4. Partisipasi Semu
Sekalipun dalam mempersiapkan materi perubahan yang akan diputuskan MPR melalui
Badan Pekerjanya, melibatkan partisipasi publik baik kalangan Profesi, ornop, Perguruan
Tinggi, termasuk para pakar/ahli. Namun partisipasi tersebut menjadi semu sifatnya dan
hanya melegitimasi kerja MPR saja. Dalam kerja BP MPR ini rakyat tidak mempunyai
hak untuk mempertanyakan dan turut menentukan apa yang diinginkan untuk diatur
dalam konstitusinya, MPR jugalah menentukan materi apa yang boleh dan tidak boleh.
MPR hanya membatasi pada materi-materi yang belum diputuskan dan dalam
penyerapannya yang tidak mencakup seluruh wilayah. Pembatasan itu jelas akan
memperpanjang inkonsistensi nilai dan sistematika yang ada. Jelas hal ini merupakan
bagian dari pemenjaraan secara politis untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan
fraksi yang ada di MPR. Sedangkan dalam penyerapan dan sosialisasi (uji sahih), BP
MPR tidak memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi publik untuk dapat
berpartisipasi dalam memahami dan mengusulkan apa yang menjadi kepentingannya.
Termasuk dalam proses amandemen yang keempat, MPR tidak melakukannya secara
intensif dan luas kepada seluruh lapisan masyarakat diseluruh wilayah Indonesia.
Alasan keterbatasan dana yang dikemukakan oleh MPR RI sebagai alasan untuk
membatasi uji sahih, kami anggap sebagai upaya untuk menghindari tanggung jawab.
Apalagi tampak bahwa pihak MPR tidak pernah mengeluh kekurangan dana apabila akan
melakukan sosialisasi atau studi banding ke keluar negeri yang telah memakan biaya
besar pada tahun-tahun sebelumnya.
Substansi yang disosialisasikan pada proses uji sahih ini juga dibatasi pada materi yang
belum diputuskan dan beberapa materi yang tidak dapat dirubah. Publik tidak akan dapat
memberikan penilaian terhadap substansi Amandemen pertama sampai keempat yang
telah dilakukan oleh MPR selama ini. Menurut hemat kami ini merupakan indikasi
pengingkaran MPR terhadap prinsip kedaulatan rakyat. MPR telah bertindak diatas
konstitusi yang semestinya adalah milik semua rakyat untuk dapat mengusulkan dan
menentukan.
5. Tidak intensif dan maksimal
Dalam proses itu ada keterbatasan waktuyang dimiliki oleh anggota MPR , terutama
anggota Badan Pekerja yang diserahi tugas mempersiapkan materi Amandemen UUD
1945 karena merangkap jabatan sebagai anggota DPR RI dengan beban pekerjaan yang
cukup banyak. Terlebih lagi, sebagai parpol di DPR, anggotaanggota ini diharuskan
untuk ikut berbagai rapat/pertemuan yang diadakan oleh DPR atau partainya sehingga
makin mengurangi waktu dan tenaga yang tersedia untuk dapat mengolah materi
Amandemen UUD 1945 sekaligus melakukan konsultasi publik secara lebih efektif.
Akibatnya kualitas materi yang dihasilkan tidak memuaskan. Padahal, konstitusi adalah
suatu Kontrak Sosialanatra rakyat dan negara sehingga proses perubahannya seharusnya
melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik.
III. Kesimpulan
Ada 5 hal yang setidak-tidaknya menjadi prioritas dalam Amandemen Ke V UUD 1945. Prioritas
tersebut antara lain, yaitu:
1. Sistem Perwakilan Rakyat
Dengan Perubahan keempat UUD 1945, MPR hanya merupakan gabungan antara anggota
DPR dan DPD. Kewenangan MPR sekarang tinggal empat hal, yaitu mengubah dan
menetapkan UUD, malantik Presiden dan wakilnya, memberhentikan Presiden dan atau
wakilnya dalam masa jabatannya, dan terakhir memilih Wakil Presiden untuk mengisi
kekosongan Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan Wakil Presiden pada masa
jabatannya. Dalam sistem perwakilan rakyat pada Amandemen UUD 1945 banyak yang
harus menjadi catatan, yaitu sebagai berikut :
1. MPR masih memiliki kewenangan-kewenangan yang meletakannya sebagai suatu
lembaga supra, bahkan diatas konstitusi, karena masih berwenang melakukan
perubahan terhadap UUD 1945, dan menentukan keputusan impeachment terhadap
presiden meskipun sudah ada rekomendasi dari Mahkamah Konstitusi serta wewenang
untuk melakukan Judicial Review. Sifat supra dari MPR menunjukkan bahwa ada
karakteristik sistem Parlementer yang masih kuat dalam sistem ketatanegaraan sehingga
terjadi kerancuan dalam bernegara karena disatu pihak Presiden melaksanakan Sistem
Presidensiil sedangkan DPR/MPR seringkali menginterprestasikan kinerjanya
berdasarkan Sistem Parlementer. Tidak terjadi sistem checks and Balances atau
akuntabilitas horizontal yang jelas antara lembaga negara. Seharusnya MPR setelah
adanya DPD bukan lagi merupakan sebuah lembaga karena sudah ada DPR dan DPD
yang melakukan tugas dan fungsinya kalaupun masih ada MPR hanya sebagai sebuah
(joint session) lembaga pertemuan yang dibentuk jika DPR dan DPD ingin melakukan
sebuah perubahan UUD.
2. Sistem parlemen yang terjadi adalah sistem parlemen yang soft bicameralism, sehingga
tidak terjadi mekanisme bikameral yang baik antara Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat yang pra amandemen mempunyai
kewenangan yang tidak begitu kuat setelah amandemen berbalik menjadi sebuah lembaga
yang mempunyai kekuatan yang sangat besar, bahkan melebihi saudara barunya/DPD.
Sehingga pada saat ini terlihat kekuasaan yang begitu besar yang dipunyai oleh DPR.
DPD tidak menampakkan prestasi yang baik sampai saat ini, hal ini dapat dilihat dari
hampir tidak ada RUU yang diajukan oleh DPD pada permasalahan otonomi daerah. Dari
hal inipun tidak jelas mekanisme checks and balances yang dipunyai oleh DPR Dan DPD
dalam kerangka kekuasaan legislasi.
2. Sistem Mekanisme Check and Balances antar lembaga negara
Amandemen I-IV UUD 1945 telah menyebabkan berubahnya sistem ketatanegaraan yang
berlaku, meliputi jenis dan jumlah lembaga negara, sistem pemerintahan, sistem peradilan, dan
sistem perwakilannya. Pada sisi lain, paradigma perubahan UUD mencoba diletakkan dalam
kerangka checks and balances sehingga memungkinkan terjadinya saling kontrol antara satu
cabang kekuasaan dan cabang kekuasaan yang lain. Implikasi dari penerapan sistem checks and
balances tersebut akan berpotensi menimbulkan berbagai macam sengketa, salah satunya adalah
sengketa kewenangan antar lembaga negara.[15]
Mekanisme checks and balances yang timpang pada lembaga negara mengakibatkan
beberpa lembaga negara mengeluarkan beberapa putusan kontroversial terutama pada kekuasaan
kehakiman. Hal ini dapat kita lihat pada MK yang pada tanggal 12 April 2005 Mahkamah
Konstitusi mengejutkan kita dengan menguji Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 (UUMK)
yang tidak lain adalah undang-undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri.
Dalam pengujiannya terhadap UUMK tersebut, MK membatalkan Pasal 50 dari UUMK yang
melarang MK untuk menguji undang-undang yang dibuat setelah adanya perubahan atas
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dengan dibatalkannya Pasal 50
UUMK, kini MK memiliki wewenang untuk menguji seluruh Undang-Undang yang berlaku di
Indonesia, tanpa batasan waktu.
MK pun pada UU KPK menyatakan bahwa Pengadilan TIPIKOR bertentangan dengan
konstitusi karena diatur dalam UU KPK tidak oleh UU tersendiri. Dan ultra petita diulang
kembali pada putusan 3 tahun diberi waktu untuk membuat UU pengadilan TIPIKOR tersendiri.
kekuasaan MK yang demikian luas harus dibatasi tidak ada jalan lain-- lewat Undang-Undang
Dasar. UUD harus dirubah sehingga mendefinisikan dengan jelas rationne temporis (keberlakuan
waktu) dan rationne materiae (meteri pengujian) yang masuk dalam kewenangan MK. Hal ini
penting karena jika tidak ada yang mengontrolnya maka MK akan masuk dalam kategori
lembaga yang hampir memiliki absolute power. Lord Acton pernah mengatakan, power tends to
corrupt but absolute power corrupts absolutely.
Apabila akhirnya kewengan rationne temporis MK dibatasi oleh UUD untuk dapat
menguji UU yang diberlakukan pasca Perubahan UUD 1945 maka akan timbul pertanyaan lain:
bagaimana halnya dengan putusan-putusan MK yang terlanjur menguji produk UU sebelum
Perubahan UUD 1945?.[16] Perlulah kiranya kita membuat mekanisme checks and balances
yang jelas antar lembaga Negara terutama lembaga yang mempunyai kekuasaan kehakiman.
3. Hak Azasi Manusia
Amandemen UUD 1945 dalam hal Hak Azasi Manusia menempatkan Amandemen
Kedua UUD 1945 adalah hal yang paling signifikan dalam mengatur Hak Azasi Manusia. Di
dalam Bab X A Hak Asasi Manusia ini terdapat sebanyak 10 pasal 24 ayat yang mengatur
prinsip-prinsip penting tentang nilai dan prinsip kemanusiaan. Di satu sisi, mungkin sulit untuk
menyangkal bahwa perumusan begitu banyak merupakan indikasi adanya komitmen di sebagian
anggota majelis untuk mempromosikan dan menjamin pelaksanaan penegakan hak asasi. Namun
demikian, ada beberapa masalah yang perlu diajukan karena masalah tersebut potensial
mengingkari pelaksanaan penegakan hak asasi secara konsisten dan menempatkan pasal-pasal
hak asasi di dalam Bab X A Hak Asasi Manusia hanya menjadi sebuah prinsip yang tidak
mempunyai daya enforcement.
4. Mekanisme Pemberian Sanksi Jika Isi UUD 1945 Tidak Dilaksanakan.
Tidak adanya batasan yang jelas bagaimana jika pemerintah/eksekutif, parlemen/legislatif dan
peradilan/yudikatif melanggar isi UUD 1945. Yang diatur hanyalah jika Presiden melanggar
UUD 1945, akan tetapi hal tersebut tergantung pada kekuasaan lain. Hal ini tidak menjadi
permasalahan jika mekanisme checks and balances berjalan dengan baik. Putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai Anggaran Pendidikan yang mengharuskan pemerintah tetap menjalankan
anggaran pendidikan sebesar 20 % diabaikan oleh pemerintah maupun DPR. Hal ini, jika
dibiarkan terus menerus akan menimbulkan preseden yang sangat buruk bagi sebuah negara
hukum. Pelanggaran serius yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kekuasaan negara tidak
tersentuh, walaupun kontrol masyarakat berupa judicial review telah dilakukan.
5. Mekanisme Perubahan
Sebagai kontrak sosial sebuah UUD harus jelas mekanisme perubahannya, dan diberikan
waktu yang cukup untuk merubah dan merevisi UUD. Harus difikirkan untuk membentuk
sebuah badan yang seperti Komisi Konstitusi dan mempunyai waktu dan wewenang yang cukup
untuk merubah UUD secara menyeluruh ataupun mensinkronisasi UUD sehingga baik secara
proses maupun substansi. Jika pembentukan Komisi Konstitusi kembali diserahkan kepada BP
MPR atau minimal melalui kewenangan Badan Pekerja MPR ditakutkan kelemahan- kelemahan
yang terjadi pada amandemen atu hingga empat akan kembali menyesatkan. Sebagaimana yang
dikemukakan professor politik dari Colombia University, Jon Elster : Menugaskan (reformasi
konstitusi) terhadap sebuah lembaga yang juga berperan sebagai badan legislatif, sama saja
seperti menugaskannya untuk berperan sebagai hakim dalam kasus yang menimpa dirinya
sendiri. Apa yang akan terjadi di Indonesia, kasus di Bulgaria bisa menjadi cermin dalam hal
ini. Proses penyusunan konstitusi baru yang yang dilakukan oleh Parlemen- yang dimulai tidak
lama setelah rezim komunis jatuh tahun 1989 dan selesai tahun 1991- ternyata menghasilkan
konstitusi yang memberikan kewenangan yang berlebihan pada dirinya sendiri. Akhirnya
konstitusi baru Bulgaria yang diharapkan menjadi faktor terjadinya proses demokratisasi, malah
sering menjadi faktor ketidak menentuan politik di negara itu[17]
Jakarta, 05 Juni 2007
Rahmat Bagja
KaDiv. Konstitusi KRHN
Tulisan dikutip dan banyak diambil dari intisari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)
MPR RI, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Tahun 1945, Sekretariat Jendral MPR RI,
Jakarta, 2003., h. 7.
[1]
[2]ibid,
h.14.
[3]
C.J. Friedrich, The Philosophy of Hegel, The Modern Library, New York, h. 292
Pidato Keynote Speaker Ketua Mahkamah Konstitusi, pada pembukaan acara Bedah Buku
The New Indonesian Constitutional Court, A Study into its beginnings and first years of workby
Petra Stockman, Hotel Nikko, Jakarta
[4]
MPR RI, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Tahun 1945, Sekretariat Jendral MPR RI,
Jakarta, 2003., h.25.
[5]
MPR RI, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Tahun 1945, Sekretariat Jendral MPR RI,
Jakarta, 2003., h.15
[6]
[7]
Hilaire Barnett, Constitutional and Administrative Law, Cavendish Publishing, 2004, h.7
[8]
Ibid, h.7
[9]
[10]
ibid
[11]
ibid
[12]
Brian Thompson, Constitutional and Administrative Law, Blackstone Press Limited, 1997,
h.15
[13]
Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Cet.1, Jakarta. 2005, h. 114.
[15]
M. Mova Al Afghani dan Rahmat Bagja, Ketika Mahkamah Konstitusi Menjadi Superbody,
www.theceli.com
[16]
[17]
Penelitian KRHN