1. DARI
OTORITARIANISME
KE
DEMOKRASI:
KEMUNCULAN
NEGARA-
sehingga apa saja yang bias dicapai oleh pemerintah dalam dunia kontemporer saat ini
layak diulang kembali. Dalam perspektif ini keberadaadn pemerintah adalah untuk:2
Menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan-kepentingan yang beragam;
Menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang
saling bersaing;
Menciptakan dan melindungi ruang public yang terbuka, dimana debat bebas
monopoli mengancam;
Menjaga keamanan social melalui control sarana kekerasan dan melalui
penetapan kebijakan;
Mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui peran utamanya dalam
sistem pendidikan;
Menopang sistem hukum yang efektif;
Memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam
Jika tidak terdera oleh krisis ekonomi dan moneter, Jhon Naisbitt telah
memprediksikan adanya 8 (delapan) kecenderungan besar yang membentuk kembali
perekonomian, pemerintahan, dan kebudayaan asia, yang membawa asia ke arah
suatu commonwealth of nations yang akan menjadi rival Barat dalam hal kekuatan
dan pengaruh. Delapan kecenderungan besar tersebut adalah sebagai berikut:3
2 Anthony Giddens, The Third Way, The Renewal of Social Democracy, atau jalan
Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, terj. Ketut Arya Mahardika ( Jakarta :PT
Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal 53.
3 Jhon Naisbitt, Megatrends Asia : Eight Asian Megatrends That Are Reshaping Our
World (New York : Simon dan Schuster, 1996) hal. Sampul Luar.
Berbagai indikator dan permasalahan yang diuraikan di muka merupakan faktor-faktor penting
untuk dicermati implementasinya dalam masa transisi politik.
2. Reposisi Hubungan Sipil-Militer
Menurut Huntington, sesungguhnya semua rezim otoritarian, apapun tipenya, mempunyai
kesamaan dalam satu hal, hubungan sipil-militer mereka tidak begitu diperhatikan. Istilah
ini mengandung makna 1) profesionnalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari
pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; (2)
subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan
pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer (3) pengakuan dan persetujuan dari pihak
pemimpin politik tersebut atas kewenangan professional dan otonomi bagi militer, dan
akibatnya (4) minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi
politik dalam militer. 4
Hubungan sipil-militer dalam rezim otoritarian berbeda dengan model tersebut dalam
derajat yang bervariasi. Dalam rezim militer tidak ada kontrol sipil, dan pemimpin serta
organisasi militer sering melakukan fungsi yang luas dan bervariasi yang jauh dari misi
militer yang normal. Dalam kediktatoran personal, penguasa melakukan apa saja untuk
memastikan bahwa militer disusupi dan dikontrol oleh kaki tangan dan kroni-kroninya,
yang memecah belah dan bekerja untuk menjaga cengkeraman kekuasaan diktator. Dalam
pemerintahan suatu partai, hubungan sipil militer tidak begitu berantakan , tetapi militer
dipandang sebagai instrument dari partai, pejabat militer harus merupakan anggota partai,
komisaris politik dan unsur-unsur partai parallel dengan rangkaian komando militer;dan
loyalitas tertingginya lebih diutamakan kepada partai daripada negara.5
Analis masalah hubungan sipil-militer muthiah alagappa, pernah mengemukakan lima proposisi
mengenai hal ini, terutama dalam konteks negara-negara di asia-termasuk Indonesia-yang pokokpokoknya adalah sebagai berikut:
1. Although civil-military relations is still a contested arena and in the midst of significant
change in a number of countries, the trend in asia since the mid-1980s has been toward a
4 Huntington dalam diamond dan plattner,eds,op.cit, hal 3-4,sebagai bahan
pembanding lihat ODonnel dalam ODonnell, Schmitter, dan Whitehead, hal 1-24.
5 Huntington dalam diamond and plattner, hal 4.
reduction in the political salience (power, influence and row) of the military in
governance, and corresponding increase in civilian control of the military. While there is
a likelihood of reversals in a few countries as in Pakistan in 1999, a repeat of the 1960s
when there was a surge in the number of military regimes appears rather unlikely. For a
number of reasons explored this chapter, the trend toward a decrease in the political
influence of the military appears quite firmly rooted and is likely to continue into the
foreseeable future.
2. Notwithstanding this trend, advance effective civilan control over the military in post
authoritarian states is likely to be incremental and gradual subject to protacted struggle
and negotiation, and at times setback. There could be limited military rle expansion,
especially at the local level, in countries that have experienced civilian control for
considerable period. Further, because of peculiar dynamics, the content of state soldier
relations is likely to vary across countries, even when they have similar political system.
Civil military relations in Asia will continue to be complex and dynamic. And will be
characterized by multiple patterns although democratic civilian is likely to emerge as the
dominant mode.
3. Institutional analysis (which posits civil-military relations as the outcome of the
interaction of the power, interest, and beliefs of the salient civilian and military actors
tempered by the material and ideational influences of the civil and international societies)
has significant value in explaining asia civil-military relations, but it also suffers several
limitations by imposing a dichotomy, it misses the organic connections between the
political and coercive institutions as well as the lack of role differentiation between
political and military leaders,that, for example, existed during the paths to power in
several Asian countries and which still persists to some degree in the Asian socialist
countries.
4. The key to understanding civil-military in Asia as elsewhere is the significance and role
in state and nation building and in governance, especially the exercise of political
authority. As the salience of coercion in these processes increases or decreases, so does
the political power and influence of the military. Although the salience of coercion in the
international consolidation of the nation-state safeguarding its international security is
important,the significance and role of coercion in domestic governance in enforcing the
writ of the government and in maintaining internal order and security because of its more
direct connection to political legitimacy and capacity its more critical in explaining the
relationship of the state to the soldier. The greater the role of coercion in securing loyalty
and obedience from citizens of the state, the weaker is the political legitimacy of the
nation-state and the government. There is no such corresponding relationship between the
international deployment of state coercion and political legitimacy. The impact could be
positive or negative depending on circumtances. This said, the political salience of well
as in safeguarding the international security of the country.
5. Our final perspective proposition is grounded in the third and fourth propositions.
Enhancements of civilian control entails strengthening the capacity and roles of civilian
institutions while reducing that of the military, and even more significantly reducing the
salience of coercion in governance through the development of political and socioeconomic policies and processes to resolve political and socio-economic policies and
processes to resolve political and social problems. This does not imply that coercion is
irrelevant for governance. Only that its role should be limited and indirect, and be viewed
as the ultimate sanction, not first recourse. We dint find the claim that professionalization
of the military will make it less apolitical appealing because it is as much an outcome of
depolicization as a cause of it. Instances abound in Asia where the military is both
political and professional. In any case, professionalization is one among many measure
and certainly not as important as the institutional and governance measures that should be
taken to enhance civilian control.6
Walaupun dikemukakan lebih dari dua tahun silam, proposisi alagappa ini masih terasa
relevan untuk konteks negara-negara asia termasuk Indonesia-pada saat ini. Proposisi
yang pertama misalnya, telah hamper tercapai di Indonesia setelah siding Tahunan MPR
pada bulan Agustus 2002 yang lalu telah memutuskan struktur MPR yang baru. 7 dengan
6 Muthiah alagappa, The Shifting Views of Civil and Military Relations in
Indonesia. (Paper presented on the inauguration and colloquium of the habibie
center in jakarta 22-24 May 2000), hal 1-2; Sebagai Bahan DiskusI Lihat Pula Bilveer
Singh, Civil-Military Relations in Democratizing Indonesia: Change Amidst
Continuity (Paper presented on Inauguration and Colloqium of the Habibie Center
in Jakarta).
7 Satya Arinanto, Setelah MPR menjadi Bikameral,kompas, 9 Agustus 2002, hal
7
struktur yang baru ini, peran social-politik Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk menjadi anggota DPR & MPR melalui
pengangkatan akan berakhir.
Kondisi di Indonesia pada saat ini menunjukan bahwa dominasi besar dan hegemonik
dari militer pada masa Orde Baru merupakan faktor struktural yang sangat sulit
dinetralisir oleh kekuatan sipil. Apalagi jika rezim sipil, seperti presiden Megawati
Soekarnoputri, tidak mempunyai konsep yang tajan dan konsistensi kuat untuk
menetralisir militer. Kemampuan militer untuk melakukan pemulihan (recovery) jelas
akan mengancam transisi demokrasi Indonesia.8
3. Perumusan Kebijakan Baru Untuk Menyelesaikan
Sebelumnya.
Dalam kasus-kasus lainnya di chile, pemerintah telah memilih sarana yang berbeda untuk
berhubungan dengan masa lalunya, misalnya dengan membuka kebenaran dari
pelanggaran-pelanggaran HAM dan dorongan terhadap suatu pengakuan publik akan
kejahatan-kejahatan dan bahkan suatu permintaan maaf terhadap para korban. Walaupun
pada awalnya muncul skeptisme terhadap pola-pola pengungkapan semacam itu, yang
dikuatirkan akan menjurus kearah instabilitas, komisi-komisi kebenaran .9 Ini kemudian
secara cepat mendapatkan dukungan di berbagai kalangan sebagai salah satu mekanisme
simbolis untuk memutuskan hubungan dengan masa lalu, bagaimanapun dengan
penerimaan itu, kadang kala timbul suatu penyederhanaan konsepsi bahwakebenaran
lebih baik untuk keadilan dan bahwa laporan dari komisi-komisi kebenaran merupakan
alternatif yang lebih baik untuk keadilan dan bahwa laporan dari komisi-komisi
kebenaran merupakan alternative yang lebih baik bagi tuntutan-tuntutan pidana sejenis
terhadap pelanggaran-pelanggaran (HAM).10
8 Bdm, Transisi Demokrasi Terancam Pemulihan TNI, kompas , 25 juli 2002, hal 6
9 Di bebagai negara komisi ini kemudian dikenal sebagai komisi kebenaran dan
rekonsiliasi (KKR) . Pada saat ini Indonesia telah memiliki RUU tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi, , namun pada saat penelitian ini dilakukan , RUU
tersebut belum dibahas DPR , lihat Daan Bronkhorst Truth and Reconciliation ,
obstacles and opportunites for human right, atau mengapa masa lalu, merenda
masa depan, komisi kebenaran di berbagai negara
13
tuntutan dengan kekebalan hukum yang lengkap kepada mereka yang telah melakukan
berbagai kejahatan yang diasosiasikan dengan suatu motivasi atau tujuan politik. Dalam
putusannya pada tanggal 16 Februari 1999, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika
Selatan kemudian menyatakan menolak untuk memberikan amnesti terhadap para pembunuh
Steven Biko, berdasarkan dua alas an sebagai berikut: (1) para pembunuh Biko, belum
10 ELSAM (Jakarta: lembaga studi dan advokat masyarakat (ELSAM) 2002, lihat
pula Priscilla B. Hayner, Setelah Otoritarianimse Berlalu
11 Kebijakan diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan warna kulit, yakni kulit
putih terhadap kulit hitam.
12 Carla Hesse dan Robert Post, Introduction , dalam Carla Hesse dan Robert
Post,eds. Human Rights in Political Transitions: Gettysburg to Bosna ( New York:
Zone Books, 1999) , Hal 13.
13 Disebut sebagai South African Truth and Reconciliation Commission.
14
15
kasus peru, sebagaimana digambarkan oleh Cotler16. Meskipun peran sentral yang
dimainkan angkatan bersenjata atau kalangan militernya membedakan kasus Peru dari
bentuk bentuk populisme Amerika Latin yang lebih tua dan lebih tipikal.(dimana
peran-peran sentral dimainkan oleh gerakan-gerakan politik sipil yang diarahkan oleh
kepemimpinan yang sangat dipersonalisasikan) , menurut Cotler, Peru tetap termasuk
dalam keluarga populis rezim-rezim itu, peran personal, yang dijalankan angkatan
bersenjatanya memadai untuk memisahkan kasus Peru dari bentuk tradisional
kediktatoran militer. Di sisi lain, rezim militer yang populis di Peru berlawanan dalam
beberapa aspek penting dengan rezim birokratik otoriter.17
c. Perbedaan dengan rezim birokratik otoriter
Diantara perbedaan-perbedaan tersebut adalah orientasi antioligarkis dalam kebijakan
rezim peru, niatnya untuk secara cepat memperluas industri dan peran ekonomi
15 Pengertian yang netral antara kedua istilah tersebut-otoriterisme dan populis
sebenarnya saling bertentangan, karena itulah penyebutan istilah yang kedua
tersebut dilakukan dengan memberi tanda petik.
16 Lihat artikel Julio Cotler, Intervensi-intervensi Militer dan Peralihan Kekuasaan
kepada Sipil di Peru, dalam Odonnell, Schmitter, and Whitehead, eds,po,citi hal
225-261; lihat pula Huntington , Mereformasi Hubungan Sipil-Militer, dalam
Diamond and Plattner .eds.op.cit, hal 4.
17
negara sebuah negeri yang tak seberapa maju dalam segi-segi tersebut; dan ketiadaan
hasrat untuk menyingkirkan secara paksa sektor rakyat.
d. Beberapa kasus lainnya
Kasus-kasus lainnya di Amerika Latin yang dapat ditinjau ialah Chile. Dari segi
konfigurasi politiknya, chile tergolong dalam tipe birokratik otoriter. Yang sudah
dilakukan hanya langkah-langkah yang sangat terbatas, mudah dibalikkan, dan tidak
pasti menuju liberalisasi. Rezim ini banyak menunjukan kemorosotan .
Di meksiko , terjadi perubahan mendalam di dalam sebuah rezim yang betapapun
telah menunjukan kesinambungan yang mengagumkan dalam struktur dan
kepemimpinan. Revolusi Terlembaga nya mirip kekuasaan birokratik otoriter dalam
banyak hal, dan jelas bukan merupakan demokrasi politik yang pernah digambarkan
sebelumnya. Namun rezim Meksiko berbeda dari rezim birokratik otoriter dalam
tingkat
pelembagaaanya
yang
relatif
tinggi
dan,
oleh
karenanya,
dalam
kembar dari transisi menuju demokrasi dan konsolidasi di Yunani sangat menarik
untuk dieksplorasi secara sistematis. Khususnya , kita mencoba untuk menjelaskan
mengapa Yunani berhasil dalam menerapkan suatu wilayah kebijakan yang bersifat
krusial dimana berbagai negara lainnya telah gagal, mereka mungkin mencoba untuk
melakukan langkah-langkah, namun ditekan untuk mundur di hadapan oposisi yang
ditentukan, atau untuk alas an apapun ( yakni berbagai pakta formal atau pemahamanpemahaman yang tidak resmi namun mengikat di antara rezim yang pergi dan
kepemimpinan demokratis yang tiba).
b. Konsepsi Jalan Tengah di Jerman dan Cekoslovakia
Jerman bersatubda bekas negara Cekoslovakia khususnya berjuang dengan berbagai
pendekatan untuk mengahadapi warisan-warisan aparat keamanan negaranya yang
represif. Baik Jerman maupun Cekoslovakia telah mengalami berbagai tingkat
kebebasan dan akses kepada arsip rezim masa lalunya, Dengan demikian resolusiresolusi yang dilakukan di kedua negara tersebut bersifat kompromistis, yang bersifat
jalan tengah, yakni tidak terjadi perusakan terhadap arsip masa lalu, namun juga tidak
dapat dilakukan akses sepenuhnya terhadap arsip tersebut.
Dibandingkan dengan mayoritas kasus dimana negara-negara demokrasi modern telah
berupaya mengunakan sarana hukum untuk bergumul dengan kejahatan-kejahatan
yang dilakukan oleh para diktator di masa lalunya. Republik Federal Jerman tampak
menikmati keuntungan-keuntungan yang tidak diduga dalam upayanya untuk
mencapai penyelesaian kasus-kasus kejahatan dan pelanggaran yang terjadi di bekas
Republik Demokrasi Jerman. Setelah semuanya berlalu, ketika Jerman bersatu
kembali pada bulan Oktober 1990.20 Para pemimpinnya telah mengahadapi suatu
rezim yang kalah total . karena itu mereka tidak perlu merasa khawatir terhadap
perhatian-perhatian yang membuat pencapaian keadilan transisonal dalam setting
yang lain genting dan komplikatif.21
20 Lihat Basic Law For The Federal Republic of Germany ( Promulgated by the
Parliamentary Council on 23 May 1949) , yang menjadi landasan konstitusional dari
sebuah negara baru yang terbentuk sebagai hasil penggabungan kedua jerman.
21 A. James McAdams,ed,Communism on Trial: The East German Past and The
German Future.hal 239
25
25 Guru Besar Ilmu Hukum pada The university of Lowa, Amerika Serikat
26 Guru Besar Hukum Internasional dan Praktek, Princeton university,Amerika
serikat
27 Guru Besar Ilmu Hukum, Northwestern University, Amerika Serikat
28 Huyse dalam Kritz ed, Transitional Justice ,: How Emerging Democracies Reckon
With Former Regimes,Volume 1: General Considerations, op.cit hal 114;lihat pula De
Brito, Gonzales-Enriques dan Aguilar,eds,op.cit.
Dalam periode transisi politik yang substansial, timbul suatu dilemma tentang
penghormatan terhadap aturan-aturan hukum, dimana hal ini berkaitan dengan
permasalahan keadilan bagi rezim yang menggantikan. Dengan dasar apakah suatu
rezim yang terdahulu dapat dibawa ke pengadilan? Dalam konteks pertentangan ini,
apakah oleh keadilan pidana yang menggantikan ini membawa kita kea rah
permasalahan yang lebih luas tentang teori mengenai sifat dan peranan hukum dalam
proses transformasi menuju suatu negara liberal.29
Sebagai contoh, di jerman ada 2
penghukuman terhadap para mantan kolaborator Nazi, yaitu : Hart dan Fueller. Hart
menganut aliran positivisme hukum yang menyatakan bahwa seluruh hukum yang
masih berlaku wajib dilaksanakan sebelum ada ketentuan-ketentuan hukum baru, jadi
walaupun tidak bermoral tetap harus dijalankan.30 Sedangkan menurut Fueller
peraturan yang menghukum para nazi tersebut adalah hukum yang baru dibuat
berdasarkan demokrasi karena putusnya hubungan dengan rezim otoriter maka putus
pula hubungan hukum Nazi tersebut. Pada akhirnya pemerintahan Jerman memakai
cara Fueller untuk menghukum para kolaborator Nazi tersebut.31
29 Teitel,Transitional Justice, op,cit,hal 12, Lihat Pula Hesse dan Post dalam Hesse
dan Post, eds.op.cit.
30 Teitel, Transitional Justice,op.cit, hal.13, McAdams dan McAdams,ed.op.cit;Hesse
dan Post dalam Hesse dan Post,eds,op,cit
31 Teitel,Transitional Justice,op.cit, Hart,op.cit;Meny dan Knapp,
op,cit;Weston,Falk,dan DAmato,op.cit;Teitel,Bringing The Meissiah Through The
Law, dalam Hesse dan Post, eds,op,cit;Kritz,ed,Transitional Justice: How Emerging
Democracies Reckon with Former Regimes,Volume II,Country Studies,op.cit
TANGGAPAN
Berdasarkan pembahasan Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Indonesia oleh
Prof Satya Arinanto,SH,M.Hum, . Transisi politik biasanya menjelaskan bagaimana
perubahan politik terjadi pada masa pergantian rezim kekuasaan dan pada umumnya
terjadi pada masa pemerintahan yang sudah lama berkuasa. Perubahan dari negara
totaliter menjadi negara demokrasi karena beberapa hal. Di beberapa negara terjadi
penguatan kelompok reformis
sehingga mendorong
pemerintahan
menjadi
demokratis. Ada pula yang terjadi karena negosiasi antara rezim berkuasa dengan
kelompok oposisi.
Bahwa ada suatu hukum yang mengatur dimana jika ada kekuasaan yang otoriter
berkuasa maka masyarakat pada negara tersebut menginginkan suatu perubahan ke
arah yang lebih baik. Pada masa perubahan dari rezim otoriter ke rezim demokrasi
disebut transisi politik.32
32 Satya Arinanto. Hak Azasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Cet. 3. Pusat Studi
33 ibid
34 AM/ Hak Azasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal
dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Organisasi.
Pengertian, Macam dan Jenis Hak Azasi Manusia/ HAM yang Berlaku Umum Global Pelajaran
Ilmu PPKN/ PMP Indonesia. www.organisasi.org. 2006.
35 Satya Arinanto. Loc cit. hal. 241 243.
36 Loc cit. hal. 130.
37 Loc cit. h. 146.
Hukum internasional berperan untuk mengurangi dilema dari aturan hukum yang
dilontarkan oleh keadilan pengganti dalam waktu transisi dan untuk menjustifikasi
legalitas berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif.38
Khusus untuk negara Timur Tengah yang kaya akan minyak, kita tidak dapat
menafikan campur tangan Amerika Serikat dalam proses revolusi yang terjadi disana.
Walaupun harus diakui , negara tersebut diperintah oleh rezim otoriter, tetapi mereka
dapat menentukan nasib mereka sendiri tanpa tendensi pihak luar.
Di Indonesia sendiri sejak memasuki Era Reformasi kondisi perpolitikan di Indonesia
semakin mengarah ke alam demokratisasi. Hal tersebut dapat dilihat dari
diterapkannya beberapa tahapan-tahapan demokratis selama bergulirnya Era
Reformasi. Diselenggarakannya pemilihan umum secara langsung dan bebas untuk
pertama kali pada tahun 1999 merupakan sebuah kemajuan bagi perjalanan
demokrasi di Indonesia. Pada pemilihan ini partai politik juga mengalami jumlah
peningkatan yang sangat signifikan karena telah dijaminya kebebasan berserikat
dalam bidang politik.
Di Era Reformasi kebasan pers juga lebih ditingkatkan. Surat kabar mendapatkan
izin terbit sedangkan radio dan stasiun Televisi mendapat izin siar dari pemerintah.
Dan negara tidak berhak untuk campur tangan dalam pers. Hal ini lah yang menandai
kebebasan pers di indonesia. Dengan kata lain, sejak memasuki era reformasi, maka
perjalanan proses politik di Indonesia mengarah kepada sebuah keadaan transisi
menuju demokrasi.
40
dikembangakan kearah yang lebih di baik. Hal ini diperlukan demi menciptakan
sistem peemerintahan yang lebih baik. Sehingga apa yang menjadi aspirasi rakyat
dapat diakomodir oleh negara.
39 A. E. Priyono. Demiliterisasi dan Keadilan Transisional dalam Proses
Demokratisasi di Indonesia. http://www.demosindonesia.org/pdf/AEPProjek
%20Demiliterisasi,%20Keadilan%20Transisional,%20dan%20Politik
%20Demokratisasi.pdf. 2008. Diakses pada tanggal 01 Maret 2016.
40 E-Learning. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. www.e-learning.unram.ac.id. 2008. h.
106.
DAFTAR PUSTAKA
Arinanto, Satya. Hak Azasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta. Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2008.
E-Learning. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. www.e-learning.unram.ac.id. 2008.
h. 106.
Marx, Karl dan Friedrich Engels. Manifesto Partai Komunis 1848 : Pendahuluan.
http://marx.org/indonesia/archive/marx-engels/1848/manifesto/ch01.htm.
Edisi
Keterangan. 2008.
Priyono, A. E. Demiliterisasi dan Keadilan Transisional dalam Proses Demokratisasi di
Indonesia.
http://www.demosindonesia.org/pdf/AEPProjek%20Demiliterisasi,
%20Keadilan%20Transisional,%20dan%20Politik%20Demokratisasi.pdf. 2008.
Organisasi. Pengertian, Macam dan Jenis Hak Azasi Manusia/ HAM yang Berlaku
Umum Global Pelajaran Ilmu PPKN/ PMP Indonesia. www.organisasi.org. 2006.
Karl Marx dan Friedrich Engels. Manifesto Partai Komunis 1848 : Pendahuluan.
http://marx.org/indonesia/archive/marx-engels/1848/manifesto/ch01.htm.
Edisi
Keterangan. 2008.
Satya Arinanto. Hak Azasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Cet. 3. Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2008.
7. Ibid.
8. HAM/ Hak Azasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia
sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh
siapapun. Organisasi. Pengertian, Macam dan Jenis Hak Azasi Manusia/ HAM yang
Berlaku Umum Global Pelajaran Ilmu PPKN/ PMP Indonesia. www.organisasi.org.
2006.
9. Satya Arinanto. Loc cit. hal. 241 243.
10. Loc cit. hal. 130.
11. Loc cit. h. 146.
12. Loc cit. h. 211.
13. A. E. Priyono. Demiliterisasi dan Keadilan Transisional dalam Proses
Demokratisasi
di
Indonesia.
http://www.demosindonesia.org/pdf/AEPProjek
%20Demiliterisasi,%20Keadilan%20Transisional,%20dan%20Politik
%20Demokratisasi.pdf. 2008.
14. E-Learning. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. www.e-learning.unram.ac.id.
2008. h. 106.
15. Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran sistematis
terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat
punah) bangsa tersebut. Wikipedia. Genosida. www.wikipedia.org/wiki/genosida. 2008
16.