Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya, baik yang berada
didarat maupun dilaut bahkan di udara. Salah satunya minyak dan gas bumi (migas)
merupakan sumber daya alam yang strategis dan termasuk sebagai sumber daya alam yang
tidak dapatdiperbaharui, tetapi terdapat keterbatasan untuk mengelola sumber daya alam
tersebut dalam halsumber daya manusia, teknologi, dan permodalan. Untuk mensiasati
keterbatasan itu, makadilakukan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan asing. Untuk
keperluan itu harus dirancang perjanjian atau kontrak bisnis, yang merangsang ketertarikan
perusahaan asing, namun sekaligus juga menjamin kepentingan nasional. Migas merupakan
sumber daya alam yang dikuasai olehnegara dan merupakan komoditas vital yang menguasai
hajat hidup orang banyak danmempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional
sehingga harus dikelola secaramaksimal untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat.
Sistem kontrak yang digunakan dalam pertambangan minyak dan gas bumi adalah
kontrak production sharing. Menurut sejarahnya ada tiga sistem kontrak yang pernah berlaku
pada pertambangan minyak dan gas bumi, yaitu sistem kontrak karya, kontrak production
sharing, dan konsesi.
Dalam makalah ini akan dibahas secara detail mengenai ketiga sistem kontrak yang
pernah berlaku pada pertambangan minyak dan gas bumi beserta aspek hukumnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana aspek hukum kontrak karya dalam pengusahaan pertambangan Minyak
dan Gas di Indonesia ?
2. Bagaimana aspek hukum Production Sharing Contract dalam pengusahaan
pertambangan Minyak dan Gas di Indonesia ?
3. Bagaimana aspek hukum konsesi dalam pengusahaan pertambangan Minyak dan Gas
di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KONTRAK KARYA
Pengertian
Istilah Kontrak Karya merupakan terjemahan dari kata work of contract. Sri Woelan
Aziz dalam buku Salim HS, yang berjudul Perancangan Kontrak, mengartikan Kontrak
Karya adalah : suatu kerja sama di mana pihak asing membentuk suatu badan hukum
Indonesia dan badan hukum Indonesia ini bekerja sama dengan badan hukum Indonesia yang
menggunakan modal nasional.1
Definisi tersebut disempurnakan oleh Salim HS, yaitu: Kontrak karya adalah suatu
kontrak yang di buat antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan asing semata-mata atau
merupakan patungan antara badan hukumasing dengan badan hukum domestik dalam bidang
pertambangan di luar minyak dan gas bumi sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh
kedua belah pihak.2
Sehingga berdasarkan definisi tersebut, yang tidak hanya mengatur kerja sama antara
badan hukum asing dengan badan hukum Indonesia, tetapi mengatur mengenai:
1. Adanya kontraktual, yaitu kontrak yang di buat oleh para pihak.
2. Adanya subjek hukum, yaitu Pemerintah Indonesia dengan pihak asing dan atau
gabungan antara asing dengan pihak Indonesia.
3. Adanya objek, yaitu pengelolaan dan pemanfaatan tambang di luar minyak dan gas
bumi.
4. Adanya jangka waktu di dalam kontrak.
Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan Umum Nomor 150.K/20.01/DDJP/1998
tentang Tata Cara dalam Pasal 1 huruf a memberikan definisi tentang Kontrak Karya, yaitu :
Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Perusahaan berbadan hukum
Indonesia untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak
bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batubara.

1
Sri Woelan Aziz dalam HS Salim, Hukum Pertambangan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta:
2010, hlm. 129.
2

Ibid. hlm. 130.


2

Dasar Hukum Kontrak Karya


Berikut ini berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kontrak
karya :
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri.
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan UndangUndang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri.
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan.
6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan saham
dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1993 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan saham

dalam Perusahaan

Penanaman Modal Asing.


9. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1993 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1986 tentang jangka waktu Perusahaan Penanaman Modal Asing.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan saham dalam Perusahaan
yang didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing.
11. Peraturan-peraturan yang di buat oleh Menteri Investasi/BKPM.
Bentuk, Substansi dan Momentum Terjadinya Kontrak Karya
Bentuk Kontrak Karya yang di buat oleh Pemerintah Indonesia dengan perusahaan
yang bergerak di bidang pertambangan di luar minyak dan gas bumi adalah dalam bentuk
tertulis.
Substansi Kontrak Karya tersebut disiapkan oleh Pemerintah Indonesia c.q.
Depertemen Pertambangan dan Energi dengan calon penanam modal.
Sedangkan momentum terjadinya Kontrak Karya tersebut ditandatangani oleh Menteri
Pertambangan dan Energi sebagai wakil Pemerintah Indonesia dengan pihak penanam modal,
sehingga sejak saat itu timbullah hak dan kewajiban para pihak.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
maka kewenangan yang ada pada Pemerintah Pusat diberikan kepada Pemerintah Daerah
dalam rangka proses desentralisasi termasuk juga di bidang pengelolaan sumber daya alam
yang ada di daerah kekuasaannya. Hal ini di atur dalam Pasal 10 ayat (1), yang berbunyi:
daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan
3

bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangundangan.


Kontrak Karya dalam 8 Generasi
Kontrak karya telah mengalami perubahan beberapa generasi, yang dapat di bagi atas
8 (delapan) generasi dari tahun 1967 sampai dengan sekarang. Pada tiap-tiap generasi
Kontrak karya ini terdapat prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh kontraktor untuk
menjalankan usaha di bidang pertambangan umum, yaitu sebagai berikut:
Kontrak karya pada Generasi I (tahun 1967) mengandung prinsip, yaitu sebagai
berikut:

Perusahaan kontraktor sebagai pemegang kuasa pertambangan atas dasar ijin


pemerintah.

Manajemen di tangan kontraktor dan operasional di tanggung oleh kontraktor.

Pembagian hasil dalam bentuk uang dalam jumlah bebas (tidak ditentukan besarnya)

untuk tahun ke-1 sampai dengan ke-3, dengan ketentuan bahwA penghasil pemerintah
untuk tahun ke-4 sampai dengan ke-10 sebesar 35%.

Jangka waktu kontrak 30 (tigapuluh) tahun dan dapat diperpanjang.


Kontrak karya pada Generasi II (tahun 1968-1983) mengandung prinsip, yaitu sebagai

berikut:

Memungkinkan bekerja sama dengan pihak lain yang telah memegang kuasa
pertambangan.

Manajemen di tangan kontraktor dan operasional di tanggung oleh kontraktor.

Pembagian hasil ditentukan berdasarkan tarif yang ditetapkan pada setiap kontrak
karya.

Jangka waktu kontrak sama dengan generasi I.

Kontrak karya pada Generasi III (tahun 1983-1986) mengandung prinsip, yaitu
sebagai berikut :

Perusahaan kontraktor sebagai pemegang kuasa pertambangan atas dasar ijin


pemerintah.

Manajemen di tangan kontraktor dan operasional di tanggung oleh kontraktor


(sama dengan generasi II ).

Pembagian hasil mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 352 tahun 1971.

Jangka waktu kontrak sama dengan generasi I.


Kontrak karya pada Generasi IV (tahun 1986-1994) mengandung prinsip, yaitu

sebagai berikut :

Perusahaan kontraktor sebagai pemegang kuasa pertambangan atas dasar ijin


pemerintah (sama dengan generasi II).

Manajemen di tangan kontraktor dan operasional di tanggung olehNkontraktor (sama


dengan generasi II).

Pembagian hasil :
emas :1% dari harga jika US$ 300/troi ons dan 2% dari harga jira US$400/troi

ons.
Perak : 1% jika harga US$ 10/troi ons dan 2%/troi ons jika harga US$15/troi ons.
Jangka waktu kontrak sama dengan generasi I.
Kontrak karya pada Generasi V (tahun 1994-1996) mengandung prinsip, yaitu sebagai
berikut:
Perusahaan kontraktor sebagai pemegang kuasa pertambangan atas dasar ijin

pemerintah (sama dengan generasi II).


Manajemen di tangan kontraktor dan operasional di tanggung oleh kontraktor (sama
dengan generasi II), tetapi ratio kewajaran utang (DER) 5: 1 untuk tidak kurang atau

sama dengan $200 juta investasi dan 8 : 1 untuk lebih dari $200 juta.
Pembagian hasil mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 1166.K/844/MPE/1992

tanggal 12 September 1992.


Jangka waktu kontrak sama dengan generasi I.
Kontrak karya pada Generasi VI (tahun 1996-1998) mengandung prinsip,

yaitu

sebagai berikut:
Perusahaan kontraktor sebagai pemegang kuasa pertambangan atas dasar ijin
pemerintah (sama dengan generasi II).

Manajemen di tangan kontraktor dan operasional di tanggung oleh kontraktor (sama

dengan generasi II).


Pembagian hasil mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 1166.K/844/MPE/1992

tanggal 12 september 1992 (sama dengan generasi V ).


Jangka waktu kontrak sama dengan generasi I.
Kontrak karya pada generasi VII (tahun 1998-2004) mengandung prinsip, yaitu

sebagai berikut:
Memungkinkan bekerjasama dengan pihak lain yang telah memegang kuasa

pertambangan.
Manajemen di tangan kontraktor dan operasional di tanggung oleh kontraktor (sama
dengan generasi II ), tetapi ratio kewajaran utang (DER) 5 : 1 untuk tidak kurang atau

sama dengan $200 juta investasi dan 8 : 1 untuk lebih dari $200 juta.
Pembagian hasil mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 1166.K/844/MPE/1992

tanggal 12 September 1992 (sama dengan generasi V).


Jangka waktu kontrak sama dengan generasi I.
Kontrak karya Generasi VIII (tahun 2004-sekarang) mengandung prinsip-prinsip,

yaitu sebagai berikut :


Perusahaan negara sebagai pemegang kuasa pertambangan sedangkan perusahaan

swasta bertindak sebagai kontraktor.


Manajemen di tangan kontraktor dan resiko operasional di tanggung oleh kontraktor.
Pembagian hasil dalam bentuk uang atas dasar perbandingan pemerintah /perusahaan
negara : kontraktor = 60% : 40% dengan ketentuan bahwa penghasil pemerintah tiap

tahun tidak boleh kurang dari 20% hasil kotor.


Jangka waktu kontrak 30 (tigapuluh) tahun untuk daerah baru dan 20 tahun untuk

daerah lama.
Penyisihan wilayah dilakukan 2 (dua) atau 3 (tiga) setelah jangka waktu tertentu.

Hak dan Kewajiban Subjek Hukum dalam Kontrak Karya


Hak dan kewajiban yang terdapat pada subjek hukum daripada kontrak karya
merupakan suatu yang esensial. Subjek hukum kontrak karya adalah Pemerintah Indonesia
yang diwakili oleh Menteri Pertambangan dan Energi dengan pihak asing atau gabungan dari
pihak asing dan domestik. Sedangkan yang menjadi objek kontrak karya adalah kontrakkontrak di bidang pertambangan di luar minyak dan gas bumi, seperti pertambangan emas,
tembaga,dan lain-lain.
2.2 KONTRAK PRODUCTION SHARING
Pengertian

Istilah kontrak bagi hasil merupakan terjemahan dari production sharing contract
(bahasas inggris) kontrak ini dikenal dalam kontrak-kontrak yang di adakan pada bidang
minyak dan gas bumi. Di bidang pertanian juga di kenal dengan kontrak bagi hasil Pertanian.
Istilah kontrak production sharing ini dapat di baca dalam pasal 1 angka 19 UU No. 22 tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Di dalam pasal ini berbunyi bahwa kontrak kerja adalah Kontrak bagi hasil atau
bentuk kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan
Negara dan hasilnya di pergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Pasal ini tidak khusus menjelaskan pengertian kontrak production sharing tetapi di
fokuskan pada konsep teoritis kerja sama di bidang Minyak dan Gas Bumi. 3 Kerja sama di
bidang minyak dan gas bumi dapat di bedakan menjadi dua (dua) macam, yaitu kontrak
production sharing dan kontrak-kontrak lainya. Unsure-unsur dari kontrak kerja sama ini,
yaitu:
1.
2.
3.
4.

Dapat di lakukan dalam bentuk kontrak production sharing atau bentuk lainya;
Bidang kegiatanya, yaitu eksplorasi dan eksploitasi;
Syaratnya harus mengnuntungkan Negara;
Pengunanya untuk kemakmuran rakyat.
Dalam pasal 1 angka (1) PP no 35 tahun 1994 tenetang syarat-syarat dan pedoman

kerja sama kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi di sebutkan pengertian kontrak
production sharing (bagi hasil).
Kontrak production sharing adalah kerja sama antara pertamina dan kontraktor untuk
melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip
pembagian hasil produksi.
Definisi yang tercantum ini ada kesamaan dengan definisi yang di kemukakan oleh
Soedjono Dirdjosoisworo ia mengatikan kontrak production sharing adalah kerja sama
dengan sistem bagi hasil antara Negara dengan Perusahaan hasil yang sifatnya kontrak.
Apabila kontrak telah habis maka mesin-mesin yang di bawa pihak asing tetap tinggal di
Indonesia kerja sama dalam bentuk ini merupakan suatu keredit luar negri di mana
pembayaranya di laakaukan dengan cara bagi hasil terhadap produksi yang telah di hasilkan
perusahaan. (Soedjono Dirdjosisworo, 1999 : 231-232).
Kesamaan dari kedua definisi diatas adalah bahwa kontarak production sharing
merpuakan perjanjian bagi hasildi bidang minyak dan gas bumi. Para pihak, yaitu pertamina
dan kontarktor. Sedangkan dalam Undang-undang No. 22 tahun 2001 para pihaknya adalah
Badan Pelaksanaan dengan Badan Usaha dan atau perkata Badan Usaha Tetap. Maka kedua
definisi ini perlu di sempurnakan dan di lengakpi. Dengan demikian, dapat di katakan bahwa
3

Simamora, Rudi M., Hukum Minyak dan Gas Bumi, Djambatan, Jakarta: 2000, hlm. 13
7

kontrak production sharing adalah perjanjian atau kontrak yang di buat antara perkata Badan
Pelaksanaan dengan Badan Usaha dan atau Badan Usaha Tetap untuk melakukan uasaha
eksplorasi dan eksploitas di Bidang Minyak da Gas Bumi dengan prinsip bagi hasil.
Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi ini adalah
1. Adanya perjanjian atau kontrak;
2. Adanya subjek hukum, yaitu perkata Badan Pelaksana dengan Badan Usaha dan
atau Perkata Badan Usaha Tetap;
3. Adanya objek, yaitu eksplorasi dan eksploitasi Minyak dan Gas Bumi. Tujuan
eksplorasi adalah untuk memperoleh informasi mengenai kondisi geologi dalam
menemukandan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah
kerja yang di tentukan. Tujuan eksploitasi adalah mengasilkan minyak dan gas
bumi;
4. Kegiatan di bidang minyak dan gas;
5. Adanya prinsip bagi hasil.
Prinsip bagi hasil merupakan prinsip yang mengatur pembagian hasi yang di peroleh
dari eksplorasi dan eksploitasi Minyak dan Gas Bumi antara badan pelaksanaan dan badan
uasaha dan atau badan usaha tetap. Pembagian hasil ini di rundingkan antara kedua belah
pihak dan biasanya di tuangkan dalam Kontrak Production Sharing.

Prinsip-Prinsip Kontrak Production Sharing Pada Tiap Generasi :


1. Generasi I (1964-1977)
Kontrak ini merupakan awal Kontrak Production Sharing. Pada tahun 1973/1974 terjadi
lonjakan harga minyak dunia, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan bahwa sejak
tahun 1974, kontrak wajib melaksanakan pembayaran tambahan kepada pemerintah,
Prinsip-Prinsip Kontrak Production Sharing Generasi 1 yaitu:
a. Manajemen operaasi di tangan pertamina.
b. Kontrak menyediakan seluruh biaya operasi perminyakan.
c. Kontrak akan memperoleh kembali seluruh biaiya operasi dengan ketentuan
maksimum 40% setiap bulan.
d. Dari 60% di bagi menjadi :
Pertamina 65%, dan
Kontraktor: 35 %
e. Pertamina membayar pendapatan kontraktor kepada Pemerintah.
f. Kontrak wajib memenuhi kebutuhan bahan bakar Minyak (BBM) untuk dalam
Negeri secara proporsional (maksimum 25% bagianya) dengan harga US$
0.20/barel).

g. Semua peralatan dan pasilitas yan gdi beli oleh kontraktor menjadi milik
Pertamina.
h. Dari interes kontraktor di tawarkaan kepada Perusahaan Nasional Indonesia
setelah dinyatakan komersial.
i. Sejak tahun 1974 sampai tahun 1977, kontraktor diwajibkan memberikan
tambahan pendapatan pada pemerintah.
2. Generasi II (1978-1987)
Pada tahun 1976 pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan IRS ruling yang antara lain
menetapkan bahwa penyetoran 60% Net Operting Income KPS (yang sesuai dengan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang pertamina merupakan pembayaran pajak
pertamina dan kontraktor).
Dianggap sebagai pembayaran royality, sehingga disarankan agar kontraktor membayar
pajak secara langsung pada pemerintah. Di samping itu perlu di terapkan generally
accaepted accouting procedure (GAP), yang mana pembatasan pengembalian biaya opersi
( Cost Recoveri Ceiling ) 40% pertahun di hapuskan. Untuk KPS yang berproduksi di
lakukan amademen.
Prinsip-prinsip pokok Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi II (1978-1987) di
sajikan berikut ini.
a. Tidak ada pembatasan pengembalian biaya operasi yang di perhitungkan oleh
kontraktor.
b. Setelah di kurang biaya, pembagian hasil menjadi: 65,91% untuk pertamina;
34,09% untuk kontraktor. Sedangkan gas: 31,80% untuk pertamina; 68.20% untuk
kontraktor.
c. Kontraktor membayar pajak 65% secara langsung kepada pemerintah
d. Kontraktor mendapat insentif :
Harga ekspor penuh minyak mentah domestic market obligation setelah 5
(lima) tahun pertama produksi;
Insentif pengembangan 20% dari modal yang di keluarkan untuk fasilitas
produksi
3. Generasi III (1988-2002)
Pada tahun 1984 pemerintah menetapkan peraturan perundang-undangan pajak baru
untuk Kontrak Produksion Sharing (KPS) denga tarif 48%. Namun , peraturan tersebut
baru dapat di terapkan terhadap kontrak production sharing (KPS) yang di tandatangani
pada tahun 1988. Karena dalam perundang-undangan yang di lakukan. Pihak kontarktor
masih mempunyai kecenderungan untuk melakukan peraturan perpajakan yang lama.
Dengan demikian pembagian hasil berubah menjadi: Minyak 71,15% untuk Pertamina ;
28,85% untuk Kontraktor. Gas : 42,31% untuk Pertamina; 57,68% untuk Kontraktor.
9

Akan tetapi setelah di kurang pajak maka komposisi pembagaian hasinya adalah untuk
masing-masing pihak adalah sebagai berikut:
Minyak : 68% untuk pertamina; 15% untuk kontraktor;
Gas 70% untuk pertamina dan 30% untuk kontraktor.
4. Generasi IV (2002-Sekarang)
Momentum di mulainya kontrak production sharing (KPS) generasi IV, yaitu pada
saat di berlakukanya undang-undang nomer 22 tahun 2001 tentang minyak gas bumi.
Struktur dan prinsip bagi hasil dalam undang-undang ini berbeda dengan undang-undang
yang lama pada undang-unang yang lama, yang menjadi para pihak adalah pertamina dan
kontraktor sedangkan dalam undang-undang nomer 22 tahun 2001 minyak dan Gas Bumi,
maka yan menjadi para pihaknya adalah Badan Pelaksana dengan Badan Usaha dan atau
Badan Usaha Tetap.
Badan Pelaksana ini terpisah dengan Pertamina. Badan Pelaksana ini telah
terbentuk pada bulan Agustus 2002 dengan nama Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas
Bumi (BP Migas), yang di kepalai oleh Rachmat Soedibjo (republika,31 desember 2002)
pada tahun 2002, BP Migas ini telah menandatangani 15 kontrak di bidang migas. Salah
satu dari kontrak yang di tandatangani adalah kontak production sharing (KPS) yang
memiliki komitmen infestasi sebesar 35 juta dolar AS. Para pihak dalam kontrak ini
adalah BP migas dengan enilasmo company Indonesia dan unocal Indonesia. Kedua
badan usaha tetap memiliki saham masing-masing 50% untuk wilayah kerja blok off
shore moarabakau lepas panatai maksasar. Sedangkan 14 kontrak lainy berupa kontrak
jual beli gas.
Di dalam undang-undang nomer 22 tahun 2001 tidak di atu secara khusus ntentang
komposisi pembagian hasil antara Badan Pelaksana dengan Badan Usaha dana atau
Badan Usaha Tetap pembagian ini akan di atur lebih lanjut dalam peraturan yanglebih
rendah serta di tuangkan dalam kontrak production sharing (KPS) apabila kita mengacu
pada pasal 66 ayat (2) hukum nomer 22 tahun 2001, maka jelas pada pasal ini disebutkan
bahwa segala peraturan pelaksaanaan dari undang-undang nomer 44 Prp tahun 1960
tentang pertambangan minyak dan gas bumi dan undang-undang nomer 8 tanuh 1971
tentang pertamina masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum di ganti
dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini. Di dalam pasal 16 peraturan
pemerintah nomer 35 tahun 1994 tentang syarat-syarat dan pedoman kerja sama kontrak
bagi hasil minyak dengan bumi di tentukan bahwa yang menetapkan pembagian hasil itu
adalah menteri pertambangan dan energy, apabila di gunakan ukuran pada generasi III,
maka pembagian hasilnya adalah sebagai berikut :
10

Minyak : 65% untuk badan pelaksana ; 15% untuk Badan Usaha atas badan Usaha
Tetap ;
Gas : 70% untuk pertamina untuk kontraktor.
Dalam undang-undang tersebut juga diatur tentang penyerahan pembagian hak
badan usaha atau bentuk usaha tetap untuk memenuhi kebutuhan dalam negri paling
banyak 25% ( pasal 22 Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas
bumi).
Setiap generasi kontrak production sharing (KPS) ternyata berbeda pembagian hasil
antara pertamina dan kontrak perbedaan ini dapat dilihat berikut ini :
1) Pada kontrak production sharing (KPS) generasi I (1964-1977) pembagian hasil
untuk minyak dari 60% dibagi menjadi: pertamina 65% dan kontraktor 35%.
2) Pada kontrak production sharing (KPS) generasi II (1978-1987), setelah
dikurangi biaya biaya pembagian hasil menjadi : minyak :65,91% untuk
pertamina: 34,09% untuk kontraktor : sedangkan gas : 31,80% untuk pertamina
68,20% untuk kontraktor.
3) Pada kontrak production sharing (KPS) generasi III (1988 2002 ) maka
komposisi pembagian hasilnya untuk masing-masing pihak sebagai berikut:
a. Minyak: 65% untuk badan pelaksana: 15% untuk badan usaha dan atau badan
usaha tetap dan
b. Gas 70% untuk Pertamina dan 30% untuk kontraktor.
4) Prinsip dalam kontrak production sharing (KPS) generasi IV (2002-Sekarang)
maka komposisi pembagian hasilnya untuk masing-masing pihak adalah
Minyak: 65% untuk Badan pelaksana dan 30% untuk Badan Usaha dan
atau Badan Usaha Tetap
Gas 70% untuk Badan Pelaksana dan 30% untuk Badan Usaha dan atau
Badan Usaha Tetap.
Prinsip Pokok Production Sharing Contract
Menurut pendapat Salim HS, kontrak bagi hasil (Production sharing contract) adalah
perjanjian atau kontrak yang dibuat antara badan pelaksana dengan badan usaha dan atau
bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dibidang minyak dan
gas bumi dengan prinsip bagi hasil. (2004 : 260).4
Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) mempunyai beberapa ciri utama,
yaitu :
1. Manajemen ada di tangan negara (perusahaan negara). Negara ikut serta dan
mengawasi jalannya operasi pertambangan minyak dan gas bumi secara aktif dengan
4

http://gregorius-adrian.blogspot.com/2012/05/hukum-pertambangan.html
11

tetap memberikan kewenangan kepada kontraktor untuk bertindak sebagai operator


dan menjalankan operasi dibawah pengawasannya. Negara terlibat langsung dalam
proses pengambilan keputusan operasional yang biasanya dijalankan dengan
mekanisme persetujuan (approval). Inti persoalan dalam masalah ini adalah batasan
sejauh mana persetujuan negara atau perusahaan negara diperlukan dalam proses
pengambilan keputusan.
2. Penggantian biaya operasi (operating cost recovery). Kontraktor mempunyai
kewajiban untuk menalangi terlebih dahulu biaya operasi yang diperlukan, yang
kemudian diganti kembali dari hasil penjualan atau dengan mengambil bagian dari
minyak dan gas bumi yang dihasilkan. Besaran penggantian biaya operasi ini tidak
harus selalu penggantian penuh (full recovery). bisa saja hanya sebagian tergantung
dari hasil negosiasi.
3. Pembagian hasil produksi (production split). Pembagian hasil produksi setelah
dikurangi biaya operasi dan kewajiban lainnya merupakan keuntungan yang diperoleh
oleh kontraktor dan pemasukan dari sisi negara.Besaran pembagian hasil produksi ini
berbeda-beda tergantung dari berbagai faktor.
4. Pajak (Tax). Pengenaan pajak dikenakan atas kegiatan operasi kontraktor, besarannya
dikaitkan dengan besarnya pembagian hasil produksi antara negara dengan kontraktor.
Prinsipnya adalah semakin besar bagian negara maka pajak penghasilan yang
dikenakan atas kontraktor akan semakin kecil.
5. Kepemilikan asset ada pada negara (perusahaan negara).
6. Umumnya semua peralatan yang diperlukan untuk pelaksanaan operasi menjadi milik
perusahaan negara segera setelah dibeli atau setelah depresiasi. Ketentuan ini
mengecualikan peralatan yang disewa karena kepemilikannya memang tidak pernah
beralih kepada kontraktor.
Sebelum dikeluarkannya Undangundang Nomor 22 Tahun 2001, pertambangan
minyak dan gas bumi mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 44 Prp tahun 1960.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka Kontrak Bagi Hasil (Production sharing contract)
merupakan perjanjian bagi hasil dibidang pertambangan minyak dan gas bumi, para pihaknya
adalah Pertamina dan Kontraktor. Namun sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi maka para pihaknya adalah Badan Pelaksana
dengan Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap.
Tiga prinsip pokok Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) berdasarkan
ketentuan pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi, memuat persyaratan :
12

a. Kepemilikan sumber daya alam tetap ditangan pemerintah sampai pada titik
penyerahan;
b. Pengendalian manajemen operasi berada pada badan pelaksana;
c. Modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) berbentuk tertulis, yang dibuat
antara Pelaksana dengan Badan Usaha dan/atau Badan Usaha Tetap. Substansi yang harus
dimuat dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract).
Hak-hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Production Sharing
Hak dan kewajiban badan usaha dan atau badan usaha tetap yang melaksanakan
kegiatan usaha hulu berdasarkan kontrak production sharing diatur dalam pasal 31 undangundang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. ada 2 macam kewajiban dari
badan usaha dan badan usaha tetap, yaitu:
1. Membayar pajak yang merupakan penerimaan Negara,dan
2. Membayar bukan pajak yang merupakan penerimaan Negara,
Penerimaan Negara yang berupa pajak terdiri atas:
1. Pajak-pajak;
2. Bea masuk dan pungutan lain atas impor dan cukai;
3. Pajak daerah dan distribusi daerah
Penerimaan Negara bukan pajak, terdiri atas :
1. Bagian Negara ,merupakan bagian produksi yang diserahkan oleh badan usaha atau
usaha tetap kepada Negara sebagai pemilik sumber daya minyak dan gas bumi;
2. Iuran tetap, yaitu iuran yang dibayar oleh badan usha atau atau usaha tetap kepada
Negara sebagai pemilik sumber daya minyak dan gas bumi sesuai luas wilayah kerja
dan sebagai imbalan ataskesempatan untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi;
3. Iuran eksplorasi dan eksploitasi merupakan iuran yang dibayarkan oleh badan usaha
atau usaha tetap kepada Negara sebagai kompensasi atas pengambilan kekayaan alam
minyak dan gas bumi yang tak terbarukan;
4. Bonus-bonus dalam penerimaan dari bonus-bonus atau penandatanganan bonus
kompensasi data, bonus produksi dan bonus-bonus dalam bentuk apapun yang
diperoleh badan pelaksana dalam rangka kontrak production sharing.
Sejak berlakunya otonomi daerah, pemerintah pusat berkewaajiban

untuk

mendistribusikan kembali penerimaan Negara dari hasil minyak bumi dan gas bumi kepada
pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota yang mempunyai sumber daya alam
tersebut.besarnya bagian yang diterima oleh pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota
telah ditentukan dalam pasal 6 ayat (6) undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang
13

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. di dalam peraturan itu di
tentukan 2 (dua) macam sumber daya alam, yaitu sumber daya alam minyak dan gas. bagian
dari masing-masing pihak disajikan berikut ini.
1.
Minyak bumi
Bagian pemerintah pusat dari minyak bumi

sebanyak 85%; pemerintah daerah

sebesar 15%. dari pembagian sebanyak 15% maka bagian dari pemerintah provinsi yang
bersangkutan sebanyak 3% (tiga persen); bagian kabupaten atau kota pengahsil sebesar 6%;
dan bagian kabupaten atau kota lainnya dalam provnsi yang bersangkutan sebesar 6%
2.
Gas alam
Bagian pemerintah pusat dari gas alam sebesar 70%; pemerintah daerah sebesar 30%.
dari pembagian sebanyak 30%, maka bagian dari pemerintah provinsi yang bersangkutan
sebanyak 6% (enam persen); bagian kabupaten atau kota penghasil sebesar 12%; dan bagian
kabupaten atau kota lainnya dalam provinsi yang bersangklutan sebesar12%.
Bagian yang diterima oleh daerah sangat kecil. hal ini disbabkan biaya yang
dikeluarkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya minyak dan gas bumi
sangat besar dan diperlikan teknologi yang canggih. biasanya dalam melakukan eksplorasi
dan eksploitasi sumber daya alam tersebut harus mengadakan kontrak production sharing
dengan perusahaan domestic atau perusahaan asing. perusahaan asing ini memiliki modal dan
skill, sehingga mereka juga mempunyai hak untuk mendapat bagian dari kontrak production
sharing. haknya dalah menierima bagian yang telah disepakati antara badan pelaksana dengan
badan usha atau badan usaha tetap, sebagaimana yang tercnatum dalam kontrak production
sharing.
Jangka Waktu Kontak Production Sharing
Jangka waktu kontrak production sharing telah ditentukan dalam pasal 14 sampai
dengan pasal 15 undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. jangka
waktu kontrak tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak
ditandatanganinya dan diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. jangka waktu
terdiri dari jangka waktu eksplorasi dan jangka waktu eksploitasi. eksplorasi dalah kegiatan
yang bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan
dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang di tentukan
.jangka waktu kegiatan eksplorasi dilaksanakn 6 (enam) Tahun dan dapat diperpanjang hanya
1 (satu) kali periode yang dilaksanakan paling lama 4(empat) tahun, jadi total jangka waktu
eksplorasi adalah selama 10 tahun.
Eksploitasi adalah suatu rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengahasilkan
minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan.eksploitasi itu terdiri dari atas
14

penegeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan saran pengangkutan, penyimpanan, dan


pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi dilapangan serta kegiatan
lain yang mendukung.
Pola Penyelesaian Sengketa
Di dalam undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak
ditemukan pasal yang mengatur tentang penyelesaian sengketa, jika terjadi sengketa antara
badan usaha atau badan usaha tetap dengan baan pelaksana terhadap substansi kontrak
production sharing. pola peyelesaian sengketa telah ditentukan dan dituangkan dalam kontrak
production sharing yang dibuat para pihak.
Pola penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam standar kontrak tentang Kontrak
Production Sharing, yang dibuat antara pertamina dengan kontrak .hal ini dituangkan dalam
section XI tentang consutation and arbitration dalam section ini ada 2 (dua) hal yang diatur,
yaitu tentang konsultasi antara pertamina dan kontraktor dan arbitrase.
Konsultasi ini diatur dalam section XI.I. konsultasi antara pertamina dan kontraktor
dapat dilakukan pada waktu-waktu terentu.tujuannya untuk:
1.
Membahas perkembangan pengoperasian minyak dan gas,
2.
Membuat pertimbangan baru atau kebijakan baru,dan atau
3.
Kemungkinan risiko yang akan dihadapi pada mas mendatang.
Pola penyelesain sengketa yang diatur dalam section XI.2 dapat dilakukan dalam 2
tahap, yaitu :
1. Tahap perdamaian dan
2. Arbitrase.
Pada tahap perdamaian para pihak harus menjelaskan dan memusyawarahkan tentang
perselisihan yang timbul diantara mereka.mereka akan melihat pada penafsiaran
terhada[ substansi kontrak dan pelaksanaan kontrak. merka tetap berusaha untuk
menyelesaikan persoalan itu secara damai.
Jika cara damai tidak dapat diselesaikan diantara mereka maka pertamina dan
kontraktor dapat menyelesaikannya melalui cara arbitrase. jumlah waitnya terdiri atas 3 orang
dengan komposisi sebagai berikut:
1. Satu orang wasit yang berasal dari pihak pertamina
2. Satu orang wasit yang berasal dari pihak kontraktor
3. Satu orang wasit (arbiter) yang netral, yang dipilih dan ditunjuk oleh pihak pertamina
dan kontraktor
Keberadaan arbiter dari para pihak dan seorang arbiter ang netral diharapkan nantinya
akan dapat menyelesaikan perselisihan yang muncul antara pertamina dan kontraktor. apabila
para arbiter (wasit) yang ditunjuk tidak dapat menyelesaikan persoalan antarmereka maka
para pihak dapat mengajukan persoalan tersebut kepada presiden dari international chamber
of commerce (ICC) (kamar dagang intersional) di paris, kegiatan dari international chamber
15

of commerce (ICC) dalam bidang arbitrase, yaitu memberikan suatu metode penyelesaian
sengketa yang murah dan cepat (an inexpensive and quick method for settelement of dispute)
(huala adolf dan a chandrawulan,1995:185). ICC inilah yang merupakan aturan hukum untuk
menyelesaikan sengketa antara pertamina dan kontraktor. prosedur dan syarat syaratnya
dapat dilihat pada kontrak joint venture.
2.3 KONSESI
Pengertian
Konsesi mempunyai pengertian sebagai suatu penyerahan daerah tertentu oleh
pemerintah kepada perusahaan asing dalam rangka pengusahaan dan pemilikan sumber alam
yang terkandung di daerah tersebut. Dalam kerjasama jenis ini, seluruh minyak dan gas bumi
serta panas bumi yang dihasilkan akan menjadi milik perusahaan asing tersebut. Perusahaan
asing (pengusaha) hanya berkewajiban memberikan sejumlah royalty dan pajak yang
besarnya ditentukan dalam perjanjian dengan pemerintah negara.
Konsesi adalah suatu bisnis yang dioperasikan di bawah sebuah kontrak atau izin yang
berhubungan dengan tingkat eksklusivitas dalam sebuah bisnis dengan area geografi yang
khusus. Konsesi merupakan suatu izin sehubungan dengan pekerjaan besar yang melibatkan
kepentingan umum yang mana pekerjaan tersebut merupakan tugas pemerintah tetapi oleh
pemerintah di berikan hak penyelenggaraan kepada konsesionaris (pemegang izin) yang
bukan pejabat pemerintah.
Sistem ini merupakan model kontrak kerjasama tertua di dunia dalam bidang
pertambangan. Amerika Serikat, Australia, Norwegia, Thailand, dan beberapa negara Timur
Tengah juga menganut sistem konsesi. Di Indonesia, sistem ini berlaku bagi pengusahaan
migas dengan lahirnya Indische Mijnwet (1899), yang dibuat atas desakan pihak swasta
untuk terlibat di dalam pengusahaan minyak dan gas bumi di Hindia Belanda.5
Sistem kerja dari kontrak konsesi (Consession)
Dalam konsesi negara menjamin kepada kontraktor untuk hak eksplorasi eksklusif,
hak pengembangan dan produksi eksklusif untuk setiap penemuan komersial. Hal-hal yang
membedakan konsesi dan PSC adalah kepemilikan hidrokarbon yang diproduksikan,
kepemilikan instalasi produksi dan hal-hal apa yang merupakan bagian dari negara.
Kepemilikan produksi
5

https://casdiraku.wordpress.com/2010/02/23/perkembangan-model-pengelolaan-migas/
16

Sebelum dikeluarkan dari dalam tanah secara umum hidrokarbon adalah milik negara
apapun jenis kontraknya. Walaupun demikian dalam konsesi kontraktor menjadi pemilik dari
hidrokarbon yang diproduksikan dengan kewajiban membayar royalty dalam bentuk fisik
(minyak atau gas) atau dalam bentuk tunai, pada waktu mereka dikeluarkan dari dalam tanah
dan mencapai kepala sumur.
Kepemilikan instalasi hidrokarbon
Dalam konsesi kontraktor memiliki instalasi sampai kontraknya habis. Ketika
kontraknya habis instalasi diserahkan kepada negara tanpa kompensasi oleh kontraktor.
Negara bebas menggunakan sesukanya jika masih berguna secara ekonomi dan sebagai
alternatif negara dapat meminta kontraktor untuk membuang sebagian atau seluruh instalasi
dengan biaya kontraktor jika tidak ingin menggunakannya. Kontraktor dapat menggunakan
instalasi lagi untuk produksi dari penemuan lain di negara yang sama.
Sumber pendapatan untuk negara
Pada konsesi negara memperoleh pendapatan melalui sumber-sumber berikut :

Bonus (penandatanganan atau produksi).


Fee permukaan.
Royalty atas produksi.
Pajak atas pendapatan.
Dalam beberapa kasus terdapat pajak kelebihan keuntungan (excess profit tax).
Pada kebanyakan negara walaupun dimana tidak benar-benar ada kontrak, beberapa

term ditetapkan pada hari ijin diberikan (royalty excess profit tax) tetapi pajak dan
keuntungan berdasarkan hukum pajak umum, sehingga dapat berubah dari waktu ke waktu.
Sebagai contoh telah terjadi penurunan pajak secara berturut-turut di Inggris, Norwegia dan
Belanda pada akhir-akhir ini dan industri perminyakan diuntungkan karenanya.
Ketentuan yang berlaku pada konsesi migas antara lain :

Kontraktor bertindak selaku operator sekaligus bertanggung jawab atas

manajemen operasi.
Kepemilikan minyak dan gas bumi berada di tangan kontraktor.
Kepemilikan aset berada di tangan kontraktor dengan batasan tertentu.
Negara mendapat pembagian pembayaran royalti dihitung dari tingkat

produksi tertentu.
Pajak penghasilan dikenakan kepada kontraktor dari keuntungan bersih (pajak
penghasilan dan pajak tanah).
17

Negara yang menggunakan sistem kontrak konsesi (Consession)


Pengusahaan minyak dan gas bumi membutuhkan investasi yang besar, teknologi
tinggi serta resiko yang besar pula. Sama seperti bisnis lainnya, pengusahaan migas bertujuan
untuk mencari keuntungan. Terkait pengusahaan migas ini, secara umum terdapat dua sistem
kontrak yaitu sistem yang didasarkan pada royalti/tax system (konsesi) dan sistem kontrak.
Sistem konsesi sesuai terminologinya, pemerintah melimpahkan kepada investor hak untuk
mengeksplorasi, memproduksikan dan menjual minyak dan mengelola operasi. Sebagai
imbalannya, pemerintah menerima royalty dan pajak pendapatan. Pemerintah tidak
berpartisipasi atau mengontrol proyek, sehingga kontraktor menyukai model ini. Sistem
konsesi juga memiliki kontrak lebih sedikit dan kurang fleksibel dibandingkan bentuk-bentuk
lainnya. Sistem konsesi banyak dipilih oleh negara-negara maju, antara lain Austalia, Kanada,
Amerika Serikat, Inggris, Norwegia, Angola, Brazil, Rusia.
Di negara Amerika Serikat memakai sistem kontrak konsesi, dalam sistem kontrak
konsesi ini kontraktor juga memiliki kekuasaan untuk mengelola minyak dan gas bumi, mulai
dari eksplorasi, produksi hingga penjualan minyak dan gas bumi. Pemerintah sama sekali
tidak terlibat didalam managemen operasi ini, bahkan sampai dalam tahap penjualan minyak
dan gas bumi yang diproduksi oleh kontraktor. Dengan adanya hak penuh yang dimiliki
kontraktor dalam melakukan kegiatan usaha minyak dan gas bumi, maka sistem konsesi ini
identik dengan adanya private ownership.
Dalam private ownership maka kepemilikan swasta atas kekayaan alam diakui dan
kepemilikan berdasarkan sistem konsesi tersebut adalah hak milik. Seperti yang kita ketahui
hak milik merupakan hak turun temurun, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat
sehingga jika kontraktor telah mendapatkan kontrak konsesi maka terhadap wilayah kerja
tersebut sudah sepenuhnya menjadi kepemilikan kontraktor sampai dengan jangka waktu
konsesi tersebut.
Di amerika serikat berdasarkan rule of capture, pemilik tanah memiliki hak (title) atas
minyak dan gas bumi yang diproduksikan dari sumur yang di bor diatas tanah miliknya atau
pemilik hak atas tanah juga menjadi milik minyak dan gas yang terkandung dibawahnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemilikan swata (privat
ownership) yang ada dalam sistem konsesi menimbulkan akibat hukum sebagai berikut :

Kontraktor akan bertindak sebagai operator sekaligus bertanggung jawab, atas

managemen operasi.
Kepemilikan minyak dan gas bumi yang dihasilkan berada ditangan kontraktor.
18

Kepemilikan aset berada ditangan kontraktor.


Negara mendapatkan pembagian dari pembayaran royalti.
Pajak penghasilan dikenakan atas keuntungan bersih (net profit).

19

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pengusahaan
dilakukan

bahan
oleh

galian (tambang),

Pemerintah

melalui

termasuk

pertambangan

pemberian

ijin

kepada

umum,
pihak

kontraktor berdasarkan Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya atas dasar


Undang-Undang Penanaman

Modal. Pelaksanaan

hambatan-hambatan

bersifat yuridis dan non yuridis. Hambatan-hambatan

yang

Kontrak

Karya

mempunyai

yang bersifat yuridis adalah hambatan-hambatan yang berkaitan dengan isi dan tujuan
yang terdapat dalam Kontrak Karya, seperti Wilayah Kontrak Karya yang terdapat
endapan mineral yang menjadi tujuan usaha pengusahaan bahan galian (tambang) dan
pembayaran royalti dan iuran usaha pertambangan, serta pengembangan masyarakat
sekitar wilayah Kontrak Karya atau sering disebut sebagai

masyarakat lingkar

tambang. Hambatan non yuridis adalah hambatan-hambatan yang terdapat di luar


isi Kontrak Karya, yang tidak diatur dalam Kontrak Karya. Dalam berbagai generasi
penerapan kontrak karya memiliki prinsip-prinsip masing-masing dalam berbagai
tingkat generasinya. Hal ini dapat menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi para
pihak, dimana ditentukan para pihak-pihak dalam pembuatan perjanjian kontrak karya
yaitu pemerintah dengan perusahaan tertentu
Pada dasarnya kontrak bagi hasil merupakan bentuk kerja sama lain dalam kegiatan
eksplorasi dan ekploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya di
pergunakan kemakmuran rakyat. Momentum di mulainya kontrak production sharing
(KPS) yaitu pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang
Minyak dan Gas Bumi. Struktur dalam bagi hasil dalam undang undang ini berbeda
dengan undang undang yang lama. Pada undang-undang yang lama, yang menjadi
para pihak dadalah pertamina dan kontraktor. Sedangkn dalam Undang-Undang
Nomer 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi maka para pihaknya adalah
badan pelaksana dan badan usaha dan atau badana usaha tetap.
.Sistem konsesi berlaku pada zaman Pemerintah Hindia Belanda, dari tahun 1910
sampai dengan tahun 1960. Hak-Hak yang diminati konsesi adalah kuasa
pertambangan dan hak atas tanah.

20

B. SARAN
Dalam Perjanjian kontrak karya perlu lebih diperhatikan ketentuan ketentuan
khususnya peraturan peraturan yang mengatur mengenai pembuatan perjanjian itu
sendiri, baik mengenai syarat-syarat, serta hal seperti pembagian hasil yang seharusnya
lebih dapat meningkatkan tingkat perekonomian Negara serta diupayakan dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sebaiknya bagian yang di terima oleh daerah pendapatanya menjadi lebih tinggi
mengingat bagian yang di terima oleh daerah ini sangat kecil hal ini di sebabkan biaya
yang di keluarkan untuk melakukan ekplorasi dan ekploitasi sumber daya minyak
sangat besar dan di perlukan teknologi yang sangat canggih, dalam hal melakukan
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam tersebut di adakan kontrak production
sharing dengan perusahaan domestic dan perusahaan asing. Karena perusahaan asing
memiliki modal dan skil yang tinggi, sehingga mereka mempunya hak untuk
mendapatkan bagian yang tinggi pula, oleh karena itu di harapkan agar baik pihak
pemerintah lebiih menggalakan baik sumber daya manusi terlebih skil dan modal agar
pendapatan dari eksplorasi dan eksploitasi lebih menguntungkan pihak pemerintah dan
maupun perusahaan domestik.
Dalam sistem konsesi, kontraktor diberikan keleluasaan untuk mengelola minyak dan
gas bumi, mulai dari eksplorasi, produksi hingga penjualan minyak dan gas bumi.
Pemerintah sama sekali tidak terlibat di dalam manajemen operasi pertambangan,
termasuk dalam menjual minyak bumi yang dihasilkan. Jika berhasil, kontraktor hanya
membayar royalti, sejumlah pajak dan bonus kepada Pemerintah. Dalam Indische
Mijnwet (1899), royalti kepada Pemerintah ditetapkan sebesar 4 persen dari produksi
kotor dan kontraktor diwajibkan membayar pajak tanah untuk setiap hektar lahan
konsesi. Untuk sistem konsesi ini diharapkan Indonesia tidak menerapkan sistem ini
karena Pemerintah dalam sistem ini tidak memiliki kekuasaan dalam pengelolaan
minyak dan gas bumi.

21

DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
H.S, Salim, 2004, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Simamora, Rudi M., 2000, Hukum Minyak dan Gas Bumi, Djambatan, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria .
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Website :
http://gregorius-adrian.blogspot.com/2012/05/hukum-pertambangan.html

diakses

pada

tanggal 15 Juni 2015


https://casdiraku.wordpress.com/2010/02/23/perkembangan-model-pengelolaan-migas/
diakses pada tanggal 15 Juni 2015

22

Anda mungkin juga menyukai