Anda di halaman 1dari 11

Penjahit Malam

Hari ini aku benar-benar sial. Entah apa yang aku pikirkan hingga berani sekali tidak
mengerjakan PR dari bu Ruri. Bu Ruri mempunyai sifat yang keras dan disiplin. Apapun
kesalahan yang dilakukan siswa pasti ada hukumannya. Alhasil akupun distrap berdiri di
depan kelas hingga jam pelajaran matematika berakhir.
***
Hei, nglamun aja kamu!
Sapaan yang lebih mirip teriakan dari Hani menyentakkanku dari lamunanku. Entah
sudah berapa lama aku melamun di mejaku.
Kamu kenapa sih Rin? tanya Hani lagi setelah sapaannya tadi tidak ku respon.
Kenapa apa nya Han? jawabku sekenanya.
Yaaaah. Itu tadi kamu nglamun kenapa? Terus nggak biasanya kan kamu nggak
ngerjain PR dari bu Ruri? Eh, nggak cuma itu! Aku merevisi pertanyaanku tadi, seharusnya...
Kenapa akhir-akhir ini kamu jarang ngerjain PR? Sekarang malah sering nyontek PR-ku,
Cuma tadi aja, karena kamu telat jadi nggak sempet nyontek, tanya Hani bak wartawan yang
dikejar deadline.
Ngomongnya santai aja neng, ati-ati berbusa tuh mulutmu hahaha. Gini loh Hani
sayang, sebenarnya aku juga nggak mau nggak ngerjain PR. Tapi Nenekku sekarang ada di
rumah sakit. Aku jadi sering kepikiran dengan kondisi nenekku Han, jawabku menjelaskan.
Ooh gitu, maaf Rin. Aku turut prihatin semoga nenekmu cepat sembuh ya.
Sebenarnya bukan itu alasan kenapa aku akhir-akhir ini jarang mengerjakan PR.
Memang nenek sakit, tapi Ibu sudah berpesan tidak perlu terlalu mengkhawatirkan nenek
karena ibu sudah merawatnya. Dan lagi pula nenek sedang dirawat di Rumah Sakit, sudah
pasti nenek akan dirawat dengan baik disana. Alasan yang sebenarnya adalah karena aku takut
berada di rumah sendiri.
Iya makasih Han, jawabku setelah agak lama aku sibuk dengan pikiranku sendiri.
***
1

Sudah selama sembilan tahun sejak ayahku meninggal, aku, ibu, nenek, dan Paklik
tinggal bersama di rumah sederhana yang diwariskan oleh ayah. Kami hidup bahagia di dalam
istana yang terletak di desa Pule, Selogiri itu. Akan tetapi sejak nenek sakit satu bulan yang
lalu. Kehidupan kami menjadi sedikit sulit. Paklik harus pergi ke Jakarta untuk mencari
pekerjaan yang bisa mendapatkan gaji lebih, mengingat nenek harus dirawat di Rumah Sakit
dan biayanya tidak murah. Sedangkan Ibu harus selalu menemani nenek di Rumah Sakit.
Rumah kami menjadi sangat sepi.
Kata dokter, sakit yang diderita nenek tidak begitu parah tetapi memerlukan
penanganan yang cukup lama. Nenek mengalami gangguan saraf di otak yang menimbulkan
halusinasi berlebihan.
Karena nenek dirawat di rumah sakit, ibu jadi lebih sering berada di rumah sakit dari
pada di rumah. Alhasil aku harus menjaga rumah sendirian, karena kami tidak memiliki
anggota keluraga atau saudara lain. Awalnya aku bukanlah orang yang penakut, tetapi sejak
kejadian yang terjadi padaku waktu itu, membuatku jadi takut berada di rumah sendirian.
***
Malam ini Rini tidur di sini ya bu? pintaku pada ibu yang sedang membereskan tikar
di lantai kamar nenek dirawat. Memang sejak nenek dirawat di rumah sakit, setelah pulang
sekolah, aku pasti mampir ke rumah sakit terlebih dahulu.
Nggak usah Rin! Kamu kan besok sekolah. Biar Ibu aja yang nemenin nenek.
Tapi kan Rini bisa berangkat sekolah dari sini.
Tetep nggak boleh. Nanti kalau kamu sakit gimana? Disini kalau malam dingin.
Lagian rumah nggak ada yang jagain kan? jawab Ibu. Aku tidak mau membantah ibu,
sepertinya malam ini aku harus tidur di rumah sendirian lagi.
Kamu masih takut suara mesin jahit? tanya ibu kepadaku. Aku hanya menunduk
terdiam.
Rini-Rini... kamu ini sudah besar masak takut cuma karena suara mesin jahit?
Beda bu! Mesin jahitnya bunyi tapi nggak ada yang memakainya bu!

jawabku

tegas.
2

Ah sudahlah. Mungkin itu cuma karena tikus saja, kata Ibu sembari menuju ke
kamar mandi.
Cukup, aku tidak mau berdebat dengan ibu. Apalagi nenek sedang istirahat di ranjang
rumah sakit. Aku tidak mau membangunkannya. Aku mendekati nenek dan menatapnya
dalam-dalam. Keadaan nenek yang terbaring lemas membuatku khawatir.
Ulaaaaaaaar! Ulaaar!
Aku tersentak kaget. Tiba-tiba nenek bangun dan berteriak. Nenek berhalusinasi lagi. Aku
berniat segera memanggil ibu, tetapi ibu sudah berlari keluar dari kamar mandi.
Rini cepat panggil dokter! perintah ibu padaku. Tanpa pikir panjang aku segera
belari keluar kamar.
***
Setelah mendapat penanganan dokter, nenek sekarang sudah lebih tenang. Nenek
memang sering berhalusinasi, tetapi kami masih tidak tahu kenapa nenek selalu berhalusinasi
tentang ular. Dokter mengatakan halusinasi yang terlihat kadang memperlihatkan hal-hal yang
paling ditakuti. Ibu memintaku pulang setelah kondisi nenek sudah stabil.
Sudah menjelang sore saat aku sampai di rumah. Aku menghempaskan tubuhku ke
ranjangku. Tubuh dan pikiranku benar-benar lelah. Dalam perjalanan pulang aku terus
memikirkan kondisi nenek tadi. Entah kenapa aku merasa kalau penyebab nenek sakit adalah
mesin jahit tua yang dibelikan Paklik di pasar loak satu bulan yang lalu. Bukan tanpa dasar
aku menyalahkan mesin jahit itu. Pertama, nenek jatuh sakit setelah satu minggu mesin jahit
itu digunakan. Kedua, kejadian yang selalu aku alami tiap malam menunjukkan kalau mesin
jahit ini bukan mesin jahit biasa. Setiap malam mesin jahit itu berbunyi seperti ada seseorang
yang menggunakannya. Padahal hanya aku yang berada di rumah sendirian. Berkali-kali aku
membicarakan kejadian itu pada ibu tapi responnya selalu sama. Ibu tidak percaya.
Entah apa yang aku pikirkan. Malam ini aku mempunyai sebuah ide yang gila. Selama
ini aku selalu mencoba menutup telingaku saat mesin jahit itu berbunyi, aku terlalu takut.
Mesin jahit tua itu terletak di pojok dapur rumahku. Dan kamarku terletak bersebelahan
dengan dapur, jadi setiap malam aku dapat mendengarnya dengan jelas. Aku selalu tidur lebih
awal karena aku menghindari mendengarkan suara mesin jahit itu. Hal itulah yang
menyebabkan aku jadi jarang mengerjakan PR dari guruku. Tetapi malam ini aku akan
3

mendatangi mesin jahit itu saat mesin jahit itu mulai berbunyi. Aku akan memastikan apakah
yang membuat mesin jahit itu berbunyi.
***
Sembari menunggu mesin jahit tua itu berbunyi, aku tiduran sambil membaca buku
mata pelajaran biologi. Sudah dua materi aku baca dan pahami. Ketika aku akan memulai
materi yang ketiga, mesin jahit itu berbunyi. Aku bangkit dari kasurku. Ada sedikit keraguan
saat aku membuka pintu kamarku. Tetapi tekadku sudah bulat, aku harus tahu apa yang terjadi
pada mesin jahit itu. Aku keluar kamar dan mulai berjalan menjuju dapur. Tidak lama, hanya
beberapa langkah saja aku sudah berada di depan pintu dapur yang selalu dibiarkan terbuka
oleh Ibu. Suara mesin jahit tua itu makin jeas di telingaku. Aneh. Keadaan dapur sangat gelap.
Lampunya mati. Padahal sore tadi aku membiarkannya menyala. Dengan segera aku meraih
saklar yang menempel di dinding tepat di depanku. Kleek-kleek. Tidak berfungsi. Lampu
tetap mati. Tiba-tiba keadaan menjadi sangat dingin. Bulu kuduku terasa berdiri semua. Aku
ingin segera kembali ke kamar. Tetapi tiba-tiba pintu dapur terbanting tertutup. Aku panik.
Dengan gemetaran aku mencoba membukanya tapi gagal. Keringat dingin mulai membasahi
bajuku. Sementara itu surara mesin jahit terus terdengar di telingaku. Aku tidak berani
menatap pojok dapur. Aku menutup mataku, sedangkan mulutku terus saja komat-kamit
berdoa.
ahaha..
Mataku terbelalak. Aku baru saja mendengar sebuah tawa. Pelan, tapi jelas di
dengarkan kerena suara mesin jahit sudah berhenti. Dengan gemetaran aku menengok ke arah
pojok dapur, tempat mesin jahit itu berada, sumber dari tawa serak tadi berasal. Walaupun
keadaan begitu gelap. Tapi terlihat jelas sebuah siluet seseorang yang sedang duduk di depan
mesin jahit tua itu. Cahaya lampu dari luar masih bisa masuk dari jendela dan genting kaca
dapur. Dengan cepat aku menutup mulutku. Aku ingin berteriak tapi kerongkonganku terasa
sangat kering. Air mataku menetes. Aku menangis. Ya Tuhan aku takut.
Bunyi mesin jahit mulai terdengar lagi. Kakiku lemas, aku jatuh bertekuk lutut di
depan pintu dapur.
Ibu, tolong Rini bu., bisikku terisak.

Aku tersentak kaget saat sosok itu seketika menoleh kearahku. Tidak begitu jelas
tetapi matanya merah menyala. Sepertinya makhluk itu mendengar perkataanku tadi. Dia
tampak marah dan mulai beranjak dari kursinya. Aku ingin berteriak tetapi suaraku seperti
tertahan. Hanya ada sebuah suara tertekan yang keluar dari mulutku. Aku ingin berdiri dan
segera berlari tetapi badanku serasa kaku, tidak bisa digerakkan sama sekali. Air mataku
berhenti. Bahkan mataku tidak bisa berkedip.
Makhluk itu mulai berjalan mendekatiku. Terdengar suara aneh saat dia berjalan.
Terdengar seperti ada sebuah karung yang diseret. Dia semakin dekat. Tubuhku sudah basah
oleh keringatku sendiri. Seketika dia berhenti tepat dibawah cahaya dari atas genting kaca.
Sosoknya kini terlihat jelas di depanku. Dia memakai kebaya dan kain jarik yang sudah
compang-camping. Rambut putihnya berantakan. Kuku-kuku tangannya sangat panjang.
Sedangkan wajahnya, aku belum bisa melihatnya dengan jelas karena dia menundukkan
kepalanya. Ada yang paling aneh dari tubuhnya yaitu dia tidak memiliki kaki, hanya ada
seperti gumpalan daging yang keluar dari kain jariknya. Semakin kuamati daging tersebut
sangat mirip dengan tubuh seekor reptil, karena di bagian depan terdapat seperti kulit bergaris
yang mengkilat.
Dapurku kini terasa sangat dingin. Kaki dan tanganku benar-benar kedinginan.
Sebaliknya kepala merasa kepanasan. Mulutku terasa kering karena sedari tadi aku mencoba
berteriak tapi tidak berhasil.
Hrggghhhrm..., suara makhluk itu memekakkan telingaku.
Ibuuuuuuu! seketika suaraku kembali lagi.
Makhluk itu menatapku. Wajahnya mengerikan. Matanya merah dan ia mengeluarkan
lidahnya yang panjang. Terlihat pada bagian belakang. Ekornya bergerak-gerak mengeluarkan
suara derik. Cukup lama dia menatapku dengan tatapan yang mengerikan itu. Tiba-tiba
makhluk itu sudah berada tepat di depanku. Seketika gelap. Aku pingsan.
***
Cahaya putih menyilaukan mataku. Sepertinya sudah pagi. Tubuhku terasa lemas. Tadi
malam aku pingsan. Aku mencoba bangkit dari lantai. Kejadian tadi malam benar-benar
membuat kepalaku pusing. Masih teringat betapa mengerikannya makhluk itu.

Tunggu. Ruangan ini bukan dapur rumahku. Keadaan ruang ini begitu asing di
kepalaku. Ruangan ini sangat luas. Banyak sekali benda-benda tradisional yang bahkan aku
tidak tahu namanya. Ornamen ruangan ini juga sangat antik. Kayu-kayunya terukir dengan
sangat indah. Tetapi ada sebuah benda yang menarik perhatianku. Bentuknya seperti cawan
bertiang dan sepertinya terbuat dari perunggu. Sangat mengkilat, kalau dilihat sekilas seperti
terbuat dari emas. Saat aku akan membuka tutupnya, terdengar suara mesin jahit. Aku kaget
dan mencari sumber suara mesin jahit tersebut. Disudut salah satu ruangan terlihat ada
seorang wanita yang sedang menjahit. Mesin jahit itu tidak asing untukku. Itu mesin jahit
milik nenek. Walaupun yang ini terlihat lebih baru, tapi dari bentuknya, itu memang mesin
jahit nenek yang dibelikan oleh Paklik.
Sedangkan wanita yang sedang menjahit juga tidak asing untukku. Dilihat dari kebaya
dan kain jarik yang dia gunakan, orang itu adalah makhluk yang kulihat tadi malam.
Astaga, dimana aku sebenarnya? gumamku.
Berbeda dari tadi malam, wanita itu terlihat seperti manusia biasa. Bahkan parasnya
sangat cantik. Perkiraanku dia seumuran dengan ibuku. Kulihat dia sibuk dengan mesin
jahitnya. Dia tampak gembira. Kudengar dia kadang juga melantunkan lagu jawa. Suaranya
sangat merdu. Aku ingin sekali menghampirinya. Tapi mengingat kejadian tadi malam, ada
rasa takut pada wanita itu.
Eh?! aku kaget saat seorang pria baru saja menembus tubuhku. Ini benar-benar
aneh. Aku melihat kedua tanganku, aku terlihat seperti tembus pandang. Ini tidak nyata.
Sepertinya aku berada di masa lalu makhluk menyeramkan yang tadi malam aku lihat.
Kini aku memperhatikan pria itu berjalan mendekati wanita penjahit tadi. Dia
membawa sebuah wadah anyaman dari bambu. Entah apa isinya yang jelas dia memegang
erat-erat tutupnya. Ada yang aneh dari caranya berjalan, gelagatnya seakan-akan dia tidak
mau keberadaannya diketahui oleh wanita tadi. Dan sepertinya dia berhasil. Karena suara
mesin jahit yang cukup keras, wanita tadi sama sekali tidak menyadari keberadaan pria itu.
Sekarang dia berhenti sekitar satu meter dari wanita tadi yang masih sibuk dengan mesin
jahitnya. Pria itu berjongkok dan sibuk dengan wadah yang tadi dia bawa. Sekarang dia
mundur beberapa langkah dari tempatnya berjongkok tadi. Astaga, aku melihat banyak sekali
ular yang keluar dari wadah anyaman bambu tadi. Apa yang sebenarnya pria itu rencanakan?

Hei! Awas ada ular! Pergi dari sana! aku berteriak kepada wanita tadi. Tapi
sepertinya percuma, wanita tadi tidak mendengarku. Aku hanyalah sebuah ilusi disini.
Pria tadi terus melangkah mundur hingga kini sudah sejajar denganku. Aku melihat raut
wajahya. Dia tersenyum menyeringai.
Aaaaa.. Ulaaar! Ulaar!
Pandanganku beralih kepada wanita tadi. Dia terlihat sangat ketakutan. Mencoba
mengindar dari ular-ular tadi dengan naik ke atas kursi. Tetapi sepertinya tidak cukup, ularular itu mencoba merangkak naik ke atas kursi. Akhirnya wanita itu menatap kearah Pria yang
berada di sampingku.
Maaas, tolong aku mas! Bunuh ular-ularnya mas! teriak Wanita tadi terisak.
Maaf dik. Satu-satunya makhluk yang harus aku bunuh adalah kamu. Aku sudah
tidak mencintaimu. Kalau kau tidak mati. Aku tidak bisa menikahi Sari.
Apaa maksudmu mas? Kamu kejam mas!
Kejam? Hahahaha. Keluargamulah yang kejam. Mereka memaksaku menikah dengan
orang yang sama sekali tidak aku cintai.
Mas tolong aku mas! Aaaaa.., kini wanita itu mulai naik keatas mesin jahit.
Selamat tinggal dik, kata si pria dan pergi meninggalkan wanita yang ketakutan itu
sendirian. Aku ingin sekali menahannya tetapi itu akan percuma.
Awaaaas! teriakku kencang saat aku melihat wanita itu hampir kehilangan
keseimbangan. Aku mencoba mendekat. Tetapi anehnya ular-ular itu seperti tahu
keberadaanku, padahal wanita dan pria tadi sama sekali tidak menyadari kehadiranku. Aku
urungkan niatku untuk mendekat.
Braaaaaak. Akhirnya wanita itu jatuh dari atas mesin jahit. Kepalanya terbentur
tembok dan mengalami pendarahan. Dia tidak sadarkan diri. Ular-ular yang ada di lantai
menghampirinya dan mematuknya berkali-kali. Aku hanya bisa menutup mulutku dan
menangis. Pemandangan yang sangat mengerikan untuk dilihat. Wanita itupun tidak
terselamatkan. Setelah membuat wanita itu tidak bernyawa, ular-ular itu pergi. Aku bingung,
apa yang harus aku lakukan?
7

Aku memutar pandangan kesegala arah mencari pintu keluar. Saat pandanganku
kembali kearah mesin jahit tadi, jasad wanita tadi sudah tidak ada. Tapi saat aku menoleh ke
kananku, aku kaget melihat wajah wanita tadi berada sejengkal dari wajahkuku. Wajahnya
begitu mengerikan dengan mata, hidung dan mulut yang mengeluarkan darah. Ketakutan
membuatku terus melangkah mundur dan berniat lari dari tempat itu. Karena tidak
memperhatikan sekeliling, saat aku melangkah mundur, tidak sengaja aku menyenggol cawan
yang tadi kulihat. Cawan itu jatuh dan menumpahkan isinya. Aku kaget karena isinya adalah
ular. Dengan cepat ular itu bergerak akan mematuk mukaku.
Aaaaaaghh...!
Aku berteriak kencang. Anehnya, ular itu hilang begitu saja. Saat aku melihat sekitar,
aku sekarang berada di kamarku.
Ya Tuhan, ternyata aku bermimpi, gumamku.
Aku duduk di ranjangku dengan baju yang basah oleh keringat. Rencana awalku untuk
pergi ke dapur untuk melihat mesin jahit itu ternyata tidak pernah terjadi. Aku tertidur saat
sedang membaca buku pelajaran Biologi tadi malam. Tetapi walaupun rencanaku gagal,
mimpi tadi malam rasanya sudah lebih dari cukup untuk menjawab rasa penasaranku pada
mesin jahit tua itu. Bahkan aku sekarang tahu kenapa nenek sering berhalusinasi tentang ular.
Asumsiku sekarang, siapapun yang memakai mesin jahit tua tersebut mungkin akan
berhalusinasi seperti nenek.
***
Aku memutuskan untuk bolos sekolah dan pergi ke rumah sakit. Meskipun aku akan
dimarahi ibu habis-habisan. Tetapi Ibu harus tahu mimpiku tadi malam secepatnya.
Lho rin, kamu kenapa kesini? Kamu nggak sekolah? tanya ibu saat aku masuk ke
kamar rawat nenek.
Rini bolos dulu bu.
Kamu bilang apa? Bolos? Astaga rin! Kamu ini seharusnya...
Tapi bu, Rini punya alasan yang penting, jawabku memotong ucapan ibu.
Kamu ini mau cari alasan apa lagi? tanya ibu sedikit membentak.
8

Maafin Rini bu. Tapi tolong denger cerita Rini dulu, ucapku membela diri.
Aku ceritakan semuanya pada Ibu. Rencanaku, mimpiku, asumsiku, dan apapun yang
aku ketahui tentang mesin jahit tua itu. Awalnya ibu tidak percaya dengan apa yang aku
katakan. Tetapi setelah mendengarkan ceritaku sekali lagi dengan isak tangisku, Ibu mengerti
dan percaya.
Iya Rin, Ibu percaya kamu. Maafin ibu nak. Lagipula buat apa kamu berbohong,
ucap ibu sambil memelukku.
Malamnya, Paklik datang dari Jakarta karena sebelumnya sudah ditelepon oleh ibu.
Paklik sudah tahu semuanya dari ibu. Besok Paklik berencana membawa seorang Kiai ke
rumah untuk melihat mesin jahit itu.
***
Aku kurang fokus saat pelajaran di hari ini. Pikiranku tertuju pada mesin jahit tua itu.
Apa yang akan Paklik dan Kiai lakukan pada mesin jahit tua itu? Apakah setelah mesin jahit
tua itu pergi dari rumah, nenek akan sehat kembali? Dikepalaku penuh dengan pertanyaanpertanyaan yang ingin kuketahui jawabannya. Aku ingin segera pulang.
Setelah tujuh jam berada di sekolah, akhirnya aku bisa pulang. Aku tidak sabar ingin
segera sampai di rumah. Sudah tidak sabar rasanya melihat mesin jahit itu lenyap dari
rumahku. Sudah cukup banyak kebahagiaan di rumahku rusak karena mesin jahit tua itu.
Sudah pulang rin? sapa Paklik saat aku masuk dari gerbang.
Paklik sedang duduk di teras dengan seorang lelaki paruh baya yang menggunakan baju koko
dan peci. Sepertinya dialah Kiai yang di maksud Paklik tadi malam.
Iya Paklik, hari ini langsung pulang rumah, nggak ke rumah sakit dulu.
Oya, kenalin ini temen Paklik namanya Kiai Rifan. Orang yang sudah Paklik
ceritakan tadi malam itu lho.
Siang dik Rini. Jadi dik Rini bener-bener mimpi seperti itu?
Iya pak Kiai. Sebenernya Rini juga nggak mau dapet mimpi seperti itu, tapi karena
mimpi itu juga Rin jadi tahu tentang mesin jahit tua itu. Walaupun Rini juga belum tahu
9

kebenarannya karena bagaimanapun itu cuma mimpi, jawabku sambil duduk di salah satu
kursi teras.
Sebenarnya keputusan kamu untuk menceritakan mimpi kamu ke ibu mu itu sudah
tepat. Dan setelah saya tadi lihat bendanya, memang cerita kamu itu benar adanya.
Lalu mesin jahit itu sekarang dimana? tanyaku sambil menatap kedua lelaki di
depanku bergantian.
Sudah di kembalikan di tempat asalnya. Mungkin dik Rini belum tahu kalau wanita
yang dik Rini lihat di mimpi itu sebenarnya adalah seorang keluarga bangsawan di Jogjakarta
dulu waktu jaman penjajahan. Dan rumahnya sekarang masih ada di Jogjakarta sana, kata
pak Kiai menjelaskan.
Oh jadi gitu, jawabku mengangguk-angguk.
Sekarang mesin jahit itu sedang dalam perjalanan ke Jogja. Paklik minta tolong ke
Pak Samidi untuk mengantarkan sampai sana. Awalnya Paklik mau ikut, tapi nanti sore nenek
pulang jadi Paklik disuruh Ibumu beres-beres rumah.
Nenek pulang? Lho nenek apa sudah benar sembuh? tanyaku bingung.
Nenek kamu sudah bisa dirawat dirumah. Selama benda itu sudah tidak ada di rumah
ini, nenek kamu pasti cepat sembuh. Setiap hari Jumat saya akan kesini mendoakan nenek
kamu supaya bisa terlepas dari aura-aura negatif benda itu. Lagipula kalau terus-terusan
dirawat di rumah sakit kan juga kasihan Paklikmu ini, jawab pak Kiai.
Terimakasih pak Kiai, ucapku senang.
***
Nenek akan pulang sore nanti, aku dan Paklik beres-beres rumah agar nenek merasa
nyaman saat tiba nanti. Nenek pasti sangat kangen dengan suasana rumah ini. Aku benarbenar senang setelah lebih dari satu bulan suasana rumah ini berubah menjadi suram,
sekarang aku yakin rumah kami akan kembali normal seperti dulu lagi.
Rin, kalau dilihat dari fakta tentang mesin jahit tua yang Paklik belikan untuk nenek,
bisa dibilang Paklik lah yang membuat nenek menjadi sakit. Iya kan? ucap Paklik
membuyarkan pikiran gembiraku.
10

Ah sudahlah Paklik. Paklik beli mesin jahit itu kan juga tidak tahu asal usulnya,
belinya di pasar loak kan? Lagian selama nenek sakit yang mencari uang untuk membayar
biaya rumah sakit kan juga Paklik. Tidak usah terlalu dipikirkan, yang penting nenek akan
segera sembuh, kataku mencoba menghilangkan rasa bersalah Paklik.
Kamu benar Rin. Lain kali Paklik akan beli mesin jahit baru yang benar-benar baru
langsung dari pabriknya.
Hahahaha, Paklik bisa aja, kami berdua tertawa.
***
Setelah selama satu bulan nenek kembali ke rumah, keadaan nenek benar-benar sudah
pulih. Ini berkat Kiai Rifan yang rutin mendoakan nenek. Bukan hanya keadaan nenek yang
kembali pulih, tetapi rumah kami juga lebih ceria dari satu bulan yang lalu. Ibu sudah
mendapatkan pekerjaan baru, karena sebelumnya Ibu terpaksa berhenti berkerja karena harus
merawat nenek. Paklik lebih memilih tetap bekerja di Jakarta karena gaji yang di dapatkan
cukup besar. Ditambah lagi, gaji yang di dapatkan sekarang tidak langsung habis karena biaya
rumah sakit. Paklik berencana, saat tabungannya sudah terkumpul banyak, dia akan
meninggalkan pekerjaannya di Jakarta dan membangun minimarket di dekat rumah.

11

Anda mungkin juga menyukai