Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya pelayanan kesehatan yang bersifat global mulai dijalankan
sejak 1 Januari 2014 oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan. Pelaksanaan upaya pelayanan kesehatan global
(health coverage) dengan kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat
Indonesia ini diharapkan dapat memenuhi hak setiap warga negara
dalam mendapatkan kesehatan. Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia
yang produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam undang - undang
tersebut juga menjelaskan bahwa setiap orang berkewajiban turut serta
dalam program jaminan kesehatan sosial.
Undang Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dalam pasal 49 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan
praktik kedokteran wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali
biaya.
Salah satu indikator efektifitas dan efisiensi dari pelayanan
kesehatan adalah meminimalkan hari perawatan pasien. Hal ini
mendorong Rumah Sakit Panti Rapih menerapkan alur klinik (clinical
pathway) sebagai upaya kendali mutu dan kendali biaya.

Menurut Permenkes Nomor 27 Tahun

2014 Tentang Petunjuk

Teknis Indonesia Case Base Groups (INA CBGs) pasal 1 menjelaskan


bahwa Petunjuk teknis sistem Indonesian Case Base Groups (INA
CBGs) merupakan acuan bagi fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, BPJS
Kesehatan dan pihak lain yang terkait mengenai metode pembayaran
INA-CBGs dalam pembayaran penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.
Dalam pengajuan klaim yang mengacu pada sistem INA CBGs, setiap
Rumah Sakit yang bekerja sama dengan BPJS sudah seharusnya
menerapkan clinical pathway untuk setiap diagnosis sebagai upaya
kendali biaya.
Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diatur pola
pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan adalah dengan
INA CBGs sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013.
Pelaksanaan pembayaran dengan INA CBGs menggunakan sistem
casemix dalam menentukan biaya yang keluar.
Menurut Permenkes Nomor 27 tahun 2014 tentang Petunjuk
Teknis Sistem INA CBGs, casemix adalah pengelompokan diagnosis dan
prosedur dengan mengacu pada ciri klinis yang mirip/sama dan biaya
perawatan

yang

mirip/sama,

pengelompokan

dilakukan

dengan

menggunakan grouper.
Undang - Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
ditetapkan kewajiban rumah sakit antara lain : memberikan pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan
mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan
rumah sakit, membuat dan melaksanakan serta menjaga mutu pelayanan

kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien,


melaksanakan fungsi sosial, melaksanakan sistem rujukan, serta
melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara
regional maupun nasional.
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pasal 24 ayat 3 menyebutkan
bahwa BPJS mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem
kendali mutu pelayanan dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan (Batlibangkes) Kementrian Kesehatan Indonesia, terjadi
peningkatan kasus stroke pada tahun 2007 sebesar 8,3 % dan pada
tahun 2013 sebesar 12, 1 % per 1000 penduduk. Stroke juga merupakan
penyakit tertinggi di Indonesia pada tahun 2010 selain kecelakaan lalu
lintas.
Stroke atau cerebrovascular accident merupakan gangguan
neurologis yang paling banyak terjadi dan menjadi masalah paling utama
penyebab gangguan gerak dan fungsi tubuh pada orang dewasa. Selain
itu stroke merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia. Dua per
tiga stroke terjadi di Negara-negara yang sedang berkembang. Selama
perjalanan hidup manusia, sekitar empat dari lima keluarga akan memiliki
seorang anggoa mereka yang terkena stroke (Irfan, 2012).
Clinical pathway merupakan sumber daya yang memberikan
ringkasan bagi pengguna dari aspek-aspek kunci dari perawatan yang
harus dipertimbangkan untuk orang yang menderita stroke pada setiap

tahap dalam perawatan. Isi dari clinical pathway ini didasarkan pada
bukti-bukti dasar manajemen praktik terbaik dari stroke, yang telah dibuat
berdasarkan pedoman untuk stroke akut, rehabilitasi, dan pemulihan
stroke (National Stroke Foundation, 2007).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal
12 15 Januari 2015 di Bagian Instalasi Rekam Medis dan Bagian
Pelayanan Medik, saat ini tim clinical pathway Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta sedang melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan clinical
pathway yang mulai diterapkan pada bulan Juli 2014. Namun karena
terkendala oleh berbagai hal, penerapan clinical pathway baru dapat
berjalan sejak bulan Oktober 2014 setelah pelaksanaan akreditasi.
Hingga saat ini terdapat delapan diagnosis yang dipilih untuk diterapkan
clinical pathway. Delapan diagnosis tersebut antara lain partus spontan,
pre eclampsia, dengue fever pada anak, non STEMI, STEMI, stroke non
hemorrhagic, BPH, dan fracture femur.

Pemilihan diagnosis tersebut

dilatarbelakangi karena tingginya angka kejadian dan tingginya biaya


perawatan yang dihabiskan pasien. Dalam kegiatan studi pendahuluan,
peneliti

juga

mengambil

sampel

40

berkas

pasien

stroke

non

hemorrhagic, yaitu 20 berkas untuk kelompok sebelum clinical pathway


dan 20 berkas untuk kelompok setelah clinical pathway didapatkan hasil
lama perawatan sebelum clinical pathway 6,4

hari dengan biaya

perawatan Rp. 5.600.000 dan setelah clinical pathway 4,95 hari dengan
biaya perawatan Rp. 4.700.000.
Tingginya jumlah pasien stroke di Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta dengan rata-rata setiap bulannya 60 70 pasien dan masih

tingginya biaya perawatan yang dihabiskan pasien mendorong tim dokter


untuk membuat sistem alur klinis untuk diagnosis stroke. Salah satu cara
monitoring pelaksanaan clinical pathway, tim dokter di Rumah Sakit Panti
Rapih membuat lembar pemantauan clinical pathway yang salah satunya
untuk melihat kelengkapan dalam pengisian formulir clinical pathway.
Masing masing diagnosis yang telah ditetapkan untuk penerapan
clinical pathway memiliki lembar pemantauan pengisian formulir sebagai
kendali dalam sistem pendokumentasian sekaligus evaluasi dalam
pelayanan yang telah diberikan.
Salah satu indikator yang bisa dilihat dari adanya clinical pathway
adalah pada lama
dipengaruhi

perawatan pasien.

Variabel lama

perawatan

oleh efektifitas pelayanan dan berpengaruh terhadap biaya

perawatan pasien.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan,
peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan outcome yang dihasilkan
oleh adanya clinical pathway dalam mengendalikan lama perawatan dan
biaya perawatan pasien. Oleh karena itu, penelitian ini diambil dengan
judul: Perbedaan Lama Perawatan dan Biaya Perawatan Pasien Stroke
Non Hemorrhagic Sebelum dan Setelah Penerapan Clinical Pathway di
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, rumusan masalah
pada penelitian ini adalah : Apakah ada perbedaan antara lama
perawatan dan biaya perawatan pasien stroke non hemorrhagic sebelum

dan setelah penerapan clinical pathway di Rumah Sakit Panti Rapih


Yogyakarta?.

C. Tujuan Penelitian
Mengetahui perbedaan lama perawatan dan biaya perawatan
pasien stroke non hemorrhagic sebelum dan setelah penerapan clinical
pathway di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit
1) Sebagai bahan evaluasi tim pelaksana clinical pathway di
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.
2) Sebagai referensi SDM rumah sakit dalam melakukan
penelitian lanjutan yang sejenis mengenai clinical pathway.
b. Bagi Peneliti
1) Menambah pengetahuan mengenai penerapan clinical
pathway di rumah sakit yang selama ini baru dipelajari
sebatas teori.
2) Mengetahui manfaat dengan adanya clinical pathway
terhadap luaran yang dihasilkan.

2. Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas disiplin ilmu
rekam medis untuk kepentingan referensi maupun bahan ajar
beberapa profesi yang terkait.
b. Bagi Peneliti Lain
Dapat menjadi acuan dan wacana bagi peneliti lain yang akan
melakukan penelitian dengan tema yang hampir sama.

E. Keaslian Penelitian
Menurut

pengetahuan

peneliti,

penelitian

dengan

topik

Perbedaan Lama Perawatan dan Biaya Perawatan Pasien Stroke Non


Hemorrhagic Sebelum dan Setelah Penerapan Clinical Pathway di
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta belum pernah dilakukan di Rumah
Sakit Panti Rapih. Namun penulis menemukan beberapa penelitian yang
serupa, yaitu :
1. Menurut Pahriyani (2012) tentang Implementasi Clinical Pathway
Terhadap Outcome Klinik Dan Ekonomik Pada Pasien Acute
Coronary Syndrome (ACS) di RSUP dr Sardjito Yogyakarta. Tujuan
penelitian tersebut adalah mengetahui perbedaan outcome klinik dan
outcome ekonomik sebelum dan setelah implementasi clinical
pathway dalam tatalaksana terapi penyakit ACS. Penelitian tersebut
dilakukan dengan rancangan retrospective cross sectional pada
pasien ACS rawat inap di RSUP dr. Sardjito dari Januari 2013 Mei
2014. Parameter outcome klinik menggunakan Length Of Stay (LOS),

readmission rate dan in-hospital mortality serta untuk outcome


ekonomik dihitung biaya total (cost of therapy) dari masing-masing
tingkat keparahan penyakit. Data outcome klinik diperoleh dari catatan
medik pasien selama dirawat sedangkan untuk biaya riil diperoleh dari
bagian jaminan kesehatan.
Hasil analisa statistik perbedaan rata-rata Length Of Stay
(LOS) pada kedua kelompok 7,44 dan 6,31 hari (p<0.05), In Hospital
Mortality (IHM) pada kelompok sebelum clinical pathway 12 pasien
(17,6%) dan 6 pasien (9,2%) pada kelompok setelah clinical pathway
(p<0,05), sedangkan untuk Readmission Rate (RR) tidak terdapat
pasien yang kembali menjalani perawatan (0%) untuk kelompok
sebelum implementasi dan setelah implementasi clinical pathway 1
pasien (1,7%) yang menjalani perawatan kembali (p<0,05). Median
biaya dari dua kelompok (sebelum dan sesudah implementasi clinical
pathway adalah Rp. 50.383.652 vs Rp. 12.583.503 untuk keparahan I
(p<0,05), Rp. 11.121.616 vs Rp. 13.305.502 untuk keaparahan II
(p<0,05), Rp. 37.064.546 vs Rp. 20.169.375 untuk keparahan III
(p<0,05). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan outcome klinik dan ekonomik sebelum dan sesudah
implementasi clinical pathway pada tatalaksana acute coronary
syndrome.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian milik Pahriyani
(2012) adalah pada tujuan, subjek dan rancangan penelitiannya.
Outcome yang ingin dicari dalam penelitian tersebut lebih banyak,
Sedangkan

dalam penelitian ini hanya melihat perbedaan lama

perawatan dan biaya perawatan dengan membandingkan sebelum


dan sesudah penerapan clinical pathway.
2. Menurut Rahmawati (2012) tentang Clinical pathway dan Aplikasi
Activity Based Costing Bedah Sesar di Rumah Sakit Undata Provinsi
Sulawesi Tengah. Penelitian tersebut dilakukan dengan rancangan
kohort studi epidemiologi analitik non eksperimental yang mempelajari
hubungan antara faktor risiko dengan efek atas penyakit. Model
penelitian yang digunakan pada rancangan kohort adalah pendekatan
secara longitudinal. Sampel yang digunakan sebelum Clinical
pathways sejumlah 62, sesudah Clinical pathways sejumlah 124,
dengan total ada 186 sampel yang digunakan,
Hasil penelitian clinical pathways dapat digunakan sebagai
alat (entry point) untuk melakukan perbaikan dan revisi standar
pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang bersifat dinamis
berdasarkan pendekatan Evidence Base

Medicine (EBM) dan

Evidence Base Nurse serta dapat mengurangi LOS 4-6 hari,


pencegahan infeksi nosokomial, kendali biaya dan meningkatkan
mutu pelayanan kebidanan, perbedaan biaya menurut rekapitulasi
SPM, SOP dan INA DRGs berpengaruh pada variable cost
nutrisi/gizi, obat-obatan, pemeriksaan penunjang medis dan alokasi
departemen produksi penunjang non medis sifatnya fixed cost
dianggap konstan pada setiap pelayanan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian milik Rahmawati
(2012) adalah pada tujuan penelitian, subjek yang diteliti dan
rancangan

penelitian yang

digunakan.

Sedangkan persamaan

penelitiannya ialah sama-sama membandingkan perbedaan lama


perawatan sebelum dan setelah penerapan clinical pathway.
3. Menurut Alexandra (2012), dalam penelitian Peran Clinical Pathway
terhadap Luaran Pasien Stroke Iskemik di Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui
hubungan pemberlakukan clinical pathway dengan luaran stroke
iskemik di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Penelitian tersebut
dilakukan secara observasional analitik dengan rancangan kohort
retrospektif dengan menggunakan data register stroke elektronik dan
rekam medis pasien di Rumah Sakit Bethesda yang dirawat di setiap
bangsal dengan diagnosis iskemik. Hasil penelitian tersebut ialah dari
124 pasien stroke iskemik (62 pasien dengan clinical pathway dan 62
pasien tanpa clinical pathway). Karakteristik dasar dari kedua
kelompok sama. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
pemberlakuan clinical pathway pada pelayanan stroke mampu
menurunkan komplikasi. Namun, tidak ada perbedaan bermakna
dalam hal jumlah kematian, status fungsional, lama rawat inap, dan
pembiayaan diantara kedua kelompok pengamatan. Pemberlakuan
clinical

pathway

juga

meningkatkan

penggunaan

antiplatelet,

antidiabetes, dan statin sebagai tindakan pencegahan stroke


sekunder. Namun tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna
terhadap penggunaan antihipertensi dan antikoagulan diantara kedua
kelompok pengamatan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian milik Alexandra
(2012) ialah terletak pada subjek yang akan diteliti. Dalam penelitian

10

tersebut outcome yang diharapkan lebih banyak. Sedangkan dalam


penelitian ini hanya meneliti luaran yang dihasilkan dari lama
perawatan dan biaya perawatan.

F. Gambaran Umum Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta


1. Sejarah
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari profil rumah
sakit yang diakses melalui website resmi milik Rumah Sakit Panti
Rapih Yogyakarta. Sejarah berdirinya Rumah Sakit dimulai dari
perkembangan gereja Katolik di Yogyakarta. Pada tahun 1914 warta
gembira Kerajaan Allah mulai dikenal oleh warga Yogyakarta
dengan dimulainya pelajaran agama Katolik di rumah R.P.
Himawidjaja (ayah Mgr. A. Djajasepoetro, SJ). Para misionaris
bersama murid-murid dari Xaverius College Muntilan dengan
semangat merasulnya yang tinggi mampu membuat Yogyakarta
sebagai daerah yang menarik untuk dikembangkan. Tahun 1917
berdirilah Standaart-School sebagai lembaga pendidikan Katolik
pertama

di

Yogyakarta.

Seiring

perjalanan

waktu,

lembaga

pendidikan Katolik di Yogyakarta semakin berkembang.


Dari perkembangan yang menggembirakan tersebut, para
misionaris berkeinginan mengembangkan karyanya bagi masyarakat
pribumi dengan membangun rumah sakit. Untuk merealisasikan
tujuan tersebut, maka pengurus Gereja Yogyakarta menjalin
hubungan

dengan

para

Suster

Fransiskanes

agar

bersedia

mengelola rumah sakit. Namun karena pilihan para Suster

11

Fransiskanes untuk berkonsentrasi di bidang pendidikan, maka


tawaran tersebut terpaksa ditolak. Tahun 1921 pengurus Gereja
Yogyakarta

memutuskan

untuk

meminta

bantuan

kepada

Suster-suster Carolus Borromeus yang berpusat di Maastricht


Belanda untuk mengelola rumah sakit. Keputusan ini kemungkinan
besar karena keberadaan Ir. Julius Robert Anton Marie Schmutzer
seorang tokoh awam dan administratur onderneming Gondang
Lipoero Ganjuran Bantul yang memiliki hubungan erat dengan
Kongregasi Suster CB karena istrinya, Ny. C.T.M. Schmutzer, murid
sekolah perawat yang dikelola Suster CB di Belanda.
Titik awal berdirinya Rumah Sakit Panti Rapih adalah
dibentuknya yayasan "Onder de Bogen" atau dalam bahasa Belanda
Onder de Bogen Stichting oleh pengurus Gereja Yogyakarta pada
tanggal 22 Februari 1927. Tanda pembangunan fisik rumah sakit
dimulai dengan peletakan batu pertama oleh Ny. C.T.M. Schmutzer
van Rijckevorsel tanggal 14 September 1928.
Pembangunan rumah sakit akhirnya dapat diselesaikan pada
pertengahan Agustus 1929 dan pada tanggal 24 Agustus 1929 Mgr.
A.P.F van Velse, SJ berkenan memberkati bangunan tersebut.
Tanggal 14 September 1929 secara resmi rumah sakit dibuka oleh
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dengan nama Rumah Sakit
"Onder de Bogen". Bangunan yang dihiasi dengan lengkunganlengkungan dan nama Onder de Bogen menjadikan kelengkapan
nostalgia bagi para Suster CB yang berdinas di rumah sakit ini akan
induk biara Suster-Suster CB di Maastricht Belanda.

12

Para suster melayani dan merawat orang sakit, meringankan


penderitaan sesama sesuai dengan ajaran Injil tanpa memandang
agama dan bangsa. Sedikit demi sedikit penderita datang dan
semakin lama semakin bertambah dan meningkat jumlahnya.
Diantara penderita tersebut sebagian besar adalah pejabat Belanda
dan kerabat Kraton.
Sementara itu rakyat yang miskin dan lemah belum bisa
menikmati pelayanan rumah sakit. Para suster menjadi prihatin dan
merasa tidak puas akan hal ini, karena untuk orang kecil, yang
miskin dan lemahnya mereka datang mengabdi di Bumi Nusantara
ini. Oleh karena itu Pimpinan Umum Suster-suster CB di Maastricht
mendesak Pengurus Yayasan Onder de Bogen untuk menyediakan
fasilitas guna melayani rakyat kecil yang miskin dan lemah. Namun
apa daya, Yayasan Onder de Bogen belum mempunyai dana yang
cukup untuk itu. Melalui uluran tangan Kongregasi Bruder FIC yang
berkenan membantu membangunkan bangsal khusus untuk orang
yang tidak mampu, yang kemudian diberi nama Bangsal Theresia.
Hari berganti hari, jumlah penderita yang datang semakin
meningkat. Fasilitas pun harus ditambah dan dikembangkan untuk
mengimbangi kebutuhan pelayanan. Pada tahun 1942 datanglah
bangsa Jepang untuk menjajah Indonesia tercinta ini. Dalam waktu
singkat, penderitaan besar segera melanda seluruh penjuru
Indonesia. Rumah Sakit Onder de Bogen tidak terhindar pula dari
penderitaan ini. Pengelolaan rumah sakit menjadi kacau balau.

13

Keadaan keuangan rumah sakit benar-benar menyedihkan, biaya


rutin saja harus ditutup dengan segala susah payah.
Sementara itu para Suster Belanda diinternir dan dimasukkan
kampung tahanan Jepang. Dan saat itu yang paling pedih pun
datang, rumah sakit Onder de Bogen diambil alih menjadi rumah
sakit pemerintah Jepang. Dr. Sentral selaku Direktur Rumah Sakit,
dipindahkan ke Rumah Sakit Bethesda, yang juga diambil alih
pemerintah Jepang. Pimpinan rumah sakit diserahkan kepada Sr.
Sponsari, dan Moeder vonne diangkat sebagai Pembesar Umum
Suster CB di Indonesia. Keadaan rumah sakit menjadi semakin
parah.
Pemerintah Jepang juga menghendaki agar segala sesuatu
termasuk bahasa, yang berbau Belanda tidak digunakan di seluruh
muka bumi Indonesia. Tidak luput pula nama rumah sakit ini harus
diganti nama pribumi. Mgr. Alb. Soegijopranoto, SJ, Bapa Uskup
pada Keuskupan Semarang berkenan memberikan nama baru
"Rumah Sakit Panti Rapih", yang berarti Rumah Penyembuhan.
Sesudah masa pendudukan Jepang, berkibarlah dengan
megahnya Sang Dwi Warna, Merah Putih, dan para Suster CB dapat
kembali lagi ke Rumah Sakit Panti Rapih. Dengan semangat cinta
kasih, mereka merawat para pejuang kemerdekaan bangsa
Indonesia, diantaranya Panglima Besar Angkatan Perang Republik
Indonesia, Jenderal Sudirman. Ketika Sr. Benvunito , seorang Suster
CB yang merawat Jenderal Sudirman

memperingati genap dua

puluh lima tahun membiara, Panglima Besar Jenderal Sudirman

14

berkenan merangkai sebuah sajak indah dan ditulis tangan dengan


hiasan yang cantik khusus untuk Suster Benvunito dan Rumah Sakit
Panti Rapih. Sajak yang berjudul Rumah Nan Bahagia tersebut
saat ini masih tersimpan dengan baik.
Sesudah

kedaulatan

Indonesia

diakui

oleh

dunia

Internasional, maka Rumah Sakit Panti Rapih juga semakin dikenal


dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Semakin banyak pula
penderita yang datang dan dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih.
Untuk mengimbangi hal ini, para pengurus Yayasan dan para
Suster merencanakan untuk memperluas bangunan dan menambah
fasilitas yang ternyata membutuhkan dana dan pembiayaan yang
tidak sedikit. Para Suster CB bersama Pengurus Yayasan berusaha
keras sekuat tenaga untuk mendapatkan dana bantuan, baik dari
Pemerintah maupun dari umat Katolik. Sekedar untuk menambah
dana, para Suster membuat lukisan-lukisan dan pekerjaan tangan
lainnya

untuk

dijual.

Atas

jasa

dan

jerih

payah

Marcus

Mangoentijoso, yang menjabat sebagai Pengurus Yayasan pada


waktu itu, diperoleh bantuan yang cukup besar dari Pemerintah
Republik Indonesia melalui Yayasan Dana Bantuan, yang dapat
dimanfaatkan untuk membangun bangsal Albertus, bangsal Yacinta
dan Poliklinik Umum.

15

2. Jenis Rumah Sakit


Rumah Sakit Panti Rapih berada dibawah naungan
keuskupan Agung Semarang, dikelola bersama sama suster-suster
Tarekat Cinta Kasih Santa Corollus Borromeus dan sebagai
pelaksanaan adalah Yayasan Panti Rapih. Rumah Sakit Panti Rapih
adalah salah satu rumah sakit swasta di Daerah Istimewa
Yogyakarta yang terletak di jalan Cik Ditiro 30 dan rumah sakit ini
merupakan rumah sakit dengan tipe B. Selain sebagai pelayanan
kesehatan, Rumah Sakit Panti Rapih juga digunakan sebagai tempat
pendidikan bagi calon perawat, dan institusi kesehatan lain seperti
apoteker, fisioterapi, dan lain sebagainya.

3. Kepemilikan
Rumah Sakit Panti Rapih merupakan rumah sakit swasta di
Yogyakarta milik Yayasan Panti Rapih.

4. Falsafah Pelayanan Kesehatan


a. Setiap pasien adalah citra Allah yang unik yang patut dihargai
dan dikasihi.
b. Setiap pasien adalah pribadi yang bermartabat dan mempunyai
hak untuk memperoleh layanan optimal agar dapat menjadi
bagian dari masyarakat umum sehingga derajat kesehatan
masyarakat dapat terwujud.
c. Layanan

diberikan

secara

menyeluruh

dilandasi

iman,

pengharapan, dan kasih yang diwujudkan dalam semangat

16

pendampingan

dan

layanan

kepada

para

pasien

dan

bagian

integral

tak

keluarganya.
d. Karyawan

RS

Panti

Rapih

adalah

terpisahkan dari karya RS Panti Rapih, dan kesejahteraan


mereka secara wajar dan terhormat menjadi bagian pula dari
tujuan penyelenggaraan pelayanan kesehatan RS Panti Rapih.

5. Visi Misi Nilai


a. Visi
Rumah Sakit Panti Rapih sebagai rumah sakit rujukan
yang memandang pasien sebagai sumber inspirasi dan motivasi
kerja dengan memberikan pelayanan kepada siapa saja secara
profesional penuh kasih dalam suasana syukur kepada Tuhan.
1) Rumah Sakit Rujukan
Sebagai rumah sakit yang mampu menerima
rujukan dari rumah sakit lain disekitarnya, terutama bagi
layanan subspesialistik yang tersedia. Selain itu RS Panti
Rapih

juga

memberikan

bimbingan

baik

medik,

keperawatan maupun non medik kepada rumah sakit lain


yang membutuhkan.
2) Pasien sebagai Pusat Inspirasi Motivasi
Semangat
berkembang

melayani

dengan

kepada

memperhatikan

pasien

selalu

perkembangan

kebutuhan pasien dalam semua aspek layanan, supaya


dapat memberikan kepuasan yang maksimal.

17

3) Pelayanan yang Profesional


Layanan

RS

memperhatikan

Panti

standar

Rapih

sungguh-sungguh

layanan

sesuai

dengan

perkembangan ilmu dan teknologi yang tersedia (medik,


keperawatan, penunjang medik, dan manajemen).
4) Penuh Sakit
Semua orang adalah umat Allah yang kudus, yang
harus dihargai, dihormati, dan dibela hak hidupnya secara
bersungguh-sungguh. Layanan diberikan dengan sentuhan
yang

manusiawi,

adil

dan

tanpa

membeda-bedakan

pangkat / jabatan, asal usul, ras, suku dan golongan dan


agama serta status sosial.
5) Syukur
Setiap

orang,

baik

karyawan

maupun

pasien

merasakan layanan yang ikhlas, jujur dan penuh kasih, dan


mampu merasakan pengayoman Tuhan sebagai pemberi
hidup yang memelihara setiap orang dengan kasih yang tak
terbatas, adil dan tidak membedakan.
b. Misi
1) Rumah Sakit Panti Rapih menyelenggarakan pelayanan
kesehatan menyeluruh secara ramah, adil, profesional,
ikhlas, dan hormat dalam naungan iman Katolik yang gigih
membela hak hidup insan dan berpihak kepada yang
berkekurangan.

18

2) Rumah Sakit Panti Rapih memandang karyawan sebagai


mitra

karya

dengan

memberdayakan

mereka

untuk

mendukung kualitas kerja demi kepuasan pasien dan


keluarganya,

dan

menyelenggarakan

dengan
kesejahteraan

mewajibkan
karyawan

diri
secara

terbuka, proporsional, adil, dan merata sesuai dengan


perkembangan dan kemampuan.
c. Nilai
1) Ramah
Ringan menyapa, tulus tersenyum, dan peka pada
harapan/kebutuhan yang dilayani.
2) Adil
Memberikan layanan kesehatan dan sikap melayani
yang

sama

tanpa

memandang

strata

sosial,

pangkat/jabatan, kaya-miskin, asal-usul, dan perbedaan


lain.
3) Profesional
Memberikan layanan sesuai dengan standar yang
sudah ditetapkan secara optimal setara dengan tersedianya
sumber-sumber yang ada.
4) Ikhlas
Kepada siapapun, memperoleh seberapapun, tidak
menjadi halangan untuk terus melayani dan membela
kehidupan

pasien

sampai

Tuhan

sendiri

mengambil

keputusan.

19

5) Hormat
Sikap menghargai keunikan sebagai sumber yang
mendasari pengabdian kepada setiap orang dan semua
makhluk ciptaan Tuhan.

6. Tujuan Pelayanan Kesehatan


Mengabdi sesama yang menderita dan sakit agar nama
Tuhan semakin dimuliakan dengan :
a. Mengantar masyarakat mencapai status kesehatan yang optimal
melalui pendekatan layanan holistik (menyeluruh) yang meliputi
aspek biologis, psikologis, sosial, spiritiual, dan intelektual.
b. Menciptakan budaya kerja yang dipenuhi buah penghayatan
iman sejati guna mewujudkan pengabdian yang penuh kasih,
saling menghargai, membela hak hidup setiap insan, dan
sekaligus mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh
karyawan secara wajar.
c. Mengupayakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran bagi seluruh
lapisan masyarakat.

7. Jenis Pelayanan
a. Pelayanan Medis
1) Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Memberikan
melakukan

tindakan

pelayanan
secara

kesehatan

profesional,

cepat,

dengan
tepat

20

sehingga mencegah cacat tubuh atau kematian pada


penderita gawat darurat.
2) Rawat Inap
Kamar Rawat Inap tersedia di setiap bangsal rawat
inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta terdiri dari
bangsal Elizabeth, dengan berbagai perawatan antara lain
VVIP, VIP, utama, kelas I, kelas II, dan kelas III. Disamping
itu juga tersedia untuk kasus penyakit kebidanan dan
kandungan, penyakit anak, penyakit dalam, penyakit bedah,
penyakit saraf, bayi baru lahir, dan kamar dengan peralatan
lengkap 24 jam.
3) Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta memiliki poliklinik rawat
jalan sebagai berikut :
a) Poliklinik Umum
1. Subspesialis Endokrinology;
2. Subspesialis Hematology;
3. Subspesialis Infeksi;
4. Subspesialis Cardiology;
5. Subspesialis Gatroenterology;
6. Subspesialis Hepatology.
b) Poliklinik Kesehatan Anak
1. Subspesialis Neo/Perinatology;
2. Subspesialis Hematology Anak.
c) Poliklinik Gigi
1. Spesialis Ortodentist;

21

2. Spesialis Bedah Mulut;


3. Spesialis Protesa;
4. Spesialis Konversi Gigi;
d) Poliklinik Endrokopik
1. Gastroscopy;
2. Bronchoscopy;
3. Coloncopy;
4. Urethroscopy;
5. Urethrorenscopy.
e) Poliklinik Bedah
1. Bedah Umum;
2. Digestive;
3. Orthopedic;
4. Oncologic;
5. Neuro;
6. Urology;
7. Anak;
8. Thorax dan vascular;
9. Mulut;
10. Plastik;
11. Laparoskopik;
f)

Klinik Kebidanan dan Kandungan

g) Klinik Penyakit Mata


h) Klinik Kulit Kelamin
i)

Klinik Syaraf

22

j)

Klinik Jiwa

k) Klinik Psikologi
l)

Klinik Penyakit Paru

m) Klinik Penyakit Kulit Kosmetik


n) Klinik Penyakit Asma dan Alergi
o) Klinik Gizi
p) Klinik Rehabilitasi Medik
q) Klinik Radiotherapy
r) Pelayanan Pengobatan Alternatif
s) Klinik Akupuntur dan Jamu
t)

Medical Check Up

4) Farmasi
Pemberian obat yang rasional, efektif, dan efisien
menjadi tujuan layanan Farmasi Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta adalah daftar obat yang bermutu termasuk
original produk.
5) Laboratorium
6) Administrasi Keuangan
Rawat jalan Rumah Sakit Panti Rapih didukung oleh
beberapa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter
subspesialis.
7) Pelayanan Penunjang
a) Fisioterapi atau Rehabilitasi Medis
Memberi pelayanan kepada penderita rawat
inap dan rawat jalan. Banyak jenis peralatan fisioterapi

23

masa kini antara lain sonodynator yaitu perpaduan


ultrasonic terapi dengan elektrikal stimuli yang dapat
dikerjakan

bersama,

sangat

efektif

yang

dapat

menghilangkan nyeri dan kejang otot, dan perlengkapan


jaringan disertai otot.
b) Radiologi
Bagian Radiologi yang ada di Rumah Sakit Panti
Rapih Yogyakarta:
1. Whole Body Computerized Tomo Graphy-Scanner;
2. Ultrasono Graphy (USG);
3. Electro Cardio Graphy (ECG).
Untuk melihat fungsi jantung, keadaan otot dan
katup jantung :
1. Magnetic Resonance Imaging (MRI);
2. Foto Thorax kecil atau besar;
3. Foto dengan kontras.
c) Diagnostik Hemodialisa (Dialisa Ginjal)
Mempunyai pelayanan klinik dialisa (cuci darah)
yang modern dapat digunakan dalam keadaan biasa dan
gawat darurat 2 jam. Alat dialisa ini menggunakan
larutan bikarbonat memungkinkan penderita lebih jarang
mengalami komplikasi dan merasa nyaman.

24

8) Fasilitas yang tersedia di Rumah Sakit Panti Rapih


Yogyakarta antara lain sebagai berikut ini :
a) Memiliki kepastian tempat tidur sebanyak 380 tempat
tidur
b) Laboratorium
1. Laboratorium Patologi Klinik : Darah, urine, kimia,
feses,dll;
2. Laboratorium Anatomi :Jariangan dan sitologi;
3. Hemodialisa;
4. Radiologi;
5. Treadmill;
6. Farmasi
7. LFT (Lung Functional Graphy);
8. Fisioterapi;
9. ECG (Electro Cardio Graphy);
10. Konsultan Gizi;
11. Endoscopy;
12. PASSOMED (Pelayanan Pastual Sosial Medik);
13. UPI (Unit Pelayanan Intensif);
14. UPKMRS

(Unit

Pelayanan

Pastual

Kesehatan

Rumah Sakit);
15. Kamar Bersalin;
16. Rumah Duka

25

9) Ruang Perawatan
Ruang perawatan tersedia dengan 380 tempat tidur
dengan klasifikasi mulai dari VVIP sampai dengan kelas 3
dengan perincian :
Tabel 1. Jumlah tempat tidur setiap ruang perawatan di Rumah
Sakit Panti Rapih
Ruang Perawatan
Jumlah (bed)
Kelas VVIP
1
Bangsal Maria Yosep
Kelas VIP
22
Bangsal Maria Yosep, Carolus
Kelas 1A
75
Bangsal Maria Yosep, Carolus
Kelas 1B
19
Bangsal Carolus
Kelas 1C
42
Bangsal Lukas
Kelas 2
85
Bangsal Elisabeth, Carolus
Kelas 3
136
Bangsal Elisabeth
Sumber : Profil Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

26

Anda mungkin juga menyukai