Latar Belakang
Pajak merupakan sumber pendapatan Negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan
peningkatan pembangunan nasional untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Penerimaan pajak berasal dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), penerimaan cukai, pencairan tunggakan pajak, maupun
pajak-pajak lainnya.
Direktorat Jenderal Pajak (fiskus) melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan
pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak.Ekstensifikasi ditempuh dengan mencari wajib
pajak yang baru.Potensi pajak sebenarnya masih sangat besar.Upaya intensifikasi dapat ditempuh
melalui peningkatan kualitas aparatur perpajakan, pelayanan prima terhadap wajib pajak dan
pembinaan kepada para wajib pajak, pengawasan administratif, pemeriksaan, penyidikan, dan
penagihan aktif serta penegakan hukum atau law enforcement.
Pajak dipungut dari warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang
dapat dipaksakan penagihannya.Sistem perpajakan Indonesia mengalami perubahan pada tahun
1983 dari Official Assessment System menjadi Self Assessment. System.Self Assessment System
adalah suatu sistem dimana pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak
untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (fiskus), sesuai dengan fungsinya
berkewajiban melaksanakan pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi
perpajakan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan wajib pajak berdasarkan ketentuan yang
digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Self Assessment System
memungkinkan potensi adanya wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya
dengan baik akibat dari kelalaian, kesengajaan atau mungkin ketidaktahuan para wajib pajak atas
kewajiban perpajakannya.Oleh karena itu, diperlukan adanya peran yang aktif dari fiskus untuk
menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasannya
secara optimal. Untuk menggali penerimaan negara dari sektor perpajakan dibutuhkan upaya
upaya nyata, serta diimplementasikan dalam bentuk kebijakan pemerintah.
Upaya-upaya tersebut dapat berupa intensifikasi maupun ekstensifikasi perpajakan.
Intensifikasi pajak dapat berupa peningkatan jumlah Wajib Pajak (WP) maupun peningkatan
penerimaan pajak itu sendiri. Upaya ekstensifikasi dapat berupa perluasan objek pajak yang
selama in belum tergarap. Untuk mengejar penerimaan pajak, perlu didukung situasi sosial
ekonomi politik yang stabil, sehingga masyarakat juga bisa dengan sukarela membayar pajaknya.
Pemerintah tentu diharapkan dapat mempertimbangkan kembali kebijakan perpajakan yang bisa
menarik minat masyarakat menjadi wajib pajak seperti sunset policy.
Demikian juga, salah satu kebijakan yang perlu dipertimbangkan adalah diberikannya tax
amnesty atau pengampunan pajak. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan subyek pajak
maupun obyek pajak. Subyek pajak dapat berupa kembalinya dana-dana yang berada di luar
negeri, sedangkan dari sisi obyek pajak berupa penambahan jumlah wajib pajak.
Kebijakan Tax Amnesty sebenarnya pernah dilakukan Indonesia pada tahun 1984.
Demikian juga kebijakan lain yang serupa berupa Sunset Policy telah dilakukan pada tahun 2008.
Sejak Program Sunset Policy diimplementasikan sepanjang tahun 2008 telah berhasil menambah
jumlah NPWP baru sebanyak 5.653.128 NPWP, bertambahnya SPT tahunan sebanyak 804.814
SPT dan bertambahnya penerimaan PPh sebesar Rp7,46 triliun. Jumlah NPWP orang pribadi
15,07 juta, NPWP bendaharawan 447.000, dan NPWP badan hukum 1,63 juta. Jadi totalnya
17,16 juta (data DJP, 2010 kuartal Pada hakekatnya implementasi tax amnesty maupun sunset
policy sekalipun secara psikologis sangat tidak memihak pada wajib pajak yang selama ini taat
membayar pajak. Kalaupun kebijakan itu diterapkan di suatu negara, harus ada kajian mendalam
mengenai karakteristik wajib pajak yang ada di suatu negara tersebut karena karakteristik wajib
pajak tentu saja berbeda-beda.
Program tax amnesty telah dilakukan di banyak negara di dunia ini, baik oleh negara
maju maupun negara berkembang dengan berbagai cerita sukses maupun kegagalan. India
(1997), Irlandia (1988), dan Italia (1982, 1984, dan 2001/2002) adalah contoh negara yang
sukses menyelenggarakan program pengampunan pajak. Sedangkan Argentina (1987) dan
Prancis (1982 dan 1986) adalah contoh negara yang gagal dalam program pengampunan pajak.
Tax amnesty adalah suatu kesempatan waktu yang terbatas pada kelompok pembayar
pajak tertentu untuk membayar sejumlah tertentu dan dalam waktu tertentu berupa pengampunan
kewajiban pajak (termasuk bunga dan denda) yang berkaitan dengan masa pajak sebelumnya
atau periode tertentu tanpa takut hukuman pidana. Ini biasanya berakhir ketika otoritas yang
dimulai penyelidikan pajak pajak masa lalu. Dalam beberapa kasus, undang-undang amnesti
yang memperpanjang juga membebankan hukuman yang lebih berat pada mereka yang
memenuhi syarat untuk amnesti tetapi tidak mengambilnya.
Pelaksanaan Tax Amnesty pada tahun 1984 di Indonesia ternyata tidak efektif karena
wajib pajak kurang merespons dan tidak diikuti dengan reformasi sistem administrasi perpajakan
secara menyeluruh. Disamping itu peranan sektor pajak dalam sistem APBN masih berfungsi
sebagai pelengkap saja sehingga pemerintah tidak mengupayakan lebih serius. Pada saat itu
penerimaan negara banyak didominasi dari sektor ekspor minyak dan gas bumi.
Berbeda dengan sekarang, penerimaan pajak merupakan sumber penerimaan dominan
dalam struktur APBN Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, pelaksanaan tax amnesty kali ini
harus dilaksanakan secara hati-hati dan dipersiapkan secara matang. Perlunya dukungan dan
persetujuan masyarakat secara penuh dan adanya landasan hukum yang memadai juga menjadi
faktor penting keberhasilan pelaksanaan tax amnesty ini.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai
permasalahan tersebut melalui penelitian dan tinjauan terhadap Tax Amensty (Pengampunan
Pajak) di Indonesia sehingga dapat mengerti atas permasalahan tersebut melalui Penelitian yang
berjudul Analisis Penerapan Pengampunan Pajak ( Tax Amnesty ) di Indonesia ditinjau
dari Konsep, Karakteristik, Efektivitas, dan Kebutuhannya
B. POKOK PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan beberapa hal yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Konsep, Karakteristik, Efektivitas, dan Kebutuhan Tax Amnesty bila
diterapkan di Indonesia?
2. Mengapa Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) Perlu diterapkan di Indonesia?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui Bagaimana Konsep, Karakteristik, Efektivitas, dan Kebutuhan Tax
Amnesty di Indonesia.
2. Untuk mengetahui Mengapa Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) Perlu diterapkan di
Indonesia
D. Metode Penelitian
Untuk menganalisis implementasi tax amnesty di Indonesia digunakan metode kualitatif
dengan pendekatan eksploratif deskriptif. Pendekatan eksploratif (Philip, Kotler & Kevin L.
Keller, 2006) adalah metode penelitian yang bertujuan menghimpun informasi awal yang akan
membantu upaya menetapkan masalah dan merumuskan hipotesis. Sedangkan pendekatan
deskriptif adalah metode penelitian yang bertujuan memaparkan (mendeskripsikan) sesuatu hal.
Jadi pendekatan ini bertujuan untuk mendalami mengenai wacana implementasi tax amnesty di
Indonesia. Bahan-bahan dan informasi berasal dari data sekunder yang didapat dari penggalian
informasi dari berbagai sumber, bahan seminar, media masa, media elektronik, dan lain-lain serta
didukung pula dengan kajian pustaka.
E. PEMBAHASAN
5
pada
keinginan
pemerintah
yang
berkuasa
untuk
mungkin
saja
hanya
terjadi
selama
program tax
amnesty.
bahwa
Para
kepatuhan
pendukung tax
sukarela
akan
penyebab
amnesty umumnya
meningkat
setelah
khusus,
permasalahan
ini
dapat
dijabarkan
menjadi
pengungkapansecarasukarela
(voluntary
disclosure).
meningkatkan
kemungkinan
terdeteksinya
perilaku tax
evaders untuk
kembali
ke
dalam
sistem
administrasi
dijustifikasi
berdasarkan
perpajakan.
Lebih
lanjut,
diskriminasi
juga
dapat
amnesty memberikan
perlakuan
yang
adil
luasnya
publisitas
dan
promosi
program tax
amnesty serta
10
perpajakan
yang
berlaku
pada
saat
kata lain, program tax amnesty akan efektif apabila dilakukan secara mendadak dan tidak
dapat diantisipasi oleh wajib pajak.
Sebagai ilustrasi, jika program ini sudah diketahui misal 1 tahun sebelum
diluncurkan, maka terdapat kecenderungan dari wajib pajak untuk tidak patuh karena
menunggu
akan
pengampunan.
Kedua,
kredibilitas
dan
reputasi
administrasi
dengan benar juga berkontribusi dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Jika pemerintah
membuat sistem pajak lebih adil, meningkatkan rasa memiliki pembayar pajak
(membangun identitas dengan komunitas yang lebih besar), dan menunjukkan bahwa
uang pajak akan digunakan untuk hal-hal produktif; kepatuhan pajak akan meningkat
tanpa melakukan insentif ekonomi.
Dengan
demikian,
upaya
meningkatkan
insentif
non-ekonomi
-bahkan
14
Selain
itu,
faktor
lain
yang
perlu
dipertimbangkan
antara
lain, tax
amnesty memerlukan publikasi yang luas di media. Sebagai contoh, India ketika
mengkampanyekan program tax amnesty nya di tahun 1997 Slogan yang dipakai adalah
30 percent taxes, 100 percentpeace of mind yang membawa lebih dari 350.000 wajib
pajak turut serta dalam program pengampunan pajak dengan jumlah pemasukan pajak
sebesar US $ 2,5 milyar atau saat ini setara dengan Rp 22,5 triliun.[7]
Pada saat negara kita mengadakan program pengampunan sanksi pajak (sunset
policy), juga menerapkan slogan Anda ingin tidur nyenyak? Manfaatkan fasilitas sunset
policy sekarang juga, demikian slogan yang disebarluaskan oleh pemerintah dalam
menjaring wajib pajak yang belum mematuhi kewajiban perpajakannya untuk ikut serta
dalam program sunset policy.
Selain itu, Publikasi di media ini harus menekankan rencana-rencana otoritas
pajak setelah program tax amnesty, misalnya peningkatan pemeriksaan pajak setelah
program tax amnesty berakhir. Meskipun peningkatan pemeriksaan akan berdampak pada
peningkatan biaya administrasi, namun hal ini merupakan cara termurah untuk membuat
jera tax evaders.
Hal ini juga dapat disebabkan setelah program tax amnesty berakhir,tax
evaders mungkin saja kembali ke tindakan mereka menggelapkan pajak. Untuk
melengkapi deteksi kewajiban pajak setelah program tax amnesty berakhir, periode
pemeriksaan atas kewajiban perpajakan dapat saja diperluas, misalnya dengan
memperpanjang kadaluwarsa pidana pajak dan penagihan pajak.
Peningkatan
pengawasan
kewajiban
perpajakan
setelah
program tax amnesty merupakan kunci dari suksesnya program tax amnesty. Pengawasan
kewajiban perpajakan setelah program tax amnesty dapat meningkatkan penerimaan
negara melalui pemeriksaan atas wajib pajak yang masih menggelapkan pajak setelah
program taxamnesty berakhir.
15
Untuk itu, otoritas pajak sebaiknya menyampaikan pesan kepada para tax
evaders bahwa mereka tidak akan menerima ketidakpatuhan tax evaders tersebut di masa
yang akan datang. Selain itu, hal ini juga dapat mengubah pendapat wajib pajak bahwa
otoritas
pajak
tidak
sepenuhnya
melakukan
penegakan
hukum
pajak. Tax
evaders mungkin juga akan mengubah perilakunya di masa yang akan datang karena
besar kemungkinan perilaku mereka akan terdeteksi di kemudian hari.
Selain Sunset Policy, Indonesia juga pernah mengeluarkan program pengampunan
pajak yaitu melalui Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1984 tanggal 18 April 1984.
Pengampunan pajak ini diberikan kepada Wajib Pajak orang pribadi atau badan dengan
nama dan dalam bentuk apapun baik yang telah maupun yang belum terdaftar sebagai
Wajib Pajak diberi kesempatan untuk mendapatkan pengampunan pajak.
Pengampunan pajak tersebut diberikan atas pajak-pajak yang belum pernah atau
belum sepenuhnya dikenakan atau dipungut sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Adapun bentuk pengampunannya dikenakan tebusan dengan
tarif:
1. 1% (satupersen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah
pajak yang dimintakan pengampunan, bagi Wajib Pajak yang pada tanggal ditetapkannya
Keputusan Presiden ini telah memasukkan Surat Pemberitahuan Pajak Pendapatan/Pajak
Perseroan tahun 1983 dan Pajak Kekayaan tahun 1984;
2. 10% (sepuluhpersen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung
jumlah pajak yang dimintakan pengampunan, bagi Wajib Pajak yang pada tanggal
ditetapkannya Keputusan Presiden ini belum memasukkan Surat Pemberitahuan Pajak
Pendapatan/Pajak Perseroan tahun 1983 dan Pajak Kekayaan tahun 1984.
mencapai 70 persen, belum tampak perhatian yang memadai terhadap pentingnya reformasi
perpajakan yang komprehensif dan substansial. Bahkan, reformasi perpajakan terkesan mandek
tanpa kemajuan berarti.
Belum optimalnya penerimaan pajak, yang salah satunya tecermin dari stagnasi rasio
penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (tax ratio) di kisaran 10-11 persen, semakin
ironis jika dihadapkan pada hamparan data yang mencengangkan. McKinsey & Company pernah
melansir data, setidaknya terdapat 300 miliar dollar AS aset warga negara Indonesia yang
disimpan di luar negeri. Temuan hampir sama diperoleh Tax Justice Network (2010) yang
mencatat sekitar 330 miliar dollar AS aset milik warga negara Indonesia ditempatkan di negaranegara suaka pajak (tax haven).
Dan belum lama, Perkumpulan Prakarsa merilis hasil riset yang menunjukkan aliran dana
haram ke luar negeri pada kurun waktu 2010-2014 mencapai Rp 914 triliun. Tak sekadar
menggurita, kekayaan itu juga terakumulasi pada segelintir orang. Bank Dunia dalam laporan
terbarunya menyatakan, 1 persen orang terkaya menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Pada
akhir 2015, simpanan di atas Rp 2 miliar mencapai Rp 2.428 triliun atau 54,28 persen dari total
simpanan dan hanya dimiliki 0,13 persen atau 231.572 rekening, demikian laporan Lembaga
Penjamin Simpanan. Timbunan data yang menakjubkan ini sekaligus menyingkap tabir potensi
pajak yang sangat luar biasa.
Data penerimaan pajak 2015 menunjukkan bahwa setoran wajib pajak orang pribadi
nonkaryawan hanya Rp 9 triliun, jauh di bawah setoran pajak penghasilan (PPh) karyawan yang
mencapai Rp 105 triliun. Hal ini jelas menyimpang dari prinsip kemampuan dalam membayar
pajak (ability to pay)yang menjadi roh Undang-Undang Perpajakan bahwa yang memiliki
kemampuan lebih tinggi wajib membayar pajak lebih besar. Di hadapan fakta dan konteks seperti
itulah, gagasan pengampunan pajak lahir.
Selama ini, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mengalami kesulitan untuk
memungut pajak karena berbagai kendala, mulai dari keterbatasan kapasitas; praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN); regulasi yang tertinggal; koordinasi dan dukungan kelembagaan
yang buruk; kecanggihan praktik penghindaran pajak; dan praktik beking yang melanggengkan
para wajib pajak yang tak pernah tersentuh. Kecurigaan bahwa pengampunan ini hanya akan
17
menguntungkan kelompok kaya memang beralasan meski tak sepenuhnya tepat. Secara umum,
tingkat kepatuhan pajak kita masih sangat rendah. Jumlah wajib pajak terdaftar sangat sedikit,
baru sekitar 28 juta atau 11 persen dari jumlah penduduk, dari potensi wajib pajak orang pribadi
sekitar 60 juta. Dari jumlah itu, 8,9 juta yang menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) pajak
dan hanya 900.000 wajib pajak yang status SPT-nya kurang bayar.
Di sisi lain, porsi sektor informal juga masih cukup tinggi, mencapai 18 persen dari
Produk Domestik Bruto dan memiliki potensi pajak tidak kurang 1 persen dari PDB atau sekitar
Rp 100 triliun. Taksiran potensi ini jauh di atas setoran riil pajak usaha kecil dan menengah
sebesar Rp 2 triliun setahun.
Bahkan,
catatan
sejarah
menunjukkan,
di
negara
dicermati
dengan
saksama.
Italia
berhasil
melakukan
repatriasi
dan
19
Terlalu mahal ongkos yang harus dikeluarkan apabila program ini tertunda atau
dibatalkan. Ekspektasi publik sudah telanjur besar seiring keyakinan pemerintah
menerapkan program ini dalam waktu dekat. Jika program ini batal dilaksanakan, kita
akan berada pada titik nadir kepercayaan terhadap sistem perpajakan. Bahkan, tak
terhindarkan pemungutan pajak yang semakin agresif dengan penegakan hukum yang
keras akan ditempuh, termasuk pembiaran terhadap mereka yang selama ini tak tersentuh
hukum.
Meski demikian, langkah maju ini tak boleh mencuri kewaspadaan kita. Tanpa
upaya sungguh-sungguh mereformasi sistem perpajakan dalam satu tarikan napasperubahan UU Perpajakan yang meneguhkan prinsip keadilan dan kepastian hukum,
formula redistribusi uang pajak yang adil, pengembangan sistem administrasi yang
terintegrasi, akses yang lebih luas ke data perbankan, integrasi nomor induk
kependudukan (NIK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP), dukungan kelembagaan
yang kuat, dan pembentukan Badan Penerimaan Perpajakan yang kuat, kredibel, dan
profesional-dapat dipastikan program pengampunan pajak memang hanya merupakan
pengampuan.
memadai
yang
dapat
mendukung
diberlakukannya
dilaksanakan
implementasinya.
Pertama,
Pengampunan
Pajak
kemudian
secara
D. KESIMPULAN
1. Indonesia dapat mempertimbangkan untuk melakukan tax amnesty dalam berbagai
bentuknya untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Tax amnesty ini juga dapat
dipandang sebagai rekonsilisasi nasional untuk menghapus masa lalu wajib pajak yang
tidakpatuh dan perilaku otoritas pajak yang melanggar aturan. Tax amnesty akan
berhasil jika terdapat justifikasi yang kuat kenapa perlu adanya tax amnesty. Tax
amnesty harus dipublikasikan secara masif dengan pesan agar para penggelap pajak
untuk ikut karena setelah tax amnesty akan diberlakukan sanksi yang tegas bagi mereka
yang tidak patuh. Untuk itu, diperlukan juga reformasi kelembagaan secara bersamaan
untuk dapat mendeteksi kecuarangan wajib pajak pasca pemberlakuan tax amnesty.
Disamping itu, untuk membangun kepatuhan sukarela untuk membayar pajak pasca tax
amnesty diharuskan adanya transparansi penggunaan uang pajak (anggaran) serta
alokasinya yang tepat sasaran dan berkeadilan.
22
E. SARAN
1. pemerintah perlu melakukan mapping dana yang tersimpan di luar negeri, berikut profil
pajaknya, sebelum menerapkan tax amnesty. tanpa kalkulasi yang akurat, maka tax
amnesty yang diharapkan bisa mempertebal pendapatan sektor pajak, bakal menjadi cek
kosong saja. Pemerintah harus membuat urun rembuk nasional khusus tax amnesty ini.
Yang melibatkan seluruh stakeholder di sektor perpajakan
2. kekhawatiran masyarakat atas menguatnya ketidakpercayaan alias distrust dari wajib
pajak atas kebijakan tax amnesty. Lantaran, besaran tarif pajak yang diterapkan dalam
tax amnesty, sangatlah rendah yakni 2%, 4% dan 6%. Sangat jauh di bandingkan tarif
PPh badan yang besarnya 25% atau tarif OP 30%.
23
3. Penerapan Tax Amnesty harus dilandasi payung hukum berupa Undang-undang dan
kejelasan syarat dan tujuannya. Pemberian kebijakan pengampunan pajak semestinya
tidak hanya menghapus hak tagih atas wajib pajak (WP) tetapi yang lebih penting lagi
adalah memperbaiki kepatuhan WP, sehingga pada jangka panjang dapat meningkatkan
penerimaan pajak. Implementasi Tax Amnesty dapat diterapkan bila syarat-syarat
keterbukaan dan akses informasi terhadap masyarakat terpenuhi oleh karena itu apabila
tax amnesty akan diterapkan harus menggunakan tax amnesty bersyarat. Tax amnesty
dapat diterapkan terutama pada bidang-bidang atau sektorsektor industri tertentu saja
yang dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan tax ratio dengan syarat
terpenuhinya kesiapan sarana dan prasarana pendukung lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
www..kemenkeu.go.id%2520Implementasi%2520Tax%2520Amnesty%2520di
%2520Indonesia.pdf.
https://www.selasar.com/ekonomi/tax-amnesty-untuk-rekonsiliasi-nasional-bagian-1
https://www.selasar.com/ekonomi/tax-amnesty-untuk-rekonsiliasi-nasional-bagian-2
http://doa-bagirajatega.blogspot.co.id/2016/02/arah-pengampunan-pajak-yustinusprastowo.html
24
http://www.tribunnews.com/bisnis/2016/02/22/pengamat-pengampunan-pajak-bantukesejahteraan-masyarakat-kecil
http://redaksiindonesia.com/read/tax-amnesty-pengampunan-pajak.html
https://en.wikipedia.org/wiki/Tax_amnesty
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26740/4/Chapter%20I.pdf
http://journal.bakrie.ac.id/index.php/jurnal_ilmiah_ub/article/view/1292/981
http://cafebelajar.com/sejarah-perkembangan-pemungutan-pajak.html
http://www.pajak.go.id
http://www.pajak2000.com/news_print.php?id=307
http://nindityo.com/2008/03/23/sunset-policy-pengampunan-pajak-di-uukup2008/
http://vibizmanagement.com/journal.php?id=425&sub=journal&awal=10&p
age=
25