Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keanekaragaman budaya, ras, dan etnis di Indonesia telah menciptakan
pula bermacam-macam bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi
antaranggota

masyarakatnya.

Kondisi

tersebut

menyebabkan

masyarakat

Indonesia sebagai masyarakat bilingual bahkan multilingual. Sesungguhnya,


banyak negara di seluruh dunia berpenduduk multilingual dengan tiga atau empat
bahasa yang dituturkan dalam kehidupan sehari-hari (Hunt, 1973: 112). Hal itu
selaras pula dengan pendapat Poedjosoedarmo (1985: 526) bahwa masyarakat
Indonesia sebagian besarnya merupakan masyarakat yang bilingual. Situasi
kebahasaan seperti itu dipicu oleh adanya pemakaian dua atau lebih bahasa,
misalnya bahasa daerah sebagai bahasa ibu (bahasa pertama) dan bahasa
Indonesia sebagai bahasa kedua (bahasa nasional). Secara sosiolinguistik,
masyarakat bahasa di Indonesia mengenal tiga bahasa, yaitu: bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional dan sekaligus sebagai bahasa negara; bahasa daerah
dengan jumlahnya yang relatif banyak serta jumlah populasi penutur yang
bervariasi; dan bahasa asing yang diajarkan atau digunakan dalam pendidikan
formal (Chaer dan Agustina, 2004: 227).
Fenomena penggunaan bahasa terdapat dalam berbagai wujud aktivitas
manusia, misalnya seseorang yang menggunakan bahasa secara berbeda akan
dipengaruhi oleh latar belakangnya. Berdasakan hal tersebut, seringkali ada
penyimpulan bahwa terdapat korelasi antara aspek-aspek ujaran seseorang dengan

tempat kelahiran atau tempat dia dibesarkan, pendidikan, kelompok sosial, bahkan
pekerjaannya. Pemilihan bahasa atau ragam bahasa tersebut didasarkan pada
variabel-variabel tertentu, seperti siapa yang berbicara, kepada siapa dia berbicara,
tentang apa yang dibicarakan, dan dimana peristiwa tutur itu terjadi. Selain itu,
dalam berbicara (disadari atau tidak), seseorang mengubah cara berbicara yang
disesuaikan dengan siapa dia berbicara, tingkat keakraban dengan lawan bicara,
dan suasana sekeliling sewaktu proses tuturan berlangsung. Hal tersebut menuntut
setiap anggota masyarakat tutur untuk memiliki kompetensi sosiolinguistik agar
mampu menggunakan bahasa dalam suatu peristiwa tutur tertentu.
Kebiasaan menggunakan bahasa daerah sendiri di luar wilayah bahasa
itu selain menunjukkan dinamika linguistik masyarakat bahasa tersebut, juga
dapat menyebabkan terciptanya masyarakat bilingual. Bahkan, pada tingkattingkat tertentu, dapat membentuk masyarakat multilingual (multilingual society).
Pada masyarakat bilingual maupun multilingual, terdapat pola keanekabahasaan
yang mampu menunjukkan kedudukan dan fungsi bahasa yang terdapat di dalam
repertoire bahasa masyarakat tersebut. Sumarsono dan Paina (2002: 165)
menyatakan bahwa masyarakat multilingual terjadi karena terbentuk dari beberapa
etnis, sehingga masyarakat itu dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural
society). Sementara itu, Wardhaugh (1986: 94) mengemukakan bahwa
multilingualisme mungkin saja terjadi yang disebabkan oleh adanya imigrasi atau

adanya perkawinan campuran, misalnya pada kasus multilingualisme masyarakat


di Tukano, Amazon1.
Kabupaten Sinjai merupakan salah satu wilayah tutur Bahasa Bugis yang
oleh Friberg disebut dialek Sinjai (dalam Grimes dan Grimes, 1987: 31)2. Selain
itu, di sebagian wilayah ini juga ditemukan penutur bahasa Konjo yang
merupakan sub keluarga Makassar. Wilayah tutur bahasa Konjo di Kabupaten
Sinjai, yaitu daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Gowa yang
menuturkan dialek Konjo Pegunungan dan daerah yang berbatasan langsung
dengan Kabupaten Bulukumba yang menuturkan dialek Konjo Pesisir (Grimes
dan Grimes, 1987: 28). Kabupaten Sinjai juga dihuni oleh beragam etnis lain,
misalnya etnis Makassar, etnis Arab, etnis Cina, dan etnis Jawa.
Dengan keberadaan berbagai etnis di Kabupaten Sinjai, tidak menutup
kemungkinan untuk dilakukan pembatasan ruang lingkup penelitian. Hal itu
dimaksudkan agar dalam penelitian ini betul-betul difokuskan perhatian pada
pemilihan bahasa dalam masyarakat tutur yang berada di Kecamatan Sinjai
Tengah. Wilayah ini memiliki luas 129,70 km2 dengan jumlah penduduk 25.987
jiwa (berdasarkan sensus penduduk tahun 2010), merupakan bekas wilayah

Contoh kasus multilingualisme yang menarik dalam masyarakat Tukano, bagian barat laut
Amazon, yang merupakan batas wilayah Colombia dan Brazil (Sorensen, 1971). Masyarakat
Tukano adalah masyarakat multilingual karena ada aturan bagi kaum laki-laki untuk menikahi
perempuan yang berasal dari luar kelompok bahasa mereka, sehingga dalam sebuah keluarga tidak
ada suami yang memiliki istri dari suku yang sama atau yang menuturkan bahasa yang sama. Ada
anggapan bahwa jika mereka menikahi wanita dari suku mereka, maka dianggap sebagai sebuah
pelanggaran incest. Oleh karena itu, kaum laki-lakinya harus mencari istri dari suku lain yang
menuturkan bahasa yang berbeda.
2
Palenkahu, dkk (1974) menggunakan istilah Dialek Enna untuk menggambarkan bahasa Bugis
yang digunakan di bagian selatan Kabupaten Bone (Mara), bagian Timur Laut Kabupaten Maros
(Camba), sebagian besar Kabupaten Sinjai, dan bagian utara Kabupaten Bulukumba. Demikian
pula halnya dengan Grimes dan Grimes (1987) yang menggunakan istilah Dialek Enna yang
dituturkan di tiga kabupaten, yaitu Bone, Sinjai, dan Bulukumba.

kerajaan Pitu Limpoe

yang menggunakan bahasa Konjo sebagai sarana

komunikasi yang utama. Hal menarik yang ditemukan adalah masyarakat di


daerah ini cenderung menggunakan dua bahasa daerah, yaitu bahasa Konjo (BK)
dan dialek Bugis Sinjai (DBS). Selain itu, di daerah ini juga dituturkan bahasa
lain, yaitu Melayu Bugis dan bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI).
Multilingualisme masyarakat di Kecamatan Sinjai Tengah juga tidak terlepas dari
pengaruh letak daerah tersebut yang dekat dengan Kabupaten Gowa. Selain itu,
banyak terjadi perkawinan antara orang Sinjai dan orang Gowa, kemudian mereka
menetap di wilayah ini.
Antara kedua bahasa yang dominan di wilayah ini, yaitu bahasa Bugis
dan bahasa Konjo, tidak terdapat kesalingpahaman (mutually unintelligible).
Meskipun keduanya termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, tetapi berada
dalam sub keluarga yang berbeda. Bahasa Konjo termasuk dalam kelompok
bahasa Makassar, yaitu: Makassar, Konjo, dan Selayar ( Friberg dan Laskowske,
1989), sedangkan bahasa Bugis termasuk dalam kelompok bahasa Bugis, yaitu:
Bugis dan Campalagian. Dapat dikatakan bahwa bahasa Konjo memiliki
perbedaan yang cukup siginifikan dengan bahasa Bugis (Palenkahu, dkk., 1971).
Contoh berikut memperlihatkan perbedaan antara DBS dan BK.
1.

2.

BI
DBS
BK
BI
DBS

:
:
:
:
:

Kapankah Anda datang?


Maraganna ta-engka, Puang?
Singnguranna antu kirieng, Puang?
Apa yang dipakai mengasah parang?
Aga difake mangngasa bangkung?

3
Andaya (2004) menuliskan bahwa pada abad ke-16, Bulo-Bulo, Lamatti, dan Terasa (yang
tergabung dalam kerajaan Pitu Limpoe) memutuskan untuk mengubah persekutuan mereka dari
kerajaan Gowa ke kerajaan Bone sehingga perang antara dua kerajaan tersebut tidak dapat
dihindarkan.

3.

BK
BI
DBS
BK

:
:
:
:

Apa nipangngasai berang?


Kalau orang berjauhan, cepat saling merindukan.
Kosibelai tauwwe, magatti sioddani-i.
Punna sikalerei taua, libai sikanakku-ki.

Contoh tersebut merupakan salah satu bukti bahwa antara kedua bahasa
daerah yang digunakan oleh mayoritas penduduk di Sinjai Tengah sangat berbeda
dan tidak memungkinkan adanya kesalingpahaman. Dengan demikian, dalam
interaksi sosial kemasyarakatan, sangat memungkinkan jika digunakan juga
bahasa lain yang dapat dipahami oleh kedua etnis tersebut serta oleh etnis lain
yang berdomisili di Kabupaten Sinjai.
Bahasa yang dianggap sebagai lingua franca lokal, yaitu dialek Melayu
Bugis4. Penggunaan istilah Melayu Bugis dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
memperjelas perbedaan dengan dialek Melayu Makassar yang umum digunakan
di kota Makassar sebagai wahana dalam masyarakat yang multietnis. Dalam
Melayu Bugis, varian yang digunakan memang berasal dari Melayu Makassar,
tetapi dengan beberapa perubahan pelafalan dan sejumlah kosakata, yang juga
melambangkan identitas Bugis sehingga varian ini dikatakan Melayu Bugis5.
Kedua dialek bahasa Melayu ini, Bugis dan Makassar termasuk bahasa
aglutinatif, yaitu unsur-unsur verbal nominal dan partikel dipadukan dan

Sehubungan dengan penggunaan istilah tersebut, dinyatakan bahwa Bugis dan Makassar tetap
merupakan dua etnis berbeda. Walaupun bahasa Bugis dan bahasa Makassar mempunyai
hubungan kebahasaan yang dekat, akan tetapi kedua belah pihak tidak dapat saling memahami
apabila mereka berkomunikasi dengan bahasa masing-masing. Bahkan, dari empat bahasa utama
yang ada di Sulawesi Selatan, bahasa Bugis dan bahasa Makassar yang paling berbeda (dalam
Pelras, The Bugis 1996; Mills, Proto South Sulawesi, 1975).
5
Hal yang sama dengan proses penamaan varian Melayu Gorontalo, seperti yang dikemukakan
dalam Collins (2010).

disambung menjadi dua kata yang panjang. Kata itu tidak dapat dipisahkan, serta
kadang-kadang tidak dapat disisipkan (Collins, 2010: 14). Dialek Melayu Bugis
(selanjutnya disingkat DMB) merupakan dialek Melayu yang dipengaruhi unsur
bahasa Bugis. DMB cenderung berbeda dengan dialek Melayu Makassar. Pada
sistem fonologi dan pola intonasi, lebih dominan pengaruh unsur bahasa Bugis.
Penggunaan DMB sering dijumpai, terutama di ibukota kecamatan dalam
berbagai keperluan, misalnya di kantor, di pasar, di masjid, dan di tempat-tempat
umum lainnya. Dialek Melayu Bugis ini digunakan bersama dengan bahasa
Indonesia dan menjadi sarana komunikasi warga Sinjai yang berasal dari luar
etnis Bugis dan etnis Konjo.
Menurut Gunarwan (2003: 55), ada beberapa faktor yang menyebabkan
suatu bahasa menyusup ke dalam masyarakat bahasa yang lain sehingga
masyarakat itu menjadi bilingual, bahkan multilingual, yaitu: pertama, bahasa itu
dipaksa melalui kekuatan militer; kedua, bahasa itu dipakai oleh penguasa di
wilayah baru, paling tidak beberapa abad; ketiga, bahasa itu diperkenalkan ke
wilayah multilingual sehingga bahasa itu berfungsi sebagai alat komunikasi
antarkelompok; dan keempat, penguasaan atas bahasa yang semula dipaksakan itu
ternyata memberikan keuntungan dan maslahat bagi orang-orang setempat yang
menggunakaannya, selain melalui cara migrasi atau transmigrasi. Masuknya
Melayu Bugis dan Bahasa Indonesia di Kabupaten Sinjai melalui cara yang
ketiga, yaitu bahasa tersebut diperkenalkan kemudian digunakan sebagai bahasa
penghubung antara dua penutur bahasa daerah yang berbeda. Bahasa Indonesia

menjadi bahasa formal sedangkan Melayu Bugis menjadi mitra informal yang
dipakai berdampingan dengan bahasa daerah setempat.
Penggunaan bahasa lain, selain BK sebagai bahasa ibu, menunjukkan
kemampuan multilingual masyarakat di wilayah ini. Adanya sikap akomodatif
masyarakat tutur Konjo terhadap bahasa lain memudahkan penerimaan bahasa itu
untuk digunakan sebagai sarana komunikasi. Misalnya, sikap terbuka terhadap BI
atau DMB yang tidak hanya digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia
pendidikan, tetapi juga digunakan sebagai sarana komunikasi antaretnis. Setiap
anggota masyarakat tutur cenderung menjadi penutur multilingual dan mengetahui
benar dalam situasi sosial yang bagaimana mereka harus menggunakan salah satu
bahasa yang dikuasai.
Mobilitas penutur juga memberikan pengaruh terhadap kemampuan
berbahasa yang dimiliki. Ada kecenderungan bagi penutur mobilitas tinggi
(misalnya pedagang), yang sering melakukan kontak sosial dengan penutur bahasa
lain, berpeluang lebih besar untuk menjadi penutur multilingual. Demikian pula
halnya dengan penutur BK yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan
sudah berdomisili di ibukota kecamatan atau ibukota kabupaten. Mereka
cenderung untuk lebih sering menggunakan DBS, DMB, dan BI daripada BK
dalam keseharian mereka. BK digunakan hanya pada saat mereka di rumah atau
ketika mereka pulang kampung atau ketika mereka bertemu dengan sesama
penutur BK. Hal tersebut berbeda jika dibandingkan dengan penutur yang
mobilitasnya rendah, misalnya penutur berusia tua yang bekerja sebagai petani
yang tidak memiliki kecenderungan multilingual.

Penelitian mengenai pemilihan bahasa dalam masyarakat tutur Konjo di


Sinjai dalam kajian ini didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, sejauh
pengamatan penulis penelitian yang secara khusus memfokuskan kajian pada
pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual di Sinjai, khususnya masyarakat
tutur Konjo di Sinjai Tengah belum pernah dilakukan. Dapat dikatakan bahwa
kajian ini merupakan kajian awal mengenai masyarakat multilingual di Sinjai
dalam perspektif sosiolinguistik.
Kedua, dalam masyarakat tutur Konjo, BK digunakan sebagai bahasa
daerah yang utama. Selain itu, juga digunakan DBS yang merupakan bahasa
daerah mayoritas penduduk Sinjai. Penggunaan dua bahasa daerah dalam sebuah
masyarakat tutur telah menyebabkan adanya saling pengaruh antara kedua bahasa
tersebut. Kontak antara kedua bahasa yang berlangsung lama menyebabkan
adanya ciri linguistik khas yang dimiliki oleh kedua bahasa itu.
Ketiga, kontak bahasa pada masyarakat multilingual seperti yang terjadi
di Sinjai dengan adanya BK dan DBS dalam satu sisi dan kontak antara DMB dan
BI di sisi lain yang digunakan dalam berbagai ranah sosial merupakan gejala yang
menarik untuk dikaji dari perspektif sosiolinguistik. Realitas menunjukkan bahwa
perkembangan pemakaian bahasa nasional, yaitu BI, turut memberikan pengaruh
terhadap intensitas pemakaian BK maupun DBS.
Bahasa memainkan peran simbolik dalam kehidupan sosial. Oleh karena
itu, penggunaan bahasa terkait erat dengan ketepatan pemilihan bahasa.
Kekurangcermatan pemilihan bahasa dapat menimbulkan berbagai masalah, baik
masalah sosial, budaya, maupun situasional (Fasold 1984; Hudson 1996). Secara

sosial, ketidaktepatan pemilihan bahasa dapat menimbulkan kendala sosial, antara


lain berupa kerenggangan jarak sosial, kerenggangan hubungan antarpenutur, dan
bahkan konflik sosial. Secara budaya, ketidaktepatan pemilihan bahasa dapat
menimbulkan kendala budaya, misalnya kendala penggunaan norma interaksi
maupun norma interpretasi dalam masyarakat, sedangkan secara situasional, dapat
menimbulkan beberapa kendala, antara lain gangguan komunikasi dan tidak
tersampainya maksud tutur.
Sehubungan dengan hal tersebut, peserta tutur harus berhati-hati dalam
melakukan pemilihan bahasa pada suatu peristiwa tutur. Sekurang-kurangnya
harus diperhatikan dua hal, yaitu status sosial (dimensi vertikal) dan jarak sosial
(dimensi horizontal) mitra tutur. Sebagai contoh, mitra tutur yang merasa lebih
tinggi tingkat sosialnya daripada penutur, biasanya akan merasa kurang dihormati
apabila penutur menggunakan pilihan kata yang kurang sopan. Demikian pula
halnya bila seorang penutur yang baru kenal dengan mitra tutur akan cenderung
untuk menggunakan ragam yang lebih sopan. Ketidaktepatan pemilihan bahasa
juga sering terjadi apabila penutur menggunakan ragam bahasa terlalu tinggi.
Mitra tutur yang merasa tidak lebih tinggi status sosialnya daripada penutur akan
merasa canggung. Pada peristiwa seperti itu, biasanya mitra tutur memberi isyarat
dengan berbagai cara agar penutur menurunkan tingkat tuturnya supaya
kecanggungan dapat dihindari.
Pemaparan

yang

disampaikan

tersebut

menunjukkan

rumitnya

penggunaan bahasa dalam sebuah masyarakat tutur yang cenderung multilingual.


Ditinjau dari perspektif sosiolinguistik, situasi masyarakat bilingual maupun

10

multilingual seperti itu cenderung menimbulkan berbagai permasalahan, seperti


permasalahan sosial, budaya, dan situasional. Oleh karena itu, kajian empiris
terhadap permasalahan penggunaan bahasa dan faktor-faktor yang menjadi
penentu pemilihan bahasa dalam masyarakat tutur Konjo di Sinjai penting untuk
dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat dikemukakan bahwa
gejala pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual seperti halnya masyarakat
tutur Konjo di Sinjai merupakan masalah yang kompleks. Pada saat
berkomunikasi, penutur dituntut agar dapat menggunakan bahasa yang tepat
sehingga komunikasi dapat berlangsung secara lancar dan wajar. Terdapat
beberapa faktor yang menentukan penggunaan bahasa tersebut, misalnya faktor
sosial, faktor budaya, dan faktor situasional. Untuk dapat mengetahui alasanalasan empiris terkait pemilihan bahasa dalam masyarakat tutur Konjo di Sinjai,
perlu diungkap beberapa masalah seperti berikut.
a. Bagaimanakah situasi kebahasaan dalam masyarakat tutur Konjo di Sinjai?
b. Mengapa terdapat variasi dan bagaimana pola variasi tersebut dalam
masyarakat?
c. Faktor-faktor apakah yang menjadi penentu dalam pemilihan bahasa
masyarakatnya dan apa saja fungsi bahasa-bahasa tersebut?

11

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini dimaksudkan untuk memaparkan pemilihan bahasa dalam
masyarakat tutur Konjo di Sinjai yang dipengaruhi oleh beberapa faktor sosial,
faktor budaya, dan faktor situasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, hal-hal
yang dibahas dalam penelitian ini mencakupi pokok-pokok berikut:
a. mendeskripsikan situasi kebahasaan masyarakat tutur Konjo di Sinjai,
yang meliputi gambaran umum multilingualisme masyarakat tuturnya dan
gambaran umum mengenai bahasa-bahasa yang digunakan;
b.

mendeskripsikan dan menjelaskan variasi pola pemilihan bahasa dalam


masyarakat tutur Konjo di Sinjai; dan

c.

menjelaskan

faktor-faktor

yang

menentukan

pemilihan

bahasa

masyarakatnya dan juga menjelaskan fungsi bahasa-bahasa yang


digunakan.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian mengenai pemilihan bahasa dalam masyarakat tutur Konjo di
Sinjai diharapkan sekurang-kurangnya memberikan manfaat dalam tiga hal.
Pertama, melalui penelitian ini diharapkan diperoleh sebagian deskripsi mengenai
keberagaman bahasa yang digunakan dalam masyarakat yang multilingual di
Indonesia. Deskripsi ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan tentang
pemilihan

bahasa oleh golongan

multilingual.

Melalui

penelitian

minoritas dalam konteks


ini,

diperoleh

gambaran

masyarakat
kemampuan

bilingual/multilingual penutur bahasa minoritas (BK) dalam menggunakan bahasa

12

lain sebagai sarana mengakomodasi diri dalam konteks multilingualisme di


wilayah yang mayoritas penduduknya adalah penutur DBS.
Kedua, melalui penelitian ini diperoleh contoh penerapan dari model
analisis pemilihan bahasa yang sudah ada dengan memanfaatkan rancangan
multidisiplin keilmuan, yakni linguistik, sosiologi, dan juga antropologi. Model
analisis tersebut memiliki makna yang penting sebagai pemerkaya khazanah
sosiolinguistik. Model yang digunakan dalam analisis pemilihan bahasa ini dapat
dikembangkan bagi penelitian pada masyarakat tutur lain. Melalui penelitian ini,
juga diperoleh gambaran interaksi sosial masyarakat tutur Konjo di Sinjai dalam
bentuk pola pemilihan bahasa pada tiap-tiap interaksi antara penutur dan mitra
tutur. Hal tersebut mengarah pada penggambaran sikap kebahasaan masyarakat
dalam menentukan hubungan ketaatasasan sikap tersebut dengan pola pemilihan
bahasa yang ada. Gambaran interaksi sosial itu diharapkan dapat memberikan
sumbangan pengetahuan, bahwa pemilihan bahasa dengan memperhatikan faktorfaktor kontekstual, misalnya: tempat interaksi, situasi tutur, dimensi horizontal,
dan dimensi vertikal akan membantu tersampainya maksud tuturan dengan jelas
dan dapat terbangun kesepahaman antara penutur dan mitra tutur.
Ketiga, penjelasan mengenai faktor penentu pemilihan bahasa serta
fungsi bahasa yang ditemukan dalam penelitian ini, diharapkan bermakna bagi
upaya pembinaan dan pengembangan bahasa, baik yang menyangkut bahasa
Indonesia maupun bahasa daerah. Penjelasan tersebut diharapkan dapat memberi
kontribusi positif bagi pembelajaran bahasa yang mengarah pada kemampuan
komunikatif

penutur.

Kemampuan

komunikatif

yang

dimaksud

adalah

13

kemampuan penutur untuk menggunakan bahasa yang dikuasai sebagai sarana


komunikasi pada situasi tutur tertentu yang nyata. Pada gilirannya, penelitian ini
diharapkan dapat memberi manfaat dalam bidang linguistik, yaitu pembinaan dan
pengembangan kode bahasa, terutama yang terkait dengan fungsi sosial bahasa
dalam masyarakat tutur multilingual.

1.5 Tinjauan Pustaka


Penelitian mengenai penggunaan maupun pemilihan bahasa merupakan
kajian yang banyak diminati oleh peneliti di mancanegara. Hal itu dimungkinkan
karena fenomena sosial budaya bersifat dinamis dan selalu bergerak yang
mempengaruhi struktur sosial dan pemakaian bahasa. Berdasarkan penelusuran
pustaka, diperoleh sejumlah penelitian yang terkait dengan penelitian yang
dilakukan ini.
Pemilihan bahasa terkait erat dengan kemampuan bilingual/multilingual
seorang penutur. Penelitian khusus mengenai bilingualisme, yang dianggap
sebagai pengenalan yang sangat mendasar dalam kajian sosiolinguistik adalah
buah pikiran Romaine Bilingualism (1989). Melalui buku ini, bilingualisme
ditinjau dari fenomena sosial dan aspek kognitif, di dalamnya dieksplorasi
berbagai aspek perilaku bilingual, seperti alih kode (code switching) dan campur
kode (language mixing) dalam hubungannnya dengan aspek neurolinguistik pada
setiap penutur. Selain itu, juga dipaparkan hal-hal yang terkait dengan dampak
bilingualisme pada aspek kognitif anak-anak, perkembangan sosial, dan
pengembangan akademik, serta memeriksa asumsi-asumsi yang berada di balik

14

berbagai kebijakan bahasa dan program untuk anak-anak bilingual. Romaine


melakukan penelitian terhadap bilingualisme masyarakat yang menggunakan
bahasa Punjabi dan bahasa Inggris di Inggris serta bahasa Tok Pisin dan bahasa
Inggris pada anak-anak bilingual di Papua New Guinea.
Grosjean (2001) juga banyak membahas mengenai bilingualisme,
misalnya dalam tulisan The Bilinguals Language Modes yang membahas
mengenai language mode 6 , yaitu aktivasi bahasa bilingual dan mekanisme
prosesnya. Hal itu mengenai tingkatan penggunaan dua bahasa, yang salah
satunya merupakan bahasa ibu. Language mode memberikan gambaran yang lebih
jelas mengenai cara penutur bilingual memproses kedua bahasanya, baik secara
terpisah maupun secara bersamaan.
Berbicara mengenai kontak bahasa dalam suatu masyarakat tutur,
Weinreich (1979) dalam Languages in Contact menyatakan bahwa dua atau tiga
bahasa dikatakan mengalami kontak bahasa jika digunakan secara bergantian
oleh seorang penutur. Penggunaan bahasa secara bergantian merupakan salah satu
faktor penunjang munculnya kontak bahasa. Hal tersebut terkait erat dengan
bilingualisme, yaitu seorang penutur cenderung untuk menggunakan lebih dari
satu bahasa dalam sebuah peristiwa tutur. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa
sekurang-kurangnya ada dua ciri-ciri penutur bilingual yang mempengaruhinya
untuk menggunakan perilaku tutur tertentu dalam kontak bahasa yang terjadi,
bahkan sebelum munculnya situasi tutur yang sebenarnya. Ciri pertama, yaitu

Topik ini terkait erat juga dengan tulisan Grosjean yang lain, yaitu Studying Bilinguals:
Methodological and Conceptual Issues (2006), dalam Bhatia, Tej K. dan William C Ritchie
(eds). 2006. The Handbook of Bilingualism. Hal. 32 63. USA-UK-Australia: Blackwell
Publishing.

15

aptitude atau bakat kecerdasan yang dimiliki oleh seorang penutur untuk
mempelajari bahasa selain bahasa ibunya, hampir selalu ditentukan oleh faktor
kemampuan yang dimilikinya terhadap bahasa yang dipelajari. Tes mengenai
bakat pembelajaran bahasa kedua telah tersedia dan telah digunakan, tetapi hal itu
masih harus dikomparasikan dengan jumlah dan jenis interferensi. Ciri yang
kedua, switching facility, yaitu pergantian dari satu bahasa ke bahasa yang lain
bergantung sepenuhnya pada perubahan dalam situasi tutur yang melibatkan
interlokutor, topik, dan sebagainya.
Selanjutnya, dalam penelitian Hymes (1964) Language in Culture and
Society, dibicarakan mengenai etnografi komunikasi 7 , yang menggambarkan
sebuah pendekatan baru untuk memahami bahasa yang digunakan. Hymes
bertujuan menjauhkan anggapan bahwa tuturan sebagai model abstrak dan
menyelidiki keragaman tuturan seperti yang ditemukan dalam penelitian etnografi
di lapangan. Hymes mengemukakan bahwa studi tentang bahasa harus
diperhatikan secara tersendiri dengan mendeskripsikan dan menganalisis
kemampuan dari penutur asli dalam menggunakan bahasa untuk komunikasi pada
situasi nyata atau yang disebut sebagai Kompetensi Komunikatif. Hal tersebut
berarti bahwa studi bahasa tidak hanya dibatasi pada upaya penggambaran
kemampuan potensial pembicara atau pendengar yang sesuai untuk menghasilkan
kalimat yang benar secara tata bahasa (Kompetensi Linguistik). Penutur bahasa
dalam masyarakat tertentu yang mampu berkomunikasi satu sama lain dengan

Topik mengenai etnografi komunikasi juga dibahas oleh Fasold (1990) dalam The
Sociolinguistics of Language

16

cara yang tidak hanya benar tapi juga sesuai dengan konteks sosial budaya.
Kemampuan ini melibatkan pengetahuan bersama tentang kode linguistik
termasuk aturan-aturan sosial-budaya, norma-norma, dan nilai-nilai yang
membimbing perilaku serta interpretasi tuturan dan sarana komunikasi lainnya
dalam suatu komunitas.
Selain penelitian yang telah dilakukan di mancanegara, berdasarkan
penelusuran pustaka pada sumber yang dapat dijangkau, di Indonesia ditemukan
beberapa penelitian yang terkait dengan ikhwal penggunaan bahasa yang dapat
dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Beberapa di antaranya akan
dipaparkan dalam tulisan ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Poedjosoedarmo dkk. (1982) tentang
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Jawa yang mengungkapkan tentang peran bahasa
Jawa dalam kaitan dengan bahasa Indonesia. Dalam penelitian tersebut, dibahas
penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia pada berbagai komponen tutur dan
disimpulkan bahwa fungsi kedua bahasa tersebut tidaklah dengan mudah dapat
dibagi-bagi seperti yang telah digambarkan oleh Ferguson. Dinyatakan bahwa
suatu keadaan yang bersifat diglosik tersebut berkembang, maka pembagian
fungsi kebahasaan oleh bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya biasanya
bersifat pilah betul, artinya jarang sekali terjadi tumpang tindih bahasa.
Selanjutnya, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa komponen yang sangat
penting dalam menentukan bentuk kode tutur yang terlontar dari mulut seorang
penutur, yaitu suasana tutur, keadaan O2, latar belakang O1, hasrat O2, pokok
pembicaraan, sarana tutur, dan arti dari tiap-tiap kode tutur yang terpakai dalam

17

masyarakat merupakan komponen yang amat berpengaruh dalam menentukan


bentuk ujaran yang dipergunakan oleh seorang penutur.
Selanjutnya, dalam penelitian yang dilakukan oleh Suwito (1987)
Berbahasa dalam Situasi Diglosik: Kajian tentang Kendala Pemilihan dan
Pemilahan Bahasa di dalam Masyarakat Tutur Jawa di Tiga Kelurahan di Kodya
Surakarta, dikemukakan bahwa masyarakat Surakarta, dalam hal pemakaian
bahasa masih terjadi ketumpangtindihan. Pada kesimpulannya dinyatakan bahwa
masyarakat tutur Jawa di Surakarta, yang menggunakan bahasa Jawa dan bahasa
Indonesia sebagai alat komunikasi, memiliki kecenderungan untuk memilih dan
memilahkan kedua bahasa itu serta berbagai ragamnya masing-masing. Namun,
dalam situasi diglosik seperti itu ternyata gejala interferensi hampir terjadi pada
semua tataran kebahasaan dalam wujud tumpang tindihnya pemilihan dan
pemilahan bahasa. Hal itu menunjukkan bahwa belum mantapnya situasi diglosik
masyarakat yang bersangkutan.
Selain itu, penelitian tentang penggunaan bahasa daerah di Sulawesi
Selatan dilakukan oleh Takko (1999) Bahasa Nusantara: Posisi dan
Penggunaannya Menjelang Abad ke-21. Dalam penelitian itu, dibahas mengenai
sosialisasi dan konteks penggunaan bahasa Bugis-Makassar. Dikemukakan
beberapa faktor yang menjadi penyebab seseorang atau kelompok tertentu dapat
menguasai bahasa daerah tertentu yang bukan bahasa ibu-nya dan disimpulkan
bahwa penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia sering digunakan secara
bergantian oleh masyarakat Sulawesi Selatan dalam wujud campur kode, alih
kode, dan interferensi.

18

Khusus mengenai penelitian kebahasaan di Sulawesi Selatan, sebenarnya


telah banyak penelitian yang dilakukan, namun sebagian besar baru dikaji secara
terpisah dan dianalisis secara deskriptif. Demikian pula halnya dengan penelitian
mengenai bahasa Konjo, belum banyak dilakukan. Melalui beberapa hasil
penelitian ini diperoleh penjelasan mengenai persebaran bahasa-bahasa yang ada
di Sulawesi Selatan. Selain itu, dapat diketahui kedudukan bahasa Konjo dalam
kelompok bahasa di Sulawesi Selatan. Berikut ini beberapa laporan hasil
penelitian yang terkait dengan penelitian ini.
Pertama, Palenkahu (1971) dkk. melakukan penelitian awal mengenai
bahasa Konjo dalam Dialek Konjo di Sulawesi Selatan. Istilah yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dialek Konjo, yaitu istilah yang berdasarkan pada
asumsi penuturnya saja dan belum berdasarkan pada hasil penelitian dengan
teknik leksikostatistik maupun teknik dialektometri. Penelitian yang dilakukan ini
menggunakan istilah dialek Konjo untuk menggambarkan bahasa yang
digunakan oleh masyarakat yang tersebar dibeberapa wilayah, termasuk di
Kabupaten Sinjai. Penelitian awal ini membahas mengenai tata kata dan tata
kalimat bahasa Konjo yang meliputi: bentuk kata (klasifikasi dasar, afiksasi), arti
kata, pola kalimat, dan perkaitan unsur kalimat. Dalam penelitian ini juga
disebutkan secara singkat daerah persebaran bahasa Konjo di Sulawesi Selatan.
Kedua, Palenkahu (1974) dkk. Menerbitkan Peta Bahasa Sulawesi
Selatan (Buku Petunjuk). Peta bahasa tersebut memberikan gambaran tempat
kedudukan geografis suatu kelompok bahasa atau sekelompok manusia
pendukung bahasa tertentu. Bahasa-bahasa yang ada di Sulawesi Selatan dibagi

19

menjadi beberapa kelompok, yaitu kelompok bahasa Makassar, kelompok bahasa


Bugis, kelompok bahasa Massenrempulu, kelompok bahasa Sadan, kelompok
bahasa Mandar, serta kelompok bahasa dan dialek lain. Dalam buku tersebut,
dijelaskan bahwa bahasa Makassar memiliki lima macam dialek, yaitu dialek
Konjo, dialek Turatea, dialek Bantaeng, dialek Lakiung, dan dialek Bira-Selayar,
sedangkan bahasa Bugis memiliki sepuluh dialek, yaitu dialek Luwu, dialek
Wajo, dialek Palakka, dialek Ennak, dialek Soppeng, dialek Sidenrang, dialek
Parepare, dialek Sawitto, dialek Tellumpanuae, dan dialek Ugi Riawa.
Ketiga, dalam disertasi Mills (1975) Proto South Sulawesi and Proto
Austronesian Phonology, dijelaskan mengenai proto bahasa di Sulawesi Selatan.
Mills mendeskripsikan aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis bahasa Bugis dan
membandingkannya dengan bahasa lain, misalnya Makassar, Mandar, dan Sadan
Toraja. Selain itu, dijelaskan juga mengenai ciri khas bahasa Bugis yang berupa
geminasi konsonan, yaitu apabila di antara silabe yang mendapat penekanan
hanya ada satu konsonan, maka konsonan itu akan dipanjangkan dan menjadi
geminasi, misalnya, kaddarotempurung dan syellonengjendela.
Melalui penelitian tersebut, diketahui bahwa bahasa Makassar sangat
berbeda dari keseluruhan bahasa yang ada, yang dianalisis berdasarkan tingkat
persentase leksikostatistik. Hal itu didukung oleh bukti data gramatikal serta
struktur bahasanya. Berdasarkan hal tersebut, disimpulkan bahwa bahasa
Makassar rupanya sebagai bahasa yang pertama keluar dari bahasa proto Sulawesi
Selatan bahkan mungkin sebelum kelompok bahasa yang lainnya.

20

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Kaseng dkk. (1978) dalam


rangka proyek pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia yang berjudul
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Makassar di Sulawesi Selatan. Melalui penelitian
tersebut, diperoleh fakta bahwa penggunaan bahasa Makassar sudah mulai
berkurang terutama di kalangan generasi muda, yaitu pelajar dan mahasiswa.
Selain itu, juga diperoleh informasi bahwa faktor usia maupun tingkat pendidikan
turut berpengaruh dalam pemilihan bahasa masyarakat tutur Makassar. Dalam
penelitian tersebut dicantumkan data bahasa Makassar dari beberapa dialek, yaitu
Gowa, Turatea, Bantaeng, Konjo, dan Selayar.
Kelima, laporan hasil penelitian tentang bahasa-bahasa daerah yang ada
di provinsi Sulawesi Selatan yang ditulis oleh Grimes dan Grimes (1987), yang
menyebutkan bahwa Konjo merupakan sebuah bahasa yang termasuk dalam subkeluarga Makassar. Penutur Konjo berada di daerah pegunungan bagian tengah
dan pelosok bagian ujung selatan jazirah Sulawesi Selatan. Wilayah tersebut
meliputi beberapa kabupaten, yaitu Maros, Gowa, Bone, Sinjai, Bantaeng, dan
Bulukumba.
Melalui penelitian tersebut, juga diperoleh gambaran situasi linguistik
yang sangat kompleks dalam kaitannya dengan persebaran bahasa Konjo. Bahasa
Konjo memiliki tiga dialek, yaitu dialek Konjo Pegunungan, dialek Konjo Pesisir,
dan dialek Tana Towa. Konjo pegunungan (Highland Konjo) merupakan dialek
terbesar. Penduduk yang menetap di wilayah pegunungan yang bekerja sebagai
petani, yang mengolah sawah, menanam sayur-mayur, buah-buahan, tanaman
kopi merupakan penutur dialek Konjo Pegunungan.

21

Konjo pesisir (Coastal Konjo) mendiami wilayah pesisir di Kabupaten


Bulukumba. Pada umumnya, pekerjaan utama mereka adalah sebagai nelayan dan
pembuat perahu. Dialek konjo yang ketiga, yaitu dialek Tana Towa (Kajang)
merupakan nama yang diberikan kepada kelompok masyarakat yang masih
terisolasi yang menuturkan dialek Konjo. Penduduk Tana Towa masih sangat
terbatas kontak sosialnya dengan masyarakat luar dan belum terpengaruh
modernisasi. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan masih menganut
kepercayaan nenek moyang mereka dan masih sangat percaya pada kekuatan
magis (ilmu hitam). Kelompok masyarakat ini mendiami wilayah pegunungan
bagian timur laut Kabupaten Bulukumba.
Keenam, menurut hasil penelitian Friberg dan Laskowske (1989),
kelompok bahasa di Sulawesi Selatan dibagi menjadi empat sub-kelompok besar,
yakni: sub-kelompok Bugis; sub-kelompok Makassar (Makassar, Konjo, dan
Selayar); sub-kelompok Seko; dan sub-kelompok utara (Mandar, Mamuju, Pitu
Ulunna Salu, Massenrempulu, Toraja/Sadan). Selain keempat sub-kelompok itu,
masih terdapat beberapa bahasa daerah yang lain dengan jumlah penutur yang
relatif kecil.
Ketujuh, penelitian awal yang dilakukan Herawati (2009) mengenai
dialek Bugis Sinjai yang ditinjau dari sudut pandang kajian sosiodialektologi.
Dalam penelitian tersebut dideskripsikan ciri linguistik dialek Bugis Sinjai yang
diklasifikasikan menurut tataran fonologis, morfologis, sintaksis, dan leksikal,
sedangkan variabel sosial yang ditinjau adalah variabel pekerjaan, pendidikan,
dan usia penutur. Variasi dalam dialek Bugis Sinjai yang ditemukan tersebut,

22

cenderung disebabkan oleh adanya perbedaan variabel sosial dan variabel


geografis penuturnya.
Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait bahasabahasa di Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Sinjai, diketahui bahwa
penelitian yang mengkaji tentang bahasa-bahasa yang digunakan di Kabupaten
Sinjai belum pernah dilakukan. Terlebih lagi penelitian mengenai pemilihan
bahasa dalam masyarakat tutur Konjo di Sinjai. Kajian dari beberapa penelitian
tersebut dijadikan acuan bagi penulis untuk melakukan penelitian terkait bahasabahasa yang digunakan dalam masyarakat tutur Konjo di Sinjai dengan
pendekatan sosiolinguistik antropologis.

1.6 Kerangka Teori


Penelitian mengenai Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Tutur Konjo
di Sinjai bertujuan mengamati bahasa-bahasa yang digunakan oleh masyarakat
tutur Konjo di Sinjai yang dilihat dari aspek kebahasaan dan dihubungkan dengan
situasi dan fungsi pemakaiannya dalam masyarakat. Berikut ini diuraikan
beberapa konsep teori yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini.

1.6.1 Perspektif Sosiolinguistik tentang Pemilihan Bahasa


Kajian yang membidangi pemilihan bahasa adalah sosiolinguistik.
Bahasa dalam kajian sosiolinguistik diteliti sebagai sebuah sarana interaksi dalam
masyarakat. Sosiolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa dan masyarakat.
Disiplin ilmu tersebut menghubungkan antara dua bidang yang dapat dikaji secara

23

terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh
sosiologi (Trudgill, 1984: 1; Wardhaugh, 1986: 4; Holmes, 1992: 1; Hudson,
1996: 2). Istilah sosiolinguistik muncul pertama kali tahun 1952, yaitu dalam
karya Haver C. Currie (Dittmar, 1976: 27) yang menyatakan bahwa perlu adanya
kajian mengenai hubungan antara perilaku ujaran dan status sosial. Kemudian
pada akhir tahun 1954, sosiolinguistik mulai berkembang dan dipelopori oleh
Committee on Sociolinguistics of The Social Science Research Council (1964) dan
Research Committee on Sociolinguistics of the International Sociology
Association (1967). Jurnal sosiolinguistik baru terbit pada awal tahun 70-an, yakni
Language in Society (1972) dan International Journal of Sociology of Language
(1974). Berdasarkan hal itu, sosiolinguistik dapat dianggap sebagai disiplin ilmu
yang relatif baru.
Selama ini pengkajian sosiolinguistik dilakukan pada dua tingkat
analisis, yaitu tingkat makro dan tingkat mikro. Pengkajian pada tingkat makro
menekankan perilaku bahasa dari seluruh masyarakat bahasa, sedangkan tingkat
mikro memfokuskan kajian pada perilaku individu di dalam interaksi secara
langsung (bersemuka). Selain kedua tingkat analisis itu, terdapat pula bidang yang
selama ini merupakan pokok bahasan penelitian psikologi sosial yang
diperkenalkan ke dalam analisis bilingualisme, yaitu sikap bahasa dan
etnosentrisme. Perilaku bahasa seperti akomodasi bahasa juga memanfaatkan
tradisi dan konsep-konsep penelitian yang umum pada penelitian psikologi sosial.
Gumperz (1972: 4) memberikan alasan untuk membedakan kajian mikro
dengan kajian makro karena asumsi teoretis dan ancangan metodologis yang harus

24

dipertimbangkan, kita tidak dapat dengan mudah menghalangi variabel-variabel


dari suatu konteks yang berdekatan. Variabel-variabel yang mempengaruhi
perilaku bahasa pada tingkat yang berbeda, baik makro maupun mikro beroperasi
secara bersama-sama dan saling berinteraksi. Perlu digarisbawahi bahwa apabila
bahasa digunakan untuk tujuan interaksi, maka bahasa akan digunakan di dalam
konteks. Dengan demikian, penggunaan bahasa bergantung pada konteks. Suatu
konteks mungkin terdiri atas ciri-ciri yang berhubungan dengan interaksi
kelompok ataupun dengan interaksi individual.
Penelitian ini mengacu pada teori sosiolinguistik, yakni suatu keterkaitan
yang bersistem antara struktur bahasa dengan struktur penggunaan bahasa. Dalam
hal ini, sosiolinguistik tidak hanya memfokuskan perhatiannya terhadap bahasa itu
saja, tetapi juga memperhatikan tingkah laku verbal yang meliputi latar belakang
sosial kemasyarakatan dan fungsi interaksi masyarakat. Unsur-unsur yang dikaji
dalam sosiolinguistik yang menelaah hubungan bahasa dan pemakainya, berkaitan
erat pula dengan pemilihan bahasa sehingga untuk mengetahui bagaimana bentuk
pola pemakaian bahasa yang dilakukan oleh suatu masyarakat tutur, maka
komponen-komponen yang terlibat dalam peristiwa tutur merupakan landasan
dalam kajian ini.
Pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual merupakan gejala yang
menarik untuk dikaji dari perspektif sosiolinguistik. Bahkan Fasold (1984: 180)
mengemukakan bahwa sosiolinguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya
pemilihan bahasa. Fasold memberikan ilustrasi dengan istilah societal

25

multilingualism yang mengacu pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam


masyarakat.
Fishman (1968) tampaknya lebih menekankan pada tiga unsur yang
merupakan kajian sosiolinguistik, yaitu ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi
variasi bahasa, dan pemakaian bahasa. Menurutnya, ketiga unsur tersebut selalu
berinteraksi, dan saling mengubah satu dengan yang lain dalam suatu masyarakat
bahasa. Persoalan ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan
pemakai bahasa sangat relevan dengan pemakaian bahasa dalam masyarakat.

1.6.1.1 Masyarakat Tutur


Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif karena
dapat menyangkut masyarakat yang luas dan dapat pula menyangkut sekelompok
kecil orang. Setiap kelompok orang, yang karena tempat tinggal atau daerahnya,
profesinya, hobinya, menggunakan bentuk bahasa yang sama serta mempunyai
penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa itu, mungkin
membentuk suatu masyarakat tutur. Demikian pula masyarakat tutur dalam ranah
sosial, seperti rumah tangga, pemerintahan, dan keagamaan.
Bahasan mengenai masyarakat tutur sangat beragam. Bloomfield (1933:
29) membatasi definisi masyarakat tutur sebagai sekelompok orang yang
menggunakan sistem isyarat yang sama, sedangkan Labov (1972: 158)
menyatakan bahwa masyarakat tutur adalah satu kelompok orang yang
mempunyai norma yang sama mengenai bahasa. Kedua pendapat itu jelas berbeda
karena Bloomfield memberikan batasan pengertian yang terlalu sempit,

26

sedangkan Labov terlalu luas dan terbuka. Masyarakat tutur yang besar dan
beragam memperoleh verbal repertoire-nya dari pengalaman atau dari adanya
interaksi verbal langsung dalam kegiatan tertentu.
Fishman (1975: 76) memberikan batasan bahwa sebagai suatu
masyarakat yang anggotanya, setidaknya mengenal satu variasi tutur beserta
norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya. Suatu masyarakat dapat
dikatakan sebagai masyarakat tutur apabila masyarakat atau sekelompok orang itu
memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama
terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan. Jadi, masyarakat tutur
bukan sekadar kelompok orang-orang yang menggunakan bentuk yang sama,
melainkan juga kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam
menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang ada. Adapun yang dimaksud dengan
verbal repertoire adalah kemampuan yang sejajar dengan kemampuan
komunikatif. Hal itu dapat diberi batasan sebagai kemampuan bahasa yang
dimiliki penutur beserta keterampilan mengungkapkan sesuai dengan fungsi,
situasi, dan konteks (sosial dan kultural).
Masyarakat tutur merupakan konsep dalam sosiolinguistik yang
menggambarkan suatu kelompok masyarakat yang menggunakan suatu bahasa
yang memiliki ciri tersendiri yang berterima dalam kelompok mereka dan dapat
mereka pahami bersama. Pemaknaan masyarakat tutur dapat dipertegas dengan
melihat dari sudut pandang hubungan kemasyarakatan. Mengutip pendapat
Redfield dalam Koentjaraningrat (1990: 139) bahwa secara antropologis,
masyarakat didefinisikan sebagai sebuah satuan sosial yang utuh, yang terikat

27

pada suatu tempat dengan ciri-ciri alamiah yang khas, sehingga merupakan bagian
dari suatu sistem ekologi yang utuh. Pendapat tersebut mempertegas bahwa
masyarakat tutur merupakan satuan sosial yang utuh, yang memiliki ciri alamiah
tertentu dan melakukan aktivitas tutur di suatu tempat tertentu.
Ditinjau dari sudut pandang linguistik, masyarakat tutur dapat diartikan
sebagai suatu masyarakat yang setiap individunya berbicara dengan menggunakan
bahasa yang sama, dialek yang sama, atau variasi bahasa yang sama, seperti
menggunakan kode yang sama (Wardhaugh, 1986: 113). Meskipun demikian,
penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat tidak dapat dilepaskan dari faktor
eksternal, yakni faktor sosial dan faktor budaya. Pendapat tersebut didukung
dengan adanya batasan definisi mengenai masyarakat tutur yang dipengaruhi lebih
pada faktor sosial dibandingkan faktor linguistik (Romaine, 1994: 22).
Jika merujuk pada kepemilikan bahasa, dapat dikatakan bahwa bahasa
merupakan milik individu dan sosial (Wardhaugh, 1986: 113), sehingga dapat
dikatakan bahwa masyarakat tutur merupakan kumpulan individu dengan latar
belakang sosial yang sama, yang menggunakan bahasa yang dapat berterima di
antara mereka. Berdasarkan pendapat dari sudut pandang linguistik dan hubungan
kemasyarakatan, dapatlah disatukan untuk menjelaskan definisi masyarakat tutur,
yaitu sebagai suatu kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang sosial dan
budaya yang sama serta berkomunikasi dengan bahasa yang dapat berterima di
antara anggota masyarakat tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut, Wijana (2006, 46) menyatakan bahwa
masyarakat tutur adalah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang

28

berinteraksi dengan bahasa tertentu yang dapat dibedakan dengan kelompok


masyarakat tutur yang lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan.
Semakin luas dan kompleks aktivitas atau profesi anggota sebuah masyarakat,
semakin rumit pula bentuk masyarakat tutur yang ada di dalamnya. Anggota suatu
masyarakat tutur tidak semata-mata dicirikan oleh bentuk bahasa yang
digunakannya, tetapi juga ditentukan oleh pandangan atau persepsi mereka
terhadap bentuk bahasa yang digunakan oleh mereka dan bentuk bahasa yang
digunakan oleh anggota masyarakat tutur yang lain.
Bahasa seringkali digunakan untuk mempertahankan identitas sebuah
masyarakat tutur dalam komunitas atau masyarakat yang lebih luas, yang
penuturnya juga merupakan anggota dari komunitas tersebut (Troike, 2003: 16).
Anggota masyarakat tutur sebuah bahasa tetap menggunakan bahasa mereka
sebagai sarana komunikasi utama dalam ranah keluarga, ranah keagamaan, dan
ranah sosial dalam kelompok mereka. Namun, mereka juga mampu menggunakan
bahasa lain yang menjadi sarana komunikasi utama dalam masyarakat tutur yang
lebih luas, sehingga mereka cenderung bilingual8.
Berdasarkan analisis beberapa pendapat yang telah dikemukakan
tersebut, penulis berpendapat bahwa masyarakat tutur merupakan kumpulan
individu atau personal dalam satu kesatuan sosial yang utuh, yang memiliki latar
belakang sosial dan budaya tertentu sebagai ciri alamiah mereka dalam melakukan
komunikasi dengan menggunakan bahasa yang mereka pahami bersama di suatu

Troike memberikan contoh masyarakat Armenia yang menetap di Amerika Serikat, yang tetap
menggunakan bahasa ibu mereka untuk berkomunikasi dalam ranah keluarga, ranah keagamaan,
dan ranah sosial dalam kelompok mereka. Sedangkan untuk berkomunikasi dengan anggota
masyarakat tutur yang luas, mereka menggunakan bahasa Inggris.

29

tempat tertentu. Asumsi tersebut dapat menjelaskan bahwa masyarakat Sinjai


Tengah merupakan masyarakat tutur Konjo di Sinjai. Mereka merupakan
kumpulan individu dengan latar belakang sosial atau budaya yang sama serta
menggunakan beberapa bahasa yang berterima di kalangan mereka.

1.6.1.2 Konsep Ranah dan Fungsi Bahasa


Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah. Pendekatan ini
pertama kali dikemukakan oleh Fishman (1964). Menurutnya, ranah merupakan
konstelasi faktor lokasi, topik tuturan, dan partisipan. Ranah didefinisikan pula
sebagai konsep sosiokultural yang diabstraksikan dari topik komunikasi,
hubungan peran antarkomunikator, dan tempat komunikasi di dalam keselarasan
dengan pranata masyarakat dan merupakan bagian dari aktivitas masyarakat tutur.
Pada bagian lain tulisan Fishman juga dikemukakan bahwa ranah merupakan
konsep teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada
pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama,
misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan. Sebagai contoh, apabila
penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah
topik, penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga. Pemilihan ranah dalam
penelitian ini mengacu pada pendapat Fishman.
Fishman (1972b) menggunakan konsep ranah perilaku pemilihan bahasa
dengan menggabungkan ranah, hubungan sosial, dan lokasi ke dalam analisis
situasional bahasa dan perilaku. Fishman (1964; 1972) mengajukan konsep ranah
untuk menjelaskan perilaku penggunaan bahasa dalam masyarakat bilingual atau

30

multilingual yang mantap. Perilaku penggunaan bahasa diperikan dalam


masyarakat tuturnya melalui penempatan ranah bahasa. Istilah ranah dijelaskan
sebagai susunan situasi atau cakrawala interaksi yang secara umum di dalamnya
digunakan satu bahasa. Satu ranah dikaitkan dengan ragam bahasa tertentu.
Dibandingkan dengan situasi sosial, ranah bahasa merupakan abstraksi dari
persilangan antara status dan hubungan-peran, lingkungan, dan pokok bahasan
tertentu.
Hal yang tidak kalah penting dalam hubungannya dengan penggunaan
bahasa, yaitu fungsi bahasa yang bervariasi. Weinreich (1979: 87) menyatakan
bahwa fungsi bahasa dalam komunitas bilingual dapat dianalisis dan
dikelompokkan lebih dari dari satu cara. Pada tingkat masyarakat, bahasa
memerankan banyak fungsi. Fungsi bahasa yang paling utama di antaranya adalah
menciptakan batasan, menyatukan para penuturnya sebagai anggota sebuah
masyarakat

tutur,

dan

mengesampingkan

faktor

luar

dari

komunikasi

intrakelompok. Banyak bahasa yang juga berfungsi sebagai identifikasi sosial di


dalam suatu masyarakat dengan memberikan indikator-indikator linguistik yang
bisa digunakan untuk mendorong adanya stratifikasi sosial.
Pada tingkat individu dan kelompok yang berinteraksi dengan pihak lain,
fungsi-fungsi komunikasi secara langsung berkaitan dengan tujuan dan kebutuhan
partisipan (Hymes; 1972c). Hal ini menyangkut kategori fungsi, yaitu: fungsi
ekspresif, yaitu menyampaikan perasaan atau emosi; fungsi direktif untuk
memohon atau memerintah; fungsi referensial berupa isi proposisi benar atau
salah; fungsi poetik (estetika); fungsi fatik (empati dan solidaritas); serta fungsi

31

metalinguistik, yaitu referensi pada bahasa itu sendiri (Hymes, 1972c: 117;
Saville-Troike, 2003: 13).
Kategori fungsi tersebut sama dengan pembagian illocutionary act yang
diajukan oleh Searle (1985: 54, dalam Troike, 2003: 13), yang meliputi aspek
representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi. Meskipun demikian,
terdapat perbedaan dalam perspektif dan ruang lingkup yang memisahkan bidang
etnografi komunikasi (ethnography of communication) dengan teori tindak tutur
(speech act theory). Salah satu di antaranya adalah fokus utama pada bentuk,
yang dalam teori tindak tutur menekankan pada analisis kalimat, sedangkan dalam
etnografi komunikasi, aspek utama yang dideskripsikan adalah sudut pandang
fungsional. Meskipun kadangkala fungsi tersebut sama dengan sebuah kalimat
gramatikal, tetapi sering juga tidak, atau kadangkala sebuah kalimat tunggal
memiliki beberapa fungsi secara simultan.
Lebih lanjut lagi, jika para ahli dalam teori tindak tutur pada umumnya
mengesampingkan fungsi metaforis dan fungsi fatik dalam penelitian bahasa, hal
tersebut justru merupakan fokus utama dalam penjelasan etnografis (SavilleTroike, 2003: 13). Appel dan Muysken (1987: 118) mengemukakan enam fungsi
bahasa seperti yang disampaikan oleh Jacobson (1990), yaitu fungsi referensial,
fungsi direktif, fungsi ekspresif, fungsi fatis, fungsi metalinguistik, dan fungsi
puitik. Fungsi referensial mengatasi masalah keterbatasan profesional bahasa
kedua yang digunakan oleh penutur dalam tindak komunikasi. Fungsi
direktif/arahan bahasa digunakan untuk melibatkan atau tidak melibatkan
penutur lain dalam tindak komunikasi. Fungsi ekspresif memberi penekanan

32

atau mengekspresikan emosi dengan menggunakan bahasa lain. Fungsi fatik


menggunakan kode bahasa lain untuk menjadikan wacana supaya lebih nyata.
Fungsi metalinguistik menggunakan bahasa untuk komentar bahasa lain.
Salah satu contohnya adalah pergantian bahasa untuk menunjukkan kecakapan
berbahasa. Fungsi puitik menggunakan kode-kode bahasa untuk tujuan
bercanda, membuat sesuatu yang lucu, dan sebagainya.
Seiring dengan perkembangan di berbagai bidang, semakin disadari
bahwa bahasa memiliki peran dan fungsi yang tidak sekadar sebagai alat
komunikasi. Dalam ranah pragmatik misalnya, dikenal banyak unsur yang
mempengaruhi fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Fungsi bahasa tidak
hanya terkait dengan pengetahuan dan penerapan struktur dan tata bahasa, tetapi
juga memiliki keterkaitan erat dengan pemakaian bahasa dalam konteks yang
beragam.
Fungsi pemilihan bahasa terkait erat dengan situasi tutur, maksud
tuturan, tujuan tutur, dan motivasi tertentu yang hendak diungkapkan.
Poedjosoedarmo dalam Nadar (2009: 136) mengemukakan bahwa berdasarkan
pemilihan kode, proses alih kode dari satu kode tutur ke kode tutur lain
bergantung pada beberapa aspek, yaitu: tingkat formalitas hubungan perseorangan
antara O1 dan O2, tingkat status sosial yang dimiliki oleh O2, kehadiran orang
ketiga (O3), dan materi percakapan atau materi tuturan. Selain itu, juga ditentukan
oleh motivasi tertentu yang menghendakinya, baik dalam konteks yang situasional
maupun nonsituasional.

33

Berdasarkan uraian definisi fungsi bahasa dari beberapa ahli tersebut,


dapat dikatakan bahwa dalam penelitian ini, pendapat yang dijadikan acuan
adalah yang dikemukakan oleh Poedjosoedarmo. Hal tersebut dianggap lebih
sesuai dengan situasi kebahasaan di Sinjai. Bahasa ada karena di dalamnya ada
fungsi yang menyertai. Bahasa digunakan oleh penuturnya untuk melakukan
tindakan yang disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Hal tersebut sejalan
dengan pendapat Poedjosoedarmo (2002: 16) yang menyatakan bahwa fungsi
bahasa dibicarakan karena ternyata fungsi yang disandang oleh sebuah bahasa
tidak hanya satu macam. Fungsi bahasa adalah untuk saling berinteraksi, untuk
saling bertanya jawab, untuk saling memberi tahu, untuk menyuruh, untuk
melarang, untuk menolak, untuk meminta, dan untuk berseru.

1.6.1.3 Faktor Penentu pemilihan Bahasa


Fasold (1984: 180) mengemukakan bahwa pemilihan bahasa tidak
sesederhana yang dibayangkan, yaitu memilih sebuah bahasa secara keseluruhan
(whole language) dalam suatu peristiwa komunikasi. Seseorang yang menguasai
dua bahasa atau lebih harus memilih salah satu dari kedua bahasa tersebut yang
akan digunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa Konjo dan bahasa
Indonesia harus memilih salah satu di antara kedua bahasa tersebut ketika
berbicara kepada orang lain dalam suatu peristiwa komunikasi.
Pemilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat bilingual maupun
multilingual disebabkan oleh beberapa faktor sosial dan budaya. Ervin-Tripp
(1972) mengidentifikasikan empat faktor utama sebagai penanda pemilihan

34

bahasa penutur dalam interaksi sosial, yaitu (1) latar, yang terkait waktu dan
tempat serta situasi; (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4)
fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa kegiatan yang berlangsung di
sebuah tempat, seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di kantor
kelurahan, dan tawar-menawar barang di pasar.
Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan,
status sosial-ekonomi, dan perannya dalam hubungan dengan mitra tutur.
Hubungan dengan mitra tutur dapat berupa hubungan akrab dan hubungan
berjarak. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, peristiwa-peristiwa
aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat berupa fungsi interaksi
seperti penawaran, menyampaikan informasi, permohonan, kebiasaan rutin
(salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).
Senada dengan Ervin-Tripp, Grosjean (1982: 136) mengemukakan
empat faktor yang mempengaruhi pemilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu
(1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi. Faktor situasi
mengacu pada lokasi atau latar, kehadiran pembicara monolingual, tingkat
formalitas, dan tingkat keakraban. Faktor isi wacana mengacu pada topik
pembicaraan dan tipe kosakata. Faktor fungsi interaksi mencakupi beberapa
aspek,

yaitu

menaikkan

status,

penciptaan

jarak

sosial,

melarang

masuk/mengeluarkan seseorang dari pembicaraan, dan memerintah atau meminta.


Penggambaran etnografi komunikasi dalam masyarakat bilingual
maupun multilingual memperhatikan juga analisis pemilihan bahasa dalam
berbagai peristiwa tutur. Bonvillain (2008: 350) menyebutkan empat faktor yang

35

mempengaruhi seorang penutur dalam memilih bahasa, yaitu: konteks, partisipan,


topik, dan tujuan tutur. Sementara itu, Rubin (1985: 116) memberikan contoh
situasi diglosik dalam masyarakat Paraguay yang bilingual. Berdasarkan hasil
penelitiannya itu, disimpulkan bahwa terdapat empat faktor kontekstual yang
mempengaruhi pemilihan kode penutur bilingual, yaitu: lokasi interaksi, tingkat
keformalan tuturan, tingkat keakraban, dan keseriusan pembicaraan atau topik
yang sedang dituturkan.
Berdasarkan uraian berbagai faktor tersebut, yang perlu diperhatikan
adalah bahwa tidak terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi penggunaan
atau pemilihan bahasa seseorang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah faktorfaktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya? Berdasarkan kajian
penelitian pemilihan bahasa yang pernah dilakukan, diketahui bahwa suatu faktor
menduduki peran yang lebih penting daripada faktor lain. Melalui penelitian Gal
(1982), ditemukan bukti bahwa karakteristik penutur dan mitra tutur merupakan
faktor yang paling menentukan dalam pemilihan bahasa masyarakat tersebut,
sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang menentukan
dalam pemilihan bahasa dibandingkan dengan faktor partisipan.
Masyarakat bilingual/multilingual memiliki strategi komunikasi dalam
menggunakan bahasa mereka. Keberadaan beberapa bahasa yang sering
digunakan cenderung menyebabkan bahasa-bahasa tersebut memiliki fungsi yang
berbeda pula. Perbedaan fungsi tersebut didasarkan pada satu atau beberapa
komponen tutur (Speech Component). Faktor-faktor seperti konteks tutur, peserta
tutur, topik tuturan, dan tujuan tutur mempengaruhi pemilihan bahasa seorang

36

penutur. Sebagai contoh, seorang penutur BK akan cenderung menggunakan BI


ketika berbicara dengan rekan kerjanya di kantor, namun ketika berkomunikasi
dengan keluarganya di rumah, cenderung untuk menggunakan BK.

1.6.2 Bilingualisme/Multilingualisme dan Diglosia


Pemilihan

bahasa

terjadi

dalam

masyarakat

bilingual

maupun

multilingual dan masyarakat diglosik. Pernyataan ini didasarkan pada realita


bahwa hanya dalam situasi masyarakat yang demikian, seorang penutur
bilingual/multilingual cenderung memilih salah satu bentuk bahasa atau variasi
bahasa pada saat menjalin komunikasi dengan mitra tutur, yang diidentifikasi di
luar komunitas bahasanya. Sebaliknya, dalam masyarakat yang benar-benar
monolingual atau monoglot tidak memungkinkan anggotanya melakukan
pemilihan bahasa. Untuk lebih memperjelas konsep bilingualisme dan diglosia,
berikut ini disajikan pembahasannya secara mendetail.

1.6.2.1 Bilingualisme dan Multilingualisme


Istilah bilingualisme (bilingualism) disebut juga kedwibahasaan. Secara
harfiah dapat dipahami bahwa bilingualisme ada hubungannya dengan
penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Berdasarkan kajian sosiolinguistik,
bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa secara bergantian oleh
seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain (Mackey, 1968: 12;
Fishman, 1975: 73). Agar dapat menggunakan dua bahasa, tentunya seseorang
harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa

37

pertamanya (disingkat B1) dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi
bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa
itu disebut orang yang bilingual (dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk
menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas atau kedwibahasawanan (Chaer
dan Agustina, 2004: 84).
Bloomfield (1933: 54) mengemukakan bahwa bilingualisme merujuk
pada gejala penguasaan bahasa kedua dengan derajat penguasaan yang sama
seperti penutur asli bahasa itu. Bilingualitas sebagai penguasaan yang sama
baiknya atas dua bahasa (native like control of two languages). Penguasaan dua
bahasa dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah
sulit diukur. Konsep Bloomfield ini banyak dipertanyakan karena beberapa hal.
Pertama, bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur
terhadap dua buah bahasa yang digunakannya. Kedua, mungkinkah ada seorang
penutur yang dapat menggunakan B2-nya sama baik dengan B1-nya.
Kesempatan untuk menggunakan B1 lebih terbuka daripada kesempatan
untuk menggunakan B2 dalam situasi yang biasa, atau sebaliknya, seseorang yang
terlalu lama tinggal dalam masyarakat tutur B2-nya (terlepas dari masyarakat tutur
B1-nya), akan memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menggunakan B2-nya
daripada B1-nya. Oleh karena itu, batasan Bloomfield mengenai hubungan
bilingualisme ini banyak dimodifikasi orang. Robert Lado (1964, dalam
Bloomfield, 1933) berpendapat bahwa bilingualisme merupakan kemampuan
menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama

38

baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa
bagaimanapun tingkatnya.
Penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya.
Menurut MacKey (1968:555), bilingualisme merupakan praktik penggunaan
bahasa secara bergantian, dari satu bahasa ke bahasa lain, oleh seorang penutur.
Bilingualitas merupakan kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh
seseorang (the alternate use of two or more languages by the same individual).
Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan bilingualitas dilihat
dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang
tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu: mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis.
Beberapa jenis pembagian bilingualitas berdasarkan pada tipologi
bilingual,

yang

meliputi;

pertama,

Bilingualitas

Majemuk

(compound

bilingualism), yaitu bilingualitas yang menunjukkan bahwa kemampuan


berbahasa penutur dalam salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan
berbahasa pada bahasa yang lain. Bilingualitas ini didasarkan pada kaitan antara
B1 dengan B2 yang dikuasai oleh penutur bilingual. Kedua bahasa itu dikuasai
oleh penutur bilingual tetapi berdiri sendiri-sendiri. Kedua, Bilingualitas
Koordinatif/Sejajar, yaitu bilingualitas yang menunjukkan bahwa pemakaian dua
bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Bilingualitas seimbang dikaitkan
dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua
bahasa. Ketiga, Bilingualitas Sub-ordinatif (kompleks), yaitu bilingualitas yang
menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan

39

B2 atau sebaliknya. Bilingualitas ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi


B1, misalnya kelompok penutur bahasa yang sedikit, yang dikelilingi dan
didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga kelompok penutur
bahasa yang sedikit ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.
Selain bilingualisme, dikenal juga istilah multilingualisme (Mesthrie,
2000: 37),

yaitu merujuk pada penguasaan atau penggunaan lebih dari dua

bahasa. Seringkali, istilah bilingualisme dan multilingualisme dibedakan


pengertiannya. Bilingualisme merujuk situasi yang menggunakan dua bahasa saja,
sedangkan multilingualisme merujuk situasi yang menggunakan lebih dari dua
bahasa. Namun, istilah bilingualisme juga digunakan secara lebih luas untuk
merujuk semua kasus yang melibatkan pemakaian dua atau lebih bahasa (Pietro,
1970: 17. Konsep bilingualisme berarti situasi yang menggunakan dua bahasa
atau lebih, seperti yang diusulkan Appel dan Muysken (1987: 3). Dalam
penelitian ini, konsep dasar mengenai bilingualisme juga digunakan untuk
menjelaskan mengenai multilingualisme. Hal itu sejalan dengan pendapat
Romaine (1995: 12) yang menyetujui definisi mengenai bilingualisme yang
diajukan oleh Mackey (1968: 555) untuk menjelaskan pula mengenai
multilingualisme.
Mackey (1968) concludes that in order to study bilingualism we are forced
to consider it as something entirely relative because the point at which the
speaker of a second language becomes bilingual is either arbitrary or
impossible to determine. He therefore considers bilingualism as simply the
alternate use of two or more languages. Following him, I have also used
the term bilingualism to include multilingualism.

40

Sehubungan

dengan

pemikiran

mengenai

bilingualisme

atau

multilingualisme, Sumarsono dan Paina (2002: 76) mengemukakan bahwa


masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual (multilingual society)
adalah masyarakat yang

memiliki beberapa bahasa. Masyarakat tersebut

terbentuk karena beberapa etnis ikut membentuk masyarakat sehingga dari segi
etnis bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society). Kondisi
masyarakat tutur yang seperti itu terkait erat dengan adanya diglosia serta kode
dan alih kode.

1.6.2.2 Diglosia
Fishman (1972: 92) menganjurkan bahwa dalam mengkaji masyarakat
bilingual maupun masyarakat multilingual, hendaknya diperhatikan kaitannya
dengan ada atau tidaknya diglosia. Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis
diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis. Diglosia
merupakan istilah yang pertama kali dimunculkan oleh Ferguson (1959: 16) untuk
melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara-negara Arab,
Swiss, dan Haiti. Diglosia merujuk pada ragam bahasa yang mempunyai peran
dan fungsi berbeda dalam suatu masyarakat tutur. Hal tersebut dapat kita lihat
melalui penggambaran Ferguson mengenai situasi diglosia seperti berikut:
Diglossia is a relatively stable language situation in which, in addition
to the primary dialects of the languages (which may include a standard
or regional standard), there is a very divergent, highly codified (often
grammatically more complex) superposed variety, the vehicle of a large
and respected body of written literature, either of an earlier period or in
other speech community, which is learned largerly by formal education

41

and is used for most written and formal spoken purposes but is not used
by any sector of the community for ordinary conversation.

Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, yang selain
adanya dialek-dialek utama dari bahasa (mungkin meliputi ragam-ragam baku
setempat), juga dikenal suatu ragam yang ditinggikan, yang sangat berbeda,
terkodifikasikan secara rapi (dan tatabahasanya lebih rumit), yang berasal dari
waktu lampau atau berasal dari masyarakat bahasa lain, yang dipelajari melalui
pendidikan formal dan sebagian besar digunakan untuk keperluan formal lisan dan
tertulis tetapi tidak digunakan di sektor apa pun di dalam masyarakat itu untuk
percakapan sehari-hari.
Pengertian diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman (1972: 92).
Istilah diglosia tidak hanya dikenakan pada ragam tinggi dan rendah dari bahasa
yang sama akan tetapi, juga dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak
serumpun. Hal yang menjadi penekanan utamanya adalah perbedaan fungsi kedua
bahasa atau ragam bahasa yang dimaksudkan. Selain itu, Fishman juga
berpendapat bahwa diglosia tidak hanya terdapat dalam masyarakat monolingual,
tetapi lebih dari itu diglosia juga mengacu pada keadaan pemakaian dua bahasa
yang berbeda dengan fungsi dan perannya.
Selain perbedaan tersebut, terdapat persamaan antara keduanya, yaitu
bahwa ragam-ragam bahasa itu mengisi fungsi masing-masing dan bahwa ragam
tinggi (T) hanya digunakan dalam situasi resmi sedangkan ragam rendah (R)
digunakan dalam situasi yang tidak atau kurang resmi. Oleh Fishman (1972: 92),
diglosia diartikan sebagai berikut. diglossia exist not only in multilingual

42

societies which officially recognize several languages, and not only in societies
which employ separate dialects, register, or functionally differentiated language
varieties of whatever kind (diglosia tidak hanya terdapat di dalam masyarakat
multilingual yang secara resmi mengakui beberapa bahasa, dan tidak hanya
terdapat di dalam masyarakat yang menggunakan ragam sehari-hari dan klasik,
tetapi terdapat juga di dalam masyarakat yang menggunakan bahasa yang
menggunakan dialek, register, ataupun bahasa yang berbeda secara fungsional).
Menurut Wijana (2000: 13), varietas bahasa yang digunakan di dalam
situasi diglosia dapat berupa satu bahasa tertentu dengan dialeknya atau satu
bahasa tertentu dengan bahasa lainnya yang berbeda atau yang tidak saling paham
(mutually unintelligible) sifatnya. Berdasarkan hal itu, dapat dijelaskan bahwa
diglosia berhubungan dengan situasi kebahasaan yang mengharuskan pemisahan
secara fungsional atas variasi-variasi bahasa. Salah satu variasi bahasa diberi
status variasi tinggi (T), sedangkan variasi lainnya diberi status variasi rendah (R).
Variasi tersebut hidup berdampingan dan mempunyai peranan tertentu. Variasi T
dipergunakan dalam situasi resmi, sedangkan variasi R dipergunakan untuk situasi
tidak resmi. Variasi R, misalnya digunakan dalam domain keluarga, sedangkan
variasi T sering digunakan dalam domain yang lebih formal, misalnya dalam
bidang pendidikan dan perkantoran. Kedua variasi itu memiliki perbedaan ciri,
variasi R bersifat sederhana, sedangkan variasi T bersifat kompleks dan
konservatif.
Melalui Troike (2003: 45), dinyatakan bahwa diglosia merupakan salah
satu contoh nyata bentuk pemilihan bahasa yang disesuaikan dengan ranah

43

pemakaiannya. Diglosia merujuk pada situasi dua bahasa atau lebih (atau
varietas/dialek dari bahasa yang sama) dalam sebuah masyarakat tutur yang
ditempatkan pada konteks dan fungsi sosial yang berbeda. Sejalan dengan
tersebut, Holmes (1992: 32) mengetengahkan tiga penanda atau kriteria diglosia,
yaitu:
1. Two distinct varieties of the same language are used in the community
with one regarded as a high (or H) variety and the other a low (or L)
variety.
2. Each variety is used for quite distinct functions; H and L complement
each other.
3. No one uses the H variety in everyday conversation.

Atas

dasar

kriteria

tersebut,

dapat

dijelaskan

bahwa

diglosia

berhubungan dengan situasi kebahasaan yang mengharuskan pemisahan secara


fungsional atas variasi-variasi bahasa. Salah satu variasi bahasa diberi status
variasi tinggi (T), sedangkan yang lainnya diberi status variasi rendah ( R).
Masing-masing variasi atau ragam tersebut hidup berdampingan dan mempunyai
peranan tertentu. Variasi T dipergunakan dalam situasi resmi, sedangkan variasi R
dipergunakan untuk situasi tidak resmi.
Variasi R akan dipilih dalam domain keluarga, sedangkan T akan sering
digunakan dalam domain yang lebih formal mungkin dalam pendidikan (Fishman
dalam Ibrahim, 1993: 66). Variasi R dan T akan memperlihatkan perbedaan ciri.

44

Untuk variasi R bersifat sederhana, sedangkan variasi T bersifat kompleks dan


konservatif.
Situasi diglosia muncul dalam masyarakat yang mempunyai dua kode
yang menunjukkan pemisahan fungsional yang jelas. Laporan menarik tentang
empat situasi yang menunjukkan ciri ciri utama diglosia diketengahkan oleh
Wardhaugh (1986:87). Dia menunjuk contoh pada bahasa arab, swiss, jerman,
haiti (prancis dan Kreol), dan Yunani. Dari kelima bahasa itu ditemukan dua
variasi, yaitu variasi T dan R, serta setiap variasi memiliki fungsi khusus. Dalam
bahasa Arab, ada variasi Arab Klasik (T) dan bermacam-macam variasi colloquial
regional ( R). Di Swiss ada bahasa Jerman standar (T) dan Jerman Swiss (R ). Di
Haiti ada bahasa Prancis standar (T) dan Kreol Haiti ( R). Di Yunani ada bahasa
Kathaverousa (T) dan Dhimotiki atau Demotik ( R) dan variasi Yunani. Kedua
variasi itu mempunyai masa ekstistensinya selama periode yang panjang
(Wardhaugh, 1986: 78 88). Ini berarti bahwa diglosia merupakan frenomena
linguistik sekaligus fenomena sosial yang dapat berlangsung dalam rentangan
waktu yang panjang sesuai dengan situasi dan kondisi kebahasaan di daerah
tertentu.
Fishman (1976: 288) menggambarkan hubungan antara bilingualisme
dan diglosia dalam sebuah masyarakat tutur yang terdiri atas empat jenis, yaitu (1)
masyarakat bilingual dan diglosia, (2) masyarakat bilingual tanpa diglosia, (3)
masyarakat diglosia tanpa bilingual, dan (4) masyarakat tanpa bilingual dan tanpa
diglosia. Keterkaitan antara bilingualisme dan diglosia disajikan dalam diagram
berikut.

45

BILINGUALISM
1. Both diglossia
and bilingualism

2. Bilingualism
without diglossia

3. Diglossia without
bilingualism

4. Neither diglossia
nor bilingualism

DIGLOSSIA

Melalui diagram tersebut, diilustrasikan empat tipe masyarakat. Tipe


pertama, masyarakat bilingual sekaligus diglosik, yang hampir setiap penutur
menguasai variasi T dan R, serta mampu menggunakannya sesuai fungsi sosial
masing-masing. Tipe kedua, masyarakat bilingual yang tidak diglosik, mereka
tidak membatasi pemakaian sutau bahasa dalam situasi tertentu. Bahasa mana pun
dapat digunakan dalam berbagai situasi dan tujuan. Tipe ketiga, diglosia tanpa
bilingual, menggambarkan dua kelompok dalam masyarakat, yaitu kelompok
pertama yang biasanya lebih kecil menggunakan variasi T, sedangkan kelompok
kedua yang lebih besar hanya berbicara dengan variasi R. Tipe keempat,
menekankan pada masyarakat yang hanya memiliki satu bahasa tanpa variasi dan
digunakan untuk berbagai tujuan.
Apabila kerangka pemikiran Fishman (1972) dijadikan acuan, maka
dapat dikatakan bahwa masyarakat tutur Konjo di Sinjai tergolong masyarakat
yang bilingual atau multilingual tanpa diglosia sebab tidak mengenal variasi tinggi
dan variasi rendah maupun tingkat tutur (meminjam istilah Poedjosoedarmo dkk.,
1979). Seperti halnya dalam masyarakat lain yang tidak mengenl tingkat tutur,

46

dalam masyarakat Konjo dikenal juga varian santun yang diperlihatkan melalui
penggunaan bentuk honorifik tertentu.

1.6.3 Kode dan Alih Kode


Berbagai kode tersedia dalam masyarakat multilingual, yaitu sebuah
istilah yang dapat mengacu pada bahasa, dialek, variasi, maupun ragam bahasa
yang digunakan dalam interaksi sosial. Dengan adanya kode-kode tersebut,
anggota masyarakat akan menggunakan kode yang tersedia sesuai dengan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Untuk keperluan interaksi sehari-hari, anggota
masyarakat secara konstan mengubah variasi penggunaan bahasanya.
Kode dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapan
unsur bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi
penutur dengan mitra tutur serta situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk
varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat
bahasa (Poedjosoedarmo, 1978: 30). Sejalan dengan pendapat tersebut,
Wardhaugh (1988: 86) mengemukakan bahwa kode memiliki sifat yang netral.
Dikatakan netral karena kode tidak memiliki kecenderungan interpretasi yang
menimbulkan emosi. Kode adalah semacam sistem yang dipakai oleh dua orang
atau lebih untuk berkomunikasi.
Sebuah kode, yang biasanya berupa varian bahasa, pada umumnya
ditandai oleh unsur-unsur pokok bahasa yang menyangkut sistem fonologi,
morfologi, sintaksis, dan leksikon yang terdapat dalam suatu wacana. Namun,
penanda yang paling penting dalam hal ini adalah unsur yang ada pada sistem

47

fonologi dan leksikon. Hal tersebut disebabkan karena kedua unsur itu yang
paling mudah terjadi perubahan dan tentu saja hal demikian juga terkait dengan
hakikat bahasa sebagai sistem bunyi yang pertama kali. Tidak semua bahasa
memiliki kosa kode yang sama dalam inventarisasinya.
Terkait dengan gejala alih kode, seringkali muncul kontroversi dalam
membedakan konsep pertukaran kode dangan konsep pinjaman (Scotton,
2000: 143).9 Sebagian ahli mengemukakan bahwa fenomena ini harus dibedakan,
sedangkan sebagian ahli justru berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa konsep ini
tidak seharusnya ditafsirkan sebagai entitas yang berlainan. Muysken (1995:189)
mendefinisikan dengan jelas kedua konsep ini, yaitu pertukaran kode
merupakan penggunaan dua bahasa dalam satu klausa atau ujaran sedangkan
pinjaman leksikal melibatkan penyerapan (incorporation) elemen leksikal dari
satu bahasa ke dalam leksikon bahasa lain.
Alih kode melibatkan peralihan atau pergantian kode, percampuran
kode, dan peminjaman kode. Penelitian tentang alih kode dapat dikatakan suatu
paradigma dalam mempelajari linguistik bilingualisme (Gumperz: 1970: 131).
Peralihan kode ditafsirkan sebagai alternasi dalam penggunaan dua bahasa atau
lebih dalam pertuturan yang sama (Muysken dan Milroy, 1995: 7). Sementara itu,
Scotton (2000: 142) mendefinisikan pertukaran atau peralihan kode sebagai
penggunaan dua atau lebih jenis unsur linguistik dalam satu pertuturan yang

Menurut Chloros (1995:73, dalam Chong, 2012: 13), terdapat tiga kategori yang tidak
membedakan antara pertukaran kode dan pinjaman, yaitu: (a) berlakunya integrasi morfofonemik
dengan bahasa sekitar pinjaman danpertukaran kode dapat berintegrasi secara morfologi dan
fonologi bahasa sekitarnya maupun sebaliknya, bergantung dari faktor linguistik danindividu; (b)
penggantian kata sinonim yang asli oleh bahasa sekitar; dan (c) kategori dalam tata bahasa
berpotensi untuk meminjam dan tidak terbatas pada kategori tertentu.

48

sama tanpa asimilasi yang nyata dari segi fonologi. Selain itu, definisi Poplack
(2000: 224) tentang alih kode adalah alternasi dua bahasa di dalam suatu wacana,
kalimat, dan bagian yang tunggal.
Auer (1995: 124) telah mendeskripsikan empat bentuk pemilihan bahasa
dalam pertuturan, yaitu: pertama, pertukaran yang berkaitan dengan wacana
pertukaran dari kode A ke kode B. Pada awal tuturan, kedua penutur
menggunakan bahasa matriks.10 Kemudian, seseorang beralih ke bahasa B, yang
selanjutnya diikuti oleh penutur kedua dengan menggunakan bahasa B.
Bentuk pemilihan bahasa yang kedua, pertukaran yang berkaitan dengan
pilihan (preference-related) atau negosiasi bahasa, antara kedua partisipan
mencari persetujuan dalam menggunakan suatu kode untuk pertuturan. Artinya,
pada awalnya kedua penutur menggunakan bahasa yang berbeda (bahasa A dan
bahasa B). Kemudian salah satu dari penutur tersebut mengubah bahasa dan
akhirnya, keduanya menggunakan satu bahasa saja (baik itu bahasa A atau bahasa
B).
Bentuk yang ketiga berupa pertukaran di antara dua bahasa. Akan tetapi,
tidak satu pun bahasa (baik bahasa A maupun bahasa B) yang dapat diputuskan
sebagai bahasa dasar. Dalam hal ini, penutur mungkin menukar kode dari kalimat
ke kalimat atau klausa ke klausa dalam kalimat yang sama. Dengan demikian,
pemilihan bahasa adalah terbuka dan salah satu dari penutur yang mungkin

10

Scotton (1992) menggunakan istilah bahasa sematan (embedded language) untuk merujuk pada
percampuran kode bahasa dan bahasa matriks (matrix language) untuk merujuk bahasa dasar
dalam kalimat.

49

akan mengambil keputusan untuk memilih salah satu bahasa (baik bahasa A atau
bahasa B), penutur yang lain akan menuruti bahasa pilihannya.
Bentuk yang keempat berupa penyisipan (insertion), yaitu: elemen
bahasa B (misalnya, kata atau struktur bahasa lain) disisipkan ke dalam bahasa
dasar (bahasa A). Alih kode yang demikian itu sering didasarkan pada
pengetahuan etnografi, misalnya, latar belakang interaksi dan konteks budaya
penutur.
Alih kode, oleh Gumperz (1982: 59, 1976 dalam Troike, 2003:48)
didefinisikan sebagai pergantian bahasa dalam sebuah peristiwa tutur atau
penggunaan dua buah sistem gramatikal atau bagian-bagiannya dalam satu tuturan
secara bergantian. Hymes (1971: 103) memunculkan batasan mengenai alih kode,
yakni istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua
bahasa atau lebih, beberapa variasi bahasa dari satu bahasa, atau bahkan beberapa
gaya dari suatu ragam. Menurutnya, alih kode intern (internal code-switching)
terjadi antarbahasa daerah dalam suatu bahasa nasional, antardialek dalam satu
bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu
dialek. Selanjutnya, alih kode ekstern (external code-switching), yaitu apabila
yang terjadi adalah antara bahasa asli dan bahasa asing.
Poedjosoedarmo (1975: 45) menjelaskan bahwa pada waktu bercakap,
seorang pembicara sering mengganti kode bahasanya, baik disadari maupun tidak
disadari oleh O1. Akibatnya, dia telah menyuguhkan arti kode yang bermacammacam pula. Hal itu sangat bisa terjadi karena gejala alih kode timbul disebabkan
oleh faktor komponen bahasa yang bermacam-macam. Kadang-kadang karena

50

kehendak serta suasana hati O1 tiba-tiba berganti, yang akibatnya lalu


menimbulkan pergantian kode yang sedang dipakainya. Selain itu, apabila
ternyata ada O3 yang tiba-tiba muncul di dalam percakapan, maka kode yang
dipakai harus diganti pula. Pergantian kode juga sering terjadi karena adanya
pengaruh kalimat-kalimat atau kode yang baru saja terucapkan yang macamnya
berbeda dengan kode semula.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa adakalanya penggantian kode bahasa
yang dipakai, berlangsung sebentar saja yang diistilahkan dengan alih kode
sementara (temporary code-switching). Selain alih kode sementara, ada juga alih
kode permanen (permanent code-switching), yaitu peralihan bahasa yang
berlangsung secara permanen, kendati pun sebenarnya hal ini tidak mudah untuk
dilakukan (Poedjosoedarmo, 1979:38).
Alih kode yang disadari biasanya terjadi karena pembicara mempunyai
maksud-maksud tertentu. Alih kode yang terjadi biasanya bergantung pada
beberapa faktor, yaitu: situasi bicara, derajat keakraban antara penutur dan mitra
tutur, kemantapan hubungan antara penutur dan mitra tutur, masalah yang
dibicarakan, penguasaan atas kode yang digunakan, dan tingkat kesadaran
pembicara. Dalam situasi formal, alih kode sangat jarang terjadi. Sebaliknya,
dalam situasi tidak formal atau dalam situasi bicara yang santai, frekuensi alih
kode dapat tinggi sekali.
Dengan demikian, alih kode dalam tulisan ini dapat dikatakan sejalan
dengan apa yang disampaikan oleh Poedjosoedarmo maupun oleh Hymes, bahwa
alih kode merupakan pemakaian secara bergantian antara dua bahasa atau lebih,

51

variasi-variasi bahasa dalam bahasa yang sama atau mungkin gaya bahasanya
dalam suatu masyarakat tutur bilingual ataupun multilingual. Namun demikian,
fokus perhatian yang akan diberikan adalah pada pemakaian kode yang bergantian
atas variasi bahasa yang menyangkut penggunaan beberapa bahasa.

1.6.4 Etnografi Komunikasi sebagai Model Analisis


Pemakaian bahasa dalam komunikasi selain ditentukan oleh faktorfaktor linguistik, juga ditentukan oleh faktor-faktor non linguistik atau luar
bahasa. Faktor yang demikian itu sering pula dikatakan berkaitan erat dengan
faktor sosial. Asumsi tersebut cukup beralasan karena pada dasarnya bahasa
merupakan bagian dari suatu sistem sosial, yang juga terkait erat dengan sistem
budaya. Sehingga, bahasa juga tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor budaya.
Menurut

Hymes, bahasa harus dilihat sebagai masalah yang tidak

berdiri sendiri atau terpisah dari sistem sosial dan budaya lain yang hidup dalam
sebuah masyarakat. Dalam hal ini, Hymes menerapkan pelbagai disiplin dalam
membicarakan, membahas, dan menguraikan bahasa. Dengan menganggap bahasa
sebagai bagian yang bersifat integral dari organisasi sosio-budaya serta perlakuan
yang umum, Hymes menganjurkan penelitian yang melihat bahasa bukan sebagai
sesuatu yang terpisah atau sebagai hubungan erat yang abstrak dari masyarakat
yang menuturkannya, melainkan terbentuk dalam keadaan dan pola yang
senantiasa berubah-ubah.
Hymes menggunakan pendekatan etnografi pertuturan atau etnografi
komunikasi untuk mengungkapkan teori sosiolinguistik-nya. Dalam meneliti

52

bahasa, Hymes menganjurkan bahwa yang harus dijadikan kerangka rujukan


untuk peran bahasa dalam masyarakat dan budaya adalah budaya komunikasi dan
bukan bahasa, serta etnografi dan bukan linguistik. Kaidah pendekatan Hymes
adalah pengamatan partisipatif dan kaidah ini menghasilkan satu kasus konkret
untuk setiap pengamatan dan penelitian.
Kajian sosiolinguistik dalam penelitian ini dipusatkan pada model
fungsional pemakaian bahasa pada dimensi sosial budaya masyarakat tuturnya.
Model yang dimaksud adalah Model Etnografi Komunikasi yang dikembangkan
oleh Hymes (1972, 1973, 1980). Istilah etnografi komunikasi (ethnography of
communication) merupakan pengembangan dari etnografi berbahasa (ethnography
of speaking). Konsep etnografi berbahasa oleh Hymes (1972: 37) dimaksudkan
sebagai kajian situasi dan penggunaan tutur serta pola dan fungsi tutur dalam
tindak tutur yang rutin dan khusus. Pengembangan istilah tersebut dimaksudkan
oleh Hymes (1980: 8) untuk memfokuskan kerangka acuan karena pemerian
tempat bahasa di dalam suatu kebudayaan bukan pada bahasa itu sendiri,
melainkan pada komunikasinya.
Kerangka etnografis melibatkan beberapa faktor yang terdapat dalam
sebuah tuturan. Kerangka yang awalnya disebut dengan etnografi pertuturan itu
pada akhirnya berkembang menjadi etnografi komunikasi. Etnografi komunikasi
dapat digunakan di dalam penelitian hubungan bahasa dengan manusia
(masyarakat). Analisis dengan menggunakan model Etnografi Komunikasi dapat
memberikan gambaran etnografis masyarakat bahasa, yang di antaranya
mencakup pola komunikasi, fungsi komunikasi, hakikat dan batasan masyarakat

53

bahasa, alat komunikasi, komponen komunikatif, hubungan bahasa dengan


pikiran dan organisasi sosial, serta perilaku bahasa lainnya.
Perilaku bahasa dianggap memiliki pola yang teratur dan mempunyai
kendala yang dapat dinyatakan dalam bentuk-bentuk norma bahasa. Etnografi
komunikasi terarah pada penyelidikan keteraturan yang terdapat dalam
penggunaan bahasa serta bagaimana bagian-bagian komunikasi dibentuk.
Selanjutnya, bagaimana bagian-bagian tersebut tersusun di dalam suatu cara
bahasa di dalam arti yang sangat luas dan bagaimana pola-pola yang ada
berhubungan secara sistematis dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya.
Pola bahasa terdapat pada semua tingkat komunikasi seperti masyarakat,
kelompok, dan individu. Pada tingkat masyarakat, komunikasi biasanya terbentuk
melalui fungsinya, kategori percakapan, dan sikap serta konsepsi tentang bahasa
dan manusia. Komunikasi tentunya juga terbentuk menurut peran dan kelompok
tertentu di tengah-tengah masyarakat serta menurut jenis kelamin, usia, status
sosial, dan jenis pekerjaan. Cara bahasa juga terbentuk menurut tingkat
pendidikan, penduduk kota atau desa, daerah geografis, dan ciri-ciri organisasi
sosial lainnya.
Hymes (1972a: 59) dalam Models of the Interaction of Language and
Social Life menunjukkan delapan komponen yang dianggapnya berpengaruh
terhadap pemilihan kode dalam bertutur yang disebut Components of Speech,
yaitu: 1) tempat tutur, 2) suasana tutur, 3) peserta tutur, 4) tujuan tutur, 5) pokok
tuturan, 6) nada tutur, 7) norma tutur, dan 8) jenis tuturan. Komponen-komponen
tutur tersebut, sebelumnya meliputi enambelas komponen, yaitu: message form,

54

message contact, setting, scene, speaker or sender, addressor, hearer or receiver


or audience, addressee, purpose outcomes, purpose goals, key, channels,
forms of speech, norms of interaction, norms of interpretation, dan genres.
As has been shown, the sixteen components can be grouped
together under the letters of the code word SPEAKING: setting,
participants, ends, act sequences, keys, instrumentalities, norms,
genres.

(Seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya, keenambelas komponen


tutur dapat dikelompokkan dalam sebuah akronim SPEAKING: latar, peserta
tutur, tujuan tutur, topik/urutan tutur, nada tutur, instrumentalitas, norma tutur,
jenis tutur). Tiap-tiap fonem mewakili faktor penentu yang dimaksudkan, yakni: S
(setting and scene); P (participants); E (end: purpose and goal); A (act
sequences); K (key: tone or spirit of act); I (instrumentalities); N (norms of
interaction and interpretation); dan G (genres).
Setting merujuk pada aspek tempat dan waktu (keadaaan fisik)
terjadinya sebuah tuturan, sedangkan scene (suasana tutur) mengacu pada suasana
psikologis (baik bersifat resmi maupun tidak resmi) pada saat terjadinya sebuah
peristiwa tutur. Participants (peserta tutur) mengacu pada penutur, mitra tutur,
dan orang yang dituturkan. Pemilihan bahasa antarpeserta tutur ditentukan oleh
perbedaan dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi yang pertama
meliputi perbedaan usia, status sosial-ekonomi, dan kedudukan dalam masyarakat.
Perbedaan dimensi yang kedua, antara lain meliputi perbedaan tingkat keakraban
antara penutur dan mitra tutur.

55

Ends atau hasil, yaitu hasil atau tanggapan dari suatu pembicaraan yang
memang diharapkan oleh penutur (ends as outcomes) dan tujuan akhir
pembicaraan (ends in views goals). Sebuah tuturan mungkin bertujuan
menyampaikan buah pikiran, membujuk, dan mengubah perilaku (konatif). Act
sequences (topik tuturan) mengacu pada apa yang dibicarakan atau isi pesan
(message content) dan bentuk pesan/amanat atau cara penyampaiannya (message
form). Dalam sebuah peristiwa tutur, beberapa topik tutur dapat muncul secara
berurutan. Perubahan topik tutur dalam peristiwa tutur akan berpengaruh terhadap
pemilihan bahasa.
Key, meliputi cara, nada, sikap, atau semangat dalam melakukan
percakapan. Nada tutur verbal mengacu pada perubahan bunyi bahasa, yang dapat
menunjukkan suasana serius, suasana santai, dan suasana akrab. Nada tutur non
verbal dapat berwujud gerak anggota badan, perubahan ekspresi wajah, dan sorot
mata. Instrumentalities atau sarana, yaitu sarana percakapan, dengan media apa
percakapan tersebut disampaikan, misalnya dengan cara lisan atau tulisan.
Norms atau norma merujuk pada norma atau aturan yang membatasi
percakapan, misalnya apa yang boleh dan tidak boleh dibicarakan serta bagaimana
cara membicarakannya (halus, kasar, terbuka, dan sebagainya). Genres, yaitu
jenis atau bentuk kebahasaan yang sedang dituturkan. Hal itu langsung merujuk
pada jenis wacana yang disampaikan, misalnya percakapan, cerita, dan pidato.
Secara lebih komprehensif, komponen tutur Hymes dikembangkan oleh
Poedjosoedarmo (1979), yang disesuaikan dengan kondisi kebahasaan di
Indonesia, khususnya masyarakat tutur Jawa. Komponen tutur dalam versi ini

56

lebih terperinci dan lebih luas, melebihi komponen tutur yang digunakan sebagai
dasarnya, dengan menggunakan memoteknik O,O,E MAU BICARA.
O1 (Orang Pertama), yaitu pribadi penutur karena sedikit banyaknya
ujaran memang ditentukan oleh pribadi penutur. Seorang penutur yang pemalu
akan memiliki kebiasaan kebahasaan yang berbeda dengan seorang pemberani.
Latar belakang penutur menyangkut jenis kelamin, asal daerah, asal golongan
masyarakat, umur, profesi, kelompok etnis, dan aliran kepercayaannya. O2
(Orang Kedua), yaitu lawan tutur orang pertama atau mitra tutur. Hal yang perlu
diperhatikan adalah anggapan O1 tentang seberapa tinggi tingkatan sosial orang
kedua (O2) dan seberapa akrab hubungan antara ke dua orang tersebut. Anggapan
terhadap keintiman relasi antara O1 pada O2 akan menentukan corak bahasa yang
dituturkannya. E (Warna emosi / suasana emosi) O1 pada waktu hendak
bertutur. Misalnya, seorang penutur yang gugup akan mengeluarkan tuturantuturan yang tidak teratur, kurang jelas, dan kurang beraturan.
Maksud dan tujuan percakapan. Misalnya, orang yang ingin
meminjam uang kepada seseorang akan cenderung menggunakan wacana yang
strukturnya berbelit-belit. Adanya O3 dan barang-barang lain di sekitar adegan
percakapan. Misalnya, karena alasan mengikutsertakan O3 yang berasal dari luar
pulau Jawa, O1 dan O2 yang semula menggunakan bahasa Jawa beralih
menggunakan bahasa Indonesia. Urutan tutur, yaitu O1 yang memulai suatu
percakapan akan lebih bebas menentukan bentuk tuturannya daripada lawan
tuturnya dan bagaimana respon dari mitra tutur.

57

Bab pembicaraan, pokok pembicaraan yang juga mempengaruhi warna


suasana bicara. Misalnya, percakapan mengenai kepercayaan, agama, dan topik
serius akan dilaksanakan dengan menggunakan bahasa formal. Instrumen atau
sarana tutur, seperti telegram dan telepon juga mempengaruhi bentuk ujaran.
Biasanya bahasa yang digunakan harus ringkas dan langsung pada pokok
permasalahan. Citarasa tutur, yang akan mempengaruhi bentuk ragam tutur
(ragam santai, ragam bahasa formal, dan ragam bahasa indah). Adegan tutur,
yaitu faktor-faktor yang terkait dengan tempat, waktu, dan peristiwa tutur.
Register khusus atau bentuk wacana/genre tutur. Misalnya, pidato akan
dilakukan dengan dimulai sapaan, salam, introduksi, isi, lalu penutup. Aturan
atau norma kebahasaan lain, berupa norma (kejelasan dalam bicara) dan aturan
yang berisi anjuran untuk tidak menanyakan tentang gaji, umur, dan lain-lain yang
bersifat pribadi.
Dalam penelitian ini, teori yang digunakan sebagai acuan adalah kedua
teori tersebut, yaitu teori Hymes dalam konsep SPEAKING sebagai teori dasar
dan teori Poedjosoedarmo dalam memoteknik OOE, MAU BICARA sebagai
teori pendukung. Kedua teori tersebut diterapkan, yang tentunya disesuaikan
dengan situasi kebahasaan di wilayah penelitian.

1.7 Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Sulawesi Selatan, Kabupaten Sinjai dengan
sasaran masyarakat multilingual, terutama masyarakat tutur Konjo yang berada di
Kecamatan Sinjai Tengah. Penelitian ini terfokus pada multikompetensi bahasa

58

yang terdapat pada masyarakat tutur yang diteliti. Oleh karena itu, penulis
memilih untuk menggunakan metode penelitian kualitatif untuk dapat
mengungkap makna dari gejala penggunaan bahasa pada latar yang alami. Dengan
menggunakan metode ini, sumber data berlatar alami dengan peneliti berfungsi
sebagai human instrument (Moleong, 1995: 121 125; Duranti, 1997: 85 88).
Prosedur penelitian dengan metode tersebut menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau pun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Penelitian ini memanfaatkan metode kualitatif etnografi (Spradley, 1997
dan Muhadjir, 1996), yaitu dengan melibatkan peneliti dalam pergaulan dengan
masyarakat tutur Konjo di Sinjai. Penelitian dalam pandangan etnografi bermakna
memahami gejala yang bersifat alamiah atau wajar sebagaimana adanya tanpa
dimanipulasi dan diatur dengan eksperimen atau tes (Muhadjir, 1996: 96). Gejala
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gejala pemilihan bahasa pada
masyarakat tutur Konjo di Sinjai.

1.7.1 Pengumpulan Data


Pengumpulan

data

dalam

penelitian

pengamatan partisipatif participant-observation,

ini
11

menggunakan

metode

yaitu berada di lokasi

penelitian dan mengamati perilaku berbahasa masyarakat tutur yang dijadikan


objek penelitian, kemudian merekam contoh penggunaan bahasa. Saville-Troike
(2003: 97) menyatakan bahwa metode yang paling umum digunakan dalam
pengumpulan data etnografi dalam ranah budaya adalah pengamatan partisipatif.

11

Lihat juga dalam Fasold, 1990. The Sociolinguistics of Language.

59

Kunci keberhasilan dari metode ini adalah membebaskan diri sebanyak mungkin
secara manusiawi dari batas pengalaman budaya sendiri. Hal tersebut
membutuhkan

relativisme

budaya,

pengetahuan

mengenai

kemungkinan

perbedaan kultural dan kepekaan serta keobjektifan dalam mengamati orang lain.
Data mengenai penggunaan bahasa yang direkam meliputi beberapa
ranah, misalnya: keluarga, pendidikan, pemerintahan, agama, transaksi, kekariban
(pertemanan), dan pergaulan dalam masyarakat. Agar diperoleh data yang akurat,
peneliti berupaya agar informan tidak menyadari bahwa dirinya sedang diteliti
atau percakapannya sedang diamati, sehingga ujaran-ujaran yang digunakan
bersifat wajar dan alamiah, dalam hal ini penulis memadukan metode tersebut
dengan teknik observers paradoks (Wardhaugh, 1986: 18).
Agar proses pengumpulan data dapat berjalan dengan lancar dan dapat
diperoleh data-data yang diinginkan, peneliti menggunakan alat bantu rekam.
Dalam hal ini, peneliti menggunakan recorder digital Sony type ICD-PX 312 dan
jika diperlukan, memanfaatkan catatan lapangan. Catatan lapangan ini
dimaksudkan jika sekiranya terjadi suatu peristiwa tutur yang menarik perhatian
dan alat perekam yang seharusnya digunakan mengalami gangguan teknis. Jadi,
teknik catat sebagai teknik cadangan saja.
Data yang diperoleh melalui pengamatan partisipatif dapat disimak dan
diuji kebenarannya ketika wawancara bersemuka dilakukan dengan para
informan. Menurut Feagin (2002: 31 dalam Chong, 2002: 24) wawancara yang
dilakukan harus disesuaikan dengan keadaan lokal daerah penelitian. Oleh karena
itu, daftar pertanyaan yang sesuai dengan situasi lokal di Kabupaten Sinjai telah

60

disusun (lihat lampiran). Data kuesioner yang diberikan dimaksudkan sebagai data
pendukung untuk memperoleh gambaran situasi kebahasaan di wilayah penelitian.
Penelitian yang dilakukan ini tidak mengkhususkan parameter tertentu
untuk memilih sampel penelitian. Informan dipilih berdasarkan mudahnya peneliti
mendapatkan informan yang bersedia diwawancarai (Subakir, 1998: 59). Secara
keseluruhan, sebanyak 40 orang informan diwawancarai tanpa mengkhususkan
komposisi jumlah informan perempuan dan informan laki-laki.

1.7.2 Analisis Data


Data yang diperoleh melalui pengamatan partisipatif dalam penelitian ini
kemudian dianalisis. Analisis data merupakan upaya mencari dan menata data
secara sistematis untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang
diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Proses analisis data
dalam penelitian kualitatif dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul
dari berbagai sumber, misalnya dari data rekaman, wawancara, pengamatan yang
sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dan dokumen resmi.
Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah maka langkah berikutnya adalah
mengadakan reduksi data dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan
usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang
perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Reduksi data (data reduction),
yaitu

melakukan

identifikasi

keragaman

pemilihan

bahasa,

baik

yang

berhubungan dengan ranah sosial berlangsungnya peristiwa tutur maupun


komponen tutur.

61

Selanjutnya, setelah data direduksi, kemudian dianalisis secara deskriptif


dengan menggunakan metode etnografi komunikasi. Pada tahap ini, dilakukan
identifikasi data berdasarkan analisis komponen tutur, kemudian dilakukan
penafsiran atau memberikan makna terhadap data, yaitu penafsiran pola pemilihan
bahasa dalam masyarakat tutur Konjo di Sinjai. Mengidentifikasi dan menjelaskan
fungsi bahasa yang digunakan dalam masyarakat tutur Konjo di Sinjai serta
faktor-faktor penentu pemilihan bahasanya, seperti: kemampuan bahasa penutur
dan lawan tutur; tempat dan situasi (dinas tak dinas); partisipan dalam interaksi
(status sosial, jarak sosial, latar belakang etnis, usia, dan hadirnya orang ketiga);
serta maksud dan kehendak tutur (mengajar, menawarkan, mempertegas,
melestarikan budaya, mengkritik, dan bercanda/humor). Agar kredibilitas hasil
penafsiran dapat terjaga, maka ditempuh langkah: (a) diskusi dengan kolega
profesi, (b) pengecekan ulang pada informan, dan (c) konsultasi pada
pembimbing.

1.7.3 Penyajian Data


Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini, yakni berupa deskripsi
dan penjelasan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang diajukan.
Seperti yang telah dinyatakan pada bagian sebelumnya, terkait dengan
penggunaan pendekatan dalam penelitian ini, bahwa pendekatan kualitatif selain
memiliki karakter alamiah, juga menghasilkan data deskriptif. Deskripsi dan
penjelasan tersebut didasarkan pada analisis komponen seperti yang terdapat
dalam kajian etnografi komunikasi.

62

Penyajian data dalam penelitian ini juga menggunakan simbol-simbol,


lambang-lambang kebahasaan, singkatan-singkatan, dan transliterasi bahasa
daerah ke dalam bahasa Indonesia secara terperinci cara penulisan dan
pemaknaannya. Kaidah penyajian data dibedakan menjadi dua model, yaitu
informal dan formal. Model penyajian informal diwujudkan dengan menguraikan
kaidah secara kebahasaan, sedangkan model penyajian formal diwujudkan dengan
menjelaskan kaidah melalui rumus-rumus. Model penyajian informal dipaparkan
langsung dalam setiap analisis, sedangkan model penyajian formal disampaikan
pada akhir analisis sekelompok permasalahan (bandingkan dengan Sudaryanto,
1993: 144 157).

1.7.4 Sumber Data


Sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat tutur Konjo yang
berada di Kecamatan Sinjai Tengah dalam berbagai peristiwa tutur. Pemilihan
lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan situasi kebahasaan di wilayah
tersebut dengan khazanah bahasa Konjo dan dialek Bugis Sinjai yang memiliki
keunikan. Masyarakat tutur Konjo yang berada di wilayah Kecamatan Sinjai
Tengah sebagai titik pengamatan yang utama karena potensi multilingualisme
yang dimiliki oleh masyarakatnya.
Data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data
primer, yaitu data yang berupa tuturan atau bagian tutur lisan dari berbagai
peristiwa tutur dalam berbagai ranah atau domain. Sehubungan dengan itu, data
primer disertasi ini berupa tuturan lisan dari berbagai peristiwa tutur

yang

63

dilakukan oleh masyarakat tutur Konjo di Sinjai. Adapun yang menjadi data
sekunder dalam penelitian ini adalah berupa informasi atau keterangan yang
terkait dengan konteks tutur, baik berupa konteks sosial, konteks budaya, maupun
kondisi situasional dalam masyarakat, yang menjadi penentu terjadinya peristiwa
tutur. Sesuai dengan tujuan dan ruang lingkup penelitian ini, data primer diambil
dari tuturan atau bagian tuturan dalam bahasa-bahasa yang digunakan oleh
masyarakat tutur Konjo di Sinjai. Sementara itu, data sekunder diperoleh dari
keterangan penutur mengenai bahasa-bahasa tersebut di dalam masyarakat serta
informasi atau keterangan dalam bentuk laporan atau tulisan.
Menurut Lofland dan Lofland (1984: 47), sumber data dalam penelitian
kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, sedangkan selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data dalam penelitian ini juga
diperoleh dari narasumber yang dianggap memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai penggunaan bahasa-bahasa yang akan diteliti. Selain itu, narasumber
juga mengetahui latar belakang sejarah daerah penelitian, misalnya para ketua
adat dan pemangku adat. Daerah tempat tinggal penutur dan aktivitas mereka
sehari-hari yang berupa aktivitas verbal dan non-verbal dapat sangat membantu
untuk menentukan kaitan bahasa, budaya, dan geografi dalam kasus multilingual
yang terjadi dalam masyarakat tutur dari bahasa yang diteliti.
Populasi penelitian ini adalah seluruh peristiwa tutur yang dilakukan
oleh masyarakat tutur Konjo di Sinjai dalam berbagai ranah dan dalam berbagai
peristiwa tutur. Data dikumpulkan sebanyak mungkin, yang dianggap mewakili
beberapa ranah kebahasaan. Kemudian contoh dalam penelitian ini ditarik dengan

64

teknik sampel bertujuan atau purposive sampling, yang ditandai dengan ciri-ciri
sebagai berikut. Pertama, sampel tidak dapat ditentukan atau ditarik terlebih
dahulu. Kedua, tiap satuan sampel dipilih untuk memperluas informasi, dan
ketiga, sampel dipilih bedasarkan fokus penelitian (Moleong, 2000: 165).

1.8 Sistematika Pembahasan


Hasil penelitian dan pembahasan tentang Pemilihan Bahasa dalam
Masyarakat Tutur Konjo di Sinjai disajikan ke dalam lima bab. Bab pertama
berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan dan hasil yang
diharapkan, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika
penyajian. Pada bab kedua dideskripsikan situasi kebahasaan dalam masyarakat
tutur Konjo di Sinjai, yang meliputi gambaran umum masyarakat dan kebudayaan
Sinjai, gambaran umum multilingualisme masyarakatnya, dan gambaran umum
mengenai bahasa-bahasa yang digunakan serta deskripsi struktur linguistik
bahasa-bahasa tersebut. Pada bab ketiga dideskripsikan dan dijelaskan mengenai
variasi pola pemilihan bahasa masyarakatnya. Bab keempat berisi penjelasan
mengenai faktor penentu pemilihan bahasa masyarakat tutur Konjo di Sinjai serta
fungsi bahasa-bahasa yang digunakan. Bab kelima berisi simpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai