Anda di halaman 1dari 27

TUGAS PAI

HUKUM ISLAM

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2015

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah Yang Maha Kuasa, yang selalu memberikan
karunia kepada kita semua setiap saat, maka sangatlah tak pantas jika kita kufur
nikmat, dan atas ridloNya lah karya ilmiah ini dapat disusun dengan maksimal.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas PAI tahun jaran 2014/2015,
makalah ini juga dimaksudkan sebagai salah satu cara penyaluran minat dan bakat
penyusun sehingga dapat meningkatkan kemampuan seputar dunia penelitian.
Makalah ini merupakan suatu makalah yang berisi mengenai hukum islam
disertai dengan dasar-dasar penetapan hukum islam, sumber-sumber hukum islam
dan tarjih muhammadiyah.
Penyusun mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah memberikan banyak kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini, semoga
mendapat pahala dari Allah SWT. Penyusun menyadari bahwa karya ilmiah ini
masih jauh dari sempurna, maka dari itu kritik dan saran kami perlukan untuk
kesempurnaan karya ini, serta penyusu memohon maaf yang setulus-tulusnya.
Semoga bermanfaat bagi kita semua, khususnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Purwokerto, 8 Oktober 2015
Penyusun

TIM PENYUSUN

BAB I

DASAR-DASAR DAN SUMBER HUKUM ISLAM


A. AL-QURAN
Al-Quran menurut sebagian ahli, diantaranya al-Syafii (150-204 H/67820 M), al-Farra (207 H/823 M), dan al-Asyari (206-324 H/873-935 M),
bahwa kata alQuran ditulis dibaca tanpa hamzah. Sedangkan menurut
sebagian yang lain, seperti al-Lihyani (w. 215 H/831 M) dan al-Zajjaj (w. 311
H/298 M), bahwa kata Quran sewazan (sepadan) dengan fulan, dan
karenanya harus dibaca dan ditulis ber-hamzah. Meskipun dalam qiraat ada
yang membacanya dengan Quran tanpa hamzah- itu semata-mata karena
pertimbangan teknis yang lazim disebut dengan istilah li-al-takhfif (untuk
meringankan bacaan), yaitu dengan mengalihkan harakat hamzah (fathah)
kepada huruf yang sebelumnya (ra) yang sukun. Seperti halnya perbedaan para
pakar bahasa Arab mengenai tulisan dan bacaan al-Quran, mereka juga
berbeda persepsi tentang asal-usul kata al-Quran. Ada yang menyatakan
bahwa al-Quran adalah ism alam (kata nama) yang tidak diambil dari kata
apapun. Menurut al-Syafii, kata al-Quran yang kemudian dimarifat-kan
dengan alif lam tidak diambil dari kata apapun, mengingat alQuran adalah
nama khusus yang diberikan Allah SWT. untuk nama Kitab-Nya yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Semisal Zabur bagi Nabi Daud,
Taurat bagi Nabi Musa, dan Injil bagi Nabi Isa (Abdul Wahab, 1993).
Pendapat lain, bahwa kata Quran yang kemudian di-marifat-kan dengan
alif lam itu adalah ism musytaq (kata jadian) yang diambil dari kata lain.
Hanya saja, mereka berlainan pendirian mengenai kepastian asal kata alQuran tersebut. Ada pula yang mengatakan diambil dari kata qarain jama
dari kata qarinah, yang berarti indikator, juga ada yang menduga berasal dari
kata qarana dan al-qaru/al-qaryu, yang masing berarti menggabungkakn dan
kumpulan/himpunan yang juga bermakna kampung (kumpulan rumah-rumah).
Para ahli ilmu-ilmu al-Quran pada umumnya berasumsi bahwa kata Quran
berasal dari kata qaraa yaqrau qiraatan - wa quranan, yang secara
harfiah berarti bacaan. Kata Quran sebanding dengan kata fulan.
Hal ini sesuai dengan Firman Allah Swt. dalam surat al-Qiyamah: 17-18
yang artinya:

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu)


dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.
Arti al-Quran secara terminologis ditemukan dalam beberapa perumusan.
Menurut Syaltut, lafadz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw. yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir. Menurut Syaukani,
kalam Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang
tertulis dalam bentuk mushaf, dinukilkan secara mutawatir (Abdul Wahab,
1993).
Sedangkan menurut Abu Zahroh, kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad. Dengan menganalisa dan membandingkan definisi satu dengan
definisi yang lain tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa al-Quran
secara terminologis ialah lafadz yang berbahasa Arab yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw. yang dinukilkan secara mutawatir. Sedangkan
menurut sebagian besar ulama ushul fiqh, al-Quran adalah: Kalam Allah
Swt. yang (memiliki) mukjizat, diturunkan kepada penutup para Nabi dan
Rasul melalui perantara malaikat Jibril, yang dinukilkan kepada generasi
sesudahnya secara mutawatir, ditulis dalam masahif, membacanya merupakan
ibadah, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nash.
Dari beberapa tarif al-Quran tersebut, maka ia mengandung beberapa
unsur pokok yang menjelaskan hakikat dari al-Quran itu:
1. Al-Quran itu berbentuk lafadz yang mengandung arti bahwa lafadz
tersebut sampai kepada kita sesuai dengan apa yang disampaikan Allah
Swt. melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. Sedangkan apa
yang dari Allah Swt. melalui malaikat Jibril, namun dilafadzkan oleh Nabi
Saw. sendiri tidaklah disebut al-Quran (seperti Hadist Qudsi);
2. Al-Quran itu berbahasa Arab yang berarti jika dialihbahasakan kedalam
bahasa lainnya bukanlah al-Quran;
3. Al-Quran itu diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang
mengandung arti bahwa wahyu Allah Swt. yang disampaikan kepada nabinabi terdahulu tidaklah disebut al-Quran. Sebaliknya apa-apa yang
dihikayatkan dalam alQuran tentang kehidupan dan syariat yang berlaku
bagi umat terdahulu adalah al-Quran (Abdul Wahab, 1993).
4. Al-Quran dinukilkan secara mutawatir yang mengandung arti bahwa
ayatayat al-Quran tidak diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw.

sekaligus berupa satu kesatuan mushaf, namun dinukilkan sesuai dengan


situasi dan kondisi tertentu. Al-Quran yang diturunkan secara berangsurangsur selama sekitar 23 tahun, dimana 13 tahun diturunkan di Makkah
sebelum Nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah dan 10 tahun
diturunkan di Madinah setelah Nabi hijrahnya ke Madinah atau dalam
masa 22 tahun, 2 bulan, dan 22 hari. Ciri-ciri khas yang menonjol
mengenai isi pada masing-masing tempat turunnya al-Quran antara lain
(Ahmad Hanafi, 1991):
1) Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya pendek-pendek, sedangkan ayatayat Madaniyyah panjang-panjang. Banyaknya surat Madaniyyah
sekitar 11/30 dari isi al-Quran, sedangkan surat Makkiyah sekitar
19/30 dari isi alQuran;
2) Dalam surat-surat Madaniyyah lazimnya terdapat perkataan ya
ayyuhalladzinaamanu dan sedikit sekali terdapat perkataan ya
ayyuhannas,

sedangkan

dalam

surat-surat

Makkiyah

malah

sebaliknya;
3) Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya mengandung hal-hal yang
berhubungan dengan masalah keimanan, ancaman dan pahala, kisahkisah umat yang terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi
pekerti. Sedangkan ayatayat Madaniyyah mengandung hukum-hukum,
seperti hukum kemasyarakatan, hukum ketatanegaraan, dan lainnya;15
dan ;
4) Al-Quran adalah syariat Islam yang bersifat menyeluruh. Ia
merupakan sumber dan rujukan yang pertama bagi syariat, karena
didalamnya terdapat kaidah-kaidah yang bersifat global yang perlu
dijelaskan dengan sunnah dan metode pengambilan istinbat hukum
Menurut Ibn Hazm bahwa setiap bab dalam fiqh pasti mempunyai
landasan dalam al-Quran yang dijelaskan oleh al-Sunnah.16 Hal ini
sebagaimana firman Allah Swt. QS : 38, yang artinya: ... Tiadalah
Kami lupakan sesuatupun di dalam al-Kitab.... Kandungan isi alQuran sebagai sumber hukum antara lain:
(1).Ajaran-ajaran (konsepsi) mengenai kepercayaan (aqidah) yang
fokusnya adalah tauhid (monotheisme) dan sistem pengaturan
hubungan antara Khaliq dan Makhluk (manusia);

(2).Berita (riwayat) tentang keadaan umat manusia sebelum Nabi


Muhammad Saw. menjadi Rasulullah, baik mengenai umat yang
beriman dan yang tidak, beserta ganjaran hikmah yang
didapatkannya;
(3).Berita yang menggambarkan apa yang akan terjadi pada masa
mendatang, terutama pada kehidupan akhirat; dan
(4).Peraturan-peraturan kemanusiaan, dalam hal ini adalah hubungan
interaksinya selaku makhluk individu maupun sosial
B. AL-SUNAH
Al-Sunnah adalah sumber pokok hukum Islam kedua setelah al-Quran.
Kata Sunnah secara etimologis berarti yang biasa dilakukan.17 Sunnah
dalam istilah ulama ushul adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW., baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun
pengakuan Nabi SAW. Sedangkan sunnah menurut ulama fiqh adalah sifat
hukum bagi perbuatan yang dituntut perbuatannya dalam bentuk tuntutan yang
tidak pasti dengan pengertian diberi pahala bagi orang yang melaksanakannya
dan tidak berdosa bagi orang yang meninggalkannya (Ahmad Hanafi, 1991).
Perbedaan ahli ushul dengan ahli fiqh dalam pemberian istilah pada
sunnah sebagaimana disebutkan di atas karena perbedaan dalam segi sudut
pandang. Ulama ushul menempatkan sunnah sebagai salah satu sumber atau
dalil hukum syar'i. Untuk maksud tersebut, mereka mengatakan bahwa
hukum itu ditetapkan dengan sunnah. Sedangkan ahli fiqh menempatkannya
sebagai salah satu hukum syara yang lima, yang mungkin berlaku terhadap
suatu perbuatan. Untuk maksud tersebut, mereka mengatakan bahwa
perbuatan ini hukumnya adalah sunnah. Dalam pengertian ini sunnah adalah
hukum dan bukan dalil hukum. Berhujah terhadap Sunnah ini sesuai dengan
dengan perintah Allah SWT dalam al-Quran (3): 32 dan (4): 80, yang artinya
Katakanlah, taatlah engkau sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya...
Siapa yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah
Sebagaimana pengertian yang telah diungkapkan diatas, maka dari segi
materinya, Sunnah menurut pengertian ahli ushul terbagi menjadi 3 (tiga)
macam:
1. Sunnah Qauliyah, yaitu ucapan Rasulullah SAW yang didengar oleh
sahabat beliau dan disampaikannya kepada orang lain. Contohnya, sahabat

berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Menuntut Ilmu itu wajib bagi
muslim laki-laki dan perempuan.
2. Sunnah Filiyah, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
yang dilihat atau diketahui oleh sahabat kemudian disampaikannya kepada
orang lain. Contohnya, Sahabat berkata: Saya melihat Rasulullah SAW
melakukan sholat sunnat dua rakaat sesudah shalat dzuhur.
3. Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan atau
sepengetahuan Rasulullah SAW. tetapi tidak dicegah oleh Rasulullah
SAW. Diamnya Rasulullah SAW tersebut disampaikan sahabat kepada
yang lainnya. Umpamanya seorang sahabat memakan daging dab
dihadapan Rasulullah SAW., sehingga Rasulullah SAW mengetahui apa
yang dimakan sahabatnya tersebut, tetapi Rasulullah SAW tidak
melarangnya. Kisah tersebut disampaikan sahabat kepada lainnya dengan
ucapan: Saya melihat seorang sahabat memakan dab di dekat Nabi, Nabi
mengetahui tetapi Nabi tidak melarangnya. Sunah merupakan sumber
kedua setelah al-Quran, karena Sunnah merupakan penjelasan dari alQuran, maka yang dijelaskan berkedudukan lebih tinggi daripada yang
menjelaskan (Ahmad Hanafi, 1993).
Kedudukan Sunnah terhadap al-Quran sekurang-kurangnnya ada tiga hal
sebagaimana berikut (Dahlan Idami, 1981):
1. Sunnah sebagai taqid (penguat) nash al-Quran. Dalam hal ini, Sunnah
memberi ketegasan hukum sesuai dengan ketegasan nash al-Quran,
sebagai contoh: Sunnah banyak yang menerangkan tentang kewajiban dan
keutamaan puasa, shalat dan sebagainya.
2. Sunnah sebagai bayanu tasyri (penjelas) nash al-Quran. Dalam hal ini
Sunnah berfungsi untuk menjelaskan secara praktis dari nash al-Quran,
sehingga menghindarkan dari kekeliruan dalam mengklaflikasikan apa
yang terkandung dalam al-Quran. Menurut Rachmat Syafei,20
penjelasan Sunnah terhadap al-Quran dapat dikategorikan menjadi tiga
bagian: (a) Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya
shalat dalam al-Quran tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat,
dan ketentuan lainnya. Maka hal ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW:
Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu telah melihat saya sholat.;

(b) Penguat secara mutlaq, Sunnah merupakan penguat terhadap dalildalil


umum yang ada dalam al-Quran; (c) Sunnah sebagai takhsis terhadap
dalil-dalil al-Quran yang masih umum.
3. Sebagai Musyari (Pembuat Syariat) Dalam hal ini terjadi perbedaan
pendapat diantara ulama;
1) Sunnah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam al-Quran; (b)
Sunnah tidak memuat hal-hal yang tidak ada dalam al-Quran, tetapi
hanya memuat hal-hal yang ada landasannya dalam alQuran. Ditinjau
dari segi periwayatannya, maka Sunnah dapat di bagi menjadi dua
macam, yaitu:
(1).Sunnah yang bersambung mata rantai parawinya (muttashil alsunnah);
(2).Sunnah yang tidak bersambung mata rantai parawinya (ghair
muttashil alsanad). Sunnah yang bersambung mata rantai
parawinya (muttashil al-sanad) jika dilihat dari segi jumlah
parawinya terbagi menjadi tiga macam, yaitu: Sunnah Mutawatir
ialah Sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW oleh
sekelompok parawi yang menurut kebiasaannya mereka ini tidak
mungkin bersepakat untuk berbohong. Hal ini disebabkan jumlah
mereka yang banyak dan diperoleh dari parawi terdahulu, yang
sifatnya juga demikian sehingga sampai sanadnya kepada
Rasulullah SAW.
2) Sunnah Masyhur ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW
oleh seseorang atau dua orang atau kelompok yang keadaannya tidak
sampai kepada tingkatan Mutawatir yang kemudian tersebar luas
sehingga diriwayatan oleh orang banyak yang tidak mungkin
bersepakat bohong. Sunnah atau hadist Masyur menurut Abu Hanifah
menunjukkan ilmu yang pasti (al-Ilm al-Yaqin) walaupun derajatnya
masih dibawah Sunnah Mutawatir, dan menurut mazhab ini pula,
Hadist

Masyur

dapat

berfungsi

memperkuat

ayat

al-Quran.

Sedangkan sebagian ahli fiqh menganggapnya sebagai dasar yang zhan


sebagaimana Hadits Ahad.
3) Sunnah Ahad atau khabar khasshah menurut Imam Syafii ialah setiap
hadits yang dirwayatkan dari Rasulullah SAW oleh seorang atau dua

orang yang belum mencapai tingkatan syarat hadits masyhur. Sunnah


Ahad memberi faidah ilmu yang pasti. Terhadap Sunnah ahad ini,
pengarangan kitab Kasyf al-Asrar berpendapat bahwa kemutthilannya
mengandung syubhat (keraguan), baik dari segi redaksi maupun
makna. Tentang kehujjahanya, para ulama berpendapat bahwa Sunnah
Ahad itu bisa dijadikan hujjah jika tidak ada dalil yang lain yang lebih
kuat, namun tidak dalam hal akidah, karena masalah akidah
memerlukan pada dasar yang pasti. Adapaun dengan Sunnah yang
tidak bersambungan mata rantai perawinya (ghair muttashil al-sanad)
kepada rasulullah SAW dinamakan oleh sebagian ulama dengan
sebutan Sunnah/Hadits Mursal, sedangkan sebagian ulama lain
menamakannya dengan hadits Munqathi. Dan hal penggunaannya
sebagai hujjah terjadi perbedaan pendapat; Imam Ahmad tidak
memakai hadits mursal ini sebagai hujjah kecuali tidak ditemukannya
hadits lain pada kasus tersebut. Imam Syafii juga tidak memakainya
kecuali apabila tabiin yang meriwayatkan hadits tersebut telah
tersohor dan banyak bertemu dengan kalangan sahabat. Adapun
dengan Imam Malik dan Abu Hanifah hadits mursal ini.
4) Dalam dunia keilmuan hadits, ditinjau dari segi matan, rawi dan
sanadnya, para ulama hadits membagi hadits dalam 57 tingkatan
diantaranya: Haddits Mutawatir, Hadits Masyur, Hadits Shahih, Hadits
Hasan, Hadits Shalih, Hadits Mudhaaf, Hadits Dhaif, Hadits
Musnad, Hadits Marfu, Hadits Mauquf, Hadits Mausul, Hadits Mursal,
Hadits Maqthu, Hadits Munqathi, dan Hadits Muadhdhal.
C. IJMA (KONSENSUS)
Ijma adalah kesepakatan para mujahid dari umat Islam atas hukum syara
(mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi Muhammad SAW
wafat. Pengertian lain dari Ijma sebagaimana diungkapkan oleh Abdul
Wahhab Khallaf, yaitu: Kesepakatan seluruh mujahid dari kalangan kaum
muslimin dalam salah satu kurun dari kurun-kurun yang banyak sesudah wafat
Rasulullah SAW terhadap suatu peristiwa hukum syara (Dahlan Idami,
1981). Adapun Ibn Taimiyyah memberi batasan pengertian ijma sebagaimana
berikut: Makna Ijma adalah kesepakatan ulama kaum muslimin mengenai

suatu hukum dari beberapa hukum." Ijma' merupakan sumber yang kuat dan
salah satu metode pengembangan Ijtihad untuk meneruskan dan menetapkan
hukum-hukum Islam. Jika sudah terjadi kemufakatan atas suatu hukum, maka
sudah barang tentu ada dalil (alasan) yang menjadi sandarannya, sebab tidak
masuk akal kalau para ulama umat Islam bersepakat atas sesuatu hukum tanpa
mempunyai dalil syara'. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullalt SAW:
"Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (H.R. Abu Daud
dan al-Turmudji) (Muhammad Abu 2002). Alasan menempatkan ijma sebagai
dasar hukum setelah al-Qur'an dan Sunnah juga dikuatkan oleh beberapa Asar
sahabat Nabi Muhammmad SAW diantaranya sebagaimana di sampaikan
Umar ibn al-Khattab kepada Syuraih. "Putuskanlah (perkara itu) menurut
hukum yang ada dalam Kitab Allah. kalau tidak ada (dalam al-Qur'an), maka
putuskanlah sesuai hukum yang ada dalam Sunnah Rasulullah SAW. Kalau
tidak ada (dalam Sunnah Rasulullah SAW), putuskanlah berdasarkan hukum
yang telah disepakati oleh (ummat) manusia. Dalam riwayat lain;
"Putuskanlah menurut hukum yang telah ditetapkan oleh orang-orang saleh."
Dasar lain, sebagaimana yang dikatakan Ibn Mas'ud: "Siapa yang ditanya
tentang (hukum) suatu masalah, seyogianya ia memberikan fatwa berdasarkan
hukum yang ada dalam Kitab Allah. Kalau tidak ada (dalarn al-Qur'an), maka
berfatwalah menurut hukum yang ada dalam Sunnah Rasulullah SAW. Dan
kalau tidak ada (dalam hadits), hendaklah berfatwa menurut hukum yang telah
disepakati oleh umat manusia (umat Islam). Objek Ijma' ialah sernua
peristiwa atau kejadian yang tidak ditemukan dasarnya dalarn al-Qur'an dan
Sunnah atau peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu
mahdah (ibadat yang tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT), bidang
mu'amalah, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan
dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasamya dalam alQur'an dan alHadits. Ijma' ditinjau dari cara terjadinya, menurut ahli ushul fiqh dibagi
menjadi dua, yaitu Ijma' Bayani (disebut juga dengan sebutan ljma' Qauli,
Ijma' Sharih atau ljma' haqiqi); yaitu kemufakatan yang dinyatakan atau
diucapkan oleh mujtahidin, termasuk dalam kategori ini tulisan mujtahidin
yang diakui oleh par'a mujtahidin lainnya dan ljma' Sukuti disebut juga

dengan Ijmu' itibari, yaitu kebulatan yang dianggap ada apabila seseorang
mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan diketahui oleh mujtahid lainnya,
akan tetapi mereka tidak menyatakan persetujuan atau bantahannya
(Muhammad Amin, 2001).
Sedangkan Abdu al-Rahman dalam bukunya Shari'ah The Islamic
menambahkan pembagian tersebut dengan Ijma' Fi'il, yaitu kesepakatan para
mujtahid dengan melakukan tindakan yang tidak dinyatakan bantahan atau
persetujuan terhadap tindakan tersebut (Muhammad Amin, 2001).
Ibn Taimiyyah membagi Ijma' menjadi dua macam, yaitu ljma' Qat'ii dan
Ijma Zanni. ljma Qat'i ialah ljma' yang dinukilkan secara mutawatir baik
ucapan maupun perbuatan atau Ijma' yang sudah dipastikan tidak ada yang
menyalahkan dan keberadaannya disandarkan kepada nash-Qur'an dan Hadits.
Sedangkan ijma' Zanni ialah Ijma' yang belum atau tidak dapat dipastikan
ketiadaan pendapat yang menyalah Ijma' tersebut (Ijma' ini juga biasa
dinamakan Ijma' Iqrari atau Ijma' Istiqro'i). Adapun kriteria Ijma' menurut
sebagian ulama ushul adalah :
1. Kesepakatan sekelompok fuqaha/ulama;
2. Pada kurun waktu tertentu; dan
3. Di ruang lingkup suatu wilayah atau kawasan tertentu pula. Dengan
penjelasan diatas, maka sebenarnya Ijma' sangat efektif untuk:
1) Menjadi asas Itjihad Jama'i (Ijtihad kolektif);
2) Melandasi penemuan serta pengembangan hukum kontekstual menurut
kondisi ruang dan waktu. Dari sini lebih jelas tampak bahwa hukum
Islam memiliki sifat kelenturan (elastisitas dan fleksibelitas).

D. QIYAS
Qiyas secara etimologi berarti "ukuran", "mengetaui ukuran sesuatu",
"membandingkan" atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Adapun
pengertian Qiyas secara terminologis, menurut Hanafi, Qiyas ialah
"mempersamakan hukum suatu perkara yang belum ada ketentuan hukumnya
dengan perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi
persamaan alam antara keduanya yang disebut illat." Dan menurut Abdul
Wahaf Khallaf , Qiyas ialah "menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat

ketentuan hukumnya dalam nash (al-Qur'an dan alsunah) dengan masalah


yang telah ada persamaan illat hukumnya." (Muhammad Syah, 1992)
Sesuai dengan ta'rif tersebut, apabila ada sesuatu yang hukumnya telah
ditetapkan oleh suatu peristiwa yang hukumnya telah diketahui menurut satu
cara mengetahui illat-illat hukum, kemudian didapat suatu peristiwa lain yang
hukumnya tidak ditetapkan oleh suatu nash, tetapi illat hukumnya sama
dengan illat hukum dari peristiwa yang sudah mempunyai sandaran nash
tersebut, maka hukum yang tidak nash tersebut disamakan dengan hukum
yang ada nashnya. Lantaran adanya persamaan illat hukum pada keduanya.
Dasar penetapan Qiyas sebagai sumber hukum, sebagaimana firman Allah
SWT. dalam al-Quran (59) : 2 yang artinya: "....Ambillah i'tibar wahai ahl
pikir...." Rosulullah SAW-pun sering mendidik para sahabat agar pandai
berijtihad dan menggunakan Qiyas, diantaranya sebagai berikut: "Dari Umar
ibn al-khatab, ia berkata; "Aku memeluk (istriku) dan kemudian aku
menciumnya, padahal aku sedang berpuasa. Kemudian aku menghadap
kepada Rosulullah SAW untuk bertanya; Sungguh aku telah melakukan
perbuatan yang luar biasa, (aku mencium istriku) padahal aku tengah
berpuasa." Rosulullah bertanya kepada Umar, "bagaimana pendapatmu jikalau
berkumur-kumur dengan air padahal engkau sedang berpuasa? Umar
menjawab; "menurut pendapat itu tidak mengapa (tidak membatalkan puasa).
"nabi-pun berkata,"Jika demikian, teruskan puasa." Adapun contoh dari Qiyas
adalah sebagaimana dipaparkan berikut sebagaimana dijelaskan dalam surat
al-Maidah ayat 90. "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman
khamatr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan." Pada ayat ini terdapat larangan
minuman khamar, karena khamar itu minuman keras yang memabukan.
Kemudian ditemukan nabidz (semacam minuman keras berasal dari perasan
anggur), karena nabidz itu sama memabukannya dengan khamar, maka
ditetapkanlah bahwa nabidz itu haram untuk diminum. Khamar dan nabidz
mempunyai illat yang sama yaitu memabukan. Adapun rukun Qiyas itu ada
empat, yaitu (Muhammad Syah, 1992) :

1. Ahad (pokok), yaitu masalah yang menjadi ukuran atau tempat


menyerupakan. Menurut fuqaha, ashl adalah suatu peristiwa yang sudah
ada nash-nya yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan. Sedangkan menurut
hukum teolog adalah suatu nash syara' yang menunjukkan ketentraman
hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl
dapat juga disebut dengan Maqis Alaih (yang dijadikan tempat mengqiyaskan). Dalam contoh diatas adalah khamar.
2. Far'u (cabang), yaitu masalah atau peristiwa yang tidak ada nash-nya Far'u
itulah yang hendak untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Far'u ini
dinamakan juga dengan Maqis (yang dianalogikan) dan Musyah (yang
diserupakan) dalam contoh diatas adalah nabidz.
3. Hukum ashl, yaitu hukum syara' yang ditetapkan oleh suatu ash. Dalam
hal diatas ialah hukum haram.
4. Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Illat menurut ahli ushul fiqh
ialah "mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nasnya
dengan hukum yang sudah ada nasnya lantaran adanya persamaan illat
hukumnya. Dalam contoh diatas ialah memabukan.

BAB 2
METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM

Metode penetapan hukum Islam, secara sederhana, dapat diartikan sebagai


cara-cara menetapkan, meneliti dan memahami aturan-aturan yang bersumber dari
nash-nash hukum untuk diaplikasikan dalam kehidupan manusia, baik
menyangkut individu maupun masyarakat. Metode ini terkandung dalam suatu
disiplin ilmu yang dikenal dengan ilmu ushl al-fiqh, yaitu pengetahuan yang
membahas

tentang

dalil-dalil hukum secara garis

besar (ijml), cara

pemanfaatannya dan keadaan orang vang memanfaatkannya, yakni mujtahid.


Melalui ilmu ini pengetahuan tentang hukum-hukum Islam dapat diwujudkan,
sehingga ilmu ushl al-fiqh diidentifikasi sebagai metodologi konvensional dalam
studi hukum Islam atau koleksi teori-teori hukum Islam. Pandangan senada juga
telah dikemukakan oleh Ab Zahrah dan Mushtaf Sad al-Khinn, bahwa ilmu
ushl al-fiqh adalah metode yang ditempuh oleh ahli hukum, yang berfungsi
sebagai kaidah-kaidah berpikir yang mesti diikuti supaya terhindar dari kesalahan
dalam penemuan hukum.
Dalam kitab-kitab ilmu ushl al-fiqh, wacana tentang metode penetapan
hukum Islam atau metode ijtihad selalu dikaitkan dengan dalil-dalil hukum. Oleh
karena itu, saya memandang perlu untuk mendeskripsikan konsep dalil, sebelum

melangkah kepada persoalan lebih lanjut. Dalil, yang secara sederhana berarti
sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada yang dicari, dalam literatur ilmu
ushl al-fiqh, didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat menyampaikan kepada
informasi yang dicari dengan menggunakan penalaran yang benar, atau sesuatu
yang dapat menyampaikan kepada pengetahuan yang pasti tentang informasi yang
dicari. Dua rumusan ini mengandung makna yang sama, tetapi yang pertama
penekanan berlanjut kepada proses, sedangkan yang kedua kepada status.
Sebagian ahli memandang, petunjuk hukum yang mengandung kepastian disebut
dalil, sedangkan yang hanya dugaan kuat disebut amrah. Sementara itu
mayoritas ahli hukum lslam berpendapat bahwa istilah dalil itu sendiri telah
mencakup dua kemungkinan tersebut, sehingga eksistensi dan kualitas dalil
terbagi kepada qath dan zhann, bukan kepada dalil dan amrah.
Selain istilah dalil, petunjuk adanya hukum juga ada istilah mashdar (plural:
mashdir) dan ashl (plural: ushl). Apakah ketiga istilah ini sama atau berbeda
secara signifikan? Bagi Khallf ketiga istilah itu adalah lafaz yang bersinonim.
Lebih

lanjut,

berdasarkan

pengakuan

para

ahli

hukum

Islam,

ia

mengklasifikasikannya kepada dua kategori. Pertama, dalil-dalil yang disepakati


mayoritas ulama, yaitu: Alquran, Sunnah, ijm dan qiys. Kedua, dalil-dalil yang
tidak disepakati oleh mereka, yaitu: Istihsn, mashlahah mursalah, Istishhb,
urf, mahab shahb dan syaru man qablan. Hemat penulis, perlu dilakukan
pembedaan dengan pendekatan aspek bentuk dalil-dalil tersebut, mengingat
pentingnya perpaduan unsur Ilh berupa petunjuk Tuhan melalui nash-nash
hukum dan unsur manusiawi berupa akal untuk memahaminya dalarn rangka
dinamisasi hukum. Berdasarkan pendekatan ini, dalil itu dapat dibagi kepada:
Pertama, dalil-dalil yang bentuknya teks-teks suci, yaitu Alquran dan Sunnah.
Kedua, dalil-dalil yang bentuknya bukan berupa teks-teks suci, yaitu selain dari
keduanya. Berdasarkan klasifikasi ini maka Alquran dan Sunnah, termasuk ijm
sahabat, di samping disebut dalil, juga disebut mashdar, sedangkan selainnya
hanya disebut dalil, bukan mashdar.
Kemudian, mengingat dalam aplikasinya bentuk ini memerlukan suatu
penalaran sistematis dan metodologis, maka dalil yang bukan nash-nash ini dapat
disebut dengan metode penetapan hukum Islam. Dengan demikian, perbedaan

mashdar dan dalil ini dapat disimpulkan dalam suatu proposisi singkat sebagai
berikut: Setiap mashdar adalah dalil dan tidaklah setiap dalil disebut mashdar.
Mengenai istilah ashl (plural: ushl) menurut para ahli hukum Islam identik
dengan dalil (Muhammad Syah, 1992).
Sejalan dengan hal di atas, istilah-istilah yang digunakan al-Sythib dalam
membicarakan masalah petunjuk hukum ini, pada prinsipnya tidak berbeda dari
para ahli hukum Islam lain. la menggunakan istilah al-adillah al-syariyah
(petunjuk-petunjuk syara), ushl asy-syariah (dasar-dasar syara), mawrid alsyarah (tempat-tempat asal datangnya syara), mashdir al-hukm (sumbersumber hukum), mawrid al-hukm (tempat-tempat asal datangnya hukum), dan
syawhid al-hukm (bukti-bukti hukum) untuk makna yang sama (Muhammad
Syah, 1992).
Kendatipun demikian, Ia tidak berusaha untuk memberikan perbedaan makna
masing-masing istilah mashdar, dalil dan amrah tersebut. Tidak ada informasi
jelas alasannya, tetapi gagasan kesatuan dasar syarah yang dikemukakan
tampaknya dapat dipertimbangkan. Artinya, dasar-dasar syarah, baik yang
manqlah atau maqlah haruslah dilakukan secara bersama-sama dalam
penetapan hukum Islam, sehingga upaya untuk membedakan istilah-istilah
tersebut, dalam pandangannya, dianggap tidak perlu. Dalam upaya memahami
konsep dalil menurut al-Sythib secara utuh, saya terlebih dahulu akan mengutip
ungkapannya, sebagai berikut: Dalil-dalil syara itu ada dua kelompok: Pertama,
kembali kepada naql semata-mata. Kedua, kembali kepada al-ra`y semata-mata.
Pengelompokkan ini, hanya dipandang dari segi sumber munculnya dalil. Sebab,
masing-masing dua kelompok dalil tersebut saling membutuhkan satu sama lain.
Karena

penggunaan

dalil

manqlt

mestilah

membutuhkan

pemikiran,

sebagaimana pemikiran tidak akan diakui oleh syara kecuali apabila disandarkan
kepada naql. Adapun kelompok pertama adalah al-Kitb dan al-Sunnah.
Sedangkan kelompok kedua adalah al-qiys dan al-istidll.
Dari pernyataan di atas, ada beberapa hal yang dapat dipahami. Pertama, dari
segi asal datangnya, dalil itu ada yang bersumber dari wahyu Tuhan yang
disebutnya dalil naql, dan ada yang bersumber dari manusia, yang disebutnya
dalil aql. Kedua, tetapi dalam penerapannya dua macam dalil itu tidak dapat

dipisahkan. Sebab, penggunaan dalil naql memerlukan pemikiran dan dalil aql
tidak dapat dipegangi tanpa berlandaskan dalil naql, baik partikular maupun
universal. Ketiga, dalil-dalil hukum yang bersumber dari wahyu adalah Alquran
dan Sunnah. Sedangkan dalil-dalil yang bersumber dari akal adalah al-qiys dan
al-istidll. Mengenai dalil aql dan al-Istidll ini akan diuraikan dalam bahasan
mendatang.
Berkaitan dengan klasifikasi dalil hukum, al-Sythib selanjutnya menyatakan
bahwa ada beberapa dalil yang dapat dikategorikan kepada masing-masing dalil
naql dan aql tersebut, baik yang disepakati mayoritas ulama, maupun tidak.
Dalil-dalil yang dapat dikategorikan kepada naql adalah ijm yang berlandaskan
Alquran dan Sunnah, mahab shahab dan syaru man qablan (syarah umat
sebelum kita).39 Al-Sythib memasukkan ijm, mahab shahab dan syaru man
qablan dalam kategori dalil naql, yang tidak sederet dengan istihsn,
mashlahah mursalah dan urf seperti yang diklasifikasikan oleh jumhur ulama.
Tidak ada uraian argumentatif yang jelas mengapa ia berpandangan seperti itu.
Dugaan kuat saya, alasannya adalah sebagai berikut: Untuk ijm, tampaknya
karena statusnya yang telah disepakati oleh para ulama periode mutaqaddimun,
sehingga dianggap valid untuk dijadikan referensi sebagai landasan hukum, bukan
melihat aspek proses pembentukannya. Perlu dikemukakan bahwa al-Sythib
memberikan interpretasi ijm berangkat dari gagasannya tentang kesatuan dasardasar syarah, yang karena itu berbeda dari para ahli hukum Islam lainnya. Ia
mencoba mengkritisi pandangan yang menyatakan bahwa ijm dapat terwujud
dengan hanya bersandar kepada satu dalil saja. Menurutnya, kalau ijm hanya
disandarkan kepada satu dalil tertentu, maka wajiblah memverifikasinya kembali
dengan melakukan kajian ulang, sekalipun telah menjadi rujukan para pendukung
ijm.
Dengan demikian, baginya ada kemungkinan hukum yang telah dianggap
ijm oleh para ulama, sebenarnya tidaklah demikian, karena hanya didasarkan
pada satu dalil saja. Sekalipun dalam hal ini ia tidak memberikan contoh konkrit,
namun pemikiran tersebut memiliki arti penting sebagai upaya mewujudkan
kepastian dalil dalam bentuk kolektif, seperti akan terlihat dalam bab selanjutnya.
Mengenai alasan memasukkan mahab shahab ke dalam kategori dali

26disampaikan mereka adalah ajaran Nabi. Ini terlihat dari analisis tentang qaul
shahb sebagai bagian dari sunnah, seperti uraian mendatang. Para ahli hukum
Islam telah membagi tiga bentuk mahab shahab. Pertama, mahab shahab yang
bukan berdasarkan pemikiran semata-mata, tetapi berdasarkan apa yang telah
didengarnya dari Rasul. Bentuk ini, apabila benar-benar sanadnya dapat dilacak,
telah disepakati kehujjahannya. Kedua, mahab shahb yang tidak ditemukan
adanya

sahabat

lain

yang

menentangnya.

Bentuk ini

juga

disepakati

kehujjahannya oleh para ulama ushl al-fiqh dan dianggap sebagai ijm sahabat.
Ketiga, mahab shahab yang hanya berdasarkan pemikiran atau merupakan hasil
ijtihad mereka dan terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat sendiri.
Kehujjahan mahab shahab dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama.
Malik, asy-Syfi dalam qaul qadim dan Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa
mahab shahab adalah hujjah hukum, baik sejalan dengan qiys atau tidak. Ab
Hanfah telah mengapresiasi qaul shahab yang diinginkannya dan tidak mau
beralih kepada selain pendapat sahabat, manakala penyelesaian suatu perkara
tidak ditemukannya dalam Alquran dan Sunnah. Mayoritas Asyariyah, Mutazilah,
Imam Syfi dalam qaul jaddnya, Ab al-Hasan al-Karkh dari golongan
Hanafiyah berpendapat bahwa mahab shahab tidak dapat dijadikan hujjah
hukum, karena diantara para sahabat sendiri sering terjadi perbedaan pendapat
dalam suatu masalah hukum. Menurut mereka, dalam hal tidak ada nash hukum
dari Alquran, Sunnah atau ijm. maka hendaklah dilakukan qiys atau ijtihad.
Apabila pandangan al-Sythib di atas diproyeksikan kepada klasifikasi qaul
shahab yang dirumuskan para ahli hukum Islam kebanyakan, maka dapat
dipahami bahwa jika yang dimaksudkannya adalah berdasarkan as-sama
(mendengarkan dan menyampaikan ajaran Nabi), maka pendapatnya ini tidak
berbeda dari pendapat ahli hukum kebanyakan. Tetapi, apabila yang
dimaksudkannya adalah selain itu, umpamanya qaul shahab yang hanya
berdasarkan ijtihadnya, maka pendapat tersebut tidak dapat dipertahankan.
Berikut, alasan syaru man qablan masuk dalam katagori dalil naql, tampaknya
karena ia telah tercantum di dalam Alquran. Para ahli hukum Islam merumuskan
bahwa syaru man qablan adalah segala apa yang diriwayatkan kepada kita

tentang hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah Swt. Kepada umat terdahulu
melalui Nabi-Nabi-Nya, seperti Nabi Ibrhm, Ms dan s.
Dalam klasifikasi mereka, ada tiga bentuk syaru man qablan, yaitu:
Pertama, Alquran atau had menerangkan syarah umat sebelum kita, kemudian
ditetapkan juga sebagai syarah kita. Syaru man qablana dalam bentuk ini tidak
diperselisihkan oleh para ulama tentang kehujjahannya. Kedua, Alquran atau
had menerangkan syarah umat sebelum kita, kemudian dibatalkannya. Para
ahli hukum Islam telah sepakat bahwa syaru man qablan dalam bentuk ini
bukan syarah kita Ketiga, Alquran atau Sunnah menerangkan syarah umat
sebelum kita, tetapi tidak ada penjelasan dari keduanya apakah syarah itu
diberlakukan juga kepada kita atau telah dibatalkan.
Berbeda dari dua bentuk pertama, dalam menyikapi syaru man qablan
bentuk ketiga ini, terjadi perbedaan pendapat ulama. Mayoritas ulama Hanafiyah,
sebagian Mlikiyah dan ulama Syfiiyah memandangnya sebagai syarah kita
juga. Argumentasi yang dikemukakan adalah karena hukum itu adalah syarah
Tuhan dan tidak ada keterangan yang membatalkannya. Ulama Hanafiyah, atas
dasar ini, berpendapat bahwa orang Islam yang membunuh kafir imm atau lakilaki yang membunuh perempuan harus dihukum qishsh sebagaimana hukum
yang telah disyarahkan oleh Allh terhadap Ban Isrl.
Sebagian ulama berpendapat bahwa syaru man qablan dalam bentuk ketiga ini
tidak diberlakukan kepada kita atau bukan menjadi syarah kita. Argumentasi
yang dikemukakan adalah karena syarah kita telah membatalkan syarah umat
sebelum kita secara umum, kecuali ada dalil yang menetapkannya bahwa ia juga
menjadi syarah kita. Apabila yang dimaksudkan al-Sythib di atas adalah
syaru man qablan yang ada penjelasan dari Alquran dan Sunnah bahwa ia
adalah syarah kita juga atau ada penjelasan bahwa ia bukan syarah kita, seperti
rumusan ahli hukum Islam kebanyakan, maka pandangan al-Sythib ini tidak
berbeda dari pendapat mereka. Tetapi apabila yang dimaksudkan adalah selain
dari itu, maka pengkategorian al-Sythib kepada dalil naql harus dipertanyakan.
Sehubungan dengan ini, Alll al-Fs (W. 1973 M.) menyatakan bahwa menurut
al-Sythib, selama tidak ada penambahan atau penyelewengan, syaru man
qablan adalah benar dan kalaupun ada sebahagian yang menolaknya, bukan dari

segi eksistensi aslinya, tetapi disebabkan faktor luar, yakni telah terjadi perubahan
(UIN Raden Patah, 2013).

BAB III
MANHAJ IJTIHAD HUKUM TARJIH MUHAMMADIYAH
Untuk menyamakan persepsi tentang beberapa istilah teknis yang digunakan
dalam Manhaj Tarjih ini, perlu dijelaskan pengertian-pengertian umum tentang
istilah-istilah
sebagai berikut (UIN Raden Patah, 2013):
1. Ijtih : Mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan
merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawwuf,
maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.
2. Maqshid asy-Syarah: Tujuan ditetapkan hukum dalam Islam, adalah untuk
memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadah,
yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan tersebut
dicapai melalui penetapan hukum yang pelaksanaannya tergantung pada
pemahaman sumber hukum (al-Quran dan as-Sunnah).
3. Ittib: Mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui

dalil

dan

argumentasinya. Ittiba merupakan sikap minimal harus dapat dilakukan oleh


warga persyarikatan.
4. Taqlid: Mengikuti pemikiran

ulama

tanpa

mengetahui

dalil

dan

argumentasinya. Taqlid merupakan sikap yang tidak dibenarkan diikuti bagi


warga persyarikatan baik ulamanya maupun warga secara keseluruhan.

5. Talfq: Menggabungkan beberapa pendapat dalam satu perbuatan syari. Talfiq


terjadi dalam konteks taqlid dan ittiba. Muhammadiyah membenarkan talfiq
sepanjang telah dikaji lewat proses tarjih.
6. Tarjih: Secara teknis tarjih adalah proses analisis untuk menetapkan hukum
dengan menetapkan dalil yang lebih kuat (rjih), lebih tepat analogi dan lebih
kuat mashlahatnya. Sedangkan secara institusional Majelis Tarjih adalah
lembaga ijtihad jamai (organisatoris) di lingkungan Muhammadiyah yang
anggota terdiri dari orang-orang yang memiliki kompetensi ushliyyah dan
ilmiah dalam bidangnya masing-masing.
7. As-Sunnah al-Maqblah: Perkataan, perbuatan dan ketetapan dari Nabi saw,
yang menurut hasil analisis memenuhi kriteria shahih dan hasan.
8. Taabbud : Perbuatan-perbuatan ubdiyyah yang harus dilakukan oleh
mukallaf sebagai wujud penghambaan kepada Allah tanpa boleh ada
penambahan atau pengurangan. Perbuatan taabbud tidak dibenarkan
dianalisis secara rasional.
9. Taaqquli: Perbuatan-perbuatan ubudiyyah mukallaf yang bersifat taaqquli,
berkembang, dan dinamis. Perbuatan taaqquli dapat dianalisis secara rasional.
10. Qathiyyul-wurd: Nash yang memiliki kepastian dalam aspek penerimaannya
karena proses penyampaiannya meyakinkan dan tidak mungkin ada
keterputusan atau kebohongan dari para penyampainya.
11. Qathiyyud-dallah: Nash yang memiliki makna pasti karena dikemukakan
dalam bentuk lafazh bermakna tunggal dan tidak dapat ditafsirkan dengan
makna lain.
12. Zhanniyyul-wurd : Nash yang tidak memiliki kepastian dalam aspek
penerimaannya, karena proses penyampaiannya kurang meyakinkan dan
karena ada kemungkinan keterputusan, kedustaan atau kelupaan di antara para
penyampainya.
13. Zhanniyyud-dallah : Nash yang memiliki makna tidak pasti, karena
dikemukakan dalam bentuk lafazh bermakna ganda, dan dapat ditafsirkan
dengan makna lain.
14. Tajdid: Pembaharuan yang memiliki dua makna, yakni pemurnian (tajdid
salafi) dan pengembangan (tajdid tathwr).
15. Pemikiran: Hasil rumusan dengan cara mencurahkan segenap kemampuan
berfikir terhadap suatu masalah berdasarkan wahyu dengan metode ilmiah,
meliputi bidang teknologi, filsafat, tasawwuf, hukum, dan disiplin ilmu
lainnya.

BAB IV
MANHAJ PENGEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAMTARJIH
MUHAMMADIYAH
Pemikiran keislaman dibangun dan dikembangkan beradasarkan anggapan
dasar atau paradigma tertentu. Di atas asumsi inilah berbagai perspektif dan
metodologi pemikiran keislaman ditegakkan. Demikian pula asumsi dasar penting
bagi Muhammadiyah sebagai fondasi bagi pengembangan pemikiran keislaman
untuk praksis sosial. Karena itu, pembahasan asumsi mengenai hakikat pandangan
keagamaan posisi Islam dan pemikiran Islam, sumber, fungsi dan metodologi
pemikiran Islam sangat signifikan untuk menentukan cara kerja epistemology
pemikiran keislaman, baik pendekatan maupun metode yang dipergunakan (UIN
Raden Patah, 2013).
Posisi Islam dan Pemikiran Islam. Membedakan antara Islam dan Pemikiran
Islam sangat penting di sini. Pemikiran Islam bukanlah wilayah yang terbebas dari
intervensi historisitas (kepentingan) kemanusiaan. Kita mengenal perubahan
dalam pemikiran Islam sejalan dengan perbedaan ruang dan waktu. Pemikiran
Islam tidak bercita-cita untuk mencampuri nash-nash wahyu yang tidak berubah
(al-nushsh al-mutanhiyah) melalui tindakan pengubahan baik penambahan dan
pengurangan atau bahkan penghapusan. Bagaimanapun kita sepakat bahwa Islam
(obyektif) sebagai wahyu adalah petunjuk universal bagi umat manusia.
Pemikiran Islam juga tidak diarahkan untuk mengkaji Islam subyektif yang ada
dalam kesadaran atau keimanan setiap para pemeluknya. Karena dalam wilayah
ini, Allah secara jelas menyatakan kebebasan bagi manusia untuk iman atau kufur,

untuk Muslim atau bukan (freedom of religion; QS. al-Baqarah: 256; al-Kafirun:
1-6).
Pemikiran Islam lebih diarahkan untuk mengkaji dan menelaah persoalanpersoalan dalam realitas keseharian umat Muslim yang lekang dan lapuk oleh
ruang dan waktu (al-waqai ghairu mutanahiyah). Dengan meletakkan Islam
dalam al-tajdd wa al-ibtikar, setiap Muslim tidak perlu lagi khawatir bahwa
pembaharuan ekspresi, interpretasi dan pemaknaan Islam yang ditawarkan kepada
komunitas dalam locus dan tempus tertentu, tidak memiliki pretensi untuk
mengganggu apalagi merusak Islam sebagai wahyu ataupun keimanan secara
langsung ataupun tidak. At-tajdd wa al-ibtikr merupakan program pembaharuan
terencana dan terstruktur yang diletakkan di atas bangunan refleksi normativitas
dan historisitas dan aplikasinya pada realitas kehidupan nyata Islam dalam
konteks sosial-kemasyarakatan dalam arti luas. Dengan program ini pula
dimaksudkan agar Islam benar-benar menjadi rahmatan lillamn; sebuah proses
menafsirkan universalitas Islam melalui kemampuan membumikannya pada
wilayah-wilayah partikularitas dengan segala keunikannya. Ini berarti pula bahwa
pemikiran Islam menerima kontribusi dari semua lapisan baik dalam masyarakat
Muslim (insider) maupun non-Muslim (outsider)
Sumber

Pemikiran

Islam.

Setiap

disiplin

keilmuan

dibangun

dan

dikembangkan melalui kajian-kajian atas sumber pengetahuannya. Islam


memiliki dua sumber tak tergugat, yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Sementara itu,
pemikiran Islam memiliki tiga sumber pengetahuan; teks, ilham atau intuisi dan
realitas. Yang dimaksudkan teks di sini adalah meliputi teks-teks keagamaan baik
al-Quran dan as-Sunnah maupun teks-teks hasil interpretasi dalam pemikiran
Islam. Yang kedua adalah penemuan rahasia pengetahuan melalui iktisyaf. Dan
yang terakhir adalah realitas yang mencakup realitas kealaman dan realitas
kemanusiaan.
Fungsi Pemikiran Islam. Pemikiran Islam dibangun dan dikembangkan untuk
mendukung universalitas Islam sebagai petunjuk bagi manusia menuju kesalehan
individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual lebih berkaitan dengan
persoalan-persoalan, praktek-praktek keagamaan dalam kehidupan seharihari.
Sementara kesalehan sosial berhubungan erat dengan masalah-masalah moralitas

publik (public morality). Dalam wilayah kesalehan individual, pemikiran Islam


berupaya memberikan kontribusi berupa petunjuk-petunjuk praktis keagamaan
(religious practical guidance), ibadah mahdah dan masalah-masalah yang
menyangkut moralitas pribadi (private morality). Sedangkan dalam wilayah
kesalehan sosial, pemikiran Islam merespon wacana kontemporer, seperti masalah
sosial-keagamaan, sosial budaya, sosial ekonomi, globalisasi dan lokalisasi, iptek,
lingkungan hidup, etika dan rekayasa genetika serta bioteknologi, isu-isu keadilan
hukum, ekonomi, demokratisasi, HAM, civil society, kekerasan sosial dan agama,
gender, dan pluralisme agama, sekaligus merumuskan dan melaksanakan
terapannya dalam praksis social (UIN Raden Patah, 2013).
Metodologi Pemikiran Islam. Dalam Islam dikenal ada dua macam kebenaran,
yaitu kebenaran ikhbar dan kebenaran nazhar. Yang pertama adalah kebenaran
wahyu yang datang langsung dari Allah. Karena itu bersifat suci dan bukan obyek
kajian dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah kebenaran yang diperoleh
secara taaqquli. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Islam tidak berada dalam
ruang hampa. Nash-nash atau teks wahyu yang diinterpretasi selalu berinteraksi
dengan lingkungannya, baik lingkungan pengarang, pembaca maupun audiensnya.
Ada rentang waktu dulu, kini, mendatang -- di hadapan ketiga pihak di atas.
Inilah yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis (hermeneutical circle); suatu
perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci (annushush

al-mutanahiyah)

yang

dipandu

oleh

perubahan-perubahan

berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat.


Dalam konteks yang terus berubah ini, kebutuhan akan cara pembacaan baru atas
teks-teks dan realitas itu menjadi tak terelakkan. Dengan memahami lingkaran
hermeneutis semacam ini, Muslim tidak perlu mengulang-ulang tradisi lama
(turts) yang memang sudah usang untuk kepentingan kekinian dan kedisinian, tapi
juga bukan berarti menerima apa adanya modernitas (hadatsah).
Kewajiban Muslim adalah melakukan pembacaan atas teks-teks wahyu dan
realitas itu secara produktif (al-Qirah al-Muntijah, bukan al-Qirah alMutakarrirah).
kontinuitas

dan

Dengan

memperhatikan

perubahan

(ats-tsabat

tuntutan-tuntutan
wa at-taghayyur)

perkembangan,
dalam

realitas

kontemporer, perlu diupayakan perubahan paradigma. Perubahan paradigma tidak

berarti bahwa semua tradisi ditinggalkan, tetapi patut dipahami sebagai upaya
modifikasi tradisi pemikiran Islam dalam ukuran tertentu sesuai dengan problem
sosial yang ada; dan atau merubah secara total tradisi dengan sesuatu yang sama
sekali baru. Yang pertama dalam rangka menjaga kontinuitas dalam pemikiran
keislaman atau melakukan pengembangan, sementara yang kedua adalah untuk
memproduksi pemikiran keislaman yang sama sekali baru. Perubahan paradigma
mengandaikan metodologi pendekatan dan metode baru untuk merespon
problem-problem di atas sekaligus aplikasinya dalam praksis sosial. Dengan
demikian, pemikiran Islam berpegang pada adagium al-muhafazhatu ala al-qadm
ash-shalimaa al-akhdz bi al-jadad al-ashla. Dengan rekayasa epistemologis
semacam ini, terbuka kesempatan bagi munculnya wacana keislaman dalam
Muhammadiyah dengan karakteristik antara lain: produktif atau bukan sekedar
pengulangan tradisi lama untuk memecahkan masalah baru; fleksibel dalam arti
pemikiran keislaman termodifikasi secara luwes, tidak kaku dan terbuka atas
kritik dan pengembangan; imaginatif dalam arti membuka horizon pemahaman
dan pendalaman baru melalui iktisaf; kreatif dalam melahirkan wilayah-wilayah
baru (yang selama ini tak terpikirkan dan belum terpikirkan) untuk
dipikirkan; dan akibatnya wacana keislaman kontemporer benar-benar berada
dalam pergumulan sejarah yang efektif (effective history) dan tidak ahistoris (UIN
Raden Patah, 2013).

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Cetakan IX, al-Majelis al-Aala alIndonesy li al-Adwat al-Islamiyyah, Jakarta: 1972. Abd al-Rahman, Shariah
The Islamic Law, Cetakan I, PT. Rineka Cipta, Jakarta: 1993.
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Cetakan VI, Bulan Bintang,
Jakarta: 1991. Al-Din al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Quran, Jilid I, Dar alFikr, Beirut-Libanon: tt.
Dahlan Idhamy, Karakteristik Hukum Islam, Al-Ikhlas, Surabaya: 1985. Ismail
Manna Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Quran, Mansyurat al-Ashar alHadist, Riyadh: 1393 H/1973 M
Muhammad Abu Zahroh, Ushul al-Fiqh, Alihbahasa Saefullah Mashum dkk .,
Cetakan VII, Pustaka Firdaus, Jakarta: 2002.
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, Jilid I, Cetakan I, Pustaka
Firdaus, Jakarta: 2000.
Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Cetakan II, Bumi Aksara, Jakarta: 1992.
Suparman Usman, Hukum Islam, Cetakan I, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2001.
UIN Raden Patah, Metode Penetapan Hukum Islam Menurut Syathibi,
Palembang: 2013

Anda mungkin juga menyukai

  • Review Farkom
    Review Farkom
    Dokumen1 halaman
    Review Farkom
    Zulfa Ika Setyaningsih
    Belum ada peringkat
  • Bangunan Fix
    Bangunan Fix
    Dokumen7 halaman
    Bangunan Fix
    Zulfa Ika Setyaningsih
    Belum ada peringkat
  • BANGUNAN
    BANGUNAN
    Dokumen4 halaman
    BANGUNAN
    Zulfa Ika Setyaningsih
    Belum ada peringkat
  • Bawang Putih
    Bawang Putih
    Dokumen1 halaman
    Bawang Putih
    Zulfa Ika Setyaningsih
    Belum ada peringkat
  • Angina Pektoris
    Angina Pektoris
    Dokumen10 halaman
    Angina Pektoris
    Zulfa Ika Setyaningsih
    Belum ada peringkat
  • Statin
    Statin
    Dokumen1 halaman
    Statin
    Zulfa Ika Setyaningsih
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Zulfa Ika Setyaningsih
    Belum ada peringkat
  • Sediaan Solid
    Sediaan Solid
    Dokumen2 halaman
    Sediaan Solid
    Zulfa Ika Setyaningsih
    Belum ada peringkat
  • Makalah PKNNNN
    Makalah PKNNNN
    Dokumen9 halaman
    Makalah PKNNNN
    Zulfa Ika Setyaningsih
    Belum ada peringkat
  • Kromatografi Partisi
    Kromatografi Partisi
    Dokumen4 halaman
    Kromatografi Partisi
    Zulfa Ika Setyaningsih
    Belum ada peringkat
  • Cara Menentukan Homogeitas
    Cara Menentukan Homogeitas
    Dokumen5 halaman
    Cara Menentukan Homogeitas
    Zulfa Ika Setyaningsih
    Belum ada peringkat
  • Manusia Menurut Tinjauan Islam Makalah
    Manusia Menurut Tinjauan Islam Makalah
    Dokumen10 halaman
    Manusia Menurut Tinjauan Islam Makalah
    Zulfa Ika Setyaningsih
    Belum ada peringkat