PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertusis atau batuk rejan atau batuk 100 hari merupakan salah satu
penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella pertussis1.
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak
kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih
mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau
anak yang belum diimunisasi1.
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang
bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara
maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian dapat
ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pertusis
diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan1,6.
Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang
lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan
cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih
lanjut.
B. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui definisi, prevalensi, etiologi, patogenesis, manifestasi
klinis, diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi dan prognosis pertussis.
C. Manfaat Penulisan
Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
penyakit pertussis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali
menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai
dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak
berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau
batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat
menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang
dewasa dengan kekebalan yang menurun1,2,3.
Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi.
Setelahmasa inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan
keluar cairan hidung yang secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa.
Pada minggu ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis.4,5
B.
Angka Kejadian
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada
60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama
masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari
penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan
juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang
dari 5 tahun1,2,3,5,6.
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun 6.
Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya.
Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis
dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun,
umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena
2
C.
Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,
dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling
umum ditemukan pada manusia 8.
Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi
pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin
klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang
mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama. Penggolongan
serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah
spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara geografis dan sesuai waktu1.
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak
sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca
penambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama
FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin
(PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan1.
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat
pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase
diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala
pernafasan dan mempermudah penyerapan TP1.
TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas
histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan
manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang
percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa
memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis1.
D.
Patogenenis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
Gejala Klinis
F.
Diagnosis
Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu,
terutama
jika
G.
Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk
mengamati
keparahan
batuk,
memberi
bantuan
bila
perlu,
dan
akan
memicu
batuk.
Selalu
upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar tidak menghambat aliran
oksigen. Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas
tidak ada lagi. Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal
prongs berada pada posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan
bahwa semua sambungan aman.4
H.
Pencegahan
1. Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang
seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan
toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat
prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2
minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin
diimunisasi1,11,13,14.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama
adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai
mendapatkan
imunisasi
juga
diberikan
eritromisin
profilaksis.
gejala-gejala
penyakit1,11,12.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum
mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah
kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin
diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7
hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi
10
epidemi1,11,12.
I.
Komplikasi
1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat1,11.
2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anakanak B. pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder
(H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes)1,11.
3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.
4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang
kental. Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan
menetap.
7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat
menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural,
perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia
inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi1,11.
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia
serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang
dapat disebabkan oleh temperatur tinggi1,10.
10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome
of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)10.
J.
Prognosis
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus.
Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA.
Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat
berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk
sampai 4 %12. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia
atau komplikasi paru-paru lain1,12.
11
BAB III
RINGKASAN
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough adalah batuk yang sangat
berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang
dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau
orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada
60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama
masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari
penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan
juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang
dari 5 tahun.
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,
adenovirus tipe 1, 2, 3, din 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus
gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu
bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak kecil yang ditandai dengan batuk
paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang, batuk rejan.
Bordetella pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerobik minotil kecil dan
tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak.
Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan
kemudian ditanam pada agar media Bordet Gengou. Bordetella pertussis
menghasilkan toksin pertusiss (TP). TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis
12
BAB IV
13
DAFTAR PUSTAKA
1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta :
EGC. 181: 960-965.
2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak
Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.
3. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendigs : Disorders of Respiratory Tract in
Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :10181023.
4. WHO, (2009). Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman Bagi
Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta : WHO
Indonesia.
5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23
Desember 2013 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.
6. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the
epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella
pertussis infection. Pediatrics : 115:1422-1427. Diakses 30 Desember 2011
dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059.
7. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States,
1980-1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 23 Desember 2011 dari,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.
8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of
Infectious Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill
Livingstone,
Philadelphia.
p.2701.
Diakses
dari,
http://www.uptodate.com/contents/microbiology-pathogenesis-andepidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.
9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses
dari http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.
10. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine.
Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.
11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar
I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia.
14
15