ada kelainan
Edema (-), spasme (-)
SUPERSILIA
PALPEBRA
segala arah
Tidak ada kelainan
Edema (-), spasme (-)
SUPERIOR
PALPEBRA
INFERIOR
CONJUNGTIVA
Edema (-)
Hiperemis (-), Sekret (-),
PALPEBRALIS
CONJUNGTIVA
Edema (-)
Hiperemis (-), Sekret (-),
Edema (-)
FORNICES
Edema (-)
CONJUNGTIVA
BULBI
Jernih
Kedalaman cukup, Tyndall
CORNEA
CAMERA OCULI
Effect (-)
Kripte (+)
Bulat, sentral, regular,
ANTERIOR
IRIS
PUPIL
Effect (-)
Kripte (+)
Bulat, sentral, regular,
LENSA
FUNDUS REFLEKS
TENSIO OCULI
SISTEM CANALIS
Tidak dilakukan
LACRIMALIS
TEST FLUORESCEIN
Tidak dilakukan
OD
Lensa keruh tak merata
OS
Injeksi konjungtiva minimal
(+), Jaringan fibrovascular (+)
berbentuk segitiga di temporal,
apex di parasentral kornea (2
mm),
Lensa keruh tak merata,
6
V. RESUME
Sekitar 6 tahun yang lalu terdapat jaringan fibrovaskuler di sklera pasien,
rasa mengganjal (+), injeksi konjungtiva (-), nyeri (-). Pasien memeriksakan diri
ke dokter dan dokter hanya memberikan obat tetes mata Obat tetes mata
mengurangi keluhan. Pasien jarang kontrol dikarenakan keluhan tidak terlalu
menggangu. Lama-kelamaan, jaringan fibrovaskuler semakin membesar sampai
ke parasentral kornea (2 mm). Tidak ada penurunan visus yang bermakna.
Sekitar 6 bulan terakhir, jaringan fibrovaskuler dirasakan cukup
menggangu. Mata kiri semakin mengganjal, injeksi konjungtiva (+), dan lakrimasi
(+) terutama jika terpapar sinar matahari, debu dan asap. Tidak ada penurunan
visus yang bermakna.
Status Oftalmologi :
Oculus Dexter
Injeksi (-), Sekret (-)
CONJUNGTIVA
Oculus Sinister
Injeksi konjungtiva minimal
BULBI
LENSA
X.
PROGNOSIS
Quo ad visam
Quo ad sanam
Quo ad vitam
Quo ad cosmeticam
OD
Ad bonam
Ad bonam
OS
Dubia ad bonam
Dubia ad bonam
Ad bonam
Dubia ad bonam
XI. SARAN
Pemeriksaan lab darah, PTT (Partial Thromboplastin Time), PTTK (Partial
Thromboplastine Time with Kaolin), gula darah sewaktu, dan sekret
konjungtiva untuk persiapan operasi
XII. EDUKASI
Menjelaskan kepada penderita dan keluarga bahwa saat ini terdapat daging
tumbuh pada mata kiri yang merupakan jaringan ikat. Daging tumbuh
tersebut kemungkinan besar bersifat jinak, dan diakibatkan oleh iritasi dari
-
untuk
menyembuhkan/menghilangkan
daging
tumbuh
untuk
sunglasses.
Menjelaskan kepada penderita dan keluarga mengenai katarak minimal yang
mulai muncul pada mata pasien dan kekaburan dapat terjadi seiring
bertambahnya usia.
XIII. DISKUSI
Pterigium
Definisi
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea.
Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau tengah kornea.1
Pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan
penebalan, berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke dalam
kornea, dengan puncak segitiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang
menuju ke puncak pterigium. Pada kornea penjalaran ini mengakibatkan
kerusakan epitel kornea dan membran bowman.4
Pterigium adalah semacam pelanggaran batas suatu pinguecula berbentuk
segitiga berdaging ke kornea, umumnya disisi nasal dan bilateral, dimana lapis
bowman kornea diganti oleh jaringan hialin dan elastis.2
Pterigium adalah pertumbuhan konjuntiva bulbi melimpah keatas kornea
dan , biasanya diikuti adanya jaringan fibrovaskular. Pada potongan yang tegak
lurus dengan sumbunya terdapat bentuk seperti sayap yang pelekatan pada
konjuntiva memanjang pada sumbunya. Kadang konjuntiva bulbi digunakan
untuk membuat flap ke kornea, bentuk seperti pterigium, tetapi tak ada perlekatan
kekonjuntiva bulbi sehingga disebut pterigium palsu.5
Epidemiologi Pterigium
1. Lokasi
Daerah lintang utara dimana paparan sinar ultraviolet tinggi6
2. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita dikarenakan pekerjaan (sering
outdoor)
3. Umur
Jarang pada umur dibawah 20 tahun. Meningkat pada umur 40 tahun
keatas dan tertinggi pada umur 20-40 tahun.
Etiologi Pterigium
Penyebab dari pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga
merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi. Pterigium juga diduga
disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara panas.
Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar
matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan
penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti
zat allegen, kimia dan zat pengiritasi lainnya.1
Faktor resiko untuk pterygium itu bisa meliputi sebagai berikut :
1. Meningkatnya terkena sinar ultraviolet, termasuk tinggal di daerah yang
beriklim subtropis dan tropis.
2. Melakukan pekerjaan dan memerlukan kegiatan di luar rumah serta orang
yang hidup di daerah dengan banyak sinar matahari, daerah berpasir atau
daerah berangin. Petani, nelayan dan orang-orang yang hidup di sekitar
garis khatulistiwa sering terpengaruh.
Predisposisi genetika timbulnya pterygia cenderung pada keluarga tertentu.
Kecenderungan laki-laki mengalami kasus ini lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan, meskipun disini hasil temuan ini lebih banyak disebabkan besarnya
paparan sinar ultraviolet dalam kelompok populasi tertentu.6
Gangguan lain yang mungkin ikut berperan adalah Pseudopterygia (misalnya
disebabkan oleh bahan kimia atau luka bakar, trauma, penyakit kornea marginal)
dan Neoplasma (misalnya karsinoma in situ yang menyebabkan konjungtiva
perilimbal yang tidak meluas sampai ke kornea).
Patofisiologi Pterigium
Sinar ultraviolet, angin, dan debu dapat mengiritasi permukaan mata, hal
ini akan mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan
pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh darah.
Pertumbuhan ini biasanya progresif dan melibatkan sel-sel kornea sehingga
menyebabkan timbulnya pterigium. Radiasi sinat termasuk sinar atau cahaya
tampak dan sinar ultraviolet yang tidak tampak itu sangat berbahaya bisa
mengenai bagian tubuh. Permukaan luar mata diliputi oleh lapisan sel yang
disebut epitel. Epitel pada mata lebih sensitif dibanding dengan epitel bagian
tubuh lain khususnya terhadap respon kerusakan jaringan akibat paparan
10
ultraviolet karena epitel pada lapisan mata tidak mempunyai lapisan luar yang
disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan membran dasar terpapar oleh ultraviolet
secara berlebihan maka radiasi tersebut akan merangsang pelepasan enzim yang
akan merusak jaringan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang akan
menstimulasi pertumbuhan jaringan baru. Jaringan baru yang tumbuh ini akan
menebal dari konjungtiva dan menjalar ke arah kornea. Kadar enzim tiap individu
berbeda, hal inilah yang menyebabkan terdapatnya perbedaan respon tiap individu
terhadap paparan radiasi ultraviolet yang mengenainya. 7
Patofisiologi pterygia ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
ploriferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium,
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan
basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat
dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastic yang
sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.6
Ditemukan epitel konjungtiva ireguler, kadang-kadang berubah menjadi
epitel gepeng berlapis. Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan pada
daerah ini membran Bowman menghilang. Terdapat degenerasi stroma yang
berproliferasi sebagai jaringan granulasi yang penuh pembuluh darah. Degenerasi
ini menyebuk ke dalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma
kornea bagian atas. Pterigium juga dapat muncul sebagai degenerasi stroma
konjungtiva dengan penggantian oleh serat elastis yang tebal dan berliku-liku.
Fibroblas aktif pada ujung pterigium menginvasi lapisan Bowman kornea dan
diganti dengan jaringan hialin dan elastis. Pterigium sering muncul pada
pembedahan. Lesi muncul sebagai luka fibrovaskuler yang berasal dari daerah
eksisi. Pterigium ini mungkin tidak ada hubungannya dengan radiasi sinar
ultraviolet, tetapi kadang dikaitkan dengan pertumbuhan keloid di kulit. Kondisi
pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah
dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses
cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun
pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan
hilangnya penglihatan si penderita.8
Gejala klinis Pterigium
11
12
inflamasi mata. Pemakaian obat ini harus dibatasi untuk mata dengan
inflamasi yang sudah berat yang tak bisa disembuhkan dengan pelumas
topikal lain.
Teknik Operasi:
1. Teknik Barre Sclera
Dengan mengeksisi kepala dan tubuh pterygium dengan membiarkan
sclera terbuka untuk kembali berepitelisasi, tingkat kekambuhan tinggi,
antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai
laporan.
2. Konjungtival Limbal Autograft
Memiliki tingkat kekambuhan antara 2 persen dan 40 persen dalam
beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft,
biasanya dari bulbar konjungtiva superotemporal, dan menjahit autograft
tersebut di atas tempat eksisi pterygium tersebut. Lawrence W. Hirst,
MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar
untuk eksisi pterygium dan graft besar dan telah melaporkan tingkat
kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.11
3. AMT (Amniotic Membrane Transplantation)
AMT telah digunakan juga untuk mencegah kekambuhan pterigium.
Meskipun mekanisme pasti dari efek menguntungkan membrane amnion
belum diketahui. Membran basal dari amnion tersebut memiliki factor
penting dalam menghambat inflamasi dan fibrosis dan memicu
epitelisasi.12
Terapi Adjuvan:
1. MMC (Mitomycin C)
Telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblast. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun,
dosis minimum dan efektif dari terapi ini belum ditentukan. Biasanya
digunakan saat operasi berlangsung (secara langsung ke sklera setelah
eksisi pterigium) dan setelah operasi (obat tetes).
2. Radiasi Beta
Telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat
mitosis pada sel-sel yang membelah dengan cepat dari pterigium. Tapi
jarang digunakan karena efek samping dari radiasi yang tinggi (nekrosis
sklera, endophthalmitis, katarak).
Komplikasi Pterigium
14
16
Anamnesis:
-
2.
Pemeriksaan oftalmologis:
-
17
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Vol. 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008.
Vaughan D.G AT, Riordan P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Vol.
17. Jakarta: Widya Medika, 2010.
G Gazzard, Saw SM, Farrok M, Koh D, WIdjaja D, Chia SE, Hong CY,
Tan DTH. Pterygium in Indonesia: prevalence, severity and risk factors.
bjophthalmol 2002;86:1341-6.
S Ilyas, Mailangkay H.B., Taim H. Ilmu Penyakit Mata. Vol. 2. Jakarta:
Sagung Seto, 2002.
Al-Ghozi M. Handbook of Ophtalmology: a Guide to Medical
Examination. Yogyakarta: FK UMY, 2002.
J P Fisher, Trattler W Pterygium. 2001.
Anonim. A guide to Pterygium and Pterygium Surgery. 2006.
Anonim. Pterigium karena Lalai Menjaga Mata. 2006.
Inascrs. Panduan Penatalaksanaan Medis. 2011.
Edward J. Holland, Mannis Mark J. Ocular Surface Disease: Medical and
Surgical Management: Springer Science & Business Media, 2006.
Hirst LW. Opthalmology. 2008;115:1663-72.
Krachmer JH. Cornea. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005; v. 2.
Anonim. Conjungtivitis. 2007.
M T Coroneo, Digerolamo N, Wakefield D. The Pathogenesis of
Pterygium. curr Opin Ophthalmol 1999;10:282-8.
18