Anda di halaman 1dari 7

Komplikasi penyakit kanker antara lain dapat berupa:

1)
2)
3)
4)
5)
6)

Paraneoplastik sindrom
Gangguan pernafasan
Gangguan pencernaan
Obstruksi saluran tubuh
Cachexia
Infeksi

Komplikasi pengobatan penyakit kanker antara lain dapat berupa:


1)
2)
3)
4)

Komplikasi operasi
Komplikasi radioterapi
Komplikasi chemoterapi
Komplikasi hormon terapi (Sukardja, 2000).

Sindrom paraneoplastik adalah penyakit langka yang dipicu oleh sistem kekebalan tubuh yang
berubah menjadi neoplasma. Sindrom paraneoplastik merupakan penyakit klinis yang melibatkan
efek sistemik non-metastasis yang menyertai neoplasma ganas.
Dalam arti luas, sindrom ini adalah kumpulan gejala yang berasal dari zat-zat yang diproduksi
oleh sel tumor dan terjadinya jauh dari tumor itu sendiri. Gejala-gejala yang ada antara lain
berhubungan dengan endokrin, neuromuskuler atau muskuloskeletal, kardiovaskuler, kulit,
hematologi, gastrointestinal, ginjal dan lain-lain (Medscape, 2010).
Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa) memiliki prognosis
yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi karena
pada karsinoma nasofaring tipe 1, metastasis lebih mudah terjadi. Secara keseluruhan, angka
bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :

Stadium yang lebih lanjut.


Usia lebih dari 40 tahun
Laki-laki dari pada perempuan
Ras Cina dari pada ras kulit putih
Adanya pembesaran kelenjar leher
Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
Adanya metastasis jauh

Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang selalu terjadi.
Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang bermanifestasi dalam
bentuk :
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan
kelainan :
Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri
pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang

terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.


Ptosis palpebra ( N. III )
Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI ) 20
2. Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke sekitarnya.
Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan retropharing
dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII
dengan manifestasi gejala :
N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta
gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah
N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai
gangguan respirasi dan saliva
N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum
Mole
N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan fisura
palpebralis, onoftalmus dan miosis.
3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ

tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru.
Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain
ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paruparu
dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4%, dan
tiroid 0.4 %.
Karsinoma nasofaring umumnya disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang penyebab
pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring ini adalah
faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah segar. Faktor
lain adalah non makanan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar dan asap dupa
(kemenyan).
Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma nasofaring1. Selain itu
terbukti juga infeksi virus Epstein Barr juga dihubungkan dengan terjadinya karsinoma
nasofaring terutama pada tipe karsinoma nasofaring non-keratinisasi. Hal ini dibuktikan
dengan adanya kenaikan titer antigen EBV dalam tubuh penderita Ca Nasofaring non
keratinisasi dan kenaikan titer ini pun berbanding lurus dengan stadium Ca nasofaring; dimana
semakin berat stadium Ca Nasofaring, ditemukan titer antibodi EBV yang semakin tinggi. Hal ini
dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita
karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan

protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus
di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa
karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan
EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring. Selain itu dibuktikan
oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam
serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma
nasofaring primer.
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga
dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini. Pada pasien
karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum
plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus.
Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel
penderita karsinoma nasofaring.
Faktor-faktor yang menyebabkan karsinoma nasofaring:
1. Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.
Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva
dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan
reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein
(gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3.
Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam
DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara
itu, sampai saat ini
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan
dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya
EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin
Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus
mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat
mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi
transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya
perubahan sifat sel sehingga terjadi transformasi sel menjadi ganas sehingga terbentuk
sel kanker.
2. Genetik
Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan
HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih
besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita
karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Studi dari
kelemahan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA

A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk
terkena karsinoma nasofaring.
3. Lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah
di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang
diawetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), nitrospurrolidene
(NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik
karsinoma nasofaring. Selain itu pengkonsumsi alkohol dan perokok juga merupakan
salah satu faktor yan diperkirakan menginisiasi terjadinya karsinoma nasofaring. Di mana
alkohol dan asap rokok ditemukan mengadung formaldehyde yang diteliti merupakan
faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV
(Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT, 2010).
Kanker terjadi karena ada kerusakan atau transformasi protoonkogen dan suppresor gen sehingga
terjadi perubahan dalam cetakan protein dari yang telah diprogramkan semula yang
mengakibatkan timbulnya sel kanker. Proses karsinogenesis adalah proses bertahap suatu
multisteps process. Sedikitnya ada 3 tahapan, yaitu:
1. INISIASI
Tahap pertama ialah permulaan atau inisiasi, dimana sel normal berubah menjadi premaligna. Karsinogen harus merupakan mutagen yaitu zat yang dapat menimbulkan
mutasi gen. Pada tahap inisiasi karsinogen bereaksi dengan DNA menyebabkan
amplifikasi gen dan produksi copy multiple gen.
Proses inisiasi ini:
1) Karsinogen yang merupakan initiator adalah mutagen.
2) Cukup terkena sekali paparan karsinogen.
3) Keadaan ini permanen dan irreversibel.
4) Proses tidak mengubah ekspresi gen.
2. PROMOSI
Promotor adalah zat non mutagen tetapi dapat menaikkan reaksi karsinogen dan tidak
menimbulkan amplifikasi gen. Suatu promotor yang terkenal ester phorbol yang terdiri
dari TPA dan RPA yang terdapat dalam minyak kroton.
Sifat-sifat promotor ialah:
1) Mengikuti kerja inisiator
2) Perlu paparan berkali-kali
3) Keadaan dapat reversibel
4) Dapat mengubah ekspresi gen seperti: hiperplasia, induksi enzim, induksi diferensiasi
3. PROGRESI
Pada progresi ini terjadi aktivasi, mutasi atau hilangnya gen. Pada progresi ini timbul
perubahan benigna menjadi pra-maligna dan maligna.
Dalam karsinogenesis ada 3 mekanisme yang terlibat:
a) Onkogen yang dapat menginduksi timbulnya kanker
b) Anti-onkogen atau gen suppresor yang dapat mencegah timbulnya kanker

c) Gen modulator yang dapat mempengaruhi ekspresi karakteristik gen yang


mempengaruhi penyebaran kanker (Sukardja, 2000).
HISTOPATOLOGI
Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma memiliki kesamaan
bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya. Dijumpai adanya diferensiasi dari sel
squamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi. Tumor tumbuh dalam bentuk pulaupulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang
limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal
dan stratified. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-sel pada bagian
tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak mengindikasikan keratinisasi.
Dijumpai adanya keratin pearls.
Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma memperlihatkan
gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. Sel-sel menunjukkan batas antar sel yang jelas
dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar. Dibandingkan dengan
undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih
hiperkromatik dan anak inti tidak menonjol.
Undifferentiated Carcinoma
Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan gambaran sinsitial
dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular, dijumpai anak inti. Sel-sel
tumor sering tampak terlihat tumpang tindih6. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel.
Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga
sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma,
eosinofil, epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang).
Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe Regauds, yang
terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat
fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus
dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant
lymphoma.
Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara karsinoma
nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari karsinoma nasofaring
memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah satu, dengan anak inti
yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari malignant lymphoma biasanya pinggirnya lebih
iregular, khromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik.
Terkadang undifferentiated memiliki sel-sel dengan bentuk oval atau spindle.

Basaloid Squamous Cell Carcinoma


Bentuk mikroskopis lain yang jarang dijumpai adalah basaloid squamous cell
carcinoma. Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous. Sel-sel
basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti dan sitoplasma
sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa kasus dijumpai
adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau invasif. Batas antara
komponen basaloid dan squamous jelas (Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT, 2010).

DAFTAR PUSTAKA

http://emedicine.medscape.com/article/280744-overview diakses pada 15 September 2011.


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT. 2010. Karsinoma Nasofaring. Jakarta.
Sukardja, I Dewa Gede. 2000. Onkologi Klinik. Surabaya: Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai