Pada keadaan tertentu ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di rumah sakit.
Kriteria preeklampsia ringan dirawat di rumah sakit adalah: (a) bila tidak ada perbaikan :
tekanan darah, kadar proteinuria selama 2 minggu; (b) adanya satu atau lebih gejala dan
tanda-tanda preeklampsia berat. Selama di rumah sakit, dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin, berupa pemeriksaan USG dan
Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion.
Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan bagian mata,
jantung, dan lain-lain.
Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya
Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu sampai 37
minggu. Pada kehamilan preterm (< 37 minggu), bila tekanan darah mencapai normotensif
selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.
Sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi
onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran
tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan; bila perlu memperpendek
kala II.
2. SEDIAAN CA GLUKONAS
Bila terjadi intoksikasi MgSO4 diberikan Kalsium glukonas 10% (1 gram dalam 10 cc
NaCl 0.9%, diberikan intravena dalam 3 menit).
perbedaan dalam kriteria diagnostik dan metode yang digunakan pada waktu penelitian
(Tabel I). Walaupun hampir semua peneliti sepakat bahwa sindroma ini merupakan
petanda keadaan penyakit yang berat dan dengan prognosa yang jelek.
Weinstein (1982)
Sibai (1990)
Harms dkk (1991)
De Boer dkk (1999)
Visser & Wallenburg
(1995)
Neiger dkk (1995)
Hamm dkk (1996)
Schwerj dkk (1996)
Martin dkk (1999)
Jumla
h
Tromb
osit
(x 10
3
)
< 100
SGOT
(IU/L)
SGPT
(IU/L)
LDH
(IU/L)
Hapto
globulin
(mg/dl)
Bilirubin
(mg/dl)
Abnorm
al
> 19
> 50
> 30
< 100
< 150
< 100
< 100
Abnorm
al
> 70
> 15
> 30
Abnorm
al
> 1,2
> 1,0
-
< 150
< 150
< 150
< 150
> 60
> 16
> 15
40
> 20
> 17
40
< 70
-
> 0,8
> 1,0
-
> 600
> 240
> 180
> 240
600
Etiologi dan patogenesis dari sindroma HELLP ini selalu dihubungkan dengan
preeklampsia, walaupun etiologi dan patogenesis dari preeklampsia sampai saat ini
juga belum dapat diketahui dengan pasti.
Banyak teori yang dikembangkan dari dulu hingga kini untuk mengungkapkan
patogenesis dari preeklampsia, namun dalam dekade terakhir ini perhatian terfokus pada
aktivasi atau disfungsi dari sel endotel. Tetapi apa penyebab dari perubahan endotel ini
belum juga diketahui dengan pasti. Saat ini ada empat buah hipotesis yang sedang
diteliti untuk mengungkapkan etiologi dari preeklampsia, yaitu : iskemia plasenta,
Very Low Density Lipoprotein versus aktivitas pertahanan toksisitas, maladaptasi
imun dan penyakit genetik.
Sindroma HELLP ini merupakan manifestasi akhir dari hasil kerusakan endotel
mikrovaskular dan aktivasi dari trombosit intravaskular.
Gambar 2.
atau
kegagalan
VEGF
(Vascular
Endothelial
Growth
Factor)
dalam
mengekspresikan integrin.
Keadaan ini menyebabkan penurunan aliran darah intervilus, hipoksia dan akhirnya
terjadi kerusakan sel endotel ibu dan janin. Dan selanjutnya mengakibatkan efek
terhambatnya pertumbuhan janin intrauterin (PJT). Akibat kerusakan dari endotel ini
terjadi
pelepasan
zat - zat
vasoaktif,
dimana
tromboksan
(TXA2
meningkat
dibandingkan dengan prostasiklin (PgI2 ).
Adanya perubahan respon imun ibu terhadap trofoblas akibat dari perubahan
polymorphism HLA-G (human leucocyte antigens G) terhadap trofoblas,
menyebabkan terjadinya proses imunologis. Hal ini mengakibatkan terjadinya
gangguan pertumbuhan dan invasi dari trofoblas. Proses imunologis akibat
perubahan respon imun ibu juga mempengaruhi terjadinya kerusakan sel endotel, ini
terbukti dengan dilepaskannya sel mediator pada sel endotel.
Kerusakan dari sel endotel menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan rasio
TXA2
dan PgI 2
sehingga TXA2 menjadi lebih dominan. Anion peroksida juga menambah agregasi
trombosit, serta menyebabkan asam lemak tak jenuh pada membra n fospolipid
mengalami konversi menjadi peroksida lipid. Peroksida lipid ini menyebabkan
kerusakan endotel lebih lanjut. Kerusakan integritas endotel diikuti dengan hilangnya
kapasitas vasodilator, yang mana dapat dinilai dengan meningkatnya respo n
terhadap angiotensin II dan noradrenalin.
Kerusakan dari sel endotel arteri spiralis mengakibatkan hipoksia dan seterusnya
menjadi aterosis akut. Aterosis akut ditandai dengan adanya diskontinuitas dari sel
Klasifikasi
Ada dua klasifikasi yang dipergunakan pada sindroma HELLP,
yaitu :
1.
didapati.
Audibert
dkk (1996)
atau lebih
tetapi tidak ketiga parameter sindroma HELLP. Lebih jauh lagi sindroma
HELLP Parsial dapat dibagi beberapa sub grup lagi yaitu Hemolysis (H),
Low Trombosit counts (LP), Hemolysis + low trombosit counts
(H+LP), hemolysis + elevated
liver
enzymes
(H+EL).,
(1991)
mengelompokkan
sindroma
HELLP
penderita
dalam
kelas, yaitu :
kelas
50.000/mm3 ,
jumlah
trombosit
kelas
II
jumlah
trombosit
>
50.000
100.000/mm3
kelas
III
jumlah
trombosit
>
100.000
150.000/mm3.
Gambaran Klinis
1. Karakteristik Penderita
Weinsten (1982) melaporkan sindroma HELLP didapati pada nulipara 68% dan
pada multipara 34%. Pada nulipara umur rerata 24,0 tahun (16 40 tahun),
dengan usia kehamilan rerata 32,5 minggu (24 36,5 minggu). Sedangkan
pada multipara umur rerata 25,6 tahun (18 38 tahun) dengan usia kehamilan
rerata 33,3 minggu (25 39 minggu).
Sibai (1990) melaporkan karakteristik penderita sindro ma HELLP berkulit
putih, multipara dengan riwayat luaran kehamilan yang jelek, usia ibu > 25
tahun, dan gejala muncul sebelum kehamilan aterm ( < 36 minggu). Gejala
dapat muncul antepartum dan postpartum. Gejala sindroma HELLP pada
antepartum dijumpai 69%, dimana 4% pada usia kehamilan 17- 20 minggu,
11% pada usia kehamilan 21 26 minggu, dan selebihnya muncul pada
pertengahan trimester ketiga. 31% gejala timbul pada postpartum. Pada kasus
postpartum timbulnya bervariasi antara beberapa jam sampai 6 hari setelah
persalinan. Sebahagian besar muncul pada 48 jam postpartum. Pada kelompok
ini, 79% penderita sindroma HELLP telah menderita preeklampsia sebelum
persalinan. Namun 21% tidak menderita preeklampsia baik sebelum
maupun pada saat persalinan.
2. Gejala dan Tanda Klinis
Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium atau
kwadran kanan atas (90%), nyeri kepala, malaise sampai beberapa hari sebelum
dibawa ke rumah sakit (90%), serta mual dan muntah (45 86%). 5,7,8
Penambahan berat badan dan edema (60%), hipertensi dapat tidak
beberapa
kasus
dijumpai
hepatomegali,
kejang- kejang,
meningkatkan
jumlah
trombosit,
mempengaruhi
fungsi
hepar
(kadar
dkk
(1999)
melaporkan
pemberian
kortikosteroid
antepartum,
Betametason 12 mg / IM yang diulang 24 jam kemudian dan diberikan tiap
minggu sampai persalinan pada kehamilan 26 sampai 34 minggu dapat
meningkatkan pematangan paru janin.
Magan dkk
(1994)
antepartum,
kortikosteroid.
pemberian
Mereka
dapat menunda
berpendapat
persalinan,
dengan
memaksimumkan
status
kortikosteroid
hematologis
ibu,
memaksimumkan
sistim organ pada janin dan ibu dapat dirujuk ke pusat pelayanan dengan
aman.
Magann dkk (1994) melaporkan pemberian kortikosteroid post partum,
Deksametason 10 mg / 12 jam 2 kali pemberian, dilanjutkan dengan 5 mg / 12
jam pada 24 jam dan 36 jam post partum, mendapatkan penurunan tekanan
darah dan peningkatan jumlah trombosit pada 24 jam post partum serta
penurunan LDH dan
SGOT pada 36 jam post
partum.
Isler dkk (2001) melakukan penelitian prospektif tentang efikasi dari
Deksamethason dan Betametason. Dilaporkan bahwa pemberian Deksametason
dari
Adanya sindroma HELLP ini tidak merupakan indikasi untuk melahirkan segera
dengan cara seksio sesarea. Yang harus dipertimbangkan adalah kondisi ibu dan
bayi. Ibu yang telah mengalami stabilisasi dapat melahirkan pervaginam, bila tidak ada
kontra indikasi obstetrik. Persalinan dapat diinduksi dengan oksitosin pada semua
kehamilan
telah matang untuk diinduksi. Pada kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang
belum matang, seksio sesarea elektif merupakan pilihan.
Magann dkk (1994) melaporkan pada usia kehamilan < 30 minggu dengan serviks
yang matang lebih aman dilakukan persalinan pervaginam. Resiko untuk terjadinya
perdarahan intraventrikuler pada bay i hampir 80% didapati pada persalinan dengan
seksio sesarea. Selain itu juga didapati stress yang terjadi pada ibu dan bayi serta
peningkatan komplikasi pada seksio sesarea. Hal ini merupakan alasan mengapa
persalinan pervaginam merupakan pilihan.
TabelIII Penatalaksanaan Seksio Sesarea pada Sindroma HELLP
Anastesi Umum
Pemberian trombosit 10 unit sebelum operasi jika jumlah trombosit,
50.000/mm3
Plika vesikouterina (bladder flap) dibiarkan terbuka
Drain subfascial
Penutupan kulit secara sekunder atau pemasangan drain subkutan
Pemberian transfusi post operasi
Monitor ketat 48 jam post partum
(Dikutip dari Walker )
Briggs dkk (1996) melaporkan pemasangan drain subfascial atau subkutaneus,
pemberian transfusi darah, trombosit atau fresh frozen plasma intrapartum tidak
mempengaruhi angka kejadian dari komplikasi luka operasi. Komplikasi luka operasi
( hematom atau infeksi) pada pasien yang dilakukan penutupan luka operasi
perprimum atau sekunder secara statistik tidak bermakna hanya tergantung dari
insisi yang dilakukan ( pfannensteil atau mid line).
Schorr dkk (1998) melaporkan seksio sesarea pada sindroma HELLP, terjadinya
komplikasi luka operasi dua kali lebih sering pada insisi Pfanneinsteil dibandingkan
dengan insisi mid line.
banyak, sehingga dapat mengganggu sirkulasi O2 dan CO2 serta nutrisi dari ibu kepada
janin. Sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta seperti
kelainan serviks biasanya relatif tidak berbahaya. Oleh karena itu, pada setiap perdarahan
antepartum pertama-tama harus selalu dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan
plasenta. Perdarahan antepartum yang bersumber pada kelainan plasenta yang secara
klinis biasanya tidak terlalu sukar untuk menentukannya adalah plasenta previa dan
solusio plasenta. Klasifikasi klinis perdarahan antepartum dibagi menjadi : plasenta
previa, solusio plasenta, dan perdarahan antepartum yang tidak jelas sumbernya.
7. PLASENTA PREVIA
Definisi
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim demikian
rupa sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostrium uteri interernum. Sejalan
dengan bertambah membesarnya rahim dan meluasnya segmen bawah rahim ke arah
proksimal memumngkinkan plasenta yang berimplamentasi pada segmen bawah rahim
ikut berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim seolah plasenta tersebut
bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam persalinan kala
satu bisa menubah luas permukaan serviks yang tertutup oleh plasenta. Fenomena ini
berpengaruh pada derajat atau klasifikasi dari plasenta previa ketika pemeriksaan
dilakukan baik dalam massa antenatal maupun dalam massa intranatal, baik dengan
ultrasonografi maupun pemeriksaan digital. Oleh karena itu, pemeriksaan ultrasonografi
perlu diulang secara berkala dalam asuhan antenatal ataupun intranatal.
Klasifikasi
1. Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium
uteri internum.
2. Plasenta previa parialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri
internum.
3. Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berbeda pada pinggir ostium
uteri internum.
4. Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplementasi pada segmen bawah
rahim demikian rupa sehingga tepi bawahnya berbeda pada jarak lebih kurang 2 cm
dari ostium uteri inernum. Jarak yang lebih dari 2 cm dianggap plasenta letak normal.
Etiologi
Penyebab blastokista berimplementasi pada segmen bawah rahim belumlah diketahui
dengan pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa desidua di daerah
segmen bawah rahim tanpa latar belakang lain yang mungkin. Teori lain
mengemukakakan sebagai salah satu penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang
tidak menandai, mungkin sebagai akibat dari proses radang atau atrofi. Paritas tinggi, usia
lanjut, cacat rahim misalnya bekas bedah sesar, kerokan, miomektomi, dan sebagainnya
berperen dalam proses peradangan dan kejadian atrofi di endometrium yang semuanya
dapat dipandang sebagai faktor resiko bagi terjadinya plasenta previa. Cacat bekas bedah
sesar berperan menaikan insiden dua sampai tiga kali. Hipoksemia akibat karbon mono
oksida hasil pembakaran rokok menyebabkan plasenta menjadi hipertrofi sebagai upaya
kompensasi. Plasenta yang terlalu besar seperti pada kehamilan ganda dan eritroblastosis
fetalis bisa menyebabkan pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah rahim
sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.
Patofisiologi
Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trisemester ke 3 dan mungkin juga
lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya segmen bawah rahim, tampak plasenta
akan mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tampak plasenta terbentuk dari
jaringan maternal yaitu bagian desidua blasis yang bertumbuh menjadi bagian dari uri.
Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta yang
berimplementasi di situ sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada
desidua sebagai tapak plasenta. Demikian pula pada waktu serviks mendatar (
effacement ) dan membuka ( dilatation ) ada bagian tampak plasenta yang terlepas. Pada
tempat laserasi ini akan terjadi perdarahan yang berasal darisirkulasi maternal yaitu dari
ruangan intervillus dari plasenta. Oleh karena fenomena pembentukan segmen bawah
rahim itu perdarahn pada plasenta previa betapun pasti akan terjadi ( unavoidable
bleeding ). Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak oleh karena
segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen
otot yang dimilikinya sangat minimal, dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu
tidak akan tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan berhentikarena terjadi pembekuan
kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang besar dari plaasenta pada mana pendarahan
akan berlangsung lebih lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu akan
berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang kejadian
perdarahan. Demikianlah perdarahan akan berulang tanpa sesuatu sebab lain ( causeess ).
Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri ( painless ). Pada plasenta yang
menutupi seluruh ostium uteri internum perdarahan terjadi pada bagian terbawah yaitu
pada ostium uteri internum. Sebaliknya, pada plasenta previa parsialis atau letak rendah,
perdarahan baru terjadi pada waktu mendekati atau pendarahan berikutnya. Untuk berjaga
jaga mencegah syok hal tersebut perlu dipertimbangkan. Perdarahan pertama sudah bisa
terjadi pada kehamilan di bawah 30 minggu tatapi lebih separuh kejadiannya pada umur
kehamilan 34 minggu ke atras. Berhubungan tempat pendarahan terletak dekat dengan
ostium uteri internum, maka perdarahan lebih mudah mengalir ke luar rahim dan tidak
membentuk hematoma retroplsenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan
melepaskan tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian, sangat jarang
terjadi kogulopati pada plasenta previa.
Hal ini yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim yang tipis mudah
diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta melekat lebih kuat pada
dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan inkreta lebih sering terjadi pada
uterus yang sebelumnya bedah sesar, segmen bawah rahim dan serviks yang rapuh
mudah robek oleh sebab kurangnya elemen otot yang terdapat disana. Kedua kondisi ini
berpotensi meningkatkan kejadian perdarahan pascapersalinan pada plasenta previa,
misalnya dalam kala tiga karena plasenta sukar melepas dengan sempurna ( retentio
placentae ), atau setelah uri lepas karena segmen bawah rahim tidak mampu
berkontraksi dengan baik.
Gambaran Klinik
Ciri yang menonjol pada plasenta previa adalah perdarahan uterus keluar melalui vagina
tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir trismester kedua keatas.
Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak dan berhenti sendiri. Perdarahan kembali
terjadi tanpa sesuatu sebab yang jelas setelah beberapa waktu kemudian, jadi berulang.
Pada tiap pengulangan terjadi perdarahan yang lebih banyak bahkan seperti mengalir.
Pada plasenta letak rendah perdarahan baru terjadi pada waktu mulai persalinan;
perdarahan bisa sedikit sampai banyak mirip pada solusio plasenta. Perdarahan diperhebat
berhubung segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi sekuat segmen atas rahim.
Dengan demikian, perdarahan bisa berlangsung sampai pascapersalinan. Perdarahan bisa
juga bertambah disebabkan serviks dan segmen bawah rahim pada plasenta previa lebih
rapuh dan mudah mengalami robekan. Robekan lebih mudah terjadi pada upaya
pengeluaran plasenta dengan tangan misalnya pada retensio plasenta sebagai komplikasi
plasenta akreta.
Berhubung plasenta terletak pada bagian bawah, maka pada palpasi abdomen sering
ditemui bagian terbawah janin masih tinggi diatas simfisis dengan letak janin tidak dalam
letak memanjang. Palpasi abdomen tidak membuat ibu hamil merasa nyeri dan perut tidak
tegang.
Diagnosis
Perempuan hamil yang mengalami perdarahan dalam kehamilan lanjut biasanya
menderita plasenta previa atau solusio plasenta. Gambaran klinik yang klasik sangan
menolong membedakan keduanya. Dulu menggunakan Double set-up examination.
Sekarang menggunakan alat ultrasonografi. Transabdominal ultrasonografi dalam
keadaan kandung kemih dikosongkan akan memberi kepastian doagnosis plasenta previa
dengan ketepatan tinggi sampai 96-98%. Walaupun lebih superior jarang diperlukan
transvaginal ultrasonografi untuk mendeteksi keadaan ostium uteri internum. Di tangan
yang tidak ahli, pemakaian transvaginal ultrasonografi bisa memprovokasi perdarahan
lebih banyak. Di tangan yang ahli dengan transvagian ultrasonografi dapat dicapai
98% positive predictive value dan 100% negative predictive value pada upaya diagnosis
plasenta previa. Transperineal sonografi dapat mendeteksi ostium uteri internum dan
segmen bawah rahim, dan teknik ini dilaporkan 90% positive predictive value dan
100% negative predictive value dalam diagnosis plasenta previa. MRI juga dapat
digunakan namun kalah praktis jika dibandingkan dengan USG terlebih dalam suasana
yang mendesak.
Komplikasi
Ada beberapa komplikasi utama yang bisa terjadi pada ibu hamil yang menderita plasenta
previa, diantaranya ada yang bisa menimbulkan perdarahan yang cukup banyak dan fatal.
1. Oleh karena pembentukan segmen rahim terjadi secara ritmik, maka pelepasan
plasenta dari tempat meletaknya di uterus dapat berulang dan semakin banyak, dan
perdarahan yang terjadi itu tidak dapat dicegah sehingga penderita menjadi anemia
bahkan syok.
2. Oleh karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat segmen
ini yang tipis mudahlah jaringan trofoblas dengan kemampuan invasinya menerobos
ke dalam miometrium bahkan sampai ke perimetrium dan menjadi sebab dari terjadi
plasenta inkreta dan bahkan plasenta perkreta. Paling ringan adalah plasenta akreta
yang perlekatannya lebih kuat tetapi vilinya masih belum masuk ke dalam
miomertium. Walaupun biasanya tidak seluruh permukaan maternal plasenta
mengalami akreta atau inkreta akan tetapi dengan demikian terjadi retensio plasenta
dan pada bagian plasenta yang sudah terlepas timbullah perdarahan dalam kala tiga.
Komplikasi ini sering terjadi pada uterus yang pernah seksio sesarea. Dilaporkan
plasenta aktera terjadi 10% sampai 35% pada pasien yang pernah seksio sesarea satu
kali, naik menjadi 60% sampai 65% bila telah seksio sesarea tiga kali.
3. Serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah sangat
potensial untuk robek disertai oleh perdarahan yang banyak. Oleh karena itu, harus
sangat berhati hati pada semua tindakan manual di tempat ini misalnya pada waktu
mengeluarkan anak melalui insisi pada segmen bawah rahim ataupun pada waktu
mengeluarkan plasenta dengan tangan pada retensio plasenta. Apabila oleh salah satu
sebab terjadi perdarahan banyak yang tidak terkendali dengan cara cara yang lebih
sederhana seperti penjahitan segmen bawah rahim, ligasi arteria uterina, ligasi arteria
ovarika, pemasanngan tampon, atau ligasi arteria hipogastrika, maka pada keadaan
yang sangat gawat seperti ini jalan keluarnya adalah melakukan histerektomi total.
4. Kelainan letak anak pada plasenta previa lebih sering terjadi. Hal ini memaksa lebih
sering diambil tindakan operasi dengan segala konsekuensinya.
5. Kelahiran prematur dan gawat janin sering tidak terhindarkan sebagian oleh karena
tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam kehamilan belum aterm.
Pada kehamilan < 37 minggu dapat dilakukan amniosentesias untuk mengetahui
kematangan paru janin dan pemberian kortikosteroid untuk mempercepat pematangan
paru janin sebagai upaya antisipasi.
6. Komplokasi lain dari plasenta previa yang dilaporkan dalam kepustakaan selain masa
rawatan yang lebih lama, adalah beresiko tinggi untuk solusio plasenta (Risiko Relatif
13,8), seksio sesarea (RR 3,9), kelainan letak janin (RR 2,8), perdarahan
Perdarahan pada plasenta previa berasal dari ibu karenanya keadaan janin tidak sampai
membahayakan. Pasien dengan plasenta previa dilaporkan beresiko tinggi untuk
mengalami solutio plasenta (rate ratio 13,8), seksio sesarea (rate ratio 3,9), kelainan letak
janin (rate ratio 2,8), dan perdarahan pasca persalinan (rate ratio 1,7). Sebuah laporan
menganjurkan pemeriksaan maternal serum alfa feto protein (MSAFP) dalam trimester
kedua sebagai upaya mendeteksi pasien yang perlu diawasi dengan ketat. Bila kadar
MSAFP naik tinggi lebih dari 2 kali median (2.0 multiples of the median) pasien tersebut
mempunyai peluang 50% memerlukan rawatan dalam rumah sakit karena perdarahan
sebelum kehamilan 30 minggu, harus dilhirkan prematur sebelum 34 minggu hamil, dan
harus dilahirkan atas indikasi hipertensi dalam kehamilan sebelum kehamilan 34 minggu.
Pada lebih kurang 20% pasien solutio plasenta datang dengan tanda his. Dalam keadaan
janin masih prematur dipertimbangkan memberikan sulfas magnesikus untuk menekan
his untuk sementara waktu sembari memberikan steroid untuk mempercepat pematangan
paru janin. Tokolitik lain seperti beta-mimetics, calcium channel blocker tidak dipilih
berhubung pengaruh sampingan bradikardia dan hipotensi pada ibu. Denikian juga
dengan indometasin tidak diberikan behubung mempercepat penutupan duktus arteriosus
pada janin.
Perdarahan dalam trimester ketiga perlu pengawasan lebih ketat dengan istirahat baring
yang lebih lama dalam rumah sakit dan dalam keadaan yang serius cukup alasan untuk
merawatnya sampai melahirkan. Serangan perdarahan ulang yang banyak bisa saja terjadi
sekalipun pasien diistirahatbaringkan. Jika pada waktu masuk terjadi perdarahan yang
banyak perlu segera dilakukan terminasi bila keadaan janin sudah viabel. Bila
perdarahannya tidak sampai demikian banyaknya pasien diistirahatkan sampai kehamilan
36 minggu dan bila pada amniosintesis menunjukkan paru janin telah matang , terminasi
dapat dilakukan dan jika perlu melalui seksio sesarea.
Pada pasien yang pernah seksio sesarea perlu diteliti denagn USG, Color Doppler, atau
MRI untuk melihat kemungkinan adanya plasenta akreta, inkreta atau perkreta.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan baik oleh mereka yang ahli dan berpengalaman..
dengan USG dapat dilihat demarkasi antara lapisan Nitabuch dengan desidua basalis yang
terputus. Dengan Color Doppler terlihat adanya turbulensi aliran darah dalam plasenta
yang meluas ke jaringan sekitarnya. Dengan MRI dapat diperlihatkan perluasan jaringan
plasenta ke dalam miometrium (plasenta inkreta atau perkreta).
Apabila diagnosis belum pasti atau tidak terdapat fasilitas USG transvaginal atau terduga
plasenta previa marginalis atau plasenta previa parsialis dilakukan double set-up
examinationbila inpartu ataupun sebelumnya bila perlu. Pasien dengan semua klasifikasi
plasenta previa dalam trimester ketiga yang dideteksi dengan USG transvaginal belum
ada pembukaan pada serviks persalinannya dilakukan melalui seksio sesarea. Seksio
sesarea juga dilakukan apabila ada perdarahan banyak yang mengkhawatirkan.
Kebanyakan seksio sesarea pada plasenta previa dapat dilaksanakan melalui insisi
melintang pada segmen bawah rahim bagian anterior terutama bila plasentanya terletak di
belakang dan segmen bawah rahim telah terbentuk dengan biak. Insisi yang demikian
dapat juag dikerjakan oleh dokter ahli yang cekatan pada plasenta yang terletak anterior
dengan melakukan insisi pada dinding rahim dan plasenta dengan cepat dan dengan cepat
pula mengeluarkan janin dan menjepit tali pusatnya sebelum janin sempat mengalami
perdarahan (fetal exsanguination) akibat plasentanya terpotong. Seksio sesarea klasik
dengan dengan insisi vertikal pada dinding rahim hanya dilakukan bia janin dalam letak
lintang atau terdapat varises yang luas pada segmen bawah rahim. Anestesia regional
dapat diberikan dan pengendalian tekanan darah dapat dikendalikan dengan baik ditangan
spesialis anestesia. Pertimbangan ini dilakukan mengingat perdarahan intraoperasi dengan
anestesia regional tidak sebanyak perdarahan pada pemakaian anestesia umum. Namun,
pada pasien dengan perdarahan berat sebelumnya anestesia umum lebih baik mengingat
anestesia regional bisa menambah berat hipotensi yang biasanya telah ada dan memblokir
respons normal simpatetik terhadap hipovolemia.
Prognosis
Prognosis ibu dan anak pada plasenta previa dewasa ini lebih baik jika dibandingkan
dengan masa lalu. Hal ini berkat diagnosis yang lebih dini dan tidak invasif dengan USG
disamping ketersediaan transfusi darah dan infus cairan telah ada hampir di semua rumah
sakit kabupaten. Rawat inap yang lebih radikal ikut berperan terutama bagi kasus yang
pernah melahirkan dengan seksio sesarea atau bertempat tinggal jauh dari fasilitas yang
diperlukan. Penurunan jumlah ibu hamil dengan paritas tinggi dan usia tinggi berkat
sosialisasi program keluarga berencana menambah penurunan insiden plasenta previa.
Dengan demikian, banyak komplikasi maternal dapat dihindarkan. Namun, nasib janin
masih belum terlepas dari komplikasi kelahiran prematur baik yang lahir spontan maupun
karena intervensi seksio sesarea. Karenanya kelahiran prematur belum sepenuhnya dapat
dihindari sekalipun tindakan konservatif diberlakukan. Pada satu penelitian yang
melibatkan 93.000 persalinan oleh Crane dan kawan-kawan (1999) dilaporkan angka
kelahiran prematur 47%. Hubungn hambatan pertumbuhan janin dan kelainan bawaan
dengan plasenta previa belum terbukti.
8. SOLUSIO PLASENTA
Definisi
Terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari tempat
implantasinya yang normal pada sebelum waktunya yakni antara minggu 20 dan lahirnya
anak.
Plasenta secara normal terlepas setelah bayi lahir. Nama lain yang sering
ml. Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas seperti nyeri pada perut yang terusmenerus, denyut janin menjadi cepat, hipotensi, dan takikardi.
c. Solusio Plasenta Berat
Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%, dan jumlah darah yang keluar melebihi
1000 ml. Gejala dan tanda klinik jelas, keadaan umum disertai syok, dan hampir semua
janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai pada
oligouri biasanya telah ada.
Prevalensi
Solusio plasenta merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum yang
memberikan kontribusi terhadap kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Saat ini
kematian maternal akibat solusio plasenta mendekati 6%. Solusio plasenta merupakan
penyebab 20-35% kematian perinatal
Etiologi
Sebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui , tetapi terdapat beberapa keadaan
patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau menyertai solusio plasenta dan
dianggap sebagai faktor risiko seperti hipertensi, riwayat trauma, kebiasaan merokok, usia
ibu, dan paritas yang tinggi
Tabel 4. Faktor Risiko Solusio Plasenta
Faktor Risiko
1.31.5
Preeklampsia
2.14.0
Hipertensi kronik
1.83.0
2.44.9
Kehamilan ganda
2.1
Hidroamnion
2.0
Wanita perokok
1.41.9
Trombofilia
37
Penggunaan kokain
NA
1025
Faktor Risiko
8 dari 14
Jarang
Patofisiologi
Solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula dari suatu keadaan
yang mampu memisahkan vili-vili korialis plasenta dari tempat implantasinya pada
desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Oleh karena itu patofisiologinya bergantung
pada etiologi. Pada trauma abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah
desidua.
Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis) yang disebabkan
oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat menyebabkan pembentukan
trombosis dalam pembuluh darah desidua atau dalam vaskular vili dapat berujung kepada
iskemia dan hipoksia setempat yang menyebabkan kematian sejumlah sel dan
mengakibatkan perdarahan sebagai hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua
basalis terlepas kecuali selapisan tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan
demikian, pada tingkat permulaan sekali dari proses terdiri atas pembentukan hematom
yang bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada bagian
plasenta yang berdekatan. Pada awalnya mungkin belum ada gejala kecuali terdapat
hematom pada bagian belakang plasenta yang baru lahir. Dalam beberapa kejadian
pembentukan hematom retroplasenta disebabkan oleh putusnya arteria spiralis dalam
desidua. Hematoma retroplasenta mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari
sirkulasi maternal/plasenta ke sirkulasi janin. Hematoma yang terbentuk dengan cepat
meluas dan melepaskan plasenta lebih luas/banyak sampai ke pinggirnya sehingga darah
yang keluar merembes antara selaput ketuban dan miometrium dan selanjutnya keluar
melalui serviks ke vagina (revealed hemorrhage). Perdarahan tidak bisa berhenti karena
uterus yang lagi mengandung tidak mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria
spiralis yang terputus. Walaupun jarang terdapat perdarahan tinggal terperangkap di
dalam uterus (concealed hemorrhage)
Nikotin dan kokain keduanya dapat menyebabkan vasokonstriksi yang bisa menyebabkan
iskemia dan pada plasenta sering dijumpai bermacam lesi seperti infark, oksidatif stres,
apoptosis, dan nekrosis, yang kesemuanya ini berpotensi merusak hubungan uterus
dengan plasenta yang berujung kepada solusio plasenta. Dilaporkan merokok berperan
pada 15% sampai 25% dari insidensi solusio plasenta. Merokok satu bungkus perhari
menaikkan insiden menjadi 40%
Gejala Klinik
Gejala dan tanda klinis yang klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan
yang berwarna tua keluar melalui vagina (80% kasus), nyeri perut dan uterus tegang
terus-menerus mirip his partus prematurus.
Kurang lebih 30% penderita solusio plasenta ringan tidak atau sedikit yang menunjukkan
gejala. Pada keadaaan yang sangat ringan tidak ada gejala kecuali hematom yang
berukuran beberapa sentimeter terdapat pada permukaan maternal plasenta. Rasa nyeri
pada perut masih ringan dan darah yang keluar masih sedikit, sehingga belum keluar dari
vagina. Nyeri yang belum terasa menyulitkan membedakannya dengan plasenta previa
kecuali darah yang keluar berwarna merah segar pada plasenta previa. Tanda vital ibu dan
janin masih baik. Pada inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai kelainan kecuali pada
palpasi sedikit terasa nyeri lokal pada tempat terbentuknya hematom. Kadar fibrinogen
darah dalam batas normal yaitu 350 mg%. Walaupun belum memerlukan intervensi
segera keadaan ringan ini perlu dimonitor terus sebagai upaya mendeteksi keadaan
bertambah berat. Pemeriksaan ultrasonografi berguna untuk menyingkirkan plasenta
previa dan mungkin bisa mendeteksi luasnya solusio terutama pada solusio plasenta
sedang atau berat.
Gejala dan tanda pada solusio plasenta sedang seperti rasa nyeri pada perut yang terusmenerus, denyut jantung janin biasanya telah menunjukkan gawat janin, perdarahan yang
keluar tampak lebih banyak, takikardia, hipotensi, kulit dingin, oliguria mulai ada, kadar
fibrinogen berkurang antara 150-250 mg/100 ml, dan mungkin kelainan pembekuan darah
dan gangguan fungsi ginjal sudah mulai ada. Rasa nyeri bersifat menetap, tidak hilang
timbul seperti pada his yang normal. Perdarahan pervaginam jelas dan berwarna
kehitaman. Pada pemantauan keadaan janin dengan kardiotokografi bisa jadi telah ada
deselerasi lambat. Perlu dilakukan tes gangguan pembekuan darah.
Pada solusio plasenta berat perut sangat nyeri dan tegang serta keras seperti papan
(defence musculare) disertai perdarahan berwarna hitam. Oleh karena itu, palpasi bagianbagian janin tidak mungkin dilakukan. Fundus uteri lebih tinggi daripada yang
seharusnya karena telah terjadi penumpukan darah di dalam uterus pada kategori
concealed hemorrhage. Jika dalam masa observasi tinggi fundus bertambah lagi berarti
perdarahan baru masih berlangsung. Pada inspeksi rahim terlihat membulat dan kulit di
atasnya kencang. Pada auskultasi denyut jantung janin tidak terdengar lagi akibat
gangguan anatomik dan fungsi plasenta. Keadaan umum menjadi buruk disertai syok.
Adakalanya keadaan umum ibu jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan yang tidak
seberapa keluar dari vagina. Kadar fibrinogen darah rendah yaitu kurang dari 150 mg%
dan telah ada tromobositopenia.
Diagnosis Klinik
Dalam banyak hal diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinik yaitu
perdarahan melalui vagina, nyeri pada uterus, dan pada solusio plasenta yang berat
terdapat kelainan denyut jantung janin pada pemeriksaan dengan KTG. Namun kadang
pasien datang dengan gejala perdarahan tidak banyak dengan perut tegangan tetapi janin
telah meninggal. Diagnosis pasti
adanya solusio plasenta. Yang penting, temuan negatif pada pemeriksaan USG tidak
menyingkirkan solusio plasenta.
Frekuensi (%)
Perdarahan pervaginam
78
66
Gawat janin
60
Partus prematurus
22
17
Hipertonus
17
Kematian janin
15
Tabel 5. Gejala dan Tanda yang Terdapat pada 59 Wanita Solusio Plasenta
Diagnosis Banding
Pada kasus solusio plasenta yang parah, diagnosis biasanya jelas. Bentuk-bentuk solusio
yang lebih ringan dan lebih sering terjadi sulit diketahui dengan pasti dan diagnosis sering
ditegakkan berdasarkan eksklusi. Karena itu, pada kehamilan variabel dengan penyulit
perdarahan pervaginam, perlu menyingkirkan plasenta previa dan penyebab lain
perdarahan dengan pemeriksaan klinis dan evaluasi USG. Telah lama diajarkan, mungkin
dengan beberapa pembenaran, bahwa perdarahan uterus yang nyeri adalah solusio
plasenta sementara perdarahan uterus yang tidak nyeri mengindikasikan plasenta previa.
Sayangnya, diagnosis banding tidak sesederhana itu. Persalinan yang menyertai plasenta
previa dapat menimbulkan nyeri yang mengisyaratkan solusio plasenta Perbedaan solusio
plasenta dengan plasenta previa dapat dilihat pada tabel berikut.
Kriteria
Perdarahan
Solusio Plasenta
Plasenta Previa
Terus menerus
Tidak nyeri
Disertai nyeri
Uterus
Tak tegang
Syok/Anemia
Fetus
Lebih sering
Jarang
yang keluar
Pemeriksaan
dalam
Ketuban menonjol
walaupun tidak his
Curah jantung yang menurun dan kekakuan pembuluh darah ginjal akibat tekanan
intrauterina yang meninggi menyebabkan perfusi ginjal sangat menurun dan
menyebabkan anoksia. Keadaan umum yang terjadi adalah nekrosis tubulus-tubulus
ginjal secara akut menyebabkan kegagalan fungsi ginjal.
Mungkin terjadi ekstravasasi luas darah ke dalam otot uterus dan di bawah lapisan serosa
uterus yang disebut sebagai apopleksio uteroplasental ini, yang pertama kalinya
dilaporkan oleh Couvelaire pada awal tahun 1900-an, sekarang sering disebut sebagai
uterus couvelaire. Pada keadaan ini perdarahan retroplasenta menyebabkan darah
menerobos melalui sela-sela serabut miometrium dan bahkan bisa sampai ke bawah
perimetrium dan ke dalam jaringan pengikat ligamentum latum, ke dalam ovarium
bahkan bisa mengalir sampai ke rongga pernitonei. Perdarahan miometrium ini jarang
sampai mengganggu kontraksi uterus sehingga terjadi perdarahan postpartum berat dan
bukan merupakan indikasi untuk histerektomi.
Penanganan
Terapi solusio plasenta akan berbeda-beda tergantung pada usia kehamilan serta status ibu
dan janin. Pada janin yang hidup dan matur, dan apabila persalinan pervaginam tidak
terjadi dalam waktu dekat, sebagian besar akan memilih seksio sesaria darurat.
Solusio Plasenta Ringan
Solusio plasenta ringan jarang ditemukan di RS. Pada umumnya didiagnosis secara
kebetulan pada pemeriksaaan USG oleh karena tidak memberikan gejala klinik yang
khas. Apabila kehamilannya kurang dari 36 minggu dan perdarahan kemudian berhenti,
perut tidak menjadi nyeri, dna uterus tidak tegang, maka penderita harus diobservasi
dengan ketat. Apabila perdarahan berlangsung terus dan gejala solusio plasenta
bertambah jelas atau dengan pemeriksaan USG daerah solusio plasenta bertambah luas
maka dilakukan terminasi kehamilan
Solusio Plasenta Sedang dan Berat
Pada solusio plasenta sedang sampai berat dilakukan perbaikan keadaan umum terlebih
dahulu dengan resusitasi cairan dan transfusi darah. Bila janin masih hidup biasanya
dalam keadaan gawat janin, dilakukan seksio sesarea, kecuali bila pembukaan telah
lengkap. Pada keadaan ini dilakukan amniotomi, drip oksitosin, dan bayi dilahirkan
dengan ekstraksi forcep. Apabila janin telah mati dilakukan persalinan pervaginam
dengan cara melakukan amniotomi, drip oksitosin. Bila bayi belum lahir dalam waktu 6
jam, dilakukan tindakan seksio sesarea.
Tokolitik
Hurd dkk. (1983) mendapatkan bahwa solusio berlangsung dalam waktu yang lama dan
membahayakan apabila diberikan tokolitik. Towers dkk. (1999) memberikan magnesium
sulfat, terbutalin, atau keduanya kepada 95 di antara 131 wanita dengan solusio plasenta
yang didiagnosis sebelum minggu ke-36. Angka kematian perinatal sebesar 5% dan tidak
berbeda dari kelompok yang tidak diterapi. Namun, penggunaan tokolitik pada
penatalaksanaan solusio plasenta masih controversial.
Seksio Sesarea
Pelahiran secara cepat janin yang hidup tetapi mengalami gawat janin hampir selalu
berarti seksio sesarea. Kayani dkk. (2003) meneliti hubungan antara cepatnya persalinan
dan prognosis janinnya pada 33 wanita hamil dengan gejala klinis berupa solusio plasenta
dan bradikardi janin. 22 bayi secara neurologis dapat selamat, 15 bayi dilahirkan dalam
waktu 20 menit setelah keputusan akan dilakukan operasi. 11 bayi meninggal atau
berkembang menjadi Cerebral Palsy, 8 bayi dilahirkan di bawah 20 menit setelah
pertimbangan waktu, sehingga cepatnya respons adalah faktor yang penting bagi
prognosis bayi ke depannya. Seksio sesarea pada saat ini besar kemungkinan dapat
membahayakan ibu karena mengalami hipovolemia berat dan koagulopati konsumtif yang
parah.
Persalinan Pervaginam
Apabila terlepasnya plasenta sedemikian parah sehingga menyebabkan janin meninggal,
lebih dianjurkan persalinan pervaginam kecuali apabila perdarahannya sedemikian deras
sehingga tidak dapat diatasi bahkan dengan penggantian darah secara agresif, atau
terdapat penyulit obstetri yang menghambat persalinan pervaginam. Defek koagulasi
berat kemungkinan besar dapat menimbulkan kesulitan pada seksio sesarea. Insisi
abdomen dan uterus rentan terhadap perdarahan hebat apabila koagulasi terganggu.
Dengan demikian, pada persalinan pervaginam, stimulasi miometrium secara
farmakologis atau dengan massage uterus akan menyebabkan pembuluh-pembuluh darah
berkontraksi sehingga perdarahan serius dapat dihindari walaupun defek koagulasinya
masih ada. Lebih lanjut, perdarahan yang sudah terjadi akan dikeluarkan melalui vagina.
Amniotomi
Pemecahan selaput ketuban sedini mungkin telah lama dianggap penting dalam
penatalaksanaan solusio plasenta. Alasan dilakukannya amniotomi ini adalah bahwa
keluarnnya cairan amnion dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan
mengurangi masuknya tromboplastin dan mungkin faktor-faktor pembekuan aktif dari
bekuan retroplasenta ke dalam sirkulasi ibu. Namun, tidak ada bukti keduanya tercapai
dengan amniotomi. Apabila janin sudah cukup matur, pemecahan selaput ketuban dengan
mempercepat persalinan. Apabila janin imatur, ketuban yang utuh mungkin lebih efisien
untuk mendorong pembukaan serviks daripada tekanan yang ditimbulkan bagian tubuh
janin yang berukuran kecil dan kurang menekan serviks.
Oksitosin
Walaupun pada sebagian besar kasus solusio plasenta berat terjadi hipertonisitas yang
mencirikan kerja miometrium, apabila tidak terjadi kontraksi uterus yang ritmik, pasien
diberi oksitosin dengan dosis standar. Stimulasi uterus untuk menimbulkan persalinan
pervaginam memberikan manfaat yang lebih besar daripada risiko yang didapat.
Pemakaian oksitosin pernah dipertanyakan berdasarkan anggapan bahwa tindakan ini
dapat meningkatkan masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu sehingga memacu
atau memperparah kaogulopati konsumtif atau sindroma emboli cairan amnion.
9. TERAPI KONTRAKSI HIPERTONIK UTERI
1.
Pemberian obat sedasi dan anlgesik jika diindikasikan janin tidak akan lahir dalam
2.
3.
Caesarea.
Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan karena janin lahir
4.
dengan tiba-tiba.
Pada wanita yang berisiko mengalami partus presipitatus berulang, sebaiknya
wanita dirawat sebelum persalinan. Sehingga pengawasan dapat dilakukan dengan
baik.pada waktu persalinan, keadaan diawasi dengan cermat dan episiotomi
dilakukan pada waktu yang tepat untuk menghindari terjadinya ruptur perinea.
10. MOLA HIDATIDOSA
Definisi
Molahidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana seluruh villi korialisnya mengalami
perubahan hidrofobik. Molahidatidosa merupakan bagian dari penyakit trofoblas
gestasional / Gestational Thropoblatic Disease (GTD) yaitu kelompok penyakit yang
ditandai dengan proliferasi abnormal trofoblas pada kehamilan dengan potensi
keganasan.Spektrum
keganasan
dari
GTD
adalah
dalam
bentuk
anemia.
evakuasi
molahidatidosa.
Tanda
dan gejala dari distres pernafasan akut adalah dispnea, takikardi, dan takipnea. Pada
pemeriksaan fisik biasanya dijumpai ronki yang luas. Dan dibutuhkan rawatan ICU
maupun ventilator. Dengan penanganan yang baik, distrespernafasan akan mereda
dalam 2-3 hari. Sekitar 27% pasien MHK mengalami toksemia ditandai oleh adanya
hipertensi (tekanan darah >140/90 mm Hg), proteinuria (>300 mg/dl), dan edema.
Hipertiroid pada molahidatidosa dapat disebabkan oleh peningkatan produksi hormon
Tirotropin oleh jaringan mola dan sebagai efek dari peningkatan hormon Estrogen.
Kadar T4 plasma yang meningkat pada molahidatidosa disebabkan oleh peningkatan
kadar hormon hCG sehingga terjadi peningkatan ikatan molekul hCG pada tempat
reseptor TSH, yang
dari
kelenjar tiroid
Keadaan hipertiroid ini ditandai oleh takikardia, kulit hangat, tremor, peningkatan kadar
T4 dan T3 bebas. Setelah diagnosa molahidatidosa ditegakkan, maka sebaiknya
diberikan terapi -adrenergik sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola untuk
mencegah terjadinya badai tiroid pada saat evakuasi jaringan mola dan pembiusan.
Terapi anti tiroid diberikan untuk waktu yang singkat. Dosis anti tiroid yang dianjurkan
20-40 mg setiap 12 jam secara oral, dan dosis di titrasi sampai 5-10 mg perhari setelah
evakuasi jaringan mola dilakukan untuk mempertahankan denyut jantung sekitar 100
denyutan/menit. Pasien-pasien MHP bisanya tidak datang dengan gambaran klinis
yang khas seperti MHK. Pada umumnya, pasien MHP datang dengan keluhan abortus
inkomplit ataumised abortion dan jarang didiagnosa MHP sebelum evakuasi uterus
dilakukan. Diagnosa MHP biasanya ditegakkan setelah pemeriksaan histologi. Gejala
utamanya adalah pedarahan pervaginam (73%). Pembesaran uterus dan preeklampsia
hanya muncul pada 4-11% dan 1-4% kasus. Kista teka lutein, hiperemesis dan
hipertiroid jarang muncul. Diperkirakan sekitar 8-20% pasien dengan MHK berkembang
menjadi keganasan trofoblastik setelah evakuasi uterus. Molahidatidosa parsial menjadi
persisten kurang dari 3% kasus. Ultrasonografi (USG) telah terbukti sebagai alat
diagnostik yang
akurat dan sensitif untuk menegakkan diagnosa molahidatidosa. Molahidatidosa
komplit menunjukkan gambaran pola vesikuler oleh karena pembengkakkan dari vili
korionik. Vili korionik pada trimester I MHK cenderung lebih kecil dan lebih sedikit
kavitasi. Akan tetapi, mayoritas dari MHK pada trimester I tetap menunjukkan
gambaran USG yang khas (pola snow storm) yaitu pola kompleks, ekogenik massa
intrauterin yang mengandung banyak ruang kista kecil. Temuan USG yang
bermakna untuk MHP adalah : ruang kistik pada plasenta dan rasio transversal
dengan anteroposterior dari kantung kehamilan > 1,5
Tatalaksana
Penatalaksanaan molahidatidosa terdiri dari dua fase yaitu : evakuasi jaringan
mola segera, dan follow up untuk mendeteksi proliferasi trofoblas persisten atau
perubahan keganasan. Evaluasi awal sebelum evakuasi atau histerektomi paling
tidak mencakup pemeriksaan sepintas untuk mencari metastasis.Radiografi toraks
harus dilakukan untuk mencari lesi paru berupa lesi koin. Pemeriksaan Computed
Tomografi (CT) scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk melihat
metastase ke hepar dan otak tidak dilakukan secara rutin.
Aspirasi vakum merupakan terapi pilihan untuk molahidatidosa, berapapun
ukuran uterusnya.Untuk molahidatidosa yang besar, dipersiapkan darah yang
sesuai dan apabila diperlukan dipasang sistem intravena untuk menyalurkan infus
secara cepat. Dapat juga digunakan laminaria apabila serviks panjang, sangat
padat dan tertutup. Dilatasi lebih lanjut dapat dilakukan dengan anestesi sampai
tercapai diameter yang memadai untuk memasukkan kuret pengisap plastik.
Setelah sebagian besar jaringan mola dikeluarkan melalui aspirasi, pasien
diberikan oksitosin, dan jika miometrium telah berkontraksi, biasanya dilakukan
kuretase yang menyeluruh secara hati-hati.
Evakuasi semua isi jaringan mola yang besar tidak selalu mudah dilakukan, dan
pemeriksaan USG intraoperasi mungkin bermanfaat untuk memastikan bahwa
rongga uterus sudah kosong. Wajib tersedia fasilitas dan petugas untuk
laparotomi darurat seandainya terjadi perdarahan yang tidak terkendali atau
trauma serius pada uterus.
Apabila usia dan paritas sudah mencukupi sehingga pasien tidak lagi memerlukan
kehamilan, maka histerektomi mungkin menjadi pilihan daripada
aspirasi
39
yang
dapat
mengganggu
deteksi
dianjurkan
untuk
minggu
setelah
evakuasi.
Sedangkan menurut
Berkowitz
dan
PTG
meningkat
atau
plateu
maka
dapat ditegakkan
11. KORIOKARSINOMA
Koriokarsinoma adalah salah satu jenis dari Penyakit Trofoblastik Gestasional (PTG)
dimana merupakan suatu tumor ganas yang berasal dari sel-sel sito-trofoblas serta
sinsitiotrofloblas ( pembentuk plasenta ) yang menginvasi miometrium, merusak jaringan
di sekitarnya termasuk pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan.
Koriokarsinoma ialah suatu keganasan, berasal dari jaringan trofoblas dan kanker yang
bersifat agresif, biasanya dari plasenta. Hal ini ditandai dengan metastase perdarahan
yang cepat ke paru-paru.
Korio karsinoma adalah tumor ganas yang berasal dari jaringan yang mengandung
trofoblas, seperti: lapisan trofoblas ovum yang sedang tumbuh, vili dari plasenta,
gelembung mola, dan emboli sel-sel trofoblas dimanapun di dalam tubuh. Korio adalah
istilah yang diambil dari vili korionik yaitu salah satu jenis selaput pada rahim manusia.
Istilah Karsinoma merupakan kanker yang berasal dari sel-sel epithelial.
40
Karena kanker ini merupakan kanker yang berasal dari salah satu plasenta yaitu korion
maka salah satu ciri khusus dari kanker ini adalah menghasilkan hormon hCG (Human
Chorionic Gonadothropin) yang sangat tinggi bahkan melebihi kadar hCG pada wanita
hamil. Koriokarsinoma bisa menyerang semua wanita yang pernah hamil termasuk
wanita yang pernah mengalami mola hidatidosa. Tidak seperti mola hidatidosa,
korikarsinoma bisa menyerang banyak organ dalam tubuh, seperti hati, limpa, paru-paru,
tulang belakang, otak juga dinding rahim.
Etiologi
Etiologi terjadinya koriokarsinoma belum jelas diketahui. Trofoblas normal cenderung
menjadi invasive dan erosi pembuluh darah berlebih-lebihan. Metastase sering terjadi
lebih dini dan biasanya sering melalui pembuluh darah jarang melalui getah bening.
Tempat metastase yang paling sering adalah paru-paru 75% dan kemudian vagina
50%. Pada beberapa kasus metastase dapat terjadi pada vulva, ovarium, hepar, ginjal,
dan otak.
Faktor-faktor yang menyebabkan antara lain:
1. Faktor ovum
Ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat dikeluarkan.
2. Immunoselektif dari trofoblast
Yaitu dengan kematian fetus, pembuluh darah pada stroma villi menjadi jarang
dan stroma villi menjadi sembab dan akhirnya terjadi hyperplasia sel-sel
trofoblast.
3. Keadaan sosial ekonomi yang rendah
Keadaan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap pemenuhan gizi ibu yang
pada akhirnya akan mempengaruhi pembentukan ovum abnormal yang mengarah
pada terbentuknya mola hidatidosa.
4. Paritas tinggi
Ibu dengan paritas tinggi, memiliki kemungkinan terjadinya abnormalitas pada
kehamilan berikutnya, sehingga ada kemungkinan kehamilan berkembang
menjadi mola hidatidosa dan berikutnya menjadi koriokarsinoma.
5. Kekurangan protein
Sesuai dengan fungsi protein untuk pembentukan jaringan atau fetus sehingga
apabila terjadi kekurangan protein saat hamil menyebabkan gangguan
pembentukan fetus secara sempurna yang menimbulkan jonjot-jonjot korion
6. Infeksi virus dan faktor kromosom
Patofisiologi
41
Bentuk tumor trofoblas yang sangat ganas ini dapat dianggap sebagai suatu karsinoma
dari epitel korion, walaupun perilaku pertumbuhan dan metastasisnya mirip dengan
sarkoma. Faktor-faktor yang berperan dalam transformasi keganasan korion tidak
diketahui. Pada koriokarsinoma, kecenderungan trofoblas normal untuk tumbuh secara
invasif dan menyebabkan erosi pembuluh darah sangatlah besar. Apabila mengenai
endometrium, akan terjadi perdarahan, kerontokan dan infeksi permukaan. Masa jaringan
yang terbenam di miometrium dapat meluas keluar , muncul di uterus sebagai nodulnodul gelap irreguler yang akhirnya menembus peritoneum.
Gambaran diagnostik yang penting pada koriokarsinoma, berbeda dengan mola
hidatidosa atau mola invasif adalah tidak adanya pola vilus. Baik unsur sitotrofoblas
maupun sinsitium terlibat, walaupun salah satunya mungkin predominan. Dijumpai
anplasia sel, sering mencolok, tetapi kurang bermanfaat sebagai kriteria diagnostik pada
keganasan trofoblas dibandingkan dengan pada tumor lain. Pada pemeriksaan hasil
kuretase uterus, kesulitan evaluasi sitologis adalah salah satu faktor penyebab kesalahan
diagnosis koriokarsinoma. Sel-sel trofoblas normal di tempat plasenta secara salah di
diagnosis sebagai koriokarsinoma. Metastasis sering berlangsung dini dan umumnya
hematogen karena afinitas trofoblas terhadap pembuluh darah.
Koriokarsinoma dapat terjadi setelah mola hidatidosa, abortus, kehamilan ektopik atau
kehamilan normal . tanda tersering, walaupun tidak selalu ada, adalah perdarahan
irreguler setelah masa nifas dini disertai subinvolusi uterus. Perdarahan dapat kontinyu
atau intermitten, dengan perdarahan mendadak dan kadang-kadang masif. Perforasi
uterus akibat pertumbuhan tumor dapat menyebabkan perdarahan intraperitonium.
Pada banyak kasus, tanda pertama mungkin adalah lesi metatatik. Mungkin ditemukan
tumor vagina atau vulva. Wanita yang bersangkutan mungkin mengeluh batuk dan
sputum berdarah akibat metastasis di paru. Pada beberapa kasus, di uterus atau pelvis
tidak mungkin dijumpai koriokarsinoma karena lesi aslinya telah lenyap, dan yang tersisa
hanya metastasis jauh yang tumbuh aktif. Apabila tidak di terapi, koriokarsinoma akan
berkembang cepat dan pada mayoritas kasus pasien biasanya akan meninggal dalam
beberapa bulan. Kausa kematian tersering adalah perdarahan di berbagai lokasi.
Pasien di golongkan beresiko tinggi jiika penyakit lebih dari 4 bulan, kadar gonadotropin
serum lebih dari 40.000 mIU/ml, metastasis ke otak atau hati, tumor timbul setelah
kehamilan aterm, atau riwayat kegagalan kemoterapi, namun menghasilkan anagka
42
faktor
risiko 0
40
Abortus
aterm
4-6
7-12
>12
1000-10000
< 40
Kehamilan sebelumnya
mola
Interval
dengan <4
kehamilan
tersebut
(bulan)
Kadar hCG sebelum < 10
terapi (mIU/mL)
100000
10000
0
3-4
44
5 cm
termasuk uterus
Lokasi
metastasis, Paru-paru
termasuk uterus
Limpa,
Traktus
Otak,
ginjal
gastrointesti
hepar
nal
Jumlah metastasis yang -
1-4
5-8
>8
Agen
Agen
tunggal
multip
diidentifikasi
Kegagalan kemoterapi sebelumnya
el
Tanda dan Gejala
Karena koriokarsinoma merupakan penyakit yang bisa menyerang banyak bagian tubuh
manusia, maka klienpun akan merasakan banyak tanda dan gejala, antara lain:
a. Peningkatan jumlah kadar -hCG
1) Kadar -hCG normal pada tiap umur kehamilan berbeda, dari 5-25
IU/ml.
2) Kadar -hCG yang dianggap mola < 100.000 IU/urine 24jam
3) Kadar -hCG yang dianggap kanker adalah > 100.000 IU/urine 24jam
>40.000 u/ml dalam interval lebih dari 4 bulan.
b. Perdarahan per vaginam
c. Batuk berdarah dan sesak nafas
d. X-ray dada menunjukkan adanya perembesan cairan di ujung kedua paru-paru
e. Sakit kepala dan hemiplegi
f. Sakit tulang belakang
g. Perut bengkak dan sklera menjadi kuning
h. Hilang selera makan dan berat badan turun
Manifestasi klinis
a. Gejala Klinis :
1) Rahim membesar
2) Perdarahan dan syok
3) Ekspulsi gelembung mola
4) Anemis dan gejala sekunder.
b. Anamnesa/ keluhan
45
janin.
Adanya fenomena harmonica: darah dan gelembung mola keluar
dan fundus uteri turun, lalu naik lagi karena terkumpulnya darah
baru
3) Auskultasi
- Tidak terdengar bunyi DJJ
- Terdengan bising dan bunyi khas
d. Reaksi kehamilan
Karena kadar HCG yang tinggi maka uji biologic dan uji imunologik
( galli mainini dan planotest) akan positif setelah pengenceran (titrasi)
-
koriokarsinoma
galli mainini 1/2000 (+) maka kemungkinan mola atau hamil kembar
Anamnesis
48
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan hemodinamik,
selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk: Menilai: o Indeks massa tubuh (IMT > 27
termasuk obesitas) o Tanda-tanda hiperandrogen o Pembesaran kelenjar tiroid atau
manifestasi hipo / hipertiroid o Galaktorea (kelainan hiperprolaktinemia) o Gangguan
lapang pandang (karena adenoma hipofisis)
Keluhan dan gejala Masalah Nyeri pelvik Abortus, kehamilan ektopik Mual,
peningkatan frekuensi berkemih Hamil Peningkatan berat badan, fatigue, gangguan
toleransi Hipotiroid terhadap dingin Penurunan berat badan, banyak keringat, palpitasi
Hipertiroid Riwayat konsumsi obat antikoagulan Koagulopati Gangguan pembekuan
darah Riwayat hepatitis, ikterik Penyakit hati Hirsutisme, akne, akantosis nigricans,
obesitas Sindrom ovarium polikistik (SOPK) Perdarahan pasca koitus Displasia serviks,
polip endoserviks Galaktorea, sakit kepala, gangguan lapang pandang Tumor hipofisis 3
Panduan Tata Laksana Perdarahan Uterus Disfungsional o Faktor risiko keganasan
endometrium (obesitas, nulligravida, hipertensi, diabetes mellitus, riwayat keluarga,
SOPK)
Menyingkirkan: o Kehamilan, kehamilan ektopik, abortus, penyakit trofoblas o
Servisitis, endometritis o Polip dan mioma uteri o Keganasan serviks dan uterus o
Hiperplasia endometrium o Gangguan pembekuan darah.
49
Manajemen PUD
50
13. ENDOMETRIOSIS
Endometriosis adalah satu keadaan di mana jaringan endometrium yang masih berfungsi
terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini yang terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma,
terdapat di dalam miometrium atau pun di luar uterus. Bila jaringan endometrium
terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis, dan bila di luar uterus disebut
endometriosis. Pada endometriosis jaringan endometrium ditemukan di luar kavum uteri
dan di luar miometrium. Daerah yang paling sering terkena adalah organ pelvis dan
peritoneum, walaupun organ lain seperti paru-paru juga ikut terkena meskipun jarang.
Penyakit ini berkembang dari lesi yang kecil dan sedikit pada organ pelvis yang normal
kemudian menjadi massa keras infiltrat dan kista endometriosis ovarium (endometrioma).
51
13 cm
> 3 cm
Superficial
Deep
Superficial
Deep
16
20
Superficial
Deep
16
20
Posterior
Partial
Complete -
Cul-de-sac Obliteration
40
Adhesions
< 1/3
1/32/3
> 2/3
Enclosure
Enclosure Enclosure
Filmy
Dense
16
Filmy
Dense
16
Filmy
Ovary
Perito-neum
Endometriosis
Ovary
Tube
L
R
Dense
16
Filmy
Dense
16
Etiologi
Penyebab endometriosis masih belum diketahui. Beberapa teori muncul menyangkut
faktor anatomis, imunologis, hormonal, dan genetik.
1. Menstruasi retrogad.
Menurut Sampson, endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali
(regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam
darah haid didapati sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel endometrium yang
masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis.
2. Faktor imunologis
Faktor imunologis spesifik yang berperan dalam implantasi endometriosis seperti
VEGF (vascular endothelial growth factor), MIF (migration inhibitory factor), dan
mediator radang (interleukin, TNF) diduga mengalami peningkatan pada situs
endometriosis.
3. Faktor hormonal
Aromatase, enzim pencetus produksi estrogen, telah ditemukan pada implantasi
endometriosis, walaupun belum ditemukan data bahwa aromatase juga ditemukan
pada endometrium normal. PGE2 (prostaglandin E2) berperan sebagai induksi terkuat
produksi aromatase pada implantasi endometriosis.
4. Metaplasia selomik
Teori mengemukakan sel potensial pada ovarium dan peritoneum bertransformasi
menjadi lesi endometriosis akibat stimulasi hormon dan paparan hormonal berulang.
Robert Meyer mengemukakan bahwa endometriosis terjadi karena ransangan pada
sel-sel epitel berasal dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di daerah
pelvis. Ransangan ini menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga
terbentuk jaringan endometrium
5. Penyebaran limfatis
Sebuah studi menunjukkan dari otopsi bahwa sel endometriosis ditemukan dalam
kelenjar limfa pelvis pada 29% wanita. Hal ini dapat menjelaskan mengapa
endometriosis pernah ditemukan di daerah paru-paru.
6. Faktor genetik
Wanita yang memiliki riwayat keluarga menderita endometriosis berisiko tujuh kali
lipat menderita endometriosis. Belum ditemukan defek genetik pada endometriosis.
53
Faktor Risiko
Faktor risiko termasuk usia, peningkatan jumlah lemak tubuh perifer, dan gangguan haid
(polimenore, menoragi, dan berkurangnya paritas). Kebiasaan merokok, olahraga, dan
penggunaan kontrasepsi oral dapat bersifat protektif. Belum ada bukti yang menunjukkan
bahwa mengendalikan faktor risiko dapat mencegah munculnya endometriosis. Faktor
genetik berperan 6-9 kali lebih banyak dengan riwayat keluarga terdekat menderita
endometriosis.
Gejala Klinik
Gejala-gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini adalah:
1. nyeri perut bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan selama
haid (dismenore);
2. disparenunia;
3. nyeri waktu defekasi, khususnya pada waktu defekasi;
4. poli- dan hipermenore;
5. infertilitas.
Dismenore pada endometriosis biasanya merupakan rasa nyeri waktu haid yang semakin
lama semakin menghebat. Sebab dari dismenore ini tidak diketahui, tetapi mungkin ada
hubungannya dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada
waktu sebelum dan semasa haid. Nyeri tidak selalu didapatkan pada endometriosis
walaupun kelainan sudah luas, sebaiknya kelainan ringan dapat menimbulkan gejala
nyeri yang keras. Dispareunia yang merupakan gejala yang sering dijumpai, disebabkan
oleh karena adanya endometriosis di kavum Douglasi. Defekasi yang sukar dan sakit
terutama pada waktu haid, disebabkan oleh karena adanya endometriosis pada dinding
rektosigmoid. Kadang-kadang bisa terjadi stenosis dari lumen usus besar tersebut.
Endometriosis kandung kencing jarang terdapat, gejala-gejalanya ialah gangguan miksi
dan hematuria pada waktu haid. Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada
endometriosis apabila kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium
terganggu. Ada korelasi yang nyata antara endometriosis dan infertilitas. 30-40 persen
wanita dengan endometriosis menderita infertilitas. Menurut Rubin, kemungkinan untuk
hamil pada wanita dengan endometriosis ialah kurang lebih separoh dari wanita biasa.
Faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada endometriosis ialah apabila mobilitas
tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan di sekitarnya. Pada pemeriksaan
54
Side effects
Gonadotropin- Down-regulation of
Leuprolide acetate
releasing
pituitary receptors,
hormone
inhibition of the
IM 1-6 mo
analogs
hypothalamic-
insomnia, libido
pituitary-ovarian axis
changes, fatigue
demineralization,
leading to ovarian
suppression
Nafarelin acetate
(Synarel): 200-400 g
intranasally 1-6 mo
Goserelin acetate
(Zoladex): 3.6-mg
implant SC 28d
10.8-mg implant SC
Oral
q12wks 1-6 mo
Anovulation, atrophy Monophasic pill
breakthrough bleeding,
endometrial tissue
Progestins
Weight gain,
breast tenderness,
Atrophy and
bloating, nausea
Medroxyprogesterone Weight gain, fluid
decidualization of
acetate: 150 mg IM
retention, breakthrough
endometrial tissue,
3mo-4
bleeding, depression
30 mg PO 1-90 days
Megestrol acetate: 40
Possible bone
mg PO 1-6 mo
demineralization with
Anovulation by
400-800 mg PO 1-6
long-term use
Amenorrhea,
decreasing the
Mo
virilization, acne,
suppression of
gonadotropins,
inhibition of
ovulation, amenorrhea
Danazol
midcycle luteinizing
hirsutism, atrophic
hormone surge
vaginitis, decrease in
breast size, hot flashes,
56
deepening of voice
Inhibition of
steroidogenesis,
creation of highandrogen and lowestrogen environment
a. Inhibisi aromatase
Anastrozole 1 mg atau Letrozole 2,5 md setiap hari merupakan generasi ketiga
inhibitor aromatase yang berperan menghambat perubahan androgen menjadi
estrogen sebanyak 50%. Efek samping obat ini adalah penurunan densitas tulang,
namun hal ini dapat dicegah dengan konsumsi vitamin D dan kalsium.
b. Kontrol nyeri
Obat anti inflamasi non steroid (NSAID) menghambat prostaglandin yang
dikeluarkan oleh endometriosis. NSAID merupakan obat lini pertama yang
digunakan ketika diagnosa endometriosis belum ditegakkan.
2. Terapi bedah
Terapi konservatif merupakan modalitas untuk pasien yang hanya ingin meredakan
nyeri atau meredakan nyeri dengan kondisi fertil. Bagi pasien yang infertil, atau
pasien yang tidak berespon dengan terapi konservatif, terapi bedah merupakan
pilihan. Pembedahan terbagi atas terapi bedah definitif dan koservatif.
1. Terapi bedah definitif meliputi histerektomi total dengan salfingo-ooferektomi
bilateral. Setelah pembedahan definitive dilakukan, pasien diberikan terapi sulih
hormone (Hormone Replacement Theraphy).
2. Terapi bedah konservatif bertujuan untuk mengembalikan posisi anatomi panggul
dan mengangkat semua lesi endometriosis yang terlihat.
14. MIOMA PARASITIK
Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga peritoneum sebagai suatu massa.
Perlekatan dengan ementum di sekitarnya menyebabkan sisten peredaran darah diambil
alih dari tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai semakin mengecil dan terputus,
sehingga mioma terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam rongga
peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai mioma jenis parasitik.
15. TANDA DAN GEJALA MIOMA
57
Gejala klinik hanya terjadi pada 35%-50% penderita mioma. Hampir sebagian besar
penderita tidak mengetahui bahwa terdapat keelainan di dalam uterusnya, terutama sekali
pada penderita dengan obesitas. Keluhan penderita sangat tergantung pula dari lokasi atau
jenis mioma yang diderita. Berbagai keluhan penderita dapat berupa:
-
Nyeri
Mioma tidak menyebabkan nyeri daam pada uterus kecuali apabila kemudian terjadi
gangguan vaskuler. Nyeri lebih banyak terkait dengan proses degenerasi akibat oklusi
pembuluh darah, infeksi, torsi tangkai mioma atau kontraksi uterus sebagai upaya
untuk mengeluarkan mioma subserosa dari kavum uteri. Mioma yang besar dapat
menekan rectum sehingga menimbulkan sensasi untuk mengedan. Nyeri pinggang
dapat terjadi pada penderita mioma yang menekan persyarafan yang berjalan di atas
permukaan tulang pelvis.
Efek Penekanan
Mioma intramural sering dikaitkan dengan penekanan terhadap organ sekitar.
Parasitik mioma dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna perlekatan dengan
omentum menyebabkan strangulasi usus. Bila ukuran tumor lebih besar lagi, akan
terjadi penekanan ureter, kandung kemih, dan rectum.
16.
atau
keseimbangan
estrogen-progesteron
yang
tidak
tepat,
menyebabkan pola endometrium yang tidak normal sehingga menjadi tidak baik untuk
implantasi
3) Lendir serviks mengental: Preparat hormon steroid menyediakan mekanisme
kontraseptif sekunder yang dapat melindungi terhadap kehamilan meskipun terjadi
ovulasi, misalnya lendir serviks menjadi lebih kental dan seluler, sehingga merupakan
barier fisik terhadap penetrasi spermatozoa. Pada saat yang bersamaan, 10 perubahanperubahan kelenjar dalam endometrium timbul lebih awal dan dengan intensitas lebih
besar, sehingga endometrium tidak berada dalam fase yang sesuai dengan ovulasi dan
kurang dapat mendukung ovum yang mungkin dilepaskan dan mengalami fertilisasi
4) Pergerakan tuba terganggu: Kombinasi antara hormon estrogen dan progesteron dapat
menjadikan pergerakan tuba terganggu, sehingga transportasi telur dengan sendirinya
akan terganggu pula.
17.
KONTRASEPSI DARURAT
Kontrasepsi darurat adalah metode kontrasepsi yang digunakan pasca senggama dan
sebelum perkiraan waktu implantasi, yang bertujuan mencegah kehamilan pascahubungan seks yang tidak terlindung atau kasus perkosaan.
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja kontrasepsi darurat yang selama ini diketahui adalah menghambat atau
menunda ovulasi, menghambat perjalanan sel telur atau sperma dalam saluran tuba,
mempengaruhi fase luteal, embriotoksik, menginduksi aborsi dan mencegah implantasi
dengan merubah kondisi endometrium, dan motilitas tuba. Kehamilan yang sudah terjadi
tidak terganggu.
Indikasi
Indikasi kontrasepsi darurat adalah untuk mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki
setelah pasangan suami istri melakukan senggama yang tidak terlindungi, misalnya pada
kelompok unmet need. Hal ini juga diindikasikan pada pasangan suami istri yang sudah
mengenakan kontrasepsi baik secara alamiah ataupun medik, namu. kurang adekuat.
Kontrasepsi ini diindikasikan pula pada kasus perkosaan.
Indikasi dan kontraindikasi kontrasepsi darurat
59
Indikasi Kontrasepsi darurat adalah untuk mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki
akibat :
1.
2.
3.
4.
Wanita yang tidak sedang memakai kontrasepsi apapun, karena tugas suaminya
yang sering bepergian dalam jangka waktu lama
Mekanik
Satu-satunya Kondar mekanik adalah IUD yang mengandung tembaga (misalnya: CuT
380A). Jika dipasang dalam waktu "kurang dari 7 hari" setelah senggama, cara ini
mampu mencegah kehamilan.dan selanjutnya dapat dipakai terus untuk mencegah
kehamilan hingga 10 tahun lamanya, atau sesuai waktu yang dikehendakinya. Hanya saja
harganya lebih mahal dan sebaiknya dipasang oleh ahlinya (dokter umum, atau dokter
spesialis kebidanan atau bidan)
Cara kerja :
-
Medik
Paling sedikit ada 5 cara pemberian Kondar yang telah diteliti secara luas. Masingmasing bersifat hormonal dan saat ini diterapkan secara oral. Sekalipun pemberian
pervaginal dalam tahap penelitian, namun kepustakaan yang telah dipublikasikan masih
terbatas pada pemberian per oral.
Lima cara tersebut adalah : Pil KB Kombinasi (mis: Microgynon), Pil Progestin (mis :
Postinor-2), Pil Estrogen (mis: Premarin), Mifepristone (mis : RU-486), Danazol (mis :
Danocrine)
Cara kerja :
-
hasil pembuahan
Mencegah ovulasi / menunda ovulasi
Mengganggu pergerakan saluran telur (tuba fallopi)
Cara pemberian :
o Pil kombinasi : 2x4 tablet dalam waktu 3 hari pasca senggama, (dosis
pertama 1x4 tablet diulang 1x4 tablet 12 jam kemudian setelah dosis
Pertama).
o Pil Progestin : 2x1 tablet dalam waktu 3 hari pasca senggama, (dosis pertama
Efek samping
Efek samping yang mungkin timbul adalah rasa mual, sakit kepala, pusing, muntah ata
payudara tegang. Ini diakibatkan karena pil Kondar mengandung hormon dosis tinggi. Pada
umumnya efek samping berlangsung tidak lebih dari 24 jam.
18.
epitel di bawahnya.
Epitel permukaan merupakan gambaran keadaan epitel jaringan dibawahnya
juga.
Sel-sel yang berasal dari eksfoliasi serviks diambil dan diwarnai secara
khusus, sel-sel yang abnormal dapat terlihat di bawah mikroskop. Seorang
ahli sitologi dapat membedakan tingkat displasia sampai kanker dengan
pemeriksaan ini.
62
(1993)
(1980)
Internatio
National Cancer
Institute (1980)
Academy
of
Cytology
Mulai
Usia
(1980)
Usia 18 Ketika
seksual
seksual
seksual
aktif
aktif
Usia 18- Satu tahun Satu tahun sekali hingga 3x Setiap tahun -
Setelah
35 tahun
negatif
sekali
kemudian setiap
sekali
aktif
sekali
2x
sekali
sekali
40 tahun.
di Satu tahun Minimal setiap 3 tahun, Setelah
atas
60 sekali
tahun
sekali
negatif
kemudian
sebaiknya
dapat dihentikan
dilakukan tes
dapat
setahun sekali.
dihentikan
ACOG = American College of Obstetrician and Gynecologi
Program pemeriksaan/screening yang dianjurkan untuk kanker serviks (WHO):
2x
Screening pada setiap wanita minimal satu kali pada usia 35-40 tahun.
a. Kalau fasilitas tersedia, lakukan tiap 10 tahun pada wanita usia 35-55 tahun.
b. Kalau fasilitas tersedia lebih, lakukan tiap 5 tahun pada wanita usia 35-55 tahun.
c. Ideal dan optimal, lakukan tiap 3 tahun pada wanita usia 25-60 tahun.
63
tes
Teknik untuk melakukan pap smear dapat bermacam-macam. Namun secara umum
sebagai berikut:
a. Pasien tidak boleh berkemih paling tidak 24 jam sebelum pemeriksaan dan tidak
boleh dalam keadaan menstruasi.
b. Spekulum dimasukkan ke dalam vagina setelah dilubrikasi.
c. Dengan serviks yang terkespos, sebuah aplikator berujung kapas yang sudah
sedikit dibasahi dengan cairan saline atau plastik/spatula kayu yang didesain
khusus ditempelkan pada serviks dan diputar 360 untuk mengorek sedikit
permukaan dan untuk mengambil sel dari area skuamokolumnar dari ostium
serviks.
d. Pastikan sel endoservikal juga terambil. Jika belum dapat terambil dengan spatula,
sebuah aplikator berujung kapas atau sikat kecil saat ini sudah dapat digunakan
untuk kebutuhan ini. Benda tersebut dapat dimasukkan ke dalam kanalis
servikalis banyak wanita dan diputar, mengerok sel endoserviks dengan lebih
efisien.
e. Kedua spesimen ini dapat digabung atau diletakkan pada kaca preparat terpisah
menurut pilihan pemeriksa. Bahan pengawet diberikan secepatnya untuk
mencegah pengeringan oleh udara, yang mana akan mengkompromisasi
interpretasi.
f. Kaca preparat dikirim ke laboratorium dengan kertas identifikasi yang berisi
riwayat dan penampakan terkait.
2. Colposcopy
populer pada penggunaan klinis memiliki pembesaran hingga 13.5x yang dengan
efektif menjembatani perbedaan antara apa yang dapat dilihat dengan mata telanjang
dan dengan mikroskop. Beberapa colposcope dilengkapi dengan kamera untuk
fotografi dan rekaman tunggal atau serial kondisi patologis.
Colposcopy tidak menggantikan metode lain untuk mendiagnosis abnormalitas
serviks, tetapi sebagai alat pelengkap dan penting. Dua kelompok pasien paling
penting yang dapat menggunakan keuntungan penggunaan alat ini adalah 1) pasien
dengan hasil pap smear abnormal; dan 2) anak perempuan yang terpajan DES, yang
kemungkinan terjadi displasia vagina atau serviks.
Para pengguna colposcope dapat melihat area displasia dan vaskuler seluler atau
abnormalitas jaringan yang tidak dapat terlihat biasa, yang mana memudahkan
memilih area yang paling sesuai untuk biopsi. Pewarnaan dan agen kimia lain juga
digunakan untuk menambah visualisasi. Colposcope telah mengurangi kebutuhan
untuk melakukan biopsi serviks sembarang yang kemungkinan menemukan
abnormalitasnya
rendah.
Pengguna
colposcope
yang
berpengalaman
dapat
menemukan lesi serviks fokal, melakukan biopsi langsung pada area yang paling
sesuai, dan membuat keputusan tentang terapi paling sesuai yang sebagian besar
berdasarkan apa yang terlihat dengan colposcope.
3. Visual Inspection With Acetic Acid (Via) = Inspeksi Visual Dengan Aplikasi
Asam Asetat (IVA)
Studi ini diinisiasi dengan tujuan utama untuk menentukan apakah inspeksi visual
berbantu dapat digunakan sebagai modalitas alternatif untuk mendeteksi awal lesi
kanker dan prakanker serviks. Hal ini juga dipicu dengan kebutuhan banyak wanita
dengan kondisi (sosioekonomi) yang tidak mendukung akan tes screening kanker
serviks. Pada akhirnya, penggunaan asam asetat 3-5% ternyata meningkatkan
sensitivitas deteksi tidak hanya kanker invasif tetapi juga lesi prakanker. Epitel putih
merupakan penampakan klinis dasar dari zona transformasi abnormal dan hal ini
dikarenakan perubahan osmolar karena pemberian asam asetat yang menyebabkan air
keluar dari sel dan setelah itu membran sel kolaps di sekitar nukleus yang membesar
dan abnormal. Hasilnya, transmisi cahaya terganggu dan lesi memperlihatkan warna
putih. Pemberian asam asetat juga dapat dilakukan bersama dengan metode
colposcopy, dimana 10-12% hasil false positive normalnya terdeteksi.
65
19.
Umur
Umur pertama kali melakukan hubungan seksual. Penelitian menunjukkan bahwa
semakin muda wanita melakukan hubungan seksual maka semakin besar kemungkinan
mendapat kanker serviks. Kawin pada usia 20 tahun dianggap masih terlalu muda
Jumlah Kehamilan dan Partus
Kanker serviks dijumpai pada wanita yang sering partus. Semakin sering partus semakin
besar kemungkinan resiko mendapat kanker serviks
Jumlah perkawinan
Wanita yang sering melakukan hubungan seksual dan berganti-ganti pasangan
mempunyai faktor resiko yang sangat esar terhadap kanker serviks.
Infeksi Virus
Infeksi virus herpes simpleks (HSV-2) dan virus papiloma atau virus kondiloma akuinata
diduga sebagai faktor penyebab kanker serviks.
Sosial Ekonomi
Kanker serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah. Erat kaitannya
dengan gizi, imunitas dan kebersihan perorangan.
Hygine dan Sirkumsisi
Diduga adanya pengaruh mudah terjadinya kanker serviks pada wanita yang pasangannya
belum disirkumsisi hal ini karena pada pria non sirkumsisi higiene penis tidak terawatt.
Merokok dan AKDR
Merokok akan merangsang pertumbuhan sel kanker sedangkan pemakaian AKDR akan
berpengaruh terhadap serviks yaitu adanya erosi erviks yang kemudian menjadi infeksi
berupa radang terus menerus.
66
67