Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN LOKAKARYA

Memantapkan Upaya Rehabilitasi


Lahan Pasca Tambang di Indonesia Melalui
Peningkatan Kapasitas para Pelaksana
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
10-12 September 2013
Lokakarya kolaboratif yang didukung oleh:
Environmental Leadership & Training Initiative (ELTI)
Tropenbos International Indonesia Programme (TBI Indonesia)
Institut Pertanian Bogor (IPB)
Universitas Bengkulu (UNIB)

Pendahuluan: Indonesia merupakan penghasil batu bara, tembaga, emas, timah, nikel, mangan dan bauksit
yang amat besar dan berperan penting bagi perkembangan ekonomi. Pertambangan menyumbangkan sekitar
4-5% dari keseluruhan Pendapatan Domestik Bersih (PDB) Indonesia, dan juga sebagian besar perekonomian
daerah-daerah penghasil bahan tambang seperti Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Kalimantan Timur, Papua
dan Nusa Tenggara Barat. Pertambangan dinilai mempunyai peran positif oleh pemerintah baik di tingkat
pusat/nasional maupun di daerah karena potensinya yang membuka dan mengembangkan pembangunanpembangunan di wilayah terpencil, dimana perusahaan-perusahaan tambang membangun sarana dasar
dan menjadi salah satu sumber pekerjaan formal yang penting. Pemerintah Indonesia berencana untuk
meningkatkan kontribusi pertambangan terhadap PDB nasional pada tahun-tahun mendatang.
ELTI is a joint initiative of:

Smithsonian Tropical Research Institute

ELTI Asia Training Program Report

Namun demikian, walaupun industri pertambangan memberikan keuntungan ganda bagi perekonomian
Indonesia, industri ini juga memberikan dampak kerusakan biofisik lingkungan yang sangat besar dan
mengkhawatirkan. Wilayah-wilayah pertambangan membongkar tumbuh-tumbuhan dan tanah, yang
berfungsi memberikan jasa lingkungan seperti penyediaan produk hutan untuk masyarakat setempat, stabilitas
tanah, siklus hidrologi, pengikatan karbon dan keanekaragaman hayati. Wilayah hilir dan bahkan lautpun juga
menerima dampak signifikan akibat erosi, longsor, sedimentasi dan limbah bahan-bahan berbahaya.
Pertambangan di Indonesia diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh tiga
Kementerian, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Kehutanan dan Kementerian
Lingkungan Hidup. Indonesia telah memiliki peraturan-peraturan yang baik yang mengharuskan diterapkannya
rehabilitasi progresif pada wilayah-wilayah tambang, dimana jika diimplementasikan dengan benar, akan dapat
mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh pertambangan. Namun, di dalam praktek banyak perusahaan
tambang yang belum memenuhi kewajiban-kewajiban sesuai peraturan tersebut, terutama tambang-tambang
skala kecil. Sebagian kendalanya berakar dari tidak adanya kapasitas teknis dari perusahaan untuk merehabilitasi
lahan yang rusak berat dan sangat beracun, di satu sisi. Dan di sisi yang lain disebabkan keterbatasan kapasitas
teknis di pihak aparat pemerintah yang semestinya bukan hanya mampu mengawasi dan mengevaluasi
kegiatan rehabilitasi, tapi juga harus menyediakan bimbingan teknis untuk pelaksanaan rehabilitasi yang
efektif. Dan lebih penting lagi adalah berani melakukan penegakan hokum berbagai pelanggaran, dan bukan
melakukan pembiaran.
Untuk mengatasi permasalahn ini, ELTI, TBI Indonesia, IPB, dan UNIB mengadakan kerjasama penyelenggaraan
lokakarya untuk pemantapan upaya rehabilitasi lahan bekas tambang melalui peningkatan kapasitas para
pelaksana di Indonesia, baik untuk pegawai pemerintah, Perusahaan, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat.
Inisiatif ini terbangun atas dasar kegiatan-kegiatan awal dalam rehabilitasi lahan tambang, termasuk sebuah
simposium dan dua pelatihan yang dilaksanakan di Kalimantan Timur. Lokakarya ini dimaksudkan untuk
mengembangkan materi-materi pelatihan yang baku dan berbasis pada pengalaman lapangan dan sarana
institusional yang diperlukan agar inisiatif bersama ini dapat mewujudkan tujuannya. Pelatihan juga melibatkan
lembaga sertifikasi profesi untuk mempersiapkan tenaga yang berkualitas dan bersertifikat dalam menghadapi
pasar global tenaga kerja.

Tujuan
1. Menyusun kurikulum dalam penyelenggaraan pelatihan SDM Reklamasi Hutan
dan Lahan yang berbasis pada standar kompetensi.
2. Menyusun konsep skema dalam rangka sertifikasi kompetensi SDM Reklamasi Hutan dan Lahan dengan
berdasar pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
3. Untuk membahas pembentukan jaringan formal pusat pelatihan/penelitian rehabilitasi lahan tambang.
Jalannya Lokakarya: Hari pertama lokakarya dihadiri oleh kelompok kecil terdiri dari 9 pakar dalam
rehabilitasi lahan bekas tambang, dan mengkosentrasikan pada pemahaman bersama dari sebuah draf standar
kompetensi kerja yang sedang dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan dan Kementerian Tenaga Kerja
melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP-Rhino). Lokakarya dibuka oleh Dr. David Neidel (ELTI), diikuti oleh
sambutan-sambutan ringkas dari Dr. Petrus Gunarso (TBI-Indonesia) dan Dr. Yadi Setiadi (IPB). Bapak Wachjono
(LSP-Rhino) memberikan perkenalan kepada standar-standar kompetensi dan mengusulkan skema sertifikasi,
yang kemudian mengantarkan pada sebuah diskusi tentang bagaimana skema sertifikasi akan dioperasikan,
bagaimana pelatihan-pelatihan dapat dirancang sesuai starndar-standar tersebut, dan bagaimana para
pendaftar akan dinilai.
Hari kedua dan ketiga dari lokakarya dihadiri oleh kelompok lebih besar sebanyak 20 orang yang mewakili
beberapa perusahaan tambang, LSM, institusi-institusi pendidikan, dan Kementerian Kehutanan. Mengikuti
sebuah pembukaan formal yang singkat, bapak Hendry Baiquni (University of Queensland Center for Mined
Land Rehabilitation) membahas kegiatan dari badan tersebut, membandingkan struktur kepemerintahan terkait
dengan tambang di Australia dan Indonesia, dan memperkenalkan berbagai sumber daya dan kesempatan
yang dapat dimanfaatkan oleh para peserta. Bapak Wachjono kemudian membahas ringkasan standar dan
skema sertifikasi berdasarkan diskusi hari sebelumnya. Para praktisi perusahaan tambang merefleksikan standarstandar dan skema-skema tersebut berdasarkan pengalaman mereka di lapangan, terutama hambatanhambatan dalam merehabilitasi lahan bekas tambang. Berbagai masalah diangkat dalam diskusi termasuk
kenyataan bahwa standar-standar tersebut dirancang terutama berdasarkan pada sektor kehutanan, sementara
banyak pertambangan terjadi pada lahan di luar kawasan hutan, dan juga pembagian kerja yang dijabarkan
dalam standar-standar tersebut seringkali tidak sesuai dengan pemabagian kerja yang ada di masing-masing

perusahaan. Masalah-masalah lain, seperti


kurangnya penegakan hukum yang efektif dari
tiga Kementerian (ESDM, KeMenhut, dan KLH),
juga dibahas dalam diskusi.
Diskusi mengenai pengembangan kurikulum
formal diperkenalkan oleh Dr. Yadi Setiadi,
yang membahas beberapa praktek rehabilitasi
tambang yang dikembangkannya selama
bertahun-tahun bekerja sebagai konsultan
dari berbagai perusahaan tambang besar.
Para peserta lain dari berbagai universitas di
Indonesia juga memperkenalkan beberapa
teknik yang mereka kembangkan dengan
perusahaan-perusahaan
tambang
yang
berlokasi di wilayahnya. Pada umumnya,
universitas-universitas ini dapat memainkan
peran lebih besar dalam melakukan riset
mengenai rehabilitasi lahan bekas tambang
dan menyediakan berbagai pelatihan baik
untuk praktisi sektor swasta maupun aparat
pemerintah. Disepakati bahwa materi-materi
pelatihan seharusnya difokuskan terutama
pada pemenuhan ketentuan-ketentuan dari
peraturan pemerintah, namun juga harus
mengikuti standar-standar yang sudah terbukti
dalam praktik dan berbagai teknik yang
dikembangkan oleh komunitas riset.
Lokakarya ditutup dengan diskusi yang
dipimpin oleh Dr. Hery Suhartoyo (UNIB),
mengenai potensi manfaat-manfaat dan
kerugian dari membangun sebuah jejaring
kerjasama yang lebih formal untuk memenuhi
tujuan lokakarya. Manfaat-manfaatnya dapat
menjadikan upaya terlaksana, namun dana
tambahan perlu digalang guna menjadikan
jaringan ini berfungsi lebih efektif, dan
hubungan dengan jejaring kerja sama lainnya
seperti Forum Rehabilitasi Lahan Bekas
Tambang, harus terus diupayakan. Sesi diakhiri
dengan komen-komen dari setiap peserta
mengenai bagaimana untuk memajukan
inisiatif ini, dan menominasikan Dr. Suhartoyo
sebagai ketua Jejaring Kerjasama.

Peserta: Kegiatan ini terbatas pesertanya dan dihadiri oleh sekitar 20 peserta yang terdiri dari perwakilan
universitas-universitas yang terafiliasi dengan pusat penelitian rehabilitasi lahan bekas tambang, perwakilan dari
unsur Kementerian, dan perwakilan dari perusahaan pertambangan.
Hasil dan Kegiatan Lanjutan: Seluruh anggota jaringan sepakat untuk terus menjalin kerja sama dengan
Bapak Wachjono dalam memperjelas dan menyesuaikan konteks di lapangan terhadap standar-standar agar
bisa diaplikasikan pada semua konteks pertambangan di Indonesia. ELTI, TBI, dan IPB akan terus bekerja sama
dalam mengembangkan materi-materi pelatihan yang sesuai dengan peraturan pemerintah serta pengalaman
dan keberhasilan praktik yang terbukti di lapangan, serta membangun hubungan dengan pusat-pusat pelatihan
rehabilitasi lahan bekas tambang yang sudah ada di Indonesia yang akan menyediakan pelatihan-pelatihan di
masa yang akan datang. Kami juga akan terus menjalin hubungan kerjasama dengan University of Queensland
Center for Mined Land Rehabilitation, termasuk dalam hal untuk mendapatkan kesempatan pendanaan melalui
Pusat Pengembangan Tambang Internasional yang didanai oleh AusAID.

This event was possible thanks to Arcadia Fund, whose Environmental Conservation grants support
programmes that protect and enhance biodiversity, and provide field training and academic research.

Anda mungkin juga menyukai