HUKUM ISLAM
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah Yang Maha Kuasa, yang selalu memberikan
karunia kepada kita semua setiap saat, maka sangatlah tak pantas jika kita kufur
nikmat, dan atas ridloNya lah karya ilmiah ini dapat disusun dengan maksimal.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas PAI tahun jaran 2014/2015,
makalah ini juga dimaksudkan sebagai salah satu cara penyaluran minat dan bakat
penyusun sehingga dapat meningkatkan kemampuan seputar dunia penelitian.
Makalah ini merupakan suatu makalah yang berisi mengenai hukum islam
disertai dengan dasar-dasar penetapan hukum islam, sumber-sumber hukum islam
dan tarjih muhammadiyah.
Penyusun mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah memberikan banyak kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini, semoga
mendapat pahala dari Allah SWT. Penyusun menyadari bahwa karya ilmiah ini
masih jauh dari sempurna, maka dari itu kritik dan saran kami perlukan untuk
kesempurnaan karya ini, serta penyusu memohon maaf yang setulus-tulusnya.
Semoga bermanfaat bagi kita semua, khususnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Purwokerto, 8 Oktober 2015
Penyusun
TIM PENYUSUN
BAB I
sedangkan
dalam
surat-surat
Makkiyah
malah
sebaliknya;
3) Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya mengandung hal-hal yang
berhubungan dengan masalah keimanan, ancaman dan pahala, kisahkisah umat yang terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi
pekerti. Sedangkan ayatayat Madaniyyah mengandung hukum-hukum,
seperti hukum kemasyarakatan, hukum ketatanegaraan, dan lainnya;15
dan ;
4) Al-Quran adalah syariat Islam yang bersifat menyeluruh. Ia
merupakan sumber dan rujukan yang pertama bagi syariat, karena
didalamnya terdapat kaidah-kaidah yang bersifat global yang perlu
dijelaskan dengan sunnah dan metode pengambilan istinbat hukum
Menurut Ibn Hazm bahwa setiap bab dalam fiqh pasti mempunyai
landasan dalam al-Quran yang dijelaskan oleh al-Sunnah.16 Hal ini
sebagaimana firman Allah Swt. QS : 38, yang artinya: ... Tiadalah
Kami lupakan sesuatupun di dalam al-Kitab.... Kandungan isi alQuran sebagai sumber hukum antara lain:
(1).Ajaran-ajaran (konsepsi) mengenai kepercayaan (aqidah) yang
fokusnya adalah tauhid (monotheisme) dan sistem pengaturan
hubungan antara Khaliq dan Makhluk (manusia);
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Menuntut Ilmu itu wajib bagi
muslim laki-laki dan perempuan.
2. Sunnah Filiyah, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
yang dilihat atau diketahui oleh sahabat kemudian disampaikannya kepada
orang lain. Contohnya, Sahabat berkata: Saya melihat Rasulullah SAW
melakukan sholat sunnat dua rakaat sesudah shalat dzuhur.
3. Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan atau
sepengetahuan Rasulullah SAW. tetapi tidak dicegah oleh Rasulullah
SAW. Diamnya Rasulullah SAW tersebut disampaikan sahabat kepada
yang lainnya. Umpamanya seorang sahabat memakan daging dab
dihadapan Rasulullah SAW., sehingga Rasulullah SAW mengetahui apa
yang dimakan sahabatnya tersebut, tetapi Rasulullah SAW tidak
melarangnya. Kisah tersebut disampaikan sahabat kepada lainnya dengan
ucapan: Saya melihat seorang sahabat memakan dab di dekat Nabi, Nabi
mengetahui tetapi Nabi tidak melarangnya. Sunah merupakan sumber
kedua setelah al-Quran, karena Sunnah merupakan penjelasan dari alQuran, maka yang dijelaskan berkedudukan lebih tinggi daripada yang
menjelaskan (Ahmad Hanafi, 1993).
Kedudukan Sunnah terhadap al-Quran sekurang-kurangnnya ada tiga hal
sebagaimana berikut (Dahlan Idami, 1981):
1. Sunnah sebagai taqid (penguat) nash al-Quran. Dalam hal ini, Sunnah
memberi ketegasan hukum sesuai dengan ketegasan nash al-Quran,
sebagai contoh: Sunnah banyak yang menerangkan tentang kewajiban dan
keutamaan puasa, shalat dan sebagainya.
2. Sunnah sebagai bayanu tasyri (penjelas) nash al-Quran. Dalam hal ini
Sunnah berfungsi untuk menjelaskan secara praktis dari nash al-Quran,
sehingga menghindarkan dari kekeliruan dalam mengklaflikasikan apa
yang terkandung dalam al-Quran. Menurut Rachmat Syafei,20
penjelasan Sunnah terhadap al-Quran dapat dikategorikan menjadi tiga
bagian: (a) Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya
shalat dalam al-Quran tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat,
dan ketentuan lainnya. Maka hal ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW:
Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu telah melihat saya sholat.;
Masyur
dapat
berfungsi
memperkuat
ayat
al-Quran.
suatu hukum dari beberapa hukum." Ijma' merupakan sumber yang kuat dan
salah satu metode pengembangan Ijtihad untuk meneruskan dan menetapkan
hukum-hukum Islam. Jika sudah terjadi kemufakatan atas suatu hukum, maka
sudah barang tentu ada dalil (alasan) yang menjadi sandarannya, sebab tidak
masuk akal kalau para ulama umat Islam bersepakat atas sesuatu hukum tanpa
mempunyai dalil syara'. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullalt SAW:
"Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (H.R. Abu Daud
dan al-Turmudji) (Muhammad Abu 2002). Alasan menempatkan ijma sebagai
dasar hukum setelah al-Qur'an dan Sunnah juga dikuatkan oleh beberapa Asar
sahabat Nabi Muhammmad SAW diantaranya sebagaimana di sampaikan
Umar ibn al-Khattab kepada Syuraih. "Putuskanlah (perkara itu) menurut
hukum yang ada dalam Kitab Allah. kalau tidak ada (dalam al-Qur'an), maka
putuskanlah sesuai hukum yang ada dalam Sunnah Rasulullah SAW. Kalau
tidak ada (dalam Sunnah Rasulullah SAW), putuskanlah berdasarkan hukum
yang telah disepakati oleh (ummat) manusia. Dalam riwayat lain;
"Putuskanlah menurut hukum yang telah ditetapkan oleh orang-orang saleh."
Dasar lain, sebagaimana yang dikatakan Ibn Mas'ud: "Siapa yang ditanya
tentang (hukum) suatu masalah, seyogianya ia memberikan fatwa berdasarkan
hukum yang ada dalam Kitab Allah. Kalau tidak ada (dalarn al-Qur'an), maka
berfatwalah menurut hukum yang ada dalam Sunnah Rasulullah SAW. Dan
kalau tidak ada (dalam hadits), hendaklah berfatwa menurut hukum yang telah
disepakati oleh umat manusia (umat Islam). Objek Ijma' ialah sernua
peristiwa atau kejadian yang tidak ditemukan dasarnya dalarn al-Qur'an dan
Sunnah atau peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu
mahdah (ibadat yang tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT), bidang
mu'amalah, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan
dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasamya dalam alQur'an dan alHadits. Ijma' ditinjau dari cara terjadinya, menurut ahli ushul fiqh dibagi
menjadi dua, yaitu Ijma' Bayani (disebut juga dengan sebutan ljma' Qauli,
Ijma' Sharih atau ljma' haqiqi); yaitu kemufakatan yang dinyatakan atau
diucapkan oleh mujtahidin, termasuk dalam kategori ini tulisan mujtahidin
yang diakui oleh par'a mujtahidin lainnya dan ljma' Sukuti disebut juga
dengan Ijmu' itibari, yaitu kebulatan yang dianggap ada apabila seseorang
mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan diketahui oleh mujtahid lainnya,
akan tetapi mereka tidak menyatakan persetujuan atau bantahannya
(Muhammad Amin, 2001).
Sedangkan Abdu al-Rahman dalam bukunya Shari'ah The Islamic
menambahkan pembagian tersebut dengan Ijma' Fi'il, yaitu kesepakatan para
mujtahid dengan melakukan tindakan yang tidak dinyatakan bantahan atau
persetujuan terhadap tindakan tersebut (Muhammad Amin, 2001).
Ibn Taimiyyah membagi Ijma' menjadi dua macam, yaitu ljma' Qat'ii dan
Ijma Zanni. ljma Qat'i ialah ljma' yang dinukilkan secara mutawatir baik
ucapan maupun perbuatan atau Ijma' yang sudah dipastikan tidak ada yang
menyalahkan dan keberadaannya disandarkan kepada nash-Qur'an dan Hadits.
Sedangkan ijma' Zanni ialah Ijma' yang belum atau tidak dapat dipastikan
ketiadaan pendapat yang menyalah Ijma' tersebut (Ijma' ini juga biasa
dinamakan Ijma' Iqrari atau Ijma' Istiqro'i). Adapun kriteria Ijma' menurut
sebagian ulama ushul adalah :
1. Kesepakatan sekelompok fuqaha/ulama;
2. Pada kurun waktu tertentu; dan
3. Di ruang lingkup suatu wilayah atau kawasan tertentu pula. Dengan
penjelasan diatas, maka sebenarnya Ijma' sangat efektif untuk:
1) Menjadi asas Itjihad Jama'i (Ijtihad kolektif);
2) Melandasi penemuan serta pengembangan hukum kontekstual menurut
kondisi ruang dan waktu. Dari sini lebih jelas tampak bahwa hukum
Islam memiliki sifat kelenturan (elastisitas dan fleksibelitas).
D. QIYAS
Qiyas secara etimologi berarti "ukuran", "mengetaui ukuran sesuatu",
"membandingkan" atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Adapun
pengertian Qiyas secara terminologis, menurut Hanafi, Qiyas ialah
"mempersamakan hukum suatu perkara yang belum ada ketentuan hukumnya
dengan perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi
persamaan alam antara keduanya yang disebut illat." Dan menurut Abdul
Wahaf Khallaf , Qiyas ialah "menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat
BAB 2
METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM
tentang
melangkah kepada persoalan lebih lanjut. Dalil, yang secara sederhana berarti
sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada yang dicari, dalam literatur ilmu
ushl al-fiqh, didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat menyampaikan kepada
informasi yang dicari dengan menggunakan penalaran yang benar, atau sesuatu
yang dapat menyampaikan kepada pengetahuan yang pasti tentang informasi yang
dicari. Dua rumusan ini mengandung makna yang sama, tetapi yang pertama
penekanan berlanjut kepada proses, sedangkan yang kedua kepada status.
Sebagian ahli memandang, petunjuk hukum yang mengandung kepastian disebut
dalil, sedangkan yang hanya dugaan kuat disebut amrah. Sementara itu
mayoritas ahli hukum lslam berpendapat bahwa istilah dalil itu sendiri telah
mencakup dua kemungkinan tersebut, sehingga eksistensi dan kualitas dalil
terbagi kepada qath dan zhann, bukan kepada dalil dan amrah.
Selain istilah dalil, petunjuk adanya hukum juga ada istilah mashdar (plural:
mashdir) dan ashl (plural: ushl). Apakah ketiga istilah ini sama atau berbeda
secara signifikan? Bagi Khallf ketiga istilah itu adalah lafaz yang bersinonim.
Lebih
lanjut,
berdasarkan
pengakuan
para
ahli
hukum
Islam,
ia
mashdar dan dalil ini dapat disimpulkan dalam suatu proposisi singkat sebagai
berikut: Setiap mashdar adalah dalil dan tidaklah setiap dalil disebut mashdar.
Mengenai istilah ashl (plural: ushl) menurut para ahli hukum Islam identik
dengan dalil (Muhammad Syah, 1992).
Sejalan dengan hal di atas, istilah-istilah yang digunakan al-Sythib dalam
membicarakan masalah petunjuk hukum ini, pada prinsipnya tidak berbeda dari
para ahli hukum Islam lain. la menggunakan istilah al-adillah al-syariyah
(petunjuk-petunjuk syara), ushl asy-syariah (dasar-dasar syara), mawrid alsyarah (tempat-tempat asal datangnya syara), mashdir al-hukm (sumbersumber hukum), mawrid al-hukm (tempat-tempat asal datangnya hukum), dan
syawhid al-hukm (bukti-bukti hukum) untuk makna yang sama (Muhammad
Syah, 1992).
Kendatipun demikian, Ia tidak berusaha untuk memberikan perbedaan makna
masing-masing istilah mashdar, dalil dan amrah tersebut. Tidak ada informasi
jelas alasannya, tetapi gagasan kesatuan dasar syarah yang dikemukakan
tampaknya dapat dipertimbangkan. Artinya, dasar-dasar syarah, baik yang
manqlah atau maqlah haruslah dilakukan secara bersama-sama dalam
penetapan hukum Islam, sehingga upaya untuk membedakan istilah-istilah
tersebut, dalam pandangannya, dianggap tidak perlu. Dalam upaya memahami
konsep dalil menurut al-Sythib secara utuh, saya terlebih dahulu akan mengutip
ungkapannya, sebagai berikut: Dalil-dalil syara itu ada dua kelompok: Pertama,
kembali kepada naql semata-mata. Kedua, kembali kepada al-ra`y semata-mata.
Pengelompokkan ini, hanya dipandang dari segi sumber munculnya dalil. Sebab,
masing-masing dua kelompok dalil tersebut saling membutuhkan satu sama lain.
Karena
penggunaan
dalil
manqlt
mestilah
membutuhkan
pemikiran,
sebagaimana pemikiran tidak akan diakui oleh syara kecuali apabila disandarkan
kepada naql. Adapun kelompok pertama adalah al-Kitb dan al-Sunnah.
Sedangkan kelompok kedua adalah al-qiys dan al-istidll.
Dari pernyataan di atas, ada beberapa hal yang dapat dipahami. Pertama, dari
segi asal datangnya, dalil itu ada yang bersumber dari wahyu Tuhan yang
disebutnya dalil naql, dan ada yang bersumber dari manusia, yang disebutnya
dalil aql. Kedua, tetapi dalam penerapannya dua macam dalil itu tidak dapat
dipisahkan. Sebab, penggunaan dalil naql memerlukan pemikiran dan dalil aql
tidak dapat dipegangi tanpa berlandaskan dalil naql, baik partikular maupun
universal. Ketiga, dalil-dalil hukum yang bersumber dari wahyu adalah Alquran
dan Sunnah. Sedangkan dalil-dalil yang bersumber dari akal adalah al-qiys dan
al-istidll. Mengenai dalil aql dan al-Istidll ini akan diuraikan dalam bahasan
mendatang.
Berkaitan dengan klasifikasi dalil hukum, al-Sythib selanjutnya menyatakan
bahwa ada beberapa dalil yang dapat dikategorikan kepada masing-masing dalil
naql dan aql tersebut, baik yang disepakati mayoritas ulama, maupun tidak.
Dalil-dalil yang dapat dikategorikan kepada naql adalah ijm yang berlandaskan
Alquran dan Sunnah, mahab shahab dan syaru man qablan (syarah umat
sebelum kita).39 Al-Sythib memasukkan ijm, mahab shahab dan syaru man
qablan dalam kategori dalil naql, yang tidak sederet dengan istihsn,
mashlahah mursalah dan urf seperti yang diklasifikasikan oleh jumhur ulama.
Tidak ada uraian argumentatif yang jelas mengapa ia berpandangan seperti itu.
Dugaan kuat saya, alasannya adalah sebagai berikut: Untuk ijm, tampaknya
karena statusnya yang telah disepakati oleh para ulama periode mutaqaddimun,
sehingga dianggap valid untuk dijadikan referensi sebagai landasan hukum, bukan
melihat aspek proses pembentukannya. Perlu dikemukakan bahwa al-Sythib
memberikan interpretasi ijm berangkat dari gagasannya tentang kesatuan dasardasar syarah, yang karena itu berbeda dari para ahli hukum Islam lainnya. Ia
mencoba mengkritisi pandangan yang menyatakan bahwa ijm dapat terwujud
dengan hanya bersandar kepada satu dalil saja. Menurutnya, kalau ijm hanya
disandarkan kepada satu dalil tertentu, maka wajiblah memverifikasinya kembali
dengan melakukan kajian ulang, sekalipun telah menjadi rujukan para pendukung
ijm.
Dengan demikian, baginya ada kemungkinan hukum yang telah dianggap
ijm oleh para ulama, sebenarnya tidaklah demikian, karena hanya didasarkan
pada satu dalil saja. Sekalipun dalam hal ini ia tidak memberikan contoh konkrit,
namun pemikiran tersebut memiliki arti penting sebagai upaya mewujudkan
kepastian dalil dalam bentuk kolektif, seperti akan terlihat dalam bab selanjutnya.
Mengenai alasan memasukkan mahab shahab ke dalam kategori dali
26disampaikan mereka adalah ajaran Nabi. Ini terlihat dari analisis tentang qaul
shahb sebagai bagian dari sunnah, seperti uraian mendatang. Para ahli hukum
Islam telah membagi tiga bentuk mahab shahab. Pertama, mahab shahab yang
bukan berdasarkan pemikiran semata-mata, tetapi berdasarkan apa yang telah
didengarnya dari Rasul. Bentuk ini, apabila benar-benar sanadnya dapat dilacak,
telah disepakati kehujjahannya. Kedua, mahab shahb yang tidak ditemukan
adanya
sahabat
lain
yang
menentangnya.
Bentuk ini
juga
disepakati
kehujjahannya oleh para ulama ushl al-fiqh dan dianggap sebagai ijm sahabat.
Ketiga, mahab shahab yang hanya berdasarkan pemikiran atau merupakan hasil
ijtihad mereka dan terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat sendiri.
Kehujjahan mahab shahab dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama.
Malik, asy-Syfi dalam qaul qadim dan Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa
mahab shahab adalah hujjah hukum, baik sejalan dengan qiys atau tidak. Ab
Hanfah telah mengapresiasi qaul shahab yang diinginkannya dan tidak mau
beralih kepada selain pendapat sahabat, manakala penyelesaian suatu perkara
tidak ditemukannya dalam Alquran dan Sunnah. Mayoritas Asyariyah, Mutazilah,
Imam Syfi dalam qaul jaddnya, Ab al-Hasan al-Karkh dari golongan
Hanafiyah berpendapat bahwa mahab shahab tidak dapat dijadikan hujjah
hukum, karena diantara para sahabat sendiri sering terjadi perbedaan pendapat
dalam suatu masalah hukum. Menurut mereka, dalam hal tidak ada nash hukum
dari Alquran, Sunnah atau ijm. maka hendaklah dilakukan qiys atau ijtihad.
Apabila pandangan al-Sythib di atas diproyeksikan kepada klasifikasi qaul
shahab yang dirumuskan para ahli hukum Islam kebanyakan, maka dapat
dipahami bahwa jika yang dimaksudkannya adalah berdasarkan as-sama
(mendengarkan dan menyampaikan ajaran Nabi), maka pendapatnya ini tidak
berbeda dari pendapat ahli hukum kebanyakan. Tetapi, apabila yang
dimaksudkannya adalah selain itu, umpamanya qaul shahab yang hanya
berdasarkan ijtihadnya, maka pendapat tersebut tidak dapat dipertahankan.
Berikut, alasan syaru man qablan masuk dalam katagori dalil naql, tampaknya
karena ia telah tercantum di dalam Alquran. Para ahli hukum Islam merumuskan
bahwa syaru man qablan adalah segala apa yang diriwayatkan kepada kita
tentang hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah Swt. Kepada umat terdahulu
melalui Nabi-Nabi-Nya, seperti Nabi Ibrhm, Ms dan s.
Dalam klasifikasi mereka, ada tiga bentuk syaru man qablan, yaitu:
Pertama, Alquran atau had menerangkan syarah umat sebelum kita, kemudian
ditetapkan juga sebagai syarah kita. Syaru man qablana dalam bentuk ini tidak
diperselisihkan oleh para ulama tentang kehujjahannya. Kedua, Alquran atau
had menerangkan syarah umat sebelum kita, kemudian dibatalkannya. Para
ahli hukum Islam telah sepakat bahwa syaru man qablan dalam bentuk ini
bukan syarah kita Ketiga, Alquran atau Sunnah menerangkan syarah umat
sebelum kita, tetapi tidak ada penjelasan dari keduanya apakah syarah itu
diberlakukan juga kepada kita atau telah dibatalkan.
Berbeda dari dua bentuk pertama, dalam menyikapi syaru man qablan
bentuk ketiga ini, terjadi perbedaan pendapat ulama. Mayoritas ulama Hanafiyah,
sebagian Mlikiyah dan ulama Syfiiyah memandangnya sebagai syarah kita
juga. Argumentasi yang dikemukakan adalah karena hukum itu adalah syarah
Tuhan dan tidak ada keterangan yang membatalkannya. Ulama Hanafiyah, atas
dasar ini, berpendapat bahwa orang Islam yang membunuh kafir imm atau lakilaki yang membunuh perempuan harus dihukum qishsh sebagaimana hukum
yang telah disyarahkan oleh Allh terhadap Ban Isrl.
Sebagian ulama berpendapat bahwa syaru man qablan dalam bentuk ketiga ini
tidak diberlakukan kepada kita atau bukan menjadi syarah kita. Argumentasi
yang dikemukakan adalah karena syarah kita telah membatalkan syarah umat
sebelum kita secara umum, kecuali ada dalil yang menetapkannya bahwa ia juga
menjadi syarah kita. Apabila yang dimaksudkan al-Sythib di atas adalah
syaru man qablan yang ada penjelasan dari Alquran dan Sunnah bahwa ia
adalah syarah kita juga atau ada penjelasan bahwa ia bukan syarah kita, seperti
rumusan ahli hukum Islam kebanyakan, maka pandangan al-Sythib ini tidak
berbeda dari pendapat mereka. Tetapi apabila yang dimaksudkan adalah selain
dari itu, maka pengkategorian al-Sythib kepada dalil naql harus dipertanyakan.
Sehubungan dengan ini, Alll al-Fs (W. 1973 M.) menyatakan bahwa menurut
al-Sythib, selama tidak ada penambahan atau penyelewengan, syaru man
qablan adalah benar dan kalaupun ada sebahagian yang menolaknya, bukan dari
segi eksistensi aslinya, tetapi disebabkan faktor luar, yakni telah terjadi perubahan
(UIN Raden Patah, 2013).
BAB III
MANHAJ IJTIHAD HUKUM TARJIH MUHAMMADIYAH
Untuk menyamakan persepsi tentang beberapa istilah teknis yang digunakan
dalam Manhaj Tarjih ini, perlu dijelaskan pengertian-pengertian umum tentang
istilah-istilah
sebagai berikut (UIN Raden Patah, 2013):
1. Ijtih : Mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan
merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawwuf,
maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.
2. Maqshid asy-Syarah: Tujuan ditetapkan hukum dalam Islam, adalah untuk
memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadah,
yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan tersebut
dicapai melalui penetapan hukum yang pelaksanaannya tergantung pada
pemahaman sumber hukum (al-Quran dan as-Sunnah).
3. Ittib: Mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui
dalil
dan
ulama
tanpa
mengetahui
dalil
dan
BAB IV
MANHAJ PENGEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAMTARJIH
MUHAMMADIYAH
Pemikiran keislaman dibangun dan dikembangkan beradasarkan anggapan
dasar atau paradigma tertentu. Di atas asumsi inilah berbagai perspektif dan
metodologi pemikiran keislaman ditegakkan. Demikian pula asumsi dasar penting
bagi Muhammadiyah sebagai fondasi bagi pengembangan pemikiran keislaman
untuk praksis sosial. Karena itu, pembahasan asumsi mengenai hakikat pandangan
keagamaan posisi Islam dan pemikiran Islam, sumber, fungsi dan metodologi
pemikiran Islam sangat signifikan untuk menentukan cara kerja epistemology
pemikiran keislaman, baik pendekatan maupun metode yang dipergunakan (UIN
Raden Patah, 2013).
Posisi Islam dan Pemikiran Islam. Membedakan antara Islam dan Pemikiran
Islam sangat penting di sini. Pemikiran Islam bukanlah wilayah yang terbebas dari
intervensi historisitas (kepentingan) kemanusiaan. Kita mengenal perubahan
dalam pemikiran Islam sejalan dengan perbedaan ruang dan waktu. Pemikiran
Islam tidak bercita-cita untuk mencampuri nash-nash wahyu yang tidak berubah
(al-nushsh al-mutanhiyah) melalui tindakan pengubahan baik penambahan dan
pengurangan atau bahkan penghapusan. Bagaimanapun kita sepakat bahwa Islam
(obyektif) sebagai wahyu adalah petunjuk universal bagi umat manusia.
Pemikiran Islam juga tidak diarahkan untuk mengkaji Islam subyektif yang ada
dalam kesadaran atau keimanan setiap para pemeluknya. Karena dalam wilayah
ini, Allah secara jelas menyatakan kebebasan bagi manusia untuk iman atau kufur,
untuk Muslim atau bukan (freedom of religion; QS. al-Baqarah: 256; al-Kafirun:
1-6).
Pemikiran Islam lebih diarahkan untuk mengkaji dan menelaah persoalanpersoalan dalam realitas keseharian umat Muslim yang lekang dan lapuk oleh
ruang dan waktu (al-waqai ghairu mutanahiyah). Dengan meletakkan Islam
dalam al-tajdd wa al-ibtikar, setiap Muslim tidak perlu lagi khawatir bahwa
pembaharuan ekspresi, interpretasi dan pemaknaan Islam yang ditawarkan kepada
komunitas dalam locus dan tempus tertentu, tidak memiliki pretensi untuk
mengganggu apalagi merusak Islam sebagai wahyu ataupun keimanan secara
langsung ataupun tidak. At-tajdd wa al-ibtikr merupakan program pembaharuan
terencana dan terstruktur yang diletakkan di atas bangunan refleksi normativitas
dan historisitas dan aplikasinya pada realitas kehidupan nyata Islam dalam
konteks sosial-kemasyarakatan dalam arti luas. Dengan program ini pula
dimaksudkan agar Islam benar-benar menjadi rahmatan lillamn; sebuah proses
menafsirkan universalitas Islam melalui kemampuan membumikannya pada
wilayah-wilayah partikularitas dengan segala keunikannya. Ini berarti pula bahwa
pemikiran Islam menerima kontribusi dari semua lapisan baik dalam masyarakat
Muslim (insider) maupun non-Muslim (outsider)
Sumber
Pemikiran
Islam.
Setiap
disiplin
keilmuan
dibangun
dan
al-mutanahiyah)
yang
dipandu
oleh
perubahan-perubahan
dan
Dengan
memperhatikan
perubahan
(ats-tsabat
tuntutan-tuntutan
wa at-taghayyur)
perkembangan,
dalam
realitas
berarti bahwa semua tradisi ditinggalkan, tetapi patut dipahami sebagai upaya
modifikasi tradisi pemikiran Islam dalam ukuran tertentu sesuai dengan problem
sosial yang ada; dan atau merubah secara total tradisi dengan sesuatu yang sama
sekali baru. Yang pertama dalam rangka menjaga kontinuitas dalam pemikiran
keislaman atau melakukan pengembangan, sementara yang kedua adalah untuk
memproduksi pemikiran keislaman yang sama sekali baru. Perubahan paradigma
mengandaikan metodologi pendekatan dan metode baru untuk merespon
problem-problem di atas sekaligus aplikasinya dalam praksis sosial. Dengan
demikian, pemikiran Islam berpegang pada adagium al-muhafazhatu ala al-qadm
ash-shalimaa al-akhdz bi al-jadad al-ashla. Dengan rekayasa epistemologis
semacam ini, terbuka kesempatan bagi munculnya wacana keislaman dalam
Muhammadiyah dengan karakteristik antara lain: produktif atau bukan sekedar
pengulangan tradisi lama untuk memecahkan masalah baru; fleksibel dalam arti
pemikiran keislaman termodifikasi secara luwes, tidak kaku dan terbuka atas
kritik dan pengembangan; imaginatif dalam arti membuka horizon pemahaman
dan pendalaman baru melalui iktisaf; kreatif dalam melahirkan wilayah-wilayah
baru (yang selama ini tak terpikirkan dan belum terpikirkan) untuk
dipikirkan; dan akibatnya wacana keislaman kontemporer benar-benar berada
dalam pergumulan sejarah yang efektif (effective history) dan tidak ahistoris (UIN
Raden Patah, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Cetakan IX, al-Majelis al-Aala alIndonesy li al-Adwat al-Islamiyyah, Jakarta: 1972. Abd al-Rahman, Shariah
The Islamic Law, Cetakan I, PT. Rineka Cipta, Jakarta: 1993.
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Cetakan VI, Bulan Bintang,
Jakarta: 1991. Al-Din al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Quran, Jilid I, Dar alFikr, Beirut-Libanon: tt.
Dahlan Idhamy, Karakteristik Hukum Islam, Al-Ikhlas, Surabaya: 1985. Ismail
Manna Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Quran, Mansyurat al-Ashar alHadist, Riyadh: 1393 H/1973 M
Muhammad Abu Zahroh, Ushul al-Fiqh, Alihbahasa Saefullah Mashum dkk .,
Cetakan VII, Pustaka Firdaus, Jakarta: 2002.
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, Jilid I, Cetakan I, Pustaka
Firdaus, Jakarta: 2000.
Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Cetakan II, Bumi Aksara, Jakarta: 1992.
Suparman Usman, Hukum Islam, Cetakan I, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2001.
UIN Raden Patah, Metode Penetapan Hukum Islam Menurut Syathibi,
Palembang: 2013