Chapter 1
Chapter 1
PENDAHULUAN
masyarakatnya.
Kondisi
tersebut
menyebabkan
masyarakat
tempat kelahiran atau tempat dia dibesarkan, pendidikan, kelompok sosial, bahkan
pekerjaannya. Pemilihan bahasa atau ragam bahasa tersebut didasarkan pada
variabel-variabel tertentu, seperti siapa yang berbicara, kepada siapa dia berbicara,
tentang apa yang dibicarakan, dan dimana peristiwa tutur itu terjadi. Selain itu,
dalam berbicara (disadari atau tidak), seseorang mengubah cara berbicara yang
disesuaikan dengan siapa dia berbicara, tingkat keakraban dengan lawan bicara,
dan suasana sekeliling sewaktu proses tuturan berlangsung. Hal tersebut menuntut
setiap anggota masyarakat tutur untuk memiliki kompetensi sosiolinguistik agar
mampu menggunakan bahasa dalam suatu peristiwa tutur tertentu.
Kebiasaan menggunakan bahasa daerah sendiri di luar wilayah bahasa
itu selain menunjukkan dinamika linguistik masyarakat bahasa tersebut, juga
dapat menyebabkan terciptanya masyarakat bilingual. Bahkan, pada tingkattingkat tertentu, dapat membentuk masyarakat multilingual (multilingual society).
Pada masyarakat bilingual maupun multilingual, terdapat pola keanekabahasaan
yang mampu menunjukkan kedudukan dan fungsi bahasa yang terdapat di dalam
repertoire bahasa masyarakat tersebut. Sumarsono dan Paina (2002: 165)
menyatakan bahwa masyarakat multilingual terjadi karena terbentuk dari beberapa
etnis, sehingga masyarakat itu dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural
society). Sementara itu, Wardhaugh (1986: 94) mengemukakan bahwa
multilingualisme mungkin saja terjadi yang disebabkan oleh adanya imigrasi atau
Contoh kasus multilingualisme yang menarik dalam masyarakat Tukano, bagian barat laut
Amazon, yang merupakan batas wilayah Colombia dan Brazil (Sorensen, 1971). Masyarakat
Tukano adalah masyarakat multilingual karena ada aturan bagi kaum laki-laki untuk menikahi
perempuan yang berasal dari luar kelompok bahasa mereka, sehingga dalam sebuah keluarga tidak
ada suami yang memiliki istri dari suku yang sama atau yang menuturkan bahasa yang sama. Ada
anggapan bahwa jika mereka menikahi wanita dari suku mereka, maka dianggap sebagai sebuah
pelanggaran incest. Oleh karena itu, kaum laki-lakinya harus mencari istri dari suku lain yang
menuturkan bahasa yang berbeda.
2
Palenkahu, dkk (1974) menggunakan istilah Dialek Enna untuk menggambarkan bahasa Bugis
yang digunakan di bagian selatan Kabupaten Bone (Mara), bagian Timur Laut Kabupaten Maros
(Camba), sebagian besar Kabupaten Sinjai, dan bagian utara Kabupaten Bulukumba. Demikian
pula halnya dengan Grimes dan Grimes (1987) yang menggunakan istilah Dialek Enna yang
dituturkan di tiga kabupaten, yaitu Bone, Sinjai, dan Bulukumba.
2.
BI
DBS
BK
BI
DBS
:
:
:
:
:
3
Andaya (2004) menuliskan bahwa pada abad ke-16, Bulo-Bulo, Lamatti, dan Terasa (yang
tergabung dalam kerajaan Pitu Limpoe) memutuskan untuk mengubah persekutuan mereka dari
kerajaan Gowa ke kerajaan Bone sehingga perang antara dua kerajaan tersebut tidak dapat
dihindarkan.
3.
BK
BI
DBS
BK
:
:
:
:
Contoh tersebut merupakan salah satu bukti bahwa antara kedua bahasa
daerah yang digunakan oleh mayoritas penduduk di Sinjai Tengah sangat berbeda
dan tidak memungkinkan adanya kesalingpahaman. Dengan demikian, dalam
interaksi sosial kemasyarakatan, sangat memungkinkan jika digunakan juga
bahasa lain yang dapat dipahami oleh kedua etnis tersebut serta oleh etnis lain
yang berdomisili di Kabupaten Sinjai.
Bahasa yang dianggap sebagai lingua franca lokal, yaitu dialek Melayu
Bugis4. Penggunaan istilah Melayu Bugis dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
memperjelas perbedaan dengan dialek Melayu Makassar yang umum digunakan
di kota Makassar sebagai wahana dalam masyarakat yang multietnis. Dalam
Melayu Bugis, varian yang digunakan memang berasal dari Melayu Makassar,
tetapi dengan beberapa perubahan pelafalan dan sejumlah kosakata, yang juga
melambangkan identitas Bugis sehingga varian ini dikatakan Melayu Bugis5.
Kedua dialek bahasa Melayu ini, Bugis dan Makassar termasuk bahasa
aglutinatif, yaitu unsur-unsur verbal nominal dan partikel dipadukan dan
Sehubungan dengan penggunaan istilah tersebut, dinyatakan bahwa Bugis dan Makassar tetap
merupakan dua etnis berbeda. Walaupun bahasa Bugis dan bahasa Makassar mempunyai
hubungan kebahasaan yang dekat, akan tetapi kedua belah pihak tidak dapat saling memahami
apabila mereka berkomunikasi dengan bahasa masing-masing. Bahkan, dari empat bahasa utama
yang ada di Sulawesi Selatan, bahasa Bugis dan bahasa Makassar yang paling berbeda (dalam
Pelras, The Bugis 1996; Mills, Proto South Sulawesi, 1975).
5
Hal yang sama dengan proses penamaan varian Melayu Gorontalo, seperti yang dikemukakan
dalam Collins (2010).
disambung menjadi dua kata yang panjang. Kata itu tidak dapat dipisahkan, serta
kadang-kadang tidak dapat disisipkan (Collins, 2010: 14). Dialek Melayu Bugis
(selanjutnya disingkat DMB) merupakan dialek Melayu yang dipengaruhi unsur
bahasa Bugis. DMB cenderung berbeda dengan dialek Melayu Makassar. Pada
sistem fonologi dan pola intonasi, lebih dominan pengaruh unsur bahasa Bugis.
Penggunaan DMB sering dijumpai, terutama di ibukota kecamatan dalam
berbagai keperluan, misalnya di kantor, di pasar, di masjid, dan di tempat-tempat
umum lainnya. Dialek Melayu Bugis ini digunakan bersama dengan bahasa
Indonesia dan menjadi sarana komunikasi warga Sinjai yang berasal dari luar
etnis Bugis dan etnis Konjo.
Menurut Gunarwan (2003: 55), ada beberapa faktor yang menyebabkan
suatu bahasa menyusup ke dalam masyarakat bahasa yang lain sehingga
masyarakat itu menjadi bilingual, bahkan multilingual, yaitu: pertama, bahasa itu
dipaksa melalui kekuatan militer; kedua, bahasa itu dipakai oleh penguasa di
wilayah baru, paling tidak beberapa abad; ketiga, bahasa itu diperkenalkan ke
wilayah multilingual sehingga bahasa itu berfungsi sebagai alat komunikasi
antarkelompok; dan keempat, penguasaan atas bahasa yang semula dipaksakan itu
ternyata memberikan keuntungan dan maslahat bagi orang-orang setempat yang
menggunakaannya, selain melalui cara migrasi atau transmigrasi. Masuknya
Melayu Bugis dan Bahasa Indonesia di Kabupaten Sinjai melalui cara yang
ketiga, yaitu bahasa tersebut diperkenalkan kemudian digunakan sebagai bahasa
penghubung antara dua penutur bahasa daerah yang berbeda. Bahasa Indonesia
menjadi bahasa formal sedangkan Melayu Bugis menjadi mitra informal yang
dipakai berdampingan dengan bahasa daerah setempat.
Penggunaan bahasa lain, selain BK sebagai bahasa ibu, menunjukkan
kemampuan multilingual masyarakat di wilayah ini. Adanya sikap akomodatif
masyarakat tutur Konjo terhadap bahasa lain memudahkan penerimaan bahasa itu
untuk digunakan sebagai sarana komunikasi. Misalnya, sikap terbuka terhadap BI
atau DMB yang tidak hanya digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia
pendidikan, tetapi juga digunakan sebagai sarana komunikasi antaretnis. Setiap
anggota masyarakat tutur cenderung menjadi penutur multilingual dan mengetahui
benar dalam situasi sosial yang bagaimana mereka harus menggunakan salah satu
bahasa yang dikuasai.
Mobilitas penutur juga memberikan pengaruh terhadap kemampuan
berbahasa yang dimiliki. Ada kecenderungan bagi penutur mobilitas tinggi
(misalnya pedagang), yang sering melakukan kontak sosial dengan penutur bahasa
lain, berpeluang lebih besar untuk menjadi penutur multilingual. Demikian pula
halnya dengan penutur BK yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan
sudah berdomisili di ibukota kecamatan atau ibukota kabupaten. Mereka
cenderung untuk lebih sering menggunakan DBS, DMB, dan BI daripada BK
dalam keseharian mereka. BK digunakan hanya pada saat mereka di rumah atau
ketika mereka pulang kampung atau ketika mereka bertemu dengan sesama
penutur BK. Hal tersebut berbeda jika dibandingkan dengan penutur yang
mobilitasnya rendah, misalnya penutur berusia tua yang bekerja sebagai petani
yang tidak memiliki kecenderungan multilingual.
yang
disampaikan
tersebut
menunjukkan
rumitnya
10
11
c.
menjelaskan
faktor-faktor
yang
menentukan
pemilihan
bahasa
multilingual.
Melalui
penelitian
diperoleh
gambaran
masyarakat
kemampuan
12
penutur.
Kemampuan
komunikatif
yang
dimaksud
adalah
13
14
Topik ini terkait erat juga dengan tulisan Grosjean yang lain, yaitu Studying Bilinguals:
Methodological and Conceptual Issues (2006), dalam Bhatia, Tej K. dan William C Ritchie
(eds). 2006. The Handbook of Bilingualism. Hal. 32 63. USA-UK-Australia: Blackwell
Publishing.
15
aptitude atau bakat kecerdasan yang dimiliki oleh seorang penutur untuk
mempelajari bahasa selain bahasa ibunya, hampir selalu ditentukan oleh faktor
kemampuan yang dimilikinya terhadap bahasa yang dipelajari. Tes mengenai
bakat pembelajaran bahasa kedua telah tersedia dan telah digunakan, tetapi hal itu
masih harus dikomparasikan dengan jumlah dan jenis interferensi. Ciri yang
kedua, switching facility, yaitu pergantian dari satu bahasa ke bahasa yang lain
bergantung sepenuhnya pada perubahan dalam situasi tutur yang melibatkan
interlokutor, topik, dan sebagainya.
Selanjutnya, dalam penelitian Hymes (1964) Language in Culture and
Society, dibicarakan mengenai etnografi komunikasi 7 , yang menggambarkan
sebuah pendekatan baru untuk memahami bahasa yang digunakan. Hymes
bertujuan menjauhkan anggapan bahwa tuturan sebagai model abstrak dan
menyelidiki keragaman tuturan seperti yang ditemukan dalam penelitian etnografi
di lapangan. Hymes mengemukakan bahwa studi tentang bahasa harus
diperhatikan secara tersendiri dengan mendeskripsikan dan menganalisis
kemampuan dari penutur asli dalam menggunakan bahasa untuk komunikasi pada
situasi nyata atau yang disebut sebagai Kompetensi Komunikatif. Hal tersebut
berarti bahwa studi bahasa tidak hanya dibatasi pada upaya penggambaran
kemampuan potensial pembicara atau pendengar yang sesuai untuk menghasilkan
kalimat yang benar secara tata bahasa (Kompetensi Linguistik). Penutur bahasa
dalam masyarakat tertentu yang mampu berkomunikasi satu sama lain dengan
Topik mengenai etnografi komunikasi juga dibahas oleh Fasold (1990) dalam The
Sociolinguistics of Language
16
cara yang tidak hanya benar tapi juga sesuai dengan konteks sosial budaya.
Kemampuan ini melibatkan pengetahuan bersama tentang kode linguistik
termasuk aturan-aturan sosial-budaya, norma-norma, dan nilai-nilai yang
membimbing perilaku serta interpretasi tuturan dan sarana komunikasi lainnya
dalam suatu komunitas.
Selain penelitian yang telah dilakukan di mancanegara, berdasarkan
penelusuran pustaka pada sumber yang dapat dijangkau, di Indonesia ditemukan
beberapa penelitian yang terkait dengan ikhwal penggunaan bahasa yang dapat
dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Beberapa di antaranya akan
dipaparkan dalam tulisan ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Poedjosoedarmo dkk. (1982) tentang
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Jawa yang mengungkapkan tentang peran bahasa
Jawa dalam kaitan dengan bahasa Indonesia. Dalam penelitian tersebut, dibahas
penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia pada berbagai komponen tutur dan
disimpulkan bahwa fungsi kedua bahasa tersebut tidaklah dengan mudah dapat
dibagi-bagi seperti yang telah digambarkan oleh Ferguson. Dinyatakan bahwa
suatu keadaan yang bersifat diglosik tersebut berkembang, maka pembagian
fungsi kebahasaan oleh bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya biasanya
bersifat pilah betul, artinya jarang sekali terjadi tumpang tindih bahasa.
Selanjutnya, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa komponen yang sangat
penting dalam menentukan bentuk kode tutur yang terlontar dari mulut seorang
penutur, yaitu suasana tutur, keadaan O2, latar belakang O1, hasrat O2, pokok
pembicaraan, sarana tutur, dan arti dari tiap-tiap kode tutur yang terpakai dalam
17
18
19
20
21
22
23
terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh
sosiologi (Trudgill, 1984: 1; Wardhaugh, 1986: 4; Holmes, 1992: 1; Hudson,
1996: 2). Istilah sosiolinguistik muncul pertama kali tahun 1952, yaitu dalam
karya Haver C. Currie (Dittmar, 1976: 27) yang menyatakan bahwa perlu adanya
kajian mengenai hubungan antara perilaku ujaran dan status sosial. Kemudian
pada akhir tahun 1954, sosiolinguistik mulai berkembang dan dipelopori oleh
Committee on Sociolinguistics of The Social Science Research Council (1964) dan
Research Committee on Sociolinguistics of the International Sociology
Association (1967). Jurnal sosiolinguistik baru terbit pada awal tahun 70-an, yakni
Language in Society (1972) dan International Journal of Sociology of Language
(1974). Berdasarkan hal itu, sosiolinguistik dapat dianggap sebagai disiplin ilmu
yang relatif baru.
Selama ini pengkajian sosiolinguistik dilakukan pada dua tingkat
analisis, yaitu tingkat makro dan tingkat mikro. Pengkajian pada tingkat makro
menekankan perilaku bahasa dari seluruh masyarakat bahasa, sedangkan tingkat
mikro memfokuskan kajian pada perilaku individu di dalam interaksi secara
langsung (bersemuka). Selain kedua tingkat analisis itu, terdapat pula bidang yang
selama ini merupakan pokok bahasan penelitian psikologi sosial yang
diperkenalkan ke dalam analisis bilingualisme, yaitu sikap bahasa dan
etnosentrisme. Perilaku bahasa seperti akomodasi bahasa juga memanfaatkan
tradisi dan konsep-konsep penelitian yang umum pada penelitian psikologi sosial.
Gumperz (1972: 4) memberikan alasan untuk membedakan kajian mikro
dengan kajian makro karena asumsi teoretis dan ancangan metodologis yang harus
24
25
26
sedangkan Labov terlalu luas dan terbuka. Masyarakat tutur yang besar dan
beragam memperoleh verbal repertoire-nya dari pengalaman atau dari adanya
interaksi verbal langsung dalam kegiatan tertentu.
Fishman (1975: 76) memberikan batasan bahwa sebagai suatu
masyarakat yang anggotanya, setidaknya mengenal satu variasi tutur beserta
norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya. Suatu masyarakat dapat
dikatakan sebagai masyarakat tutur apabila masyarakat atau sekelompok orang itu
memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama
terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan. Jadi, masyarakat tutur
bukan sekadar kelompok orang-orang yang menggunakan bentuk yang sama,
melainkan juga kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam
menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang ada. Adapun yang dimaksud dengan
verbal repertoire adalah kemampuan yang sejajar dengan kemampuan
komunikatif. Hal itu dapat diberi batasan sebagai kemampuan bahasa yang
dimiliki penutur beserta keterampilan mengungkapkan sesuai dengan fungsi,
situasi, dan konteks (sosial dan kultural).
Masyarakat tutur merupakan konsep dalam sosiolinguistik yang
menggambarkan suatu kelompok masyarakat yang menggunakan suatu bahasa
yang memiliki ciri tersendiri yang berterima dalam kelompok mereka dan dapat
mereka pahami bersama. Pemaknaan masyarakat tutur dapat dipertegas dengan
melihat dari sudut pandang hubungan kemasyarakatan. Mengutip pendapat
Redfield dalam Koentjaraningrat (1990: 139) bahwa secara antropologis,
masyarakat didefinisikan sebagai sebuah satuan sosial yang utuh, yang terikat
27
pada suatu tempat dengan ciri-ciri alamiah yang khas, sehingga merupakan bagian
dari suatu sistem ekologi yang utuh. Pendapat tersebut mempertegas bahwa
masyarakat tutur merupakan satuan sosial yang utuh, yang memiliki ciri alamiah
tertentu dan melakukan aktivitas tutur di suatu tempat tertentu.
Ditinjau dari sudut pandang linguistik, masyarakat tutur dapat diartikan
sebagai suatu masyarakat yang setiap individunya berbicara dengan menggunakan
bahasa yang sama, dialek yang sama, atau variasi bahasa yang sama, seperti
menggunakan kode yang sama (Wardhaugh, 1986: 113). Meskipun demikian,
penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat tidak dapat dilepaskan dari faktor
eksternal, yakni faktor sosial dan faktor budaya. Pendapat tersebut didukung
dengan adanya batasan definisi mengenai masyarakat tutur yang dipengaruhi lebih
pada faktor sosial dibandingkan faktor linguistik (Romaine, 1994: 22).
Jika merujuk pada kepemilikan bahasa, dapat dikatakan bahwa bahasa
merupakan milik individu dan sosial (Wardhaugh, 1986: 113), sehingga dapat
dikatakan bahwa masyarakat tutur merupakan kumpulan individu dengan latar
belakang sosial yang sama, yang menggunakan bahasa yang dapat berterima di
antara mereka. Berdasarkan pendapat dari sudut pandang linguistik dan hubungan
kemasyarakatan, dapatlah disatukan untuk menjelaskan definisi masyarakat tutur,
yaitu sebagai suatu kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang sosial dan
budaya yang sama serta berkomunikasi dengan bahasa yang dapat berterima di
antara anggota masyarakat tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut, Wijana (2006, 46) menyatakan bahwa
masyarakat tutur adalah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang
28
Troike memberikan contoh masyarakat Armenia yang menetap di Amerika Serikat, yang tetap
menggunakan bahasa ibu mereka untuk berkomunikasi dalam ranah keluarga, ranah keagamaan,
dan ranah sosial dalam kelompok mereka. Sedangkan untuk berkomunikasi dengan anggota
masyarakat tutur yang luas, mereka menggunakan bahasa Inggris.
29
30
tutur,
dan
mengesampingkan
faktor
luar
dari
komunikasi
31
metalinguistik, yaitu referensi pada bahasa itu sendiri (Hymes, 1972c: 117;
Saville-Troike, 2003: 13).
Kategori fungsi tersebut sama dengan pembagian illocutionary act yang
diajukan oleh Searle (1985: 54, dalam Troike, 2003: 13), yang meliputi aspek
representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi. Meskipun demikian,
terdapat perbedaan dalam perspektif dan ruang lingkup yang memisahkan bidang
etnografi komunikasi (ethnography of communication) dengan teori tindak tutur
(speech act theory). Salah satu di antaranya adalah fokus utama pada bentuk,
yang dalam teori tindak tutur menekankan pada analisis kalimat, sedangkan dalam
etnografi komunikasi, aspek utama yang dideskripsikan adalah sudut pandang
fungsional. Meskipun kadangkala fungsi tersebut sama dengan sebuah kalimat
gramatikal, tetapi sering juga tidak, atau kadangkala sebuah kalimat tunggal
memiliki beberapa fungsi secara simultan.
Lebih lanjut lagi, jika para ahli dalam teori tindak tutur pada umumnya
mengesampingkan fungsi metaforis dan fungsi fatik dalam penelitian bahasa, hal
tersebut justru merupakan fokus utama dalam penjelasan etnografis (SavilleTroike, 2003: 13). Appel dan Muysken (1987: 118) mengemukakan enam fungsi
bahasa seperti yang disampaikan oleh Jacobson (1990), yaitu fungsi referensial,
fungsi direktif, fungsi ekspresif, fungsi fatis, fungsi metalinguistik, dan fungsi
puitik. Fungsi referensial mengatasi masalah keterbatasan profesional bahasa
kedua yang digunakan oleh penutur dalam tindak komunikasi. Fungsi
direktif/arahan bahasa digunakan untuk melibatkan atau tidak melibatkan
penutur lain dalam tindak komunikasi. Fungsi ekspresif memberi penekanan
32
33
34
bahasa penutur dalam interaksi sosial, yaitu (1) latar, yang terkait waktu dan
tempat serta situasi; (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4)
fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa kegiatan yang berlangsung di
sebuah tempat, seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di kantor
kelurahan, dan tawar-menawar barang di pasar.
Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan,
status sosial-ekonomi, dan perannya dalam hubungan dengan mitra tutur.
Hubungan dengan mitra tutur dapat berupa hubungan akrab dan hubungan
berjarak. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, peristiwa-peristiwa
aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat berupa fungsi interaksi
seperti penawaran, menyampaikan informasi, permohonan, kebiasaan rutin
(salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).
Senada dengan Ervin-Tripp, Grosjean (1982: 136) mengemukakan
empat faktor yang mempengaruhi pemilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu
(1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi. Faktor situasi
mengacu pada lokasi atau latar, kehadiran pembicara monolingual, tingkat
formalitas, dan tingkat keakraban. Faktor isi wacana mengacu pada topik
pembicaraan dan tipe kosakata. Faktor fungsi interaksi mencakupi beberapa
aspek,
yaitu
menaikkan
status,
penciptaan
jarak
sosial,
melarang
35
36
bahasa
terjadi
dalam
masyarakat
bilingual
maupun
37
pertamanya (disingkat B1) dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi
bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa
itu disebut orang yang bilingual (dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk
menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas atau kedwibahasawanan (Chaer
dan Agustina, 2004: 84).
Bloomfield (1933: 54) mengemukakan bahwa bilingualisme merujuk
pada gejala penguasaan bahasa kedua dengan derajat penguasaan yang sama
seperti penutur asli bahasa itu. Bilingualitas sebagai penguasaan yang sama
baiknya atas dua bahasa (native like control of two languages). Penguasaan dua
bahasa dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah
sulit diukur. Konsep Bloomfield ini banyak dipertanyakan karena beberapa hal.
Pertama, bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur
terhadap dua buah bahasa yang digunakannya. Kedua, mungkinkah ada seorang
penutur yang dapat menggunakan B2-nya sama baik dengan B1-nya.
Kesempatan untuk menggunakan B1 lebih terbuka daripada kesempatan
untuk menggunakan B2 dalam situasi yang biasa, atau sebaliknya, seseorang yang
terlalu lama tinggal dalam masyarakat tutur B2-nya (terlepas dari masyarakat tutur
B1-nya), akan memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menggunakan B2-nya
daripada B1-nya. Oleh karena itu, batasan Bloomfield mengenai hubungan
bilingualisme ini banyak dimodifikasi orang. Robert Lado (1964, dalam
Bloomfield, 1933) berpendapat bahwa bilingualisme merupakan kemampuan
menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama
38
baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa
bagaimanapun tingkatnya.
Penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya.
Menurut MacKey (1968:555), bilingualisme merupakan praktik penggunaan
bahasa secara bergantian, dari satu bahasa ke bahasa lain, oleh seorang penutur.
Bilingualitas merupakan kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh
seseorang (the alternate use of two or more languages by the same individual).
Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan bilingualitas dilihat
dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang
tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu: mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis.
Beberapa jenis pembagian bilingualitas berdasarkan pada tipologi
bilingual,
yang
meliputi;
pertama,
Bilingualitas
Majemuk
(compound
39
40
Sehubungan
dengan
pemikiran
mengenai
bilingualisme
atau
terbentuk karena beberapa etnis ikut membentuk masyarakat sehingga dari segi
etnis bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society). Kondisi
masyarakat tutur yang seperti itu terkait erat dengan adanya diglosia serta kode
dan alih kode.
1.6.2.2 Diglosia
Fishman (1972: 92) menganjurkan bahwa dalam mengkaji masyarakat
bilingual maupun masyarakat multilingual, hendaknya diperhatikan kaitannya
dengan ada atau tidaknya diglosia. Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis
diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis. Diglosia
merupakan istilah yang pertama kali dimunculkan oleh Ferguson (1959: 16) untuk
melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara-negara Arab,
Swiss, dan Haiti. Diglosia merujuk pada ragam bahasa yang mempunyai peran
dan fungsi berbeda dalam suatu masyarakat tutur. Hal tersebut dapat kita lihat
melalui penggambaran Ferguson mengenai situasi diglosia seperti berikut:
Diglossia is a relatively stable language situation in which, in addition
to the primary dialects of the languages (which may include a standard
or regional standard), there is a very divergent, highly codified (often
grammatically more complex) superposed variety, the vehicle of a large
and respected body of written literature, either of an earlier period or in
other speech community, which is learned largerly by formal education
41
and is used for most written and formal spoken purposes but is not used
by any sector of the community for ordinary conversation.
Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, yang selain
adanya dialek-dialek utama dari bahasa (mungkin meliputi ragam-ragam baku
setempat), juga dikenal suatu ragam yang ditinggikan, yang sangat berbeda,
terkodifikasikan secara rapi (dan tatabahasanya lebih rumit), yang berasal dari
waktu lampau atau berasal dari masyarakat bahasa lain, yang dipelajari melalui
pendidikan formal dan sebagian besar digunakan untuk keperluan formal lisan dan
tertulis tetapi tidak digunakan di sektor apa pun di dalam masyarakat itu untuk
percakapan sehari-hari.
Pengertian diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman (1972: 92).
Istilah diglosia tidak hanya dikenakan pada ragam tinggi dan rendah dari bahasa
yang sama akan tetapi, juga dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak
serumpun. Hal yang menjadi penekanan utamanya adalah perbedaan fungsi kedua
bahasa atau ragam bahasa yang dimaksudkan. Selain itu, Fishman juga
berpendapat bahwa diglosia tidak hanya terdapat dalam masyarakat monolingual,
tetapi lebih dari itu diglosia juga mengacu pada keadaan pemakaian dua bahasa
yang berbeda dengan fungsi dan perannya.
Selain perbedaan tersebut, terdapat persamaan antara keduanya, yaitu
bahwa ragam-ragam bahasa itu mengisi fungsi masing-masing dan bahwa ragam
tinggi (T) hanya digunakan dalam situasi resmi sedangkan ragam rendah (R)
digunakan dalam situasi yang tidak atau kurang resmi. Oleh Fishman (1972: 92),
diglosia diartikan sebagai berikut. diglossia exist not only in multilingual
42
societies which officially recognize several languages, and not only in societies
which employ separate dialects, register, or functionally differentiated language
varieties of whatever kind (diglosia tidak hanya terdapat di dalam masyarakat
multilingual yang secara resmi mengakui beberapa bahasa, dan tidak hanya
terdapat di dalam masyarakat yang menggunakan ragam sehari-hari dan klasik,
tetapi terdapat juga di dalam masyarakat yang menggunakan bahasa yang
menggunakan dialek, register, ataupun bahasa yang berbeda secara fungsional).
Menurut Wijana (2000: 13), varietas bahasa yang digunakan di dalam
situasi diglosia dapat berupa satu bahasa tertentu dengan dialeknya atau satu
bahasa tertentu dengan bahasa lainnya yang berbeda atau yang tidak saling paham
(mutually unintelligible) sifatnya. Berdasarkan hal itu, dapat dijelaskan bahwa
diglosia berhubungan dengan situasi kebahasaan yang mengharuskan pemisahan
secara fungsional atas variasi-variasi bahasa. Salah satu variasi bahasa diberi
status variasi tinggi (T), sedangkan variasi lainnya diberi status variasi rendah (R).
Variasi tersebut hidup berdampingan dan mempunyai peranan tertentu. Variasi T
dipergunakan dalam situasi resmi, sedangkan variasi R dipergunakan untuk situasi
tidak resmi. Variasi R, misalnya digunakan dalam domain keluarga, sedangkan
variasi T sering digunakan dalam domain yang lebih formal, misalnya dalam
bidang pendidikan dan perkantoran. Kedua variasi itu memiliki perbedaan ciri,
variasi R bersifat sederhana, sedangkan variasi T bersifat kompleks dan
konservatif.
Melalui Troike (2003: 45), dinyatakan bahwa diglosia merupakan salah
satu contoh nyata bentuk pemilihan bahasa yang disesuaikan dengan ranah
43
pemakaiannya. Diglosia merujuk pada situasi dua bahasa atau lebih (atau
varietas/dialek dari bahasa yang sama) dalam sebuah masyarakat tutur yang
ditempatkan pada konteks dan fungsi sosial yang berbeda. Sejalan dengan
tersebut, Holmes (1992: 32) mengetengahkan tiga penanda atau kriteria diglosia,
yaitu:
1. Two distinct varieties of the same language are used in the community
with one regarded as a high (or H) variety and the other a low (or L)
variety.
2. Each variety is used for quite distinct functions; H and L complement
each other.
3. No one uses the H variety in everyday conversation.
Atas
dasar
kriteria
tersebut,
dapat
dijelaskan
bahwa
diglosia
44
45
BILINGUALISM
1. Both diglossia
and bilingualism
2. Bilingualism
without diglossia
3. Diglossia without
bilingualism
4. Neither diglossia
nor bilingualism
DIGLOSSIA
46
dalam masyarakat Konjo dikenal juga varian santun yang diperlihatkan melalui
penggunaan bentuk honorifik tertentu.
47
fonologi dan leksikon. Hal tersebut disebabkan karena kedua unsur itu yang
paling mudah terjadi perubahan dan tentu saja hal demikian juga terkait dengan
hakikat bahasa sebagai sistem bunyi yang pertama kali. Tidak semua bahasa
memiliki kosa kode yang sama dalam inventarisasinya.
Terkait dengan gejala alih kode, seringkali muncul kontroversi dalam
membedakan konsep pertukaran kode dangan konsep pinjaman (Scotton,
2000: 143).9 Sebagian ahli mengemukakan bahwa fenomena ini harus dibedakan,
sedangkan sebagian ahli justru berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa konsep ini
tidak seharusnya ditafsirkan sebagai entitas yang berlainan. Muysken (1995:189)
mendefinisikan dengan jelas kedua konsep ini, yaitu pertukaran kode
merupakan penggunaan dua bahasa dalam satu klausa atau ujaran sedangkan
pinjaman leksikal melibatkan penyerapan (incorporation) elemen leksikal dari
satu bahasa ke dalam leksikon bahasa lain.
Alih kode melibatkan peralihan atau pergantian kode, percampuran
kode, dan peminjaman kode. Penelitian tentang alih kode dapat dikatakan suatu
paradigma dalam mempelajari linguistik bilingualisme (Gumperz: 1970: 131).
Peralihan kode ditafsirkan sebagai alternasi dalam penggunaan dua bahasa atau
lebih dalam pertuturan yang sama (Muysken dan Milroy, 1995: 7). Sementara itu,
Scotton (2000: 142) mendefinisikan pertukaran atau peralihan kode sebagai
penggunaan dua atau lebih jenis unsur linguistik dalam satu pertuturan yang
Menurut Chloros (1995:73, dalam Chong, 2012: 13), terdapat tiga kategori yang tidak
membedakan antara pertukaran kode dan pinjaman, yaitu: (a) berlakunya integrasi morfofonemik
dengan bahasa sekitar pinjaman danpertukaran kode dapat berintegrasi secara morfologi dan
fonologi bahasa sekitarnya maupun sebaliknya, bergantung dari faktor linguistik danindividu; (b)
penggantian kata sinonim yang asli oleh bahasa sekitar; dan (c) kategori dalam tata bahasa
berpotensi untuk meminjam dan tidak terbatas pada kategori tertentu.
48
sama tanpa asimilasi yang nyata dari segi fonologi. Selain itu, definisi Poplack
(2000: 224) tentang alih kode adalah alternasi dua bahasa di dalam suatu wacana,
kalimat, dan bagian yang tunggal.
Auer (1995: 124) telah mendeskripsikan empat bentuk pemilihan bahasa
dalam pertuturan, yaitu: pertama, pertukaran yang berkaitan dengan wacana
pertukaran dari kode A ke kode B. Pada awal tuturan, kedua penutur
menggunakan bahasa matriks.10 Kemudian, seseorang beralih ke bahasa B, yang
selanjutnya diikuti oleh penutur kedua dengan menggunakan bahasa B.
Bentuk pemilihan bahasa yang kedua, pertukaran yang berkaitan dengan
pilihan (preference-related) atau negosiasi bahasa, antara kedua partisipan
mencari persetujuan dalam menggunakan suatu kode untuk pertuturan. Artinya,
pada awalnya kedua penutur menggunakan bahasa yang berbeda (bahasa A dan
bahasa B). Kemudian salah satu dari penutur tersebut mengubah bahasa dan
akhirnya, keduanya menggunakan satu bahasa saja (baik itu bahasa A atau bahasa
B).
Bentuk yang ketiga berupa pertukaran di antara dua bahasa. Akan tetapi,
tidak satu pun bahasa (baik bahasa A maupun bahasa B) yang dapat diputuskan
sebagai bahasa dasar. Dalam hal ini, penutur mungkin menukar kode dari kalimat
ke kalimat atau klausa ke klausa dalam kalimat yang sama. Dengan demikian,
pemilihan bahasa adalah terbuka dan salah satu dari penutur yang mungkin
10
Scotton (1992) menggunakan istilah bahasa sematan (embedded language) untuk merujuk pada
percampuran kode bahasa dan bahasa matriks (matrix language) untuk merujuk bahasa dasar
dalam kalimat.
49
akan mengambil keputusan untuk memilih salah satu bahasa (baik bahasa A atau
bahasa B), penutur yang lain akan menuruti bahasa pilihannya.
Bentuk yang keempat berupa penyisipan (insertion), yaitu: elemen
bahasa B (misalnya, kata atau struktur bahasa lain) disisipkan ke dalam bahasa
dasar (bahasa A). Alih kode yang demikian itu sering didasarkan pada
pengetahuan etnografi, misalnya, latar belakang interaksi dan konteks budaya
penutur.
Alih kode, oleh Gumperz (1982: 59, 1976 dalam Troike, 2003:48)
didefinisikan sebagai pergantian bahasa dalam sebuah peristiwa tutur atau
penggunaan dua buah sistem gramatikal atau bagian-bagiannya dalam satu tuturan
secara bergantian. Hymes (1971: 103) memunculkan batasan mengenai alih kode,
yakni istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua
bahasa atau lebih, beberapa variasi bahasa dari satu bahasa, atau bahkan beberapa
gaya dari suatu ragam. Menurutnya, alih kode intern (internal code-switching)
terjadi antarbahasa daerah dalam suatu bahasa nasional, antardialek dalam satu
bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu
dialek. Selanjutnya, alih kode ekstern (external code-switching), yaitu apabila
yang terjadi adalah antara bahasa asli dan bahasa asing.
Poedjosoedarmo (1975: 45) menjelaskan bahwa pada waktu bercakap,
seorang pembicara sering mengganti kode bahasanya, baik disadari maupun tidak
disadari oleh O1. Akibatnya, dia telah menyuguhkan arti kode yang bermacammacam pula. Hal itu sangat bisa terjadi karena gejala alih kode timbul disebabkan
oleh faktor komponen bahasa yang bermacam-macam. Kadang-kadang karena
50
51
variasi-variasi bahasa dalam bahasa yang sama atau mungkin gaya bahasanya
dalam suatu masyarakat tutur bilingual ataupun multilingual. Namun demikian,
fokus perhatian yang akan diberikan adalah pada pemakaian kode yang bergantian
atas variasi bahasa yang menyangkut penggunaan beberapa bahasa.
berdiri sendiri atau terpisah dari sistem sosial dan budaya lain yang hidup dalam
sebuah masyarakat. Dalam hal ini, Hymes menerapkan pelbagai disiplin dalam
membicarakan, membahas, dan menguraikan bahasa. Dengan menganggap bahasa
sebagai bagian yang bersifat integral dari organisasi sosio-budaya serta perlakuan
yang umum, Hymes menganjurkan penelitian yang melihat bahasa bukan sebagai
sesuatu yang terpisah atau sebagai hubungan erat yang abstrak dari masyarakat
yang menuturkannya, melainkan terbentuk dalam keadaan dan pola yang
senantiasa berubah-ubah.
Hymes menggunakan pendekatan etnografi pertuturan atau etnografi
komunikasi untuk mengungkapkan teori sosiolinguistik-nya. Dalam meneliti
52
53
54
55
Ends atau hasil, yaitu hasil atau tanggapan dari suatu pembicaraan yang
memang diharapkan oleh penutur (ends as outcomes) dan tujuan akhir
pembicaraan (ends in views goals). Sebuah tuturan mungkin bertujuan
menyampaikan buah pikiran, membujuk, dan mengubah perilaku (konatif). Act
sequences (topik tuturan) mengacu pada apa yang dibicarakan atau isi pesan
(message content) dan bentuk pesan/amanat atau cara penyampaiannya (message
form). Dalam sebuah peristiwa tutur, beberapa topik tutur dapat muncul secara
berurutan. Perubahan topik tutur dalam peristiwa tutur akan berpengaruh terhadap
pemilihan bahasa.
Key, meliputi cara, nada, sikap, atau semangat dalam melakukan
percakapan. Nada tutur verbal mengacu pada perubahan bunyi bahasa, yang dapat
menunjukkan suasana serius, suasana santai, dan suasana akrab. Nada tutur non
verbal dapat berwujud gerak anggota badan, perubahan ekspresi wajah, dan sorot
mata. Instrumentalities atau sarana, yaitu sarana percakapan, dengan media apa
percakapan tersebut disampaikan, misalnya dengan cara lisan atau tulisan.
Norms atau norma merujuk pada norma atau aturan yang membatasi
percakapan, misalnya apa yang boleh dan tidak boleh dibicarakan serta bagaimana
cara membicarakannya (halus, kasar, terbuka, dan sebagainya). Genres, yaitu
jenis atau bentuk kebahasaan yang sedang dituturkan. Hal itu langsung merujuk
pada jenis wacana yang disampaikan, misalnya percakapan, cerita, dan pidato.
Secara lebih komprehensif, komponen tutur Hymes dikembangkan oleh
Poedjosoedarmo (1979), yang disesuaikan dengan kondisi kebahasaan di
Indonesia, khususnya masyarakat tutur Jawa. Komponen tutur dalam versi ini
56
lebih terperinci dan lebih luas, melebihi komponen tutur yang digunakan sebagai
dasarnya, dengan menggunakan memoteknik O,O,E MAU BICARA.
O1 (Orang Pertama), yaitu pribadi penutur karena sedikit banyaknya
ujaran memang ditentukan oleh pribadi penutur. Seorang penutur yang pemalu
akan memiliki kebiasaan kebahasaan yang berbeda dengan seorang pemberani.
Latar belakang penutur menyangkut jenis kelamin, asal daerah, asal golongan
masyarakat, umur, profesi, kelompok etnis, dan aliran kepercayaannya. O2
(Orang Kedua), yaitu lawan tutur orang pertama atau mitra tutur. Hal yang perlu
diperhatikan adalah anggapan O1 tentang seberapa tinggi tingkatan sosial orang
kedua (O2) dan seberapa akrab hubungan antara ke dua orang tersebut. Anggapan
terhadap keintiman relasi antara O1 pada O2 akan menentukan corak bahasa yang
dituturkannya. E (Warna emosi / suasana emosi) O1 pada waktu hendak
bertutur. Misalnya, seorang penutur yang gugup akan mengeluarkan tuturantuturan yang tidak teratur, kurang jelas, dan kurang beraturan.
Maksud dan tujuan percakapan. Misalnya, orang yang ingin
meminjam uang kepada seseorang akan cenderung menggunakan wacana yang
strukturnya berbelit-belit. Adanya O3 dan barang-barang lain di sekitar adegan
percakapan. Misalnya, karena alasan mengikutsertakan O3 yang berasal dari luar
pulau Jawa, O1 dan O2 yang semula menggunakan bahasa Jawa beralih
menggunakan bahasa Indonesia. Urutan tutur, yaitu O1 yang memulai suatu
percakapan akan lebih bebas menentukan bentuk tuturannya daripada lawan
tuturnya dan bagaimana respon dari mitra tutur.
57
58
yang terdapat pada masyarakat tutur yang diteliti. Oleh karena itu, penulis
memilih untuk menggunakan metode penelitian kualitatif untuk dapat
mengungkap makna dari gejala penggunaan bahasa pada latar yang alami. Dengan
menggunakan metode ini, sumber data berlatar alami dengan peneliti berfungsi
sebagai human instrument (Moleong, 1995: 121 125; Duranti, 1997: 85 88).
Prosedur penelitian dengan metode tersebut menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau pun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Penelitian ini memanfaatkan metode kualitatif etnografi (Spradley, 1997
dan Muhadjir, 1996), yaitu dengan melibatkan peneliti dalam pergaulan dengan
masyarakat tutur Konjo di Sinjai. Penelitian dalam pandangan etnografi bermakna
memahami gejala yang bersifat alamiah atau wajar sebagaimana adanya tanpa
dimanipulasi dan diatur dengan eksperimen atau tes (Muhadjir, 1996: 96). Gejala
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gejala pemilihan bahasa pada
masyarakat tutur Konjo di Sinjai.
data
dalam
penelitian
ini
11
menggunakan
metode
11
59
Kunci keberhasilan dari metode ini adalah membebaskan diri sebanyak mungkin
secara manusiawi dari batas pengalaman budaya sendiri. Hal tersebut
membutuhkan
relativisme
budaya,
pengetahuan
mengenai
kemungkinan
perbedaan kultural dan kepekaan serta keobjektifan dalam mengamati orang lain.
Data mengenai penggunaan bahasa yang direkam meliputi beberapa
ranah, misalnya: keluarga, pendidikan, pemerintahan, agama, transaksi, kekariban
(pertemanan), dan pergaulan dalam masyarakat. Agar diperoleh data yang akurat,
peneliti berupaya agar informan tidak menyadari bahwa dirinya sedang diteliti
atau percakapannya sedang diamati, sehingga ujaran-ujaran yang digunakan
bersifat wajar dan alamiah, dalam hal ini penulis memadukan metode tersebut
dengan teknik observers paradoks (Wardhaugh, 1986: 18).
Agar proses pengumpulan data dapat berjalan dengan lancar dan dapat
diperoleh data-data yang diinginkan, peneliti menggunakan alat bantu rekam.
Dalam hal ini, peneliti menggunakan recorder digital Sony type ICD-PX 312 dan
jika diperlukan, memanfaatkan catatan lapangan. Catatan lapangan ini
dimaksudkan jika sekiranya terjadi suatu peristiwa tutur yang menarik perhatian
dan alat perekam yang seharusnya digunakan mengalami gangguan teknis. Jadi,
teknik catat sebagai teknik cadangan saja.
Data yang diperoleh melalui pengamatan partisipatif dapat disimak dan
diuji kebenarannya ketika wawancara bersemuka dilakukan dengan para
informan. Menurut Feagin (2002: 31 dalam Chong, 2002: 24) wawancara yang
dilakukan harus disesuaikan dengan keadaan lokal daerah penelitian. Oleh karena
itu, daftar pertanyaan yang sesuai dengan situasi lokal di Kabupaten Sinjai telah
60
disusun (lihat lampiran). Data kuesioner yang diberikan dimaksudkan sebagai data
pendukung untuk memperoleh gambaran situasi kebahasaan di wilayah penelitian.
Penelitian yang dilakukan ini tidak mengkhususkan parameter tertentu
untuk memilih sampel penelitian. Informan dipilih berdasarkan mudahnya peneliti
mendapatkan informan yang bersedia diwawancarai (Subakir, 1998: 59). Secara
keseluruhan, sebanyak 40 orang informan diwawancarai tanpa mengkhususkan
komposisi jumlah informan perempuan dan informan laki-laki.
melakukan
identifikasi
keragaman
pemilihan
bahasa,
baik
yang
61
62
yang
63
dilakukan oleh masyarakat tutur Konjo di Sinjai. Adapun yang menjadi data
sekunder dalam penelitian ini adalah berupa informasi atau keterangan yang
terkait dengan konteks tutur, baik berupa konteks sosial, konteks budaya, maupun
kondisi situasional dalam masyarakat, yang menjadi penentu terjadinya peristiwa
tutur. Sesuai dengan tujuan dan ruang lingkup penelitian ini, data primer diambil
dari tuturan atau bagian tuturan dalam bahasa-bahasa yang digunakan oleh
masyarakat tutur Konjo di Sinjai. Sementara itu, data sekunder diperoleh dari
keterangan penutur mengenai bahasa-bahasa tersebut di dalam masyarakat serta
informasi atau keterangan dalam bentuk laporan atau tulisan.
Menurut Lofland dan Lofland (1984: 47), sumber data dalam penelitian
kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, sedangkan selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data dalam penelitian ini juga
diperoleh dari narasumber yang dianggap memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai penggunaan bahasa-bahasa yang akan diteliti. Selain itu, narasumber
juga mengetahui latar belakang sejarah daerah penelitian, misalnya para ketua
adat dan pemangku adat. Daerah tempat tinggal penutur dan aktivitas mereka
sehari-hari yang berupa aktivitas verbal dan non-verbal dapat sangat membantu
untuk menentukan kaitan bahasa, budaya, dan geografi dalam kasus multilingual
yang terjadi dalam masyarakat tutur dari bahasa yang diteliti.
Populasi penelitian ini adalah seluruh peristiwa tutur yang dilakukan
oleh masyarakat tutur Konjo di Sinjai dalam berbagai ranah dan dalam berbagai
peristiwa tutur. Data dikumpulkan sebanyak mungkin, yang dianggap mewakili
beberapa ranah kebahasaan. Kemudian contoh dalam penelitian ini ditarik dengan
64
teknik sampel bertujuan atau purposive sampling, yang ditandai dengan ciri-ciri
sebagai berikut. Pertama, sampel tidak dapat ditentukan atau ditarik terlebih
dahulu. Kedua, tiap satuan sampel dipilih untuk memperluas informasi, dan
ketiga, sampel dipilih bedasarkan fokus penelitian (Moleong, 2000: 165).