Anda di halaman 1dari 414

I ::-.-:...

,- i,

-,

'

.lt.: ',

j1,::,

373
INTRODUKSI REUMATOLOGI
A.R. Nasution, Sumariyono

PENDAHULUAN

Reumatologi merupakan ilmu yang relatif muda di


Indonesia dibandingkan dengan sejawatnya Ilmu Bedah
Orlopedi. Istilah reumatologi pertama kali diperkenalkan
oleh Joseph I Hollander dalam buku ajar yang terbit tahun
1949. Dalam berbagai buku kuno penyakit reumatik jarang
didiagnosis secara jelas seperti sekarang' Sebagai contoh

William Heberden tahun 1802 menggunakan istilah


rheumatismunltkberagam keluhan nyeri pada sendi tanpa
membedakan jenisnya.
Salah satu tonggak penting dalam perkembangan
reumatologi adalah berdirinya International League
Against Reumatism (ILAR) pada tahun 1928. Pada tahun
1953 ILAR memutuskan bahwa reumatologi adalah salah
satu cabang Ilmu Penyakit Dalam. Reumatologi adalah ilmu

tulang, dan angka tersebut diperhitungkan akan meningkat


tajam karena banyaknya orang yang berumur lebih dari 50
tahun pada tahun 2020. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan
dan WHO pada 30 Nopember 1999 telah mencanangkan
suatu ajakan 10 tahun baru yang disebut Bone and.Ioinl

Decade. Ajakan tersebut menghimbau pemerintah di


seluruh dunia untuk segera mengambil langkah-langkah
dan bekerjasama dengan organisasi-organisasi untuk
penyakit muskuloskeletal, profesi kesehatan di tingkat
nasional maupun internasional untuk pencegahan dan
penatalaksanaan penyakit muskuloskeletal' Di Indonesia
pencanangan Bone and Joint Decade dilakukan pada
tanggal 7 Oktober tahun 2000 oleh Menteri Kesehatan dan

Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia dr. Achmad


Sujudi, bersamaan dengan Temullmiah Reumatologi ke III
di Jakada.

yang mempelaj ari penyakit sendi, termasuk penyakit artritis,

Banyak kemajuan reumatologi di dunia terrnasuk di

fibrositis, bursitis, neuralgia dan kondisi lainya yang

Indonesia, di samping itu juga banyak permasalahan yang


perlu dipecahkan berkaitan dengan pemahaman penyakit
reumatik (baik oleh masyarakat umum maupun kalangan

menimbulkan nyeri somatik dan kekakuan. Reumatologi

mencakup penyakit autoimun, artritis dan kelainan


muskuloskeletal. Jenis, berat dan penyebaran penyakit
reumatik dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti
faktor umur, jenis kelamin, genetik dan faktor lingkungan.
Saat ini telah dikenal lebih dari I 10 jenis penyakit reumatik
yang sering menunjukkan gambaran klinik yang hampir
sama. Dari sekian banyakpenyakit reumatik ini yang banyak

medis), diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit,


pencegahan kecacatan dan rehabilitasi akibat penyakit
reumatik serta pendidikan di bidang reumatologi.

EPIDEMIOLOGI DAN MASALAH PENYAKIT

dijumpai adalah osteoartritis, artritis reumatoid, artritis


gout, osteoporosis, spondioloartropati seronegatif, lupus
eritematosus sistemik, serta penyakit reumatik jaringan

REUMATIK DIINDONESIA

lunak.

Osteoartritis

Pelayanan kesehatan di seluruh dunia

20 tahun

Osteoartritis (OA) adalah sekelompok peny akjt yang overlap detganetiologi yang mungkin berbeda-beda, namun

mendatang, karena peningkatan yang luar biasa orang

mengakibatkan kelainan bilologis, morfologis dan

yang terkena penyakit muskuloskeletal. Organisasi


kesehatan sedunia (WHO) menyatakan bahwa beberapa
juta orang telah menderita karena penyakit sendi dan

hanya mengenai rawan sendi namun juga mengenai seluruh


sendi, termasuktulang subkondral, ligamentum, kapsul dan

menghadapi tekanan biaya yang berat pada 1 0

akan

gambaran klinis yang sama. Proses penyakitnya tidak

23s3

2354

jaringan sinovial serta jaringan ikat periartikular.


Osteoarhitis merupakan penyakit sendi yang paling banyak
di jumpai dan prevalensinya semakin meningkat dengan

bertambahnya usia. Masalah osteoartritis di Indonesia


tampaknya lebih besar dibandingkan rregara barat kalau

melihat tingginya prevalensi penyakit osteoartritis di


Malang. Lebih dari 85% pasien osteoartritis tersebut
terganggu aktivitasnya terutama untuk kegiatan jongkok,
naik tangga dan berjalan. Arti dari gangguanjongkok dan
menekuk lutut sangat penting bagi pasien osteoartritis di
Indonesia oleh karena banyak kegiatan sehari-hari yang
tergantung kegiatan ini khususnya Sholat dan buang air
besar. Kerugian tersebut sulit diukur dengan materi.
Pemahaman yang lebih baik mengenai patogenesis
osteoartritis (OA) akhu-akhir ini diperoleh antara lain berkat
meningkatnya pengetahuan mengenai biokimia dan biologi
molekuler rawan,sendi. Dengan demikian diharapkan kita
dapat mengelola pasien OA dengan lebih tepat dan lebih

RET.JMAIIOI.OGI

Pada sisi lain diagnosis dini sering menghadapi kendala


yaitu pada masa dini sering belum didapatkan gambaran
karakteristik AR karena gambaran karakteristik AR
berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah
terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat .
Diagnosis AR hingga saat ini masih mengacu pada kriteria
diagnosis menurut ACR tahun 1987, tetapi di Indonesia
gejala klinis nodul reumatoid sangat jarang dijumpai.
Berdasarkan hal ini perlu dipikirkan untuk membuat kriteria
diagnosis AR versi Indonesia pada masa yang akan datang
berdasarkan data pola klinis AR di Indonesia. Artritis
reumatoid sering mengenai penduduk pada usia produktif
sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.

Gout
Gout adalah sekelompok penyakit yang ter.ladi akibat deposit kristal monosodium urat di jaringan. Deposit ini
berasal dari cairan ekstra selular yang sudah mengalar.ni

aman.

supersarurasi dari hasil akhir metabolisme purin yaihr asam

Perlu dipahami bahwa penyebab nyeri yang terjadi


pada OA bersifat multifaktorial. Nyeri dapat bersumber

urat.

dari regangan serabut syaraf periosteum, hipertensi intraosseous, regangan kapsul sendi, hipertensi intra-artikular,

regangan ligament, mikrofraktur tulang subkondral,


entesopati, bursitis dan spasme otot. Dengan demikian
penting difahami, bahwa walaupun belum ada obat yang

dapat menyembuhkan OA saat ini, namun terdapat


berbagai cara untuk mengurangi nyeri dengan
memperhatikan kemungkinan sumber nyerinya,
memperbaiki mobilitas dan meningkatkan kwalitas hidup.

Artritis Reumatoid (AR)


Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang
ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada

Prevalensi gout di Eropa dan Amerika Utara hampir

sama yaitu 0.30o/o dan 0.27yo, sedang pada populasi Asia

Tenggara dan New Zaelarrd prevalensinya lebih tinggi.


Lebih dari 90o/o serangangout primer terjadi pada laki-laki,
sedang pada wanita jarang terjadi sebelum menopause.
Manifestasi klinik gout meliputi arlritis gout, tofus, batu
asam urat saluran kemih dan nefropati gout. Tiga stadium
klasik perjalanan alamiah artritis gout adalah artritis gout
akut, gout interkritikal dan gout kronik bertofus.
Artritis gout atau lebih umum di masyarakat disebut
dengan istilah sakit asam urat, selama ini banyak terjadi
mispersepsi yaitu bahwa hampir semua keluhan reumatik
yang berupa nyeri, kaku dan bengkak sendi dianggap
sebagai kelainan akibat asam urat atau artritis gout. Bahkan
sejumlah kalangan medis ada yang masih memiliki persepsi

beberapa kasus disertai keterlibatanjaringan ekstraartikular.


Sebagian besar kasus perjalananya kronik fluktuatifyang

yang sama dengan sebagian besar masyarakat tersebut.

mengakibatkan kerusakan sendi yang progresif, kecacatan


dan bahkan kematian dini .

perlu mendapat perhatian lebih, agar pemberian obat


tersebut dapat lebih tepat sehingga akan memberikan

Prevalensi dan insidensi penyakit ini bervariasi antara


populasi satu dengan lainya, di Amerika Serikat, kanada
dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR sekitar l%
pada kaukasia dewasa. Di Indonesia dari hasil penelitian
di Malang pada penduduk berusia di atas 40 tahun
didapatkan prevalensi AR 0.5% di daerah Kotamadya dan
0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000
kasus baru artritis reumatoid merupak an 4.1o/o dari seluruh

manfaat yang lebih besar bagi pasien.

kasus baru.

Dampak penting dari AR adalah kerusakan sendi dan


kecacatan. Kerusakan sendi padaAR terjadi terutama dalam

2 tahw pertama perjalanan penyakit. Kerusakan ini bisa


dicegah atau dikurangi dengan pemberian DMARD,
sehingga diagnosis dini dan terapi agresifsangat penting
untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien AR.

Selain itu, pemberian obat penurun asam urat juga masih

Lupus Eritematosus Sistemik


Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan
nama systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan
penyakit kronik inflamatif autoimunyang belum diketahui
etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta
berbagai perjalanan klinis dan prognosisnya. Penyakit ini
ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan
akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan
dengan berbagai organ yang terlibat. SLE merupakan
penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita
pada usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik dan
hormonal serta lingkungan berperan dalam proses
patofi siologi penyakit SLE.
Prevalensi SLE di Amerika adalah I : I .000 dengan rasio

2355

INTRODUKSI REUMAIOI.OGI

jender wanita dan laki-laki antaru 9 -14'.7. Data tahw 2002


di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan I ,4o/o

kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik


Reumatologi. Belum terdapat data epidemiologi yang
mencakup semua wilayah Indonesia, namun insidensi
SLE dilaporkan cukup tinggi di Palembang. Meskipun relatif
jarang, penyakit ini menimbulkan masalah tersendiri
karena seringkali mengenai wanita pada usia produktif
dengan prognosis yang kurang baik. Kesintasannya
(survival) SLE berkisar attara 85%o dalam kurun waktu

l0

tahun pertama dan 650/o setelah 20 tahun menderita

SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih

tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun


pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit

dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan


dengan penyakit vaskular ateroslerotik. Kalim H dan
Kuswonni H (1 996) melaporkan bahwa meskipun gambaran
klinis dan penyebab kematian pasien LES di Malang
tidak berbeda dengan pasien Kaukasia (kulit putih),
harapat hidup pasien-pasien tersebut nyata lebih rendah
yaifi 67 ,5o/o 5 tahun dan 48,650/o harapan hidup I 0 tahun.
Faktor sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan dan
penghasilan dipandang berperan penting pada timbulnya
perbedaan harapan hidup pasien LES. Meskipun demikian
latar belakang genetik (ras) perlu diperhatikan. Kusworini

kependudukan tahun 1990, temyata jumlah penduduk yang


berusia 55 tahun atau lebih mencapai 9,2%o,meningkaf 50%o
dibandingkan survey tahun 1971 . Dengan demikian, kasus
osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur
diperkirakan juga akan meningkat. Pada studi epidemiologi

yang dilakukan di Bandungan, Jawa Tengah, ternyata


jumlah pasien osteoporosis meningkat secara bermakna
setelah usia 45 tahun, terutama pada wanita. Penelitian
Roeshadi di Jawa Timur, mendapatkan bahwa puncak
massa tulang dicapai pada usia 30-34 tahun dar' rata-tata
kehilangan massa tulang pasca menopause adalah l,4o/ol
tahun. Penelitian yang dilakukan di klinik Reumatologi

RSCM mendapatkan faktor risiko osteoporosis meliputi

umur, lamanya menopause dan kadar estrogen yang


rendah, sedangkan faktor proteksinya adalah kadar
estrogen yang tinggi, riwayat berat badan lebih/obesitas
dan latihan yang teratur.

Berbagai problem yang cukup prinsipiil masih


harus dihadapi oleh Indonesia dalam penatalaksanaan
osteoporosis yang optimal, seperti tidak meratanya

alat pemeriksaan densitas massa tulang (DEXA),


mahalnya pemeriksaan biokimia tulang dan belum adanya
pengobatan standard untuk osteoporosis di Indonesia.

H (2000) melaporkan bahwa alel kerentanan untuk

MASALAH PENYAKIT REUMATIK SEBAGAI

timbulnya LES pada populasi Indonesia ialah HLA-DR 2


yang ternyata sama dengan yang dilaporkan pada Cina

PENYEBAB KETIDAKMAMPUAN

(ras Mongoloid) dan Afro-Amerika (ras Negroid).


Telah diketahui bahwa harapat hidup pasien LES Cina
dan Afro- Amerika tersebut lebih buruk dari pada ras
Kaukasoid, dengan alel kerentanan HLA-DR3. Dalam kaitan

dengan LES, orang-orang dengan alel HLA DR2


diduga mempunyai respons imun yang lebih patogenik
dari pada orang-orang dengan alel HLA-DR3. Apakah hal
ini bahwa secara genetik pasien lebih rentan terhadap LES,
masih perlu penelitian lebih lanjut. Bagaimana interaksi latar

belakang genetik tersebut dengan faktor sosial ekonomi


dalam menentukan harapan tetap hidup, juga perlu diteliti.

Dua jenis ketidakmampuan timbul dari penyakit reumatik.

Ketidak mampuan fisik mengakibatkan gangguan pada


fungsi muskoloskeletal dasar seperti; membungkuk,
mengangkat, berjalan dan menggenggam. Ketidak
mampuan sosial menunjuk pada aktivitas sosial yang lebih

tinggi seperti makan, memakai baju, pergi ke pasar


dan interaksi dengan orang lain. Penyakit reumatik
pertama-tama menyebabkan gangguan fungsi fisik
yang kemudian menyebabkan gangguan fungsi
sosial. Osteoartritis atau reumatisme merupakan
penyebab paling sering dari ketidakmampuan diAmerika
Serikat.

Ketidak mampuan kerja merupakan bagian terbesar dari

rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001,

beaya tak langsung dari penyakit reumatik. Telah


ditunjukkan bahwa ketidakmampuan kerja timbul dengan
cepat pada pasien artritis reumatoid (AR). Kerusakan
sendi yang memburuk timbul dalam 2 tahun setelah onset
penyakit pada 50%o pasien. Keadaan ini disusul dengan

National Institute of Health (NIH) mengajukan definisi

penurunan fungsional yang nyata dan ditunjukkan

baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang


ditandai oleh compromised bone strength sehinggatulang
mudah patah.
Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka
berbagai penyakit degeneratif dan metabolik, termasuk
osteoporosis akan menjadi problem muskuloskeletal yang
memerlukan perhatian khusus, terutama di negara-negara

oleh ketidakmampuan kerja. Sulit sekali dan hampir tak


mungkin untuk menghitung nilai uang dari hambat
an-hambatan tersebut (Sharma, Fellson, 1998). Beberapa
penelitian telah melihat akibat non-moneter dari penyakit
reumatik. Secara keseluruhan, hal itu disebut dengan

Osteoporosis
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang
ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan
perbunrkan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menj adi

berkembang, termasuk Indonesia. Pada survey

hambatan aktivitas. Hasil penelitian

di

Malang

menunjukkan bahwa cukup banyak orang yang tak dapat


aktif karena penyakit reumatik (Tabel 1).

2356

REI,JMr'IIOI.OGI

pasien (dan juga dokter) kurang memahami hal ini sehingga

Kotamadya

Kabupaten

Pria

Jumlah
Jumlah dengan penyakit
reumatik
Jumlah tak dapat aktif
Wanita
Jumlah
Jumlah dengan penyakit
reumatik
Jumlah tak dapat aktif

mengakibatkan rendahnya tingkat kepuasan pasien


reumatik yang berobat. Selain itu sering dokter tidak
memberikan penjelasan yang cukup kepada pasien.

374

483

Keadaan tersebut mungkin merupakan faktorpenting yang

1e8 (52.e%)

193 (43.1o/o)

berkaitan dengan banyaknya pasien yang mengobati

25 (6.7yo)

21(4.3%)

sendiri penyakit reumatiknya dengan menggunakan obat


yang kurang tepat atau campur-campur.

391

495
219 (45.5%)

21

(56.0010)

31 (7.9%)

35 (7.1o/o)

MASAI.AH EFEK SMAMPING OBATANTI REUMATIK


NON-STEROtD (OA!NS)
Banyaknya pasien yang mengobati sendiri penyakit

Kabupaten

reumatiknya dapat menimbulkan efek samping yang serius.


Di Indonesia dan Philipina, kebanyakan pasien dengan

59.5%

64 5%

keluhan ringan tidak berobat ke dokter, didiagnosis dan

19.6%

13.8%

26.3o/o

42.4o/o

21 .3o/o

15.6%
16.6%
18 9o/o

Kotamadya

Cara pengobatan

Pengobatan sendiri
Obat campur-campur
Jamu
Obat dan jamu
2. Pergi ke dokter
3.Berobat ke bukan dokter

26

60/0

13.90/o

Dari daftar National Health Interview Study, 1984


ditemukan bahwa 2,8%o dari 38 juta (15% penduduk
Amerika Serikat) dengan artritis terhambat aktivitasnya.
Artritis menjadi alasan utama hambatan artritis pada usia
di atas 50 tahun. Fibrositis dan SLE juga mengakibatkan
hambatan aktivitas yang lebih tinggi.
Besarnya masalah penyakit reumatik di seluruh dunia
dapat di dilihat dari data-data di bawah :

l. Di seluruh dunia penyakit

2.

sendi merupakan separuh

dari semua penyakit menahun pada orang-orang di atas


60 tahun .
Osteoartritis dengan nyeri yang nyata dijumpai pada
25o/o masyarakat dengan usia di atas 60 tahun di

Amerika

Serikat

3. Nyeri pinggang

merupakan penyebab hambatan

diobati oleh tenaga kesehatan yang relatif kurang


berpengalaman. (WHO 1992).

Penekanan dari pendidikan rnasyarakat mengenai


penyakit reumatik ialah pada pemakaian obat, pengenalan
penyakit-penyakit yang sering dijumpai dan faktor-faktor
risiko yang berperan. Harus disadari oleh pasien bahwa
walaupun reumatik menimbulkan nyeri yang dapat hebat
sekali, sebagian besar tidak berkaitan dengan kematian.
Dalam hal seperti itu maka penggunaan obat yang dapat
menimbulkan risiko tinggi sedapat mungkin dihindari.
Salah satu efek samping yang serius dari obat anti
inflamasi non steroid (OAINS) adalah perdarahan saluran
cerna. Risiko tersebiut akan semakin besar dengan semakin
tingginya dosis, pemakaian campuran dan tingginya usia
pasien. Tidak jarang dijumpai pasien reumatik (biasanya
orang tua) masuk rumah sakit bukan karena penyakit
reumatiknya tetapi karena efek samping obat atau jamu
anti reumatik yang diminumnya. Risiko tertinggi kematian
akibat perdarahan saluran cerna tersebut adalah pada
orang tua, pasien yang memakai banyak obat dan pasien
dengan penyakit lain (misalnya ginjal dan hati).

aktivitas yang paling sering pada usia muda dan


pertengahan, menjadi salah satu penyebab yang
paling sering untuk pergi ke dokter dari masyarakat kerja

MASALAH BEBAN SOSIAL EKONOMI PENYAKIT

@ditorial,2000).

REUMATIK

Hasil di atas sesuai dengan hasil penelitian di berbagai


negara yang menunjukkan bahwa penyakit reumatik

Melihat pada tingginya prevalensi, banyaknya

merupakan penyakit dan penyebab ketidak mampuan yang


paling besar (Chaia dkk, 1998).

penyakit reumatik, maka dapat dimaklumi jika dilaporkan

MASALAH PENATALAKSANAAN PENYAKIT


REUMATIK
Penatalaksanaan penyakit reumatik merupakan upaya
jangka panjang yang memerlukan pengertian dan kerjasama
yang baik antara dokter, pasien dan keluarganya. Banyak

ketidakmampuan dan turunya produktivitas karena


bahwa beban ekonomi (nasional maupun pribadi)
penyakit reumatili adalah tinggi. Beban ekonomi dibagi
menjadi 2 komponen utama. Beban langsung menunjuk
pada jumlah uang yang diperlukan untuk mengobati
penyakit, sedang beban tak langsung menunjuk pada
hilangnya produktivitas karena morbiditas dan mortalitas.
Hasil penelitian di negara-negara maju menunjukkan
bahwa beban sosial-ekonomi (baik bagi rregara maupun
pasien) penyakit reumatik adalah besar sekali. Besarnya

2357

INTRODUKSI REUMAT'OLOGI

beban tersebut timbul dari tingginya prevalensi

Melalui kerjasama dengan organisasi-organisasi

penyakit reumatik, lamanya pengobatan yang diperlukan

kesehatan yang berkecimpung di bidang reumatologi,


dilakukan upaya-upaya perbaikan kebijakan dan sistem
kesehatan yang seimbang. Tujuan utama upaya ini ialah

dan efek samping obat, ketidakmampuan pasien dan


penurunan aktivitas atau jam kerja.
Besarnya beban sosial-ekonomi penyakit khususnya
penyakit reumatik sampai sekarang belum diteliti dengan

baik di Indonesia, akan tetapi, beban tersebut dapat


diperkirakan dengan melihat data di atas dan juga data
dari Inggris (Moll, 1987,) maupun negara-negara lain.

meningkatkan pelayanan kesehatan pasien penyakit

reumatik, menyebar luaskan upaya menolong


sendiri pasien penyakit reumatik dengan merancang

pendidikan menolong sendiri (self-help) pada


penatalaksanaan reumatik sehari-hari, dan menunj ang
program aktivitas fisik yang bermanfaat untuk pasien
reumatik.

UPAYA MENGATASI MASALAH PENYAKIT


REUMATIK DI INDONESIA

PERBAIKAN KURIKULUM PENDIDIKAN DOKTER


Masalah penyakit reumatik pada masa mendatang jelas
akan semakin meningkat karena

l.

YANG MENYANGKUT REUMATOLOGI

Bertambahnya jumlah orang tua, urbanisasi,

Peningkatan ketrampilan dan pengetahuan dokter

peningkatan industri dan pencemaran lingkungan yang


akan meningkatkan prevalensi penyakit reumatik.

dari

umum maupun ahli penyakit dalam sangat penting untuk


segera dilakukan. Kebutuhan ini tak hanya timbul di
Indonesia, akan tetapi juga di negara-negara lain, oleh

masyarakat karena tingkat pendidikan dan kesadaran


yang makin tinggi.

karena ternyata porsi yang diberikan untuk penyakit


reumatik di berbagai fakultas kedokteran maupun di

3.

Harga obat-obatan dan prosedur diagnostik yang

pendidikan ahli penyakit dalam sangat tak memadai. Jam

kuliah dan lamanya pelatihan hendaknya dikoreksi

4.

semakin mahal karena datangnya obat-obat baru dan


alat-alat canggih yang lebih baik.
Globalisasi di bidang kesehatan yang akan memaksa

di Indonesia mengembangkan

dan dijumpai di mana-mana (Dequeker & Raskar, 1998).


Dengan perubahan tetmaksud, maka hasil pendidikan

2. Tuntutan akan pelayanan yang lebih baik

dokter-dokter

kemampuanya sendiri untuk dapat bersaing dengan


dokter-dokter dari luar negeri.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atasjelas terlihat bahwa

upaya mengatasi masalah penyakit reumatik merupakan

kebutuhan yang nyata yang harus dipikirkan mulai


sekarang. Upaya ini merupakan usaha yang terus menerus

dengan tujuan pokok untuk pencegahan dan


penatalaksanaan penyakit reumatik yang sebaik-baiknya.
Supaya usaha tersebut dapat berhasil, maka perlu adanya

program terpadu secara nasional mengenai penyakit


reumatik.

PENYUSUNAN PROGRAM KEBIJAKAN DAN


SISTEM YANG MEMUNGKINKAN PENINGKATAN
KUALITAS HIDUP PASIEN REUMATIKDAN UPAYA.
UPAYAPENCEGAHAN

a.

Menyusun program penanganan penyakit reumatik


yang terpadu.
Kegiatan di bidang ini meliputi pelatihan untuk tenaga
kesehatan yang terpadu secara nasional, merancang

jaringan kerja sama, meningkatkan kesadaran


masyarakat, membentuk badan-badan penasehat,
mengkoordinasikan aktivitas secara nasional dan uji
coba usaha-usaha intervensi.
b. Memperbaiki sistem dan kebijakan kesehatan.

sehingga dapat sesuai dengan kenyataan bahwa penyakit

reumatik merupakan salah satu penyakit yang tersering

dokter di masa depan dapat menjawab tantangan


kesehatan, sesuai yang banyak diharapkan oleh ahli
kesehatan (Towle, 1 998).

Pentingnya pendidikan reumatologi dibicarakan


dengan mendalam pada suatu simposium liga anti
reumatik Eropa (EULAR) pada 1987. Pada saat itu
beberapa fakultas kedokteran di Eropa masih belum
memberikan pengaj aran reumatologi, tapi pemeriksaan
sistem lokomotor telah masuk ke dalam kurikulum
pendidikan dokter. Di Australia, hasil-hasil terakhir telah
menunjukkan bahwa lebih dari setengah mahasiswa
kedokteran tak cukup mendapat pendidikan reumatologi.

Secara keseluruhan, pendidikan dokter di fakultas


kedokteran kurang menekankan pentingnya penyakit
sendi, meskipun pada kenyataannya, lebih dati20%o dari
pasien di tempat praktek adalah penyakit reumatik (WHO,

te92).

Sistem pendidikan ahli penyakit dalam di Indonesia


pada saat ini juga menunjukkan kurangnya perhatian
terhadap penyakit reumatik. Keberadaan sub bagian
reumatologi dalam pusat pendidikan ahli penyakit dalam
merupakan suatu keharusan. Sebelum ini asisten yang
menempuh pendidikan penyakit dalam tak diharuskan
bekerja di sub bagian tersebut. Jika kita ingin memperbaiki
pelayanan pasien reumatik, maka sub bagian ini harus lebih
diperhatikan (Nasution, I 988).

2358

REI.JMAIOI.OGI

PENELITIAN.PENELITIAN UNTUK PENCATATAN

PASIEN, EPIDEMIOLOGI DAN TINDAKAN


PENCEGAHAN YANG BERTUJUAN UNTUK

Klarifikasi Pentingnya Peran Nutrisi dan Aktivitas


Fisik yang Baik.
Perlu dilakukan penelitian-penelitian untuk mengetahui

MEMPERKUAT DASAR ILMIAH

peran aktivitas fisik dalam mencegah atau mengurangi efek

Penelitian Epidemiologik untuk Menetapkan


Besarnya Masalah Penyakit Reumatik
Informasi tentang prevalensi dan kecenderungan penyakit
reumatik sangat penting untuk merangsang dan
inplementasi program-program pencegahan. Dalam survei
kesehatan rumah ke rumahperlu ditambahkan hal-hal yang

mencakup penyakit reumatik. Dalam kaitan dengan


penelitian epidemiologi, maka perlu diperhatikan peran
keadaan sosial, kesesuaian kriteria diagnosis yang
digunakan dan pandangan penyakit reumatik sebagai
penyakit ke4'a (Bemard dan Fries, 1997). Di antara golongan
sosial yang lebih rendah temyata lebih sering dijumpai
keluhan yang lebih berat. Di samping itu juga terdapat
lebih sering penyakit reumatik, kecuali gout dan anklosing
spondylitis (Adebayo, I 9 9 I ). Prevalensi beberapa penyakit
yang lebih tinggi di pedesaan mungkin dapat dijelaskan
karena perbedaan golongan sosial. Misalnya, terdapat
bukti-bukti bahwa gout sering dijumpai pada masyarakat
desa dari pada masyarakat kota yang sebanding dan di
Indonesia lebih sering dijumpai pada suku tertentu
(Padang, 1 997

;T

ehtpeiory, I 992).

Dengan penelitian epidemiologis diharapkan dapat data


yang bermanfaat unh* :
. Menetapkan besamya penyakit dan ketidakmampuan
yang ditimbulkannya di masyarakat
. Dikembangkannya kriteria klasifikasi penyakit reumatik
. Menilai perjalanan penyakit alami dan prognosanya
. Penetapan faktor-faktor etiologi yang meliputi dua
unsur yaitu genetik dan lingkungan

Penilaian mengenai pengaruh dan efektifitas


usaha-usaha pengobatan dan pencegahan

Tindakan untuk Menghambat Ketidakmampuan


karena Penyakit Reumatik
Upaya pencegahan penyakit reumatik di masyarakat masih

terhambat karena banyaknya mitos bahwa penyakit


reumatikmerupakan akibatyang tak dapat dihindarkan dari
ketuaan. Akibatnya banyak pasien dan keluarganya yang
menyerah begitu saja pada penyakit reumatik, Akan tetapi,
sebenarnya banyak upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah atau mengurangi nyeri dan ketidak mampuan

karena penyakit reumatik. Misalnya, osteoartritis lutut


dapat dicegah dengan mengurangi kegemukan dan
mencegah pekerjaan berat dan cedera olahraga. Nyeri dan
ketidak mampuan yang menyertai penyakit reumatik dapat
dikurangi dengan diagnosis awal, penatalaksanaan yang

baik, termasuk mengontrol berat badan/aktivitas fisik,

terapi fisik, dan operasi penggantian sendi kalau


diperlukan.

penyakit reumatik. Hal ini penting, khususnya osteoartritis


lutut yang lebih sering timbul pada kegemukan. Nutrisi
yang baik dan olah raga merupakan faktor yang perlu dalam
menjaga berat badan yang ideal. Latihan fisik yang baik
juga penting untuk menjaga kesehatan sendi.

Evaluasi Strategi lntervensi


Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengembangkan dan
menilai efektivitas program pendidikan pasien dan
masyarakat tentang penyakit reumatik dalam kerangka
layanan terpadu.

PENDIDIKAN tlI/qSYAl?Al(AT UNTUK MENINGKATI(AN


KESADARAN DAN MEMBERIKAN INFORMASI YANG
AKU RAT TENTANG PENYAKIT REU MATIK.
Peran masyarakat adalah penting oleh karena penyakit

reumatik pada umumnya merupakan penyakit yang


menahun dengan beberapa faktor risiko yang dapat
dikendalikan. Program pendidikan masyarakat di
Indonesia akan memperoleh dukungan jika masyarakat
dapat segera menikmati hasilnya. Mengingat hal itu, maka
perbaikan pelayanan kesehatan pada pasien penyakit
reumatik merupakan upaya pertama yang perlu segera
dilaksanakan. Beberapa penyakit reumatik, misalnya
bursitis dan tennis elbow memang dapat membaik dengan
pengobatan yang sederhana. Akan tetapi kebanyakan
penyakit reumatik memerlukan penanganan yang lebih baik
untuk mencapai hasil yang memuaskan. Hal ini memerlukan
pengetahuan yang lebih baik dari dokter-dokter di pusat
pelayanan kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) maupun
di Rumah Sakit. Di rumah sakit daerah, penatalaksanaan
pasien reumatik memerlukan kerjasama yang baik dari
dokter-dokter yang terlibat (seperti ahli penyakit dalam,
penyakit saraf, fisioterapi, ahli bedah tulang dan lain-lain).

Di beberapa negara, iklan di kendaraan umum dan


televisi digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan
mengenai penyakit reumatik. Departermen Kesehatan telah
mengeluarkan iklan-iklan kampanye yang memperingatkan
masyarakat mengenai merokok, narkotik, alkohol danAIDS,

Kampanye serupa hendaknya juga diberikan untuk


mencegah osteoporosis dan beberapa penyakit reumatik

yang lain.

REFERENSI
American College of Rheumatology Ad Hoc Commitie on Clinical
Guidelines. Guidelines for the management of rheumatoid
arthritis. Arthritis Rheum 1996: 39 :713 -31.

2359

INTRODUKSTI REUMATOI-OGI

American College of Rheumatology Subcommittee on

Rheumatoid

Arthritis Guidelines. Guidelines for the Management of


Rheumatoid

Arthritis 2002 lJpdare. Arthrits Rheum 2002; 46

328-346.
American College of Rheumatology 2004. Frequently

asked

question.
Becker MA, Jolly M. Clinical gout and the pathogenesis of hyperuricemia. In : Koopman WJ, Moreland LW. Arthritis and allied

conditions a textbook

of rheumatology 11 edit. 2005 :

2303 2339.
Combe B, Eliaou JF, Daures JP, Meyer O, Clot J Sany J.

Prognostic

factor in rheumatoid arthritis : comparative study of two subset


of patients according to severity of articular damage. Br J
rheumatol. 1995 :34 : 529-34.
Darmawan J Rheumatic condition in the northern part of Central
Java An epidemiological survey. 1988 : 97-111
Emery P, Breedveld FC, Dougados M, Kalden JR, Schiff MH, Smolen

JS. Early referral recomendation for newly diagnosed


rheumatoid arthritis: evidence based development of clinical
guide Ann Rheum Dis 2OO2 ;

6l: 290-7

Handono Kalim, Kusworini Handono. Masalah penyakit

reumatik

di Indonesia sefta upaya-upaya penanggulanganya Temu Ilmiah


Reumatologi 2000 : 1-11.
Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis
systemic lupus erythematosus. 2004
Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis
osteoporosis. 2005
Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis
osteoartritis. 2004
Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis

dan pengelolaan
dan pengelolaan
dan pengelolaan

dan pengelolaan

artritis reumatoid In pres.


Nasution AR, Isbagio H, Setiyohadi B. Pendekatan diagnostik
penyakit reumatik. In : Syaifoelah Noer dkk Buku ajar llmu
Penyakit Dalam. 1996 : 43 61.
Nasution AR. Pidato pengukuhan guru besar : Peranan dan
perkembangan reumatologi dalam penanggulangan penyakit
muskuloskeletal di Indonesia. 1995.
Scottish Intercollegiate Guidelines Network : Management of Early
Rheumatoid Arlhritis. A National Clinical Guide 2000 : l-44.
Terkeltaub RA Gout : epidemiologi, pathology and pathogenesis.
In : Klippel JL. Primer on the rheumatic diseases. 12 edit. 2001
: 307-m312.

374
PENERAPAN EVIDENCE-BASED MEDICINE
DALAM BIDANG REUMATOLOGI
Joewono Soeroso

PENDAHULUAN

2.
3.

Tetap mengikuti perkembangan ilmu kedokteran

Meningkatkan kualitas dan kuantitas riset

Evidence-based medicine (EBM) adalah pendekatan pada


pengelolaan pasien yang mengaplikasikan informasi medis
dari hasil penelitian yang paling baik dan sahlh(the best
evidence). Penelitian yang baik adalah yang dilaksanakan
melalui metode yang baik. Sesungguhnya lebih baik kita

Terdapat 3 komponen utama pada pengelolaan pasien

mengambil acuan pengelolaaan (evidence) pasien dari

yaitu:

MODEL PENGELOI-AAN PASIEN MENURUT EBM

artikel asli yang berisi informasi tentang proses bagaimana


peneliti dapat menyimpulkan hasilnya. Tugas dokter adalah
memilih hasil penelitian yang terbaik untuk diterapkan pada
pasien, tetapi kendalanya adalah bagaimana cara memilih
artikel penelitian yang baik. Disini EBM memberi solusi
bagaimana mencari dan mengkritisi literatur penelitian yang
baik, melalui telaah kritis (critical apprarsal). EBM bahkan
menyediakan secara instan data penelitian yang didapat
melalui kritisi tersebut
Di negara sedang berkembang, seperti di Indonesia,
tingkat kesehatan masyarakat belum optimal, sedangkan

Clinical Expert se
Adalah tingkat kompetensi seorang dokter dalam
menangani pasien. Dokterharus melakukan anamnesis dan

pemeriksaan secara cermat dan sistematik untuk


menegakkan diagnosis, memilih terapi dan menentukan

prognosis. kompetensi seorang dokter ditentukan oleh


faktor
. Ilmu (sclence)yangterdiri dari:

dana sektor kesehatan terbatas, sehingga perlu


pemanfaatan sumber dana secara efisien. EBM juga
digunakan di negara maju untuk men).usun konsensus

diagnosis dan pengelolaan pasien oleh berbagai organisasi

Governance (CG. CG merupakan bagian utama dari

pengalaman

Seni yang merupakan komposit dari:

profesi, pedoman diagnosis dan terapi (clinical practice


guidelines) di rumah sakit. Bahkan di Inggris dan
Australia EBM merupakan pilar pokok dalam Clinical
National Health Serttice (NHS) dan akreditasi RS di negara
tersebut tergantung baik tidaknya CG. CG juga membantu
meminimasi masalah mediko-legal

pengetahuan (ilmu kedokteran)

logika; sintesis dan analisis data klinis mis; melalui


problem oriented medical record (POMR)

Keyakinan (beliefs),
pertimbangan (clinical judgement),

intuisi

Clinical expertise merupakan bagian yang paling


penting dari EBM. Evidence saja tidak bisa bekerja tanpa
clinical expertise.

Evidence yang Didapatkan dari Literatur


Tujuan EBM

1. Meningkatkan

akurasi, efektivitas dan efisiensi dalam


diagnosis. terapi dan pognosis.

Literatur (luar negeri) tidak selalu sahih. Kita harus


mengkritisi metode literatur tersebut, jika sahih dapat
terapkan pada pasien.

2360

2361

PENERAPAN.EWDENCEBASET' MEDICINE DN.AM BIDAI\G REUMATOLOGI

han Pasien (patient's preferences)


Kita harus memberikan informasi klinis terbaik (tersahih)
kepada pasien seperti kausa penyakit, faktor yang
Pi li

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan sering tidak

Agar dokter tetap up to date, karena banyak literatur

efektif.

terakhir yang lebih bermanfaatbagi kita dan pasien

mempengaruhi kesembuhan, efektivitas obat, efek samping


obat, harga obat dan tindakan lain yang akan kita lakukan

pada pasien. Kita perlu mengakomodasi apa yang


LANGKAH PELAKSANAAN EBM

dikehendaki pasien.

a.
Clinical expertise

Best Evidence

Patient's prelerence

Pilih Suatu Masalah Klinis (clinrcal questionl

Kita mendapatkan seorang pasien dengan SLE yang harus


menggunakan kortikosteroid jangka panjang, kita tentu
ingin tahu obat apa yang terbaik untuk mencegahnya
osteoporosis. Kita pernah membaca bahwa bisfosfonat
misalnya Drug A bisa mencegah osteoporosis dan
mencegah fraktur akibat osteoporosis akibat penguunaan
Kortikosteroid jangka pan;ang. Jadi masalah klinis kita
adalah:

Apakah benar Drug Abisa mencegah timbulnya fraktur


pada pasien dengan osteoporois akibat kortikosteroid?

b. Mencari Literatur yang Sesuai dengan


Masalah Klinis

Gambar. 1. Model pengelolaan pasien pada EBM

MENGAPA EBM DIPERLUKAN?

..

Strategi

Lupakan buku ajar (textbook).

Banyak artikel penelitian (sebagi evidence) tidak sahih


- Haynes et. al. (1986), melalui kritisi pada metode

artikel penel itian

earch article), melaporkan

Buku ajar terbitan terakhirpun sebetulnya sudah

bahwa pada artikel yang dimuat di 4 majalah penyakit

ketinggalan, karena isinya diambil dari literatur 1-3 tahun


yang lalu atau bahkan lebih. Buku ajarjuga sering tidak

(res

dalam terkemuka drdunia, haqta I90% 8 yang metode


dasamya memenuhi syarat . Untuk peneltian akurasi

berbagi tes diagnosik mulai dari tes celup urin


sampai MRI, Reid, Lachs dan Feinstein (1995)
melaporkan haryta 6'% e yang metodenya baik
Kasus Mesin Gaslric Freezing
Pada awal tahun 70an di Amerika beredar mesin

mencantumkan metode yang menginformasikan


bagaimana proses pencapaian hasil penelitian,
sehingga kita bisa melihat sejauh mana kesahihan
penelitian tersebut.
Mengetahui tingkat kesahihan desain penelitian.

Desain penelitian mempunyai berbagai tingkat

gastic freezing, yaitu mesin yang dapat

kesahihan. Makin kurang kesahihannya makin kurang

tujuan untuk terapi perdarahan lambung. Mesin

baik hasilnya dan mungkin tidak relevan untuk


diterapkan pada pasien. Pengetahuan ini diperlukan

tersebut sempat terjual 2500 unit, setelah suatu saat

untuk memahami mengapa dilakukan telaah kritis itu

sebuah penelitian independen randomized


clinical trial (RCT) yang membandingkan mesin

(Tabel 1).

membekukan miliu gaster sampai -100 C, dengan

.
.
.

tersebut dengan terapi konvesional menemukan


bahwa mesin tersebut tidak lebih baik dari terapi
konvensional. Banyak kasus yang mirip dengan
kasts gastric freezing tersebut yang termuat dalam
berbagai literatur
Jumlah artikel penelitian di majalah kedokteran terus
meningkat, mencapai I juta artikel baru setiap tahun
Para dokter sering tidak berkesempatan memperoleh
evidence, padahal ada akses.

Pengetahuan dan kinerja dokter menurun karena


pengaruh umur.

Jenis penelitian tidak hanya uji klinis terapi saja tetapi


juga penelitian tentang:
Penyebab atau faktor risiko penyakit (mis, asam urat
sebagai faktor risiko strok)
Uji saring (mis; tesANAcekup tahunan, menjaring

A
B

Pilih masalah (clinical question) yang kita hadapi pada


pasren

Cari the best evidence dari literatur yang relevan dengan


masalah pasien melalui telaah kritis
C. Terapkan the best evidence pada pasien

2362

RET.JMAiTIOIOGI

pasienHIVdll.)

- Uji
-

akurasi tes diagnostik (mis; USG untuk

mendiagnosis Ca Caput pankreas)

Faktor prognosis (mis; hipotensi sebagai faktor


yang meningkatkan kematian pada infark jantung

aku|.

- Penelitian ekonomi klinis dll.


Mencari literatur yang relevan dengan masalah klinis.
- Ke perpustakaan: akan memakan waktu lama dan
tidak lengkap.
- Ke internet mencari

literatur penelitian asli


(original article ata:u research article). Tanda

artikel asli terlihatpada abstrak, di manaterlihat ada


kata o bj e ctive (Tujuan Penelitian), Methods . Situs

yang menyediakan literatur sangat banyak.


Beberapa malah menyediak at artlkelfulltexl secara
gratis. Misalnya; PubMed (h@://www.entrez.gov,f ,

Free Medical Journals (http:www.freemedical


joumal.com/), Highwire ( h@://wwwstanford.edu/)
dll.

EBM instan. Kita bisa mendapatkan informasi medis


secara instan yang sudah dilakukan kritisi (critical
appraissal) oleh tim yang terdiri dari para klinisi
senior dan ahli epidemiologi klinis senior. Untuk
mendapatkan EBM instan Para dokter mengunjungi

situs tempat kelahiran EBM di Mc Master


University (h@;/,rhru.mcmaster.calebm/default.htrn)
atau Cochrane Library ftttp//wwwldnder.com/), Cltncal
Evidence BMJ (http://www.clinicalevidence.org/),

National Guidelines Clearing House (http:ll


www.guideline.gov/) dll.) Anda akan mendapatkan
informasi lebih banyak tentang situs-situs EBM di
dunia melalui email: mailbase@mailbase.ac.uk

.
.
.

Apakah desain penelitiannya minimal suatu RCT?


Apakah data dasar (baseline data) pada kelompok obat
dan kelompok pembanding homogen?
Apakah semva outcome penting ditampilkan dan terukur

Apakah drop-out dari subyek penelitian kurang dari

'

Apakah di samping secara statistik bermakna, secara

obyektifl
20%

klinis |uga bermakna?


Kalau dari salah satu kriteria di atas tidak lolos, berarli
metodenya belum dapat dikatakan sahih dan hasil penelitian
tersebut belum dapat diterapkan pada pasien. Penekanan
pembahasan kali ini adapada butir 5 dan 6, yaitu apakah
yang dimaksud dengan secara statistik bermakna, secara

klinis juga bermakna? Sebagai contoh suatu obat anti


kolesterol dapat menurunkan kadar kolesterol yang secara
statistik bermakna tetapi juga harus dapat menurunkan
angka komplikasi (outcome) yang secara klinis bermakna
yang berkaitan dengan hiperkolesterolemia seperti penyakit
janfung koroner dan stroke serta dapat menurunkan angka
kematian yang berkaitan dengan hiperkolesterolemia secara

bermakna. Angka kematian yang meningkat dapat


disebabkan karena efek samping obat yang tidak terdeteksi
klinis fase IIL Pada konteks Drug A sebagai

pada penelitian

obat anti osteoporosis, apakah Drug A selain dapat


meningkatkan densitas mineral fulang secara bermakna
juga dapat menurunkan insidens fraktur secara bermakna?

Mengukur Kemaknaan Klinis Suatu Terapi


Kemaknaan klinis diukur melalui Relatif Risk Reduction
(RRR) dalam konteks obat antiosteoporosis adalah dengan
formula:
Proporsi fraKur kelompok plasebo

Melaksanakan Telaah Kritis


Untuk menentukan terapi yang rasional dan efisien kita
sebaiknya memilih the best evidence dari artikel asli.
Seharusnya kita mencari beberapa artikel yang relevan dari

beberapa literatur kemudian kita pilih yang terbaik


metodenya melelui telaah kritis. Untuk melakukan telaah

proporsi fraktur kelompok Drug A

Proporsi fraktur kelompok plasebo

.
.

Jika nilai RRR, misalnya obat X dibanding plasebo )


25oh,maka obat X dapat dianggap mempunyai makna

klinis.
Jika

RRR

50%o,

bisa dianggap sangat bermakna.

kritis kita perlu membaca buku, misalnya'. Eyidence based


medicine. How to practice and teach EBMilisanSackett
dkk atau buku yang lain. Sebagai contoh penerapan EBM
kita pilih satu literatur penelitian (hipotetis) yang kita ambil
dari internet yang berjudul.'

Contoh penghitungan RRR adalah sebagai berikut:


Dari literatur tersebut kita lakukan telaah kritis seperti
tercantum pada Tabel 2.

Drug A therapy prevents corticosteroid induced bone


loss. A six months, multicenter, randomized double blind,

Subyek Penelitian

placebo controlled, parallel group study. Uncles MR,


Brothers CJ, Aunties G et al. Acta Keroposa 2002: 34:
20007-20001 3
Telaah kritis dapat kita lakukan dengan menelusuri
bagian bahan dan cara (Materials and methods) dan hasil

.
.
.
.

Plasebo:N:77

DrugA2,5mg/hari:N:75
DrugA5 mglhalrr76
Lamapenelitian 12bulan.

penelitian (results). Adapun kriteria telaah kritis untuk

Penghitungan RRR

rnengetahui baik tidaknya penelitian tentang terapi adalah:

Penghitungan RRR pada Dru g A2,5 mg/hari terdap at pada

2363

PENERAPAN EVIDENCF.BASED MEDICINE DALAM BIDANG REUMATOLOGI

Mengukur Efisiensi Terapi Secara Sederhana

Tingkat
1

2
.J

Tujuan penelitian

Desain

Kesahihan

Meta-regression
Mega-trial
Meta-analysis

Terapi
Terapi
Terapi, Uji diagnositik,

Kita tetap pada penelitian di atas. Disini diukur efisiensi


terapi secara sederhana melalui cara Number Needed to
?eaf (I.trNT) dengan formula

NNT:I/ARR
Sedangkan formula AP.P. (absolute risk reduction)
dalam konteks obat antiosteoporosis adalah:

uji saring, risiko,


prognosrs
4.
E

6.
7
8
o

Randomized Clinical
Trial (RCT)
Cohort
Case-Control
Cross-secflona/
Case-serles (seri
kasus)
Clinical opinionexpeflence

Terapi, uji saring,

proporsifraktur kelompok plasebo

Faktor prognosis
Faktor Risiko
Akurasi Tes
Diagnostik
Membuat Kriteria
Diagnostik

Interpretasi hasil NNT terapi Drug A2,5 mglhari seperti

Tabel3. Ternyata Drug A 2,5 mglhari yang diberikan


selama 12 bulan, secara klinis cukup bermakna dibanding
plasebo dalam menurunkan insidens fraktur untuk pasien
osteoporosis akibat kortiko steroid, RRR : 3 5, 8 % (25 - 50%)

(Tabel3)

Untuk selanjutnya kita lakukan penghitungan RRR

proporsifraktur kelompok DrugA

tercantum dalam Tabel 5 adalah:

Pada pasien osteoporosis akibat kortikosteroid


diperlukan 16.l pasien yang diterapi dengan Drug A
2,5 mg/hari selama I2 bulan untuk mencegah terjadinya
I fraktur vertebra.
Jika terapi Dru g A2,5 mghaimemerlukan dana sebesar
Rp 5000,-/hari atauRp. 150.000,- setiapbulan, makadalam
terapi selama 12 bulan diperlukan dana Rp 1.800.000,-. Jadi
untuk mencegah 1 fraktur pada pasien CIO, dalam waktu
12 bulan diperlukan dana sebesar 16,1 x Rp 1.800.000,-

Rp 28.980.000,- (Tabel 5)

pada DrugA 5 mg seperti tercantum pada Tabel4.Temyata


Drug A 5 mg yang diberikan selama 12 bulan, secara klinis

sangat bermakna dibanding plasebo dalam menurunkan

insidens fraktur untuk pasien osteoporosis akibat


korlikosteroid, RRR

67,5% (>50%) (Tabel 4).

lnsidens Fraktur
Vertebra
Plasebo

NNT

ARR

Drug A
(RS)2,5 ms

0,173

0,111

(P-RS)

0,358 0,062

1/0,062 = 16,1

Penjelasan

Apakah desain RCT?

Ya (lihat Materials and Methods

Dala dasar antara


plasebo, Drug A 2,5 mg
dan 5 mg homogen?
drop-out <20o/o?

Ya (lihat Tabel

4.

section)

Outcome diukur obyektif?

5a, Statistik bermakna?


5.b Klinis bermakna?
5.c Efisiensi Drug A

lnsidens
vertebra
PlaseboP o11oAn
0,173

Relative Risk Reduction


(RRR)

m0

0,111

pada literatur di

Tidak dan Ya
folal drop out 781228 (34,2o/o\
Plasebo: 20 17 7 (25,9o/o\
Drug A 2,5 mg: 44175 (58,6%)
Drug A 5 mg: 15/76 ('19,6%)
(lihal Patient and Methods section)
Ya, BMD dan X-Ray etc
Ya, BMD dll. pada berbagai tempat
berbeda secara signifikan (p<0,0010,05) (Tabel 3. literatur di atas)
Lihat tabel penghitungan RRR
Lihat tabel penghitungan NNT

Fraktur

z.c

0,173

- R2,5/P

0,1111 0,173 = 0,358 = 35,8%

lnterpretasi Hasil NNT pada Terapi Drug A 5 mg/hari


adalah
Pada pasien osteoporosis akibat kortikosteroid
diperlukan 8,6 orang yang diterapi dengan Drug A 5
mg/hr selama 12 bulan untuk mencegah terjadinya 1
fraktur vertebra.
Jika terapi Drug A 5 mg memerlukan dana sebesar
Rp 10.000,&ari atau Rp. 300.000,J bulan maka dalam terapi
selama 12 bulan diperlukan dana Rp 3.600.000,-, Jadi uatuk
mencegah I fraktur dalam waktu I 2 bulan diperlukan dana
sebesar 8,6 x Rp 3.600.000,-: Rp 30,960.000,-

lnsidens Fraktur

NNT

Vertebra

Plasebo

0,1 73

Drug A
1Rs;s ms
0,057

RRR
67Yo

ARR
(P-RS)

0.116

1/ARR

1/0.1'16 = 8,6

2364

REI,JMITIOI.oGI

KESIMPULAN SEMENTARA

besar sampelya atau melakukan meta-analisis. EBM

Pemberian Drug A 2,5 mglhari selama 12 bulan (Rp


28.980.000,-) lebih efisien dibanding Drug A 5 mglhari

sebaiknya memang dikembangkan di kalangan dokter dan

seterusnya di tingkat yang lebih tinggi yaitu dalam

selama 12 bulan (Rp 30.960.000,-) unhrkmencegah 1 frakhr


vertebra pada pasien osteoporosis akibat kortikosteroid.

pengambilan kebijakan di Bagian, di Rumah Sakit, misalnya


dalam pembuatan Pedoman Diagnosis dan Terapi maupun
oleh organisasi profesi dalam penyusunan Konsensus

TERAPKAN PADA PASIEN

Diagnosis atau Konsensus Terapi. Bahkan EBM bisa


diterapkan dalam sistem pelayanan kesehatan secara
nasional Dari penjelasan di atas kita lihat bahwa
pengelolaan pasien yang baik hampir selalu berasal dari
penelitian yang baik, Oleh karena itu pemahaman EBM

Jika dari hasil telaah kritis menurutAnda sebagai seorang


clinical expertis e,Drug A2.5 mg memang efektif dan efi sien
silahkan dterapkan pada pasien.

EBM tidak hanya mengkritis artikel tentang terapi,


tetapi juga artikel tentang kausa penyakit,

uji saring, tes

diagnostik, faktor prognostik dan sebaginya. Untuk


mempelajai lebih lanjut silahkan baca bukr.r/artikel pada
daftar pustaka di bawaah.

RINGKASAN
EBM adalah upaya untuk melakukan pengelolaan pasien
dengan menerapkan informasi medis yang sahih agar
pasien tidak dirugikan secara moral maupun finansial. Oleh

itu seorang klinisi sebaiknya kritis terhadap


informasi medis yang akan digunakan untuk menentukan
diagnosis, terapi dan prognosis pasien, sebab tidak semua
informasi medis yang kita dapatkan adalah sahih. Perlu
diluangkan sedikit waktu untuk mempelajari memahami
metode penelitian dan telaah kritis serta metode kuantitatif
agar kita dapat memberikan yang terbaik kepada pasien.
Dalam konteks EBM pada terapi Drug A, telah dapat
ditunjukkan efikasi Drug Adan komparasi efisiensi Drug
A2,5mglhai dan 5 mglhari selama 12 bulan pada pasien
osteoporosis akibat penggunaan kortikosteroid. Namun
sebaiknya dilakukan evaluasi EBM pada trial yang lebih
karena

diharapkan akan merangsang para klinisi untuk


meningkatkan kualitas maupun kuantitas penelitian.

REFERENSI
Dixon RA, Munro JF, Silcocks PB. The evidence based medicine
work book. Critical appraisal for clinical problem solving.Oxford:
Butterworth-He itemat 1997
Geyman. E . Evidence based medicine in primary care: Aa overview.

In: Evidence Based Clinical Practice: Concepts and approaches.


Eds. Geyman JP, Deyo RA, Ramsey SD Boston: ButterworthHeineman. 2000. pp 1-11
Gray TA. Clinical govemance. Ann Clin Biochem 2000; 37: 9-15.
Haynes RB et al. How to keep up with medical literature IL Deciding
which journal to read regularly. Ann Intem Med 1986; 309:105
Kehoe R. Local initiatives in clinical effectiveness. Advances in
Psychiatric Treatment. 2000; 6: 173-379.
Reid MC, Lachs MS, Feinstein AR. Use of methodological standards
in diagnostic test research. Getting better but still not good.
IAMA. 1995;274:651
Sackett DL, Haynes RB, Guyatt GH, Tugwell P: Clinical epidemiology. A basic science for clinical medicine. Boston: Little, Brown
and Company 1991.
Sackett DL, Richardson WS, Rosenberg W, Haynes RB. Evidence
based medicine. How to practice and teach EBM. New York:

Churchil-Livingstone,

999.

375
METROLOGI DALAM BIDANG REUMATOLOGI
Rizasyah Daud

Berlainan halnya dengan cabang kedokteran klinik lain

pada umumnya, penguk\rafl outcome dalam bidang


reumatologi tidak selalu mudah untuk dilakukan. Hal ini
disebabkan karena dalam mengelola pasien penyakit
reumatik, kita seringkali berhadapan dengan rasa nyeri,
pengaruh penyakit pada aktivitas sehari hari bahkan sampai

mencakup masalah kesejahteraan pasien akibat penyakit

yang di deritanya. Berbagai ukuran ini agaknya lebih


banyak mendekati suatu construct dari pada ukuran yang
dapat diukur secara secara langsung seperti kadar gula

darah pada pasien NIDDM atau SGPT pada pasien


hepatitis virus. Akan tetapi, sejak 50 tahun terakhir ini

saja dapat mengecilkan arti ukuran nyeri sendi yang


sebenarnya telah dianggap valid dan cukup responsif.
Dengan demikian jika kita ingin menggunakan instrumen
ini untuk mengurangi variasi yang mungkin terjadi,
pengukuran sebaiknya harus dilakukan oleh seorang
peneliti tunggal. Jika pengukuran ini harus dilakukan oleh
beberapa orang peneliti, maka akan diperlukan jumlah
sample yang lebih besar. Hal ini tentu saja akan
meningkatkan biaya, mengurangi kelayakan dan efisiensi
penelitian.

Dalam 10 tahun terakhir ini terjadi beberapa


perkembangan penting dalam bidang pengukuran o utcome
penyakit reumatik. Bombardier5 dan kawan kawan pada
tahun 1982 telah meng-identifikasi bahwa nyeri, joint count,
global assessment, grip strength, kaku pagi hari dan

metrologi dalam bidang reumatologi dan muskuloskeletal


pada umumnya telah berkembang dari sekedar usaha
pengenalan deskriptif menuju kearah metode pengukuran
yang lebih canggih yang lebih banyak menekankan pada
faktor validitas dan efisiensisa, walaupun dengan
perkembangan yang demikian tersebut sampai saat ini
belum berhasil dijumpai adanya suatu ukuran tunggal
yang seragam dan dapat memenuhi semua persyaratan
serta dapat digunakan secara luas pada setiap aspek yang
ingin ditetiti. Lebih jauh lagi, ketidak seragaman ini juga
terjadi karena perbedaan selera para peneliti yang juga

membentuk suaf,t core set dari ukuran aktivitas penyakit


penelitianAR yang terdiri dari patient global assessments,
patient pain, physical disability, tender joint count, swol-

berbeda dalam pola penggunaan outcome dalam

len

penelitiannyar. Dengan demikian, pada saat ini masih


banyak terdapat heterogenitas yang membingungkan
dalam metode pengukuran yang digunakan dalam
penelitian bidang reumatologi, di mana outcome yang di
inginkan tidak selalu mudah untuk di ukur
Pentingnya pemilihan outcome penelitian yang tepat
dapat di ilustrasikan dalam contoh di bawah ini. Cooperating Clinics Articular Index yang di susun oleh the
American Rheumatism Association (ARA) dan banyak
digunakan dalam penelitian artritis reumatoid (AR), seperti
juga indeks lain yang serupa memiliki variasi interobserver
yang lebih besar dari variasi intraobserver. Hal ini tentu

penelitian fungsional merupakan indeks yang penting


dalam penelitian AR. Smythe dan kawan kawan
mengajukan p etgutaan Pooled Index sebagai suatu teknik
dalam pengukuran effect pengobatan pada AF.6. The

American College of Rheumatology3 juga telah

joint

count, physician global, assessment, dart'


pemeriksaan sinar xjika penelitian dijalankan untuk menguji
DMARD selama lebih dari 1 tahun (persyaratan dari WHO
dan ILAR). Core set ini kemudian disempumakan oleh
Boers dan kawan kawan dalam konferensi OMERACT di
Maastricht dengan menambahkan ukuran reactant fase akut.
Walaupun masih terdapat banyak variasi yang cukup
besar dalam preferensi pemilihar, outcome penelitian, saat

ini telah terlihat

adanya suatu pola atau garis besar

keseragaman tertentu. Saat

ini ukuran yang banyak

digunakan dalam penelitian penyakit reumatik adalah nyeri,

jumlah sendi yang terlibat, penilaian global, indeks


fungsional, kekakuan dan performance test.

2365

2366

REUMATOI.OGI

Pada sebagian besar penelitian AR, penggunaan


berbagai outcome akan cenderung memperlihatkan bahwa
suatu pengobatan hanya bermanfaat pada ukuran ukuran
tertentu saja dan tidak bermanfaatpadaukuran yang lain.

Hal ini akan menyebabkan timbulnya kekacauat yatg


membingungkan dalam menginterpretasi hasil pengobatan,
atau menyebabkan seorang peneliti dapat hanya memilih
atau melaporkan outcome yang menunjukkan perbaikan
akibat pengobatan yang bermakna saja. Akhirnya sebagian

besar penelitian yang sudah dijalankan tidak sensitif


terhadap perubahan, walaupun efek pengobatan sudah
terlihat dengan jelas.

Untuk mengatasi permasalahan di atas The American


College of Rheumatologytelah menyusun core set un.t.)k
digunakan dalam penelitian effect pengobatan pada pasien
AR. Outcome dalam core set dari The American College
of Rheumatology yar'g akan dibahas ini terdiri dari:

.
.
.
.
.
.
.
.

patient global assessments


patient pain
physical disability
tender

joint count
joint count

physician global assessment


acute phase reactants
pemeriksaan sinar X kalau penelitian dilakukan untuk
menguji DMARD dan berlangsung lebih dari 1 tahun
(sesuai dengan persyaratan WHO dan ILAR)

di antaratya

bahkan dapat meramakan outcome jangka panjang pada


AR serta disabilitas fisik, kematian dan kerusakan tulang

secara radiologis. Kemudian pada the International

Conference on Outcome Measures in Rheumatoid


Arthritis Clinical ?ial (OMERACT) in Maastricht, The
Netherlands, acute phase reactants juga dimasukan oleh
komite ACR ke dalam core set ini. Beberapa ukuran aktivitas

penyakit yang sering digunakan seperti grip strength atau


waktu berjalan l5 meter tidak dimasukan ke dalam core set

ini karena berbagai alasan seperti:


. Tidak sensitif terhadap perubahan.
. Cukup sensitif terhadap perubahan pada pengobatan
suatu regimen terapi akan tetapi tidak sensitif pada
pengobatan lainnya,

Menduplikasi informasi yang diperoleh dari salah satu


ukuran yang terdapat dalam core sel (seperti tender
joint score dan tenderjoint count).

PATI ENT

terhadap perubahan untuk penelitian AR. Walaupun


perbaikan akibat pemberian obat obatan anti reumatik yang
bermakna secara statistik dapat terjadi akibat persepsi

gejala pada beberapa individu dapat terpengaruh oleh


berbagai faktor, yang mungkin sama sekali tidak
berhubungan dengan penyakit yang dideritanya, patient
global assessments dapat di anggap sebagai suatu ukuran
outcome yang penting pada AR.

Nyeri merupakan gejala utama pada penyakit reumatik,

Keenam ukuran pertama bersama dengan pemeriksaan


sinar-x, dianggap telah dapat menggambarkan perbaikan
padaAR secara luas, dan setidaknya bersifat cukup sensitif

Bombardier and Gcitzsche pada penelitiannya


menemukan bahwa the patient s global categorical selfctssessment merupakan ukuran yang paling sensitif

RASA NYERI

swollen

terhadap perubahan. Beberapa outcome

secara global di nilai sendiri oleh pasien pada saat


penelitian dimulai dan pada akhir penelitian. Pasien sendiri
akan menilai restriksi fungsional yang dideritanya akibat
AR sebagai asimtomatik, ringan, moderat, berat atau sangat
berat.

LOBAL ASSESSMENT

Patient global assessment didasarkan pada kesan


yang diperoleh oleh seorang pasien tentang status
kesehatannya secara global pada saat ini. Kategori pasien

walaupun menghilangkan rasa nyeri merupakan tujuan


utama dari banyak pengobatan, hampir seluruh literatur
tentang rasa nyeri menyebutkan bahwa rasa nyeri memiliki
sifat yang kompleks dan sukar untuk di ukur secara akurat.
Untuk dapat menunjukkan kemampuan pengobatan dalam

mengatasi rasa nyeri, nyeri harus di ukur secara langsung.


Pengukuran tidak langsung seperti kadar obat obatan

antireumatik dalam plasma, umurtnya tidak berkorelasi


dengan respons klinik. Juga penurunan laju endap darah
dan titer faktor reumatoid tidak selalu berarti sebagai
terdapatnya perbaikan dari AR
Rasa nyeri merupakan pengalaman yang sangat pribadi
dan karena itu umumnya bersifat sangat subjektif. Sampai

saat ini belum terdapat ukuran objektif yang dapat


digunakan untuk dapat mengukur beratnya rasa nyeri.
Karena itu rasa nyeri hanya dapat di ukur oleh pasien yang
merasakannya sendiri.Selain dari pada itu, nyeri pada
artritis dapat mempunyai kwalitas yang berbeda dan
intensitasnya dapat berlainan pada persendian yang
berbeda atau pada waktu tertentu. Akan tetapi telah
diketahui bahwa beratnya rasa nyeri pada pengukuran
pertama merupakan faktor penentu utama dari respons
potensial sehubungan dengan pengurangan rasa nyeri
tersebut. Pengukuran rasa nyeri merupakan usaha yang
sangat penting dalam menilai hasil pengobatan. Rasa nyeri
merupakan umumnya merupakan keluhan utama dari pasien

yang memerlukan pengobatal dat hilangnya rasa nyeri


merupakan tujuan utama dari hampir semua pengobatan.
Walaupun misalnya terdapat suatu ukuran outcome yatg
canggih dari suatu penyakit tertentu, pengukuran rasa
nyeri pasien umumnya masih harus dilakukan. Dari ukuran
beratnya penyakit saja, tidak pernah akan dapat ditentukan
bahwa seorang pasien telah sembuh dengan sempurna.
Dengan demikian jika kita ingin mengetahui apakah suatu

2367

METROLOGI DALAM BIDANG REUMATOLOGI

pengobatan dapat mengurangi rasa nyeri, kita harus


mengukur rasa nyeri tersebut atau pengurangan rasa nyeri
untuk mengetahuinya.
Saat ini terdapat 6 metoda untuk menilai rasa nyeri atau
pengurangan rasa nyeri yang relevan unfuk digunakan
dalam penelitian obat obatan anti-reumatik yaifi: Visual

Rating Scale, Graphic Rating Scale, Continuous

Analogue Scale, Likert Scale, Numerical


Chromatic Analogue Scale and Pain Faces Scales.
Dari skala yang ada, Visual Analogue Scale (YAS)
merupakan skala yang paling umum digunakan dalam
evaluasi obat obatan anti-reumatik. Selain untuk mengukur
rasa nyeri, VAS juga pemah digunakan untuk mengukur
sejumlah ukuran lain seperti kekakuan, fungsi tubuh dan
fungsi sosio-emotional. VAS merupakan garis sepanjang
l0 cm yang di anggap mengambarkan kontinum dari rasa
nyeri. Kedua ujung garis tersebut ditentukan sebagai
ekstrim rasa nyeri yang berupa "TidakNyeri Sama Sekali"
dan "Nyeri YangAmat Sangat". Pasien menentukan suatu
titik pada garis tersebut yang sesuai dengan rasa nyeri
yang dirasakanny a. J arak antara"Tidak Nyeri Sama Sekali"
dan titik yang dibuat pasien di anggap merupakan beratnya
rasa nyeri. Walaupun VAS merupakan skala penentuan
yang bersifat subjektif, VAS telah banyak diselidiki dan di

anggap sebagai salah satu suatu metoda yang paling


akurat untuk mengukur rasa nyeri. Content validity dari
VAS telah diketahui sebagai memenuhi syarat.

I4sual Analogue Scale

Tidak nyeri

Nyeri

Sama sekali

yang

Amat sangat
cm ------------- >

VAS memiliki korelasi yang sangat baik dengan simple


verbal rating scales, akantetapi VAS lebih sensitif terhadap

perubahan dibandingkan dari verbal rating scales.


Walaupun daya deteksi VAS pada perubahan kecil masih
bersifat kontroversialdan reliabil itas t e s t - r e t est masih

..

mempengaruhi nilai VAS yang di ukur kemudian. Saat


ini telah disepakati untuk membiarkan subjek yang di
uji untuk mengetahui nilai sebelumnya.
Reprodusibilitas akan lebih baik pada kedua ujung garis
VAS, dibandingkan dari bagian tengahnya yang disebut
sebagai golden section (kurang lebih 2 cm dari titik
tengah.
Proses fotokopi dapat mengganggu panjang garis yang
sebenarnya, sehingga semua hasil reproduksi harus di
teliti sebelum digunakan.

Karena nilai VAS tidak terdistribusi normal, untuk

inferensi statistik harus digunakan metode non


parametrik.

DISABILITAS FISIK
Ukuran disabilitas fisik dimasukkan kedalam ACP. Core
Set of Disease Activity karena ukuran ini menunjukkan
sensitivitas terhadap perubahan dan ukuran ini sendiri
merupakan gold standard outcome yang penting secara
klinis. Juga status disabilitas fisik pada pasien AR dapat
meramalkan disabilitas fisik dan kematian yang terjadi
lambat, lama setelah waktu permulaan menderita penyakit
tersebut.
Jika banyak ukuran aktivitas penyakit pada AR
berkorelasi dengan disabilitas fisik, ukuran ini agaknya
merupakan prediktor yang terbaik untuk disabilitas lambat.
Terdapat beberapa instrumen status disabilitas fisik yang
telah banyak digunakan seperti MACTAR dan AIMS.
Pengaruh suatu penyakit kronik atau pengaruh suatu

pengobatan pada kualitas hidup pasien tidak dapat di


evaluasi dengan cara menggunakan uji laboratorium
spesihk tertentu atau dengan pemeriksaan klinis. Karena
keputusan klinis seringkali dipengaruhi oleh gangguan
fungsional, maka adalah sangat penting untuk dapat
menggunakan suatu cara pengukuran disabilitas yang
dapat mendeteksi perubahan yang penting secara klinis
dan menggambarkan suatu situasi klinis dimana suatu
keputusan penatalaksanaan harus diambil. Beberapa

dipertanyakan, tidak satupun instrumen pengukur nyeri

peneliti telah membentuk berbagai instrumen yang spesihk

yang ada saat ini dapat dibuktikan mempunyai kemampuan


yang lebih baik dibandingkan dari VAS. Berbagai sifatVAS

untuk artritis baru yang dapat mengukur fungsi dan


status kesehatafl yalg juga memasukkan beberpa

telah di telaah oleh Bird dan Dixon yang diringkas sebagai


berikut:

perkembangan baru dalam pengukuran klinis.

Terdapat suatu korelasi yang cukup kuat (r: 0.75,


p < 0.01) antara respons yang dinilai dengan VAS dan
skala deskriptifnyeri sederhana (simple descriptive pain

hanya MACTAR yang memiliki kemampuan untuk

scale)20.

'

Terdapat suatu korelasi yang sangat kuat (r:0.99,


p < 0.001) antara respons yang dibuat pada VAS
vertical dan horizontal analogues, walaupun nilai VAS
horizontal cenderung untuk lebih rendah dibandingakan
dengan VAS vertical.
Diketahuinyanilai pemeriksaanVAS yan gpertama dapat

Dari beberapa instrumen yang adapada saat ini, agaknya


mengkuantifikasi prioritas fungsional spesifik dari setiap

pasien. MACTAR merupakan satu satunya kuesioner


prioritas fungsional yang ada pada saat ini, yang di disain
untuk dapat mengidentifikasi disabilitas akibat RA secara
individual dan kepentingannya untuk pasien yang
bersangkutan.

MACTAR merupakan kuesioner yang di isi oleh


seorang pewawancara yang memungkinkan pasien dapat

mengidentifikasi dan memprioritaskan kemampuan

2368

fungsionalnya sendiri yang secara spesifik dipengaruhi


oleh penyakit yang di deritanya. Dengan pendekatan ini,
"bising" statistik yang umumnya di dapatkan dengan
menggunakan kwesioner konvensional yang mengandung
item yang tidak relevan terhadap pasien tertentu dapat

dihindarkan. Index ini merupakan kuesioner multidimensional yang mencakup daerah daerah sosial,
emosional and fungsional. Dimensi fungsional juga terdiri

dari 4 componen, termasuk mobilitas, self care, kerja,


aktivitas pada saat bersantai. Dengan menggunakan suatu
interview yang bersifat semistructured, pasien diminta
untuk menggambarkan aktivitas utama yang terganggu
menurut pandangannya dan 5 aktivitas fungsional yang
paling nyata terganggu akan di evaluasi, Pada penilaian
kembali pada pasien ditanyakan apakah kemampuannya
untuk melakukan 5 aktivitas tersebut telah membaik, tidak
berubah atau menjadi lebih buruk.

Jika dibandingkan dengan kuisioner standard

REUMATOLOGI

JOINTCOUNTS
Berbagai jenis joint counts seringkali digunakan pada
penilaian pasien RA danjoint count rr,euempati prioritas

tertinggi yang disepakati dalam The 1982 Hamilton


Structured Workshop for Endpoinl Measures in
Clinical Trialss. Joint count yang terbanyak digunakan
adalah swollen joint count dan tender joint count merurut
the ARA Co-operating Clinics Committee Articular
Index.
Tender

sebagai nyeri tekan atau nyeri gerak menurut skala sebagai

berikut:

0:
1:
2:
3

konvensional, teknik "pencapaian tujuan" ini agaknya lebih

sensitif terhadap perubahan yang kecil. Juga jika


dibandingkan dengan indeks konvesional lainnya,
penggunaan strategi ini akan memungkinkan untuk
mendapatkan persentasi perbaikan fungsi prioritas pasien
yang lebih tinggi. Dengan demikian penggunaan MACTAR

akan memungkinkan pengurangan jumlah sample yang

dibutuhkan pada suatu penelitian dibandingkan dari


penggunaan kwesioner konvensional sebagai ukuran outcome yang utama.
Sebagai suatu instrumen yang mengukur disabilitas
hsik, MACTAR telah terbukti merupakan instrumen yang

valid dan reliable. Sensitivitas MACTAR terhadap


perubahan telah di uji oleh Tugwell dan kawan kawan
dalam suatu double blind, randomized trial pasien AR
yang membandingkan methotrexate (63 pasien) dengan
placebo (60 pasien). Hasilnya menunjukkan bahwa
methotrexate temyata lebih baik, dimana kemajuan dari
outcome yang di ukur temyata lebih berkisar antaru 2oh
sampai 39% leblh tinggi pada kelompok methotrexate
dibandingkan dari kelompok plasebo. Kwesioner quality
of life konvensional juga menunjukkan perbedaal yang
bermakna secara statistik akan tetapi perbedaan ini hanya
berkisar antaru 5Yo sampai l2o/o. S angat mencolok bahwa
nilai MACTAR menunjukkan perbaikart 29Yo pada

kelompok methotrexate dibandingkan dari kelompok


plasebo. Lebih sensitifnya MACTAR dibandingkan
traditional standardized item funclion questionnaire
kemungkinan besar disebabkan oleh:
. Pada MACTAR pertanyaan lebih menekankan pada
terjadinya perubahan dan bukan hanya pertanyaan
sewaktu yang tidak mengukur terjadinya perubahan.

Item kwestioner disusun sesuai dengan disabilitas yang


spesif,rk bagi pasien, sehingga dapat menghindarkan
"bising statistik" seperti yang terdapat pada kuesioner
konvensional yang mengandung item yang tidak relevan
bagi pasien tertentu.

joint count dari 66 sendi diarthrodial ditentukan

Sama sekali tidak nyeri


Nyeri ringan (respons positifjika ditanyakan)

Nyeri moderat (memperlihatkan respons spontan)


Nyeri berat (usaha pasien untuk menghindarkan rasa
nyeri yang terlihat dengan jelas seperti menarik bagian
yang sakit pada pemeriksaan).

Swollen joint count dari 66 sendi diarthrodial ditentukan


sebagai pembengkakat yatg bukan bony proliferation,
menurut skala sebagai berikut:
0 : Tidak terdapat pembengkakan
1 : Pembekakan ringan (penebalan sinovial yang teraba
tanpa hilangnya kontur tulang)
2 : Pembengkakan moderat (hilangnya kontur tulang yang
3

jelas)
Pembengkakan berat (barlging aktbatproliferasi sinovial
dengan karakteristik kistik.

Setelah gradasi dibuat, penghitungan akan dilakukan


dan dilaporkan sebagai ada atart tidak adanya rasa nyeri
atau pembengkakan pada 66 unit sendi. Indeks ini hanya
menyatakan jumlah sendi yang secara klinis aktif tanpa
memperhatikan ukuran persendian. Indeks ini mengandung
66 sendi atau kelompok persendian seperti pergelangan
tangan termasuk articulatio temporomandibular, tetapi tidak
menyertakan sendi panggul, karena pembengkakan sendi
panggul tidak mungkin dapat ditentukan secara klinis.

Metode ini memberikan reprodusibilitas yang lebih baik


serta lebih cepat digunakan dibandingkan dari Ritchie
index tanpa kehilangan nilai klinis yangjelas.

P HYSICI AN G LO BAL

ASSESSMENT

Physician global assessment didasarkan pada kesan yang


dirasakan oleh dokter pemeriksa tentang status kesehatan
pasien secara keseluruhan. Suatu penilaian keadaan pasien
secara global, akan dilaksanakan oleh dokter pemeriksa
masing masing pada awal dan akhir penelitian. Pemeriksa
akan menilai tingkat restriksi fungsional pasien akibat RA
sebagai asimptomatik, ringan, moderat, berat dan sangat
berat.

2369

METROI.OGI DALIIM BIDAIYG REUMAIOI-OGI

ACUTE PHASE REACTANT


Peningkatan kadar protein fase akut umumnya terjadi akibat
respons terhadap jejas jaringan atau infeksi. Pada manusia,

konsentrasi C-reactive protein (CRP), serum amyloid


protein (SAA) dan a, antichymotrypsin akan meningkat
100 - 3000 kali jika terdapat suatu stimulus inflamasi. Laju
endap darah (LED) secara tidak langsung menggambarkan
peningkatan konsentrasi proteins serum, terutama molekul
asimetrik seperti fibrinogen, protein fase akut yang lain
atau imunoglobulin. Walaupun LED juga dipengaruhi oleh
faktor yang tidak berhubungan dengan inflamasi seperti
morfologi eritrosit, LED sering digunakan sebagai ukuran
protein fase akut karena sangat sederhana dan mudah
untuk dilakukan. Uji LED yang umum dilakukan adalah
menurut cara Westergreen (pembacaan l jam) yang telah
terpilih oleh the International Committee for Standardization in Hematolog,t untuk mengukur LED.

global. Indeks fungsional sebaiknya disertakan dalam


pengukuran walaupun indeks yang terbaik yang terbaik
untuk OA masih harus ditetapkan. Ukuran seperti grip
strength pada OA tidak banyak berguna kecuali pada
pasien OA dengan keterlibatan persendian tangan.
Suatu hal yang perlu diperhatikan pada OA adalah
walaupwt range of motion merupakan ukuran yang banyak
digunakan dalam penelitian OA, kesalahan type II pada
ukuran ini akan sangan tinggi jika keterlibatan sendi yang
ingin diukur sangat rendah. Hal ini dapat diatasi dengan
pemilihan subjek penelitian yang teliti.
Saat ini The Western Ontario McMaster (WOMAC)

Scales merupakan instrumen yang paling banyak


digunakan untuk mengukur status fungsional pada pasien
osteoartritis (OA). WOMAC adalah suatu instrumen yang

telah di validasi yang di disain secara spesifik untuk


penilaian nyeri ektremitas bawah dan status fungsional
pada pasien OA lutut atau panggul. WOMAC Scales pada
beberapa penelitian terbukti lebih responsif dibandingkan

instrumen lain yang pernah digunakan pada pasien OA

PEMERIKSAAN SINAR.X
Pemeriksaan sinar-X hanya perlu dilakukan jika obeservasi
dilakukan lebih dari satu tahun.

sperti index Lequesne*o'u'2 . Walaupun demikian WOMAC

masih dipengaruhi oleh comorbiditas lain seperti fatig,


depresi atau nyeri pinggang bawah sehingga dalam
interpretasi comorbiditas tersebut harus .selalu
diperhitungkanwomac

OUTCOME PADA PENYAKIT REU MATIK YANG LAIN


REFERENSI

Untuk osteoartrosis (OA), belum terdapat suatu


kesepakatan yang pasti mengenai outcome apa yang perlu

digunakan dalam penelitian. Akan tetapi dianjurkan untuk


antara lain menggunakan ukuran rasa nyeri dan status

Bellamy N. Musculoskeletal Clinical Metrology. 1't ed. Kluwer


Academic Publioshers, Boston, 1993.

376
STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAT{
ENDOTEL VASKULAR
Sumariyono, Linda K. Wijaya

Tulang manusia saling berhubungan satu dengan yang

kedua os pubika pada orang dewasa; ataujaringan tulang

lain dalam berbagai bentuk untuk memperoleh fungsi sistem

(sinostosis) misalnya persambungan antara os olium,

muskuloskeletal yang optimal. Aktivitas gerak tubuh

osiskium dan os pubikum.


Diartrosis adalah sambungan antara 2 tulangatau lebih
yang memungkinkan tulang-tulang tersebut bergerak satu
sama lain. Di antara tulang-tulang yang bersendi tersebut
terdapat rongga yang disebut kamm artikulare. Diatrosis

manusia tergantung pada efektifnya interaksi antara sendi

yang normal dengan unit-unit neuromuskular yang


menggerakkanya. Elemen-elemen tersebut juga
berinteraksi untuk mendistribusikan stres mekanik ke
jaringan sekitar sendi. Otot, tendon, ligamen, rawan sendi
dan tulang saling bekerjasama di bawah kendali sistem
saraf agar fungsi tersebut dapat berlangsung dengan
sempurna.

Dahulu endotel vaskular hanya dilihat secara


sederhana yaitu hanya sebagai barier permeabel pasif,
akan tetapi pada saat ini telah banyak diketahui fungsifungsi penting lainnya yang harus dipahami oleh semua
dokter. Oleh karena itu pada bab ini selain akan membahas
struktur sendi, otot dan saraf juga akatt dibahas struktur
dan fungsi dari endotel vaskular.

disebut juga sendi sinovial. Sendi ini tersusun atas


bonggol sendi (kapsul artikulare), bursa sendi dan ikat
s endi (l i g am entum). B erdas arkan b entuknya di artro s i s
dibagi dalam beberapa sendi, yaitu sendi engsel
(interfalang, humereoulnaris, talokruralis), sendi kisar
(radio ulnaris), sendi telur (radiokarpea), sendi pelana
(karpometakarpal I), sendi peluru (glenohumeral) dan sendi
buah pala (coxae).
Amfiartrosis merupakan sendi yang memungkinkan

tulang-tulang yang saling berhubungan dapat bergerak


secara terbatas, misalnya sendi sakroiliaka dan sendi-sendi

antara korpus vertebra.

STRUKTURSENDI
RAWAN SENDI
Pengertian sendi adalah semua persambungan tulang, baik
yang memungkinkan tulang-tulang tersebut dapat bergerak
satu sama lain, maupun tidak dapat bergerak satu sama
lain. Secara anatomik, sendi dibagi 3, yaitu sinartrosis,
diartrosis dan amfi artrosis.

Pada sendi sinovial (diartrosis), tulang tulang yang saling

berhubungan dilapisi rawan sendi. Rawan sendi


merupakan jaringan avaskular dan juga tidak memiliki

ikat.(s indemosls), seperti pada tulang tengkorak, antara

jaringan saraf, berfungsi sebagai bantalan terhadap beban


yang jatuh ke dalam sendi.
Rawan sendi dibentuk oleh sel rawan sendi (kondrosit)
dan matriks rawan sendi. Kondrosit berfungsi menyintesis
dan memelihara matriks rawan sehingga fungsi bantalan
rawan sendi tetap terjaga dengan baik. Matriks rawan sendi

gigi dan rahang, antara radius dengan ulna dsb; atau


jaringan tulang rawan (sinkondrosis), misalnya antara

terutama terdiri dari air, proteoglikan dan kolagen.


Proteoglikan mempakan molekul yang kompleks yang

Sinartrosis adalah sendi yang tidak memungkinkan


tulang-tulang yang berhubungan dapat bergerak satu sama
lain. Di antara tulang yang saling bersambungan tersebut

terdapat jaringan yang dapat berupa jaringan

2370

2371

STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

tersusun atas inti protein dan molekul glikosaminoglikan.


Glikosaminoglikan yang menyusun proteoglikan terdiri dari
keratan sulfat, kondroitin-6-sulfat dan kondroitin-4-sulfat.

(TGF-b) dan insulin-like growth factor- I (IGF -l) berperan


merangsang sintesis proteoglikan dan menghambat kerja

Bersama-sama dengan asam hialuronat, proteoglikan


membentuk agregat yang dapat menghisap air dari

Rawan sendi merupakan salah satu jaringan sumber


keratan sulfat, oleh sebab itu keratan sulfat dalam serum

sekitarnya sehingga mengembang sedemikian rupa dan


membentuk bantalan yang baik sesuai dengan fungsi
rawan sendi. Bagian proteoglikan yang melekat pada asam

dan cairan sendi dapat digunakan sebagai petanda

hialuronat adalah terminal-N dari inti proteinnya'


Pada terminal ini juga melekat proteinJink. Terminal inti
karboksi inti protein proteoglikan, merupakan ujung bebas
yang mungkin berperan dalam interaksinya dengan matriks
ekstraselular lainnya.
Kolagen merupakan molekul protein yang sangat kuat.

Terdapat berbagai tipe kolagen, tetapi kolagen yang


terdapat di dalam rawan sendi terutama adalah kolagen
tipe IL Kolagen tipe II tersusun dari 3 rantai alfa yang
membentuk gulungan triple-heliks. Kolagen berfungsi
sebagai kerangka bagi rawan sendi yang akan membatasi
pengembangan berlebihan agr egat proteo glikan.

Rawan sendi merupakan jaringan yang avaskular, oleh


sebab itu makanan diperoleh dengan jalan difusi. Beban
yang intermiten pada rawan sendi sangat baik bagi fungsi
difusi nutrien untuk rawan sendi.
Pada rawan sendi yang normal, proses degradasi dan
sintesis matriks selalu terjadi. Salah satu enzim proteolitik

yang dihasilkan oleh kondrosit dan berperan pada


degradasi kolagen danproteoglikan adalah kelompok enzim

metaloprotease, seperti kolagenase dan stromelisin.


Berbagai sitokinjuga berperan pada proses degradasi dan
sintesis matriks. Interleukin-l ([-l) yang dihasilkan oleh

makrofag berperan pada degradasi kolagen dan


proteoglikan dan menghambat sintesis proteoglikan.
Growth factors seperti transforming growth factor-beta

ILl.

kerusakan rawan sendi.

MEMBRAN SINOVIAL
Membran sinovial merupakan jaringan avaskular yang
melapisi permukaan dalam kapsul sendi, tetapi tidak
melapisi permukaan rawan sendi. Membran ini licin dan
lunak, berlipat-lipat sehingga dapat menyesuaikan diri
pada setiap gerakan sendi atau perubahan tekanan intraartikular.

Membran sinovial tersusun atas 1-3 lapis sel-sel


sinovial (sinoviosit) yang menutupi jaringan subsinovial
di bawahnya,lanpa dibatasi oleh membran basalis.
Walaupun banyak pembuluh darah dan limfe di dalam
jaringan subsinovial, tetapi tidak satupun mencapai lapisan
sinoviosit. Jaringan pembuluh darah ini berperaq dalam
transfer konstituen darah ke dalam rongga sendi dan
pembenfukan cairan sendi.
Sel sinoviosit terdiri dari 2 lipe, yaifi sinoviosit tipe A
yang mempunyai banyak persamaan dengan makrofag dan
sinoviosit B yang mempunyai banyak persamaan dengan
fibroblas. Sebagian besar (70-80%) sinoviosit merupakan
tipe B dan 20-30% merupakan sinoviosit tipe A. Selain itu

ada sebagian kecil sinoviosit yang mempunyai


ultrastruktur antara sel A dan sel B yang disebut sel C.
Sel sinoviosit A befungsi melepaskan debris-debris sel
dan material khusus lainnya ke dalam rongga sendi. Sel

Gambar 1. a Agregat proteoglikan; b. Matriks rawan sendi KS: Keratan Sulfat; CS:Kondroitin Sulfat; HA:
Asam Hialuronat; DS: Dermatan Sulfat

2372

REUMI$OI.OGI

sinoviosit B berperan menyintesis dan menyekresikan

MENISKUS

hialuronat'yang merupakan zat aditif dalam cairan


sendi yang berperan dalam mekanisme lubrikasi. Cairan
sendi yang normal bersifatjernih, kekuningan dan viskous,

Meniskus merupakan struktur yang hanya ditemukan


didalam sendi lutut, temporomandibular, sternoklavikular, radioulnar distal dan akromioklavikular.
Meniskus merupakan diskus fibrokartilago yang pipih
atau segitiga atau iregular yang melekat pada kapsul
fibrosa dan selalu pada salah satu tulang yang

hanya beberapa ml volumenya dalam sendi yang


normal. Viskositas cairan ini diperlihara oleh hialuronat
dan material proteinaseus lainnya. Selain itu sinoviosit B

juga berperan memperbaiki kerusakan sendi yang


meliputi produksi kolagen dan melakukan proses
Sinovium dan kapsul sendi diinervasi oleh

berdekatan. Sebagian besar meniskus bersifat avaskular,


tetapi pada bagian yang melekat pada tulang sangat
kaya dengan pembuluh darah, tidak adajaringan saraf

mekanoreseptor, pleksus saraf dan ujung bebas saraf yang

atau pembuluh limfe. Nutrisi diperoleh secara difusi dari

remodelling.

tidak dibungkus mielin. Ujung saraf ini merupakan

cairan sendi atau dari pleksus pembuluh darah pada

neuron aferen primer yang berfungsi sebagai sarafsensoris


dan memiliki neuropeptida yang disebut substansi-P (SP)

bagian yang melekat pada tulang.


Berbeda dengan rawan sendi, meniskus mengandung
kolagen tipe I sampai 60-900 , sedangkan proteoglikan

harya 10%. Konstituen glikosaminoglikan yang


terbanyak adalah kondroitin sulfat dan dermatan sulfat,

CAIRAN SINOVIAL

sedangkan keratan sulfat sangat sedikit. Selain itu


fibrokartilago meniskus juga lebih mudah membaik bila

Pada sendi yang normal, cairan sendi sangat sedikit,


sehingga sangat sulit diaspirasi dan dipelajari. Cairan sendi
merupakan ultrafi ltrat atau dialisat plasma. Pada umumnya
kadar molekul dan ion kecil adalah sama dengan plasma,
tetapi kadar proteinnya lebih rendah. Molekul-molekul
dari plasma, sebelum mencapai rongga sendi harus

rusak.

DISKUS INTERVETERBRAL

melewati sawar endotel mikrovaskular, kemudian

Diskus invertebral merupakan kompleks fibrokartilago yang

melalui matriks subsinovial dan lapisan sinovium. Sawar


endotelial sangat selektif, makin besar molekulnya makin
sulit melalui sawar tersebut, sehingga molekul protein yang

membenfuk persendian di antara 2 korpus vertebra yang


berdekatan dan berfungsi sebagai peredam kejut atas beban
yang yangjatuh pada pada tulang belakang. Gerak anatara

besar akan tetap berada dalam jaringan vaskular.

2 korpus vertebra terbatas oleh karena konfigurasi diskus


intervetebral mempunyai lingkup gerak yang cukup luas
untuk seluruh tulang belakang.
Bentuk dan ukuran diskus pada masing-masing regio
tulang belakang adalah berbeda, tetapi bentuk dasarnya
sama. Diskus intervetebral dibentuk oleh 3 komponen,

Sebaliknya, molekul dari cairan sendi dapat kembali ke

plasma tanpa halangan apapun melelaui sistem


limfatik walaupun ukurannya besar. Rasio protein cairan
sendi dan plasma (JF/P) dapat menggambarkan

keseimbangan kedua proses di atas. JF/P untuk


albumin pada sendi lutut yang normal berkisar antara
0,2-0,3. Untuk fibrinogen, tentu lebih rendah lagi,

yaitu lapisan luar yangmerupakan lapisan-lapisan cinbin


fibrosa yang disebut annulus fibrosus; bagian tengah yang

itulah sebabnya cairan sendi tidak mudah beku.


Karakteristik cairan sendi pada berbagai keadaan
ditunjukkan pada Tabel l:

Sifat cairan sendi

Grup

merupakan massa semifluid yang disebut nukleus


pulposus dan lempeng kartilago yang menutupi permukaan
superior dan inferior.

Volume (lutut, ml)


Viskositas

Grup ll

(Non inflamasi

Grup lll
(Septik)

( lnflamasi)

< 3,5

>3,5

>3,5

Sangat tinggi
Tidak berurarna

tinggi

rendah

bervariasi

kekuningan

Kuning

Tergantung mikro-

transparan
Tak mudah putus

Translusen-opak

opak

Bekuan musin

transparan
Tak mudah putus

Mudah putus

Leukosit /mm3

200

200

2000- 1 00 000

Mudah putus
>500 000, umumnya

Sel PMN (%)


Kultur Mo

<25

<25

>50

>75

Negatif

Negatif

Negatif

Positif

Warna

>3,5

organrsmenya
kejernihan

2000

2373

STRUT(TUR SENDI, OTOT, SARAF DAI\ ENDOTEL VASKULAR

Otot Polos atau sering disebut otot tak sadar. Otot ini
terdapat pada saluran cerna dan pembuluh darah dan
diatur oleh sistem saraf otonom.
Otot jantung, yang didapatkan pada jantung dan
dikontrol oleh sistem saraf otonom. Walaupun sel otot
jantung sangat banyak tetapi otot ini bereaksi secara
sinkron dimana sel ototjantung ini mengalami kontraksi
dan relaksasi dalam waktu yang hampir sama.
Otot rangka / otot skelet, disebut demikian karena otot
ini sebagian besar menempel ke tulang walaupun dalam

KAPSUL DAN LIGAMEN


Struktur ligamen dan kapsul satu sendi berbeda dengan
sendi yang lain baik dalam hal ketebalannya maupun dalam
hal posisinya. Pada sendi bahu, struktur ligamennya tipis
dan longggar, sedangkan pada sendi lufut tebal dan kuat.
Pada beberapa sendi, ligamen menyatu ke dalam kapsul
sendi sedangkan pada sendi yang lain dipisahkan oleh
lapisan areolar. Kelonggaran kapsul sendi sangat belperan
pada lingkup gerak sendi yang bersangkutan.
Ligamen dan kapsul sendi, terutama tersusun oleh serat

kolagen dan elastin, dan sedikit proteoglikan. Komponen


glikosaminoglikannya terutama adalah kondroitin sulfat

jumlah kecil menempel ke fascia, aponeurosis dan tulang


rawan. Otot ini juga disebut otot lurik karena bila dilihat
di bawah mikroskop terlihat lurik. Otot ini kadang-

dan dermatan sulfat.

kadang juga disebut otot sadar karena umumnya


dikendalikan oleh kemauan.

OTOT
Otot merupakan jaringan tubuhyang memiliki kemampuan
berkontraksi. Terdapat tiga jenis otot dalam tubuh manusia
yaitu ototrangka (skelet), ototpolos dan ototjantung. Otot
rangka secara nornal tidak berkontraksi tanpa rangsangan
saraf, sedang otot yang lain akan berkontraksi tanpa
rangsangan saraftetapi dapat dipengaruhi oleh sistem saraf.
Oleh karena itu maka sistem saraf dan otot merupakan suatu

sistem yang saling berkaitan. Kerangka tubuh dibentuk


oleh tulang dan sendi, adanya otot akan memungkinkan
tubuh untuk menghasilkan suatu gerakan. Hampir 40%
tubuh kita terdiri dari otot rangka yang berjumlah lebih
kurang 500 otot, sedangkan otot polos dan otot jantung
hanya 109i, saja. Pada bab ini dibatasi pada otot rangka.

.;

;.t.,a,:i

"

,_
-

F-".i'.

-',

_',

Gambar 2. Otot rangka (kiri) dan otot polos (kanan)

STRUKTUR DAN PERLEKATAN OTOT


Bila kita memperhatikan pergerakan tubuh pada aktivitas

sehari-hari maka kita akan mendapatkan kesan


KARAKTERISTIK OTOT

kompleksitas dari sistem muskuloskeletal' Kemampuan otot


untuk melakukan gerakan sangat terganfung pada bentuk

Setiap otot memiliki 4 karakteristik :


Iritabilitas : otot memiliki kemampuan untuk menerima

otot dan arsitektur sistem skeletal. Otot bervariasi

dalam bentuk, ukuran dan strukturnya menurut fungsi yang

dan merespons berbagai jenis stimulus. Otot dapat

harus dilakukan. Beberapa otot di desain terutama

lnerespons potensial aksi yang dialirkan oleh serabut


saraf menjadi stimulus elektrik yang dialirkan secara

untuk kekuatan, untuk memungkinkan mang gerak yang


luas, untuk gerakan yang cepat, untuk gerakat yang
lama dan beberapa di desain untuk melakukan gerakan
yang halus.

langsung ke permukaan permukaan otot atau tendonnya.

Kontraktilitas : apabila otot menerima stimulus maka

Ekstensibilitas : otot mampu memanjang baik pasif

maupun aktif.
Elastisitas : Setelah otot memendek atau memanjang.

otot memiliki kemampuan untuk memendek.


Nucleus

Sarcole

maka otot mampu untuk kembali pada kondisi

'

SarmPlasn

trlurtlr l'ibpr

normal atau istirahat baik dalam hal panjang maupun


bentuknya.

diri\
T

NeNe Ending

TIPE OTOT
Terdapat tigajenisjaringan otot

Gambar 3. Struktur otot


:

Dikutip dari BIO 301 : Human physiology (cited 2005 Sept)'


Available from : http//people eku edu

2374

RELrM/r(Ilf,LOcI

STRUKTUROTOT

Sa

rcomere

Sel otot atau serabut otot rangka merupakan suatu silinder


panjang dan lurus yang mempunyai banyak inti. Serabut
ini berdiameter antara 0.01 mm sampai 0.1 mm dan panjang
antara beberapa sentimeter sampai lebih dari 30 sentimeter.

Inti sel terdapat didalam sarkoplasma. Serabut otot


dikelilingi oleh selaput jaringan ikat yang disebut
endomisium. Serabut-serabut otot ini akan membentuk
fasikulus yang dibungkus oleh perimisium. Pada sebagian
besar otot, fasikulus-fasikulus ini terikat bersama-sama

oleh epimisium, yang merupakan jaringan yang sama


dengan fascia dan kadang-kadang bergabung dengan
fascia. Pada ujung dari otot, jaringan ikat fibrosa dari
epimisium dan perimisium bercampur dengan serabut putih
dari tendon dan menempel pada periosteum atau fulang.
Setiap serabut otot rangka terdiri dari ratusan miofibril.
Miofibril merupakan kumpulan dari ribuan filamen miosin
dan filameri aktin. Dua jenis filamen ini tersusun pararel

dimana masing-masing saling tumpang tindih. Miosin


berwarna gelap dan tebal sedang aktin tipis dan terang.

Gambar 5. Sarkomer
Dikutip dari BIO 301 : Human physiology (cited 2005 Sept)
Available from: http//people eku.edu

ini, terdapat satu daerah yang pada kondisi tertentu


akan berwarna terang, daerah ini disebut H zone yang
akan tampak apabila ujung dari filamen aktin tertarik
lepas. Pada otot yang normal tidak mungkin filamen

aktin ini terpisah sehingga H zone akan terlihat


hanya apabila otot diregangkan secara paksa.

F]LAMEN MIOSIN
Sebuah filamen miosin terdiri dari kumpulan sekitar 200

molekul miosin. Masing-masing molekul terdiri dari


kepala dan ekor. Kepala ini terdiri dari protein sedang
ekor terdiri dari dua untai peptida . Kepala ini sangat
penting pada mekanisme cross bridge pada kontraksi
otot.

Hinge

l\4yosin head
(cross bridge)

Gambar 6. Molekul miosin

Gambar 4. Struktur otot

Sarkomer
Unit dasar dari miofibril adalah sarkomer. Batas antara
akhiran filamen aktin dan akhiran filamen aktin berikutnya
membentuk daerah gelap yang disebut Z line. Sarkomer
memanjang antara satu Z line detgan Z line berlkutnya.
Filamen aktin yang terletak antara kedua sisi Z line int
akan tampak terang sampai terdapat tumpang tindih
dengan filamen miosin. Daerah yang terang ini disebut

I band. Daerah gelap yang merupakan tempat


tumpang tindih aktin dan miosin ini disebut A band.
Di tengah A band, daerah yang normalnya berwarna gelap

FILAMEN AKTIN
Filamen aktin terdiri dari dua untai aktin. Selain itu pada
filamen aktin ini juga terdapat dua untai protein lagiyang
terletak pada lekukan yang dibentuk oleh dua untai aktin.
Dua protein tambahan ini adalah molekul tropomiosin.
Pada setiap molekul tropomiosin terdapat satu
molekul troponin. Troponin ini teriri dari tiga sub unit

yaitu T, C dan L Troponin T mengikatkan troponin


ke tropomiosin, troponin C mengikat ion kalsium
sedang troponin I berikatan dengan aktin dengan
cara menempel/menutupi tempat pada molekul aktin yang

biasanya digunakan untuk berikatan dengan molekul


miosin.

2375

STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

[6i
1i

iti
:iI
d-l:..
Gambar 9. Kontraksi otot

Gambar 7. Struktur molekular actin dan hubunganya dengan


troponin dan tropomiosin
Dikutip dari BIO 301 : Human physiology (cited 2005 Sept)
Available from : http//people.eku edu

myosin yang terlinggal pada H zone dan tampak lebih


terang dibandingkan pada saat kedua filamen tersebut
saling tumpang tindih. Kontraksi akan menyebabkan kedua

filamen tersebut saling tumpang tindih dan tampak lebih


gelap. I bandhanya terdiri dari molekul aktin, pada saat

KONTRAKSI OTOT
Motor unit adalah unit fungsional dari otot skelet. Otot
terdiri dari ribuan motor unit. Motor unit terdiri dari
beberapa serabut otot yang masing-masing diinervasi oleh
safu cabang saraf dari satu motor neuron. Jumlah serabut

otot pada satu motor unit bervariasi, yang berhubungan


dengan tipe gerakan dari otot tersebut. Sebagai contoh
otot gastrocnemius yang terdiri dari lebih kurang 2000
serabut otot per motor unit, bila sejumlah besar motor unit
diaktivasi maka akan terlaksana gerakan plantar fleksi yang
kuat, sebaliknya otot-otot yang menggerakkan bola mata
yang memerlukan ketepatan tinggi dengan tenaga ringan
memiliki serabut otot yang sedikit per motor unit. .
Setiap serabut otot didalam motor unit berkontraksi

menurut prinsip

"

all-or-nothing

"

apabila mendapat

stimulus dari motor neuron.

kontraksi ujung myosin akan masuk kedaerah ini


sehinggga terlihat lebih gelap. Pada saat kontraksi penuh
seluruh filamen aktin dan myosin saling tumpang tindih
sehingga tidak ada daerah yang terang'

CROSSBR'DGES
Mekanisme sliding (tumpang tindih) antara filamen aktin
dan myosin adalah sebagai berikut. Kepala molekul
myosin akan melekat pada satu tempat di molekul aktin
kemudian membuat lekukan dan menarik molekul aktin.
Selanjutnya kepala tersebut akan melepaskan diri dari
molekul aktin dan lekukan pada kepala tersebut kembali
seperti posisi sebelumnya, kemudian membentuk ikatan
lagi dan terjadi proses seperti sebelumnya. Setiap gerakan
myosin menarik aktin tersebut hanya akan menyebabkan
pergerakan yang sediktjaraknya, tetapi oleh kareta adanya
sejumlah gerakan menarik yang sangat cepat dari sejumlah
besar molekul myosin, maka akan terjadi pemendekan otot.

Kepala myosin yang melekat ke filamen aktin disebut


sebagai cross bridge.
Troponln

Gambar 8. Motor unit

Actln

.TrTornyosin

Adn'binding ATP6inding

Gabungan dari neuron motorik beserta semua otot yang


dipersarafi disebut motor unit.

MEKAN ISM E KONTRAKSI OTOT


Mekanisme kontraksi otot sama antara otot rangka, otot
polos dan otot jantung. Untuk lebih mudah memahami
mekanisme kontraksi otot ini sebaiknya pembaca
memperhatikan dengan seksama gambar 3 dan 4 terlebih

Gambar 10. Struktur molekular dan hubungan dari miosin dan


aktin pada mekanisme kontraksi otot (Dikutip dari BIO 301 :
Human physiology. (cited 2005 Sept). Availablefrom : http//
people.eku.edu)

dahulu.
Pada saat kontraksi filamen aktin dan myosin saling
tumpang tindih sehingga Z line menjadi semakin dekat

TROPOMYOSIN, TROPONIN DAN ION KALSIUM

antara satu dengan lainya, sedang H zone semakin


menyempit. Apabila otot diregangkan maka ujung dari
molekul aktin akan tertarik sehingga hanya molekul

Myosin dan aktin memiliki afinitas yang tinggi antara


keduanya, sehingga bila diletakkan bersama-sama pada

2376

suatu tempat akan membuat ikatan yang kuat. Tetapi apabila

ada untaian tropomyosin di antaranya maka tidak akan


terjadi ikatan. Menurut hipotesis ini terdapat tempat ikatan
spesifik (spesific binding site) pada molekul aktin dimana
kepala myosin secara normal melekat. Untaian tropomyosin

REI,JMAIOI.OGI

respons, maka serabut otot akan berkontraksi. Kontraksi


adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan

terbentuknya suatu respons tegangan otot terhadap


stimulus. Otot hanya bisa menarik yang arahnya ke tengah

otot. Tegangan pada tempat perlekatan biasanya

sama.

diperkirakan terletak di atas tempat ikatan tersebut

Terdapat dua tipe kontraksi yaitu isotonik dan isometrik.

sehingga tidak terjadi ikatan keduanya. Selanjutnya ion


kalsium akan dikeluarkan dan bereaksi dengan troponin,
akibatnya akan terjadi perubahan bentuk dan secara fisik

(Gambarll)

akan memindahkan tropomyosin sehingga binding site


pada aktin tidak tertutup dan kepala myosin sekarang
bebas untuk melekat pada binding slte tersebut.
Bila hipotesis ini benar maka ada dua asumsi lagi yang
harus dibuat yaitu : 1. Apabila ion kalsium dikeluarkan dari
daerah cross bridge, maka tropomyosin akan kembali
menutupi binding site sehingga tidak terjadi perlekatan
aktin-myosin dan otot berhenti berkontraksi. 2. Harus ada
mekanisme yang mengantarkan dan mengeluarkan ion
kalsium ke daerah cross bridge. Sisterna dari retikulum
sarkoplasma mengandung ion kalsium konsentrasi tinggi.
Potensial aksi yang memulai suatu kontraksi akan
menyebabkan pelepasan ion kalsium. Sisterna terletak
sangat dekat dengan sarkomere dan terdapat dua sistema
tiap sarkomere. Sehingga ion kalsium yang dilepaskan dari
sistema tersebut akan berdifusi ke filamen-filamen tersebut

dan menyebabkan terjadinya kontraksi. Pompa kalsium


diasumsikan sebagai kekuatan yang mampu mengerakkan
ion kalsium melawan gradien konsentrasi kembali masuk
ke sisterna. Pada saat potensial aksi berhenti dan tidak
ada lagi ion kalsium yang dilepaskan, maka pompa kalsium
akan dengan cepat memompa kalsium dari daerah filamen
kembali ke sistema.

Kontrasi isometrik Kontraksi konsentrik Kontrasi eksentrik

Gambar 11. Tipe kontraksi oiot.

Kontraksi isometrik terjadi apabila tegangan didalam


serabut otot tidak menyebabkan gerakan sendi . Isometrik
berarti panjang otot sama antara sebelum dan saat
kontraksi.

Kontraksi isotonik melibatkan kontraksi otot dan


gerakan sendi. Pada kontraksi isotonik ini tegangan tetap
konstan sedang panjang otot memendek. Apabila suatu otot
menjadi aktif dan menghasilkan suatu tegangan yang
menyebabkan otot menjadi memendek dan mengakibatkan

gerakan disebut sebagai kontraksi konsentrik. Contoh


kontraksi konsentrik adalah apabila otot fleksor lengan
memendek yang mengakibatkan siku menjadi fleksi . Apabila
lengan tersebut secara perlahan-lahan menurunkan beban

KOPEL EKSITASI.KONTRAKSI OTOT SKELETAL

Di dalam tubuh otot skeletal berkontraksi sebagai hasil

pada ujung lengan dari kondisi fleksi ke relaksasi secara


perlahanJahan adalah contoh kontraksi eksentrik.

dari potensial aksi yang ditimbulkan pada membran serabut

otot. Hubungat ar,tara potensial aksi (eksitasi) dan


kontraksi disebut sebagai excitation-contraction

PERLEKATAN OTOT

coupling. Potensial aksi menyebar sepanjang sarkolema,


masuk dan melalui T tubule ke sisterna. Melalui beberapa
cara, mungkin perubahan permeabilitas membran sisterna,

berbagai struktur didalam tubuh. Fascia

ion kalsium akan dilepaskan ke sarkoplasma sekitar


miofibril. Selanjutnya kalsium akan bereaksi dengan hoponin dan selanjutnya terjadi mekanisme kontraksi seperti
yang disebutkan sebelumnya. Apabila potensial aksi
berhenti maka pelepasan kalsium juga akan berhenti,
selanjutnya pompa kalsium akan segera mengembalikan
ion kalsium dari sarkoplasma ke sisterna.

TIPE KONTRAKSIOTOT
Apabila suatu potensial aksi yang dijalarkan oleh motor
neuron ke serabut otot cukup kuat untuk menimbulkan

Fascia. Fascia adalah selaput membran yang menutupi

ini dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu : fascia super-

ficial, fascia dalam, dan fascia

subserosa. Fascia

subserosa menutupi rongga-rongga tubuh sepanjang


membrana serosa.
Fascia superficial didapatkan persis di bawah kulit dan
menutupi seluruh tubuh. Fascia ini terdiri dari dua lapis.
Fascia ini didapatkan juga pada fascia yang membungkus
pembuluh darah, limfe, saraf-saraf kulit, deposit lemak dan
pada daerah-daerah kusus seperli muka dan leher serta
otot-otot yang melekat ke kulit.
Fascia dalam terdiri dari sejumlah selaput membran
yang padat dan bervariasi dalam bentuk ukuran dan
kekuatanya tergantung dari fungsinya. Fascia ini terletak

2377

STRUKTUR SENDI. OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

lebih dalam dari fascia superficial dan mendukung otot


dan struktur lainyapada posisi tertenlu sehingga dapat
berfungsi secara efektif untuk menghasilkan atau

sel yang paling kompleks dari sel tubuh. Sel

sebuah

sarafmemiliki

inti dan sitoplasma seperti sel yang lain, tetapi

sitoplasmanya memanjang diluar badan sel membentuk

membatasi gerakan. Selaput fascia di antara kelompokkelompok otot disebut septa intramuskular, yar,g

tonjolan- tonjolan (processus) yang memanjang.


Processus yang panjang disebut axon, sedang yatg

memungkinkan kelompok otot tersebut bergerak secara


independen. Beberapa fascia dalam ini sangat tebal dan
kuat, yang selain berfungsi untuk membungkus otot juga
berfungsi sebagai perlekatan otot. Contohnya adalah

pendek disebut dendrit

fascia lata

BADAN SEL

(CEtt

BODY)

yang merupakan tempat perlekatan

musculus tensor fascia lata dan gluteus maximus.

Tendon dan aponeurosis. Sebuah tendon terdiri dari


sejumlah serabut kolagen putih yang berfungsi untuk
menghubungkan otot dan perlekatanya di tulang. Pada
tempat perlekatan tersebut serabut-serabut ini akan
menyebar ke periosteum. Bentuk tendon bervariasi
tergantung dari fungsinya. Beberapa tendon berbentuk
seperti ekor misalnya tenton otot hamstring, ada juga yang
berbentuk lebar dan ceper yang disebut aponeurosis seperti
aponeurosis pada otot-otot daerah abdominal.

Origo dan insersio. Perlekatan dari otot anggota gerak


disebut origo dan insersio. Para ahli anatomi menjelaskan
origo otot adalah perlekatan ke arah yang lebih proksimal,

sedang insersio adalah perlekatan ke arah yang lebih


distal. Beberapa ahli lain menjelaskan bahwa perlekatan
yang biasanya stasioner pada suatu gerakan otot disebut
origo, sedang perlekatan yang lebih bergetak (more
moveable attachment slle) disebut insersio.

SISTEM SARAF
Sistem saraf dan hormon memiliki tugas untuk memelihara

Di dalam badan sel terdapat sebuah inti besar, sejumlah


granula (dark-staining granule) yang disebut Niss/
bodies, filamen-filamen yang disebut neurofibril,
mitokondria, badan golgi, sejumlah lemak dan granula
berpigmen. Badan sel hampir selalu tidak memiliki
centrosome yang mencerrninkan bahwa sel saraf tidak
mampu mengadakan mitosis dan tidak di reproduksi, sekali
badan sel mati maka tidak akan diganti lagi. Hampir seh-ruh

badan sel terdapat didalam sistem saraf pusat, hanya


sebagian kecil yang berada diluar, yang biasanya
berkelompok disebut ganglion yang dikelilingi oleh
jaringan ikat. Di dalam otak dan medulla spinalis badan sel
ini berkelompok disebut nukleus.

PROCESSUS
Processus saraf mengandung sitoplasma dan neurofibril.

Processus ini menentukan klasifikasi neuron. Neuron


disebut unipolar bila satu processus menempel pada badan
sel. Neuron bipolar bila didapatkan dua processus yang
terpisah sedang nenron multipolar adalah neuron dengan
beberapa processus pendek dan satu processus pan;ang'

(Gambar12)

sejumlah aktivitas tubuh dan mempersiapkan respons


tubuh terhadap lingkungan eksternal. Sistem saraf tersebar
luas di dalam tubuh. Impuls saraf dapat ditransmisikan
jaringan sarafdari satu akhiran sarafke akhiran sarafyang
lain, sehingga banyak didapatkan interkoneksi yang
mengakibatkan aktivitas pada satu daerah di tubuh dapat
dipengaruhi oleh kejadian di daerah tubuh yang lain.
Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf pusat
dan perifer. Sistem sarafpusat terdiri dari otak dan medulla
spinalis, sedang saraf perifer terbentuk dari saraf-saraf
yang membawa impuls antara sistem saraf pusat dan otot,
kelenjar, kulit serta organ-organ lainnya. Saraf perifer
berdasarkan fungsinya dibagi atas serabut sarafmotorik,
sensorik, dan autonom. Pada bab ini dibatasi pada saraf

Gambar 12.

perifer.

AXON
ANATOMI NEURON
Unit anatomi dan fungsional dasar dari sistem sarafadalah
sel saraf atau neuron. Secara struktural sel saraf meruPakan

Processus panjang dari sebuah neuron disebut axon. Axon

keluar dari badan sel pada daerah yang bebas dari Nlss/

granule yang disebut axon Hillock. Panjang axon


bervariasi bisa pendek seperti neuron-neuron yang

2378

terdapat pada medulla spinalis, tetapi ada jtgayangsampai

satu meter seperti neuron yang ke otot skeletal.


Axon ini kemudian membentuk cabang-cabang yang lebih
kecil sampai ke tempat terakhirnya sebagai sebaran dari
serabut-serabut. Axon mengandung neurofibril tetapi
tidak mengandung Nissl granule dan dibungkus oleh

selaput tipis yang disebut axolemma. Beberapa


serabut juga dibungkus oleh bahan lemak yang disebut
myelin. Serabut yang demikian disebut myelinated atau
medulated fiber. Di luar sistem saraf pusat, axon akan
dibungkus lagi oleh selaput dari Schwann atau
neurilemma.
Pada axon yang bermyelin pada interval-interval
tertentu terdapat lekukan yang disebut nodes ofRanvier,
disini bisa keluar cabang axon. Daerah di antara dua
lekukan.ini di tutupi oleh satu sel Schwann.

REUM/I$OLOGI

terhadap satu tipe stimulus. Akhiran saraf khusus ini


didapatkan di mata, hidung, telingga dan lidah. Selain itu
terdapat reseptor sensoris umum yang terdapat di semua
bagian tubuh yang responsif terhadap nyeri, perubahan

suhu, sentuhan dan tekanan. Reseptor yang paling


sederhana.adalahfree net ve ending yang menghantarkan
stimulus nyeri. Reseptor-reseptor yang lain diselimuti oleh
jaringan ikat. Contoh dari reseptor ini adalah Meissner's
corpuscle yang responsif terhadap sentuhan, Rffini dan

Krause yang merupakan thermoreceptor, Paccini yang


responsif terhadap sentuhan dalam atau tekanan dan
Stretch receptor (mtscle spindle) yang terdapat pada otot
dan tendon untuk proprioseptif.

SAMBUNGAN NEUROMUSKU LAR

Sistem saraf berkomunikasi dengan otot melalui


DENDRIT
Processus-processus pendek dari neuron multipol.ar
disebur dendrit. Dendrit mengandung Nissl granule dan
neurofibril. Dendrit ini sering berhubungan dengan banyak
akhiran dari neuron yang lain.

sambungan neuromuskular. sambungan neuromuskular ini

bekerja seperti sinap antar neuron yaitu :


l. Impulse sampai pada akhiran saraf
2. transmiter kimia dilepaskan dan berdifusi melewati/
menyeberangi celah neuromuskular

3.

Molekul hansmiter mengisi reseptor pada membran otot


dan meningkatkan permeabilitas membran terhadap

NEURON AFEREN DAN EFEREN

4.

Natrium kemudian berdifusi ke dalam membran dan

Pada keadaan normal suatu impuls saraf akan bergerak

5.

menyebabkan potensial membran menjadi larang negatif


Apabila nilai ambang potensial terlampaui akan terjadi

natrium

sepanjang neuron hanya satu arah. Pada neuron


multipolar, dendrit selalu membawa impuls ke badan sel,
sedang axon akan membawa impuls keluar sel. Beberapa
neuron hanya membawa impuls ke badan sel saraf yang
disebut neuron sensoris atau aferen, beberapa hanya
membawa impuls keluar badan sel saraf yang disebut
neuron motoris atau eferen. Di dalam otak dan medulla

potensial aksi dan impuls akan berjalan sepanjang


membran sel otot dan mengakibatkan otot berkontraksi

Otot skeletal tidak akan berkontraksi tanpa stimulasi

dari neuron, sedang otot polos dan otot jantung


berkontraksi tanpa stimulasi saraf, tetapi kontraksinya dapat
dipengaruhi oleh sistem saraf

spinalis terdapat neuron-neuron lain yang berfungsi


sebagai penghubung antara neuron sensoris dan motoris,

atau yang menyampaikan impuls ke pusat. Neuron ini


disebut neuron asosiasi atau interneuron.

ENDOTELVASKULAR
Seluruh sistem peredaran darah dilapisi oleh endotel
vaskular. Pada awalnya endotel hanya dipandang

SARAF

sederhana sebagai barier permiabel pasif, akan tetapi pada


saat ini banyak fungsi penting lainnya yang sudah dikenali.

Saraf adalah satu berkas serabut yang dibungkus oleh


jaringan ikat. Saraf motoris hanya mengandung serabutserabut motoris, saraf sensoris hanya mengandung serabut
sensoris dan sarafcampuran mengandung serabut sensoris
dan motoris. Sebagian besar saraf adalah tipe campuran.

Secara anatomi, endotel vaskular memisahkan antara


kompartemen intra dan ekstra vaskular, menjadi barier
selektifyang permiable, dan merupakan suatu lapisan yang
nontrombogenic.
Perubahan struktur dan fungsi endotel mengakibatkan
perubahan interaksinya dengan sel-sel serta komponen
makromolekul dalam sirkulasi darah dan jaringan di

AKHIRAN SARAF KHUSUS

bawahnya. Perubahan ini termasuk meningkatnya


permeabilitas endotel terhadap lipoprotein plasma,

Terdapat beberapa akhiran saraf sensoris khusus yang


disebut reseptor yang masing masing hanya responsif

modifftasi oksidatif dari lipoprotein tersebut, meningkatnya


adesi leukosit, ketidakseimbatgan ar,tara fungsi pro dan

2379

STRUI(TUR SENDI, OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

Ujung saraf bebas (nyeri)

ii

t.'.
Badan Krause (dingin)

Muscle spindle
(proprioseptit)

Badan Pacini (tekanan)

Gambar 13. Reseptor sensoris

tr

potensial aksi
T9rdrrrudtdll PUtEr
Perambalan
di neuron motorik

Terminal akson
Terminal button
Vesikel asetikolin

"a
plasma
serat otot

dtun
wGh.,

asetilkoli

Tempat reseptor
Saluran kation - ':

As eti ko
I

li n

este ra se

..tx.-rf

---

A,-11

l\,4otor

A )f6,I..i..

end plate

aliran arus lokal antara end


plate yang terdepolarisasi dan
membran di dekatnya

Gambar 14. Sambungan Neuromuskular


3.

an

ga
7.

anti trombotik dari faktor lokal, growth stimulatot growth


inhibitor,dan substansi vasoaktif. Manifestasi perubahan
struktur dan fungsi endotel ini disebut dengan disfungsi
endotel, yang berperanan pada inisiasi, progresi dan

komplikasi dari berbagai bentuk penyakit inflamasi dan


degenerasi. Growth promoting faclor.r untuk sel endotel
seperti vascular endothelial growth factor (I/EGH)

pembuluh darah yang baru ini mempunyai peranan


penting dalam membentuk dan mempertahankan pannus'

ANATOMI DAN FUNGSI DARI ENDOTEL NORMAL

Lokasi endotel merupakan faktor penting dalam

dibentuk pada tempat inflamasi, mengakibatkan

interaksinya dengan sel didalam peredaran darah dan

penyimpangan respons angiogenik. Pada arlritis reumatoid,

jaringan sekitarmya.

2380

REI.JMIIilOI.OGI

Endotel memegang peranan penting pada sistem


koagulasi dan fibrinolitik. Beberapa mekanisme
antikoagulan alamiah berkaitan dengan endotel dan

lokal untuk mempengaruhi perilaku sel-sel vaskular yang


berdekatan dan beriteraksi dengan elemen darah.

ekspresinya bervariasi tergantung dari vaskular bed. Hal


ini meliputi mekanisme heparin-antitrombin, mekanisme

DISFUNGSI ENDOTEL / ENDOTEL TERAKTIVASI

protein C-trombomodulin, dan tissue plasminogen


aktivator mechanism. Disfungsi sel endotel dapat
mengaktifkan sifat protrombotik dari trombosit yaitu

Kerusakan atau aktivasi dari endotel dapat menyebabkan


induksi gen yang pada keadaan fisiologis tertekan. Banyak
faktor yang mempengaruhi ekspresi gen endotel selama

sintesis kofaktor adesif, seperti faktor von Willebrand,


fibronectin, dan thrombospondin; komponen prokoagulan
seperti faktor V dan inhibitor jalur fibrinolitik dikenal

sebagai plasminogen activator

inflamasi. Penyebabnya dapat berupa perubahan


henodinamik, sitokin atau protease lokal, infeksi virus,
radikal bebas dan lipid teroksidasi.

inhibitor-1, yatg

mengurangi kecepatan penghancuran fibrin. Sehingga


endotel mempunyai peranan "pro" dan "ant|" hemostatic-

thrombotic.

EKSPRESI DARI MOLEKUL ADESI LEUKOSIT

Sebelum ditemukannya endothelium-derived relaxing


factor (EDRI), "trama" kardiovaskular dipandang hanya
sebagai fungsi dari respons otot polos vaskular terhadap
rangsangan saraf atau hormon di sirkulasi. Ditemukanya

Interaksi molekuler antara leukosit dalam sirkulasi dan


endotel memegang peranan penting pada infl amasi. Netrofi I
dan monosit menghasilkat parakrin growth faktor darr

EDRF sebagai nitric oxide endogen dan pengenalan


terhadap mekanisme kerjanya pada vasodilatasi,

sitokin, faktor sitotoksik terhadap sel tetangga, dan


menyebabkan degradasi darijaringan ikat lokal. Langkah
pertama pengambilan leukosit ke subendotelial adalah
melalui penempelan (attachment) sel leukosit ke endotel.
Endotel yang sehat tidak akan mengikat leukosit. Tetapi
neutrofil, monosit, dan limfosit akan terikat dengan molekul

pertahanan sel dan ekspresi gen telah banyak meningkatkan

pengertian kita terhadap regulasi "irama" vaskular.


Sejumlah substansi dari endotel menyeimbangkan aksi

vasorelaksasi dari nitric oxide dan prostasiklin.


Vasokonstriktor ini termasuk angiotensin II yang

adesi leukosit yang baru terekspresi pada permukaan


endotel sebagai respons terhadap agen-agen aktivator
seperti interleukin 1, tumor nekrosis faktor cr lipopolisakarida dan lipid teroksidasi.

dihasilkan permukaan endotel oleh angiotens in-conyerting enzim; platelet-derived growth factor (PDGF), yang
disekresi oleh sel endothel dan bekerja sebagai agonis
dari kontraksi otot polos ; dan endothelin I yang merupakan

Proses penempelan dan diapedesis leukosit

melibatkan

vasokonstriktor yang unik.

sejumlah molekul adesi dan kemokin. Endotel dan

Endotel vaskular menghasilkan bermacam-macam


sitokin, growth factor dan growth inhibitor yang bekerja

leukosit memainkan peranan yang aktif dalam proses ini,


termasuk memulai rolling atau thetering, signaling

Oxidized Lipids/
Free radrcals

ooo

oo

Viral infection

Hypoxra

Shear Stress

Cytokines

.A

permeab ty
Leukocyte Adhesion

u
Procoagulant Activity

eoo

o oo
Growth factors/
Chemoattractants

Gambar 15. Proses terjadinya disfungsi endotel


Sejumlah stimulator yang berperanan terhadap proses aktivasi sel endotel Sejumlah respons
dari endotel yang dikaitkan dengan progresi dari penyakit vaskular dan inflamasi. Dikutip dari
Vaskular endothelium. Klippel J.H.K Primer on the rheumatic Diseases. 12th ed, Canada:
Arthritis Foundation. 2001: 29-31

2381

STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

process, strong attachment step dar. migrasi sel


transendotel dari leukosit. Banyak yang sudah dipelajari
dari proses ini melalui genetika dari tikus dan bermacammacam model inflamasi.

PRODU KSI GROWTH FACIOR MELALUI AKTIVASI

ENDOTEL

Endotel teraktivasi merupakan sumber penting growth


factor untuk sel otot polos dan fibroblast- Plateletderived groth factor (PDGF), mitogen yang berperanan

pada penyembuhan luka dan aterosklerosis, diekspresikan

oleh sel endotel. Penginduksi alamiah paling efektif


produksi PDGF oleh sel endotel adalah o,-trombin, yang
merupakan komponen protease dari sistem koagulasi yang
meningkatkan ekspresi genPDGF melalui mekanisme yang

unik. Endotel juga memproduksi growth faktor lainnya


untuk sel- sel j aringan ikat seperti in s ul i - I ike gr ow t h fakt or
1, basicfibroblast growthfactor dan transforming growth
factor B. Mitogens ini berperanan pada fibrosis yang
terlihat pada banyak penyakit inflamasi.

REFERENSI
Dicorleto P.E. Vaskular endothelium. Klippel J.H.K. Primer on the
rheumatic Diseases. 12m ed, Canada: Arthritis Foundation.200l;

29-3t
Isbagio H, Setiyohadi B. Sendi, membran sinovia, rawan sendi dan
otot skelet. Dalam Noer Syaifullah. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi ketiga. 1996 : 1-6.
Human physiology : Muscle (cited 2005 Sept). Available from :
http//people.eku.edu.
Langley LL, Telford IR, Christensen JB. Dynamic anatomy and
physiology. 5 th"dMc. Graw-Hill. New York. 1980 : 112 - 40'
Langley LL, Telford IR, Christensen JB. Dynamic anatomy and
physiology. 5 th"d Mc. Graw-Hill New York. 1980 : 212 - 28'
Landau RB. Essential human anatomy and physiology. 2 'd ed. Scott
and Foresman . London .1980 :219-34.
Park K.D, Comblath D.R. Peripheral Nerves. Klippel J.H.K. Primer
on the rheumatic Diseases. 12t ed, Canada : Arthritis Founda-

tion.2001;31-33.

377
STRUKTUR DAN BIOKIMIA
TULANG RAWAN SENDI
Harry Isbagio

proteoglikan berukuran besar yaitu agrekan.Pada manusia

Rawan sendi normal merupakan jaringan ikat khusus


avaskular dan tidak memiliki jaringan saraf yang melapisi

dewasa normal, kondrosit menempati kuran g

permukaan tulang dari sendi diartrodial. Tulang rawan

total dari tulang rawan sendi.

dai 2ok volum

sendi berperan sebagai bantalan yang menerima (meredam)


beban benturan yang terjadi selama gerakan sendi normal

dan meneruskannya ke tulang di bawah sendi.


Rawan sendi terdiri dari zona superfisial (disebut pula
zona tangensial), zota tengah (disebut pula zona intermediate atau transisional), zona dal am (deep)(disebut pula
zona r adial atau r a d i at e) dan zona kals ifi kasi (c a I c ffi e d).
Densitas sel yang paling tinggi pada permukaan sendi,
makin ke dalam makin berkurang. Sel berbenn:kpiplh (lat)
pada zona superfisial, karena pada daerah inilah jaringan
terpajan maksimal pada gayagesekan, gaya menekan dan
regangan dari persendian. Di zona tengah, sel berbentuk
bulat dan dikelilingi suatu matriks ekstraselular yang padat.
(Lihat Garnbar 1)

Arcptosis associald with


degEdalion and ibdllaiion

Denaluraton /ceavage
of type ll @llagen
loss of proleoglycns
de@rin, biglycan,

nbge

Supefcial

aggrean
lncEas&

expression

Apoptosis associated with @nhge


degradalion and fibrillation

of MMPs

Middte

Zone
ol cylokine erpression,

Upregulation

eg lli,TNF,0
Region ol chondrocyie hypedrophy
e g, lncrease of PTfrP and ts

reeptor

type X mllagen

annexin V
Type Vl mllagen incased

Keunikan dari rawan sendi terletak pada komposisi dan


struktur matriks ekstraselular yang terutama mengandung
agregat proteoglikan dalam konsentrasi tinggi dalam
sebuah ikatan yang erat dengan serabut kolagen dan

0ep
zone

lncreasad synthess
of lyp6llpro@lgen

sejumlah besar air. Pelumasan oleh cairan sendi


memungkinkan berkurangnya gesekan antara permukaan
tulang rawan sendi artikuler pada pergerakan.

ncreassd conlenl of
ag916n, dsorin, blglyn

Paitly ellilage
hypedrophic canilage

KONDROSIT
Tulang rawan sendi hanya mempunyai satu sel spesialis
yang berperan dalam sintesis dan pemeliharaan matriks
ekshaselular yang dikenal sebagai kondrosit. Lebih dari
70% komponen tulang rawan sendi artikuler adalah air,
sedangkan 90%o darl bagian tulang rawan sendi kering
mengandung 2 komponen utama yaitu kolagen tipe II dan

2382

Angiogenesisreadivabd
(previously seen dudng qrowh)

Subchondral
bon marow

Gambar 1. Perubahan pada tulang rawan sendi OA yang


melibatkan kondrosit dan matriks ekstraselular. Dikutip dari Poole

AR, Howell DS. Etiopathogenesrs of osteoafthritis.

2383

STRUKTUR DAN BIOKIMIA TULAT{G RAWAN SENDI

KOLAGEN

Matriks ekstraselular terutama mengandung kolagen


(sebagian besar kolagen tipe II dan sejumlah kecil kolagen
tipe lain seperti kolagen tipe IX dan tipe XI) dan
proteoglikan (terutama agrekan, yang berukuran besar dan
beragregrasi dengan asam hialuronat). (Tabel 1)

Komposisi

Jumlah (Y"l

Air

66-78%

Matriks

22-34o/o

metaloproteinase (MMP) terdapat pula kelompok proteinase lain yang dipercaya berperan pula dalam degradadasi
matriks ekstraselular yaituADAMTS (a disintegrin and a
metalloproteas e with thrombospondin motifs).
Aktivasi MMP diregulasi oleh oleh inhibitor endogen

metalloproteinase (TIMP) yang bereaksi dengan MMP


aktif dalam rasio molar 1: I

<1o/o

04-2%

Kondrosit
Anoroanik

5-60k

PROTEOGLIKAN

Kolagen tipe II, IX dan XI dari tulang rawan sendi


membentuk anyaman fibriler yang merupakan struktur
penyangga dari matriks dalam bentuk serabut inhomogen
dan anisotropik yang dikelilingi oleh larutan yang kaya
akan proteoglikan yaitu agrekan.(Gambar 2)

O
lX
asam hialuron

:SLN- I
matriks
Selain
yang disebut pula sebagai MMP-3).
gelatinase dan stromelisin (terutama Stromelisin-

alami yang disebut sebagai Tissue inhibitors of

48-62%
22-380k

Kolagen tipe ll
Proteoglikan
Hialuronan

Kolagen tipe II didegradasikan oleh enzim proteolitik


yang disekresi oleh kondrosit dan sinoviosit, antara lain
matriks metaloproteinase (MMP) seperti kolagenase
(MMP 1, MMP* MMP,,), membran tipe MMP (MT-MMP$,

Gambar 2.

ari fibril kol

kolagen tipe

dan Proteog

Proteoglikan merupakan suatu makromolekul kompleks

yang memiliki protein

inti, tempat melekat rantai

glikosaminoglikan. Glikosaminoglikan dari tulang rawan


sendi artikuler terutama kondroitin sulfat dan keratan sulfat'
Glikosaminoglikan yang dalam larutan bermuatan negatif
mempunyai peranan pada hidrasi dan pengembangan
jaringan terhadap suatu tekanan. Dalam jaringan tulang
rawan sendi ditemukan pula sejumlah proteoglikan lain
yang berukuran kecil serta sejumlah molekul lain yang
mungkin berhubungan langsung dengan frbril kolagen'

am matriks
sendi artikuler Dikutip dari Poole AR, Howell DS. Etiopathogen-

esis of osteoarthritis.
Sintesis kolagen tipe II berjalan seiring dengan sintesis

glikoprotein lainnya yang disekresi oleh kondrosit.


Beberapa saat setelah sekresi, segera setelah molekul
mencapai ruang ekstraselular maka domain non-helikal

pada kedua ujung heliks amino-terminal tipe

II dan

: (PIINP dan
karboksi-terminal tipe II prokolagen-propeptide
PIINP dan
Jadi
helikal.
PIICP) akan terpotong dari domain
kolagen'
dai
sintesis
gai
marker
PIICP dapat digunakan seba

<

Roglon ofpilmary clevags s ts by ['4['4Ps and aggcanase(s)

Gambar 3. Struktur proteoglikan agrekan dan link protein, yang


berikatan satu sama lain dan dengan hialuronan melalui domain
globular G1. Dikutip dari Poole AR, Howell DS '

2384

RETJMIIIOI.OGI

2.200 kd.Domain Gl mempunyai stuktur yang mempunyai


3 buah loop terlkat disulfid. Loop Amempunyai struktur

Molekul

Stuktur dan Ukuran

Funosi dan Lokasi

Kolagen
Tipe ll

lo1 (ll)ls

Kekuatan rentang ;
Kolagen fibril utama
Regulasi ukuran
fibril:cross-rnk ke
kolagen tipe ll
Kekuatan rentang;
periseluler di antara
fibril tipe ll
Mikrofibril pada ruang
periseluler
Berhubungan dengan
fibril kolagen dalam
perikondrium dan
permukaan artikuler
Berhubungan dengan
fibril kolagen di
seluruh tulang rawan
sendi artikuler

Tipe lX

Tipe Xl

Tipe Vl
Tipe Xll

Tipe XIV

o1(lX) o2(lX) o3(lX)


Rantai DS atau CS
tunggal
o1(Xl) o2(Xl) o3(Xl)

o1(Vl) o2(Vl) c3(Vl)


Mikrofibril
[a1(Xll)]3

lc1(xlV)l

Proteoglikan
Aglekan

Biglikan

Protein inti 255 kDa;


Rantai samping CS/KS
Terminal-c EGF, dan
domain seperti-lektin

Protein inti 38 kDa


dengan 2 rantai DS (76
kDa)

Kekenyalan
kompresif
(Compressive
stlffness) melalui
hidrasi atau fxed
charge density
Berperan pada
stabilisasi anyaman
fibril

Dekorin

Protein inti 36 5 kDa


dengan 1 rantai samping
CS atau DS

Sama dengan
biglikan

Fibromodulin

Rantai KS 4N-linked (58

Sama dengan
biglikan

kDa)

Molekul lainnya
Asam hialuronat

1000-3000 kDa

(HA)

Protein
sambungan
(Link protein\
Anchorin C ll
Sindekan

cD44
Fibronektin

38 6 kDa

34 kDa,
membran protein integral
lvlembran protein intergral
ekstraseluler dengan
rantai samping HS/CS
Membran protein intergral
ekstraseluler dengan
rantai samping HS/CS
Dimer dari subunit 220
kDa

Tenaskin

Trombospondin
Caftilege
oligomeric matrix
protein (COMP\

6 subunit 200 kDa


membentuk struktur
heksabraki
3 subunit 1 38 kDa
550 kDa; 5 subunit 1 10

Retensi agrekan di
dalam matriks
Stabilisasi perlekatan
agrekan ke HA via
Domain G'l
Mengikat kolagen
tipe ll dan kalsium
lnteraksi sel-matriks
Mengikat HA
lnteraksi sel-matriks
Mengikat HA
Perlekatan sel via
sekuen RGD
Mengikat kolagen
dan GAG
Berhubungan dengan
kondrogenesis
Pengikat kalsium
Pengikat kalsium

kDa

Agrekan merupakan proteoglikan yang mempunyai


komposisi berupa protein inti (core protein) dan rantai
glikosaminoglokan (GAG) yang melekat secara kovalen
pada protein inti. Protein inti dari agrekan mempunyai
massa molekul sebesar 230 kd dan terdiri atas 3 domain
globular (GI,G2,G3) dan 2 domain GAG yang melekat
padanya (yaitu domain keratan sulfat: KS dan kondroitin
sulfat: CS), sehingga massa molekulnya dapat mencapai

karateristik yang umum dikenal sebagai anggota keluarga


IgG dan terlibat pada interaksi di antara agrekan dan
link-protein. LoopB dan B' berperan dalam ikatan dengan
HA. Domain intraglobuler di antara Gl dan G2 (IGD)
mempunyai bentuk cabang dan merupakan lokasi yang
sensitif terhadap enzim proteolitik pemotong (cleavage)
seperti Metaloprotease, aspartik protease, serin protease

(seperti plasmin dan leukosit estalase) dan sistein


protease (seperti katepsin B). Domain G2 mempunyai asam

amino yang 6TYohomolog dengan loopB-B'dari domain


G1. Setelah sintesis protein inti oleh kondrosit melalui jalur
yang umum digunakan oleh molekul sekretori lainnya maka
padaprotein inti dilekatkan 50 rantai KS dan 100 rantai CS,
kedua karbohidrat ini merupakan 90olo massa molekul.
Sebagian besar rantai KS berlokasi pada domain KS dari
terminal-C domain G2. Pada agrekan maka domain CS
merupakan domain terbesar. Domain G3 yang berlokasi
pada terminal-C mempunyai 3 modul yaitu modul-mirip-

epidermal growthfactor (EGF), modul lektin tipe-C dan


modul kompl emen regulator protein. (Gambar 3)
Rawan sendi normal mengandung pula sejumlah molekul
molekul non-kolagen dan non-agrekan yang dapat digurakan
sebagai investigasi patofi siologi OA/AR. (Tabel 2)

REFERENS!
Eyre D. Collagen of articular cartilage. Arthritis Res 2002; 4:30-5.
Goldring MB. The Musculoskeletal system B.Articular cartilage. In
Klippel HJ, editor . Primer on the rheumatic diseases. 12th ed
Atlanta: Arthritis Foundation; 2001. p 10-6
Gamero P, Rousseau J-C, Delmas P. Molecular basis and chnical use
of biochemical markers of bone, cartilage and synovium in
joint diseases. Arthritis Rheum 2000:43:953-61.
Mayne R. Structure and function of collagen. In: Koopman WJ,
editor. Arthritis and Allied Conditions.A Textbook of Rheumatology. 13th ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1997,p.201-27.
Murphy G, Knauper V, Atkinson S, Butler G, English W, Hutton M,
et al. Matrix metalloproteinases in arthritic disease. Arthritis
Res 2002; 4 (suppl 3): S39-S49.
.

Mort JS, Billington CJ. Articular cartilage and changes in arthritis.

Matrix degradation. Arthritis Res 2001; 3:337-41.


Sandy JD .Plaas AHK, Rosenberg L, Structure, function and
metabolism of cartilage proteoglycan. In : Koopman WJ,
editor. Arthritis and Allied Conditions. A Textbook of Rheumatology. l3th ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1997, p. 229-41.
Poole AR. Cartilage in health and disease. In : Koopman WJ, editor.

Arthritis and Allied Conditions. A Textbook of Rheumatology.


13th ed, Baltimore: Williams & Wilkins; 1997,p.255-308.
Poole AR, Howell DS. Etiopathogenesis of osteoarthritis. In:
Moskowitz WR, Howell DS, Altman RD, Buckwater JA, Goldberg
VM editors. Osteoarthritis. Diagnosis and Medical/surgical
Management. 3'd ed. Philadelphia: WB Saunders; 2001,p.29-47.
Roughley PJ. Articular cattilage and changes in arthritis.
Noncollagenous and proteoglycans in the extracellular matrix
of cartilage. Arthritis Res 2001; 3:342-7.

378
STRUKTUR DAN METABOLISME TULANG
Bambang Setiyohadi

Tulang adalah organ vital yang berfungsi untuk alat gerak


pasif, proteksi alat-alat didalam tubuh, pembentuk tubuh,
metabolisme kalsium dan mineral, dan organ hemopoetik.
Tulang juga merupakan jaringan ikat yang dinamis yang
selalu diperbarui melalui proses remodeling yang terdiri
dari proses resorpsi dan formasi. Dengan proses resorpsl,
bagian tulang yang tua dan rusak akan dibersihkan dan
diganti oleh tulang yang baru melalui proses formasi.
Proses resorpsi dan formasi selalu berpasangan. Dalam
keadaan normal, massa tulang yang diresorpsi akan sama
dengan massa tulang yang diformasi, sehingga terjadi
keseimbangan. Pada pasien osteoporosis, proses resorpsi
lebih aktif dibandingkan formasi, sehingga terjadi defisit
massa tulang dan tulang menjadi semakin tipis dan

perforasi.

transmisi signal dan stimuli dari satu sel dengan sel


lainnya. Baik osteoblas maupun osteosit berasal dari sel

mesenkimal yang terdapat didalam sumsum tulang,


periosteum, dan mungkin endotel pembuluh darah. Sekali
osteoblas selesai mensintesis osteoid, maka osteoblas akan
langsung berubah menjadi osteosit dan terbenam didalam
osteoid yang disintesisnYa.
Osteoklas adalah sel tulang yang bertanggung jawab
terhadap proses resorpsi tulang. Pada tulang trabekular,

osteoklas akan membentuk cekungan pada permukaan


tulang yang aktif yang disebut lakuna Howship. Sedangkan
pada tulang kortikal, osteoklas akan membentuk kerucut
sebagai hasil resorpsinya yang disebut cutting cone, dan
osteoklas berada di apex kerucut tersebut. Osteoklas
merupakan sel raksasa yang berinti banyak, tetapi berasal

Sebagaimana jaringan ikat lainnya, tulang terdiri dari


komponenmatriks dan sel. Matriks tulang terdiri dari seratserat kolagen dan protein non-kolagen. Sedangkan sel

dari sel hemopoetik mononuklear.

tulang terdiri dari osteoblas, osteoklas dan osteosit.


Osteoblas adalah sel tulang yang bertangung jawab
terhadap proses formasi tulang, yaitu berfungsi dalam

DIFERENSIASI OSTEOBLAS

sintesis matriks tulang yang disebut osteoid, yaitu


komponen protein dari jaringan tulang' Selain itu osteoblas
juga berperan memulai proses resorpsi tulang dengan cara

membersihkan permukaan osteoid yang akan diresorpsi


melalui berbagai proteinase netral yang dihasilkannya.
Pada permukaan osteoblas, terdapat berbagai reseptor
permukaan untuk berbagai mediator metabolisme tulang,
termasuk resorpsi tulang, sehingga osteoblas merupakan
sel yang sangat penting pada bone turnover.
Osteosit merupakan sel tulang yang terbenam didalam
matriks tulang. Sel ini berasal dari osteoblas, memiliki

juluran sitoplasma yang menghubungkan antara satu


osteosit dengan osteosit lainnya dan juga dengan bone
lining cells di permukaan tulang. Fungsi osteosit belum
sepenuhnya diketahui, tetapi diduga berperaq pada

Seperti dijelaskan di muka, osteoblas berasal dari dari


stromal stem cell atau connective tissue mesenchymal stem
cell yangdapat berkembang menjadi osteoblas, kondrosit,

sel otot, adiposit dan sel ligamen. Sel mesenkimal ini


memerlukan tahaptahap transisi sebelum menjadi sel yang
matang. Setiap tahap transisi tersebut membutuhkan faktor
aktifasi dan supresi tertentu. Untuk diferensiasi dan
maturasi osteoblas dibutuhkan faktor pertumbuhan lokal,

seperti fibroblast growth

factor FGF), bone morpho-

genetic protelns (BMPs) danl4/nt protefus. Selain itu juga


diubutuhkan faktor transkripsi, yaitu C or e b inding factor

1 (Cbfa 1) atau Runx2 dan Osterix (Osx). Prekursor


osteoblas ini akan berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi preosteoblas dan kemudian menjadi osteoblas
yang matur. Osteoblas selalu ditemukan berkelompok pada
permukaan tulang yang dapat mencapai 100-400 sel

2386

REI,JMATOI.OGI

kuboidal per bone-forming site. Di bawah mikroskop


cahaya, osteoblas tampak memiliki inti yang bulat pada

tulang. Efek GH langsung pada tulang adalah melalui

basal sel yang berdekatan dengan permukaan tulang


dengan sitoplasdma yang basofilik kuat dan kompleks
Golgi yang prominen di antara inti dan apeks sel yang

lin-like growth factor-1 (IGF-

menunjukkan aktivitas biosintesis dan sekresi yang tinggi.


Selain itu osteoblas juga memiliki retikulum endoplasmik

kasar yang berkembang baik dengan cisterna yang


berdilatasi dan berisi granul-granul padat.

Osteoblas selalu tampak melapisi matriks tulang


(osteoid) yang diproduksinya sebelum dikalsifikasi.
Osteoid yang diproduksi oleh osteoblas tidak langsung
dimineralisasi, tetapi membutuhkan waktu sekitar 10 hari,

sehingga secara mikroskopik, osteoid yang belum


dimineralisasi ini akan selalu tampak. Di belakang
bsteoblas, selalu tampak sel mesenkimal yang sudah
teraktifasi dan preosteoblas yang menunggu maturasi
untuk menjadi osteoblas.
Membran plasma osteoblas kaya akan fosfatase alkali

dan memiliki resentor untuk hormon paratiroid dan


prostaglandin, tetapi tidak memiliki reseptor untuk

kalsitonin. Selain itu, osteoblas juga mengekspresikan


reseptor estrogen dan reseptor vitamin Dr, berbagai sitokin,

seperti colony stimulatingfactor I(CSF-l) dan reseptor


dan
osteoprotegriz (OPG). RANKI berperan pada maturasi
prekursor osteoklas karena prekursor osteoklas memiliki
reseptor RANK pada permukaannya. Sedangkan efek

anti nuklear factor kB ligand (RANKL)

RANKL akan dihambat oleh OPG.


Cbfa I atau Runx2 merupakan faktor transkripsi yang
sangat penting bagi maturasi osteoblas, baik pada osifikasi
intramembranosa maupun endokondral. Cbfa I akan
berikatan dengan osteoblast-specffic cis-acting element
(OSE2) dan mengaktifkan ekspresi osteoblast-specific
gene, Osteokalsin (OG2). Terdapat2 isoform Cbfa1, yaitu
Tipe I dan II. Cbfa tipe I diekspresikan oleh jaringan
mesenkimal non-oseus dan sel progenitor osteoblas yang

tidak akan berubah selama diferensiasi osteoblas.


Sedangkan Cbfa I tipe II meningkat ekspresinya selama
diferensiasi osteoblas dan promieloblas sebagai respons
terhadap BMP-2. Cbfa 1 juga berperan pada maturasi
kondrosit.
Faktor transkripsi lain yang berperan pada diferensiasi
osteoblas adalah osterix (Osx) yang diekspresikan pada
semua tulang yang sedeang tumbuh dan dibutuhkan pada
diferensiasi osteoblas dan formasi tuIang.

FAKTOR PERTUMBUHAN OSTEOGENIK


Hormon pertumbuhan (Grawlh Hormone,GH). Hormon
ini mempunyai efek langsung dan tidak langsung terhadap
osteoblas untuk meningkatkan remodeling tulang dan
pertumbuhan tulang endokondral. Defisiensi GH pada
manusia akan menyebabkan gangguan pertumbuhan

interaksi dengan reseptor GH pada permukaan osteoblas,


sedangkan efek tidak langsungnya melalui produksi insu1).

InsulinJike Growth Factor-l dan 2 (lGF-l dan IGF-2).


IGF merupakan growth hormone-dependent polypeptides
yang memiliki berat molekul

7 .600. Ada2 macam IGF, yaitu


dan IGF II, yang disintesis oleh berbagai macam
jaringan, termasuk tulang, dan mempunyai efek biologik

IGF

yang sama, walauprurlGF I lebihpoten4-7 kali dibandingkan


IGF II. IGF I mempunyai efek merangsang sintesis matriks

dan kolagen tulang danjuga merangsang replikasi sel-sel


turunan osteoblas. Selain itu, IGF I juga menurunkan
degradasi kolagen tulang. Dengan demikian IGF I
memegang peranan yang penting pada formasi tulang dan

juga berperan mempertahankan massa tulang. Berbagai


faktor sistemik dan lokal turut berperan mengatur sintesis

IGF-l oleh osteoblas, antaralait,estrogen, PTH, PGE, dan


BMP-2, sedangkan PDGF dan glukokortikoid menghambat
ekspresi IGF-I dan 1,25(OH)rD,, TGFb danFGF-2 memiliki
efek stimulator dan inhibitor ekspresi IGF-1. Didalam
sirkulasi, IGF akan terikat pada IGF binding proteins
(IGFBPs). Sampai saat ini telah ditemukan 6 IGFBP yang
diproduksi oleh sel tulang, dan jumlah yang terbanyak
adalah IGFBP-3. IGFBP memiliki afinitas yang tinggi

terhadap IGF, menghambat interaksi IGF dengan


reseptomya dan mempengaruhi aksi IGF.

Bone Morphogenetic Proteins (BMPs). Merupakan


anggota superfamili TGFp, terdiri dari BMP-2 sampai -7.
BMP disintesis oleh jaringan skeletal dan ekstraskeletal,
sedangkan BMP-2, -4 dan -6 disintesis oleh sel-sel seri
osteoblas dan berperan pada diferensiasi osteoblas. Selain

itu BMPs juga berperan pada osifikasi endokonciral

dan

kondrogenesis.

Protein Wnt. Protein Wnt memiliki aktivitas yang sama


dengan BMP dan menginduksi diferensiasi sel. Signat Wnt

yang optimal pada osteoblas membutuhkan lipoprolein


receptor-related protein 5 (LRP 5). LRP 5 diekspresikan
oleh osteoblas dan sel stromal dan distimulasi oleh BMP.
Mutasi yang menyebabkan inaktifasi LI{P 5 menyebabkan

penurunan densitas tulang sedangkan mutasi yang


menyebabkan LRP 5 resisten terhadap inaktifasi
menyebabkan peningkatan massa tulang.

TGF p. Merupakan polipeptida dengan BM 25.000. Pada


mamalia didapatkan 3 isoform yang memiliki aktivitas
biologik yang sama dan diekspresikan oleh sel tulang dan

pl, TGF B2 dan TGF 83, TGF


B berfungsi menstimulasi replikasi preosteoblas, sintesis
sel osteosarkoma, yaitu TGF

kolagen dan menghambat resorpsi tulang dengan cara


menginduksi apoptosis osteoklas.

I dan 2 adalah
17.000, bersifat angiogenik dan

Fibriblqst Growth Fuclors (FGFs). FGF


polipeptida dengan

BM

2387

STRUKTUR DAN METABOLISME TULAI\G

berperan pada neovaskularisasi, penyembuhan luka dan


reparasi tulang. FGF I dan2 akan merangsang replikasi sel
tulang sehingga populasi sel tersebut meningkat dan

memungkinkan terjadinya sintesis kolagen tulang.


Walaupun demikian, FGF tidak akan meningkatkan

sumsum fulang. Nampaknya leptin merupakan regulator

yang penting pada sel tulang dan mengkontrol


pertumbuhan tulang dan aktivitas osteoblas melalui
berbagai mekanisme.

diferensiasi osteoblas secara langsung. Selain itu, FGF juga


memiliki peran yang kecil pada resorpsi tulang, yaitu dengan
meningkatkan ekspresi MMP 13 yang berperan pada

OSTEOKLAS DAN REMODELING TULANG

degradasi kolagen dan remodeling tulang.

Setelah pertumbuhan berhenti dan puncak massa tulang


tercapai, maka proses remodeling tulang akan dilanjutkan

Platelet-Derived Growlh Factor (PDGF). Merupakan


polipeptida dengan BM 30.00 dan pertama kali diisolasi
dari trombosit dan diduga berperan penting pada awal
penyembuhan luka. PDGF merupakan dimeryang dihasilkan

oleh 2 gen, yaitu PDGF-A dan -B. PDGF-AB dan -BB


merupakan isoform yang terbanyak didapatkan dalam
sirkulasi. Sama dengan FGF, PDGF berfungsi merangsang
replikasi sel dan sintesis kolagen tulang. Selain itu PDGFBB juga berperan meningkatkan jumlah osteoklas dan
menginduksi ekspresi MMP l3 oleh osteoblas.

Vascular Endothelial Growth Factors (VEGF).


Merupakan polipeptida yang berperan pada angiogenesis

pada permukaan endosteal. Osteoklas akan melakukan


resorpsi tulang sehingga meninggalkan rongga yang
disebut lakuna Howship pada tulang trabekular atau
rongga keructt (cutting cone) padaiilatg kortikal. Setelah
resorpsi selesai, maka osteoblas akan melakukan formasi

tulang pada rongga yar.g ditinggalkan osteoklas


membentuk matriks tulang yang disebut osteoid,
dilanjutkan dengan mineralis as i primer yang berlangsung
dalam waktu yang singkat dilanjutkan dengatmineralisasi
sekunder dalam waaktu yang lebih panjang dan tempo
yang lebih lambat sehingga tulang menjadi keras.
Proses remodeling tulang merupakan proses yang

Osteoblas mengekspresikan 2 tipe reseptor VEGF, yaitu


VEGFR-I dan -2. VGEF berperan sangat pentingpada

kompleks dan terkoordinasi yang terdiri dari proses


resorpsi dan formasi tulang baru yang menghasilkan
pertumbuhan dan pergantian tulang. Hasil akhir dari

osifikasi endokondral. Selama osihkasi endokondral,teiadi


invasi pembuluh darah kedalam rawan sendi selama
mineralisasi matriks, apopto sis kondro sit yang hipertrofik,
degradasi matriks dan formasi tulang. Inaktifasi VEGF pada
tikus yang berumur 24 hari menyebabkanpenekanan invasi
pembuluh darah, peningkatan zota hiperlrofik kondrosit
dan gangguan formasi tulang trabekular.

tidak terjadi disembarang tempat disepanjang tulang, tetapi


merupakan proses pergantian tulang lama dengan fulang
baru. Pada tulang dewasa, formasi tulang hanya terjadi

yang sangat penting pada perkembangan skeletal.

remodeling tulang adalah terpeliharanya matriks tulang


yang termineralisasi dan kolagen. Aktivitas sel-sel tulang
terjadi disepanjang permukaan tulang, terutama pada
permukaan endosteal. Proses resorpsi dan formasi tulang,

bila didahului oleh proses resorpsi tulang. Jadi urutan


proses yang terjadi pada tempat remodeling adalah
REGULASI HORMONAL FORMASI TULANG

Steroid dan hormon polipeptida berperan pada


pertumbuhan osteoprogenitor dan pertumbuhannya
menjadi osteoblas yang matur. PTH berperan pada
pertumbuhan populasi osteoprogenitor sedangkan PTHrP

aktifasi-resorpsi-formasi (urutan ARF). Pada fase antara


resorpsi dan formasi (fase reversal), tampak beberapa sel
mononuklear seperti makrofag pada tempat remodeling
membentuk cement line yang membatasi proses resorpsi
dan merekatkan tulang lama dan tulang baru.
Osteoklas yang bertanggung jawab terhadap proses

berperan pada diferensiasi osteoblas. Glukokortikoid


berperan pada diferensiasi sel mesenkimal menjadi

resorpsi tulang, berasal dari sel hemopoetik/fagosit

osteoblas in vitro, tetapi penggunaan glukokortikoid untuk


pengobatan justru menghambat formasi tulang dan
menyebabkan osteoporosis. Vitamin D [1,25(OH)rD3]
merupakan regulator trsnkripsi gen yang poten yang

membutuhkan faktor transkripsi PU-l dan MiTf yang akan

berperan meningkatkan atau menurunkan ekspresi

Leptin yang disekresikan oleh jaringan adiposa dan

mengekspresikan reseptor RANK. Selainjutnya, dengan


adanya RANK ligand (RANKL), sel ini berdiferensiasi
menjadi osteoklas. Berbeda dengan sel makrofag, osteoklas
mengekspresikan beribu-ribu reseptor RANK, kalsitonin
dan vitronektin (integrin a,b3). Setelah selesai proses
resorpsi, osteoklas akan mengalami apoptosis dengan
pengaeuh estrogen. Pada defisiensi estrogen, menopause

osteoblas memiliki efek anabolik terhadap osteoblas. Selain


itu leptin juga dapat mebnginduksi apoptosis sel stromal

atau ovariektomi, apoptosis osteoklas akan terhambat


sehingga terjadi resorpsi tulang yang berlebihan.

berbagai gen fenotip osteoblas, misalnya meningkatkan


sintesis osteokalsin. Hormon steroid seks memiliki efek
anabolik terhadap tulang dan osteoblas. Asam retinoat
berperan pada pertumbuhan tulang selama masa embrional'
Andrenomedulin berperan pada pernrmbuhan osteoblas.

mononuklear. Diferensiasinya pada fase awal


merubah sel progenitor menjadi sel-sel seri mieloid.
Selanjutnya dengan rangsangan M-CSF, sel-sel ini
berubah menjadi sel-sel monositik, berproliferasi dan

2388

REI'MITIOI.OGI

Proses remodeling tulang diatur oleh sejumlah hormon


dan faktor-faktor lokal lainnya. Hormon yang berperan
pada proses remodeling tulang adalah hormon paratiroid
(PTH), insulin, hormon pertumbuhan, vitamin D, kalsitonin,
glukokortikoid, hormon seks dan hormon tiroid"

Osteoprotegrin (OPG)/RANKL/RANK. OPG adalah


anggota superfamili reseptor TNF yang tidak memiliki
domain transmembran sehingga akan disekresikan kedalam
sirkulasi. Ekspresi OPG akan menghambat resorpsi tulang
yang fisiologik maupun patologik. Ligand OPG hanya 2,
yaitu RANKL dan TRAIL. Perlekatanan OPG pada RANKL
akan menghambat perlekatan RANKI terhadap RANK di

permukaan progenitor osteoklas, sehingga akan


menghambat maturasi osteoklas dan resorpsi tulang. OPG

juga menghambat formasi osteoklas yang diinduksi oleh


hormon osteotropik dan sitokin,seperti 1,25(OH)2D3, PTH,
PGE2, IL-l dam IL-I1. Ekspresi OPG di sel stromal dan
osteoblas akan ditingkatkan oleh TGFB, hal ini mungkin

yang menerangkan mekanisme penghambatan resorpsi


tulang oleh TGFP. RANKL merupakan protein membran
tipe II yang diekspresikan oleh sel-sel seri osteogenik
termasuk osteoblas yang matur. Dengan pengaruh M-CSF,
RANKL akan merangsang maturasi osteoklas dan
akibatnya, proses resolpsi tulang meningkat. 1,25(OH),D,,
PTH, PGE, IL- I b, TNF-u, IL- I

1,

IL-6 dan FGF temyata dapat

meningkatkan kadar mRNA RANKL. RANK adalah


protein transmembran tipe I, yang mempakan anggota
superfamili TNFR dan satu-satunya reseptor untuk
RANKL. RANK diekspresikan pada permukaan osteoklas

mempunyai efek langsung terhadap remodeling tulang,


tetapi melalui perangsangan terhadap IGF I, GH dapat
mengatur formasi tulang. Efek langsung GH pada formasi

tulang sangat kecil, karena sel-sel tulang hatya


mengekspresikan reseptor GH dalam jumlah yang kecil.

1,2S-Dihydroxyvitamin-D3 [1,25(OH)rD.l, merupakan


hormon yang disintesis secara primer oleh ginjal dan
mempunyai fungsi yang sama dengan PTH, yaitu
merangsang resorpsi tulang dan efek ini berlangsung melalui

peningkatan ekspresi RANKL oleh osteoblas. Selain itu


1,25(OH)rD3 juga dapat meningkatkan sintesis osteokalsin
oleh osteoblas, menghambat sintesis kolagen tulang,
meningkatkan ikatan IGF I pada pada reseptornya yang
terdapat di sel-sel turunan osteoblas dan merangsang
selected IGF binding proteins yang dapat memodifikasi
aksi dan konsentrasi IGF. 1,25(OH)rD, juga merupakan
imunomodulator yang poten yang dapat menghambat
proliferasi sel T dan produksi IL-2.

Kalsitonin merupakan inhibitor yang poten terhadap efek


resorpsi tulang dari osteoklas, tetapi efek ini hanya
sementara, terutama pada pemberian kalsitonin yang
berkepanjangan. Kalsitonin menyebabkan kontraksi
sitoplasma osteoklas dan pemecahan osteoklas menjadi
sel mononuklear dan menghambat pembenfukan osteoklas.

Glukokortikoid mempunyai efek merangsang resorpsi


fulang, mungkin melalui penurunan absorbsi kalsium yang
kemudian akan diikuti oleh peningkatan PTH. Pemberian
glukokortikoid jangka pendek pada konsentrasi fisiologik,

dan berperan pada diferensiasi osteoklas dari sel progeni-

dapat merangsang sintesis kolagen tulang. Tetapi

tor hematopoetik dan aktifasi osteoklas yang matur.


Overekspresi RANK pada fibroblas embrio manusia
menginduksi aktifasi ligand independen NF-kB dan
berhubungan dengan peningkatan diferensiasi dan

pemberian jangka panjang dapat menurunkan replikasi sel


preosteoblastik, sehingga jumlah osteoblas menurun dan

maturasi osteoklas yang independen terhadap RANKL.

pembentukan matriks tulang terhambat. Selain itu,


glukokortikoid juga menghambat sintesis IGF I oleh sel
tulang dan hal ini mungkin berperan pada penghambatan

Hormon paratiroid berperan merangsang formasi dan

formasi tulang.

resorpsi tulang in vitro maupun in vivo, tergantung pada


cara pemberiannya apakah intermiten atau terus menerus.
Mekanisme keqa yang berbeda ini tidak jelas, tetapi diduga
melalui jalur Cbfa, karena Cbfa merupakan faktor transkripsi
untuk diferensiasi osteoblas, selain itu Cbfa juga mengatur
ekspresi RANKL. Jadi efek PTH terhadap osteoklas tidak
bersifat langsung karena osteoklas tidak memiliki reseptor
PTH. Selain PTH, PTI{rP juga memiliki efekbifasik terhadap
tulang.

Estrogen dan Androgen memegang peranan yang sangat


penting pada maturasi tulang yang sedang tumbuh dan
mencegah kehilangan massa tulang. Reseptor estrogen

Insulin mempunyai peranan dalam merangsang sintesis

merangsang resorpsi tulang.

matriks tulang dan pembentukan tulang rawan. Selain itu,


insulin juga sangat penting pada mineralisasi tulang yang
normal, dan merangsang produksi IGF I oleh hati. Peranan

insulin pada sintesis matriks terutama pada fungsi


diferensiasi osteoblas, sedangkan IGF I meningkatkan
jumlah sel yang dapat mensintesis matriks tulang.

Hormon pertumbuhan (growth hormon, GH) tidak

pada sel-sel tulang sangat sedikit diekspresikan, sehingga

sulit diperlihatkan efek estrogen terhadap resorpsi

dan

formasi tulang. Estrogen dapat menurunkan resorpsi tulang


secara tidak langsung melalui penurunan sintesis berbagai
sitokin, seperti IL-I, TNF-o dan IL-6. Il-6diketahui banyak

terdapat pada lingkungan-mikro tulang dan berperan

Hormon tiroid berperan merangsang resorpsi tulang. Hal


ini akan menyebabkan pasien hipertiroidisme akan disertai
hiperkalsemia dan pasien pasca-menopause yang mendapat
supresi tiroid jangka panjang akan mengalami osteopenia.

Hormon tiroid (T, dan To) merupakan regulator


pertumbuhan tulang yang penting. Terdapat 4 isoform
reseptor hormon tiroid, yaitu TRal, TRa2, TRb I dan TRb2

2389

SIRUKTUR DAT{ METABOLISME TULANG

yang kesemuanya diekspresikan pada kondrosit pada

RANKL dan TGF-p akan menyebabkan resorpsi tulang

tempat osifikasi endokondral.

oleh osteoklas.
TGF-p merupakan polipeptida yang multifungsional

Prostaglandin merupakan mediator inflamasi yang


merupakan metabolit asam arakidonat dan memiliki efek

yang kompleks terhadap tulang. Prostaglandin


berhubungan dengan hiperkalsemia dan resorpsi tulang

pada keganasan dan keradangan kronik. Walaupun


demikian, efek prostaglandin terhadap tulang pada manusia

masih belum jelas. PGE, pada dosis rendah tertyata


berperan merangsang formasi tulang, sedangkan pada dosis

yang diproduksi oleh sel sistem imun danjuga sel stromal


dan osteoblas. TGF-p akan merangsang prostaglandin dan
menyebabkan resorpsi tulang. Selain itu, TGF-p juga akan
menghambat formasi osteoklas dengan cara menghambat

proliferasi dan diferensiasi osteoklas. TGF-p juga


meningkatkan proliferasi osteoblas, meningkatkan protein
matriks tulang dan meningkatkan mineralisasi tulang'

tinggi berperan meningkatkan resorpsi tulang tanpa


menghambat formasi tulang. Pada fase resorps tulang,
produksi PGE, akan meningkat, sedangkan pada formasi

INFLAMASI DAN REMODELING TULANG

tulang atau fase penyembuhan, produksi PGE, akan

Secara molekular, temyata remodeling tulang memiliki

merurrun.

kesamaan dengan proses inflamasi. Inflamasi dimulai oleh

Leukotrien. Sama halnya dengan prostaglandin, leukotrien


juga merupakan mediator inflamasi dan metabolit asam
arakidonat yang diproduksi melalui jalur enzim

rangsangan, baik akibat trauma maupun benda asing,


sedangkan remodeling dicetuskan oleh faktor mekanik
yang mengenai permukaan tulang yang termineralisasi.
Pada inflamasi, trauma atau benda asing akan merangsang

5-lipoksigenase (5 -LO). Leukotrien berperan mengaktifkan


osteoklas dan berhubungan dengan resorpsi tulang pada
giant cell tumors pada tulang. Leukotrien juga diketahui
berperan pada inflamasi kronik,seperti artritis reumatoid,
asma bronkiale, psoriasis, penyakit periodontal dan kolitis

inflamatif. Metabolit 5-LO juga diketahui menurunkan


fungsi osteoblas dan formasi tulang pada inflamasi akut,

misalnya pada artritis reumatoid. Inhibitor sintesis


leukotrien atau antagonis reseptor leukotrien telah
digunakan secara baik untuk terapi asma bronkiale dan
diduga memiliki efek formasi tulang.

Sitokin juga berperan pada remodeling ilang. IL-1


merupakan sitokin yang berperan pada remodeling tulang.
Ada 2 macamll.- 1, yaitu IL- I cr dan IL- 1 B, yang mempunyai
efek biologik yang sama dan bekerja pada reseptor yang
sama pula. IL-1 dilepaskan oleh sel monosit yang aktif dan
juga oleh sel yang lain seperti osteoblas dan sel tumor.
Peranan IL- 1 pada proses remodeling tulang cukup banyak,
antara lain adalah merangsang reso{psi tulang, replikasi
sel tulang dan meningkatkan sintesis IL-6. IL- I , nampaknya
juga berperan pada mekanisme hiperkalsemia pada
keganasan hematologik. Pada beberapa kasus osteoporosis,
ternyata kadar IL- 1 juga meningkat. Efek IL- 1 pada tulang

diketahui melalui jalur RANKL, Limfotolrsin dar TNFo


merupakan sitokin yang berhubungan dengan IL-l dan
fungsinya juga banyak tumpang tindih dengan IL-1,
Bahkan reseptomya juga sama dengan reseptor IL-1.
juga berperan pada resorpsi tulang dengan jalan
mengerahkan sel-sel osteoklas. IL-6 diekspresikan dan
disekresikan oleh sel tulang sebagi respons terhadap PTH,
1,25(OH)rDj dan IL-l. Sintesis IL-6 akan dihambat oleh
estrogen dan hal ini nampak pada penurunan resorpsi
tulang pada terapi estrogen.
CSF-I diproduksi oleh sel stromal dalam lingkungan
mikro osteoklas. Ekspresinya berrhubungan dengan

IL-6

makrofag menghasilkan berbagai sitokin yang akan


merangsang produksi dan migrasi sel darah putih lainnya
ke tempat inflamasi. Berbagai sitokin yang dihasilkan pada

inflamasi merupakan stimulator yang kuat terhadap


diferensiasi osteoklas dan resorpsi tulang oleh osteoklas.
IL-l dan TNF-o yang dihasilkan pada inflamasi akan
merangsang osteoblas untuk mengekspresikan RANKL
dan M-CSF dan menghambat produksi OPG. Selain itu,

dengan pengaruh IL-1, TNF-o akan meningkatkan


diferensiasi makofag menjadi osteoklas. IL- I dan TNF-u,
terutama dihasilkan oleh monosit, sedangkan beberapa
sitokin yang dihasilkan oleh sel T, bersifat menghambat
osteoklastogenesis, misalnya Interferon (IFN)-y, GM-CSF,

IL-4 dan IL-13.m, sedangkan sitokin dari sel T yang


merangsang osteoklastogenesis adalah IL-17.

Seperti diketahui, estrogen berperan menghambat


proliferasi dan diferensiasi prekursor osteoklas melalui
mekanisme yang belum jelas. Reseptor estrogen,
ditemukan pada permukaan monosit, osteoblas, prekursor
osteoklas maupun osteoklas. Defisiensi estrogen akan
mengakibatkan peningkatan produksi IL-l, TNF, IL-6 dan
kompleks reseptor IL-6, M-CSF dan GM-CSF.
Pada fase lanjut dari inflamasi, akan terjadi pengerahan

fibroblast yang akan menghasilkan matriks untuk


mengisolasi benda asing penyebab inflamasi dari jaringan

lain. Berbagai faktor pertumbuhan,

seperti
pada proses
(FGF)
berperan
turut
growthfactor
fibroblast
ini. Persamaan proses ini dengan remodeling tulang adalah
pengerahan osteoblas yang akan menutupi area resorpsi'
FGF I dan 2 adalah polipeptida dengan BM 1 7.000, bersifat

angiogenik dan berperan pada neovaskularisasi,


penyembuhan luka dan reparasi tulang. FGF I dan 2 akan
merangsang replikasi sel tulang sehingga populasi sel
tersebut meningkat dan memungkinkan terjadinya sintesis
kolagen tulang. Walaupun demikian, FGF tidak akan

2390

REI.JMANOI.OGI

meningkatkan diferensiasi osteoblas secara langsung.


Selain itu, FGF juga memiliki peran yang kecil pada resorpsi
tulang, yaitu dengan meningkatkan ekspresi MMP 13 yang
berperan pada degradasi kolagen dan remodeling tulang.

Pada proses inflamasi, terjadi neovaskularisasi yang


dirangsang oleh FGF, VEGF dan sitokin lainnya. pada
osteogenesis, VEGF berperan pada angiogenesis dan
formasiu osteoklas. Faktor lain yang juga penting pada
remodeling tulang adalah osteopontin yang dihasilkan oleh
makrofag pada proses inflamasi, maupun makrofag yang
banyak terdapat pada jaringan tumor.

OSTEOSIT
Osteosit merupakan sel yang berbentuk stelat yang
mempunyai juluran sitoplasma (prosesus) yang sangat
panjang yang akan berhubungan dengan prosesus
osteosit yang lain dan juga dengan bone linning cells.
Didalam matriks, osteosit terletak didalam rongga yang
disebut lakuna, sedangkan prosesusnya terletak didalam
terowongan yang disebut kanalikuli. Lakuna dan
kanalikuli berhubungan satu sama lain, termasuk dengan
lakuna dan kanalikuli dari osteosit lain dan bone linning
cells dipermukaan tulang membentuk jaringan yang
disebut srslem lakunokanalikular (LCS). Sistem LCS berisi
cairan yang merendam osteosit dan prosesusnya dan furut
berperan pada mekanisme penyebaran rangsang mekanik

dan kimia yang diterima tulang melalui transduksi


mekan

o - b i o - e I e ktr o - kem

kal.

Jaringan LCS sangat penting untuk kehidupan jaringan


tulang yang sehat. Osteosit merupakan mekanosensorbagi
jaringan tulang. Adanya rangsang mekanik dan kimia pada
jaringan tulang akan diteeruskan ke semua osteosit dan
jaringan tulang melalui struktur padat jaringan tulan g, ata.u
tekanan pada cairan didalam sistem LCS, sehingga semua
osteosit terangsang dan proses remodeling tulang berjalan

KOLAGEN DALAM TULANG


Kolagen merupakan protein ekstraselular yang terpentiong
didalamtubuh dan didalam tulang, kolagenmerupakan 65%
bagian dari total komponen organik didalam tulang.

Kolagen terdiri dari struktur tripel heliks rantai


polipeptida yangparyang,yaitu rantai u (alfa). Ada

13

tipe

kolagen atau lebih didalam tubuh manusia, yang


dikelompokkan menjadi kolagen fibrilar (tipe I, II, III dan
V) dan kolagen non-fibrilar. Kolagen fibrilar men.rpakan
kolagen yang terbanyak dan ditemukan pada seluruh
jaringan ikat didalam tubuh. Kolagen tipe I merupakan
kolagen yang terbanyak ditemukan didalam tulang, kulit
dan tendon. Setiap kolagen tersusun atas rantai c{, yang
berbeda yang dikode oleh gen yang spesifikjuga. Kolagen
tipe I terdiri dari 2 rafiai al(I) yang dikode oleh gen
COL1A1 padakromosoml'7,dan 1 rantai o2(I) yang dikode
oleh gen COL1A2 di kromosom 7.

Tipe

Rumus
Mulekul

Gen

COL1A

ct1(l) cr2(l)

COL1A2

ll

(ll)l:

coL2A1

lcrl

COL3A1

[o1(lll)]3

COLSA1

[cr1(V)rcr(V)],

COLSA2

dan bentuk lain

Jaringan
Tulang, dentin, kulit,
tendon, dinding
pembuluh darah,
saluran cerna
Rawan se-ndi, cairan
vitreus, diskus
intervertebral
Jaringan fetal dengan
kolagen tipe I pada
semua Janngan
Jaringan vaskular, otol
polos

COL5A3

Biosintesis kolagen terdiri dari beberapa tahap. Pertama

dengan normal. Bila osteosit mati, maka lakuna yang


ditempatinya dan matriks tulang disekitarnya akan
diresorpsi dan diformasi atau LCSnya dibiarkan kosong

kali akan disintesis protokolagen. Kemudian akan terjadi


beberapa modifikasi antara lain di osteoblas akan terjadi

dan mengalami mineralisasi.

hidroksilisin. Selanjutnya rantai s akan membentuk tripel

Pada tulang yang osteoporotik, terjadi diskoneksi


antara prosesus-prosesus tersebut dan osteosit dapat
terpencil sendiri dan berubah bentuk. Akibatnya hansduksi
mekano-bio-elektro-kemikal tidak berjalan dengan

sempurna dan proses remodeling tulang juga tidak


sempurna, sehingga tulang akan kehilangan kemampuan
melakukan proses formasi setelah resorpsi berlangsung,
akibatnya pada tulang yang osteoporotik, akan didapatkan

hidroksilasi prolin dan lisin membentuk hidroksiprolin dan


heliks sebelum disekresikan. Kemudian terminal-C dan

-N

propeptida terpisah bersamaan dengan sekresinya.

Selanjutnya tropokolagen membentuk serabut-serabut


kolagen. Sementara itu struktur dasar tripel heliks akan

dipertahankan sebbagai tulang punggung molekul


diperkuat dengan ikatan (cross-link) kovalen selama
maturasi kolagen. Ikatan tersebut terdiri dari piridinolin
dan deoksipiridinolin yang teryutama terletak pada termi-

banyak lakuna Howship yang pada akhirnya akan

nal-C dan -N, dimana struktur tripel heliks digantikan

menyerbabkan turunnya kekuatan tulang. Hal yang sama


juga terjadi pada pasien yang mengalami imobilisasi lama,

dengan domain non-tripelyang disebut telopeptida. Pada

karena rangsangan beban pada tulang berkurang,


sehingga transduksi mekano-bio-elektro-kemikal juga
menjadi hilang, sehingga tulang menjadi osteoporotik.

turnover kolagen, maka ikatan piridinolin dan


deoksipiridinolin atau peptida yang mengandung
keduanya akan dilepas dan diekskresikan lewat urin.
Pengukuran keduanya didalam urin dapat menjadi petanda

2391

STRUKTUR DAN METABOLISME TULANG

rwesorpsi tulang karena ikatan ini hanya didapatkan pada

kolagen yang matur. Didalam jaringan tulang, kolagen


berinteraksi dengan komponenjaringan lainnya, termasuk
proteoglikan, glikoprotein dan mineral. Selain di tulang,
kolagen tipe Ijuga didapatkan padajaringan lain, tetrapi
yang mnengalami mineralisasi, hanya kolagen tripe I di
tulang. Proses degradasi kolagen membutuhkan kolagenase
dan pelepasan mineral karena mineral melindungi kolagen
dari proses denaturasi. Hasil degradasi matriks tulang yang

meliputi berbagai perptida dan asam amino termasuk


hidroksiprolin dan hidroksilisin akan dilepas ke aliran darah,
kemudian diekskresikan melalui urin.

(MEPE), dentin matrix protein-l (DVP-l), osteonectin dan


bone acidic glycoprotein-75 (BAG-75). Selain itu juga
disintesis kolagen tipe I, fibronektin, trombospondin,

vitroneektin, fibrilin dan osteoadherin. Tabel 2


menunjukkan fungsi protein-protein tersebut pada
mineralisasi tulang.

Merangsang
formasiapatit

Menghambal
mineralisasi

Berfungsi
ganda

Tidakjelas

Kolagen tipe
Proteolipid

Agrekan
c2-HS
glikoprotein

Biglikan
Osteonektin
Fibronektin

l\ilatrix gla

Bone

Dekorin
BAG-75
Lumikan
Tetranektln
Osteoaderin
Trombospondin

protein

(MGP)
Osteopontin

MINERALISASITULANG

Sialoprotein
(BSP)

efeknya

Osteokalsin

Mineral tulang yang matur adalah hidroksiapatit dengan


rumus molekul Ca,o(PO)u(OH), yang bentuk kristalnya

hanya dapat dilihat di bawah mikroskop elektron,


sedangkan di bawah mikroskop eahaya tampak amorf.
Hidrosiapatit akan mengisi lubang-lubang didalam serat
kolagen dan menyebar sehingga membentuk tulang yang
terkalsifikasi secara sempuma. Pada tulang yang matur,

kristal-kristal mineral akan bertambah besar akibat


penambahan ion-ion pada kristal dan dan agregasi kristalkristal itu sendiri. Setelah osteoid dibentuk oleh osteoblas,
terdapat jeda 10-15 hari sebelum mineralisasi berlangsung.
Dua-pertiga mineralisasi akan berlangsung dengan cepat,

sedang sepertiga sisanya akan berlangsung selama


beberapa bulan.

Kalsium berperan sangat penting sejak awal


mineralisasi. Kalsium memiliki afinitas yang kuat
terhadap tetrasiklin sehingga labelisasi tetrasiklin dapat
digunakan untuk menilai derajat mineralisasi dengan
menggunakan mikroskop fluoresensi. Total kalsium

tubuh adalah l300gr dan99,9%o berada didalam tulang.

Didalam sirkulasi, kalsium dapat dibagi dalam

komponen, yaitu kalsium ion, kalsium yang terkat albumin


dan kalsium dalam bentuk garam kompleks. Dari ketiga
bentuk ini, hanya kalsium ion yang berfungsi untuk sel

hidup, yaitu untuk formasi tulang, metabolisme,


konduksi saraf, kontraksi otot, kontrol hemostatik dan
integritas kulit.

Selain kalsium, kation yang penting juga


untuk mineralisasi tulang adalah magnesium sedangkan

elemen lain yang juga penting adalah fosfor dan


fluorida.
Pada umumnya, sel-sel jaringan ikat akan berinteraksi

dengan lingkungan ekstraselulamya termasuk perlekatan


dengan makromolekul ekstraselular. Sel tulang minimal

mensintesis 9 protein yang akan menjadi mediator


perlekatan sel dengan struktur ekstraselularnya, termasuk
anggota keluarga SIBLING (small integrin-binding ligattd,
N glycosylated proteilts), yaitu osteopontin, bone sialoprotein

(BSP), matrix extracellular phosphoglycoprotein

PETANDA BONETURNOVER
Bone turnover merupakan mekanisme fisiologik yang
sangat penting untuk memperbaiki tulang yang risak atau

mengganti "tulang tua" dengan "tulang baru". Petanda


bone turnover, yang meliputi petanda resorpsi dan
petanda formasi tulang, merupakan komponen matriks
tulang atau enzim yang dilepaskan dari sel tulang atau
matriks tulang pada waktu proses remodeling tulang'
Petanda ini dapat menggambarkan dinamika remodeling
tulang, tetapi tidak mengatur remodeling tulang. Yang
termasuk petanda resorpsi tulang adalah hidroksiprolin

(HYP), piridinolin (PYD), Deoksipiridinolin (DPD),


N-terminal cross-linking telopeptaide of type I collagen
(NTX) dan C-terminal cross-linking telopeptide of type
I collagen (CTX); sedangkan petanda formasi tulang
adalah Bone alkaline phosphatase (BSAP), Osteokalsin
(OC), Procollagen type I C-propeptide (PICP) dan
Procollagen type I C-propeptide (PINP).
Pengobatan dengan anti resorptif akan menurunkan
kadar petanda bone turnover lebih cepat dibandingkan
dengan perubahan densitas massa tulang yang diukur
dengan alat DEXA. Penurunan ini terjadi lebih cepat
daripada perubahan BMD, sehingga dapat digunakan
untuk mengukur efektivitas pengobatan. Pada penelitian
dengan risedronat (VERT study) didapatkan bahwa
penurunan NTX urin > 60oh dan CTX utin> 40o/o setelah
pengobatan 3-6 bulan berhubungan dengan penumnan
risiko fraktur vertebra dalam waktu 3 tahun.

Walaupun demikian, terdapat hubungan yang


kompleks antara turnover tulang dengan kualitas tulang.
Tidak selamanya penekanan turnover tulang jangka
panjang menghasilkan kualitas tulang yang baik, karena
tulang menjadi sangat keras akibat mineralisasi sekunder
yang berkepanjangan dan tulang menjadi getas dan mudah
fraktur.

2392

REUMAIIOI.OGI

KALSIUM (Ca)

rangka, mikrosom berkembang sangat baik menjadi


retikulum sarkoplasmik dan merupakan gudang kalsium

Tubuh orang dewasa diperkirakan mengandung 1000 gram


kalsium. Sekitar 99% kalsium ini berada didalam tulang
dalam bentuk hidroksiapatit dan lYo lagi berada didalam
cairan ekstraselular dan jaringan lunak. Didalam cairan
ekstraselular, konsentrasi ion kalsium (Ca'*) adalah 10r
M, sedangkan di dalam sitosol 10-6 M.
Kalsium memegang2 peranan fisiologik yang penting

yang penting didalam sel yang bersangkutan. Depolarisasi


membran plasma akan diikuti dengan rnasuknya sedikit Ca

didalam tubuh. Didalam tulang, garam-garam kalsium


berperan menjaga integritas struktur kerangka, sedangkan
didalam cairan ekstraselular dan sitosol, Ca 2* sangat

berperan pada berbagai proses biokimia tubuh. Kedua


kompartemen tersebut selalu berada dalam keadaan yang
seimbang.
Didalam serum, kalsium berada dalam 3 fraksi, yaitu Ca
2*
sekitar 50%, kalsium yang terikat albumin sekitar 40%
dan kalsium dalam bentuk kompleks, terutama sitrat dan

fosfat adalah 10%. Kalsium ion dan kalsium kompleks


mempunyai sifat dapat melewati membran semipermeabel,
sehingga akan difiltrasi di glomerulus secara bebas.
Reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal terutama terjadi di

tubulus proksimal, yaitu sekitar 70o/o,kemttdian20o/o di


ansa Henle dan sekitar 8% di tubulus distal. Pengaturan
ekskresi kalsium di urin, terutama terjadi di tubulus distal.
Sekitar 90% kalsium yang terikat protein, terikat pada
albumin dan sisanya terikat pada globulin. Pada pH 7 ,4,
setiap grldl albumin akan mengikat 0,8 mgldl kalsium.
Kalsium ini akan terikat pada gugus karboksil albumin dan

ikatannya sangat tergantung pada pH serum. Pada


keadaan asidosis yang akut, ikatan ini akan berkurang,
sehingga kadar Ca * akan meningkat, dan sebaliknya pada
alkalosis akut.
Secara fisiologis, Ca 2t ekstraselular memegang peranan
yang sangat penting, yaitu :

.
.

Berperan sebagai kofaktor pada proses pembekuan


darah, misalnya untuk faktor VH, IX, X dan protrombin.
Memelihara mineralisasi tulang.

Berperan pada stabilisasi membran plasma dengan

berikatan pada lapisan fosfolipid dan menjaga


permeabilitas membran plasma terhadap ion Na+.
Penurunan kadar Ca2* serum akan meningkatkan
permeabilitas membran plasma terhadap Na+ dan
menyebabkan peningkatan respons jaringan yang
mudah terangsang.
Kadar Ca2* didalam serum diatur oleh2 hormonpenting,
yaitu PTH dan 1,25(OH), Vitamin D. Didalam sel, pengaturan
homeostasis kalsium sangat kompleks. Sekitar 90-99%
kalsium intraselular, berada didalam mitokondria dan
mikrosom. Rendahnya kadar Ca 2 didalam sitosol, diatur
oleh 3 pompa yang terletak pada membran piasma, membran
mikrosomal dan membran mitokondria yang sebelah dalam.
Pada otot rangka dan otot jantung, kalsium berperan pada
proses eksitasi dan kontraksi jaringan tersebut. Pada otot

2*

ekstraselular kedalam sitosol dan hal

ini

akan

mengakibatkan terlepasnya Ca 2* secara berlebihan


dari retikulum sarkoplasmik kedalam sitosol. Kemudian
Ca 2t akan berinteraksi dengan troponin yang akan
mengakibatkan interaksi aktin-miosin dan terjadilah
kontraksi otot. Proses relaksasi otot, akan didahului oleh
reakumulasi Ca 2t oleh vesikel retikulum secara cepat dari
dalam sitosol, sehingga kadar Ca 2* didalam sitosol akan
kernbalinormal.
Sel utama kelenjar paratiroid sangat sensitifterhadap
kadar Ca 2t didalam serum. Peran PTH pada reabsorpsi Ca
di tubulus distal, resorpsi tulang dan peningkatan absorpsi
kalsium di usus melalui peningkatan kadar I ,25(OH)rVitamin
D, sangat penting untuk menjaga stabilitas kadar Ca 2*

didalam serum. Selain itu, peningkatan PTH akan


menurunkan renal tubular phosphate threshold (TmPl
GFR) sehingga fosfat yang diserap dari usus dan
dimobilisasi dari tulang akan diekskresi oleh ginjal.

FOSFOR (P)
Tubuh orang dewasa mengandung sekitar 600 mg fosfor.
Sekitar 85%oberada dalam bentuk kristal didalam tulang,
dar, l5%o berada didalam cairan ekstraselular. Sebagian
besar fosfor ekstraselular berada dalam benhrk ion fosfat
anorganik dan didalam jaringan lunak, hampir semuanya
dalam benfuk ester fosfat. Fosfat intraselular, memegang,
peran yang sangat penting dalam proses biokimia intrasel,
termasuk pada pembentukan dan transfer energi selular.
Did alam serum, fosfat anorganik juga terbagi dalam 3
fraksi, yaitu ion fosfat, fosfat yang terikat protein dan fosfat
dalam bentuk kompleks dengan Na, Ca dan Mg. Fosfat

yang terikat protein hanya sekitar 10% sehingga tidak


bermakna dibandingkan keseluruhan fosfat anorganik
didalam serum. Dengan demikian, sekitar 90% fosfat
(ion dan kompleks) akan dengan mudah di filtrasi di
glomerulus.
Ginjal memegang peranan yang sangat penting pada
homeostasis fosfor didalam serum. Beberapa faktor, baik
intrinsik maupun ekstrinsik, yang mempengaruhi renal
tubular phosphorus threshold (TmP/GFR), akan dapat
mempengaruhi kadar fosfat didalam serum, misalnya pada

hiperparatiroidisme primer, TmP/GFR akan menurun,


sehingga terjadi ekskresi fosfat yang berlebihan, akibatnya
timbul hipofosfatemia. Sebaliknya, pada gangguan fungsi
ginjal dan hipoparatiroidisme, TmP/GFR akan meningkat,

sehingga ekskresi fosfat menurun dan terjadilah


hiperfosfatemia.
Secara biologik, hasil kali Ca X P selalu konstan,
sehingga peningkatan kadar fosfat didalam serum akan

2393

STRUKTUR DAI\ METABOLISME TULANG

diikuti dengan penurunan kadar Ca serum, dan yang

serum dapat digunakan untuk mendeteksi kecukupan,

terakhir ini akan merangsang peningkatan produksi PTH

defisiensi atau intoksikasi vitamin D. 25(OH)D merupakan


bentuk vitamin D yang inaktif, yang akan dibawa ke ginjal,

yang akan menurunkan TmP/GFR sehingga terjadi ekskresi


fosfat melalui urin dan kadar fosfat didalam serum kembali
menjadi normal, demikian pula kadar Ca didalam serum.

Pada gagal ginjal kronik, terjadi hiperfosfatemia yang


menahun, sehingga timbul hipertiroidisme sekunder akibat
kadar Ca serum yang rendah.

VITAMIN D

dimana hidroksilasi yang kedua oleh cytochrome Poro(OH)D-lcr-hidroksilase, akan merubah


2 5 (OH)D me nladi 1,25 dihidroksivitamin D [ 1,25 (OH),D].
Secara biokimiawi, vitamin D yang telah mengalami 2 kali
hidroksilasi akan lebih hidrofilik, walaupun masih sangat
larut didalam lemak. Ginjal merupakan produsen utama 25
(OH)D-Icr-hidroksilase; produsen lainnya adalah monosit
dan sel kulit. Selain itu, plasenta pada wanita hamil juga
mo no oxy gen ase, 25

dapat memproduksi 1,25(OH)rD. Walaupun demikian, pada

(OH)Dlu-

Vitamin D diproduksi oleh kulit melalui paparan sinar

keadaan anefrik, ternyata produsen 25

matahari, kemudian mengalami 2 kali hidroksilasi oleh hepar

hidroksilase ekstrarenal tidak efektif mengatur homeostasis


kalsium. Pada keadaan hipokalsemia, kadar PTH akan
meningkat dan ini akan meningkatkan perubahan 25(OH)D
menjadi 1,25(OH)rD. 1,25(OH)rD juga dapat mengatur
produksinya sendiri baik secara langsung melalui umpan
balik negatif produksi 25 (OH)D- 1 o-hidroksilase, maupun

dan ginjal. menjadi vitamin D yang aktif, yaitu


1,25- dihidroksivitaminD [ 1,25 (OH)rD].

Akibat paparan sinar matahari, provitamin D,

(7-dehidrokolesterol, 7-DHC), akan menyerap radiasi


ultraviolet B (UVB) sinar matahari pada tingkat energi
290-315 nm, dan berubah menjadi previtamin D,. Sekali
terbentuk, previtamin D, akan mengalami isomerisasi oleh
panas dan berubah menjadi vitamin Dr. Kemudian vitamin
D,, akan masuk kedalam sirkulasi dan berikatan dengan
protein pengikat vitamin D. Pada orang kulit berwama dan
orang tua, produksi vitamin D oleh kulit akan berkurang,
karena melanin merupakan penahan sinar matahari yang

secara tak langsung dengan menghambat ekspresi gen


PTH. Selain itu, beberapa hormon, seperti hormon
pertumbuhan dan prolaktin, secara tak langsung akan

sangat baik, sehingga fotosintesis vitamin D akan

1,25(OH)2D akan dimetabolisme di organ targetnya


(tulang dan usus) dan hati serta ginjal melalui beberapa
proses hidroksilasi menjadi asam kalsitroat yang secara
biologik tidak akifBaik 25(OH)D maupun 1,25(OH)2D juga

berkurang, sedangkan pada orang tua, konsentrasi 7-DHC


yang tidak teresterifikasi juga berkurang.
Sumber vitamin D dari makanan sangat jarang, hanya
didapatkan dari lernak ikan dan minyak ikan. Institute of

Medicine, pada 1997, merekomendasikan kebutuhan


vitamin D pada bayi, anak-anak dan orang dewasa <50
tahun adalah 200 IU (5 pg),&ari. Pada orang tua 5 1-70 tahun

meningkatkanproduksi 1,25(OH)2D oleh ginjal. Pada orang

tua, seringkali terjadi kegagalan peningkatan produksi


1,25(OH)2D yang dirangsang oleh PTH, sehinggapada
orang tua sering terjadi gangguan absorpsi Ca di USUS.

akan mengalami 24-hidroksilasi menjadi 24,25(OH)2D dan

1,24,25(OH)3D yang secara biologik juga tidak aktif.


Semua organ target vitamin D, memiliki reseptor vitamin D
pada inti selnya (VDR). VDR memiliki afinitas terhadap

> 70 tahun, kebutuhan vitamin D masing-masing

1,25(OH)2D 1000 kali lebih besar daripada

adalah 400 IU 1 0 pg),4rari dan 600 IU ( 1 5 pg)/hari. Pada


wanita hamil dan laktasi, pada semua umur, kebutuhan
vitamin D adalah 200 IU/hari. Pada keadaan tanpa sinar
matahari, kebufuhan vitamin D pada semua umur harus
ditambah 200 IU/hari. Batas atas asupan vitamin D yang
direkomendasikan pada bayi adalah 1000 IU/hari dan pada
usia di atas 1 tahun adalah 2000 IUAari.
Vitamin D yang bersumber dari minyak ikan dan lemak
ikan adalah dalam bentuk vitamin D' sedangkan yang
berasal dari ragi dan tanaman adalah vitamin Dr. Kedua
bentuk tersebut, didalam sirkulasi akan berikatan dengan
protein pengikat vitamin D dan dibawa ke hepar dan
dihidroksilasi oleh cytochrome P oro-vilamin D-2 S-hydroxyI as e menjadi 25 -hidroksi vitamin D [25 (OH)D]. 2 5 (OH)D

terhadap25 (OH)D dan metabolit vitamin D lainnya. Setelah

dan

akan masuk kedalam sirkulasi dan merupakan bentuk


vitamin D yang terbesar didalam sirkulasi. Hidroksilasi
vitamin D di hepar tidak diatur secara ketat, sehingga
produksi yang berlebihan di kulit atau asupan yang
berlebihan dari makanan akan meningkatkan kadar
25 (OH)D didalam serum, sehingga kadar 25 (OII)D di dalam

mencapai organtarget, 1,25(OH)2D akan terlepas dari


protein pengikatnya, kemudian masuk kedalam sel dan
berinteraksi dengan VDR. Kemudian kompleks 1,25(OH)
2D-VDR akan berinteraksi lagi dengan retinoic acid
X receptor (RXR) membentuk heterodimer yang kemudian
akan berinteraksi dengan vitamin D-responsive element
(VDRE) didalam DNA. Interaksi ini akan menghasilkan
transkripsi dan sintesis MRNA baru untuk biosintesis

berbagai protein, baik dari osteoblas (osteokalsin,


osteopontin, fosfatase alkali) maupun dari usus (protein
pengikat kalsium, calcium-b inding protein, CABP). Bagian
VDR yang berikatan dengan 1,25(OH)2D adalah pada

daerah terminal-C, yang disebut hormone-bipiding


domain, sedangkan bagian yang berikatan dengan DNA
adalah pada daerah terrninal-N, yang disebut DNA binding domain yang memlliki jari-jari Zn.
Gen VDR memiliki 9 ekson. Mutasi khusus pada ekson
tersebut akan menyebabkan resistensi terhadap 1,25(OH)2D

yang disebut vitamin D-dependent rickets type II.

2394

RETJM/TfiOLOGI

FUNGSI BIOLOGIK VITAMIN D


Fungsi utama vitamin D adalah menjaga homeostasis
kalsium dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium di
usus dan mobilisasi kalsium dan tulang pada keadaan
asupan kalsium yang inadekuat.
VDR di usus terdapatpada seluruh dinding usus halus,

dengan konsentrasi tertinggi didalam duodenum.


1,25(OH)2D berperan secara langsung pada masuknya

kalsium kedalam sel usus melalui membran plasma,


meningkatkan gerakan kalsium melalui sitoplasma dan
keluamya kalsium dari dalam sel melalui membran
basilateral ke sirkulasi. Mekanisme yang pasti dari proses
ini belum diketahui secara pasti, walaupun telah diketahui
bahwa |,25(pH)2D akan meningkatkan produksi dan
aktivitas CABP, fosfatase alkali, ATPase, brush-border

Selain itu, PTH juga merangsang produksi 1o,-hidroksilase


oleh ginjal, yang berperan mengubah 25(OH)D menjadi
1,25(OH)2D, sehingga terjadi peningkatan absorpsi
kalsium di usus. Hasil dari semua aksi PTH ini adalah
peningkatan kadar kalsium didalam darah dan penumnan
kadar fosfat didalam darah.
Hormon paratiroid (PTH) berperan merangsang
resorpsi tulang, tetapi tidak bersifat langsung karena
osteoklas tidak memiliki reseptor PTH. PTH memiliki efek
yang kompleks terhadap formasi tulang karena dapat
merangsang dan menghambat formasi tulang. Efek anabolik

PTH diperantarai oleh peningkatan sintesis Insulin-like


Growth Factor 1(IGF I) yang diduga mempunyai peran
yang besar pada fungsi PTH yang dapat merangsang
resorpsi dan formasi fulang.

PTH pada mamalia merupakan rantai tunggal

actin, kalmodulin dan brush-border protein. CABP


merupakan protein utama yang berperan pada fluks Ca

polipeptida yang memiliki 84 asam amino. Daerah terminal


amino dari PTH merupakan daerah yang berperan pada

melalui mukosa gastrointestinal.


Di tulang, 1,25(OH)2D akan menginduksi monocytic
stem cells di sumsum tulang untuk berdiferensiasi menjadi
osteoklas. Setelah berdifirensiasi menjadi osteoklas, sel
ini akan kehilangan kemampuannya untuk bereaksi
terhadap 1,25(OH),D. Aktivitas osteoklas akan diatur oleh
1,25(OH)2D secara tidak langsung, melalui osteoblas yang
menghasilkan berbagai sitokin dan hbrmon yang dapat
mempengaruhi aktivitas osteoklas. 1,25(OH)2D juga akan
meningkatkan ekspresi fosfatase alkali, osteopontin dan
osteokalsin oleh osteoblas. Pada proses mineralisasi
tulang, 1,25(OH)2D berperan menjaga konsentrasi Ca dan
P di dalam cairan ekstraselular, sehingga deposisi kalsium
hidroksiapatit pada matriks tulang akan berlangsung
dengan baik.
Di ginjal, 1,25(OH)2D, melalui VDR-nya berperan
mengatur sendiri produksinya melalui umpan-balik negatif
produksinya dan menginduksi metabolisme hormon ini
menjadi asam kalsitroat yang inaktif dan larut didalam air.

aktivitas biologik hormon itu.

Beberapa jaringan dan sel

lain yang bersifat

nonkalsemik, juga diketahui memiliki VDR, misalnya sel


tumor. Paparan 1 ,25(OH)2D pada sel tumor yang memiliki
VDR, akan menurunkan aktivitas proliferasinya dan juga

diferensiasinya. Walaupun demikian, penggunaannya


sebagai obat kanker tidak menunjukkan hasil yang
memuaskan. Sel epidermal kulitjuga memiliki VDR, sehingga

efek antiproliferatif 1,25(OH)2D dapat digunakan pada


penyakit kulit hiperproliferatif nonmalignan, seperti
psoriasis.

Regulator terpenting dari sintesis dan sekresi PTH


adalah kadar kalsium plasma, dimana kalsium yang
meningkat akan menurunkan produksi dan sekresi PTH

dan sebaliknya penurunan kalsium plasma akan


meningkatkan produksi dan sekresi PTH. Selain itu,
I ,251O11129 iuga berperan menghambat sintesis

PTH dan

proliferasi sel paratiroid, sedangkan kadar fosfat plasma


akan merangsang ekspresi gen PTH, dan secara tak
langsung melalui kalsium serum merangsang sekresi PTH
dan proliferasi sel Paratiroid. Hipomagnesemia dan

hipermagnesemia yang berat, ternyata juga dapat


menghambat sekresi PTH, sedangkan litium dapat
merangsang sekresi PTH, sehingga terapi dengan litium

sering menyebabkan hiperkalsemia akibat peningkatan


produksi PTH.
Pada keadaan hipokalsemia akut, PTH akan
disekresikan dalam waktu beberapa detik sampai menit
secara eksositosis. Pada hipokalsemia kronik, degradasi
PTH intraselular didalam sel paratiroid akan dikurangi,
sedangkan ekspresi gen PTH ditingkatkan, demikianjuga
aktivitas proliferasi sel paratiroid. Proses ini semua
dikontrol oleh calcium sensing receptor (CaR) yang
terdapat baik pada pennukaan sel paratiroid, sel tubular
ginjal, sel tulang dan sel epitel usus. Pada keadaan
hiperkalsemia, produksi PTH akan ditekan, walaupun
demikian, penekanan ini tidak berlebihan, walaupun kadar
kalsium serum sangaat tinggi.
Hiperparatiroidisme primer dan keganasan merupakan

penyebab hiperkalsemia yang terbanyak. HiperparaHORMON PARATTROID (PTH)

Hormon paratiroid (PTH) dihasilkan oleh kelenjar


paratiroid. Pada tulang, PTH merangsang pelepasan
kalsium dan fosfat, sedangkan di ginjal, PTH merangsang
reabsorpsi kalsium dan menghambat reabsorpsi fosfat.

tiroidisme primer merupakan kelainan endokrin terbanyak


setelah diabetes melitus dan hipertiroidisme. Biasanya
penyebabnya adalah adenoma soliter kelenjar paratiroid.
Pada tulang, hiperparatiroidisme akan menyebabkan
osteitis fibrosa sistika. Kelainan ini ditandai oleh resorpsi
subperiosteal tulang-tulang falang distal, kista tulang dan

brown tumor pada tulang-tulang

panjang.

2395

STRUKTUR DAI\ ME IABOIISME TULAIYG

Diagnosis hiperparatiroidisme primer ditegakkan


berdasarkan pemeriksaan biokimia, yaltu adanya
hiperkalsemia dan tanpa penekanan produksi PTH,
sehingga kadar PTH dapat meningkat atau normal tinggi.
Hiperparatiroidisme juga dapat terjadi secara sekunder,
akibat hipokalsemia yang lama. Biasanya terjadi pada
penyakit ginjal terminal, defisiensi vitamin D atau keadaan
yang resisten terhadap vitamin D. Seringkali, hipokalsemia
yatglama dapat menyebabkan sekresi PTH yang otonom

sehingga timbul hiperkalsemia seperti gambaran


hiperparatiroidisme primer; keadaan ini disebut
hiperparatiroldisme tertier. Selain itu, dapat juga
hiperparatiroidisme sekunder yang berat, tidak
menunjukkan perbaikan yang bermakna, walaupun
kelainan metaboliknya telah dikoreksi; keadaan ini disebut
hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter.

PARATHYROID HORMONE RELATED PROTEIN


(PTHRP)
P arathyroid-hormone-related

Pada kehamialn dan laktasi, produksi PTHrP juga akan

meningkat. Pada kehamilan, peningkatat kadar PTHrP


disebabkan oleh produksi dari jaringan janin dan ibu,
seperti plasenta, amnion, desidua, tali pusat dan paludara'
Peningkatan produksi ini berperan untuk mempertahankan
kadar kalsium untuk mencukupi kebutuhan kalsium pada
proses mineralisasi tulang janin. Pada masa laktasi,

peningkatan kadar PTHrP terutama disebabkan oleh


produksinya di payudara. Kadar PTHrP didalam ASI
diketahui lebih tinggi 10.000 kali dibandingkan dengan
kadarnya didalam darah orang normal maupun pasien
hiperkalsemi a pada keganasan.

Dalam keadaan normal, PTHrP yang beredar didalam


tubuh sangat rendah, dan nampaknya tidak berperanpada
metabolisme kalsium. Walaupun demikian, PTHrP diduga
berperan pada proses fisiologik lokal dari sel-sel dan
jaringan penghasilnya, misalnya jaringan fetal, rawan
sendi, jantung, ginjal, folikel rambut, plasenta dan epitel
permukaan. Pada payudara normal, PTHrP berperan pada
morlogenesis payudara.

protein (PTHTP) pertama

kali diketahui sebagai penyebab hiperkalsemia

pada

memiliki 8 dari 13 asam amino pertama


yang sama dengan PTH, sehingga dapat mengaktifkan
reseptor PTH. Dibandingkan dengan PTH yang hanya

KALSTTONTN (CT)

keganasan. Protein ini

memiliki 84 asam amino, PTHrP yang terdiri dari 3 isoform,


memiliki jumlah asam amino yang lebih banyak, masingmasing 139,141 dar ll4 asamamino. KarenaPTHrP juga
dapat berikatan dengan reseptor PTH, maka aksi
biologiknya juga sama dengan PTH, yaitu akan

menyebabkan hiperkalsemia, hipofosfatemia dan


peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun
demikian, ada reseptor PTH yang tidak dapat diikat oleh
PTHTP, yaitu reseptor PTH-2. Demikian juga, ada pula
reseptor PTHrP yang tidak dapat berikatan dengan PTH
yaitu reseptor PTHrP yang terdapat di otak dan kulit. Selain

itu,

ada beberapa perbedaan aksi biologik PTHrP

dibandingkan dengan PTH, yaitu PTH akan meningkatkan


reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal, sedangkan PTHrP
tidak, sehingga akan terjadi hiperkalsiuria. Selain itu, PTHIP
juga tidak meningkatkan produksi 1,25(OH),D dan absorpsi

Kalsitonin (CT) adalah suatu peptida yang terdiri dari 32


asam amino, yang dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid dan
berfungsi menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas.
Aksi biologik ini digunakan didalam klinik untuk mengatasi
peningkatan resorpsi tulang, misalnya pada pasien
osteoporosis, penyakit Paget dan hiperkalsemia akibat
keganasan.

Sekresi CT, secara akut diatur oleh kadar kalsium


didalam darah dan secara kronik dipengaruhi oleh umur
dan jenis kelamin. Kadar CT pada bayi, akan tinggi,
sedangkan pada orang tua, rendah kadamya. Pada wanita,
kadar CT temyata juga lebih rendah daripada laki-laki.
Saat

ini, telah diketahui struktur kalsitonin dari

10

terdiri dari glisin


pada rersidu 28, amida prolin pada termninal karboksi dan
kesamaan pada 5 dari 9 asam amino pada terminal amino.
spesies yang berbeda, yang secara umum

Sel C kelenjar tiroid merupakan sumber primer


kalsitonin pada mamalia, sedangkan pada hewan

kalsium di ginjal. Di tulang, PTH akan meningkatkan


aktivitas osteoblas dan osteoklas, sedangkan PTHrP

submamalia, dihasilkan oleh kelenjar ultimobrankial. Selain

hanya meningkatkan aktivitas osteoklas, sehingga resorpsi


tulang tidak diimbangi oleh formasi yang adekuat.
Beberapa tumor yang secara spesifik menghasilkan

related producr (CGRP) yang merupakan peptida yang


terdiri dari 37 asam amino yang memiliki aktivitas biologik
berbeda dengan kalsitonin, yaitu sebagai vasodilator dan
neurotransmiter dan tidak bereaksi dengan reseptor
kalsitonin. Jaringan lain yang juga menghasilkan kalsitonin
adalah sel-sel hipofisis dan sel-sel neuroendokrin yang
tersebar diberbagai jaringan, tetapi kalsitonin nontiroidal
ini tidak mempunyai peran yang penting pada kadar
kalsitonin di perifer. Kalsitonin merupakan petanda tumor
yang penting pada karsinoma tiroid meduler.
Efek biologik utama kalsitonin adalah sebagai

PTHrP adalah karsinoma sel skuamosa, ginjal dan


payudara. Pada hiperkalsemia akibat keganasan, akan
didapatkan peningkatan kadar PTHrP dan hiperkalsemia,

sedangkan kadar PTH akan ditekan. Pada hiperparatiroidisme, kadar PTH akan meningkat, sedangkan
PTHrP tetap normal. Oleh sebab itu, kadar PTHrP dapat
digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan
pembedahan keganasan yang bersangkutan.

itu gen kalsitonin juga menghasllkan calcitonin

gene

2396

RET,JMAIOI.OGI

penghambat osteoklas. Dalam beberapa menit setelah


pemberian, efek tersebut sudah mulai bekerja sehingga

testosteron. Enzim ini, merupakan enzim sitokrom P-450,


yang terdapat didalam ovarium, testes, adiposit dan sel

aktivitas resorpsi tulang terhenti. Selain itu, kalsitonin juga

tulang. Baik estron maupun estradiol, berada dalam

mempunyai efek menghambat osteosit dan merangsang


osteoblas, tetapi efek ini masih kontroversial. Efek lain

keseimbangan yang reversibel, dan keseimbangan ini diatur

yang penting adalah analgesik yang kuat. Banyak hipotesis

yang menerangkan mekanisme efek analgesik kalsitonin,


misalnya peningkatan kadar b-endorfin, penghambatan
sintesis PGE, perubahan fluks kalsium pada membran

neuronal, terutama di otak, mempengaruhi sistem


katekolaminergik, efek anti depresan maupun efek lokal
sendiri. Kalsitonin juga akan meningkatakan ekskresi
kalsium dan fosfat di ginjal, sehingga akan menimbulkan
hipokalsem,ia dan hipofosfatemia. Efek lain adalah efek
anti inflamasi, merangsang penyembuhan luka dan fraktur,
dan mengganggu toleransi glukosa.
Konsentrasi kalsium plasma merupakan regulator
sekresi kalsitonin yang penting. Bila kadar kalsium plasma
meningkat, maka sekresi kalsitonin juga akan meningkat,
sebaliknya bila kadar kalsium plasma menurun, sekresi
kalsitonin juga akan menurun. Walaupun demikian, bila
hiperkalsemia dan hipokalsemia berlangsung lama maka
efeknya terhadap sekresi kalsitonin nampaknya tidak
adekuat, mungkin terjadi kelelahan pada sel C tiroid untuk
mrerespons rangsangan tersebut.

Beberapa peptida gastrointestinal, terutama dari


kelompok gastrin-kolesistokinin mempakan sekretagogs
kalsitonin yang poten bila diberikan secara parenteral pada
dosis suprafisiologik.
Kalsitonin, merupakan obat yang telah direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan penyakit-penyakit
yang miningkatakan resorpsi tulang dan hiperkalsemia
yang diakibatkannya, seperti Penyakit Paget,
Osteoporosis dan hiperkalsemia pada keganasan.
Pemberiannya secara intranasal, nampaknya akan
mempermudah penggunaan daripada preparat injeksi
yang pertama kali diproduksi.

oleh enzim 17b-hidroksisteroid dehidrogenase yang


dihasilkan oleh hati dan usus. Pada wanita pasca
menopause, estrogen yang banyak beredar didalam
tubuhnya adalah estron, yang kemudian akan mengikuti 2
dan

jalur metabolisme menjadi l6a-hidroksiestron

2-hidroksiestron. Keseimbangan kedua estron yang


terhidroksilasi ini memegang peranan yang penting pada
timbulnya kanker payudara, osteoporosis, SLE dan sirosis
hati. Pada laki-laki, testosteron merupakan steroid gonad
utama yang diproduksi testes, walaupun, estradiol juga
diproduksi dalam jumlah yang kecil. Di gonad, tulang dan
otak, testosteron akan diubah menjadi metabolit yang aktif,

yaitu dihidroksitestosteron oleh 5a-reduktase,

dan

estrogen oleh aromatase.

KEHII-ANGAN MASSA TU1ANG PADA MENOPAUSE

Pada awalnya, proses remodeling ini berlangsung


seimbang, sehingga tidak ada kekurangan maupun
kelebihan massa tulang. Tetapi dengan bertambahnya
umur, proses formasi menjadi tidak adekuat sehingga mulai
terjadi defisit massa tulang. Proses ini diperkirakan mulai

pada dekade ketiga kehidupan atau beberapa tahun


sebelum menopause. Sampai saat ini, belum diketahui
secara pasti, apa penyebab penurunan formasi fulang pada

usia dewasa, mungkin berhubungan dengan penurunan


aktivitas individu yang bersangkutan, atau umur osteoblas
yang memendek, atau umur osteoklas yang memanjang
atau sinyal mekanik dari osteosit yang abnormal.
Defisiensi estrogen pada wanita menopause telah lama
diketahui memegang peran yang penting pada perhrnbuhan
tulang dan proses penuaan. Penurunan kadar estrogen akan

memacu aktivitas remodeling tulang yang makin tidak


seimbang karena osteoblas tidak dapat mengimbangi kerja
HORMON STEROID GONADAL

osteoklas, sehingga massa fulang akan menutrun dan fulang


menj adi osteoporotik. Aktivitas osteoklas yang meningkat

Yang termasuk hormon steroid gonadal adalah estrogen,


androgen dan progesteron. Hormon-hormon ini disintesis
setelah ada perintah dari otak yang akan mengirimkan
stimulus dari hipotalamus ke hipofisis untuk menghasilkan

akan mennyebabkan terbentuknya lakuna Howship yang


dalam dan putusnya trabekula, sehingga kekuatan tulang
akan mwnjadi turun dan tulang mudah frakhr.
Selain itu, defisiensi estrogen juga akan meningkatkan

follicle-stimulating hormone (FSH) dat luteinizing


hormone (LH). Pada wanita, hormon-hormon ini akan

osteoklastogenesis dengan mekanisme yang belum

merangsang sintesis estrogen dan progestereon oleh


ovarium, sedangkan pada laki-laki akan merangsang
sintesis testosteron oleh testes.

tulang memegang peranan yang sangat penting pada

Progesteron, selain memiliki aktivitas biologik sendiri,

macam interleukin. Faktor-faktor sistemik yang turut


menunjang suasana ini adalah berbagai hormon seperti

juga berperan sebagai prekursor hormon steroid lainnya,


yaitu estron, estradiol dan testosteron. Enzim aromatase
merupakan enzim yang sangat penting untuk sintesis
estron dan estradiol, baik dari androstenedion, maupun

sepenuhnya dimengeri. Lingkungan mikro didalam sumsum

osteoklastogenesis, karena disini dihasilkan berbagai


sitokin seperti tumour necrosis factors (TNF) dan berbagai

hormon paratiroid (PTH), estrogen dan 1,25(OH)rvitamin


D3 yang turut berperan merangsang osteoklastogenesis
melalui perangsangan reseptor pada permukaan sel

2397

STRUKTUR DAT{ METABOLISME TULAIYG

karena janin dan plasenta akan memobilisasi kalsium dari

turunan osteoblas. Osteoblas diketahui menghasilkan


berbagai faktor yang dapat menghambat maupun

tubuh ibu untuk menieralisasi tulang pada tubnuh janin.


Lebih dari 33 gram kalsium terakumulasi pada tubuh janin

merangsang osteoklastogenesis. Os teoprotegerin adalah


anggota superfamili TNF yang larut yang dihasilkan oleh

selama perkembangan tulang, dan sekitar 80% terjadi pada

trimester ketiga dimana mineralisasi tulang terjadi dengan


sangat cepat. Kebutuhan kalsium ini akan menjadi lebih
besar lagi, karena terjadi peningkatan absorpsi kalsium di
usus sampai 2kalihpat atas pengaruh 1,25(OH),D dan

osteblas yang dapat menghambat osteoklastogenesin'


Sedangkan faktor yang merangsang osteoklastogenesis
yang dihasilkan osteoblas adalah reseptor nuklearfactor
k-B (RANK) ligand (RANKI), yang akan melekat pda
reseptor RANK pada permukaan osteoklas. Selain itu,

faktor-faktor lain. Kadar 1,25(OH)rD meningkat selama

kehamilan sampai aterm. Peningkatan

osteoblas dan sel stromal sumsum tulang juga


menghasilkan macrophage colony stimulating factor

ini

tidak

berhubungan dengan peningkatan PTH, karena PTH tetap


normal atau rendah selama kehamilan. Kadar PTHrP
meningkat selama kehamilan, karena dihasilkan oleh
beberapa jaringan janin dan ibu, termasuk plasenta,
amnion, desidua, tali pusat, paratiroid janin dan payudara'
Walaupun demikian, tidak dapat dipastikan jaringan mana
yang berperan pada peningkatan kadar PTHrP' Diduga
PTHrP yang berperan pada peningkatan kadar 1,25(OH)rD
didalam tubuh ibu. Selain ituy PTHrP juga berperan pada
pengaturan tranport kalsium ke tubuh janin lewat plasenta,

(M-CSF) yang akan meningkatkan proliferasi sel prekursor


osteoklas.

Ekspresi yang berlebih dari osteoprotegerin akan


menghasilkan tulang yang sangat keras yang disebut
osteopelrosis, sedangkan ablasi genetik osteoprotegerin

akan menghasilkan osteoporosis, karena tidak ada


penghambat osteoklastogenesis. Sebaliknya ablasi
genetik RANKI dan RANK juga akan akan menghasilkan
osteopetrosis, karena tidak ada osteoklastogenesis.
Defisiensi estrogen pada laki-lakijuga berperan pada
kehilangan massa tulang. Penurunan kadar estradiol di

dan melindungi tulang ibu karena bagian terminal


karboksil PTHrP mempunyai efek menghambat kerja

bawah 40 pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan


osteoporosis. Palahati-Nini dkk menyatakan bahwa
estrogen pada laki-laki berfungsi mengatur resolpsi trlang,

osteoklas.

Penelitian biokimiawi menunjukkan bahwa bone


lurnover menurun pada pertengahan pertama kehamilan,
tetapi meningkat pada akhir trimester ketiga yang sesuai
dengan peningkatan mineralisasi tuylang pada tubuh janin.

sedangkan estrogen dan progesteron mengatur formasi


tulang. Kehilangan massa tulang trabekular pada laki-laki
berlangsung linieq sehingga terjadi penipisan trabekula,

Walaupun demikian, penelitian epidemiologik tidak

tanpa disertai putusnya trabekula seperti pada wanita.

mendapatkan pengaruh yang bermakna antara kehamilan

Penipisan trabekula pada lakiJaki terj adi karena penurunan


formasi tulang, sedangkan putusnya trabekula pada wanita

Peningkatan fragilitas dan risiko fraktur pada kehamilan,

dengan densitas massa tulang dan risiko fraktur.


biasanya berhubungan dengan penyebab lain. seperti
obat-obatan.

disebabkan karena peningkatan resolpsi yang berlebihan


akibat penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu
menopause.

Peningkatan remodeling tulang akan menyebabkan


kehilangan massa tulang yang telah termineralisasi secara
sempurna (mineralisasi primer dan sekunder) dan akan

PERUBAHAN TULANG SELAMA LAKTASI

digantikan tulang baru yang mineralisasinya belum


sempurna (hanya mineralisasi primer). Pemeriksan
densitometri tulang tidak dapat nmembedakan penurunan

Rata-rata kehilangan kalsium melalui air susu ibu (ASI)


sehari dapat m ercapai200-400 mg, walaupun ada beberapa
laporan yang menyatakan kehilangan kalsium ini dapat

densitas akibat penurunan massa tulang yang

mencapai 1000 mg/hari. Untuk mengatsi peningkatan

termineralisasi atau remodeling yang berlebih sehingga

kebutuhan kalsium selama laktasi, maka terjadi

tulang terdiri dari campuran tulang tua yang sudah

demineralisasi tulang selama laktasi. Proses demineralisasi


ini tidak disebabkan oleh PTH atau 1,25(OH)r-D, tetapi
oleh peningkatan PTHrP dan penurunan kadar estrogen
didalam darah. Selama laktasi kadar PTH dan 1,25(OH)rD

mengalami mineralisasi sekunder dan tulang muda yang


baru mengalami mineralisasi primer.
Secara biomekanika, derajat mineralisasi memegang
peran yang sangat penting terhadap fragilitas dan kekuatan
tulang karena tulang yang terlalu keras akibat mineralisasi

yang lanjut akan menjadi getas, sebaliknya tulang yang


belum sempuma mineralisasinya akan menj adi kurang keras

akan turun, sedanmgkan PTHrP akan meningkat'


Produksi utama PTHrP selama kehamilan adalah payudara
dan didalamASl, kadar PTHrP meningkat lebih dari 10.000
kali kadarnya didalam darah orang normal maupun pasien

PERUBAHAN TULANG SELAMA KEHAMILAN

hiperkalsemia akibat keganasan. Peran peningkatan


PTHrP selama laktasi tidak diketahui secara pasti.
tetapi pada binatang percobaan diketahui hubungan

Kebutuhan kalsium selama kehamilan akan meningkat

peningkatan PTHrP dengan morfogenesis dan aliran darah


ke pay,udara. Selain itu PTHrP juga akan mempertahankan

2398

REI.JMIIilOI.OGI

kadar kalsium palsma dengan cara meningkatkan

gangguan pengikatan vitamin D pada VDR. Kesemuanya

resorpsi kalsium dari tulang, mengurangi ekskresi kalsium


di ginjal dan secara tak langsung menghambat sekresi
PTH.

ini akan menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder dan


meningkatkan resorpsi tulang. Selain itu, defisiensi
vitamin K juga akan meningkatkan risiko fraktur, tetapi

Absorpsi kalsium di usus selama laktasi tidak

patogenesisnya masih belum jelas.

meningkat, walaupun kebutuhan kalsium meningkat; hal

inimrmgkindisebabkantidak

kadar 1,25(OfDrD.

biokimiawi, petanda resorpsi tulang dan formasi


tulang meningkat selama laktasi. Densitas massa
fulangpun menurun selama laktasi. Peningkatan D one turnover ini diduga lebih disebabkan oleh peningkatan PTHrP
Secara

dan bukan karena penunrnan estrogen setelah persalinan.

Walaupun demikian, kehilangan densitas massa tulang


akan pulih kembali setelah masa laktasi selesai. Sama halnya

denga selama kehamilan, osteoporosis pada laktasi bukan

Faktor Hormonal
Defisiensi estrogen tidak hanya menjadi masalah penyebab
osteoporosis pada wanita pasca menopausal, tetapi juga
pada wanita-wanita tua. Pada laki-laki tua juga diketahui
bahwa penurunan kadar testosteron berperan pada proses
peniurunan densitas massa fulang. Faktor hormonal lain
yang berperanan pada proses osteoporosis pada orang

tua adalah penurunan produksi IGF-1, dehidro ep in dr o s t er o n e (DHE A) dan d e h dr o ep i an dr o s er o n


i

merupakan problem yang serius, kecuali bila didapatkan


faktor risiko osteoporosis laimya.

sulphate (DHEA-S).

TULANG PADA USIA LANJUT

Faktor genetik diduga berperan pada proses osteoporosis pada usia lanjut. Demikian juga faktor lingkungan,

Dengan beftambahnya umur, remodeling endokortikal dan


intrakortikal akan meningkat, sehingga kehilangan tulang
terutama terjadi pada tulang kortikal dan mingkatkan risiko
frakor tulang kortikal, misalnya pada femur proksimal. Total
pemukaan tulang untuk remodeling tidak berubah dengan

seperti merokok, alkohol, konsumsi obat-obatan tertentu,


seperti glukokorlikoid dan anti konr.ulsan.

Faktor Keturunan dan Lingkungan

bertambahnya umur, hanya berpindah dari tulang


trabekular ke tulang kortikal.
Risiko fraktur pada orang tua juga meningkat akibat
peningkatan risiko terjatuh, kebiasaan hidup yang tidak

menguntungkan bagi tulang dan tingginya remodeling

tulang; oleh sebab itu tindakan pencegahan sangat


penting untuk diperhatikan.
Densitas massa tulang pada orang tua akan menurun
dan setiap penurunan T-Score 1 SD pada leher femur akan
meningkatkan risiko fraktlr 2,5 kali lipat. Selain itu faktor
umur juga sangat berperan. Wanita 80 tahun dengan BMD
0,700 glcm2 akan lebih besar risiko frakh-mya dibandingkan
dengan wanita 50 tahun dengan BMD yang sama.
Selama kehidupannya, seorang wanita akan kehilangan
massa tulang pada daerah spinal mencapai 42o/, dan pada
daerah femoral mencapai 58%o.Pada dekade ke-8 dan 9,

kehilangan massa tulang akan meningkat sama dengan


pada massa perimenopausal, karena proses resorpsi akan
lebih aktif dibandingkan dengan proses formasi.

Faktor-faktor yar.g mempengaruhi peningkatan


kehilangan massa tulang pada usia lanjut antara lain

EFEK GLUKOKORTIKOID PADA TULANG


Hormon steroid lain yang juga mempunyai efek terhadap

tulang adalah glukokortikoid. Glukokortikoid sangat


banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit,
terutama penyakit otoimun. Pada penggunaan jangka
panjang, glukokorlikoid sering menyebabkan kehilangan
massa tulang yang ireversibel. Efek glukokortikoid pada
tulang trabekular jauh lebih besar daripada efeknya pada
tulang kortikal, dan kehilangan massa tulang yang tercepat
sampai terjadi fraktur pada umumnya terjadi pada
vertebra, iga dan ujung tulang panjang. Kehilangan massa
tulang tercepat terjadi pada tahun pefiama penggunaan
steroid yang dapat mencapai 20oh dalam 1 tahun.
Insidens fraktur akibat osteoporosis pada pengguna
steroid tidak diketahui secara pasti. Selain itu, penggunaan

steroid dosis rendah termasuk inhalasi juga dapat


menyebabkan osteoporosis. Dari berbagai penelitian,
diketahui bahwa penggunaan prednison lebih dari 7 ,5 mgl
hari akan menyebabkan osteoporosis pada banyak pasien.
Glukokortikoid, sering menimbulkan berbagai efek pada
metabolisme tulang, yaitu:

Faktor Nutrisi

Histomorfometri

Yang paling sering adalah defisien kalsium dan vitamion


D. Defisiensi vitamin D biasanya berhubungan dengan
asupan yang kurang, penumnan respons kulit terhadap

mengakibatkan penurunan tebal dinding tulang trabekular,


penurunan mineralisasi, peningkatan berbagai parameter

ultraviolet, gangguan konversi 25(OH)D menjadi


1,25(OH)rD di ginjal, penurunan VDR di usus dan

Secara histomorfometri, glukokortikoid

akan

resorpsi tulang, supresi pengerahan osteoblas dan


penekanan fungsi osteoblas.

2399

STRUKTUR DAT{ METABOLISME TULANG

Efek pada Osteoblas dan Formasi Tulang

Efek pada Sitokin

Penggunaan glukokortikoid dosis tinggi dan terus

Interleukin-

menerus akan mengganggu sintesis osteoblas dan


kolagen. Replekasi sel akan mulai dihambat setelah 48

jam paparan dengan glukokortikoid. Selain itu juga


terjadi penghambatan sintesis osteokalsin oleh
osteoblas.

Efek pada Resorpsi Tulang


In vitro, glukokortikoid menghambat diferensiasi osteoklas

dan resorpsi tulang pada kultur organ. Efek peningkatan


resorpsi tulang pada pemberian glukokortikoid in vivo,
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder akibat

penghambatan absorpsi kalsium

di usus oleh

glukokortikoid.

Efek pada Hormon Seks


Glukokortikoid menghambat sekresi gonadotropin oleh
hipofisis, estrogen oleh ovarium dan testosteron oleh
testes. Hal ini akan memperberat kehilangan massa tulang
pada pemberian steroid.

Absorpsi Kalsium di Usus dan Ekskresi Kalsium


di Ginjal
Penggunaan glukokortikoid dosis farmakologik akan
mengganggu transport aktif transelular kalsium.
Mekanisme yang pasti tidak diketahui dan tidak
berhubungan dengan vitamin D. Gangguan absorpsi
kalsium di usus dan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal
menurun secara bermakna pada pengguna glukokortikoid.
Ekskresi kalsium urin dan kadar hormon paratiroid (PTH)

akan meningkat dalam 5 hari setelah seseorang


menggunakan glukokortikoid. Gangguan transport ini akan
makin memburuk pada asupan Natrium yang tinggi dan
akan menurun dengan pembatasan asupan Natrium dan
pemberian diuretik tiazid.

Efek pada Metabolisms Hormon Paratiroid dan


Vitamin D
Kadar PTH dar 1,25 dihidroksivitamin D (1,25(OH)rD)
didalam serum meningkat pada pengguna glukokortikoid,
walaupun kadar kalsium sentm tinggi. Hal ini diduga
berhubungan dengan perubahan reseptor kalsium sel yang
mengubah transport kalsium. Glukokortikoid meningkatkan

sensitifitas osteoblas terhadap PTH, meningkatkan


penghambatan aktivitas fosfatase alkali oleh PTH dan
menghambat sintesis kolagen.
Efek 1,25(OH)2D juga dihambat oleh glukokortikoid,
walaupun kadar 1,25(OH)rD meningkat didalam darah' Hal
ini diduga akibat perubahan respons membran sel dan
perubahan reseptor. Ekspresi osteokalsin oleh osteoklas

yang dirangsang oleh 1,25(OH)rD, juga dihambat oleh


glukokortikoid.

(L- 1) dan IL-6 mempunyai efek peningkatan


resprsi tulang dan menghambat formasi tulang.
1

Glukokortikoid akan menghambat produksi IL- 1 dan IL-6


oleh limfosit-T. Pada pasien Artritis Reumatoid, pemberian
glukokortikoid akan menurunkan aktivitas peradangan
sehingga penurunan massa tulang juga dihambat.
Walaupun demikian, para ahli masih berbeda pendapat,
apakah hal ini merupakan efek glukokortikoid pada tulang
atau ada faktor-faktor lainnya.

Osteonekrosis
Osteonekrosis (nekrosis aseptik, nekrosis avaskular),
merupakan efek lain glukokortikoid pada tulang. Bagian
tulang yang sering terserang adalah kaput femoris, kaput
humeri dan distal femur. Mekanismenyabelum jelas, diduga
akibat emboli lemak dan peningkatan tekanan intraoseus.

MIKROPATOANATOMI OSTEOPOROSIS DAN


KEKUATAN TULANG

Sifat mekanikal tulang sangat tergantung pada sifat


material tulang tersebut. Pada tulang kortikal, kekuatan
tulang sangat tergantung pada densitas tulang dan
porositasnya. Semakin bertambahnya umur, tulang
semakin keras karena meneralisasi sekunder semakin baik,
tetapi tulang semakin getas, tidak mudah menerima beban.

Pada tulang trabekular, kekuatan tulang juga


tergantung pada densitas tulang dan prositasnya.
Penurunan densitas fulang trabekular sekitar 25Yo, sesuai

dengan peningkatan umur 15-20 tahun dan penunrnan


kekuatan tulang sekitar 4 4oh.
Selain densitas tulang, sifat mekanikal tulang trabekular

juga ditentukan oleh mikroarsitekturnya, yaitu susunan


trabekulasi pada tulang tersebut, termasuk jumlah,
ketebalan, jarak dan interkoneksi antara satu trabekula
dengan trabekula lainnya. Dengan bertambahnya umur,
jumlah dan ketebalan trabekula akan menurun, jarak antara
satu trabekula dengan trabekula lainnya bertambah jauh
dan interkoneksijuga makrn buruk karena banyak trabekula

yang putus.
Trabekulasi tulang pada tulang trabekular terdiri dari
trabekula yang vertikal dan horizontal. Trabekula yang
vertikal sangat penting, terutama pada tulang-tulang
spinal untuk menahan gaya kompresif. Pada um)T rmnya

trabekula yang vertikal lebih tebal dan lebih kuat


dibandingkan dengan trabekula yang horiontal. Trabekula

horizontal berfungsi untuk pengikat trabekula vertikal,


sehingga membentuk arsitektur yang kuat yang
menentukan kekuatan tulang. Kehilangan trabekula pada
osteoporosis dapat terjadi akibat penipisan trabekula atau

putusnya trabekula sehingga trabekula tersebut tidak


menyatu lagi dan kekukatan tulangpun akan menurun.

2400

REUMATOI.OGI

Trabekula yang menipis masih dapat pulih kembali dengan


mengurangi resorpsi tulang, tetapi trabekula yang putus
biasanya tidak akan pulih kembali. Dengan berlambahnya
usia, maka jumlah trabekula yang putus akan makin banyak
sementara formasi dan resorpsi terganggu sehingga

mendapatkan bahawa bertumbuknya tulang yang rusak


dan tulang yang mati pada jaringan tulang akan
menurunkan kekuatan tulang tersebut. Sehingga retakan
mikro secara in vivo mungkin mempunyai peran yang tidak
sedikit dalam peningkatan fragilitas tulang pasien usia

penyembuhan trabekula yang rusak akan terganggu. Selain


itu dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan pada
matriks tulang termasuk penurunan kualitas kolagen yang
ditandai oleh penipisan kulit dan fragilitas pembuluh darah.

lanjut.

Jumlah trabekula teffiyata sangat penting dalam


menentukan kekuatan tulang dibandingkan dengan
ketebalan trabekula. Penelitian Silva dan Gibson
mendapatkan bahwa penurunan jumlah trabekula sampai
batas penurunan densitas massa tulang l0%o akan
menurunkan kekuatan tulang sampai 70%, sedangkan

penunrnan ketebalan trabekula sampai batas penurunan


densitas massa tulang l\oh, hanya akan menurunkan
kekuatan tulang 25oh. Oleh sebab itu, mempertahankan
jumlah trabekula sangat pentin g pada pasien usia lanjut.

Termasuk dalam hal ini adalah terapi terhadap


osteoporosis, ditujukan untuk mempertahankan atau
memperbaiki jumlah trabekula daripada mempeft ahankan
ketebalan trabekula.
Pada penelitian terhadap penggunaan risedronat pada
pasien osteoporosis, dilakukan biopsi pada krista iliaka
pasien yang mendapat risedronat dan kontrol yang tidak
mendapat terapi, kemudian dilakukan pemeriksaan dengan

menggunakan high resolution 3-D micro-computed


tomo graphy dan dianalisis mikrosarsitektur

jaringan tulang

tersebut. Ternyata setelah 1 tahun, kelompok yang


mendapat risedronat menunjukkan tidak ada perubahan
dalam mikroarsitekturnya diabndingkan dengan data dasar,

sebalinya dengan kelompok plasebo menunjjuikkan


perrburukan mikroarsitektur yang signifikan. Selain itu,

pada kelompok plasebo juga didapatkan putusnya


trabekula yang tidak didapatkan pada kelompok risedronat.
Putusnya trabekula bersifat ireversibel dan sangat sulit

dibentuk kembali, sehingga mengakibatkan kekuatan


tulang menurun. Penelitian yang dilakukan selama 3 tahun
juga menunjukkan hasil yang serupa dengan penilitian
yang sdilakukan selama I tahun. Oleh sebab itu pada
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa risedronat dapat
mempertahankan kekuatan tulang dibandingkan dengan
plasebo.
Faktor lain yang juga turut berperan pada penurunan

kekuatan tulang adalah retakan mtkro (mocrodamage,

microcracks) yang jumlahnya makin banyak dengan


bertambahnya usia. Diduga, retakan mikro ini berhubungan

dengan pembebanan yang repetitif yalg dapat dimulai


pada tingkat kolagen termasuk putusnya agregat kolagen-

mineral maupun rusaknya serabut-serabut kolagen


tersebut. Bertumpuknya retakan mikro ini dapat dilihat
dengan mikroskop cahaya. Walaupun belum diketahui
secara pasti hubungan retakan mikro dengan sifat
biomekanik tulang secara invivo, banyak peneliti

REFERENSI
Bukka

P,

McKee MD, Karaplis AC. Molecular Regulation of Osteoblas

Differentiation. In: Bronner F, Farach-Carson MC (eds). Bone


Formation, 1st ed Springer-Verlag. London 2004: l-17.
Baron R General Principles of Bone Biology In: Favus MJ,
Christakos S (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and
Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. American Society of
Bone and Mineral Research, Washington 2003:l-8
Broadus AE. Mineral balance and homeostasis. In: : Favus MJ (ed)
Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of
Mineral Metabolism. 4th edition. Lippincott-Raven Publ

1999:14-80.

X, Devogelaer J, Delloye C et al Irreversible Perforation in


Vertebral Trabeculae? J Bone Miner Res 2003;18(7):1247-53.
Banse X, Sims TJ, Bailey AJ. Mechanical Properties of Adult
Vertebral Cancellous Bone: Correlation With Collagen
Intermolecular Cross-Links, J Bone Miner Res 2002;17(9):1621-8.
Borah B, Dufresne TE, Chmielewski PA. Risedronate Preseryes
Trabecular Architecture and Increase Bone Strength in Vertebra
Banse

of Ovariectomized Minipigs as Measured by Three-Dimensional

Microcomputed Tomography. J Bone Miner

Res

2002;17 (7):1139-47

Everts V, Delaisse JM, Korper W et al. The Bone Lining Cell: Its
Role in Cleaning Howship's Lacunae and Initiating Bone
Formation. J Bone Miner Res 2002;17(1):77-90.
Eastell R, Barton I, Hannon RA et al Relationship of Early Changes
in Bone Resorption to the Reduction in Feacture Risk With
Risedronate J Bone Miner Res 2003;18(6):1051-6
Frost HM On the Estrogen-Bone Relationship and Postmenopausal
Bone Loss: A New Mode1. J Bone Miner Res 1999;14(9):1473-7.
Hurley MM, Lorenzo JA. Systemic and Local Regulation of Bone
Remodeling. In: Bronner F, Farach-Carson MC (eds). Bone
Formation, 1st ed. Springer-Verlag. London 2004: 44-70.
Hollick MF Vitamin D: Photobiology, Metabolism, Mechanism of
action, and clinical aplication. In : Far.us MJ (ed). Primer on the
Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism.

4th edition. Lippincott-Raven Publ 1999:92-8.


Harlap S. The benefits and risks of hormone replacement therapy:
An Epidemiologic overview. Am J Obstet Gynecol
1988; t 66(6,pt2): 1 986-92.
Lee CA, Einhom TA. The Bone Organ System: Form and Function
In: Marcus R, Feldman D, Kelsey J (eds). Osteoporosis Vol 1,
2nd ed, Academic Press, San Diego, California 2001:3-20.
Lian JB, Stein GS. Osteoblast biology. In: Marcus R, Feldman D,
Kelsey J (eds). Osteoporosis. Vol 1, 2nd ed, Academic Press, San

Diego, California 2001 :21 -7 2.


Lems WJ, Jacobs JWG, Bijlsma JWJ. Corticosteroid-induced
osteoporosis. Rheumatology in Europe 1995;24(supp1 2):7 6-9.
Mundy GR, Chen D, Oyajobi BO. Bone Remodeling. In: Faws MJ,
Christakos S (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and
Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed American Society of
Bone and Mineral Research, Washington 2003:46-57

240t

STRUKTUR DAN MEIABOLISME TULANG

Marcus R, Majumber S. The Nature of Osteoporosis. In: Marcus

R,

Feldman D, Kelsey J (eds). Osteoporosis. Vol 2, 2nd ed,


Academic Press, San Diego, California 2001:3-18
Orwoll ES Towards on Expanded Understanding of the Role of The

in Skeletal Health. J Bone Miner Res


2003;18(6):949-54
Paschalis EP, Boskey AL, Kassem M, Eriksen EF. Effect of
Hormone Replacement Therapy on Bone Quality in Eariy
Postmenopausel Women. J Bone Miner Res 2003:18(6):955-9.
Robey PG, Boskey AL. Extracellular matric and Biomineralization
of Bone. In: Favus MJ, Christakos S (eds). Primer on the
Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism.
5th ed. American Society of Bone and Mineral Research,
Washington 2003:38-45
Riggs B, Khosla S, Melton J. A Unitary model for involutional
osteoporosis: Estrogen defrciency causes both type I and type
II osteoporosis in postmenopausal women and contributes to
bone loss in aging men. J Bone Miner Res 1998;13:763-73.
Recker RR, Barger-Lux MJ Bone Remodeling Findings in Osteoporosis In: Marcus R, Feldman D, Kelsey J (eds). Osteoporosis. Vol
1,2nd ed, Academic Press, San Diego, California 2001:59-70.
Rubin C, Turner AS, Muller R et al. Quantity and Quality of
Periosteum

Trabecular Bone in the Femur Are Enhanced by Strongly


Anabolic, Noninvasive Mechanical Intervention J Bone Miner
Res 2002;17(2):349-51.
Seeman E Bone Quality. Advances in Osteoporotic Fracture
Management 2OO2;2(l):2-8
Seeman E Pathogenesis of bone fragility in women and men
Lancet 2002;359:1841-50
Tate MLK, Tami AEG Bauer TW, Knothe U. Micropathoanatomy
of Osteoporosis: Indications for a Cellular Basis of Bone
Disease. Advances in Osteoporotic Fracture Management

2002;2(l):9-14
The European Prospective Osteoporosis Study (EPOS) Group. The
Relationship Between Bone Density and Incident Vertebral

Fracture in Men and Women. J Bone Miner

Res

2002;17(12):2214-21
Van Der Linden JC, Homminga J, Verhaar JAN, Weinans H.
Mechanical Consequence of Bone Loss in Cancellous Bone. J
Bone Miner Res 2001;16(3):457-65.
Wolf AD, Dixon ASJ. Osteoporosis: A Clinical guide. lst ed. Martin
Dunitz, London 1998:1-56
Watts NB. Bone Quality: Getting Closer to a Definition. J Bone
Miner Res 2002;1'7(7):1.148-50.

379
INFLAMASI
Soenarto

Istilah inflamasi yang berasal dari kata in/lamation yatg


artinya radang, peradangan. Sedang istilah inflamasi
sendiri asalnya dari bahasa latin yaitu: InJlamation:
InJlammare yang artinya membakar Inflamasi adalah
respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera

komponen imunologik, dan ini difokuskan pada kaskade

inflamasi pada target khusus, apakah waktunya


diperpendek atau diperpanjang, dan mengurangi atau
meniadakan intensitasnya.
Inflamasi secara normal adalah proses yang self-

atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan,

limiting, bila faktor-faktor yang mempengamhi dapat


dilenyapkan, maka inflamasi dapat hilang. Keadaan

mengurangi atau mengurung suatu agen pencedera


maupunjaringan yang cedera itu. Pada bentuk akut ditandai

oleh tanda klasik yaitu: nyeri (dolor), panas (kalor),


kemerahan (rubor), bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi

(tungsiolesa).

demikian merupakan rangkaian yang umum tampak pada


peristiwa inflamasi akut. Inflamasi yang umum tampak pada
peristiwa inflamasi akut. Inflamasi kronis tidak dapat
dipungkiri karena faktor yang mula-mula ada tidak dapat

dilenyapkan, karena mereka melengkapi lagi atau

Secara histologis, menyangkut rangkaian kej adian


yang rumit, yaitu mencakup dilatasi arteri, kapiler, dan
venula, dan disertai peningkatan permeabilitas dari aliran
darah, eksudasi cairan, termasuk protein plasma, dan
migrasi leukosit ke dalam fokus peradangan.
Jadi dengan kata lain, inflamasi atau radang merupakan
proses sentral dalam patogenesis dan juga merupakan

mengekalkan diri, atau melalui kegagalan dari mekanisme


diri yang gagal dalam proses inflamasi. Kemudian proses
inflamasi akan berubah bentuk dari mekanisme protektif,

dan pada kebanyakan kasus menjadi kerusakan yang


ireversibel dari jaringan normal.

suatu fungsi pertahanan tubuh terhadap masuknya


organisme maupun gangguan lain. Peristiwa timbulnya
inflamasi kini lebih dapat difahami dengan penemuanpenemuan berbagai macam zat y atg merup akan mediator
dalam peran sertanya mengatur, mengaktifkan sel-sel, baik
dari darah maupun jaringan dan kemudian dapat timbul
gejala dari jaringan yang menderita. Gejala akut yang klasik
seperti tertera di atas. Dikenal adanya inflamasi akut,
subakut dan kronis; dan bila dilihat dari proses timbulnya,
maka ada yang disebabkan karena infeksi dan yang non
infeksi.
Inflamasi, merupakan keadaan perubahan dinamik yang
konstan, yaitu suatu reaksi dari jaringan hidup guna
melawan berbagai macam rangsang. Peristiwa tersebut
bercirikan adanya pancaran ke bawah (kaskade) dari selsel dan fenomena humoral.

RESPONS BAWAAN (ALAMI) DAN PENYESUAIAN


(DTDAPAT)

Terdapat dua bagian fungsi perlahan tubuh, yaitu sistem

imun bawaan (tidak spesifik), dan penyesuaian


(spesifik).Tabel 1.
Masing-masing terdiri dari bermacam-macam sel dan
faktor-faktor yang larut. Sel-sel dari respons bawaan adalah
neutrofil fagositosis, dan makrofag, bersama-sama dengan
basofil, sel-sel zzasf, eosinofil, trombosit, monosit dan selsel pembunuh alamilNatural Killer (NK) cellsl.
Sel-sel yang termasuk dalam fungsi penyesuaian adalah
antibodi, imunoglobulin IgG, IgM, IgA, IgE dan IgD, yang
dihasilkan oleh limfosit B dan sel plasma, dan limfokin-

limfokin yang kebanyakan diproduksi oleh limfosit

Hampir semua kejadian inflamasi, termasuk yang


dipengaruhi rangsang "non-antigenik", mempunyai

T.

Sedangkan faktor yang bawaan yang larut adalah lisosim,


interferon, sitokin, komplemen protein fase akut.

2402

2403

INFI.AMASI

Respons bawaan merupakan garis pertahanan terhadap


invasi ke jaringan oleh mikroorganisme dan berguna dalam

kegagalan mekanisme guna melaksanakan fugas tersebut,

pengenalan oleh antigen spesifik atau kemahiran dalam

digambarkan sebagai berikut;

hingga inflamasi berlanjut. Keadaan tersebut dapat

mengingat. Sedangkan sistem imun penyesuaian


menggunakan ingatan untuk menjelaskan ke tingkat
limfosit T dan B.

Sel-sel

Alami (tak
spesifik)

Didapat
(Penyesuaian Spesifik)

Netrofil
Eosinofil
Basofil

Sel B dan T

Trombosit

APC
Sel - sel dendritik
Sel - sel Langerhans

Makrofag

Faktor-faktor
yang larut

Monosit
Sel Mast
Sel NK
Lisozim sitokin
INF

komplemen
Protein fase akut

ANTIBODI
ANTIBODI
lgG & subklas, lg M

lgA, lgE, lgD


Limfokin

Gambar 2.

INFLAMASI DAN FAGOSITOSIS


Fagositosis dari mikroorganisme merupakan peltahanan
alami tubuh yang utama guna membatasi pertumbuhan

INFLAMASI AKUT DAN KRONIS

dan penyebaran dari bahan-bahan patogen. Sel-sel


pemangsa dengan cepat menyerbu ke tempat infeksi yang

Jika kaskade inflamasi teraktifkan maka sistem bawaan dan


penyesuaian berinteraksi guna mengatur perkembangan

bersamaan dengan permulaan dari inflamasi. Dengan


memangsa mikroorganisme baik yang dilakukan oleh

selanjutnya.

makrofag jaringan dan fagosit-fagosit yang sering

Bila faktor-faktor pemrakarsa telah menyingkirkan


kasus-kasus inflamasi akut, dan jika respons bawaan gagal

menyingkirkan faktor-faktor tersebut, baru respons


penyesuaian diaktifkan. Hal ini akan menghasilkan
pengeluaran dari pencetus inflamasi, dan kaskade

berpindah memungkinkan guna membatasi kemampuan


mikroba untuk menimbulkan penyakit. Famili dari molekulmolekul yang berkaitan, dinamakan " collectins ", " Soluble

defense collagens", atau "pattern-recognition


molecules ", dijumpai dalam darah ("mannose-binding

memprakarsai kaskade tersebut masih ada, atau bila

lectins"), dalam paru ("surfaktan protein A dan D"), dan


demikian pula di lain-lain jaringan dan juga yang terikat

kemampuan memadamkan tidak ada, maka akan terjadi

pada karbohidrat

dihilangkan. Inflamasi kronis terjadi bila faktor-faktor yang

di

permukaan mikroba guna

meningkatkan pembersihan oleh fagosit. Bakteri yang


patogen tampaknya dimangsa terutama oleh neutrofil
polimorfonuklear (PMN), sedangkan eosinofil sering
dijumpai di tempat infeksi oleh protozoa atau parasit
multiselular. Patogen yang mampu bertahan, akan dapat
menghindari pembersihan oleh fagosit yang profesional,
dan mampu membuat di permukaannya suatu molekul

dengan berat molekul yang besar sebagai antigen


polisakarid dipermukaannya. Kebanyakan bakteri yang
patogen dapat membuat kapsul antifagositik.

Selain aktivasi dari fagosit-fagosit lokal di jaringan


yangmerupakankunci tahap awal dari inflamasi danmigrasi

KeGtinocytes

Gambar

1.

dari fagosit-fagosit menuju tempat infeksi, namun kini


banyak perhatian yang diarahkan pada faktor mikroba
yang mengawali inflamasi. Dalam kaitan ini telah pula diteliti
tentang strukfur, mekanisme molekuler dan patogenesis
mikroba. Dari studi yang telah dilakukan menyangkut
interaksi Lipopolisakarid (LPS) dari bakteri gram negatif

2404

dan g ly c o sy Ip h o sp h at i dy I in o s i t o I (GPI) yan g menonj ol


di membran protein CD14 yang terdapat di permukaan
fagosit-fagosit profesional, termasuk makrofag yang
beredar dan yang terikat di jaringan dan PMN.

Bentuk cair CD14 terdapat pula dalam plasma dan


permukaan. Suatu protein plasma, "LPS binding protein"
(LBP), mengirimkan LPS ke ikatan membranCDl4yang
cair. Bentuk c airanCDl4l LPS/ LBP kompleks terikat pada
banyak tipe sel dan dapat berada di dalam sel untuk
mengawali respons selular terhadap mikroba yang
patogen. Telah diketahui bahwa peptidoglikan dan asam

Lipoteichoic dari bakteri gram positif dan produk sel


permukaan dari mikobacteria dan spiroseta dapat
berinteraksi dengan CD14. Tonjolan reseptor GPI tidak
mempunyai daerah sandi di dalam sel, dan "Toll-like
receptors " (TLRs) dan mamalia yang melangsungkan sandi

guna mengaktifkan sel-sel akibat ikatan LPS. TLRs


mengawali aktivitas selular lewat rangkaian molekul
pembawa sandi, yang berperan pada translokasi inti dari

faktor transkripsi NF-kB, suatu tombol induk guna


menghasikan sitokin-sitokin infl amasi yang penting seperti
Tumor necrosis Factor u (TNFcr) dan interleukin (IL) I .
Permulaan dari inflamasi dapat timbul tidak hanya

dengan LPS dan peptidoglikan tapi juga oleh partikel


virus dan lain-lain hasil mikroba seperti polisakarida,
enzim-enzim, dan toksin. Bakteri flagela mengaktifkan
inflamasi dengan mengikatkan pada TLRs. Bakteri juga
menghasilkan proporsi yang tinggi dari molekul DNA
dengan residu GpG yang tak mengalami metilasi, yang
mengaktifkan inflamasi melalui TLR9. TLR3 pengenal
double stranded RNA, suatu bentuk pengenal molekul

yang dihasilkan oleh banyak virus selama siklus


pembelahan. TLR1 dan TLR6 bersekutu dengan TLR2 guna

meningkatkan pengenalan dari protein-protein mikroba


yang mengalami asetilasi dan peptida-peptida.
Molekul mieloid diferensiasi faktor 88 (MyDS8) adalah
protein adaptor yang umum, yang terikat pada daerah
sitoplasma dari semua TLRs yang dikenal dan juga pada

reseptor-reseptor yang merupakan bagian dari IL-1


(IL-l Rc) famili. Sejumlah studi menunjukkan bahwa
"MyD88-mediated transduction" dari sandi dari TLRs dan
IL-1Rc adalah keadaan yang kritis untuk resistensi bawaan
terhadap infeksi.

REUMAIOI.OGI

yang telah siap dibentuk sebelum ada rangsang atau pacu.

Kemudian dapat dikeluarkan dan berfungsi dalam


pertahanan tubuh guna mengatasi inflamasi, dengan zat
atau bahan yang berfungsi sebagai mediator.

Sel-sel pemangsa (fagosit) merupakan pertahanan


dalam lini pertama guna membinasakan zat-zat patogen,
dan yang berfungsi dalam hal ini termasuk makrofag dan
neutrofil.
Sel-sel yang ada dalam tubuh dilengkapi dengan
reseptor-reseptor yang ada di permukaan sel. Di samping
itu dari sel-sel dilengkapipt:Jazatyang dapat dikeluarkan
dengan fungsi untuk pengaktifan atau pemicu terhadap
sel lain agar menjadi aktif. Zat-zat tersebut merupakan
mediator.
Suatu contoh dari mediator sel mast manusia adalah;
Yang telah dibentuk sebelumnya dan mudah dikeluarkan
yaitu: Histamin, faktor kerqotaktik eosinofil, super oksida,
alkil sulfatase A, elastase,b-heksosamidase, b-glukosamidase, b-galaktosid, enzim sebangsa kalikrein.

Yang dibentuk sebelumnya dan berkaitan dengan butirbutir yang ada yaitu: HeparinKondroitin sulfat E, Triptase
(I, B/II, IIII, dan a.), Cymase,Karboksipeptidase, Katepsin Q
Superoksidase dismutase, Katalase
Yang baru terbentuk yaitu:Leukotrienes (LTC4 LID4, LTEJ,
Platelel Activating factor (PAF), Prostaglandin (PGDr)

Sitokin-sitokin yang diturunkan/dihasilkan oleh sel mas t :


Interleukin (IL) - la, -3, -4, -5, -6, -8, -13, -16, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor),
TNF-cr (Tumor Necroting Factor-a), NF-y flnterferon y)
termasuk "liz munomodulating" bersama IL- 1 0, IL- I 3

Kemokin-kemokin yang diturunkan/dihasilkan oleh sel


Masl: RANTES (Regulated upon Activation Normal kell
Expressed and T-cell Secreted), MCP-1 (MonocyteChemo attractant Pro t ein), MIP -b(Macrophage Inhib itory
P r o t e in), MIP

a, lL - 1 6

Faktor penumbuh yang diturunkan oleh

sel

zasl: VEGF,

FGF,NGF,FGF-p, SCF

KEGIATAN PRODUK DARISEL MAST


FUNGSI BERBAGAI SEL

Seperti yang telah diungkap dalam proses inflamasi


berbagai fungsi mediator pilihan yang memacu kegiatan
yaitu: Histamin, Heparin, Triptase, Kimase, Prostaglandin,

Fungsi dan ke giatan Makrofag, sel m as t, neutrofi l, limfosit


dat.Antigen-Precenting cells dalam proses inflamasi yaitu
menangkap, menghalau, memangsa, membersihkan dan
usaha menyingkirkan dari tempat di mana antigen tersebut

macam-macam Leukotrien (LTC,, LTD,, LTE,, Platelet


Activating Factor (PAF), Ennimr".rnu.uil kalifiein, dan

ada dalam jaringan tubuh. Usaha tersebut dapat

Histamin, kegiatannya menampilkan tiga respons dari

dilaksanakan karena sel-sel yang berfungsi melawan antigen atau patogen telah memlllkizat-zatyang ada dalam sel

Lewis yaitu: Vasodilatasi, kontraksi sel-sel endotel, dan

berbagai sitokin. Berbagai fungsi akan dibahas.

meni ngkatkan permeab ilitas.

2405

INFI.AMAISI

Aksi yang lain meliputi Refleks akson (H,), Pruritus (Hr),

aktivasi kondrosit (Hr), Regulasi dari mikrosirkulasi


sinovial, induksi dari P-selektin pada sel-sel endotel,
dan pengeluaran Interleukin- I 1

Heparin, Zat

iil

(IL - I 1)

mempunyai efek: antikoagulasi;

antikomplemen (C1q: Co, C2, C, aktivasi, C3b

&

convertase); memacu angiogenesis; meningkatkan aktivitas

elastase; memodulasi hormon paratiroid kalsitonin guna


mempengaruhi osteoporosis; memacu sintesis kolagenase;
menghambat kolagenase yang diaktifkan; potensiasi ikatan
fibronektin pada kolagen; proliferasi fibroblas, dan

potensiasi dai Fibroblast Growth Factor (FGF)

Triptase. Zatiri merupakan pecahan dari substrat tripsin,


dan berperan dalam inaktivasi fibrinogen dan kininogen
dengan berat molekul tinggi, aktivasi dari urinary-tipe
plasminogen activator, aktivasi dai "Latent Synovial

Collagenasse" lewat konversi dari prostromelisin,


degradasi dari Vasoactive Intestinal Peptide (VIP),
bronkokonstriksi, memacu kemotaksis dari fibroblas,
proliferasi sintesis kolagen, menginduksi proliferasi sel
epitel, memacu pengeluaran IL-S, peningkatan ICAM-I,
meningkatkan kemajuan migrasi dari sel endotel, dan
pembentukan saluran vaskular.

Kimase, Zat ini bekerja memecah substrat kemotripsin,


pengubahan dari angiotensin I ke II, memecah substansi
membran basalis (Lasminin, kolagen tipe II, fibronektin, dan

elastin), pemecahan dari pertemuan dermal-epidermal,


mengadakan degradasi dari neuropeptide VIP dan substansiP, memperbanyak pengaruh histamin dalam pengembangan

pengeluaran histamin. "Nuclear factor of Activated


T-cells" (\IFAT:1), dan keluarga protein tersebut dalam
mengatur peningkatan " transcriptional cytokine " dalam
menanggapi terhadap "IgE cross-Linking" atau SCF.

Stimulasi sel Mast pada organ explant atau in vivo,


mengakibatkan aktivasi sel endotelmikrovaskular, yang
mengalami refleksi dengan adanya peningkatan E-selektin
dan ICAM-1. Peningkatan aktivasi sel endotel dapat
ditekan dengan cara menambahkan sebelumnya antibodi
yang menetralisir terhadap TNF-ct.

Seperti tertera di atas, sel mast juga mensintesis,


menyimpan dan mengeluarkan VEGF dan pFGF, hal
ini menambah pandangan bagaimana sel ini m
empunyai kontribusi dalam "Remodelling" jaritgan ikat.
Di samping itu mempunyai implikasi pada penyakitpenyakit yang sering berhubungan dengan neovaskularisasi. Sel mast, mampu menampilkan MHC II
antigen pada permukaan selnya dan juga molekul
tambahan seperti ICAM-1. Molekul permukaan ini

memungkinkan interaksi yang produktif attata


Limfosit dengan

sel mast.
Jadi dengan menghasilkan macam-macam sitokin, akan
mempunyai fungsi bermacam-macam terhadap -respons

biologis yang berkaitan dengan pertumbuhan, perbaikan


dan inflamasi, serta mempunyai dampak pada macammacam penyakit dari manusia.

Berbagai penggerak sel mast dapat dikelompokkan


dalam dua bagian yaitu: respons imun alami/bawaan, dan
respons imun didapat/penyesuaian.
Respons imun alami terdiri dari:

jentera, mengubah endotelin-1 yang besar menjadi "

vasoactive endothelin- 1 ", membebaskan aktivasi "Latet


TGF-p" dari progelatinase b, meningkatkan sekresi dari
kelenj ar mukosa, memecah " m embr ane- as s o ciat ed S C F "

Jalur yang tergantungpada IgE yaitu: alergen-alergen


multivalen, IgE Complexes, IgE Rheumatoid Factor,
Anti Fcu R, antibodies,IgE-dependent HRF.
Jalur yang bebas dari IgE yaitu:

Prostaglandin Prostaglandin @GDr). Zat zat ini berfungsi


sebagai : bronkonkonstriktor, kemoatraktan, penghambat
agregasi trombosit, vasodilatasi, pontensiator dari LTC,

MCP-3, Regulated upon T-cell Activation


Normal T-cell Expressed and Secreted
(RANTES), Macrophage Inhibitory Protein

pada vasa darah.


Berbagai zat ini
Berbagai Leukotrien (LITC .,ffi
n).
^,ffi
"Slow-Reacting
Substance of anaphyberfungsi sebagai:

laxis", pemacu kontraksi otot polos, vasodilator,


pengaktifan sel endotel
PAF (Plalelet Activating Factor), Zal ini berfungsi untuk
mengaktifkan: neutrofi l, trombosit, kontraksi otot polos,
permiabilitas vaskular, kemotaksis untuk neutrofil dan
eosinofi l, guna mengin dttksi immune compl ex-mediated
vasculitis.

Enzim sebangsa kalikrein, merupakan keturunan


bradikinin

Sitokin mempunyai efek imunologik dan efek pada


jaringan ikat.
Pada keadaan tertentu sekresi sitokin tergantung pada

Macam-macam kemokin seperti Monocyte


Chemoatractant Protein (MCP), MCP-I, MCP-2,

(N{IP-Icr,MIP-1B)
Endotelin-l
Complement-derived peptides" Cra, Coa, Cra
Macam-macamProtease: "tripsin", "kemotripsin"
Stem cell Factor (SCF)

Kinin
Paratormon

Produk-produk degradasi kolagen


Eosinophil-derived major basic protein
Substansi P

Respons imun penyesuaian/didapat, terdiri dai zat-zat y ar,g


dibentuk guna melawan:

Produk bakteri seperti lipopolisakarida, Fimbriae,

Hemolisinis, Toksin.
Parasit-parasit seperti Schistosoma mansoni

2406

.
.

Virus-virus seperti influenza-A


TNF-cx,IL-12

Lebih lanjut tentang keluarga sitokin dan keluarga


reseptor sitokin dapat disimak pada tabel.

SITOKIN.SITOKIN DAN RESEPTOR.RESEPTOR


SITOKIN
IL-1cx, p, memiliki reseptor tipe 1 IL-IR dan tipe 2 IL-IR.
Sitokin IL- 1 a,b dihasilkan oleh: monosit/makrofag, sel-sel
B, fibroblas, sebagian besar sel-sel epitel termasuk epitel
timus dan sel-sel endotil. Target sel yang dipengaruhi ialah

semua sel. Dan aktivitas biologiknya meningkatkan


pengaturan penampilan molekul adhesi.
IL-2, memiliki reseptor IL-2Ro,,B, dan yyang umum.

Sitokin ini dihasilkan oleh sel-sel T. Target dari zat ini


adalah sel-sel T, sel-sel B, dan sel-sel NK, monosit/
makrofag. Dan aktivitas biologiknya ialah aktivasi sel T
dan proliferasi, pertumbuhan sel B, proliferasi sel

NK ilan
aktivasi, peningkatan aktivitas monosit/makrofag.
IL-3, memiliki reseptor IL-3R, dan B yang umum.
Dihasilkan oleh sel-sel ! sel-sel NK, dan sel-sel zasl.
S asaran targetnya ialah : mono sit/makrofag, s el-sel m a s t,
eosinofil, sel-sel pendahulu sumsum tulang. Dan aktivitas

biologiknya yaitu memacu sel-sel pendahulu


hematopoietik.

IL-4, memiliki reseptor IL-4 R o, dan F yut g umum.


Sitokin ini dihasikan oleh: sel-sel T, sel-sel rnasl dan basohl.
Sasaran target selnya adalah: sel-sel I sel-sel B, sel-sel
NK, monosit/makrofag, neutrofi l, eosinofi 1, sel-sel endotel
dan fibroblas. Sitokin ini berfungsi memacu " Tr2 helper
T-cell dffirentation " dan proliferasi, memacu sel B klas
Ig yang berubah ke IgG I dan IgE; bekerja anti-inflamasi
terhadap sel-sel T dan monosit.
IL-5, memiliki reseptor IL-5Ru, dan B yang umum.
Dihasilkan oleh sel-sel ! sel-sel masl dan eosinofil. Target
selnya adalah eosinofil, basofil, dan murin sel-sel B. Sitokin
ini mengatur migrasi eosinofil dan mengaktifkan.
IL-6, memiliki reseptor IL-6R, gp 130. Dihasilkan oleh:

monosit/makrofag, sel-sel B, fibroblas kebanyakan


epitelium termasuk epitel timus, dan sel-sel endotel. Tar! sel-sel B, sel-sel epitel, sel-sel
hati, monosit/makrofag. Aktivitasnya ialah menginduksi
untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel T dan sel B,
get selnya adalah: sel-sel

pertumbuhan sel myeloma, dan perhrmbuhan serta aktivasi


osteoklas.
IL-7, memiliki reseptor IL-7 cx, dan yyang umum. Sitokin
ini dihasilkan dari sumsum tulang, sel-sel epitel timus.
Sasaran target selnya adalah:sel-sel ! sel-sel B, sel-sel
sumsum tulang. Aktivitasnya untuk diferensiasi sel-sel
pendahulu B, T danNK serta mengaktifkan sel-sel T danNK.
IL-S, reseptomya ialah CXCR 1, CXCR2. Sebagai sumber
penghasil adalah monosit/makrofag, sel-sel T, neutrofil,
fibroblas, sel-sel endotel dan sel-sel epitel. Sebagaitarget

REI.JMAIOI.OGI

selnya adalah: neutrofil, sel-sel


sel endotel dan basofil.

monosit/makrofag, sel-

Aktivitas biologiknya yaitu menyebabkan migrasi


neutrofil, monosit, dan sel ! menyebabkan neutrofil
melekat pada sel-sel endotel dan mengeluarkan histamin
dari basofil; memacu angiogenesis; menekan proliferasi
dari sel-sel pendahulu hati.
IL-10, memiliki reseptor IL-10R. Sebagai penghasil
adalah: monosit/makrofag, sel-sel T dan B, keratinosit dan
sel-sel mast.Target sel sasarannya adalah: monosit/
makrofag, sel-sel T dan B, sel-sel NK dat sel-sel mast.
Aktivitas biologiknya ialah: menghambat produksi sitokin
proinflamasi dari makrofag; mengurangi pemakaian sitokin
klas II antigen, dan mengurangi peningkatan B7-1 dan
B7-2, menghambat diferensiasi "Tr1 helper T-cells";
menghambat fungsi sel NK; memacu proliferasi dan fungsi
selmast dan aktivasi sel B dan diferensiasi.
IL-l 1, dengan reseptor IL- 1 1R, gp 1 30. Berasal dari sel-

sel stroma sumsum tulang. Target selnya adalah


megakariosit, sel-sel B dan sel-sel hati. Aktivitas
biologiknya ialah mempengaruhi pembentukan koloni,
megakariosit dan pendewasaan; meningkatkan respons
antibodi, memacu produksi protein fase akut.
IL-12, terdapat dua sub unit yaitu dengan berat 35-k
Da dan 40-k Da. Reseptornya ialah IL- 12R. Dihasilkan dari

makrofag; sel-sel dendrit dan neutrofil yang diaktifkan.


Sebagai target selnya adalah sel-sel T dan NK. Sedang
aktivitas biologiknya mempengamhi pembentukan Tr1

helper T-cell darr pembentukan "lyphokine-activated


killer cell";meningkatkan aktivitas CD, + 911.
IL-13, reseptomya adalah IL-13/IL-4R. Dihasilkan oleh
sel-sel T (THr). Sasaran targetnya ialah: monosit/makrofag,

sel-sel B, sel-sel endotel dan keratinosit. Aktivitas


biologiknya ialah: meningkatkan regulasi VCAM-1 dan
ekspresi kemokin C-C pada sel-sel endotel; meningkatkan
pengaturan aktivasi dan diferensiasi sel B; menghambat
produksi sitokin proinflamasi dari makrofag.
IL- I 7, reseptomya ialah IL- I 7R. Dihasilkan oleh CD, +
sel-sel T. Target selnya adalah: fibroblas, endotel dan epitel.
Aktivitas biologiknya ialah meningkatkan sekresi sitokin
yang memperkembangkan respons Trl yang predominan.
IL- 1 8, dengan reseptor IL 1 8 (IL- 1R- Related Protein).
Dihasilkan oleh keratinosit dan makrofag. Sebagai target
selnya adalah sel-sel ! B, dan NK. Aktivitas biologiknya

adalah meningkatkan pengaturan produksi IFN-g,

meningkatkan sitotoksisitas sel NK.


IFN-y, dengan reseptor tipe-l interferon. Dihasilkan
oleh semua sel. Sebagai sel targetnya adalah semua sel.

Dan aktivitas biologiknya yaitu: aktivitas antivirus;


memacu sel

makrofag dan aktivitas pengaturan ekspresi

MHC klas I; digunakan untuk terapi terhadap virus

dan

kondisi autoimun.

IFN-P, dengan reseptor tipe-l interferon. Dihasilkan


oleh semua sel. Sel targetnya adalah semua sel. Aktivitas
biologiknya sama dengan IFN-a.

2407

INFI.AMAISI

IFN-y, dengan reseptor tipe II. Dihasilkan oleh sel-sel

T dan NK. Sel targetnya adalah semua sel. Aktivitas


biologiknya adalah: mengatur aktivasi marofag dan sel NK;
memacu sekresi imunoglobulin oleh sel-sel B;menginduksi
antigen " hi s t o c o mp at ib il ity " klas II; mengatur diferensiasi

"Trl

Keluarga
Reseptor

Anggota

Gambaran Umum

IL-1 R

rL-rR1

, tL-rR ll, lLlRAcP, lL-18Ro, lL-

ekstraselu lar

18R8, Tt/STr,

cell".

eosinofil, sel-sel NK, sel-sel B, sel-sel

Keratinosit,

Toll-Like R

TLRl -10

Daerah kaya
leucine extrasel

TNFR

TNFR1, TNFR II, FAS


cD 27, CD30, LTBR,

Daerah kaya
sistein
ekstraselular

fibroblas, sel-sel epitel timus. Sel targetnya ialah: semua


sel kecuali sel darah merah. Aktivitas biologiknya ialah:

NGFR,
RANK,BAFFR,
BCMA, TAC 1, TRAIL
R

Hematopoietin R

Anggota Keluarga

Anggota

TNF

TNF-q, LT-o, LT-B, CD4oL, FasL,


BAFF, TRAIL,RANKL, NGF,
CD27-L, CD3OL, OX-401,4.1 BBI,
APRIL

lL-

lRrp2

TNF-o, dengan reseptomya TNF-RI, TNF-RIL Sumber


penghasilnya ialah: monosit/makrofag, sel-sel nasf, basofil,

ll

Daerah seperti lg

C{erminal W-S-XW-S motifs

tL-gR, lL-13R, lL-15R,

lL-1o, lL-1B, lL-lRa,


sampai lL-1F10

lL-l8, lL-lF5

tL-6

IL-6, LIF, OSM, IL-11, CNTF, CT1, CLC

lkatan sitokin sitokin


adalah ikatan y yang
seflng

tL-2,tL-4, t1-7, lL-9, lL-15, lL-21

tL-10

tL-10, tL-'19, lL-20, lL-22, lL-24,

tL-12

tL-12, tL-23, lL-27

lL-17
Sitokin sitokin
Hematopoietik

lL-17A, sampai lL-17F , lL-25


SCF, IL-3, TPO, EPO, GM-CSF,
G-CSF, M-CSF

tL-26, tL-28,

l,2,3

tL-2R, tL-3R, lL-4R,


tL-sR, tL-6R, lL-7R,
G-CSFR, GM-CSFR,
EPOR, TPOR

IFNR

IFR-o/p R, IFN-Y

Chemokine R

cxcRl-4,

R,
tL-1 0R,tL-1 9R, lL-20R,

"Clustered four
Cysteine"

tL-22R,lL-24R

ccRl-8

CR, C3XCR

"Seven
transmembrane
spannrng
domains"

TGF-P R

TGF-B R1 , TGF-g RII,


BMPR, Activin R

Serinethreonine

Growth Factor R

EGFR,PDGFR,

Tyrosine kinase

kinase

FGFR, M-CSFR (Cfms), SCFR (C-kit)

ll-29

lnterferon (lFN)

IFN-o SUBFAMILY, IFN-P, IFN-Y

B AFF, B c e I I - Ac t iv a t in g fac t or; B CMA, B c el I Matur at i o n Ant igen;BMP, Bone Morphologic Protein;EGF, Epidermal Growth
Factor; FGF, Fibroblast Growth Factor; G-CSF, Granulocyte
Colony Stimulating Factor; GM-CSF, Granulocyte- Macrophage

CXC Kemokines

CXCLI sampai CXCL16

C o I o ny

CC Kemokines

CCLl sampai CCL 28

C Kemokines

XCL1, XCL2

Accessoty Protein; IL-lRrp2, IL-1R Related Protein; M-CSF,


Monocyle Colony Stimulating Faclor;NGF, Ner-ve Growth Factor;

Stimulating F act or ; IL, Interl eukin; IL- 7RacP, Int erleukin-

RANK, Receptor Acti-

CX3C Kemokines

CXC3CLI

PDGF, Plalelet Derive Growth Factor;

TGF-B Superfamily

TGF-8, BMP family, aciivin,


inhibin, MlS, noctal, leftys

Faktor-faktor pen u mbuh

PDGF. EGF, PGF, IGF, VEGF

\ator of Nuclear Factor K B; SCF, Stem Cell Faclor; TACI,


Transmembrane Activalor and Calcium modulator and

APRIL, A Proliferation-Inducing Ligand; BAFF, B -cell Activaling


F actor; BMP, B one Morpho genitic Protein; CLC, Cardiotrophin-

Like Cytokine; CNTF, Ciliary Neutrophic Factor; CT,


Cardiotrophin; EGF, Epidermal Growth F actor; EN A, Epithelial Neutrophil Activating peptide; EPO, Erythropoietin; FGF,
Fibroblast Growth Factor; G-CSR Granulocyte Colony Stimulating Factor; GM-CSF, Granulocyte-Macrophage ColonyStimul ating F act or;IFN, Interferon; lGF, Insu lin-Like Growth
factor; IL, Interleukin; IL-1Ra, Interleukin-1 Receptor
Antagonist; L, Ligand; LlF, Leukemia Inhitory Factor; UT,
Lymphotoxin; M-CSF, Monocyte Colony Stimulating Factori
MlS, Mttllerian Inhibiting Substance;NGF, Nertte Growth Factor;
OSM, Oncostaliz-M; PDGF, Platelet Derive Growth Factor;
RANK, Receptor Activator of Nuclear Factor kB; SCF, Stem
Cell Factor; TGF, Transforming Growth Factor; TNF, Tumor
Necrosis Factor; TPO, Trombopoietin; TRAIL, TNF-Related
Inducing Ligand; YEGF, Vascular Endothelial Growth Factor

Cyclophilin Ligand Interaclor; TGF, Transforming Growth Factor;

TLF., Toll-Like Receplor; TNF, Tumor Necrosis Factor; TPO,


Trombopo ietin; TRAIL, TNF - Rel ated I nducing Ligand

demam, anoreksia, syok, sindrom kebocoran kapiler,


meningkatkan sitotoksisitas leukosit, meningkatkan fungsi

sel NK, sintesis protein fase akut, induksi sitokin


proinflamasi.
G-CSF, dengan reseptomya G-CSFR, dan gp 130. Selsel penghasilny a adalah:

monosit/makrofag, fibroblas, sel-

sel endotel, sel-sel epitel timus, sel-sel stroma. Sel targetnya

adalah: sel-sel mieloid dan sel-sel endotel. Sedangkan

aktivitas biologiknya ialah mengatur mielopoiesis;


meningkatkan survival dan fungsi neutrofil; digunakan di
klinik guna mengatasi neutropeni setelah kemoterapi
dengan obat sitotoksik.
GM-CSF, dengan reseptomya GM-CSFR; dan 0 yurg
umum. Dihasilkan oleh: sel-sel T, monosit/makrofag,

2408

REI,JMATOI.TOGI

fibroblas dan sel-sel endotel. Tentang aktivitas biologisnya

yaitu: mengatur mielopoiesis; meningkatkan aktivitas


bakterisidal dan tumorisidal dari makrofag; grediator dari
maturasi dan fungsi sel dendrit.

M-CSF, dengan reseptor M-CSFR (C-fims


protoonkogen). Dihasilkan oleh: fibroblas, sel-sel endotel,

monosit/makrofag, sel-sel T, sel-sel B, sel-sel epitel


termasuk epitel timus. Sel targetnya adalah monosit/
makrofag. Aktivitas biologiknya mengatur produksi dan
fungsi mono sit/makrofag.
Fraktalkin, dengan reseptornya CX3 CRI. Dihasilkan
oleh sel-sel endotel yang diaktifkan. Sel targetnya adalah:

Gambar 3.

sel-sel NK, sel-sel T, monosit/makrofag. Aktivitas


biologiknya adalah: "Cell surface chemokine/mucin
hybrid molecule" yang berfungsi sebagai kemoatraktan,
aktivator leukosit, dan cell adhesion molecule.
Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa mediatormediator bioaktif pada sel mast hewan coba (tikus) yang

lnteraksi

Molekul
adhesi
Endotil

Molekul adhesi
Lekosit

Menggelinding

E-selectin
P-se/ectln

ESL.1 "
PSGL-1

HA

co44

Tak diketahui
VCAM.1

VLA-4

diaktifkan akan menghasilkan:

1. Mediator-mediator lipid yaitu : Leukotrien 84,


Leukotrien C4, Plateled-Activating Factor, dan
prostaglandin D2

2.

Mediator-mediator yang dibentuk sebelumnya dari


sekresi granula yaitu: histamin, proteoglikans, Triptase
dan Kimase, Karbopeptidase A.

3.

Melekat menyatu

Emigrasi

tcAM-1
ICAM.2
VCAM-1

VLA-4

HA

cD44

ICAM-1

LFA-1, Mac-1

Sitokin sitokin yaitu : IL-3, lL-4, IL- 5, lL-6, GM-CSF,


IL-l 3, IL- l, INF-B, TNF-cr

ICAM-2
VCAM-1

Dari ketiga kelompok mediator tersebut akan

JAM

menimbulkan respons pada Leukosit, fibroblas, substrat


dan mikrovaskular.
Dari respons leukosit, dapat mengadakan perlekatan,
kemotaksis, produksi Ig E, proliferasi sel mast, aktivitas
Eosinofil.
Dari respons Fibroblas, dapat mengadakan proliferasi,
vakuolisasi, produksi Globopentaosylceramide, produksi

Neutrofil dan proses

PECAIV-1

C3a

8i."h,"---r-+

kolagen.

Dari respons substrat dapat mengadakan aktivasi

L-se/ectrn

LFA-1, MaC-1
LFA-1

LFA.1

VLA-4
PECAM-1, Lain-lain?
Pengikat (Ligand)
multipel

ah)
]l\

ma)

Dolor
I
(Nyerl)
r)

C).HOoH
a

!"u

Calor
(Hansat)

matriks metaloprotease, aktivasi dari kaskade koagulasi.


Sedang dari respons mikrovaskular, dapat timbul

IH-o( ri;enu,br
+

/^l

e/
\(\

Memangsa --1
Memanssa
baktn ale!
ala!

permeabilitas venuler terganggu, perlekatan leukosit,

I
I

konstriksi dan dilatasi.

Berikut ini akan disajikan bagaimata rangsang

I
I

inflamasi memicu kegiatan leukosit, serta tabel interaksi


molekul adhesi dari leukosit/sel endotel. Dan berikutnya
adalah gambar neutrofil dan proses inflamasi.

I
I

J
sered Sl&
Seksl
stohr

trr,rnr-o

I
lrrr,rnr

IL.8,TNF]&.
I

mak6fag
Limfo6it

KOMPONEN UTAMA DARI SISTEM IMUN BAWAAN


DALAM MEMICU IMUNITAS ADAPTIF
Gambar 4.
Sel-sel sistem imun bawaan dengan peran utamanya dalam
memicu imunitas adaptif tergantung pada tipe sel-sel yang

berperan. Berikut ini akan dipaparkan macam-macam sel


yang terlibat.

Sel-sel makrofag, peran utamany a dalamimunitas bawaan


ialah; mengadakan fagositose dan membunuh bakteri, di
samping itu menghasilkan peptide anti mikrobial; mengikat

2409

INFI.AMASI

lipopolisakarida (LPS); dan menghasilkan sitokin sitokin


inflamator.

Peran dalam imunitas adaptif yaitu menghasilkan


(IL)I tumor necrosis factor (TNF)u guna
meningkatkan molekul-molekul adhesi limfosit dan kemokin

interleukin

untuk menalik " antigen-spesific" limfosit-limfosit;


menghasilkan IL-12 guna menarik Trl helper T-cell
Responses; meningkatkan pengaturan ikut memacu
bersama molekul-molekul MHC guna memfasilitasi limfosit

T dan B guna mengenali dan aktivasi ; sel-sel makrofag

dan dendrit, setelah adarya isyarat dari LPS, dan


meningkatkan pengaturan pacuan bersama molekulmolekul BT-1 (CD80) danB7-2 (CD86) yang diperlukan

guna menggiatkan dari sel-sel T antigen-specific


antipathogen, dar. selanjutnya juga protein-protein
Toll-like pada sel-sel B dan sel-sel dendrit yang setelah
terikat LPS menyebabkan CD80 dan CD86 pada
sel-sel tersebut menyampaikan kepada sel T antigen
presenting.
Sel-sel dendritikplasmasitoid @Cs) dari garis keturunan

Limfoid, peran utamanya ialah: menghasilkan sejumlah


besar interferon (INF)a yang mempunyai aktivitas anti
fumor dan anti virus, dan didapatkan dalamzona sel T dari
organ-organ Limfoid; Sel-sel tersebut beredar dalam darah.

IFN-a merupakan aktivator yang poten pada makrofag dan


DSs yang dewasa guna memangsa patogen-patogen yang
masuk dan menyampaikan antigen-antigen patogen kepada
sel T dan sel B.

Terdapat dua tipe sel-sel dendritik mieloid, yaitu: yang


diturunkan dari sel intersisial dan Langerhans.
DCs intersisial adalah penghasil kuatlL-2 dan IL-10 dan
terletak dizone-zote sel T dari organ-organ Limfoid; dan
sel-sel tersebut ada dalam darah, dan ada dalam sela-sela
dari paru, jantung, dan ginjal; DCs Langerhans adalah
penghasil kuatdarilL-l2; dan letaknya di zone-zone sel T
dari Limfonodi, epitel kulit, dan medula timus; dan beredar

molekul CDI dan kemudian membinasakan sel-sel /zost yang


terinfeksi dengan bakteria intraselular tersebut. Peran utama
dalam imunitas adaptif, sel-sel NK-T menghasikan IL-4 guna
merekrut "TH, helper T-cell responses" , dar' memproduksi

IgGl danIgE.
Neutrofil, peran utamanya dalam imunitas bawaan ialah
memangsa dan membunuh bakteri, dan memproduksi
peptida-peptida antimikrobial. Sedang peran utama dalam

imunitas adaptif ialah menghasilkan "Nitric Oxide

Synthase" dan "Nitric Oxide" yatg menghambat


apoptosis dan Limfosit-limfosit dan dapat memperpanjang
respons imunitas adaptif.

Eosinofil, peran utamanya dalam imunitas bawaan ialah


membunuh parasit-parasit yang masuk. Sedang peran
utamanya dalam imunitas adaptif ialah menghasilkan IL-5
yang merekrut "Ig- sp ecifi c antib o dy respons e s" .
Sel-sel mast dan basofil, peran utamanya dalam imunitas
bawaan ialah mengeluarkan TNF-cr, IL-6, IFN-y dalam
merespons pada macam-macam dari "bacterial PAMPs"
(Pathogen-Associated Moleculer Patterns).
Dalam kaitannya dengan peran utama sebagai imunitas

adaptif sel-sel tersebut menghasilkan IL-4 yang merekrut


"TH, helper cell Responses" dan merekrut IgGl dan
" IgE-spesific antibody Responses ".
Sel-sel epitelial, peran utamanya dalam imunitas bawaan
ialah memproduksi peptida-peptida anti-mikrobial; dan
jaringan epitel spesifik menghasilkan mediator dari imunitas
bawaan lokal, misalnya sel-sel epitel paru memproduksi
protein-protein surfaktan (protein-protein dalam keluarga

collectin) yang mengikat dan memperkembangkan/


meningkatkan pembersihan dari mikroba yang masuk dalam
paru.

Dalam aktivitas peran utama dalam imunitas adaptif,


menghasilkan TGF-p yang memicu "IgA-sp esific antibody
responses".

dalam darah. Peranutama dalam imunitas adaptif dari DCs


interstiel adalah APC yang poten untuk sel-sel T dan yang

pertama-tama mampu mengaktifkan sel

guna

menghasilkan antibodi; sedangkan DCs langerhans adalah


APC yang poten untuk "T cell priming".

Sel-sel pembunuh alamil nataral

PRODUK YANG DISEKRESI DARI EOSINOFIL

killer (NK)cells.

cationic, neurotoxin yang berasal dari eosinofil,


p-Glucuronidase, asam fosfatase dan arilsul-

Tugasnya membunuh sel-sel asing dan penjamu ( host)yang

memiliki kadar rendah dari "MHC + self petides".


Menampilkan reseptor-reseptor yang menghambat fungsi

NK dengan adarya penampilan yang banyak dari


"self-MHC". Dalam peran utamanya sebagai imunitas
adaptif, sel ini menghasilkan TNF-u dan IFN-y yang

Protein-protein dari granule terdiri atas "major basic

protein" eosinofil peroxidase, protein eosinofil

fatase B.

Sitokin-sitokin, yaitu IL -1, IL-3, IL-4, lL-5, IL-6, IL-8,


[-10, [-16, GM-CSF, RANTES, TNF-o,, TGF-cr,
TGF-p, danMIP.
Mediator-mediator Lipid, yaitu leukotrien B. (JumlahnYa

merekrut THrhelper T cells responses.

sedikit), leukotrien Co, leukotrien Cr,

Sel-sel NK-T, peran utamanya dalam imunitas bawaan

HETE, 5-okso-15-hidroksi 6,8,1 1,13-ETE (eicosatetraenoic acifl,Prostaglandin E, dan prostaglandin E,

merupakan limfosit-limfosit baik dari kedua sel T dan petanda


permukaan NK yang dapat mengenali antigen Lipid yang
ada dalam sel bakteri, misalny a M.Tuberculosrs oleh molekul-

6-keto-prostaglandin F,, Troboksane


activating .factor).

hidroksi 6,8,1 5-di

2,

PAF (platelet-

2410

RELIYTA-IOLOGI

Enzim-enzim: elastase, protein kristal Charcot-Leyden,


kolagenase, 92-kd radikal.

Reactive oxygen intermediates : superoxide radical


anion, HrO, dar, Hydroxy Radicals,

EOSI NOFI L KEMOATRAKTAN

Ini terdiri

:
.
.

atas:

Kemokin-kemokin yaitu Eotaksin, Eotaksin 2, Eotaksin


3, MCP2, MCP3, MCP4, RANTES, MIPIa, IL-8.
Sitokin-sitokinyaitu: IL-76,1L-12
Primersyaitu: IL-3,IL-5,GM-CSF
Mediator-mediatorhormonal yaitu: PAI, Cra, C,a, LTB.,
RD4, DTHETES dan Histamrn.

Molekul-molekul adhesi adalah protein permukaan sel


berfungsi ganda yang bertindak sebagai penengah interaksi
baik antara sel dengan sel dan sel dengan matriks.
Di samping itu peranannya dalam pemeliharaan dari
struktur jaringan dan keutuhan proteih tersebut ikut serta
dalam proses kegiatan selular seperti motilitas, memberi
isyarat dan pengakrifan.

PROSTAGLANDIN PADA INFLAMASI KELUARGA

LTD4 dan LTE4

Gambar 5.

PROSTAGLANDIN, LEUKOTRIEN DAN KOMPONEN


YANG BERHUBUNGAN
Eikosanoid-2

0 - c arb o n
atau 5 double bound'.

es s

ent i al

fate acid y an gberisi

3,4

8,1 1,1 4- E ico s atri eno ic e ac id (dihomo - g- lino I en ic acifl


5,8,1I ,|4-Eicosatetraenoic acid (- asam arakidonat)

5,8,1

1,1

4,17 - E ic

os ap enta eno

ic ac

inhibtagr{al

Hy

id

Braln
Mast Cells

Asal asam arakidonat dari derivat makanan yang


mengandung linolic acid (9,|2-oktadecadienoic acirl
atau dari konstituen makanan yang mengandung

5,8,1 7,7 4,17 - E i c o s ap e n t ae n o ic ac i d y arrg terdap at banyak


dalam minyak ikan.

Arakidonat di esterihkasia fosfolipid dari membran sel


atau lain kompleks lipids. Kadar arakidonat dalam sel
sangat rendah, dari biosintesis dari eikosanoid terutama
tergantung adanya arakidonat terhadap enzim-enzim
eichosanoid-synthese, ini sebagai hasil dari pengeluaran
dari simpanan sel-sel dari lipid oleh acylhydiolases,yang
kebanyakan adalah fosfolipid Ar. Peningkatan biosintesis
dari eikosanoid diatur dengan cermat dan tampaknya
merupakan respons terhadap pengaruh yang sangat luas
dari rangsangan fisik, kimiawi dan hormonal.

= MACAM.MACAM POSTAGLANDIN

PGA, PGB, PGB adalah keton yang tak jenuh yang


dihasilkan dari bpntuk non enzimatik PGE selama prosedur

on

rvorovss

I
'^f,Z",

Hyporelgesia

""

Diu16sis

Gambar 6.
COX lsoforms

/
cox-1{
(coNSTrTUvE)

--\"

ARACHIDONIC ACID

hssllng
Cox-2+ 'Would
R6soluilon of
o

lnflamatlon

rltn"
I

tt

Stomach

[h.,IJf
Gambar

i-

I ,u,
DiseEse Taroets

iiil}

COX-2,lnhibitor

24tt

INFIAMASI

dan respons selular terhadap jej as/trauma. Trombosit juga

Konsep Baru
EICOSANOID

merupakan sel-sel efektor inflamasi. Baik PAF (Platelet

Activating Factor) dan fragmen-fragmen kolagen


menyebabkan kemotaksis trombosit ke daerah aktivasi
endotelium atau daerah jejas/trauma dan hasil-hasil yang
dikeluarkan setelah aktivasi, merekrut lain-lain sel dan
mempunyai andil untuk meningkatkan reaksi inflamasi.

Trombosit akan menghsilkan zat yang bersifat


kemoatraktan yaitu PAF dan kolagen. Di samping itu
zat-zat yang berfungsi mengaktifkan seperti PAF, MBR
fibrinogen, trombin, CRP, Substansi P, IhgG, FceR II,
komponen-komponen komPlemen.

(Eicosatetraenoic acid)
lnflamation

Resolution

P 450:
Epoxygenases
(Epoxyeicosatetraenoic acid)

Gambar

trombospodin dan tromboglobulin. Sitokin-sitokin yang

dihasilkan yaitu: PDGF, FGF, TGF-p dan RANTES'


Lain-lain mediator yang ada ialah: PGE, LTC4, T,A2,
12.HETE, PAF, Faktor-faktor koagulasi, fibrinogen'
fibronektin dan adenosin (periksa Tabel dan Gambar)

Gejala Utama

Mediator Lipid

Nyeri dan
hiperalgesia

PGE,, LTB4, PAF

Kemerahan
(vasodilatasi)

PGEZ, PGLZ, LTB+,

Panas (lokan
dan sistemik)

PGE2, PGI1, LTA4, PAF

Edema

PGE2, LTB4, LTC4, LTD4,

ATL
LT
LX
PAF
PG

lnhibitor
Endogen

Dalam keadaan normal perlekatan trombosit ke protein


matriks ekstraselular memerlukan faktor Von Willebrant
(v WF) yang terikatpada glikoprotein trombosit Ib/lX dan

menyampaikan sebagai jembatan molekuler antara


trombosit dan kolagen subendotelial. Trombosit dapat
pula diaktifl<an melalui reseptor-reseptornya untuk IgQ IgE,

PAF, C-reactive protein dan substansi P dan melalui

komponen-komponen yang diaktifkan. Dengan

L'A2, PAF

LTE4, PAF

Mediator-mediator dalam granula trombosit


menghasilkan ADP, serotonin' PF-4, V.WF, PLA2,

Lipoksin
ATL

: Aspirin-Triggered-LiPoxi
: Leukotrien
: Lipoksin
'. Platelet Activating Factor,
: Prostaglandin

diaktifkannya trombosit, akan mengeluarkan isi granuler


yang memperkembangkan pembekuan dan lebih lanjut
terj adi pengumpulan trombosit.

Meningkatkan
Radang

Pengaturan aliran
darah dan pefusi
organ

ekstraksi; tampaknya zat tersebut ada secara biologik' Seri

PGE dan D adalah hidroksiketones, sedangkan Fa


prostaglandin adalah 1,3-diols. Zat-zat ini adalah produk

Vasodilatasi (PGE2,
pGl2, pgd2, PGll)

dari prostaglandin G (PGG) dan H (PGH) , cyclic endoperkomponen sekeluarga adalah hasil dari

iklin (PGI, ) memiliki struktur cincin


incin siklopentan, cincin kedua dibentuk
oleh jembatan oksigen antara karbon 6 dan 9. Tromboksan
(TX, ) terdiri atas 6 anggota cincin oksan di samping cincin
siklopentan dari prostaglandin. Baik PGIr- dan TX, adalah

hasil dari metabolisme PGG dan PGH.

TROMBOStT (PLATEIET) DAN MEDIATOR'


MEDIATOR INFLAMASI
Trombosit diturunkan dari megakariosit dalam sumsum
tulang dan berfungsi untuk hemostatis, penyembuhan luka,

.
.
.
.

Meningkatkan
permeabilitas vaskular
(interaksi dengan Ca5,
LTB4, dan Histamin)
Potensiasi nyeri
(interaksi Bradikinin)

Mengaktifkanlimfosit
dan produksi dari
limfokin PGI
Agregasi trombosit
Pengeluaran PAF
dan PGl2
Desuppressor T
suppressor cells dan
meningkatkan RF
Resopsi dari tulang

Meredam Proses
Radang
PGE1, PGE2
menghambat
produksi dari
macrophage
migration inibiting
factor (MlF) oleh sel sel T
PGE2 menghambat
proliferasi limfosit T
Menekan proliferasi sel
sinovial
Menekan pembentukan
plasminogen
Menghambat produksi
dari radikal oksigen dan
pengeluaran enzim oleh
neutrofll

2412

Berbagai macam
mediator yang
diturunkan dari lipid
itas kemotaktik,
proliferatif trombogenik, dan proteolitik. pacuan yang
mengaktifkan trombosit guna mengadakan perlekatan dan
degranulasi juga merupakan pemicu pengeluaranAA dari
membran melalui PLA, yang memprakarsai sintesis dari

TXA2, lewat COX-1 dan produk dari Lipoxygenase


12-HETE yang kemudian dimetaboliser menjadi lipoksin.

Produk-produk dan granula-granula trombosit juga


memprakarsai reaksi inflamasi lokal. Granula-granula padat
berisi ADP, suatu agonis yang mengaktifkan ikatan hbrinogen dari trombosit pada sisi dari b, integrin glikoprotein II

bl IIIa, dan serotonin, suafu vasokonstriktor yang poten


yang mengaktifkan neutrofil dan sel-sel endotelial.

Alfa granul berisi PF4 dan b-troboglobulin, yang


mengaktilkan leukosit-leukosit mononuklir dan pMN dan
juga tempat dihasilkan PDGF dan TGF-p, yang keduanya
memacu proliferasi sel-sel otot polos dan fibroblas dan

sangat penting dalam perbaikan jaringan dan


angiogenesis. Di samping itu granul trombosit
menghasilkan trombospodin yang memprakarsai neutrofi l,
faktor koagulasi F V, VII, vWT, fibrinogen dan fibronektin.

RESPONS PENYESUAIAN (ADAPTIF)

Limfosit bertanggung jawab untuk respons imun


penyesuaian (adaptifl. Limfosit pendahulu beredar dalam
darah. Limfosit ini akan berkembang menjadi sel B dan sel
T. Sel B yang awal melanjutkan perhrmbuhannya dalam
sumsum tulang. Sedang sel T yang awal berpindah ke timus.
Pendahulu kedua tipe sel tersebut mengalami penyusunan
ulang dari gen untuk membenfuk reseptor-reseptor anti-

gen. Reseptor-reseptor sel B dan sel T, keduanya


heterodimer, yang terdiri dari dua ikatan yang berbeda,
yaiturantai ikatan disulfid, di mana sifat ikatannya dapat
dikenal dari rangkaian protein sebagai hasil dari kombinasi
yang tampak pada tingkat genetik. Bagian dari reseptor
antigen yang akan meningkatpadaantigen diturunkan dari
dua atau tiga fragmen gen yaitu segmen yang berubahubah, yang aneka ragam dan pengikat.
Sel B dan T memiliki reseptor antigen yang spesifik.
Pengenalan molekul untuk antigen pada sel-sel B adalah
m em b r an e a s s o c i al e d- im mu n o gl o b u I in, se d,angkan
reseptor antigen pada sel-sel T adalah molekul yang
berbeda, yang bukan imunoglobulin. Bila diaktifkan oleh
adanya antigen, maka sel-sel B berkembang menjadi
antibodi yang menghasilkan sel-sel plasma, dan sel-sel
yang memelihara ingatan pada antigen.
Sel-sel T juga berkembang menjadi sel-sel effector dan
pengingat. Awal dari reaksi ini disebut respons primer.
Berikutnya terdapat periode laten kurang lebih tujuh hari
sebelum perkembangan lebih lanjut.
Sel T mempunyai beberapa sub-set. Ada beberapa
sub-set sel T yang penting yang berpengaruh pada sel-

REUMAII'I.OGI

sel T dan B terhadap antigen dan termasuk mengaktifkan

makrofag. Ini adalah sel-sel Z helper (penolong) yang

memproses antigen T4 pada permukaannya dan


membentuk T4H dan sel-sel T suppressor gutamemiliki
antigen T8 dan membentuk TSs. terdapat pula klas sel-sel
T sitotoksik yang juga T8 positif. Dan kebanyakan respons

antibodi pada attigen-antigen adalah sel T yang


dependen, dan fungsi utama sel-sel T helper untuk
menyediakan faktor yang diperlukan oleh sel B menjadi
dewasa dan mensintesis antibodi.
Sel-sel penolong juga diperlukan guna mempengaruhi
sel-sel T sitotoksik guna mengikat dan membunuh sel-sel
yang terinfeksi dengan virus dan menyerang sel-sel
tumor. Di samping itu sel-sel penolong mengaktifkan selsel supresor T dan sebaliknya menekan atau mengurangi
regulasi oleh sel-sel tersebut. Sel-sel T yang merespons
terhadap adanya antigen, akan mensekresi zat-zat yang
menyampaikan pesan yang ada dalam sel dan ini disebut
Limfokin yang berbeda dengan antibodi-antibodi yang
dihasilkan oleh sel-sel B yang telah diaktifkan.
Limfokin-limfokin yang penting termasuk interleukin
2 (IL-2), Gamma Interferon (IFN y), dan Macrophage
Inhibitor Factor (MIF). MIF merangsang makrofag untuk
melaksanakan fagositosis aktif dan sekaligus menghambat
migrasi dari sel-sel tersebut dari daerah di mana sel-sel Th
tertumpuk.

SELSEL

T SUPPRESSOR DAN PENOLONG

(HEtpEE

IL-2yangdisekresi oleh sel-sel Th adalah faktorpenumbuh


yang memacu proliferasi dari sel-sel T sehingga mereka
memproduksi clone-clone sel-sel antigen spesifik yang
akan menjadi sel-sel sitoksik, penolong (helper), ata:u
suppressor. Sel-sel T suppressor mengurangi pengaturan
respons dari lain-lain sel-sel T dan B.
Ada pula anggapan bahwa prostaglandin-prostaglandin diturunkan sebagai bagian dari proses inflamasi dari
fosfolipid-fosfolipid membran sel yang dapat mengurangi
regulasi sel-sel T suppressor. Selanjutnya priksa tentang
keluarga prostaglandin dan bagan tentang asam
arakidonat. Sel-sel B, mempunyai petanda permukaan pada
awal stadium akan menjadi dewasa. Langkah awal adalah

pengaturan kembali gen-gen dari imunoglobulin rantai


berat. Proses ini meliputi p ecahan"germline chromosome,,

dan penggabungan dari Yn, D, dan J* yang kemudian


menjadi bentuk VDJH. Terakhir, terminal deoksitransferase

(TdT) banyak terdapat dalam sel yang mengalami


pengafuran ulang, dan menambah bahan dasar ekstra pada
fragmen-fragmen sebelum diadakan rekombinasi. Hasilnya

akan terbentuk banyak macam gen imunoglobulin dari


macam-macam sel pelopor dari B.

Kemudian sel-sel yang berhasil membentuk protein


ikatan-berat yang ditampilkan di permukaan sel, akan juga
membentuk kompleks rantai-ringan. Kompleks ikatan berat

2413

INF1AMASI

yang lengkap pada sel B yang belum dewasa bersamaan


dengan pasangan protein transmembran yang disebut 196

Dengan adanya rangsangan awal, sel T menertma


bantuan dalam menetapkan tipe sel efektor apa dari sel
tersebut yang timbul. Pada tiap kasus, sel T menadi aktif

adalah molekul pembawa signal yang


diperlukan guna seleksi yang positif dari sel-sel B guna
dapat melewati titik-titik pemeriksaan.
Setelah diferensiasi sel B berlangsung, dan sel-sel
yang bertahan hidup dalam proses seleksi akan keluar
dari sumsum tulang sebagai sel yang terbentuk baru,

yang juga dikenal sebagai Pg39 atau CD40L. Ini adalah


lawan reseptor untuk CD40, suatu keluarga dari reseptor
TNFa superfamily, yar.g ada pada sel-sel B. Ikatan dari
CD40 memungkinkan isyarat sehingga sel B dilindungi dari
program kematian. Molekul baru CD80 dihasilkan dari ikatan

dan ikatan ringan pada sel-sel B dan molekul

dan IgA.

imunoglobulin

Ini

dan menampilkan molekul permukaan yang baru, CD154

kemudian sel B yang dewasa melakukan perjalanan ke

CDl54 pada CD40. CD80 merupakan lawan reseptor untuk

limpa, dan masuk ke daerah PALS (Perlarteriolar


lymphoid Sheath), di mana sel-sel B. Antigen yatg ada

CD28 pada sel T.

diangkut masuk dalam PALS, di mana telah ada kerja sama


antara sel T dan sel B.
Sel B yang ada di daerah perbatasan kemudian masuk
ke dalam pulpa merah lalu mengadakan diferensiasi menj adi
plasmablas, yang dengan cepat mempunyai respons awal
terhadap zatyatgpatogen. Disini terjadi kerja sama yang

unik antara sel-sel T, B dan folikular dendritik. Sel B


menyajikan pada sel T lewat MHC klas II yang ada pada
sel B.Sel-sel B yang diaktifkan dapat menampilkan CD80
atau CD86 (B7.1 atau B7.2). Sel B yang demikian kini dapat
menyampaikan dua isyarat kepada sel T yaitu satu ikatan

Ikatan CD40 pada sel B mempengaruhi peningkatan


lain molekul pada sel B yaitu ikatan CD95 (CD154, Fas
Ligand). Secara normal ikatan CD95 Ligand mempengaruhi
kematian sel. Namun sel-sel B yang telah menerima isyarat
Gambar

PUTELET/TROMBOSIT
Platelet surfa@ PhosrcliPids :
/lmpotunl rol6 in @agulation

Mitokondria
GP lib llla

Membrane plasma

Glycogen-GP lb:Platelet
glycoprotein Ib
Fungsi adhesi & agrB{

dari reseptor antigen sel T ke MHC klas Il-peptid kompleks


pada sel B, dan yang lain dengan mengikat CD28 pada sel

T oleh CD80 dan CD86 pada sel B. Aktivasi dua isyarat


demikian itu bermanfaat untuk meningkatkan kadr dari
sekresi IL-2 dan proliferasi dari sel T.

Setelah cukup stimulasi, sel - sel B membelah diri jadi


sel-sel plasma dan menghasilkan imunoglobulin yaitu IgG

dengan subklas

1,2,3,4; IgA

dengan dua subklas; IgM,

IgD, serta IgE. Pengatur molekul dari fungsi limfosit,


dilakukan oleh reseptor-reseptor permukaan sel dan
adanya interaksi antar sel.

Lysosomes

Dense granules :
I\.lg,Serotonin

ADP,ATRCa,

Alph

E thromboglobulin

. PDGF
-TGF- beh
-Chemotachc fadol
- Fibrinogen

-Albumin
- Thrombospdin,fibronectin

-ADP

- VEGF (vascular endotelin growth F)


- Serotonin

Gambar 9.

Respons lnflamasi

Faktor yang Diturunkan dari


Trombosit

. Thromboxane A2 (Cyclooxgenase . Vasokonstriksi' agregasi trombosit


de
leucocyte leukotriene Br
. 12
xyeicosatetraenoid . Vasokonstriksi, st
nase
nise dependent) synthesis, inhibisi
ac
monosit procoagulant
. 12
cosatetraenoic (emotaxis, stimul
acid (lypoxygenasedePendent)
. Ctycoiiotein adhesif :
' Adhesi sel
Thrombospodin
. Faktor-fakior penumbuh : PDGF, . Kemotaxis, fibrinogenesis, chondrogenesis,
angrogenesls
VEGF,TGF-P (cr-granules)
. Aggregasi trombosit, kemotaxis
. Platelelspesific protein : P.
.

Thrombo-modulin, PFq (ugranules)


Cationic protein : chemotactic
factor, permeability factor
granules)
Acid hydrolases

(o,-

(lysosomes) '

Kemotaxis, permeabilitas vaskuler, release


histamin
Memangsa Jaringan

acid hydrolases

2414

REI,JMIIiIOI.OGI

dari reseptor seperti lewat CD40 akan dilindungi, bila tidak


ia akan mati. Pada stadium akhir dalam aktivasi, ikatan

dengan CD28 akan mengirim pesan ke sel T guna


menampilkan CDl52 (CTLA-4). Pada permukaan sel B
dijumpai CD19 dan CD2l. Di samping itu terdapat pula
CD32 (Fc. Reseptor).

Sejumlah Ekosanoid suatu vasoaktif dan merupakan

hasil dari imunomodulator dari metabolisme asam


arakidonat yarrg termasuk pula turunan asal dari
siklooksigenase juga prostaglandin dan tromboksan A!,
yang merupakan vasokonstriktor yang poten dan
mempunyai andil pada hipertensi pulmonal dan nekrosis
rubuler akut pada syok.

RESPONS INFLAMASI PADA SYOK


Aktivasi dari jaringan sistem mediator inflamasi yang
sangat luas berperan dengan nyata dalam perkembangan
syok dan mempunyai saham dalam menghasilkan jejas dan
gangguan dari organ-organ.

Mediator-mediator humoral yang multipel diaktifkan


selama syok dan kerusakan jaringan. Kaskade komplemen,
diaktifkan melalui kedua jalur klasik dan alternatif,

menghasilkan anafilaktoksin C3a dan C5a. Fiksasi


komplemen secara langsung pada jaringan yang rusak
dapat berkembang guna menyerang secara rumit C5-C9,
selanjutnya mengakibatkan kerusakan sel. pengaktifan
kaskade koagulasi menyebabkan trombosis mikrovaskular,
dengan akibat selanjutnya teqadi lisis utama pada peristiwa
yang berulang dari iskemik dan reperfusi.

Komponen-komponen dari sistem koagulasi, seperti


trombin, merupakan mediator proinflamasi yang poten.
Yang mengakibatkan peningkatan dari molekul-molekul
adhesi pada sel-sel endotel dan mengaktifkan neutrofil,
utamanya pada kerusakan pada mikrovaskular. Koagulasi

yang mengaktifkan kaskade kalikrein-kininogen, yang


mempunyai andil pada kejadian hipotensi.

RINGKASAN

Inflantasi adalah respons protektif setempat yang


ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang
berfungsi menghancurkan, mengurangi atau mengurung
suatu agen pencedera maupun jaringan yang cedera ifu.
Pada bentuk akut ditandai adanya tanda klasik yaitu:
dolor, kalor, rubor, tumor dan fungsiolesa.
Dikenal adanya inflamasi akut, subakut dan kronis.
Inflamsi merupakan keadaan dinamik yang konstan yaitu
suatu reaksi dari jaringan hidup guna melawan berbagai
rangsangan. Dalam melawan inflamasi, dan tubuh memiliki
respons alami danpenyesuaian. Yang alami (tidak spesifik)

terdiri dari sel-sel: neutrofil, eosinofil, basofil, trombosit,


makrofog, monosit, sel mast dan sel NK, serta faktor-faktor
yang larut yang terdiri dari lisozim, sitokin, interferon,
komplemen, dan protein fase akut.
Sedang yang penyesuaian yang bersifat spesifik terdiri
dari sel B, sel T, antigen presenting cel/ (APC), sel-sel

dendrit dan sel Langerhans, serta faktor-faktor yang larut


seperti antibodi, imunoglobulin G (IgG) dengan subklasnya
Ig M, IgA, Ig E, Ig D dan limfokin.
Selain itu sel-sel yang ada memiliki pula reseptor di
permukaan sel. Dengan demikian memudahkan cara kerja
sel-se1 tersebut.

Mediator inflamasi terdiri dari: komplemen, vasoaktif


amin, nitric ox ide, histamin, serotonin, adenosin, sistem
pembekuan, bentuk Oryang diaktifkan, metabolisme asam
arakidonat, prostaglandin, tromboksan A,, dan leukotrien.

REFERENSI
Yang berkaitan
dengan pernapasan
meningkat

Austen KF Allergic, anaphylaxis, and systemic mastocytosis In:


Harrison's principles of internal medicine Mc Graw Hill. 16s
Ed. Vol. II 2005: 1947-56
Bullard CD.Ce11 adhesion molecules in the rheumatic diseases In
p.477 -8

Crow MK Structure and function of macrophages and other antigen-presenting cells In Arthritis and allud conditions Koopmen,
Moreland. A Textbook of rheumatology. Lippincott Williams

& Wilkins

15ft Ed Vo1. 11,2005: 305-26.

Carter RH Weaver CT.Structure and function of lymphocytes


POGF I Platelel Deive Oruwth
PF4 : Platel* Fador 1
LTBy' I Platelel Faclor 4

FMtor

Gambar 10. Partisipasi trombosit pada awal kejadian radang

in.p.3

7-5 0.

Gruber B.L Kaplan AP.Mast cells, eosinophilis,and rheumatic


diseases.in: ibid 375-409.
Gabay C.Cytokines and cytokine receptors In. ibid: 423.Weaver CT

2415

INFI.AMASI

Haynes BF, Fauci AS.Introduction


1

to the immune sistem In.p.

907-3 0

Maier RV Approach to the patient with shock inflammatory


responses.

In Harrison's principles of internal medicine. Mc

Graw-Hill l6h. Vol II 2005: 1601-2.


Morrow JD, Roberts II

LJ.

Lipid derived autacoids. eicosanoids and

piatelet-activating factor .In: Goodman & Gilman's. the


pharmacological basis of theurapeutics 10 th. edition;
2001.p.669-731
Philips MR Cronstein B.N.Structure and function of neutrophils.

in. p. 351-73
Pier GB.Molucular mechanisms of microbial pathogenesis. In:
Harrison's principles of internal medicine l6'h Edition. Mc
GrawHill;2005.p.700-6
Saleh MN Lobuglio AF.Platelets In: Rheumatic diseasesin

p. 4II-22.

380
APOPTOSIS
Linda Kurniaty Wijaya

Sejak pertengahan abad ke sembilan belas, banyak


penelitian yang menunjukkan kematian sel memegang
peranan proses fisiologis dari organisme multiselular,

sangat penting karena apabila terjadi defek apoptosis (baik

spontan ataupun karena mutasi) maka akan berdampak


pada sistem imun. Ditemukannya mutasi gen-gen yang
berkaitan dengan apoptosis pada hewan coba dengan
penyakit autoimun menjadi suatu hal yang menarik untuk

terutama selama embriogenesis dan metamorfosis. pada


tahrn 1972, Keri dkk mempublikasikan sebuah artikel
mengenai proses fisiologis dari kematian sel atau dikenal
dengan istilah apoptosis. Apoptosis berasal dari bahasa
Yunani yang berarti turun jatuh dianalogikan seperti daun
yang jatuh dari pohon atau daun bunga yang jatuh dari

dapat menerangkan kemungkinan peran kerusakan


apoptosis pada penyakit autoimun pada manusia.

Organisme multiselular hidup memerlukan


keseimbangat antara proses proliferasi sel dan kematian

bunga.

sel. Secara umum sel-sel mengalami kematian melalui salah

Apoptosis merupakan suatu mekanisme kematian sel


secara fisiologis. Apoptosis bertanggung jawab untuk
mengontrol jumlah sel dalam suatu jaringan dan
menyingkirkan sel-sel yang mengancam kehidupan suatu
organisme. Berbeda dengan nekrosis, yang merupakan
kematian sel akibat iskemia atau pengaruh bahan toksik,
apoptosis diawali oleh interaksi antara ligan dan reseptor
yang teregulasi dengan tepat dan dirangkai dengan proses
fagositosis dengan tujuan mengeliminasi sel yang rusak
atau sel normal yang tidak diperlukan lagi. Apoptosis telah

satu dari d:oa cara yang telah diketahui tergantung dari


konteks dan penyebab kematiannya. Macam-macam pola
kematian sel tersebut meliputi : nekrosis dan apoptosis.
Sel yang mati secara nekrosis biasanya akan membuat

respons inflamasi, dimana apoptosis akan cepat


dibersihkan tanpa menimbulkan respons inflamasi.
Peristiwa apoptosis dipicu oleh adanya kerusakan DNA

yang gagal diperbaiki, efek hormon glukokortikoid,


hipertermia, infeksi, penurunan secara mendadak beberapa

faktor pertumbuhan (withdrawal), dan mekanisme


remodeling pada proses tumbuh kembang yang bersifat

dikenal sebagai kematian sel yang terjadi pada pertengahan


kehidupan jaringan. Meskipun ada bentuk lain dari dari
kematian sel seperti nekrosis, apoptosis menjaga homeostasis pada differensiasi dan proliferasi vertebra. Oleh

karena

itu apoptosis juga disebut sebagai "program

kematian sel".
Sel yang mengalami apoptosis akan segera mengkerut,

Gambaran

Nekrosis

Apoptosis

Rangsangan

Toksin, hipoksia,
gangguan masif
Sel membengkak,
organel, tandatanda kematian

Kondisi fisiologis dan


patologis
Kondensasi kromatin,
bendabenda apoptotis,
kematian sel

Janngan
Fragmen tidak
beraturan
Lisis

Potongan fragmen '185


pasang basa
Utuh, menggelembung,

Makrofag imigran

perubahan molekular
Sel sekitar

Keradangan

Tidak ada keradangan

Histologi

membran sitoplasmanya menggelembung, kromatinnya

kerusakan

mengalami kondensasi dan terjadi fragmentasi DNA


kromosomal menjadi oligomer-oligomer yang terdiri dari
80 pasangan basa yang

padagel analysis tampak sebagai


"ladder" dari DNA. Selanjutnya sel tersebut terpecah
1

Pola kerusakan
DNA
Membran
plasma
Fagositosis
dari sel
Reaksi jaringan

pecah menjadi benda-benda Apoptotis yang segera


difagositosis oleh sel-sel disekitamya atau oleh makrofag.
Proses apoptosis berlaku pada hampir semua jenis sel,
termasuk juga pada pada sistem imun. Fungsi apoptosis

416

2417

AFOI,TOSIIs

kematian sel atau melalui stress selluler yang di triger oleh


onkogen, iradiasi atau obatan. Signal dikeluarkan melalui

reseptor kematian yang

mengaktifas

Death

Inducing Signaling Complex (DISC) yang memediasikan


aktifisi initiator caspase-S. Aktivasi caspase-8 memulai
kaskade caspase melalui proses efektor caspase-3,-6,

dan-7 yang kemudian memotong protein substrat.


Pemotongan dari substrat caspase ini memulai karakteristik

Gambar 1. Proses kematian sel secara apoptosis dan nekrosis.

fisiologis. Sinyal-sinyal yang berasal dari lingkungan


sekitar sel (interselular) dan sinyal-sinyal internal secara
normal menjaga agar mekanisme apoptosis tidak bekerja.
Pada keadaan dimana sel sel telah kehilangan kontak
dengan sekitarnya atau adanya gangguan interrral yang
tidak dapat diatasi, maka sel terpicu untuk apoptosis.
Reseptor kematian (death receptor), yakni reseptor
permukaan sel yang dapat meneruskan sinyal awal apoptosis
melalui ikatan dengan ligannyayang spesifft (death ligand),
mempunyai peran penting dalam apoptosis aktif. Reseptor

mofologi dan gambaran biokimia apoptosis. Pada beberapa


sistem sel, kaskade caspase ini cukup untuk suatu kejadian
apoptosis(signaling tipe 1), di mana pada beberapa kasus
signal yang dapatang dari DISC harus diperkuat dengan
aktifasi proteolitik BH-3-onlyprotein Bid melalui caspase8 yang selanjutnya terjadi induksi kejadian apoptosis di
mitokondria (signaling tipe 2). Signaling apoptosis
mitokondria termasuk pelepasan sitokrom c dari ruang
intermenbran mitokondria ke sitosol dimana berkontribusi
pembentukan apoptosome yang mengandung sitokrom c,
Apaf-1 dan dAIP. Apoptosome akan mengaktifasi caspase

9 yang merupakan inisiator

caspase lainnya yang

selanjutnya akan memper antar ai kaskade caspase melalui

aktivasi caspase-3. Faktor proapoptotoc mitokondria


lainnya adalah Smac yang bekerja sebagai penghambat
IAPs dari bloking aktivitas caspase. IAPs adalah keluarga
protein dengan aktivitas sebagai antiapoptosis dengan
menghambat caspase secara langsung. Ekspresi IAP dapat

tersebut dapat mengaktifasi caspase dalam beberapa detik

ditingkatkan dalam responsnya terhadap signal

melalui ikatan dengan ligannya, menyebabkan apoptosis


sel dalam waktu beberapa jam kemudian.

pertahanan seperti yang datatg dati receptor growth


factor seperti aktivasi dari transcription factor NF-AB,
yang berarti menekan signal apoptosis. Yang penting juga
adalah antiapoptosis keluarga Bcl-2 seperti Bcl-2 dan
Bcl-XL yang bekerja meniadakan aksi BH-3 only ptotein
seperti Bid juga proApoptotis Bax dan Bak dan selanjutnya
dapat menghambat kejadian proapoptosis mitokondria.
Signal apoptosis yang datang dari dalam sel biasanya
berasal dari nukleus, sebagai akibat dari kerusakan DNA
yang diinduksi irradiasi, obatan atau stress lainnya.
Kerusakan DNA pada kebanyakan kasus diakibatkan oleh
aktifasi dari faktor transkripso p53 yang mempromosikan
ekspressi dari anggota proapoptosis Bcl-2 dan supresi

Yang tergolong dalam reseptor kematian adalah adalah


CD 95 (uga disebut Fas atau APO I) dan TNFRI disebut
juga p55 atau CD 120a). Yang lainnya adalah avian CARI,

death receptor 3 (DR3), DR4 dan DR5. Ligan yang


mengaktifkan reseptor tersebut adalah ligan CD95 (CD95L)
yang berikatan dengan CD95, TNF dan limfotoksin alfa
yang berikatan dengan TNFRI, liganApo3 (Apo3L) yang

berikatan dengan DR3 dan ligan Apo2 (Apo2L) yang


berikatan dengan DR4 dan DR5. Ligan untuk CARI belum

diketahui.
Bc1-2 dan protein-protein sitoplasma lain (yang masih

dalam kelompok bcl-2) merupakan regulator utama


anti-apoptosis. Sampai saat ini terdapat paling sedikit l5
proteinkelompokbcl-2 yang telah diketahui pada mamalia.

Sebagian besar protein-protein tersebut berfungsi


meningkatkan harapan hidup sel (pro-kehidupan atau
anti-apoptosis) dengan menghambat protein adaptor
(protein seperti CED-4) untukmengaktivasi caspase. Yang
termasuk dalam kelompok anti-apoptosis antaralainbcl-2,
bcl-xl, bcl-w, mcl-1. Sebagian yang lain justru berfungsi
mencetuskan apoptosis (pro-apoptosis) melalui mekanisme

yang tidak tergantung caspase (caspase-indipendent


ath).Yang termasuk kelompok pro-apoptosis antara lain
bax, bak,bok,bik,blk.
Apoptosis dapat diinduksi melalui beberapa signal dari
dalam dan luar sel, seperti ligasi disebut dengan reseptor
de

Itr
w*tsird*q

*Mr@il{@s

{rl@s s

Gambar 2. Skema yang mempresentasikan jalur signal apoptosis

2418

RET.JMANOI.OGI

antiapoptosis Bcl-2 dan Bcl-XL. Organela lain selain

mitokondria dan nukleus seperti ER dan lisosom juga


terlibat pada jalur signal apoptosis, dan juga agaknya
terdapat ratusan protein laimya mempunyai peranan dalam

Lapisan intima sinovium normal terdiri dari I sampai 3


lapisan tanpa membran dasar dan mengandung terutama

makrofag dan sel Fibroblast like sinoviosll (FLS).


Gambaran mikroskopik sinovium reumatoid ditandai

network faktor pro-dan antiapoptosis.

dengan hiperplasia lapisan sinovium dan di bawah lapisan


tersebut terkandung akumulasi sel ! sel plasma, makrofag
dan sel lainnya. Makrofag terutama terdapat pada lapisan

FUNGSIAPOPTOSIS DALAM SISTEM IMUN

intima yang diperkirakan berasal dari monosit sumsum


tulang yang berdifferensiasi setelah migrasi ke lapisan

Apoptosis diketahui sangat berperan dalam sistem imun


yaitu : pertama, apoptosis merupakan suatu mekanisme
yang bertanggung jawab untuk menyingkirkan atau

jaringan sebagai respons dari faktorkemotaktik. FLS yang


terdapat khusus pada sinovium berasal dari fibroblast. FLS
yang dikultur seperti juga FLS in situ, mengekspresikan

memusnahkan sel-sel timosit maupun sel

beberapa onkogen termasuk c-myc onkogen yang


merupakan karakteristik sel yang dapat tumbuh secara
abnormal.Protoonkogen adalah protein penyandi yang
terlibat pada pertumbuhan dan differensiasi sel. Famili
C-myc penyandi DNA- mengikat nuklear phosphoprotein,
berfungsi pada faktor transkripsi dan merupakan sinyal
yang penting untuk memulai proliferasi sel. Induksi

B yang

mengekspresikan reseptor yang tidak berfungsi sempuma.


Termasuk di antaranya adalah sel timosit yang tidakmampu
mengatur kemb ali (r e a rr a n g e) res eptor sel T- ny a atat gagal
untuk melalui seleksi positif dan negatif, sel B yang tidak
mampu mengatur kembali gen-gen imunoglobulin secara
normal. Jadi apoptosis mempunyai peran penting didalam
mengatur jumlah cadangan sel T dan B. Pada individu muda
hanya sekitar 2o/o dari sel induk T dan sel jnduk B yang

c-myc yaitu pada transisi dari fase G0 ke Gl siklus sel. Pada

AR, 30% jaringan sinovial fibroblast positif protein Myc.

berkembang secara normal, lainnya sebesar 98%


dimusnahkan melalui mekanisme apoptosis selama masa
perkembangannya.
Kedua, apoptosis berperan dalam memusnahkan sel-sel
imun setelah mereka teraktivasi dan berproliferasi dalam
respons imun normal melalui proses yang disebut dengan
kematian sel yang diinduksi aktivasi (activation-induced cell
death I AICD). Proses secara efisien menyingkirkan sel-sel
keradangan yang memproduksi sitokin proinflamasi dan
nampaknya sangat diperlukan dalam pengaturan respons
imun. Jadi adanyakecacatan padaAICD, walaupun kecil,
dapat berkontribusi untuk timbulnya penyakit autoimun.

Ketiga, apoptosis juga berperan penting dalam


memusnahkan sel-sel imun yang cacat atau yang sudah

tidak diperlukan lagi. Delesi sel-sel T tersebut penting


untuk menghindari penumpukan dari sel yang tidak
berguna.Kerusakan dari proses apoptosis dalam hal ini
akan menghasilkan penumpukan sel T dan sel B yang
sudah tidak diperlukan lagi sehingga dapat berkontribusi

untuk terjadinya penyakit autoimun dengan usia onset


yang lebih tua dan terbentuknya autoantibody yang
berlebihan.

APOPTOSIS PADA ARTRITIS REUMATOID

Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi kronis pada


jaringan sinovium sendi, yang berhubungan dengan
morbiditas jangka panjang dan morlalitas dini, walaupun
patogenesisnya sudah banyak diketahui. Mekanisme imun
memegang peranan penting dalam patogenesis AR
Bila dibandingkan potongan jaringan sinovial pasien
osteoartritis (OA) dengan RA, maka pada sinovium RA akan
didapat jumlah fibroblast yang lebih banyak daripada OA.

DISKREPANSI ANTARA FRAGMENTASI DNA DAN


APOPTOSIS PADA SINOVIUM REUMATOID
Pada apoptosis, terjadi fragmentasi DNA nukleus menjadi
200 pasang nukleosom, yang pada elektroforesis agarose
gel tampak sebagai DNA anaktatgga. Fragmen DNA juga
bisa dideteksi in situ detgantekhnikujung DNAyang dilabel

sehingga terlihat DNA yang bergelantungan atalu tumpul.


Fragmentasi DNA menjadi unit-unit nukleosom disebabkan
oleh er:zim c a sp a s e a c t iv a t e d D n a s e (C AD).Enzim ini tidak

aktif apabila berikatan dengan ICAD (inhibitor of CAD atau


DNA fragmentation factor 45). Selama apoptosis ICAD
dipecah oleh caspase 3 sehingga CAD terlepas dan DNA
inti mengalami pemecahan yang cepat.

Pada penelitian yang menggunakan tekhnik ini,


didapatkan gambaran karakteristik anak tangga DNA pada

kultur FLS dan dalam jaringan sinovium AR dan rantai


DNA yang terbelah terutama terdeteksi pada lapisan
intima. Hal ini diduga bahwa apotosis terjadi pada jaringan
sinovium yang inflamasi. Didapatkan pula kerusakan selsel dilapisan intima pada jaringan sinovium yang inflamasi,
tetapi bukan pada tempat agregasi limfosit yang terutama
terdiri dari CD4-CD45RO* sel T dan sel B karena sel ini

mengekspresikan gene bcl-2 yang resisten apoptosis.


Penelitian kedua dilakukan pada jaringan sinovium

reumatoid dengan menggunakan tekhnik electron


microscopic analysis and DNA nick-end labelling
(TLINEL). Tekhnik ini lebih spesifik untuk apoptosis
dibandingkan dengan metode yang digunakan pada
penelitian sebelumnya. Dari penelitian ini didapatkan
adanya ketidaksesuaiat antara fragmentasi DNA dan
apoptosis. Ujung DNA yang dilabel memperlihatkan sel

2419

AFOPTOSIS

positif terutama dilapisan bawah sinovium tetapi hanya


sedikit sel positif yang ditemukan dilapisan atas jaringan
sinovium dan pemeriksaan mikroskop elektron hanya
menemukan sedikit sel apoptosis pada jaringan sinovial
reumatoid. Hal ini diperkuat dengan penelitian lain yang

antigen self tetap bertahan hidup dan persisten. Walaupun


belum banyak dilaporkan adanya mutasi pada gen Fas atau
FasL, tetapi ditemukan peningkatan molekul Fas yang larut
(sFas).Diduga molekul tersebut mampu mengikat ligan Fas

mendapatkan jumlah sel apoptosis p ada jaringan sinovium

merupakan akibat lepasnya Fas dari permukaan membran.


Pada orang normal, didapatkan kadar sFas dalam serum
atau cairan sinovial kurang lebih 0,510 nglml. Pada pasien
AR didapatkan peningkatan dua sampai lima kali.
Beberapa mediator apoptosis lain juga terlibat pada
AR. Granzyme dan perforin terdapat pada jaringan sinovial
AR, terutama granzime B. Granzyme B dapat menginduksi

reumatoid sangat sedikit meskipun didapatkan fragmen

DNA

sel pada lapisan tersebut. Fibroblast yang mengalami

apoptosis pada jaringan sinovium reumatoid hanya 3o/o


dari jumlah fibroblast lapisan bawah dan FLS lapisan
intima tidak menunjukkan adanya apoptosis sama sekali.
Diskrepansi antara fragmentasi DNA dan apoptosis ini
dimungkinkan oleh
. Fragmentasi DNA terjadi sebagai akibat produksi
nitric oxide (NO) lokal dan oksigen radikal.
. Rendahnyajumlah sel apoptosis padajaringan sinovial
reumatoid disebabkan karena cepatnya sel apoptosis
disingkirkan oleh makrofag.
Ketidaksesuaian ini memberi kesan adanya gangguan
dalam proses apoptosis di AR.

MEKANISME APOPTOSIS PADA SINOVIUM


REUMATOID

sehingga dapat menghambat apoptosis.Molekul sFas

apoptosis dengan cara memicu kaskade intraselluler


apoptosis yang diinduksi oleh Fas. TNFo, adalah sitokin
proinflamasi yang banyak terdapat dalam jaringan sinovial

Pro-apoptotis
Faktor transkripsi

c-myc
c-fos

Agen-agen genotoksik

Nitric oxide
Oxygen radicals

lnteraksi reseptor-ligand
Efek molekul
Anti-apoptotis
Gene suppresor

TNFo
Granzyme B

bcl2
Ras

Apoptosis dapat dicetuskan oleh beberapa mekanisme,


khususnya melalui interaksi attara molekul Fas dan
ligannya (FasL), juga oleh pelepasan granzime B dan
perforin ata:.i_ tumor necrosis factor a (TNFo)

lnhibitors interaksi reseptor-ligand Soluble Fas


* mutasi p53 menyebabkan terganggunya apoptosis

reumatoid. Peran TNFcr pada apoptosis sulit untuk


dijelaskan karena efek sitotoksiknya dapat diimbangi oleh

aktifasi Nuklear factor-,B (NFCB), yang menekan


KETERLIBATAN FAS DAN LIGAN FAS PADA

apoptosis. NFCB adalah faktor transkripsi yang menginduksi

ARTRITIS REUMATOID

rantai imunoglobulin 6, sitokin seperti interleukin (IL)l,


LL2,IL6,IL8, TNF-cr dan interferone, dan sel adhesi protein.

Dari penelitian tikus percobaan didapatkan keterlibatan

TNFcr tidak selalu menyebabkan apoptosis, dia


menginduksi aktifasi NF6B, dan NF6B menginhibisi

Fas- mediated apoptosis pada simptom yang menyerupai


penyakit autoimun. Fas adalah merupakan suatu protein
pada permukaan sel yang mempunyai peran utama dalam
mencetuskan apoptosis pada sel limfoid. Kerusakan pada
Fas-mediated apoptosis selama perkembangan limfosit
merupakan penyebab utama penyakit autoimun termasuk

arhitis.
Fas diekspresikan oleh FLS dan limfosit pada sinovium
reumatoid, dan terdapat defisiensi relatif fungsional FasL

di sendi RA. Rendahnya ekspresi FasL belum jelas tetapi


kemungkinan FasL di metabolisme oleh metalloproteinase,

yang banyak terdapat di jaringan sinovial reumatoid.


Pen'ingkatan kadar soluble Fas pada cairan sinovial
reumatoid dapat memblok interaksi Fas-FasL sehingga
mengganggu apoptosis. Kelainan pada Fas dan FasL
mengakibatkan ketidakmampuan untuk mengeliminasi

CD4t melalui Activated-induced cell death / AICD


sehingga terjadi kegagalan apoptosis. Kegagalan
apoptosis ini menyebabkan sel T helper yang mengenali

apoptosis. Beberapa sitokin lainnya dapat memodiflrkasi


kerentanan target sel terhadap apoptosis. Beberapa keluarga
sitokin menggunakan interleukin-2 reseptor (L-2R)g,seperti
IL-2,IL-4,IL-7,IL-l3,IL- 1 5 dapat menghambat apoptosis
dengan cara meningkatkan regulasi gene yang mengkode
protein yang meregulasi anti apoptotis, namun hanya IL- I 5
sel
yang bersifat inhibitor apoptosis yang kuat untuk sel

B, "natural killer sel", dan neufrofil. Ekspresi IL-l 5 meningkat


secara signifikan pada sinovium reumatoid dibandingkan
padajaringan sinovial pasien dengan osteoartritis atau artitis

reaktiflainnya.

MUTASI TUMOR SUPRESOR GENE P53 DI FLS


REUMATOID

Apoptosis pada penyakit arthritis, diregulasi oleh


beberapa proto-onkogenes dan gene onkosuppresor

2420

RET.JMANOI.OGI

seperti bcl-2 dan ras, yang bersifat menghambat apoptosis,

sedangkan dan c-myc, c-fos, dan p53 mempermudah


apoptosis.
Gen yang meregulasi apoptosis, pada AR, adalah
tumor supresor gene p53. Protein p53 adalah fosfoprotein

inti (nuclear phosphoprotein) yang penting untuk

integritas DNA dan kendali pembelahan sel. protein ini


terikat pada rantai DNA yang spesifik dan meregulasi
ekspresi berbagai gen pengatur perhrmbuhan. Kehilangan
atau tidak aktifnya p53 diketahui memegang peran pada

perkembangan penyakit neoplasma. Gen p53 bukan


merupakan suatu onkogen, p53 berada di bawah kontrol
transkripsi onkogen c-myc. Bila terjadi kerusakan DNA
sel, maka p53 akan menahan pertumbuhan sel sampai

DNA

mengalami perbaikan, tetapi bila kerusakan DNA sel sangat


berat maka p53 dapat menginduksi apoptosis.

Dengan tekhnik pemeriksaan western blot dan


immunopresipitasi gen p53 lebih banyak didapatkan di
jaringan sinovial AR dibandingkan pada arlhritis lainnya.
Over ekspresi gen p53 juga didapatkan pada kultur FLS
j aringan sinovium AR terutama dilapisan intimanya.
Over ekspresi gen p53 ini berhubungan dengan mutasi
dan fungsi protein abnormal, namun seberapa jauh hal ini
berperan dalam transformasi fenotipe dan mengganggu
apoptosis FLS yang dapat menerangkan mengapa terjadi
ketidakmampuan untuk menghilangkan sel sinovial yang
rusak sedang dalam penelitian. Mutasi p53 dapat dilihat
pada cDNA dengan menggunakan teknik P.NAmismatch
detection assay. Pada pasien AR mutasi p53 mismatch
dapat terlihat dikultur FLS, tetapi tidak terdapat pada kulit
atau darah perifer. Sedang pada pasien osteoarlritis p53
mismatches tidak terlihat pada jaringan sinovial maupun
kulit. Mutasi p53 bukan merupakan penyebab primerAR,
tetapi terjadi sebagai akibat proses inflamasi yang
lama.Sampai saat

ini belum

ada penelitian yang

menerangkan apakah mutasi p53 juga ditemukan pada fase


awal penyakit. Lebih dari 80% mutasi yang diidentifikasi
pada sinovium dan kultur FLS adalah mutasi guanine/ad-

enosine (GiA) dan thymidine/cytosine (T/C), yang

REGULASI APOPTOSIS PADA FLS


FLS mengekspresikan Fas fi.rngsional yang mempunyai
kemampuan untuk menginduksi apoptosis, ini merupakan
contoh apoptosis yang diinduksi melalui mekanisme p53
independent. Ligasi Fas dan FasL menginduksi apoptosis
melalui mekanisme pengaktifan JNK (c-Jun NHr-terminal

protein kinase) untuk membentuk faktor transkripsi


Activated Protein -l (AP-l).
Apoptosis di FLS reumatoid juga diatur oleh
bermacam-macam sitokin. TNFa, yang mencegah
apoptosis di makrofag, ternyata dapat menginduksi
apoptosis di FLS. Transforming growthfactorBl (TGFB1)
menurunkan ekspresi Fas, meningkatkan ekspresi bcl-2 dan
menghambat apoptosis FLS reumatoid.

INHIBISI APOPTOSIS SEL

T PADA JARINGAN

SINOVIAL REUMATOID
Selain efek anti Apoptotis dan sitokin-sitokin yang spesifik
dan gen-gen anti apoptotis, beberapa mekanisme lain juga

berperan dalam penurunan program kematian sel T pada


jaringan sinovial reumatoid. Populasi sel T pada sinovium
reumatoid dapat dibedakan berdasarkan sensitifitas mereka
unfuk menginduksi apoptosis yang melalui Fas yaitu sel
T yang sensitive Fas dan sel T yang resisten Fas.

Selain Fas dan TNF-R, anggota superfamili TNF-R


lainnyajuga berperan pada proses apoptosis di sinovium
reumatoid. seperti CD27, yang diekspresikan oleh sel T
dan sel B, yang bila berinteraksi dengan ligannya, yaitu

CD70 dapat menginduksi apoptosis. Peningkatan


CD27*selT pada sendi reumatoid, mungkin berperan dalam
gangguan apoptosis di jaringan sinovial reumatoid.

Agaknya beberapa faktor yang terlibat dalam


gangguan apoptosis sel T juga berperan dalam
menghambat apoptosis sel B dan sel plasma, termasuk
sitokin-sitokin yang menggunakan IL-2R dan beberapa
anggota TNF-R superfamily.

merupakan karakteristik dari deaminasi oksidatif NO atau

radikal bebas. Hal ini menyokong pendapat bahwa


genotoksik oleh lingkungan lokal pada inflamasi kronis
jaringan sinovial dapat menyebabkan mutasi gene p53

APOPTOSIS PADA SLE

pada pasien AR.


Peranan p53 pada sinoviosit sudah diteliti melalui
transducing FLS dengan gene human papilloma virus E6

Salah satu mekanisme penyakit pada SLE adalah


terdapatnya gangguan apoptosis yatg dapat

sehingga mengekspresi p53 yang wild-type. Dengan


adanya E6, FLS akan tumbuh cepat, timbul gangguan
apoptosis, dan E6 FLS akan lebih invasifkedalam ekstrak
kartilago.Dari penelitian ini disimpulkan bahwa fungsi p53

yang abnormal merupakan salah satu penyebab


terjadinya progresi pannus dan kerusakan sendi pada
pasien AR.

Waktu paruh wild- tipe p53 sangat pendek, dan


biasanya tidak terdeteksi pada jaringan norrnal.

menyebabkan limphosit pathogenik akan berumur tebih


panjang. Hipotesis ini didukung oleh penelitian pada model
murine lupus, yaitu terdapatnya kecacatan pada fas yang
akan memediasi apoptosis pada tikus MRL/lpr sehingga

mengakibatkan proliferasi limfoid dan perkembangan


penyakit seperti lupus yang berat dengan imunog
lomerulonefritis. Gld/gld tikus, yang ditandai dengan mutasi
dari gene FasL mengakibatkan molekul FasL tidak berfungsi,
juga membuat proliferasi limfoid, hipergammaglobulinemia
dan deposit imunoglobulin pada ginjal.

2421

AFOPTOSIS

Tetapi ada beberapa problem pada penelitian ini.


Pertama, proliferasi limfoid yang masif yang diakibatkan
oleh kecacatan apoptosis yang terlihat pada MRL/lpr dan
Gld/gld tikus tidak karakteristik untuk SLE pada manusia,
y ang ter:rry atajustru didapati limphopenia. Kedua, ekspresi
kedua Fas dan FasL normal pada pasien SLE. Terakhir

abnormal kalsifikasi pada artikular kartilago dan tulang


subkondral. Apakah kalsifikasi ini berhubungan langsung
dengan remodelling dari calsifikasi cartilago yang terdapat
pada OA masih belum dipastikan.

apoptosis pada limfosit peripheral pasien SLE

REFERENSI

menunj ukkan peningkatan dibandingkan dengan kontrol.


Peningkatan jumlah apoptosis pada SLE secara teori

Andreoli TE. The Apoptotis syndrome. Am J med 1999;107:488.

akan dapat meningkatkan kebocoran antigen intrasellular


yang akan dapat menjadi trigger respons autoimun atau
berpartisipasi untuk formasi kompleks imun. Pada keadaan
normal sel Apoptotis akan dimakan oleh makrofagh pada
fase awal dari kematian sel Apoptotis tanpa menyebabkan
inflamasi atau respons imun. Tetapi pada studi terbaru

Aggarval BB Tumor necrosis factors receptor associated signaling


molecules and their role in activation of apoptosis, JNK and
NF-OB Ann Rheum Dis 2000;59 (suppl I) : i6-i16.
Collantes E, Blazques MV, Mazorra V, Macho A, Aranda E, Munoz
E. Nuklear factor -6E} activity in T cells from patients with

menunjukkan bahwa pembersihan sel Apoptotis oleh

Elkon KB. Apoptosis. In Wallace DJ, Hahn BH. Dubois'Lupus Erythematosus. Lippincott Williams&Wilkins. 6'h ed. 2002; 145-56.
Gewies A. Aporeview introduction to Apoptosis 2003. Available

makrofagh terganggu. Ini tidak hanya terdapat pada monosit


dan makrofagh yang terdapat pada darah perifer akan tetapi
juga terdapat pada germinal centres lymph nodes
Alasan kenapa teqadi gangguan pembersihan pada sel
Apoptotis pada SLE memang masih belum jelas. Hal tersebut
dapat saja terjadi karena defek kuantitatifataupun kualitatif
dari protein komplemen seperti C2, C4 atau C 1 q. Reseptor
Clq pada permukaan memiliki mekanisme yang penting
untuk pembersihan sel Apoptotis. Pasien atau tikus dengan
defisiensi Clq homozigot akan berkembang autoantibodi

ketidakmampuanuntuk
membersihkan sel Apoptotis secara efektif, yang akhirnya
akan meningkatkan paparan antigen pada sistem imun. Tikus
yang dihilangkan Clq memperlihatkan glomerulonefritis
dengan deposit imun kompleks dan sel Apoptotis pada
dan lupus like syndrome akibat dari

glomerulus.

Anti Clq antibodi bisa ditemukan

pada jumlah yang

banyak pada pasien SLE terutama mereka yang dengan


penyakit ginjal. Hal ini dapat berakibat dehsiensi fungsional
dari protein receptor. Sepertinya anti-C lq antibodi terutama
terdapat abnormal pada kebanyakan pasien SLE, mereka

juga berperan pada mekanisme dari persisten dan


kekambuhan penyakit.
Meskipun ekspresi bc12 meningkat pada sebagian T
sel lupus, hampir keseluruhan apoptosis limfosit meningkat
pada SLE. Bersama dengan gangguan pembersihan sel
Apoptotis yang terlihat pada pasien SLE, hal ini dapat

menjadi predisposisi untuk berkembangnya antibodi


terhadap nucleosom yang mengandung material seperti
histone dan dsDNA.

APOPTOSIS PADAOA
Apoptosis juga ditemukan pada osteofit cartilago pada
OA. Ditemukan peningkatan jumlah kondrosit yang
apoptotis. Apoptotis kondrosit yang dilihatkan melalui
teknik imunohistokimia berhubungan dengan perubahan
degeneratif pada kartilago dan didapati gambaran

rheumatic diseases : A preliminary reporl. Ann Rheum Dis 1998;

57 :738-41.

from http ://www.celldeath. delencyclo/aporev/apointro


Ghufron B, Handono K, Kalim H. Apoptosis dan Autoimunitas.
Dalam: Kalim H, Handono K, Arsana P.M. Basic Immuno
Rheumatology. Malang 2001 : 133-65.
Green DR. Apoptosis and the immune system.Dalam : Samters
immunologic diseases. Lippincott Wiliams&Wilkirc. 200I, 127 36.

Grodzicky T, Elkon KB. Apoptosis in Reumatoid Disease Am


Med. 2000; 108: 73-82

Handono K. Apoptosis danAutoimunitas. Dalam : Setiyohadi B, Kasjmir


Y Naskah Lengkap Temu Ilmiah Reumatologi 2001 : 1-5.

Hough AJ. Pathology of osteoarthritis, In Koopman WJ, Moreland


LW. Arthritis and Allied Condition 15s ed ;2005 :2169-9'7
Kawakami A, Eguchi K, Matsuoka N, Tsuboi M, Kawabe ! Aoyagi
T, et al. Inhibition of fas antigen-mediated apoptosis of rheumatoid synovial cells in vitro by transforming growth factor
61. Arthritis Rheum. 1996; 39 ; 1267-76
M. Sugiyama, T Tsukazaki, A Yonekura, S Matsuzaki, S Yamashita
dan K Iwasaki. Localisation of apoptosis related proteins in the
synovium of patients with rheumatoid arthritis.
[cited2001December7]. Available from http: www.ard.bmj
j ournals.com/c gilcontent/abstract/
Michael W, Alisa EK. Cell cycle implication in the pathogenesis of
rheumatoid arthritis, I cited2002apri15 ] . Available from http:/
/www. nums.nourthwestern. edu/-i gp/fasindex/perlmanH.html
Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of Systemic lupus erythematosus.
Journal of Clinical Pathology, 2003;56:481-90
Mountz JD, Zhou T, Apoptosis and Autoimmunity. In Koopman

WJ, Moreland LW. Arthritis and Allied Condition. Lippincott

Williams&Wilkins 15'h ed. 2005; 573-92.


Nishioka K, Hasunuma T, Kato T, Sumida T, Kobata T. Apoptosis in
Rheumatoid Artritis. Arthritis Rheum, 1998: 4l : 1'9
Paul P.Tak, Gary S, Firestein. Apoptosis in Rheumatoid Arthritis. In

: J.D. Winkler. Apoptosis and inflammation, Germany ;


Birkhauser, 1999: 149-62.
Paul PT, Klapwijk MS, Sophie FM, Deliana A, Marieke O and Gary
SF. Primary research. Apoptosis and p53 expressions in rat
adjuvant arthritis. Arhritis Res 2000, 2 :229'35
Paul PT, Barry B. The pathogenesis and prevention ofjoint damage

in Rheumatoid Arthritis. Arthritis Rheum, 2000; 43,2619-33.

381
PERAN PROTEASE, DERIVAT ASAM
AIUIKIDONAT DAN OKSIDA NITRIT PADA
PATOGENESIS PENYAKIT REUMATIK
B.P. Putra Suryana

Inflamasi dan degradasi kartilago adalah peristiwa utama


dalam patogenesis sebagian besar penyakit reumatik.
Penelitian yang intens menunjukkan kompleksitas proses
tersebut pada berbagai penyakit reumatik, melibatkan
berbagai macam sitokin, etzim, dan berbagai senyawa
lainnya, yang saling mempengaruhi. Metabolisme asam

Protease dan Degradasi Kartilago


Protease berperan pada degradasi kartilago dan
pemecahan molekul matriks. Pada artritis degeneratif dan
inflamasi, degradasi proteoglikan dan kolagen pada
kartilago artikuler disebabkan oleh adanya neulral serine

protease darr metalloproteinase yang berlebih

arakidonat dan berbagai enzimnya mempunyai peran utama


pada proses inflamasi. Ketidakseimbangan protease dan

inhibitornya dapat mengakibatkan degradasi matriks


kartilago secara berlebihan. Oksida nitrit (ON) juga
mempunyai pengaruh yang luas pada proses inflamasi dan
kerusakan jaringan. Tulisan ini membahas protease dan

inhibitornya, derivat asam arakidonat dan ON pada


penyakit reumatik.

(Poole,1995). Serine protease mengaktifkan matrix


metal loprot einas e, juga menghancurkan fibronektin dan
molekul matriks lainnya. Neutrofil, sel radang utama pada
inflamasi sendi dan efusi sendi, merupakan sumberutama
s e r i n e p r o t e as e (B an et,7 97 8 ; McDonald,l 9 80). Cy s t e in e

proteinase cathepsin K disintesis oleh osteoklast dan


berperan pada resorpsi tulang, ekspresinya juga meningkat
oleh kondrosit pasien OA. Tapi tidak terdapat bukti bahwa

cathepsin

K berperan pada patologi

OA(387)

(Konttinen,2002). Hanya MMP yahg terbukti berperan


langsung pada pemecahan molekul pada matriks

PROTEASE

ekstraselular kartilago (3 8 8,3 89)(Lark,1997).

Pada artritis reumatoid (AR), kerusakan permukaan


artikuler adalah akibat dari kombinasi efek radikal bebas

Degradasi molekul matriks merupakan b agiat dari proses


remodelling dalam pertumbuhan, perkembangan dan
turnover matriks pada orang dewasa. Proses tersebut tidak
selalu menunjukkan keadaan patologis. Proses tersebut

polimorfonuklear. Radikal bebas yang dilepaskan oleh

diatur secara seksama oleh berbagai sitokin, faktor


pertumbuhan dan hormon yang mengatur sintesis

sel-sel tersebut dapat mengaktifkan kolagenase laten (486)


(Burkhardt,l 986). Kerusakan kolagen tipe II pada matriks

protease (proteinase) dan inhibitornya. Proteolisis yang


berlebihan dapat terj adi sebagai akibat ketidakseimbangan

di zona yang dalam dekat tulang subkondral juga terjadi


seperti daerah dekat pannus. Proses tersebut terjadi
berkaitan dengan ekspresi sitokin proinflamasi (IL-1,
TNF-o) oleh sel-sel sekitarnya (487) (Lethwaite,l995).

dan proteinase yang dilepaskan oleh leukosit

antara proteinase dan inhibitornya. Keadaan tersebut


dapat diregulasi secara fisiologis seperti pada growth
plate, atau dapat menjadi patologis seperti pada artritis
@oo1e,2005). Protease dikelompokkan menjadi 4 kelas yaitu

Kerusakan kartilago yang terjadi

metallo proteinase, serine proteinase, cysleine


proteinase, dan aspartate proteinas

di sekitar

sel

Qtericellular pattern) pada daerah dekat pannus maupun


dekat tulang menunjukkan degradasi oleh MMP yang
dihasilkan oleh kondrosit aktifdan sel-sel sinovial. Sitokin

(Poole,2005) (Tabel 1).

2422

PERAN PROTEASE, DERIVAT ASTAM ARAKIDONAT DAN OKSiIDA NITRIT PADA PATOGENESIS PEIYYAKIT REUMATIK

Kelas proteinase

Aktivator

Substrat kartilago
Kolagen tipe I, ll, lll, X, lX, aggrecan

Stromelysin-1 (MMP-3)

Stromelysin-1, plasmin, kallikrein,


cathepsin B
MMP-'14, MMP-2, plasmin
Diduga sama dengan collagenase-1
Furn, urokinase, plasmin
Plasmin, elastase MMP-14
Urokinase type plasmrnogen
activator, MMP-2, MMP-'14,
stromelysin-1
Plasmin, cathepsin B

Stromelysin-2 (MMP-1 0)
Stromelysin-3 (MMP-1 1 )

Diduga sama dengan stromelysin-l


Furln, plasmin

Matrilysin (MMP-7)

Diduga sama dengan stromelysin-1

Aggrecan

Macrophage metalloe/astase (MMP-12)


Aggrecanase-1
(ADAMTS-4)
Aggrecanase-2
(ADAMTS-11)

Tidak diketahui

Elastin

Tidak diketahui

Aggrecan

Tidak diketahui

Aggrecan

Plasmin (dari
plasminogen)
Tissue plasminogen
activator (dari pro TPA)
Urokinase-type
plasminogen activator
(dari pro UPA)
E/astase

Plasminogen activator (UPA, f PA),


plasmin, cathepsin B, kallikrein
Cathepsin B, kallikrein

Prometalloproteinase

Cathepsin G

Tidak ada

Kallikrein

Faktor Xll

2423

Metallo proteinase
Collagenase-1 (MMP-1)
Collagenase-3 (MMP-1 3)
Collagenase-2 (MMP-8)
Membrane type 1 MMP
Gelatinase A (MMP-2)
Gelatinase B (MMP-9)

Kolagen tipe ll
Kolagen tipe ll
Aggrecan
Denaturated type ll, Aggrecan
Proteolisis

Aggrecan, fibronectin, kolagen tipe lX dan


Xl, prokolagen, link protein, decorin,
elastin
Diduga sama dengan stromelysin-1
Proteolrsis

Serine proteinase
Plasminogen

Cathepsin B

Tidak ada

Kolagen tipe ll, lX, X,Xl, aggrecan,


fibronectin
f lMP, aggrecan, elastin,

kolagen tipe ll
P rocol I ag e n a se, p

rostromelysi n (?1,

progelatinase (?)

Cysteine proteinase
Cathepsin
Cathepsin

B
L

K
Catheosin D
Cathepsin

lidak ada
fidak ada
Tidak ada

Aspartate proteinase
Tidak

ada

Procollagen, kolagen tipe ll (te/opepilde)


Link protein, e/asfln, kolagen tipe ll
(te I o pe pti d e), agg reca n
Kolagen lipe ll (intrahelical), aggrecan
Aoorecan, denaturated tvpe ll collagen

ADAI\,4TS, a disintegrin and metalloproteinase with thrombospondin motlfs ; MMP, matrix metalloproteinase
inhibitor of metalloproteinases; TPA, frssue p/asminogen activator i UPA, urinary plasminogen activator.

mengaktifkan kondrosit untuk menghancurkan matriks


(390,391,126). Sebagian besar kolagen tipe II pada seluruh
kartilago mengalami kerusakan padaAR, seperti juga pada
OA. Perbedaan kerusakan kartilago pada kedua penyakit
tersebut adalah pada terbentuknya sitokin prodegradatif
yang masifpadaAR oleh sel sinovial, makrofag dan tulang

i Tll\ilP, tissue

pasien OA terjadi defisiensi TIMP dibandingkan dengan


collagenas e sehingga terjadi proteolisis yang berlebihan
(424,425,426). Inhibitor serine proteinase adalah protease

nexin-1, plasminogen activator inhibitor-1, dan


&,-proteinas e inhib itor (425) (Yamada, 1 987). Cys tatin
adalah inhibitor cysteine proteinase luga ditemukan pada

subkondral, sehingga kartilago pada AR diserang dari


semua sisi (126) (Dodge,l989).

jaringan kartilago (428) (Barrett,l987). TGF-p1 dan


IL-6 merangsang sintesis TIMP-1 pada kondrosit
(429,430,431) (Gunther 1994). TIMP-3 terdapat pada

lnhibisi Protease
Inhibitor metalloproteinase yang disebvt tissue

matriks ekstraselular, lebih efektif meregulasi proteolisis

inhibitor of metalloproteinase (TIMP) ada 4 macam yaitu


TIMP-1, TIMP-2, TIMP-3 dan TIMP-4. Pada kartilago

faktor pertumbuhan, hormon, dan senyawa farmakologis

yang disebabkan oleh metalloproteinase. Sitokin,

dapat mempengaruhi keseimbangan proteinase

2424

REI.JMAIOI.OGI

dan inhibitornya, dapat menyebabkan degradasi


atau sintesis kartilago (Poole,2005).

(membrane-bound enzym).Aktivitas COX- I terutama pada


retikulum endoplasma, sedangkan aktivitas COX-2 pada

nukleus (van der Donk,2002). Hal tersebut menunjukkan


adarya perbedaan ekspresi gen dan perbedaan sumber
D

ERIVAT ASAM ARAKI DONAT

Asam arakidonat adalah asam lemak yang tersimpan pada


membran sel (lipid bilayers) dan berasal dari diit atau
disintesis oleh tubuh dari asam lemak esensial, asam linoneat

(linoleic

acifl

asam arakidonat yang dipakai, berarti kedua enzim tersebut


bekerja independen pada sistem biosintesis PG. Hipotesis
tersebut menjelaskan COX-1 membentuk PG secara

konstitutif yang disekresikan sebagai mediator


ekstraselular, sedangkan COX-2 hanya aktifpada keadaan

(Dennis,2000). Eikosanoid (eico s ano id)

tertentu untuk menghasilkan PG dalam nukleus yang

adalah hasil oksigenasi bioaktifdari asam arakidonat dan


paling banyak diteliti dari semua klas mediator lipid, yang
semuanya tergolong dalam derivat asam arakidonat.

mempengaruhi pembelahan, perhrmbuhan dan diferensiasi

Eikosanoid dan platelet-activating factor (PAF) adalah


mediator utama pada inflamasi akut yang menyebabkan

antiinflamasi klasik dengan berbagai efek samping),

tanda kardinal dari inflamasi akut yaitu nyeri, kemerahan,


pembengkakan, panas dan gangguan fungsi pada daerah
yang terkena (Serhan,2002). Penelitian yang intens terhadap
eikosanoid telah memberikan penemuan baru mengenai (a)

isoenzim baru COX-I, COX-2 dan COX-3, (b) senyawa


bioaktifbaru, dan (c) identifikasi reseptor (Serhan,2005).

sel (Serhan,1996).

Ekspresi COX-2 dihambat oleh kortikosteroid (obat

COX-I tidak sensitif terhadap obat tersebut.


COX-2 diinduksi oleh lipopolisakarida pada makrofag.
COX-2 diekspresikan oleh sel endotel sebagai respons
terhadap aliran fisiologis dan gaya shear. Sebagian besar
produk COX dari sel endotel dihasilkan oleh COX-2 sel
sedangkan

endotel. Kemampuan COX-2 membentuk sejumlah besar


PGI, menimbulkan efek trombogenik dengan pemakaian
inhibitor COX-2. COX-3 diduga berperan dalam resolusi

inflamasi (efek antiinflamasi) (Wi1loughby,2000)

Sintesis Eikosanoid
Sebagian besar mediator lipid tidak tersimpan dalam sel,
tapi disintesis dari prekursor dalam sel yang dipicu oleh

(29,35,36).

berbagai stimulus. Biosintesis eikosanoid dipicu oleh

stimulus yang meningkatkan kadar kalsium (Ca2*)


intraselular dan terjadi melalui mekanisme transduksi
signal yang diperantarai oleh reseptor spesifik seperti
hormon dan autakoid (autacoifr. Atau melalui disrupsi
keutuhan membran sel akibat dari trauma hsik, kimiawi

PAF
PAF

aeri I .
i I

n,o.oase

FAF tr-"li
?nsrerase

[\,4emb.ane

phospholipids
rostanes

maupun imun, peristiwa yang dapat mengaktifkan


fosfolipase (Dennis,2 000).

Eikosanoid terbentuk oleh aktivitas tiga klas enzim


intraselular: cyclooxygenase (COX), lipooxygenase (LO)
dan P45 0 epoxy genas e (Gambar).
Peran enzim yang terakhir pada patogenesis inflamasi

masih dalam penelitian, tulisan berikut difokuskan pada

Epo

Gambar 1. Biosintesis eikosanoid dan platelet-activating factor


(PAF) (dikutip dari Serhan,2005)

biosintesis dan efek eikosanoid yang terbentuk oleh COX

danLO.
Asam arakidonat mengalami esterifikasi oleh fosfolipid

yaitu fosfatidilkolin, fosfatidiletanolamin,

dan
fosfatidilinositol. Pelepasan atau deasilasi asam arakidonat

yang mengalami esterifikasi oleh fosfolipase spesifik


betperan sebagai penghenti (limiting s/ep) biosintesis
eikosanoid. Asam arakidonat unesterifiedyang dilepaskan
dari membran fosfolipid diubah menjadi produk aktif oleh
COX-I atau COX-2 atau LO. Asam arakidonat diubah
menjadi PG oleh COX, sedangkan LI dan LX dibentuk
oleh aktivitas enzim LO (De Caterina,l993).

Eikosanoid dan lnflamasi


PG bekerja lokal (autakoid), mempunyai half-life pendek

dan dimetabolisme dengan cepat dalam sirkulasi atau


secara lokal menjadi bahan tidak aktif. PGE, adalah
vasodilator yang poten, sebaliknya PGF,, menyebabkan
vasokonstriksi. PGD, menghambat agregasi platelet dan

menyebabkan kontraksi otot polos, sedangkan


prostasiklin dan tromboksan mempunyai efek sebaliknya.
PGE, menyebabkan menyebabkan demam dan memperkuat

efek autakoid lainnya seperti histamin dan serotonin, tapi

tidak menyebabkan nyeri atau perubahan permeabilitas


vaskular dan pembengkakan. Prostasiklin, seperti PGE,

Cyclooxygenase (COX)
COX adalah enzim yang mengandung

gttg:us

heme dan

merupakan enzim yang berikatan pada membran sel

menyebabkan vasodilatasi dan hiperalgesia (Murata, 1 997).


PGE, menghambat fungsi limfosit T, limfosit B dan aktivitas
se7 natural killer. Produk COX-2 juga berperan dalam

PERAN PROTEASE, DERIVAT ASAM ARAKIDONAT DAI\ OKSIDA NITRIT PADA PATOGENESIS PENYAKIT

REUMATIK 2425

resolusi dan antiinflamasi endogen/penyembuhan luka

dengan masa kerja singkat yang berperan dalam

(Bandeira-Melo,2000).

neurotransmisi, dilatasi vaskular dan aktivitas antitumor


maupun antimikroba (Clancy, 1998). Pentingnya peran ON
ditandai dengan pemberian hadiah Nobel kepada peneliti
yang pefiama kali menjelaskan efek biologis ON tersebut.
Peran ON pada berbagai penyakit tidak dapat
diklasifikasikan secara sederhana menjadi baik atau buruk
mengingat efeknya yang sangat luas pada berbagai
kondisi klinis. Pada sebagian besar kondisi inflamasi,

Leukotrin (leukotriene) diisolasi dari lekosit dan


mengandung struktur conjugated triene. Leukotrin
dibentuk dari asam arakidonat oleh enzim 5-LO. Campuran
dari peptido-containing leukotrienes ([C*, LTD. dan

LTE.) dikenal sebagai slow-reacting substances of


anaphylaxis (SRS-A), yang dibentuk oleh sel mast setelah

terjadi paparan antigenik dan transduksi signal yang


diperantarai reseptor IgE. LTB. adalah aktivator poten
netrofil, sedangkan LTC., LTD* dan LIE. memrnjukkan efek
biologis yang berbeda seperti menimbulkan kontraksi otot
polos pada berbagai macam jaringan. Senyawa tersebut
juga merupakan konstriktor poten terhadap otot polos
bronkus. Onset kerjanya cepat dan berlangsung beberapa
jam. Efek sistemiknya dapat menimbulkan hipotensi akibat
penurunan kontraktilitas miokard, aliran darah koroner dan

termasuk penyakit autoimun dan infeksi, terjadi


overproduksi ON, walaupun tidak spesifik untuk penyakit
tertentu. ON tampaknya menyebabkan kerusakan jaringan

pada beberapa penyakit, sebaliknya ON membatasi


respons inflamasi pada penyakit lain. Oleh karena ifu peran

ON harus ditelaah sendiri-sendiri berdasar patogenesis


penyakit tersebut (Oates and Gilkeson,2005).

kebocoran plasma ke ruang ekstravaskular karena


peningkatan permeabilitas vaskular. Eosinofil dan basofil

adalah sumber utama mediator inflamasi tersebut


(Holgate,1997).

Leukotrin sebagai aktivator netrofil yang poten


mempengaruhi respons fungsional netrofil (seperti
pembentukan radikal bebas dan pelepasan enzim lisosom),
dan sebagai signal awal untuk terjadinya migrasi netrofil
ke tempat inflamasi (kemotaksis netrofil) (Pillinger, 1995).

Lekotrin adalah regulator penting imunitas selular dan


humoral (Serhan,2005).

Lipoxin adalah 6ikosanoid terakhir yang dapat


diidentifikasi, yang juga diduga menunjukkan efek penting
pada sel-sel inflamasi sebagai mediator khusus untuk
resolusi inflamasi.

LXA.

menghambat kemotaksis dan adesi

netrofil. LXA. melemahkan efek LTC. dan LTDopada otot


polos bronkus dan mikrosirkulasi ginjal, menunjukkan
bahwa senyawa tersebut berperan sebagai antagonis
leukohin endogen (Brink,2003).

Tanda kardinal

Mediator

inflamasi

lipid

lnhibitor

PGE2, LTB4, PAF


PGE2, PGI2,
LTB4, p6q, p4p
PGE2, PGI2,
LXA"4, PAF
PGE2, LTB4,

Lipoxin, AfL

LTC4, LTD4,LTE4,

PAF

AfL,aspirinlriggered lipoxin
P AF,pl ate

LT,leukotriene

LX,tipoxin

lnduksi apoptosis sel, pelepasan autoantigen dalam apoptotic


b/ebs
lnduksr nekrosis sel
lnduksi vasodilatasi dan kebocoran vaskular
Membentuk peroxynitrite mengubah fungsi protein (melalui
proses nitrasi)
lnduksi cycl ooxyg e n a se-2
lnduksi thromboxane synthase
nhi bisi prostacycl i n e synth ase
lphibisi cafalase
Berperan pada stres oksidatif
I

Aktivitas anti-inflamasi
lnduksi apoptosis sel inflamasi dan sel yang menghasilkan
kolagen
lnhibisi apoptosis sel spesifik
lnhibisi agregasi platelet dan adesi lekosit
lnhibisi ekspresi molekul adesi

ProduksiOksida Nitrit
Oksida nitrit (ON) terbentuk dari hasil oksidasi asam amino
arginine oleh enzim nitric oride synthase (NOS) Terdapat
3 isoform dari enzim nitric oxide synthase (NOS) yaitu
neuronal (nNOS atauNOS,), inducible (iNOS atauNOS,)

endogen

Nyeri dan hiperalgesia


Kemerahan
(vasodilatasi)
Panas (lokal dan
demam sistemik)
Edema
(pembengkakan)

Aktivitas pro-inflamasi

et activ ati ng facto r ; P G,prosta glandi n.

dan endothelial (eNOS atau NOS,). eNOS diekspresikan


pada keadaan normal (secara konstitutif) oleh endotel
vaskular, yang diafur oleh gaya shear stress, endotelin,
neuropeptida dan sitokin tertentu. ON yang dihasilkan oleh
eNOS berperan sangat penting dalam mengontrol tonus
vaskular dan pengaturan tekanan darah, serta berfungsi
sebagai agen anti-trombosis dan sitoprotektif. ON yang
dihasilkan oleh nNOS pada sistem saraf berperan sebagai
neurotransmitter, dan juga berperan pada transmisi nyeri

OKSIDA NITRIT

pada inflamasi dan hiperalgesia, serta menginduksi


timbulnya demam sebagai respons terhadap
lipopolisakarida (LPS). Pengaruh ON neuronal pada

Oksida nitrit (ON) adalah messenger interselular terlarut

endotel, sel otot polos, fibroblast, makrofag dan banyak

inflamasi masih belum diketahui. iNOS diekspresikan pada

2426

REIJMANOI-OGI

Arginine +

OZ

---\o

Synthase

Superoxrde (SO)

oz-- +C\
A
/\
---t
/

No2 (Nihite)

No3

(Nitrite)

Peroxynitrite
matriks

.t

N2

Fibrosis

nitros
spe

DNA

Jrosine

Pelepasan Apoptotic

nukleosom
Nitrosation Oxidation

(thiols)

Nitrasi

(tipids,

Nitration
(tyrosine)

lipoproteins)

L" z'
'L
Produksi

autoantibodi
Gambar 2. Biokimiawi produksi oksida nitrit (ON) (dikutip dari
Oates and Gilkeson,2005)

sel lainnya, yang dirangsang terutama oleh mediator


inflamasi dan sitokin (Ignarro LJ,1.990, Clancy, 1998).
Berbagai bahan yang merangsang produksi ON antara lain
LP S, i nt e r I eu k in - 1 B (IL- 1 B), i n t e rfer o n - y (IFN-y), IFN- cr
dan tumor necrosis factor-cr (TNF-cx,). iNOS yang telah

aktif akan memproduksi ON dalam waktu yang lama


(Clancy,1998).

Sejumlah mediator inflamasi yang banyak terbentuk


pada keadaan inflamasi mampu merangsang produksi ON.

IFN-y adalah stimulus produksi ON yang poten, terutama

bila bersama dengan faktor inflamasi

lainnya

(Mozaffarian, 1995). Lupus nefritis pada hewan coba


menunjukkan overproduksi IFN-y pada glomerulusnya.
Aktivitas penyakitnya menumn setelah mendapat terapi
antibodi monoklonal anti-IFN-y(Ozmen, I 995). TNF-u juga
merupakan stimulus produksi ON yang poten. TNF-o, yang
banyak terdapat secara lokal pada sinovium sendi pasien
artritis reumatoid menyebabkan overproduksi ON pada
sendi yang terkena (Feldmann, 1998). Pada manusia, baik
IFN-y, TNF-u, IL- 1 p maupun IL- 12, masing-masing maupun

secara bersama-sama merangsang produksi ON oleh


makrofagnormal.
Namun pada penyakit tertentu, masih belum diketahui
peran sitokin ataupun stimulus lainnya terhadap produksi
ON oleh makrofag (Morris,1996). IFN-cr diduga mediator
yang paling potensial dalam produksi ON melalui iNOS
pada manusia (Oates and Gilkeson,2005).

Efek Selular Oksida Nitrit


Metabolisme ON sangat bervariasi tergantung pada
lingkungan di mana ON tersebut dilepaskan. ON dapat
bersifat sebagai ligan terhadap hemoprotein. ON sendiri
mempunyai efek langsung terhadap fungsi sel melalui
berbagai mekanisme (Oates and Gi1keson,2005). ON dapat

berikatan dengan dengan heme pada cyclic guanylate


cyclase yang dapat mengaktifkan enzim tersebut sehingga

terjadi peningkatan kadar cyclic guanosine mono-

Transformasi

sel

Disfungsi

blebs

sintesis
inflamasi

Perubahan

mediator

Peningkatan

stres oksidatif

Gambar3. Mekanisme kerusakan jaringan oleh oksida nitrit pada


autoimunitas (dikutip dari Oates and Gilkeson,2005)

phosphate, menyebabkan relaksasi otot pada endotel


vaskular (Messmer,1995). Dalam lingkungan cairan ON
bereaksi dengan oksigen membentuk nitrogen dioksida,
suatu oksidan yang poten yang dapat bereaksi dengan
aniot phenol maupun thiol. S-nitrosothiols salah satu
produknya, mempunyai efek biologis yang penting dalam
memperpanjang half-life dari ON. Zat tersebut mampu
membawa ONjauh dari tempatterbentuknya melalui proses
difusi. Produk ON dan oksigen yang paling dominan dalam
sistem biologis adalah NO.- dan S-nitrosothiois. ON dan
superoxide (SO) dalam jumlah yang sama akan membentuk
peroxynitrite (ONOO ), suatu oxidizer dan mediator
patogenik yang penting. Peroxynitrite dapat bereaksi
dengan sejumlah molekul biologis seperti protein, asam
nukleat dan lipid. Peroxynitrite mengalami metabolisme
lebih lanjut membentuk nitrat dan radikal hidroksil, yang
sangat reaktif dan toksik terhadap sel (Miranda,2000).
ON juga berperan pada apoptosis. ON dapat

meningkatkan apoptosis pada beberapa sel, juga


menghambat apoptosis pada sel lainnya, tergantung pada
jenis sel dan faktor lokal. ON dapat menginduksi apoptosis
melalui berbagai mekanisme meliputi aktivasi p53, dan
pelepasan sitokrom c dari mitokondria yang selanjutnya
mengaktifkan c as p as e (Ramachandar an,2002). S el yang
sensitif terhadap apoptosis akibat ON adalah fibroblast,
makrofag, sel ls/e/ pankreas, sel otot polos, kondrosit dan
osteoblast (Messmer,1995). ON juga dapat menghambat
apoptosis melalui berbagai mekanisme seperli nitrosilasi
terhadap caspase teftentu, sehingga terjadi inhibisi tahap

akhir dari kaskade apoptosis Leist,1997). ON juga


mempengamhi apoptosis melalui Fas (Nitsch, 1 997).

Oksida Nitrit pada Penyakit Reumatik


Peran ON pada berbagai penyakit reumatik telah banyak
diteliti, setelah ekspresi iNOS dan produksi ON dapat
dideteksi pada penyakit dengan inflamasi dan penyakit
autoimun pada manusia. Peningkatan ekspresi iNOS pada

PERAN PROTEASE, DERWAT ASAM ARAKIDONAT DAN OKSTIDA NITRIT PADA PATOGENESIS PEIYYAKIT REUMITTIK

2427

sinovium dan kadar ON dalam cairan sendi terjadi pada


pasien artritis reumatoid (AR). Salah satu mekanisme efek
toksik ON pada AR adalah melalui apoptosis kondrosit
bersama dengan adarya spesies oksigen reaktif (Del
Carlo,2002). Ekspresi iNOS juga menginduksi apoptosis
osteoblast menyebabkan osteoporosis (Armour,2001).
Dapat disimpulkan bahwa terjadi overproduksi ON pada
AR, yang berkorelasi dengan aktivitas penyakitnya, dan
kadarnya menurun bila terapi berhasil (Oates and

Peran ON pada vaskulitis masih belum jelas, tapi


beberapa peneliti menunjukkan peningkatan produksi ON
pada penyakit arteritis temporal (Weyand,1996),penyakit
Kawasaki (Adewuya,2003), dan Wagener granulomatosis

Gilkeson,2005).
Produksi ON juga meningkat pada penyakit lupus, yang

Metabolisme asam arakidonat, terbentuknya oksida nitrit


(ON) dan gangguan keseimbangan protease dan
inhibitornya menunjukkan mekanisme kerja dan efek yang
saling mempengaruhi dalam patogenesis inflamasi dan
kerusakan jaringan. Berbagai macam stimulus dapat
memicu metabolisme asam arakidonat menghasilkan
produk yang menyebabkan peristiwa inflamasi dan
mempengaruhi berbagai fungsi sel-sel inflamasi seperti
kemotaksis dan adesi. Pada keadaan inflamasi terbentuk
berbagai macam mediator yang dapat menjadi stimulus

ditandai oleh peningkatan kadar ON yang dikeluarkan


melalui pernafasan. Sebagian besar ON tersebut dihasilkan
secara lokal di paru-paru, sehingga kadar ON tersebut tidak

menunjukkan produksi ON sistemik. Terdapat korelasi


antara skor SLE Disease Activity Index (SLEDAI) dengan
aktivitas anti-DNA dan kadar ON serum (Rolla,l997).
Expresi iNOS dapat dibuktikan pada jaringan ginjal pasien
lupus. Ekspresi tersebut hanya terjadi pada pasien dengan
glomerulonefritis proliferatif fokal (klas III) dan
glomerulonefritis proliferatif difus (klas IV), tapi tidakpada
semua pasien. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh saat
biopsi, terapi, derajat aktivitas penyakit dan kronisitas
penyakit (Wang,1997). Peningkatan ekspresi iNOS pada
lupus eritematosus sistemik mungkin disebabkan oleh
peningkatan produksi lokal sitokin oleh sel T penolong
subset 1 (Tr1) dan mediator inflamasi lainnya pada jaingan
tempat terjadinya deposisi kompleks imun dan aktivasi
komplemen terjadi (Wong,2002).
Pasien skleroderma dengan penyakit paru interstitial

mempunyai kadar ON paling tinggi yang dikeluarkan


melalui pemafasan, menunjukkan bahwa penyakit paru
inflamasi dan aktivitas iNOS pada alveoli atau interstitium

adalah sumber ON. Tapi, pasien dengan hipertensi


pulmonal tanpa penyakit paru interstitial, mempunyai kadar

yang lebih rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa


disfungsi endotel lokal menyebabkan penurunan
produksi ON dari vaskular pulmonal (Kharitonov,1997).
Overproduksi jaringan kolagen pada skleroderma juga
akibat peran ON sebagai mediator yang potensial. Pada
kulit yang terkena, ekspresi iNOS meningkat pada sel
mononuklear, sel endotel dan fibroblast (Yamamoto, I 99 8).
Peran ON pada osteoartritis (OA) ditunjukkan dengan

adanya bukti bahwa ON diproduksi oleh kondrosit.


Produksi ON oleh kondrosit tergantung stimulasi oleh
faktor imun, seperti LPS, IL-1p, TNF-o, IL-17 dan IL-l8
(Olee,1999), Beban mekanik juga menginduksi produksi
ON pada kultur kondrosit dan meniskus (Fink,2001).
ON hanya berperan pada kerusakan kondrosit hanya

bila terdapat spesies oksigen reaktif. ON juga


menghambat produksi matriks akibat dari peningkatan

produksi metalloproteinase. ON secara langsung


meningkatkan degradasi matriks protein dan menginduksi
apoptosis kondrosit, yang menjadi gambaran utama OA
(Del Carlo,2002).

(Heeringa,2001).

RINGKASAN

unhrk sintesis ON. ON tersebut menjadi mediator patogenik


karena mempunyai efek biologis langsung dan juga dapat

mempengaruhi apoptosis. Pada osteoartritis, ON


meningkatkan degradasi matriks kartilago dan menginduksi

apoptosis kondrosit. Sitokin proinflamasi juga


menyebabkan ketidakseimbangan antara protease dan
inhibitomya, sehingga terjadi proteolisis matriks kartilago.
Matrix metalloproteinase adalah protease utama yang
menyebabkan degradasi kartilago pada artritis reumatoid
dan osteoartritis.

REFERENST (OKSIDA NITRIT)


Armour KJ, Armour KE, van't Hof RJ, et al. Activation of the
inducible nitric oxide synthase pathway contribute to
inflammation-induced osteoporosis by supressing bone
formation and causing osteoblast apoptosis. Arthritis Rheum
2001;44:27 90-2796.
Adewuya O, Irie Y, Bian K, et al. Mechanism of vasculitis and
aneurysms in Kawasaki disease : role of nitric oxide. Nitric
Oxide 2003;8:15-25.
Clancy RM, Amin AR, Abramson SB. The role of nitric oxide in
inflammation and immunity. Arlhritis Rheum 1998;41:Il4l1

151.

Del Carlo M Jr, Loeser RF. Nitric oxide-mediated chondrocyte cell


death requires the generation of additional reactive oxygen s
pecies.

Feldmann

Arthritis Rheum 2002:46:393-403.

M, Charles

P, Taylor P, et al. Biological insights from


Semin

clinical trials with anti-TNF therapy. Springer


Immunop ath

199 I ;20 :21

-228.

Fink C, Fermor B, Weinberg JB, et al. The effect of dynamic


mechanical compression on nitric oxide production in the
meniscus. Osteoarthritis Cartilage 2001;9:48I-487.
Heeringa B Brjl M, de Jager-Krikken A, et al. Renal expression of
endothelial and inducible nitric oxide synthase, and formation
of peroxynitrite-modified proteins and reactive oxygen species
in Wagener's granulomatosis. J Pathol 2001;193:224-232.

2428

REUMAIOI.OGI

Ignarro LJ. Biosynthesis and metabolism of endothelium-derived


nitric oxide. Annu Rev Pharmacol Toxicol 1990;30:535-560.
Kharitonov SA, Cailes JB, Black CM, et a1. Decreased nitric oxide in

the exhaled air of patients with systemic sclerosis with


pulmonary hypertension. Thorax 1997 ;52:1051-1055.
Leist M, Volbracht C, Kuhnte S, et al Caspase-mediated apoptosis in
neuronal excitotoxicity triggered by nitric oxide. Mol Med
1997 ;3:7 50-1 64

Mozaffarian N, Berman JW, Casadevall A. Immune complexes


increase nitric oxide production by interferon-gammastimulated murine macrophage-like J774.16 cells J Leukoc Biol
1995;57 :657 -662.
Morris LF, Lemak NA, Amett FC Jq et al. Systemic lupus erythearatosus diagnosed during interferon alpha therapy South Med J
996;89:8 I 0-8 1 4.
Messmer UK, Lapetina EG, Brune B.
1

Nitric oxide-induced apoptosis


in RAW 264.7 mauophages is antagonized by protein kinase
C- and protein kinase A-activating compound. Mol pharmacol
1995;47

:7 57 -7 65

Miranda KM, Espey MG, Jourd'heuil D, et al The chemical biology


of nitric oxide. In : Ignnaro LJ,ed. Nitric oxide biology and
pathobiology. New York : Academic,20O0:41-55.
Nitsch DD, Ghilardi N, Muhl H, et a1 Apoptosis and expression of
inducible nitric oxide synthase are mutually exclusive in renal
mesangial cells. Am J Pathol 1997;150:889-900.
Oates JC, Gilkeson GS. Nitric oxide and related compounds.
In : Koopman WJ, Moreland LW (eds). Arthritis and allied

conditions.

A textbook of rheumatology,l5,h ed, vol

Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2005 : 541-555.


Ozmen L, Roman D, Fountoulakis M, et ai. Experimental therapy
of systemic lupus erythematosus: the treatment of NZB/W mice
with mouse soluble interferon gamma receptor inhibits the
onset of glomerulonephritis. Eur J Immunol 1995;25:6-12.
Olee T, Hashimoto S, Quach J, et al IL-18 is produced by articular

chondrocytes and induces proinflammatory and catabolic


responses. J Immunol 1999;162:1096-1 100.
Ramachandaran A, Levonen AL, Brookes PS, et al. Mitochondria,
nitric oxide, and cardiovascular dysfunction Free Radic Biol

Med 2002;33 :1465

-147 4.

Rolla G, Brussino L, Bertero MT, et al. Increased nitric oxide in


exhaled air in patients with systemic lupus erythematosus.
J Rheumatol 1997 ;24:1066-101 1.
Wang JS, Tseng HH, Shih DF, et al. Expression of inducible nitric
oxide synthase and apoptosis in human lupus nephritis.
Nephron 1997 ;7 7 :404-41 l.
Wong CK, Ho C! Li EK, et al. Elevated production of interleukin18 in associated with renal disease in patients with systemic
lupus erythematosus. C/lzr Exp Immuno I 2002;130:3 45 -3 5 1.
Weyand CM, Wagner AD, Bjornsson J, et al. Correlation of the
topographical arrangement and the functional pattern of
tissue-infiltrating macrophage in giant cell afieritis. J Clin

Dennis EA. Phospholipase ,42 in eicosanoid generation. Am J Respir


Crit Care Med 2000;161 (suppl):32-35.
De Caterina R, Endres S, Kristensen SD, et al.,eds. n-3 Fatty acrds

and vascular disease. London Springer-Verlag, 1993


:

Murata T, Ushikubi F, Matsuoka T, et al. Altered pain perception


and inflammatory response in mice lacking prostacyclin
receptor Nature 1997 ;388:678-682.
Holgate S, Dahlen S-E,eds. SRS-A to leukotrienes: the dawning of a
new treatment. Oxford, UK:Blackwell Science, 1997.
Pillinger MH, Abramson SB. The neutrophil in rheumatoid
arthritis. Rheumatic Dis Clin North Am 1995;21:.691-774.
Serhan CN. Endogenous chemical mediators in anti-inflammation
and pro-resolution.Curr Med Chem 2002;1:177 -192.

In : Koopman WJ,
Moreland LW (eds) Arlhritis and allied conditions. A textbook

Serhan CN. Eicosanoids and related compounds.

of rheumatology,l5'h ed, vol 1 Philadelphia


Williams & Wilkins, 2005 :517-539.

: Lippincott

van der Donk WA, Tsai A-L, Kulmacz RJ The cyclooxygenase


reaction mechanism. Biochemistry 2002;41:.1545't-15458.
Serhan CN. Signalling the fat controller. Nature 1996;384:23-24.
Willoughby DA, Moore AR, Colville-Nash PR. COX-I, COX-2, and
COX-3 and the future treatment of chronic inflammatorv
disease. Lanc

et

2000 ;3 5 5 :646 -648.

REFERENST (PROTEASE)

A The possible role of neutrophil proteinases in damage to


articular caftilage Agents Actions 1978 ; 8:11-18.
Burkhardt H, Schwingel M, Menninger H, et al. Oxygen radicals as
effector of cartilage destruction: direct degradative effect on
matrix components and indirect action via activation of latent
collagense from polymorphonuclear leukocytes. Arthritis Rheum
Barrett

1986;29:379-387 .
Barrett AJ. The cystatins: a new class of peptidase inhibitors. ZPS
1987 ;12:193 -19 6 .

Dodge GR, Poole

AR Immunohistochemical detection and


of type II collagen degradation in

immunochemical analysis

human normal, rheumatoid and osteoarthritic articular


cartilage and in explants of bovine articular cartilage cultured
with interleukin l. J Clin Invest 1989;83:647-661.

! Stephens RW, et al. Proteinases and their


inhibitors in normal and osteoarthritic articular cartt\age. Biomed
Res 1987;8:289-300.
Konttinen YT, Mordelin I, Li T-F, et al, Acidic endoproteinase
cathepsin K in the degeneration of the superficial articular
hyaline cartilage in osteoarthritis. Artlritis Meum 2002;46:953-960.
Lark MW, Bayne EK, Flanagan J, et al. Aggrecan degradation in
human cartilage: evidence for both matrix metalloproteinase
and aggrecanase activity in normal osteoarthritic and rheumaYamada H, Nakagawa

J Rheumatol 1998;25:314-3t7.
Bandeira-Melo C, Serra MF, Diaz BL, et al. Cyclooxygena
se-2-derived prostaglandin E, and lipoxin Ao accelerate
resolution of allergic edema Angiostrongylus costaricensisinfected rat: relationship with concurrent eosinophilia.
J Immuno I 2000;1 64 :l 029 - 103 6.
Brink C, Dahlen S-8, Drazen J, et al. International Union of

toid joints. J Clin Invest 1997;100:93-106.


Lethwaite J, Blake S, Hardingham ! et al. Role of TNF-cr in the
induction of antigen induced arthritis in the rabbit and the
anti-arthritic effect of species specific TNF-6 neutralizing
monoclonal antibodies. Ann Rheum Dis 1995'54 366-374.
McDonald JA, and Kelley DG Degradation of fibronectin by human
leukocyte elastase. J. Biol. Chem 1980 ; 255: 8848 8858
Gunther M, Haubeck H-D, Van de Leur E, et al. Transforming grou4h
factor o,1 regulates tissue inhibitor of metalloproteinases-1
expression in differentiated human articular chondrocytes.

Pharmacology XXXVII. Nomenclature for leucotriene and


lypoxin receptors. Pharmacol Rev 2003;55:195-227.

Poole AR. Cartilage in health and disease. In : Koopman WJ, Moreland

Inves t 199 6;98 : 1 642-1 649.


Yamamoto I Katayama I, Nishioka K. Nitric oxide production and
inducible nitric oxide synthase production in systemic sclerosis.

Arthritis Rheum

199 4;37

:395-405.

PERANPROTEASE,DERIVATASAMARAKIDONATDANOKITIDANITRITPADAPATOGENESISPENYAKITREUMATIK

LW (eds). Arthritis and allied conditions. A textbook of


rheumatoiogy,l5'h ed, vol.1. Philadelphia : Lippincott Williams
& Wilkins, 2005 :223-269.
Poole AR, Alini M, and Hollander AP. Cellular bioiogy of cartilage
degradation. In : Henderson B, Pettifer R, and Edwards J, eds.
Mechanisms and Models in Rheumatoid Arthritis. Academic
Press

Ltd., London, 1995 : 163-204.

! Stephens RW, et al. Proteinases and their


inhibitors in normal and osteoarthritic articular cartilage. Biomed
Res 1987;8:289-300.

Yamada H, Nakagawa

2429

382
IMUNOGENETIKA PENYAKIT REUMATIK
Joewono Soeroso

PENDAHULUAN
Imunogenetika adalah suatu konsep pendekatan genetik

untuk mengetahui hubungar. arfiara gen respons imun

dengan suatu kondisi atau penyakit. Tujuan dari


imunogenetika adalah untuk membuka wawasan bagi
pencegahan primer, terapi, maupun pencegahan sekunder.

Dengan mengetahui gen yang berasosiasi dengan suatu


penyakit, bisa diperkirakan jenis antigen yang mencetus
penyakit, dan bisa dilakukan modulasi, modifikasi, atau
koreksi pada gen tersebut. Berbagai gen yang berperan
pada penyakit yang terkait respons imun antara lain; 1)
gen human leucocyte antigen (HLA) 2) gen cell receptor
(TCR T) 3) gen sitokin 4) gen reseptor sitokin dan 5) gen
imunoglobulin, dan 6) gen HSP (heat shock protein)
Komponen genetik yang banyak dihubungkan dengan
penyakit reumatik adalah gen respons imun yang terletak
pada m aj or his t o c o mp at i b il ity c omp I ex (MHC). Pada MHC
terletak gen penyandi berbagai molekul respons imun yang
paling berperan pada penyakit yatg terkait dengan gen
respons imun. Makalah ini difokuskan pada HLA, yang
mana mekanisme molekulernya sudah difahami.
Faktor risiko genetik dari penyakit reumatik otoimun
dapat berupa; 1) variasi/keragamat susunan nukleotida
pada gen yang disebut sebagai polimorfisme dan 2) defek
genetik akibat mutasi, defek pada proses translasi dan
modifikasi pasca translasi. Kedua keadaan tersebut bisa
menimbulkan gangguan pada sistem sinyal selular yang
akhirnya bisa menimbulkan suatu penyakit.

kromosom no 6, lengan pendek, pita no 2 I sampai 3. Lebih


dari 200 gen disandi pada MHC, 40 di antaranya adalah
gen human HLA. Pada MHC terdapat 3 regio penyandi
yaitu, MHC kelas II yang menyandi HLA kelas II (HLA-D
[P,N,M,O,Q,R]), gen transp ort er as s o ci at ed with anti gen

processing (TAP), yang berperan pada pemrosesan


antigen oleh HLA kelas I, dan gen latent membrane
protein (LMP), Urutan berikut adalah MHC kelas III yang
menyandi berbagai protein yang berperan pada respons
imun dan inflamasi, seperti TNF u dan p, heat shock
protein (HSP), komplemen (C2 danC4), dan sebagainya.
Urutan terakhir adalah MHC kelas I yang menyandi HLA
kelas I (HLA-B, HLA-C, HLA-A).

DP DN DM
OO DQ
OR
r-I-'r-r-'r-I-r---JrAPBpddd
p LUptrAp 0 tso tsts o

Gambar 1. Organisasi gen MHC manusia pada lengan pendek


kromosom 6

HI-A

HLA merupakan molekul yang berperan pada presentasi


antigen. HLA kelas I berfungsi untuk mempresentasi antigen oleh sel T CD8+. HlA-kelas II pada presentasi antigen olehAPC kepada sel T CD4+, untuk selanjutnya terjadi

aktivasi sistem kekebalan adaptif, kearah sistem imun


selular atau imun humoral, Pada HLA kelas I terdapat 2
ranah pengikatan peptida (o I dan cL 2), 2 ranah mirip
imunoglobulin (Brm dan o,3), I ranah transmembran dan I

MHG
Region MHC pada manusia merupakan kelompok gen yang
berperan respons imun. Gen-gen pada MHC tersusun atas

ranah sitoplasmik HLA kelas II terdiri dari 2 rantai


polipeptida yaitu rantai a dengan berat molekul 33 kD
(kilo Dalton) dan rantai p (28 kD).

DNA yang terletak pada kromosom 6p21.31 (pada

2430

2431

IMUNOGENETII(A PENYAKIT REUMAIIK

LINKAGE DISQUILIBRIUM
Linkage disequilibrium (LD) adalah keberadaan bersama

Ranah
peptida

suatu alel HLA dengan alel HLA lain seperti, HLA-DR, DP

dan DQ atau dengan gen lain (mis; C4). Gen HLA


diturunkan kepada filialnya tanpa mengikuti hukum

Ranah
mirip imonuglobin

Mendel, sehingga frekuensinya pada

Ranah
transmembran
Ranah

Gambar 2 Gambaran skematik molekul HLA kelas I dan HLA


Kelas ll. Pada HLA kelas lterdapal 2ranah pengikatan peptida
(a 1 dan a 2),2 ranah mirip imunoglobulin (prm dan o3), 1 ranah
transmembran dan 1 ranah sitoplasmik. Pada HLA kelas llterdapat
2 ranah pengikatan peptida (o1 dan pl), 2 ranah mirip imunoglobulin
(a2 dan p2),2 ranah transmembran dan 2 ranah sitoplasmik

filial

sulit

diperhitungkan. LD antara suatu HLA dengan HLA yang


lain atau gen lain dapat menunjukkan peningkatan risiko
suatu penyakit

PENENTUAN TIPE HLA


Tipe HLA dapat ditentukan melalui 2 cara'.

POLIMORFISME HLA

Polimorfisme adalah variasi sekuens nukleotida dari


orang ke orang pada suatu lokus gen. HLA mempakan
molekulpalingpolimorfik di antara semuamolekul di dalam
tubuh manusia. Keadaan ini disebabkan merupakan molekul

HlApaling

sering terpapar dengan dunia luar, dalam hal ini

Pada Gen Penyandi Molekul HLA:


Di sini ditentukan susunan nukleotida gen HLA tersebut'
Metode yang sering dilakukan adalah polymerase chain
reaction (PCR), baik dengan hibridisasi maupun deteksi
sekuens nukleotida (sekuensing). Cara penulisan HLA

adalah HlA-lokus gen-asterix (*)-digit, misalnya


HLA-DRBI*01. (Tabel

l)

adalah antigen eksogen (alloantigen). Karena paparatpaparan dari antigen yang berbeda-beda, celah pengikatan

peptida, strukturnya mengalami adaptasi dan evolusi


sehingga susunan asam aminonya sangatbervariasi. Variasi

susunan asam amino pada HVR tersebut dapat


mempengaruhi respons imun dan berkaitan penyakit
otoimun.. Gen yang paling polimorhk adalah gen HLA-DR
yang terdiri lebih dari 330 subtipe. Bentuk polimorfisme
arfiaru lain polimorhsme biasa, polimorfisme nukelotida
tunggal atau single nucleotide polymorphism (SNP), dan
polimorfisme mikrosatelit yaitu pengulangan tandem tiga

Pada Molekul-Protein HLA


Molekul HLA adalah produk (ekspresi) dari gen HLA.
Penentuan tipe HLA ini biasanya dilakukan dengan metode
serologis (reaksi antigen-antibodi), oleh sebab itu disebut

juga dengan spesifisitas serologis (serological


specificities). Cara penulisan hanya lokusnya (Tabel

l).

Nama

Menunjukkan

atau empat atau lima nukleotida yang sama pada suatu gen.

HLA

Struktur nukleotida pada HVR sering mirip dengan antigen


eksogen, dan ini sering disebut sebagar shared epitope (SE).

HLA-DRB1

Regio HLA dan prefiks untuk gen


penyandi HLA
Lokus gen HLA tertentu, misal:

DRBl
HLA-DRB1 -1 3

Kelompok alel penyandi molekul


DR1 3

HLA-DRB1-1 301
HLA-DRB1-1 301

HLA-DRB1.1 3 yang spesifik


N

Alel nol HLA-DRB1-13 (tidak


menyandi molekul HLA)

HLA-DRB1

-1

3012

HLA-DRB'1.1301102

HLA.DRBl-130,I 1O2N

Alel HLA-DRB1*'13 yang


dibedakan karena mutasi
Alel d HLA-DRB1*13 dengan
mutasi diluar region penyandian
Alel nol HLA-DRB1-'l 3dengan
mutasi di luar region penyandian

NOMENKLATURGEN HLA

Gambar3. Kristalografi sinar X dari HLA-DRB1.(dari atas) Lokasi


asam amino residu 70

74 yang polimorfik pada celah pengikatan

peptida pada HVR dari rantai p HLA-DRBl.yang sering


dihubungkan dengan AR

Di bawah ini adalah contoh cara pemberian nama gen HLA


kelas II berdasarkan nomenklatur HLA tahun 2000
(Bodmer). Nomenklatur tersebut dibuat atas dasar susunan
nukleotida (AIGC) dari suatu gen. Untuk gen HlAkelas I,

juga berlaku cara yang sama.

2432

REI,.IMITTOI.OGI

HUBUNGAN POLIMORFISME HLA DENGAN


BERBAGAI PENYAKIT REUMATIK
Hubungan Polimorfisme HLA. dengan berbagai penyakit

reaktif dan dan psoriatik artritis. Hubungan HL A-B*2705


dengan AS terdapat pada ras Kaukasian, HLA-B*2706
pada orang Asia Tenggara, dan HLA-B*2709 pada orang
Sardinia.

reumatik otoimun dilaporkan pertamakali oleh Stastny


(1978) yang menemukan asosiasi antara molekul MHC kelas
II, yaitu HLA-DR4 dengan artriris reumaroid (AR). Setelah
temuan ini banyak para peneliti lain yang melaporkan
hubungan antara HLA-Kelas II tipe lain dengan dengan
penyakit reumatik yang lain seperti SLE, dermatomiositis,
Juvenile ldiopathic Arthritis (JIA), skleroderma, sindrom
Sjogren dan sebagainya. HLA-Kelas I seperti HLA-821
juga dihubungkan dengan berbagai penyakit, seperti
ankylosing spondilitis, artntis reaktif sindrom Reiter (Tabel
2 dan 3).

HUBUNGAN HLA KELAS II DENGAN PENYAKIT


REUMATIKOTOIMUN

HLA-DPB1x020l, HLA-DRBI*08 dan HLA-DRBI*05


mempunyai hubungan yang erat dengan JIA (dahulu
disebut Juyenile chronic Arthritis) tipe pausiartikuler.

Sedangkan DRBl*0401 dan

HLA- DRBl*0404

behubungan denga JIA dengan rheumatoid faclor (RF)


positif, poliarthritis dengan RR > 1 00.

Pada AR gen HLA-DRB1*04, HLA-DRB1*01


HLA-DRBl*10, HLA-DRB1xl4, HLA-DQBl*03,

HLA-DQB 1 *04, dan kombinasi haplotipe HLA-DRB I *

O4-HLA-DQB1*03 dilaporkan di berbagai rregara

Molekul HLA
(tes
Gen HLA (PCR)

serologis) =
serological
specificities

B-2701, B*2702,
B-2703, B-2704,

B27

Penyakit

psoriatic afthritis
*RR

= risiko relatif

Molekul HLA
(tes
Gen HLA (PCR)

DPBl -020

serologis) =
serological
specifies

Penyakit

DRB'1.1501f 1503,

DRl5

DRB1"O8

DR8

sLE, (RR=3)

DRB'1-040'1,
DRB 1.0403

DR4

dematomiositis (RR=4)
RA (RR=7), JIA
poliarticular dengan

DRBl.0301

DR3

DRB'1"0312

DR3

DRB1.0404
DRBl.01 02

DR1

2,41(SignifikarVS)], sedangkan

*0 I
1

HLA-DRB
HLA-DRB I * I 0, HLA-DRB 1 * I 4, ditemukan
tidak berhubungan dengan keberadaan AR Di Indonesia,

HLA-DQBI *04 juga berhubungan dengan keberadaanAR


IOR:2,70(S]. HLA-DRB I *04 juga berhubungan dengan
peningkatan kecacatan dan peningkatan kadar RF
(rheumatoid factor). LD antara alel HLA-DRB-HLA-DQB
juga berhubungan dengan peningkatan kepekaan
keberadaan dari berbagai penyakit reumatik. LD biasanya
ditulis dengan istilah kombinasi haplotipe. Pada AR
kombinasi haplotipe HLA-DRB1*04-HLA-DQB1*03
IOR : 4,16(5)], dan kombinasi haplotipe HLA-DRBI*
04-HLA-DQB

*03[OR:4,01] mempunyai hubr:ngan dengan

AR.
JIA pausiartikular
SLE (.RR=3), Sindroma
Sjogren (RR=6),
Juvenile dermatomiositis
(RR=a), JIA
pausiartikular (RR=5)
SLE (RR=3)
SLE (RR=3)

kelas II yang berhubungan denga AR adalah


HLA-DRBl*04 [OR

Ankylosing spondilitis
(RR=90"), reactive
arthritis, Sindrom Reiter,
chronic inflammatory
bowel disease or

8.2708,8*2709,
B-2710

mempunyai hubungan erat denganAR. Di Indonesia HLA

RF+(RR=5)
RA (RR=3)

HLA-DRB1*0312, HLA-DRB1X150I, HLA-*1503,


HLA-DRB1*08 juga mempunyai berhubungan erat dengan
keberadan SLE, mungkin keadaan inijuga berhubungan
dengan LD dari HLA-DR3 dan HLA-DR2 denga alel nol
gen C4AAlel nol gen C4Amenimbulkan defek struktural
pada molekul C4 sehingga molekul C4 tidak berfungsi
secara nornal. Gen lain yang berhubungan dengan SLE
antara lain gen FcyRIIa, FcyRIIIa, MBL, dan IL-1Ra.

MEKANISME MOLEKULAR HUBUNGAN HLA


DENGAN PENYAKIT REUMATIK OTOIMUN

HUBUNGAN HLA KELAS

I DENGAN

PENYAKIT

REUMATIKOTOIMUN
HLA-B27 berhubungan erat dengan anlqtlosing spondilitis
(AS), 95% pasienAS membawa HLA-B-27 (RRmencapai >
90), chronic in/lammatory bowel disease (IBD), artritis

HLA Kelas

Hubungan antara HLA kelas I dengan penyakit reumatik


dapat jelaskan melalui konsep shared epitope/SE antara
bakteri intraselular atau produknya dengan HLA-B27 ,yang
mana HLA-B27 sebagai otoantigen dikenali oleh sistem

2433

MUNOGET{ETIKA PETiIYAKIT REUMAflK

ini dapat
menimbulkan reaksi pengikatan oleh sistem kekebalan
seiular. PadaAS misalnya, dapat terjadi aktivasi sel T CD8+
oleh HLA-B27 padaAPC yang belperan sebagi otoantigen,
yang mana sel T CD8+ akan mengekspresi perforin dan
kekebalan sebagai eksoantigen. Keadaan

HLA-DRB1*SE+ sendiri juga dapat memicu aktivasi dan

proliferasi sel T CD4+ otoreaktif terhadap SE untuk


mengawali penyakitAR+

HlAkelas II seperti HLA-DR, HLA-DQ, HLA-DP, juga


mempunyai asosiasi yang kuat dengan SLE, demikian juga

granzyfie untuk menghancurkan berbagai sel yang


mengekspresi HLA-B27. Konsep SE ini hampir
identik dengan yang terjadi pada HLA kelas II (lihat uraian

kombinasi haplotipe HLA-DQAl *0103-DQB 1 *0201,

di bawah ini)

Keberadaan LD tidak berarti bahwa lokus HLA-DR secara


tersendiri yang meningkatkan kepekaan timbulnya SLE,

Asosiasi
HLA-DRB.10401

72

o
o

001

K
R
R
R
R

1419
0402
0439

E
R

0403

0404
0102
1

R
R
R
R
R
R

R
R

73
A
A
A

A
A
A
A

A
A
E

kombinasi haplotipe DPB I *0301-DPB 1* 1401, defisiensi

C2,

dala

polimorfisme T-cell receptor b-chain 137,381.

tetapi mungkin akibat LD dengan gen lain seperti


polimorfisme ger. tumor necrosis factor (TNF)p, yang
terletak pada MHC kelas III atau mungkin gen C 1, C4, C2,
FcyRIIa, FcyRIIIa, MBL, dan IL-1Ra

Risiko
Risiko
Risiko
Risiko
Risiko
Risiko

Sleksi sel T di keleniar Timus


- sel T dipapar peptida HLA DRB'1-SE+
- Linkage disequilibriumdengan HLA-DOB1

Protektif
Tidak ada

Sel T spesifik SE
otoreaktif rendah
tetap hidup

Catatan: Q = glutamin, K = lisin, R = arginin, A = alanin, D = asam


aspartat, E = asam glutamat

Sel T spesilikasi SE
otoreaktif tinggi
apoptosis

HLA Kelas ll
Salah satu teori yang dapat diterima untuk menghubungan
polimorfisme HlAkelas II denganAR adalah teori mimikri
molekuler. Kesamaan susunan nukleotida pada HVR
dengan antigen eksogen sering disebut dgn konsep SE.
Sekuens asam amino nomor 10-71-12-13-74 (QKRAA,

QRRAA, RRRAA) pada celah pengikatan peptida


HLA-DR temyata mempunyai stmktur yang sama dengan
protein asing seperli E. Coli dnaJ,.EBV-gpll0 dsb. Dimulai
sejak kehidupan janin, di mana terjadi seleksi sel T di
kelenjar timus. Sel epitel kelenjar timus mengajari sel T
yang dipapar dengan ribuan otoantigen termasuk peptida
HLA kelas ll, agar kelak sel T dapat toleran terhadap
otoantigen tersebut. Kelompok sel T CD4+ yang otoreaktif
kuat terhadap SE akan mengalami apoptosis (seleksi
negatifl, sedangkan kelompok sel T CD4+ yang otoreaktif
rendah terhadap SE tetap hidup dan bersirkulasi (seleksi

positifl.
Sebelum timbul penyakit secara klinis, sel T CD4+
otoreaktif rendah mengalami paparan berulang oleh anti-

gen eksogen mirip SE misalnya E. Coli dnal yang


diekspresi kontinyu oleh E Coli di dalam usus manusia
atau oleh SE yang dipresentasi HLA kelas II atau oleh
HLA-DRBI* yang membawa SE (HLA-DRBI*SE+;.
Paparan berulang tersebut merubah sel T CD4+ menjadi
lebih otoreaktif terhadap SE. Sel T CD4+ otoreaktif
kemudian bermigrasi dari darah perifer ke jaringan sinovia
Di dalam jaringan sinovia, antigen artrotrofik, seperti

EBV-gpll0 (Epstein Barr Virus-glycoprotein 110), antigen eksogen lain atau peptida diri yang membawa SE atau

L4igran

sel

Pl\,4N

Gambar 4. Model peran HLA-DRB1. dan HLA-DQB1- pada


patogenesis AR, berdasarkan kosep mimikri molekular

REFERENSI

Anthony Nolan Bone Marrow Trust. 2001

(http:l I

anth onlrnolan. com).

AA, Studelt G, Truedsson L. Analysis of HLA


DR, HLA DQ, C4A, FciRIIa, FcdRIIIa, MBL, and IL-lRa
allelic variants in Caucasian systemic lupus erythematosus
patients suggests an effect of the combined FciRIIa R/R and
IL-1.Ra 212 genotypes on disease susceptibility Arthritis Res

Andreas J, Bengtsson

Ther. 2004; 6(6): R557-R562.


Albani S, Carson DA,. A multistep molecular mimicry hypothesis
for the pathogenesis of rheumatoid arthritis. Immunology
Today 1996; 17 (10):466-470.
Auger I, Roudier J,. A Function for the QKRAA amino acid motif
mediating binding of dnal to dnaK implications for the association of rheumatoid arthritis with HLA DR4. J Clin Invest 1997;
99(8):1818-1822.
Bolstad AI, Roland R. Genetic aspects of Sj<igren's s1m&ome Jonsson
Arthritis Res 2002; 4:353-359
:

2434

REI,JMITTOX.OGI

Creamer P, Loughlin J. Genetic Factors

in Rheumatic Diseases In:


Meumatology. Editors; Klippel JH, Dieppe pA. St Louis Mosby
Company 1999 (CD-ROM).

Marsh SGE, Bodmer JQ Albert ED, Bodmer WF, Bontrop RE, Dupont

Dinarello CA, Moldawer LL,20OO. Proinflammatory and anti


Inflammatory cytokines in rheumatoid artrhritis. Thousand

Svejgaard A, Terasaki PI, 2001. Nomenclature for factors of


the HLA system, 2000. Tissue Antigen 57:236-283.
Reveille JD Genetic studies in the rheumatic diseases: present status
and implications for the future. J Rheumatol Suppl. 2005
Jan;l2:10-31.
Salamon H, Klitz W, Easteal S, Gao X,. Erlich HA, Femandez-Vifra..
Trachtenberg EA, McWeeney SK, Nelson MP, Thomson G,
1999. Evolution of HLA Class II Molecules : Allelic and Amino
Acid Site Variability Accross Populations Genetics 152:393-

Oaks : Amgen Inc, pp. 3-21.


Gregersen PK, 1997. Genetic analysis of rheumatic diseases. In
(Kelley WN, Ruddy S, Harris ED, Sledge CB eds.). Textbook of

Rheumatology 5,h ed. Philadelphia. WB Saunders Coy, pp.


209-227.
Hall FC, Bowness, 1996. HLA and disesase: From molecular
function to disease association. In : (Browning M, McMichael A
eds.). HLA and MHC: genes, molecule and functions Oxford
Bios Scientific Publications, pp. 353-376.
Howard MC, Spack EG, Choudury K, Greten TF, Schneck Jp, 1999.
:

MHC-based diagnostics and theurapeutics-clinical application


for disesease-linked genes. Trends Immunology 20(4): 161'164.
IMGT(IMunoGeneTics)-HLA, 2003. Database sequence data. http:/
/www.ebi.ac.uk/imgt/hla.
Judajana FM. Kuliah immunologi molekuler. Kursus persiapan
Disertasi. Graha Masyarakat Ilmiah. FK Universitas Airlanga,
Surabaya 2005

Klein J, Sato A, 2000 The HLA system : First of two parts. N Engl
J Med 343(10):702-709.
La Cava A, Lee Nelson J, Ollier WER, McGregor A, Keystone CE,
Carter JC, Scaffuli JS, Berry CC, Carson DA, Albani S, 1997.
Genetic bias in immune responses to a cassette shared by
different microorganisms in patients with rheumatoid arthritis.
J Clin Invest 100(3):658-663.

B, Ehrlich HA, Hansen JA, Mach B, Mayr WR, Parham

p,

Pertersdorf EW, Sasazuki T, Th Schreuder GM, Strominger JL,

400.
Soeroso J. Hubungan HLA-DRB dan HLA-DQB1 dengan reumatoid
artritis. (Disertasi). Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga

2004

A, Hoza J, Nemcova D, Pospisilova D, Bartunkova J,


Vencovsky J.Immunological investigation in children with
juvenile chronic arthritis. Med Sci Monit. 2001 Jan-Feb;7(l):99-

Sediva

04.

A, Karpasitou K, Georgiou D, Stylianou G,


Kokkofitou A, Michalis C, Constantina C, Gregoriadou C,
Kyriakides G.HLA-B27 in the Greek Cypriot population:
distribution of subtypes in patients with ankylosing spondylitis

Varnavidou-Nicolaidou

and other HLA-82'7-related diseases. The possible protective

role of B*2707. Hum Immuno\ 2004 Dec;65(12):1451-1454.

383
INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI
PADA PROSES INFLAMASI
Kusworini Handono, Handono Kalim, Meddy Setiawan

keradangan. Pemutusan komunikasi tersebut pada tahap


yang mana saja dan melalui mekanisme apa saja akan dapat

PENDAHULUAN

Banyak penelitian pada hewan coba dan manusia


memberikan bukti

tentang adanya komunikasi antara

sistem imun dan susunan saraf pusat (SSP), dan


pentingnya peran komunikasi tersebut pada terjadinya
kerentanan terhadap penyakit keradangan maupun pada
gejala-gejala keradangan itu sendiri. Sistem imun dan SSP
merupakan bagian tubuh yang selalu menjadi benteng
menghadapi gangguan lingkungan yang mengancam
kelangsungan hidupnya. Kedua sistem tersebut dirancang

untuk mengenal adanya gangguan lingkungan dan


memberikan respons terhadap gangguan tersebut untuk
mengembalikan homeostasis. Masing-masing sistem

mengenal gangguan asing yang berbeda : kimiawi,


antigenik atau infeksi oleh sistem imun dan psikologis atau
fisik oleh SSP, tetapi mereka menggunakan banyak sistem
tranduksi yang samaunfuk mencefuskan respons terhadap
gangguan yang ada.
Sistem tranduksi tersebut mungkin hormonal atau
mungkin juga neuronal. Dengan demikian sitokin-sitokin
sistem imun tak hanya mempengaruhi sel-sel imun yang
lain,tapi juga bekerja sebagai hormon untuk merangsang
SSP yang mengontrol respons stres. Sebaliknya, hormonhormon respons stres tak hanya mempengaruhi kelenjarkelenjar neuro endokrin,tapi juga menekan atau merubah
respons imun dan keradangan. Sistem imun juga dapat
memberikan sinyal pada SSP melalui jalur neuronal, seperti
saraf vagus, dan SSP dapat memberikan sinyal pada sistem
imun melalui jalur sarafperifer atau simpatik.
Berbagai tahap komunikasi antara sistem imun dan SSP
tersebut merupakan mekanisme hsiologik penting untuk

mengatur intensitas respons imun dan keradangan,


mengatur kerentanan dan ketahanan terhadap penyakit

meningkatkan kerentanan atau menambah beratnya


penyakit keradangan. Sebaliknya, pemulihan komunikasi
tersebut akan mengurangi keradangan' Dengan demikian,

beratnya keradangan sebagai respons terhadap


rangsangan asing tak hanya tergantung pada sifat-sifat
rangsangan itu sendiri tapijuga tergantung pada intensitas
respons neuronal dan neuro endokrin yang timbul.
Pengetahuan tentang hal ini dapat memberikan dasar
rasional mengenai mekanisme bagaimana "stress" dapat

mempengamhi timbulnya maupun beratnya penyakit


keradangan dan autoimun, oleh karena hormon respons
stres yang dicetuskan oleh stres mempunyai efek yang
nyatapada respons imun atau keradangan.
Dalam makalah ini akan dibicarakan beberapa aspek
tentang interaksi neuroendokrin dengan sistem imun: 1)'
Respons hsiologis sistem endokrin dan sistem sarafdalam
menghadapi stres. 2). Respons/ aktivasi sistem endokrin
dan sistem saraf pada keradangan. 3). Pengaruh sistem
neuro-endokrin yang secara simultan memberi sumbangan
pada patogenesa dan gambaran klinis keradangan dan 4)'
Pendekatan alternatif yang didasarkan pada aspek

neuro-endokin untuk terapi keradangan.

Gen respons imun


Respons neuro

Gambar 1. Beratnya penyakit keradangan merupakan hasil akhir


keseimbangan antara aktivitas respons imun dan respons neuro
endokrin dalam menghadapi gangguan dari lingkungan luar'

2436

REI,JMIIiIOI.OGI

RESPONS STRES NEURO ENDOKRIN

neuroendokrin juga merupakan unsur fisiologis yang


penting dari respons stres.

Hipotalamus yang merupakan organ sentral resppon stress

neuro endokrin,akan memberikan respons terhadap


berbagai rangsangan dengan mensintesa dan mensekresi

neuropeptida corticothropin-releasing hormon (CRH).


CRH akan merangsang hipofise anterior mensekresi

adrenocorticotropin (ACTH), yang selanjutnya akan


merangsang kelenjar adrenal untuk mensekresi
kortikosteroid. Sekresi CRH oleh hipotalamus dikontrol
ketat oleh beberapa sistem neurotransmiter yang akan
merangsang sekresi tersebut (sistem noradrenergik,
serotonergik,dan dopaminergik) dan beberapa sistem lain
yang akan menghambat (y-aminobutyric acid: GABA,
benzodiasepin maupun glukokortikoid).

RESPONS NEUROENDOKRIN PADAKEMDANGAN


Selama terjadi proses keradangan lokal terdapat sejumlah
mediator yang dilepaskan oeleh sel-sel imun yang dapat
mempengaruhi sel-sel disekitamya (parakrin) maupun selsel ditempat yang jauh melalui aliran darah (endokrin),
sepefii TNF,IL -7,IL-2,IL-6, IL- 1 0, IL-12 dan interferon-t.
Di samping imun mediator ini, sel-sel imun yang teraktivasi
juga beredar diseluruh tubuh. Pada tempat keradangan
lokal, serabut afferen sarafsensoris teraktivasi oleh faktor
kimiawi, mekanis, panas dan rangsangan imun, sehingga
akan terlepas sejumlah neurotransmiter disekitar saraf ter-

.TBehaviorl-

minal. Ketiga mekanisme ini (mediator imun, sel-sel yang


teraktivasi, afferen saraf sensoris) semuanya akan
meneruskan rangsangannya ke SSP dan organ-organ lain
(hati, kelenjar adrenal, kelenjar gonad, dl1).

PERUBAHAN DI TINGKAT SENTRAL PADA


HIPOTALAMUS DAN HIPOFISE
Pada rangsangan mediator prokeradangan yang kuat, SSP
akan bereaksi dengan mengaktifkan aksis hipotalamus-pi-

tuitary-adrenal (HPA) merangsang peningkatan kadar


hormon adrenokortikotropik (ACTH) dan steroid adrenal
(Gambar 3). Peningkatan aktivitas saraf simpatik akan
menyebabkan peningkatan sekresi neurotransmiter
System

Gambar 2. Skema komunikasi antara sistem imun dan neuro


endokrin

Di samping pengaruh neouroendokrinnya melalui


hipofise, CRH juga bekerja sentral dalam otak sebagai
suatu neuropeptida, untuk mencetuskan sejumlah
perubahan perilaku seperti peningkatan kewaspadaan,
perhatian dan penekanan fungsi-fungsi vegetativ seperti
pencemaan dan reproduksi. Bersama-sama respons seperti

itu dikenal sebagai respons "kabur atau melawan".


Komunikasi sistem CRH hipotalamus dengan dengan jalur
noredrenergikjuga teraktivasi selama respons stres, melalui

hubungan anatomis antara hipotalamus dan pusat

noredrenergik dibatang otak. Sebaliknya, sistem


noredrenergik batang otak mengirim sinyal ke perifer
melalui saraf simpatis. Melalui hubungan seperti itu, unsur

fisiologik respons stres, seperti peningkatan denyut


jantung, tonus otot dan keringat, bersamaan dengan
respons perilaku, membenfuk respons stres seluruhnya.
Penelitian dalam waktu akir-akhir ini menunjukkan bahwa
modulasi respons imunbaik oleh sistem simpatis maupun

disekitar saraf terminal. Tetapi, sitokin prokeradangan yang


sama misahya IL- 1 , TNF atau endotoxin, akan menghambat
sekresi gonadolropin-rel eas ing hormon dari hipotalamus,
luteinizing hormon dari kelenjar pituitari, dan berdampak
pada produksi testosteron pada pria dan estrogen pada

wanita. Secara fisiologis, selama proses keradangan


sistemik sistem reproduksi terhambat dan aksis HPA
teraktivasi.
Pada manusia dan tikus padakeadaan akut (hari ke I
terapi IL-6), IL-6 akan merangsang hipotalamus dan diikuti
sekresi dari ACTH. Keadaan yang sama juga terjadi pada
pemberian sitokin yang lain seperti IL-1 pada tikus, IL-2

pada manusia serta TNF pada manusia dan tikus.


Pemberian sitokin jangka panjang seperi IL-6 akan
menghasilkan respons ACTH yang tumpul pada manusia.
Pada acute adjuvant-induced arthritis terjadi aktivasi yang
kuat padaACTH, dimana pada arhitis kronik akan diikuti
oleh CRH hipotalamik yang rendah tetapi dengan kadar

arginin vasopresin yang meningkat. Keadaan ini


menunjukkan adanya perubahan respons pada tingkat
hipotalamus dan kelenjarpituitari jika sitokin ditingkatkan
secara kronik (misal selama keradangan kronik). Pada
keadaan seperti itu sekresi CRH danACTH relatif rendah
meskipun kadar sitokin meningkat.

INTERAKSII NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI

2437

PADA PROSES INFLAMASI

Adaptasi (perubahan respons) pada hipotalamus

dan P450c17 pada sel Leydig. Kondisi ini menyebabkan

tersebut merupakan prinsip yang fisiologis, namun belum

pengurangan hormon seksual dalam kelenjar gonad.


Sebaliknya sitokin prokeradangan yang sama (IL- I , TNF)
dan IL-6 mampu merangsang aktivitas enzim aromatase
kompleks pada jaringan nongonadal, dan menyebabkan
konversi androgen disepanjang jalur estrogen di perifer.
Jadi padajaringan kaya makrofag, didapatkan hubungan
bermakna antara aktivitas aromatase dan produksi IL-6,
yang menghasilkan kadar androgen rendah dan kadar
estrogen tinggi. Hasil rasio yang tinggi antara estrogen :
androgen telah diamati pada cairan sinovial pada pasien
AR pria dan wanita. Selama proses keradangan, terdapat

diketahui berapa konsentrasi sitokin dan waktu yang


diperlukan untuk menginduksi proses adaptasi ini pada
tingkat hipotalamus atau hipofise pada pasien dengan
keradangan menahun. Apabila pada pasien tidak terjadi
peningkatan kadar perangsangan sitokin yang konstan,
maka perubahan adaptasi pada tingkat ini mungkin tidak
terjadi.
Terdapat beberapa carabagaimana sitokin dari sistem
imun di perifer dapat merangsang SSP.Sitokin mungkin
secara aktif dibawa dari darah ke otak melewati barier otakdarah,atau mungkin melewati secara pasif melalui beberapa
titik kebocoran tertentu di barier tersebut. Jalur tersebut

pengurangan produksi hormon seksual pada tingkat


kelenjar gonad diikuti oleh kadar androgen yang rendah

mungkin lebih banyak timbul pada keradangan atau

pada serum dan cairan tubuh. Namun kadar estrogen relatif

penyakit lain dimana barier otak-darah menjadi lebih


permiabel.Akan tetapi sitokin juga dapat menimbulkan

tetap normal karena sitokin prokeradangan merangsang


produksi estrogen dari prekursor di sel-sel perifer (sel-sel
mama, osteoblast, sel-sel lemak, makrofag)
Secara keseluruhan respons SSP/neuro endokrin

efeknya tanpa masuk ke otak.Sitokin dapat diekspresikan


pada endotel pembuluh darah otak dandapat merangsang
dilepaskannya mediator kedua, seperti prostaglandin dan

ditujukan untuk menghambat proses keradangan di perifer.

di perifer

dengan

nitric oxid, di jaringan otak sekitarnya dan merangsang

SSP menghambat keradangan

neuron pada daerah tersebut. Fakta bahwa efek demam


yang ditimbulkan oleh IL-1 dapat dihambat oleh obat anti
inflamasi nonsteroid (OAINS) memberikan bukti tentang
adarya mekanisme seperti itu. Di samping pengaruhnya
langsung pada SSP, sitokin juga dapat mempengaruhi otak

menggunakan dua j alur secara paralel : 1 ) Aksis HPA dengan

melalui jalur saraf, terutama saraf vagus.

Perubahan di Tingkat Perifer : Kelenjar Adrenal


dan Gonad
Beberapa penelitian pada pasien AR menunjukkan sekresi

kortisol yang rendah dan tidak seimbang dalam

hormon anti keradangan utamanya yaitu kortisol ,.dat2).


Sistem saraf simpatik dengan anti keradangan utama
neurotransmiter norepinefrin (melalui p-adrenoseptor),
adenosin (melalui adenosin 2 lA2) reseptor) dan opioid
endogen. Kedua aksis ini mempunyai kemampuan sebagai
anti keradangan yang sangat kuatjika mereka bekerja secara
paralel. Namun pada AR, aksis-aksis ini mengalami
gangguan secara nyata, sehingga menyebabkan hilangnya
kemampuan anti keradangar.yatrg di perantarai oleh SSP
pada keradangan artikular lokal.

hubungannya dengan kadar sitokin prokeradangan dan


keradangan sistemik. Pada penyakit keradangan kronik lain
terdapat penumnan relatif kadar kortisol, misalnya pada :
Crohn's disease, Sjorgen's syndrome, SLE dan penyakitpenyakit yang lain. Data tersebut menunjukkan adanya
ketidak seimbangan antara sekresi kortisol yang rendah
dengan keradangan kronik yang berkelanjutan seperti pada
artritis reumatoid Reseptor glukokortikoid didapatkan normal atau meningkat pada monosit pasien AR, yang
sebelumnya tidak mendapat terapi glukokortikoid. Hal ini
mendukung konsep gangguan sekresi kortisol pada
beberapa penyakit keradangan menahun seperti artritis
reumatoid.
Pada pasien AR didapatkan juga penurunan kadar se-

rum androgen adrenal yang bermakna . Keadaan yang


sama (dengan penurunan androgen adrenal), terutama
DHEAS juga terjadi pada penyakit keradangan kronik lain,
seperti Crohn's disease, Ulcerative colitis, SLE, Systemic
Sclerosis dan Polymyalgia rheumatica.

Sitokin prokeradangan (IL-1, TNF) merupakan


penghambat yang penting pada berbagai fase produksi
hormon seksual, seperti halnya aktivitas enzim P450 ssc

Gambar 3. Jalur umpan balik anti-keradangan pada proses


keradangan sistemik (model : artritis rematoid)

2438

RELJMA-^IIOLOGI

Perubahan di Tingkat Perifer : Saraf Simpatis dan


Sensoris.

Dari salah satu studi menunjukkan konsentrasi yang


rendah dari p-adrenoseptor pada limfosit sinovial pasien

Beberapa penelitian membuktikan pengaruh sistem saraf


simpatis pada binatang model dengan artritis menahun.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa u-2 adrenergik
dan reseptor A1 terlibat pada sensitisasi serabut afferen

intraselular (penurunan jumlah reseptor l) sehingga


menimbulkan keadaan prokeradangan dari sel tersebut.
Pada studi yang lain tidak mengkonfirmasikan jumlah yang

Sebaliknya pada penelitian lain menunjukkan bahwa artritis

penurunan ekspresi dan aktivitas G protein receptor coupled kinase dalam monosit pasien AR. pengurangan

saraf sensoris, yarrg menyebabkan pelepasan


prokeradangan substansi P ke dalam lumen sendi.
eksperimental dapat dikurangi dengan pemberian
b- adrenergik agonis. Sistem saraf simpatis memainkan dua

peran pentlng tergantung dari ikatan atfiara


neurotransmiter simpatik d errgal o,2 atau p- adrenoseptor
dan A1 atau A2 adenosin reseptor secara berurutan
(Gambar 4). Perbedaan efek dari neurotransmiter simpatik

(norepineprin, epineprin, adenosin) konsisten dengan


konsep bahwa stimulasi b-adrenoseptor atau A2 reseptor

meningkatkan cAMP intraselular, dan menghambat


produksi sitokin prokeradangan seperti TNF, interferon y,
lL-2, darr IL-12. Efek yang berlawanan terjadi jika a-2
adrenoseptor atau Al reseptor di rangsang (Tabel l).

Hormon

atau

Neurotransmiter
Kortisol

Modulasi fungsi imun alami dan adaptif

Menghambat kerusakan

oksidatif,
kollagenase,
presentasi antigen, COX-2, lL-'1, lL-2, lL-6,
ll-l2, INF y, TNF, NF-rB dsb
Menghambat produksi radikal oksigen, lL,I,
IL-6, TNF
Menghambat lL-6, aktivitas NK sel
Menstimulasi produksi immunoglobulin
(konsentrasi fisiologis), menghambat I L-'1,
lL-6, TNF (konsentrasi farmakologis)
Menghambat radikal oksigen,
phagositosis, ekspresi HLA klas I and ll,
lL-2,lL-12,lNF y, TNF (tetapi
meningkatkan jalur Th2)
Menghambat cAMP intraseluler
(meningkatkan of TNF)
Menghambat radikal oksigen,
phagositosis, aktivitas NK sel, ekspresi
HLA klas ll, lL-2, INF y,lL-12, TNF (tetapi
meningkatkan jalur Th 2)
Menghambat cAMP intraseluler
Menghambat radikal oksigen,
phagositosis, aktivitas NK sel, lL-8, tL-12,
INF 1, TNF (tetapi meningkatkan jalur Th2)
Menstimulasi radikal oksigen,
phagositosis, kemotaksis monosit,
aktivitas NK sel, lL-1, lL-2,1L-4,11-8, lL-10,
lL-'12, TNF, produksi immunoglobulin,
prostaglandin E2

phagositosis, produksi

DHEA
Testosteron
Estrogen

CAMP

Norepinephrin (a2)
Norepinephrin (p)

Adenosin (Al )
Adenosin (A2)

Substansi P

Konsentrasi lokal neurotransmiter simpatik sangat penting

AR, dan menyebabkan penurunan kadar cAMp

rendah dari p--adrenoseptor, tetapi mendapatkan

aktivitas kinase akan menghasilkan stabilisasi jalur


signaling b-adrenoseptor (Gambar 4), jaltx kemokin dan
substansi P. Hal ini ditunjukkan melalui peningkatan
produksi cAMP dan penghambatan sekresi TNF oleh
rangsangan p-2 adrenergik pada monosit pasien AR.
Pengobatan yang menggunakan bahan penginduksi

cAMP pada pasien AR memberi efek

yang

menguntungkan, pengobatan dilakukan dengan injeksi


B- adrenergik agonis atau sintesis analog cAMP kedalam
sendi. Dosis rendah methotrexate (MTX) memberikan efek

anti-keradangan, melalui induksi akumulasi adenosin


ekstraselular yang berikatan dengan reseptor A2 dan
peningkatan oAMP intraselular. Studi terakhir dengan
kelompok yang sama menunjukkan bahwa obat anti
reumatik yang lain seperti sulfasalazin atau salisilat
menimbulkan efek anti keradangan melalui peningkatan
konsentrasi adenosine ekstraselular.
Kemungkinan lain efek lokal sistem simpatis melalui
pelepasan opioid endogen yang terlokalisir pada ujung

terminal saraf simpatik. Beberapa studi saat ini


menunjukkan bahwa injeksi intra artikular terutama
menggunakan p-opioid-agonis morfin spesifik dapat

mengurangi keradangan pada AR yang kronik.


Neurotransmiter simpatis norepineprin (melalui p),
adenosin (melaluiA2) atau opioid endogen (melalui p) akan
dapat menimbulkan efek anti-keradangan, hanya jika
serabut saraf simpatik ada pada jaringan sinovial. Studi

terakhir yang panjang pada pasien AR yang lama


(rata-rata sakit 10 tahun) menunjukkan pengurangan
serabut saraf simpatis yang sangat bermakna
dibandingkan pasien OA, keadaan ini tergantung dari
derajat keradangan pasien AR Hal ini dimungkinkan karena
pengurangan serabut sarafsimpatis pada penyakit kronik

akan menyebabkan uncoupling keradangan lokal dari


input anti-keradangan oleh SSP

Substansi P sebagai neurotransmiter utama


prokeradangan, telah diakui sacara luas. (Tabel l)
Pemberian lokal antagonis substansi P secara bermakna
mengurangi beratnya keradangan pada binatang model.
Lebih lanjut pada keadaan normal substansi p
mensensitisasi serabut saraf afferen artikuler dan pada
tikus yang mengalami keradangan pada sendi lututnya,

untuk imunomodulasi, sehingga kehilangan secara


lengkap dari serabut saraf simpatik pada eksperimen
simpatektomi akan mengurangi keradangan karena jalur

tekanan mekanik, nyeri dan peningkatan terus menerus

o-2 adrenergik di hilangkan.

P memberikan rangsangan sensasi nyeri yang terus

sehingga menyebabkan peningkatan sensitivitas terhadap


dari pelepasan substansi P ke dalam lumen sendi. Substansi

INTERAKSiI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI

2439

PADA PROSES INFLAMASI

menems di perifer. Kapsaisin sebagai obat analgesik, yang


primer merusak terminal afferen saraf sensoris, saat ini telah
dipergunakan sebagai obat topikal analgesik pada artritis
reumatoid.
Ada tidaknya afferen serabut saraf sensoris pada
jaringan sinovial yang terkeradangan sampai saat ini masih
menjadi pertanyaan. Seperli pada penemuan serabut saraf
simpatik, kadar substansi P berkurang padajaringan sinovial
AR. Pada suatu studi perbandingan menunjukkan bahwa
kadar substansi P yang agak tinggi di dapatkan pada pasien

AR dibandingkan dengan pasien OA. Perbandingan


langsung substansi P dan serabut simpatik menunjukkan
jumlah yang lebih besar dari - l0:1, untuk afferen sensoris

primer dibandingkan dengan efferen simpatis, jumlah afferen


sensoris yang besar ini tergantung dari keradangan lokal.
Kesimpulannya adalah bahwa jumlah yang berlebihan ini
mungkin menyebabkan keadaan prokeradangan yang tidak
baik, kondisi ini mendukung proses penyakit AR.

di sel-sel perifer seperti makrofag. Androgen seperti halnya


testosteron, mempunyai kemampuan anti keradangan.
DHEA dan DHEAS, merupakan kumpulan hormon yang
bertanggung jawab pada kondisi anti-keradangan di perifer,
pada saat kelenjar gonad mengalami involusi selama proses

penuaan. DHEA mempunyai reseptor intraselular yang


berpengaruh langsung pada efek anti-keradangan pada
manusia dan hewan.
Secara umum, androgen pada konsentrasi fisiologis
cenderung unfuk menekan respons imun. Pada konsentrasi
fisiologis (10 8 M) dan farmakologis (konsentrasi yang
lebih tinggi dari fisiologis) (10j M) testosteron mampu
menghambat sekresi IL-l B oleh monosit pada pasien AR'

Pada konsentrasi fisiologis testosteron menghambat


sintesa IL- I pada kultur primer makofag sinovial manusia,
Pada studi lain dihidrotestosteron mampu menekan
ekspresi dan aktivitas human IL-6 gen promotor pada

fibroblast manusia. Hal

ini

mendukung konsep anti

keradangarVefek imunosupresif androgen.


Secara umum pada konsentrasi fisiologis, estrogen
meningkatkan respons imun dan terutama berperan

,[@D
T
\\

Sensory
nerve fbers

;m\

(uo," )inephrine

Substance P

\Ad znostne //

l\

l
P*

'11#\

-l

:'r-\ A;rlr
#"F
\.-.trarton gAtt-r,
f
--Y

\I t--;;f___l
tl

inflammatoryl l

,inflammatoryl

antiI inftammatorY

Gambar 4. Keterlibatan dari serabut saraf simpatik dan sensoris


pada keradangan .jaringan sinovial artritis reumatoid

PERAN NEURO ENDOKRIN PADA MODULASI


RESPONS IMUN
Selama lebih dari 50 tahun telah dipelajari secara intensif

efek multipel anti keradangan kortisol. Hormon ini


mempunyai aktivitas yang multipel sebagai anti

sebagai stimulator imunitas humoral. (Gambar 5). Dari hasil

penelitian dilaporkan bahwa 17 p estradiol mampu


meningkatkan produksi IgG dan IgM oleh PBMC pada
pria dan wanita, tanpa merubah viabilitas atau proliferasi
sel.Studi lebih lanjut mengkonfirmasikan bahwa 17 pestradiol mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
produksi poliklonal IgG yang meliputi anti double stranded

DNA IgG pada PBMC pasien SLE oleh peningkatan


aktivitas sel B melalui IL-10. Efek estrogen bimodal pada
produksi sitokin (IL-1, IL-6, TNF), pada konsentrasi
farmakologis yang tinggi (10 6 M) terjadi penurunan
sintesa, dan peningkatan produksi sitokin terjadi pada
konsentrasi fisiologis (<10 8M). Ditunjukkan juga bahwa
estrogen mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
sekresi matriks metaloproteinase oleh sinoviosit ' Kadar
estrogen serum pasien dengan AR tidak mengalami
perubahan yang berbeda dengan kadar androgen.
Hormon steroid dapat dikonversi di sepanjang jalur
aktivasi hormon di perifer. Dari hasil penelitian ditunjukkan
bahwa konversi DHEA terjadi di dalam makrofag dan

anti keradangan IL-10. Beberapa studi menunjukkan


efektivitas dari terapi glukokortikoid pada binatang

tergantung dari status diferensiasi serta adanya endotoksin.


Pada wanita post menopause dan pria tua, ketersediaan
DHEA adrenal sangat penting untuk memelihara kadar
hormon seksual secara bermakna di perifer' Sampai saat ini
belum diketahui secara pasti makrofag atau sel imun perifer
lain yang mampu mensintesis hormon steroid dalamjumlah
cukup dengan menggunakan kolesterol.

dengan artritis dan pada pasien AR. Disimpulkan bahwa


pada konsentrasi fisiologis yang tinggi, kortisol (tO-ul0r) akan berfungsi sebagai anti keradangan

PENGARUH SISTEM SIMPATIS PADA RESPONS

keradangan, meliputi: penghambatan sitokin, fagositosis,


kerusakan oksidatif, dan menginduksi siklooksigenase 2

(Tabel 1). Selain itu, kortisol secara langsung mengaktifkan


respons imun Th-2 in vivo, melalui peningkatan sitokin

Dua hormon adrenal yang disekresikan karena


pengaruh stimulasi ACTH adalah dehydroepiadrosterone
(DHEA) dan s ulfated derivative DHEAS.DHEA merupakan
hormon aktif, yang dapat dikonversi dari reaksi androgen

IMUN

Hormon epineprin adrenal, neurotransmiter gimpatis


norepineprin dan adenosin (setelah konversi dari ATP)

2440

REUMIIiTOI.OGI

mempunyai peran ganda dalam imunomodulasi, karena


ikatan merekapada G protein-coupled receptor subtypes
yang berbeda. Epinefrin lebih cenderung berikatan dengan
B-adrenoceptor (reseptor l, pada konsentrasi fisiologis
tinggi a-adrenoseptor juga menunjukkan sebagai reseptor
2), dan norepineprin lebih senang berikatan dengan
a-adrenoceptor (reseptor 2, pada konsentrasi fisiologis
tinggi p-adrenoceptor juga menunjukkan sebagai reseptor
l). Adenosin lebih suka berikatan dengan reseptor A1
(reseptor 2). Pada konsentrasi fisiologis tinggi juga
berikatan dengan reseptor ,{2 (reseptor l). Ikatan padrenoseptor atau reseptor,A.2 meningkatkan kadar cAMp

intraselular, dan ikatan or-adrenoceptor atau reseptor


menurunkan kadar oAMP intraselular (Gambar 6).

Al

Synovial fluid, Cartilage, Bone

TNF
lL-10
lL-6

lsc

IL.4
lt-2
lFNy

kadarnya, hal ini berhubungan dengan aktivitas antikeradangan yang maksimum hanya terjadi pada konsentrasi

fisiologis l0

"-

l0 5 M.
Sampai saat ini substansi P (Neurotransmiter afferen
sensoris) dipandang merupakan neurotransmiter
prokeradangan (Tabel 1). Sebagai contoh, substansi p
mampu menstimulasi IL-l,IL-2, TNF dan Nuklear Factor
rB dari beberapa tipe sel. Hal ini menunjukkan bahwa
substansi P merupakan agen prokeradangan yang poten.
Peran agen prokeradangan ini pada artritis akut telah
dibuktikan.

Aktivasi aksis HPA dan aksis adrenergik secara


bersamaan telah dibuktikan mempun yai efek modulasi
respons imun yang lebih kuat dari pada efek masingmasing aksis tersebut secara terpisah.Misalnya, pada
pengobatan asma secara lokal atau sistemik,p-adrenergik
agonis dan glukokortikoid mempunyai efek sinergistik
dalam mengeliminasi obstruksi bronkus. Aktivasi yang
simultan aksis HPA melalui peningkatan korlisol dan aksis
adrenergik melalui peningkatan norepineprin, mempunyai
efek tambahan dalam meningkatkan cAMP intraselular
(Gambar 6), seperti yang ditunjukkan pada beberapa sel.

Kortisol akan membantu meningkatkan produksi


norepineprin dan epineprin dari saraf simpatis terminal dan

medulla adrenal, melalui sintesa enzim. Sehingga


peningkatan kadar kortisol dan norepineprin secara
bersamaan dengan konsentrasi lokal l0a - l0-5 M

Gambar 5. Efek langsung dan tidak langsung dari androgen (A)


dan estrogen (E)pada produksi sitokin/imunoglobulin oleh sinovial/
sel-sel imun pada jaringan sinovial pasien Rheumatoid Arthritis.
Tanda (+) : perangsangan dan tanda (-) : penghambatan.

mempunyai efek anti-keradangan yang lebih besar dari


pada substansi tersebut berada dalam keadaan tunggal.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kedua sistem antikeradangan yaitu aksis HPA dan aksis adrenergik harus
diaktivasi secara simultan untuk mendapatkan efek antikeradangan yang maksimal. Komunikasi aksis HPA dan

aksis adrenergik terlihat terganggu pada penyakit


keradangan kronik.

t'::1,:.:r

PERJALANAN PENYAKIT ARTRITIS REU MATOID:


SEBUAH MODEL UNTUK INTERAKSI NEURO.
ENDOKRIN.IMUN

Gambar 6. Jalur anti-keradangan yang sinergistik antara kortisol


dan neurotransmiter- neurotransmiter simpatik,
Secara umum peningkatan tonus simpatik akibat dari

aktivitas saraf simpatis akan menghasilkan peningkatan


kadar epineprin, norepineprin, dan adenosin (sesudah
konversi dari ATP) pada sirkulasi sistemik dan disekitar
saraf terminal. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
cAMP intraselular pada beberapa sel target. Peningkatan
oAMP oleh mekanisme ini mampu merangsang beberapa
efek anti-keradangan pada mekanisme imun. Konsentrasi
lokal molekul efektor simpatik penting untuk diperkirakan

Pada fase awal atau aktivasi dari penyakit, jalur imun


alamiah dan adaptif diaktifkan untuk mengeliminasi faktor
pencetus yang mungkin untukAR, pada lingkungan mikro

sinovial. Pada fase ini, adalya respons imun

prokeradangan yang kuat untuk mengeliminasi faktor


pencetus lokal, akan menyebabkan aktivasi organ-organ
jauh seperti SSP, kelenjar pituitari, kelenjar adrenal dan
hati .Pada fase awal respons prokeradangan, terjadi umpan
balik anti-keradangan untuk mengontrol proses
keradangan di sendi-sendi yang jauh. Namun, setelah
beberapa minggu, proses keradangan tidak dapat dikontrol
lagi secara adekuat karena aksis HPAdan aksis HPG akan
menghasilkan hormon steroid anti-keradangan dalam

jumlah yang kurang dan sangat tidak sesuai untuk

INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI

mengatasi keradangan tersebut. Pada kenyataanya serum


korlisol dan kadar androgen gonad/adrenal rendah pada
keradangan menahun, tetapi kadar serum estrogen tetap
normal. Secara simultan dalam periode 14 hari dari fase
akut penyakit, jumlah serabut saraf simpatis dan serabut
saraf sensoris menurun. Regenerasi serabut saraf terjadi
inkomplit dan terbatas hanya pada serabut saraf sensoris
saja setelah fase akut keradangan. Hasilnya substansi P
dari serabut saraf hampir mencapai kadar normal selama
perjalanan panjang dari penyakit, tetapi didapatkan kadar
yang sangat rendah dari serabut saraf simpatis.
Selanjutnya, kedua hormon steroid dan neurotransmiter

anti-keradangan dari sistem saraf simpatis (antikeradangan hanya terdapat pada konsentrasi tinggi) di
sekresi dalam jumlah rendah yang sangat tidak memadai
(Gambar 7). Kondisi ini menyebabkan ketidak seimbangan
yang berkelanjutan pada lingkungan mikro sinovial dan
menyebabkan perburukan penyakit, walaupun pada situasi
tanpa adanya trigger awal yang persisten. Pada skenario

patogenesa

2441

PADA PROSES INFLAMASI

AR ini, mekanisme patogenik yang telah

diketahui pada lingkungan mikro sinovial lokal (mekanisme


imun lokal) juga dipertimbangkan bersama-sama dengan
konsep yang mengalami beberapa perubahan dari dua jalur
umpan balik utama sistem anti-keradangan yaitu aksis HPA
dan aksis HPG (Gambar 7)

Terapi

Target
Substitusi kelenjar
adrenal

Substitusi kelenjargonad
Substitusi sistem saraf
simpatis lokal fialur antikeradangan)

Kortisol dan analognya

roepia nd rostero n
Testosterone (pasien pria);
d e h id

progesteron (estrogen)
Adenosin lokal (meningkat
dengan metotrexat, sulfasalazin,
salisilat); opioid lokal (popioidergic seperti morpin);
p-agonis adrenergik lokal;
mekanisme peningkatan cAMP
lokal

Blokade substansi P

Antagonis Neurokinin recePtor;


kaspaisin lokal

Pada suatu studi besar double blind dengan kontrol


plasebo terhadap pasien dengan SLE aktif ringan,
menunjukkan bahwa DHEA menghasilakan efek hemat

glukokortikoid. Pada waktu yang lebih singkat (4 bulan)


studi terbuka terhadap pasien AR, tidak ditemukan efek
DHEA pada aktivitas penyakit, namun studi ini tidak
difokuskan pada densitas mineral tulang dan paramater
jangka panjang lainnya. Efek klinis yang positif, misalnya
terpeliharanya densitas mineral tulang dan perlindungan
dari atherosklerosis diharapkan timbul setelah I tahun dan
bukan dalam waktu 4 bulan.
DHEA di perifer di ubah oleh sel target (misal makrofag)

menjadi sejumlah testosteron dan estrogen yang


mencukupi, sehingga DHEA dapat dipakai sebagai

tambahan terapi pengganti testosteron

atau

estrogen pada pria atau wanita dewasa yang menderita

AR. Terapi penganti hormon dengan DHEA dapat


diperlimbangkan untuk dipakai sebagai terapi pada pasien
AR, jika kadar hormon tersebut menurun secara signifikan.
Hal ini bermanfaat pada pasien yang secara simultan
menerima terapi kortikosteroid dan berisiko tinggi untuk
Gambar 7. Ringkasan skenario patogenesis penyakit kronik pada
reumatoid artritis

PILIHAN PENGOBATAN BERDASARKAN


PERSPEKTIF INTERAKSI NEUROENDOKRIN . IMUN
Pendekatan terapeutik yang baru harus dipertimbangkan
seiring dengan adanya perubahan jalur umpan balik antikeradangan pada AR (Tabel 2). Berkenaan dengan adanya
interaksi imun-endokrin, substitusi kortisol pada pasien
AR merupakan prinsip terpenting karena adanya sekresi

yang rendah dari hormon ini sehubungan dengan


keradangan. Saat ini penggantian kortisol dosis rendah
(f. 7,5 mg Prednison/hari) telah ditetapkan dalam
pengobatan AR. Lebih jauh lagi pemberian androgen
adrenal seperti DHEA sepertinya menghasilkan efek yang

menguntungkan pada penyakit keradangan kronik.

osteoporosis. Studi jangka panjang diperlukan untuk


mengevaluasi efek yang mungkin timbul dari terapi
pengganti hormon pada pasien tanpa osteoporosis.
Kadar serum estrogen yang normal pada pasien AR
dan fungsi estrogen sebagai pemacu respons imun seperti
diuraikan sebelumnya, menunjukkan kerterkaitan yang
lemah dalam pengujian terapi pengganti hormon estrogen
pada pasien AR. Ketertarikan akan pengaruh estrogen ini
terlihat pada penggunaan kontrasepsi oral yang memiliki
efek protektif terhadap perkembangan RA. Hasil dari
beberapa studi terkontrol dengan kontrasepsi oral ternyata
memberikan hasil yang saling bertentangan. Studi terbaru
menunjukkan hanya pada pemakaian awal dari kontrasepsi
oral, pada saat fase inisiasi dari AR yang memiliki efek
proteksi dari keradangan poliarthritis. Sampai saat ini,
belum ada kesepakatan yang dicapai sehubungan dengan

penggunaan kontrasepsi oral dan kaitannya dengan


prevensi danperkembangan RA. Namun jika ada efek, hal

2442

REI.JMIIITIOIOGI

itu merupakan efek yang kecil karena kontrasepsi oral


hanya merupakan modulator yang lemah pada AR.
Mungkin penggunaan modulator reseptor selektif

estrogen (SERM

Selective Estrogen Receptor

Modulators) dapat diperhitungkan. Kandidat SERM dapat


menginduksi pembentukan tulang tanpa menginduksi efek
prokeradangan sel imun.
Mempertimbangkan aktivitas imunosupresif yang

dihasilkan androgen, hormon pria dan derivatnya,


tampaknya memberikan pendekatan terapeutik yang
paling menjanjikan. Studi terbaru mendukun gadanyaefek

positifdari terapi pengganti androgen adjuvan pada pasien

kortikosteroid saja (pengukuran hasil akhir : skor sendi,


paramater keradangan sistemik, kerusakan sendi secara
radiologis, densitas mineral tulang),4) Terapi lokal dengan
kombinasi kortikosteroid plus morfin dosis rendah
dibandingkan dengan kortikosteroid saja (pengukuran
hasil akhir : pembengkakan sendi, skor nyeri, durasi efek).
Hal-hal yang diungkapkan di atas merupakan 4 contoh

kemungkinan percobaan klinik yang menunjukkan


pandangan yang sesuai dengan patogenitas penyakit. Hal
tersebut menunjukkan adanya pilihan pengobatan yang
menawarkan strategi tambahan terhadap pengobatan AR

AR pria. Obat anti reumatik Cyclosporin A dapat

berdasarkan pendekatan yang difokuskan pada faktor


imun-neuroendokrin.

menghasilkan efek anti-keradangan dengan memacu kadar


testosteron lokal dan metabolitnya di target sel sinovial.
Terapi penggantian sistem saraf simpatis lokal harus
ditujukan pada mekanisme yang merangsang kadar cAMp
intasel pada sel imun target (Tabel 1). Peningkatan lokal

KESIMPULAN

dari adenosin atau noerepineprin dapat menjadi tujuan


terapi. Adenosin ekstrasel yang meningkat akan
menghasilkan efek anti-keradangan melalui reseptor -A2
sebagai akibat dari terapi dengan MTX dosis rendah dan

dengan sulfasalazin atau salisilat.

MTX dosis rendah

merupakan salah satu prinsip lain dalam terapi AR, yang


dapat mendukung pendapat bahwa kehilangan serabut
saraf simpatis menyebabkan rendahnya kadar adenosin,

ini menunjukkan sebagai suatu faktor penting dalam


patogenik penyakit. Penggantian lokal dari agonis
m-opiodergik dan agonis b-adrenergik akan menjadi prinsip

yang sangat penting. Substansi-P merupakan

neurotransmiter prokeradangan yang penting, sehingga


inhibisinya dengan neurokrin 1 antagonis atau
kapsaisin lokal dapat dipertimbangkan dalam terapi lokal
AR.
Berdasarkan pilihan terapi ini, perlu dikaji beberapa
percobaan farmakologi klinis untuk dilakukan pada pasien
dengan AR. Ini di mungkinkan untuk dijadikan percobaan

di

masa mendatang, yang memerlukan penelitian

multisenter dengan cara kontrol-plasebo dan double blind,


sebagai berikut : l) Terapi kombinasi sistemik setidaknya
I tahun dengan MTX dosis rendah, kortikosteroid dosis
rendah plus DHEA dibandingkan dengan MTX dan
kortikosteroid saja (pengukuran hasil akhir : skor sendi,
paramater keradangan sistemik, kerusakan sendi secara
radiologis, densitas mineral tulang), 2) Terupi sistemik

kombinasi pada pasien pria setidaknya 1 tahun dengan


MTX dosis rendah, kortikosteroid dosis rendah plus
testosteron dibandingkan dengan MTX dan kortikosteroid
saja (pengukuran hasil akhir : skor sendi, paramater
keradangan sistemik, kerusakan sendi secara radiologis,
densitas mineral tulang), 3) Terapi kombinasi sistemik

setidaknya

I tahun dengan MTX dosis rendah,

korikosteroid dosis rendah plus obat anti depresan (misal

amitriptilin dosis rendah atau antagonis substansi-P yang

baru, MK-869) dibandingkan dengan MTX dan

Dari uraian yang telah disajikan di atas, pernyataan berikut

ini menjadi jelas : 1). Sekresi yang rendah dan tidak


memadai dari kortisol sehubungan dengan keradangan

merupakan gambaran yang

tipikal dari penyakit

keradanagan menahun 2). Sekresi androgen adrenal


berkurang secara signifikan, yang menjadi problem pada
wanita postmenopause dan pria usia lanjut karena
kekurangan hormon seks. 3). Kadar serum testosteron

berkurang secara nyata pada penyakit keradangan


menahun. 4). Serabut saraf simpatikberkurang secara nyata

di jaringan sinovial pada pasien dengan arlritis menahun

sedangkan serabut saraf sensorik prokeradangan


(substansi-P) masih ada. 5). Substansi-P bekerja untuk
terus menerus merasakan rangsang nyeri di perifer, dan
input nosiseptif dari sendi yang meradang menunjukkan
amplifikasi yang besar pada medula spinalis. Hal ini
menyebabkan nyeri yang terus menerus dengan stabilisasi
input afferen sensori dan pelepasan yang kontinyu dari
substansi-P prokeradangan di lumen sendi.
Dari fakta inijelas bahwaperubahan sistem umpan balik
anti-keradangan memberikan sumbangan yang penting
pada patogenesis artritis menahun. Terapi yang di tujukan

pada perubahan ini, harus menghasilkan sebuah


mekanisme untuk menggantikan kelenjar adrenal
(glukokortikoid), kelenjar gonadal (androgen), dan serabut
saraf simpatik (peningkatan adenosin oleh MTX dosis
rendah, sulfasalazin dan salisilat) unfuk mengintegrasikan
efek imunosupresinya di tempat tokal dari proses
keradangan sendi tersebut. Walaupun proses lokal dari
sistem imun adaptif penting pada patogenesis fase akut
artritis, mekanisme ini menjadi kurang penting pada fase
kronik dari penyakit ini dimana tidak ditemukan faktor
pencetus yang spesifik. Adanya defek dari sistem umpan
balik anti-keradangan merupakan faktor penting pada
perburukan artritis menahun. Pendekatan terapi kombinasi
dengan dasar imun-neuroendokrin merupakan kepentingan

yang mendasar dalam terapi artritis menahun yang


berorientasi secara patogenik.

INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI

Kanda N, Tamaki K. Estrogen enhances immunoglobulin

REFERENSI

production by human PBMCs. J Allergy Clin Immunol

Baerwald CG, Laufenberg M, Specht T. Von Wichert P, Burmester GR,

Krause. A Impaired sympathetic influence on the immune


response in patients with rheumatoid arthritis due tolymphocyte
subset- spesific modulation of beta 2-adrenergic receptor BrJ
Rheumatol 1997 ;36:1262-9.
Blab S, Engel J-M, Burmester G-R. The immunologic homunculus in
rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1999 ;42 :2499 - 506.

Carson

DA Rheumatoid arthritis:

pathogenesis and future

therapies. Annual Scientific Meeting of the American College


of Rheumatology; 1999 Nov 13-17;Boston.
Castagnetta L, Cutolo M, Granata OM, Di Faico M, Bellavia V,
Cam.rba G. Endogrine end-points in rheumatoid arthritis. Ann N
Y Acad Sci 1999:876: 180-91; discussion 191-2.

Chikanza 1C, Petrou P, Kingsley G, Chrousos G, Panayi GS.

Defective hypothalamic response to immune

and

inflammatory stimuli in patients with rheumatoid arthritis


Arthritis Rheum 1992;35:1281 - 8.
Chrousos GP. The hypothalamic-pituitary-adrenal axis and
imune-mediated inflammation N Engi J Med 1995:332:1351 - 62
Cutolo M, Accardo S, Villaggio B, Barone A, Sulli A, Balleari E, et a1
Androgen metabolism and inhibition of interleukin-1 sythesis

in primary cultured human synovial macrophages. Mediators


Inflamm 1995;4:138.
Cutolo M, Accardo S, Villaggio B, Clerico P, Indiveri F, Camrba G, et
al. Evidence for the presence of androgen receptors in the

synovial tissue of rheumatiod arthntis patients and healthy


controls. Arthritis Rheum 1992 ; 35 :1007-15.
Cutolo M, Sulli A, Seriolo B, Accardo S, Masi AI, Estrogens, the
immune response and autoimmunity. Clin exp Rheumatol 1995;
13:217 -26.
Cutolo M, Wilder R. Dilferent roles for androgens and estrogens in
the susceptibility to autoimmune rheumatic diseases Rheum
Dis Clin North Am 2000 ;26:825 - 39.
Ebringer A, Wilson C, Tiwana H. Is rheumatoid arthritis a form of
reactivearthritis ? J Rheumatol 2000 ;27 : 559 - 63.
Ehrhart-Bomstein M, Hinson JP, Bomstein SR, Scherbaum WA,

Vinson GP. Intraadrenal interactions in the regulation of


adrenocortical steroidogenesis. EndocrRev 1998;19:101 -43.
Eijsbouts A, van den HF, Laan R, de Waal MM, Hermus A, Sweep C,

et al. Similar response of adrenocorticotrophic hormone,


cortisol and prolaction to surgery in rheumatoid arthritis and
osteoarthritis (letter). Br J Rheumatol 1998;37:1138-9.
Firestein GS, Nguyen K, Aupperle KR, Yeo M, Boyle DL, Zvaifler
NJ. Apoptosis in rheumatoid arthritis: p53 overexpresion in
rheumatoid arthritis synowium. Am J Pathol 1996:149:2143

51.

Hales DB, Interleukin-1 inhibits leydig cell steroidogenesis


primarily by decreasing 17 alpha-hydroxylase / C 17-20 lyase
cytochrome p450 expression. Endrocrinologi 1992;131:2165-'72.
Harbuz MS, Jessop DS. Is there a defect in cortisol production in
rheumatoid arthritis ? Rheumatology (Oxflord) 1999:38:298

302

Hu SK, Mitcho YL, Rath NC. Effect ofestradiol on interleukin 1


synthesis by macrophages. Int J Immunopharmacol 1988;
10:247

2443

PADA PROSES INFLAMASI

52.

Imai S, Takunaga Y, Konttinen Y! Maeda ! Hukuda S, Santavirta


S Ultrastructure of the synovial sensory peptidergic fibers is
distinctively altered in different phases of adjuvant induced
arthritis in rats : ultramorphological study
Janossy G, Panayi G, Duke 0, Bofill M, Poulter LW, Goldstein G.
Rheumatoid arthritis : a disease of T-lymphocte/macrophage
immunoregulation. Lancet 1981 ;2: 839-42.

1999;1O3:282

8.

Khalkali-Ellis Z, Seftor EA, Nieva DRC, Handa RJ, Price RH Jr,


Kirschmann DA, et al. Estrogen and progesterone regulation of
human fibroblast-like synoviocyte function in vitro:
implications in rheumatoid arthdtis. J Rheumatol 2000;27:1622-31
Konttinen YT, Kemppinen P, Segerberg M, Hukkanen M, Rees R,
Santavirta S, et al Peripheral and spinal neural mechanism in
arthritis, with particular reference to treatment ol inflammation and pain. Arthritis Rheum 1994 :37 : 965 - 82.
Laemont KD, Schaefer CJ, Juneau PL, Schrier DJ. Effects of the
phosphodiesterase inhibitor ro'lipram on streptococcal cell

wall-induced arthritis in rats. Int J Immunopharmacol


1999

21:7ll-25.

Lechner 0, Wiegers GJ, Oliveira-Dos-Santos AJ, Dietrich H, Recheis


H, Waterman M, et a1 Glucocorticoid production in the murine

thymus Eur J Immunol 2000;30:337 - 46.


Levine JD, dark R, Devor M, Helms C, Moskowitz MA, Basbaum
A1 Intraneuronal substance P contributes to the severity of
experimental arthritis. Science 1984;226:547 -9.
Li ZG, Danis VA, Brooks PM. Effect ofgonadal steroids on the
production of IL-1 and 1L-6 by blood mononuclear cells in
vitro. Clin Exp Rheumatol 1993;! 1:157-62
MacDiarmid F, Wang D, Duncan Ll, Purohit A, Ghilchick MW,
Reed MJ. Stimulation of aromatase activity in breast fibroblasts
by tumor necrisis factor a1pha. Mo1 cell Endocrinol Metab 1994;
106:17 -21

Mapp PI, Kidd BL, Gibson SJ, Terry JM, Revell PA, Ibrahim NB, et
al. Substance P, calcitonin gene-related peptide- and C flanking
peptide of neuropeptide Y-immunoreactive fibres are present
in notmal synovium but depleted in patients with rheumatoid
arthritis. Neuroscience \990:.31 :143-53.
Masi AI, Bijisma JW, Chikanza 1C, Pitzalis C, Cutolo M Neuroendocrine, immunologic, and microvascular system interactions
in rheumatoid arthritis : physiopathogenetic and theraupeutic
perspectives. Semin Arthritis Rheum 1999 ; 29:65-81
MatucciCerinic MM, Konttinen Y, Generini S, Cutolo M. Neuropeptides and steroid hormones in arthritis. Curr Opin Rheumatol
1998 ;17 : 64 - 102.
Miller LE, Justen H-P, Scholmerich J, Straub RH. The loss of
sympathetic nerve fibers in the synovial membrane of patient
with rheumatoid arthritis is accompanied by increased norepineprine release from synovial cel1s. FASEB I 2000,14:2097-

2t07.
Muller-Ladner U, Kriegsmann J, Franklin BN Matsumoto S, Geiler
! Gay RE, et al. SyTrovial fibroblasts of patients with rheumatiod
arthritis attach to and invade normal human cartilage when
engrafted into SClD mice Am J Pathol 1996:149:1607-1533 Naitoh Y, Fukata J, Tominaga ! Nakai Y, Tamai S, Mori K, et
a1. Interleukin-6 stimulates the secretion of adrenocorticotropic hormone in conscious, freely-moving rats Biochem Biophys
Res Commun 1988; 155:1459

63

Niijima A, Hori T, Aou S, Oomura Y. The effects of interleukin-1


beta on the activity of adrenal, splenic and renal sympathetic
nerves in the rat. J Auton Nerv Syst1991;36:183-92.
Sanden S, Tripmacher R, Weltrich R, Rohde W, Hiepe F, Burmester
OR, et al Glucocorticoid dase dependent downregulation of
glucocorticoid receptors in patient with reumatic diseases. J

Rheumatol 2000;27 :1265-7 0.


Schmidt M, Kreutz M, Loffler G, Scholmerich J. Straub RH.
Conversion of dehydroepiandrosterone to downstream steroid

2444

hormones in macrophages. J Endocrinol 2000:164:16l - 9.


Seriolo B, Cutolo M, Gamero A, Accardo S. Relationships between

serum 17 beta-oestradiol and anticardiolipin antibody


concentrations in female patients with rheumatoid arthritis.
Rheumatology (Oxford) 1999;38:1159 - 61.
Spector TD, Perry LA, Tubb G Silman AJ, Huskisson EC. Low free
testosterone levels in rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis
1988;47:65 - 8.
Strenberg EM, Komarow HD. Neuroendocrine immune interactions.
Principles and relevance to systemic lupus erythematosus. In
Wallace DJ., Hahn BH (eds). Dubois lupus erlhematosus 6,h ed.
Lipincott William, Wilkins. Philadelphia. 2002, 3t9-338.

REUM'INOI.OGT

! Mizugaki Y, Matsubara L, Imai S, Koike T, Takada K.


Lytic Epstein-Barr virus infection in the synovial tissue of

Takeda

patients with rheumatoid arthritis. Arthritis Meum 2000;43 :


t218 - 25.
Trang LE, Lovgren 0, Roch-Norlund AE. Horn RS, Waalas 0, Cyclic
nucleotides in joint fluit in rheumatoid arthritis and in reiter's
syndrome. Scand J Rheumatol 1979;8:91-6.
Van der Poll T, Barber AE, Coyle SM, Lowry SF. Hypercortisolemia
increases plasma interleukin-10 concentrations during human
endotoxemia - a clinical research center study. J. Clin Endocrinol

Metab 1996;81:3604 - 6.

384
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIS
PENYAKIT MU SKULOSKELETAL
Harry Isbagio, Bambang Setiyohadi

TERMINOLOGI

RIWAYATPENYAKIT

Sebelum melangkah lebih lanjut sebaiknya terlebih dahulu


dikenal berbagai terminologi yang sering digunakan dalam

bidang penyakit reumatik. Hal ini diperlukan untuk


kesamaan pengertian agar kita tidak rancu dalam

Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal


diagnosis semua penyakit, termasuk pula penyakit
reumatik. Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat
penyakit yang deskriptifdan kronologis; ditanyakan pula

menggunakannya.
Berbagai istilah yang perlu diketahui adalah

faktor yang memperberat penyakit dan hasil pengobatan


untuk mengurangi keluhan Pasien.

.
.
.

Artralgia: merupakan keluhan subyektif berupa rasa


nyeri di sekitar sendi, pada pemeriksaan fisis tidak
didapatkan kelainan.
Artritis: kelainan sendi obyektif, berupa inflamasi sendi
disertai tanda in{lamasi yang komplit (tumor, rubor, kalor,
dolor, gangguan fungsi)

Monoarfitis: arbitis yang hanya mengenai satu sendi saja.


Oligo artritis/pausi-artikular: artritis yang m eny etang 2
sampai 4 sendi atau kelompok sendi kecil. Dalam hal ini
sendi interfalang distal : DIP, sendi interfalang proksimal
PIP, sendi metakarpofalangeal: MCP, sendi karpalis,

Umur
Penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapl
frekuensi setiap penyakit terdapat pada kelompok umur
tertentu. Misalnya osteoartritis lebih sering ditemukan
pada pasien usia lanjut dibandingkan dengan usia muda.
Sebaliknya lupus eritematosus sistemik lebih sering di
temukan pada wanita usia muda dibandingkan dengan
kelompokusia lainnya.

sendi metatarsofalangeal : MTP dan sendi tarsalis


merupakan kelompok sendi yang kecil yang di hitung
sebagai satu sendi walaupun yang terserang beberapa
sendi. Contoh bila yang diserang sendi PIP II, PIP [I,
PIP IY dan PIP V baik secara serentak atau berurutan

.
.
.
.
.
.

maka di hitung hanya sebagai satu sendi yang terserang.

Poliartritis: artritis yang menyerang lebih dari 4 sendi


kelompok sendi kecil.
Sinovotis: inflamasi sinovia sendi yang klinis nyata
Tenosinovitis: inflamasi sarung tendon
Tendinitis: inflamasi tendon
Bursitis : inflamasi bursa
Entesopati; inflamasi atau kelainan entesis (tempat
melekatnya ligamen, tendon, atau kapsul sendi ke
atau

periosteum tulang).

Jenis Kelamin

Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin


berbeda pada beberapa kelompok penyakit. Pada tabel2
dapat dilihat perbedaan tersebut.

Nyeri Sendi
Nyeri sendi merupakan keluhan utama pasien reumatik.
Pasien sebaiknya diminta menjelaskan lokasi nyeri serta

punctum maximumnya, karena mungkin sekali nyeri


tersebut menjalar ke tempat jauh merupakan keluhan
karakteristik yang disebabkan oleh penekanan radiks saraf.
Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan

perubahan mekanis dengan nyeri yang disebabkan


inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang
setelah istirahat serta tidak timbul pada pagi hari merupakan

2446

REUMA*IOLOGI

tanda nyeri mekanis. Sebaliknya nyeri inflamasi akan


bertambah beratpadapagihari saat bangun tidur dan disertai

kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan
berkurang setelah melakukan aktivitas. pada artritis
reumatoid, nyeri yang paling berat biasanya pada pagi hari,
membaikpada sianghari dan sedikit lebihberatpada malam
hari. Sebaliknya pada osteoartritis nyeri paling berat pada
malam hari, pagi hari terasa lebih ringan dan membaikpada
siang hari. Pada artritis gout nyeri yang terjadi biasanya
berupa serangan yang hebat pada waktu bangun pagi hari,

sedangkan pada malam hari sebelumnya pasien tidak


merasakan ap a-apa,rasalyeri ini biasanya self limiting dal
sangat responsif dengan pengobatan. Nyeri malam hari
terutama bila dirasakan seperti suatu regangan merupakan
nyeri akibat peninggian tekanan intra-artikular akibat suatu
nekrosis avaskular atau kolaps tulang akibat artritis yang
berat. Nyeri yang menetap sepanjang hari (siang dan malam)
pada tulang merupakan tanda proses keganasan.

biasanya akibat desakan cairan yang berada di sekitar


jaringan yang mengalami inflamasi (kapsut sendi, sinovia,
atau bursa). Kaku sendi makin nyata pada pagi hari atau

setelah istirahat. Setelah digerak-gerakkan, cairan akan


menyebar dari jaringan yang mengalami inflamasi dan
pasien merasa terlepas dari ikatan (wears ffi. Lama dan
beratnya kaku sendi pada pagi hari atau setelah istirahat
biasanya sejajar dengan beratnya inflamasi sendi (kaku
sendi pada artritis reumatoid lebih lama dari osteoartritis;
kaku sendi pada artritis reumatoid berat lebih lama daripada
artritis reumatoid ringan).

Bengkak Sendi dan Deformitas


Pasien yang sering mengalami bengkak sendi, ada
perubahan wama, perubahan benfuk atau perubahan posisi
struktur ekshemitas. Biasanya yang dimaksud pasien dengan
deformitas ialahposisi yang salah, dislokasi atau sublukasi.

Disabilitas dan Handicap


Usia

Muda pertengahan lanjut


(2-2s th)
(30-s0 th)
(65+161
Penyakit Still
Spondilitis ankilosis
Penyakit Reiter
Demam reumatik
Artritis pada kolitis ulseratif
Artritis septik
Gonokok
Stafilokok dan infeksi lain
Artritis gout
Lupus eritematosus sistemik
Artritis reumatoid
Polimiositis
Skleroderma
SLE akibat obat
Penyakit paget
Osteoartritis
Polimialgia reumatika
Penyakit deposit kalsium
pirofosfat
Osteopenia
Mestastasis karsinoma atau
mieloma multipel
- : hampir tak pernah terjadi;
+ :jarang; ++ : sering terjadi;

++
++
++

+
+
+

++

++
+

+l-

+++
++
+
+
+

+++
++
+
++
++
++
+++
++
+++
++
+++

+++
+++

+
+
+

kesukaran bila pekerjaan yang bersangkutan dapat


dilakukan sambil duduk saja). Sebaliknya disabilitas ringan

++
++
++
++
++
++

Disabilitas terjadi apabila suatujaringan, organ atau sistem


tidak dapat berfungsi secara adekuat. Handicap terjadi bila
disabilitas mengganggu aktivitas sehan-hari, aktivitas sosial
atau mengganggu peke4'aan/jabatan pasien. Disabilitas yang
nyata belum tentu menyebabkan handicap (seoratg yang
amputasi kakinya di atas lutut mungkin tidak akan mengalami

+/- : sangatjarang;
+++ : sering terjadi

justru dapat mengakibatkan handicap.

Gejala Sistemik
Penyakit sendi inflamatoir baik yang disertai maupun tidak
disertai keterlibatan multisistem lainnya akan mengakibatkan
peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau
CRP. Selain itu akan disertai gejala sistemik seperti panas,

penurunan barat badan, kelelahan, lesu dan mudah


terangsang. Kadang-kadang pasien mengeluh hal yang tidak
spesifik, seperti merasa tidak enak badan. Pada orang usia
lanjut sering disertai gejala kekacauan mental.

Gangguan Tidur dan Depresi


Artritis reumatoid
Lupus eritematosus sistemik
Spondilitis ankilosis
Penyakit Reiter
Artritis psoriatik
Artropati intestinal
Artropati reaktif
Artritis gout
Osteoartritis koksae
Osteoartritis lutut dan tangan

Pria < wanita ('l : 3)


Pria < wanita
Pria > wanita
Pria > wanita
Pria < wanita
Pria = wanita
Pria = wanita
Pria > wanita
Pria = wanita
Pria < wanita

Kaku Sendi
Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa
sukar untuk menggerakan sendi (worn offl. Keadaan ini

Faktor yang berperan dalam gangguan pola tidur antara


lain: nyeri kronik, terbentuknya fase reaktan, obat anti
inflamasi nonsteroid (indometasin). Pada artropati berat
terutama pada koksae dan lutut akan berakibat gangguan
aktivitas seksual yang akhimya akan menimbulkan problem
perkawinan dan sosial. Perlu diperhatikan pula adanya gejala
depresi terselubung seperti retardasi psikomotor, konstipasi,
mudah menangis dsb.

PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan jasmani khusus pada sistem muskuloskeletal

meliputi:

2447

ANAMNESIS DAI\ PEMERIKSAAN FISIS PENYAKIT MUSKULOSKELETAL

.
.
.

tatih dengan jangkauan yang pendek-pendek. Tubuh

Inspeksi pada saat diam / istirahat


Inspeksi pada saat gerak
Palpasi

bagian atas fleksi ke depan dan selama gerak berjalan,


lengan tidak diayun.

Scissor gait,yaittgayaberjalan dengankeduatungkai

bersikap genu velgum sehingga lutut yang satu berada


di depan lutut yang lain secara bergantian.

Gaya Berjalan
Gaya berjalan yang normal terdiri dari 4 fase, yaitu heel
strike phase, loading/stance phase, toe off phase dan
swing phas e. P ada heel strike phas e, lengan dialun diikuti
gerakan tungkai yang berlawanalyatg terdiri dari fleksi
sendi koksae dan ekstensi sendi lutut. Pada loading/
stance phase, pelvis bergerak secara simetris dan teratur

melakukan rotasi ke depan bersamaan dengan akhir


gerakan tungkai pada heel strike phase.Pada toe olfphase,
sendi koksae ekstensi dan tumit mulai terangkat dari lantai.
Pada swingphase sendi lutut fleksi diikuti dorsofleksi sendi

talokruralis.
Gayabe{alan
. Heel strike phase
. Loading/stance phase
. Toe offphase

Swing phase.

swing phase

yang nyeri atau deformitas sementara pada tungkai


yang sehat akan lebih lama diletakkan di lantai; biasanya
akan diikuti oleh gerakan lengan yang asimetri.
GayaberjalanTrendelenburg, disebabkanolehabduksi

koksae yang tidak efektif sehingga panggul

'
.
.

,
.

kontralateral akanjahrh pada swing phase.


Waddle gait, yaitlu gayaberjalan Trendelenburg
bilateral sehingga pasien akan berjalan dengan pantat
bergoyang.
GayaberjalanhisterikaVpsikogenik,

GaYa Berialan
phaser, 2. Loading/stance phaser, 3. Toe-off phase; 4. Swtng phas

Gambar 1. Gaya berjalan


1. heel strike phase; 2. loading/stance phase;3. toe off phase;4.

Gaya berjalan yang abnormal :


Gaya berjalan antalgik, yaitu gaya berjalan pada pasien
artritis di mana pasien akan segera mengangkat tungkai

. Heel stike

tidakmemilikipola

tertentu.

Gaya berjalan paraparetik spastik, kedua tungkai


melakukan gerakan fleksi dan ekstensi secara kaku dan
jari-jari kaki mencengkeram kuat sebagai usaha agar
tidak jatuh.

Gaya berjalan paraparetik flaksid (high stepping


gait:steppage gait), yaifi gaya berjalan seprti ayam
jantan, tungkai diangkat vertikal terlalu tinggi karena
terdapat foot drop akibat kelemahan otot tibialis
anterior.
Gaya berjalan hemiparetik, tungkai yang parese akan
digerakkan ke samping dulu baru diayun ke depan
karena kolcsae dan lutut tidak dapat difleksikan.

Gayaberjalan ataktik/serebelar (broad base gait),ked\a


tungkai dilangkahkan secara bergoyang goyang ke

depan dan ditapakkan secara ceroboh di atas lantai


secara berjauhan satu sama lain.
Gaya berj alan parkinson (stopping, fes tinant gait), geruk
berj alan dilakukan perlahan, setengah diseret, tertatih-

Sikap/postur Badan
Perlu diperhatikan bagaimana cara pasien mengatur posisi
bagian badan yang sakit. Sendi yang meradang biasanya
mempunyai tekanan intra-artikular yang tinggi, oleh karena
ifupasien akan berusaha menguranginya dengan mengafur
posisi sendi tersebut seenak mungkin, biasanya dalam
posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal
dengan bantal. Pada sendi bahu (glenuhomeral) dengan
cara lengan diaduksi dan endorotasi, mirip dengan waktu
menggendong tangan dengan kain pada fraktur lengan.
Sebaliknya bila dilakukan abduksi dan eksorotasi maka

pasien akan merasa sangat kesakitan karena terjadi


peningkatan tekanan intraartikular. Ditemukamya postur
badan yang membengkok ke depan disertai pergerakan
vertebra yang terbatas merupakan gambaran khas
spondilitis ankilosa.

Deformitas
Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan
diam, tetapi akan lebih nyatapada keadaan gerak. Perlu
dibedakan apakah deformitas tersebut dapat dikoreksi
(misalnya disebabkan gangguan jaringan lunak) atautidak
dapat dikoreksi (misalnya restriksi kapsul sendi atau
kerusakan sendi). Berbagai deformitas di lutut dapat terjadi
antara lain genu vanrs, genu valgus, genu rekurvatum,
subluksasi tibia posterior dan deformitas fleksi. Demikian
pula deformitas fleksi di siku. Pada jaringan langanantaru

lairt boutonniere finger, swan neck firtger, ulnar


deviation, subluksasi sendi metakarpal dan pergelangan
tangan. Pada ibu j ari tangan ditemukan un s t ab I e - Z- s hap e d

2448

REI,IMIIiION.OGI

thumbs. Pada kaki ditemukan telapak kaki bagian depan


melebar dan miring ke samping disertai subluksasi ibu jari
kaki ke atas. Pada pergelangan kaki terjadi valgue ankle.

merupakan tanda artropati atau penyakit kapsular. Nyeri


raba periartikular agak jauh dari batas daerah sendi

Perubahan Kulit

Pergerakan

Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau


penyakit kulit sering pula disertai penyakit reumatik.

Pada pemeriksaan perlu

Kelainan kulit yang sering ditemukan antara lain psoriasis


dan eritema nodosum. Kemerahan disertai deskuamasi pada

kulit di sekitar sendi menunjukkan adanya inflamasi

merupakan tanda bursitis atau entesopati.

dinilai luas gerak sendi pada

keadaan pasifdan aktifdan dibandingkan kiri dan kanan


Sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak
sendi pada semua arah. Tenosinovitis atau lesi periartikular

penadikular, yang sering pula merupakan tanda artritis septik

hanya menyebabkan berkurangnya gerak sendi pada satu


arah saja. Artropati akan memberikan gangguan yang sama

atau adritis kristal.

dengan sinovitis. Bila gerakan pasif lebih luas


dibandingkan dengan gerakan aktifmaka kemungkinan ada

Kbnaikan Suhu Sekitar Sendi


Pada perabaan dengan menggunakan punggung tangan
akan dirasakan adanya kenaikan suhu disekitar sendi yang
mengalami inflamsi.

Bengkak Sendi
Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan
lunak atau tulang. Cairan sendi yang terbentuk biasanya
akan menumpuk di sekitar daerah kapsul sendi yang
resistensinya paling lemah dan mengakibatkan bentuk
yang khas pada tempat tersebut, misalnya :
. Pada efusi lutut maka cairan akan mengisi cekungan

medial dan kantung suprapatelar mengakibatkan

.
.
.

pembengkakan di atas dan sekitar patelayangberbentuk


seperti ladam kuda.
Pada sendi interfalang pembengkakan terjadi pada sisi

posterolateral di antara tendon ekstensor dan ligamen


kolateral bagian lateral.

Efusi sendi glenohumeral akan mengisi cekungan


segitiga di antara klavikula dan otot deltoid di atas otot
pektoralis.

Pada efusi sendi pergelangan kaki akan terjadi

gangguan pula pada otot atau tendon. Nyeri gerak


merupakan tanda diagnostik yang bermakna, nyeri ringan

hingga sedang yang meningkat tajam bila dilakukan


gerakan semaksimal mungkin sampai terasa tahanan
disebut sebagai stress pain. Bila didapatkan stress pain
pada semua arah gerak, maka maka keadaan tersebut
merupakan tanda khas untuk gangguan yang berasal dari
luar sendi (tenosinovitis). Nyeri yang dirasakan sama

kualitasnya pada semua arah gerak sendi, lebih


menunjukkan gangguan mekanik dari nyeri inflamasi.
Resisted active movement merupakan suatu cara
pemeriksaan untuk menemukan adatya gangguan
periartikular. Pemeriksaan ters ebut dilakukan den gan car a
pasien melawan gerakan yang dilakukan oleh tangan
pemeriksa, akibatnya terjadi kontraksi otot tanpa disertai
gerakan sendi. Bila timbul rasa nyeri maka hal tersebut
barasal dari otot, tendon, atau insersi tendon, misalnya
pada

'

timbulnya rasa nyeri pangkal paha merupakan tanda


tendinitis aduktor.

. Tahanan pada aduksi glenohumeral

pembengkakan pada sisi anterior.


Bulge sign ditemukan pada keadaan efusi sendi dengan

jumlah cairan yang sedikit dalam ronggayarrg terbatas.


Misalnya pada efusi sendi lutut bila ditakukan pijatan pada
cekungan medial maka cairan akan berpindah sendiri ke
sisi medial. Baloon sr'gn ditemukanpada keadaan efusi
dengan jumlah cairan yang banyak. Bita dilakukan tekanan
pada satu titik akan menyebabkan penggelembungan di
tempat lain. Keadaan ini sangat spesifik pada efusi sendi.
Pembengkakan kapsul sendi merupakan tanda spesifik
sinovitis. Pada pembengkakan tergambar batas kapsul
sendi, yang makin nyata pada pergerakan dan terabapada
pergerakan pasif.

Tahanan pada aduksi sendi koksae yang mengakibatkan

yang

mengakibatkan timbulnya rasa nyeri pada lengan atas


merupakan tanda gangguan otot suprasinatus dan lesi
pada tendon.
Tahanan pada ekstensi siku yang menyebabkan nyeri
pada epikondilus lateralis merupakan tanda tennis
elbow.

Sama halnya dengan di atas, pada passive stress test,


bila pasien mengikuti gerakan tangan pemeriksa akan timbul
rasa nyeri sebagai akibat regangan ligamen atau tendon,
misalnya uji Finkelstein pada tenosinovitis De Quervain
Qtassive stress otot abduktor polisis longus dan ekstensor
polisis brevis menimbulkan rasa nyeri).

Krepitus
Krepitus merupakan bunyi berderak yang dapat diraba

Nyeri Raba

sepanjang gerakan struktur yang terserang. Krepitus halus

Menentukan lokasi nyeri rabayatg tepat merupakan hal

merupakan krepitus yang dapat

yang penting untuk menentukan penyebab keluhan pasien.

menggunakan stetoskop dan tidak dihantarkan ke tulang


di sekitamya. Keadaan ini ditemukan padaradangsarung

Nyeri raba kapsular/artikular terbatas pada daerah sendi

di dengar

dengan

2449

ANAMNESIS DAN PEIVIERIKSAAN FISIS PET.TYAKIT

tendon, bursa atau sinovia. Pada krepitus kasar, suaranya


dapat terdengar dari jauh tanpa bantuan stetoskop dan
dapat diraba sepanjang tulang. Keadaan ini disebabkan
kerusakan rawan sendi atau fulang.

Bunyi Lainnya
Ligamentous snaps mervpakan suara tersendiri yang
keras tanpa rasa nyeri. Keadaan ini merupakan hal yang
biasa terdengar di sekitar femur bagian atas sebagai click-

ing hips. Cracking merupakan bunyi yang diakibatkan


tarikan pada sendi, biasanya pada sendi jari tangan,
keadaan ini disebabkan terbentuknya gelembung gas
intraartikular. Cracking tidak dapat diulang selama
beberapa menit sebelum gas tersebut habis diserap.
Cloncking merupakan suara yang ditimbulkan oleh
permukaan yang tidak teratur (iregular), suara ini
ditemukan misalnya pada gesekan antara skapula dengan

igu.

Atrofi dan Penurunan Kekuatan Otot


otot merupakan tanda yang sering ditemukan. Pada

Atrofi
sinovitis segera terjadi hambatan refleks spinal lokal
terhadap otot yang bekerja untuk sendi tersebut. Pada

artropati berat dapat terjadi atrofi periartikular yang luas.


Sedangkan pada jepitan saraf, gangguan tendon atau dtot
terjadi atrofi lokal. Perlu dinilai kekuatan otot, karena ini
lebih penting dari besar otot.

Perubahan Kuku
Perubahan kuku sering ditemukan pada penyakit reumatik,
antara lain:

Jari tabtth (clubbing finger) berhubungan dengan


osteoartropati hipertrofik pulmoner dan alveolitis

'

fibrotik.
Thimble

Serpihan berdarah (splinter haemorhages) pada

pitting onycholysis (lisis kuku berbentuk

lubang) dan distrofi kuku berhubungan dengan artropati


psoriatik dan penyakit Reiter konik.

vaskulitis pembuluh darah kecil.

Lesi Membran Mukosa


Keadaan ini sering tanpa gejala (pada penyakit Reiter atau
artropati reaktif) atau dengan gejala (lupus eritematosus
sistemik, vaskulitis, sindrom Behcet). Perlu diperhatikan
adanya ulkus pada oral, genital dan mukosa hidung,
telangiektasia.

Gangguan Mata
Gangguan mata meliputi

Episkleritis dan skleritis pada artritis reumatoid,

.
.
.

vaskulitis dan polikondritis.


Iritis pada spondilitis ankilosis dan penyakit Reiter
laonik.
Irdosklitis pada artritis juvenil kronikjenis pausiartikular'
Konjungtivitis pada penyakit Reuter akut dan sindrom
sika.

Ketidakstabilan/Goyah
Sendi yang tidak stabil/goyah dapat terjadi karena proses
trauma atau radang pada ligamen atau kapsul sendi. Pada

artropati dapat terjadi sendi goyah sebagai akibat


kerusakan rawan sendi atau inflamasi kapsul atau ruptur
ligamerV perlu dibandingkan sendi yang goyah dengan
sendi sisi lainnya.

Gangguan Fungsi
Fungsi sendi dinilai dengan observasi pada penggunaan
normal; seperti bangkit dari kursi dan berjalan dapat
digunakan untuk menilai sendi koksae, lutut dan kaki'
Kekuatan genggam dan ketepatan menjepit benda halus
untuk manilai tangan. Sedangkan aktivitasnya hidup
sehari-hari (activities of daily living -- ADL) seperti
menggosok gigi, buang air besar, memasak dan
sebagainya lebih tepat ditanyakan dengan kuesioner
daripada diperiksa langsung.

Nodul
Nodul sering ditemukan pada berbagai artropati, umumnya
ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan,
siku, tumit belakang, sakrum). Nodul sering ditemukan

pada artritis gout (tofi) dan artritis reumatoid (nodul


reumatoid).

EVALUASI SENDI SATU PERSATU

Sendi Temporomandibular (temporomandibular


ioinf = TMJ)
TMJ terletak di anterior liang telinga, dibentuk oleh
kondilus mandibula dan fossa temporalis. Sendi ini dapat
jari di anterior liang telinga
di p

dan

embuka dan menutuP mulut


dan menggerakan mandibula ke lateral kiri dan kanan
bergantian. Gerak vertikal TMJ dapat diukur dengan
mengukur jarak gigi seri atas dan bawah pada pada waktu
pasien membuka mulut secara maksimal, normal sekitar
:-6 .*. Berbagai artritis dapat mengenai TMJ, seperti

artritis kronik juvenilis yang dapat menyebabkan


pertumbuhan tulangmandibula terhenti dan
mengakibatkan mikrognatia. Pada arhitis yang berat, dapat
dipalpasi dan diauskultasi bunyi krepitus atau clicking'

Sendi Sternoklavikular, Manubriosternal dan


Sternokostal
Sendi sternoklavikular dibentuk oleh ujung medial
klavikula dan kedua sisi batas atas stemum. Di keduanya
terdapat sendi sternokostal

I.

Sendi manubriosternal

2450

REIJMIITOI.OGI

terletak setinggi sendi sternokostal II. Sendi sternokostal


III sampai dengan VII terletak sepanjang kedua sisi ster-

num di distal sendi sternokostal II. dari ketiga sendi


tersebut, hanya sendi sternoklavikular yang bersifat
diartrosis, sedangkan sendi yang lain merupakan
amfiartrosis atau sinkondrosis. Sendi sternoklavikular,
berada tepat di bawah kulit, sehingga sinovitis pada sendi
ini akan mudah dilihat dan dipalpasi. Sendi ini juga sering
terserang spondilitis ankilosa, artritis reumatoid dan
osteoartritis. Pada sendi sternokostal, sering didapatkan
ata:u rawan iga, keadaan ini
disebut osteokondritis.

nyeri pada sendi tersebut

Sendi Akrom ioklavikular (acro

ioclavi

cu

lar

joi nt

melakukan rotasi eksternal sendi bahu dan pemeriksa


menahannya. Tes positifbila pasien kesakitan, sedangkan
resisted active internal rotation pasien melakukan rotasi
internal sendi bahu dan pemeriksa menahannya. Tes positif
bila pasien kesakitan. Selain kelainan di atas, juga harus
dicari kemungkinan robekan rotator cuffyang dapat diperiksa
dengan drop-arm sign, yaitupasien tidak mampu menahan
abduksi pasif90' sendi bahu.

Sendi Siku
Sendi siku dibentuk oleh 3 sendi, yaifi sendi humeroulnar
yang merupakan sendi engsel serta sendi radiohumeral
dan radioulnar proksimal yang memungkinkan rotasi

lengan bawah. Untuk memeriksa sendi siku, jempol

=ACJ)

pemeriksa diletakkan di antara epikondilus lateral dan

ACJ dibentuk oleh ujung lateral klavikula dan tepi medial


prosesus akromion skapula. Pada orang tua sering
didapatkan penebalan tulang pada sendi ini. Nyeri lokal
pada bahu bersamaan dengan aduksi lengan melewati
depan dinding dada, menunjukkan adanyakelainan pada

lateral sulkus paraolekranon, sedangkan lata:u 2 jailainnya


pada medial olekranon. Siku harus dalam keadaan santai,

AC.I.

Sendi Bahu

digerakkan fleksi, ekstensi dan rotasi secara pasif, dicari


keterbatasan gerak dan krepitus. Bursitis olekranon, akan

tampak dan teraba di atas olekranon, biasanya timbul


setelah trauma atau akibat artritis. Pada siku pasien gout
juga dapat timbul tofus. Nyeri pada epikondilus lateral
dan medial menandakan adanya epikondilitis lateral

Sendi bahu merupakan sendi peluru yang dibentuk oleh


kaput humeri dan fossa glenoid skapula. Nyeri pada bagian

Dengan

lateral sendi ini mungkin berasal dari bursa subdeltoid,


sedangkan nyeri sepanjang kaput longus bisep biasanya
berasal dari tendinitis bisipitalis. Efusi, bila terlihat, akan
menggembung ke anterior. Palpasi sendi bahu dan strkturstruktur di sekitamya harus di ikuti dengan pemeriksaan
lingkup gerak sendi. Pertama kali, pemeriksa harus
memeriks a kemungkinan c edera dan ro t a t o r cuff . T endon

rotasi t

skapula

t(
,.

130

lJ

L
m

BAHU
Fleksi - ekstensi

fiaro6ro:olo

yang membent\k rotator cuff terdiri dari ligamen

supraspinatus, infraspinatus. Teres minor dan


subskapularis. Untuk mencari adanya lesi pada tendontendon bahu, dilakukat resisted active movemenls sendi
bahu, yaitu tes Speed dan tes Yergasson untuk mencari

lesi pada tendon bisep, resisted active abduction unhtk


mencari lesi pada tendon supraspinafus, resisted active
external rotation untuk mencari lesi pada tendon
infraspinatus dan teres minor dan resisted active intemal

',,,)

it

l,(

rotation untuk mencari tesi pada tendon suskapularis.

Tes ,Speeddilakukan pada

posisi siku ekstensi, kemudian


pasien melakukan fleksi sendi bahu sementara pemeriksa
menahannya. Tes ini positif bila pasien merasa nyeri pada
bahunya. Pada tes Yergasson, siku pasien difleksikan 90",
kemudian pasien melakukan supinasi, sementara pemeriksa
berusaha menahan agar supinasi tidak terjadi. Tes positif
bila pasien kesakitan. P ada resisted active abduction pasien
melakukan abduksi sendi bahu dan pemeriksa menahannya.
Tes positif bila pasien kesakitan. Bila pasien nyeri pada
lateral sendi bahu tetapi resisted actived abduction pasien
tidak menimbulkan nyeri, maka nyeri berasal dari bursa
subakromnion . P ada r es isted activ e extetual rotation pasien

BAHU
Rotasi internal - eksternal

ro

t
_-.o,o
50
oo(70)
eo]80so80
9o'9090j;;

eoel1m11o--'''ur.

SIKU
fleksi-ekstensi

10 m9060

70
60

130
&40

50

RADIO-ULNAR

,ooo pronasl-supinasi oo,o


SO
60
to

LR

Gambar 2. Gerak sendi siku

50
60
7o

.o.o

.+

SO

60

/to

245t

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIS PENYAKIT MUSKULOSKELETAL

(tennis elbow) dan epikondilitis medial @olfer elbow).


Dalam keadaan normal, sendi siku dapat difleksikan
150o - 160" dan ekstensi 0o. Gangguan ekstensi penuh
menunjukkan tanda awal sinovitis. Hiperekstensi lebih dari
o
5
menunjukkan hipermobilitas.

Pergelangan Tangan
Pergelangan tangan merupakan sendi yang kompleks.
Tulang-tulang karpal, terdiri dari 8 tulang pendek skafoid,
lunatum, trikuetrum, pisiform, trapezium, tr apezoid,
kapitatum dan hamatum. Kedelapan tulang tersebut, di
proksimal bersendi dengan radius dan ulna, sedangkan di
distal bersendi dengan tulang-tulang metakarpal. Tendon
otot-otot fleksor longus tangan melewati bagian folar
pergelangan tangan di dalam samng tendon di bawah
fleksor retinakulum (ligamen transversum karpal). Fleksor
retinakulum dan dasar tulang-tulang karpal membentuk
terowongan karpal. Nerl'us medianus melalui terowongan

akan mencetuskan parestesi (Phallen b wrist Jlexion sign).

Pada tenosinovitis otot abduktor polisis longus dan

ekstensor polisis brevis (de quervain's stenosing


tenosynovitis), deviasi ulnar secara pasif dengan posisi
jari-jari dalam keadaan fleksi akan menimbulkan nyeri pada
daerah radial pergelangan tangan (tes Finkelstein).
Berbagai deformitas yang dapat terjadi antara lain
adalah squaring pada tangan, akibat osteofitosis pada
sendi karpometakarpal.
Sendi MCP, PIP dan DIP merupakan sendi engsel. Pada
waktu j ari-jari fleksi, dasar proksimal falang akan bergeser
ke depan kaput metakarpal. Kulit pada permukaan palmar

tangan cukup tebal yang menutupi lemak dan tulang


metakarpal di bawahnya sehingga palpasi pada permukaan

palmar tangan lebih sukar di bandingkan permukaan

adalah jari ketiga, disusul jari keempat dan kelima. Jari


pertama dan kedua jarang terkena. Pada sisi dorsal
pergelangan tangan, sering timbul pembesaran kistik yang

dorsal tangan.
Artritis reumatoid merupakan kelainan yang sering
terjadi pada pergelangan tangan dan tangan yang di tandai
oleh pembengkakan pada sendi interfalang proksimal
menyebabkan jari berbentuk fusiformis; deviasi ulnar;
deformitas swan neck yang merupakan fleksi kontrakfur
sendi MCP, hiperekstensi sendi PIP dan fleksi sendi DIP;
dan deformitas boutonniere yang merupakan kontrakfur
fleksi sendi PIP dan hiperekstensi sendi. Selain itu dapat
juga di temukan deformitas Z jari I yang merupakan
kombinasi fleksi sendi metakarpofalangeal I dan

disebut ganglion. Sinovitis pada pergelangan tangan, lebih


mudah terlihat dari sisi dorsal, karena banyak tendon pada
sisi polar yang tumpang tindih. Dalam keadaan normal,

didapatkan adanya nodus Herberden pada sendi


interfalang distal dan nodus Bouchard pada sendi

ini superfisial

terhadap tendon fleksor. Aponeurosis

palmar juga menyebar keluar ke daerah palma manus dari

fleksor retinakulum. Pada kontraktur Dupuytren,


aponeurosis palmarmenebal dan kontarktur sehingga jarijari terfleksi pada sendi metakarpal. Yang sering terkena

hiperekstensi interfalang I. Pada osteoarlritis tangan sering

pergelangan tangan dapat difleksikan 80o-90o, ekstensi 70o,


deviasi ulnar 50o dan deviasi radial 30o.
Jepitan nenus medianus pada terowongan karpal, akan

interfalang proksimal.
Kelainan lain adalah jari teleskopik akibat resorpsi
falang pada artritis psoriatik sehingga menimbulkan lipatan

menyebabkan carpal tunnel syndrome, yang dapat


diketahui dengan melakukan perkusi nervus medianus
pada retinakulum fleksor yang akan menyebabkan

lorgnette).

parestesia pada daerah yang dipersarafi nervus medianus,


yaitu jempol, telunjuk dan jari tengah (tanda tinel). Palmar

fleksi sendi pergelangan tangan selama 30-60 detikjuga

kulit yang konsentrik (opera-glass hand

atau la main en

Selain kelainan sendi, kelainan pada kulit dan kukujuga

harus diperhatikan, misalnya fenomen Reynaud,


sklerodaktili pada sklerosis sistemik, onikolisis dan
hiperkeratosis subungual yang khas untuk arhitis psoriatik

dan

jari

tabuh (clubbing finger) yang khas untuk

osteoartritis hipertrofi k.

Sendi Koksae
Sendi koksae dibentuk oleh kaput femoris dan asetabulum.

20to

PERGELANGAN
devEsi rad

TANGAN

o-unlar

30

20 10

10 20

40
50

260

50

i2
L

Gambar 3. Gerak pergelangan tangan

Sendi metakarpopalangeal, interfalang proksimal dan distal


(Metacarpophalangeal, proximal and distal interphalangeal
iornts = MCP, PlP, DIP)

Lingkup geraknya cukup luas, tapi tidak seluas sendi bahu.


Stabilitas sendi dijaga oleh kapsul sendi yang kuat dan
dikelilingi oleh berbagai ligamen seperti lig iliofemoral
Bertini, lig pubofemoral dan lig iskiokapsular. Sendi koksae
juga dikelilingi oleh otot-otot yang kuat. Otot fleksor yang
utama adalah otot iliopsoas yang dibantu oleh otot sartorius dan rektus femoris. Aduksi koksae, dilakukan oleh
otot-otot aduktor longus, brevis dan magnus dan dibantu
oleh otot grasilis dan pektineus. Otot gluteus maksimus
merupakan otot abduktor utama, sedangkan gluteus

maksimus dan harmstring muscle merupakan otot

2452

REI.JM/fi)I.OGI

-^ 30

SIAS ke maleolus medialis dengan perbedaan yang dapat

90

di toleransi adalah 1 cm atau kurang. Bila pelvis miring


atau terdapat kontraktur abduksi atau aduksi, maka
pengukuran dilakukan dari maleolus medial ke titik tubuh

50
40
30

l0

20

20

t0

10

yang tetap, misalnya xifisternum dan hasilnya disebut

10

10

apparent leg-length discrepancy. Lokasi nyeri pada sendi


koksae sangat penting untuk menilai sumber nyeri. Nyeri

2a

uo'o 'o

no

co

-rot-o'00
KoKSAE
direkuk)

'oo,,o,ro

90 8o ,o

Fleksi - (lutut

oo
50

40
30

30

20

2A

10

10

0'

10

eo so

KOKSAE
-^
'" so adukasi-adukasi

oo

7o

ao

so

50
30
20

-'

10
0

-10

),
/_..,'
/.'
,o C/
40to

a a*,

20

lo o

lo

/ \..\
-,/ \\

RorASt
] ,n xo<snr
4o
oou
uo

20

30

,r,

,nr'o 'o 'o ' "

t'

'

*)
-oo

uo

l'rr.

Gambar 4. Gerak sendi koksae

ekstensor koksae.
Pemeriksaan koksae dimulai dengan mengamati pasien

dalam keadaan berdiri di muka pemeriksa. Bila panggul


terlihat miring, maka mungkin terdapat skoliosis, an at omi c
leglength discrepancy atau kelainan koksae. Kontraktur
koksae akan ditandai oleh deformitas abduksi dan aduksi.
Pada kontraktur aduksi, pelvis akan miring ke atas pada
sisi yang sehat, dan kedua tungkai ekstensi. Pasien dengan
kelainan sendi koksae, akan memiliki2 gayaberjalan yang
abnormal yaitu gaya berjalan antalgik akibat nyeri pada

koksae danlatau, gaya berjalan Trendelenburg pada


kelemahan otot abduktor. Untuk menilai kelemahan otot

abduktor gluteus medius, dapat dilakukan tes


Trendelenburg, yaitu dengan menyuruh pasien berdiri pada
sisi tungkai yang sakit; pada keadaan normal, otot abduktor
akan menjaga agar pelvis tetap mendatar, bila pelvis pada
sisi yang sehat jatuh, maka dikatakan tes positif dan
terdapat kelemahan otot gluteus medius.
Pada posisi terlentang, kontraktur fleksi koksae dapat
dilihat dari adanya lordosis lumbal dan pelvis yang miring

sehingga tungkai tetap lurus pada meja pemeriksaan.


Untuk menilai adanya kontraktur fleksi, dapat dilakukan
tes Thomas, yaitu dengan memfleksikan tungkai yang sehat

sehingga lordosis lumbal hilang, akibatnya tungkai yang


sakit akan ikut fleksi. Pada posisi terlentang, juga dapat
diukur leg-length discrepancy, yaitu pada posisi kedua
tungkai ekstensi. True leg-length discrepancy diukur dari

pada daerah lateral, biasanya diakibatkan oleh bursitis


trokanterik. Nyeri pada daerah anterior atau inguinal
biasanya berasal dari bursitis iliopsoas, atau kelainan lain
seperti hernia, aneurisma femoral atau abses psoas.
Sedangkan nyeri di daerah posterior biasanya berasal dari
sendi sakroiliaka, vertebra lumbal atau bursa iskial. Nyeri
akibat kelainan sendi koksae biasanya terasa di daerah
anterior atau inguinal.
Untuk menilai secara cepat gerak sendi koksae, dapat
dilakukan tes Patrick, yaitu dengan meletakkan tumit pada
bagian medial lutut kontralateral, kemudian menekan lutut
ke lateral menuju permukaan meja. Bila kedua lutut dalam
keadaan fleksi 90' dan dilakukan prosedur yang sama, maka
disebut tes Fabere.

Sendi Lutut
Sendi lutut merupakan gabungan dari 3 sendi, yait:u
patelofemoral, tibiofemoral medial dan tibiofemoral lateral.
Pada sendi tibiofemoral, terdapat meniskus lateral dan
medial. Sendi lutut diperkuat oleh kapsul sendi yang kuat,

ligamen kolateral lateral dan medial yang menjaga


kestabilan lutut agar tidak bergerak ke lateral dan medial;
dan ligamen krusiatum anterior dan posterior yang menjaga
agar tidak terjadi hiperfleksi dan hiperekstensi sendi lutut.
Fleksi lutut, akan diikuti rotasi internal tibia, sedangkan
ekstensi lutut akan diikuti rotasi eksternal femur. Patela
mempunyai fungsi untuk memperbesar momen gaya pada

waktu lutut ekstensi sehingga kerja otot quadriseps


femoris tidak terlalu berat. Pada inspeksi lutut, harus
diperhatikan kemungkinan adanya genu varus, genu
valgus dan genu rekurvatum. Pembengkakan di atas patela,
biasanya berasal dari bursitis prepatelar, sedangkan
sinovitis lutut biasanya lebih difus. Pembengkakan
posterior di fossa poplitea, biasanya berasal dari kista
baker. Nyeri pada sisi medial tibia di bawah sendi lutut,
biasanya berasal dari bursitis anserin. Nyeri pada bagian
bawah patela pada usia muda biasanya berasal dari sindrom

Sinding-Larsen-Johansson, sedangkan pada usia yang


lebih tua biasanya berasal dari tendinitis patelar Qumper b
knee). Nyeri pada tuberositas tibia pada anak muda,
biasanya disebabkan oleh epifisiolisis (Os good-Schlatter b
disease)
Pada waktu palpasi lutut, dapat teraba krepitus pada

waktu lutut difleksikan atau diekstensikan. Hal ini


menunjukkan kerusakan rawan sendi, misalnya pada
osteoartritis. Selain itu, pada waktu palpasi juga dapat
diperiksa adanya efusi sendi. Stabilitas ligamen kolateral

2453

ANAMNESIS DAIY PEMERIKSAAN FISIS PENYAKIT

dapat diperiksa dengan memfleksikan lutut 100'; kondilus

tendon itu di tekan atau penekanan pada insersinya di

femoral dipegang dengan tangan pemeriksa yang satu


sementara tangan yang lain menggerakan tungkai bawah
ke depan dan kebelakang. Untuk menilai stabilitas ligamen

kalkaneus. Gerak plantar-fleksi dilakukan oleh otot


gastroknemius dan soleus, dorso-fleksi oleh otot tibialis
anterior, sedangkan inversi oleh otot tibialis posterior dan

krusiatum, lutut di fleksikan 90", kemudian tungkai

eversi oleh otot peroneus longus dan brevis.

s itifl ,berarti
ligamen krusiatum. Kerusakan meniskus dapat diperiksa

sudah ada kelemahan

ber gerak (draw er s ign po

zo

dengan melakukan tes Mc-Murray, yaitlu tungkai


diekstensikan secara penuh, kemudian tangan pemeriksa
yang satu menggenggam lutut pasien dengan posisi
jempol pada I sisi dan jari-jari yang lain pada sisi yang
satu lagi, kemudian tangan pemeriksa yang satu lagi
memegang pergelangan kaki pasien. Pada posisi tungkai
bawah rotasi eksterna 15o, bunyi snap yang teraba atau
terdengar pada waktu tungkai bawah pasien di gerakkan
dari posisi ekstensi ke fleksi 90o menunjukkan adanya
robekan meniskus medial. Bunyi yang sama yang terdengar
pada waktu tungkai bawah dirotasi internal 30' dan
digerakkan dari fleksi ke ekstensi, menunjukkan robekan
pada meniskus lateral.

CD

1! o ro ,o
-30

GKt

PERGELANGAN
Fleksi plantatr dorcal

40
-50

ao

zo 10 9 10

zo

50

Gambar 6. Gerak pergelangan kaki

Kaki
Yang dimaksud dengan kaki adalah mid foot yang terdiri
dari 5 tulang-tulang tarsal selain talus dan kalkaneus dan
fore foot yang terdiri dari tulang-tulang metatarsal dan
jari-jari kaki. Kaki mempunyai struktur melengkung ke
dorsal yang memungkinkan penyebaran berat badan ke
kalkaneus di posterior dan ke-2 tulang sesamoid pada
tulang metatarsal I dan kaput metatarsal II-V di anterior'
Fungsi lengkung kaki adalah untuk menjaga fleksibilitas
kaki pada waktu berjalan dan berlari. Lengkung ini dapat
betambah akibat kelainan neurologik dan dis ebtrt pes cavus

atau berkurang dan disebut pes planus. Deformitas lain


pada kaki adalah hallux valgus, hammertoe deformity'
mallet toe dar cock-up toe. Hallittx valgus adalah deviasi
medial metatarsal sehingga kaki menjadi lebar dan kadangA GonuVarus;B GnuValgus;C

,,

ono

kadang timbul bunion. Hammertoe deformity adalah

Gsnu

to'o

hiperekstensi sendi metatarsofalangeal (MTP) diikuti fleksi


LUTUT
Fleks )

ao

t30
30

),)

Gambar 5. Deformitas sendi lutut dan Gerak sendi lutut

sendi PIP. Deformitas fleksi sendi DIP manghasilkan


mallet toe, sedangkan fleksi sendi PIP dan DIP yang diikuti
ekstensi dan subluksasi plantar sendi MTP disebut
cock-up toe deformity,
Nyeri pada tumit, sering disebabkan oleh plantar, spur,
sedangkan peradangan pada MTP I, sering disebabkan
oleh artritis gout.

Pergelangan Kaki
Pergelangan kaki terdiri dari 2 sendi, yaitu sendi tibiotalar
(true ankle joint) yang merupakan sendi engsel dengan
pergerakan dorsofleksi dan plantar-fl eksi, sedangkan sendi
subtalar memungkinkan gerak inversi dan eversi dari kaki.
Maleoli tibia dan fibula memanjang ke bawah, menutupi
talus dari medial dan lateral dan memberikan kestabilan
sendi pergelangan kaki. Kapsul sendi pergelangan kaki
sangat kuat pada bagian posterior dan memungkinkan
untuk pergerakan dorso dan plantar-fleksi.
Pada bagian belakang sendi ini terdapat tendon achiles

yang merupakan tendon otot gastroknemius dan soleus


yang memanjang ke bawah dan berinsersi pada permukaan

posterior os kalkaneus. Radang pada tendon ini,


menyebabkan rasa nyeri bila banyak berjalan atau bila

KAKI

nvrsiversi
40
3o

20

I i\

10010

\'30
20

,\40

I
10

10

30

20

GambarT. kaki

Vertebra
Vertebra harus diperiksa dalam posisi duduk atau berbaring

telungkup, tetapi untuk menilai kesegarisan vertebra,


pemeriksaan harus dilakukan dalam posisi berdiri.
Kemiringan pelvis dan bahu mancurigakan ke arah kelainan
kurvatura vertebra atau I e g- I en gl h d i s crep ancy. Otot-otot

2454

REIJMAIOI.OGI

paraspinal harus selalu di palpasi untuk mencari adanya


nyeri dan spasmus.
Gerakvertebra servikal, meliputi antefleksi 45o, ekstensi
50o-60o, laterofleksi 45o dan rotasi 60o-80.. Separuh dari
fleksi dan ekstensi total servikal terjadi pada ketinggian
oksiput C1, sedangkan sisanya terbagi rata pada C2-C1 .
Selain itu, separuh dari rotasi servikal terjadi pada sendi
atlantoaksial (odontoid) sedangkan sisanya terbagi rata
pada C2-C6. Pada laterofleksi, semua vertebra servikal
mempunyai andil yang sama besar. Pemeriksaan khusus

jarak titik-titik tersebut berturut-turut dari bawah ke atas


adalah 50%, 40% dan 30%o. Caru lain adalah dengan

yang harus dilakukan vertebra servikalis adalah


foraminal compression test, tes Valsava dan tes Adson.
Tiga tes yang pertama digunakan untuk menilai adatya
jepitan saraf. Pada foraminal compression test, leher
dirotasi dan dilaterofleksi ke sisi yang sakit, kemudian
kepala ditekan kebawah, bila ada jepitan saraf akan

kemudian tungkai bawah difleksikan perlahan-lahan

menimbulkan nyeri yang menjalar ke lengan atau sekitar


skapula. Bila kepala distraksi ke atas (distraction test),
nyeri akan berkurang. Pada shoulder depression test, I
tar,gat pemeriksa diletakkan pada bahu dan tangan
pemeriksa yang lain diletakkan pada kepala kemudian bahu
di tekan ke bawah sedangkan kepala dilaterofleksi ke arah

yang berlawanan, jepitan pada saraf servikal akan

mengukurjarakCl -Thl2 dan T12-S I dalam keadaan berdiri


tegak, kemudian pasien disuruh antefleksi maksimal, maka
jarak C7-Tl2 akan memanj ang 2-3 cm, sedangkan jarak
T 12 -

I akan memanjang 7-8cm.

Untuk menilai iritasi radiks, dapat dilakukan

tes
Lasegue danFemoral nerve stretch /esl. Tes Lasegue (SLR
: sraight legralslng) merupakan tes yang sering dilakukan.
Pasien disuruh berbaring telentang dalam keadaan santai,

sampai 70" dengan lutut dalam keadaan ekstensi, catat


sudut yang dicapai pada waktu pasien merasakan nyeri.
Kemudian pasien disuruh memfleksikan lehemya sampai

dagunya menyentuh dinding dada, atau secara pasif


kakinya didorsofleksikan, nyeri yang timbul menandakan
regangan dura, misalnya pada HNP sentral; bila nyeri tidak
timbul, maka nyeri SLR diakibatkan oleh kelainan otot
harmstring, atau nyeri dari daerah lumbal atau sakroiliakal.
Bila pada waktu SLR dilakukan, timbul nyeri pada tungkai
kontra lateral (cross over sign atau well leg raises lest),
menandakan adanya kompresi intratekal oleh lesi yang
besar. Bila kedua tungkai difleksikan bersama (SLR

menyebabkan nyeri radikular atau parestesia. Tes Valsava


digunakan untuk menilai adanya tumor intra tekal atau
hemia nukleus pulposus. Pasien disuruh ekspirasi dalam
keadaan glotis tertutup, adatya kelainan di atas akan

menyebabkan nyeri yang menjalar ke dermatom yang


sesuai. Tes Adson, digunakan untuk menilai adanya jepitan
pada arleri subklavia. Pemeriksa melakukan palpasi pada
denyut arteri radialis, kemudian pasien melakukan inspirasi
maksimal sambil melakukan rotasi maksimal kepala ke sisi
yang diperiksa, jepitan arteri subklavia akan menyebabkan
denyut arteri radialis melemah atau menghilang.
Pada pemeriksaan vertebra lumbal, pasien sebaiknya
disuruh melepaskan pakaiannya, sehingga dapat dinilai
berbagai deformitas seperti lordosis lumbal, kifosis torak
dan skoliosis. Gaya berjalan dan gerakan pinggul juga
harus diperhatikan. Lingkup gerak tulang-tulang spinal,
dapat dinilai dengan melakukan tes Schober, yaitu dengan

menyuruh pasien melakukan antefleksi maksimal,


kemudian ditentukan 4 titik mulai dari prominentia spinosus
sakralis superior ke arah atas denganjarak antara satu titik

dengan

titik lainnya masing-masing l0 cm. Kemudian

pasien disuruh berdiri tegak dan jarak titik-titik tersebut


diukur lagi, dalam keadaan normal akan te{adi pemendekan

\l
45'\
Ekslensi -

Feksi

Gambar 8. Gerak servikal

Fleksi Lateral

Gambar 8. Schober test, Laseque test, Femoral Nerue Strech

Iesf

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIS PEI,TYAKIT MUSKUI.OSKELETAL

bilateral), nyeri yang timbul sebelum sudut mencapai 70"


mungkin berasal dari sendi sakroiliaka, sedangkan bila
nyeri timbul pada sudut 70o mungkin berasal dari daerah
lumbal.

Pada femoral nerve stretch test, pasiet disuruh


berbaring pada sisi yang tidak sakit dengan koksae dan
lutut sedikit fleksi, pinggang dan punggung lurus dan
kepala difleksikan. Kemudian secara perlahan, fleksi lutut
ditambah dan koksae diekstensikan. Bila timbul nyeri pada
tungkai bagian anterior, menandakan adanya iritasi pada

L2,L3danL4.
endi sakroiliaka juga harus diperiksa dengan seksama,
karena pada spondiloarhopati seronegatif, sering disertai
sakroilitis. Pemeriksaan khusus untuk sendi ini adalah tes
distraksi dan tes lutut ke bahu. Pada tes distraksi, kedua
sisi pelvis ditekan ke bawah pada pasien dalam keadaan
berbaring terlentang atau pada satu sisi, tes positif bila
timbul nyeri. Pada tes lutut ke bahu, pasien dalam posisi
berbaring terlentang, koksae difleksikan dan di aduksi,
kemudian lutut difleksikan ke arah bahu kontralateral. Tes
ini hanya bermakna bila lumbal dan koksae dalam keadaan
normal.
S

2455

REFERENSI

M, Doherty J Clinical examination rheumatology.


London :Wo1fe Publishing;l992.
Gattler RA, Scumacher HR. A practical handbook of joint fluid
Doherty

analysis. 2"d ed Philadelphia: Lea & Febiger; 1991


Michet CJ, Hunder GC Evaluation of the joint. In: Kelly WN, Haris
JED Ruddy S et al eds. Textbook of Rheumatology. 4th ed.
Philadelphia :WB Saunders; 1993.p.351-67.
Shmerling RH, Liang MH. Laboratory evaluation of rheumatic
disease. In: Scumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ,eds. Primer
on the rheumatic diseases. 10'h ed. Arthritis Foundation.
1993 .p.64:6

385
ARTROSENTESIS DAN
ANALISIS CAIRAN SENDI
Sumariyono

PENDAHULUAN

SINOVIA

Artrosentesis (aspirasi cairan sendi) dan Analisis cairan


sendi merupakan pemeriksaan yang sangat penting di
bidang reumatologi, baik untuk diagnosis maupun
tatalaksana penyakit reumatik. Analisis cairan sendi bisa
di analogikan seperti pemeriksaan urinalisis untuk menilai
kelainan traktus urinarius. Pemeriksaan ini terdiri dari

Sinovia (cairan sendi) adalah lapisan cairan tipis yang


mengisi ruang sendi normal, cairan sendi ini memberikan
nutrisi esensial dan membersihkan sisa metabolisme dari
kondrosit di dalam rawan sendi. Selain itu sinovia juga
berfungsi sebagi pelumas dan sebagai perekat. Sebagai

pemeriksaan makros, mikroskopis, dan beberapa


pemeriksaan khusus, dimana dari pemeriksaan ini cairan

beban mekanik, sedang sebagai perekat, sinovia

pelumas sinovia melumasi permukaan sendi yang mendapat

yaifu non inflamasi, inflamasi, purulen dan hemoragik.

meningkatkan stabilitas dan menjaga agar permukaan sendi


tetap pada posisi normalnya (pada relnya) pada saat sendi
digerakkan. Viskositas yang tinggi dari cairan sendi terjadi

Walaupun dari masing-masing kategori tersebut terdapat


beberapa penyakit yang menyebabkanya, tetapi paling

fibroblas-like B cells di dalam sinovium.

sendi abnormal dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori,

tidak pemeriksaan ini dapat mempersempit diagnosis

karena adanya asam hyaluronat yang disekresi oleh

banding. Berdasarkan hasil analisis sejumlah penelitian,


Shmerling menyimpulkan bahwa ada dua alasan terpenting
dari analisis cairan sendi adalah untuk identifikasi infeksi
sendi dan diagnosis artropati kristal. Pada umumnyacairan

FrsroLoGI slNovrA (cArRAN sENDr)


Cairan sendi normal adalah ultra filtrat atau dialisat dari
plasma. Dengan demikian kadar ion-ion dan molekulmolekul kecil ekivalen dengan kadamya didalam plasma,
sedang protein kadarnya lebih rendah. Molekul-molekul
yang berpindah dari plasma ke cairan sendi pertama
harus melewati endotel mikrovaskular, kemudian harus
melalui matriks di sekeliling sel sinovia. Barier yang
paling kritikal adalah endotel. Protein plasma yang
melewati barier ini bergerak melalui difusi dengan tingkat

sendi diperoleh dari lutut, walaupun dapat juga dari


sendi-sendi lainnya seperti bahu, siku, dan pergelangan
kaki.

SINOVIUM
Sinovium adalahjaringan yang menutupi semua pennukaan

sendi, kecuali weight bearing surface sendi diartrodial


manusia normal. Jaringan ini terdiri dari l-3 lapis sel dan
menutupi suatu matriks, dimana matriks tersebut bisa
berupa jaringan lemak, jaringan fibrosa, areolar atau

kecepatan yang berbanding terbalik dengan ukuran


molekulnya.
Sebaliknya kembalinya cairan dari cairan sendi ke
plasma tidak size selective . Setelah molekul protein
melewati endotel dan masuk ke interstitiel, protein ini akan
dibersihkan kembali ke plasma melalui saluran limfe.
Konsentrasi protein-protein tertentu di dalam cairan

periosteal, tergantung dari lokasinya di dalam sendi.


Sinovium normal memiliki vaskularisasi yang baik dan
menghasilkan sinovia atau cairan sendi.

2456

2457

ARTROSENTESIS DAN ANALISA CAIRAN SENDI

sinovia mencerminkan keseimbangan dari dua proses


tersebut. Hal inilah yang menjelaskan kenapa rasio
konsentrasi cairan sendi dengan plasma (CS/P) dari
protein besar lebih rendah dari protein yang lebih kecil
seperti albumin. Rasio albumin adalah 0.2-0.3 pada sendi
lutut normal, sedang rasio fibrinogen jauh lebih kecil karena
ukuranyajauh lebih besar. Relatiftidak adanya fibrinogen
pada cairan sendi ini menjelaskan kenapa cairan sendi
normal tidak membeku. Pada efusi patologis, permeabilitas

endotel meningkat dan kadar proteinya meningkat


mendekati kadarnya di plasma, sehingga kadar fibrinogen
juga meningkat yang menyebabkan aspirat cairan sendi
menjadi beku.

Bahan dan Alat

.
.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Spuit sesuai dengan keperluan


Jarum spuit : no 25 untuk sendi kecil, no 21 unhrk sendi
lain, no 15 -8 untuk efusi purulen (pus)
Desinfektan iodine

Alkohol
Kasa steril
Anestesi lokal (bila diperlukan)
Sarung tangan
Pulpen
Plester

Tabung gelas
Tabung steril untuk kultur
Lain-lain sesuai kebutuhan : media kultur, kortikosteroid

ARTROSENTESIS

lndikasi

Prosedur Tindakan (umum)

Diagnostik

.
.
.

Selama pengobatan artritis septik, artrosentesis


dilakukan secara serial untuk menghitung jumlah

Artrosentesis saja
- Evakuasi kristal untuk mengurangi inflamasi pada
pseudogout akut dan crytal induced arthritis yang
lain.

Mengontrol inflamasi steril pada sendi, bila obat

anti infl amasi non steroid telah gagal,kemungkinan


akan gagal atau merupakan kontraindikasi.
Mempersingkat periode nyeri pada artritis gout.
Menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat
Membantu terapi fisik pada kontraktur sendi.

saraf.

Harus dilakukan teknik yang steril untuk menghindari

cairan sendi pasien.

. Untuk mengurangi

Evakuasi serial pada artritis septik untuk

mengurangi destruksi sendi.


Pemberiankortikosteroidintraartikular

Harus dikuasai anatomi regional sendi yang


akan diaspirasi untukmenghindari kerusakan
struktur-struktur vital seperti pembuluh darah dan

terjadinya artritis septik. Untuk desinfekti dipakai


iodine dan alkohol. Dokter harus memakai sarung
tangan untuk menghindari kontak dengan darah dan

Terapeutik

Lakukan pemeriksaan fisik sendi dan bila perlu


periksa foto sendi yang akan diaspirasi

Membantu diagnosis artritis


Memberikan konfirmasi diagnosis klinis

leukosit, pengecatan gram dan kultur cairan sendi.

Sebelum melakukan aspirasi cairan sendi

rasa nyeri dapat digunakan

semprotan etilklorida. Bila diperlukan dapat digunakan


prokain untuk anastesi lokal.

Selama dilakukan prosedur aspirasi harus diingatkan


kepada pasien untuk selalu rileks dan tidak banyak
menggerakkan sendi.

PROSEDUR TTNDAKAN (KHUSUS)

Sendi Lutut
Kontraindikasi
Diagnostik

.
.
.
.

secara langsung pada tengah-tengah tonjolan


suprapatela lebih mudah dan lebih enak untuk

Infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi

pasien.Tonjolan suprapatela ini dapat diperjelas dengan

Bakteriemi
Secara anatomis tidak bisa dilakukan

menekan ke lateral dari bagian medial. Dengan

Pasientidakkooperatif

Terapeutik

.
.
.
.

Pada efusi sendi lutut yang besar, tusukan dari lateral

Kontraindikasidiagnostik
Instabilitas sendi
Nekrosis avaskular
Artritis septik

menggunakan ujung pulpen dilakukan pemberian tanda


pada daerah target yaitu lebih kurang pada tepi atas
patella (cephalad border of patella).Tada ini akan masih

terlihat dalam waktu yang cukup untuk melakukan


desinfeksi, anastesi dan artrosentesi. Pada efusi sendi
yang sedikit lebih baik dilakukan tusukan dari medial di
bawah titik tengah patella.

2458

REI,.,MIIilI)I.OGI

Ujung sefalik patelik

purulen atau 5) hemoragik. Diagnosis spesifik jarang bisa


dibuat hanya berdasar pemeriksaan makroskopis saja.
Gambaran analisis cairan sendi normal dan patologis dapat

dilaihat pada Tabel 2 dan 3.

Jenis pemeriksaan

Gambar 1. Tusukan sendi lutut dari lateral pada


efusi sendi yang banyak.

Nilai normal

Rata rata

3-7

7.38

PH

Jumlah leukosit/mm3

13

0
0
0
0

PMN
Limfosit
Monosit
Sel sinovia

43

180

-25
-78
-71

ANALISIS CAIRAN SENDI

24
48

Protein total g/dl

-12
1.2-30

Albumin (%)

56

-63

60

Globulin (%)

37 -44

40

4
1.8

03

Hyaluronat g/dl

Gambar 2. Tusukan sendi lutut dari medial

OJ

Noninflamasi lnflamasi
(grup l)
(grup ll)
Biasanya>4 Biasanya>4

Purulen
(Grup lll)

Volume (ml, lutut)


Warna

Xantokrom

Xantokrom

Kejernihan

Transparan

Opak

Viskositas

Tinggi

Translusen
atau opak
Rendah

Sangat

Biasanya > 4
Putih

atau putih

renda h

musin
Bekuan spontan

Jenis-jenis Pemeriksaan Cairan Sendi

Bekuan

Jenis-jenis pemeriksaan yang dilakukan pada analisis


cairan sendi dapat dilihat pada Tabel 1.

Jumlah leukosiUmm3
Polimorfonuklear

(%)

Sedang Sedang
baik sampai buruk
Sering
Sering
< 3000
3 000 -50 000

Buruk

sampai

< 25 %

>700/o

Sering

50 000300 000

>90%

Rutin
. Pemeriksaan makroskopis: warna, kejernihan, viskositas,

potensi terbentuknya bekuan, volume

Pemeriksaan mikroskopis: jumlah leukosit, hitung jenis


leukosit, pemeriksaan sediaan basah dengan mikroskop
polarisasi dan fase kontras

Cairan sinovia sedikit sekali kandungan protein

Khusus

Mikrobiologi: pengecatan

khusus (silver, PAS,

Ziehl
Nielsen), kultur bakteri, jamur, virus atau M tuberkulosis,
analisis antigen atau asam nukleat mikroba (PCR)
Serologi: kadar komplemen hemolitik (CHr), kadar
Komponen komplemen (C. dan Ca), autoantibodi (RF, ANA,
Anti CCP)
Kimiawi: glukosa, protein total, pH, pO2, asam organik
(asam laktat
asam suksinat), LDH (lactate
dehydrogenase)

dan

Keterangan

BEKUAN

ANA: antinuclear antibody; CCP : cyclic citrutlinated peptide;


PAS : periodrc acid Schiff, RF : rheumatoid factor

pembekuan seperti fibrinogen, protrombin, faktord faktor


VII dan tromboplastin jaringan. Sehingga cairan sinovia
normal tidak akan membeku. Tetapi pada kondisi inflamasi
"membran dialisat " sendi menjadi rusak sehingga protein
dengan berat molekul yang lebih besar seperti protein-

protein pembekuan akan menerobos masuk ke cairan


sinovia, sehingga cairan sinovia pada penyakit sendi
inflamasi bisa membeku dan kecepatan terbentuknya
bekuan berkorelasi dengan derajad inflamasi sinovia.

VOLUME
PEM ERIKSAAN MAKROSKOPIS
Sendi normal umumnya hanya mengandung sedikit cairan

Pemeriksaan makroskopis cairan sendi merupakan

sendi., bahkan pada sendi besar seperti lutut hanya

pemeriksaan bedside. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk

mengandung 3 -4 ml cairan sinovia. Pada kondisi sinovitis,


yang mengakibatkan rusaknya "membran dialisat" sendi,
sejumlah besar cairan bisa berakumulasi pada ruang sendi.

menentukan cairan sendi tersebut termasuk dalam


kelompok : 1) normal, 2) non inflamasi, 3) inflamasi, 4)

2459

ARTROSENTESIS DAN ANALISA CAIRAN SENDI

Meskipun volume cairan sendi tidak dapat membedakan


kelainan sendi inflamasi dan noninflamasi, tetapi volume
aspirat pada aspirasi serial bermanfaat untuk menilai hasil
pengobatan karena penurunan volume aspirat biasanya
sesuai dengan perbaikan klinis.

VISKOSITAS
Cairan sendi normal sangat kental, karena tingginya
konsentrasi polimer hyaluronat . Asam hyaluronat
merupakan komponen non protein utama cairan sinovia
dan berperan penting pada lubrikasijaringan sinovia. Pada
penyakit sendi inflamasi asam hyaluronat rusak atau

selanjutnya akan mengalami kerusakan yang akan


memberikan wama kekuningan (xantochrome) pada cairan
sendi inflamasi. Leukosit akan membuat wama cairan sendi
menjadi putih, sehingga semakin tinggi jumlah leukosit
cairan sendi akan berwarna putih atau krem seperti pada
artritis septik. Selain dipengaruhi olehjumlah eritrosit dan
leukosit, warna cairan sendi juga dipengaruhi oleh jenis
kuman dan kristal yutgada dalam cairan sendi. Staphylococcus aureus akan memberikan pigrnen keemasan,
serratia marcescens akan memberikan warna kemerahan
dan kristal monosodiumurat akan memberikan wamaputih

seperlr susu.

mengalami depolimerisasi, yang menunrnkan viskositas


cairan sendi. Viskositas merupakan penilaian tidak langsung

dari konsentrasi asam hyaluronat pada cairan sinivia.


Penilaian viskositas cairan sendi dilakukan dengan
pemeriksaan "string test", yaitu melihat cairan sendi pada
saat dialirkan dari spuit ke tabung gelas. Pada cairan sendi

normal akan dapat membentuk juluran (string out)


7 cm - 10 cm atau lebih. Pemeriksaan lain adalah dengan
menggunakan viscometer. Pemeriksaan bekuan musin juga
merupakan pemeriksan untuk menilai konsentrasi polimer
asam hyaluronat. Pemeriksaan bekuan musin dilakukan
dengan cara menambahkan 1 bagian cairan sendi ke dalam
4 bagian asam asetat 2%o. Pada cairan sendi normal atau
kelompok I akan membentuk bekuan, sedang pada cairan
sendi kelompok II dan III (inflamasi dan purulen) akan
terbentuk bekuan yang buruk atau kurang baik.

Normal Inflamasi

PurulerVsePtik

Gambar 4. Warna beberapa kelompok cairan sendi

PEMERIKSAAN

IKROSKOPIS

Jumlah dan hitung Jenis Leukosit


Pemeriksaan jumlah dan hitung jenis leukosit sangat
membantu dalam mengelompokkan cairan sendi. Paling
tidak pemeriksaan ini dapat membedakan kelompok
inflamasi dan non inflamasi. Pada caiian sendi kelompok II

seperti artritis reumatoid jumlah leukosit umumnya


3000-50.000 sel / ml, sedang pada kelompok III jumlah
leukosit biasanya di atas 50.000/ml. Pada cairan sendi
normal umurnnya PMN kurang dari 25%o, sedang pada
kelompok inflamasi PMN umumnya lebih dari 10%o
(inflamasi kelompok II PMN > T|oA,kelompok III > 90%).

Kristal
Pemeriksaan kristal sebaiknya dilakukan pada sediaan
Gambar3. Pemeriksaan viskositas (kekentalan)
cairan sendi dengan sfflng fest

WARNADAN KEJERNIHAN
Cairan Sendi normal tidak berwarna seperti air atau putih
telor. Pada sendi inflamasi jumlah leukosit dan eritrosit
pada cairan sinovia meningkat. Eritrosit pada sinovia

basah segera setelah aspirasi cairan sendi. Kristal


monosodium urat dapat diperiksa dengan mikroskop
cahaya biasa, tetapi untuk pemeriksaan yang lebih baik
memerlukan mikroskop polarisasi. Pada mikroskop
polarisasi ini terdapat dua polarizing plate. Pertama
disebut polarizer yang diletakkan antara sumbet cahaya
dan gelas objek (bahan), kedua disebut analyzer yang
diletakkan antara gelas objek (bahan) dan observer dan
diletakkan pada posisi 90 derajad dari polarizer Dengan
posisi demikian tidak ada cahaya yang ke mata observer,

2460

REUMATIOI.OGI

yang dilihat observer hanyalapangan gelap. Setiap bahan


yang membiaskan cahaya (termasukMSU atau CPPD) bila

PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI

diletakkan pada objek gelas di antara kedua polarizing


plate tersebut akan membiaskan cahaya dan tampak

Artritis septik harus selalu dipikirkan terutama pada artritis


inflamasi yang : ter.ladi bersama dengan infeksi ditempat
lain (endokarditis, selulits, pneumonia), sebelumnya
terdapat kerusakan sendi serta pada pasien-pasien

sebagai warna putih pada lapangan gelap. Gambaran pada


lapangan gelap dapat diperkuat dengan menambahkan
kompensator merah yang diletakkan di antara kedua
polarizing plale. Aksis dari kompensator ini diletakkan 45
derajat terhadap analzer matpun polarizer. Kompensator
ini akan menghambat komponen merah dari cahaya sebesar
seperempat panj ang gelombang, yang mengakibatkan
lapangan pandang menjadi berwama merah. Pada kondisi
demikian kristal MSU atau CPPD akan berwama kuning
atau biru tergantung posisi aksis dari kristal terhadap aksis

diabetes dan pasca transplantasi. Pada pengelompokkan


cairan sendi, artritis septik termasuk kelompok III, yang

dari slow vibration dari cahaya pada kompensator. Dengan


cara memutar MSU atau CPPD 90 derajad akan merubah

kristal biru menjadi kuning dan kuning menjadi biru


Kristal MSU berbentuk batang dengan ukuran sekitar
40 um (4 kali leukosit). Kristal ini sangat berpendar
sehingga pada mikroskop polarisasi tampak sangat terang.
Pada mikroskop polarisasi yang ditambahkan kompensator

merah, MSU akan berwama kuning bila arah kristal paralel,


dan berwarna biru bila arah kristal tegak lurus dengan aksis

dari slow vibration dari kompensator. Kristal CPPD


ukuranya hampir sama dengan MSU, tetapi lebih sering
berbentuk rhomboid. CPPD berpendar lemah sehingga bagi
yang belum berpengalaman sulit untuk melihat kristal ini.

Kebalikan dari kristal MSU, pada mikroskop polarisasi


yang ditambahkan kompensator merah, kristal CPPD akan
berwarna biru bila arah kristal paralel, dan akan bet-warna
kuning bila arah kristal tegak lurus dengan aksis dari s/ow
vibration dari kompensator.

EYEPIECE
BireFringent Crystal

on rose background

ANALYZER

COMPENSATOR

SODIUM URATE
CRISTAL

POLARIZER

Gambar 6. Kristal Monosodium urat


a.Kristal MSU pada mikroskop cahaya biasa.

b.Kristal MSU'pada lapangan pandang gelap dengan


menggunakan mikroskop polarisasi tanpa kompensator.

Gambar 5. Prinsip-prinsip mikroskop polarisasi

c.Kristal MSU pada mikroskop polarisasi dengan kompensator

biasanya jumlah leukositnya lebih dari 50.000/mt. Tetapi

merah; disini tampak kristal MSU beruvarna kuning bila aksis kristal
paralel dengan aksis dari slow vibration dari kompensator, dan
benrvarna biru bila aksis kristal MSU tegak lurus dengan aksis
slow vibration dari kompensaror.

kadang-kadang cairan sendi septik dapat memberi


gambaran sebagai kelompok II, sebaliknya cairan sendi

Gambar ini dibuat oleh Divisi Reumatologi, Dept. Ilmu

kelompok III dapat juga terjadi pada artritiis inflamasi non

Penyakit Dalam FKUI4RSCM.

2461

ARTROSENTESIS DAN ANALISA CAIRAN SENDI

infeksi seperti gout dan pseudogout. Pada umumnya


pemeriksaan dengan pengecatan gram dan kultur bakteri

cukup untuk analisis cairan sendi, tetapi beberapa


pengecatan dan biakan pada media khusus sangat
membantu pada kondisi tertentu seperti misalnya untuk

serta identifikasi kristal terutama monosodium urat dan


CPPD dengan menggunakan mikroskop biasa dan lebih
baik lagi bila dilakukan dengan menggunakan mikroskop

polarisasi. Manfaat lain dari pemeriksaan

ini

adalah

dapat mempersempit diagnosis banding artritis.

mycobacterium tuberkulosis dan j amur.


REFERENSI

KESIMPULAN

Artrosentesi dan analisis cairan sendi merupakan


pemeriksaan yang penting dibidang reumatologi baik

untuk tujuan diagnostik maupun terapeutik. Analisis


cairan sendi terdiri dari pemeriksaan makroskopis,
mikroskopis dan beberapa pemeriksaan khusus.
Berdasarkan pemeriksaan analisis cairan sendi, cairan
sendi abnormal dapat dikelompokkan menjadi cairan sendi

non inflamasi, inflamasi, purulen dan hemoragik.


Manfaat utama analisis cairan sendi adalah identifikasi
infeksi dengan pengecatan gram dan biakan cairan sendi,

Fye KH. Arthrocentesis, synovial fluid analysis, and synovial biopsy In: Klippel JH. Primer on the rheumatic diseases. l2'h
edit. 2001 : 138-144.
Gatter RA, Schumacher HR. A practical handbook of joint fluid
analysis. 2"d edit. 1991.
Mikuls TR. Synovial fluid analysis. In : Koopman WJ and Moreland
LW. Arthritis and allied conditions. 15th edit. 2005 : 8l-96.
Setiyohadi, sumaryono Aspirasi cairan sendi / artrosentesis. In
Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW . Prosedur tindakan di bidang
Ilmu Penyakit Dalam. 1999 :227-233.m
Swan A, Amer H, Dieppe P The value of synovial fluid assay in the
diagnosis ofjoint disease : a literature survey. Ann Rheum Dis
2002 :61: 493-498.
:

386
PEMERIKSAAN CRB FAKTOR REUMATOID,
AUTOANTIBODI DAN KOMPLEMEN
Arnadi, NG Suryadhana, Yoga I Kasjmir

Pada sebagian besar penyakit reumatik,proses inflamasi


merupakan gambaran patologik jaringan yangutama. Pada
proses inflamasi akan terjadi peningkatan protein fase akut
akibat kerusakan jaringan.Di samping itu faktor imunologis
juga mendasari sebagian besar penyakit reumatik. Oleh

relatif cepat dengan waktu paruh sekitar l8 jam.


Peningkatan konsentrasi CRP secara persisten

karena

menggunakan immunoassay atau nefelometri laser. Kadar


CRP pada manusia dewasa sehat < 0,2mgldl.

itu, dalam menegakkan diagnosis

dan

penatalaksanaan penyakit reumatik diperlukan pemeriksaan


penunjang laboratori um.

0-REACTIVE PROrEr J (CRP)

menggambarkat adanya proses inflamasi kronik seperti


arthritis rheumatoid, tuberkulosis dan keganasan.

Pengukuran konsentrasi CRP secara akurat

Normal atau

Peningkatan

peningkatan tidak

Sedang

signifikan(<1mg/dl
CRP merupakan salah satuprotein fase akut. CRP terdapat

Kerja berat
Common cold
Kehamilan
Gingivitis
Stroke

dalam konsentrasi rendah (trace) pada manusia. CRP


adalah suatu alfa globulin yang timbul dalam serum setelah
terjadinya proses inflamasi.Awalnya protein ini disangka
mempunyai respons spesifik terhadap C polisakarida dari
pneumokokus, tetapi ternyata protein ini adalah suatu
reaktan fase akut yang timbul akibat proses inflamasi. CRP

(l-l0msidl

Peningkatan
tinggi
( > 10 mg/dl )

lnfark miokard
Keganasan
Pankreatitis
lnfeksi mukosa
bronkitis, sistitis )
Penyakit reumatik

Kejang

lnfeksi bakteri akut


Trauma berat
Vaskulitis sistemik

Angina

terdiri atas berbagai ligan biologik yaitu berupa


fosfokolin,fosfolipid lainnya serta protein histon dan
merupakan konstituen dari membran sel dan inti sel, yang
akan terpapar bila terjadi kerusakan jaringan. CRP
mempunyai kemampuan untuk mengaktivasi jalur klasik
komplemen setelah berintegrasi dan berikatan dengan
berbagai ligan biologik, kemudian memacu perubahan sel
fagosit melalui jalur proinflamasi dan anti inflamasi.Pada
proses tersebut, CRP diduga mempunyai peranan dalam

Hampir selalu

ada

Demam reumatik,
artritis reumatoid,
infeksi bakteri akut,
hepatitis akut

proses inflamasi.

Sering ada

Kadang kadang ada

Tuberkulosis
aktif,tumor ganas
stadium lanjut,
leprosy, sirosis
aktif, luka bakar
luas, peritonitis

Sklerosis multipel,
sindroma Guillain
Barre, cacar air,
pasca bedah,
penggunaan alat
kontrasepsi intrauterin

Pengukuran CRP berguna untuk menegakkan

Adanya stimulus inflamasi akut, konsentrasi CRP akan


meningkat secara cepat dan mencapai puncaknya setelah

diagnosis dan penatalaksanaan penyakit reumatik seperti


halnya pengukuran laju endap darah. Hanya pengukuran
CRP menawarkan suatu kelebihan sebagai pengukuran
yang dapat dilakukan secara langsung dalam menentukan
adarrya protein fase akut yang mencerrninkan besaran

2-3 hari.Secara umum, konsentrasi CRP merefleksikan


luasnya kerusakan jaringan. Bila tidak ada stimulus
inflamasi maka konsentrasi CRP serum akan turun dengan

2462

2463

PEMERIKS/AAN CPR, FAKTOR REUMATOID, AUTOANTIBODI DAN KOMPLEMEN

inflamasi dan perubahan-perubahan fase akut oleh


peralihan yang relatif cepat dari CRP.5 Terutama pada
penyakit-penyakit yang manifestasi kliniknya tidak begitu
mudah di evaluasi secara berkesinambungan misalnya
penyakit crohn, vaskulitis, infeksi bakteri yang sulit di

monitor. Melalui teknik biologi baku berupa seri


pemeriksaan CRP akan lebih mudah diikuti perkembangan
dari hasil suatu pengobatan. Determinasi CRP terutama di
anjurkan dalam situasi sebagai berikut:
1. Penapisan proses radang/nekrotik
2. Diagnosis/monitoring proses radang seperti neonatal,

septikemia, meningitis, pneumonia, pyelonefritis,

3.

4.

komplikasi pasca bedah, kondisi keganasan.


Penilaian gambaran klinik pada kondisi radang seperti
kelompok penyakit reumatik atau selama episode akut
ataupun infeksi intermiten
Diagnosis diferensial kondisi radang seperti SLE, AR
ataupun penyakit artritis lainnya, kolitis ulseratif dan
kistitis akut/pielomielitis

CARA PEMERIKSAAN CRP

s/de plastik hitam. Pertama-tama serum pasien di inaktifkan


pada suhu 56' Celcius. Lalu diencerkan dan masing-masing
diteteskan di atas kaca benda. Kemudian masing-masing
satu tetes suspensi lateks anti-CRP ditempatkan di atasnya,

dicampur dengan menggunakan batang kayu yang telah


disediakan atau digerak-gerakkan menggunakan alat
penggoyang (shaker). Diperhatikan ada tidaknya endapan
yang biasanya akan tampak setelah 2 metit. Perlu kehatihatian atas kemungkinan terjadinya fenomena prozone
yaitu terhadap hasil positifyang sebenamya sangat kuat
tetapi tidak tampak pada serum yang tidak di encerkan
sehingga perlu dibuktikan dengan cara pengenceran.
Dengan teknik ftit ini dapat dikembangkan lebih lanjut ke
arah semi kuantitatif. Di samping itu CRP juga dapat

ditentukan dengan teknik endapan kapiler, difusi


Ouchterloni, imuno difusi radial dan nephelometri.
Yang perlu diperhatikan dengan teknik ini ialah
kemungkinan positif semu oleh adanya faktor reumatoid.
Terutamakalau kadarFRnya>1200 I.U/cc. Karena itu dalam
pemasaran kit selalu disertakan larutan absorbsi yang
terdiri dari larutan antibodi diperoleh dari biri-biri yang
digunakan untuk menyisihkan faktor reumatoid tersebut.

Semula CRP dideteksi melalui reaksi endapan dengan


polisakarid C kuman pneumokokus. Setelah tahut 1947
berhasil dilakukan kristalisasi CRP dan dari sini dapat
dibuatkan antisera yang spesifik sehingga membuka
peluang pemeriksaan protein secara imunokimiawi. Teknik
endapan kapiler merupakan cara imunokimiawi yang
pertama dan digunakan secara luas sampai lebih dari 25
tahun. Cara pemeriksaan semi kuantitatif tidak dapat
mendeteksi konsentrasi yang kurang dari l0 mikrogram/
cc. Pengenalan teknik imunodifusi radial memungkinkan
penghitungan CRP yang lebih tepat sampai ambang
2 mikrogram/cc, sementara teklik radioimunoassay yarrg
amat sensitif telah pula dikembangkan tetapi cara ini
sebenarnya tidak diperlukan untuk tujuan klinik karena
tidakpraktis tetapi lebih di utamakan dalampengembangan
penelitian laboratorium klinik. Bagaimanapun juga, akhirakhir ini dikembangkan c,ara nephelometrik yang
mengandalkan penggunaan peralatan yang menjamin

Bahan Pemeriksaan
Dapat diperoleh dari sekitar 2cc darah pasien yang

ketepatan dan kecepatan pemeriksaan kuantitatif.

ini diukur ialah faktor reumatoid kelas IgM. Istilah

Sementara itu telah banyak dipasarkan pemeriksaan CRP


dengan menggunakan sistem aglutinasi lateks dalam
bentuk kit yang meskipun tidak kuantitatif tetapi mungkin
memiliki nilai terbatas dalam kecepatan sebagai awal

penapisan adanya CRP.

dibiarkan membeku dalam keadaan segar penyimpanan

maksimum 8 hari pada suhu 2 sampai 8 celcius atau


sementara dapat disimpan dalam lemari es suhu di bawah

minus 25o Celcius sampai 3 bulan. Serum bekuan ini


dihindari pencairan yang berulang-ulang. Bahan serum
harus dijaga kejemihannya dengan memusingkan sehingga

benar-benar tidak mengandung partikel-partikel ataupun


fi brin setelah sentrifugasi.

FAKTOR REUMATOID

Faktor Reumatoid (FR) merupakan antibodi sendiri


terhadap determinan antigenik pada fragmen Fc dari
imunoglobulin. Klas imunoglobulin yang muncul dari
antibodi ini ialah IgM, IgAIgG dan IgE. Tetapi yang selama

reumatoidnya diberikan karena faktor ini kebanyakan


diberikan pada penyakit artritis reumatoid. Berbagai teknik

telah dikembangkan, untuk mengukur adanya antibodi

tersebut. Dapat disebutkan seperti

uji

aglutinasi,

presipitasi, pengikatan komplemen, imunofluoresensi dan

radioimun.

CARAAGLUT!NASI LATEKS
Prinsip kerja pemeriksaan ini menggunakan partikel lateks
polysQrene yang permukaattya dibungkus dengan anti
CRP sehingga dapat direaksikan dengan serum kontrol
positifataupun negatifpada permukaan kaca benda atau

Sejarah Faktor Reumatoid


Faktor Reumatoid pefiamakali di introduksi oleh patolog
Norwegia, Eric Waaler, tahun 1937 . Pada waktu itu beliau
melihat bahwa eritrosit biri-biri yang tersensitasi dengan
zat attirrya yang diperoleh dari serum kelinci, dapat

2464

REIJMIIiIOI.OGI

digumpalkan oleh serum pasien lues dan artritis reumatoid


(AR). Hasilnya, suatu aglutinasi yang agak aneh dibanding
hemolisis biasa, kemudian ditelusuri berbagai literatur dan
temyata peneliti lainnya juga menemukan fenomena yang
sama, pada pasien sirosis hati dan bronkitis kronis.
Terputus oleh perang dunia kedua, hasil penemuan

Reaksi positifuji FR yang selama ini ditunjukkan baik


terhadap gamma globulin manusia ataupun kelinci,

terutama termasuk dalam kelas IgM antibodi.

yang kuat dengan aktivitas penyakit. Meskipun,

Kemungkinan klas lainnya juga ditemukan yaitu IgG dan


IgA antibodi dalam bentuk intermediate complex dan
terdapat terutama di dalam cairan sendi.
Titer yang tinggi bukanlah indikasi beratnya penyakit.
Kebanyakan pasien dengan AR hasil pemeriksaan FR nya
bisa positif ataupun negatif dengan titer yang berfluktuasi
dalam hitungan bulan/tahuna Sedangkan pemberian
NSAID tidak selamanya dapat mempengamhi titer FR.
Sebaliknya penicillamine dan preparat emas dapat
menurunkan secara perlahan sampai menjadi seronegatif.
FR yang negatif, dapat digunakan sebagai petunjuk

penerapan klinik yang dilakukan Waaler, masih belum jelas

penyakit-penyakit reumatik lainnya seperti ankilo

dibandingkan dengan Rose tetapi Waaler dengan jelas


menampilkan aspek-aspek imunologiknya sehingga uji
pemeriksaan FR, sampai sekarang dikukuhkan sebagai

spondilitis, sindrom reiter, enteropati berasosiasi artritis,


psoriatik artropati, gout, kondrokalsinosis, piogenik artritis
dan penyakit Still.

Waaler

ini,

seakan-akan telah dilupakan. Akhirnya

fenomena yang sama ditemukan olehRose dkk (1948) yang


pada waktu itu bekerja untuk pasien Rickettsia. Lebih lanjut
mereka melakukan pemeriksaan yang sama terhadap pasien

AR, Spondilitis Ankilosa, demam reumatik dan penyakit


reumatik lainnya. Hasilnya amat menyolok, dibanding
pasien AR sendiri yang sekaligus menunjukkan korelasi

pemeriksaan Waaler-Rose /Rose Waaler.


Istilah Reumatoid Faktor, pertamakali digunakan oleh

Pike dkk, tahun 1949, karena faktor ini kebanyakan


ditemukan pada penyakit AR. Mulai sejak itu, berbagai
upaya modifikasi telah dilakukan, di attaranya Heler dkk
(1

956) menyatakan kelemahan uji Rose-Waaler oleh adanya

faktor imunoglobulin manusia sebagai penghambat


aglutinasi. Atas dasar itu, maka diajukan suatu cara yang
lebih sensitif yang sifatnya non-imunologik, dengan

mengabsorbsikan imunoglobulin manusia pada lanned


eritrosit biri-biri.

Dasar sistem

ini selanjutnya lebih berkembang lagi

dengan menggunakan partikel lateks, partikel bentonit,


partikel bakteri. Uji Rose-Waaler, memang amat spesihk
terhadap AR, terbukti dari sekitar 90% pasien dengan RW
pos, menunjukkan AR. Sebaliknya uji RW hanya positip
pada sekitar 60% pasien AR. Pengamatan lebih lanjut,
menunjukkan bahwa FR itu bukan suatu antibodi tetapi
merupakan suatu kelompokzat anti IgG dengan aviditas
dan afinitas yang berbeda.

Ciri-ciri Faktor Reumatoid


Faktor Reumatoid mencakup semua klas imunoglobulin,
tetapi yang mendapat perhatian khusus hanyalah IgM-FR
dan IgG-FR. Sedangkan FR klas imunoglobulin lainnya,
sifat patologiknya belum banyak diketahui. Misalnya IgE-

FR, kadang-kadang dapat ditemukan pada pasien AR


dengan manifestasi ekstra artikular ataupun penyakit paru.

IgM-FR mudah ditemukan dalam darah dengan daya


aglutinasinya yang kuat. Tidak dapat bergabung mandiri

seperti yang terjadi pada IgG-FR. IgM-FR juga


menr.utjukkan kemampuan mengikat komplemen yang lebih
besar dibanding IgG-FR.

Faktor Reumatoid merupakan suatu reaksi normal


imunitas humoral tubuh terhadap rangsangan antigen
tertentu, yang tersebar secara luas dalam irama kehidupan.

Terjadinya Faktor Reumatoid


Banyak teori yang mencoba mengungkapkan mekanisme

terjadinya FR. Faktor reumatoid itu sendiri sebenarnya


tidak patogenik. Dasar imunopatogenik AR, dimulai
dengan aktivitas imunologik yang berlangsung terusmenerus. Aktivitas ini berperan sentral dalam patogenesis
penyakitAR dan terjadi sebagai respons terhadap selfan-

ligen (endogenous) ataupun non

self-antigen

(exogenous). Pada keadaan pertama, tubuh seakan-akan


sudah tidak mengenal lagi komponen tubuhnya sendiri,
yang kemudian menjadi konsep dasarpenyakit oto-imun.
Kegagalan pengenalan diri ini dapat terjadi sebagai akibat

perubahan komponen tubuh sendiri (altered antigen),


ataupun perubahan respons imunologik tubuh terhadap
komponen tubuh yang normal. Masalahnya kemudian
adalah mengapa perubahan-perubahan itu terjadi. Maka
mulai dipikirkan adanya faktor luar (exogenous) yatg
bertindak sebagai Special Stimulating Antigene yang

justru menjamin kelangsungan aktivitas imunologik


tersebut. Faktor-faktor luar yang akhir-akhir ini paling
banyak di bicarakan, ialah virus yang berperanan sebagai
infective agent.
Dalam hubungan dengan terjadinya FR, dimulai dengan
terjadinya infeksi yang cenderung bersifat kronik dan
berkembang dalam persendian merangsang pembentukan
antibodi. Zat ini lalu bergabung dengan infective agent
tersebut dan menimbulkan perubahan antigenik molekul
IgG-nya. Adanya ikatan kompleks danalteredlgG sebagai
antigen baru inilah yang membangkitkan produksi zat
antibodi baru yang dikenal sebagai zat arfii antlbodi. Zat

inilah yang pada hakekatnya dikenal sebagai Faktor


Reumatoid(FR).

Selanjutnya sarana yang paling adekuat bagi


perkembangan lanjut reaksi ini ialah persendian. Karena
itu tidakjarang teq'adi pada tiap infeksi asalkan melibatkan

PEMERIKSAAN CPR, FAKTOR REUMATOID, AUTOAIYTIBODI DAN KOMPLEMEN

unsur imunologik, selalu membawa dampak kesakitan pada

persendian yang maksudtya agar individu yang


bersangkutan menjalani istirahat sehingga proses
pemulihan dapat berlangsung secara alami. Ternyata
persendian, memiliki kualifikasi yang cocok bagi
berkembang/menetapnya respons imun. Tiadanya

anyaman pembuluh darah dalam tulang rawan


memungkinkan kompleks Ag-Ab menjadi tersembunyi
sehingga terhindar dari jangkauan aparat imun. Kombinasi
antara FR dan IgG membentuk kompleks imun yang
mengaktifkan sistem komplemen dengan manifestasi

timbulnya pemanggilan sel-sel neutrofil ke tempat


terjadinya radang (kemotaksis). Sel-sel ini kemudian akan
memfagosit kompleks imun tadi, dengan melepaskan enzim
lisozim. Namun enzim ini sebaliknya akan berlindak sebagai
mediator kimiawi atas terjadinya radang sinovitis. Juga

Cell-mediated immunity ikut berperanan dengan


melepaskan limfokin yang juga dapat menimbulkan radang

tersebut yang ditujukan untuk melawan oto-antigen yang


persisten. Memang telah dibuktikan bahwa FR diproduksi
didalam sel-sel plasma pada jaringan subsinovial dan
persendian yang meradang. Dengan demikian maka FR
terdapat di dalam darah ataupun di dalam cairan sendi.
Beberapa kemungkinan mekanisme kejadian FR ditunjukan
dalam beberapa postulat sebagai berikut:

1. Agregat IgG/ kompleks imun melahirkan nilai antigen

2.

baru pada bagian Fc dari IgG/ denaturasi.


Daya gabwg yang meningkat dari agregat IgG terhadap

reseptor dengan afinitas rendah dari sel-sel yang


berpotensi membentuk FR.
Anomali struktur IgG nya sendiri

3.
4. Kegagalan fungsi kendali dari sel-T

penekan,
menimbulkan kecenderungan pembentukan auto-

5.
6.

7.
8.

antibodi terhadap IgG oleh sel B.


Interaksi antaraideotip-antiideotip
Reaksi silang antara nilai antigenik Fc. IgG dengan
antigen lain terutama antigen dari bahan inti sel.
Sensitisasi selama kehamilan
Latar belakang genetik yang dikaitkan dengan
HLA-DR4.

Penemuan terakhir menunjukkan bahwa artritis


reumatoid seropositif, berhubungan erat dengan antigen
keselarasan jaringan yaitu HLA-D yang diekspresikan oleh
limfosit B dan makrofag. Lebih dari 50% pasien seropositif
memiliki HLA-D ini. Sel B poliklonal, memang berpotensi

kuat dalam menginduksi produksi FR.

Spesifisitas / Sensitivitas

2465

bereaksi dengan IgG hewan daripada FR non reumatik.


Demikian juga aviditasnya terhadap agregat IgG lebih

tinggi dibanding FR monomerik oleh multivalensi


kompleks IgG. Mengenai IgG-FR poliklonal, tidak banyak
yang diketahui. Petanda antigenik dari bagian Fc IgG bagi

FR klas imunoglobulin lainnya, juga belum jelas.


Kenyataan, FR itu merupakan bagian dari imunoglobulin
biasa dari orang sehat.
Seperti telah dikemukakan dalam banyak kepustakaan
(Suryadhana dkk, I 98 1), FR ini tidak spesifik terhadap AR.
Kenyataan, faktor ini secara umum ditemukan pada pasienpasien keradangan akut dan kronis, bahkan juga pada

individunormal.
Berbagai penyakit kronis lain dengan nama RF yang
menunjukkan adanya faktor ini dapat di klasifikasikan
sebagai berikut :
. Infeksi viral akut: mononukleosis, hepatitis, influenza

dan banyak yang lainnya, sebagai akibat vaksinasi.

Infeksi parasit: tripanosomiasis, kala azar, malaria,

schistosomiasis, filariasis, dsb.


Penyakit radang kronik: TBC, lepra, lues, brucellosis

.
.

periodontitis. Hepatitis, paru, Cryobulinemia .


Polutan: silikosis, asbestosis
Neoplasma: setelah iradiasi ataupun kemoterapi.

endokarditis bakterial subakut, salmonellosis,


"

Adanya faktor ini cenderung ditandai oleh antigemia


persisten yang lebih lanjut dapat dibuktikan melalui
percobaan hiper imunisasi kelinci dengan antigen bakteri.

ini dikaitkan dengan keadaan


hipergammaglobulinemia ataupun kompleks imun yang
beredar dalam darah, maka dapatpula di masukan, penyakit
hati kronik, paru kronik, cryobulinemia.
Dengan kenyataan ini, maka FR itu sendiri sering
merupakan indikator in vivo terhadap penyakit-penyakit
dengan latar belakang kompleks imun dengan
kecenderungan menjadi kronik. Walaupun tak spesihkAR,
tetapi faktor ini dapat menjadi perintis timbulnya penyakit
AR. Sementara hasil positifjuga ditemukan pada penyakit
reumatik lainnya seperti sjogren, SLE, sklerosis sistemik
Banyak kelainan

dan penyakit jaringan ikat campuran (MCTD). Pada


individu normal sehat, prevalensi lateks positif cenderung
meningkat seiring meningkatnya usia.
Arti spesifitas bagi imunolog ialah adanya struktur
imunokimiawi tertentu pada IgG-nya sedangkan bagi
reumatolog, hanya mempersoalkan efisiensi diagno
sisnya. Dalam hubungan ini berbagai upaya modifikasi
telah dicoba seperti yang tiada henti-hentinya dilakukan
Klein dkk

IgM-FRpoliklonal memiliki aneka sfesifisitas. Tidak dapat


disebutkan, suatu kekhasan antigenik tertentu, yang benarbenar memegang peranan penting dalam proses terjadinya

AR. Dengan demikian, spesihtas FR padaAR, cenderung


lebih heterogen daripada penyakit kronik lainnya yang
bukan AR. Karena itu FR pada AR cenderung lebih banyak

Tempat Diproduksinya Faktor Reumatoid


Pada pasien AR, seperti juga pada individu yang sehat
hanya sedikit imunoglobulin ataupun FR yang diproduksi
oleh sel-sel yang berada dalam sirkulasi.
Bagaimana juga, limfosit-limfosit yang terdapat dalam

2466

REUMAIIOI.OGI

aliran darah, dapat dirangsang oleh mitogen sel-sel-B untuk

dimulai rangkaian reaksi imun berkepanjangat, yang

memproduksi imunoglobulin secara in vitro. Tetapi


sejumlah besar sel-sel dari kompartemen lainnya, telah

berakhir dengan kerusakan jaringan. Hampir semua klinisi


reumatologi, telah mengamati tidak jelasnya hubungan

dapat ditunjukkan memproduksi FR. Telah diketahui bahwa

titer IgM-FR yang tinggi dengan jumlah sendi yang

cairan sinovial reumatoid kaya dengan IgG-FR, IgM-FR


dan IgA-FR. Jadi FR pada cairan sendi, kemungkinan besar
diproduksi secara lokal oleh limfosit-limfosit yang terletak
dalam membran sinovial ataupun cairannya sendiri. Agen
yang merintis produksi lokal, sampai saat ini masih belum
diketahui. Agaknya memang berbagai faktor itu datangnya
secara bertahap ataupun simultan yang tanpa disadari

meradang. Tetapi pada negara yang sedang berkembang,


titer yang tinggi, dengan jelas menampilkan gambaran khas

terekam oleh tubuh sedikit demi sedikit dan akhirnya


tinggal memerlukan hadirnya suatu penyulut (trigger)
untuk timbulnya penyakit tersebut.
Mengenai tempat diproduksinya FR pada penyakit

kronik lainnya belum dapat diungkapkan, tetapi


kemungkinan seperti modus produksi imunoglobulin
umunmya.

lmunopatogenesis Faktor Reumatoid


Sebenarnya, FR bersifat non-patogenik. Terbukti pada
tranfusi dengan IgM-FR tidak dapat menginduksi arlritis
bahkan IgM-FR dapat mengurangi serum slckness, lisis
oleh komplemen dan aktivitas sitotoksik selular, tetapi
hadimya FR dapat menj adi pemacu dan pemantapan proses
yang ditunjang oleh hal-hal sebagai berikut:
. Pasien seropositif, menunjukkan penampilan klinik dan
komplikasi yang lebih berat dibanding seronegatif.
Pasien seronegatif, mempunyai prognosa yang lebih
baik.

..

Pengamatan in-vitro menunjukkan bahwa IgM-FR


diproduksi secara spontan oleh limfosit perifer pada
seropositif, sedang seronegatif, tidak.
Pasien dengan titer FR yang tinggi, menunjukkan
prognosis yang buruk dan lebih sering tampil dalam

manifestasi ekstra artikular seperti nodul-nodul


subkutan, fibrosis paru, vaskulitis, perikarditis. Hal ini
dikaitkan dengan ditemukan CIC (Circul ating Immune

.
.

Complex).

IgM-FR poliklonai mampu mangaktifkan kom-plemen,


sehingga tidak diragukan keterlib atatty a, dalam
berbagai kerusakan jaringan.
Meningkatnya kadar IgG-FR, dikaitkan dengan
meningkatnya kekerapan timbulnya nodul subkutan,
LED, jumlah persendianyang terlibat dan menurunnya
kadarkomplemen.

Kemungkinan efek patologiknya ialah kenyataan data

klinik yang rnenunjukkan hubungan FR dengan aktivitas


penyakit terutama manifestasi ekstra-artikularnya. Hal ini
juga berlaku bagi IgG-FR, yang lebih cenderung berkaitan

dengan penyakit sistemik dan vaskulitis dibanding


sinovitis.

Efek biologiktya, yar.g utama ialah kemampuannya


mengikat komplemen melalui kompleks imun. Dari sinilah

AR.

Pada anak-anak, adanya IgM-FR menunjukkan


' poli-artikular tipe dewasa dari JRA. Beberapa studi, justru
IgG-FR yang menunjukkan korelasi lebih baik dibanding
IgM-FR dengan aktivitas penyakit dan manifestasi ekstra
artikular, termasuk nodul-nodul subkutan dari pasien AR
seropositif. Hal ini berarti, bahwa IgG-FR kemungkinan
lebih berperan di banding IgM-FR dalam patogenesis AR.

Inflamasi dan respons imun pada hakekatnya


merupakan suatu penampilan dari mekanisme pertahanan
tubuh yang saling kait mengkait. Berbagai kerusakan
persendian yang terjadi pada AR dimulai dengan suatu

inflamasi yang melepaskan zat-zat prostaglandin dari


tipe-tipe sel makrofag, sel dendrit, sel endothelial dan
beberapa sel limfosit. Hadirnya prostaglandin justru
mempunyai arti penting dalam ikut mempertahankan
keseimbangan imunologik. Hal ini dimungkinkan karena
prostaglandin langsung bekerja terhadap sel-T penekan
yang memiliki reseptor prostaglandin, lalu menghambat
aktivitas sel-T penekan sehingga meningkatkan fungsi
sel-T penolong. Akibatnya sel-T penolong, bekerja tanpa
kendali dengan tidak lagi mengindahkan notma-norma sel
recognition sehingga terbentuklah antibodi yang tidak
dikehendaki (Auto-antibodi). Kenyataan dengan
ditemukannya prostaglandin yang berlebihan pada daerah
sendi inflamasi, praktis menutup kerja sel-T penekan.
Rangkaian proses ini dimungkinkan karena sel-T penolong

zatIL-2 dan IL-3. Interleukin-2, menjamin


aktivitas sel-T/B, sedangkan IL-3 sebagai mediator aktif
dalam proses radang. Dalam situasi seperti ini, maka FR
lah yang pertama dibentuk dari tempat te{adinya inflamasi.
Dari sinilah kemudian dimulai rangkaian proses imunologi
yang berkelanjutan dengan berbagai efek kliniknya.
Artritis reumatoid, merupakan penyakit kompleks imun
ekstravaskular, yang terutama menyerang daerah
persendian. Karena cairan sendi pasien AR tidak seperti
serumnya, sering mangandung agregat IgG dengan kadar
komplemen yang rendah. Jadi faktor ini, justru memegang
peranan utama dalam patogenesis penyakit kompleks imun
ekstravaskul ar yang nantinya menghasilkan sinovitis
reumatoid, tetapi dengan kenyataan ditemukan faktor ini
pada penyakit-penyakit lainnya yang bukan AR, telah
menurunkan arli dan peranan FR tersebut, tetapi dengan
berbagai alasan dan respek terhadap peranan faktor ini,
maka hadirnya FR ini, antara penyakit AR dan penyakit
non-reumatik, masih dapat dibedakan pada Tabel 4.

melepaskan

Jadi spesifitas jaringan dan kronisitas sinovitis


reumatoid, sebagian besar dapat diterangkan dengan
kemampuan unik dari faktor reumatoid. Masih ada contoh

2467

PEMERIKSAAN CPR, FAKTOR REUM'TTOID, AUTOANTIBODI DAI\ KOMPLEMEN

Artritis Reumatoid, Lupus


Eritematosus Sistemik,
Skleroderma, Mixed Connective
Ilssue Drsease, Sindrom
Sjogren's

Penyakit Rematik

lnfeksi Viral

Acq ui re d i m mu

od eficie

cy

syndrome, mononukleosis,
hepatitis, influenza dan setelah
vaksinasi
Trypanosomiasis, kala azar,
malaria, schistomiasis, filariasis
Tuberkulosis, leprosi, sifilis,
brucelosis, infektif endokarditis,
salmonelosis
Pasca radiasi atau kemoterapi,
purpura
hipergammaglobulinemia,
kryoglobulinemia, penyakit hati
kronik, penyakit paru kronik

lnfeksi parasit

lnfeksi bakterialis kronik

Neoplasma
Hyperglobuli nemic state

kemungkinan meningkatkan efek biologik kompleks imun


yang berinteraksi lemah dan menekan efek kompleks imun
yang berinteraksi kuat.
Antibodi ini juga akan mengendapkan agregat IgG, baik

dalam bentuk larutan ataupun dalam bentuk gel. Lebih

sering terjadi, antibodi

ini bergabung dengan

IgG

monomerik membentuk kompleks yang larut, yangdapat


diperlihatkan dalam banyak serum AR melalui cara
ultrasentrifugal.
Perubahan titer FR selama perjalanan penyakit tidak
memberi makna apapun bagi penyakit yang bersangkutan.
Walaupun suatu obat berhasil menurunkan titer FR sampai
pada keadaan menjadi seronegatif tetapi dapat kembali

menjadi seropositif walaupun secara klinik menunjukkan


adanya pemulihan.
Titer FR yang tinggi pada AR mengindikasikan
prognosis buruk dan kecenderungan manifestasi ekstra
artikuler.

Faktor reumatoid IgG Antibodi ini terdapat berlebihan


dalam serum, terutama cairan sendi dari banyak pasien
dengan AR berat. Konsentrasi IgG yang tinggi dalam
serum dan kecenderungan antibodi ini untuk bergabung

Artritis
Reumatoid

Penyakit nonreumatik

Titer
Heterogenitas

Tinggi

Rendah

++

Reaksi nyaterhad ap

lengkap

tidak lengkap

lgM, lgG, lgA


Sinovium dan
tempat
ekstravaskular
lainnya

terutama lgM
tidak jelas, tetapi
bukan pada
daerah sinovial.

Faktor Reumatoid

gammaglobulin
manusia dan hewan
Klas imunoglobulin
Lokasi produksi

sendiri, daripada bergabung dengan agregat IgG, justru akan

menyulitkan pengenalannya.
Pada prinsipnya FR-IgG ini, dapat dikenal dengan prohl

sedimentasirrya yang tersendiri sebagai kompleks


intermediate dalam analisis ultrasentrifugal. Teknik
pengenalan antibodi ini telah dikembangkan secara
khusus oleh Feltkamp dkk dengan imunofluoresensi tidak

langsung. Sebelumnya memang banyak cara telah


diperkenalkan tetapi praktis tidak dapat dilakukan secara

rutin ataupun dengan cara radio-imun yang ternyata


laborious, demikian juga teknik Elisa.

lain dari autoantibodi dengan afinitas rendah dengan ciriciri unik yang membawakan sifat patogeniknya dalam
situasi khusus. Memang secara teoritis, hadirnya faktor
ini, justru menunjukkan salah satu kegagalalsistem imun
tubuh dalam menangani infiltrasi benda asing secara
tuntas.

Antibodi yang mula pertama dilepaskan ternyata tidak


mampu menetralkan benda asing yang masuk. Upaya
tubuh menyelesaikan masalah karena kegagalan
pengenalan diri, justru melahirkan antigen-antigen baru,
akibatnya timbul perkembangan baru, sebagai reaksi
terhadap kenyataan tersebut, dengan membentuk zat antiantibodi yang dikenal dengan sebutan FR.

KEMAKNAAN KLINIK
Faktor r eumatoid IgM. Klas ini

seperti juga antibodi

IgM

laimya, bersifat multivalen yang karenanya memiliki daya


aglutinator yang kuat terhadap partikel-partikel yang
terbungkus oleh antigen yang bersangkutan. Faktor ini

Teknik yang diungkapkan oleh Feltkam ini amat


sederhana yaitu kaca benda yang telah berisi hapusan
suspensi eritrosit l0% golongan darah O, diinkubasi
dengan serum kelinci anti eritrosit, kemudian dengan 1/10
serum pasien ataupun serum kelola. Akhirnya dibubuhi
dengan konyugat serum kelinci anti IgG. Kalau yang
hendak diteksi FR dari klas IgA tentu saja digunakan
konyrgat serum kelinci anti IgA. Adanya IgG-FR dalam
jumlah besar justru membawa implikasi yang lebih serius
dibanding IgM-FR. Para ahli menemukan IgG-FR dalam
600% serum pasien reumatoid vaskulitis dathanya9%opada
pasien AR. Ditemukan hubungan kuat antara menurunya
kadar IgG-FR dan respons pengobatan dari vaskulitis.
Evaluasi kompleks imun (IgG-FR) yang dideteksi
dengan Clq dan FR berkorelasi lemah dengan gambarun
klinik yang didapat, demikian juga IgM dan IgA-FR Titer
IgG-FR yang tinggi, dikaitkan dengan kejadian vaskulitis
nekrotikan.dan justeru membawa implikasi yang lebih
serius dibanding IgM-FR.

Faktor reumatoid IgA. Mengenai antibodi dari klas IgA, di


samping dengan cara tersebut di atas, juga dapat

2468

REI,JMAT.IOI.OGI

ditunjukkan dengan cara imuno-elektroforesis dan


imunoabsorbsi kuantitatif. Di samping terdapat dalam
serum, juga dapat ditemukan dalam saliva.

Kepentingan pemeriksaan antibodi ini masih


dipertanyakan, karena itu belum dapat dilakukan secara
rutin, namun faktor ini belum banyak dipelajari karena
dipertanyakan nilai kliniknya. Koopman dkk menemukan
bahwa polimer IgA-FR dibuat oleh sel-sel plasma sinovial

secara

in vitro dan produksinya relatif tidak sensitif

terhadap efek stimulasi dari zat-zat mitogenik. Kenyataan


ini menunjukkan perbedaan yang jelas antara sistesis
IgA-FR dan IgM-FR. Dalam hal ini dipertanyakan apakah
perbedaan itu mempunyai arti penting secara klinik pada
pasien AR.

Adanya antibodi termasuk otoantibodi sering dipakai


dalam upaya membantu penegakkan diagnosis maupun
evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.

Menjadi suatu pertanyaan sejauh mana peran pemeriksaan


otoantibodi atau antibodi secara umum dalam proses
patogenik penyakit reumatik.
Pembentukan otoantibodi cukup kompleks dan belum
ada satu kajian yang mampu menjelaskan secara utuh
mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula halnya
dengan masalah otoirnunitas. Pada masalah yang terakhir,
dikatakan terdapat kekacauan dalam sistem toleransi imun
dengan sentralnya pada T-helper dan melahirkan banyak
hipotesis, antara lain modifikasi otoantigen, kemiripan atau
mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross

Faktor reumatoid IgE. Faktor ini hanya ditemukan dalam

r e ac t iv e p ep ti d e

jumlah kecil (50-600 ng/cc). Zuraw dkk menemukan


peningkatan kadar faktor ini pada 18 dari 20 pasien AR

idiotipik, aktivasi poliklonal dan sebaginya. Mekanisme


lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan

seropositif. Karena kompleks imun IgE dapat melepaskan


histamin dam mediator-mediator lainnya dari sel-sel mastosit
maka kemungkinan bahwa faktor ini mungkin berperanan
dalam memicu terjadinya vaskulitis reumatoid dengan

meningkatkan deposit kompleks IgG dalam dinding


pembuluh darah.

terhadap epitop sel-B, mekani sme byp

as

mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke

peripher. Kekacauan

ini

semakin besar kesempatan

teq'adinya sejalan dengan semakin bertambahnya usia seseorang.

Otoantibodi relatif mudah ditemukan pada seseorang


tanpa disertai penyakit otoimun. Tentunya hal tersebut
harus ditunjang oleh sensitivitas pemeriksaan labaoratorium

yang tinggi. Apabila demikian maka otoantibodi dapat


ditemukan secara universal sebagai mekanisme normal di

TEKNIKANALISIS
Cara yang paling mudah dalam mengukur IgM-FR ialah
teknik aglutinasi yaitu cara non imunologik menggunakan
lateks dan cara imunologik menggunakan sel darah

biri-biri. Baik lateks ataupun sel darah biri-biri ini

dalam badan terhadap produk sel. Dengan kata lain


otoantibodi dapat merupakan hal fisiologik. Dari sudut
pemeriksaan laboratorium, adarya anggapan demikian
menimbulkan dua hal yang dapat menjadi hambatan dalam
terapan imunologik klinik. Dasarnya adalah, pertama,
otoantibodi dapat ditemukan dalam semm orang normal

dimaksudkan sebagai perantaralamboseptor yang

tanpa manifestasi penyakit. Umumnya otoantibodi tersebut

memungkinkan pemunculan ikatan antigen antibodi.


Untuk mendapatkan konsistensi hasil pemeriksaan
maka perlu digunakan gabungan serum positif kuat dan
serum positif lemah yang telah diketahui titernya sebagai
kontrol kualitas intemal. Idealnya ialah merujuk dua kontrol

berada dalam titer rendah dan memiliki afinitas buruk


terhadap antigen yang berkesuaian, serla sebagian besar
tergolong imunoglobulin M. Kedua, deteksi otoantibodi

sera dari WHO sehingga pengukurannya dapat


diseragamkan dalam hitungan unit internasional.

pada umumnya memerlukan data empirik dalam hal ambang

batas nilai positif. Dengan kata lain apabila nilai terukur


berada di atas ambang tersebut baru dikatakan memiliki
kemaknaanklinis.

Umumnya otoantibodi

itu sendiri tidak

segera

menyebabkan penyakit. Oleh karenanya, lebih baik


PEMERIKSAAN AUTOANTIBODI
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya
dengan berbagai proses imunologik, baik yang non spesifik
atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat lebih nyata

pada penyakit-penyakit otoimun termasuk

di dalamnya

kelompok penyakit reumatik otoimun seperti Systemic


Lupus Erythematosus (SLE), Rheumatoid arthritis (RA),
sindrom Sjogren dan sebagainya.

otoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses


patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang
dapat naik atau turun dapat berkaitan dengan aktivitas
penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi. Kompleks

(oto)antigen dan otoantibodilah yang akan memulai

ini hipotesis
yang dianut adalah otoantibodi baru dikatakan
memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit
reumatik otoimun apabila ia berperan dalam proses
rangkaian penyakit otoimun. Hingga saat

Proses patologik yang terjadi berkatan erat dengan


adanya kompleks (oto)antigen (oto)antibodi yang

patologiknya.

keberadaannya dapat menimbulkan berbagai masalah yang


seius. Perkembangan yang pesat terhadap deteksi antibodi
membawa pengaruh terhadap fungsi pemeriksaan antibodi.

dapat

Otoantibodi yang terbentuk terhadap suatu antigen

dimiliki oleh sejumlah penyakit yang berbeda

dan

yang demikian itu dikenal sebagai antibodi yang tidak


spesifik. Salah satunya yatg dapat dikelompokkan pada

2469

PEMERIKSAAI\ CPR, FAKTOR REUMATOID, AUTOANTIBODI DAT{ KOMPLEMEN

otoantibodi ini adalah anti nuclear anlibody (ANA).


Ditemukannya satu jenis antibodi terhadap satu jenis

primer, hepatitis autoimun, skleroderma, Epstein Barr virus,

penyakit reumatik otoimun saja merupakan harapan dari


banyak ahli. Namunhal inimasihjauh dari kenyataankarena

gammopati monoklonal dan kanker.

adarya tumpang tindih berbagai penyakit yang


mendasarinya, serta besarnya kemaknaan klinis suatu

otoantibodi. Sayangnya disinilah letak kebanyakan


keterbatasan pemeriksaan otoantibodi.

Antibodi Antinuklear (ANA)


Antinuklear antibodi merupakan suatu kelompok

penyakit Chagas, schizofrenia, neuropati sensorik,

Anti-Ku
Anti-Ku

adalah suatu antibodi terhadap antigen Ku yang


terdapat pada kromatin l0S. Anti-Ku terdapat pada
s cl ero derma-p o lymy o s itis overl ap syndrome. Anli-Ku }uga

ditemukan pada 20-40o/o serum pasien LES, > 20o/o pada


pasien hipertensi pulmonal primer dan > 50%o serum pasien
penyakit Graves.

autoantibodi yang spesifik terhadap asam nukleat dan


nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue disease
seperli SLE, sklerosis sistemik, mixed connective tissue
diasease (MCTD) dan sindrom sjogren's primer. ANA
pertama kali ditemukan oleh Hargraves pada tahun 1948
pada sumsum tulang pasien SLE. Dengan perkembangan
pemeriksaan imunodifu si dapat ditemukan spesifisitas ANA
yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/

SS-A dan LaISS-B.ANA dapat diperiksa dengan


menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan
sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue
disease.Detgan pemeriksaan yang batk, 99o/, pasien SLE
menunjukkan pemeriksaan yang positif, 680% pada pasien
sindrom Sjogrens dan 40%o pada pasien skleroderma.ANA
juga pada l0% populasi normal yang berusia > 70 tahun.

Antibodi terhadap DNA (Anti dsDNA)


Antibodi terhadap DNA dapat digolongkan dalam antibodi
yang reaktif terhadap DNA natif (double stranded
DNA).Anti dsDNA positif dengan kadar yang tinggi
drjumpai pada 73%o SLE dan mempunyai arti diagnostik

dan prognostik. Kadar anti dsDNA yang rendah


ditemukan pada sindrom Sjogrens, artritis reumatoid.

AntisnRNP
Anti snRNP adalah suatu auto antibodi terhadap partikel
small nuclear ribocleoproteln dari RNA. AntiSm dan anti
U I snRNP termasuk golongan anti snRNP. Anti U I snRNP
memiliki hubungan klinis sebagai petanda untuk MCTD
dan drjumpai 30-40% pasien SLE.Anti Sm mempunyai

spesifisitas yang tinggi terhadap SLE (spesifisitas


99o/o),walaupunhanya ditemukatpada 20 -30% pasien SLE.

SS-AJanti Ro
Antibodi ini mempuyai spesifisitas yang berbeda terhadap
partikel ribonucleoprotein yaitu partikel ribonucleoprotein
60 kD dan 52 kD. Antibodi Ro ditemukan pada 40-95%
sindroma Sjogren dengan manifestasi ekstraglandular
(keterlibatan neurologis, vaskulitis, anemia, limfopenia,
trombositope nia) dar' 40oh pasien SLE.

SS-B/anti La
Targen antigen oleh antibodi ini adalah partikel ribonucleoprotein 47 kD yang mempunyai peranan dalam proses

terminasi transkripsi RNA polimerase III. Antibodi ini

Peningkatan kadar artidsDNA menunjukkan peningkatan

dijumpai pada8}o/opasien sindroma Sjogren, 10% pasien

aktivitas penyakit. Pada SLE,anti dsDNA mempunyai


korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktivitas

SLE dan 5% pasien skleroderma

penyakit SLE. Pemeriksaan anti dsDNA dilakukan dengan

metoderadioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae


immunofluoresens.

Antihiston (N ukleosom)
Antibodi antihiston merupakan suatu antibodi terhadap
komponen protein nukleosom yaitu kompleks DNAprotein (suatu substmkflrr dari inaktif kromatin transkripsi).
Potein histon terdiri dari H1,H2A,II2B,H3 dan H4.Antibodi
ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan ELISA, indirect
immuno/luoresence alau imunoblot. Pada 50-70% LES
terdapat antibodi antihiston terutama terhadap protein Hl,
H2B diikuti H2A, H3 serta H4, dan biasanya berhubungan
anti dsDNA. Antibodi inijuga ditemukanpadalupus induksi

obat dan berhubungan dengan anti ssDNA. Antibodi


antihistonjuga ditemukan dengan kadar yang rendah pada
artritis reumatoid, artritis reumatoid juvenile, sirosis bilier

Scl 70 atau Anti Topoisomerase

Topoisomerase I
sitoplasma. Anti topoisomerase 1 terdapat pada 2240o/o pasien
skleroderma dan 25 -'l 5o/o pasien sklerosis sistemik. Secara
umum anti tropoisomerase I merupakan faktor pediktor untuk
keterlibatan kulit yang difus, lama penyakit atau hubungan
dengan kanker, fibrosis paru, timbulnya parut (scar) pada j ari
j ari dan keterlibatan jantung.
merupakan antigen yang terdapat dalam

Antisentromer
Antibodi antisentromer mempunyai target pada proses
mitosis. Antisentromer ditemukan pada 22-36%, pasien
sklerosis sistemik. Antisentromer mempunyai korelasi yang

erat dengan fenomena Raynauds, CREST (Calcinosis,

Raynauds phenomenon, esophageal dysmotility,


s

cl ero dac

tily

dan

t el

engiect as ia)

2470

REI.JMITTOT.OGI

PEMERIKSAAN KOMPLEMEN
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang
tidak spesifik.Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam
keadaan tidak aktif.

Bila terjadi aktivasi oleh antigen,

kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai


mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut.
Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang
terdiri dari + 20 protein palasma dan bekerja secara berantai
(self amplifyireg) seperti model kaskade pembekuan darah
dan fibrinolisis. Komplemen sudah ada dalam serum

neonatal, sebelum dibentuknya IgM. Dalam mobilitas


elektroforesis, termasuk kelompok alfa dan beta globulin.
Komplemen dihasilkan terutama oleh sel hati dan beredar
dalam darah sebagai bentuk yang tidak aktif (prekursor),
bersifat termolabil. Pengaktifan, berlangsung melalui dua
jalur, yaitujalur klasik (imunologik) danjalur altematif (nonimunologik). Kedua jalur berakhir dengan lisis membran
sel atau komplekAg-Ab. Jalur klasik diprakarsai oleh : Clq,
Clr, CIs, C4 dan C2. Sedangkan jalur alternatifnya
dicetuskan oleh properdin, faktor B, faktor D dan C3.
Terminal penghancur kedua jalur tersebut ialah C5-9.
Aktivasi ini, masih diimbangi oleh beberapa protein

pengatur yaitu inhibitor Cl, inaktivator C3b, protein


pengikat C4, dar, faktor H. sebagai konsekuensi biologik
dari aktivitas membranolisis ini dilepaskan berbagai
subkomponen dari beberapa komponen yaitu:
. Aktivitas kemotaktik oleh C3a, danAnafilatoksin oleh
C3a dan C5a, yang melepaskan histamin dari basofil
ataupun mastosit dan seritinin dari platelet.
. Aktivasi seperti kinin oleh C2 dan C4, yang bekerja

meningkatkan permebilitas vaskular dalam sistem

amplikasi humoral

Memacu fagositosis oleh C3b

Komplemen

clq
C1r

Cls
C1-INH

c4

Penyakit
SLE, glomerulonefritis, poikiloderma
kongenital
SLE, glomerulonefritis, lupus like
syndrome
SLE

SLE,lupus diskoid
SLE,rheumatoid
vasculitis,dermatomyositis, gA
nephropathy, subacute sclerosing
panecephalitis,scleroderma,sjogrens
syndrome,grave disease
SLE, discoid lupus, polymyositis, HenochSchonlein purpura,Hodgkins
d isease,vascul itis, glomerulonefritis, hypog
I

c3
C5

c6

c7
C8
C9

am mag lobu line m ia

Vasculitis, lupus like syndrome,


glomerulonefritis
SLE, infeksi Neisseria
infeksi Neisseria
SLE, rheumatoid arthritis, Raynauds
phenomenon, sclerodactyly, vasculitis,
infeksi Neisseria
SLE ,infeksi Neisseria
infeksi Neisseria

Fagositosis dapat terjadi terhadap kompleks AgAb-C3b, karena pemilikan reseptor C3b pada sel
neutrofil, makrofag, trombosit dan sel B. hal ini
memeperbesar bangunan ikatan kompleks tersebut
sehingga lebih mempermudah pengenalan benda asing
tersebut yang akhirnya mempercepat aksi pembersihan.
Dengan demikian C3b mempunyai efek ganda yaitu di

samping sebagai trigger dalam menggiring proses


penghancuran melalui jalur alternatif, juga sebagai
opsonin dalam memacu proses fagositosis. Konsentrasi
C3 dan C4, ditemukan meningkat dalam cairan saku gusi
dari gingiva yang meradang. Jadi komplemen mampu
menyingkirkan kuman setelah bergabung dengan antibodi.
Pada SLE, kadar CL,C4,C2 dar, C3 biasanya rendah,

tetapi pada lupus kutaneus normal.Penurunan kadar


kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE
terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada
pasien dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen
terlihat lebih dahulu dibanding gejala klinis.

REFERENSI
Breedveld F. New Insight in the pathogenesis of RA. J. Rheumatol
25; 1998: 3-7.
Cohen A S. Laboratory diagnostic procedures in the rheumatic
diseases. Grune & Stratton, Inc. Sidney, Tokyo 1985.
Dunne J. V, Carson DA, Spiegelberg H, dkk, IgA Rheumatoid factor
in the sera and saliva of patient, with RA and Sjogren syndrom.
Ann. Rheum Dis. 38; 1979:167.

Edmonds J. Immunological Mechanism and Investigations, in


Rheumatic Disorders Med Int. 1985:896-900
Feltkamp TEW. Immunopathogenese van Rheumatoide arthritis
Het Medischyaar 1981. Utrech : Scheltme & Holkema, 1980:
452-464.
ICein F, Bronsveld W, Norde W, dkk. A modified Latex Fixation Test
of the detection of Rheumatoid factors. J Clin Path 1979; 32: 90
H H Chng. Laboratory test, in rheumatic diseases Singapore med J.
l99l; 32: 272-27 5.
Klippel JH, Crofford LJ, Stone JH, Weyand CM in Primer on
Rheumatic Disease l2'h ed,Atlanta,Arthritis Fondation 2001.
Kalim H, Handono K, Arsana PM ed in Basic Immuno Rheumatology, Malang, Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya, 200
Maddison, P J. the use of the laboratory in diagnostic rheumatology.
Proc 4'h Asean congress of rheumatology Singapore 1993:
1

t7 -122

Monestier.

M, Bellon B, Manheimer dkk, Rheumatoid factor Ann N

Y Acad. Sc 475; 1986: 107.

N.G. Suryadhana. dkk Membandingkan hasil lateks dan

tes

hemaglutinasi dalam diagnosis penyakit reumatoid arthritis.


Kopapdi V, 1981: hal 1675-1691.
Ruddy S, Harris ED, Siedge CB, Budd RC, Sergent JS in Kelleys
Textbook 0f Rheumatology 6'h ed,Philadelphia,WB saunders
Company,2001.

Roitt I. Essential Immunology. Oxford: Blackwell Science. 1997:


399-405
Rose NR. The use of autoantibodies. In. Peter JB, Shoenfeld ! eds:
Autoantibodies. Elsevier Sciences B.V 1996: xxvii-xxix

2471

PEMERIKSAAN CPR, FAKTOR REUMITIIOID, AUTOAI{TIBODI DAN KOMPLEMEN

Suryadhana

N G. Pemeriksaan laboratorium pada penyakit

sendi,

bull Rheumatol ind. 1994; l:7-ll.


Suryadhana N G dan Nasution A R. Mekanisme dan pemeriksaan
imunologi pada penyakit sendi. MKI 1993;43:,24 29.
Suryadhana. dkk Hubungan titer FR dengan keaktifan penyakit.
Kopapdi VI, Jakarta 1984 page 2040-2044
Siegert CE, Daha MR, Tseng CM, Coremans IE, Es LA van, Breedveld
FC. Predictive value of IgG autoantibodies against Clq for
nephritis in systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis 1993;

52:851-6.
Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA in Current Medical
Diagnosis
Hi11,2004.

&

Treatment 43'h ed, Lange Medical Books/McGraw-

Tighe H dan Carson DA. Rheumatoid factors. Dalam : Kelley's.


Textbook pf rheumatology. WB. Saunders Co. Tokyo. 1997 : p
241-249
Tan E M. Role of autoantibodies: Diagnostic markers, immune
system reporters and

initiator of pathogenesis. Proceeding 9th

APLAR Congress. Beijing: Chinese Rheumatology Association.


2000:10-19.
Yanossy. G, Duke O. Poultier L.W dkk. RA : A Disease of T

Lymfhosyte
1981:839.

/ Macrophage immunoregulation Lancet

2;

378
PEMERIKS

L\N

PENCITRAAN
DALAM BIDANG REUMATOLOGI
ZuljasriAlbar

dirasakan jika kita ingin mengevaluasi jaringan lunak.


Meskipun foto polos merupakan sarana yang berguna
untuk menilai pengaruh massa jaringan lunak terhadap
tulang yang berdekatan atau untuk mendeteksi kalsifikasi
dalam jaringan lunak, teknik ini tidak cocok untuk

PENDAHULUAN
Teknik pencitraan dapat membantu penegakan diagnosis,

memungkinkan penilaian aktivitas/beratnya penyakit,


distribusi penyakit, respons terhadap pengobatan secara
obyektif, menilai komplikasi dan kelainan ekstra-artikuler
serta meningkatkan pemahaman baru tentang proses
penyakit. Beberapa pemeriksaan pencitraan yang penting
dalam bidang reumatologi ialah foto polos, tomografi,
computerize d tomo graphy (CT-s c an), magnetic res onance

mengevaluasi j aringan lunak.

Dosis radiasi yang dihasilkan pada pemeriksaan


struktur perifer seperti tangan dan kaki relatif rendah,
sehingga pemeriksaan serial dapat dilakukan tanpa harus

kuatir terhadap radiasi yang berlebihan. Dilain pihak,

imaging (MRI), ultrasound, radionuclide imaging,

pemeriksaan terhadap struktur sentral seperti vertebra


lumbal dan bagian lain tubuh mengakibatkan radiasi dosis
tinggi terhadap pasien. Kedekatan dengan kelenjar kelamin
dan sumsum tulang meningkatkan potensi timbulnya efek
yang merugikan terhadap pasien. Sedapat mungkin daerah
panggul perempuan hamil atau yang masih dapat hamil

artrografr, pengukuran densitas tulang dan angiografi.

Sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang


keuntungan dan keterbatasan pemeriksaan di atas,
sehingga dapat diketahui pemeriksaan mana yang paling

tepat dan paling cost-effective.

Di bawah ini

akan

dibicarakan teknik pencitraan dasar dengan melihat aspek


spatial dan resolusi (yang menentukan strukfur mana yang
dapat dilihat dengan baik), dosis radiasi terhadap pasien,

kemudahan didapat, tingkat keahlian yang diperlukan


untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan dan
pemakaian spesifik dalam menilai keluhan dan gejala
muskuloskeletal.

FOTO POLOS

tidak terkena radiasi. Demikian juga radiasi terhadap anakanak hendaklah diusahakan seminimal mungkin. Jika pada
pasien ini memang diperlukan pemeriksaan radiologik, ahli
fisika radiasi dapat menghihrng dosis radiasi minimum yang
diperlukan untuk pemeriksaan pencitraan. Prinsip dasar
ini berlaku untuk semua jenis pemeriksaan pencitraan.
Pemeriksaan radiologi konvensional mudah didapat
dan menyenangkan. Tambahan lagi, pengetahuan tentang
kelainan radiologi (konvensional) pada bernacam-macam

penyakit reumatik sudah banyak diketahui dan sudah


tersebar luas.

Pemeriksaan foto polos merupakan titik tolak sebagian


besar pemeriksaan pencitraan penyakit-penyakit reumatik
walaupun mungkin setelah itu akan dilakukan pemeriksaan
MRI. Biayanya murah dan resolusi spatial tinggi, sehingga
detil trabekula dan erosi kecil tulang dapat dilihat dengan
baik. Jika diperlukan, resolusi dapat ditingkatkan dengan
teknik pembesaran. Resolusi kontrasnya memang tidak

berhimpitan akan mengaburkan gambaran anatomi.

sebaik CT-scan atau MRI. Keterbatasan ini terutama

Biayanya hampir sama dengar.CT-scan. Resolusi struktur

TOMOGRAFI

Teknik ini sangat berguna untuk pemeriksaan daerah


dengan anatomi yang kompleks, dimana struktur yang

2472

PEMERIKSAAN PENCITRAAN DALAM BIDANG REUMATOI]OGI

2473

tulang sedikit lebih baik, sedangkan visualisasi jaringan


lunak jauh lebih buruk. Dosis radiasi lebih tinggi daripada
CT-scan. Dalam praktek, teknik ini telah digantikan oleh

pemeriksaan radiologi konvensional. Teknik ini


memperoleh informasi struktur berdasarkan densitas

CT-scan.

COMPUTEDTOMOGRAPHY
Meskipun relatif mahal, CT-s c an lebrhmurah daripada MRI.
Resolusi spatial lebih baik daripada MRI, tetapi lebih buruk
daripada foto konvensional. CT-scan dapat memperlihatkan

kelainan jaringan lunak lebih baik daripada foto


konvensional, walaupun tidak sebaik MRL CT tersebar

stmktur jaringan lunak yang tidak dapat diperlihatkan oleh

proton dalam jaringan dan hubungan proton ini dengan


lingkungan terdekatnya. MRI dapat memberi penekanan
pada jaringan atau status metabolik yang berbeda-beda.
Dengan perkataan lain, pencitraarr yarrg berbeda dapat
diperoleh dari tempat anatomi yang sama dengan
mengubah parameter tertentu.

MRI relatif lebih mahal daripada pemeriksaan


pencitraan lain, terutama karena harga peralatan dan waktu

yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan.


Di masa depan, perlu dipertimbangkan pengurangan

luas dan banyak dokter dapat membaca hasil fotonya.


CT-scan merupakan teknik yang sangat baik untuk
mengevaluasi penyakit degeneratif diskus interverlebralis

sekuens pencitraan sehingga dapat menurunkan biaya


pemeriksaan. Juga perlu dikembangkan sekuens pencitraan
yang lebih cepat, yang dapat mengurangi waktu dan biaya

dan kemungkinan herniasi diskus pada orang tua.


Penekanan tulang pada kanalis spinalis dan foramen
intervertebralis lebih mudah dievaluasi daripada MRI.

MRI di samping memungkinkan shrdi dinamika gerakan sendi.


MRI bebas dari bahaya ionisasi akibat radiasi, suatu
keuntungan besar dalam memeriksa bagian sentral tubuh
di mana pemeriksaan radiologi menimbulkan dosis radiasi
yang tinggi. Meskipun demikian, ada juga beberapa

Mielografi CT dan CT-s c an dengan bahan kontras intravena


merupakan teknik tomograh lain yang digunakan untuk
mengevaluasi penyakit diskus intervertebralis dan kelainan

vertebra lain. MRI lebih disukai sebagai pilihan


kedua-setelah foto polos-untuk menyelidiki penyakit
diskus intervertebralis, tetapi CT-scan merupakan altematif

yang baik dan mungkin bermanfaat pada situasi di mana


keterangan lebih lanjut tentang osteofit sangat diperlukan.
CT-scanjuga bermanfaat untuk mengevaluasi struktur di
daerah dengan anatomi yang kompleks di mana struktur
yang saling berhimpitan menl, rlitkan pandangan pada foto
konvensional. Misalnya koalisi talokalkaneus yang tidak
dapat dilihat pada foto konvensional, sakroilitis (terutama

bahayanya.Medan magnet yang kuat dapat menggerakkan


obyek metal seperti logam asing dalam mata, menyebabkan
gangguan alat pacu jantung, memanaskan bahan logam
sehingga menimbulkan luka bakar dan menarik bahan
logam kedalam magnet, Bahan logam yang berdekatan
dengan medan magnet juga dapat mempengaruhi kualitas
pencitraan MRI. Karena itu, operator MRI harus menyaring
pasien dan pengunjung lain dengan teliti. Kadang-kadang
pasien kurang cocok dengan gadolinium, suatu bahan

sternoklavikular yang sangat sulit dilihat dengan foto

kontras yang digunakan padapemeriksaan MRI. Akhimya,


pasien perlu dilengkapi dengan proteksi telinga karena
pengaktifan medan magnet menimbulkan bising.
Struktur jaringan lunak sendi seperti meniskus dan
ligamen krusiatum lutut dapat diperlihatkan dengan jelas.

konvensional, cukup jelas terlihat dengan CT-scan.


Dosis radiasi CT-scan relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan satu foto konvensional pada daerah yang sama.
Tetapi dosis radiasi ini sebandingjika diperlukan beberapa
foto konvensional pada satu daerah. Akibatnya, dosis
radiasi lebih rendah daripada tomografi konvensional pada
banyak keadaan.

Jaringan sinovium juga dapat dilihat, terutama dengan


menggunakan bahan kontras paramagnetik intravena
seperti gadolinium. Demikianjugakelainan lain seperti efusi

sendi, kista poplitea, ganglioma, kista meniskus dan


bursitis dapat dilihat dengan jelas dan intergritas tendo
dapat dinilai. MRI makin populer untuk mengevaluasi
ligamen antara tulang-tulang karpal dan fibrokartilago

Berhubung sejumlah penyakit reumatik berkaitan


dengan kelainan paru-paru, cukup beralasan bahwa
pemeriksaan CT-scan dengan resolusi tinggi pada
paru-paru dapat memperlihatkan detil penyakit yang tidak
dapat dilihat dengan CT-scan irisan tebal. Terlihatnya
infiltrat 'ground g/ass'menunjukkan proses aktif yang

trianguler.

yang disebabkan infeksi) dan kolaps kaput femoris akibat


o steonekrosis yang memerhkat i o int r ep l a c e m ent. Sendi

mungkin memberikan respons terhadap pengobatan.

M AG N ETt C

RESOATANCE TMA G,NG (M Rl)

MRI membawa keuntungan besar bagi pencitraan


muskuloskeletal karena kesanggupannya memperlihatkan

Kalsifikasijaringan ikat terlihat tidak sebaik foto biasa


karena pancaran sinyal yang rendah' Mula-mula diduga
bahwa tulang yang juga mempunyai pancaran sinyal yang
rendah akan menimbulkan problem. Tetapi karena sumsum
tulang yang mempunya sinyal tinggi, MRI menjadi sangat
sensitif untuk mendeteksi kelainan tulang. Dalam praktek,
mikrofraktur akibat trauma atau stres sering disebut bone
bruises tidak dikenal sebelum MRI. Sekarang, keberadaan
mikrofraktur ini penting untuk diketahui. Sebagai contoh,
kebanyakan nyeri yang menyertai robekan meniskus akut

mungkin disebabkan oleh mikrofraktur yang ditemukan


bersama-sama. Ketika mikrofraktur menyembuh, nyeri

2474

hilang walaupun robekan meniskus masih ada. Penemuan


ini mempunyai pengaruh penting dalam pengobatan. Ini
juga membantu menerangkan mengapa MRI lutut pada
usia tua sering menunjukkan robekan meniskus yang
asimtomatik. Mikrofrakhr juga mempunyai hubungan erat
dengan cedera ligamen.
Setelah foto polos, MRI merupakan cara yang bagus
untuk mempelajari tulang belakang dan isinya seperli pada
kasus tersangka herniasi diskus interverlebralis terutama
pada pasien muda karena tidak menimbulkan ionisasi.
MRI merupakan sarana terbaik untuk mendiagnosis
osteonekrosis. Osteonekrosis dapat menyerupai penyebab
lain nyeri sendi, terutama sendi panggul. Pada masa awal
penyakit, foto polos tidak menunjukkan kelainan. MRI juga

merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi luasnya

neoplasma jaringan lunak dan tulang, dan telah


menggantikanCT-scan dalam hal ini, meskipun foto polos
tetap merupakal cara terbaik untuk mendiagnosis tumor

tulang. CT-scan mungkin juga bermanfaat dalam


mengidentifikasi karakteristik kalsifikasi matriks yang akan
membantu diagnosis jenis tumor.
MRI sensitif terhadap adanya infeksi tulang karena
perubahan sinyal sumsum tulang. Ini merupakan pilihan

yang baik untuk mengevaluasi daerah tertentu yang


diduga terkena osteomielitis, meskipun r adionuclide bone
scan lebih disukai untuk penilaian proses hematogenik
yang multifokal. MRI juga dapat mengidentifikasi abses
jaringan lunak.

Kelainan otot seperti robekan dan memar dapat


diidentifikasi dengan MRI. Aktivitas masing-masing otot

selama gerakan sendi dapat dipelajari dengan


memperhatikan perubahan sinyal yang terjadi selama

REUMATOI.OGI

Indium (1llln-labeled WBCs) berguna untuk


mengevaluasi berbagai macam kelainan muskuloskeletal.
Biaya pemeriksaannya hampir sama dengan CT-scan dan
dosis radiasinya sebanding dengan pemeriksaan CT-scan
abdomen. Sintigrafi cukup sensitif untuk menemukan
banyak proses penyakit, dan seluruh tubuh dapat diperiksa
sekaligus. Tetapi teknik ini tidak spesifik karena sejumlah

proses penyakit dapat menyebabkan akumulasi


radionuklid. Jika terdapat daerah dengan uptake yatg
meningkat, sering diperlukan pemeriksaan tambahan
seperti pemeriksaan radiologik untuk meningkatkan
spesifisitas guna mengidentifikasi jenis kelainan. Pada
situasi klinis di mana kelainan tulang tidakjelas, sken tulang
mungkin berguna untuk menyingkirkan penyakit.
Sendi yang terkena oleh proses inflamasi atau
degeneratif menunjukkan uptake yang meningkat dan
dapat memetakan luas penyakit dalam I kali pemeriksaan.
Secara umum ini tidak selalu berguna, tetapi mungkin
bermanfaat pada keadaan tertentu. Misalnya pada pasien
dengan artritis inflamasi dan kelainan yang luas pada
pemeriksaan radiologik, sintigrafi dapat membantu
menentukan daerah di mana terdapat inflamasi aktif. Sken

tulang merupakan pilihan yang masuk akal untuk


penemuan dini osteonekrosis jika tidak ada MRI. Sken
tulang juga dapat mendeteksi cedera akibat stres seperti
arulsi tendo, fraktur akibat stres, shin splints yatgkadangkadang menyerupai keluhan artritis.

ULTRASONOGRAFI

aktivitas otot. MRI merupakan pemeriksaan terpilih untuk


mengevaluasi osteokondritis disekans jika kita ingin

USG memberikan informasi unik dengan menimbulkan


gambaran berdasarkan lokasi interface akustik dalam
jaringan. Relatif murah, mudah didapat dan bebas dari

mengetahui apakah sebuah fragmen tulang terlepas atau tidak.

bahaya radiasi. Resolusi spatial sama dengan CT-scan dan

Perubahan rawan sendi dapat dilihat dengan MRI.


Tetapi harus diingat bahwa penemuan kelainan minimal
hanya bermanfaat secara klinis jika hal ini mengubah
pengobatan yang diberikan. Pengobatan medikamentosa

MRI, bergantung kepada transducer. Tetapi resolusi

biasanya diteruskan sampai diperlukan penggantian sendi,


yang dapat didiagnosis dengan foto polos biasa.
Pada keadaan tertentu, MRI merupakanpilihan pertama
yarg cost ffictive dalammenilai sendi lutut di mana diduga
terdapat kerusakan intemal, karena arffoskopi terbukti tidak
perlu pada sebagian besar kasus,

SINTIGRAFI
Teknik ini merupakan cara yang mudah untuk melihatpola
keterlibatan sendi dan keadaan aktivitas penyakit. Sintigrafi
setelah pemberian intravena beberapa bahan seperti 99m
teknisiummetilen difosfat (99mTc MDP) unflrk skentulang,
99mTc sulfur koloid untuk sken sumsum tulang, galium
sitrat (67Ga sitrat) dan leukosit yang diberi label dengan

dibatasi oleh dalamnya jaringan yang diperiksa. Resolusi


jauh lebih baik padajaringan superfisial.
Salah satu kekurangan USG ialah ketergantungannya
kepada operator. Seorang peneliti tidak selalu dapat
mengulang hasil pemeriksaan peneliti lain. Karena USG
tidak memiliki gambaran potong lintang yang lengkap

untuk menentukan orientasi, sulit bagi

orang

yang tidak hadir pada waktu pemeriksaan dilakukan


menginterpretasikan hasil pemeriksaan orang lain.
Pada beberapa pusat pemeriksaan telah terbukti bahwa
USG dapat mendeteksi robekan rotator cuffdengan tepat.
Hasilnyajuga baik dalam mengevaluasi penumpukan cairan
seperti efusi sendi, kista poplitea dan ganglioma, sehingga
dapat dipakaiuntukmenuntun aspirasi cairan sendi maupun
ditempat lain. Tendo yang terletak superfisial seperti tendo

Achiles dan patela dapat diperiksa untuk kemungkinan


adannya robekan.
USG sangat baik untuk membedakan tromboflebitis

dengan pseudotromboflebitis. Dengan teknik real-time

2475

PEMERIKSAAN PENCITRAAN DALAM BIDANG REUMITTOI.OGI

dan penekanan, trombosis vena dan kista poplitea dapat

diidentifikasi.
USG tampak menjanjikan untuk evaluasi osteoporosis. Hantaran gelombang melalui tulang memberikan
informasi tentang struktur mikrotrabekula y ar'g berkaitan
dengan kekuatan tulang, tetapi tidak dapat dinilai langsung
dengan teknik radiografi. Informasi ini saling melengkapi
dengan informasi tentang komposisi mineral tulang dalam
mengevaluasi risiko fraktur pada pasien. USG juga telah
dipakai untuk menilai sifat permukaan rawan sendi.

ARTROGRAFI
Pada artrograh diperlukan suntikan bahan kontras kedalam
sendi, diikuti oleh pemeriksaan radiologi. Pada artrografi

konvensional, ruang sendi diisi dengan bahan kontras


yang mengandung yodium dan kadang-kadang udara.
Biaya pemeriksaan lebih mudah daripada CT-scan atart
MRI dan dapat dilakukan jika tersedia fluoroskopi. Tetapi
kemungkinan masuknya bakteri kedalam sendi atau adanya
reaksi terhadap bahan kontras atau anestesi lokal harus
diperlimbangkan, meskipun komplikasi ini sangat jarang.
Salah satu alasan utama melakukan artrografi ialah
untuk memeriksa struktur dalam sendi seperti meniskus
sendi lutut yang tak dapat dilihat dengan pemeriksaan
radiologi konvensional. Sekarang struktur ini sudah dapat

dilihat secara non-invasif dengan MRI. Meskipun


demikian, masih ada hal tertentu yang memerlukan
arlrografi.

Artrografi konvensional menggunakan bahan kontras


yang mengandung yodium, baik sendiri maupun
dikombinasikan dengan udara dapat dengan tepat
mendeteksi robekan total rotator culf. CT-scan dapat
ditambahkan pada arlrogram udara kontras (artrografi CT),
memberikan hasil yang sangat baik untuk mempelajari
labrum glenoidalis yang sebanding dengan atau mungkin
lebih baik daripada MRI.

Artrogram lutut dapat memastikan diagnosis kista


poplitea dan memungkinkan dilakukannya suntikan
steroid pada waktu yang sama. Teknik ini merupakan
pengganti yang tepat untuk mengevaluasi meniskus pada
pasien klaustrofobia atau pasien yang ukuran badannya
menyebabkan pemeriksaan MRI tidak mungkin dilakukan.
Artrografi pergelangan tarrgarr sangat baik untuk
mengevaluasi integritas hbrokartilago trianguler, ligamen

Artrografi dengan kontras digunakan untuk memastikan


lokasijarum intraartikuler setelah aspirasi cairan sendi dari
sendi yang diduga terinfeksi. Artrografi merupakan

satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk


memastikan asal spesimen.

DENSITOMETRITULANG

Densitometri tulang digunakan terutama untuk


mengevaluasi osteoporosis. Dua teknik yang akurat dan
telah dipergunakan secara luas ialah dual-energy x-ray
absorptiomelry (DEXA) dan quantitative compuled
tomography (QCT)
DEXA menggunakan berkas sempit sinar-X yang

mengubah enersi. Sebuah reseptor yang sensitif


mendeteksi fraksi sinar-X yang melintasi tubuh, yang
menghasilkan profil jumlah radiasi yang didefleksikan oleh
tubuh. Karena karakteristik absorpsi tulang dan jaringan
lunak tidak sama pada tingkat enersi sinar x yang berbedabeda, jumlah radiasi yang diabsorpsi oleh tulang dapat
dihitung. Dari hasil ini, jumlah tulang pada jalur sinar x
pada setiap titik sepanjang penyidik dapat diteqtukan.

DEXA relatif murah dan radiasinya rendah. Jadi


merupakan pilihan yang baik untuk pemeriksaan yang
harus diulang-ulang. Setiap bagian tubuh dapat diperiksa.
Telah dibuat nilai standar untuk vertebra lumbal dan bagian
proksimal femur, yang mempakan bagian yang paling
banyak dipelajari.
QCT menyidik beberapa verlebra lumbal bersama-sama

dengan sebuah fantom yang berisi materi yang


b

one

-eq

u iv

al en

t detgan kons entrasi

yang b erbeda-beda.

Dari nilai konsentrasi materi dan pengaruhnya terhadap


pengurangan CT dibuat sebuah kurve standar, dan
kemudian densitas tulang pada setiap lokasi yang disidik
ditentukan dengan merujuk ke kurve standar' Biaya
pemeriksaannya sedang dan dosis radiasi cukup rendah,
meskipun tidak serendah DEXA. Keuntungan teknik ini
ialah dapat mengevaluasi bagian tengah verlebra karena
korteks dan bagian posterior vertebra tidak diukur. Bagian
trabekular lebih cepat terpengaruh dibandingkan dengan
korteks pada waktu terjadi kehilangan massa tulang.

ANGIOGRAFI

sebagian besar klinikus lebih menlukai artrografi daripada

Angiografi berguna dalam mendiagnosis penyakit reumatik


di mana terdapat komponen vaskular. Pada poliarleritis
nodosa, adatyaaneurisma kecil yang multipel pada arteri

MRI.

viseral yang berukuran sedang merupakan gambaran yang

ar.tara os skafoid dan os lunatum serta ligamen


antara os lunafum dan os trikuetrum. Dalam keadaan ini

Artrografi MRI dilakukan dengan mengembangkan


sendi bahu memakai bahan kontras larutan encer

penting. Pada lupus eritematosus sistemik, angiografi


mungkin bermanfaat dalam mendiagnosis keterlibatan

Gadolinium. Teknik ini telah dipelajari dengan mendalam


dan mungkin meningkatkan ketepatan diagnosis robekan
labrum glenoidalis dan rotator cuff.

susunan saraf pusat.

Biaya angiografi lebih tinggi daripada MRI dan


merupakan prosedur invasif. Sebaiknya hanya dilakukan

2476

pada situasi tertentu

REUMA*II)LOGI

di mana cara lain tidak

dapat

memberikan data diagnostik yang diperlukan.

Teknik pencitraan lain yang kadang-kadang dipakai


misalnya:
. Sialografi: untukmemperlihatkanpengaruhsindromsika
terhadap kelenjar ludah dan membedakannya dengan
sumbatan mekanis akibat batu kelenjar ludah.

.
.
.

Tenografi: untuk memperlihatkan ruptur tendo atau


massa akibat hipertrofi sinovium.

Mielografi, radikulografi, ascending lumbar venography dandiskografi : untuk menilai nyeri pinggangatal
penyakit reumatik pada verlebra serfikal.
Termografi; dasamya ialah pancaran panas infra-merah
dari kulit di atas tulang dan sendi. Aktivitas sinovitis
dan respons terhadap pengobatan dapat dilihat dan
diukur.

Teknik ini juga dapat digunakan untuk menyelidiki aliran


darah perifer yang berkurang misalnya pada fenomen

Raynaud dan peningkatan aliran darah pada tulang,


misalnya pada penyakit Paget.

polos bahu memperlihatkan subluksasi kaput humeri


keatas dan menyentuh bagian inferior akromion, klinikus
dapat memastikan tanpa pemeriksaan MRI bahwa rotalor
cufftelah robek dan atrofi. Foto lutut anteroposterior dan
posteroanterior (fleksi) dalam keadaan berdiri baru dapat
memperlihatkan kelainan jika rawan sendi sudah habis,

tetapi tidak dapat memperlihatkan erosi minimal yang


tampakpadaMRl.
Akhirnya, sangat penting bagi klinikus untuk bekerja
sama dengan ahli radiologi untuk memutuskan dengan
tepat apa yang diharapkan dari pemeriksaan pencitraan,

lalu menetapkan pemeriksaan apa yang dipilih untuk


memperoleh informasi tersebut. MRI dapat memberikan
banyak informasi dari beragam struktur, sehingga
pemeriksaan MRI secara mendalam mungkin tepat pada
penyakit sendi yang membingungkan. Pada situasi lain,
pemeriksaan MRI standar atau pemeriksaan pencitraan lain
yang lebih sederhana mungkin dapat memberikan informasi
diagnostik yang spesifik dalam waktu yang lebih singkat
dengan biaya yang lebih murah.

REFERENSI

PEMILIHAN PEMERIKSAAN PENCITRAAN


Hampir semua pemeriksaan pencitraan sebaiknya dimulai
dengan foto polos. Sering pemeriksaan foto polos ini saja
sudah cukup. Jika diperlukan informasi diagnostik lain
yang mungkin akan mengubah tindakan klinis, MRI sering
merupakan pilihan kedua. Dalam banyak kasus, hasil
pemeriksaan MRI harus dikorelasikan dengan foto polos
karena MRI tidak dapat memperlihatkan kalsifikasi atau
erosi ringan pada korteks.
Penelitian MRI akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
sering terdapat kelainan anatomi yang tidak berkaitan
dengan keluhan. Karena itu gejala klinis dan kelainan
pencitraan harus dinilai bersama-sama. pemeriksaan
pencitraan sebaiknya tidak dilakukan, kecuali jika mereka
mempunyai potensi untuk menjawab pertanyaan klinis.
Pada kebanyakan kasus, pemeriksaan pencitraan yang
biayanya murah sudah dapat memberikan informasi yang
diperlukan untuk mengambil keputusan klinis. Jika foto

Bellamy N, Buchanan WW.Clinical evaluation in the rheumatic


diseases In:Koopman WJ Editor. Arthritis and atlied conditions
a textbook of rheumatology. 13th ed., Baltimore:Williams and
Wilkins; 1997,Yol. I, Ch.3, p 47-10
Katthagen B-D. Ultrasonography ol the shoulder. New York:Thieme
Med Publ; 1990.
Marcelis S, Daenen B, Ferrara MA. Peripheral musculoskeletal
ultrasound atlas Dondelinger RF editors, New York:Thieme
Med Publ; 1996.
Peterfy CG, Genant

HK : Magnetic

resonance imaging

in arthritis.

In: Koopman WJ,editor. Arthritis and allied conditions

a textbook of rheumatology. l3th ed Baltimore:Williams and


Wilkins; 1997.p.115-49.
Resnic D, Yu JS, Sartoris D.Diagnostic tests and procedures in
rheumatic diseases - imaging In:Kelley WN editors.Textbook
of rheumatology 5,h ed., WB Saunders; 1997.p.626-86.
Scott Jr WW. Imaging techniques. In:Klippel JH, editor. Primer on
the rheumatic diseasesl lth ed. Atlanta:Arthritis
Foundation; 1 997.p. 1 06- 1 5.
Van Holsbeeck M, Introcaso JH. Musculoskeletal Ultrasound. St.
Louis:Mosby-Year Book; I 99 1.

388
PEMERIKSAAN DENSITOMETRI TULANG
Bambang Setiyohadi

Osteoporosis adalah kelainan skeletal sistemik yang


ditandai dengan compromised bone strengtft sehingga
tulang mudah fraktur. Osteoporosis merupakan keadaan
yang sering didapatkan karena setelah menopause,
seorang wanita akan kehilangan hormon estrogen didalam

tubuhnya dan proses resorpsi tulang menjadi tidak


terkendali dan tidak dapat diimbangi oleh proses formasi
tulang. Di Amerika, 44 juta penduduknya mengalami
osteoporosis atau densitas massa tulang yang rendah.
Osteoporosis merupakan keadaanyang serius karena akan
mengakibatkan fraktur dan meningkatkan angka morbiditas

dan mortalitas. Dianosis osteoporosis sangat mudah


dilakukan, yaitu dengan cara mengukur densitas massa
ttlang (Bone Mineral Density, BMD) dan osteoporosis
akan dapat dideteksi lebih dini sebelum fraktur terjadi.
Pengobatan osteoporosis juga tersedia lengkap saat ini
yang dapat menurunkan risiko fraktur sampai 50%.
Densitometri tulang merupakan tehnik yang noninvasif yang dapat mengukur kepadatan tulang. Ada
bermacam-macam tehnik densitometri mulai dari yang
sederhana sampai yang canggih. Saat ini yang banyak

digunakan adalah tehnik Dual X-ray absorpliometry

(DxA)

TEKNIK DENSITOMETRI
Sebelum membicarakan

DXA

secara lebih detail, ada

baiknya dibicarakan dulu berbagai tehnik densitometri


secara garis besar yang meliputi teknik radiografrk, single

energy densotimetry, dual energy densitometry,


quantitative computed tomography dan quantitative
ultrasound.

TeKnik radiografik. Berkembang sebelum densitometer


kuantitatif berkembang seperti saat ini. Tehnik ini
membandingkan gambaran tulang pada frlm radiografik

yang lebih terang dibandingkan dengan sekitamya yang


lebih gelap. Pada tulang yang mengalami demineralasisi,
gambarannya akan lebih gelap mendekati gambaran
jaringan lunak. Walaupun demikian, dibutuhkan kehilangan
massa tulang mk inimal3}oh agar didapatkan gambaran yang
jelas pada pemeriksaan radiologik konvensional. Karena
metode ini tidak sensitif, malia dikembangkan metode

pengukuran secara radiologik yaitu dengal cara


absorpsiometri radiografik (fotodensitometri) dan
radiogrametri. Pada tehnik absorpsiometri radiografik,
keabu-abuan gambaran radiografik dikalibrasi dengan
menggunakan potongan alumunium atau hidroksiapatit
yang berbenhrkbaji yang diletakkan dipermukaan film dan
difoto bersama dengan obyeknya. Sedangkan tehnik
radiogrametri mengukur ketebalan korteks tulang pada film,
biasanya diambil tulang-tulang tar'gar', humerus atau
radius. Yang tersering diambil adalah pada mid-metakarpal II.

Singte Energy Densitometry. Tehnik ini menggunakan


gelombang radiasi yang melalui lengan bawah distal dan
dibandingkan antara radiasi yang dipancarkan oleh alat
(radiasi insiden) dengan radiasi yang keluar setelah melalui

obyek (disebut radiasi tarnsmisi) sehingga didapatkan


penipisan radiasi (atenuasi) karena diserap oleh obyek
tersebut. Makin tinggi mineralisasi tulang, makin besar
atenuasinya. Densitas massa tulang (Bone Mineral
Density, BMD) diukur dengan cara membagi Bone conlent
(sesuai dengan atenuasi) dengan area tulang yang diukur.
Walaupun demikian, cara ini memiliki beberapa kelemahan,
misalnya:
1. Teknik ini membutuhkan isotop radioaktif sebagai
sumber radiasi yang harganya mahal dan dapat
menghasilkan eror pada pengukuran bila sumber
tersebut diganti. Karena itu tehnik ini disebut juga Single
photon absorptiometry (SPA).
2. Teknik ini tidak praktis, karena obyek yang akan diukur
harus direndam dalam air debngan tujuan untuk

2477

2478

menghilangkan absorpsi radiasi pada jaringan lunak


yang akan mengganggu pengukuran densitas tulang.
Oleh sebab itu, tehnik ini hanya dapat mengukur
densitas tulang perifer, seperti lengan bawah distal atau

tumit dan tidak dapat digunakan untuk mengukur


densitas tulang aksial.

Dengan berkembangnya tehnik radiologik, maka


penggunaan isotop sebagai sumber radiasi akhirnya
diganti dengan sinar-X dan tehnik ini disebut Single Xr ay a b s orp t i on e try (SXlt).

Dual Energy Absorptiometry. Menggunakan 2 energi


radiasi sehingga pengaruh jaringan lunak dapat dieliminir.

Semula sumber energi yang digunakan adalah isotop


sehingga tehnik ini disebut Dua photon absorptiometry
(DPA), kemudian sumber energinya diubahmenjadi sinarX dan teknik ini disebut Da al X-ray absorptiometry @XA).
Tehnik DXA inilah yang saat ini banyak digunakan, karena
dapat mengukur densitas tulang di daerah lumbal, femur
proksimal, lengan bawah, dan bahkan total body. Dengan
perkembangan tehnologi, digunakan telnlkfan beam geometry yang dapat meningkatkan wakttJ scanning.

Quantilativ e C o mp ut e d To m o grap hy (QC T), merupakan


satu-satunya tehnik non-invasif yang dapat mengukur
densitas tulang secara 3 dimensi. Hasil dari tehnik eCT
adalah densitas volumetrik (dalam gram/cm3). QCT sangat
baik digunakan unffi mengukur densitas tulang belakang
dan sementara ini belum dapat digunakan untukmengukur
area yang lain. Walaupun demikian, QCT membutuhkan
radiasi yangbesar dibandingkan dengan DXA, karenaDXA
hanya membutuhkan radiasi 1-5 mSv, sedangkan eCT
membutuhkanradiasi sampai 60 mSv.

Quantitative Ultrusound (QUS). Dengan menggunakan


tehnik ultrasonografik, dapat diukur densitas tulang, tetapi
terbatas pada tulang-tulang perifer, misalnya tumit, jari atau
lengan bawah. Walaupun demikian, sampai saat ini tidak
jelas, struktur tulang yang mana yang diukur dengan tehnik
ini, mungkin ukuran trabekula atau ukuran kristal atau
struktur lainnya. Walaupun tehnik ini sangat menjanjikan
karena ukurannya yang kecil, wakts scanning yangrelalif
cepat dan tidak ada radiasi, tetapi presisinya buruk dan
akurasinyajuga diragukan bila dibandingkan dengan tehnik
sinar-X, sehingga sementara ini hanya digunakan untuk
penapisan massal dan belum digunakan untuk patokan terapi.

DXA
DXA merupakan tehnik BMD yang banyak dipakai secara
luas. DiAmerika sendiri saat ini terdapat sekitar 10.000 alat
DXA. Di Indonesia terdapat sekitar 15 alat DXA yang
tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya,
Balikpapan dan Makassar. DXA merupakan baku emas
untuk pengukuran BMD yang dapat mengukur tulang-

REUMATOI.OGI

tulang sentral (aksial) yang meliputi tulang belakang dan


femur proksimal; maupun tulang-tulang perifer seperti
lengan bawah, bahkan dapat mengukur BMD seluruh
t;abuh (total body). Data-data epidemiologik osteoporo-

sis dengan menggunakan DXA juga sudah banyak


dipublikasikan dan secara in vitro diketahui berkorelasi
baik dengan kekuatan tulang. Tujuan pengukuran BMD
adalah untuk mendiagnosis osteoporosis, memprediksi
risiko fraktur dan memonitor terapi.
Pada pengukuran

BMD dengan DXA, akan didapatkan

nilai BMD areal (dalam sahran grlcm2),T:score danZ-score.


T-score adalah perbadingan nilai BMD pasien dengan
BMD rata-rata orang muda normal dan dinyatakan dalam

skore deviasi standard (SD); sedang Z-score


membandingkan nilai BMD pasien dengan BMD rata-rata
orang seusia pasien, juga dinyatakan dalam skore deviasi
standard.
Pada pengukuran BMD spinal (tulang belakang), maka
semua L 1 -L4 harus diukur rata-rata BMDnya, kecuali bila

terdapat perubahan struktur atau artefak pada ruas


vertebra yang bersangkutan. Dalam hal ini, gunakan 3 ruas
vertebra bila 4 ruas tidak mungkit, atau2 ruas bila 3 ruas

tidak mungkin, tetapi tidak dapat diukur bila hanya


digunakan 1 ruas vertebra. Selain itu pengukuran spinal
lateraljuga tidak dapat digunakan untuk diagnosis, kecuali
untuk pemantauan, karena memiliki presisi yang lebih buruk
dibandingkan dengan BMD spinal PA, tetapi memiliki
respons yang baik terhadap pengobatan. Pada penyakit
degeneratif (osteoartritis) lumbal atau adaty a fraktur pada
ruas-ruas tulang lumbal, akan menyebabkan BMDnya
lebih tinggi, sehingga dalam hal ini ruas-ruas lumbal yang
mengalami penyakit degeneratif atau mengalami fraktur
tidak dapat ikut dinilai untuk mendiagnosis osteoporosis.
Beberapa artefak lain yang juga dapat mengganggu
penilaian BMD spinal adalah kalsifrkasi aorta, laminektomi,
fusi spinal, kontras gastrointestinal, tablet kalsium, batu
ginjal atau kandung empedu, kalsifikasi pankreas, alat-alat
metal yang diimplan kedalam tubuh, kancing baju, dompet,
perhiasan dan lain sebagainya.
Pada BMD panggul, dapat dipilih apakah akan diukur
sisi kiri atau kanan, karena tidak ada perbedaan BMD yang

bermakna. Dari ROI ini yang dapat digunakan untuk


diagnosis adalah BMD yang terendah darifemoral neck,
total proximal femur atau trokanter. Ward b area tidak boleh
digunakan untuk diagnosis osteoporosis karena akan
didapatkan hasil positif palsu, karena area Ward pada hasil
DXA hanya menunjukan area kecil di leher femur yang
terendah BMDnya dan tidak sesuai dengan area Ward
secara anatomis. Selain itu

BMD pada Ward area memiliki

presisi dan akurasi yang buruk dan tidak termasuk dalam

kriteria WHO. Selain itu pengukuran rata-rata BMD


panggul kiri dan kananjuga tidak perlu dilakukan, karena
tidak ada data yang menggambarkan nilai rata-rata tersebut
lebih baik untuk diagnosis osteoporosis.

2479

PEMERIKS/MN DENSTTOMETRI TUIJ\I\G

Wanita berusia di aias 65 tahun


Wanita pasca menopause berusia < 65 tahun dengan
faktor risiko
Laki-laki berumur 70 tahun atau lebih
Orang dewasa dengan fraktur fragilitas
Orang dewasa dengan risiko fraktur panggul, misalnya
tinggi badan > 5 ft 7 in, berat badan < 127 lb, riwayal
merokok, riwayat maternal dengan fraktur panggul.
Orang dewasa dengan penyakit atau kondisi yang
berhubungan dengan densitas massa tulang yang rendah
atau kehilangan massa tulang, misalnya
hiperparatiroidisme, sindrom malabsorpsi,
hemigastrektomi, hipertiroidisme dsb
Orang dewasa yang minum obat-obatan yang potensial
menyebabkan densitas massa tulang rendah atau
kehilangan massa tulang, misalnya glukokortikoid, anti
konvulsan, heparinisasi kronik dsb
Setiap orang yang dlpertimbangkan memerlukan terapi
farmakologik untuk osteoporosis
Seseorang dalam terapi osteoporosis, untuk memantau
efek pengobatan
Seseorang yang terbukti mengalami kehilangan massa
tulang yang karena satu dan lain hal sehingga tidak
mendapatkan terapi, walaupun sesungguhnya
membutuhkan terapi

BMD pasien
T-score
'1

BMD rata-rata orang dewasa muda

SD BMD rata-rata orangdewasa muda

BMD pasien
Z-score

BMD rata-rata orang seusia pasien

1 SD BMD rata-rata orang seusia pasien

Z-score yang rendah (< -2,0) mencurigakan kearah


kemungkinan osteoporosis sekunder, walaupun tidak ada
data pendukung. Selain itu setiap penderita harus dianggap
menderita osteoporosis sekunder sampai terbukti tidak ada
penyebab osteoporosis sekunder

Bagian-bagian tulang yang diukur (Reglon of /nterest, ROI):


Tulang belakang (11-14)
Panggul
Femoral neck
Total femoral neck
Trokanter
Lengan bawah (33% radius), bila
Tulang belakang dan/atau panggul tak dapat diukur
Hiperparatiroidisme
Sangat obese
Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah
yang digunakan untuk diagnosis osteoporosis

1.
2

3.
-

Klasifikasi

T-score

Normal
Osteopenib
Osteoporosis

-1 atau lebih besar


Antara -'1 dan -2,5
-2,5 atau kurang

Osteoporosis

-2,5 atau kurang dan fraktur fragilitas

berat

Risiko

T-score

Tindakan

fraktur
>

+1

Sangat
rendah

0 s/d +1

Rendah

-1 s/d 0

Rendah

-1 sld -2,5

Sedang

<-)

Tinggi

tanpa fraktur

<-)

dengan fraktur

Sangat
tinggi

Tidak ada terapi


Ulang densitometri tulang bila
ada indikasi.
Tidak ada terapi
Ulang densitometri tulang
setelah 5 tahun
Tidak ada terapi
Ulang densitometri tulang setelah
2 tahun
Tindakan pencegahan
osteoporosis
Ulang densitometri tulang setelah
1 tahun
Tindakan pengobatan osteoporosis
Tindakan pencegahan dilanjutkan
Ulang densitometri tulang dalam
1-2 tahun
Tindakan pengobatan osteoporosis
Tindakan pencegahan dilanjutkan
Tindakan bedah atas indikasi
Ulang densitometri tulang dalam
6 bulan -1 tahun

Secara rutin, untuk diagnosis osteoporosis. cukup


dilakukan BMD pada ROI spinal dan femw proksimal.
Walaupun demikian, bila kedua ROI tersebut tidak dapat

dinilai atau pada keadaan sangat obese atau pada pasien


hiperparatiroidisme, dapat dilakukan pengukuran BMD
pada lenganbawah. Berbeda engan lumbal maupun femur
proksimal, BMD lengan bawah merupakan prediktor yang
baik untuk menilai densitas tulang kortikal. Pada ROI ini,
pilihlah ROI 33% radius (kadang-kadang disebut 1/3

radius) pada lengan bawah non-dominan. Kriteria WHO


tidak boleh digunakan untuk menilai BMD perifer, kecuali
pada ROI 33% radius. BMD perifer juga tidak dapat
digunakan untuk memantau hasil terapi, kecuali untuk
menilai risiko fraktur.
ROI lain yang dapat dinilai pada pemeriksaan BMD
adalah total body. BMD total body sangat baik untuk
menilai tulang kortikal, karena 8002 rangka manusia terdiri
dari tulang kortikal. Kadang-kadang BMD total body juga
digunakan untuk menilai komposisi trtbuh, misalnya lean
body mass, persentase lemak tubuh. Dalam hal hal yang
terakhir ini diperlukan piranti lunak yang khusus dan
standardisasi tersendiri yang biasanya sudah disediakan

oleh pabrik yang memproduksi mesin BMD yang


bersangkutan. BMD total body juga menjadi pilihan ROI
untuk menilai densitas tulang anak-anak di bawah umur
20 tahun, selainBMD lumbal.
Nilai T-score -2,5 ataukwang, tidak selalu menunjukkan
osteoporosis, karena pada osteomalasia juga akan

memberikan hasil T-score yang rendah. Selain itu,


diagnosis osteoporosis juga dapat ditegakkan walaupun
T-score lebih besar dari -2,5, misalnya bila didapatkan
fraktur vertebra atraumatik. Pada pengguna glukokortikoid

2480

REI,JMIIiIOI.OGI

jangka panjang (>6 minggu) atau dosis tinggi (dosis


prednison >7,5 mgffiarl), maka terapi dapat dimulai bila

DIAGNOSIS OSTEOPOROSIS PADA WANITA


PREMENOPAUSAL, LAKI.LAKI DAN ANAK.ANAK

nilai T-score - 1 ,5 atau lebih rendah. Selain itu nilai T:score


yang rendah juga tidak berhubungan dengan penyebab

Kriteria klasifikasi diagnosis osteoporosis tidak dapat

osteoporosis, sehingga harus dilakukan evaluasi terhadap

kemungkinan adanya faktor risiko osteoporosis yang


mungkin membutuhkan penatalaksanaan

te

rsendiri.

Set

iap

pasien osteoporosis harus dianggap menderita


osteoporosis sekunder sampai dapat disingkirkan semua

kemungkinan penyebab osteoporosis yang diderita


pasien, apalagi bila didapatkan Z-score -2 atau lebih
rendah.

Mengapa untuk diagnosis osteoporosis digunakan


T:score dan bukan Z-score

Nilai T-score berhubungan dengan kekuatan tulang


dan risiko fraktur. Bila digunakan nilai Z-score untuk
diagnosis osteoporosis maka akan didapatkan banyak
hasil negatifpalsu walaupun terdapat fraktur fragilitas dan

osteoporosis tidak akan makin meningkat dengan

digunakan untuk kelompok wanita premonopausal sehat


(umur 20 tahun sampai usia menopause), laki-laki dan
anak-anak.
Pada wanita pre-menopausal, tidak ada data hubungan
BMD dengan risiko fraktur sebagaimana didapat pada
wanita pasca menopause. Oleh sebab itu, adatya fraktur

pada wanita premenopausal yang disertai BMD yang


rendah sudah cukup untuk mendiagnosis osteoporosis.
Dalam hal ini, nilai Z-score lebih memiliki nilai diagnostik
daripada T-score. Selain itu, osteoporosis pada anita
premenopausal juga dapat didiagnosis bila didapatkan

BMD yang rendah dengan penyebab osteoporosis


sekunder, misalnya pengguna steroid jangka
panjang, pengguna anti konvulsan, hipogonadisme,

Beberapa faktor risiko fraktur yang lain yang juga harus


diperhatikan adalah tinggi badan >5 ft 7 in, berat badan

hiperparatiroidisme dan sebagainya.


Pada laki-laki yang berumur 65 tahun atau lebih atau
laki-laki yang berumur 50-64 tahun dengan faktor risiko
osteoporosis, maka nilai T-score dapat digunakan untuk
mendiagnosis osteoporosis dan osteoporosis didiagnosis
bila didapatkan nilai T-score -2,5 alau lebih rendah. Pada
laki-laki yang berumur 20-50 tahun atau laki-laki yang
berumur 50-64 tahun tetapi tidak memiliki faktor risiko
osteoporosis, maka tidak dapat digunakan T-score unfuk
mendiagnosis osteoporosis. Dalam hal ini, sama halnya

<127 lb, merokok dan riwayat maternal dengan fraktur


panggul. Setiap penurunan BMD 1 SD identik dengan
peningkatan risiko fraktur relatif sebesar 1,9-3,0. Tetapi
hal ini juga ditentukan oleh umur pasien, karena temyata
umur di atas 60 tahun merupakan faktor risiko fraktur
tersendiri yang tidak tergantung pada BMD. Pasien

premenopausal, dimana nila Z-score lebih berkorelasi


dengan risiko fraktur daripada nilai T-score. Walaupun
demikian, nilai-nilai ini masih memerlukan standardisasi
lebih lanjut. Diagnosis osteoporosis pada laki-laki yang
berumur <50 tahun tidak dapat hanya didadasarkan pada

berumur 80 tahun dengan T:score -1,9 akan memiliki risiko


fraktur yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
berumur 50 tahun dengan T-score yang sama. Data risiko

pada laki-laki pada setiap umur, maka diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan secara klinis.

bertambahnya umur.

PREDIKSI RISIKO FRAKTUR


Sampai saat ini masih diperdebatkan, apakah BMD yang
endah merupakan prediktor fraktur fragilitas yang penting.

fraktur pada orang berusia lanjut ternyata hampir sama


pada semua lokasi tulang walaupun lokasi yang diukur
dan mesin yang digunakan berbeda. Oleh sebab itu, hasil
BMD yang rendah pada satu lokasi tulang sudah
menunjukkan pemrrunan BMD pada tulang-tulang yang
lain. Kekecualian hanyalah pada prediksi risiko fraktur
panggul, karena yang nilai prediksinya paling tinggi hanya
BMD padafemoral neck.
Saat

ini diketahui bahwa faktor

kekuatan tulang

memegang perar,yar,g sangat penting sebagai faktor risiko

fraktur akibat osteoporosis. Ada 2 variabel yang harus


diperhitungkan yang menentukan kekuatan tulang,
yaitu kuantitas tulang dan kualitas tulang. Kuantitas
tulang meliputi ukuran tulang dan densitas tulang,
sedangkan kualitas tulang meliputi bone turnover,
arsitektur tulang, akumulasi kerusakan tulang, derajat
mineralisasi dar, kualitas kolagen pada jaringan tulang
tersebut.

dengan diagnosis osteoporosis pada wanita

nilai BMD. Bila didapatkan risiko osteoporosis sekunder

Pada anak-anak, baik laki-laki maupun wanita yang


berumur <20 tahun, nilai T-score tidak dapat digunakan

untuk diagnosis osteoporosis, sebagai gantinya


digunakan nilai Z-score. Selain itu, diagnosis
osteoporosis pada anak-anak tidak boleh hanya didasarkan
pada nilai BMD. Terminologi BMD rendah pada anak-anak

ditetapkan bila nilai Z-score <-2,0. Selain itu ROI yang


dianjurkan pada anak-anak adalah lumbal dan total body.
Penggunaan nilai BMD untuk prediksi fraktur pada anakanak sampai saat ini masih belum ditentukan.

BMD SERIAL
BMD serial dilakukan untuk menentukan bilamana terapi
osteoporosis dapat dimulai pada pasien-pasien dengan
risiko kehilangan massa tulang yang bermakna atau
terdapat indikasi untuk terapi osteoporosis. Selain itu BMD

2481

PEMERIKS/MN DENSTTOMETRI TUI-ANG

serial juga dapat menilai respons terhadap terapi


osteoporosis. Dalam hal ini, pada pasien-pasien yang tidak

memberikan respons yang baik terhadap pengobatan,


dapat dilakukan re-evaluasi terhadap terapi yang diberikan

atau evaluasi terhadap kemungkinan adanya pernyebab


osteoporosis sekunder yang harus diterapi secara terpisah.
Interval BMD serial tergantung pada keadaan klinik pasien.
Pada pasien yang baru mendapatkan terapi atau baru

diubah terapinya, maka BMD ulangan dapat dilakukan


setiap tahun dan bila hasilnya sudah menetap, maka dapat
dilakukan BMD serial tiap 2 tahun. Pada pasien-pasien
dengan risiko kehilangan massa tulang yang besar, seperli
pada pengguna steroid, maka BMD serial dapat dilakukan
lebih cepat, misalnya setiap 6 bulan.
Untuk melakukan BMD serial, setiap Pusat BMD harus
menentukan Least Significant Change (LSC). Selain itu
setiap pergantian sistem DXA atau perubahan operator
BMD, juga harus dihitung presisinya. Bila perubahan BMD
serial sama atau lebih dari LSC yang telah dihitung, maka
perubahan tersebut dianggap bermakna. Pada BMD
serial, yang dibandingkan adalah nilai BMD areal, bukan
nilai T-score. Selain itu BMD yang dilakukan dengan alat
yang berbeda tidak dapat dibandingkan, karena mungkin
berbeda sumber energinya, berbeda kalibrasinya, berbeda
detektornya dan berbeda ROInya.

Gambar 1. Macam-macam alat densitometri

,te.*,?

.!.,!

PELAPORAN BMD
Pelaporan hasil pemeriksaan BMD awal dan BMD ulangan
berbeda dan harus diperhatikan baik oleh operator, analis

yang mengevaluasi hasil BMD maupun dokter yang


membaca hasil BMD tersebut.
Pelaporan BMD awal harus meliputi data demografik
(umur, jenis kelamin, ras, tinggi badan, beratbadan), dokter
yang meminta pemeriksaan BMD, dokter yang membaca
hasil pemeriksaan BMD, indikasi pemeriksaan, status
menopause pasien, alat BMD yang digunakan, hasil BMD
yang meliputi ROI, BMD areal dalam grlcm2, T-score,
Z-score, Kriteria diagnostik WHO, risiko fraktur, anjuran
evaluasi medik untuk mencari kemungkinan penyebab

Gambar 2. Densitometri lumbal

;t l:'tri,

osteoporosis sekunder, anjuran untuk BMD ulangan


berikutnya.

Pada pelaporan BMD ulangan (serial) harus


dicantumkan ROI yang sebelumnya dan berikutnyayar,g
dibandingkan, nilai LSC di Pusat BMD tersebut, pelaporan
adanya perubahan yang bermakna atau tidak, baik dalam
g/cm2 maupun dalam%o, dan anjuran untuk pemeriksaan

7.,

i,.

kemungkinan etiologi osteoporosis sekunder, evaluasi


laboratorium, identifikasi faktor risiko fraktur dan
kehilangan massa tulang yang cepat, evaluasi radiologik,
tindakan pencegahan umum dan anjuran terapi.

arF,

Gds{ffr

l}tritr

kr
,94
ir1

"i
:t:
l?n

l
;:
<

.:
;l
:'

i
q,
f

I ria

11

':,

BMDberikutnya.

Selain itu, pada pelaporan BMD juga dapat


dicantumkan rekomendasi untuk menyingkirkan

;r ,{ i$ s:. 'i * Y ':.

Gambar 3. Densitometri panggul

'

2482

RELJMA-^IOLOGI

REFERENSI

(eiryer Ea&j tt&

8WtW1

Yirt{s#

Bonnick SL. Bone Densitometry in Clinical Practice: Application


and Interpretation Humana Press, 1998, New Jersey.
Bonnick SL, Faulkner KG, Miller PD, McClung MR. ISCD
Certification Course Clinical Track: Learning objectives, Core

,13

0$
0$

cu
AX

,2

01,
811
0,1

1fi3
afl!0str1881s;ffi
AS lyeasj

f.d,!

Ai&$i*
-{

ffi
{l4l

rq.+f*e

t121

4i

iFr

Str$r*
wr$
*fi1*
*rr! r3i

i:g:
+.ei

\i&

il):
!{.5?:

Gambar 4. Densitometri lengan bawah

l*1

r@ &rrhM.{
{*) r&
;i

-:5

teaching points and Suggested readings International ociety of


Clinical Densitometry, 2000.
Faulkner KG Clinical Use of Bone Densitometri In: Marcus R,
Feldman D, Kelsey J (eds) Osteoporosis, vol 2, 2nd edition.
Academio Press, San Diego 2001:433-58
Kanis JA. Assessment of Fracture Risk: Who Should be Screened ?
In: Far,us MJ et al (eds). Primer on the Merlabolic one Diseases
and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed American Society
of Bone and mineral Research, Washington DC 2003:316-22.
Miller PD, Bonnick SL. Clinical Application of Bone
Densitometry. In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Mertabolic
one Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed
American Society of Bone and mineral Research, Washington
DC 1999:152-9

389
NYERI
Bambang Setiyohadi, Sumariyono, Yoga I. Kasjmir, Harry Isbagio, Handono Kalim

the study of
pengalaman
pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai
sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial
akan menyebabkan kerusakan jaringan. Persepsi yang
disebabkan oleh rangsangan yang potensial dapat
menimbulkan kerusakan jaringan disebut no s is eps ion.

Menurut The International Association

for

Nosisepsion merupakan langklah awal proses nyeri.


Reseptor neurologik yang dapat membedakan antara
rangsang nyeri dengan rangsang lain disebut nosiseptor.
Nyeri dapat mengakibatkan impairment dan disabilitas.
Impairment adalah abnormalitas atau hilangnya struktur
atau fungsi anatomik, fisiologik maupun psikologik.
edangkan d i s ab il i t as adalah hasil dari imp a ir m ent, y ait:.t
keterbatasan atau gangguan kemampuan untuk melakukan
aktivitas yang normal.
S

Persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang


potensial dapat menyebabkan kerusakan jaringan disebut
nosisepsi, yang merupakan tahap awal proses timbulnya
nyeri. Reseptor yang dapat membedakan rangsang noksius

dan non-noksius disebut nosiseptor. Pada manusia,


nosiseptor merupakan terminal yang tidak tediferensiasi
serabut a-delta dan serabut c. Serabut a-delta merupakan
serabut saraf yang dilapisi oleh mielin yang tipis dan
berperan menerima rangsang mekanik dengan intensitas

menyakitkan, dan disebut juga high-threshold


mechanoreceptors, Sedangkan serabut c merupakan
serabut yang tidak dilapisi mielin.

Intensitas rangsang terendah yang menimbulkan


persepsi nyeri, disebut ambang nyeri. Ambang nyeri
biasanya bersifat tetap, misalnya rangsang panas lebih
dari 50"C akan menyebabkan nyeri. Berbeda dengan
ambang nyeri, toleransi nyeri adalah tingkat nyeri tertinggi

sehari-hari, toleransi nyeri lebih penting dibandingkan


dengan ambang nyeri.

TERMINOLOGI NYERI

Alodinia adalah nyeri yang dirasakan oleh pasien akibat


rangsang non-noksius yang pada orang normal,
tidakenimbulkan nyeri. Nyeri ini biasanya didapatkanpada

pasien dengan berbagai nyeri neuropatik, misalnya


neuralgia pasca herpetik, sindrom nyeri regional kronik
dan neuropati perifer lainnya.
adalah nyeri yang berlebihan, yang ditimbulkan
oleh rangsang berulang. Kulit pada area hiperpatia biasanya

Hiperpatia

tidak sensitif terhadap rangsang yang ringan, tetapi


memberikan respons yang berlebihan pada rangsang
multipel. Kadang-kadang, hiperpatia disebut juga

dl sestesi

sumasl.

Disestesi adalah adalah parestesi yang nyeri. Keadaan ini


dapat ditemukan pada neuropati perifer alkoholik, atau
neuropati diabetik di tungkai. Disestesi akibat kompresi
nervus femoralis lateralis akan dirasakan pada sisi lateral

tungkai dan disebut meralgia parestetika.


Parestesi adalah rasa seperti ternrsuk jarum atau titik-titik
yang dapat timbul spontan atau dicetuskan, misalnya ketika
saraftungkai tertekan. Parestesi tidak selalu disertai nyeri;
bila disertai nyeri maka disebut disestesi.

Hipoestesia adalah turunnya sensitifitas terhadap


rangsang nyeri. Area hipoestesia dapat ditimbulkan dengan
infiltrasi anestesi 1okal.

yang dapat diterima oleh seseorang. Toleransi nyeri


berbeda-beda antara satu individu dengan individu lain

Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri pada rangsangan


nyeri yang normal. Secara konsep, analgesia merupakan

dan dapat dipengaruhi oleh pengobatan. Dalam praktek

kebalikan dari alodinia.

2483

2484

Anestesia dolorosa yaitu nyeri yang timbul di daerah yang


hipoestesi atau daerah yang didesensitisasi.

Neuralgia yaitu nyeri yang timbul di sepanjang distribusi


suatu persarafan. Neuralgiayarrg timbul di saraf skiatika
atau radiks Sl, disebut Skiatika. Neuralgia yang tersering
adalah neuralgia trigeminal.

REUMA-IOLOGI

sudah tidak ada. Biasanya pasien merasakan rasa seperti

terbakar, seperti tersengat listrik atau alodinia dan


disestesia.

Nyeri psikogenift yaitu nyeri yang tidak memenuhi kriteria


nyeri somatik dan nyeri neuropatik, dan memenuhi
untuk depresi atau kelainan psikosomatik.

Nyeri tabetik, yaitu salah satu bentuk nyeri neuropatik


yang timbul sebagai komplikasi dari sifilis

Nyeri sentral, yaitu nyeri yang diduga berasal dari otak


atau medula spinalis, misalnya pada pasien stroke atau
pasca trauma spinal. Nyeri terasa seperti terbakar dan
lokasinya sulit dideskripsikan.

Nyeri pindah (refewed pain) adalah nyeri yangdirasakan


ditempat lain, bukan ditempat kerusakan jaringan yang
menyebabkan nyeri. Misalnya nyeri pada infark miokard
yang dirasakan di bahu kiri atau nyeri akibat kolesistitis

Nyeri nosiseptifi

kiteria

NVeri somatik

'{

(
I

Nyeri viseral

--r{
Nyeri non-nosiseOtif

I
.j

Nyeri neuropatik

Nyeri psikogenik

yang dirasakan di bahu kanan.

Nyeri fantom yaitu nyeri yang dirasakan paada bagian


tubuh yang baru diamputasi; pasien merasakan seolaholah bagian yang diamputasi itu masih ada.
Substansi algogenik adalah substansi yang dilepaskan
oleh jaringan yang rusak atau dapat juga diinjeksi

MEKANISME NYERI

subkutaneus dari luar, yang dapat mengaktifkan nosiseptor,

landin terdapat di jaringan; kinin berada di plasma;

Proses nyeri mulai stimulasi nociceptor oleh stimulus


noxiuos sampai terjadinya pengalaman subyektif nyeri
adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang bisa
dikelompokkan menjadi 4 proses, yaitu: transduksi,

substansi-P berada di terminal saraf aferen primer; histamin


berada didalam granul-granul sel mast, basofil dan trombosit

transmisi. modulasi dan persepsi.


Secara singkat mekanisme nyeri dimulai dari stimulasi

Nyeri akut, yaitu nyeri yang timbul segera setelah

nociceptor oleh stimulus noxiuos pada jaringan, yalg


kemudian akan mengakibatkan stimulasi nosiseptor dimana

misalnya histamin, serotonin, bradikinin, substansi-p, K*,


Prostaglandin. Serotonin, histamin, K*, Ht, dan prostag-

rangsangan dan hilang setelah penyembuhan.

disini stimulus noxious tersebut akan dirubah menjadi

Nyeri kronik, yaitu nyeri yang menetap selama lebih dari

postensial aksi. Proses ini disebut transduksi atau aktivasi

3 bulan walaupun proses penyembuhan sudah selesai.

reseptor. Selanjutnya potensial aksi tersebut akan

KLASIFIKASI NYERI
Nyeri nosiseptif, adalah nyeri yang timbul sebagai akibat
perangsangan pada nosiseptor (serabut a-delta dan
serabut-c) oleh rangsang mekanik, termal atau kemikal.

Nyeri somatik adalah nyeri yang timbul pada organ non


viseral, misal nyeri pasca bedah, nyeri metastatik, nyeri
tulang, nyeri artritik.

Nyeri viseral adalah nyeri yang berasal dari organ viseral,


biasanya akibat distensi organ yang berongga, misalnya
usus, kandung empedu, pankreas, jantung. Nyeri viseral
seringkali diikuti referted pain dan sensasi otonom, seperti
mual dan muntah.

Nyeri neuropatik, timbul akibat iritasi atau trauma pada


saraf. Nyeri seringkali persisten, walaupun penyebabnya

ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat yang


berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama transmisi
adalah konduksi impuls dari neuron aferen primer ke komu
dorsalis medula spinalis, pada komu dorsalis ini neuron
aferen primer bersinap dengan neuron susunan sarap
pusat. Dari sinijaringan neuron tersebut akan naik keatas
di medula spinalis menuju batang otak dan talamus.
Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara talamus
dan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi
respons persepsi dan afektif yang berhubungan dengan
nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptifptif tidak selalu
menimbulkan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri
bisa terjadi tanpa stimulasi nosiseptifptif. Terdapat proses
modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri
tersebut, tempat modulasi sinyal yang paling diketahui
adalah pada kornu dorsalis medula spinalis. Proses terakhir
adalah persepsi, dimana pesan nyeri di relai menuju ke

otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak


menyenangkan.

2485

NYERI

neuron susunan saraf pusat di kornu dorsalis medula


spinalis.

Medula Spinalis
Kornu dorsalis medula spinalis merupakan relay point
pertama yang membawa informasi sensoris ke otak dari

perifer. Gray matter mengandung badan sel saraf dari


neuron-neuron spinalis dan white matter mengandung
axon yang naik atau turun dari otak. Rexed memb agi gray
matter menjadi 10 lamina. Lamina I - VI terdapat pada komu
lvlain

sensory nucleus-

ofnV

- 1\

(secondary)
---Ventral
trigeminothalamic

dorsalis dan mengandung interneuron yang merelay


informasi sensoris menuju ke otak

Pada kornu dorsalis serabut aferen nosisepsi

MEDULA

- -'

Anterolateral
fasciculus;
spinothalamic
spinoreticular
spinomesen@Phalic

CERVICAL
CORD

THORACIC
CORD

membentuk hubungan dengan neuron-neuron proyeksi


atau intemeuron inhibisi atau eksitasi lokal untuk mengatur
aliran informasi nosisepsi ke pusat yang lebih tinggi.
Terdapat 3 kategori neuron pada kornu dorsalis yaitu
neuron proyeksi, interneuron eksitasi dan interneuron

inhibisi. Neuron proyeksi bertanggung jawab untuk


membawa signal aferen ke pusat yang lebih tinggi. yang
terdiri dari 3 tipe neuron yaitrt nocicptive-spesific cells
(NS), /ow treshold (LT) neuron datwide dynamic range
(WDR) neuron.

NEU ROTRANSMITER PADA KORNU DORSALIS


Dorsal root ganglion

----

Terdapat banyak neurotransmiter yang berperanan pada

proses nosiseptif

Conduction

3-30

<3

Neuron
diameter

tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan adanya


neurotransmiter tunggal untuk nyeri. Distribusi dari

Characteristics

(rrm)

12-22
4-12
4-12
1-5
1 5-4
<15

Meskipun

neuropeptida dan asam amino tertentu berperan penting,

Gambar 1. Mekanisme proses nyeri

Type velocity
(m/s)
60-120
Ao
50-70
A0
35-70
41
5-30
A6

di kornu dorsalis.

Skeletal motor (M)


Touch, vibration, light pressure (l\4)

lntrafusalproprioception(M)
Primary nociceptive afferent (l\4)
Autonomic preganglionic (l\4)
Primary nociceptive afferent (unM)
Autonomic postganglionic (unM)

Aspek Perifer Nosisepsi


Terdapat2 tipe serabut saraf aferen primer nosiseptif yaitu
serabut A' dan serabut C. Dua fungsi utama serabut saraf
aferen primer adalah transduksi stimulus dan transmisi

stimulus menuju susunan saraf pusat. Badan sel dari


neuron-neuron ini terdapat pada ganglion radix dorsalis.
Axon dari neuron ini memiliki dua cabang yaitu yang
menuju perifer, yang bagian terminalnya sensitif terhadap
stimulus noxious; dan cabang lainya yang menuju susunan
saraf pusat, dimana kemudian akan bersinap dengan

neuropeptida ini bisa berbeda di antara beberapajaringan.


Misalnya neuron radix dorsalis yang menginervasi viseral
umunmnya umumnya kaya akan substansi P dan CGRP

dibanding dengan yang menginervasi kulit. Stimulus


noxious akan mencefuskan pelepasan glutamat dan dan
beberapa asam amino lain yang terdapat bersama-sama
peptida pada terminal aferen primer.
Glutamat dan aspartat adalah neurotransmiter utama
dalam exitatoty transmission pada tingkat spinal. Bahan
ini disimpan pada terminal aferen primer nosiseptor dan
dilepaskan sebagai respons terhadap aktivitas nosiseptif.

Terdapat banyak neurotransmiter inhibitor yang


memodulasi nosisepsi di segmen kornu dorsalis, seperti
somatostatin, GABA, adenosin, alfa2 adretergik, taurin
dan endocanabinoid.

Dari Medula Spinalis Menuju ke Otak


Sinyal nosiseptifyang menuju ke kornu dorsalis di relay
menuju pusat yang lebih tinggi di otak melalui beberapa
jalur yaitu traktus spinotalamikus, yang merupakan jalur

nyeri utama; traktus spinoretikularis dan traktus


spinomesencephalic

2486

Di Tingkat Otak
Terdapat beberapa nukleus pada talamus lateral yaitu

nukleus ventral posterior lateral, nukleus ventral


posterior medial, nukleus ventral posterior inferior dan
bagian posterior dari nucleus ventromedial; serla di daerah

medial talamus yaitu talamus centrolateral, bagian


ventrocaudal dari nukleus dorsomedial dan nukleus para
fasikular yang berperanan pada proses nyeri. Didaerah

kortex cerebri yang memiliki fungsi nosisepsi adalah


korteks somatosensor primer, somatosensor sekunder serta
daerah disekitarnya di parietal operculum, itsula, anterior

cingulate cortex dan korteks prefrontal.

MODULASI NOSISEPTIF
Terdapat beberapa tempat modulasi nyeri, tetapi yang
paling banyak diketahui adalah pada kornu dorsalis medula
spinalis. Eksitabilitas neuron-neuron di medula spinalis
tergantung dari keseimbangan dari input yang berasal dari
nosiseptor aferen primer, neuron intrinsik medula spinalis
dan descending system yang berasal dari supra spinal.

KONTROL SEGMENTAL (SPINAL)

Modulasi pada tingkat spinal aktivitas nosiseptif


melibatkan sistem opioid endogen, inhibisi segmental,
keseimbangan aktivitas antara input nosiseptif dan input
aferen lainya serta descending control mechanism.

Reseptor opioid merupakan tempat kunci dalam


analgesia. Mekanisme analgesi utama dari opioid adalah

REI,JMAiNOI.OGI

serabut A dan serabut C. TENS untuk menghilangkan


nyeri didasark an pada teori ini.

Kontrol S u praspina ll Descend i ng Controt


Kontrol nyeri supraspinal melalui dua jalur yang berasal
dari midbrain (periaqueductal gray matter dan locus
ceruleus) dan medula oblongata(nucleus raphe magnus
dan nukleus reticularis giganto cellularis). Sistem modulasi

nyeri ini menuju medula spinalis melalui funikulus dorsolateral. Neuron-neuron di rostroventral medula oblongata
membuat koneksi inhibisi pada komu dorsalis lamina I, II
dan V. Sehingga stimulasi neuron di rostroventral medula
oblongata akan menghambat neuron-neuron komu dor-

salis neuron-neuron traktus spinotalamikus yang


memberikan respons stimulasi noxious. Serabut desenden
lain yang berasal dari medula oblongata dan pons juga
berakhir pada kornu dorsalis superfisial dan menekan

aktivitas nosiseptif neuron kornu

dorsalis.

Neurotransmiter utama yang berperanan pada descendin g p

ain c ontro I irri adalah serotonin (5-hydroxytryptamine,

5 HT) dan norepineprin (noradrenalin). Neuron-neuron


serotoninergik dan noradrenergik turun melalui funikulus
dorsolateral dari batang otak menuju medula spinalis dan
berakhir pada kornu dorsalis, sangat berperanan pada
modulasi nyeri. Aktivasi Reseptor + 2 adrenergik akan
mengakibatkan antinosisepsi. Sejumlah subtipe reseptor

serotoninergik telah diketahui di medula spinalis dan


berberanan dalam transmisi nyeri. Stimulasi elektrik pada
daerah periaqueductal dan nukleus raphe magnus akan
mengakibatkan analgesia melalui pelepasan serotonin dan

norepineprin endogen.

melalui inhibisi presinap dari injury-evoked neurotransmitter release dari neuron nosiseptif aferen primer (lebih
da;i 70o/o dari total OP3 (%) receptor site terdapat pada
terminal aferen primer). Opioid endogen tampaknya juga
menyebabkan inhibisi postsinap neuron nociresponsive
komu dorsalis. Transmisi input nosiseptif pada medula

spinalis bisa dihambat oleh aktivitas segmental dan


aktivitas neuron descenden dari pusat supraspinal. GABA
dan glisin berperan penting pada inhibisi segmental nyeri
di medula spinalis. GABA memodulasi transmisi aferen
informasi nosiseptif melalui mekanisme presinap dan
postsinap. Konsentrasi terbesar GABA adalah pada kornu
dorsalis, dimana disini merupakan neurotransmiter inhibisi
utama. Mekanisme modulasi informasi nosiseptif glisin di
komu dorsalis adalah melalui inhibisi postsinap.
Gate

ControlTheory

lnh ibitory
interneuron

Gambar 2. Teori gate

Aktivitas neuron di medula spinalis yang menerima input


dari serabut nosiseptif dapat dimodifikasi oleh input dari
neuron aferen non-nosiseptif. Konsep ini diperkenalkan
oleh Melzac dan Wall pada 1965 sebagai gate control
theory. Menurut teori ini aktivitas pada serabut aferen AB
menghambat respons neuron kornu dorsalis dari input

NYERIINFLAMASI
Pada proses

inflamasi, misalnya pada artritis, proses nyeri

terjadi karena stimulus nosiseptor akibat pembebasan

2487

ITYERI

berbagai mediator bikomiawi selama proses inflamasi


terjadi. Inflamasi terjadi akibat rangkaian reaksi imunologik
yang dimulai oleh adanya antigen yang kemudian diproses
oleh antigen presenting cel/s (APC) yang kemudian akan
diekskresikan ke permukaan sel dengan determinan HLA

langsung. Sebagian kerusakan jaringan pada proses


inflamasi disebabkan oleh radikal hidroksil bebas yang
terbentuk selama konversi enzimatik dari PGG, menjadi
PGH, atau pada proses fagositosis.
Pada proses inflamasi, terjadi interaksi 4 sistem yaitu

diikat oleh sel T melalui reseptor sel T pada permukaan sel

sistem pembekuan darah, sistem kinin, sistem fibrinolisis


dan sistem komplemen, yang akan membebaskan berbagai

T membenttk kompleks trimolekuler.

Kompleks

protein inflamatif baik amin vasoaktif maupun zat

trimolekuler tersebut akan mencetuskan rangkaian reaksi


imunolo gik dengan pelepasan berbagai sitokin (IL - l, IL-2)

kemotaktik yang akan menarik lebih banyak sel radang ke


daerah inflamasi.
Pada proses fagositosis oleh sel polimorfonuklear,
terjadi peningkatan konsumsi O, dan produksi radikal
oksigen bebas seperti anion superoksida (O, ) dan
hidrogen peroksida (HrOr). Kedua radikal oksigen bebas
ini akan membentuk radikal hidroksil reaktif yang dapat
menyebabkan depolimerisasi hialuronat sehingga dapat

yang sesuai. Antigen yang diekspresikan tersebut akan

sehingga terjadi aktifasi, mitosis dan proliferasi sel T


tersebut. Sel T yang teraktifasi juga akan menghasilkan
berbagai limfokin dan mediator inflamasi yang bekerja
merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas
fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi
sel B untuk memproduksi antibodi.
Setelah berikatan dengan antigen, antibodi yang
dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan
menendap pada organ target dan mengaktifkan sel radang
unhrk melakukan fago sitosis yang diikuti oleh pembebasan
metabolit asam arakidonat, radikal oksigen bebas, enzim
protease yang pada akhimya akan menyebabkan kerusakan

pada organ target tersebut.

merusak rawan sendi dan memrrunkan viskositas cairan sendi.

NYERIPSIKOGENIK
Nyeri dapat merupakan keluhan utama berbagai kelainan
psikiatrik, psikosomatik dan depresi terselubung. Pasien

Kompleks imun juga dapat mengaktifasi sistem

nyen kronik akibat trauma yang berat, misalnya kecelakaan,

komplemen dan membebaskan komponen aktif seperti C3a


dan C5a yang merangsang sel mast dan trombosit untuk

peperangan dan sebagainya, seringkali mennjukkan


gambaran posttraumatic stress disorder, dimana pasien

membebaskan amina vasoaktif sehingga timbul

selalu merasa dirirrya sakit walaupun secara medik kelainan

vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular.

fisiknya sudah sembuh. Dalam hal ini, pasien harus

Selain itu komponen komplemen C5a juga mempunyai efek

diyakinkan bahwa keadaan psikologik ini sering terjadi dan

kemotaktik sehingga sel-sel polimorfonuklear dan

dia harus berusaha untuk mengatasinya dengan baik

mononuklear akan berdatangan ke daerah inflamasi.

karena keadaan fisiknya sebenarnya sudah sembuh.

Sej ak

tahun 1 97 I , tetah diuketahui bahwa

rodutkj alur

siklooksigenase (COX) metabolisme asam arakidonat


mempunyai peranan yang besar pada proses inflamasi.
Terdapat 2 isoform jalur COX yang disebut COX-1 dan
COX-2. Jalur COX-l mempunyai fungsi hsiologis yang
aktifasinya akan membebaskan eikosanoid yang terlibat

Nyeri pada merupakan salah satu bentuk kelainan


psikosomatik, dimana pasien mengekspresikan konflik
yang tidak disadarinya sebagai keluhan fisik. Keluhan ini
dapat sedemikian beratnya sehingga mempengaruhi
aktivitas sehari-harinya, termasuk pekerj aannya, aktivitas
sosialnya dan hubungan interpersonalnya. Biasanya

dalam proses fisiologis sepeerti pros tas iklin, tromboksandan prostaglandin-E r(PGEr). Sebaliknya, jalur COX-2
akan men gha silkan p r o s t a g I an d i n p r o i nfl a m at if y ar.g akan

pasien akan merasa selalu sakit dar' membutuhkan


perhatian medik mengenai penyakitnya. Pasien dengan

bekerjasama dengan berbagai enzim protease dan

tubuhnya atau lebih sedemikian beratnya sehingga


membutuhkan perhatian dokter. Keluhan nyeri ini sangat

A,

mediator inflamasi lainnya dalam proses inflamasi.


Dalam proses inflamasi, berbagai jenis prostaglandin

seperti PGE, PGE2, PGI2, PGD2 dan PGA, dapat


menimbulkan vasodilatasi dan demam. Di antara berbagai
jenis prostaglandin tersebut, PGI2, merupakan vasodilator
terkuat.
Peranan prostaglandin dalam menimbulkan nyeri pada
proses inflamasi ternyata lebih kompleks. Pemberian PGE

nyeri psikosomatik akatmengeluh nyeri pada satu bagian

menonjol dan tampak bahwa faktor-faktor psikologik akan

sangat mempengaruhi timbulnya nyeri, perjalanan


penyakit dan eksaserbasi nyerinya, tetapi hal ini tidak
disadari oleh pasien dan selalu akan disangkal sehingga
sangat menyulitkan pengobatan. Pasien akhirnya akan
tergantung pada berbagai obat analgesik, apalagi bila
psikoterapi tidak berhasil atau diabaikan.

pada binatang percobaan tidak terbukti dapat


memprovokasi nyeri secara langsung, tetapi harus ada
kerjasama sinergistik dengan mediator inflamasi yang lain
seperti histamin dan bradikinin.
Selain itu, tidak terdapat bukti yang kuat bahwa prostaglandin dapat menimbulkan kerusakan jaringan secara

DEPRESI PADA NYERI KRONIK


Secara tradisional perbedaan nyeri akut dan kronik
didasarkan pada interval waktu sejak mulainya nyeri, ada

2488

yang menyebutkan 3 bulan dan adayatgmenyebutkan 6


bulan sejak mulainya nyeri digunakan sebagai batas nyeri
akut dan kronik. Batasan lain nyeri kronik adalah nyeri
yang terus berlangsung melebihi periode penyembuhan
cedera jaringan. Batasan ini relatif tidak tergantung pada
batasan waktu, tetapi sayangnya berapa lama proses
penyembuhan itu berlangsung masih belum begitu pasti.
Penulis lain mengartikan nyeri kronik sebagai nyeri yang
menetap lebih dari 3 bulan atau nyeri yang membutuhkan
waktu perbaikan yang lebih lama dari yang seharusnya
atau yang norrna.
Nyeri akut biasanya dicetuskan oleh cedera jaringan

tubuh dan aktivasi nociceptor pada tempat kerusakan


jaringan. Secara umum nyeri akut akan berakhir selama
waktu yang singkat dan sembuh bila kelainarr yatg
mendasari sudah sembuh.

Nyeri kronik biasanya dicetuskan oleh cedera tetapi


mungkin diperberat oleh faktor-faktor yang baik secara
patogenesis maupun fisikjauh dari penyebab aslinya. Pada
nyeri kronik, karena nyeri terus berlangsung tampaknya
faktor lingkungan dan afektif akhimya berinteraksi dengan
kerusakan jaringan, yang berpengaruh pada ter.ladinya
persistensi nyeri dan perilaku nyeri.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian
depresi pada pasien nyeri kronik dan kejadian nyeri kronik
pada pasien depresi lebih tinggi dibanding populasi umum.
Pada penelitian epidemiologi di Kanada, yang meneliti
prevalensi dan korelasi depresi mayor pada pasien nyeri

pinggang kronik didapatkan bahwa depresi mayor 5,9oh


pada populasi yang tidak nyeri dan 19,8o/opada populasi
nyeri pinggang kronik6. Pada penelitian ini juga didapatkan

orang-orang dengan nyeri pinggang kronik 6.2 kali


kemungkinan untuk depresi dari pada orang yang tidak
nyeri. Demikian juga sebaliknya angka kejadian nyeri pada
pasien depresi lebih tinggi (30-60%;) dari pada orang yang

tidak depresi. Tetapi penelitian penelitian tersebut tidak


menjelaskan apakah depresi menyebabkan nyeri kronik
atau sebaliknya nyeri kronik yang menyebabkan depresis.

Terdapat beberapa teori yang berusaha menjelaskan


hubungan antara depresi dan nyeri kronik yaitu teori
biologi, psikologi dan sosiologi. Pada makalah ini akan
dibahas mekanisme kaitan nyeri kronik dan depresi dari
sudut pandang teori biologi.

REIJMATOI.OGI

sensitivitas yang lebih tinggi terhadap stimulus noxious,


dengan kata lain pasien depresi memiliki ambang nyeri
yang lebih rendah. Pada penelitian terdahulu beberapa
penelitian mendukung teori ini, tetapi pada penelitian akhirakhir ini tidak terbukti. Nilai ambang nyeri baik terhadap
stimulus thermal maupun electric didapatkan meningkat
pada pasien depresi. Pada penelitian Lautenbacher dkk
didapatkan bahwa nilai ambang nyeri pasien depresi justru

lebih tinggi dari pada pasien dengan panic disorder


maupun orang sehat.

Biogenic Amine: Serotonin dan Norephineprine


Tingginya variasi hubungan antara tingkat beratnya cedera
dan beratnya nyeri telah diketahui sejak penelitian Henry
Behcer terhadap tentara di Anzio Beach pada perang dunia
ke dua. Sejak th 1970 banyak kemajuan yaitu identifikasi

adanya central neryous system mechanism of


pain modulaition.
Stimulasi pada rostral ventomedial medulla atau

endogenous

dorsolateral pontine tegmentum akan mengakibatkan


analgesia pada binatang percobaan dan inhibisi dari

spinal pain transmission. Rostral ventromedial


medulla adalah tempat utama neuron serotoninergik yang
menuju ke komu dorsalis medula spinalis. Dorsolateral
pontine tegmentum merupakan tempat utama neuron

noradrenergik yang menuju kornu dorsalis. Kedua


neurotransmitter ini menghambat nociceptive neuronneuron komu dorsalis.
Terdapat hipotesis bahwa mekanisme analgesia dan
antidepresi obat antidepresan yang memberikan efek

analgesia melalui peningkatan neurotransmisi


serotoninergik dan noradrenergik. Saling ketergantungan
antara sistem opioid dan nonopioid sudah dipikirkan pada

penelitian-penlitian yang menunjukkan peningkatan


analgesi opioid bila diberikan antidepresan, dan pemrunan

analgesia opioid setelah penurunan serotonin dan


norephineprin. Berdasarkan hal ini tampaknya biogenic
amine berperan sangat penting pada modulasi nyeri
endogen. Oleh karena terdapat deplesi atau gangguan
fungsi biogenic amine seperti serotonin dan norefineprin
pada depresi, maka bisa dipahami bahwa hal ini bisa
berperanan pada pengalaman dan penyampaian rasa nyeri
pada pasien depresi mayor.

Sensitivitas Nyeri
Banyak dibuktikan bahwa pasien-pasien depresi memiliki
lebih banyak keluhan nyeri dari pada yang tanpa depresi.
Beberapa penelitian menujukkan angka kejadian nyeri lebih
tinggi pada pasien depresi dibanding populasi umum. Data
prevalensi depresi di antara pasien klinik nyeri bervariasi,

KAJIAN AWAL TERHADAP RASA NYERI


Terdapat beberapa hal penting yang menjadi dasar kajian
awal terhadap rasa nyeri yang dikeluhkan seorang pasien,

yaitu:

tergantung metode penilaian dan populasi yang dinilai

yaitu antara 10%-100%. Sebaliknya keluhan nyeri


didapatkan pada 30-600/" pada pasien depresi. Hal ini
menimbulkan dugaan bahwa pasien depresi memiliki

Lokasi Nyeri
Mintalah pada pasien untuk menjelaskan daerah mana
yang merupakan bagian paling nyeri atau sumber nyeri.

2489

Walaupun demikian perlu diperhatikan bahwa lokasi


anatomik ini belum tentu sebagai sumber rasa nyeri yang
dikeluhkan pasien. Misalnya pada keluhan nyeri sciatic
yang dirasakan pasien sepanjang tubngkai bagian

Gejala Lain yang Menyertai

belakang, bukanlah lokasi sumber nyeri yang sebenarnya.

kelemahan?

Apakah pasien menderita keluhan lainnya di samping rasa

nyeri seperti mual dan muntah, konstipasi, gatal,


mengantuk atau terlihat bingung, retensio urinae serta

lntensitas Nyeri

Kesan dan Perencanaan Pengobatan

Pada umunya dipakai rating scale dengan analogi visual

Buatlah kesimpulan akan nyeri yang diderita pasien serta

atau dikenal sebagai Visual Analogue Scale (VAS).


Mintalah pasien membuat rating terhadap rasa nyerinya
(0-10) baik yang dirasakan saat ini, kapan nyeri yang

lakukan pemeriksaan fisik termasuk terhadap tanda-tanda


vital. Evaluasi terhadap pengobatan sebelumnya dan
apakah masih memberikan matfaat dalammengatasi rasa
nyeri yang diderita pasien atau tidak. Pada bagian ini perlu
dievaluasi pula seberapa jauh pasien memahami akan
masalah nyeri yang dialaminya. Selanjutnya pengobatan
nyeri itu sendiri sebaiknya dikomunikasikan lehih dalam
dengan pasien agar terdapat kesenjangan yang dapat
ditekan sekecil mungkin antara harapan seorang pasien
terhadap pengobatan yang diberikan oleh dokter dan hasil
pengobatan sebagai suatu kenyataan. Pada pengobatan

paling buruk dirasakan atau yang paling ringan dan pada


tingkatan mana rasa nyeri masih dapat diterima.

Kualitas Nyeri
Gunakan terminologi yang dikemukakan oleh pasien itu
sendiri seperti nyeri tajam, seperti terbakar, seperti tertarik,
nyeri tersayat dan sebagainya.

nyeri perlu diingat bahwa pendekatan awal adalah


Awitan Nyeri, Variasi Durasi dan Ritme

menggunakan tekhnik yang non invasif, sebagai contoh

Perlu ditanyakan kapan mulai nyeri terjadi, variasi lamanya


kejadian nyeri itu sendiri serta adakah irama atau ritme
terjadinya maupun intensitas nyeri. Apakah nyeri tetap
berada pada lokasi yang diceritakan pasien? Apakah nyeri
menetap atau hilang timbul (breakhtrough pain)?

menggunakan alat fisioterapi seperti ultra sonic lebih


diutamakan dibandingkan blok saraf dan sebagainya.
Mengenai pemeriksaan fisik nyeri reumatik, maka

Cara Pasien Mengungkapan Rasa Nyeri


Perhatikan kata yang diungkapkan untuk menggambarkan
rasa nyeri yang berbeda dari satu pasien ke pasien lainnya
dan tergantung dari pengalaman sebelumnya. Beberapa

kata di bawah ini yang biasanya diungkapkan pasien


berkaitan dengan rasa nyeri, yaitt: aching, stabbing,

diperlukan tekhnik tersendiri guna mendapatkan gambaran


rasa nyeri yang diderita pasien. Terdapat beberapa metoda
untuk mengkaji nyeri tekan, yaitu menggunakan 4-point
compres s ion technique, two -point technique, fwo-thumb

technique, single tuhum pressure technique, dan two


finger technique. Terhadap nyeri gerak umumnya
dilakukan gerakan pasiffleksi ekstensi sesuai dengan batas
lingkup gerak sendi (LGS) dari setiap sendi yang akan
diperiksa.

tender, tiring, numb, dull, crampy, throbbing, gnawing,


burning, penetrating, miserable, radiating, deep,

shooting, sharp, exhausting, nagging, unbearable,


squeezing dan pressure.

Faktor Pemberat dan yang Meringankan Nyeri


Apa saja yang dapat memperberat rasa nyeri yang diderita
pasien dan faktor apayatgmeringankan nyeri hendaklah
ditanyakan kepada pasien tersebut.

PENGUKURAN NYERI
Kesulitan dalam mengukur rasa nyeri ini disebabkan oleh
tingkat subyektivitas yang tinggi dan tentunya memberikan
perbedaan secara individual. Di samping itu sebagaimana
dikemukakanpadakajian awal terhadap nyeri di atas, belum

terdapat metoda yang baku baik klinis maupun


menggr.rnakan alat atau pemeriksaan yang dapat diterapkan
pada semuajenis nyeri. Sebagai salah satu contoh sulitnya

Pengaruh nyeri
Dampak nyeri yang perlu ditanyakan adalah seputar

mengukur nyeri adalah ketidaktepatan apa yang

kualitas hidup atau terhadap hal-hal yang lebih spesifik


seperti pengaruhnya terhadap pola tidur, selera makan,
enerji, aktivitas keseharian (activities of the daily living),

mendapatkan kata yang tepat dalam mendeskripsikan rasa


nyeri, kebingungan, kesulitan mengingat pengalaman, dan
penyangkalan terhadap intensitas nyeri.

hubungan dengan sesama manusia (lebih mudah

Pengukuran nyeri seyogyanya dilakukan seobyektif


mungkin dan dapat menggunakan beberapa metoda

tersinggung dan sebagainya) atau bahkan terhadap mood


(sering menangis, marah atau bahkan berupaya bunuh diri),
kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan atau pembicaraan

dan sebagainya.

dikemukakan oleh pasien, misalnya kesulitan pasien

pengukuran dan terbanyak adalah dengan kwesioner serta


observasi pola perilaku terkait dengan rasa nyeri. Kategori
pengukuran nyeri beragam sekali namun yang termudah

2490

REI.JM/{IOLOGI

yaitu: pengukuran nyeri dengan skala kategorikal,

Kelemahan dari pengukuran nyeri secara kategorikal

numerikal dan pendekatan multidimensional. Masing-

ini adalah kecenderungan pasien untuk lebih condong


pada kategori ke arah tengah yaitu nyeri sedang

masing pendekatan pengukuran nyeri ini memiliki kelebihan


dan kekurangan masing-masing serta tingkat obyektifitas-

subyektifitas berbeda-beda dan area yang menjadi tujuan


pengukuran apakah sensorik saja, apakah mencakup afektif
serta adakah sifat evaluatif dari instrumen dimaksud.
Pengukuran nyeri dapat merupakan pengukuran satu

dimensional saja (one-dimensional) atau pengukuran


berdimensi ganda (mu I t i - d im e n s i o n a[). P ada pengukuran
safu dimensional umumnya hatya mengukur pada satu
aspek nyeri saja, misalnya seberapa berat rasa nyeri
menggunakan pain rating scale yang dapat berupa
pengukuran kategorikal atau numerikal misalnya visual
analogue scale (VAS). Sedangkan pengukuran multidimensional dimaksudkan tidak hanya terbatas pada aspek
sensorik belaka, namun juga termasuk pengukuran dari

segi afektif atau bahkan prosesd evaluasi nyeri


dimungkinkan oleh metoda ini.

dibandingkan ke arah ringan atau hebat. Juga tidak terdapat


panduan deskripsi rasa nyeri yang memadai.

Pengukuran Nyeri Secara Numerikal


Numerical rating scale QI{SR) merupakan pengukuran nyeri
dimana kepada pasien dimintakan untuk memberikan angka

1 sampai 10. Nol diartikan sebagai tidak ada nyeri


sedangkan angka 10 diartikan sebagai rasa nyeri yang
hebat dan tidak tertahankan oleh pasien. Pengukuran ini
lebih mudah dipahami pasien baik bila kepada pasien
tersebut dimintakan secara lisan atau mengisi form kesioner.
Salah satu bentuk yang dianggap oleh sebagian peneliti
tidak identik adalah penggunaan visual analogue scale

atauVAS.

012345678910
llltttttttt

Pengukuran Nyeri Secara Kategorikal


Pengukuran nyeri tipe ini disebut sebagai pengukuran satu
dimensi (one dimensional) danbalkpasien maupun dokter

Worst
possible

No
pain

parn

dapat menggunakannya dengan mudah. Umumnya

nyeri ringan, nyeri sedang dan nyeri hebat. Satu contoh


kelompok ini yang banyak dipakai adalah verbal rating

Bentr.rk di atas dapat diubah menjadi bentuk lain yang


dikenal dengan ll-points box scale dimana angka-angka
diletakkan dalam kotak berj aj ar serial. Pasien diminta untuk
memberikan tanda silang pada intensitas nyeri yang

scale.

dirasakan.

ini menempatkan pasien

pada

bebeapa kategori yang umum dipakai yaitu: tidak ada

nyeri,

pengukuran kategorikal

Tidak terdapat nyeri tentunya diartikan pasien sebagai

tidak merasakan rasa nyeri. Sedangkan nyeri ringan


umumnya diartikan sebagai nyeri yang umumnya bersifat

10

siklik dan tidak mengganggu aktivitas keseharian.


Analgetikum biasanya efektif mengatasi nyeri ringan ini.
Dikatakan nyeri sedang bila nyeri bersifat episodik,
terdapat masa eksaserbasi. Umumnya nyeri masih dapat
ditolerir walaupun pasien membutuhkan analgetikum.
Pengobatan dengan analgetikum ini umumnya tidaklah
menghilangkan nyeri secara total. Rasa nyeri yang terjadi
akan meningkat apabila terjadi peningkatan aktivitas

banyak dipakai dalam berbagai studi klinis dan diterapkan

eseharian atau aktivitas yang tidak biasa dilakukan pasien.

terhadap berbagai jenis nyeri. Metoda pengukuran ini

Angka 0 menunjukkan tidak terdapat rasa nyeri


sedangkan l0 menandakan nyeri yang sangat hebat dan
tidak tertahankan.

Visual Analogue Scale


VAS adalah instrumen pengukuran nyeri yang paling

Apabila pasien dalam melakukan aktivitas kesehariannya

sebagaimana yang dikembangkan oleh Stevenson KK dan

merasa nyeri dan rasa nyeri tersebut mengganggu

kawan-kawan dari Pusat Penanganan Nyeri Kanker di


Wisconsin. Terdiri dari satu garis lurus sepanjang l0 cm.
Garis paling kiri menunjukkan tidak ada rasa nyeri sama
sekali, sedangkan garis paling kanan menandakan rasa
nyeri yang paling buruk. Kepada pasien dimintakan untuk
memberikan garis tegak lurus yang menandakan derajat
beratnya nyeri yang dirasakannya. Sebagai contoh bila
pasien tidak merasakan nyeri apapun, maka ia harus
menggariskannya pada ujung sisi kiri dari garis VAS
tersebut. Instrumen VAS ini tidak menggambarkan jenis
rasa nyeri yang dialamai pasien, mislanya shooting pain

aktivitasnya maka dikatakan pasien menderita nyeri hebat.

Nyeri hebat tidak dapat diatasi dengan analgetikum


sederhana atau hanya memberikan respons yang minimal.

Worst
No

pain

Moderate

Likert pain scale

Severe

ossibl
pain

dan sebagainya. Jadi sebagaimana pengukuran

2491

kategorikal, maka VAS juga mengukur nyeri secara satu


dimensi saja.

Pengukuran dengan VAS pada

nilai di bawah

dikatakan sebagai nyeri ringan; nilai antara4-7 dinyatakan


sebagai nyeri sedang dan di atas 7 dianggap sebagai nyeri
hebat.

Visual analogue scale

ini memiliki beberapa tipe.

Namun tetap mencerminkan satu dimensi pengukuran nyeri


saja.

Dua bentuk lagi hampir sama dengan tipe a namun


dalam posisi vertikal serta satu lainnya dibagi menjadi 20
skala interval.

Masih dalam kategori ini terdapat skala pengukran


nyeri yang lebih banyak dipakai pada anak-anak dan
dikenal sebagai faces scale. Intensitas nyeri digambarkan
oleh karikatur wajah dengan berbagai bentuk mulut.
Extreme
paln

Extreme
parn

Extreme

Mild Modetra Severe

parn

Extreme'
pain

No change

No

r",n

o09000@
Pada skala ini digambarkan garadasi emosional mulai

dari keadaan gembira sampai kesedihan yang dialami


paslen.

Pada dasarnya kedua jenis pengukuran di atas


merupakan pengukuran terhadap skala nyeri (pain scale).

Hingga saat ini terdapat 40 instrumen yang potensial


dipakai dalam pain scale tersebut. Adapun berbagai
pengukuran nyeri yang sering dijumpai adalah: verbal
rating scale, YAS, numerical rating scale, wisconsin brief
pain questionaire (Dout 1983) yang digunakan untuk
mengukur nyeri pada saat nyeri hebat, berapa lama
bertahan, rerata rasa nyeri dan nyeri saat ini, serta dampak

nyeri pada fungsi dan hasil pengobatan; memorial pain


questionaire (Fishman 1 987) berupa karlu dua sisi dimana
salah satu sisi menggambarkan intensitas nyeri dan mood
pasien dan sisi lain merupakan modifikasi Tursky.

berbagai dimensi yang berbeda-beda. Mislanya skala 3


dimensi yaitu: sensorik, afektif dan evaluatif sebagaimana
terlihat pada salah satu pengukuran yang paling banyak
dipakai untuk pendekatan multi-dimensional iniyaitt the
McGill Pain Questionaire (MPG, Melzack 1975) dalam
bentuk format lengkap atat Short Fozz (SF-MPQ). McGill
Pain Questionaire di atas membutuhkan waktu sekitar

menit untuk mengisinya, sedangkan Short form ny a


cukup 2-5 menit saja. Apabila dikaitkan dengan artritis,
maka arthritis impact measurement scales atau AIMS
(Meenan 1980) lah yang umumnya dipakai. AIMS ini
5- I 0

mengukur sembilan skala dimensi berbeda yaitu mulai dari


nyeri, mobilitas, aktivitas fisik, peran sosial, aktivitas sosial,

aktivitas hidup keseharian, depresi, ansietas dan


dexterity.

Bentuk-bentuk lain pengukuran nyeri multidimensional adalah: P atient outcome questionare didesain
untuk mengukur beratnya nyeri, intervensi, kepuasan
terhadap kontrol nyeri dan beberapa aspek lain dalam
pengobatan dan pemberian obat; Descriptor dffirential
scale (Gracey 1988) yang megukur komponen sensorik dan
afektif nyeri meggunakan skal a rasio; Integrated p ain s core
(Ventafridda 1983) yang mengukur baik intensitas maupun
durasi nyeri; P ain perception profile (Tursky 197 6) yang
digunakan untuk pengukuran dimensi sensorik, afektif dan
intensitas ty eri1' W est Haven-Yale multidimensional pain
inventory (Kerns 1985) berupa 52 itens pengukuran nyeri

kronik; Brief pain inventory (cleeland 1994) bagi


pengukuran nyeri kanker, demikian pula halnya dengan
(lnmet analgesic needs questionaire dan masih banyak
lagi yang dibuat untuk tujuan pengukuran ini baik pada
pasien dewasa maupun pada pasien anak-anak.

Pengukuran Nyeri Menggunakan Alat Elektromekanikal atau Alat Mekanis


Dolorimeter merupakan alat mekanis yang dipakai untuk
kwantifftasi ambang nyeri baikpada sendi maupunjaringan
lunak. Alat yang paling banyak dipakai adalah Chatillon
dolorimeter yang merupakan bentuk penyempurnaan dari
dolorimeter kuno Steinbrocker palpometer dan Hollander
palpameter. Dua jenis Chatillon dolorimeter yaitu dengan
tekanan l0 pound dan20 pound. Angka sepuluh pound
dikemukakan oleh McCarty sebagai tekanan maksimum
ibu jari pada pemeriksaan sendi. Analogi ibu jari digantikan
dengan rubber stopper setebal 1.5 cm pada alat tersebut.
Selanjutnya alat ini memiliki pula pegas lingkar dan
reading pointer yang akan memberikan pembacaan pada

skala tertentu. Kepada pasien dimintakan untuk


memberitahukan manakala ambang rasa nyeri tercapai

Pengukuran Nyeri Secara Multi-dimensional

dengan dilakukannya tekanan sebesar 5 pounds per detik


atau2kgper detik. Alat serupa dengaf tekanan 20 pound
dipakai apabila dengan alat l0 pound terlihat skor yang
rendah. Jenis lain dolorimeter adalah pneumatic pressure

Pengukuran nyeri dengan cara ini memberikan skala pada

dolorimeter dari Langley.

2492

REUMITIOI.OGI

PENATALAKSANAAN NYERI DENGAN OBAT.

masif, biasanya pada peminum berat atau pasien dengan

OBATAN

riwayat ulkus peptik. Alergi aspirin jarang terjadi dan


mungkin bermanifestasi sebagai rinorrhea, polip
nasal, asma, dan sangat jarang terjadi anafilaksis.
Aspirin pada dosis tinggi dapat menghasilkan zat yang

Terapi obat yang efektif untuk nyeri seharusnya memiliki


risiko relatif rendah, tidak mahal, dan onsetnya cepat. WHO
menganjurkan tiga langkah bertahap dalam penggunaan
analgesik. Langkah 1 digunakan untuk nyeri ringan dan
sedang, adalah obat golongan non opioid seperti aspirin,

asetaminofen, atau AINS,

ini diberikan tanpa obat

tambahan lain. Jika nyeri masih menetap atau meningkat,

langkah 2 ditambah dengan opioid, untuk non opioid


diberikan dengan atau tanpa obat tambahan lain. Jika nyeri
terus-menerus atau intensif, langkah 3 meningkatkan dosis
potensi opioid atau dosisnya sementara dilanjutkan non
opioid dan obat tambahan lain.
Dosis pengobatan harus dijadwal secara teratur untuk
memelihara kadar obat dan mencegah kambuhnya nyeri.

Dosis tambahan yang onsetnya cepat dan durasinya


pendek, digunakan untuk nyeri yang menyerang tiba-tiba.

Obat-Obatan Untuk Nyeri Ringan Sampai Sedang


Banyak orang dapat mengelola sakit dan nyeri dengan
analgesik OTC, termasuk aspirin, asetaminofen, dan
ibuprofen atau naproksen pada dosis 200 mg dosis
formulasi. Untuk nyeri yang sedang, salisilat, ANS, atau
asetaminofen dosis yang lebih tinggi sering sudah
memadai, jika tidak dokter dapat meresepkan obat-obatan
seperti kodein atau oksikodon.

mempengaruhi vitamin K, sehingga memperpanjang waktu


penggumpalan.
Asetaminofen. Asetaminofen pada dosis yang sama dengan
aspirin (650 mg oral setiap 4 jam) mempunyai efek analgetik
dan antipiretik yang sebanding tetapi efek antiinflamasinya
lebih rendah dibanding aspirin. Ini sangat berguna untuk
orang yang tidak dapat mentoleransi aspirin atau pada
gangguan perdarahan dan pada pasien yang mempunyai
risiko Reye 3 syndrome. Pada setiap dosis tinggi (misal >4

mg/hari pada pemberian jangka panjang, >7 mglhari


sekaligus) asetaminofen dapat menyebabkan hepatotoksik,

manifestasinya nekrosis hepatis yang ditandai dengan


meningkatny a kadar aminotransferase senrm. Toksisitas
dapat terjadi pada dosis lebih rendah pada pengguna alkohol
kronik.

Anti Inflamasi Non Steroid. Semua obatANS merupakan


analgesik, antipiretik dan antiinflamasi yang kerjanya
tergantung dosis. Prinsipnya, obat-obat tersebut digunakan

untuk mengontrol nyeri tingkat sedang pada beberapa


gangguan muskuloskeletal, nyeri menstruasi dan lainnya
terutama keadaan yang bisa sembuh sendiri termasuk

ketidaknyamanan pasca operasi.Aktivitas AINS


menghambat biosintesis prostaglandin. Prostaglandin

Aspirin. Aktivitas aspirin terutama disebabkan oleh

adalah

kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin.


Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara
irreversibel (prostaglandin sintetase), senyawa yang

antaranya dibentuk karena respons kerusakan jaringan.

mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi senyawa


endoperoksida, pada dosis tepat, obat ini akan menurunkan
pembentukan prostaglandin maupun tromboksan ,A.2 tetapi
tidak leukotrien. Sebagian besar dari dosis anti-inflamasi
aspirin akan cepat dideasetilasi membenhrk metabolit aktif
salisilat yang menghambat sintesis prostaglandin secara
reversibelAspirin umumnya digunakan sebagai obat pilihan

pertama untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang,


aspirin ini merupakan antipiretik efektif dan agen anti
inflamasi. Efek analgesik dapat dicapai pada dosis yang
lebih rendah dibanding efek anti inflamasinya. Aspirin
tersedia dalam berbagai bentuk sediaan oral, yaitu 8l;325;
dan 500 mg. Biasanyapenggunaan I atau2 tablet (325-650
mg) setiap 4jam saatdiperlukan, diminum denganairminum.

Iritasi gastrointestinal dapat dikurangi dengan makanan


dan antasida. Aspirin dalam bentuk enteric coated yang
mana lebih mahal (Ecotrin dan lain-lain) sangat penting
untuk mencegah iritasi lambung tetapi absorbsinya lambat.
Efek samping utama aspirin terutama pada dosis tinggi atau
pemberian jangka panjang adalah iritasi lambung dan pada
pemeriksaan mikroskopik, perdarahan terjadi pada usus.
Kadang-kadang ini menjadi perdarahan gastrointestinal

famili hormone-like chemicals, beberapa di

Mekanisme yang lazim untuk semua AINS adalah


menginhibisi enzim siklooksigenase (COX). COX ini
diperlukan dalam pembentukan prostaglandin.
Enzim ini dikenal dalam dua bentuk, COX- I yang melindungi
sel-sel lambung dan intestinal dan COX-2 yang terlibatpada

proses inflamasi jaringan, tidak identik dengan


siklooksigenase yang ada pada kebanyakan sel lain di
dalam tubuh (COX-l). Banyak dari obat ini pada
beberapa tingkat, menginhibisi agregasi platelet dan bisa
menyebabkan perdarahan lambung (risiko ini berhubungan
dengan perdarahan traktus gastrointestinal atas 1,5 kali
normal dan insidensi lebih tinggi pada pasien berusia lanjut),
kerusakan ginjal (termasuk gagal ginjal akut, penunman
filtrasi glomerulair, sindroma nefrotik, nekrosis papilaris,

nefritis interstitial, dan asidosis renal tubuler tipe IV),


supresi sumsum tulang, rash, anoreksia, dan nausea.
Kerusakan ginjal lebih sering terjadi pada laki-laki tua,
pengguna diuretik, dan pasien dengan penyakit jantung.

AINS secara umum tidak diberikan pada pasien


yang menerima terapi antikoagulan oral. Keuntungan lain

AINS dibanding aspirin adalah durasi kerjanya yatg


lebih lama sehingga frekuensi pemberian lebih
rendah dan kepatuhan pasien lebih baik dan frekuensi
efek samping pada gastrointestinal lebih rendah.

2493

Obat-obatan untuk Nyeri Sedang sampai Berat

mg setiap 4-6 jam pada tablet yang mengandung aspirin

Opioid analgesik diindikasikan untuk nyeri sedang sampai


berat yang tidak berkurang dengan obat lain. Contohnya
termasuk nyeri akut pada trauma berat, luka bakar, infark
miokard, batu ureter, pembedahan dan nyeri kronik pada
penyakit progresif seperti AIDS. Opioid efektif, mudah
dititrasi dan mempunyai rasio manfaat-risiko yang baik.
Dosis besar opioid dibutuhkan untuk mengontrol nyeri
jika nyeri berat dan penanganan lebih luas diperlukanjika
nyerinya kronik. Opioid analgesik berguna juga untuk
menangani pasien yang dengan jalan yang lain tidak

325 mg atau 500 mg.

Meperidin. Meperidin 50-150 mg secara oral

atau

intramuskuler setiap 3-4 jam memberikan efek analgesikyang

sama seperti morfin pada nyeri akut tetapi sebaiknya


dihindari pada nyeri kronik yang berat karena durasi
kerjanya pendek dan pada insufisiensi renal karena
akumulasi toksik metabolit obat ini mencetuskan kejang.

Tramadol. Tramadol adalah analgesik atipikal dengan


gambaran opioid dannon opioid, mempunyai ke{arangkap.

berhasil. Terapi opioid yang berkelanjutan seharusnya


didasarkan pada evaluasi dokter terhadap kesimpulan

Tramadol dan metabolitnya mengikat reseptor opioid:


tramadol bekerja seperti trisiklik dan antidepresan untuk

penanganan (tingkat pengurangan nyeri, perubahan fungsi

memblok pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin.


Dosis yang dianjurkan adalah 50-100 mg tiap 4-6 jam sampai
dosis total400 mg,4rari (maksimum 300 mg,4rari padapasien
umur 75 tahun atau lebih).

fisik dan psikologis, jumlah peresepan, nomor telepon,


kunjungan klinik atau unit kegawatan, rawat inap di rumah
sakit, dan lain-lain).
Pemberian opioid dalam dosis terapi secara berulang

terus-menerus dapat mengakibatkan toleransi


(peningkatan dosis opioid yang dibutuhkan untuk
mendapatkan efek analgesik yar.g sama) dan
ketergantungan fisik (gejala putus obat terjadi bila
tiba-tiba opioid dihentikan/ withdrawal syndrome atau
abstinence syndrome, teriadi variasi tingkat dan periode

penggunaan). Toleransi dan ketergantungan fisik


merupakan reaksi fisiologik normal dari terapi opioid dan

jangan dibingungkan dengan adiksi. Adiksi adalah


ketergantungan psikologik karena penyalahgunaan obat

(bervariasi dari manipulasi mencari obat sampai


penggunaan obat terus-menerus dengan fujuan non medis

dengan efek yang merugikan). Pasien dan anggota


keluarga dapat diedukasi tentang perbedaan toleransi,
ketergantungan fisik, serta adiksi dan risiko kecil adiksi
pada penggunaan opioidjangka panjang atau dosis tinggi
untuk mengurangi nyeri.

Obatan-obatan Adjuvant untuk Mengontrol Nyeri


Kortikosteroid sangat membanfu manajemen nyeri kanker.
Deksametasot 16-96 mg/hari secara oral atau intravena
atau prednison 40-100 mg/hari secara oral mempunyai
aktivitas antiinflamasi dan mengurangi edema serebral dan
medula spinalis. Karena obat-obatan ini mempunyai efek

anti emetik dan menstimulasi nafsu makan, ini


menguntungkan untuk penanganan kakeksia dan anoreksia.
Antikonrulsi (misalnya Fenitoin 300-500 mh/hari per
oral, Carbamazepin 200-1 600 mg,4rari per oral, Gabapentin

900-1800 mg/hari per oral), antidepresan (misalnya


Amitriptilin atau Desipramit25-L5} mglhari per oral), dan
anestesi lokal (misalnya Bupivacaine) sangat berguna

Antikonulsan generasi
baru, Gabapentin (neurontin) meningkatkan kadar
pada manajemen nyeri neuropati.

gamaaminobutirat otak, efektif untuk nyeri neuropati secra


luas. Neuroleptik (misalnya Metotrimeprazin 40-80 mg,Arari

Contoh obat agonis opioid yang sering digunakart antara

intramuskuler) membantu pada sindroma nyeri kronik

lain:

karena mempunyai efek antiemetik dan anti cemas.

Morfin Sulfat. Merupakan opioid yang sering diresepkan


dan tersedia dalam beberapa bentuk. Morfin 8-15 mg

PENATALAKSANAAN NYERI DENGAN METODE

subkutan atau intramuskular efektif untuk mengontrol nyeri


berat pada pasien dewasa. Pada infark miokard akut atau

YANG LAIN

edema pulmo akut terjadi kegagalan vaskular kiri,2-6 mg


disuntikkan pelan-pelan intravena pada 5 ml cairan salin.

Macam terapi non obat untuk manajemen nyeri adalah

jam sering
kerjanya
durasi
adiksi
karena
untuk
menangani
digunakan

jangka panjang ditambah suntikan steroid dapat

Metadon. Metadon

5-

l0 mg secara oral tiap

6-8

lama.

Kodein (sufat atau fosfat). Kodein sering digunakan


bersama dengan aspirin atau asetaminofen untuk
memperkuat efek analgesiknya. Kodein adalah penekan
batuk yang kuat pada dosis 15-30 mg oral tiap 4 jam.
Oksikodon dan hidrokodon. Obat-obat ini diberikan secara
oral dan diresepkan bersama analgesik lain. Dosisnya 5-7,5

Blok Saraf. Blok saraf

sederhana dengan anestetik lokal

meringankan nyeri bahu, nyeri dada dan nyeri paha. Blok


pada saraf simpatik dapat membantu untuk mengurangi
nyeri abdomen kronik, nyeri pelvis kromk dan angina kronik.

Injeksi pada sendi. Injeksi pada sendi menggunakan


steroid dan anestesi lokal dapat mengurangi nyeri dan
radang pada sendi spinal. Prosedur ini kalau perlu dilakukan

dengan bimbingan sinar X. Prosedur ini juga dapat


meredakan nyeri kronik pada sendi panggul dan sendi bahu.

2494

Terapi Stimulasi

ENS (Trans Cutaneous Electrical Stimulation)


menggunakan bantal khusus yang dihubungkan
dengan mesin kecil yang menghantarkan aliran listrik

REI,JMANOI.OGI

REFERENSI
Basbaum A. Anatomy and Physiology of Nociception In: Kanner R

memperbaiki kualitas nyeri. Program ini meliputi pemulihan


fisik, penerapan teknik relaksasi, informasi dan edukasi

(ed). Pain Managemen secrets. 9th ed. Hanley & Belfus Inc.
Philadelphia, 1997 :8-t2
Bellamy N. Musculoskeletal clinical metrology. London: Kluwer
Academic Publisher. 1993: 65-76 dan 117-134.
Beaulieu P, Rice ASC. Applied physiology of nociception. In :
Rowbotham DJ, Macintyre PE : Clinical pain management,
Acute pain. 2003 : l-16.
Currie SR, Wang JL. Chronic back pain and major depression in
general Canadian population. Pain 2004 ; 107 :54-60.
Handono K, Kusworini H. Penatalaksanaan nyeri yang rasional.
Kursus penatalaksanaan nyeri. Jakarta 2004 :3-8.
IASP Task Force on Taxonomy. Merskey H, Bogduk N. Eds.
Classification of chronic pain. Seattle: IASP Press. 1994:

tentang nyeri dan manajemennya, penatalaksanaan


psikologis dan intervensi (terapi kognitifl, bersamaan

209 -2t4.
Meliala KRT. L. Terapi rasional nyeri, Tinjauan khusus nyeri

lemah ke permukaan kulit dari area nyeri

Akupuntur

Program Manajemen Nyeri dan Bantuan psikologi


Merupakan program rehabilitasi berdasarkan psikologi
untuk pasien dengan nyeri kronik yang tidak pulih dengan
metode terapi. Program ini bertujuan untuk mengurangi
disabilitas dan distress yang disebabkan oleh nyeri kronik
melalui pengajaran fisik, psikologis dan teknis praktis untuk

dengan pemulihan aktivitas harian secara bertahap.

Pembedahan. Pada beberapa kasus, terapi bedah diperlukan

untuk mengurangi nyeri kronik. Terapi ini merupakan lini


terakhir yang dilalarkan bila semua usaha untuk mengurangi
nyeri gagal.

neuropatik. 2004.

Sullivan MD, Turk DC Psychiatric illness, depression, and


psychogenic pain. In : Bonicas, Management of pain 3rd
edition.2001:483-500
Turk DC, Okifuji A. Pain terms and taxonomi of pain. In : Bonicas,
Management of pain. 3rd edition . 2001 :17-25

390
ARTRITIS REUMATOID
I Nyoman Suarjana

PENDAHULUAN

Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang


ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif,
dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi

klinik

klasik AR adalah poliartritis simetrik yang terutama


mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain

lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organorgan diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru

dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya


komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal,
keganasan dan adanya komorbiditas. Menegakkan
diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat
menurunkan progresifitas penyakit. Metode tetapi yang
dianut saat ini adalah pendekatan piramidterballk (reverse
pyramid),yaifu pemberian DMARD sedini mungkin untuk
menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat

terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi,


deformitas dan disabilitas. Morbiditas dan mortilitas AR

mendapatkan prevalensi AR sebesar 0.2% di daerah rural


dan 0.3o/o di daerah urban. Sedangkan penelitian yang
dilakukan di Malang pada pendduduk berusia diatas 40
tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5%o di daerah
Kotamadya dan0,60/o di daerah kabupaten. Di Poliklinik
Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta, kasus
baru AR merupakan 4,1%o dari seluruh kasus baru tahun
2000 dan pada periode Januari s/d Juni 2007 didapatkan
sebanyak 203 kasus

AR dari jumlah seluruh kunjungan

sebanyak 1.346 orang (l 5,1%).8 PrevalensiARlebihbanyak

ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan lakiJaki


dengan rasio 3 : I dan dapat terjadi pada semua kelompok
umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada
dekade keempat dan kelima.

ETIOLOGI

Faktor genetak

berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi.


Kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan
DMARD biologik, memberi harapan baru dalam

Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat


interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan

penatalaksanaan penderita AR.

kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi


penyakit sebe sat 60 o/o. Hubungan gen HLA-DRB I dengan
kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun
beberapa lokus non-HLAjuga berhubungan dengan AR

EPIDEMIOLOGI

lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap

seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR1 lAyangmengkode


Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR

relatif

konstan yaitu berkisar arrtara0,5 -l o . Prevalensi yang


tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian
masing-masing sebesar 5,3o/o dan 6,80/o.5 Prevalensi AR di
India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar
0.75%. Sedangkan di China, Indonesia, dan Philipina
prevalensinya kurang dari 0,4o/o, baik didaerah urban
maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah

aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-rB). Gen


ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor
genetik juga berperanan penting dalam terapi AR karena
aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme

methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor


genetik.e,r0 Pada kembar monosigot mempunyai angka
kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih dari 30%o dan

2495

2496

REI.JMAiNOI.OGI

pada orang kulit putih denganAR yang mengekspresikan


HLA-DRI atau HLA-DR4 mempunyai angka kesesuaian
sebesar 80o%.

Hormon sex

mempunyai 650/o untaian yang homolog. Hipotesisnya


adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen

infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang


limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi
imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan
molekul (mo I ecul ar

imi cry)

Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan


dengan laki-laki, sehingga diduga hormon sex berperanan

dalam perkembangan penyakit

ini.

Pada observasi

didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala AR selama


kehamilan. Perbaikan ini diduga karena : 1. Adanya
aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang

HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop


HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit.
profil hormon. Placental corticotropinreleasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi
dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel
adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap
respon imun selular dan humoral. DHEA merupakan
substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral
(TM) dan menghambat respon imun selular (Thl). Oleh
karena pada AR respon Th I lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan
terhadap perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral
dilaporkan mencegah perkembangan AR atau berhubungan
dengan penurunan insiden AR yang lebih berat.
2. Adanya perubahan

Faktor infeksi. Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai


agen penyebab penyakit seperti tampak pada Tabel 1.
Organisme ini diduga menginfeksi sel induk semang (host)

dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga


mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum
ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai
penyebab penyakit.

FAKTOR RISIKO

Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan


terjadinya AR antara lain jenis kelamin perempuan, ada
riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua,
paparan salisilat dan merokok. Konsumsi kopi lebih dari
tiga cangkir sehari, khususnyakopi dec affeinated mungYin
juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh
dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan
penurunan risiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR
mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama
kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah
melahirkan.

PATOGENESIS
Kerusakan sendi padaAR dimulai dari proliferasi makrofag
dan fibroblas sinovial setelah adatya faktor pencetus,

berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi


daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel,
yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah
pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuanbekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan
yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami
inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus

menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang.


(Gambar 1) Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga
mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik.
(Gambar2 dan 3).

Agen infeksi
Mycoplasma

Parvovirus B19
Retrovirus
Enteric bacteria
Mycobacteria
Epstein-Barr Virus
Bacterial cell walls

Mekanisme patogenik
lnfeksi sinovial langsung,
superantigen
lnfeksi sinovial langsung
lnfeksi sinovial langsung
Kemiripan molekul
Kemiripan molekul
Kemiripan molekul
Aktifasi makrofag

Protein heat shock (HSP)


HSP adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada

semua spesies sebagai respon terhadap stres. Protein ini


mengandung untaian(sequence) asam amino homolog. HSP

tertentu manusia dan HSP mikobakterium tuberkulosis

Gambar 1. Destruksi sendi oleh jaringan pannus

2497

ARTRITIS REUMATOID

AltlGn

ilHC

(? .nl6obe,

GGe

tl

IT

+l

J
EotHeretbn

ndl

.*++
Gambar 2. Patogenesis artritis reumatoid

sfl

co4n

Gambar 3. Peran sitokin dalam patogenesis artritis reumatoid

Peran sel T
Induksi respon sel T pada artritis reumatoid di awali oleh
interaksi antara reseptor sel T dengan share epitope dati
major histocompatibility complex class II (MHCII-SE) dan
peptida pada antigen-presenting cell (APC) sinovium atau

sistemik. Molekul tambahan (accessory) yang


diekspresikan oleh APC antara lain ICAM-I (intracellular adhesion molucle-l) (CD54), OX40L (CD252),
inducible costimulator (ICOS) ligand (CD2'75), B7-l
(CD80) danBl -2 (CD86), berpartisipasi dalam aktivasi sel
T melalui ikatan dengan lymphocyte function-associated
antigen (LFA)-I (CDl 1alCD18), OX40 (CDl 34),

ICOS (CD278), and CD28. Fibroblast-like synoviocytes

(FLS) yang aktif mungkin juga berpartisipasi dalam


presentasi antigen dan mempunyai molekul tambahan
seperti LFA-3 (CD58) dan ALCAM (activated leukocyte
cell adhesion molecule) (CD166) yang berinteraksi dengan
sel T yang mengekspresikan CD2 dan CD6. Interleukin

(IL)-6 dan transforming growth factor-beta (TGF-p)

kebanyakan berasal dari APC aktif, signal pada sel ThlT


menginduksi pengeluaran Il- I 7.

IL-17 mempunyai efek independen dan sinergistik


dengan sitokin proinflamasi lainnya (TNF-u dan IL-lp)
pada sinovium, yang menginduksi pelepasan sitokin,

2498

REUTvIA*IOLOGI

produksi metaloproteinase, ekspresi ligan RANKIRANK


(CD26 5 I CD25 4), dan osteoklasto genesis. Interaksi CD40L

morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. RF juga


bisa mencetuskan stimulus diri sendiri untuk sel B yang
mengakibatkan aktivasi dan presentasi antigen kepada

(CD 1 54) dengan CD40 juga mengakibatkan aktivasi monosit/

makrofag (Mo/Mac) sinovial, FLS, dan sel B. Walaupun


pada kebanyakan penderita AR didapatkan adanya sel T
regulator CD4+CD25hi pada sinovium, tetapi tidak efektif
dalam mengontrol inflamasi dan mungkin di non-aktifkan
oleh TNF-ct sinovial. IL- 10 banyak didapatkan pada cairan
sinovial tetapi efeknya pada regulasi Th I 7 belum diketahui.
Ekspresi molekul tambahanpada sel ThlT yang tampakpada
Gambar 4 adalah perkiraan berdasarkan ekspresi yang
ditemukan pada populasi sel T hewan coba. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk menetukan struktur tersebut
pada subset sel Thl7 pada sinovium manusia.

Peran sel B
Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui
secara pasti, meskipun sejumlah peneliti menduga ada

beberapa mekanisme yang mendasari keterlibatan sel B.


Keterlibatan sel B dalam patogenesis AR diduga melalui
mekanisme sebagai berikut :
l. Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal
kostimulator yang penting urrt:uk clonal expansion dal
fungsi efektor dari sel T CD4+.
2. Sel B dalam membran sinovialAR juga memproduksi
sitokin proinflamasi seperti TNF-o dan kemokin.
3. Membran sinovial AR mengandung banyak sel B yang
memproduksi faktor reumatoid (RF). AR dengan RF

positif (seropositif) berhubungan dengan penyakit


arlikular yang lebih agresif, mempunyai prevalensi
manifestasi ekstraartikular yang lebih tinggi dan angka

lndustiwe Phase

4.

sel Th, yang pada akhirnya proses ini juga akan


memproduksi RF. Selain itu kompleks imun RF juga
memperantarai aktivasi komplemen, kemudian secara
bersama-sama bergabung dengan reseptor Fcg,
sehingga mencetuskan kaskade inflamasi.
Aktivasi sel T dianggap sebagai komponen kunci dalam
patogenesis AR. Bukti terbaru menunjukkan bahwa
aktivasi ini sangat tergantung kepada adanya sel B.
Berdasarkan mekanisme diatas, mengindikasikan bahwa
sel B berperanan penting dalam penyakitAR, sehingga
layak dijadikan target dalam terapiAR.

Gambar 5 memperlihatkanperananpotensial sel B dalam


regulasi respon imun padaAR. Sel B mature yang terpapar
oleh antigen dan stimulasi TLP. (Toll-like receptor ligancl)
akan berdiferensiasi menjadi short-lived plasma cells atau
masuk kedalam reaksi GC (germinal centre) sehingga
berubah menjadi sel B memori dan long-lived plctsma cells

yang dapat memproduksi autoantibodi. Autoantibodi


membentuk kompleks imun yang selanlutnya akan
mengaktivasi sistem imun melalui reseptor Fc dan reseptor
komplemen yang terdapat pada sel target. Antigen yang
diproses oleh sel B mature selanjutnya disajikan kepada
sel T sehinggamenginduksi diferensiasi sel T efektoruntuk

memproduksi sitokin proinflamasi, dimana sitokin ini


diketahui secara langsung maupun tidak langsung terlibat
dalam destruksi tulang dan tulang rawan. Sel B mature juga
dapat berdiferensiasi menjadi sel B yang memproduksi
IL-10 yang dapat menginduksi respon autoreaktif sel T.

.-.llt

FoxP3

//

{,$ysternic or Local)

MHCil-SE

o
4,"3,*.K
I tL-6
@t

Gambar 4. lnteraksi sel Th17 patogenik dalam synovial microenvironment pada artritis reumatoid

Effector Phase

2499

ARTRITISREUM/rtflOID

<*+

f<)larrlrr t
"l. *lls

Gambar 5. Partisipasi sel B pada artritis reumatoid


Sendi yang terlibat pada umumnya simetris, meskipun pada

MANIFESTASI KLINIS

Awitan (onsef)
Kurang lebrh 213 penderita AR, awitan terjadi secara
perlahan, artritis simetris terjadi dalam beberapa minggu
sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang

lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang


lebih cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberapa
minggu. Sebanyak 10-15% penderita mempunyai awitan
fulminant berupa artritis poliartikular, sehingga diag-

nosis AR lebih mudah ditegakkan. Pada

8-15%o

penderita, gejala muncul beberapa hari setelah kejadian

presentasi awal bisa tidak simetris. Sinovitis akan


menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi
deformitas dan kehilangan fungsi. Ankilosis tulang
(destmksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang

yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi


khususnya pada pergelangan tangan dan kaki. Sendi
pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga
sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi

interfalang distal dan sakroiliaka tidak pernah terlibat.


Distribusi sendi yang terlibat pada AR tampak pada
Tabel2.

tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti oleh


kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama
satu jam atau lebih, Beberapa penderita juga mempunyai

gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan,


anoreksia dan demam ringan.

Manifestasi artikular
PenderitaARpada umumnya datang dengan keluhan nyeri
dan kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga
penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa

sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi


(nyeri,bengkak, kemerahan dan teraba hangat) mungkin
ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan
(flare),namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin
tidak dijumpai padaARyang kronik.
Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu

yang terlibal
Metacarpophalangeal (MCP)
Pergelangan tangan
Proximal interphalangeal (PlP)
Lutut
Metatarsophalangeal (MTP)
Pergelangan kaki (tibiotalar + subtalar)
Bahu
Midfoot (tarsus)
Panggul (Hip)
Siku
Acro

ioclavicu lar

Vertebra servikal
Tem poromandibu lar
Sternoclavicular

keterlibatan (%)
85
80
75
75
75
75
60
60
50
50

50
40
30
30

adanya inflamasi pada membran sinovial yang


membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena
adalah persendian tangan, kaki dan verlebra servikal, tetapi
persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa terkena.

Manifestasi Ekstraartiku lar


Walaupun artritis mempakan manifestasi klinis utama,

2500

REUIUANOI.OGI

tetapi AR merupakan penyakit sistemik sehingga banyak


penderita juga mempunyai manifestasi ekastraartikular.
Manifestasi ekastraartikular pada umumnya didapatkan
padapenderita yang mempunyai titer faktorreumatoid (RF)
serum tinggi. Nodul reumatoid merupakanmanifestasi kulit

yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak


memerlukan intervensi khusus. Nodul reumatoid umumnya
ditemukan didaerah ulna, olekranon, jari tatgan, tendon
achilles atau bursa olekranon. Nodul reumatoid hanya
ditemukan pada penderita AR dengan faktor reumatoid

Bentuk deformitas*

Keterangan

Deformitas leher angsa (swanneck)


Deformitas boutonnid re

Hiperekstensi PIP dan


fleksi DIP
Fleksi PIP dan
hiperekstensi DlP.
Deviasi MCP dan jari-jari
tangan kearah ulna
Dengan penekanan
manual akan terjadi
pergerakan naik dan turun
dari ulnar styloid, yang
disebabkan oleh rusaknya
sendi radioulnar.
Fleksi dan subluksasi
sendi MCP I dan
hiperekstensi dari sendi
interfalang
Sendi MCP, PlP, tulang
carpal dan kapsul sendi
mengalami kerusakan
sehingga terjadi instabilitas
sendi dan tangan tampak
mengecil (operetta g/ass

Deviasi ulna
Deformitas kunci piano (pranokev)

positif (sering titernya tinggi) dan mungkin dikelirukan


dengan tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau
nodul yang berhubungan dengan demam reumatik, lepra,

MCTD, atau multicentric reticulohistiocytosis.

Deformitas Z-thumb

Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi beberapa

perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi.


Beberapa manifestasi ekstraarlikuler seperti vaskulitis dan
Felty syndrome jarang drjumpai, tetapi sering memerlukan

Arthritis mutilans

terapi spesifik. Manifestasi ekstraartikularAR dirangkum


dalam Thbel 3.

hanA.
Hallux valgus
Sistem organ
Konstitusional
Kulit

Mata

Kardiovaskular
Paru-paru

Hematologi

Gastrointestina
Neurologi
Ginjal
Metabolik

Manifestasi
Demam, anoreksia, kelelahan (fatigue),
kelemahan, limfadenopati
Nodul rematoid, accelerated
rh e u m atoi d n od u losi s, rh e u m atoi d
vasculiti s, pyoderma gangrenosum,
i nte rstiti a I g ra n u lom ato su s d e rm atiti s
with afthritis, palisaded neutrophilic dan
granulomatosis dermatitis, rhe umatoid
neutrophilic dermatitis, dan adult-onset
Stl// dlsease
Sj og re n sy nd rom e ( keratoconjunctivits
sicca), scleritis, episcleritis,
scleromalacia.
Pericarditis, efusi perikardial,
edokarditis, valvulitis.
Pleuritis, efusi pleura, interstitial
fibrosis, nodul reumatoid pada paru,
Capla n's svnd rome (infiltrat nodular
pada paru dengan pneumoconiosis).
Anemia penyakit kronik, trombositosis,
eosinofilia, Felty syndrome ( AR
dengan neutropenia dan splenomegali)
Sjogre n synd rome (xerostomia),
amyloidosis, vaskulitis
Entrapment neuropathy,
myelopathy/myositis.
Amyloidosis, renal tubular acidosis,
interstitial nephritis
Osteoporosis

MTP I terdesak kearah


medial dan jempol kaki
mengalami deviasi kearah
luar yang terjadi secara
bilateral

.Lihat foto artritis reumatoid

KOMPLIKASI
Dokter harus melakukan pemantauan terhadap adanya
komplikasi yang terjadi pada penderita AR. Komplikasi
yang bisa terjadi pada penderita AR dirangkum dalam
Tabel 5 dan Tabel 6.

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK

Tidak ada tes diagnostik tunggal yang definitif untuk


konfirmasi diagnosis AR. The American College of Rheu-

matology Subcommittee on Rheumaloid Arthritis


(ACRSRA) merekomendasikan pemeriksaan laboratorium
dasar untuk evaluasi antara lain : daruh perifer lengkap
(complete blood cell count), faktor reumatoid (RF), laju
endap darah ata:u C-reactive protein (CRP) Pemeriksaan
fungsi hati dan ginjal juga direkomendasikan karena akan
membantu dalam pemilihan terapi. Bila hasil pemeriksaan

RF dan anti-CCP negatif bisa dilanjutkan dengan

Deformitas
Kerusakan struktur artikular dan periartikular (tendon dan
ligamentum) menyebabkan terjadinya deformitas. Bentuk-

bentuk deformitas yang bisa ditemukan pada penderita


AR dirangkum dalam Tabel4.

pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita AR


yang mempunyai risiko tinggi mengalami prognosis buruk.
Pemeriksaan p encitraan (imaging) yangbisa digunakan
untuk menilai penderita AR antara lain foto polos Qtlain
radiograph) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging).
Pada awal perjalanan penyakit mungkin hanya ditemukan
pembengkakan jaringan lunak atau efusi sendi pada

2501

ARTRITIS REUII{ATOID

Komplikasi

Keterangan

Anemia

Berkorelasi dengan LED dan aktivitas penyakit; 75% penderita AR mengalami anemia karena
penyakit kronik dan 25% penderita tersebut memberikan respon terhadap terapi besi.

Kanker

Komplikasi kardiak

Penyakit tulang belakang


leher (cervical spine
dlsease)
Gangguan mata
Pembentukan fistula
Peningkatan infeksi
Deformitas sendi tangan

Deformitas sendi lainnya

Mungkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan; kejadian limfoma dan leukemia
2 -3 kali lebih sering terjadi pada penderita AR; peningkatan risiko terjadinya berbagai tumor solid;
penurunan risiko terjadinya kanker genitourinaria, diperkirakan karena penggunaan OAINS.
1/3 penderita AR mungkin mengalami efusi perikardial asimptomatik saat diagnosis ditegakkan;
miokarditis bisa terjadi, baik dengan atau tanpa gejala; blok atrioventrikular jarang ditemukan.
Tenosinovitis pada ligamentum transversum bisa menyebabkan instabilitas sumbu atlas, hati-hati

bila melakukan intubasi endotrakeal; mungkin ditemukan hilangnya lordosis servikal

Deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal; deformitas boutonniere (fleksi PIP dan
hiperekstensi DIP); deformitas swan neck (kebalikan dari deformitas boutonniere); hiperekstensi
dari ibu jari; peningkatan risiko ruptur tendon
Beberapa kelainan yang bisa ditemukan antara lain '. frozen shoulder, kista popliteal, sindrom
terowongan karpal dan tarsal.

Komplikasi pernafasan

dan

berkurangnya lingkup gerak leher, subluksasi C4-C5 dan C5-C6, penyempitan celah sendi pada
foto sevikil lateral. Myelopati bisa terjadi yang ditandai oleh kelemahan bertahap pada ekstremitas
atas dan parestesia
Episkleritis jarang terjadi
Terbentuknya sinus kutaneus dekat sendi yang terkena, terhubungnya bursa dengan kulit.
Umumnya merupakan efek dari terapi AR.

bisa
s
pada

ada

dengan
den
; fibrosi
old

pembentukan lesi kavitas; Bisa ditemukan


uara serak dan nyeri pada laring; pleuritis

bisa ditandai dengan adanya ronki pada

pemeriksaan fisik (selengkapnya lihat Tabel 6).


Nodul reumatoid

Ditemukan pada 20 -35% penderita AR, biasanya ditemukan pada permukaan ekstensor
ekstremitas atau daerah penekanan lainnya, tetapi bisa juga ditemukan pada daerah skler'b, pita
suara, sakrum atau vertebra

Bentuk kelainannya antara lain : arteritis distal, perikarditis, neuropati perifer, lesi kutaneus,
arteritis organ viscera dan arteritis koroner; terjadi peningkatan risiko pada : penderita perempuan,
titer RF yang tinggi, mendapat terapi steroid dan mendapat beberapa macam DMARD;
berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya infark miokard.

Vaskulitis

PIP = proximat interphalangeal; DIP = distal interphalangeal; RF = rheumatoid factor

Pleural disease
Pleural effusions, Pleural fibrosi
lnterstitial lung disease
Usual interstitial pneumonia, Nonspecific interstitial pneumonia, Organizing pneumonia, Lymphocytic interstitial
pneumonia, Diffuse alveolar damage, Acute eosinophilic pneumonia, Apical fibrobullous disease, Amyloid, Rheumatoid
nodules
Pulmonary vascular disease
Pulmonary hypertension, Vasculitis, Diffuse alveolar hemorrhage with capillaritis
Secondary pulmonary complicatlons

.
.

O p poftu n i

stic i nfe ctio n s

Pulmonary tuberculosis, Atypical mycobacterial infections, Nocardiosis, Aspergillosis, Pneumocystis jeroveci


pneumonia, Cytomegalovirus pneumonitis
Drug toxicity
Methotrexate, Gold,D-penicillamin,Sulfasalazin

pemeriksaan foto polos, tetapi dengan berlanjutnya


penyakit mungkin akan lebihbanyak ditemukan kelainan.
Osteopenia juxtaarticular adalah karakteristik untuk AR
dan chronic inJlammatory qrthritides lainnya. Hilangnya

tulang rawan artikular dan erosi tulang mungkin timbul


setelah beberapa bulan dari aktivitas penyakit. Kurang
lebih 70% penderitaAR akan mengalami erosi tulang dalam
2 tahun pertama penyakit, dimana hal ini menandakan
penyakit bedalan secara progresif. Erosi tulang bisa tampak
pada semua sendi, tetapi paling sering ditemukan pada
sendi metacarpophalangeal, metatarsophalangeal dan

pergelangan tangat. Foto polos bermanfaat dalam


membantu menentukan prognosis, menilai kerusakan
sendi secara longitudinal, dan bila diperlukan terapi
pembedahan. Pemeriksaan MRI mampu mendeteksi adanya

erosi lebih awal bila dibandingkan dengan pemeriksaan


radiografi konvensional dan mampu menampilkan stmktur
sendi secara rinci, tetapi membutuhkan biaya yang lebih
tinggi. Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk AR
dirangkum pada Tabel 7 dan perbandingan sensitivitas
dan spesifisitas pemeriksaan autoantibodi pada AR
tampak pada Tabel 8.

2502

REI.JMAIOI.OGI

Pemeriksaan penunjang
C-reactive protein (CRP).
Laju endap darah (LED).
Hemoglobi n/hematokrit*
Jumlah lekosit*
Jumlah trombosit.
Fungsi hati.
Faktor reumatoid (RFf

Penemuan yang berhubungan

Umumnya meningkat sampai > 0,7 picogram/ml, bisa digunakan untuk monitor
perjalanan penyakit.
Sering meningkat > 30 mm/jam, bisa digunakan untuk monitor perjalanan penyakit
Sedikit menurun, Hb rata-rata sekitar 10 g/dl, anemia normokromik, mungkin juga
normositik atau mikrositik
Mungkin meningkat
Biasanya meningkat
Normal atau fosfatase alkali sedikit meningkat.
Hasilnya negatif pada 30% penderita AR stadium dini. Jika pemeriksaan awal negatif
dapat diulang setelah 6 12 bulan dari onset penyakit. Bisa memberikan hasil positif
padd beberapa penyakit seperti SLE, skleroderma, sindrom Sjogren's, penyakit
keganasan, sarkoidosis, infeksi (virus, parasit atau bakteri). Tidak akurat untuk
penilaian perburukan penyakit.

Foto polos sendi*

Mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada
stadium dini penyakit. Foto pergelangan tangan dan pergelangan kaki penting untuk
data dasar, sebagai pembanding dalam penelitian selanjutnya.

MRI

Mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos,
tampilan struktur sendi lebih rinci.

Anti cycl i c citru

I I i n ated pe
antibody (antiCCP)

pti de

Anti-RA33
Anti n u cl e a r a nflbody (ANA)

Konsentrasi komplemen
lmunoglobulin (lg)
Pemeriksaan cairan sendi
Fungsi ginjal
Urinalisis

Berkorelasi dengan perburukan penyakit, sensitivitasnya meningkat bila dikombinasi

dengan pemeriksaan RF. Lebih spesifik dibandingkan dengan

RF Tidak

semua

laboratorium mempunyai fasilitas pemeriksaan anti-CCP


Merupakan pemeriksaan lanjutan bila RF dan anti-CCP negatif
Tidak terlalu bermakna untuk penilaian AR
Normal atau meningkat.
lg o-1 dan o-2 mungkin meningkat.

Diperlukan bila diagnosis meragukan. Pada AR tidak ditemukan kristal, kultur negatif
dan kadar glukosa rendah
Tidak ada hubungan langsung dengan AR, diperlukan untuk memonitor efek samping
terapi.
Hematuria mikroskopik atau proteinuria bisa ditemukan pada kebanyakan penyakit

jaringan ikat.
* Direkomendasikan
untuk evaluasi awal AR

Autoantibodi
RF titer tinggi
50 U/ml)

(>

Anti-CCP
Anti-RA33
*PPV

Sensitivitas Spesifisitas PPV.


45

96

92

41

9B

28

90

96
74

= posltiye predictive value

KRITERIA DIAGNOSTIK
Pada penelitian klinis, AR didiagnosis secara resmi dengan
menggunakan tujuh lffiteria daiAmerican College of Rheumatology seperti tampak pada Tabel 9. Pada penderitaAR

stadium awal (early) mungkin sulit menegakkan diagnosis


definitifdengan menggunakan kriteria ini. Pada kunjungan

awal, penderita harus ditanyakan tentang derajat nyeri,


durasi dari kekakuan dan kelemahan serta keterbatasan
fungsional. Pemeriksaan sendi dilakukan secara teliti untuk
mengamati adanya ciri-ciri seperti yang disebutkan diatas.
Liao dkk30 melakukan modifikasi terhadap kriteria ACR
dengan memasukkan pemeriksaan anti-CCP dan membuang

kriteria nodul reumatoid dan perubahan radiologis,


sehingga jumlah kriteria menjadi enam. Diagnosis AR
ditegakkan bila terpenuhi 3 dari 6 kriteria. Kriteria
diagnosis ini ternyata memperbaiki sensitivitas dari kriteria
ACR(74%: 51%),tetapi spesifisitasnya lebih rendah dari

kdteriaACR(81%:91%).

DIAGNOSIS BANDING

AR harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya


seperti aftropati reaktif yang berhubungan dengan infeksi,
spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat
lainnya seperti lupus eritematosus sistemik (LES), yang
mungkin mempunyai gejala menyerupai AR. Adanya
kelainan endokrin juga harus disingkirkan. Artritis gout
jarang bersama-sama denganAR, bila dicurigai ada arhitis
gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan.

PROGNOSIS
Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara
lain : skor fungsional yang rendah, status sosialekonomi

2503

ARTRITIS REUMIITOID

Definisi
Ada
Kaku pagi hari (morning
stlffness)
Artritis pada 3 persendian
atau lebih

Kekakuan pada sendi dan sekitarnya yang berlangsung


paling sedikit selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.

39

14

sendi secara bersamaan menunjukkan


pembengkakan jaringan lunak atau efusi (bukan hanya

32

'13

Paling sedikit

periumbuhan tulang saja) yang diobservasi oleh seorang

dokter Ada 14 daerah persendian yang mungkin terlibat

yaitu

: PlP, MCP,

pergelangan tangan, siku, lutut,

pergelangan kaki dan MTP kanan atau kiri.


Artritis pada persendian
tangan
Artritis yang simetrik

Nodul reumatoid

Faktor reumatoid serum


positif

Paling sedikit ada satu pembengkakan (seperti yang


atau PlP.
Keterlibatan sendi yang sama pada kedua sisi tubuh secara
bersamaan (keterlibatan bilateral sendi PlP, MCP atau MTP
dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris)'
Adanya nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang,
permukaan ekstensor atau daerah juxtaartikular yang
diobservasi oleh seorang dokter
Adanya titer abnormal faktor reumatoid serum yang

29

50

25

diperiksa dengan metode apapun, yang memberikan hasil


positif <

Perubahan gambaran
radiologis

12

disebutkan diatas) pada sendi : pergelangan tangan, MCP

5o/o

pada kontrol subyek normal

Terdapat gambaran radiologis yang khas untuk artritis

reumatoid pada

foto

21

posterioanterior tangan dan

pergelangan tangan, berupa

erosi

ikasi tulang

yang terdapat pada sendi atau d


dengan sendi (perubahan akibat

berdekatan
saja tidak

memenuhi persyaratan)
* Diasumsikan bahwa probabilitas keseluruhan (overall probability) untuk AR adalah 30%
- Diagnosis ditegakkan bila memenuhi 4 atau lebih dari kriteria di atas, kriteria 1 - 4 sudah berlangsung minimal selama 6 minggu

rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga


dekat menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP
atau LED tinggi saat pennulaan penyakit, RF atau antiCCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit,

Setiap kunjungan, evaluasi bukti subyektif and obyektif untuk


penyakit aktif
- Derajat nyeri sendi (diukur dengan visual analog scale

ada nodul reumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya'


Sebanyak 30% penderitaAR dengan manifestasi penyakit
berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun

- Durasi kaku pagi hari


- Durasi kelelahan
- Adanya inflamasi sendi aktif pada pemeriksaan

sudah mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan


penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan

Evaluasi secara rutin terhadap aktivitas atau progresivitas

respon yang baik dengan terapi. Penelitian yang dilakukan

penyakit

oleh Lindqvist dkk pada penderita AR yang mulai tahun


I 9 8 0-an, memperlihatkan tidak adanya peningkatan angka
mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah
diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada
penderitaAR dibandingkan dengan populasi umum adalah
1,6. Tetapi hasil

ini mungkin akan menurun

setelah

penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.

(vAS)

fisik

(umlah nyeri tekan dan bengkak pada sendi)


Keterbatasan fungsi

Bukti progresivitas penyakit pada pemeriksaan fisik


(keterbatasan gerak, instabilitas, malalignment dan/atau

deformitas)
Peningkatan LED atau CRP

Perburukan kerusakan radiologis pada sendi yang

terlibat
Parameter lain untuk menilai respon terapi
Physician's g/obal assessment of disease activity
Patient's g/obal assessment of disease activity
Penilaian status fungsional atau kualitas hidup
dengan menggunakan kuesioner standar

PEN I LAIAN AKTIVITAS PENYAKIT

Setiap kunjungan penderita AR, dokter harus menilai


apakah penyakitnya aktif atau tidak aktif (Tabel 10). Gejala
penyakit inflamasi sendi seperti kaku pagi hari, lamanya
kelelahan ffatigue) dan adanya sinovitis aktif pada

pemeriksaan sendi, mengindikasikan bahwa penyakit

dalam kondisi aktif sehingga perubahan program terapi


perlu dipertimbangkan. Kadang-kadang penemuan pada
pemeriksaan sendi saja mungkin tidak adekuat dalam

penilaian aktivitas penyakit dan kerusakan struktur,


sehingga pemeriksaan LED atau CRP, demikian juga

2504

REUMAIOI.OGI

radiologis harus dilakukan secara rutin. Status fungsional


bisa dinilai dengan kuesioner, seperti Arthritis Impact
Measurement Scale atau Health Assessment Question-

naire. Perlu ditentukan apakah penurunan status

fungsional akibat inflamasi, kerusakan mekanik atau


keduanya, karena strategi terapinya berbeda.

Ada beberapa instumen yang digunakan untuk


mengukur aktivitas penyakit AR antara lain : Disease
Activity Index including an 28-joint count (DAS28),
Simplified Disease Activity Index (SDAI), European

DAS28 dibandingkan dengan nilai sebelum pengobatan


dimulai. Terdapat korelasi yangjelas antara nilai rata-rata
DAS28 dengan jumlah kerusakan radiologis yang terjadi
selama periode waktu tertentu. DAS28 dan penilaian
aktivitas penyakit (tinggi atau rendah) telah divalidasi.
Dalam praktek sehari-hari pengukuran DAS28 dapat
dilakukan dengan menggunakan rumus

= 0.56{(tender28) + 0.28 x
0.70xtn@SR)+0.014xGH
DAS28

(swollen28) +

League Against Rheumatism Response Criteria


(EULARC), Modified Health Assessment Questionnaire
(M-HAO dan Clinical Disease Activity Index (CDAI).
Parameter-parameter yang diukur dalam instrumen tersebut
antara lain :

l.
2.

knder Joint Count (TJC) : penilaian adanya nyeri tekan


pada 28 sendi.

Keterangan
Tender 28

nyeri tekan pada 28 sendi,


Swollen 28 : pembengkakan pada 28 sendi,
ESR: laju endap darah dalam I jampertama,
GIJ: Patient's assessment of general health diukur
denganVAS

Swollen Joint Count (SJC) : penilaian pembengkakan


pada 28 sendi.

3.
4.

Penilaian derajat nyeri oleh pasien : diukur dengan


Wsual Analogue Scale (VAS, skala 0 -10 cm).
Patient global assessment of disease activity (PGA) :
penilaian umum oleh pasien terhadap aktivitas penyakit,
diukur dengan Visual Analogue Scale (VAS, skala 010cm).

5. Physician global

6.

KRITERIA PERBAIKAN
American College Of Rheumatology (ACR) membuat
kriteria perbaikan untukAR, tetapi kriteia ini lebih banyak
dipakai untuk menilai outcome dalam uji klinik dan tidak
dipakai dalam praktek klinik sehari-hari. Kriteria perbaikan

assessment of disease activity


(MDGA) : penilaianumumolehdoktert e r h a d a p
aktifitas penyakit, diukur dengan Visual Analogue

jumlah nyeri tekan dan bengkak sendi disertai perbaikan


20o/o terhadap 3 dari 5 parameter yaitu '. patient s global

Scale (VAS, skala 0 - 10 cm).

as s es

Penilaian fungsi fisik oleh pasien : instrumen yang

oleh pasien, penilaian disabilitas oleh pasien dan nilai

sering digunakan adalah HAQ (Health A s s e s s m e n I


Qu e s ti o nnair e)

atauM-HAQ (Mo d ifi e d H e al th As s e s s m en t

ACR 20% (ACR20) didefinisikan sebagai perbalkan2}o/o

sment, physician's glob al as s es sment,

petllaian nyeri

reaktan fase akut. Kriteria ini juga diperluas menjadi kriteria

perbaikan

50%o dan

0o/, (ACR5 0 dan

ACR70)

Questionnaire).

7. Nilai

acute-phase reactants : yaitu kadar C-reactive


protein (CRP) ataunilai laju endap darah(LED)

DAS28 cukup praktis digunakan dalam praktek seharihari. Perhitungan DAS 28 (DAS28-LED) menghasilkan skala

0-9,84 yang menunjukkan aktivitas penyakit seorang


penderita AR pada saat tertentu. Nilai ambang batas
aktivitas penyakit berdasarkan skor DAS28-LED dan
DAS28-CRP tampak pada Tabel 11.
Kelebihan DAS28 adalah selain dapat digunakan dalam
praktek sehari-hari, juga bermanfaat untuk melakukan
titrasi pengobatan. Keputusan pengobatan dapat diambil
berdasarkan nilai DAS28 saat itu atau perubahan nilai

Kriteria remisi
Menurut kriteriaACR, AR dikatakan mengalami remisi bila
memenuhi 5 atau lebih dari kriteria dibawah ini dan
berlangsung paling sedikit selama 2bulanberhrrut-turut :
1. Kaku pagi hari berlangsung tidak lebih dari l5 menit

2. Trdakadakelelahan
3. Tidak ada nyeri sendi (melalui anamnesis)
4. Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak pada sendi
5. Tidak ada pembengkakanjaringan lunak atau sarung
6.

tendon
LED < 30 mm/jam untukperempuan atau < 20 mm/jam
untuk laki-laki (dengan metode Westergren)

TERAPI
Aktivitas
penyakit

Nilai DAS28-LED

Nilai DAS28-CRP

Remisi

< 2,6
< 3,2

< 2,3

> 3,2 s/d s 5,1


> 5,1.

> 2,7 sld

Rendah
Sedang
Tinggi

sejak timbulnya gejala, terapi sedini mungkin akan

<r7
> 4,1

Destruksi sendi padaAR dimulai dalam beberapa minggu

4,1

menurunkan angka perburukan penyakit. Oleh karena itu


sangat penting untuk melakukan diagnosis dan memulai
terapi sedini mungkin. ACRSRAmekomendasikan bahwa

2s05

ARTRITIS REUMATOID

Penderita dengan penyakit ringan dan hasil

penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3


bulan sejak timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis

pemeriksaan radiologis normal, bisa dimulai dengan terapi


hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat, sulfasalazin atau
minosiklin, meskipun methotrexate (MTX) juga menjadi
pilihan. Penderita dengan penyakit yang lebih berat atau

dan inisiasi terapi DMARDs (Disease-modfying


antirheumatic drugs). Modalitas terapi untuk AR meliputi
terapi non farmakologik dan farmakologik.
Tujuan terapi pada penderita AR adalah

ada perubahan radiologis harus dimulai dengan terapi


MTX. Jika gejala tidak bisa dikendalikan secara adekuat,

1. Mengurangi nyeri
2. Mempertahankan status fungsional
3. Mengurangi inflamasi
4. Mengendalikan keterlibatan sistemik
5. Proteksi sendi dan struktur ekstraarlikular
6. Mengendalikan progresivitas penyakit

maka pemberian leflunomide, azathioprine atau terapi


kombinasi (MTX ditambah satu DMARD yang terbaru)
bisa diperlimbangkan. Katagori obat secara individual akan
dibahas dibawah ini.

OAINS
OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi
nyeri dan pembengkakan. Oleh karena obat-obat ini
tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak boleh

7. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi

TERAPI NON FARMAKOLOGIK


Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada
penderita AR. Terapi puasa, suplementasi asam lemak
esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan hasil yang
baik. Pemberian suplemen minyak ikan (cod liver oil)bisa
digunakan sebagai NSAID-sparing agents pada penderita
AR. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin

digunakan secara tunggal. Penderita AR mempunyai risiko


dua kali lebih sering mengalami komplikasi serius akibat

penggunaan OAINS dibandingkan dengan penderita


osteoartritis, oleh karena itu perlu pemantauan secara ketat
terhadap gej ala efek samping gastrointestinal.

Glukokortikoid

dalam perawatan penderita, bisa memberikan manfaat jangka


pendek. Penggunaan terapi herbal, acupuncture dan splint-

Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednison kurang


dari 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala

izg belum didapatkan bukti yang meyakinkan.

dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Dosis steroid


harus diberikan dalam dosis minimal karena risiko tinggi
mengalami efek samping seperli osteoporosis, katarak, gejala

Pembedahan harus dipertimbangkan bila : 1. Terdapat


nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi

yang ekstensif, 2. Keterbatasan gerak yang bermakna atau


keterbatasan fungsi yang berat, 3. Ada ruptur tendon.

TERAPI FARMAKOLOGIK
Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi

obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) untuk


mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau
intraartikular dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin
digunakan seperti acetaminophen, opiat, diproqualone dan
lidokain topikal. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik

untuk AR menggunakan pendekatan piramid yaitu

pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai saat


diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau
penambahan terapi hanya diberikan bila terjadi perburukan
gejala. Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse

pyramid) lebih disukai, yaitu pemberian DMARD sedini


mungkin untuk menghambat perburukan penyakit.
Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat
dari beberapa penelitian yaitu : l kerusakan sendi sudah

terjadi sejak awal penyakit; 2. DMARD memberikan


manfaat yang bermakna bila diberikan sedini mungkin; 3.
Manfaat DMARD bertambah bila diberikan secara
kombinasi; 4. Sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia
dan terbukti memberikan efek menguntungkan.

Cushingoid, dan gangguan kadar gula darah. ACR


merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi
glukokorlikoid harus disertai dengan pemberian kalsium
1500 mg dan vitamin D 400 800 IU per hari. Bila artritis
hanya mengenai satu sendi dan mengakibatkan disabilitas
yang bermakna, maka injeksi steroid cukup aman dan efektif
walaupun efeknya bersifat sementara. Adanya artrltis infeksi

harus disingkirkan sebelum melakukan injeksi. Gejala


mungkin akan kambuh kembali bila steroid dihentikan,
terutama bila menggunakan steroid dosis tinggi, sehingga
kebanyakan Rheumatologr,s/ menghentikan steroid secara
perlahan dalam satu bulan atau lebih, untuk menghindari
rebound ffict. Steroid sistemik sering digunakan sebagai
bridging therapy selama periode inisiasi DMARD sampai
timbulnya efek terapi dari DMARD tersebut, tetapi DMARD
terbaru saat ini mempunyai mula kerja relatif cepat.

DMARD
Pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua

penderita AR. Pemilihan jenis DMARD harus

mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit,


pengalaman dokter dan adanya penyakit penyerta.
DMARD yang paling umum digunakan adalah MTX,
hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin,
leflunomide, infliximab dan etanercept. Sulfasalazin atau
hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan

2506

REI,,IM'ITOII)GI

sebagai terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat,

IgGl anti-TNF-a antibody.


Penderita AR dengan respons buruk terhadap MTX,
mempunyai respon yang lebih baik dengan pemberian
yang merupakan chimeric

MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai


terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukkan bahwa
kombinasi DMARD lebih efektif dibandingkan dengan
terapi tunggal. Perempuan pasangan usia subur

infliximab dibandingkan plasebo. Adalimumabuga


merupakan rekombinan human IgGl antibody,
yang mempunyai efek aditif bila dikombinasi dengan

(childbearing) harus menggunakan alat kontrasepsi yang


adekuat bila sedang dalam terapi DMARD, oleh kerena

MTX.58 Pemberian antagonis TNF berhubungan dengan

DMARD membahayakan fetus.

peningkatan risiko terjadinya infeksi, khususnya

Leflunomide bekerja secara kompetitif inhibitor

reaktivasi tuberkulosis.

terhadap enzim intraselular yang diperlukan untuk sintesis

Anakinra adalah rekombinan antagonis reseptor


interleukin-1. Beberapa uji klinis tersamar ganda

pirimidin dalam limfosit yang teraktivasi. Leflunomide


memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur
secara radiologis dan juga mencegah erosi sendi yang
baru pada 80% penderita dalam periode 2 tahun. Antagonis

mendapatkan'bahwa anatinra lebih efektif dibandingkan

dengan plasebo, baift aiUerikan secara tunggal


maupun dikombinasi dengan MTX. Efek sampingnya
antara lain iritasi kulit pada tempat suntikan, peningkatan
risiko infeksi dan leukopenia. Rituximab merupakan
antibodi terhadap reseptor permukaan sel B (anti-CD2O)
menunjukkan efek cukup baik.Antibodi terhadap reseptor
interleukin-6 juga sedang dalam evaluasi. Jenis-jenis
DMARD yang digunakan dalam terapi AR dirangkum

TNF menurunkan konsentrasi TNF-o,, yarrg

konsentrasinya ditemukan meningkat pada cairan sendi

penderita AR. Etanercept adalah suattt soluble


TNF-receptor fusion protein, dimana efek jangka
panjangnya sebanding dengan MTX, tetapi lebih cepat
dalam memperbaiki gejala, sering dalam 2 minggu
terapi. Antagonis TNF yang lain adalah infliximab,

DMARD

dalam Tabel 12.

Dosis

Mekanisme kerja

Waktu
Timbulnya
Respons

Efek Samping

NON BIOLOGIK

(Konvensional)
Menghambat: sekresi
sitokin, enzim lisosomal
dan fungsi makrofag

Methotrexate

nhibitor dihidrofolat
reduktase,
menghambat
kemotaksis, efek antiinflamasi melalui
induksi pelepasan
adenosin

7,5 - 25 mg p.o, lM
atau SC per minggu

1-2 bulan

Sulfasalazln

Menghambat : respon
sel B, angiogenesis

2 -3 gr p.o. per hari

Azathioprine
(lmuran)

Menghambat sintesis
DNA

50- 150 mg

Leflunomide
(Arava)

Menghambat sintesis
pirimidin

100 mg p.o. per


selama 3 hari
kemudian 10 - 20
mg p.o. per hari

Cyclosporine

Menghambat sintesis
lL-2 dan sitokin sel T
lainnya

2,5 - 5 mg/kgBB
per hari

(Mrx)

200 -400 mg p.o.

Hidroksiklorokuin
(Plaquenil),
Klorokuin fosfat

per hari
250 mg p.o. per hari

p.o.per

- 6 bulan

- 3 bulan

2 - 3 bulan

hari

hari

4 -12 minggu

p.o.

2-4bulan

Mual, sakit kepala, sakit


perut, myopati, toksisitas
pada retina

Mual, diare, kelemahan,


ulkus mulut, ruam, alopesia,
gangguan fungsi hati,
penurunan leukosit dan
trombosit, pneumonitis,
sepsis, penyakit hati, limfoma
yahg berhubungan dengan
EBV, nodulosis
Mual, diare, sakit kepala,
ulkus mulut, ruam, alopesia,
mewarnai lensa kontak,
oligospermia reversibel,
gangguan fungsi hati,
leukopenia
Mual, leukopenia, sepsis,
limfoma
Mual, diare, ruam, alopesia,
sangat teratogenik meskipun
obat telah dihentikan,
leukopenia, hepatitis,
trombositopenia
Mual, parestesia, tremor,
sakit kepala, hipertrofi gusi,
hipertrikosis, hipertensi,
gangguan ginjal, sepsis

2507

ARTRITIS REUMATOID

Waktu

Mekanisme kerja

DMARD

Efek samping

timbulnya
respons

.
.
.

D-Penicillamine
(Cuprimine)

Menghambat fungsi
sel T helper dan
angrogenesis

250 -750 mg p.o.


per hari

6 bulan

Mual, hilangnya rasa kecaP,


penurunan trombosit yang
reversibel

Garam emas
thiomalate
(Myochrysine)

Menghambat :
makrofag,
angiogenesis dan
protein kinase C
Menghambat
makrofag dan fungsi

25-50mglM

- 8 minggu

- 6 bulan

Ulkus mulut, ruam, gejala


vasomotor setelah injeksi,
leukopenia, trombositoPenia,
proteinuria, kolitis
Diare, leukopenia

Auranofin
(Ridaura)

PMN

BIOLOGIK

.
o

setiap2-4minggu
3 mg p o. 2 kali per
hari atau 6 mg p.o.
per hari

Beberapa hari

Adalimumab
(Humira)

Antibodi TNF
(human)

40 mg SC setiap
mrnggu

- 4 bulan

Anakinra
(Kineret)

Antagonis reseptor

100- 150 mg SC
per hari

mrnggu

Etanercept
(Enbrel)

Reseptor TNF
terlarut (so/uble)

tL-1

25 mg SC
2 kali per minggu
atau 50 mg SC per

12-24

Beberapa hari
12 minggu

mrnggu

.lnfliximab
(Remicade)

Antibodi TNF
(chimeric)

3 mg/kgBB lV (infus
pelan) pada minggu
ke- 0, 2 dan 6
kemudian setiap B

Reaksi infus, peningkatan


risiko infeksi termasuk
reaktifasi TB, gangguan
demyelinisasi
lnfeksi dan penurunan
jumlah netrofil, sakit kePala,
pusing, mual,
h ipersensitivitas
Reaksi ringan pada tempat
suntikan, kontraindikasi
pada infeksi, demYelinisasi

Beberapa hari
- 4 bulan

Reaksi infus, peningkatan"


risiko infeksi termasuk
reaktivasi TB, gangguan
demyelinisasi
Reaksi infus, aritmia
jantung, hipertensi, infeksi,
reaktivitas hePatitis B,
sitopenia, reaksi
hipersensitivitas
Reaksi infus, infeksi, reaksi
hipersensitivitas, eksasebasi
COPD

mrnggu

. Rituximab
(Rituxan,

.
.

Mabthera)

Abatacept
(Orencia)

Belimumab

Antibodi anti-sel B
(CD20)

1000 mg setiap 2
minggu x 2 dosis

3 bulan.

Menghambat
aktivitas sel T
(costimulation
blockers\
humanized
monoclonal antibodY
terhadap Blymphocyte
sflmulator (BlyS)

10 mg/kgBB (500,
750 atau 1000 mg)
setiap 4 minggu

6 bulan*

1 mg, 4 mg aiau 10
mg/kgBB lV pada
hari 0,14,28
kemudian setiap 28
hari selama 24

24 minggu-

Uji klinis fase ll

24 minggu.

Uji klinis fase lll (OPTION


trial)

4 minggu*

Uji klinis fase ll

3 bulan*

Uji klinis fase ll

6 bulan.

Uji Klinis fase ll

4 minggu.

Uji klinis fase ll

24 minggu"

Uji Klinis fase ll

mrnggu

.
.

Tocilizumab
(Actemra TM)

Anti-lL-6 recePtor

4 mg atau 8

MAb

Ocrelizumab

humanized antiCD20 antibody

lmatinib
(Gleevec)
Denosumab

lnhibitor Protein
tirosin kinase
human monoclonal
lgG2 antibodY
terhadaP RANKL
human
anti-TNF-q antibodY

mg/kgBB infus
setiap 4 minggu
10 mg, 50 mg, 200
mg, 500 mg, dan
1000 mg infus pada
hari 1 dan 15
400 mg per hari

Pegol
(CDP87O)

Certolizumab

Ofatumumab (HuMax-

cD20)

human monoclonal

antiCD20 lgGl
antibody

60 mg atau 180m9
SC setiap 6 bulan
selama 1 tahun
1 mg; 5 mg atau 20
mg/kgBB infus
tunggal
300 mg, 700 mg
atau 1000 mg infus
pada hari 0 dan 14

2508

REUMANOI.GI

Mekanisme kerja

o Atacicept

Waktu
Timbulnya
respons
70 m9,210 mg, atau 3 bulan.
630 mg SC dosis
tunggal atau 70 mg,
210 mg atau 42O mg
SC dosis berulang
setiap 2 minggu
50 mg atau 100
16 mingguSC setiap 2 atau 4

Recombi nant fusion protein


yang mengikat dan
menetralkan B lymphocyte
stlmulator (BlyS dan a
p rol ife rati on -i n d uc i ng I ig an d
(APRTL)

Golimumab

Fontolizumab

mg

Fully human protein


(antibody) yang mengikat
TNF-o
h u m a n i se

d a nti -i nte ie

ro

mrnggu

Efek samping

Uji klinis fase lb

Uji klinis fase ll (Uji


klinis fase Ill mulai
Februari 2006-Juli
2012)

gamma antibody
-

w"lJy terpendek yang ditetapkan oleh peneliti untuk mengevaluasi respon terapi
lM = intramuscular; lV = intravenous; p.o. = per oral; SC = subcutan; gBV Epstein-Barr Virus; MMps matrix
=
=
pMN
metalloproteinases;
TB = tuberkulosis;

= polymorphonuclear; MAb =

Terapi Kombinasi
Banyak penelitian memperlihatkan bahwa efikasi
terapi kombinasi lebih superior dibandingkan

PEMANTAUAN KEAMANAN TERAPI DMARD


Sebelum pemberian DMARD perlu dilakukan evaluasi dasar
terhadap keamanan pemberian DMARD tersebut. ACR
merekomendasikan evaluasi dasar yang harus dilakukan
sebelum memberikan terapi DMARD antara lain: darah perifer

dengan terapi tunggal, tanpa memperbesar toksisitas.


Regimen terapikombinasi yang efektif dan aman digunakan
untuk penderita AR aktif yang tidak terkontrol adalah salah

lengkap (complete blood counts), kreatinin serum dan


transaminase hati. Untuk pemberian hidroksiklorokuin atau

satu dari kombinasi berikut : MTX + hidroksiklorokuin,

MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine, MTX +

klorokuin fosfat perlu dilakukan pemeriksaan oftalmologik


berupa pemeriksaan retina dan lapangan pandang.
Sedangkan penderita yang mendapat methotrexate dan
leflunomide perlu pemeriksaan tambahan yail:u screening
terhadap hepatitis B dan C. (Tabel 13) Setetah DMARD
diberikan perlu dilakukan pemantauan secara berkala
untuk mengidentifikasi sedini mungkin adanya toksisitas.

sulfasalazine * prednisolone, MTX + leflunomide, MTX +


infliximab, MTX + etanercept, MTX+ adalimumab, MTX
* anakinra, atau MTX + rituximab.
Penderita AR yang memberikan respons suboptimal
dengan terapi MTX saja, akan memberikan respons yang

lebih baik bila diberikan regimen terapi kombinasi.


Terapi kombinasi juga efektif dalam menghambat
progresivitas penyakit dan kerusakan radiografi, terutama
untuk regimen terapi kombinasi MTX + inhibitor TNF, tetapi

REKOMENDASI KLINIK

harganya jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan


regimen kombinasi MTX + hidroksiklorokuin atau

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh dokter dalam


klinik sehari-hari

sulfasalazine.

penanganan penderita AR dalam praktek


tampak dalam Tabel 14.

Jenis DMARD

Pemeriksaan
Kreatinin
Hepatitis
serum
BdanC

cBc*

Transaminase
hati

X
X

X
X
X
X

Non biologik
H idroksiklorokuin/
Klorokuin fosfat
Leflunomide
Methotrexate
Minocycline
Sulfasalazine

X
X
X

Biologik
Semua agen biologik
.CBC

= complete blood counts

Oftalmologik

2509

ARTRITIS REUMATOID

Tingkat bukti
(evidence rating)

Rekomendasi klinik
Penderita AR harus diterapi sedini mungkin dengan DMARD untuk mengontrol gejala dan
menghambat perburukan Penyakit'

Penderita dengan inflamasi sendi persisten

lebih dari 6

- 8 minggu)

yang sudah

mendapat terafii analgetik atau OAINS harus dirujuk ke insitusi rujukan reumatologi, lebih
baik sebelum 12 minggu.
a

Melakukan edukasi satu per satu untuk penderita AR setelah diagnosis ditegakkan.

oAINS untuk meredakan gejala harus diberikan dengan dosis rendah dan

harus

diturunkan setelah DMARD mencapai respons yang baik'

Gastroproteksi harus diberikan pada penderita usia > 65 tahun atau ada riwayat ulkus
peptikum.

lnjeksi kortikosteroid intra-artikular bermanfaat, tetapi tidak diberikan lebih dari 3 kali dalam
setahun.

Kortikosteroid dosis rendah efektif mengurangi gejala tetapi mempunyai risiko tinggi
terjadinya toksisitas, oleh kerena itu berikan dosis paling rendah dengan periode
pemberian yang pendek.
Kombinasi terapi lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal'
a

Efikasi terapi harus dimonitor, perubahan hemoglobin, LED dan CRP merupakan indikator
respon terapi dan penggunaan instrumen kriteria respon dari European League Against
Rheumatism bermanfaat untuk menilai perburukan penyakit'

Pendekatan secara multidisiplin bermanfaat, paling tidak dalam jangka pendek, oleh
karena itu penderita harus bisa mendapatkan perawatan profesional secara luas, yang
meliputi dokter pelayanan primer, ahli reumatologi, perawat khusus, ahli terapi fisik, ahli

occupational, ,nti giii, ahli perawatan kaki (podratnsts), ahli farmasi dan pekerja sosial
Latihan bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas aerobik dan kekuatan otot tanpa
memperburuk aktivitas penyakit atau derajat nyeri

FOTO ARTRITIS REUMATOID

Foto 1. Pembengkakan PIP

Foto 4. Deformitas boutonnidre dengan


nodul reumatoid multiPel

Foto 2. Erosi sendi

Foto 3. Deformitas leher angsa (swan


neck)

Foto 5. Deviasi ulna

Foto 6. Deformitas Z-thumb

2510

REUMANOI.OGI

Foto 7. Artritis mutilans

Foto 8. Nodul reumatoid

Foto 10. Hallux valgus

Foto ll.Vaskulitis reumatoid

Foto 13. Scleritis pada AR

Foto 9. Accelerated rheumatoid


nodulosis

Foto 12. Episcleritis pada AR

Foto 14. Scleromalacia perforans


pada AR

REFERENSI

Darmawan J, Muirden KD, Valkenburg HA, Wigley RD. The epiderniology of rheumatoid arthritis in Indonesia Br J Rheumatol

Buch M, Emery P. The aetiology and pathogenesis of rhaumatoid


arthritis Hospilal Farm 2002;9:5-lO
Cush JJ, Kavanaugh A, Stein CM. Rheumatology Diagnosrs &

1993 32(7):s37 -40


A)bar Z. Perkembangan Pengobatan Penyakit Rematrk. Kajian khusus

Therappeutics 2th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins; 2005 p.323-333

HR Rheumatoid arthritis. (dikutip tanggal 2t Oktober 200g).


Dapat diperoleh di URL : http://wwtt emedicine com/med/

Smith

TOIC2O2l HTM.

Rindfleisch JA, Muller D. Diagnosis and Management of


Rheumatoid arthritis. Am Fam physician 2OO5;72:103i--47
Silman AJ, Pearson JE. Epidemiology and genetics of rheumatoid

arhtritis Arthritis Res 2OO2;4 (suppl 3):5265_5272


Mijiyawa M. Epidemiology and semioJogy of rheumatojd arthritjs
in Third World countries Rev Rhum Engl Ed 1995;62(2):121-6.

terhadap farmakoterapi artritis reumatoid masa kini dan


perkembangannya di masa depan Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2001 51 hal. Pidato Pengukuhan Guru
Besar.

Bowes J, Barton

btlity.

Recent advances in the genetics of RA suscepti-

eumatology 2008 47 (4):399 -402.


Turesson C, Matteson EL. Genetics of rheumatoid afihritis. Mato
Cl in Proc 2006;81(1):94-101
Nelson JL, Hughes ICA, Smith AG, Nisperos BB, Branchaud AM,
Hansen JA Maternal-Fetal Disparity in HLA Class II Alloantigens and the Pregnancy-Induced Amelioration of Rheumatoid
Rh

Arthritis. N Engl J Med 1993;329:466-71.

25ll

ARTRITIS REUMATOID

Firestein GS. Etiology and pathogenesis of rheumatoid arthritis. In:


Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Ke11ey WN, eds. Kelley's Textbook of rheumatology. 7th ed. Philadelphia: W.B. Saunders,

2005:996-1042.
Harris ED. Clinical features of rheumatoid arthritis. In: Ruddy S,
Harris ED, Sledge CB, Kelley WN, eds. Kelley's Textbook of
rheumatology. 7th ed Philadelphia: WB Saunders, 2005:1043-78.
Mikuls TR, Cerhan JR, Criswell LA, Merlino L, Mudano AS, Burma
M, et al. Coffee, tea, and caffeine consumption and risk of
rheumatoid arthritis: results lrom the Iowa Women's Health
Sttdy. Arthritis Rheum 2002;46:83 -91
Merlino LA, Curtis J, Mikuls TR, Cerhan JR, Criswell LA, Saag KG

Vitamin D intake is inversely associated with rheumatoid


arthritis: results from the Iowa Women's Health Study. Arthrilis
Rheum 20041.50:72-7.
Feldmann M, Brennan FM, Majni RN. Role of cytokines in rheumatoid arthritis Annu Rev Immunol. 1996;14:397-440.
Goldman JA Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis and Its Implica-

tions for Therapy - The Need for Early/Aggressive Therapy.


(dikutip Tanggal 6 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL
http : //www princ etoncme com/pdf/pro grams /report

Choy EHS, Panayi GS. Cytokine pathways dan

62

9.p df.

joint inflammation

in rheumatoid arthritis. N Engl J Med 2001;344:907-16.


Lundy SK, Sarkar S, Tesmer LA, Fox DA. Cells of the s1'novium in
rheumatoid arthritis T lymphocytes. Arthritis Research &
Therapy 2007;9(1): 1-l 1.
Shaw ! Quan J, Totoritis MC B cel1 therapy for rheumatoid arlhritis: the rituximab (anti-CD20) experience. Ann Rheum Dis
2003;62:55-59
Mauri C, Ehrenstein MR. Cells of the synovium in rheumatoid
arthritis B cells Arthritis Research & Therapy 2001;9(2):l-6'
Wikipedia. Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 6 Oktober 2008)

Dapat diperoleh di URL :

http://en wikipedia org/wiki/

Rheumatoid arthrilis.
Syah A, English JC. Rheumatoid arthritis: A review of the
cutaneous manifestations J Am Acad Dermatol 2005;53:191-209'
Brown KK. Rheumatoid lung disease. Proc Am Thorac Soc
2007 ;4:443-418.

American College of Rheumatology Subcommittee

on

Rheumatoid Arthritis Guidelines. Guidelines for the manage-

ment of rheumatoid arthritis: 2OO2 tpdate. Arthrilis Rheum


2002;46 328-46
Nell VPK, Machold KP, Stamm TA, Eberl G, Heinz H, Uffmann M,

et al. Autoantibody profiling as early diagnostic and


prognostic tool ior rheumatoid arthritis Ann Rheum Dis
2005;64;t'7 3I-36.
Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of early
rheumatoid arthritis. SIGN No. 48. (dikutip tanggal 6 Oktober

2008). Dapat diperoleh di URL

http://www.sign.ac uk/

guidelines/fulltext/4 8/index.htm1.
Avouac J, Gossec L, Dougados M. Diagnostic and predictive value of
anti-CCP (cyclic citrullinated protein) antibodies in rheuma-

toid arthritis: a systematic literature review. Ann Rheum Dis


2006; doi: 10. 1 1 36/ard.2006.051391.
Nishimura K, Sugiyama D, Kogata Y, Tsuji G Nakazawa

Kawano

S, et al. Meta-analysis: Diagnostic Accuracy of Anti-Cyclic


Citrullinated Peptide Antibody and Rheumatoid Factor for
Rheumatoid Arthritis. Ann Intern Med 200'7;146:797-808'
Liao KP, Batra KL, Chibnik L, Schur PH, Costenbader KH'
Anti-CCP revised criteria for the classification of rheumatoid
arthritis. Ann Rheum Dis 2008; doi:10.1136/ard 2007'082339'
Amett FC, Edworthy SM, Bloch DA, McShane DJ, Fries JF, Cooper
NS. et al The American Rheumatism Association 1987 revised

criteria for the classification of rheumatoid arthritis. Arthritis


Rheum 1988;31:315-24.
Berglin E. Predictors of disease onset and progression in early rheumatoid arthritis A clinical, laboratory and radiological study

(dikutip tanggal 72 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL

Boers M. Rheumatoid arthritis. Treatment of early disease. Rheum


Dis Clin North Am 2001;27:405-14.
Lindqvist E, Eberhardt K Mortality in rheumatoid arthritis patients with disease onset in the 1980s. Ann Rheum Dis
1 999;5 8: 1 1 -4.
Chehata JC, Hassell

AB, Clarke SA, Mattey DL, Jones MA,

Jones

al Mortality in rheumatoid arthritis: relationship

to
single and composite measures of disease activity. Rheumalology 200) ;40:447 -52
Leeb BF, Andel I, Leder S, Leeb BA, Rintelen B. The patient's
perspective and rheumatoid arthritis disease activity indexes

PW, et

Rh eum at olo gy 200 5 ;44:3 60 -3 65


Smolen JS, Breedveld FC, Schiff MH, Kalden JR, Emery P, Eberl G

et al. A simplified disease activity index for rheumatoid

atthritis for use in clinical practice

Rheumatology

2003;42:244-257
Aletaha D, Landewe R, Karonitsch T, Bathon J, Boers M,
Bombardier C, et a1. Reporting disease activity in clinical trials
of patients with rheumatoid arthritis: EULAR/ACR collaborative recommendations. Ann Rheum Dis 2008;67;136O-64'
Saag KG, Teng GG, Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et
al. American College of Rheumatology 2008 Recommendations for the Use of Nonbiologic and Biologic Disease-Modifling Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis Althritis
.

Rheum 2008;59:762 784

Inoue F, Yamanaka H, Hara M, Tomatsu T, Kamatani N'


Comparison of DAS2S-ESR and DAS28-CRP threshhold va1lres. Ann Rheum Dis 2006;doi:10.11361 afi.2006' 054205'
EULAR. Disease activity score in rheumatoid arthritis (dikutip
tanggal 12 Oktober 2008) Dapat diperoleh di URL : http://
www.das-score.nl.

van Gestel AM, Haagsma CJ, van Riel PLCM. Validation of rheumatoid arthritis improvement criteria that include simplified joint
counts. Arthritis Rheum 1998;41 : 1845-50.
Leeb BF, Andel I, Sautner J, Fassl C, Nothnagi T, Rintelen B The
Disease

Activity Score in 28 Joints in Rheumatoid Arthritis

and

Psoriatic Arthritis Patients. Arthritis Rheum 2007;57:25G 60'


Felson DT, Anderson JJ, Boers M, Bombardier C, Furst D, Goldsmith C, et al. ACR Preliminary Defrnition of Improvement In

Rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1995:38:72'7 -35'


Miikinen H, Hannonen P, Sokka T. Definitions of remission for
rheumatoid arthritis and review of selected clinical cohorts and
randomised clinical trials for the rate of remission Clin Exp
Rheumatol 2006; 24 (Suppl.43):S22-528.
Emery P, Breedveld FC, Dougados M, Kalden JR, Schiff MH, Smolen
JS. Early referral recommendation for newly diagnosed rheumatoid arthritis: evidence based development of a clinical guide'

Ann Rheum Dis 20O2;61:290-7.


Belch JJ, Ansell D, Madhok R, O'Dowd A, Sturrock RD. Effects ol
altering dietary essential fatty acids on requirements for nonsteroidal anti-inflammatory drugs in patients with rheumatoid
arthritis: a double blind placebo controlled stttdy. Ann Rheum
Dis 1988;47;96-104.
Kavuncu

Y Evcik D.

Medscape General

Physiotherapy in Rheumatoid Arthritis'

Med

2004;6:3.

Verhagen AP, Bierma-Zeinstra SM, Cardoso JR, de Bie

RA, Boers M,

2512

REUMANOI.OGI

de Vet HC. Balneotherapy for rheumatoid arthritis. Cochrane


Database Syst Rev 2008;(4): CD000518.
Van Den Ende CH, Vliet Vlieland Tp, Munneke M, Hazes JM Dy_
namic exercise therapy for rheumatoid arthritis. Cochrane
e S_rrs/ Rev 2008;( 1 ):CD000322
Galataga B, Ho M, Youssef HM, Hill A, McMahon H, Hall C, et al.
Cod liver oil (n-3 fatty acids) as an non-steroidal anti-inflam_
matory drug sparing agent in rheumatoid arthritis. Rheumalol_
Datab

og

as

2008;47:665-9.

Egan M, Brosseau L, Farmer M, Ouimet

MA,

Rees S, Wells G, et al.

Splints/orthoses in the treatment of rheumatoid arthritis.


Cochrane Database Syst Rev 2001;(4): CD004018.
Olsen NJ, Stein CM. New drugs for rheumatoid arthritis. N Engl J
Med 2OO4;350: 2t67 -'79.
Bijlsma JWJ, Boers M, Saag KG, Furst DE. Glucocorticoids in the
treatment of early and late RA. Ann Rheum Dis 2003;62;1033-37.
van Everdingen

AA,

Cohen SB, Dore RK, Lane NE, Ory PA, Peterfli CG, Sharp JT, et al.
Denosumab treatment effects on structural damage, bone mineral density, and bone tumover in rheumatoid arthritis: a twelve-

month, multicenter, randomized, double-blind, placebo-controlled, phase II clinical trial. Arthritis Rheum 2008;58(5):12993 09.
Yazici Y. B-Cell-Targeted Therapies: Reports From the ACR 2007
Annual Meeting (dikutip tanggal 17 Oktober 2008). Dapat
diperoleh di URL : hxp://www. medscape com /viewarticle/
567522.
Fox RL Update on Novel and Emerging Therapies for RA: Report
From the ACR 2007 Amual Meeting (dikutip tanggal 17 Oktober
2008). Dapat diperoleh di URL : htp://www.medscape.com/
viewarticle/56752 l.
Smolen J The investigational compound tocilizumab (ActemraTM)

significantly reduces disease activity in patients with moderate

Jacobs JW, Siewertsz Van Reesema DR, Bijlsma

to severe rheumatoid arthritis (RA) who have an inadequate

JW. Low-dose prednisone therapy for patients with early active


rheumatoid arthritis: clinical efficacy, disease-modifuing properties, and side effects. Ann Intern Med 2002;136:1-12.
Cohen S, Cannon GW, Schiff M, Weaver A, Fox R, Olsen N, et a1.
Two-year, blinded, randomized, controlled trial of treatment of
active rheumatoid arthritis with leflunomide compared with
methotrexate. Arlhritis Rheum 2OOl;44:1984-92.
Bathon JM, Martin RW, Fleischmann RM, Tesser JR, Schiff MH,
Keystone EC, et al. A comparison of etanercept and methotrexate in patients with early rheumatoid arthritis. N Engl J Med

response to methotrexate, researchers announced at the European League Against Rheumatism (EULAR) 2007 (dikutip
tanggal 17 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://
www.medicalnewstoday com/ heahhnews. php?newsid:74370.
Kelly J. Progress in RA with rituximab, belimumab, and 2 novel
approaches (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh
di URL : http //www.medscape.com/ viewarticle/S38181.
EULAR 2007 Preliminary Results Show Potential Of Olatumumab
In Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008).
Dapat diperoleh di URL : http://www medicalnewstoday.com/
articles/74437 php.
Novartis Pharma AG. A Study of Imatinib 400 Mg Once Daily in

2000;343:1586-93.
Lipsky PE, van der Heijde DM, St Clair EW, Furst DE, Breedveld
FC, Kalden JR, et al. Infliximab and methotrexate in the treatment of rheumatoid arthritis. N Engl J Med 2000;343:1594_602.
Weinblatt ME, Keystone EC, Furst DE, Moreland LW, Weisman
MH, Birbara CA, et a1. Adalimumab, a fully human anti-tumor
necrosis factor alpha monoclonal antibody, for the treatment
of rheumatoid arthritis in patients taking concomitant
methotrexate: the ARMADA tial. Arthritis Rheum 2003.48:35-45
Nuki G, Breshnihan B, Bear MB, McCabe D. Long-term safety and
maintenance of clinical improvement following treatment with
anakinra (recombinant human interleukin-1 receptor
antagonist) in patients with rheumatoid arthritis: extension phase

of a randomized, double-blind, placebo-controlled trial.


Arthritis Rheum 2002; 46:2838-46.
Finger E, Scheinberg MA. Rituximab (Mabthera), a new
approach for the treatment of rheumatoid arthritis. A svstem-

atic review. Einstein 2007 ;5(4):37g-g6.


Siddiqui MAA. The Efficacy Ard Tolerabiliry Of Newer Biologics In
Rheumatoid Arthritis: Best Current Evidence. Curr Opin
Rheumatol 2007; 1 9(3):308- I 3.
McGonagle D, Tan AL, Madden J, Taylor L, Emery p Rituximab
use in everyday clinical practice as a first-line biologic therapy

for the treatment of DMARD-resistant rheumatoid arthritis.


Rh eu m at o I o gy 2008 ;47 (6) :86

5 -

67

tis: real-life experience. Rheumatology 2007 ;46:980-22.


Lee ATY, Pile K. Disease modifying drugs in adult rheumatoid arAus

Pres

cr

2003

;26:36-40.
Genovese MC, Becker JC, Schiff M, Luggen M, Shener

diperoleh di URL : http://clinicoltrials.gov/ct2/show/


term:imatinib & rank:30.

NCT001 543 36?

Tak PP, Thurlings RM, Rossier C, Nestorov I, Dimic A, Mircetic V,


et al. Atacicept in patients with rheumatoid arthritis: Results of
a multicenter, phase Ib, double-blind, placebo-controlled, dose-

escalating, single- and repeated-dose slrtdy. Arthritis Rheum


2008 58(t):61 -12.
Centocor, Inc. A Study of the Safety and Efficacy of Golimumab
(CNTO 148) in Subjects With Active Rheumatoid Arthritis
Previously Treated With Biologic Anti-TNFa Agent(s) (dikutip

tanggal

i8

Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://

cIinicaltrials. gov/ct/show/NCT002 99 5 46.


Kay J, Matteson EL, Dasgupta B, Nash P, Durez B Hall S, et al.
Golimumab in patients with active rheumatoid arthritis despite
treatment with methotrexate: A randomized, double-blind, pla-

cebo-controlled, dose-ranging study. Arthritis

Kremer J,

et al. Abatacept for Rheumatoid Arthritis Refractory to Tumor


Necrosis Factor 6 Inhibition N Engl J Med 2005;353:1114-23.
67. Shankar S, Handa R. Biological agents in rheumatoid arthritis. _r
Postgrad Med 2004;50:293-9.

Rheum

2008;58:964-7 5.
BioPharma, Inc. A Phase 2 Study to Evaluate the Safety, Tolerabiliry and Activity of Fontolizumab in Subjects With Active Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat

diperoleh di URL

Jois RN, Masding A, Somerville M, Gaffney MK, Scott DGI.


Rituximab therapy in patients with resistant rheumatoid arthri-

thiitis.

Combination With Methotrexate in the Treatment of Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat

http://clinicaltrials.gov/ct2/show/record/

NCT0028 I 294.
Kremer JM, Westhovens R, Leon M, Giorgio ED, Alten R, Steinfeld
S, et al. Treatment of Rheumatoid Arthritis by Selective Inhibi-

tion of T-Cel1 Activation with Fusion Protein CTLA4Ig N


Engl J Med 2003;349:1907-15.
Weinblatt ME, Kremer JM, Bankhurst AD, Bulpitt KJ, Fleischmann
RM, Fox RI, et a1. A Triat of etanercept, a recombinant tumor
necrosis factor receptor : Fc fusion protein, in patients with
rheumatoid arthritis receiving methotrexate. N Engl J Med
1999;340:253-9.

25t3

ARTRITISREUMATOID

Edwards JCW, Szczepaflski

L, Szechiflski J, Filipowicz-Sosnowska

A, Emery P, Close DR, et a1. Efficacy of B-Ce1l-Targete4


Therapy with Rituximab in Patients with Rheumatoid Arlhritis.

Y Cohen S, Schiff M, Weaver A, Fleischmarur R, Cannon G,


et al. Treatment of Active Rheumatoid Arthritis With

Strand

Leflunomide Compared With Placebo and Methotrexate. Arch

N Engl J Med 2004;350:2512-81.


O'Dell JR. Therapeutic Strategies for Rheumatoid Arthritis. N Engl
J Med 2004;350:2591 -602
Breedveld FC, Emery P, Keystone E, Patel K, Furst DE, Kalden JR,
et al Infliximab in active early rheumatoid arthritis. Ann Rheum
Dis 2004;63;149-55.

Intern Med 1.999 ;I 59 :2542-50.


van der Heijde D, Klareskog L, Singh A, Tornero J, Melo-Gomes J,
Codreanu C, et al. Patient reported outcomes in a trial of combination therapy with etanercept and methotrexate for rheu-

Furst DE, Breedveld FC, Kalden JR, Smolen JS, Burmester GR, Sieper
J, et al. Updated consensus statement on biological agents for

Burmester GR, Mariette

the treatment of rheumatic diseases, 2007. Ann Rheum Dis


2007

;66;iti2-iii22

Goekoop-Ruiterman YPM, de Vries-Bouwstra JK, Allaart CF, van


Zebet D, Kerstens PJSM, Hazes JMW, et a1. Comparison of

Treatment Strategies in Early Rheumatoid Arthritis.

A
Sebba

Randomized Trial. Ann Intern Med.2001;146:406-415-

A. Tocilizumab: The First Interleukin-6-Receptor Inhibitor.

Am J Healrh-Syst Pharm 2008;65(15):1413-18


Scott DL, Smolen JS, Kalden JR, van de Putte LBA, Larsen A, Kvien

TK, et al. Treatment of active rheumatoid arthritis with


leflunomide: two year follow up of a double blind, placebo controlled trial versus sulfasalazine. Ann Rheum Dis 2001;60;91323.
Hochberg MC, Tracy JK, Hawkins-Holt M, Flores RH, et al. Comparison of the efficacy of the tumour necrosis factor a blocking
agents adalimumab, etanercept, and infliximab when added to

patients with active rheumatoid


arthritis. Ann Rheum Dls 2003;62(Suppl II):ii13-ii16

methotrexate in

Fan PT, Leong KH. The Use of Biological Agents in the


Treatment of Rheumatoid Arthritis. Ann Acad Med Singapore
2007;36:128-34.
Gossec

L, Dougados M. Combination therapy in early rheumatoid

arthritis. Clin Exp Rheumatol 2003;21 (Suppl. 31):S174-S178'


Capel1 A, Madhok R, Porter DR, Munro RAL, Mclnnes IB, Hunter
JA, et al. Combination therapy with sulfasalazine and methotrexate is more effective than either drug alone in
patients with rheumatoid arthritis with a suboptimal response
to sulfasalazine: results from the double-blind placebo-controlled
MASCOT stttdy. Ann Rheum Dis 2007 66;235-41.

matoid arthritis: the TEMPO trial. Ann Rheum Dis


2006:65,328-34.

X, Montecucco C, Monteagudo-S6ez I,
Malaise M, Tzioufas AG, et al. Adalimumab alone and in
combination with disease-modifying antirheumatic drugs for
the treatment of rheumatoid arthritis in clinical practice: the

Research in Active Rheumatoid Arthritis (ReAct) trial. Ann


Rheum Dis 2001 :66;732-39.
van Riel PLCM, Taggart AJ, Sany J, Gaubitz M, Nab HW, Pedersen
R, et a1. Efficacy and safety of combination etanercept and

methotrexate versus etanercept alone in patients with


rheumatoid afthritis with an inadequate response to methotrexate: the ADORE study. Ann Rheum Dis 2006;65;1478-83.

O'Dell JR, Haire CE, Erikson N, Drymalski W, Palmer W, Eckhoff


J, et al. Treatment of rheumatoid arthritis with
methotrexate alone, sulfasalazine and hydroxychloroquine. or

a combination of

a1l three medications.

N Engl J

Med

1996l.334:1287 -97.
Saag KG, Teng GG, Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et
al. American Coliege of Rheumatology 2008 Rec<jmmendations for the Use of Nonbiologic and Biologic Disease-Modifying Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis' Arlhrilis

Rheum 2008;59:762-84.
NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et
al. American College of Rheumatology 2008 Recommenda-

Saag KG, Teng GG, Patkar

tions for the Use of Nonbiologic and Biologic DiseaseModifying Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis lrthritis Rheum 2008;59:7 62-84.

391
SINDROM SJOGREN
Yuliasih

PENDAHULUAN

di Amerika diperkirakan yang menderita SS sekitar 2-4

Sindrom Sjogren (SS) adalah penyakit sistemik autoimun


yang mengenai kelenjar eksokrin dengan perkembangan
penyakit yang lambat. Gejala kliniknya tidak terbatas hanya

juta orang, hanya lima puluh persennya saja yang tegak


diagnosisnya, dan hampir 60% ditemukan bersamaan
dengan penyakit autoimun lainnya antara lain AR, LES,

skleroderma.

pada gangguan sekresi kelenjar tetapi disertai pula dengan


gejala sistemik atau ekstraglanduler. Gejala awal biasanya

ditandai dengan mulut dan mata kering yang kadangkadang disertai pembesaran kelenjar parotis. Secara
histopatologi kelenjar eksokrin penuh dengan infiltrasi
limfosit yang mengganti epitel yang berfungsi untuk
sekresi kelenj ar (exocrinop clthy). P atogenesisnya dikaitkan
dengan adanya autoantibodi yaitu anti-Ro (SS-A) dan anti-

La(SS-B).

Berdasarkan penyakit yar.g mendasari

SS

dikelompokkan menjadi 2, primer bila tidak terkait dengan


penyakit autoimun yang lain, dan sekunder bila ada
penyakit autoimun yang mendasari misalnya SLE, RA,
skleroderma. SS pertama kali dilaporkan oleh Hadden,
Leber dan Mikulicz tahun 1800, kemudian Sjogren di
Swedia tahun 1933 melaporkan bahwa SS terkait dengan
poliartritis dan penyakit sistemik laimya. pada tahun 1960
baru ditemukan adanya autoantibodi anti-Ro dan anti-

Reaksi imunologi yang mendasari patofisiologi SS tidak


hanya sistem imun selular tetapi juga sistem imun humoral.
Bukti keterlibatan sistem humoral ini dapat dilih at adanya
hipergammaglobulin dan terbentuknya autoantibodi yang
berada dalam sirkulasi. Autoantibodi yang dapat dideteksi
pada SS ini ada duajenis yaitu:
' Antibodi spesifik organ: autoantibodi kelenjar saliva,
tiroid, mukosa gaster, eritrosit, pankreas, prostat dan
serat saraf. Autoantibodi ini dijumpai sekitar 60% pasien

SS

Antibodi non spesifik organ : faktor reumatoid, ANA,


anti-Ro, anli-La
Gambaran histopatologi yang dijumpai pada SS adalah

kelenjar eksokrin dipenuhi dengan infiltrasi dominan

La. Sinonim SS ini a\tara lain Mickulicz's disease,

limfosit T dan B terutama daerah sekitar saluran kelenjar


atau duktus gambaran histopatologi ini dapat ditemui di
kelenjar saliva, lakrimal serta kelenjar eksokrin yang lainnya
misalnya kulit, saluran napas, saluran cema, dan vagina.

Gougerotb syndrome, Sicca syndrome, dan autoimune


expcrinopathy

Fenotip limposit T yang mendominasi adalah sel T

EPIDEMIOLOGI
SS bisa

PATOFISIOLOGI

CD4+,Sel-sel ini memproduksi berbagai interleukin antara


lain IL-2, IL- 4, IL - 6, IL- I b dan TNF-cr. sitokin sitokin ini

dijumpai pada semua umur, terutamaperempuan

merubah fungsi sel epitel dalam mempresentasikan

dengan perbandingan perempuan dengan pria 9:1.


Sampai saat ini prevalensinya belum diketahui dengan
pasti karena seringnya sindrom ini bertumpang tindih

protein, merangsang apoptosis sel epitelial kelenjar melalui


regulasi Fas. Sel B selain menginfrltrasi pada kelenjar, sel B
ini juga memproduksi imunoglobulin dan autoantibodi.

dengan penyakit reumatik lainnya. Selain itu gejala klinik


yang muncul pada awalpenyakit sering kali tidak spesifik.

Adanya infiltrasi limfosit yang mengganti sel epitel


kelenjar eksokrin, menyebabkan menurunnya fungsi

2514

2515

SINDROMS'OGREN

kelenjar yang menimbulkan gejala klinik. Pada kelenjar


saliva dan mata menimbulkan keluhan mulut dan mata
kering. peradangan dengan manifentasi kelenjar eksokrin
pada pemeriksaan klinik sering dijumpai pembesaran
kelenjar.

Gambaran serologi yang didapatkan pada SS biasanya

suatu gambaran hipergammaglobulin. Peningkatan


imunoglobulin antara lain faktor reumatoid, ANA dan
antibodi non spesifik organ. Pada pemeriksaan dengan
teknik imunofloresen Tes ANA menunjukkan gambaran
spekled yang arlinya bila diekstrak lagi maka akan dijumpai
autoantibodi Ro dan La (profil ANA).

Pada tahun 1984 ditemukan autoantibodi terhadap


Ro(SS-A) yang dikenal sebagai ribonukleoprotein
partikel yang terdiri dari hY-RNA dan 60 k Da protein,
sedang anti-La (SS-B) juga suatu ribonukleoprotein

partikel yang dihubungkan dengan RNA polimerase

III

transkrip.

Adanya antibodi Ro dan anti-La

ini

dihubungkan
dengan gejala awal penyakit, lama penyakit, pembesaran

kelenjar parotid yang berulang, splenomegali,


limfadenopati dan anti-La sering dihubungkan dengan
infiltrasi limfosit pada kelenjar eksokrin minor
Oligoklonal hiperaktiviti serla monoklonal gammopati

merupakan imunologi humoral dijumpai pada SS.


Produksi globulin dan autoantibodi melalui infiltrasi
pada kelenjar eksokrin minor, dan fenotip sel B yang
mensintesis imunoglobulin adalah CD5+.

.
.
.
.
.
.
.

o
o

Arlritis reumatoid
Lupus eritematosus sistemik
Skleroderma
Mixed connective tlssue dlsease
Sirosis biliar primer
Miositis
Vaskulitis
Tiroiditis
Hepatitis kronik aktif
Mixed cryoqlobulinemia

EKSOKRINOPATI
Mata
Menurunnya produksi air mata dapat merusak epitel
kornea maupun konjungtiva, bila kondisi ini berlanjut, maka

komea maupun konjungtiva mendapat iritasi kronis, iritasi


kronik pada epitel kornea dan konjungtiva memberikan
gambaran klinik keratokonjungtivitis Sicca. Gejalanya yaitu
pasien mengeluh rasa panas seperti terbakar, seolah-olah
di dalam kelopak mata seperti ada pasir atau benda asing,

gatal, mata merah dan fotosensitif. Pada pemeriksaan

didapatkan pelebaran pembuluh darah di daerah


konjungtiva, perikornea dan pembesaran kelenjar
laknmalis.

Faktor genetik, infeksi, hormonal serta psikologis


diduga berperan terhadap patogenesis, yang mungkin
sistem imun teraktivasi

GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik sindrom Sjogren sangat luas, berupa
suatu eksokrinopati yang disertai gejala sistemik atau
ekstraglandular. Xerostomia dan xerotrakea merupakan

gambaran eksokrinopati pada mulut. Gambaran


eksokrinopati pada mata berupa mata kering atau
keratoatokunjungtivitis sicca akibat mata kering.
Manifestasi ekstraglandular dapat mengenai paruparu, ginjal, pembuluh darah maupun otot. Gejala
sistemik yang dijumpai pada SS, sama seperti penyakit
autoimun lainnya dapat berupa kelelahan demam, nyeri
otot, artritis. Poliartritis non erosif merupakan bentuk
artritis yang khas pada SS. Raynaud"s phenomena
merupakan gangguan vaskular yang sering ditemukan,

biasanya tanpa disertai teleektasis ataupun digital


ulserasi. Manifestasi ekstraglandular lainya tergantung
pada penyakit sistemik yang terkait misalnya AR, LES,
dan sklerosis sistemik. Meskipun sindrom Sjogren

tergolong penyakit autoimun yartg jinak, sindrom ini


bisa berkembang menjadi suatu malignansi. Hal ini
diduga adanya transformasi sel B ke arah keganasan

Gambar 1. Keratokunjungtivitis sicca

Orofaringeal
Keluhan xerostomia meupakan eksokrinopati pada kelenjar
ludah yang menimbulkan keluhan mulut kering karena
menurunnya produksi kelenj ar saliva Akibat mulut kering
ini seringkali pasien mengeluh kesulitan menelan makanan

2516

REUMATIOI.OGI

dan berbicara lama. Selain itu kepekaaan lidah berkurang


dalam merasakan makanan, geligi banyak yang mengalami
karies. Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa mulut
yang kering dan sedikit kemerahan, atropi papila filiformis
pada pangkal lidah, serta pembesaran kelenjar parotis.

Sjogren sindrorn yang terkait dengan

menurunnya fungsi kelenj ar pankreas

DU

LAR

Manifestasi kulit
Manifestasi kulit merupakan gejala ekstraglandular yang
paling sering dijumpai, dengan gambaran klinik yang luas.
Kulit kering dan gambaran vaskulitis merupakan keluhan
yang sering dijumpai. Manifestasi vaskulitis pada kulit
bisa mengenai pembuluh darah sedang maupun kecil.
Vaskulitis pembuluh darah sedang biasanya terkait dengan
krioglobulin, dan vaskulitis pada pembuluh darah kecil

berupa purpura. Dikatakan bahwa vaskulitis di kulit


merupakan petanda prognosis buruk.

Manifestasi pada Paru


Manifestasi paru yang paling menonjol yaitu gambaran
penyakit bronkial dan bronkiolar dan saluran napas kecil
yang sering kali terkena. Intersititial lung disease lebih
sering dijumpai pada SS primer dengan gambaran patologi
infiltrasi limfosit pada intersisial atau fibrosis yatgberat.
Adanya pembesaran kelenjar limfe parahiler yang sering
menyerupai suatu limfoma (pseudolimfoma)

Manifestasi paru pada SS primer dan sekunder


memberikan gambaran yang berbeda. Pada sekunder SS,
manifestasi parunya disebabkan oleh primer penyakit yang
mendasari

Manifestasi Pembuluh Darah


Vaskulitis ditemukan hanya sekitar

5,,/o dapat mengenal


pembuluh darah sedang maupun kecil dengan manifestasi

klinik berbentuk purpura, urtikaria yang berulang, ulkus

vaskulitis

pembuluh darah kecil


Kryoglobulinemia vaskulitis
Vaskulitis urtikaria
Vaskulitis leukoklastik

Sindrom Sjogren yang terkait dengan

Organ lain
Kekeringan bisa terjadi pada saluran napas serta orofaring
yang sering menimbulkan suara parau, bronkitis berulang
serta pnemonitis. Gejala lain yang mungkin dijumpai adalah

MANIFESTASI EKSTRAGAN

a. Kutaneus vaskulitis

vaskulitis

pembuluh darah sedang


b. Manifestasi kutaneus yang lain
Fotosensitive cutaneus lesions
Erythema nodosum
Livedoretikularis
Trom bositopenic pu rpura
Lichen planus
Vitiligo
Nodular vaskulitis
Kutaneus amyloidosis
Granuloma anuler
Granulomatus panikulitis

Manifestasi pada ginjal


Keterlibatan ginjal hanya ditemukan sekitar 10%.
Manifestasi yang tersering berupa kelainan tubulus
dengan gejala subklinis. Gambaran kliniknya dapat berupa
hipophospaturia, hipokalemia, hiperkloremik, renal tubu-

lar asidosis tipe distal. Yang sering dijumpai di klinik


gambarannya tidak jelas dan acapkali menimbulkan
komplikasi batu kalsium dan gangguan fungsi ginjal. Gejala
hipokalemia seringkali dijumpai di klinik dengan manifestasi
kelemahan otot. Pada biopsi ginjal didapatkan infiltrasi

limfosit pada jaringan intersisial Manifestasi glomuruler

kondisinya lebih serius dan biasanya terkait dengan


krioglobulinemia.

Manifestasi Neuromuskular
Manifestasi neurologi yaitu diakibatkan vaskulitis pada
sistem saraf dengan manifestasi klinik neuropati perifer.
Kranial neuropati jugadapatdijumpai pada SS, gambaran
klinis kranial neuropati biasanya mengenai serat saraf
tunggal, misalnya neuropati trigeminal, atau neuropati
optik. neuropati sensorik merupakan komplikasi neurologi
yang tersering pada sindrom Sjogren kemungkinan terjadi
kerusakan neuron sensorik pada dorsal root dan ganglia
gassertan
Kelainan muskular hanya berupa mialgia dengan enzim

kulit dan mononeuritis multiplek. Vaskulitis pada organ


intemal jarang ditemukan. Berdasarkan infiltrasi selnya
terdapat 2 macam bentuk vaskulitis, vaskulitis dengan

otot dalam batas normal

infiltrasi sel mononuklir, neutrofil, dan vaskulitis dengan


tipe inhlhasi sel neutrofil seringkali dihubungkan dengan
hipergammaglobulin
Raynaud's fenomena dijumpai pada 35%o kasus dan
biasanya muncul setelah sindrom sicca terjadi sudah

Keluhan yang sering dijumpai adalah disfagia, karena


kekeringan daerah kerongkongan, mulut dan esofagus,
selain itu faktor dismotilitas esofagus akan menambah
kesulitan proses menelan. Mual dan nyeri perut daerah
epigastrik juga sering dijumpai. Biopsi mukosa lambung

bertahun-tahun, dan tanpa disertai teleektasis dan ulserasi


seperti pada skleroderma

menunjukkan gastritis kronik atropik yang secara


histopatologi didapatkan infiltrasi limfosit. Gambaran ini

Gambaran Gastrointestinal

2517

SINDROMSIOGREN

Rose Bengal Staining


Kerato konjuntivitis merupakan sequele pada kornea dan
Multiple sk/erosls like disease
Mielopati : Akut dan kronik myelitis
Centra I ponti ne myel i n al i si s
Parkinson
Dystonic spasme
Bell's palsy

Neuritis optik
SSP Vaskulitis
SSP T limfoma
Cerebral amyloid angiopathy

konjungtiva karena menurunnya air mata. Dengan


pengecatan rose bengal yang menggunakan anilin, yang

dapat mewarnai epitel kornea maupun konjungtiva.


Dengan pengecatan ini keratokonjungtivitis sicca tampak
sebagai keratitis puntata, bila dilihat dengan slit lamp
Tear film break up: tes ini dilakukan untuk melihat
kecepatan pengisian flouresin pada kertas

film

Sialometri
Sialometri adalah mengukur kecepatan produksi kelenjar
persis seperti yang didapati pada kelenjar liur. didapatkan
juga Hepatomegali, AMA positif, serta peningkatan alkali
fosfatase, sirosis bilier primer lebih sering pada tipe primer

Adritis
Lima puluh persen didapatkan gejala arlritis pada sindrom
Sjogren. Artritisnya mungkin muncul lebih awal sebelum
gejala sindom sicca muncul. Artritis pada sindom Sjogren

tidak erosif. Atralgia, kaku sendi, sinovitis, poliartritis


kronis gejala lain yang mungkin dijumpai. Pada beberapa
kasus ditemukan dengan Jaccoud's arthropathy

liur tanpa adanya rangsangan, baik untuk mengukur


kelenjar parotis, submandibula, sublingual atau pun total
produksi kelenjar liur, Pada SS menunjukkan penurunan
kecepatan sekresi

Sialografi
Pemeriksaan secara radiologis untuk menetapkan kelainan
anatomi pada saluran kelenjar eksokrin. Pada pemeriksaan
ini tampak gambaran teleektasis

Skintigrafi
Untuk mengevalusi kelenjar dengan menggunakan 99m

Manifestasi Hematologi
Gambaran hematologi tidak spesifik seperli pada penyakit
autoimun lainnya. Pada pemeriksaan rutin laboratorium

Tc, dengan pemeriksaan ini dilihat ambilan 99m TC di mulut


selama 60 menit setelah injeksi intravena

hanya didapatkan anemia ringan. Leukopenia hanya

Biopsi

didapatkan 10%, peningkatan LED tanpa disertai

Biopsi kelenj ar eksokrin minor memberikan gambaran yang


sangat spesifik yaitu tampak gambaran infiltrasi limfosit

peningkatan CRP khas pada SS primer,hipergammaglobulin


ditemukan hampir pada 80% .

yang dominan

Beberapa tes untuk mendiagnosis kerato konjungtivitis

DIAGNOSIS
Tes Schimer's
ini digunakan untuk evaluasi produksi kelenj ar air mata.
Tes dilakukan dengan menggunakan kertas filer dengan

Tes

panj ang 3 0 mm , carunyakertas ditaruh kelopak mata bagian

bawah dibiarkan selama 5 menit. Setelah 5 menitkemudian


dilihat seberapa panjang pembasahan air mata pada kertas
filter, bila pembasahan kurang dari 5 mm dalam 5 menit
maka tes positif.

Banyak gejala SS yang non spesifik sehingga seringkali


menyulitkan dalam mendiagnosis. Ketepatan membuat
diagnosis diperlukan waktu pengamatan yang panjang.
Oleh karena manifestasi yang luas dan tidak spesifik
akhimya American European membuat suafu konsensus
untuk menegakkan diagnosis SS kriteria ini mempunyai
sensitivitas spesifisitas sebesar 950lo
Adapun kiteria tersebut:

.
.
.

.
.
.

gejalamulutkering
gejalamatakering
tanda mata kering dibuktikan dengan tes Schimer atau
tes Rose Bengal

tes fungsi kelenjar saliva, abnormal


skintigrafi atau sialogram
biopsi kelenjar ludah minor
autoantibodi (SS-A, SS-B)

flow rate dengan

SS bila memenuhi 4 kriteria, 1 di antaranya terbukti pada


biopsi kelenjar eksokrin minor atau positip autoantibodi

2518

Diagtrosis Banding

.
.
.
.
.
.

amiloidosis
diabetes melitus

sarkoidosis
infeksi virus
trauma

psikogenik

Sindrom mata kering bisa disebabkan oleh amyloidosis, inflamasi kronik blefaritis, konjungtivitis, pemfigoid,
sindrom Steven Johnson, hipovitaminosis A. Sedangkan

pembesaran kelenjar parotis ditemukan |uga pada


akromegali, gonadal hipofungsi, penyakit metabolik,
pankreatitis kronik, diabetes melitus, sirosis hepatis, infeksi
v1rus

PENGELOLAAN
Prinsipnya hanyalah simtomatik menggantikan fungsi

REI.,IMIIIOI.OGI

OAINS digunakan bila ada gejala muskuloskletal,


hidroksi klorokuin digunakan untuk atralgia, mialgia,
hipergammaglobulin. Kortikosteroid sistemik 0,5 -l kghari
dan imunosupresan antara lain siklofosfamid digunakan

untuk mengontrol gejala ekstraglandular misakrya difus


intersisial lung diseases, glomerulonefritis, vaskulitis.

REFERENSI
Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology. l4

"d

edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia


200s .p.17 36-73

Brun JG, Madland TM, Gjesdal CB, Berlelsen LT. Sjogren syndrome
in an out-patient clinic:classification of patients according to
the preliminary European criteria and the proposed modified

Europian criteria.Rheumatol 2002:41 ;301 -4.


Bossini N, savoldi S, Franceschini F, Mombelloni S, Baronio M,
Cavazzala I, et al. Clinical and morphological features of

kidney involvement in primary Sjogren

syndrome.

kelenjar eksokrin dengan memberikan lubrikasi. Lubrikasi


pada mata kering dengan tetes mata buatan membantu
mengurangi gejala akibat sindrom mata kering, efek samping
pemberian air mata buatan adalah pandangan kabur . Untuk
mengurangi efek samping sumbatan drainage air mata

Nephrol.Dial.Transplant 200 I ;l 6 :2328 -3 6.


Christoper LC, Elizabeth B, Roman GC. Treatment of myelopathy
in Sjogren syndrome with a combination of prednisone and
cyclophosphamide. Arch. Neurol. 2001;58:815-9.
Casals MR, Tzioufas AG,Font J. Primary Sjogren syndrome: new
clinical and therapeutic concepts. Ann. Rheum. Dis 2005:64:347-

pengganti air mata bisa diberi lensa kontak, tetapi


sayangnya risiko infeksi sangat besar. Tetes mata yarrg
mengandung steroid sebaiknya dihindarkan karena

Kassan SS, Moutsopulos HM. Clinical manifestation and early diagnosis of Sjogren syndrome. Arch Int. Med. 2004;164:1275-84

merangsang infeksi

Bila gagal dengan terapi tersebut dapat diberikan


sekretagogum yaitu stimulat muskarinik reseptor. Ada 2

jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu

golonganpilokaepin dan cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg


4 kali sehari selam 12 minggu sedangkan cevimelin 30-15
mg diberikan 3 kali sehari
Pengobatan xerostomia sangat sulit sampai saat ini

belum ada obat yang dapat untuk mengatasinya. Pada


umumnya terapi hanya ditujukan pada perawatan gigi,
kebersihan mulut, merangsang kelenjar liur, memberi sintetik
air liur. Sintetik yang ada di pasaran yaitu oral balanceT,

karena tidak bertahan lama sangat baik kalau diberikan


malam hari. Cara lain untuk mengurangi xerostamia adalah
merangsang sekresi kelenjar liur dengan memberikan gula.
Nasihat lainnya adalah hindari makanan kering, merokok,
obat-obat kolinergik.

54

Kovacs L, Paprika D, Takaes R, Kardos A,Tamas T, Lengyel C, et


a1. Cardiovascular autonomic dysfunction in primary Sjorgren
Syndrome.

Moutsopulos HM, Tzioufas AG. Sjogren syndrome. In


RheumatologyKlippel JH, Dieppe K PA,eds. 1't Edition
.Hongkong: Mosby Year Book Europe Limited; Hongkong.
t994.p. 6.27.7.1-12
Moore PM, Richardson B. Neurology of the vasculitides and
connective tissue diseases. J Neurol.Neorosurg. Psychia:

try.I998:65;10 -22
Papiris SA, Maniati M, Constantopoulos SH, Roussos C, Moutsopulos

HM, Skopouli FN. Lung involment in primary Sjogren Syndrome is mainly related to the small airway disease.
Ann.Rheum.Dis. 1999 :58;61-4.
Price EJ, Venables PJW

Dry eyes and mouth syndrome- a subgroup

of patients presenting with sicca symptoms.


2002:41: 416-25.

Rheumatol.

392
ARTRITIS REUMATOID JUVENIL
(ARTRITIS IDIOPATIK JUVENIU
ARTRITIS KRONIS JUVENIL)
Yuliasih

PENDAHULUAN

KLASIFIKASI

Arthritis rematoid juvenile (ARJ) merupakan penyakit

Ada 2 kriteria klasifikasi yaitu klasifrkasi yang dipakai AS


dan klasifikasi menurut EULAR, Klasifikasi yang dipakai
di AS ditetapkan tahun 1973 dantelahdirevisi tahun 1977,
sedangkan kriteria baru oleh EULAR ditetapkan pada
tahun 1 995 . Perbedaan kedua kriteria ini dapat dilihat pada
Tabel 1.

artritis kronis pada anak-anak umur di bawah 16 tahun.


Penyakit ini ditandai dengan keradangan pada sinovium
dan pada tipe tertentu disertai gejala sistemik. Sarjana
Cortil pertama kali melaporkan 4 kasus artritis pada anakanak umur 12 tahun, selanjubrya George Frederik Still tahun
1896 melakukan penelitian terhadap 19 kasus artritis pada
anak dan membagiARJ ini dalam subtipe. ARJ dikenal juga
sebagai Stillb disease.
Ada beberapa terminologi untuk mengelompokkan
artritis ini. Istilah ARJ lebih banyak digunakan di Amerika
Serikat (AS) yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut
artritis pada anak-anak umur di bawah 16 tahun yang tidak
diketahui penyebabnya. Di AS lebih sering digunakan
istllah r emat o id karera pada umumnya anak-anak tersebut
mempunyai orang tua atau keluarga yang menderita artritis
rematoid dengan faktor rematoid positif. Istilah artritis
kronikjuvenil lebih banyak digunakan di Inggris (Eropa).
Adanya kerancuan dalam hal pengunaan istilah ini, maka

timbul kesepakatan pada pertemuan EULAR (European


League Agaiust Rhematism) untuk mengunakan istilah
yang seragam. Istilah yang disepakati oleh EULAR adalah
artritis idiopatikjuvenil (AIJ) yang dibagi dalam 7 subtipe.
ARI sering memberikan dampak buruk pada anak-anak

berupa kecacatan atau gangguan psikososial.


Permasalahan yang sering mereka hadapi antara lain
ketergantungan, keterlambatan proses belajar,
permasalahan dalam keluarga, depresi, atau kesulitan

ARJ (AS}
Umur saat
onset
Lama sakit
Tanda artritis

Subtipe
setelah 6
bulan

> 6 bulan
Bengkak, efusi, nyeri
tekan ROM terbatas,
hangat pada perabaan
Pausiartikular < 4
Poliartikular > 5
Artritis sistemik

(EULAR

<16 tahun
> 3 bulan

Pausiartrikular < 4
Poliartikular > 5
lgM RF +
lgM RF Artritis Sistemik
Artritis psoriatik
Entesitis
Lain-lain

MenurutkriteriaARJyang dipakai diAS, adritis ini dibagi


dalam 3 subtipe berdasarkan gejala penyakit yang
berlangsung minimal terjadi selama 6 bulan
. Sistemik: ditandai dengan demam tinggi yang mendadak

disertai bercak kemerahan dan manifestasi

mencari pekerjaan. Untuk itu ARI memerlukan penanganan

yang serlus.

<16 tahun

Artritis Kronik Juvenile

.
2519

ekstraartrikular lainnya.

Pausiartrikular ditandai dengan artritis yang mengenai


sendi < 4

Poliartrikular ditandai dengan nyeri sendi >

2s20

REUMAIIOI.OGI

Penyakit

Kriteria

Ekskiusi

Diskripsi

Artritis sistemik

Demam setiap hari


Minimal selama 2 minggu
Artritis

Menyingkirkan infeksi
keganasan

Umur saat artritis.


Pola artritis pada 6 bulan pertama:
oligoartritis/ poliartritis/ tanpa artritis
Pola artritis setelah 6 bulan
oli goartritis,/pol iartritis /ta npa artritis
Faktor rematoid positif
kadar CRP meningkat

Riwayat keluarga + psoriatik,


spondilitis ankilosing (HLA 827).
Faktor rematoid + laki-laki HLA
B27+, munculnya a(ritis setelah
8 tahun menderita artritis
sistemik

Umur saat artritis


Pola artritis 6 bulan
Hanya sendi besar
Hanya sendi kecil
Terutama ekstremitas bawah
Artritis simetris
Uveitis anterior
Tes ANA positif
HLA klas 1/ ll faktor predeposisi

Disertai satu atau lebih dari berikut


tnt

Oligoartritis

Bercak kemerahan yang tidak


menetap
Limfadenopati,
Serositis,
hepatosplenomegali

Artritis 1-4 sendi pada 6 bulan awal


dibagi dalam 2 kelompok.
Persisten: menyerang tidak lebih dari
4 sendi.
Eksten: menyerang >4 sendi setelah
6 bulan pertama.

> 4 sendi pada 6

Poliartritis RF
negatif

artritis

Poliartritis
RF positif

artritis

artritis psoriatik

artritis dan psoriasis dan minimal

bulan

RF

positif artritis sistemik

pertama RF negatif

>4

Umur saat artritis

Artritis simetris
Tes ANA positif

sendi pada

bulan

RF negatif arthritis sistemik

pertama RF positif
2

RF positif artritis sistemik

gejala daktilitis, nail pitting onikolisis,


dengan riwayat keluarg6 + psoriasis

Uveitis akut /kronis


umur saat artritis
artritis simetris
tes ANA positif imunogenetik
umur saat artritis/ psoriatik pola
artritis 6 bulan pertama hanya sendi
besar terutama ekstremitas bawah
sendi yang terserang khas, dan
simetris bentuk artritis
oligo/poliartritis tes ANA positif uveitis
anterior kronis /akut
umur saat terjadinya arthritis/
entesitis
pola artritis 6 bulan pertama hanya
sendi besar terutama ekstremitas
bawah
sendi yg terserang khas, dan simetris
bentuk artritis : oligo/poliartritis
tes ANA positif uveitis anterior kronis
:

Entesitis terkail
artritis

Artritis dan entesitis artritis

atau

Riwayat keluarga + psoriasis

entesitis dengan gejala minimal 2


nyeri Sl/ inflamasi spinal positif HLA
B27 riwayat keluarga positif

/akut

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI


ARJ merupakan artritis yang lebih sering dijumpai pada

anak-anak, insidennya dilaporkan hanya sekitar 1%


pertahunnya dengan perjalanan penyakit ARJ bervariasi,
17% berkembang menjadi artritis kronik, 20Yo detgan
gangguan mata. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa

pasien ARJ yang berlangsung lebih

7 tahut,

ARJ lebih sering menyerang anak-anak yang lebih


dewasa, khususnya pada kelompok oligo-artrikular,
dengan RF positif. Etiologi penyakit ini bblum banyak
diketahui, diduga terjadi karena respons yang abnormal
terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan.
Peran imunogenetik diduga sangat kuat mempengaruhi

60%o

mengalami kecacatan. Prevalensi ARJ dilaporkan sekitar

PATOGENESIS

-2l100.000 populasi, di Rochester sekitar I 1/l00.000itahun


dan Minnesota 35i I00.000/tahun. ARI banyakmenyerang

ARJ merupakan penyakit autoimun multisistem, yang

anak-anak dengan tingkat umur terbanyak sekitar 4-5

terdiri dari beberapa kelompok penyakit dengan perbedaan

tahun. Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 3: I .


Faktor suku diduga kuat sangat terkait pada ARJ. Suku
Afrika dibanding sukuAmerika dan Kaukasia lebih sering
terkena di Amerika. Di AS Schwartz melaporkan bahwa

klinik dan derajat penyakit. Sampai sekarang


patogenesisnya belum banyak diketahui. ARJ merupakan

penyakit artritis kronis heterogen yang umumnya


menyerang perempuan ditandai dengan artritis kronik yainr

ARTRITIS REUMATOIDJUVENIL (ARTRITIS IDIOPATIKJI,'VENIUARTRITIS KRONISJI,'VENIL)

ditemukannya tatda keradangan pada sinovium. Tanda


adanya respons imun yaitu ditemukan autoantibodi pada
pasien ARJ. Adapun autoantibodi tersebut antara lain
antibodi ANA, faktor rematoid dan antibodi heat shock

2521

sedangkan CXCR4 dan CCR2 bertanggung jawab terhadap


kedua tipe sel T. Adanya perbedaan ekspresi inilah yang

menentukan perbedaan patogenesis. Dari penelitian

protein. Peran HLA juga sangat besar dalam patogenesis

Thompson SD dkk, melaporkanbahwapadaARl CCR4 sel


T memegang peran patogenesis ARI dan yang menentukan

ARJ.

subtipenya.

Secara histopatologi sinovium ARJ didapatkan


sebukan sel radang kronik yang didominasi sel mononuklir,

hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblast, dan


makrofag. Mediator inflamasi juga ditemukan pada
sinovium. Mediator-mediator tersebtt antara lain lL-2,
IL-6, TNF- o, GM-CSF. Jelaslah bahwa sangat besar peran

sel T dalam menimbulkan keradangan di sinovium.


Bagaimana sel T menjadi autoreaktif ituyang masihmenjadi
pertanyaan. Dari berbagai laporan penelitian pencetus sel
T autoreaktif tak lepas dari peran HLA, hal ini dibuktikan

dengan dilakukan penghambatan gen TCR (TCRVa14+)

yang bertanggung jawab klonasi sel T. HLA yang


bertanggung jawab pada manifestasi klinik antara lain
HLADRB I *0801, DQAI *0401, dan DQB I'00402.
Sitokin juga memegang peran dalam patogenesis ARJ.
Berdasarkan sitokin yang dikeluarkan, ada2 tipe sel T. Sel
T tipe I lebih banyak melepaskan sitokin IL-2, IFNy dan
TNF B, sedangkan pada tipe 2 sitokin yang dilepaskan
IL-4,IL-5,IL-6, IL-10, dan IL- 13. Secara klinis sitokin ini
mempengaruhi keseimbangan respons selular dan humoral.
Pada artritis rematoid dewasa diketahui bahwa sel T tipe I
yang lebih dominan, temyata demikianjugayang ditemukan
padaARI, kecuali padapausiartrikular, sel Ttipe 2 ymrg dominan.
Kemokin diduga ikut berperan dalam patogenesis ARJ.
Kemokin merupakan faktor penentu migrasi subtipe sel T.

Beberapa reseptor kemokin bertangung jawab terhadap


klonasi sel T, yaitu reseptor CCR3, CCR4, CCRS yang
bertanggung jawab proliferasi sel T lipe 2, CXCR3 dan

CCR5 biasanya dominan pada ekspresi sel T tipe

l,

Acute diseases

lmmune/inflammatory
response

Ghronic diseases

Aktivasi komplemen banyak dilaporkan

pada
penelitian-penelitian tentang patogenesis ARJ. Dilaporkan
bahwa aktivasi komplemen yang membentukterminal attack complex yang terbanyak dijumpai pada sinovium
pasien ARJ, kulit, dan limpa. Aktivasi komplemen pada
ARJ dapat melalui 2 jalur baik klasik maupun alternatif.
Dari beberapa laporan pada ARJ aktivasi komplemen
terbanyak melalui j alur alternatif.
Infeksi virus dan bakteri sebagai faktor lingkungan
yang berperanan dalam patogenesis ARJ. Infeksi dikatakan
dapat sebagai bahan pencetus terjadinya autoreaksi sel T.
Hal ini ditunjukkan pada penelitian tentang peran HSP 60
dalam pengontrolan aktivasi sel T yang menimbulkan
artritis.

GAMBARAN KLINIK

Artritis Sistemik
Penyakit ini merupakan kelompokARJ yang sangat serius
dibanding dengan kelompok lainnya, lebih sering dijumpai
pada kelompok umur di bawah 4 tahun. Gej alanya sangat
spesifik. ditandai dengan anak mendadak sakit berat yang
diawali dengan panas tinggi mendadak, dan mencapai
puncaknya pada sore hari dan selanjutnya kembali normal

keesokan harinya. Saat panas kadang disertai bercak


kemerahan seperti warna daging ikan salmon. Bercak ini

dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Sifat


bercaknya biasanya berkelompclk, bentuknya makula atau
pruritus, biasanya bercak menghilang bila panas turun.

Pada pemeriksaan patologi anatomi bercak hanya


didapatkan edema dan inflitrasi periartrikuler.
Gejala lainnya berupa kelelahan, iritatif, nyeri otot dan

hepatosplenomegali. Beberapa pasien didapatkan


serositis atau perikarditis. Pada % kasus ditemukan
limpadenopati yang secara patologi anatomi hanya
didapatkan gambaran hiperplasi. Artritis mungkin dapat
terus berlangsung beberapa minggu atau bulan, sehingga
diagnosis sangat sulit. Sendi yang sering terkena adalah
lutut dan pergelangan kaki. Temporomandibula dan jari-

jari tangan dapat terkena


lnhibitory
loop

lmmune/inflammatory
response

Gambar 1. Peran infeksi dalam mencetuskan penyakit autoimun

telapi jarang. Gambaran


laboratoriknya menunjukkan lekositosis dengan jumlah
leukosit di atas 20.000mm3, anemia non hemolitik yang
berat. LED yang meningkat, tes ANA negatif dan kadar
feritin yang tinggi, jumlah trombosit meningkat, seringkali
tipe ini dengan komphkasi KID. Gejala ini biasanya membaik
setelah satu tahun, sedangkan 50% pasienjatuh ke kronik
artritis dan 25Yo dengan gambaran erosi pada sendinya,

2522

REUMANOI.OGI

komplikasi lainya yaitu karditis, hepatitis, anemia, infeksi


dan sepsis. Diagnosis bandingnya leukemia atau sepsis.

Gejala lainnya lemah, demam, penurunan berat badan,

dan anemia. Uveitis sangat jarang pada kelompok ini,


arlritisnya bersifat simetris, baik pada sendi kecil maupun
besar, tetapi dapat pula diawali dengan artritis yang hanya
pada beberapa sendi dan baru beberapa bulan kemudian
terjadi poliartritis, sendi servikal C1-2 seringkali terkena
dan seringkali menimbulkan subluksasi.
Pada kelompok RF positif biasanya pada usia yang

lebih muda, ditandai erosi sendi yang hebat, dengan


manife stasi ekstra-arlrikul ar j arang, 2 5o/o didapatkan tes
ANA positif, pada RF negatif hanya terdapat 5oh.

Ii

goa rtriti s/Pa us i -Artri ku la r

Insidennya

5% dari ARJ, ditandai dengan arlritisnya pada

1-4 sendi, tanpa gejala sistemik. Sebanyak 40-10%


mempunyai tes ANA positif, lebih sering pada anak
perempuan dengan umur l-3 tahun dan sering dengan
komplikasi uveitis kronik, unilateral atau bilateral. Dari
beberapa kasus merupakan kelompok artritis psoriatik atau

ankilosing spondilitis. Sendi yang sering terserang adalah


lutut, pergelangan kaki, siku, dan jari-jari tangan. Pada lakilaki lebih sering terkait spondilitis ankilosing dengan HLA
827 positif.
Dikelornpokkan 2 yaitu persisten dan eksten. Kelompok
persisten ditandai dengan arlritis yang tidak bertambah
meskipun telah lebih 6 bulan, sedangkan kelompok eksten

artritisnya semakin meluas setelah 6 bulan. Angka


mortalitasnya rendah dengan komplikasi yang tersering
kerusakan artikular maupun periartrikular dan uveitis kronis.

Entesitis yang Terkait dengan Artritis


Hanya 15-20% dari ARJ yang biasa menyerang anak umur
8 tahun dengan HLA,B21 positif. Aflritisnya asimetrik,
menyerang sendi besar. Keluhan yang sering dijumpai
adalah nyeri pinggang khususnya pagi hari, kesulitan
duduk maupun berdiri lama, jarang sekali tidur nyenyak,
pada pemeriksaan fisik didapatkan entesitis pada patela
atau kalkaneus gambaran sendi sakroilika pada awal
penyakit normal. Artritis psoariatik hanya terjadi sekitar
40-50%.

Jh

Poliartritis
Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ, 15o/o menyerang
perempuan, gambaran artritisnya mirip artritis rematoid

Pemeriksaan Laboratori um

dewasa, lebih banyak menyerang perempuan, umur sekitar


12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan.
RF bisa positif maupun negatif.

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan darah


lengkap, urin lengkap, faal hati, faal ginjal, tes ANA, dan
faktor rematoid. Pada ARJ didapatkan kadar CRP

2523

ARTRITIS REUMATOID JI.'VENIL (ARTRITIS IDIOPATIK JI.'VENIUARTRITIS KRONIS JT''VENIL)

meningkat khususnya pada kelompok artritis sistemik.


Selain peningkatan CRP terdapat pula peningkatan LED,
C3, C4 amiloid serum, feritin, kadar trombosit, dan leukosit.

Protein-protein ini selain disintesis hati, juga disintesis


makrofag dan sel endotel pada daerah inflamasi. CRP yang
disintesis di hati dirangsang pembentukannya oleh IL-6,

karena CRP merupakan komponen komplemen.


Peningkatan CRP ini merefleksikan aktivasi komplemen

.
.
.
.
'
.
..
.

Faktorreumatoidpositif
Kaku sendi yang persisten
Tenosinovitis

Nodul subkutan
TesANA+
Artritis pada jaritangandan kaki pada awal penyakit
Erosi yang progresif
Pausiarlrikular tipe eksten

yang meningkat. CHso, C3, C4 tidak berkorelasi


dengan aktivitas penyakit karena adanya peningkatan
komponen.

PENGELOLAAN

Pemeriksaan Radiologi

Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar mengatasi


nyeri. Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengatasi

Tidak semua sendi kelompokARJ menunjukkan gambaran


erosi, biasanya hanya didapatkan pembengkakan j aringan
lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan pada
kelompok poliarlrikular.

nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi


kerusakan sendi yang pernanen, dan mencegah kecacatan
sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah
farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan,

nutrisi juga tak kalah penting. Pada pasien ARJ


perhrmbuhannya sangat terganggu baik karena konsumsi
zat giziyang kurang atau menurunnya nafsu makan akibat
sakit atau efek samping obat

Mengontrol Nyeri
Pengelolaan nyeri kronik pada anak tidak mudah.
Masalahnya sangat kompleks, karena pada umumnya anakanak belum dapat mengutarakan nyeri. Obat anti-inflamasi
non-steroid (OAINS) merupakan anti nyeri padaumumnya
yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak. Selain

untuk mengurangi nyeri OAINS juga dapat digunakan

Diagnosis Banding

.
.
.
.
.

Infeksi: bakteri, virus, tuberkulosis


Post-infeksistreptokokus
Trauma

Kelainanhematologi: leukemia,hemofilia
Penyakitkolagen

PROGNOSIS
Perj alanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang

sangat banyak tergantung umur saat onset penyakit serta

tipe dari ARJ pada tipe sistemik artritis dengan demam

tinggi, membutuhkan steroid dosis tinggi,

dan

trombositosis menunjukkan prognosis yang jelek, hanya


25%o tipe poliartrikular remisi dalam 5 tahun dan2l3 pasien
ARJ mengalami erosi sendi.
Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk:
. Tipe sistemik yang aktif pada 6 bulan pertama

.
.

Poliartritis
Perempuan

mengontrol kaku sendi. Efek analgesik sangat cepat. Efek


samping yang sering dijumpai antara lain nyeri perut,
anoreksia, gangguan fungsi hati, ginjal, dan gastrointestinal. Nefritis interstitial merupakan efek samping pada ginjal
yang sering dijumpai, sehingga dianjurkan pemeriksaan
urinalisis setiap 3 bulan. Adanya peningkatan SGOT dan
SGPT maka dianjurkan evaluasi hati dilakukan secara
teratur setiap 3-6 bulan sekali, danpara orang tua harus
tahu danwaspadaterhadap efek-efek samping ini. Macam
OAINS yang sering digunakan pada anak-anak:
. Aspirin 75 -90 mgkglhari. Dosis yang lebih tinggi dapat
ditoleransi pasien yang lebih dewasa. Pemberiannya 4
kali sehari setelah makan. Peningkatan kadar SGOT,
SGPT dapat terjadi pada beberapa anak.

.
.
.
.

Tolmetin

5 mglkglhai,dibagi dalam 4 dosis.

Naproksen 15 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.


Ibuprofen 35 mglkglhari dibagi dalam 4 dosis.
Diklofenak 2-3 mglkghaiterbagi dalam2 dosis.

DMARD (D is e a s e M o diJiy ing Anlith e umatic

D r ugs).

Digunakan untuk menekan inflamasi dan erosi yang lebih


lanjut
. Hidroksiklorokuin: 4-6 mglkglhari, maksimal 300 mgi
hari. Mempunyai efek imrxromodulator dan menghambat
enzim kolagenase. Efek samping yang sering dilaporkan

2524

REI,JMIINOI.OGI

adalah toksik pada retina sehingga dianjurkan evaluasi


retina tiap 6 bulan. Efek samping lainnya urtikaria, iritasi

saluran cerna dan supresi sumsum tulang. Angka

.
.
.

kesembuhan berkisar antara I S -7 5%.


Preparat emas oral maupun intra muskular dosis 5 mg/
minggu. Dosis dapat ditingkatkan 0,75- 1 mg ,4<g/minggu.
Efek sampingnya adalah supresi sumsum tulang dan ginjal.

anak untuk melakukan peregangan otot yang dapat


berguna memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif
sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan
pengawasan. Latihan aktif, dengan atau tanpa beban
sangat membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga
berguna untuk mempertahankan fungsi gerak sendi serta
mempertahankan pertumbuhan normal.

D-penisilamin: 10 mglkglhar| tidak banyak laporan


tentang efektivitas penggunaan obat ini.

Obar-obatsirotoksik:

- Azatioprin: Tidak
-

banyak laporan tentang

pengunaannya
Sulfasalazin dilaporkan efektif untuk mengontrol
ARJ. Dosis yang dianjurkan 50 mglkglhari sampai
2,5 grlkglhari. Tidak dianjurkan untuk anak-anak
yang sensitif terhadap sulfasalazin.
Metotreksat (MTX): Dosis I 0 mg/m2 luas permukaan

tubuh/minggu. MTX aman digunakan jangka


panjang. Saat ini MTX lebih banyak dipilih oleh
para rematologis oleh karena efek sampin gnyayalg
lebih ringan dan memberikan respons yang sangat
tinggi. Efek samping MTX yang tersering yaitl oral
u lc er, gangguan gastrointestinal, supresi sumsum

tulang, gangguan fungsi hati. Dilaporkan


kejadiannya sangat tinggi, hal ini dapat dikurangi
dengan cara mengurangi konsumsi alkohol dan
mengurangi obat-obat hepatotoksik.

- Leflunamid: tidak banyak

laporan tentang
pengggunaan leflunamid pada ARJ meskipun
banyak laporan tentang efektivitas obat ini pada

artritis rematoid dewasa.

Etanercept; belum banyak anjuran meskipun

Pengelolaan Nutrisi
Seringkali didapatkan gangguan pertumbuhan, baik lokal
karena kerusakan pusat pertumbuhan tulang maupun
umun karena asupan nutrisi yang kurang dan menurunnya
produksi insulin like growth factor. Anak-anak dengan
inflamasi kronis mempunyai risiko untuk terjadi malnuhrsi
oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan

menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat


berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-obatan

juga mempengaruhi penurunan nafsu makan. Obat-obatan


yang dapat menurunkan nafsu makan antara lain OAINS,
klorokuin. Penyebab lain penurunan nafsu makan adalah
adanya keradangan pada temporo mandibula.
Obesitas mungkin drjumpai pada beberapa kasus, hal
ini disebabkan karena kurangnya aktivitas, intake makanan
yang berlebihar, atau akibat efek samping kortikosteroid.
Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin,

zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan untuk

pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet.


Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka
diperlukan vitamin D. Dosis untuk anak umur 1-10 tahun
adalah vitamin D 400IU dan kalsium 400 mg sedangkan
kalsium 800 mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.

beberapa penelitian menunjukkan hasil yang baik.

InfliximablaporanpenggunaaninfliximabpadaARl
juga masih belum banyak.

Glukokortikoid
Baik untuk mengontrol gejala sistemik artritis,
perikarditis,dan demam, Dosis yang dipakai 0,5-2mglkgl
hari. Dosis tinggi hanya digunakan pada kasus-kasus yang
berat. Injeksi intra-artrikular bermanfaat artritis yang tidak
terlalu banyak menyerang sendi. Pada kasus dengan
uveitis anterior biasanya diberikan topikal. Bila berat dapat
diberikan per oral dengan dosis 30 mglkg/nari selama 3
hari berturut-turut. Pada kasus tertentu membutuhkan
lmunosupresan.

REFERENSI
Aggraval A, Bhadwaj A, Alam S,Misra R. Evidence for activation of
the alternate complement pathway in patients with juvenile
rheumatoid arthritis. Rheum ato2003 ;3 9 : I 89 -92.
Carler BD, Kronenenberger WG, Edwards JF, Marshal GS, Schikler
KN, Causey DL, Psychological symptoms in chronic fatigue
and juvenile rheumatoid arthritis Pediatric. 1999; 103:97 5-9.
Gottlieb BS, Keenan GF, Lu Theresa,Illowite NT. Discontinuation
of methotrexate in juvenilew rheumatoid arthritis. Pediatrtc.1997 ;100;994-7
Giannini EH, Ruperto N, Ravelli A, Lovell DJ, Felson DlMartini
A. Prelimanary definition of improvement in juvenile arthritis.
Haskes PJ, Friedland O, Uziel Y. New treatments for juvenile
.

idiopathic arthritis. IMAI 2002;4:39-43,

Fisioterapi
Banyak manfaat terapi dengan fisioterapi. Kegunaannya
antara lain untuk mengontrol nyeri, dengan cara
pemasangan bidai, terapi panas dingin, hidroterapi, dan
TENS. Hidroterapi pemanasan dengan air padasuhu 960F
sangat membantu mengurangi nyeri. Selain dapat
membantu mengurangi nyeri, fisioterapi berguna bagi anak-

Ilowite NT Current treatment of juvenile rheumatoid arthritis.


Pediatric.2002

;1

09- 1 5.

I, Jiang K, Frank MB, Szodoray P, AIex P,et al.


Novel approaches to gene expression analysis of active
polyarticular juvenile rheumatoid arthritis. Arthritis Res Ther.

Jarvis JN, Dozmorov

2004;6: R15-R32
Kietz DA, Pepmueller PH, Moore

in polyarticuler

couse

TL

Therapeutic use of etanercept

juvenile id.iopathic arthritis over atwo

year period. Ann. Rheum.Dis.2002;61

171-3.

2525

ARTRITIS REUMATOIDJUVENIL (ARTRITIS IDIOPATIKJI.IVENIUARTRITIS KRONISJI,IVENIL)

Malleson PN, Beauchamp RD. Rheumato: diagnosing musculos


keletal pain in children . CMAJ. 2001;24:183-188
Murray K, Thomson SD, Glass DN. Pathogenesis of juvenile chronic
arthritis: genetic and environmental factors

Thomson SD, Grom AA, Luyrink LK, Passo M, Glass DN,Enmund


C. Dominant T-cel1-receptor A chain variable region V al4+
clones in juvenile rheumatoid arlhritis. Proc Nat1. Acad.Sci USA

Arch.Dis.Child.1997 ; T'7 :530-4


Meeder G, Van eden W, Rijkers GT, Prakken BJ, Kuis W Voorhorst
Ogink MM,et al. Juvenile chronic artrhitis: T cell reactivity to
human HSP60 in patients with a favorable course of arthritis.
J Clin. Invest 1995;95:934-40.
Nepom B. The immunogenetic of juvenile rheumatoid arthritis .
Rheum Dis.Clin.North. Am.l99l.17 :825-42.
Patience W. Juvenile chronic arthritis In : Rheumatology Klippel
JH, Dieppe K PA. 1$ Edition .Hongkong: Mosby -Year Book

Vi11la J, Lee S, Giannini EH, Braham TB, Passo

Europe Limited; 1994.p.3. 17.1-10

Rose CD and Singsen BH Pathology and pathogenesis In :


Rheumatology Klippel JH, Dieppe K PA,eds. 1't edition
.Hongkong: Mosby-Year Book Europe Limited; I 994.p.3 1 9. I -6
Seppanen OK,Savolainen A.Changes in the incidence of juvenile
rheumatoid arthritis in Finland. Rheumato2001;40:928-32.
Thomson SD, Luyrink LK, Graham BT, Soras M, Ryan M, Passo
MH,et al. Chemokin reseptor CCR4 on CD+4 T cells in
juvenile rheumatoid arthritis synovial fluid defrnes a subset of
cells with increased IL-4:IFN-g mRNA ratios. The Journal Of
Immunology 2001 ;l 66 : 6899 -6906

1993; 90;1 1 104-8.


MH, Filipovich A,et
al. Natural ki11er cell dysfunction is a distinguishing feature of
systemic onset juvenile rheumatoid arthritis and macrophage
activation syndrome Arthritis Res Ther. 2005;7:R30-R37
Smolewska E, Brozik H, Smolewski P, Zielinska MB, Darzynkiewicz
Z,Sranczyk J. Apoptosis of pheripheral blood lymphocytes in
patients with juvenile idiopathic arthritis Ann.Rheum.Dis
2003;62:7 6l-3.
Victoria M, Morin G, graham TB, Blebea JS, Dardzinski BJ, Laor I
et al.Knee in early juvenile rheumatoid arthritis: MR imaging
findings.Radio2 00 | ;220 69 6 -'7 0 6.
Weyand CM, Gorony JJ. Pathogenesis of rheumatoid arthritis.
Med.Clin.North . Am 1997 ;81 :29-55
:

Warren RW,Perez MD, Curry MR, Wilking AP, Myones BL.


Juvenile idiopathic arthritis (juvenile rheumatoid arthritis).
In: Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology.

l4 "d edition.Philladelphia: Lippincott Williams &

Wilkins;2 005.p .127 0-323


Wilkinson N, Jackson G, Medwin JG. Biologic therapies for juvenile
arthritis. Arch Dis.Child. 2003;88:186-91.
.

393
SPONDILITIS ANKILOSA
Jeffrey A.Ongkowijaya

PENDAHULUAN

hitam. Populasi spondilitis ankilosa pada individu dengan


HLA-827 positif mencapai 10-20% sedangkan jumlah
pasien spondilitis ankilosa yang menekspresikan HLA827 mencapaiS0-95%.
Perjalanan penyakit sangat bervariasi dari ringan
tanpa gangguan status fungsional sampai berat dengan
berbagai disabilitas. Keterlibatan vertebra merupakan
determinan utama yang mempengaruhi stafus fungsional

Spondilitis ankilosa merupakan prototipe dari


spondiloatropati seroneg attf , y an g terdiri atas artritis
psoriatik, artritis reaktif dan artritis enteropati . Berasal
dari bahasa Yunani ankylos yang berarti bengkok dan
spondylos yang berarti vertebra. Spondilitis ankilosa
merupakan inflamasi kronik yang melibatkan sendi-sendi
aksial dan perifer, entesitis dan bisa mempunyai manifestasi
ekstraartikular.

pasien.

ETIOLOGI
Etiologi dan spondilitis ankilosa belum diketahui. Penelitian
menunjukkan hubungan kuat dengan HLA-827 yang
berarti ada faktor imun yang berperan, dan diperlukan
peran dari infeksi bakteri gram negatifuntuk mencetuskan
penyakit. Hasil riset yang ada menggambarkan peran

Klebsiela pneumonia dalam patofisiologi spondilitis


ankilosa. Klebsiela mempunyai 6 asam amino yang
homolog dengan HLA-821 yang mengesankan adanya
molecular mimicry. Ekspresi HLA-827 menyebabkan
peningkatan respon imunologik atau setidaknya

Gambar 1. Famili Spondiloartropati seronegatif

menyebabkan perubahan toleransi imun terhadap bakteri


gram negatif. Banyakbukti yang mendukung peran sitokin
proinflamasi seperti TNFa dan IL-1 serta adanya infiltrasi
sel-sel inflamasi pada jaringan patologis pasien spondilitis
ankilosa.

Prevalensi spondiloartropati mencapai l-2o/o dari


populasi umum dan risiko akan meningkat menjadi 20 kali
lipat pada individu dengan HLA-827 positif. Spondilitis
ankilosa terutama mengenai laki-taki, dewasa muda dengan

HLA-827 sendiri mempunyai 45 subtipe dimana

awitan pada umur kurang dari 40 tahun dan puncaknya


pada 20-30 tahun. Rasio pada laki-laki dibanding wanita

sebagian berhubungan dengan spondilis ankilosa seperti


HLA-82705, -82702 dan -82704 sedangkan-B2706 dan
-82709 malah tidak berhubungan. Populasi di Indonesia

mencapi 3 : I . Di Amerika Serikat, prevalensi mencap ai 1,4%o

dengan variasi pada berbagai kelompok etnis; hal ini


menggambarkan perbedaan ekspresi HLA-B27 pada
kelompok etnis tersebut. Ekspresi HLA-B27 lebih banyak
ditemukan pada populasi kulit putih dibandingkan kulit

umumnya mempunyai HLA-82706. HLA-B60 dan


HLA-DR1 dilaporkan juga mempunyai keterkaitan dengan
penyakit ini.

2s26

2527

SPONDILITISANKILOSA

PATOLOGI
Gambaran patologis spondilitis ankilosa yang unik pertama
kali dideskripsikan oleh Ball ( 1971) dan disempumakan oleh
Bl.waters (1984). Lokasi patologis primer adalah entesis
yaitu insersi dari ligament, kapsul dan tendon ke tulang.
Perubahan entesopati yang terjadi adalah fibrosis dan
osifikasi jaringan. Pada vertebra, entesopati pada situs

insersi annulus fibrosus menyebabkan squaring dari


korpus vertebra, destruksi vertebral end plate, danformasi
sindesmofit. Osihkasi pada regio diskus, epifiseal dan sendi
sakroiliaka sefia ekstraspinal diinisiasi oleh lesi pada insersi
ligament.

menyebabkan resorpsi tulang yang diikuti perubahan


reparasi pada korpus vertebra akan berperan dalam
terjadinya squaring. Jaringan granulasi akan mengalami
metaplasia kartilago yang diikuti dengan kalsifikasi pada
tepi vertebra dan sisi luar annulus; dan menyebabkan

gambaran sindesmofit pada foto polos. Kertelibatan


menyeluruh seluruh vertebra memberikan gambaran
bamboo spine.

Lesi ekstraspinal terjadi di daerah artikular dan


nonartikular. Lesi artikular meliputi sendi sinkondrotik
seperli simfisis pubis dan sendi manubriostemal, sendi

synovial seperti sendi panggul dan lutut dan entesis.


Inflamasi pada situs nonartikular meliputi uvea, katup
jantung, fibrosis apeks paru.

GAMBARAN KLINIS
Spondilitis ankilosa dapat bermanifestasi pada skeletal
maupun ekstraskeletal. Presentasi klasik terjadi pada
dewasa muda yang mengeluh nyeri punggung bawah dan

kekakuan yang sering memburuk pada pagi hari atau


setelah istirahat lama. Nyeri akan menghilang dengan
Gambar 2. Squaring korpus vertebra. Tanda panah
adalah sklerosis tulang pada situs entesopati

aktivitas fisik dan biasanya terpusat di verlebra lumbosacral


meski bisajuga terasa pada sendi panggul dan pantat dan
kadang-kadang menjalar ke paha. Kekakuan biasanya
berlangsung lebih dari 30 menit.

I
't
i
I

;J
Jl

.t

r
....:t
.1.1r

'1.1

Gambar

4.

Distr bus

nyeri pada pasien

spondilitis ankilosa

Gambar 3. Sindesmofit
Pasien bisa mengeluh nyeri dan kaku pada vertebra
Pe{alanan penyakit trpikal dimulai dari sendi sakroiliaka.

Sakroilitrs ditandai dengan sinovitis dan formasi panus


dan jaringan granulasi. Semua proses tersebut akan

torakalis, leher dan bahu. Keterlibatan kostovertebral


menyebabkan gangguan ekspansi dada. Sendi perifer
dapat mengalami sinovitis, terutama sendi besar dan

mengerosi, mendestruksi dan mengganti rawan sendi dan


fulang subkondral. Tulang pararlikular juga akan menipis
akibat peningkatan aktivitas osteoblastik. Infl amasi pada
sendi sakroiliaka mempunyai predileksi pada sisi iliaka,
hal ini mungkin karena jaringan fibrokartilago yang lebih

proksimal seperti bahu dan panggul. Umumnya


monoartikul ar atat oligoartikular asimetris. Nyeri

banyak dan shear stress yarrg lebih besar pada sisi

Manifestasi ekstraskeletal yang bisa timbul adalah

tersebut.
Pada vertebra terjadi inflamasi kronik

di annulus
fibrosus, khususnya pada insersi ke tepi vertebra,

pergelangan kaki bisa terjadi akibat entesopati di calca-

neus sedangkan Tendinitis Achiles cukup sering


ditemukan.
gejala konstitusional sepefii kelemahan, penurunan berat
badan dan subfebril; gangguan mata, kardiovaskuler, paru,

neurologis dan ginjal

2528

Nyeri punggung bawah inflamasi pada usia muda


Keluhan berlangsung sekurangnya 3 bulan

Gambaranradiologismenunjukkansakroilitis
Berkurangnya mobilitas vertebra
Berkaitan dengan anterior uveitis
Riwayat keluarga yang menderita spondilits ankilosa,
psoriasis, inflammatory bowel disease

REUTvIA*IOI.OGI

t,
i:

ii

I't

Ii

tt
,:
t:
\|
}I
!i

IJ
tr

li

Keterlibatan mata merupakan manifestasi ekstraskeletal


yang cukup sering pada pasien spondilitis ankilosa, berupa
uveitis anterior atau iridosiklitis. Umumnya unilateral dan

sering berulang dengan terjadi jaringan parut dan


glaucoma sekunder.

Manifestasi kardiovaskuler berupa aortitis, regurgitasi

katup aorta, gangguan konduksi dan perikarditis.


Keterlibatanparu cukup jarang dan merupakan manifestasi
lanjut dari spondilitis ankilosa, berupa fibrosis lobus
superior yang progresif lambat. Nefropati IgA dan
amiloidosis sekunder dapat ditemui pada pasien spondilitis
ankilosa.

Gam

hobe

menyebabkan gangguan ekspansi dada. Pengukuran


dilakukan pada ruang antar iga V saat inspirasi dan

ekspirasi maksimal, normalnya mencapai 5 cm.


Keterbatasan ini disebabkan fusi dari sendi kostovertebral.
Gangguan pada vertebra servikalis biasanya merupakan

manifestasi lambat dari spondilitis ankilosa. Kekakuan


menyebabkan pasien kesulitan untuk mengekstensi kepala.
Beratnya deformitas ini dapat diukur dengan mengukur

jarak oksipital-dinding.

Manifestasi lain yang bisa didapatkan pada

Komplikasi neurologi yang sering timbul adalah akibat

pemeriksaan fisik pasien spondilitis ankilosa adalah artritis

fraktur, instabilitas, kompresi atau inflamasi. Fraktur sering

subluksasi sendi atlantoaksial dan atlanto oksipitalis.

perifer, biasanya asimetris dan pada sendi proksimal,


yang cenderung menyebabkan kontraktur dini dan
manifestasi ekstraartikular seperti uveitis, regurgitasi

Osifikasi dari ligament longitudinal posterior akan

aofia.

pada vertebra C5-C6 or C6-C7 , instabilitas mengakibatkan

menyebabkan kompresi mielopati dan stenosis spinalis.

Sindroma kauda equina jaratg terjadi tapi merupakan


komplikasi serius.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tidak mempunyai gambaran yang

PEMERIKSAAN FISIK
Kelainan dini pada spondilitis ankilosa adalah nyeri pada
sendi sakroiliaka dan nyeri akibat spasme otot paraspinal
vertebra lumbalis. Tes SLR (straight leg-raising test)
yang sering dipakai untuk mendeteksi iritasi nervus

sciatic biasanya negatif. Untuk mendeteksi adatya


sakroilitis dapat dilakukan beberapa tes sepertipe/v ic rock
slgr, kompresi lateral dari pelvis dan tes Gaenslen.
Gangguan pada vertebra biasanya timbul seiring
dengan perjalanan penyakit. Manifestasinya berupa
berkurangnya kurvatura lordosis dan restriksi pergerakan
pada semua bidang dari vertebra terutama lumbal.
Tes Schober berguna untuk mendeteksi keterbatasan
gerakan fleksi dari vertebra lumbal. Tes ini dilakukan
dengan memberi tanda pada prosesus spinosus
vertebra lumbal V (setinggi spina iliaka posterosuperior)
lalu beri tanda lagi 10 cm diatasnya. Pasien diminta
untuk membungkuk semaksimal mungkin tanpa
membengkokkan kaki. Pada orang normal jarak antara
kedua titik akan mencapai 15 cm. Gerakan fleksi ke lateral
juga berkurang dan rotasi spinal bisa merangsang nyeri.
Kelainan yang mengenai vertebra torakalis akan

khas untuk pasien spondilitis ankilosa. HLA-827 akat


didapatkan pada lebih dari90Yo pasien dan akan mencapai
100% jika disertai dengan uveitis atau gangguan jantung.
Laju endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP) akan

meningkat tapi tidak berhubungan dengan aktivitas


penyakit. Bisa didapatkan anemia normokrom normositer
ringan dan trombositosis ringan. Kadar IgA serum juga
meningkat tapi belum diketahui hubungan dengan
spondilitis ankilosa.
Tes fungsi paru biasanya baru menunjukkan kelainan
jika vertebra torakalis sudah terlibat dimana akan terjadi
penurunan kapasitas vital paru dan peningkatan volume
residual paru.
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk mendeteksi

abnormalitas yang terjadi. Kelainan yang paling


mendukung adalah ditemukannya inflamasi pada
sendi sakroiliaka. Gambaranyalg tampak adalah erosi
pada sisi iliaka terutama pada sepertiga bawah sendi
sakroiliaka. Seiring dengan perjalanan penyakit akan
terjadi pseudowidening dari sendi dan selanjutnya
akan mengalami fusi. Teknik yang lebih superior
adalah MRI dan CT yang bisa mendeteksi kelainan
lebih dini. Keunggulan MRI adalah bisa memvisualisasi

2s29

SPONDILITISANKILOSA

Grade
0
1

Penilaian
Normal
Mencurigakan

Kriteria

Sklerosis, sedikit erosi


Erosi berat, pelebaran celah sendi, sebagian ankilosis
Ankilosis kom

3.
4.
5
lesi katilago dan entesis.
Perubahan pada vertebra pada fase awal spondilitis
adalah erosi yang dikelilingi sklerosis pada tepi kotpus

vertebra sebagai akibat inflamasi pada situs insersi


annulus fibrosus di korpus vertebra (tanda Romanus).
Selanjutnya periostitis di perifer korpus vertebra akan
menyebabkan terbentuknya s quaring. Karakteristik yang
penting adalah formasi sindesmofit akibat dari kondritis

Nyeri punggung bawah sekurangnya berlangsung 3


bulan, membaik dengan latihan dan tidak berkurang
dengan istirahat
Limitasi pergerakan vertebra lumbalis pada bidang
frontal dan sagital
Berkurangnya ekspansi dada
a Sakroilitis unilateral gr 3-4
b Sakroilitis bilateral gr 2-4

Diagnosis pasti jika didapatkan kriteria 4a atau 4b disertai


salah satu kriteria 1 - 3
Diagnosis probable hanya ada kriteria klinis saja atau hanya
kriteria radiologis tanpa gejala klinis

DIAGNOSIS BANDING

vertebra dan osteitis subkondral yang diikuti dengan


fibrosis dan osifikasi. Orientasi dari sindesmofit adalah

Beberapa penyakit yang harus dipikirkan sebagai diagnosis banding adalah spondylosis lumbalis, strain lumbal,

vefiical yang akan membedakannya dengan osteofit akibat


penyakit degeneratif. Pada tahap akhir, gambaran
radiologis vefiebra dikenal dengan nama bamboo spine.

penyakit lain dalam kelompok spondiloartropati


seronegatif, diffuse idiopathic skeletal hyperostosis
(DlSH/penyakit Forestier) dan osteitis condensan iliaka.

Pengawasan Status Penyakit Spondilitis Ankilosa


Untuk mengawasi perkembangan spondilitis ankilosa,
beberapa parameter yang dapat dipakai adalah Balh AS

Disease Activity Index (BASDAI), Bath AS Punctional


Index (BASFI), Bath AS Patient Global Score (BAS-G),
Bath AS Metrology Index (BASMI), visual analog scale
(VAS) untuk menilai nyeri, pemeriksaan radiologis untuk
menilai kerusakan struktural dan manifestasi ekstra artikular.

Penatalaksanaan
Modalitas penatalaksanaan adalah program fisioterapi dan
modifikasi gaya hidup, terapi farmakologis untuk nyeri dan
kekakuan serta deteksi dan penanganatyatg tepat untuk
komplikasi artikular dan ekstra artikular. Sangat penting
Gambar 6.Tampak fusi dari sendi sakroiliaka bilateral dan

bamboo spine

DIAGNOSIS

Seperti penyakit lain dengan etiologi yang belum


sepenuhnya jelas, diagnosis spondilitis ankilosa
bergantung pada kombinasi gambaran klinis, radiologis
dan hasil laboratorium. Kriteria klasifikasi untuk
spondilitis ankilosa yang banyak dipakai saat ini adalah
kriteria New York modifikasi 1984 (Tabel3). Meskipun
demikian, keberatan utama pada kriteria ini adalah kurang

sensitifuntuk mendeteksi pasien dengan penyakit yang


masih dini.

bagi pasien untuk mendapatkan edukasi tentang perjalanan


penyakit dan berbagai modalitas penatalaksanaafl yar,g
dianjurkan. Menghentikan merokok sangat dianjurkan pada
pasien spondilitis ankilosa.
Pro gram f,rsioterapi bertuj uan untuk mempertahankan
postur tubuh yang tepat untuk berbagai aktivitas. Pasien

harus tidur pada kasur yang agak keras dengan bantal


tipis. Berjalan dan berenang merupakan cara yang cukup
baik untuk memperlahankan mobilitas sendi. Tujuannya
adalah untuk mempertahankan mobilitas spinal atau
setidaknya mencegah deformitas dan disabilitas spinal.
Terapi farmakologis biasanya membutuhkan OAINS
untuk mengatasi nyeri dan kekakuan dengan
mempertimbangkan risiko efek samping yang mungkin
terjadi. Sulfasalazin dapat mqngatasi keluhan spinal
terutama pada tahap dini. Metotreksat, siklofosfamid dan

2530

RELjM/{IOLOGI

Uveids
Srs.ilirJ {rIsdroFs
lf 5ynrpt6ms perlisi l J da|$
ref*r to opth;tLn+iogrsl isr
lf syrrrpt$Els .1/e

tetet+

$'r

re(ilrreEtI
lJpper lobe pulmonartr, fbrosis
Treatment: iEftorel

Cardlac d{sqa;e
Usilalty rnild. Nc :Pelific
irearment needed

Ch+rt wall pain


Seronriary ro enthsopathts

lreolntent' lo(*l

lrritable hiP
t'1 ildirroder*e, wtthcut

JftJectiqt

severe radte5raPhie cha*gc


ar'liC*lnr sta/ 0id
i{ se}er*---tsIal hip

P$oriarii
1 Trexi skitr lesiqfls virh

jctr;i

lscal. tl:empy
?,

Cssidar sutfislaz]ntr
F,1ild

reptocarler,t

i{

.rrtilr +pnrhy

De.tytiilg

0a

Hethotr&xn(0 if nddiiionni
$ovtrs:trthrrtr$

infiltr{te with ster6ld

lnflammatory bowel dlseue


TrCat eg l.jparnte en?l1y

Trdtrfi ant-?Glreral PrlnclplE

'l

A,chitle tendinids

Edua.tlron

? fxeruise e

ke+P fiI

ifitml+!r6rlnl

3 Stop srtoking

wilh H{at

4 Sptcific phyverherapy .trd llFdrothcreFy

!t{r*t*
ra! P

rc al'{iid

flrpt).F e

$. |!SAIP f$fl sFin,,tl disease

f i ,gulfrsnlaaine

f+r periphertl i*itrt dise.rse


7" Sei{-help group i{ rvarlable (e 5. NASS]

Gambar 7. Beberapa modalitas penatalaksanaan pada spondilitis ankilosa

azatioprin juga dapat membantu walaupun efikasinya belum

didukung penelitian klinis. Pemberian anti malaria tidak


bermanfaat. Pemberian steroid sistemik dan lokal dapat
diberikan pada keadaan Jlare. Tetapi anti reumatik baru
yang mempunyai potensi pengobatan pada spondilitis
ankilosa adalah anti TNF-o. Denganpenghambatan sitokin

sedikit ketidaknyamanan dan beberapa hanya mengalami


sakroilitis tanpa keterllibatan spinal.
Meski spondilitis ankilosa tidak bisa disembuhkan,
program rehabilitasi mempunyai pencapaian yang cukup
impresif sehingga dianjurkan untuk tetap dilaksanakan'

tersebut, dilaporkan terjadi penurunan kekakuan dan nyeri

nokturnal, perbaikan asesment global pasien, indeks


fungsional dan memperbaiki ROM spinal dan dada serta
resolusi entesitis.
Operasi merupakan pilihan jika ada deformitas yang
mengganggu fungsi tubuh atau keluhan nyeri yang tidak
teratasi dengan terapi farmakologis. Beberapa prosedur
yang sering dilakukan pada pasien dengan spondilitis
ankilosa adalah total hip replacement (THR), total knee
replocement (TKR), osteotomi servikal dan lumbal untuk
mengurangi derajat kifosis dan stabilisasi subluksasi
atlanto-axial.

PROGNOSIS
spondilitis ankilo sa sangat bervariasi. Beberapa
pasien mengalami progresi yang berat meski dengan terapi'
Perj alanan

Sebagian mengalami ankilosis secara gradual dengan

DAFTARPUSTAKA
Alvares I, Lopez de Castro. HLA-827 and immunogenetics of
spndyloarthropathies. Curr Opin Rheumatol 2000; 12: 248 -

253
Aufdermaur M. Pathogenesis of square bodies in ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 1989;48:628-631
Barkham N, Kong KO, Tennant A, Fraser A, Hensor A et al The
unmet need for anti-tumour necrosis factor (anti-TNF) therapy

in ankylosing spondylitis. Rheumatology 2005 ;44:1 21 7 1281'


Brandt J, Listing J, Haibel H, Sorensen H et al Long-term efficacy
and safety of etanercept after readministration in patients with
active ankylosing spondylitis Rheumatology 2005 ;44:342-348
Brown MA. Breakthrough in genetics studies of ankylosing spondylitis. Rheumatol ogY 2008;47 ;732-137
Ebringer A, Rashid T , Wilson C, Ptaszynska ! Fielder M' Ankyiosing
Spondylitis, HLA-827 arid Klebsiella - An Overview: Proposal
for early diagnosis and Treatment. Curr Rheumatol Rev 2006,

2:
Gadsby

55-68
K, Deighton C. Characteristics and treatment responses of

2531

SPONDILITISAI{KILOSA

patients satisrying the BSR guidelines for anti-TNF in ankylosing

spondylitis. Rheumatology 2007 ;46:439-441


Gorman JD, Imboden JB. Ankylosing Spondylitis and the Arthritis
of Inflammatory Bowel Disease. In: Imboden JB, Hellmann
DB, Stone JH (eds). Current Rheumatology Diagnosis and Treatment 2"d ed. McGraw Hill, New York. 2007: 175 - 182
Jois RN, Leeder J, Gibb J, Gaffney K et al. Low-dose infliximab
treatment for ankylosing spondylitis: clinically and cost-effective. Rheumatology 2006;45: 1 566-1569

Sidiropoulos PI, Hatemiz G, Song IH et al. evidence based


recommendations for the management of ankylosing
spondylitis: systematic literature search of the 3E Iniatiative in
Meumatology involving a broad panel of experts and practicing rheumatologist. Rheumatology 2008; 47 : 355-361
Sieper J, Braun J, Rudwaleit M, Boonen A, Zink A. Ankylosing
Spondylitis: an overview. Ann Rheum Dis 2002; 61(supl III):

iiiS

- iiil8

Van der Heijde D. Ankylosing Spondylitis. A. Clinical Features. In:


Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH (eds). Primer on
the Rheumatic Diseases 13th ed. Spinger, New York. 2008; 193199

Van der Linden S, Valekburg HA. Cats A. Evaluation of diagnostic


criteria for ankylosing spondylitis. A Proposal for modification
of New York Criteria. Arthritis Rheum 1984; 27: 361-368
Van der Linden S, van der Heijde D, Maksymowych WP Ankylosing
Spondylitis. In: Firestein GS, Budd RC, Harris Jr ED et al (eds).
Kelley's Textbook of Rheumatology 8tI ed. Saunders, Philadel-

phia.2009;1169

1190

Yoong KCJ. Ankylosing Spondylitis. N Engl J Med 2008; 359:4


Zeboulon N, Dougados M, Gossec L. Prevalence and characteristics
of uveitis in the spondyloarthropathies: a systematic literature
review. Ann Rheum Dis 2008;67:955-959
Zocinling J. van der Heijde D. Burgos-Vardas R, Collanter E et al.

ASAS/EULAR recommencation

for the management of

ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 2006; 65: 442-452

394
ARTRITIS PSORIATIK
ZuljasriAlbar

Spondiloartropati seronegatif merupakan sekelompok


penyakit radang multisistem yang saling berhubungan
satu sama lain. Sebagai penyakit reumatik, mereka

mengenai tulang belakang, sendi perifer struktur


periartikuler atau ketiga-ti

garLya.

Mereka juga berkaitan

dengan manifestasi ekstra-artikuler yang berbeda-beda.

Misalnya inflamasi traktus gastrointestinal atau haktus


urinarius baik akut maupun kronik yang kadang-kadang
akibat infeksi bakteri, inflamasi mata bagian anterior, lesi
kulit dan kuku yang psoriasiform dan- jarang lesi pangkal

aorta, sistem konduksi jantung dan apeks paru.


Kebanyakan kelainan ini menunjukkan peningkatan
prevalensi pada individu yang memiliki getHLA-B21

GEJALA KLINIS
Variasi gambaran klinis artritis psoariatika sangat luas. Dad
segi diagnosis dan pengobatan, penderita dapat dibagr
dalam tiga kelompok :
l. Monoartritis atau oligoartritis asimetris :30 % - 50 %.
2. Poliartritis, sering simetris sehinggamirip dengan artritis

reumatoid:30%-50%.

3. Terutama

mengenai sendi aksial (spondilitis, sakroiliitis

dan atau artritis sendi panggul dan bahu yang


menyerupai spondilitis ankilosa) dengan atau tanpa
kelainan sendi perifer : 5 oZ.
Terkenanya sendi DIP (prevalensi 25 o/o), artrttis mutilans
(5 %), sakroiliitis (35 %)

Kelainan-kelainan yang telah diketahui sebagai


diagnostic entity dalam kelompok spondiloartropati
seronegatif ini ialah spondilitis ankilosa, artritis reaktif,

spondilitis dan artritis perifer yang berkaitan dengan


psoriasis atau penyakit radang usus, spondiloartropati
juvenile onset dan beragam kelainan yang agak sulit

diklasifikasikan yang sering disebut undifferentiated


spondiloarthropathy atau - lebih singkat - spondiloartropati

dan spondilitis (30 %) dapat ditemukan pada setiap


kelompok ini. Perubahan gambaran klinis dari satu bentuk
ke bentuk lain tidak jarang terjadi sehingga menghasilkan
gambaran klinis yang heterogen.
Pada sekitar 70 % penderita, psoriasis timbul bertahuntahun sebelum artritis, atau timbul bersamaan dengan
artritis (+ 15 %). Walaupun onset artritis biasanya samarsamar, pada l/3 kasus onsetnya akut. Jarang terdapat gejala
konstitusional. Pada sebagian kecil penderita dewasa
(+15 %) - lebih sering pada anak-anak - artritis timbul
sebelum terdapat perubahan pada kulit atau kuku (artritis

saJa.

Berbagai kriteria diagnostik untuk bermacam-macam


spondiloartropati telah diajukan dalam 3 dekade terakhir.
Dalam makalah ini akan dibicarakan diagnosis dan
pengobatan salah satu kelainan yang termasuk dalam

sine psoriasis). Kebanyakan penderita mempunyai riwayat

psoriasis atau gambaran klinis tertentu pada anggota


keluarga yang lain, sehingga dapat membantu diagnosis.

kelompok spondiloartropati seronegatif, yaitu artritis


psoriatika.

Kelainan sendi
EPIDEMIOLOGI

Oligoartritis atau monoartritis. Manifestasi awal yang


paling sering, ditemukan pada 213 kasus ialah oligo- atau

Prevalensi artritis psoriatika di Amerika Serikat + 0.1 %.


Artritis timbul pada + 5-7 %openderita psoriasis. Psoariasis
relatif sering pada bangsa kulit putih dan jarang pada

monoartritis yang mirip dengan artritis perifer pada


spondiloartropati lain. Pada 113 - ll2 penderita ini, artritis
akan berkembang menjadi poliartritis simetris yang sulit
dibedakan dari artritis reumatoid.

penduduk Asia.

2532

2533

ARTRITIS PSORIATIK

Oligoarkitis yang klasik mengenai sendi besar misalnya


sendi lutut- dengan I atat2 sendi interfalang dan daktilitis
salah satu jari atau ibu jari. Pada beberapa kasus arlritis
timbul setelah trauma. Jika pada anamnesis didapatkan
riwayat psoriasis pada keluarga, pencarian psoriasis pada
daerah yang tersembunyi (kulit kepala, umbilikus dan
daerah perianal) disertai kelainan radiologis yang khas akan
menghasilkan bukti penting untuk diagnosis yang tepat.
Lesi psoriatik mungkin terbatas pada 1 atau 2 tempat
dengan atau tanpa terkenanya kuku. Terkenanya sendi

DIP merupakan tanda yang khas

dan

hampir selalu

berkaitan dengan perubahan psoriatik pada kuku.

Poliartritis. Poliartritis simetris yang mengenai sendi kecil


pada tangan dan kaki, pergelangan talga\ pergelangan
kaki, lutut dan siku merupakan pola artritis psoriatik yang
paling sering. Artritis mungkin sukar dibedakan dari AR,

tetapi sendi DIP lebih sering terkena dan terdapat


kecenderungan ankilosis tulang pada sendi PIP dan DIP
yang mengakibatkan deformitas 'claw' atau 'paddle' pada

tangan. Penderita dengan poliartritis simetris dan


psoriasis tetapi tanpa gambaran klinis (daktilitis, entesitis,
terkenanya sendi DIP atau sakroiliaka) atau radiologis yang

khas serta faktor reumatoidnya positif mungkin secara


bersamaan juga menderita AR.

Artritis mutilans. Artritis mutilans akibat osteolisis jari

dan tulang metakarpal (arang pada kaki) jarang, tetapi jika


ada merupakan gambaran yang sangat karakteristik untuk

artritis psoriatika. Kelainan ini mengakibatkan timbulnya


jari teleskop, ditemukan pada 5 o% kasus.

Kelainan sendi aksial. Kelainan sendi aksial dapat terjadi


pada penderita artritis perifer yang faktor reumatoidnya
negatif dan sering asimtomatik. Pria dan wanita sama
kemungkinan terkenanya. Biasanya timbul beberapa tahun
setelah artritis perifer. Keluhan low backpain inflamatif alat

nyeri dada mungkin tidak ada atau minimal meskipun


kelainan radiologis tampak lanjut.

Manifestasi lain. Peradangan pada tempat melekatnya


tendo dan ligamen pada tulang (entesitis) sebuah gambaran
yang karakteristik untuk spondiloartropati sering ditemukan

terutama pada insersi tendo Achilles dan fasia plantaris


pada kalkaneus. Entesopati cenderung lebih sering terjadi

pada bentuk oligoartritis. Konyungtifitis tidak jatarrg,


ditemukan pada ll3 kasus. Sebagaimana halnya dengan
spondilitis ankilosa, komplikasi seperti insufisiensi aorta,
uveitis, f,rbrosis paru yang mengenai lobus superior dan
amiloidosis dapat terjadi tetapi jarang.

Dapat juga ditemukan pada bagian tubuh yang lain


seperti telapak tangan dan kaki, bagian fleksor, pinggang
bawah, batas rambut, perineum dan genitalia. Ukurannya
bervariasi, berkisar dari I mm atau kurang pada psoriasis
akut awal sampai beberapa sentimeter pada penyakit yang

well-established.
Terkenanya kuku merupakan satu-satuny a gambaran
klinis untuk mengetahui penderita psoriasis mana yang

mungkin akan mengalami artritis. Kelainan kuku dapat


berupa pitting, onikolisis (terlepasnya kuku dari nail-bed),

depresi melintang (ridging) dan retak, keratosis subungual, warnakuning-kecoklatan (oil drop sign) dan leukonychia dengan permukaan yang kasar. Tidak ada kelainan

kuku yang spesifik untuk artritis psoriatik. Meskipun


pitting tidak jarang pada orang normal, multipel pit
(biasanya lebih dari 20) pada satu kuku pada jari yang
mengalami daktilitis atauperadangan sendi DIP dianggap
khas untuk artritis psoriatik.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Ada beberapa kelainan radiologis yang khas untuk


penyakit ini. Perubahan tulang pada artritis psoriatik

merupakan gabungan antara erosi - yang membedakan


dengan spondilitis ankilosa - dan produksi tulang dengan
distribusi yang spesifik - yang membedakan dengan AR.
Gambaran yang khas ialah :
1. Pembengkakan jaringan lunak yang fusiform dengan
distribusi bitateral asimetris, mineralisasi yang normal;

2. Hilangnya

celah sendi dengan atau tanpa ankilosis

sendi IP tangandan kaki


Destruksi sendi IP dengan pelebaran celah sendi;

3.
4. Proliferasi

tulang pada pangkal falang distal dan

resorpsi ujung falang distal yang bersangkutan;

5. Erosi sendi

dengan pengecilan falang proksimal

disertai proliferasi tulang falang distal (pencil-in-cup


deformity)

6. Fluffiperiostitis.
Kelainan radiologis ditemukan pada (dimulai dari yang
paling sering) tangan, kaki,

sendi sakroiliaka dan tulang belakang. Sakroiliitis


mungkin unilateral atau simetris pada fase awal, tetapi
dapat berlanjut menjadi fusi bilateral.

DIAGNOSIS BANDING

Kelainan Kulit

Artritis psoriatik perlu dibedakan terutama dari

Lesi psoriatik yang khas berupa plak kemerahan yang


berbatas tegas disertai sisik seperti perak yang tampak
jelas. Ditemukan pada permukaan ekstensor siku, lutut,

spondiloarhopati lain dan AR. Kelainan tulang belakang


tidak seberat pada spondilitis ankilosa dan timbul pada
usia yang lebih tua (> 30 tahun). Perbedaan lain ialah
kelainan psoriatik pada kulit atau kuku, riwayat psoriasis

kulit kepala, telinga dan daerah presakral.

2534

REUMATOI.OGI

pada keluarga dan kelainan radiologis yang kurang simetris.

dihindarkan suntikan steroid lokal melalui lesi psoriatik

Adanya daktilitis dan entesitis, kelainan psoriatik pada


kulit dan kuku, riwayat psoriasis pada keluarga,terkenanya
sendi DIP, faktor reumatoid negatif; adanya kelainan tulang
belakang atau sakroiliitis dan adanya pembentukan tulang
baru atau ankilosis tulang yang tampak pada pemeriksaan
radiologis dapat membantu membedakannya dari AR.
Yang lebih sulit ialah membedakan artritis psoriatik dari

karena mungkin terdapat koloni kuman disana.

spondiloartropati seronegatif lain. Artritis reaktif, artritis


yang berkaitan dengan penyakit radang usus dan arhitis
psoriatik memiliki banyak kemiripan dalam gejala klinis.

diperlukan tindakan operatif.

Penggunaan anti-TNF untuk pengobatan artritis


psoriatik menunjukkan efek yang baik terhadap keluhan
artritis perifer dan tulang belakang. Preparat yang banyak
digunakan adalah ialah Infliximab dan Etanercept
Pada penderita dengan nyeri sendi yang tidak dapat

diatasi (intractable) dan hilangnya fungsi sendi,

PROGNOSIS
PENGOBATAN

Secara umum, keluhan sendi artritis psoriatika tidak seberat

Pembicaraan dalam hal ini dititik beratkan pada pengobatan

AR. Faktor prognostik yang pasti belum ada.


Meskipun demikian, riwayat keluarga adanya artritis
psoriatik, onset penyakit dibawah 20 tahlur', adanya
pada

kelainan/keluhan sendi. Prinsip dasar penganganan


penderita AR atau spondilitis juga berlaku untuk artritis
psoriatik. Pengobatan bergantung kepada jenis penyakit
sendi (aksial atau perifer) dan beratnya kelainan sendi dan
kulit.

HLA-DR3 atau DR4, kelainan sendi poliartikuler atau erosif


dan kelainan kulit yang luas diduga berkaitan dengan
prognosis yang buruk. Penderita seperti ini memerlukan
pengobatan yang lebih agresif.

Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) efektif pada


sebagian besar penderita. Pada penderita yang responnya

terhadap OAINS tidak adekwat serta penderita dengan


penyakit poliartikuler, progresif dan erosif,

DMARD hendaknya diberikan sedini mungkin.


Metotreksat efektifbaik pada kelainan kulit maupun artritis

perifer pada penderita oligoartritis dan monoartritis.


Diberikan 7.5 mg - 25 mglmirrggu, disesuaikan dengan
respon dan toleransi penderita.
Sulfasalazin 2-3 g,/trari bermanfaat pada

afrtis

REFERENSI
Klran MA : An overview of Clinical Spectrum and Heterogeneity ol
Spondyloarthropathie's. Rheum Dis Clin North Amer 18:1,
1-10, Febr 1992.
Boumpas D! Tassiulas IO : Psoriatic Arthrjtis. Dalam K\ippel JH

(Ed.) Primer on the

Rheumatic Diseases. 11th ed, Arthr

Foundation, Atlanta, GA, 1997.

aksial dan

artritis perifer, tetapi tidak bermanfaat untuk kelainan kulit.


Kortikosteroidboleh digunakan dalam dosis rendah baik
dalam bentuk kombinasi dengan DMARD maupun sebagai

bridge therapy sambil menunggu DMARD berkerja.


Pengobatan kombinasi ini dipertimbangkan pada penderita

dengan penyakit yang agresif dan destruktif, yang tidak


memberikan respon adekwat terhadap 1 macam obat.
F1are yang hanya mengenai I atat2 sendi dapat diatasi
secara baik dengan suntikan kortikosteroid lokal. Harus

Gladman DD : Psoriatic

Artkitis : Recent Advances in

Pathogenesis

and Treatment. Rheum Dis Clin North Amer 18:1, 247-256,

Febr 1992.
Jackson CG, Clegg

DO : The Seronegative Spondyloarthropathies

(Ankylosing Spondylitis, Reactive Arthritis, Psoriatic


Arthritis). Dalam Weisman MH et al (Eds.) Treatment of the
Rheumatic Diseases. Companion to Kelley's Textbook of
Rheumatology. 2nd ed., Philadelphia, WB Saunders Co., 2001.
Inman RD : Treatrnent of Seronegative Spondyloarthropathy. Dalam
Klippel JH (Ed.) Primer on the Rheumatic Diseases. 11th ed,
Arthr Foundation, Atlanta, GA, 1997.

395
REACTIVE ARTHRIrIS
RudiHidayat

PENDAHULUAN

PATOGENESIS

Reactive arthritis (ReA) atau sindrom Reiter merupakan


salah satu bentuk atau varian dari spondiloartropati
seronegatif. ReA didefinisikan sebagai suatu kondisi
inflamasi yang steril, setelah adanya infeksi ekstraartikular,
terutama infeksi urogenital dan enterik. Banyak studi yang
telah dilakukan untuk memahami bagaimana patogenesa

Dari berbagai organisme yang telah terbukti menjadi


pemicu terjadinya P.eA, Chlamydia sp merupakan

terjadinya ReA, dan diduga adanya reaksi imun baik


serologis maupun seluler terhadap suatu patogen

penyebab, meskipun patogen tersebut tidak dapat


diidentifikasi lagi di jaringan maupun cairan sinovial.
Insidens lebih banyak ditemukan pada usia dewasa muda
(20-40 tahun), tidak ada perbedaan pada laki-laki dan
perempuan.

Suatu studi prospektif

di Swedia mendapatkan

insidens ReA adalah 28 kasus 100.000 penduduk, lebih


tinggi dibandingkan insidenRA (24l100.000). Pada studistudi yang lain seperti diYunani, Finlandia, danNorwegia,
rata-ratadidapatkan 3,5-10 kasus per 100.000 penduduk.

Angka kejadian ini juga dipengaruhi oleh karakteristik

populasi tertentu, seperti ReA yang lebih sering


ditemukan pada populasi Eskimo Alaska, alau ReA yang

ditemukan lebih banyak pada kelompok dewasa


dibandingkan anak-anak setelah adanya wabah
Salmonella. Faktor genetik terutama yang berkaitan
dengan human leukocyte antigen-B27 (HLA-827) juga
dianggap berperan.
Dari suatu studi epidemologi didapatkan lebih dari
500/o kasus ReA atau oligoartritis yang tidak terklasifikasi,
didapatkan hubungan dengan patogen yang spesifik baik
dengan pemeriksaan serologis maupun kultur. Organisme

yang terdeteksi terutama Chlamydia sp (patogen


urogenital), Salmonella, Shigella, Yersinia dan
Campylobacter sp (patogen enterik). Beberapa organisme
yang lainjuga terdeteksi dari beberapa studi regional.

penyebab paling sering, dan juga paling sering diamati.


Pada jaringan/cairan sinovial, atat darah tepi penderita

ReA dapat ditemukan Chlamydia DNA, mRNA, rRNA


maupun Chlamydia like-cells. Menetapnya Chlamydia
sp ataukomponemya, karena kemampuan organisme ini
untuk menurunkan ekspresi maior outer membrane
protein,meningkatkan ekspresi heat shock protein (HSP)
dan lipopolysaccharide (IP.l). Selain itu juga menurunkan
ekspresi major histocompatibility complex (MHC)

antigen pada permukaan sel yang terinfeksi, menginduksi


apoptosis sel-T dengan cara merangsang produksi lokal

tumor necrosing factor (TNF), serta menghambat


apoptosis sel host dengan menurunkan pelepasan
cytocrome C dan menghllatgkan protein kinase C-delta.
Hingga saat ini masih menjadi pertanyaan bagaimana
infeksi sebelumnya dapat menyebabkan inflamasi dan erosi
(proses autoimun) pada persendian tanpa adanya

organisme yang viable. Selain adatya komponen


mikroorganisme yang menetap, juga diduga adanya
molecular mimicry yang menyebabkan reaktivitas silang
sel host dengan antigen microbial. Analisa pada tikus yang

terinfeksi S. typhimurium ternyata menghasilkan


perubahan peptida tertentu yang homolog dengan peptida

dari DNA C. trachomatis. HLA-B27 |uga dianggap


berperan pada mekanisme molecular mimicry, dimana
struktur antigeniknya dapat menyerupai protein dari
mikroorganisme pencetus. Proses inflamasinya melibatkan
fibroblas sinovial yang menimbulkan diferensiasi dan

aktifasi osteoklas.
Sebagaimana kelompok spondiloartropati seronegatif
yang lain, kaitan ReA dengan HLA-827 telah banyak
dianalisa, namun masih belum dapat dibuktikan adanya

2536

hubungan yang kuat seperti pada kasus ankilosing


spondilitis. Kecuali dua hal yang telah diketahui
berhubungan dengan HLA-827, yaitu sel imun dengan
HLA-827 ternyata kurang efektif kemampuannya
membunuh salmonella dibandingkan sel kontrol, dan
ad,anya perangsangan LPS yang menghasilkan
peningkatan sekresi TNF. Selain itu dianalisa juga besamya

peran sel T CDS+ yang berhubungan dengan molekul


MHC kelas I termasuk HLA-B27. Observasi pada kelompok
individu dengan defisiensi sel T CD4+ termasttk acquired
immune deficiency syndrome (AIDS), ternyata masih
terdapat manifestasi ReA.

GAMBARAN KLINIS
Karakteristik klinis dari ReA adalah oligoartritis asimetrik
terutama pada ekstrimitas bawah, meskipun pada 20%o
kasus dapat berupa poliartritis. Keterlibatan daerah
panggul dan ekstrimitas atas sangat jarang. Sendi yang
terlibat mengalami bengkak, hangat dan nyeri sehingga
menyerupai gambaran artritis septik. Aspirasi dan analisa
cairan sendi akan membedakan kedua keadaan tersebut.
Gejala khas yang lain yaitu entesitis (inflamasi pada insersi
ligamen/tendon ke tulang), terutama tendinitis achilles dan

fasiitis plantaris. Keluhan sakit pinggang/tulang belakang


dan bokong ditemukan pada lebih dari 50%o pasien, tapi
tidak progresif seperti pada ankilosing spondilitis.
Beberapa manifestasi ekstraartikular dapat membantu
penegakan diagnosis, terutama pada keadaan dimana

infeksi pemicunya tidak diketahui. Keratoderma


blenoragika adalah ruam papuloskuamosa yang mengenai
telapak tangan dan kaki. Gambaran klinis dan
histopatologinya menyerupai psoriasi pustular, termasuk
adanya distropi kuku. Balanitis sirsinata adalahulkus yang
dangkal di batang atau glans penis, berupa plak dan
hiperkeratotik. napat ditemukan eritema maupun ulkus
yang tidak nyeri di palatum durum atau lidah, lebihjarang
di uvula, palatum mole atau tonsil. Sedangkan uveitis
anterior akut dapat ditemukan pada 20%o kasus, dengan
keluhan mata merah, nyeri, berair, kabur dan fotofobia.
Gejala sistemik seperti demam dan malaise , atatJ
keterlibatan organ lain seperti ginjal dan jantung lebih
j arang ditemukan. Perj alanan penyakitnya diperkirakan
akan mereda dalam jangka waktu 3-6 bulan. kecuali pada
sekitar 20% kasus yang menetap sampai lebih dari 12 bulan,
sebagian besar berhubungan dengan HLA-827 positif.

DIAGNOSIS
Hingga saat ini belum ada kriteria diagnosis ReA yang
tervalidasi dengan baik, tetapi pada tahun 1996 the 3,d
International Workshop on Reactive Arthritis telah
menyepakati kriteria untuk ReA, yaitu didapatkannya dua

REI.,IMIIiIOI.OGI

gambaran:
1. Inflamasi akut arthritis, sakit pinggang inflamasi, atau
entesitis
2. Bukti adanya infeksi 4-8 minggu sebelumnya
Bukti adanya infeksi diperoleh dari hasil tes laboratorium
seperti kultur dari feses, urin, atau swab urogenital, maupun
ditemukannya antibodi terhadap patogen. Pemeriksaan
laboratorium yang lain memurjukkan proses inflamasi yaitu
peningkatan laju endap darah (LED) dan C-reactive
protein (CRP). Diagnosis semakin kuat dengan adanya
suseptibilitas genetik HLA-827, danhal ini ditemukan pada
30-60% kasus. Jika dilakukan pemeriksaan analisa cairan
sinovial didapatkan gambaran inflamasi ringan sampai berat,
sedangkan pada biopsi sinovial juga menunjukkan adanya
reaksi inflamasi. Penunjang radiologis dapat diharapkan

gambaran entesitis atau sakroilitis dari pemeriksaan


ultrasonografi, foto polos, MRI atau CT scan.

Probabilitas penegakan diagnosis ReA dapat


diperkirakan berdasarkan gambaran klinis, radiologis
maupun laboratoris yang ditemukan:

lnflamasi akut artritis, sakit


pinggang inflamasi, atau entesitis
PLUS
Riwayat adanya gejala uretritis,
servisitis atau enteritis akut
PLUS
Tes bakteri positif (kultur atau
serologi)
PLUS
HLA-827 positif

30 - 50%

70 - 80yo

>80o/o

Diagnosis banding yang harus dipikirkan antara lain

arthritis septik dengan konsekuensi tata laksana yang


sangat berbeda. Selain itu juga harus dibedakan dengan
arthritis gout, rheumatoid arthritis, arthritis psoriatik, dan
ankilosing spondilitis. Dengan anmnesis yang baikbanyak
informasi yang dapt digunakan untuk membedakan
berbagai diagnosis tersebut.

TATALAKSANA
Pilihan pertama tata laksana ReA adalah obat anti-inflamasi
non-steroidal (OAINS), yang pada banyak keadaan mampu
memperbaiki keluhan arthritis, entesitis dan sinovitis akut.
Selain itu juga perlu disarankan untuk menghindari aktifitas
yang berlebihan pada sendi yang terlibat. Pada monoartritis
dapat diberikan injeksi kortikosteroid intraartikular (pada

tempat-tempat yarlg aman untuk dilakukan injeksi).


Sedangkan untuk keratoderma blenoragika, balanitis
sirsinata dan uveitis anterior digunakan kortikosteroid
topikal yang ringan, seperti golongan hidrokortison valerat.
Pilihan berikutnya pada keadaan sinovitis yang menetap

2537

REACTIVEARTHRITIS

adalah penggunaan sulfasalazin dan metotreksat, seperti


pada RA. Kortikosteroid sistemik dianggap tidakbanyak
memberikan manfaat klinis.

Patogenesa ReA yang berkaitan dengan adanya

pemicu infeksi sebelumnya, menimbulkan pertanyaan

tentang penggunaan antibiotika. Beberapa studi


mengunakan siprofloksasin 2x500 mg atau lymecyclin 3x300

mg selama tiga bulan, mendapatkan manfaat perbaikan

yang signifikan hanya pada ReA dengan pencetus


Chlamidya. Penggunaan antibiotika ini dianggap hanya
mampu mencegah penyebaran infeksinya, terutama pada
kasus yang dapat diisolasi mikroorganisme penyebabnya,

dan dianggap tidak mempengaruhi perjalanan penyakit


ReA.

PROGNOSIS
Pada umumnya pro gnosis baik, dan sebagian besar sembuh

total setelah beberapa bulan. Hanya beberapa kasus


menjadi kronik dan menetap lebih lama, atau terjadi
rekurensi dengan pencetus infeksi yang baru atau faktor
stress non-spesihk. Pada beberapa studi juga didapatkan
sekitar 2O-70% kasus, pada follow-up selanjutnya
diketahui mengalami masalah di persendian termasuk
osteoartritis.

REFERENSI
Inman RD. Reactive and enteropathic arthritis.

In : Klippel

JH,

Stone JH, Croford LJ, White PH, editors. Primer on the


rheumatic diseases. 13'h ed. New York: Arthritis Foundation;
2008. p. 217-23.
Toivanen A. Reactive arthritis: clinical features and treatment.
In: Horcberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblat ME, Weisman
MH, editors. Rheumatology. 3'd ed. Edinburg 2003: Elsevier;
2003. p. 1233-40.
Davicl TYY, Peng TF. Reiter's syndrome, undifferentiated
spondyloarthropathy, and reactive arthritis. In: Harris ED, Budd
RC, Firestein GS, Genovese MC, Sergent JS, Ruddy S, editors'
Kelley's textbook of rheumatology. 7h ed, Philadelphia: Elsevier;
2005. p. 1142-54.
El-Gabalawy HS, Lipsky PE. Reactive arthritis: etiology and
pathogenesis. In: In: Horcberg MC, Silman AJ, Smolen JS,
Weinblat ME, Weisman MH, editors. Rheumatology. 3'd ed'
Edinburg 2003: Elsevier; 2003. p. 1225-32.
Burmester GR, Dorner T, Sieper J. Spondyloarthritis and chronic
idiopathic arthropathies. In: Rose NR, Mackay IR, editors'
The autoimmune Diseases. 4th ed. Amsterdam: Elsevier; 2006'

p.437-41.
Sieper J, Fendler C, Laitho S, Sorensen H, Gripenberg LC, Hiepe F,

et al. No benefit of long-term ciprofloxacin treatment in


patients with reactive arthritis and undifferentiated
oligoarthritis: a three-month, multicenter, double-blind, ran-

domized, placebo-controlled study. Arthritis

Rheum

1999;42(7):1386-96.
Laasila K, Laasonen L, Repo ML. Antibiotic treatment and long
term prognosis of reactive arthritis. Ann Rheum Dis
2003:62:655-8.

396
OSTEOARTRITIS
Joewono Soeroso, Harry Isbagio, Handono Kalim, Rawan Broto, Riardi Pramudiyo

PENDAHULUAN
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif

baru tersebut sering disebut sebagai chondroprotective


agents atau disease modifuing osteoarthritis drugs
(DMoADs).

yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi.


Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering

terkena OA. Prevalensi OA lutut radiologis di


Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada pria,
dan 12.7o/o pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh

nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada


pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang
lebih berat nyeri dapat dirasakan terus menerus sehingga
sangat mengganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi
yang cukup tinggi dan sifatnya yang kronik-progresif, OA
mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar, baik di
negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan
I sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita
cacat karena OA. Pada abad mendatang tantangan
terhadap dampak OA akan lebih besar karena semakin

ETIOPATOG EN ESIS OSTEOARTRITIS


Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi dua
yaitu OA primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer
disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak
diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit
sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA
sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan

endokrin, infl amasi, metabolik, pertumbuhan, herediter,


jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama.
Osteoartritis primer lebih sering ditemukan dibanding OA
sekunder (Woodhead, I 9 89; Sunarto, I 990 ; Rahardj o, 199 4).

Selama

ini OA sering dipandang sebagai akibat dari

suatu proses ketuaan yang tidak dapat dihindari. Para pakar

banyaknya populasi yang berumur tua.


Terapi OA pada umumnya simptomatik, misalnya

yang meneliti penyakit ini sekarang berpendapat bahwa


OA ternyata merupakan penyakit gangguan homeostasis
dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur
proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas
diketahui (Woodhead, 1989). Jejas mekanis dan kimiawi
pada sinovia sendi yang terjadi multifaktorial antara lain
karena faktor umur, stres mekanis atau penggunaan sendi

dengan pengendalian faktor-faktor risiko, latihan,


intervensi fisioterapi, dan terapi farmakologis, pada OA
fase lanjut sering diperlukan pembedahan. Untuk
membantu mengurangi keluhan nyeri pada OA, biasanya
digunakan analgetika atau obat anti-inflamasi non steroid
(OAINS). Karena keluhan nyeri pada OA yang kronik dan
progresif, penggunaan OAINS biasanya berlangsung lama,
sehingga tidak jarang menimbulkan masalah. Di Amerika,
penggunaan OAINS menelurkan sekitar 100.000 pasien
tukak lambung dengan 10.000-15.000 kematian setiap
tahun. Atas dasar masalah-masalah tersebut di atas, para

yang berlebihan, defek anatomik, obesitas, genetik,

ahli berusaha mencari terapi farmakologis yang dapat


memperlambat progresifitas kerusakan kartilago sendi,
bahkan kalau mungkin mencegah timbulnya kerusakan
kartilago. Beberapa obat telah dan sedang dilakukan uji
pada binatang maupun uji klinis pada manusia. Obat-obat

2538

humoral dan faktor kebudayaan (Moskowitz, 1990). Jejas


mekanis dan kimiawi ini diduga merupakan faktor penting
yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan
produk degradasi kartilago didalam cairan sinovial sendi
yang mengakibatkan terjadi inflamasi sendi, kerusakan
kondrosit dan nyeri (Ghosh, 1990: Pelletier, 1990).
Osteoartritis ditandai dengan fase hipertroh kartilago yang
berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari
sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit sebagai
kompensasi p erbakan (repair) (Brandt, 1 993). Osteoarkitis

2539

OSTEOARTRITIS

terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan


sendi, remodelling iilang dan inflamasi cairan sendi
(Woodhead, 1989).

Beberapa penelitian membuktikan bahwa rawan


sendi ternyata dapat melakukan perbaikan sendiri dimana

kondrosit akan mengalami replikasi dan memproduksi


matriks baru (Woodhead, 1989; Dingle, 1991). Proses
perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor perlumbuhan suatu
polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu
komunikasi antar sel. Faktor ini menginduksi kondrosit
untuk mensistesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan

protein seperti kolagen serta proteoglikan. Faktor


pertumbuhan yang berperan adalah insulin-like growth
factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth
factor B GGF-P) dan coloni stimulatingfactors (CSFs).
Faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang peranan
penting dalam proses perbaikan rawan sendi. Pada
keadaan inflarnasi, sel menjadi kurang sensitif terhadap
efek IGF-I (Pelletier, 1990).
Faktor pertumbuhan TGF-p mempunyai efek multipel
pada matriks karlilago yaitu merangsang sintesis kolagen
dan proteoglikan serta menekan stromelisin, yaittt enzym
yang mendegradasi proteoglikan, meningkatkan produksi

prostaglandin E, (PGE,) dan melawan efek inhibisi

([-1).

Hormon lain yang


mempengaruhi sistesis komponen kartilago adalah
sintesis PGE, oleh interleukin-1

testosteron, p-estradiol, platelet derivat growth


factor (PDGF), fibroblast growth factor dan kalsitonin
(Moskowitz, 1 990; Pelletier, 1 991)

Pathogenesis of OA

+
degeneration

* Cytokin
* Enzymes
* Nitric oxide

Genetic

Chondroitin

.l,Matrix synthesis

I
+

Chondroitin

(Dingle,

Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses


peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas

fibrinolitik. Proses ini

menyebabkan terjadinya

penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh


darah subkondral yang menyebabkan t6rjadinya iskemia
dan nekrosis jaringan subkhondral tersebut (Ghosh, 1992).
Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti

prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya


menimbulkan bone angina lewat subkhondral yang
diketahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat
menghantarkan rasa sakit (Moskowitz, 1987). Penyebab
rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya
mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang
menyebabkan radang sendi (Brandt, 1987), peregangan
tendo atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstra
artikuler akibat kerja yang berlebihan (Ruoff, 1986). Sakit
pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang
menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari
medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduler
akibat stasis vena intrameduler karena proses remodelling
padatrabekuladan subkondrial (Moskowiu, 1987; Brand! 1987).
Peran makrofag didalam cairan sendi juga penting,
yaitu apabila dirangsang oleh jejas mekanis, material asing

hasil nekrosis jaringan atau CSFs; akan memproduksi


sitokin aktivator plasminogen (PA) yang disebut katabolin.
Sitokin tersebut adalah IL-I, IL-6, TNF cr dan p, dan
interferon (IFN) cr dan t (Moskowitz, 1990; Pelletier, 1990;
Dingle, 1991). Sitokin-sitokin ini akan merangsang
memproduksi CSFs yang sebaliknya akan mempengaruhi
monosit dan PA untuk mendegradasi rawan sendi secara
langsung. Pasien OA mempunyai kadar PA yang tinggi
pada cairan sendinya (Moskowitz, 1990). Sitokin ini juga
mempercepat resorpsi matriks rawan sendi (Ghosh,1992).
Interleukin- 1 mempunyai efek multipel pada sel cairan

sendi, yaitu meningkatkan sistesis enzim yang


Chondroitin

+
Chondroitin

IGF-1 = insulin like grovtth factor

TGF-F

1991).

kondrosit melalui reseptor permukaan spesifik untuk

Pathogenesis of OA

tu"tri*

rendah dibanding normal yairtt0,29 dibanding

transforming growth factor

Gambar 1. Patogenesis OA. Proses perbaikan rawan sendi dan


faktor keseimbangan antara sintesis matriks dan hilangnya matriks
(sumber : Doherty & Jones, 1994)

mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin dan


kolagenosa, menghambat proses sintesis dan perbaikan
normal kondrosit. Pada percobaan binatang terr,yata
pemberian human recombinant IL-1a sebesar 0,01 ng dapat
menghambat sistesis glukoaminoglikan sebany ak 50o/o
pada hewan normal (Dingle, 1991). Kondrosit pasien OA

mempunyai reseptor

IL-l 2 kali lipat lebih banyak

dibanding individu normal (Pelletier, 1990) dan khondrosit


sendiri dapat memproduksi IL- I secara lokal @ingle, 1 99 1 ).

Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah

Faktor perhrmbuhan dan sitokin tampaknya mempruryai

keseimbangan metabolisme rawan sendi. Kelebihan produk


hasil degradasi matriks rawan sendi ini cenderung
berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan

pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA.


Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen
matriks rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan
merangsang sintesis, padahal IGF- l pasien OA lebih rendah
dibandingkan individu normal pada umur yang sama
(Moskowitz, 1990; Pelletier, 1990). Percobaan pada kelinci
membuktikan bahwa puncak aktivitas sintesis terjadi

sendi serta mengawali suatu respons imun yang


menyebabkan inflamasi sendi (Woodhead, 1989; Pelletier,
1990). Rerata perbandingan antara sintesis dan pemecahan
matriks rawan sendi pada pasien OA kenyataannya lebih

2540

REUMAIOIOGI

setelah 10 hari perangsangan dan kembali normal setelah


3-4 minggu (Dingle, I 99 1).

IL-l

atau TNF yang dapat memperpanjang waktu paruh


NOS mRNA atau protein tertentu. Ini menunjukkan adanya

NOS up-regulating factors lain pada kartilago yang


meliputi:

KELAINAN DISEKITAR RAWAN SENDI

1. sitokin

2.

Kelainan disekitarrawan sendi tergantungpada sendi yang

terkena, tetapi prinsipnya adalah adanya tanda-tanda

1/O.S

3.

inflamasi sendi, perubahan fungsi dan stmkturrawan sendi


seperti persambun-gan sendi yang tidak normal, gangguan
fleksibilitas, pembesaran tulang serta gangguan fleksi dan
ekstensi, terjadinya instabilitas sendi, timbulnya krepitasi
baik pada gerakan aktif maupun pasif.

difusi soluble stimuli ke matriks dari sumber sinovial


lain.

..
.

NeuronalcNOS dan ecNOS adalah konstitutif dan


fisiologis, sedangkan iNOS bersifat patologis. iNOS
merangsang produksi NO berlebihan yatrg kemudian
bereaksi dengan O, membentuk peroksinitrit yang toksik.
Sakurai dkk. (1995), mendapatkan peningkatan kadar
inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada pasien OA
maupun rheumatoid arthritis (RA). Mc Innes (1996), juga
melaporkan peningkatan kadar NO pada kultur kartilago
pasien kedua penyakit tersebut.

Hayashi dkk (1997), juga mendapatkan adanya


peningkatan ekspresi iNOS mRNA pada kartilago pasien
OA. Pada eksplan (kultur dari eksisi jaringan) kartilago
yang di tambah dengan S-nitroso- acetyl penicillamine

(donor NO), juga terjadi peningkatan prodlksi tumor


necrosisfactor (TNF) cr oleh makrofag dan sinoviosit. NO
dapat bersifat pro- in/lamasl, karenaNO mempunyai efek
vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler,

walaupun secara kostitutif NO mempunyai efek


anti-inJlamasi (Tabel 2.)

Efek NO terhadap kondrosit meliputi:


. inhibisi produksi kolagen dan proteoglikan
. aktivasi metaloproteinase
. meningkatkan kepekaan trauma oksidan lain (HrOr)
. menurunkan ekspresi IL-l reseptor antagonis
. inhibisi polimerisasi aktin dan sinyal IL-1 integrin
. apoptosis (programmed cell death)

Kartilago normal tidak memproduksi NO kecuali atas


rangsangan IL-I, tetapi pada eksplan kartilago pasien OA
dan RA produksi NO masih berlangsung setelah 72 jam
pada keadaan tanpa rangsangan lipopolysacharide (LPS),

Makrofag,
endotel,
kondrosit,
hepatosit,
sinoviosit, sel
otot polos

cNOS
Neuron

Endotel,

SUSUNAN

neuron, miosit

syaraf pusat
dan perifer,
platelet, sel b,
pankreas, sel

jantung

Stimuli

epitel
NMDA,

Lokalisasi
kromosom
Lokalisasi

(|NOS atau
NOS-ll)

Endotoksin,
lnterferon g,
lL-1 , TNF o

12 (manusia)

Asetilkolin,
ADP, trombin,
shear stress,
VEGF
7 (manusia)

Sitosol

Kaveolae

Sitosol

insulin,
trombin

cNOS:ncNOS:1,/O.S_4
EndothelialcNOS(ecNOS :NOS-IID

InducibleNos (iNOS:1'/OS-14

lnducible NOS

(Nos-r)

Endothelial
Cnos
(NOS-lll)

Neuronal

Peran NO (nitric Oxide) pada Kerusakan Kartilago


NO merupakan gas yang diproduksi oleh berbagai sel
tubuh dan mempunyai peran sentral pada pertahanan
tubuh dan imunitas.Produksi NO di rangsang oleh nitric
oxide synthase (NOS), dimana terdapat 3 is oformNOS:
. Constitutively expressed NOS (cNOS, miq' neuronal

dan growthfaclors produksi kondrosit

interaksi dengan komponen matriks yang meningkatkan

17 (manusia),
'1
1(tikus)

enztm

Pro-inflamasi
. Vasodilatasidan hiperpermeabilitas

.
.
.
.

Hypotensi dan kolaps vaskular pada sepsis


Efek sitotoksik
Aktivasi cyclo-oxygenase

.
,

toksik
lnhibisi sintesis NO pada artritis eksperimental
Stimulasi produksi TNFcr pada sinoviosit

Bereaksi

dengan 02 membentuk

peroksinitrit yang

Pada kartilago sendi sapi yang diberi stres oksidan,


menunjukkan NO pada cairan sendi merupakan mediator
apoptosis kondrosit yang tergantung IL-l (IL-| dependent
apoptosis). Proses ini disertai deplesi nicotiamide adenine

dinucleotide (NAD) dan aktivasi ensim stress


activated protein kinase (SAPK). Pada kultur kartilago
pasien OA juga ditunjukkan adanya deplesi NAD dan

peningkatan aktivitas SAPK. Aktivasi SAPK juga


merangsang produksi metaloproteinase pada kartilago
dengan OA. Pada IL-l dependent apoptosis IL-l yang
berperan adalah IL-1B.

Regulasi NO dan Mediator Radang pada Kartilago

Eksplan kartilago OA jugu mengekspresikan

cyclooxygenase-2 (COX-2) dan prostaglandin E, (PGE,).

Inhibisi NOS dengan L-monomethyl-L-arginine (L-NMA)


meningkatkan PGE, maupun matrix metalloproteinas e-3

2541

OSTEOARTRITIS

(MMP-3) dua kali lipat pada kartilago OA, sedangkan

dijumpai pada orang-orang Amerika asli (Indian) daripada

penambahan nitroprusid natrium yang merupakan donor

orang-orang

NO, dapat menghambat PGE2 dan MMP-3. Produksi


spontan dari mediator inflamasi (NO dan PGE,) Pada

dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada


frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan

eksplan kartilago OA dan RA menghasilkan stimuli yang


berlanjut dengan degradasi kartilago, misalnya ekspresi
IL-l B yang menyebabkan pelepasan NO dan PGE2. IL-6,
IL-S dan TNF juga terlibat dalam degradasi karlilago. NO
dan PGE, juga meningkatkan IL-17 yang independen

Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA

dengan peningkatan IL-1 B.

kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan

Genetik
misalnya, pada ibu dari seorang wanita dengan OA pada

sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden)


terdapat 2 kali lebih sering OA pada sendi-sendi tersebut,
dan anak-anaknya perempuan cenderung mempunyai 3

kali lebih sering, daripada ibu dan anak perempuanFAKTOR.FAKTOR RISIKO OSTEOARTRITIS

perempuan dari wanita tanpa OA tersebut. Adanya mutasi


dalam gen prokolagen II atau gen-gen struktural lain untuk

Untuk penyakit dengan penyebab yang tak jelas, istilah


faktor risiko (faktor yang meningkatkan risiko penyakit)
adalah lebih tepat. Secara garis besar faktor risiko untuk

unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX


dan XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan
berperan dalam tirnbulnya kecenderungan familial pada OA
tertentu (terutama OA banyak sendi).

timbulnya OA (primer) adalah seperti di bawah ini. Harus

diingat bahwa masing-masing sendi mempunyai


biomekanik, cedera dan persentase gangguan yang
berbeda, sehingga peran faktor-faktor risiko tersebut untuk

masing-masing OA tertentu berbeda. Dengan melihat


faktor-faktorrisiko ini, maka sebenamya semua OA individu
dapat dipandang sebagai
. Faktor yang mempengaruhi predisposisi generalisata.
. Faklor-faktor yang menyebabkan beban biomekanis tak
normal pada sendi-sendi tertentu.
Kegemukan, faktor genetik dan jenis kelamin adalah
faktor risiko umum yang penting.

Umur

Kegemukan dan Penyakit Metabolik


Berat badan yang berlebih nyata berkaitan dengan
meningkatnya risiko untuk timbulnya OA baik pada wanita
maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan
dengan OA pada sendi yang menanggung beban, tapi juga
dengan OA sendi lain (tangan atau sternoklavikula). Oleh
karena itu di samping faktor mekanis yang berperan (karena
meningkatnya beban mekanis), diduga terdapat faktor lain
(metabolik) yang berperan pada timbulnya kaitan tersebut.
Peran faktor metabolik dan hormonal pada kaitan antara
OA dan kegemukan juga disokong oleh adanya kaitan
antara OA dengan penyakit jantung koroner, diabetes

Dari semua faktor risiko untuk timbulnya OA, faktor ketuaan


adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya OA semakin
meningkat dengan bertambahnya umur. OA hampir tak
pemah pada anak-anak, larang pada umur di bawah 40
tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun. Akan tetapi

melitus dan hipertensi. Pasien-pasien osteoartritis

harus diingat bahwa OA bukan akibat ketuaan saja'


Perubahan tulang rawan sendi pada ketuaan berbeda

Cedera Sendi, Pekerjaan dan Olah raga

dengan perubahan pada OA.

yang terus menerus (misalnya tukang pahat, pemetik kapas)

Jenis Kelamin

berkaitan dengan peningkatan risiko OA tertentu.


Demikian juga cedera sendi dan olah raga yang sering
menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan risiko OA

Wanita lebih sering terkena OA lutut dan OA banyak sendi,

dan lelaki lebih sering terkena OA paha, pergelangan


tangan dan leher. Secara keseluruhan, di bawah 45 tahun
frekuensi OA kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita,
tetapi di atas 50 tahun (setelah menopause) frekuensi
OA lebih banyak pada wanita daripada pria. Hal ini
menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis OA.

temyata mempunyai risiko penyakit jantung koroner dan


hipertensi yang lebih tinggi daripada orang-orang tanpa
osteoartritis.

Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi

yang lebih tinggi. Peran beban benturan yang berulang


pada timbulnya OA masih menjadi pertentangan.
Aktivitas-aktivitas tertentu dapat menjadi predisposisi OA
cedera traumatik (misalnya robeknya meniscus, ketidak
stabilan ligamen) yang dapat mengenai sendi. Akan tetapi

selain cedera yang nyata, hasil-hasil penelitian


tak menyokong pemakaian yang berlebihan sebagai suatu

Suku Bangsa
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada OA nampaknya
terdapat perbedaan di antara masing-masing suku bangsa.
Misalnya OA paha lebih jarang di antara orang-orang kulit

hitam dan Asia daripada Kaukasia. OA lebih sering

faktor untuk timbulnya OA. Meskipun demikian,


beban benturan yang berulang dapat menjadi suatu
faktor penentu lokasi pada orang-orang yang

mempunyai predisposisi OA dan dapat berkaitan


dengan perkembangan dan beratnya OA.

2542

RETJMA*II)I,OGI

Kelainan Pertumbuhan
Kelainan kongenital dan perfumbuhan paha (misalnya
penyakit Perthes dan dislokasi kongenital paha) telah
dikaitkan dengan timbulnya OA paha pada usia muda.
Mekanisme ini j uga diduga berperan pada lebih banyaknya
OA paha pada laki-laki dan ras tertentu.

Faktor-faktor Lain
Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat
meningkatkan risiko timbulnya OA. Hal ini mungkin
timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tak membantu
mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang

rawan sendi. Akibatnya tulang rawan sendi menjadi


lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan
pada lebih tingginya OA pada orang gemuk dan pelari

tulang belakang, lutut dan paha) adalah nyata sekali.


Sebagai perbandingan, OA siku, pergelangan tangan,
glenohumeral atau pergelangan kaki jarang sekali dan
terutama terbatas pada orang tua. Distribusi yang selektif
seperti itu sampai sekarang masih sulit dijelaskan. Salah
satu teori mengatakan bahwa sendi-sendi yang sering
tekena OA adalah sendi-sendi yangpaling akhirmengalami
perubahan-perubahan evolusi, khususnya dalam kaitan
dengan gerakan mencengkeram dan berdiri dua kaki.
Sendi-sendi tersebut mungkin mempunyai rancang bangun
yang sub optimal untuk gerakan-gerakan yang mereka

lakukan, mempunyai cadangan mekanis yang tak


mencukupi, dan dengan demikian lebih sering gagal
daripada sendi-sendi yang sudah mengalami adaptasi lebih
lama.

(yang umumnya mempunyai tulang yang lebih padat) dan

kaitan negatif antara osteoporosis dan

OA.
Merokok dilaporkan menjadi faktor yang melindungi
untuk timbulnya OA, meskipun mekanismenya belum
jelas.

Faktor-faktor untuk Timbulnya Keluhan


Bagaimana timbul rasa nyeri pada OA sampai sekarang
masih belum jelas. Demikian juga faktor-faktor apa

RIWAYATPENYAKIT
Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhankeluhannya sudah berlangsung lama, tetapi berkembang
secara perlahan-lahan.

Nyeri Sendi

yang membedakan OA radiografik saja (asimtomatik) dan

Keluhan ini merupakan keluhan utama yang seringkali

OA simtomatik masih belum diketahui. Beberapa

membawa pasien ke dokter (meskipun mungkin sebelum-

penelitian menunjukkan bahwa wanita dan orang yang


gemuk cenderung lebih sering mempunyai keluhan
daripada orang-orang dengan perubahan yang lebih
ringan. Faktor-faktor lain yang diduga meningkatkan
timbulnya keluhan ialah hipertensi, merokok, kulit putih
dan psikologis yang tak baik.

Kelainan

metabolik

berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu

kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih


dibanding gerakan yang lain. Nyeri pada OAjuga dapat
berupa penjalaran atau akibat radikulopati, misalnya pada
OA servikal dan lumbal. OA lumbal yang menimbulkan

stenosis spinal mungkin menimbulkan keluhan


nyeri di betis, yang biasa disebut dengan claudicatio

Gangguan

Cedera

nya sendi sudah kaku dan berubah bentuknya).


Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit

Ketuaan,

intermitten.

faktotrfaktorintrinsik,
ekstrinsik

Ketidakstabilan

Hambatan Gerakan Sendi

Kompensata
Keluhan/ketidakmampuan:
ringan/tidak ada
Dekoompensata
Keluhan/ketidakmampuan

Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan


pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.
:

Kaku Pagi
Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul

setelah imobilitas, seperti duduk


Gambar 4. Penggambaran OA sebagai suatu proses perbaikan
yang dapat kompensata atau gagal dalam jawaban pada berbagai
gangguan

di kursi atau mobil

dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun


tidur.

Krepitasi
SENDI.SENDI YANG TERKENA

Rasa gemeretak (kadang-kadang dapat terdengar) pada


sendi yang sakit.

Adanya predileksi OA pada sendi-sendi tertentu

Pembesaran Sendi (deformitas)

(carpometacarpal I, metatarsophalangeal I, sendi apofiseal

Pasien mungkin menunjukkan bahwa salah satu sendinya

2543

OSTEOARTRITIS

(seringkati tertihat di lutut atau tangan) secara pelan-pelan

Perubahan Gaya Berjalan

membesar.

Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri


karena menjadi tumpuan berat badan. Terutama dijumpai
pada OA lutut, sendi paha dan OA tulang belakang dengan

Perubahan Gaya Berjalan


Gejala ini merupakan gejala yang menylsahkan paasien.
Hampir semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut
atau panggul berkembang menjadi pincang. Gangguan
berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan
ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA yang

umumnyatua.

stenosis spinal. Pada sendi-sendi lain, seperti tangan bahu,

siku dan pergelangan taflgat, osteoartritis juga


menimbulkan gangguan fungsi.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis
dan radiografis.

PEMERIKSAAN FISIS

Radiografis Sendi yang Terkena


Hambatan Gerak
Perubahan ini seringkali sudah ada mekipun pada OA yang
masih dini (secara radiologis). Biasanya bertambah berat

dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya


bisa dogoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan

gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun


eksentris (salah satu arah gerakan saja).

Krepitasi
Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis OA lutut.
Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu

yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang

memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit,


krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu. Gejala ini
mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang
sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif di
manipulasi.

Pembengkakan Sendi yang Seringkali Asimetris

Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi yang


terkena osteoartritis sudah cukup memberikan gambaran
diagnostik yang lebih canggih.
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA

ialah:
. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris
(lebih berat pada bagian yang menanggung beban)'
. Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral.
. Kista tulang
. Osteofit pada pinggir sendi
. Perubahan struktur anatomi sendi.
Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi di atas,
secara radiografi OA dapat digradasi menjadi ringan sampai
berat (kriteria Kellgren dan Lawrence). Harus diingat bahwa

pada awal penyakit, radiograh sendi seringkali masih


normal.
Pemeriksaan penginderaan dan radiografi sendi lain.
. Pemeriksaan radiografi sendi lain atau penginderaan

magnetik mungkin diperlukan pada beberapa


keadaan tertentu. Bila osteoartritis pada pasien

Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi


pada sendi yang biasanya tak banyak (< 100 cc). Sebab
lain ialah karena adarrya osteofit, yatg dapat mengubah

dicurigai berkaitan dengan penyakit metabolik atau


genetik seperti alkaptonuria, oochronosis, displasia
epifisis, hiperparatiroidisme, penyakit Paget atau

permukaan sendi.

Tanda-tanda Peradangan
Tanda-tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan,

gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna


kemerahan) mungkin dijumpai pada OA karena adanya
sinovitis. Biasanya tanda-tanda ini tak menonjol dan

hemokromatosis (terutama pemeriksaan radiografi pada


tengkorak dan tulang belakang).
Radiograh sendi lain perlu dipertimbangkan juga pada

pasien yang mempunyai keluhan banyak sendi

(osteoartritis generalisata).
Pasien-pasien yang dicurigai mempunyai penyakit-

timbut belakangan, seringkali dijumpai di lutut,


pergelangan kaki dan sendi-sendi kecil tangan dan

penyakit yang meskipun jarang tetapi berat


(osteonekrosis, neuropati Charcot, pigmented

kaki.

sinovitis) perlu pemeriksaan yang lebih mendalam.


Untuk diagnosis pasti penyakit-penyakit tersebut
seringkali diperlukan pemeriksaan lain yang lebih
canggih seperti sidikan tulang, penginderaan dengan

Perubahan Bentuk (deformitas) Sendi yang Permanen


Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang
lama, perubahanpermukaan sendi, berbagai kecacatan dan

gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan


sendi.

resonansi magnetic (MRI), artroskopi dan artrograft.

Pemeriksaan lebih lanjut (khususnya MRI) dan


mielografi mungkin juga diperlukan pada pasien dengan

2544

RELJMA-IOLoGI

OA tulang belakang untuk menetapkan sebab-sebab


gejala dan keluhan-keluhan kompresi radikular atau
medulla spinalis.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tak
banyak berguna. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju
endap darah) dalam batas-batas normal, kecuali OA
generalisata yang harus dibedakan dengan artritis
peradangan. Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor
reumatoid dan komplemen) juga normal. Pada OA yang
disertai peradangan, mungkin didapatkan penurunan
viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan
ringan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein.

PEMANTAUAN PROGRESIVITAS DAN OUTCOME


OA
Terdapat 3 cara utama unfuk memantau progresivitas dan
outcome OA'.

Pengukuran nyeri sendi dan disabilitas pada pasien


Qtatient-related measures ofjoint pain and diability),
misalnya nilai algofungsional dari WOMAC, indeks
beratnya nyeri lutut dan panggul.
Pengukuran perubahan struktural (anatomi) pada sendi

yang terserarg (measurement of the structural

dapat digunakan pula mengidentifikasi mekanisme


penyakit pada tingkat molekuler. Walaupun banyak
publikasi yang telah melaporkan bahwa pada OA terjadi
peningkatan pelepasan marker rawan sendi, tulang dan
sinovia ke dalam cairan sendi, serum dan urin, namun
penggunaan marker ini untuk memantau proses penyakit
pada OA masih sukar dilakukan.
Kata marker telah digunakan pada berbagai keadaan.
Pada OA makayang dimaksud dengan marker ialah sitokin,
enzim protease dan inlibitomya, komponen matriks rawan
sendi dan fragmennya, antibodi terhadap kolagen rawan

sendi dan membran protein kondrosit serta hormon


pertumbuhan.

anatomical changes in the alfected joints) misalnya


radiografi polos, MRI, artroskopi dan ultrasound

sendi dan bukan penilaian secara langsung proses yang


terjadi pada rawan sendi. Hal yang sama ditemukanpada
MRI, hingga saat ini MRI tidak dapat memantau kualitas
dan komposisi rawan sendi, informasi yang diperoleh
hanyalah pengukuran tidak langsung dari proses penyakit.
Melihat hal tersebut maka diperlukan suatu metode yang
secara cepat memberikan informasi dari fungsi, komposisi
dan proses metabolik pada rawan sendi yang dapat
digunakan untuk memantau hasil pengobatan.
Destruksi rawan sendi pada OA melibatkan proses
degradasi matriks molekul yang akan dilepaskan kedalam
cairan tubuh seperti dalam cairan sendi, darah dan urin.
Beberapa marker molekuler dari metabolisme matriks
rawan sendi dapat digunakan dalam diagnosis, prognostik
dan monitor penyakit sendi seperti pada RA dan OA dan

frekuensi tinggi
Pengukuran proses penyakit yatg dilyatakan dengan
perubahan metabolisme atau perubahan kemampuan
fungsional dari rawan sendi artikuler, tulang subkondral

atau jaringan sendi lainnya (measurements of the


disease process exemplified by changes in metabo-

JENIS MARKER MOLEKULAR PADA OSTEOARTRITIS


Terdapat berbagai jenis marker molekuler yang dapat
ditemukan dalam cairan sinovia atau dalam serum pasien
OA yang berasal dari berbagai komponen ekstraselular
matriks (lihat Tabel3)

lism or functional properties of the articular

cartilage, subchondral bone or other joints tissues)


misalnya marker rawan sendi dalam cairan tubuh,
skintigrafi tulang, pengukuran resistensi terhadap

kompresi pada rawan sendi dengan mengukur


kemampuan identasi atau penyebaran.

Nilai algofungsional, radiologik polos dan artroskopi


telah banyak digunakan pada berbagai uji klinik OA,
tetapi hanya nilai algofungsional saja yang telah divalidasi
sebagai instrumen outcome

Foto polos sendi selama ini digunakan sebagai


standard emas untuk menilai perubahan struktur sendi
pada berbagai

uji klinik

penggunaan obat DMOA


t i s D ru gs). Kelemahan
teknik ini terletak pada kenyataan bahwa teknik ini hanya
dapat menilai secara tidak langsung, suatu surrogate
marker, perubahan yang terjadi akibat destruksi rawan
(D

is e

as

e Mo dify

O s te o

HUBUNGAN ANTARA KONSENTRASI MARKER


DENGAN METABOLISME RAWAN SENDI
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal marker molekuler
pada OA ialah :

Pengetahuan tentang hubungan antara konsentrasi


markermolekul dengan tingkat metabolisme dari rawan
sendi.

Pengetahuan tentang hubungan antara konsentrasi

marker molekul pada berbagai cairan tubuh seperti pada


cairan sendi, serum dan urin
Pengaruh adanya perubahan tubuh seperti inflamasi

ar tri

sinovial, gangguan fungsi hati dan fungsi ginjal

terhadap konsentasi marker.

Spesifitas dari marker molekul pada tulang rawan


terutama pada rawan sendi.

2545

OSTEOARTRITIS

Marker OA pada cairan


sendi
Cartilage
Aggrecan
Core Protein epitopes
Core Protein epitopes
(cleavage site specificneoepitopes)
Keratan Sulfate epitopes
Chondroitin sulfate ratio
(846, 383, 7D4, etc )
Chondroitin sulfate ratio 65/45
Small proteoglicans
Cartilage matrix proteins
Cartilage oligometric matrix protein
Cartilage collagens
Type ll collagen C-propeptide
Type ll collagen u chain fragments
Matrix metalloproteinases and
inhibitors
Meniscus
Cartilage oligometric matrix protein
Small proteoglicans
Synovium
Hyaluronan
Matrix metalloproteinases and
inhibitors
Stromelvsin (MMP-3)
lnterstitial collagenase (MMP-1 )
Tissue inhibitors of metalloproteinases
Type lll collagen N-ProPePtide

Degradasi dari agregan

1l

Degradasi dari agregan


Degradasi dari agregan

fi

Sintesis / degradasi dari agregan


Sintesis / degradasi dari agregan
Degradasi dari proteoglikan kecil

Bone

Bone sialoprotein
Osteocalcin

Degradasi dari COMP

Marker OA
pada serum

1l

lleU

1l

fi

U
1)

11

Sintesis dari kolagen tiPe ll


Degradasi dari kolagen tiPe ll
Sintesis dan sekresi

r^l

fi
1)

Degradasi dari COMP


Degradasi dari proteoglikan kecil

fio

1,I

Sintesis dari hialuronan


1)

Sintesis dan sekresi dari MMP-3


Sintesis dan sekresi dari MMP-1
Sintesis dan sekresi dari TIMPs
Sintesis/degradasi dari kolagen
tipe lll
Sintesis/degradasi dari BSP
Sintesis dari osteokalsin
Degradasi dari kolagen tulang

fi<=
1)
11

n
0

llo

fI
fI

fl<+

ium crosslinks

Pengetahuan tentang hubungan ar.tat a perubahan

konsentrasi marker pada berbagai caitan tubuh dan


perubahan metabolisme matriks sangatlah terbatas'
Sebagai contoh bahwa konsentrasi dari marker degradasi
matriks dalam cairan tubuh tidak hanya tergantung pada
tingkat degradasi matriks rawan sendi tetapi juga tergantung

banyak faktor seperti kecepatan eliminasi (bersihan)


fragmen molekul tersebut dari cairan tubuh dan jumlah
matriks rawan sendi yang masih tersisa' Walaupun ada
faktor perancu tersebut konsentrasi marker dalam cairan

tubuh sangatlah erat hubungannya dengan tingkat


metabolisme matriks molekul rawan sendi, Komponenyang

seperti

itu antara lain: agrekan, COMP (cartilage

ologomeric matrix protein) dan collagen

II

-propeptide
yang nampak berubah konsentrasinya dalam cairan tubuh
setelah cedera atau pada OA. Perubahan ini konsisten baik
pada hewan percobaan in

dengan demikan diperlukan marker untuk kondisi


degradasi (misalnya fragmen agrekan) dan sintesis
(misalnya collagen II pro-peptide)
Masalah lain ialah bila suatu marker katakanlah tidak
berhubungan dengan proses degradasi tetapi hanyalah
berhubungan dengan proses sintesis maka sumber spesifik

fragmen tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut. Suatu


fragmen molekul yang telah diidentifftasi dapat berasal dari:

pemecahan matriks baru yang belum masuk ke dalam

matriks fungsional
pemecahan matriks yang sudah matang
Selain itu masih ada masalah lagi ialah berasal dari

kompartemen yang mana marker molekuler yang ditemukan

di cairan tubuh tersebut, apakah dari periselular, matriks


teritorial atau mahiks interteritorial

vivo atau pada rawan serldi OA in vitro

Identifikasi dari sumber asal fragmen molekul


merupakan pula masalah dalam hubungat antara proses
dengan jaringan. Suatu peningkatan pelepasan fragmen
molekul ke dalam cairan tubuh dapat berasal dari suatu
proses degradasi saja (dengan akibat kerusakanjaringan)

atau sebagai akibat peningkatan degradasi yang


bersamaan pula dengan peningkatan pembentukan ban'r/

perbaikan (yang menghasilkan keadaan steady state),

POTENSI PENGGU NAAN MARKER


Kebutuhan pemakaian marker berbeda tergantung pada
kegunaannya yaitu untuk uji diagnostik, uji prognostik
atau uji evaluatif.
Uji diagnostik biasanya lebih diarahkan pada
kemampuan untuk nembedakan antara individu yang

2546

REI.JMANOI.OGI

terserang dengan individu yang tidak terserang yang


biasanya diekspresikan sebagai sensitivitas dan spesivitas
uji tersebut

Uji evaluatif

diarahkan pada kemampuan marker

tersebut untuk memantau perubahan sepanjang waktu


pada seorang pasien yang diekspresikan pada sensitivitas
uji tersebut pada perubahan.

Uji diagnostik yang sering digunakan di

bidang

reumatologi misalnya pemeriksaan Faktor Reumatoid (RF)


dan ANA pada Artritis reumatoid. Marker yang dapat
digunakan sebagai uji diagnostik pada OA antara lain
Keratan sulfat dalam semm yang dapat digunakan untuk

uji

diagnostik pada OA generalisata. Problema yalg


muncul ialah ternyata marker tersebut tidak seperti yang
diharapkan walaupun marker serum ini erat hubungannya
dengan degradasi proteoglikan rawan sendi, terdapat
tumpang tindih di antara individu yang terserang dengan
yang tidak terserang, selain itu marker ini dipengaruhi
umur dan gender. Marker uji diagnostik lainnya ialah
konsentrasi fragmen agrekan, fragmen COMP,
metaloproteinase matriks dan inhibitornya dalam cairan

bukan OA ialah pengukuran reseptor estrogen pada kanker


payudara. Pada OA maka analisa dari fragmen matriks
rawan sendi yang dilepaskan dan yang masih tertinggal
dalam rawan sendi mungkin dapat memberikan informasi
penting dari perangai proses metabolik atau peranan dari

protease. Sebagai contoh maka fragmen agrekan yang


dilepaskan dalam caiaran tubuh dan yang masih terlinggal
dalam matriks, sangatlah konsisten dengan aktivitas 2
enzim proteolitik yang berbeda fungsinya terhadap matriks
rawan sendi pada OA. Enzim tersebut ialah stromielisin
dan agrekanase. Penelitian penggunaan marker ini sedang

dikembangkan.
Marker dapat digunakan pula untuk monitor respons

pengobatan. Marker

ini perlu dikembangkarr

agar

dapat digunakan dalam memantau hasil pengobatan


dengan DMOA (Disease modifyang osteoarthritic
drugs) yaitu obat yang dapat mempengaruhi perjalanan
penyakit.

PENGELOLAAN

sendi. Walaupun hasil penelitian menunjukkan tumpang

tindih yang moderat, tetapi peneltian yang ada masih


bersifat potong-lintang dan retrospektif, karena itu
untuk dapat digunakan lebih luas perlu penelitian
prospektif.

Marker sering pula digunakan untuk menentukan


beratnya penyakit. Pada penyakit bukan OA misalnya
pada penyakit tiroid maka TSH selain dapat digunakan
sebagai uji diagnostik dapat pula digunakan untuk
menentukan beratnya penyakit. Pada OA beratnya
p

enyakit bias anya ditentukan dengan

be

rb agai car a ariar a

lain: derajat radiologik Kellgren dan Lawrence, jumlah


kehilangan rawan sendi pada artroskopi dan derajat
kapasitas fungsional pasien. Penggunaan marker
molekuler dapat digunakan sebagai tambahan dalam
menentukan derajat penyakit. Penelitian lebih lanjut masih
perlu dilakukan oleh karena marker molekuler mempunyai

potensi yang cukup besar dalam memberikan informasi


tentang kualitas rawan sendi yang tidak dapat diperoleh
dengan pemeriksaan lainnya.

Pengelolaan OA berdasarkan atas distribusinya (sendi


mana yang terkena) dan berat ringannya sendi yang
terkena. Pengelolaannya terdiri dari 3 hal
. Terapi non-larmakologis :
- Edukasi atau penerangan;
- Terapi fisik dan rehabilitasi;
- Penurunan berat badan.
. Terapi farmakologis:
- Analgesik oral non-opiat;
- Analgesik topikal;
- OAINS (obat anti inflamasi non steroid);
- Chondroprotective:
- Steroidintra-arlikuler
. TerapiBedah:
- Malaligment, deformitas lutut Valgus-Varus dsb;
- Arthroscopic debridement dan joint lavage;

Osteotomi;

Artroplasti sendi total.

Marker molekuler dapat digunakan pula sebagai marker

prognostik untuk membuat prediksi kemungkinan


memburuknya penyakit. Pada OA maka hialuronan
serum (bukan keratan sulfat) dapat digunakan untuk
membuat prediksi pada pasien OA tufut akan terjadinya
progresivitas OA dalam 5 tahun. Peningkatan COMP
serum dapat membuat prediksi terhadap progresifitas
radiologikpasien OA dalam

tahun. Seperti halnya dengan

penggunaan untuk petanda lainnya maka marker


untuk prognostik ini masih perlu diteliti lagi secara

TERAPI NON-FARMAKOLOGIS

Penerangan
Maksud dari penerangan adalah agar pasien mengetahui
sedikit seluk-beluk tentang penyakitnya, bagaimana
menjaganya agar penyakitnya tidak bertambah parah
serta persendiannya tetap dapat dipakai.

prospektif dan longitudinal dengan jumlah pasien yang

Terapi Fisik dan Rehabilitasi

lebih besar.
Marker dapat digunakan pula untuk membuat prediksi
terhadap respons pengobatan, contoh pada penyakit

Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap


dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi
yang sakit.

OSTEOARTRITIS

Penurunan Berat Badan


Berat badan yang berlebihan temyata merupakan faktor
yang akan memperberat penyakit OA. Oleh karenanya
berat badan harus selalu dljaga agar tidak berlebihan.
Apabila berat badan berlebihan, maka harus diusahakan
penumnan berat badan, bila mungkin mendekati berat
badan ideal.

TERAPI FARMAKOLOGIS

Analgesik Oral Non Opiat


Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati

sendiri penyakitnya, terutama dalam hal mengurangi


atau menghilangkan rasa sakit. Banyak sekali obat-obatan

yang dijual bebas yang mampu mengurangi rasa sakit'


Pada umumnya pasien mengetahui hal ini dari iklan pada
media masa, baik cetak (koran), radio maupun televisi.

Analgesik Topikal
Analgesik topikal dengan mudah dapat kita dapatkan
dipasaran dan banyak sekali yang dijual bebas.
Pada umumnya pasien telah mencoba terapi dengan cara

ini, sebelum memakai obat-obatan peroral lainnya.

Obat Anti lnflamasi Non Steroid (OAINS).


Apabila dengan cara-aara tersebut di atas tidak berhasil,
pada umnmnya pasien mulai datang kedokter. Dalam hal

seperli ini kita pikirkan untuk pemberian OAINS, oleh


karena obat gologan ini di samping mempunyai efek
analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi. Oleh karena
pasien OA kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obatobatan jenis ini harus sangat berhati-hati. Jadi pilihlah obat
yang efek sampingnya minimal dan dengan cara pemakaian
yang sederhana, di samping itu pengawasan terhadap
kemungkinan tirnbulnya efek samping selalu harus dilakukan.

nt
Yang dimaksud dengan chondroprotective agent
Ch o n

d ro p rotective Age

adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang


perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien OA'
Sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut
dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs)

atau Disease Modifiing Anti Osteoarthriti,s Drugs


(DMAODs). Sampai saat ini yang termasuk dalam
kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat,
kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-C,
superoxide desmutase dan sebagaimya
. Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai kemampuan
untuk menghambat kerja enzim MMP dengan cara
menghambafirya. Salah satu contoh adalah doxycycline,
sayangnya obat ini baru dipakai pada hewan dan belum
dipakai pada manusia.

2547

Asam hialuronat disebut juga sebagai vis co supp I ement


oleh karena salah satu manfaat obat ini adaTah dapat

memperbaiki viskositas cairan sinovial, obat ini


diberikan secara intra-artikuler. Asam hialuronat

ternyata memegang peranan penting dalam


pembentukan matriks tulang rawan melalui agregasi
dengan proteoglikan. Di samping itu pada binatang
percobaan, asam hialuronat dapat mengurangi inflamasi
pada sinovium, menghambat angiogenesis dan
khemotaksis sel-sel in fl amasi.
Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim
yang berperan dalam proses degradasi fulang rawan,
antara lain : hialuronidase, protease, elastase dan
cathepsin Bl in vitro dan juga merangsang sintesis
proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang
rawan sendi manusia. Dari penelitian Rejholec tahun
1987 (dikutip dari Fife & Brandt, 1992) pemakaian
glikosaminoglikan selama 5 tahun dapat memberikan

perbaikan dalam rasa sakit pada lutut, naik tangga,


kehilangan jam kerja (mangkir), yang secara statistik
bermakna. Juga dilaporkan pada pemeriksaan radiologis

menunjukkan progresivitas kerusakan fulang rawan


yang menurun dibandingkan dengan kontrol, .

Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada


jaringan kelompok vefiebrata, dan terutama terdapat
pada matriks ekstraselular sekeliling sel. Salah satu
jaringan yang mengandung kondroitin sulfat adalah
tulang rawan sendi dan zat ini merupakan bagian dari
proteoglikan. Menurut Hardingham (1998), tulang rawan
sendi, terdiri dari2%o sel dan 98% matriks ekstraselular
yang terdiri dari kolagen dan proteoglikan. Matriks ini
membentuk satu shuktur yang utuh sehingga mampu
menerima beban tubuh. Pada penyakit sendi degeneratif
seperti OA terjadi kerusakan tulang rawan sendi dan

salah satu penyebabnya adalah hilangnya atau


berkurangnya proteoglikan pada tulang rawan tersebut.
Menurut penelitian Uebelharl dkk (1998) pemberian

kondroitin sulfat pada kasus OA mempunyai efek


protektif terhadap terjadinya kerusakan tulang rawan
sendi. Sedang Ronca dkk (1998) telah mengambil
kesimpulan dalam penelitiannya tentang kondroitin
sulfat sebagai berikut : efektivitas kondroitin sulfat pada
pasien OA mungkin melalui 3 mekanisme utama, yaitu :
1) anti inflamasi; 2) efek metabolik terhadap sintesis
hialuronat dan proteoglikan; 3) anti-degradatif melalui
hambatan enzim proteolitik dan menghambat efek
oksigen reaktif.
Mtamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat
aktivitas enzim lisozim. Pada pengamatan ternyata
vitamin C mempunyai manfaat dalam terapi OA. (Fife &
Brandt,l992)
Superoxide Dismutase, dapat dijumpai pada setiap sel

mamalia dan mempunyai kemampuan untuk


menghilangkan superoxide dan hydroxll radicals. Secara

in vitro, radikal superoxide mampu merusak

asam

2548

REUM/MOL.OGI

hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang


hydrogen peroxyde dapat merusak kondrosit secara
langsung. Dalam percobaan klinis dilaporkan bahwa

pemberian superoxide dismutase ini dapat mengurangi


keluhan-keluhan pada pasien OA. (Fifi & Br andt,l 9 92)
Steroid intra-arlikuler, pada penyakit arfitis reumatoid

menunjukkan hasil yang baik. Kejadian inflamasi


kadang-kadang dijumpai pada pasien OA, oleh karena
itukortikosteroid intra artikuler telah dipakai dan mampu
mengurangi rasa sakit, walaupun hanya dalam waktu
yang singkat. Penelitian selanjutnya tidak menunjukkan
keuntungan yaflg tyata pada pasien OA, sehingga
pemakaiannya dalam hal ini masih kontroversial.

Fife RS2. Osteoarthritis. A Epidemiology, Pathology,

and

Pathogenesis. In : Klippel JH, Weyand CM, Wortmann RL.


Eds. Primer on the Rheumatic Diseases. 1led. Arthritis Foundation, Atlanta, Georgia, USA, pp :216-217,1997.
Fife RS & Brandt KD. Other approaches to therapy. In : Moskowitz
RW, Howell DS, Goldberg VM, Mankin HJ Eds. Osteoarthritis
Diagnosis and Medical/Surgical Management. 2"d ed. W.B.
Saunders Coy, Philadelphia, Pennsylvania, USA, pp: 5tl-526, 1992.
Felson DT, Anderson JJ, Naimark A, Walker AM, Meenan RF.
Obesity and knee osteoarthritis. The Framingham Study. Ann.

Inetrn Med 1988; 109: 18-24


Goldie I Osteoathrosis; a review, Simposium Reumatologi di Jakarta
13 Maret 1982, hal 14-21
Harry Isbagio. Tinjauan tentang praktek sekarang dan masa akan
dating diagnosa dan penanganan klinik dari penyakit-penyakit
reumatik yang banyak di Indonesia. Simposium Anti Rumatik
.

Baru 19 Juni 1982, hal 11-29.

TERAPI BEDAH

Huskisson EC. Pain in rheumatic disorders and its medical control.

Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak


berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk

Kumpulan naskah nyeri pada pasien reumatik. Biennial


Meeting IRA, Jakarta 9 Mei 1981, hal 23-28.
Hardingham T. Chondroitin sulfat and joint disease. In : Altman RD.

melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang


mengganggu aktivitas sehari-hari.

Adnan HM. Diagnosis arthritis rheumatoid dan perbandingannya


arthritis-artritis lain. Kongres nasional I, Ikatan Reumatologi
Indonesia, Semarang tgl. 28,29,30 Juli 1983, hal. 43-5i.
Altman R, Asch E, Bloch D. et al Development of criteria for the
classifications of osteoarthritis Classifrcation of osteoarthritis
of the knee. Arthritis. Rheum. 1986;29 : 1039-44.
Bennet JC. Osteoafihritis. Controlling pain and stiffness; avoiding
degenerative changes; pinpointing low back pain. Modern
Medicine Nov 1981; 58-74.
Bland JH Osteoarthritis Pathology and clinical patern, in : Text
Boox of Rheumatology. Vol II, Philadelphia, WB Saunders Coy,
1981:1471-90
Bonomo I. Osteoarthritis, The management. In : Rheumatology,

1982;7 : 64-9

Brandt kd Pathogenesis of Osteoarthritis. Text Boox of


Rheumatology. Vol II, Philadelphia, WB Saunders Coy, 1981
:

Brandt KD. Management of osteoarthritis.

In : Textboox of

rheumatology. Eds : Kelley WN, Hanis DE, Ruddy S, Sledge CB.


Philadelphia : WB Saunders Company, 1997 : 1394-1403.

Clancy RM, Amin A, Abramson S. The role of nitric oxide in


inflammation and immunity. Arthritis Rheum. 1998; 41:114151.
Clancy RM, Rediske J, Nijher N, Abramson SB. Activation

activated protein kinase

Supp

A, p :3-5, 1998.

Hochberg MC. Osteoarthritis. B. Clinical features and treatment In


: Klippel JH, Weyand CM, Wortmann RL Eds. Primer on the
Rheumatic Diseases 11ed. Arthritis Foundation, Atlanta,
Georgia, USA, pp :218-221,1997

REFERENSI

t457 -67

Ed. Osteoarthritis and Cartilage. J Osteoarth Research Soci,

of

stress

in osteoarthritic cartilage: Evidence

for nitric oxide dependence at acr@rheumatology.org 1998.


Darmawan J, Wirawan S. Soenarto P, Soeharjo H. Prevalensi penyakit
reumatik di pedesaan di Jawa Tengah. Simposium Reumatologi.
Eds : Tanwir JM, Pramudiyo R, Tohamuslim A. Bandung :
Universitas Padjadjaran 1987 : 20-36.
Fife RS1. A short history of Osteoarthritis. In : Moskowitz RW,

Howell DS, Goldberg VM, Mankin HJ. Eds. Osteoarthritis


diagnosis and medical /surgical management. 2ed ed. WB Saunders
Company, Philadelphia, Perursylvania

06, USA, pp:ll -14, 1992.

Inoue H. Arthroscopic diagnosis and treatment of the arthritis

(Abstr) 5'h SEAPAL Congress of Rheumatology, Bangkok, 26


Jan 1984.
Kraus VB. Pathogenesis and treatment of osteoarthritis, In
Snyderman R & Haynes BF Eds. The Medical Clinics of North
America. W.B. Saunders Coy. Philadelphia, Pensylvania, USA,
81, p : 85-1 12, 1991
Kuettner KE. Cartilage integrity and homeostasis In : Rheumatology.
Editors : Klippel JH, Dieppe PA. St. Louis Mosby Company 1994:
:

6.6. 16.

Mathies H. Osteoarthrosis (degenerative joint


Characteristic features

of the most important

disease)

rheumatic

A practical diagnostic guide Enlar Publishers Blask


Switzerland, 1977 : 64-68.
Muirden KD. Treatment of osteoarthritis. Medical Progress 1980;
7 (10):24-8.
Nasution AR. Penatalaksanaan penyakit reumatik pada usia lanjut.
Acta Medica Indonesiana April/Sept 1979 : 39-50.
Nienhuis RLF. Gambaran Radiologik penyakit sendi. Kumpulan
naskah nyeri pada pasien reumatik. Biennial Meeting IRA,
lakafia 9 Mei 1981, 66-73.
Uebelhart D, Thonar E. J-M.A, Jinwen Zhang, Williams JM. In
Altman RD. Ed. Osteoarthritis and Cartilage. J Osteoarth
Research Soci, 6, Supp A, p : 6-13, 1998.
Poople AR. Cartilage in Health and Disease. In : Koopman WJ Ed.
Arthritis and Allied Conditions. A Textboox of Rheumatology.
13th ed. William & Wilkins, Baltimore, Maryland, USA, pp
225-308, 1997.
Pollison R. Non-Steroidal anti inflammatory drugs : Practical and
theoritical considerations in their selection. Am J Med 1996:
100(2A): 2A-3 1S-2A-35S.
Presle N, Cipolletta N, Jouzeau JY, Netter P, Terlain B (1998) In
vivo chondroprotection by NO synthase (NOS) inhibitor in IL
induced arthritis at acr@rheumatology.org I 998.
Ronca F, Palmieri L, Panicucci P, Ronca G Anti Inflamatory
disease.

2549

OSTEOARTRITIS

activity of chondroitin sulfate. In : Altman RD.

Ed.

Osteoarthritis and Cartilage. J Osteoarthr Research Soci, 6, Supp

A, p: 14-21,
Robinson

WD

1,998.

Management of Degenerative Joint Disease Idem

No. 3, 1941-9.
Rodwan GP Primer on the rheumatic diseases 7'h Ed. JAMA 1973;

224 : 5 :740-4.
Rodwan GP. Schumacer HR. Primer on the rheumatic diseases 8'h
Ed. Published by the Arthritis Foundation, Atlanta GA, 1983 :
1

04- 8.

HR Osteoarthritis. What to do when it isn't just wear


and tear. Modern Medicine l9'78; 46 (20) : 46-58.

Schumacher

Soemargo Sastrodiwiryo. Aspek neurologik spondiloartrosis


servikalis. Kumpulan naskah nyeri pada pasien penyakit
reumatik. Biennial Meeting IRA, Jakarta 9 Mei 1981, 16-22.
Sokoloff L. the remodeling articular cartilage. Rheumatology 1982;

7:

l1-8.

The needle. A useful technique for evaluating inflamed


joints. Geriatrics 1981; 36 i 5 :113-26
Van der Korst JK. Osteoarthrosis. Penataran Berkala Reumatology,
Jakarta 9-13 Agustus 1982,51-63.
Wigley RD. Clinical diagnosis of osteoarthritis. Kongres Nasional I
Sterba

Ikatan Reumatologi Indonesia, Semarang Juli 1983, 35-42.


Zainal Effendi. Pengenalan praktis penyakit reumatik. The journal
of the Indonesian Family Physician 1983; 3 (1) : 4-9.

397
HIPERURISEMIA
Tjokorda Raka Putra

Hiperurisemia adalah keadaan di mana terjadi peningkatan


kadar asam urat (AU) darah di atas normal. Hiperurisemia

bisa terjadi karena peningkatan metabolisme AU


(overproduction), penwunan pengeluaran AU urin
(underexcretion), atau gabungan keduanya.
Banyak batasan untuk menyatakan hiperurisemia,
secara umum kadar AU di atas 2 standar deviasi hasil
laboratorium pada populasi normal dikatakan sebagai
hiperurisemia (Schumacheq I 992).

B atasan

pragmatis yang

sering digunakan untuk hiperurisemia adalah suatu


keadaan di mana terjadi peningkatan kadar AU yang bisa

mencerminkan adanya kelainan patologi. Dari data


drdapatkan hatya 5-10%o pada laki nonnal mempunyai
kadarAU di atas 7 mg%o, datsedikit dari gout mempunyai
kadarAU di bawah kadar tersebut. Jadi kadarAU di atas 7
laki dan 6 mg%o pada perempuan dipergunakan
sebagai batasan hiperurisemia (Emmerson, 1983; WHO,
I 992 ; Cohen e t al, 1 99 4; Kelley & Wortm ann, l99j : Becker
& Meenaskshi,2005).
Kejadian yang pasti dari hiperurisemia dan gout di
mg%o p ada

masyarakat pada saat

ini

belum jelas. Prevalensi

hiperurisemia di masyarakat diperkirakan ant ara 2,3 sampai


17,6%. Sedangkan prevalensi gout bervariasi antara 1,6
sampai 13,6 per seribu penduduk (Kelley & Wortmann,
1997). Prevalensi hiperurisemia dan gout pada penduduk
Maori di Selandia Baru cukup tinggi dibandingkan dengan
bangsa Eropa. Prevalensi hiperurisemia pada laki 24,5o
dan perempuan 23,9%o, sedangkan prevalensi gout 6,4%o
(Klemp et a\,1996).

Hiperurisemia yang berkepanj angan dapat


menyebabkan gout atau pirai, namun tidak semua
hiperurisemia akan menimbulkan kelainan patologi berupa
gout. Gout atau pirai adalah penyakit akibat adanya
penumpukan kristal monosodium urat pada jaringan akibat

artritis pirai atau artritis gout, pembentukan tophus,


kelainan ginjal berupa nefropati urat dan pembentukan
batu urat pada saluran kencing (Terkeltaub, 2001; Kelley
& Wortmann, 1 997; Becker & Meenaskshi, 2005).

PENYEBAB HIPERU RISEMIA


Penyebab hiperurisemia dan gout dapat dibedakan
dengan hiperurisemia primer, sekunder dan idiopatik.
Hiperurisemia dan gout primer adalah hiperurisemia dan
gout tanpa disebabkan penyakit atau penyebab lain.
Hiperurisemia dan gout sekunder adalah hiperurisemia
atau gout yang disebabkan karena penyakit lain atau

penyebab lain. Hiperurisemia dan gout idiopatik


adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primer,

kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologi atau


anatomi yang jelas (Schumacher Jr, 1992; Kelley &
Wortmann,1997).

Hiperurisemia dan Gout Primer


Hiperurisemia primer terdiri dari hiperurisemia
dangan kelainan molekular yang masih belum jelas
dan hiperurisemia karena adatya kelainan enzim
spesifik.
Hiperurisemia primer kelainan molekular yang belum
jelas terbanyak didapatkan yaitu mencapai 99o/o, terdiri

dari hiperurisemia karena underexcretion (80-90%)


dan karena overproduction (10-20%). Hiperurisemia
primer karena kelainan ensim spesifik diperkirakan
hanya loh, yaitu karena peningkatan aktivitas varian

dari ensim phoribosylpyrophosphatase (PRPP)


synthetase, dan kekurangan 'sebagian' dari ensim
hypoxanthine phosphoribosyltranferase (HPRf)
(Keltey &' Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi,

peningkatan kadar AU (Terkeltaub, 2001; Becker &


Meenaskshi, 2005). Penyakit gout terdiri dari kelainan

2005;Wortmann, 2005).

2550

2551

HIPERURISEMIA

Tipe
1. Primer
Kelainan molekular yang belum jelas:
(99% dari gout primer)
Underexcretion
(80-90% dari gout primer)
Overproduction
(10-200/" dari gout primer)
Kelainan ensim spesifik
( < 1o/o dari gout primer)
Peningkatan aktivitas varian dari
enzim PRPP synthetase,

Kelainan Metabolik

Keturunan

Belum jelas

Poligenik

Belum jelas

Poligenik

Overproduction AU,
peningkatan PP-ri bosa-P
Overprod uction AU, peningkatan
aktivitas biosintesis de novo karena
peningkatan jumlah PRPP ,pada
sindrom Kelley-Seegmiller

X-linked

Overproduction AU, peningkatan


biosintesis de novo, pada sindrom
Lesch-Nyhan
Ov e rp rod uction dan u n de rex c reti on
AU, pada glycogenstorage dlsease
tipe I (Von Gierke)
Overproduction dan underexcretion AU

X-linked

Overproduction AU, pada hemolisis


kronis, polisitemia, metaplasia mieloid

Bukan keturunan

Penurunan flltrasi, hambatan sekresi


tubulus dan atau perubahan resorpsi
dari AU.

Beberapa autosomal dominan,

Kekurangan'sebagian'dari

enzim HPRT.
2. Sekunder
Peningkatan biosintesis

de novo

Kekurangan menyeluruh enzim


HPRT
Kekurangan ensim g/ucosa-6phosphatase

kurangan ensim Frucfose-7-

phosphate aldolase
Peningkatan degradasi ATP,
peningkatan pemecahan asam nukleat

Underexcretion AU pada ginjal

X-linked

Autosomal recessive

Autosomal recessive

bukan keturunan,

banYak

belum diketahui
Tidak diketahui.

3. ldiopatik

Keterangan

ATp .. adenosine triphosphatei HPRT: enzim hypoxanthine

phosphoribosyltranferase

PRPP

enzim

ph ori bosyl py rophosph atase sy nth eta se.

Hiperurisemia primer karena underexcretion


kemungkinan disebabkan karena faktor genetik dan
menyebabkan gangguan pengeluaran AU sehingga
menyebabkan hiperurisemia. Keadaan ini telah lama
dikenal, peneliti Garrod telah lama mengetahui, terjadi
gangguan pengeluaran AU ginjal yang menimbulkan
hiperurisemiaprimer (dikutip : Kelley & Wortmann, 1997).
Kelainan patologi ginjal yang berhubungan dengan
un d er ex cr e t i o n tidak menunj ukkan gambaran sp e sifrk.
Peneliti Massari PU mendapatkan gambaran patologi pada
ginjal berupa sklerosis glomerulus yang global fokal dan

segmental dengan fokus atropi tubulus, peradangan


intersisial kronis, perubahan basal membraltar,lpa adarrya
deposit electro-dense, Leuman EP mendapatkan focal

tubuloinsterstitiil nephropathy, Puig mendapatkan


gambaran lesi interstitiil tubulus ginjal, dan Simmond
mendapatkan kelainan nefritis interstitil non spesifik

gangguan sekresi AU dari tubulus ginjal (Cohen et al,


I 994; Reiter e t al 199 5 ;Kelley & Wortmann, 1997 ). Kadar
fractional uric acid clearance padahiperurisemia primer
tipe underexcretion didapatkan lebih rendah dari orang
nonnal (GibSon et al, 1984; Kelley & Wortmann,l997;
Becker & Meenaskshi, 2005).

Terdapat suatu kelainan yang disebut familial


juvenile gout atau familial juvenile hyperuricaemic
nephropathy (FJHN) yaitu hiperurisemia akibat adanya
penurunan pengeluaran AU pada ginjal dalam suatu
keluarga yang diturunkan secara genetik (Moro, 1991 ; Puig
et al,1993; Simmonds, 1994; Saeki, 1995;Reiter et aI,1995).

Kelainan ini sering diturunkan secara autosomal


dominant. Secara klinis sering terjadi pada usia muda,
mengenai laki dan perempuan, terjadi penurutalfractional

uric acid clearance (FUAC) dan sering menyebabkan


penumnan fungsi ginjal secara cepat (Simmonds, 1994).

sehingga menyebabkan gangguan pengeluaran AU belum

Kelainan molekular dari FJHN belum diketahui,


kemungkinan karena kelainan pada gen yang
menyebabkan penuntnan fungsi pengeluaran AU ginjal'

jelas diketahui. Kemungkinan disebabkan karena

kemungkinan melalui kelairrar- transporterAU pada basal

(Massari et

al, l98O; Leuman,l098; Puig et al,

19931'

Simmonds, L994).Bagaimana kelainan molekuler dari ginjal

2s52

REUMATOI.OGI

membran ataupada brush border dari tubulus proksimalis

dengan gejala hiperurisemia tipe overproduction, dangout

ginjal (Simmonds, 1 994).

prematur bersama gejala neurologis berupa retardasi

Hiperurisemia primer karena kelainan ensim spesifik

akibat peningkatan aktivitas varian dari ensim PRpp


synthetase menyebabkan peningkatan pembentukan
purine nucleotide melalui sintesis de novo sehingga terjadi
hiperuri semia tip e ov e rpro du ct i o n. T elah diketahui ensim
ini disandi oleh DNA pada khromosom X, dan diturunkan
secara dominan (Kamatami, 1994; Kelley & Wortmann,
I 99 7 ; B ecker & Meenasksh i, 200 5 ; Wortmann, 2 005 ).
Hiperurisemia primer karena kelainan ensim spesifik
yang disebabkan kekurangan 'sebagian' dari ensim IIPRI
disebut sindrom Kelley-Seegmiller . Ensim HPRTberperan
dalam mengubahpurine bases metjadi purine nucleotide
dengan bantuan PfuPP dalamproses pemakaian ulang dari

mental berat, self mutilation, choreoathetosis, dan


spastisitas. Kelainan neurologis ini kemungkinan
karena aktivitas ensim HPRT berkurang sehingga
menyebabkan disfungsi neurokemikal otak (Wilsot et al,
1984). Diagnosis sindrom ini dibuat berdasarkan
klinis dengan pemeriksaan aktivitas ensim IIPRZ pada
eritrosit. Kekurangan aktivitas ensim ini dapat mencapai
1-70% (Wilson et al, 1984; Katami, 1994; Kelley &
Wortmann,

997; Becker & Meenaskshi, 2005 ;Wortmann,

200s).

Penyakit glycogen storage diseasetipe I (Von Gierke),

akibat penurunan ensim glucosa 6-phosphatase


(G 6-Pase) menyebabkan hiperurisemia yang bersifat

metabolisme purin Kekuran gan eruim

automal resesif Hiperurisemia terjadi karena kombinasi

HP RZ menyebabkan
peningkatan produksi (overproductlor) AU sebagai akibat
peningkatan de novo biosintesis. Diperkirakan terdapat
tiga mekanisme overproduction AIJ. Perlama, kekurangan

ensim menyebabkan kekurangan inosine mono

erpr o du c t i o n dan un d er ex cr e t i o n kar ena peningkatan


pemecahan dari AIP (adenosine triphosphate). Ensim G
6-Pase berperan mengubah glucosa 6-phospate (G 6-P)
menjadi glukosa dalam metabolisme karbohidrat, sehingga

phosphate (IMP) ataupurine nucleotide yang mempunyai

kekurangan ensim ini gampang menyebabkan hipoglkemia.

efekfeedback inhibition proses biosintesis de novo.


Kedua, penurunan pemakaian ulang menyebabkan
peningkatan jumlah PRPP yatg tidak dipergunakan.

Untuk memenuhi kebutuhan glukosa, tubuh mengadakan


pemecahan glikogen di hati (glikogenolisis). Karena
kekurangan ensim G 6-Pase, glukosa tidak terbentuk
sehingga menimbulkan penumpukan G 6-P (Becker &
Meenaskshi, 2005;Kelley & Worlmann, 1997). Te4'adi juga
glikolisis anaerob yaitu pemecahan glukosa menjadi G 6-P

Peningkatan jumlah PRPP menyebabkan biosintesis de

novo meningkat. Ketiga, kekurangan ensim HPRT


menyebabkan hipoxanthine tidak bisa di ubah kembali
menjadi IMP, sehingga terjadi peningkatan oksidasi
hypoxathine menjadi AU (Kelley & Wortmann, 1991).
Kekurangan etzim HP RT diturunkan secara X-linked dan

bersifat resesif, sehingga didapatkan terutama pada


laki-laki. Telah diketahui terjadi berbagai jenis mutasi
genetik dari kelainan ensim ini (Kamatami,1994: Kelley &
Wortnarur, I 997; Becker& Meenaskshi, 2005; Wortnanq 2005).

Hiperurisemia dan Gout Sekunder


Hiperurisemia dan gout sekunder dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan

biosintesis de novo, kelainan yang menyebabkan


peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat
dan kelainan yang menyebabkan underexcretion.
Hiperurisemia sekunder karena peningkatan biosintesis
de novo terdiidari kelainan karena kekurangan menyeluruh
ensim llPi?Zpada sindrom Lesh-Nyha4 kekurangan ensim
glucosa 6-phosphatase pada glycogen storage disease

(Von Gierkee), dan kelainan karena kekurangan enzim


fru ct o s e- I -pho sph at e al dol as e
Sindrome Lesh-Nyhan disebabkan karena kekurangan
menyeluruh ensim llPrRZyang diturunkan secaraX-linked
dan bersifat resesif Telah diketahui terdapat berbagai jenis
mutasi dari kelainan gen penyandi enzim ini. Kekurangan
ensim F/PRI akan menyebabkan peningkatan biosintesis

de novo sehingga terjadi hiperurisemia tipe overproduction. Sindrom ini terjadi pada usia anak-anak

ov

dengan pemecahan ATP dengan hasil

lain berupa

peningkatan asam laktat, asam lemak bebas, trigliserida


dan piruvat (Rosenthal, 1998). Hiperurisemia disebabkan

karena

ov

rp

r o du c t i o

n melalui p eningkatan melalui

biosintesis de novo akibat peningkatan PfuPP. Peningkatan


PRPP ini diperkirakan melalui dua mekanisme. Pertama,

peningkatan glukosa 5-phospate menyebabkan


peningkatan reaksi pentosa phosphate pathway
peningkatan

r i b o s e 6 -ph o sp

hat e dan menghasilkan PRPP.

Kedua, berkurangnya feedback inhibition terhadap


biosintesis de novo pada hati selama terjadi hipoglikemia
sehingga menyebabkan peningkatan ensim amido PRT
dan PRPP synthetase (Becker & Meenaskshi, 2005).
Underexcretion diperkirakan karena adanya hasil metabolit
yaitu hiperlaktemia dan ketonemia (Lihat Gambar 1).
Tanda klinis sindrom ini adalah terjadi pada usia anak-

anak dengan tanda yang khas berupa bentuk tubuh


pendek, dengan hepatomegali dan gejala hipoglikemia
yang berulang (Kelley & Wortmann, 1997; Becker &
Meenaskshi, 2005 ; Wortmann, 2005).
Hiperurisemia juga dapat disebabkan oleh penyakit glycogen storage disease tipe III, V dan VI yang disebut
hiperurisemia miogenik. Aktivitas fisik yang berat secara
normal dapat menyebabkan hiperurisemia karena terjadi
pemecahanAlP dan adanya resorpsi abnormal pada ginjal.
Pada keadaan normal atau keadaan anaerob, aktivitas yang
menyebabkan peningkatan hasil pemecahan ATP berupa
inosine, hypoxanthine, dan didalam hati dipecah menjadi

2553

HIPERURISEMIA

1994; Kelley & Worlmann,1997; Becker & Meenaskshi,


200s).
Pada penyakit hereditary fructose intolerance karena

kekurangan ensim Fructose-l -phosphate aldolase


dapat menyebabkan hiperurisemia. Ensim Fructose-lphosphate aldolase mengubah fructose 1-phosphate

e t oJb sfo n at dan g I s e r a I d ehi d a.


ini dan dengan diet tinggi fruktosa
menyebabkan penumpukan fructos a I -phosphate,
kemudian akan diubah menjadi fructosa 6-phosphate
dengan bantuan ATP sebagai sumber fosfat

menj adi

d ih

dr o ks i - as

Kekurangan ensim

Glicosa 6
Phosphatase

(Lihat Skema

'onn.n"(

^i

3).

J"r*,"n

cYTs*

Hipoglikemia

Gambar 1. Skema hiperurisemia sekunder pada penyakit


glycogen storage dlsease tipe I (Von Gierke).

xantine danAU.
Pada penyakit glycogen storage disease tipe

III, V

VI,

akan terjadi hiperurisemia walaupun hanya


melakukan aktivitas fisik ringan, terjadi pemecahan AIP
yang tinggi akibat tidak cukup bahan karbohidrat
pembentuk ATP. Pemecahan ATP akan membentuk
adenosine mono phosphate (AMP) dan berlanjut
membentuk inosine mono phosphate (IMP) atalu purine
nucleotide dalam metabolisme purin (Lihat Gambar 2).
dan

Penyebab glycogen storage disease tipe III


karena gangguan debranching enzime, tipe V karena
kekurangan ensim myophosphorilase dan tipe VII karena
kekurangan enzim phosphocytokinase pada otot (Katami,

ersifr phasphoclokin

ase

Gambar 3. Skema hiperurisemia sekunder pada penya kit


He

red ita

ry

f ru cto

se

ntole ra nce

Fructose 6-phospate juga merupakan salah satu


senyawa antara di jalur glikolisis anaerob (Hardjasasmita,

1999). Peningkatan pemecahan ATP menyebabkan


pembentukan AU meningkat, dan laktic acidosls serta
Penumpukan

F ructosa

renal tubular acidosis menyebabkan hambatan


AU melalui ginjal, sehingga terjadi
hiperurisemia (Kelley & Wortmann, 1997; Becker &

pengeluaran

-phosph ate

Meenaskshi, 2005).
Fructosa 6-phosphate

Hiperurisemia sekunder lipe overproduction dapat


disebabkan karena keadaan yang menyebabkan

Bantuan AfP
(sumber fosfat)
ADP

AMF

MP

Biosintesis De novo

Glikosis anaerob

Asidosis laktat

Underexcretiol

Hiperurisemia

peningkatan pemecahanAlP atau peningkatan pemecahan


asam nukleat dari intisel. Peningkatan pemecahanAlP akan
membentuk AMP dan berlanjut membentuk IMP atau
purine nucleotide dalam metabolisme purin. Keadaan ini
bisa terjadi pada penyakit akut yang berat seperti pada
infark miokard, status epileptikus atau pada pengisapan

rokokyang mendadak (Kelley & Wortmann,1997).


Pemecahan inti sel akan meningkatkan produksi
purine nucleotide dan berlanjut menyebabkan peningkatan
asap

Gambar 2. Skema mekanisme hiperursemia miogenik Pada


glycogen storage dtsease (Kelley & Wortmann, 1997)

2554

REUMA*IOLOGI

produksi AU. Keadaan yang sering menyebabkan


pemecahan inti sel adalah penyakit hemolisis kronis,
polisitemia, psoriasis, keganasan dari mieloproliferatif dan
limfoproliferatif atau keganasan lainnya (Katami, 1994,
Kelley & Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi, 2005).
Beberapa penyakit atau kelainan dapat menyebabkan
hiperurisemia sekunder karena gangguan pengeluaran AU
melalui ginjal (under excretion). Gangguan pengeluaran
AU melalui ginjal dapat melalui gangguan dalam filtrasi,
reabsorpsi, sekresi dan reabsorpsi paska sekresi.

Hiperurisemia sekunder yang disebabkan karena


underexcretion dikelompokkan dalam beberapa kelompok

yaifu karena penunrnan masa ginjal, penurunan filtrasi


glomerulus, penttrutatfractional uric acid clerance dan
pemakaian obat-obatan. (Nuki, I 99 8). Hiperurisemia karena
penumnan masa ginjal disebabkan penyakit ginjal kronik
yang menyebabkan gangguan filtrasi AU. Hiperurisemia
karena penurunan filtrasi glomerulus dapat terjadi pada
dehidrasi, dan diabetes insipidus. Hiperurisemia karena

gangguan fractional uric acid clerance adalah pada


penyakit hipertensi, myxodema, hiperparatiroid, sindrom
Down, peningkatan asam organik seperti pada latihan berat,
kelaparan, peminum alkohol, keadaan ketoasidosis, /ead

nephropaQ, sarkoidosis, sindrom Barter dan keracunan


berilium. Pemakaian obat seperti obat diuretik dosis
terapeutik, salisilat dosis rendah, pirasinamid, etambutol,
asam nikotinat dan siklosporin.
Gangguan pengeluaran AU melalui ginjal dapat

dihitung dengan pemeriksaan fractional uric acid


clerance. Pada keadaan normal pengeluaran AU melalui
ginjal (kliren urat) berbanding lurus dengan kliren kreatinin,

sehingga kadar

AU darah berkorelasi dengan kadar

kreatinin darah . Pada keada an gagal ginjal karena penyakit

ginjal primer penurunan pengeluaran AU akan diikuti


dengan peningkatan kadarAU darah, namun tidak pernah
melebihi 10 mg%o . Diperkirakan terjadi peningkatan

pengeluaranAU melalui ekstra renal, sebagai kompensasi


hambatan pengeluaran melalui ginjal walaupun belum
diketahui secara pasti jumlahnya (Emmerson BT,l983).
Hiperurisemia sekunder karena gangguan fungsi ginjal
jaratg sampai menyebabkan penyakit gout (Kelley &
Wortmann, 1997).

PEMERIKSAAN PENUNJANG UNTUK MENENTUKAN


PENYEBAB HIPERURISEMIA
Secara umum penyebab hiperurisemia dapat ditentukan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan (Emmerson, 1983; Kelley &
Wortmann,1997).

Anamnesis terutama ditujukan untuk mendapatkan


faktor keturunan, dan kelainan atau penyakit lain sebagai
penyebab sekunder hiperurisemia. Apakah ada keluarga
yang menderita hiperurisemia atau gout. Untuk mencari

penyebab hiperurisemia sekunder perlu ditanyakan apakah


pasien peminum alkohol, memakan obat-obatan tertentu
secara teratur, adanya kelainan darah, kelainan ginjal atau
penyakit lainnya.
Pemeriksaan fisik untuk mencari kelainan atau penyakit

sekunder, terutama menyangkut tanda-tanda anemia


atatt phletora, pembesaran organ limfoid, keadaan
kardiovaskular darL tekanan darah, keadaan dan tanda
kelainan ginjal serta kelainan pada sendi.
Pemeriksaan penunj ang ditujukan untuk mengarahkan
dan memastikan penyebab hiperurisemia. Pemeriksaan
penunjang yang dikerjakan dipilih berdasarkan perkiraan
diagnosis setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik (Kelley & Wor1mann,1997). Pemeriksaan penunjang

yang rutin dikerjakan adalah pemeriksaan darah


rutin untuk AU darah dan kreatinin darah, pemeriksaan
urin rutin untukAU urin 24 jam dan kreatinin urin 24 jam;

dan pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan.


Pemeriksaan ensim sebagai penyebab hiperurisemia
dilaksanakan tergantung pada perkiraan diagnosis.
P emeriksaan AU dalam urin 24 jam p enting dikerj akan

untuk mengetahui penyebab dari hiperurisemia


apakah overproduction ata:u underexcretion . Kadar AU
dalam urin 24 jam di bawah 600 mg/hari adalah nonnal
pada orang dewasa yang makan pantang purin selama 3-5

hari sebelum pemeriksaan. Namun anjuran untuk


pantang makan purin selama 3-5 hari sering tidak praktis.

Maka pada orang yang makan biasa tanpa pantang

purin kadar AU urin 24 jam di atas 1000 mglhari


adalah abnormal (hipereksresi AU), dan kadar 800
sampai 1000 mg/hari adalah borderline (Kelley &
Wortmann, I 997 ; Becker & Meenaskshi, 2005 ). Kadar AU
urin24 jam di atas 800 mg/hr dengan makan biasa tanpa

pantang purin merupakan tanda hipereksresi AU


(Schumacher Jr,1992).
Batasan overproduction AU adalah kadar AU urit 24
jam di atas normal, kadar 1000 mg/hari pada orang yang

makan biasa tanpa pantang purin dapat dikatakan


overproduction (Becker & Meenaskshi, 2005). Cohen MG
mengatakan apabila kadar AU :urin24 jam lebih dari 670
mg/hari pada diet rendah purin perlu diteliti kemungkinan
adany a ke I ainan ov e rp r o d u c t i o n kar ena keturunan.
Overproduction dapat juga diketahui dengan menghitung
perbandingan AU urin 24 jam dan kreatinin urin 24 jam
atau perbandingan kliren AU dan kliren kreatininfractional

uric acid clearance (FUAC) yaitu perbandingan


kliren urat dibagi kliren kreatinin dikalikan 100.
Nilai perbandingan AU kreatinin urin lebih dari 0.75
menyatakan adaty a overproduction.
Dengan data dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, terutama kadar AU darah dan
pemeriksaan AU dan kreatinin urin 24 jam dapat
diperkirakan faktor penyebab hiperurisemia sehingga
penanganan hiperurisemia dapat diberikan sacara
menyeluruh dan rasional.

2555

HIPERURISEMIA

normal dalam tubuh dan merupakan hasil akhir dari


metabolisme purine, yaitu hasil degradasi dari purine

Emmerson,BT, 1983. Hyperuricaemia and Gout in Clinical Practice. Sydney: ADIS Health Science Press.
Gibson ! Waterworth R, Hatfield R Robinson G, Bremner K, 1984.
Hyperuricaemia, Gout and Kidney Function in New Zealand
Maori Men. British J of Rheumatology. 23:276-282.
Kamatami N, 1994. Genetic Enzyme Abnormalities and Gout. Asian
Med J. 37(2): 65t-656.

nucleotide yang merupakan bahan penting dalam tubuh

Kelley WN, Wortmann RL, 1997 Gout and Hyperuricemia. In

RINGKASAN
Hiperurisemia adalah keadaan di mana terjadi peningkatan
kadar AU darah di atas normal. Asam urat adalah bahan

sebagai komponen dari asam nukleat dan penghasil energi


dalam inti sel

Hiperurisemia bisa terjadi karena peningkatan


metabolisme AU (overproduction), penurunan
pengeluaran AU urin (underexcretion), atalu gabungan
keduanya. Penyebab hiperurisemia dan gout dapat
dibedakan dengan hiperurisemia primer, sekunder dan

idiopatik.
Hiperurisemia dan gout primer adalah hiperurisemia dan
gout tanpa disebabkan penyakit atau penyebab lain, terdiri
dari hiperurisemia primer dengan kelainan molekular yang
masih belum jelas dan hiperurisemia primer karena adanya
kelainan ensim.
Hiperurisemia dan gout sekunder adalah hiperurisemia
atau gout yang disebabkan karena penyakit lain atau
penyebab lain. Hiperurisemia dan gout sekunder dibagi

menjadi beberapa kelompok, yaitu kelainan yang


menyebabkan peningkatan biosintesis de novo, kelainan
yang menyebabkan peningkatan degradasi AIP atau
pemecahan asam nukleat dankelainan yang menyebabkan

underexcretion.
Hiperurisemia dan gout idiopatik adalah hiperurisemia
yang tidak jelas penyebab primer, kelainan genetik, tidak
ada kelainan fisiologi atau anatomi yang jelas.
Penyebab hiperurisemia dapat ditelusuri dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang yang rutin dikerjakan adalah


pemeriksaan darah rutin AU darah, kreatinin darah,
pemeriksaan urin rutin, kadar AU urin 24 jam, kadar
kreatinin urin 24 jam, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Textbook of Rheumatology, Fifth Edition, Editor WN Keltey, S


Ruddy, ED Harris, CB Sledge, Philadelphia: WB Saunder Comp,
1314-1350.
Klemp P, Stanfreld SA, Castel B, Robertson MC, 1996. Prevalence

hyperuricaemia and gout in New Zealand. Eight APLAR

of Rheumatology, April

Congress

26.Me1bourne (Abstrak)

Leumann EP, Wegmann W, 1983. Famiiial nephropathy with


hyperuricaemia and gout. Nephron. 34(1): 51-57
Massari PU, Hsu CH, Barnes RV, Fox IH, Gikas PW, Weller JM,
1980. Familial hyperuricemia dan renal disease. Arch Intern
Med. 140(5): 680-684.
Moro F, Ogg CS, Simmond HA, Cameron JS, Chantler C, McBride
MB, Duley JA, Davis PM, 1991. Familial juvenile gouty
nephropathy with renal urate hypoexcretion preceding renal
disease Clin Nephrol. 35(6): 263-269.
Nuki G 1998 Gout. Medicine International. 12(42):54-59.
Puig JG Miranda ME, Mateos FA, Picazo ML, Jimenez ML, Calvin
TS, Gil AA, 1993. Hereditary nephropathy associated with
hyperuricaemia and gout. Arch Intern Med. 153(3): 357365.(Abstrak).
Reiter L, Brown MA, Edmonds J, 1995. Familial hyperuricaemic
nephropathy. Am J Kidney Dis25(2):235-241.
Rosenthal AN, 1998. Crystal arthropathies. In: Oxford Textbook
of Rheumatology, Second Ed.,Vo11, Ed. PJ Madison, DA
Isenberg, P Woo, DN Glass. Oxford New York Tokyo; Oxford
University Press, 1555-1581.
Saeki A, Hosoya T, Okabe H, Saji M, Tabe A, Ichida K, Itoh K, Joh
K, Sakai O, 1995. New discovered familiai juvenile gouty
nephropathy in a Japanese family. Nephron. 70(3): 356-366'
Schumacher Jr HR, 1992. Hiperuricaemia and Gout. In Rheumatology APLAR 1992, Proceding of the 7th APLAR Congress of
Rheumatology, 13th-18th September 1992, Bali, Indonesia,
Edit.: A.R.Nasution, J.Darmawan and Harry Isbagiao, New York,

Edinburgh, London, Merbourne and Tokyo: Churchill


Livingstone, 293-243.
Simmonds HA, 1994. Purine and pyrimidine disorder. In the
Inherited Metabolic Diseases,second Edition, Edinburg: Churchill

Livingstone,

REFERENSI
Becker & Meenaskshi J 2005. Clinical gout and pathogenesis of
hyperuricaemia. In Arlhritis and Allied Conditions, A textbook
of Rheumatology. 13th Ed, Vol 2, Editor WJ Koopman, Baltimore: Williams & Wilkins a Wavelry comp,2303-2339.

HA, Cameron JS, Davies PM, 1990. Precoious


Familial Gout with Reduced Fractional Urate Clearance and

Calabrese G, Simmond

Normal Purine Enzymes. Quarterly J of llded.'75(277):


441 -450 .
Cohen MG, Emmerson

BT, 1994. Gout. In Rheumatology.Editor JH


Klippel, PA Dippe, Part 2, St Louis Baltimore: Mosby.12.
1-12.16.

29'7

-349.

Terkeltaub,R., 2001. Gout, Epidemiology, Pathology and

In Primer on the Rheumatic Diseases, Ed. 12,


Edit. J.H.Klippel, Atlanta Georgia : Arthritis Foundation,
307 -3t2.
WHO, 1992. Rheumatic diseases, Report of a WHO Scientific
Pathogenesis.

Group,Geneva,55-58.

Wilson JM, Young AB, Kelley WN, 1984. Hypoxathine-Guanine


Phosphoribosyltraferase deficiency. N Engl J Med,309(15):
900-9 1 0.

Wortmann

RL,2005. Disoder of purine and pyrimidine

metabolisme In: Harrison's Principle of Internal Medicine 16


th Ed., Vo1.2, Editor DL Kasper, AS Fauci, DL Longo, EB
Braunwald, AL Hauser, JL Lameson. MacGraw-Hill New York,

2308-23t3.

398
ARTRITIS PIRAI (ARTRITIS GOUT)
Edward Stefanus Tehupeiory

PENDAHULUAN

pasien gout yang mengobati sendiri (self medication).


Satu study yang lama di Massachusetts (Framingham
Study) mendapatkan lebih dari lo/o dari populasi dengan
kadar asam urat kurang dari 7 mgl100 ml pemah mendapat
serangan artritis gout akut. Hasil penelitian terlihat pada

Artritis pirai (gout) adalah penyakit yang sering ditemukan


dan tersebar di seluruh dunia. Artritis pirai merupakan

kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi


kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat
supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraselular.

Tabel 1.

Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis gout akut,


akumulasi kristal padajaringan yang merusak tulang (tofi),
batu asam urat dan yangjarang adalah kegagalan ginjal

(gout nefropati). Gangguan metabolisme

yang

Total Pasien
diperiksa

mendasarkan gout adalah hiperurisemia yang didefinisikan


sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 mlldl dan 6,0

mg/dl.

<6

6-6,9

Gout merupakan penyakit dominan pada pria dewasa.

antara pria African American

lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pria


caucasian.

Di Indonesia belum banyak publikasi epidemiologi


tentang artritis pirai (AP). Pada tahun 1935 seorang dokter

kebangsaan Belanda bernama Van der Horst telah


melaporkan 15 pasien artritis pirai dengan kecacatan
(lumpuhkan anggota gerak) dari suatu daerah di Jawa
Tengah. Penelitian lainT mendapatkan bahwa pasien gout
yang berobat, rata-rata sudah mengidap penyakit selama

lebih dari 5 tahun. Hal ini mungkin disebabkan banyak

0,9
2,8
17,3

11

27,5

11

-7,9

162
40

>9

10

Total

2463

86

90,0
3,5

PATOLOGI GOUT

Prevalensi gout bertambah dengan meningkatnya

di

27
28

Dikutip dari Framingham Study (11)

Sebagaimana yang disampaikan oleh Hippocrates bahwa


gout jarang pada pria sebelum masa remaja (adolescens)
sedangkan pada perempuan jarang sebelum menopause.
Pada tahun 1986 dilaporkan prevalensi gout di Amerika
Serikat adalah 13.6/1000 pria dan 6.411000 perempuan.

taraf hidup. Prevalensi

Yang Timbul

8-8,9

EPIDEMIOLOGI

1281
970

Artritis Gout

Histopatologis dari tofus menunjukkan granuloma


dikelilingi oleh butir kristal monosodium urat (MS[I). Reaksi
inflamasi disekeliling kristal terutama terdiri dari sel
mononuklear dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks
tulang terjadi di sekitar tofus. Kapsul fibrosa biasanya
prominen di sekeliling tofi. Kristal dalam tofi berbentuk
jarum (needle shape) dan sering membentuk kelompok kecil
secara radier.

Komponen lain yang penting dalam

tofi

adalah

lipid glikosaminoglikan dan plasma protein.s Pada arhitis

gout akut cairan sendi juga mengandung krital


monosodium urat monohidrat pada 95o% kasus.

2556

2557

ARTRITIS PIRAI (ARTRITIS GOUT)

Pada cairan aspirasi dari sendi yang diambil segera pada

saat inflamasi akut akan ditemukan banyak kristal di


dalam lekosit. Hal ini disebabkan karena terjadi proses
fagositosis.

PATOGENESIS ARTRITIS GOUT


Awitan (onset) serangan gout akut berhubungan dengan
perubahan kadar asam urat serum, meninggi ataupun
menurun. Pada kadar urat serum yang stabil, jarang
mendapat serangan. Pengobatan dini dengan alopurinol
yang menumnkan kadar urat serum dapat mempresipitasi
serangan gout akut. Pemakaian alkohol berat oleh pasien
gout dapat menimbulkan fluktuasi konsentrasi urat serum.
Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan

kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofi


(crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau yang
dengan hiperurisemia asimptomatik kristal urat ditemukan
pada sendi metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya

tidak pemah mendapat serangan akut. Dengan demikian


gout, sepertijuga pseudogout, dapat timbul pada keadaan
asimptomatik. Pada penelitian penulis didapat 2l % pasien
gout dengan asam urat normal. Terdapat peranan temperatur, PH dan kelarutan urat untuk timbul serangan gout akut.
Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur lebih
rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat
menjelaskan mengapa kristal MSU diendapkanpada kedua

tempat tersebut. Predileksi untuk pengendapan kristal


MSU pada metatarsofalangeal-1 (MTP-I) berhubungan
juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada
daerah tersebut.
Penelitian Simkin didapatkan kecepatan difusi molekul
urat dari ruang sinovia kedalam plasma hanya setengah
kecepatan air. Dengan demikian konsentrasi urat dalam
cairan sendi seperti MTP- I menjadi seimbang dengan urat
dalam plasma pada siang hari selanjutnya bila cairan sendi
diresorbsi waktu berbaring, akan terjadi peningkatan kadar
urat lokal. Fenomena ini dapat menerangkan terjadinya
awitan (onset) gout akut pada malam hari pada sendi yang
bersangkutan. Keasaman dapat meninggikan nukleasi urat
in vitromelalui pembentukan dariprotonated solid phases.
Walaupun kelarutan sodium urat bertentangan terhadap

asam urat, biasanya kelarutan ini meninggi, pada


penumnan pH dari 7,5 menjadi 5,8 dan pengukuran pH
serta kapasitas bu/fer pada sendi dengan gout, gagal untuk
menentukan adanya asidosis. Hal ini menunjukkan bahwa
perubahan pH secara akut tidak signifikan mempengaruhi

pembentukan kristal MSU sendi.


Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting
pada artritis gout terutama gout akut. Reaksi ini merupakan
reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk menghindari

kerusakan-jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari


proses infl amasi adalah:

Menotralisir dan menghancurkan agen penyebab;

Mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang

lebih luas.
Peradangan pada artritis gout akut adalah akibat
penumpukan agen penyebab yaitu kristal monosodium urat
pada sendi. Mekanisme peradangan ini belum diketahui
secara pasti. Hal ini diduga oleh peranan mediator kimia
dan selular. Pengeluaran berbagai mediator peradangan
akibat aktivasi melalui berbagai jalur, antata lain aktivitas
komplemen (C) dan selular.

AKTIVASI KOMPLEMEN
Kristal urat dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui
jalur klasik dan jalur alternatif. Melalui jalur klasik, terjadi
aktivasi komplemen Cl tanpa peran imunoglobulin. Pada
kadar MSU meninggi, aktivasi sistem komplemen melalui
j alur altematif terj adi apabila j alur klasik terhambat. Aktivasi
Clq melalui jalur klasik menyebabkan aktivasi kolikrein
dan berlanjut dengan mengaktifkan Hageman faktot
(Faktor XII) yang penting dalam reaksi kaskade koagulasi'
Ikatan partikel dengan C3 aktif (C3a) merupakan proses

opsonisasi. Proses opsonisasi partikel mempunyai


peranan penting agar partikel tersebut mudah dikenal, yang

kemudian difagositosis dan dihancurkan oleh netrofil,


monosit atau makrofog. Aktivasi komplemen C5 (C5a)
menyebabkan peningkatan aktivitas proses kemotaksis sel
neutrofil, vasodilatasi serta pengeluaran sitokin IL-1 dan
TNF. Aktivitas C3a dan C5a menyebabkan pembentukan

membrane attack complex (MAC). Membrane altack

complex merupakan komponen akhir proses aktivasi


komplemen yang berperan dalam ion channel yang
bersifat sitotoksik pada sel patogen maupun sel host.Hal
ini membuktikanbahwa melalui jalur aktivasi " komplemen
cascade ", kristal urat menyebabkan proses peradangan
melalui mediator IL-l dan TNF serta sel radang neutrofil
danmakrofag.

ASPEK SELULAR ARTRITIS GOUT


Pada artritis gout, berbagai sel dapatberperan dalamproses

peradangan, antara lainsel makrofag, neutrofi I sel sinovial

dan sel radang lainnya. Makrofag pada sinovium


merupakan sel utama dalam proses peradangatyarrgdapat
menghasilkan berbagai mediator kimiawi antara lain IL- 1 ,

TNF, IL-6 dan GM-CSF (Granulocyte-Macrophage


Colony- Stimulating F actor). Mediator ini menyebabkan
kerusakan jaringan dan mengaktivasi berbagai sel radang.
Kristal urat mengaktivasi sel radang dengan berba gai cara

sehinggga menimbulkan respons fungsional sel dan gene


expression. Respons fungsional sel radang tersebut antara
lain berupa degranulasi, aktivasi NADPH oksidase gere

expression sel radang melalui jalur signal transduction

25s8

REI.JMANOIOGI

pathway dan berakhir dengan aktivasi transcription


factor yang menyebabkan gen berekspresi dengan

menimbulkan reaksi radang lokal maupun sistemik dan


menimbulkan kerusakan jaringan.

mengeluarkan berbagai sitokin dan mediatorkimiawi lain.


Signal transduction pathway melalui 2 carayaitu, dengan
mengadakan ikatan dengan reseptor (cross-link) atau
dengan langsung menyebabkan gangguan non spesifik

MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik gout terdiri dari artritis gout akut,
interkritikal gout dan gout menahun dengan tofi. Ketiga
stadium ini merupakan stadium yang klasik dan didapat

pada membran sel.

Ikatan dengan reseptor (cross-link) pada sel membran

akan bertambah kuat apabila kristal urat berikatan


sebelumnya dengan opsonin, misalnya ikatan dengan

deposisi yang progresif kristal urat.

imunoglobulin (Fc dan IgG) atau dengan komplemen (C1q


C3b). Kristal urat mengadakan ikatan cross-link dengan
berbagai reseptor, seperti reseptor adhesion molecule
(Integrin), non tyrosin kinase, reseptor FC, komplemen
dan sitokin. Aktivasi reseptor melalui tirosin kinase dan
s e c o n d m e s s e n g e akan mengaktifkan tr an s cr ip t i on
fa c t o r.
Transkripsi gen sel radang ini akan mengeluarkan berbagai
mediator kimiawi antara lain IL- l. Telah dibuktikan neutrofi I
yang diinduksi oleh kristal urat menyebabkan peningkatan
mikrokristal fosfolipase D yang penting dalam jalur
transduksi signal. Pengeluaran berbagai mediator akan

Stimulus
(MSU)

STADIUM ARTRITIS GOUT AKUT


Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul
sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada

gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang

hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat


monoartikuler dengan keluhan utama berupa nyeri,
bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik
berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang

Makrofag, neutrofil

rL-12-

rNF

'i-,
I

IL-6

Endotel
Pembuluh darah

IL-8

Low

A/eutral protease

Molecular
Mediator

collagenase
Proteoglicanase

(PGE,POR NO)
I

Acute
Phase
Protein
febris

I
I

takt k
osit

Gejala sistematik

Aliran
darah

Kerusakan jantung

Febris

Gambar 1. Mediator Kimiawi pada Peradangan Akut

Keterangan

Stimulasi dapat berupa produk bakteri (polisakarida bakteri, eksotoksin), mediator kimiawi yang
iritan antara lain kristal urat, radiasi dan molekul endogen seperti kompleks imun dan fragmen
komplemen. HEV: high endothelial yessel, MSU : mono sodium urate,NO: nitrit oksid,PGB
: prostaglandin E, POR : produk oksigen reaktil TNF : tumor necrosis factor,IL-7 = interleukin
-1, IL-6 - interleukin - 6, IL-S - interleukin - 8. (19,20)

2559

ARTRITIS PIRAI (ARTRITIS GOUT)

paling sering pada MTP-1 yang biasanya disebut


podagra. Apabila proses penyakit berlanjut, dapat terkena
sendi lain yaitu pergelatgantatganlkaki, lutut dan siku.
Serangan akut ini dilukiskan oleh Sydenham sebagai:
sembuh beberapa hari sampai beberapa minggu, bila tidak
diobati, rekuren yang multipel, interval antar serangan
singkat dan dapat mengenai beberapa sendi.r6 Pada
serangan akut yang tidak berat, keluhan-keluhan dapat

hilang dalam beberapajam atau hari. Pada serangan akut


berat dapat sembuh dalam beberapa hari sampai beberapa
mmggu.

Faktor pencetus serangan akut antara lain berupa


trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres,
tindakan operasi, pemakaian obat diuretik atau penurunan
dan peningkatan asam urat. Penurunan asam urat darah
secara mendadak dengan alopurinol atau obat urikosurik
dapat menimbulkan kekambuhan.

STADIUM INTERKRITIKAL
Stadium ini merupakan kelanjutan stadium akut dimana
terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara
klinik tidak didapatkan tanda-tanda radang akut, namun

pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini


menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlanjut,
walaupun tanpa keluhan. Keadaan ini dapat terjadi satu
atau beberapa kali pertahun, atau dapat sampai 10 tahun
tanpa serangan akut. Apabila tanpa penanganan yang baik
dan pengaturan asam waiyang tidak benal maka dapat
timbul serangan akut lebih sering yang dapat mengenai
beberapa sendi dan biasanya lebih berat. Manajemen yang
tidak baik, maka keadaan interkritik akan berlanjut menjadi

stadium menahun dengan pembentukan tofi.

diagnosis spesifik untuk gout. Akan tetapi tidak semua


pasien mempunyai tofi, sehingga tes diagnostik ini kurang
sensitif. Oleh karena itu kombinasi dari penemuanpenemuan di bawah ini dapat dipakai unflrk menegakkan
diagnosis:
. Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikuler khusus

.
.
.

pada sendi MTP-I;


Diikuti oleh stadium interkritik di mana bebas simptom;

Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan


kolkisin;
Hiperurisemia.

Kadar asam urat normal tidak dapat menghindari


diagnosis gout. Logan dkk mendapatkan 40Yo pasien gout
mempunyai kadar asam urat normal. Hasil penelitian penulis
didapatkan sebanyak 2l%o artitis gout dengan asam urat

normal. Walaupun hiperurisemia dan gout mempunyai


hubungan kausal, keduanya mempunyai fenomena yang
berbeda. Kriteria untuk penyembuhan akibat pengobatan
dengan kolkisin adalah hilangnya gejala objektif inflamasi
pada setiap sendi dalam waktu 7 hari. Bila hanya ditemukan

artritis pada pasien dengan hiperurisemia tidak bisa


didiagnosis gout. Pemeriksaan radiografi pada serangan
pefiama artritis gout akut adalah non spesifik. Kelainan
utama radiografi pada kronik gout adalah inflamasi asimefi,
artritis erosif yang kadang-kadang disertai nodul jaringan
lunak.

PENATALAKSANAAN ARTRITIS GOUT


Secara umum penanganan artritis gout adalah memberikan
edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan.

Pengobatan dilakukan secara

dini agar tidak terjadi

kerusakan sendi ataupun komplikasi lain, misalnyapada

ginjal. Pengobatan artritis gout akut bertujuan


STADIUM ARTRITIS GOUT MENAHUN
Stadium ini umumnya pada pasien yang mengobati sendiri
(self medicatioz) sehingga dalam waktu lamatidakberobat
secara teratur pada dokter. Artritis gout menahun biasanya
disertai tofi yang banyak dan terdapat poliartikular. Tofi

ini sering pecah

dan sulit sembuh dengan obat,

kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder. Pada tofus

yang besar dapat dilakukan ekstirpasi, namun hasilnya


kurang memuaskan. Lokasi tofi yang paling sering pada
cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon Achilles dan
jari tangan. Pada stadium ini kadang-kadang disertai batu
saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun.

DIAGNOSIS
Dengan menemukan kristal urat dalam

tofi

merupakan

menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan


dengan obat-obat, antar a lain kolkisin, obat anti infl amasi
non steroid (OAINS), kortikosteroid, atau hormonACTH.
Obat penurun asam urat seperti alopurinol atau obat
urikosurik tidakboleh diberikanpada stadium akut. Namun
pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam
urat, sebaiknya tetap diberikan. Pemberian kolkisin dosis
standar untuk artritis gout akut secara oral3-4ka1i,0,5-0,6
mg per hari dengan dosis maksimal 6 mg. Pembenan OAINS
dapat pula diberikan. Dosis tergantung dari jenis OAINS
yang dipakai. Di samping efek anti inflamasi obat inijuga
mempunyai efek analgetik. Jenis OAINS yang banyak
dipakai pada artritis gout akut adalah indometasin. Dosis
obat ini adalah 150-200 mg/hari selama 2-3 hari dan
dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai mingguberikutnya atau
sampai nyeri atau peradangan berkurang. Kortikosteroid
dan ACTH diberikan apabila kolkisin dan OAINS tidak
efektif atau merupakan kontra indikasi. Pemakaian
kortikosteroid pada gout dapat diberikan oral atau

2560

REI.JMAiNOLOGI

parenteral. Indikasi pemberian adalah pada artritis gout

akut yang mengenai banyak sendi (poliartikular).


Pada stadium interkritik dan menahun, tujuan pengobatan
adalah untuk menurunkan kadar asam urat, sampai kadar

noffnal, guna mencegah kekambuhan. Penurunan kadar


asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin
dan pemakaian obat allopurinol bersama obat urikosurik
yang lain.

Mc. Carty DJ. Gout without hlperuricemia. JAIMA.1994 ;21 : 2175-6


Naccache PH, Bourgoin S, Plante E et al. Crystal induced neutrofil
activation II. Evidence for the activation of a phosphatidyl
choline specific phospholipase D. Arthritis and Rheumatism.

1993;30:117-25.
Klippel JH Gout. Epidemiology, pathology and pathogenesis.

In: Primer on the rheumatic

diseases.l2th edition.

Atlanta:Arthritis Foundation 200Lp.307 -24.


Kelley WN, Woftman RL. Gout and hyperuricemia. Kelley, Ruddy
S, editors. Textbook of rheumatology 5th ed Philadelphia: WB
Saunders; 1997.p.1314-50.

REFERENSI
Becker MA. Clinical gout and the pathogenesis of hyperuricemia.

In Koopman WJ editor. Arthritis and allied condition. l4th


edition. Williams & Ailkins; 2001 p.2281-306
Becker MA, Jolly M. Clinical gout and the pathogenesis of
hyperuricemia.In: Arthritis and allied condition. A textbook of
Rheumatology. Koopman WJ,editor. 15,h edition. Baltimore:
Lippincott Williams and Wilkins;2005.p.2303-33.
Darmawan J, Rasker JJ, Nuralim H. The effect of control and self
medication of chronic gout in a developing country : Outcome
after 10 years. J Rheumatol 2003 ; 30 ;243'7-43.
Emmerson BT. Hyperuricemia and gout in clinical practice. Sydney:
Adis Health Sciences; 1983.p.3-60.
Eichenfield LF, Jhonston RB. The complement system. Sigal LH,

Ron Y,editors. Immunology and Inflammation. Basic and


clinical consequences. New York: Mc Graw Hill; 1994.p.359-86
Felson DT. Epidemiology of the rheumatic diseases. gout and
hyperuricemia. Koopman WI, Moreland LW,editors,l6th
edition.Philadelphia:Lippencott WL Wilkins; 2O5.p.29-30.
Hochberg MC, Thomas J, Thomas DJ, et al. Racial differences in
the incidence of gout the role of hypertension. Arlhritis Rheum.
1995; 38:628-32.
Healey LA. Epidemiology of Hyperuricemia. Gout and purine

metabolism. Proceeding

of a conferrence The Arthritis

Foundation 1974 : 709-12.


Hall AP. Barry PE. Dawber TR, et al.Epidemiology of gout and
hyperuricemia. Am J Med. 1965;39 : 242-51.

Logan JA. Morrison E. Mc Gitl P. Serum uric acid in acute gout. Ann
Rheum Dis 199'1 :, 56: 696-7.
Peterson F, Symes Y, Springer P. Perspective on pathophysiology.
Coopstead editors. Philadelphia:W.B Saunders; 1999.p 173
Rodnan GP Gout : A Clinical round table conference. When and how

to treat New York:Park Row Publ;1980.p.6-23.


Tehupeiory ES. Gouty arthritis and uric acid distribution in several
ethnic group in Ujung Pandang disertasi 1992.
Terkeltaub RA. Pathogenesis and treatment of crystal induced
inflammation. In:Arthritis and allied condition. a textbook of
rheumatology. Koopman WJ. Ed 15'h edition. Baltimore:
Lippencott Williams and Wilkins; 2005.p 2357-69
Tjokorda RP. Hubungan interleukin-1 (IL-1) dan IL-1 reseptor
antagonis dengan keradangan pada artritis pirai akut disertasi,
Surabaya 2004.
Telketaub RA. Gout.

N Engl J Med.2003: 349 :17.

van der Horst. Het Voorkonien Van Jicht. Ned Ind Tv.G 1935; 12:1483-5.

Walker BAM, Fantone JC. The inflammatory

response.
Immunology and inflammation basic and clinical consequences.
Sigal LH, Ron leditors. New York: Mc Graw-Hill; I994.p.359-84.
Walport MJ, Duff GW. Cells and mediators. Maddison PJ Isenberg

DA,editors. Oxford textbook of rheumatology . 2'd edition


Oxford University Press; 1988.p.503-24.
Wallace SL, Bemstein D, Diamond H. Diagnosis value of colchicine
therapeutic trial .JAMA ; 1967 ; 199 : 525-8.

399
KRISTAL ARTROPATI SELAIN GOUT
Faridin

PENDAHULUAN

periartikular patologik yang menyebabkan keradangan

Sampai dengantahun 1960, penyebab radang sendi akibat

sendi mirip dengan keradangan sendi gout dan


pseudogout. Selanjutnya kelompok ini dikenal sebagai

kristal monosodium urat (MSU crysta[) dikenal dengan

kelompok apatit atau BCP.

artritis gout. Namun berkat kemajuan pemeriksaan analisis


cairan sendi, diketahui bahwa selain kristal MSU juga
ditemukan suatu kristal yang tidak sama dengan kristal
MSU menyebabkan suatu penyakit yang mempunyai
gejala-gejala keradangan sendi yang mirip dengan gout
(pseudogout), dikenal sebagai calcium pyrophosphate
dehidrogenase crystal (CPPD) dengan rumus kimia

Monosodium urat monohidrat


h ate d i hyd rate
Basic Calcium Phosphate (BCP)

Cal ci u m py rophosp

Apatite
Tricalcium phosphate
Octacalcium phosphate
Di calci u m phos phate d i hyd rate (brushite)
Calcium magnesium phosphate (whitlokite)
Calcium carbonates (calcite and aroganite)
Calcium oxalate (monohydrate and dihydrate)

CarPrO, 2H2O. Istilah pseudogout dipakai untuk


menggambarkan serangan radang akut yang mirip gout

dan sering tampak pada pasien-pasien dengan


penimbunan kristal CPPD.
Penimbunan kristal CPPD hanya ditemukan di sekitar

Lipid
Kristal kolesterol

sendi dan ditandai dengan kalsifikasi rawan sendi,

Krisral - knstal lipid


Kristal - kristal protein
Kryoglobulin
Hematoidin
Charcot-Leyden
Kristal - kristal steroid (karena suntikan steroid intra artikuler)

meniskus, sinovium, dan j aringan sekitar sendi. Identifikasi

kristal CPPD dalam cairan sinovial atau jaringan sekitar


sendi penting untuk membedakan antara penyakit akibat
deposisi kristal CPPD dengan keradangan sendi akibat
penimbunan kristal dan penyakit degeneratif sendi lainnya.
Istllah c h o n dr o c al c in o s i s didasarkan atas ditemukannya
kristal kalsium pada pemeriksaan radiologis sebagai
radiolusen di sekitar sendi. Penimbunan kristal CPPD tidak
terbatas hanya pada rawan sendi, namun kristal CPPD

dapat tertimbun pada synovial lining, ligamentum-ligamentum, tendon-tendon otot, dan jarang pada jaringan
lunak periartikular seperti tofus pada artritis gout kronik.2
Beberapa kristal yang telah dikenal selain kristal MSU
dan CPPD adalah kelompok apatite like crystal yang
menyebabkan peradangan sendi yaitu basic calcium phos-

phate (BCP), meliputi carbonate subtituted apatite,


octacalcium phosphate, tricalcium phosphate
(whitlockite), dan dicalcium phosphate dihidrate (brushite) (Lihat tabel 1). Kristal ini merupakan bentuk kristal

EPIDEM!OLOGI
Laporan mengenai data epidemiologi penyakit radang
sendi akibat penimbunan kristal (artropati kristal) sangat

jarang. Pseudogout sering ditemukan pada umur


pertengahan dan umur yang lebih tua, data yang pemah
dilaporkan menyatakan bahwa 1 0- I 5 % mengenai mereka
yang berusia 65-70 tahun dan akan meningkat30-60o/opada
usia di atas 80 tahun, perempuan lebih sering dibanding
laki-laki dengan perbandingan 2-3: I . Penelitian-penelitian

prevalensi dari CPPD hanya berdasarkan gambaran


radiologis dan patologi dari kondrokalsinosis. Pada suatu

2561

2562

penelitian radiologis, prevalensi kondrokalsinosis pada


populasi umum sekitar 0,9 per 1000 penduduk.
Kondrokalsinosis akan meningkat sesuai dengan
peningkatan umur dan umumnya asimptomatik. Hubungan
antara CPPD dengan osteoarhitis masih kontroversi. Suatu

penelitian kohort pasien 70 tahun, pada awal penelitian


insiden kondrokalsinosis 7 ,8%o, padafollow up 7- 1 0 tahun

kemudian dengan pemeriksaan radiologis, tidak


memperlihatkan peningkatan risiko kejadian osteoartritis.

Prevalensi penyakit timbunan kristal kalsium


hidroksiapatit (HA) masih belum diketahui, demikian pula
dari kelompok BCP lain. Kejadian radang sendi akibat
penimbunan kristal HA pernah dilaporkan pada pasien
umur 30 tahun, di mana biasatya jaratgterjadi osteoartritis.
Berdasarkan data-data epidemiologi di atas maka
pembahasan tentang kristal artropati selain gout dibatasi
pada penjelasan mengenai radang sendi akibat penimbunan

kristal CPPD dan kelompok BCP.

PSEUDOGOUT

REUMAIIOI.OGI

pembentukan PPi oleh karena adanya


tulang rawan pasien deposisi CPPD.

AIP dan ekstrak

Komposisi ion matriks juga mempengaruhi


pembentukankristalCPPD,dimanaiotferromenghambat
r r i menurunkan pembentukan kristal
CPPD ln vitro dan memperlambat degradasi intraselular
kristal CPPD. Sedangkan hipomagnesemia dihubungkan
dengan kondrokalsinosis dimana magnesium adalah
kofaktor untuk pirofosfatase dan meningkatkan kelarutan
kristal CPPD, sehingga bila terjadi defisiensi akan
menurunkan hidrolisis PPi dan dapat memperlambat
kelarutan kristal.
Kerusakan sendi akibat penimbunan kristal CPPD
disebabkan oleh faktor fisis dan perubahan kimia pada
rawan sendi yang mempermudah pembentukan kristal.
Bepasnya kristal CPPD pada ruang sendi diikuti oleh
fagositosis neutrofil dari kristal dan lepasnya substansi
inflamasi, di samping itu neutrofil akan membebaskan
glikopeptida yang bersifat suatu kemotaktik untuk neutrofil
yang memperhebat proses keradangan. CPPD juga dapat
mengaktivasi faktor Hagemen yait't kinin dan bradikinin

pirofosfatas e, ion fe

yang mengaktivasi plasminogen menjadi plasmin,


Pseudogout merupakan sinovitis mikrokristalin yang dipicu
oleh penimbunan kristal CPPD, dan dihubungkan dengan

selanjutnya akan mengkativasi siklus komplemen yang


merupakan mediator untuk inflamasi akut.

kalsifikasi hialin serta fibrokartilago. Ditandai dengan


gambaran radiologis berupa kalsifikasi rawan sendi di mana

sendi lutut dan sendi-sendi besar lainnya merupakan


predileksi untuk terkena radang.

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pasien dengan penimbunan kristal CPP
dapat asimtomatik atau dengan gejala-gejala keradangan
sendi yang nyata. (Lihat Tabel 2).

Patogenesis
Penyebab dari pseudogout adalah timbunan kristal CPPD
di dalam struktur sendi. Penyebab penimbunan dari kristal

ini belum diketahui secara pasti. Kristal yang terbentuk


akan memicu proses fagositosis, selanjutnya akan
melepaskan enzim-enzim lisosom yang akan mengakibatkan

keradangan. Pembentukan kristal CPPD pada kartilago

disebabkan peningkatan kadar kalsium atau pirofosfat


inorganik (PPi) dari perubahan di dalam matriks yang
mencetuskan pembentukan kristal atau dari kombinasi
keduanya.

Episode akut serangan artritis pseudogout timbul


karena terjadinya pelepasan kristal CPPD dari deposit-deposit yang terdapat dalam fibrokartilago dan kartilago hialin

yang mekanismenya meliputi: kelarutan parsial dari kristal


atau perubahan matriks kartilago sekitarnya, keduanya
dapat mempercepat pelepasan kristal ke dalam ruang sendi.
Pada pasien dengan kristal CPPD, biasanya tidak terjadi
peningkatan kadar plasma PPi dan peningkatan ekskresi

melalui urin. Konsentrasi PPi cairan sinovial meningkat


pada beberapa sendi pasien dengan kristal CPPD.2
Sumber utama PPi secara biologis adalah berasal dari
pemecahan nukleotida trifosfat atau berhubungan dengan

senyawa seperti uridin difosfoglukose pada kartilago.


Tenembaun dalam penelitiannya mengatakan bahwa

Mono atau oligoartritis akut dengan serangan pseudogout


Osteo-artritis tipe peculai
Artropati pirofosfat
Pseudo spondilitis ankilosing
Artropati destruktif
Bentuk tofaseous atau pseudotumoral
Osteokromatosis sinovial
Deposit pada mata
Bursitis, tendinitis
Carpal tunnel syndrome
Cubital tunnel syndrome
Ruptur tendon
Nyeri punggung akut
Stenosis spinal
Mielopati servikal
Pseud ome

ing itis

Pseudogout memberikan serangan akut atau subakut,


episodik dan dapat menyerupai penyakit gout, di mana
inflamasi sinovium merupakan gejala yang khas. Menurut
Mc Carty; artritis CPPD akut disebut pseudogout, karena
sangat menyerupai gout.
Pada saat serangan akut didapatkan adanya
pembengkakan yang sangat nyeri, kekakuan dan panas
lokal sekitar sendi yang sakit dan disertai eritema. Gambaran

2563

KRISTAL ARTROPATI SELAIN GOUT

tersebut sangat menyerupai gout. Serangan akut dapat


pula diprovokasi oleh tindakan operasi, dan dapat bersifat

self-limiting.
Sekitar 5oh dari pasien dengan penimbunan kristal
CPPD memberikan gambaran klinis seperti artritis

Mc Carty, mengajukan kriteria diagnosis untuk


timbunan kristal CPPD yang didasarkan atas gambaran
kristal dan radiologis (Tabel 3).

pseudoreumatoid. Gejala-gejalanya minp dengan gambaran

artritis reumatoid, seperti melibatkan beberapa sendi


bersifat simetris, kekakuan pagi hari, penebalan sinovium,
dan peningkatan laju endap darah, dan sekitar 1 0olo pasien
dengan penimbunan kristal CPPD mempunyai titer faktor

reumatoid serum yang rendah. Hal

ini biasa

akan

mengacaukan diagnosis dengan artritis reumatoid.


Penimbunan CPPD pada tulang belakang khususnya
pada segmen servikal akan bermanifestasi klinis berupa

nyeri tengkuk, kekakuan, dan kadang-kadang disertai

Kategori

Definit

CPPD

Kriteria
l. Ditemukan kristal CPPD secara definitif dari aspirat
cairan sendi, biopsi aiau nekroskopi

ll

demam, sehingga menyerupai meningitis.


Resnik, dkk, sekitar 91% pasien CPPD servikal, akan

destruksi vertebra, dan pseudo-angkilosing spondilitis'

a.

ldentifikasi kristal monoklinik atau triklinik yang

memperlihatkan positif lemah, atau kurang jelas


refraksi ganda

(membias) dengan mikroskop biasa berpolarisator.


b. Adanya kalsifikasi fibrokartilago dan kartilago hialin
yang khas pada gambaran radiologis.

mengalami kelainan vertebra servikal seperti hilangnya

diskus intervertebral, subluksasi vertebra servikal,

: Harus memenuhi kriteria I atau lla

Probable : Harus memenuhi kriteria lla atau llb


Posslb/e : Kriteria llla atau lllb seharusnya mengingatkan
klinisi kemungkinan penyakit dasar timbunan

lll.

a. Artritis akut, terutama pada lutut atau sendi besar


lainnya, dengan atau tanpa bersamaan hiperurisemia

b Artritis kronik terutama pada lutut, pangkal paha,

Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tidak ada yang spesifik, laju endap

darah meninggi selama fase akut, leukosit PMN sedikit

meninggi. Sekitar 20o/o pasien dengan timbunan kristal


CPPD ditemukan hiperurisemia dan 5% disertai kristal MSU.

Pemeriksaan cairan sinovium dengan menggunakan


mikroskop cahaya biasa dapat terlihat bentuk kristal seperti

kubus (Rhomboid), atau batang pendek bersifat


birefringece positif lemah. Pada keadaan lain dapat
berbentuk jarum seperti kristal MSU. Kedua bentuk kristal
ini bersifat birefringence pada pemeriksaan kristal dengan
menggunakan mikroskop polarisasi cahaya.

pergelangan tangan, tangan, siku, sendi bahu dan


terutama bila
sendi metakarpofalangeal,

disertai eksaserbasi akut; artritis krortik

yang

- Letak OA yang tidak lazim, seperti

sendi

menunjukkan gambaran tersebut membantu untuk


membedakan dengan OA.

pergelangan tangan, sendi metakarpofalangeal,


atau sendi bahu.

Gambaran radiologis misalnya penyempitan celah


sendi radiokarpal, atau patelofemoral, terutama
bila terisolasi (patela yang membungkus femur).
Pembentukan kista subkondral

Degenerasi progeresif berat: kolaps tulang


subkondral (mikrofraktur), dan fragmentasi
dengan pembentukan badan-badan radiodens
intra artikular

Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis timbunan kristal CPPD dapat
memperlihatkan gambaran kondrokalsinosis berupa bintik-

bintik atau garis-garis radioopak yang sering ditemukan


di meniskus hbrokartilago sendi lutut. Dapat pula berupa

kalsifikasi pada sendi radio-ulner distal, simfisis


pubis, glenoid serta anulus fibrous diskus intervertebralis'
Pemeriksaan skrining dapat dilalarkan dengan pemeriksaan
foto pada sendi lutut (dalam keadaan tanpa beban) dengan

posisi antero-posterior (AP), foto pelvis posisi AP untuk


melihat sekitar simfisis pubis dan panggul, dan posisi
postero-anterior dari pergelangan tangan.

Diagnosis
gout dicurigai bila didap atk at adany a.serangan
radang sendi yang bersifat rekuren, episodik, ditandai
dengan sinovitis mikrostalin dan didukung dengan
P

seudo

penemuan pemeriksaan radiologis yang memperlihatkan


adanya kondrokalsinosis.

Pengobatan
Pada serangan akut sendi besar dapat dilakukan
aspirasi sekaligus dilanjutkan dengan pemberian steroid
intraartikular. Tindakan ini di samping bertujuan untuk
mengurangi tekanan intra artikular juga sebagai tindakan
diagnostik untuk pemeriksaan kristal.
Pemberian OAINS berupa fenilbutazon dosis 400-600
mg/hari untuk beberapa hari dapat bermanfaat, indometasin
dosis 75-150 mg,/hari atau dengan OANS lainnya, dengan
tetap memperhatikan efek samping OAINS pada saluran
cerna dan pemberian pada usia lanjut.
Kolkisin efektif menghambat pelepasan faktor-faktor
kemotaktik seperti sel-sel neutrofrl dan mononuklir dan
juga menghambat ikatan sel neutrofil dengan endotel.
Pemberian kolkisin intravena efektif untuk pengobatan
pseudogout, sedangkan kolkisin oral tidak sebaik pada

pengobatan gout dibanding pseudogout (primer), tapi


untuk pencegahan serangan dapat digunakan kokisin oral.

2564

REUMA*IOLOGI

Mengistirahatkan sendi penting selama serangan akut


dan latihan fisik dilakukan setelah serangan akut bertujuan

memperbaiki ketegangan otot dan lingkup gerak sendi


untuk menghindari kontraktur.
Radang sendi akibat timbunan kristal Basic Calcium
Phosphate
Penimbunan kelompok Dasi c calcium phosphate (BCp)
ditemukan pada j aringan sendi, kulit, pembuluh darah arteri
dan jaringan lainnya. Pada sistem muskuloskletal, kristal
dapat ditemukan pada tendon otot, diskus interverlebral,
kapsul sendi, sinovium, dan kartilago. Umumnya kalsifikasi
berbentuk tunggal, dapat pula multipel. Dari kelompok ini
yang terbanyak ditemukan adalah kristal hidroksiapatit

(HA). Timbunan HA merupakan faktor penting pada


kejadian artropati kronik destruktif yang sangat berat,
terjadi pada usia lanjut dan sering terjadi pada sendi lutut

dan bahu. Meskipun penyakit

ini jarang,

namun

manifestasi klinis yang kadang-kadang mirip dengan OA,


maka perlu difikirkan kemungkinan kristal HA dan

golongannya.
Peranan kristal BCP dalam patogenesis penyakit sendi
belum diketahui. Hipotesis yang dikemukakan, kistal BCp
dapat mengakibatkan peradangan sendi, dan memicu
terjadinya radang sendi.

Menggunakan mikroskop elektron, kristal HA


mempunyai ukuran 5-720 pm, berbentuk bundar atau
gumpalan tidak beraturan, tidak bersifat birefringence.

Sindrom bahu Milwaukee (Milwaukee shoulder


syndrome)
Sindrom bahr; Milwaukee, merupakan kelainan pada
bahu yang umumnya ditemukan pada perempuan usia

lanjut. Gambaran klinis mirip dengan kelainan-kelainan


pada sendi bahu, seperti tendinitis rotator cffi robekan
tendon otot-otot rotator cu/f, bursitis. Pada sindrom ini
biasa ditemukan efusi, robekan tendon otot-otot rotator
cuffyangluas, gambaran radiologis ditemukan kalsifikasi
periartikular, subluksasi kaput humeral. Analisis cairan
sendi ditemukan kristal BCP, jumlah leukosit sinovial yang
rendah. Gambaran klinis berupa nyeri bahu ringan sampai

berat, keterbatasan lingkup gerak sendi bahu, pada


beberapa kasus terdapat subluksasi sendi bahu. Belum

diketahui cara pengobatan ataupun pencegahan


penimbunan kristal BCP. Pengobatan hanya dirujuan pada
gej ala-gej ala yang ditemukan.

Beberapa radang sendi akibat penimbunan kristal


kelompok BCP yaitu periartritis kalsifikasi, dan kalsinosis.
namun sangat jarang ditemukan. Secara umum patofisiologi
dan gambaran klinis sama dengan HA, sehing_u a pada
makalah ini tidak dijelaskan semuanya.

REFERENSI
Finckh A, Linthoudt VD, Duvoisin B, Bovay p,Gerster JC The
cervical spine in calcium pyrophosphate dihydrate deposition
disease. A prevalent case control studir. J Rheumatol 2004;31:
54s-9
Gatter RA, Schumacher HR Special studies for crystalline material
In Joint fluid analysis.2"d edition, phitadelphia:Lea &
Fabiger;1991 p.78-84

Halverson PB., Ryan LM.: Arthritis asociated with calcium


containing crystal In: Klippel JH.Primer on the rheumatic disease, l2'h edition, Atlanta:Arthritis foundation; 2001 p 298-306
Halverson PB Basic calcium phosphate (apatite, octacalcium
phosphate, tricalcium phosphate) crystal deposition and calcinosis. In: Arthritis and allied conditions, 15th ed vo1 2, Koopman

WJ, Moreland LW. Philadelphial:Lippincot Witliam & Wilkins;


2005.p 2397 -416
Pons-Estel BA, Gimeniz C, Sacnon M, et al .Familial osteoarthritis
and Milwaukee shoulder assocjated with calcium pyrophosphate
and apatite crystal deposition J Rheumatol. 2000:21 : 471-80
Rosenthal AK, Ryan LM : Calcium pyrophosphate crystal deposition disease, pseudogout, and articular chondrcalcinosis. In

Arthritis and allied conditions, l5th edition, Koopman WJ,


Moreland LW Philadelphia:Lippincot William & Wilkins;
200s.p.2373-96
Reginato AJ, Reginato AM.Diseases association with deposition ol
calcium pyrophosphate or hydroxyapatite. In Kelley textbook
ol rheumatology. 6'h edition, Ruddy S, Hanis ED, Sledge CB.
Philadelphia:W.B. Saunders; 2001.p.1377 -90

Soenarto.Kristal artropati selain gout. Dalam: Buku ajar Ilmu


Penyakit Dalam, Edisi ketiga jilid I, Editor: Noer S, Waspaji
S,Rachman AM, dkk. Jakarta:Balai Pustaka FKUI; I 996.p.89-96
Tehupeiory ET, Faridin HP .Pseudogout. Dalam: Naskah lengkap
temu ilmiah reumatologi 2000, Bambang Setyohadi, Yoga I
Kasjmir, Siti Mahfudzohv editors, Jakarta, 6-8 Oktober 2000
49-52
:

400
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Harry Isbagio, Yoga I Kasjmir, Bambang Setyohadi, Nyoman Suarjana

Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit rematik

autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas,


yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi
dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan

jaringan.

Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti'

Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan


multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan.

Faktor genetik diduga berperanan penting dalam


predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi
secara sporadik tanpa identifrkasi faktor genetik, berbagai

faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui


faktor yang bertanggung jawab.

Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis


hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi

EPIDEMIOLOGI
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu
penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE
diberbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada
berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara
2. 9/ I 00. 000 -400/ 1 00. 000. SLE lebih sering ditemukan pada
ras teftentu seperti bangsa negro, Cina dan mungkin juga
Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi

dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit.


Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi
paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi).
Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi
pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1. Pada lupus
eritematosus yang disebabkan obat (drug induced LE),
rasio ini lebih rendah, yaittt3 2.

autoantibodi patogenik. Respon imun yang terpapar

Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari


pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari 3 peneliti di
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/ RS. Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta yang melakukan penelitian pada periode yang
berbeda diperoleh data sebagai berikut: antara tahun
1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali); selama
periode 5 tahun (1912-1976) ditemukan 1 kasus SLE dari
setiapa 666 kasus yang dirawat (insidensi sebesar 15 per
10.000 perawatan); antara tahun 1988-1990 (3 tahun)

SLE merupakan hal yang sangat penting agar bisa

dan kriteria ARA yang telah diperbaiki.


Insidensi di Yo gy akarta anatara tahun I 9 8 3 - I 9 8 6 ialah

kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan


dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan

pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun


merupakan konstributor yalg penting dalam
perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun,
I o ad), banttan
sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan

meningkatnya beban antigenik (anti genic

peralihan respon imun dari T helper

l(Thl)

ke

Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi

faktor ekstemal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet (fV)


atau infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa
juga menyebabkan disregulasi sistem imun.
Pemahaman terhadap patogenesis/imunopatologi
memberikan terapi yang sesuai. Dalam makalah ini akan
dibahas berbagai faktor yang terlibat dalam patogenesis
SLE.

insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan.


Ketiganya menggunakan kriteria yang berbeda-beda, yaitu
berturut-turut kriteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA

10,1 per 10.000 perawatan (Purwanto, dkk). Di Medan


anatara tahun 19840-1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4
per 10.000 perawatan (Tarigan).

2565

2566

FAKTORGENETIK
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik
(25%) dlbatdingkan dengan kembar dizigotlk (3%),
peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE
dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan
prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan
dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam patogenesis
ST

F.

Banyak gen yang berkontribusi terhadap kepekaan

penyakit. Pada sebagian kecil pasien (< 5y,), hanya


gen tunggal yang ber{anggungjawab. Sebagai contoh
pasien dengan defisiensi homozigot dari komponen awal
komplemen mempunyai risiko terkena SLE atau penyakit

yang menyerupai lupus (lupus-like disease). Tetapi


pada sebagian besar pasien memerlukan keterlibatan banyak

gen. Diperkirakan paling sedikit ada empat susceptibility


genes yang terlibat dalam perkembangan penyakit.
Elemen genetikyang paling banyak diteliti kontribusinya

terhadap SLE pada manusia adalah gen dari Kompleks


Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian populasi
menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan
polimorfisme dari gen HLA (human leucocyte antigen)kelas

II. Hubungan HLA DR2 dan DR3 dengan SLE pada


umumnya ditemukan pada etnik yang berbeda, dengan risiko
relatif terjadinya penyakit berkisar antara2 sampai 5. Gen
HLA kelas II juga berhubungan dengan adanya antibodi
tertentu seperti anti-Sm (small nuclear ribonuclearmprotein), anti-Ro, anti-La, anti-nRNP (nucl ear rib onuclear
protein) dan anti-DNA. Gen HLA kelas III, khususnya yang
mengkode komponen komplemen C2 dan C4,memberikan
risiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Penderita dengan
homozygous C4A null alleles tanpa memandang latar
belakang etnik, mempunyai risiko tinggi berkembang menjadi
SLE. Selain itu SLE berhubungan dengan pewarisan defisiensi

Clq, Clrls dat C2. Penurunan aktivitas komplemen


meningkatkan kepekaan terhadap penyakit oleh karena
berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan, baik
terhadap antigen diri sendiri (self antigen) maupun antigen
asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas pembersihan
dari sistem imun, maka autoimunitas mungkinterjadi.

REI.JMATOIOGI

perempuan. Serangan pertama kali SLE jarang terjadi pada


usia prepubertas dan setelah menopause.

Metabolisme estrogen yang abnormal telah


ditunjukkan pada keduajenis kelamin, dimana peningkatan
hidroksilasi 166 dari estrone mengakibatkan peningkatan
yang bermakna konsentrasi 166 hidroksiestron. Metabolit

166 lebih kuat dan merupakan feminising estrogen.


Perempuan dengan SLE juga mempunyai konsentrasi
androgen plasma yang rendah, termasuk testosteron,
dehidrotestosteron, dehidroepiandrosteron (DHEA) dan
dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS). Abnormalitas ini

mungkin disebabkan oleh peningkatan oksidasi


testosteron pada C-17 atau peningkatan aktivitas
aromatase jaringan. Konsentrasi androgen berkorelasi
negatif dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi testosteron

plasma yang rendah dan meningkatnya konsentrasi


luteinising hormone (LH) ditemukan pada beberapa
penderita SLE laki-laki. Jadi estrogen yang berlebihan
dengan aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat

pada laki-laki maupun perempuan, mungkin

bertanggungjawab terhadap perubahan respon imun.


Konsentrasi progesteron didapatkan lebih rendah pada
penderita SLE perempuan dibandingkan dengan kontrol
sehat.

Prolactin (PRL) adalah hormon yang terutama berasal

dari kelenjar hipofise anterior, diketahui menstimulasi


respon imun homural dan selular, yang diduga beryeranan
dalam patogenesis SLE. Selain kelenjar hipofise, sel-sel
sistem imun juga mampu mensintesis PRL. Fungsi PRL
menyerupai sitokin, yang mempunyai aktivitas endokrin,
parakrin dan autokrin. PRL diketahui menstimulasi sel T,
sel natural killer (NK), makrofag, neutrofil, sel hemopoietik
CD34+ dan sel dendritik presentasi antigen.
Hormon dari sel lemak yang diduga terlibat dalam
patogenesis SLE adalah leptin. Penelitian konsentrasi leptin
serum pada penderita SLE perempuan yang dilakukan oleh
Garcia-Gonzales dkk,ar mendapatkan kadar leptin pada
penderita SLE lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
sehat.

Selain itu banyak gen non-MHC polimorfik yang


dilaporkan berhubungan dengan SLE, termasuk gen

AUTOANTIBODI

yang mengkode mannose binding protelr (MBP), TNFo, reseptor sel ! interleukin 6 (IL-6),CRl, imunoglobulin

Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah


produksi autoantibodi. Antibodi ini ditujukan kepada self
molecules yang terdapat pada nukleus, sitoplasma,
permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti
IgG dan faktor koagulasi. Antibodi antinuklear (ANA)
adalah antibodi yang paling banyak ditemukan pada
penderita SLE ( labih dari95o/o). Anti-double stranded DNA
(anti ds-DNA) dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi
yang spesifik untuk SLE, sehingga dimasukkan dalam
kriteria klasifikasi dari SLE. Antigen Sm merupakan suatu
small nuclear ribonucleoproleir (snRNP), terdiri dari
rangkaian uridine yang kaya molekul RNA, berikatan

Gm dam Km allotypes, Fc6RIIIA dan heat shock protein 70 (HSP 70). Penemuan daerah kromosom yang
multipel (multiple chromosome regions) sebagai risiko
berkembangnya SLE, mendukung pendapat bahwa SLE
merupakan penyakit poligenik.

FAKTOR HORMONAL

SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang

2567

LUPUS ERITEM^TTTOSUS SISTEMIK

dengan kelompok protein inti dan protein lain yang


berhubungan dengan RNA. Anti-Sm antibodi berikatan
dengan protein inti snRNP, sedangkan antibodi anti-DNA
berikatan dengan conserved nucleic acid determinant
yang tersebar luar dalm DNA. Titer antibodi anti-DNA
sering kali berubah sesuai dengan waktu dan aktivitas
penyakit, sedangakan titer antibodi anti-Sm biasanya
konstan. Antibodi anti-DNA pada umumnya berhubungan
dengan adanya glomerulonefritis, walaupun korelasi antara
antibodi anti-DNA dengannefritis lupus tidaklah sempuma
karena beberapa penderita dengan nefritis lupus yang aktif
tidak ditemukan antibodi anti-DNA, sedangkan beberapa
penderita dengan titer antibodi anti-DNA yang menetap
tinggi, tidak menunjukkan adanya keterlibatan ginjal.
Keterlibatan antibodi anti-DNA pada nefritis lupus
didukung oleh adanya bukti-bukti : l. Observasi klinis pada
sebagian besar pasien menunjukkan bahwa nefritis aktif
berhubungan dengan peningkatan titer anti-DNA dan
penurunan nilai total komplemen hemolitik.2. Antibodi antiDNA lebih suka mengendap di ginjal, sehingga diduga
bahwa kompleks imun DNA-antibodi anti-DNA merupakan
mediator inflamasi yang utama. Meskipun gangguan ginjal

mungkin akibat terbentuknya kompleks imun yang


mengandung antibodi anti-DNA, tetapi keberadaan
kompleks imun dalam sirkulasi sulit dideteksi oleh
karenadalam serum konsentrasinya rendah. Antibodi antiDNA berikatan dengan bagian DNA yang melekat pada
membran basal dari glomerulus melalui histon atau
berinterkasi dengan antigen glomerular yang lain seperti

C1q, nukleosom, heparan sulfat dan laminin. Ikatan


antibodi anti-DNA dengan antigen ini akan menginisiasi
inflamasi lokal dan aktivasi komplemen sehingga terbentuk
kompleks imun di ginjal.
Meskipun telah ditemukan hubungan yang jelas antara
gambaran klinis tertentu dari SLE dengan autoantibodi
seperti antibodi anti-ribosomal P dengan psikosis, antibodi
anti-Ro dengan blok jantung bawaan dan lupus kutaneus
subakut, tetapi patogenisitas dari antibodi ini belum diteliti
secara adekuat. Sehingga mekanisme imunologis yang
pasti dari kelainan ini masih belum jelas. Patogenesis dari
manifestasi selain glomerulonefritis belum diketahui secara
baik, meskipun kemungkinan mekanisme yang mendasari

adalah deposisi kompleks imun dengan aktivasi


komplemen pada tempat-tempat tertentu. Hal ini
ditunjukkan dengan seringnya didapat hubungan antara
hipokomplemenemia dengan tanda-tanda vaskulitis pada
SLE yang aktif. Kerusakan langsung yang diperantarai oleh
antibodi dan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel pada

jaringan target, merupakan mekanisme yang mungkin


mendasari. Walaupun antibodi anti-dsDNA adalah antibodi

yang paling banyak diteliti pada penderita SLE, namun


ada antibodi lain yang juga berperan dalam manifestasi

klinis khususnya pada anemia hemolitik autoimun,


trombositopenia, kelainan kulit dan lupus neonatus.
Autoantibodi yang umum didapatkan pada penderita SLE

dan hubungannya dengan manifestasi SLE tampak pada

Tabel3.
Adanya antibodi anti-Ro, anti-La atau kedua-duanya
pada kehamilan memberikan risiko terkena blok jantung
fetus sebesar 1-2o/o. Antigen Ro terpapar pada permukaan
ototjantung fetus (tetapi tidak pada ibu) sehinggajantung

mengalami remodeling melalui apoptosis, dan antibodi


anti-Ro dari ibu melewati plasenta kemudian berinteraksi
dengan antigen Ro. Autoantibodi dari ibu akan merusak
jaringan konduksi jantung fetus.Tidak adanya efek pada
jantung ibu memperlihatkan pentingnya keberadaan
autoantibodi dan paparan antigen secara bersama-sama
pada jaringan jantung.

Antibodi terhadap reseptor N-methyl-o-aspartate


(NMDA) mungkin berperanan penting dalam sistem
susunan saraf pusat dari SLE. NMDA adalahasam amino
excitatory yang dikeluarkan oleh sel saraf. Penelitian yang
dilakukan oleh Kawal dkk mendapatkan serum penderita
SLE yang mengandung antibodi DNA dan reseptorNMDA

menyebabkan gangguan

kognitif dan

kerusakan

hipokampus jika disuntikkan secara intravena kepada tikus'

Mereka juga menemukan antibodi anti-reseptor-NMDA


padajaringan otak penderita lupus serebral.

Antigen spesifik

Prevalensi

Efek klinik utama

(%l
Anti-dsDNA
Nukleosom
Ro
La

Sm
Reseptor NMDA
Fosfolipid
q-Actinin

C1o

70-80
60-90
30-40
15-20
10-30
33-50
20-30
20
40-50

Gangguan ginjal, kulit


Gangguan ginjal, kulit
Gangguan kulit, ginjal,
gangguan jantung fetus
Gangguan jantung fetus
Gangguan ginjal
Gangguan otak
Trombosis, abortus
Gangguan ginjal
Ganqquan qinial

NMDA = N-methyl-D-aspaftate

Baik antibodi anti-Ro dan anti-nukleosom memegang

peranan dalam lupus kutaneus. Antibodi anti-Ro


berhubungan dengan peningkatan risiko berkembangnya
ruam fotosensitif. Antibodi anti-nukleosum bisa ditemukan
dari jaringan biopsi kulit, pada sebagian kecil penderita

dengan nefritis lupus

aktif tanpa ruam pada kulit.

Autoantibodi yang merusak sel darah merah dan trombosit


berperanan penting dalam kejadian anemia hemolitik dan

trombositopenia pada penderita lupus.Pujo dkk,


mendapatkan korelasi yang kuat antara trombositopenia

dengan adanya antibodi anti-trombosit.


Beberapa autoantibodi seperti antinuklear, anti-Ro,
' arti-La dan antifosfolipid pada umumnya sudah terbentuk

beberapa tahun sebelum timbulnya gejala SLE'


Autoantibodi yang lain seperti anti-Sm dan anti-nuklear
ribonukleoprotein muncul hanya dalam beberapa bulan
sebelum diagnosis SLE. Sedangkan autoantibodi antidsDNA berada dipertengahat arllara kedua kelompok

2s68

REUMATIOI.OGI

autoantibodi tersebut. Interval antara hasil positif


pemeriksaan autoantibodi spesifik dengan awitan gejala
dan saat diagnosis ditegakkan tampak pada Tabel 4.

potensial.

P aparan dietilstilbesterol prenatal berhubungan


dengan gangguan autoimun, meskipun masih memerlukan

investigasi lebih lanjut. HRT dan penggunaan pil


kontrasepsi oral juga berhubungan dengan sedikit
peningkatan risiko berkembangnya

Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin

SLE. Estrogen
lingkungan dan gangguan endokrin mungkin merupakan
pencetus yang penting untuk autoimunitas pada individu
yang peka.

merypakan predisposisi untuk SLE, tetapi inisiasi penyakit


ini diduga merupakan hasil dari beberapa faktor eksogen
dan lingkungan. Agen infeksi seperti virus Epstein-Barr

MANIFESTASI KLINIK

FAKTOR LINGKUNGAN

(EBV) mungkin menginduksi respon spesifik melalui


kemiripan molekular (molecular mimicry) dan gangguan
terhadap regulasi imun; diet mempengaruhi produksi

mediator inflamasi; toksin/obat-obatan memodifikasi


respon selular dan imunogenisitas dari self antigen; dan

agen fisik/kimia seperti sinar ultraviolet (UV) dapat


menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel dan
menyebabkan kerusakan jaringan. Pengaruh faktor
lingkungan terhadap predisposisi individual sangat
bervariasi. Hal ini mungkin bisa menjelaskan heterogenitas

dalr adanya periode bergantian altata remisi dan


kekambuhan dari penyakit ini.

Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan


seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES.
Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik penyakit LES
ini seringkali tidak ter;adi secara bersamaan. Seseorang
dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri sendi
yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain.
Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti
fotosensitifitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan
memenuhikriteriaLES.
Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskulos
keletal dijumpai pada90o/o kasus LES, walaupun artritis
sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55

Faktor fisik/kimia

o
.
.

Amin aromatik
Hydrazine
Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin,
isoniazid, fenitoin, penisilamin)
Merokok
Pewarna rambut
Sinar ultraviolet (UV)

Faktor makanan

.
.

Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan


L-canavanine (kuncup dari alfalfa)

Agen infeksi

o
o
Hormon
.
.

Retrovirus

DNAbakteri/endotoksin
dan estrogen lingkungan (environmental oestrogen)
Terapi sulih hormon (HRT), pil kontrasepsi oral
Paparan estroqen prenatal

Radiasi UV bisa mencetuskan dan mengeksaserbasi

ruam fotosensitivitas pada SLE, juga ditemukan bukti


bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang
menyebabkan terbentuknya autoantibodi. Sinar UV juga
bisa menginduksi apoptosis keratinosit manusia yang
meghasilkan blebs rrlkTear dan autoantigen sitoplasmik
pada permukaan sel.

Penggunaan estrogen meningkat pada perempuan


postmenopause dan untuk kepentingan kontrasepsi.
Paparan estrogen secara kronik pada tikus prepubertas
non-imun mempengaruhi perkembangan timus dan
toleransi imun. Paparan senyawa estrogenik selama
kehidupan fetus bisa menimbulkan risiko imunologik yang

o%

kasus.

Gejala Konstitusional

Kelelahan
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada

penderita LES dan biasanya men-dahului berbagai


manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai

karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan


kelelahan seperti adanya anemia, meningkatnya beban
kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
prednison. Kelelahan ini dapat diukur dengan
menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes
toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh
aktifitas penyakit LES ini maka diperlukan pemeriksaan
penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah.
Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan.

Penurunan Berat Badan


Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan

terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis


ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan
oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala
gastrointestinal.

Demam
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit
dibedakan dari sebab lain seperti infeksi, karena suhu
tubuh dapat lebih dari 40 C tanpa adanya bukti infeksi lain

2569

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak


disertai menggigil.

Lain-lain
Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita LES

dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas


penyakitnya seperti rambur rontok, hilangnya nafsu makan,
pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala,
mual dan muntah

Manifestasi Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik
yang paling sering drjumpai pada penderita LES, lebih dari
90%. Keluhan dapatberupanyeri otot (mialgia), nyeri sendi

(artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak


jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali dianggap
sebagai manifestasi Afiritis reumatoid karena keterlibatan
sendi yang banyak dan simetris. Untuk ini perlu dibedakan
dengan Artritis reumatoid dimana pada umumnya LES tidak

menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang


berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Satu hal
yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya

koinsidensi penyakit autoimun lain seperti Artritis


reumatoid, Polymyositis, Skleroderma atau manifestasi
klinis penyakit-penyakit tersebut merupakan bagian gejala
klinisLES.

Manifestasi Kulit
Ruam kulit merupakan manifestasi LES pada kulit yang
telah lama dikenal oleh para ahli. Sejak era Rogerius,
Paracelsus, Hebra sebelum abad 19 manifestasi kulit seperti

seborea kongestifa, herpes esthimones dan sebagainya


telah diperdebatkan sebagai suatu lesi kulit pada LES. Lesi
muko-kutaneus yang tampak sebagai bagian LES dapat
berupa reaksi fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), subacute
cutaneous lupus erythemalosas (SCLE), lupus profundus
/ paniculitis, alopecia, lesi vaskuler berupa eritema periun-

gual, livedo reticularis, teleangiectasia, fenomena


raynaud's atau vaskulitis atau bercak yang menonjol
berwama putih perak dan dapat pula berupa bercak eritema
pada palafum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau
depigmentasi pada bibir.

Manifestasi Paru
Berbagai manifestasi kilinis pada paru-paru dapat terjadi
baik berupa radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru,
atat shrinking lung syndrome.
Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau

batuk kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini


terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada
alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis
atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang
baik dengan pemberian steroid.
Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila
merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan
memerlukan penanganan yang tepat, dimana tidak hanya
penggunaan steroid namun tindakan pengobatan lain
seperti lasmaferesis atau pemberian sitostatika.

Manifestasi Kardiologis
Baik perikardium, miokardium, endokardium atau-pun
pembuluh darah oroner dapat terlibat pada penderita LES,
walaupun yang paling banyak terkena adalah perikardium.
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai ada-nya

keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran


silhouette sigz foto dada, ataupun melalui gambaran EKG,
Echokardiografi. Apabila dijumpai adanya atitmia atart
gangguan konduksi, kardiomegali bahkan takikardia yang

tidak jelas penyebabnya, maka kecu-rigaan adanya


miokarditis perlu dibuktikan lebih lanjut.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada

penderita LES dan bermanifestasi sebagai angina


pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif.
Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES
usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta
penggunaan steroid jangka panjang.

Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi


merupakan komplkasi lain yang juga sering dijumpaipada
penderita LES. Vegetasi pada katub jantung merupakan
akumulasi dari kompleks imun, sel mononuklear, jaringan
nekrosis, jaringan pantt, hematoxylin bodies, hbrin dan

trombus trombosit. Manifestasi yang sering dijumpai


adalah bisingjantung sistolik dan diastolik.

Manifestasi Renal
Keterlibatan ginj al dijumpaipada 40-7 5% pen-derita yang
sebagian besar terj adi setelah 5 tahun menderita LES . Rasio

wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10:1, dengan


puncak insidensi antara usia 20 - 30 tahun'
Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya
tidak tampak sebelum teq'adi kegagalan ginjal atau sindroma
nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urin>500 mgl24
jam atau 3* semi kwantitatif, adanya cetakan granuler,
hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan serta pyria
(>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan

kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan


ginjal pada penderita LES. Akan tetapi melalui biopsi ginjal

akan diperoleh data yang lebih akurat untuk menilai

berlanjut menjadi kronik. Pada keadaan akut perlu

keterlibatan ginjal ini. WHO membagi klasifikasi

dibedakan dengan pneumonia bakterial dan apabila terjadi


keraguan dapat dilakukan tindakan invasive seperti bilas
bronkhoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak,

keter-libatan ginjal atas dasar hasil biopsi menjadi 6 klas'


Kajian yang masih kontroversil dan menarik untuk
dibahas adalah kaitan attara gambaran klinis, laboratorik,

2570

REUMA*IOLOGI

klasifikasi patologi. Kajian ini diperlukan sehubungan


dengan kepentingan strategi pengobatan dimana tujuan

utamanya adalah mempertahankan fungsi ginjal


(lihat Tabel

1). Namun demikian adanya proteinuria,

piuria
kreatinin dapat diakibatkan sebab
lain seperti infeksi, glomerulonefritis, efek toksik ob atpada

Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar

80%

penderita

LES. Keluhan ditandai dengan adanya nyeri abdominal


bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan
serum amilase. Sampai saat ini penyebabnya masih

serta buruknya bersihan

dipertanyakan apakah memang karena LES itu sendiri atau

ginjal.

akibat pengobatan seperti steroid, azathioprin yang


diketahui dapat menyebab-kan pankreatitis. Namun

Man

ifestasi Gastrointesti nal

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita


LES, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan
berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat
pengobatan.
Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada

esofagus, mesenteric vasculitis, inJlamatory bowel


disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati.

Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol


pada saat penderita dalam keadaan tertekan dan sifatnya
episodik, walaupun tidak dapat dibuktikan adanya kelainan
pada esofagus tersebut, kecuali gangguan motilitas.
Keluhan dispesia yang dijumpai pada lebih kurang 50%
penderita LES , lebih banyak dijumpai pada mereka yang

memakai glukokortikoid. Bahkan adanya ulkus juga


berkaitan dengan pemakaian obat ini.
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi
pada peritoneum, yang dibuktikan dengan pemeriksaan
autopsi.

Kelainan lain seperti IBS sulit dibedakan dengan causa


idiopatik karena gambaran klinis yang tidak banyak berbeda.

Vaskulitis yang terjadi di daerah mesenterik perlu


mendapat perhatian yang besar karena, walaupunjarang,
dapat mengakibatkan perforasi usus halus atau colon yang

berakibat fatal. Keluhan ditandai dengan nyeri di daerah


abdominal bawah yang hilang timbul dalam periode
beberapa minggu atau bulan. Pembuktian adanya
vaskulitis ini dilakukan dengan arteriografi.

Mesangial

Focal

prolif.

demikian drjumpai pula pankreatitis pada penderita yang


tidak mendapatkan steroid.
Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang
banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan
serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.
Kelainan ini berkaitan dengan aktifitas penyakit dan
penggunaan anti inflamasi non steroid, terutama salisilat.
Kecurigaan terhadap LES perlu dipikirkan apabila pada
seorang wanita muda dengan poliartritis dan mendapatkan
salisilat didapatkan peningkatan serum SGOT/SGPT.
Transaminase ini akan kembali normal apabila akitifitas
LES dapat dikontrol dan anti inflamasi dihentikan. Belum

jelas hingga kini apakah kelainan hati yang terjadi


merupakan bagian dari LES, koinsidensi dengan LES, atau
merupakan lupoid hepatitis (autoimmune chronic active
hepatitis) dan tidak dijumpai bukti adanya kaitan infeksi

virushepatitisB (HBV).
Man

ifestasi Neu ropsikiatrik

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan


karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini

dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan


psikiatrik.
Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis
dengan menyingkirkan kemunkginan lain seperti sepsis,
uremia, dan hipertensi berat.
Pembuktian adanya keterlibatan syaraf pusat tidak
terlalu banyak membantu proses penegakkan diagnosis
rrri. Dapat dijumpai kelainan EEG namun tidak spesifik, pada

Diffuse
prolif.

Tubulonterstisial

lnfeksi

Druginduced

Disuria

GG

Late onset

Late onset

+
+
+

+
+

Gejala
Hipertensi
Proteinuria g/dl
Hematuria Eri/LPB
Piuria L/LPB
Cetakan
LFG ml/min
CHSO

C3

Anti-dsDNA
Kompleks imun

N
N

5-'15
+

GG,SN
seflng
1-20
Banyak
Banyak
Banyak

60-80

<60

+<
+<
+<
+>

+
<1

<2

5-1 5
5-1 5

5-1 5

SN
Late onset

N
N
N

N
N
N

N
N

3,5-20

Banyak
N

N
N
N
N

N
N

Keterangan:
Eri=Eritrosit, LPB=luas pandang besar, L=leukosit, LFG=Laju filtrasi glomerulus, CH50=komplemen hemolitik serum total
(dalam 50% hemolitik unit), C3=komplemen 3, N=Normal, +=jarang, sedikit, >=meningkat, <=menurun, >>=sangat
meningkat, <<=sangat menurun, GG=gagal ginjal, SN=sindroma nefrotik

N
N

2571

LUPUS ERITEMATOSiUS SISTEMIK

Kriteria

Batasan

Ruam malar

Eritema menetap, datar atau menonjol, gada malar eminence dan lipat nasolabial.
Bercak eritema menonjol dengan gambaran SLE| keratotik dan sumbatan folikular.
Pada SLE| tanjut dapat ditemukan parut atrofik.

Ruam diskoid
Fotosensitifitas
Ulkus mulut
Artritis non-erosif

Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari
anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa.
Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri, bengkak dan efusi

Pleuritis atau
perikarditis

Pleuritis - riwayat nyeri pleuritik alau pleuritc friction rub yang didengar oleh dokter
pemeriksa atau bukti efusi pleura.

Gangguan renal

atau
Perikarditis - bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang didengar oleh
dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial.
Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+

Gangguan neurologi

b.
a.

atau
Cetakan selular- dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan.
Kejang - tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik,
misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit
atau

b.
Gangguan
hematologik

a.

Psikosis - tanpa disebabkan oleh obalobatan atau gangguan metabolik,


misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit.
Anemia hemolitik dengan retikulosis
atau

b.

Leukopenia - <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan


atau

c.

Limfopenia - <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan


atau

Gangguan
imunologikb

d.
a.

Trombositopenia - <100.000/mmt tanpa disebabkan oleh obat-obatan.


Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal

atau
Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm
atau

c.

Antibodi antinuklear
positif (ANA)

Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas: 1) kadar


serum antibodi antikardiolipin abnormal baik lgG atau lgM, 2) Tes lupus
antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau 3) hasit tes positif
palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi
Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponemal'

Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan


imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalan
oenvakit tanoa keterlibatan obat.

Keterangan:
Klasifikaii ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi
secara bersamaan atau dengan tenggang waktu Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun',l997.

cairan serebrospinal dapat ditemukan kompleks imun,


kadar C4 rendah, peningkatan IgG IgA dan atau IgM,
peningkatanjumlah sel , peningkatan kadar protein atau
penunrnan kadar glukosa.

Keterlibatan susunan syaraf pusat

dapat

Man ifestasi Hemik-limfatik


Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering
dijumpai pada penderita LES ini. Kelenjar getah bening

yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal,

bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi syaraf


kranial, lesi batang otak, meningitis aseptik atau myelitis
transversal. Sedangkan pada susunan syaraf tepi akan

dengan karakteristik tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran


bervariasi sampai 3-4 cm.
Organ limfoid lain yang sering dijumpai pula pada
penderita LES adalah splenomegali yang iasanya disertai

bermanifestasi sebagai neuropati perifer, myasthenia gravis


atau mononeuritis multiplex. Dari segi psikiatrik, gangguan

oleh pembesaran hati.


Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan

fungsi mental dapat bersifat organik atau non-organik.

dengan adanya lupus antikoagulan. Bahkan pernah

2572

REUMAIOI.OGI

dilaporkan adanya ruptur arteri lienalis walaupun tidak

10.

dijumpai bukti vaskulitis.


Anemia dapat dijumpai pada suatu periode dalam
perkembangan penyakit LES ini. Diklasifikasikan sebagai
anemia yang diperantarai proses imun dan non-imun. Pada
anemia yang bukan diperantarai proses imun diantaranya
berupa anemia karena penyakit kronik, defisiensi besi,

sickle cell anemia dan anemia sideroblastik. Untuk

Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

L Neuropsikiatri: psikosis, kejang,

sindroma otak organik,

mielitis transversa, neuropati kranial dan perifer.

PRINSIP UMUM DALAM PENATALAKSANAAN SLE

hemolitik otoimun dan beberapa kelainan lain yang


dikaitkan dengan proses otoimun seperti anemia

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting


diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita SLE,
terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini
dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada
penderita atau dengan membentuk kelompok penderita

pemisiosa, acute hemophagocytic syndrome.

yang bertemu secara berkala untuk membicarakan

anemia yang diperantarai proses imun dapat bermanifestasi


sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia

masalah penyakitnya.

Pada umumnya, penderita SLE mengalami


fotosensitifitas, sehingga penderita harus selalu

Diagnosis
Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran
klinik dan lab orutoirtrr' American College ofRheumatolog,t
(ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk
klasifikasi SLE, dimana bila didapatkat 4 kriteria, maka
diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah
l. Ruammalar
2. Ruam diskoid

3. Fotosensitifitas
4. Ulserasi di mulut atau nasofaring
5. Artritis
6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten

>0,5

grlhai,

atau adalah silinder sel

8.
9.

Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis

11.

Antibodi antinuklear (Antinuclear antibody, ANA)


positif

Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau


lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia
10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA
posistif, atau anti Sm positif atau tes serologik untuk

sifilis yang positif palsu.

Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 (dua)


atau lebih keterlibatan organ sebagaimana tercantum di
bawah ini, yaitu:
1. jender wanita pada rentang usia reproduksi.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti

diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar


matahari. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan
krem pelindung sinar matahai, baju lengan panjang, topi
atau palung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di
kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari
jendela.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita SLE, maka
penderita harus selalu diingatkan bila mengalami demam
yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita
yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat
sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup
jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika
harus dipertimbangkan pada penderita SLE yang akan

menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan


prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita
SLE, terutama penderita dengan nefritis, atau penderita
yang mendapat obat-obat yang merupa kan kontraindikasi
untuk kehamilan, misalnya anti malaria atau siklifosfamid.

1.
2
3

infeksi) dan penurunan berat badan.

6.

Muskuloskeletal: arlritis, artralgia,miositis


Kulit; ruam kupu-kupu (butterfly atao malar rash),
fotosensitivitas, SLEi membrana mukosa, alopesia,
fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
Ginjal: hematuria, proteimria, cetakan, sindroma nefrotik
Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

7.

Paru-paru: pleurlsT, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim

J.
4.

5.

paru.

8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis


9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati,
splenomegali, hepatomegali)

5.

6.

Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya


Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing
tipe tersebut.
Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan
terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seperti
osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun
diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian
kontrasepsl.
Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana
pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres
emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan
keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri,
mengatasi rasa nyeri.
Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian
dan sebagainya. Perlukah suplementasi mineral dan
vitamin? Obalobatan yang dipakai jangka panjang
contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis
lainnya termasuk antibiotikum.
Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE
ini, adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak

2573

LUPUS ERITEMJTTOSUS SISTEMIK

Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut SLE


dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab
itu pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama
kehamilan.

Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, harus


diputuskan dulu apakah penderita tergolong yang
memerlukan terapi konservatif, atau imunisupresif yang
agresif.
Pada umumnya, penderita SLE yang tidak mengancam

nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ,


dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini
mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor,
maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang
meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan
lainnya.

fotosensitifitas harus berlindung terhadap paparan


sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung,

kaca jendela yang digelapkan, menghindari paparan


langsung dan menggunakan sunscreer. Sebagian besar
sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotio atau gel
yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon,

salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar


ultraviolet A dan B. Sunscreer ini harus selalu
dipakai ulang setelah mandi atau bila berkeringat.
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat

dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan


preparat topikal harus hati-hati, karena glukokortikoid

topikal, terutama yang bersifat diflorinasi

dapat

menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis dan

fragilitas. Untuk kulit muka dianjur kan penggunaaan


preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak
diflorinasi, misalnya hidrokortison, sedangkan untuk kulit

TERAPI KONSERVATIF

badan dan lengan dapat di-gunakan steroid topikal


berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan

Artritis, artralgia dan mialgia. Artritis, Artralgia dan

triamsinolon asetonid. Untuk lesi-lesi hipertrofik, misalnya

Mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada


penderita SLE. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan
analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid.
Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini
adalah efek sampingnya, agar tidak memperberat keadaan
umum penderita. Efek samping terhadap sistem gashointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, misalnya dengan
memeriksa kreatinin serum secara berkala. Bila analgetik

dan obat antiinflamasi non steroid tidak memberikan


respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat
antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg,4rari' B ila

dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang


baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3
bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan

evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek


toksik terhadap retina. Pada beberapa penderita yang tidak
menunjukkan respons adekwat dengan analgetik atau obat
anti-inflamasi non-steroid atau obat anti malaria, dapat
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah,

dengan dosis tidak lebih

dari 15 mg, setiap pagi.

Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mglminggu), juga dapat


dipertimbangkan untuk mengatasi artritis pada penderita
SLE. Nyeri pa da I atat2 sendi yang menetap pada penderita
SLE yang tidak menunjukkan bukti tambahan peningkatan

aktifitas penyakitnya, harus dipikirkan kemungkinan


adanya osteonekrosis, apalagi bila penderita mendapat
terapi kortikosteroid. Osteonekrosis awal, sering tidak
menunjukkan gambaran yang bermakna pada foto
radiologik konvensional, sehingga memerlukan pemeriksaan

didaerah palmar dan plantar pedis, dapat digun


akan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi,
misalnya betametason dipropionat. Penggunaan
krem glukokortikoid berkekuatan tinggi harus dibatasi
selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang
berkekuatan lebih rendah. Obat-obat antimalaria sangat baik
untuk meng-atasi lupus kutaneus, baik lupus kutaneus
subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai

efek suns blocking, antrinfl amasi dan imunosupresan'


Efek imunosupresan antimalaria berhubungan dengan
ikatannya pada membran lisosomal sehingga mengganggu

metabolisme rantai a dan B HLA klas

II.

Selain itu

antimalaria juga mengurangi pelepasan interleukin (IL)- 1,


IL-6 dan tunor necrosis factor (TNF)-ot oleh makrofag dan
IL-2 dan Interferon (IFN)-y oleh sel T. Antimalaria juga

mengikat melanin dan berperan sebagai sunscreen'


Pada penderita yarrg resisten terhadap anti-malaria,
dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid
sistemik dan obat eksperimental lainnya. Dapson dapat

dipertimbangkan pemberiannya pada penderita


lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LE berbula' Harus
diperhatikan efek toksiknya terhadap sistem hematopoetik,
seperti methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia dan
anemia hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam

LEdikulit.
Fatigue dan keluhan sistemik. Fatigue merupakan keluhan
yang sering didapatkan pada penderita SLE, demikian juga

penurunan berat badan dan demam. Fatigue juga dapat


timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan

MRI.

berat badan dan fever dapat juga diakibatkan oleh

Lupus kutaneus.sekitar 70% penderita SLE akan mengalami


fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE dapat timbul bila
penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah,
panas dan kadang-kadangjuga sinar fluoresensi. Penderita

pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpatik dalam


mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan
terapi spesifik, cukup menambah waktu istirahat dan
mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat

2574

menunjukkan peningkatan aktifitas SLE dan pemberian


glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.
Serositis. Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita
SLE dapat merupakan tanda serositis. Pada beberapa
penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat
antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid
dosis rendah (15 mglhari). Pada keadaan yang berat, harus

diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol


penyakitnya.

TERAPIAGRESIF

Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian


glukokortikoid dosis tinggi harus segera dimulai bila timbul
manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya

vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliartritis,

REIJM'IIOI.oGI

NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan


2-3 literl24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan
secara luas pada terapi SLE. Siklofosfamid diindikasikan pada:
1. Penderita SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi
(steroid sparing agent)
2. Penderita SLE yang dikontraindikasikan terhadap
steroid dosis tinggi
3. Penderita SLE kambuh yang telah diterapi dengan
steroid jangka lama atau berulang
4. Glomerulonefritis difus awal
5. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap
steroid.
6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkat an
kreatinin serum tanpa adnya faktor-faktor ekstrarenal

l.

lainnya
SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Pada penderita dengan penurunan fungsi

ginjal sampai

poliserositis, miokarditis pneumonitis

lupus,
glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik,

dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/


nt'. Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah lekosit darah

trombositopenia, sindrom otak organik, defek kognitif yang


berat, mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus (demam

Bilajurnlah lekosist mencapai 1500/ml, maka


dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 2 5ok. Kegagalarr
menekan jumlah lekosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis

tinggi, prostrasi).

50o%,

harus dipantau.

Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan


dibandingkan jenis glukokortikoid yang akan diberikan.
Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek

ditingkatkan l0% pada pemberian berikutnya.

panjang seperti deksametason, sebaiknya dihindari.

bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama

Pemberian prednison lebih banyak disukai, karena lebih


mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral,
sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari.
Pada manifestasi minor SLE, seperti artritis, serositis dan
gejala konstitusional, dapat diberikan prednison 0,5 mgl
kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi major dan serius
dapat diberikan prednison I - I ,5 mg/kgBB/hari. Pemberian
bolus metilprednisolon intravena 1 gtamatav 15 mglkgBB
selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti

pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara

glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan


dengan prednison oral I - 1 ,5 mgikgBB/ hari. Respons terapi
dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam waktu

yang cukup lama, seperti 6-10 minggu. Toksisitas SLE


merupakan problem tersendiri pada penatalaksanaan SLE.
Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6
minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis
secara bertahap, dimulai dengan 5-10% setiap minggu bila
tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis prednison
mencapai 30 mg,&ari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5
mg/minggu, dan setelah dosis prednison mencapai l0-15
mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bita
timbul eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai
ke dosis efektif sebelum nya sampai beberapa minggu,
kemudian dicoba diturunkan kembali.

Bila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian


glukokortikoid dosis tinggi tidak menunjukkan perbaikan
yang nyata, maka dipertimbangkan untuk memberikan
imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya.
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 grlm'? dalam 250 ml

siklofosfamid yang tidak adekuat, sehingga dosisnya harus


Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval

bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya.


Toksisitas siklofosfamid meliputi nausea dan vomitus,
alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan
fungsi ovarium dan azoospermia.
Obat sitotoksik lain yang toksisitas dan efektifitasnya
lebih rendah dari siklofosfam rd adalah azatioprin. Azatioprin
merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai
alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/
kgBB/hari dan diberikan secara per-oral. Obat ini dapat
diberikan selama 6-12bulan pada penderita SLE; setelah

penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah


seminimal mungkin, maka dosis azatioprinjuga dapat
diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya
betul-betul terkontrol dengan baik. Toksisitas azatioprin
meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan enzim

hati dan mencetuskan keganasan.


Imunosupresan lain yatg dapat digunakan untuk
pengobatan SLE adalah Siklosporin-A dosis rendah (3-6
mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat
digunakan pada SLE baik tanpa manifestasi renal maupun
dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus
diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin
darah. Bila kadar kreatinin darah meningkat2}o/o dari kadar
kreatinin darah sebelum pemberian siklosporin A, maka

dosisnya harus diturunkan.


Terapi lain yang masih dalam taraf penelitian adalah

terapi hormonal, imunoglobulin dan

afaresis

(plasmafaresis, lekofaresis dan kriofaresis). Salah satu

2575

LUPUS ERITEMITTOSUS SISTEMIK

toksisitas
Mielosupresif,
hepatotoksik,

Evaluasi Awal

gangguan
limfoproliferatif

kreatinin, AST /
ALT

Jenis

Jenis Obat

Azatioprin

50-'150 mg

per

hari, dosis
terbagi 1 -3,

tergantungberat

Darah tepi
lengkaP,

badan

Siklofosfamid

Metotreksat

Siklosporin

50-150 Mielosupresif,
gangguan
hari.
mg/M2
keganasan,
infus
jam

Per oral:

mg per
limfoproliferatif,
lV: 500
dalam Dextrose
imunosuPresi,
250 ml,
sistitis hemoragik'
selama 1
infertilitas
sekunder
Mielosupresif,
7.5 - 20 ng I
fibrosis hepatik,
minggu. dosis
sirosis, infiltrat
tunggal atau
pulmonal dan
terbagi 3. Dapat
fibrosis
diberikan pula
melalui injeksi

2.5-5 mg/kg BB,


atau sekitar 100
- 400 mg per
hari dalam 2
dosis, tergantung
berat badan,

Mofetil

mikofenolat

2000 mg/hari mg
dalam 2 dosis

Pembengkakan,
nyefl gusr,
peningkaian
tekanan darah,
peningkatan
pertumbuhan
rambut, gangguan
fungsi ginjal, nafsu
makan menurun,
tremor.
Mual, diare,
leukopenia.

terapi hormonal yang banyak digunakan adalah danazol,

suatu androgen, yang bermanfaat untuk mengatasi


trombositopenia pada SLE. Mekanisme kerjanya tidak
diketahui secara pasti. Pemberian imunoglobulin intravena
juga berguna untuk mengatasi trombositopenia, dengan
dosis 300-400 mg/kg BB/hari, diberikan selama 5 hari

berturut-turut, diikuti dosis pemeliharaan setiap bulan


untuk mencegah kekambuhan. Kontraindikasi mutlak
pemberian imunoglobulin pada pada penderita defisien
IgA yang kadang-kadang ditemukan pada penderita SLE.

PENATALAKSANAAN KEADAAN KHUSUS

tepi

Darah
lengkap,

hitung

leukosit,
urin lengkap.

jenis

Pemantauan
Laboratorik
Darah tepi lengkap
Gejala
tiap 1-2 minggu dan
mielosupresif
selanjutnya 1-3 bulan
interval- AST tiap
tahun dan pap smear
secara teratur
Darah tepi lengkap
Gejala
dan urin lengkap tiap
mielosupresif,
bulan, sitologi urin
hematuria dan
dan pap smear tiap
infertilitas
tahun seumur hiduP.
Klinis

Darah tepi lengkap


terutama hitung
trombosit tiap 4-8
minggu, AST / ALT
dan albumin tiap 4-B
minggu, urin lengkap
dan kreatinin.

Darah tepi
lengkap, foto
toraks, serologi
hepatitis B dan
C pada pasien
risiko tinggi,
AST, fungsi
hati, kreatinin.
Darah tepi
lengkap,
kreatinin, urin
lengkap, LFT.

Gejala
mielosupresif,
sesak nafas,
mual dan
muntah, ulkus

Gejala
hipersensitifitas
terhadap castor
oil (bila obat
diberikan injeksi),
tekanan darah,
fungsi hati dan
ginjal

Kreatinin, LFT, Darah


tepi lengkap.

Darah tepi
lengkap, fese
lengkap

Gejala

Darah tepi lengkap


terutama leukosit dan
hitung jenisnya

mulut.

gasiroi ntesti nal


seperli mual,

trombosis arteri karotis interrra. Trombosis arteri biasanya

mempunyai prognosis buruk. Antikoagulan lupus,


biasanya mempunyai respons yang baik terhadap
glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan antibodi

antikardiolipin sangat resisten baik

terhadap
glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lain.

Abortus berulang pada SLE


Aborhrs berulang pada penderita SLE dapat diakibatkan
oleh aktif,rtas SLEnya atau adanya antibodi antifosfolipid.
Untuk menekan aktifitas SLE, glukokor-tikoid cukup aman
dan tidak mempengaruhi janin, kecuali betametason dan
deksametason karena dapat mencapai janin dalam bentuk
yang aktif. Pada penderita dengan antibodi antifosfolipid

Trombosis pada SLE

yang belum pernah mengalami abortus, dapat

Trombosis seringkali mempakan manifestasi dari SLE dan

dipertimbangkan untuk tidak memberikan terapi apapun.


Makin sering terjadi aborlus, maka kemungkinan untuk
mempertahankan kehamilan makin kecil, sehingga terapi
harus diberikan. Ada beberapa pilihan terapi, antara lain

sering berhubungan dengan adatya antibodi


antifosfolipid. Dalam keadaan ini, antikoagulan merupakan
obat pilihan untuk mengatasinya, misalnya warfarin, dan
mempertahankan nilai fNR (International Normalization
Ratio) 3-3,5. Hal ini terutama sangat penting pada

aspirin dosis rendah, kombinasi aspirin dosis rendah dengan


glukokortikoid dosis sedang, glukokortikoid dosis tinggi

2576

dengan atau tanpa aspirin atau penggunaan heparin (warfarin bersifat teratogenik pada kehamilan trimester I). Semua
regimen ini meningkatkan angka keberhasilan kehamilan
secara bermakna. Selain itu pemantauan terhadap ibu dan
janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan.

REUMATIOI.OGI

Pengobatan lupus serebral pada dasarnya bersifat empirik


karena belum banyak ditunjang dengan bukti uji klinis
Pada keadaan yang berat atau terjadi perburukan cepat
dapat diberikan pulse steroid therapy menggunakan
metil prednisolon 1 g/hari selama 3 hari berturut-turut.
Alternatif lain adalah pemberian deksametason 12-20
mg. Bila tidak memberikan respon baik dapat diberikan

siklofosfamid intra vena dengan dosis 0,75- 1.00 g/m'z

LUPUS NEONATAL
Lupus neonatal merupakan sindrom pada neonatus yang
lahir dari ibu yang menderita SLE. Gejala yang paling sering
adalah ruam kemerahan di kulit disertai plakat. Lesi ini
berhubungan dengan transmisi antibodi Anti Ro (SS-A)
melalui plasenta. Kelainan lain yang lebih serius tapi jarang
adalah blok jantung kongenital yang dapat fatal. Itulah
sebabnya setiap wanita penderita SLE yang hamil harus
diperiksa terhadap kemungkinan adanya antibodi anti-Ro.

setiap 3-6 minggu.


2

Pada kondisi pasien tidak terlalu buruk

berikan

prednison 1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi.


3

Bila terdapat bukti vaskulitis yang berat

maka

pemberian kortikosteroid dosis tinggi harus diberikan


segera. Demikian pula pemberian obat sitotoksik.

Atasi trombosis terutama bila terkait dengan adanya


antibodi antifosfolipid Hati-hati pemberian heparin
berlebihan justru dapat memperburuk keadaan.

Pasien dengan gejala kejang dapat diatasi dengan


pemberian anti konvulsan seperti fenitoin. Kecuali bila
terjadi status epileptikus atau kejang berulang, berikan
kortikosteroid dosis tinggi.

lain yang dapat diberikan

Trombositopenia pada SLE

Pengobatan

Pada penderita SLE yang mengalami trombositopenia,


harus dievaluasi kemungkinan penyebab trombositopenia

plasmaferesis, imunoglobulin intravena (lVlG), terapi


oksigen hiperbarik, intratecal CSF-feresis, transplantasi

adalah

stemcell

yang lain, misalnya efek samping obat, purpura


trombositopenia trombotik, infeksi virus (Hry HBY CMV)
dan infeksi bakteri (endokarditis bakterialis, sepsis gram-

negatif). Berikan prednison 0,5 - 1 mg/kgBB,4rari selama 3 -4


minggu, bilajumlah trombosit <50.000/m1, kemu-dian dosis
prednison diturunkan secara bertahap. Target terapi ini

adalah jumlah trombosit mencapai >50.000im1. Bila


prednison tidak memberikan efek perbaikan, dapat
dipertimb angkan pemb eri an danazol 400 - 8 0 0 mglhari,
imunoglobulin atau splenektomi. Pada penderita yang
resisten terhadap semua modalitas atau pada penderita
dengan keterlibatan organ mayor, dapat diberikan bolus
siklofosfamid tiap bulan sampai 6 bulan.

SLE pada Sui:unan Saraf Pusat (SSP).


Penderita SLE pada Susunan SarafPusat dapat dibagi2,

yaitu penderita dengan strok dan penderita dengan


kelainan SSP yang lebih luas. Pada penderita dengan strok,

pemberian antikoagulan lebih banyak gunanya daripada


imunosupresan, sedangkan pada penderita dengan
kelainan SSP yang luas, apalagi bila disertai vaskulitis

perifer, maka pengobatan dengan imunosupresan


merupakan pilihan. Pada penderita SLE yang mengalami
kejan!-kejang tanpa keterlibatan aktifitas pada organ lain,
seringkali pemberian antikonvulsan tanpa imunosupresan
cukup memadai. Demikian juga penderita psikotik tanpa
manifestasi SLE yang lain, seringkali cukup diberikan obatobat psikoaktif. Kelainan kognitif yang ringan dapat juga
diberikan prednison 30 mg,trari selama beberapa minggu,

kemudian diturunkan dosisnya secara bertahap. Pada


sindrom otak organik yatg berat, koma atau mielopati,
diperlukan terapi yang agresif dengan glukokortikoid dosis

tinggi, dengan atau tanpa obat sitotoksik.

NEFRITIS LUPUS

Penatalaksanaan umum

l.

Pada semua penderitayatg diduga menderita nefritis


lupus harus dilakukan biopsi ginjal bila tidak ada kontra

indikasi, karena hal ini akan menentukan strategi

3.
4.

penatalaksanaan lebih lanjut.


Kurangi asupan garam bila ada hipertensi, asupan lemak
bila ada dislipidemia dan asupan protein bila fungsi
ginjal mulai terganggu. Perhatikan asupan kalsium
untuk mencegah osteoporosis akibat steroid.
Berikan loop diuretics untuk mengtasi udem
Hindari penggunaan salisilat dan obat anti inflamasi

5.
6.

non-steroid.
Terapi agresifterhadap hipertensi
Hindari kehamilan, karenapenderita nefritis lupus yang

2.

7.
8.

hamil akan berrisiko tinggi untuk mengalami gagal ginjal.


Pada penderita nefritis lupus dengan manifestasi SLE
di kulit, dapat dipertimbangkan pemberian antimalaria
Pemantauan berkala aktifitas penyakit dan fungsi ginjal
yang meliputi tekanan darah, sedimen urin, kreatinin
serum, albumin serum, protein urin 24 jam, komplemen
C3 danantiDNA.

Berdasarkan hasil biopsi ginjal, maka diberikan terapi


spesifik untuk nefritis lupus sebagai berikut :
l. Klas L Tidak diperlukan terapi spesifik
2. Klas II. Beberapa penderita dengan lesi mesangial, tidak
memerlukan terapi spesifik. Penderita kelas IIb dengan
proteinuria > I gram/hari, titer anti ds-DNA yang tinggi
dan C3 yang rendah, harus diberikan prednison 20 mg/

2577

LUPUS ERITEMITFOSUS SISTEMIK

hari selama 6 minggu sampai 3 bulan, kemudian


dosisnya diturunkan secara bertahap, tergantung

3.

aktifitas penyakit.
Klas III dan lV.Padakeadan ini, risiko untuk terjadinya
gagal ginjal dalam 10 tahun lebih dari 50%o, sehingga
harus diberikan terapi yang agresif. Berikan prednison
I mg/kgBB,&ari minimal selama 6 minggu tergantung
respons kliniknya, kemudian dosisnya diturunkan
secara bertahap dan dipertahankan pada dosis 10-15
mglhari selama 2 tahun. Bila respons terhadap

glukokortikoid tidak dapat dicapai, berikan


siklofosfamid 500-1000mg/m2 setiap bulan selama 6
bulan kemudian 3 bulan sekali selama 2 tahun. Bila
setelah dicapai perbaikan kemudian timbul perburukan
lagi, dosis siklofosfamidbulanan dapat diulang kembali

atau diberikan tambahan bolus metilprednisolon tiap

bulan. Bila terjadi perburukan fungsi ginal, dapat


dipertimbangkan pemberian bolus metilprednisolon
atau afaresis. Sebagai pengganti siklofosfamid, dapat
juga diberikan azatioprin, tetapi efektifitasnya lebih

4.

rendah daripada siklofosfamid.


Klas Z. Diberikan prenison 1 mg/kgBB,4rari sela-ma
6-12 minggu, kemudian dosis diturunkan secara
bertahap sampai mencapai l0 mg,&rari dan dipertahankan
samapai 1-2 tahun. Obat sitotoksik jarang diperlukan,
kecuali bila ada komponen proliferatif. Lesi membranosa
sangat jarang ditemukan, dan bila ditemukan
dapat dipertimbang kan pemberian siklosporin-A.
Penderita dengan kadar kreatinin serum lebih dati3 mgl

mumi

5.

dl untuk jangka panjang, tidak dianjurkan pemberian


obat sitotoksik. Penderita ini memerlukan dialisis atau
transplantasi ginjal. Untuk mengontrol manifestasi
ekstrarenal, dapat diberikan prednison dosis
pemeliharaan 5- 10 mgAari. Restriksi protein dan garam

juga harus diperhatikan, demikian juga tekanan


darahnya.

REFERENSI
Silva C, Isenberg DA. Aetiology and pathology of systemic lupus
erythematosus. Hospt Pharm 2001;7 :1"7.
Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus.
J Clin Pathol 2003;56:481-490.
Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis of systemic lupus
erythematosus. J Netherl Med 2003 ;61 (l 1):3 43 -346.
Zvezdanovic L, Dordevic V, Cosic V, Cvetkovic T, Kundalic S,
Stankovic A. The significance of cytokines in diagnosis of
autoimmune diseases. Jugos lov Med Biohem 2006;25 :363 -37 2'
Cervera R, Klamashta MA, Font J, et al. Systemic lupus erythematosus: clinical and immunologic patterns of disease expression

in a cohort of 1,000 patients. The European Working Party on


Systemic Lupus Erythematosus. Medicine (Baltimore)
1993;72:l13-24.
Formiga F, Moga I, Pac M, et al. Mild presentation of systemic
lupus erythematosus in elderly patients assessed by SLEDAI'
Lupus 1999;8'.462-5.

French MA, Hughes P. Systemic lupus erythematosus and


Klinefelter's syndrome. Ann Rheum Dis 1983;,42:471 3.
Lahita RG Bradlow HL, Kunkel HG, et al. Alterations of estrogen
metabolism in systemic lupus erythematostts. Arthritis Rheum
1979;22:1195-8.
Jungers P, Nahoui K, Pdlissier C, Dougados M, Athea N, Tron F,
Bach JF. Plasma androgens in women with disseminated lupus

erythematosus. Presse Med 1983;12:685-8.


Lahita RG Bradlow HL, Ginzler E, et al. Low plasma androgens in
women with systemic lupus erythematostts. Arthritis Rheum

1987;30:241-8.

Lahita RG Kunkel HG, Bradlow HL. Increased oxidation of


testosterone in systemic lupus erythematosts. Arthrilis Rheum
I98f;26:1517 -21
Folomeev M, Dougados M, Beaune J, et al. Plasma sex hormones
.

and aromatase activity in tissues of patients

with systemic lupus

erythematosus. Lupus 1992;1:19l-5.


Sequeira JF, Keser G Greenstein B, et al. Systemic lupus erythematosus: sex hormones in male patients. Lupus 1993;2:315-17.
Mok CC, Lau CS. Profile of sex hormones in male patients with
systemic lupus erythematosus. Zzpus 2000;9:252-7 McMurry RW, May W (2003) Sex hormones and systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum 2003 ;48:2 1 00- 1 0.
ZM, Chiorazzi N, Lahita RG Regulation of the immune
response by sex hormones. I. In vitro effects of estradiol and

Sthoeger

testosterone on pokeweed mitogen-induced human B cell


differentiation. J Immunol 1988;141 :91-8.
Kanda N, Tamaki K. Estrogen enhances immunoglobulin production by human peripheral blood mononuclear cells. J Allergy
Clin Immunol 1999 ;103 :282-8.
Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Estrogen enhancement of

DNA antibody and immunoglobulin G pro-

anti-double-stranded

duction in peripheral blood mononuclear cells from patients

with systemic lupus erythemalostts. Arthrilis

Rheum

t999;42:328-37.
Evans MJ, Maclaughlin S, Marvin RD, et al. Estrogen decreases in

vitro apoptosis of peripheral blood mononuclear cells from


women with normal menstrual cycles and decreases TNF-alpha
production in SLE but not in normal cultures. Clin Immunol

Immunopathol 1997 ;82:258-62.


Wyle FA, Kent JR. Immunosuppression by sex steroid hormones'
The effect upon PHA- and PPD-stimulated lymphocytes' Clin
Exp Immunol 1971 ;21 :407 -15.
McMurray RW, Ndebele K, Hardy KJ, et al. 17-beta-estradiol
suppresses 7L-2 ard IL-2 receptor. Cytokine 2001;14:324-33'
Rider Y Foster RT, Evans M, et al. Gender differences in autoimmune diseases: estrogen increases calcineurin expression in
systemic lupus erythematosus. C/iz Immunol Immunopathol
1998;89:171-80.
Ricler V Jones S, Evans M, et ai. Estrogen increases CD40 ligand
expression in T cells from women with systemic lupus erythematosus. J Rheumatol 2001;28 2644-9.
Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Testosterone inhibits immunoglobulin production by human peripheral blood mononuclear cells'
Clin Exp Immunol 1996;106:410-15.
Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Testosterone suppresses anti-DNA
antibody production in peripheral blood mononuclear cells from
patients with systemic lupus erythematosts. Arthritis Rheum
1997 ;40:17

03-l

Suzuki T, Suzuki N, Daynes RA, et al. Dehydroepiandrosterone


enhances IL-2 production and cytotoxic effector function of
human T cells. CIin Immunol Immunopalhol 1991'61 202-10'

2518

REUMITIOIOGI

Suzuki T, Suzuki N, Engleman EG, et al. Low serum levels of


dehydroepiandrosterone may cause deficient IL-2 production
by lymphocytes in patients with systemic lupus erythematosus.
Clin Exp Immunol 1995;99:251-5.
Jimena P, Aguirre MA, Lopez-Curbelo A, de Andres M, Garcia_
Courtay C, Cuadrado MJ. prolactin levels in patient with
systemic lupus erythematosus: a case controlled sttrd,y. Lupus
1998;7:3 83-3 86.

Yu-Lee LY- Prolactin modulation of immune and inflammatory


responses. lcited200TNovemberTl Available

from http://

rphr.endojournals.org/cgi/reprint/57/ I /4 3 5
AM, Rohde W, Ventz M, Riemekasten G, Burmester GR,
Hiepe F. Enhanced serum prolactin (pRL) in patients with
systemic lupus erythematosus: pRL levels are related to the
disease activity. Lupus 2001;10:554-61.

Jacobi

Blanco-Favela

F, Quintal-Alvarez G, Lean-os-Mitanda A

Association between prolactin and disease activity in systemic


lupus erythematosus. Influence of statistical power. J Rheumatol
1999;26:55 - 59.

Leaflos-Miranda

A,

Chbvez-Rueda

KA, Blanco-Favela

Biologic activity and plasma clearance of prolactin IgG

F.

com-

plex in patients with systemic lupus erythematosls. Arthritis


Rheum 20O1;44:866-75.
Jara-Quezada L, Graef A, Lavalle C_ prolactin and gonadal hormones during pregnancy in systemic lupus erythematosus.
J Rheumatol 1 991 ; 18:349-53.
Ferreira C, Paes M, Gouveia A, Ferreira E, padua F, Fiuza T plasma
homovanillic acid and prolactin in systemic lupus er5..thematosus. Lupus 1998;7 :392-7.
Rovensky J, Jurankova E, Rauova L, Blazickova S, Lukac J, Veselkova
Z, et al. Relationship between endocrine, immune, and clinical

variatrles in patients with systemic lupus erythematosus.


J Rheumatol 1997 ;24:2330-4.
lara Ll, Gomez-Sanchez C, Silveira LH, Martinez-Osuna p, Vasey
FB, Espinoza LR. Hyperprolactinemia in systemic lupus erythematosus: association with disease activity. Am J Med Sci
1992;303:222-6.
Buskila D, Lorber M, Neumann L, Flusser D, Shoenfeld y. No
correlation between prolactin levels and clinical activity in
patients with systemic lupus erythematosus. -I Rheumatol
1996;23:629-32.
Pacilio M, Migliaresi S, Meli R, Ambrosone L, Bigliardo B, Di Carlo
R. Elevated bioactive prolactin levels in systemic lupus erythe-

matosus: association with disease activity. J Rheumatol


20Ol;28:2216-21
Miranda JM, Prieto RE, Paniagua R, Garcia G, Amato D, Barile L,
Jara LJ. Clinical signifrcance of serum and urine prolactin levels
in lupus glomerulonephritis. Lupus 1 998 ;7 3 7 g-3 9 1.
Alvarez-Nemegyei J, Cobarrubias-Cobos A, Escalante-Triay F,
Sosa-Muffoz J, Miranda JM, Jara LJ. Bromocriptine in systemic
Iupus erythematosus: a double-b1ind, randomized, placebocontrolled stvdy. Lupus 1998;7 :414-419.
Garcia-Gonzales A, Gonzales-Lopez L, Vaiera-Gonzales IC, CardonaMunoz EG, Salazar-Paramo M, Gonzales-Ortiz M, et al. Serum
leptin levels in women with systemic lupus erythematosus
Rheumatol Int 2O02;22:138-L4l
Faggioni R, Feingold KR, Grunfeld C. Leptin regulation of the
lmmune response and the immunodeficiency of malnutrition.
.

FASEB

2001

;t5:2565-25j t.

Karmiris K, Koutroubakis IE, Kouroumalis EA The emerging role


of adipocytokines as inflammatory mediators in inflammatory
bowel disease. InJlamm Bowel Dis 2005;11:847-855.

Lavens D, Montoye T, Piessevaux I, Zabeat L, Vandekerckhove J,


Gevaert K, et al. A complex interaction pattern of CIS and
SOCS2 with the leptin receptor. J Cell Sci 2006;tl9:22142224.

Huising MO, Kruiswijk CP, Flik G. Phylogeny and evolution of


class-I helical cytokines. J Endocrinol 2006;189:l-25.
Fanttzzi G, Faggioni R Leptin in the regulation of immunity,
inflammation, and hematopoiesis. J Leukoc Biol 2000;68:43j446.

Lam QL, Lu L. Role of leptin in immunity. Cell Mol Immunol


2007;4(I):1-t3
.

Matarese

Q La Cava A,

Sanna V, Lord GM, Lechler RI, Fontana S,


Zappacosta S. Balancing susceptibility to infection and autoimmrmity: a role for leptin? Trends Immunol 2002;23(4):182'187.
Lord GM, Matarese G, Howard JK, Baker RI, Bloom SR, Lechler RI.
Leptin modulates the T-ce1l immune response and reverses starvation-induced immunosuppres sion. Nature 1998;394:897 -901.
La Cava A, Matarese G. The weight of leptin in immulity. Nature
Rev 2004;4:371-379
Mak A, Cheung BM! Mok CC, Leung R, Lau CS. Adrenomedullin -

potential disease activity

suppressor

marker

and

of nephritis activity in systemic lupus erythemato-

sus. Rheumatol 2006;45 :1266-7 2.


Tan EM, Cohen AS, Fries JF, et al. The 1982 revised criteria for the
classilrcation of systemic lupus erythematosts. Arthritis Rheum
1982;25:127 l-7 .
Bootsma H, Spronk P, Derksen R, et al. Prevention of relapses in
systemic lupus erythematosLts. Lancet 1995 ;24;345 :l 59 5 9.

Kalaaji M, Mortensen E, Jorgensen L,Olsen R, Rekvig

Op.

Nephritogenic lupus antibodies recognize glomerular basement

membrane-associated chromatin fragments released from


apoptotic intraglomerular cells. Am J Pathol 2006,168:1j791792.
van Bruggen MC, Kramers C, Walgreen B, et al. Nucleosomes and
histones are present in glomerular deposits in human lupus nephritis. Nephrol Dial Transplant 1991;12:57 66
Rahman A, Isenberg DA Systemic lupus erythematosus N -Eng -/
Med 2008;358:929-39

Mok CC, Wong RWS. Pregnancy in systemic lupus erythematosus.


Postgrad Med J 2001;77:157-65.
Clancy RM, Kapur RP, Molad Y, Askanase AD, Buyon JP Immunohistologic evidence supports apoptosis, IgG deposition, and novel
macrophage/fibroblast crosstalk in the pathologic cascade leading to congenital heart block. Arthritis Rheum 2004:50:173-82.
Kowal C, Degiorgio LA, Lee fY, et al. Human lupus autoantibodies
against NMDA receptors mediate cognitive impairment. proc
Natl Acad Sci U S A 2006;103:79854-9.
Sontheimer RD, Maddison PJ, Reichlin M, Jordon RE, Stastny p,
Gilliam JN. Serologic and HLA associations in subacute cutaneous lupus erythematosus, a clinical subset of lupus ery.thematostss. Ann Intern Med 1982;97:664-71.
Grootscholten C, van Bruggen MC, van der pijl JW, et al. Deposition of nucleosomal antigens (histones and DNA) in the epidermal basement membrane in human lupus nephritis. Arthritis
Rheum 2003 ;48: I 355-62.
Quismorio FP. Other serologic abnormalities in systemic lupus
erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois'lupus
erythematosus. 7th ed Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins,2007:527-49.
Pujol M, Ribera A, Vilardell M, Ordi J, Feliu E. High prevalence of
platelet autoantibodies in patients with systemic lupus erythe-

matosus Br J Haematol 1995;89:137-4L

2579

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Arbuckle M, McClain MT, Rubertone MV, Scofield RH, Dennis GJ,


James JA, et ai. Development of autoantibodies before the clinical onset of systemic lupus erythematosus. N Engl J Med
2003:'349:1526-33.
Hahn BH. Antibodies to DNA. N Engl J Med 1998;338:7359-68.
Klinman DM, Shirai A, Ishigatsubo Y, et al. Quantitation of IgMand IgG-secreting B cells in the peripheral blood of patients

with systemic lupus erythematosus. Arlhrilis

Rheum

l99l;34:1404 10.
Liossis SN, Kovacs B, Dennis G, et al. B cells from patients with
systemic lupus erythematosus display abnormal antigen recep-

tor-mediated early signal transduction events J Clin Invest


1996;98:2549 57.
Linker-Israeli M, Deans RJ, Wallace DJ, et al. Elevated levels of

A putative

endogenous IL-6 in
role in pathogenesis. -I Immunol l99l;147:ll7-23.
Monneaux F, Muller S. Epitope spreading in systemic lupus
erythematosus: identification of triggering peptide sequences.

systemic lupus erythematosus.

La

Arlhritis Rheum 2002;46: 1430-8.


A. T-regualtory cells in systemic lupus erythematosus.

Cava

Lupus 2008;17:421-25

Valencia X, Yarboro C, Illei G, Lipsky PE. Deficient


CD4+CD25(high) T regulatory cell function in patients with
active systemic lupus erythematosus. -f Immunol
2007;17 8:257 9 -88.
Dean GS, Tyrrell-Price J, Crawley E, Isenberg DA Cytokines and
systemic lupus erythematostts. Ann Rheum Dis 2000;59:243-

25r.
Houssiau FA, Lefebvre C, Vanden Berghe M, et al. Serum interleukin
10 titers in systemic lupus erythematosus reflect disease

activity. Lupus 1995;4:393-5.


Park YB, Lee SK, Kim DS, et al. Elevated interleukin-10 levels
correlated with disease activity in systemic lupus erythematosus. C/iz Exp Rheumatol 1998;16:283-8.
Grondal G, Gunnarsson I, Ronnelid J, et al Cytokine production,
serum levels and disease activity in systemic lupus erythematosus. Ciin Exp Rheumatol 2000;18:565 70.
Charles PJ, Smeenk RI, De Jong J, Feldmann M, Maid RN. Assessment of antibodies to double-stranded DNA induced in rheumatoid arthritis patients following treatment with infliximab, a
monoclonal antibody to tumor necrosis factor alpha: findings

in open-label and randomized placebo-controlled ttials. Arthritis Rheum 2000;43:2383-90.


Mohan AK, Edwards ET, Cot6 TR, Siegel JN, Braun MM. Druginduced systemic lupus erythematosus and TNF-alpha blockers.
Lancet 2002;360:646.
Gabay C, Cakir N, Moral F, et al. Circulating levels of tumor
necrosis factor soluble receptors in systemic lupus erythematosus are signiflcantly higher than in other rheumatic diseases and
correlate with disease activity. J Rheumatol 1997;24:303-8.

Herrera-Esparza R, Barbosa-Cisneros O, Villalobos-Hurtado R,


Avalos-Diaz E. Renal expression of IL-6 and TNF-ii genes in
lupus nephritis. Lupus 1998;7:154-8.
Aringer M, Graninger WB, Steiner G Smolen JS. Safety and effrcacy
of tumor necrosis factor alpha blockade in systemic lupus

erythematosus:

an open-label study. Arthrilis

Rheum

2004;50:3161-9.
Crow MK, Kirou KA. Cy'tokines and Interferons in Lupus. In: Wallace
DJ, Hahn BH, eds. Dubois' lupus erythematosus. 7t};. ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2O07:16l-75.
Iilei GG Tackey E, Lapteva L, Lipsky PE. Biomarkers in systemic

lupus erythematosus. II. Marker of disease activity. Arthritis


Rheum 2004;50:2048-65.

Tsokos, GC. Exploring compiement activation to develop


biomarkers for systemic lupus erythematosDs. Arlhritis Rheum
2004;50:3404-3407

Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis of systemic lupus


erythematosus. J Netherl Med 2003;61:343-346.
Herrmann M, Voll RE, Zoller OM, et al. Impaired phagocytosis of
apoptotic cell material by monocyte-derived macrophages from
patients with systemic lupus erythematostrs. Arthritis Rheum
'1998;41:1241-50.
Linker-Israeli M, Quismorio FP Jr, Horwitz DA. CD8+
Iymphocytes from patients with systemic lupus erythematosus
sustain, rather than suppress, spontaneous polyclonal IgG production and synergize with CD4+ cells to support autoantibody
synthesis. Arthritis Rheum 1990;33:1216-25.
Munoz LE, van Bavel C,Frurrz S, Berden J, Herrmann M, van der
Vlag J. Apoptosis in the pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Lupus 2008;17 :37 l-37 5.
Dieker, JW, van der Vlag, J, Berden, JH. Deranged removal of
apoptotic cells: its role in the genesis of lnptts. Nephrol Dial
Transplant 2004: 19:282 285.
Savill, J, Dransfield, I, Gregory, C, Haslett, C. A blast fiom the past:
clearance of apoptotic cells regulates immune responses. Nal
Rev Immunol 2002;2: 965-975
Ronnblom, L, Eloranta, ML, Alm, GV. The type I interferon
system in systemic lupus erythematostts. Arthritis Rheum 2006;
54: 408-420.
Dieker, JW, Fransen, JH, van Bavel, CC, et al. Apoptosis-induced
acetylation of histones is pathogenic in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 2007;56: 192I-1933.
Hepburn, AL, Lampert, IA, Boyle, JJ, et al. In vivo evidence for
apoptosis

in the bone marrow in systemic lupus erythematosus.

Ann Rheum Dis 2007;66: 1106-1109.


Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan Duiagnosis dan Pengelolaan
Lupus Eritematosus Sistemik, 2004.

40t
KEHAMILAN PADA
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Yuliasih

PENDAHULUAN

PENGARUH KEHAMILAN NORMAL TERHADAP


PENYAKIT LES

Dengan kemajuan pengetahuan di bidang pengobatan


five years survival rate pasien LES bisa mencapaig0o/o
sehingga kehamilan pada pasien LES tidak dapat
dihindarkan. Pasien LES diperbolehkan hamil tetapi
dengan syarat penyakitnya harus dalam fase tenang
dan harus mendapat pengawasan ketat.
Kehamilan pada LES perlu dibahas tersendiri, karena
merupakan kehamilan risiko tinggi. Diketahui bahwa
kehamilan normal memberikan beberapa perubahan
pada tubuh, yang mana perubahan-perubahan ini dapat

Pada kehamilan normal terdapat peningkatan volum

cairan, meningkatnya volum cairan dalam tubuh


berdampak buruk pada pasien LES dengan gangguan
fungsi jantung, ginjal serta hipertensi. Kenaikan volum
intravaskular sampai 30% tidak mampu ditoleransi oleh
pasien LES dengan gangguan frrngsi ginjal danjanhrng.
Perubahan hormonal antara lain peningkatan hormon
estrogen, dan prolaktin serta penurunan progesteron.

Hormon-hormon ini diyakini berperan dalam


patogenesis lupus, sehingga bila ada gangguan
keseimbangan hormon ini dapat mencetuskan kobaran
atau memburuknya LES. Banyak laporan mengenai
gangguan pertumbuhan plasenta pada kehamilan

mencetuskan aktivitas penyakit LES, meningkatkan


risiko kehamilan pada pasien LES terutama dengan
gangguan fungsi jantung atau ginjal, serta adanya
autoantibodi-autoantibodi pada ibu yang mungkin dapat

menembus plasenta atau bahkan mempengaruhi

denganLES.

pertumbuhan plasenta. Dari laporan menyatakan bahwa


kehamilan dengan LESterdapat gangguan pertumbuhan
plasenta oleh berbagai sebab arrtara lain trombosis,
vaskulopati dan vaskulitis

Pada kehamilan normal umur trombosit menurun,


sedangkan produksinya meningkat hal ini seringkali

menimbulkan trombopenia yang mana kadang


menimbulkan kesalahan dalam menginterprestasi nya.
Pada kehamilan normal terjadi peningkatan aktivasi
sistem koagulasi yang disertai dengan peningkatan
sintesis faktor koagulan. Faktor-faktor koagulan yang
meningkat pada kehamilan antara lain fibrinogen, faktor

Jadi jelaslah bahwa kehamilan pada LES bisa


berdampak buruk pada ibu, kehamilan maupun janinnya

sendiri. Risiko pada ibu antara lain memberatlya


penyakit lupus atau timbulnya kobaran, sedangkan pada
janin menimbulkan abortus, partus prematur, kematian

Y VIII, X, VWF, trombosit activation inhibitorl,


trombin-antitrombin kompleks. Aktivasi sistem
koagulasi ini dapat mencetuskan atau mengaktifkan

janin intra uterin, gangguan pertumbuhan

serta
kongenital lupus.
Pengelolaan kehamilan dengan LES diperlukan
kerjasama antara spesialis penyakit dalam konsultan
reumatologi, spesialis kebidanan dan spesialis anak

penyakit lupus.

BEBERAPAASPEK YANG PERLU DITINJAU PADA


KEHAMILAN DENGAN LES

perinatologi dengan harapan mendapatkan hasil


kehamilan yang baik.

.
2580

tingkat kesuburan

2581

KEI{AIT{ILAN PADA LUPUS ERITEM'TFOSUS SISTEMIK

.
.
.
.
.
.

perencanaankehamilan

risiko obstetrik
segi pediatrik
pengelolaan
masa laktasi
jenis kontrasepsi

Perubahan

Pada

Normal

lnterpretasi Pada LuPus

Kehamilan
Sistem hematologi
Anemia karena hemodilusi
Menurunnya masa hidup
trombosit
Peningkatan flbrinogen
Sistem endokrin
Meningkatnya kortisol
Meningkatnya estrogen
Ginjal

Diduga ada eksaserbasi


Merangsang remisi
Memperburuk LES
Yolum overload atau
preeklamsia, eksaserbasi
lupus nefritis

Menurunnya kliren

Dikutip

Diduga eksaserbasi LES


Diduga LES aktif

LR
erythe
Press

M
:
Els

Locksin

Lupus Pregancy. ln
RG. 4rd edition ,

; P659

Tingkat kesuburan pasien LES sama dengan perempuan


tanpa LES, kecuali pada pasien-pasien yang pernah
mendapat terapi kortikosteroid dosis tinggi, siklofosfamid
dosis tinggi atau menderita gagal ginjal terminal. Dilaporkan
bahwa pemakaian siklofosfamid pada pasien dengan
lupus nefritis sering menimbulkan ov arian failure. Insiden
Ovarian failure karena siklofosfamid berkisar antara
I I - 59%. B eberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko

ovarian failure karena siklofosfamid yaitu umur relatif


muda saat pemberian, pemberian secara oral dan dosis
kumulatif yang besar. Dilaporkan bahwa ovarian failure

lebih sering terjadi pada pasien yang mendapat


siklofosfamid per oral dibandingkan dengan intravena.

PERENCANAAN KEHAMILAN
Sejumlah penelitian menujukkan bahwa LES aktif bukanlah

waktu yang tepat untuk memulai kehamilan, karena


dilaporkan bahwa angka kekambuhan LES dengan
kehamilan sangat tinggi. Mengingat adanya beberapa
risiko kehamilan maka dianjurkan pasien LES yang
merencanakan kehamilan sebaiknya dipersiapkan sebaik
mungkin. Kehamilan baru dimulai bila penyakit dalam
kondisi tenang minimal 6 bulan. Beberapa data retrospektif
melaporkan data angka kekambuhannya berkisar 87%,
sedangkan pada kehamilan dengan lupus nefritis angka
7

,40/o-63%.

tersebut dihentikan. Siklofosfamid, metotreksat dan


warfarin bersifat teratogenik maka bila ada kehamilan
segera mungkin dihentikan, bila pasien mendapat warfarin
sebaiknya dilanjutkan dengan suntikan heparin.

rtzman S.
r by Lahita

TINGKAT KESUBURAN PASIEN LES

kekambuhan b erkltsar

kehamilan, maka lupus nefritisnya akan mudah jatuh ke


arah gagal ginjal akut. Kekambuhan LES dengan kehamilan
dapat terjadi setiap saat baik saat awal kehamilan maupun
pasca persalinan. Gejala klinik biasanya, hanya berupa
artritis atau bercak di kulit, demam, lelah, serositis, atau
trombositopenia, sedangkan yang mengenai organ mayor
seperti ginjal, CNS berkisar antara5-46%o.
Penghentian obat-obatan perlu dipertimbangkan sej ak
perencanaan kehamilan. Klorokuin atau hidroksiklorokuin
sebaiknya dihentikan sebelum kehamilan terj adi' idealnya
dihentikan 6 bulan sebelum kehamilan, dengan asumsi 3
bulan awal waktu yang dibutuhkan untuk mengekskresi
obat secara keseluruhan dan 3 bulan berikutnya untuk
mengamati apakah terjadi kekambuhan setelah obat

Bila ada lupus nefritis saat

Gambaran klinik kobaran pada LES dengan kehamilan


biasanya ringan
Kekambuhan LES dapat terjadi setiap saat, mulai awal
kehamilan sampai pada pasca persalinan
LES dengan kehamilan perlu diperhatikan karena termasuk
dalam kelompok risiko tinggi dan diperlukan pemantauan
secara ketat aktivitas

RISIKO OBSTETRIK PADA KEHAMII-AN DENGAN LES

Preeklamsia
Pasien dengan LES mempunyai risiko tinggi terjadi
preeklamsia selama kehamilan. Insidennya lebih tinggi
dibanding bukan pasien LES, yaitu berkisar 5-38%.
Risiko eklamsia ini makin meningkat pada primigravida,
adanya riwayat hipertensi, preeklamsia, abortus
sebelumnya, obesitas, dan antibodi fo sfolipid. Peningkatan
tromboksan A, plasental diduga berperan pada timbulnya
preeklamsia.
Membedakan preeklamsia dengan lupus nefritis pada
kehamilan dengan LES cukup sulit, sebab keduanyadapat
menimbulkan hipertensi, proteinuria, edema dan faal ginjal

yang cepat memburuk. Ada beberapa patokan yang


membantu untuk membedakan kedua kondisi ini. Pada
proteinuria yang terkait dengan lupus nefritis biasanya
ditemukan tanda aktivitas penyakit LES pada organ lain'
misalnya ulkus di mulut, artritis, vaskulitis, ruam,
limfadenopati. Sedimen urin pada lupus nefritis lebih sering

menunjukkan gambaran sedimen yang aktif yaitu


didapatkan peningkatan leukosit, eritrosit dan torak
granuler. Sifat proteinuria pada lupus nefritis biasanya
lebih cepat memburuk dibandingkan preeklamsia.
Pemeriksaan komplemen dan anti-dsDNA juga sangat
membantu. Pada preeklamsia kadar C3 dan C4 biasanya

2582

REIJMIIifl]TOGI

nolrnal, sedangkan pada lupus nefritis C3 dan C4 menurun


dan disertai peningkatan kadar anti ds-DNA. pemberian
prednison pada preeklamsia akan memperburuk kondisi,
sedangkan pada lupus nefritis menunjukkan respons yang
baik. Kedua kondisi ini harus dipastikan dengan segera

sebaiknya diberi pengobatan aspirin.


Trombositopenia yang terjadi pada umur kehamilan 25
minggu, dan tidak terkait dengan aktivitas penyakit LES.

Ini merupakan petanda akan terjadinya preeklamsia


atau sindrom HELLP. Pengobatan yang dianjurkan
adalah melakukan terminasi dengan segera bila

karena cara pengelolaannya jauh berbeda.

Kehamilan dengan LES yang mempunyai riwayat


preeklamsia berat pada kehamilan sebelumnya harus

memungkinkan.

dilakukan terminasi kehamil annya pada atau sebelum umur


kehamilan mencapai 32 minggu.

maka trombositopenia ini merupakan bentuk dari ITP,

Trombositopenia tanpa disertai tanda aktivitas LES

bila trombositopenia disertai tanda aktivitas LES,


trombositopenia ini mencerminkan aktivitas penyakit
LES. Biasanya trombositopenia ini respons terhadap
steroid.
Trombositopenia ringan yang tidak terkait dengan LES,
bisa terjadi pada akhir kehamilan.

Lupus nefritis terdapat

.
'
.
.
.

Artritis, vaskulitis, ruam, limfadenopati, ulkus mulut, dan

proteinuria cepat memburuk


Perbaikan klinis pada pemberian kortikosteroid
Penurunan C3 dan C4, peningkatan ClqB
Anti ds-DNA positif dan meningkat
Proteinuria persisten postpartum

Lupus Nefritis dengan Kehamilan


Insiden lupus nefritis pada kehamilan dengan LES sangat

tinggi bisa mencapai 60% dibanding pada LES tanpa


kehamilan. Gambaran klinis lupus nefritisnya juga lebih
berat dan sering mencetuskan eklamsia dan gagal ginjal
akut. Pasien lupus nefritis jenis histopatologis proliferatif
difus, sindrom nefrotik, hipertensi berat, dan serum
kreatinin >2mgldl- dianjurkan untuk tidak hamil. Menurut
Boumpas and Balow pasien lupus nefritis diperbolehkan

hamil dengan syarat yaitu penyakitnya terkontrol


<lgrlhari

berlangsung paling sedikit 6 bulan, proteinuria

dengan fungsi renal yang stabil dan kadar C3 yang


normal. Secara umum lebih lama pasien dalam keadaan
remisi akan lebih baik kehamilannya. Bila lupus nefritis
dengan kehamilan yang menunjukkan kliren kreatinin
mencapai 50 mlldt dianjurkan untuk segera dilakukan
hemodialisis.

Trombositopenia
Merupakan kelainan hematologi yang paling sering
dijumpai pada pasien LES dengan kehamilan, terutama
pasien dengan antifosfolipid.
Penyebab trombositopenia pada kehamilan dengan LES:

.
.
.
.

Kehamilannya sendiri
Sindrom antibodi antifosfolipid
LES aktif
Preeklamsia

Anemia
Anemia karena penyakit kronis merupakan komplikasi yang
tersering dijumpai pada LES. Anemia autoimun hemolitik
sangat jarang dan biasanya disebabkan oleh sindrom

antifosfolipid. Anemia pada kehamilan sesegera mungkin


diatasi, mungkin diperlukan steroid yang agak tinggi atau
tranfusi untuk mencegah hipoksia pada janin. Perlu diingat
kehamilan sendiri menimbulkan anemia.

.
.
.
.

lnsiden preeklamsia meningkat

Hipertensi, lupus nefritis dan keberadaan ACA meningkatkan risiko pre-eklamsia

lnsiden abortus, prematuritas, janin mati dan IUGR


meningkat

Hipertensi, hipokomplemen, lupus nefritis aktif pada


konsepsi dan ACA meningkatkan risiko kematian janin

SEGIPEDIATRIK
Kehamilan dengan LES mempunyai nsiko tinggi terdapat
peningkatan insiden abortus, prematuritas, janin mati dan
IUGR, insidennya berkisar antara 6 -3 5%. Faktor risikonya
antara lain hipertensi, lupus nefritis dan keberadaan
antibodi fosfolipid. Risiko abortus pada lupus dengan

kehamilan bervariasi ar,tara

6-3

5%. Antifosfolipid

merupakan faktor prediktor terjadinya "fetal wastages",


Keberadaan antibodi fospolipid yaitu IgG ACA dan LA
(lupus antikoagulan) serta hipokomplemen (C3 yang

rendah) merupakan prediktor kuat terjadi kematian


janin.

Bagaimana mekanisme antibodi fosfolipid ini

Keadaan trombositopenia yang perlu diperhatikan pada

dalam menimbulkan kematian janin atau abortus belum

kehamilan;
. Bila trombositopenia terjadi pada awal kehamilan (<15
minggu) dengan fospolipid antibodi positif, tanpa

bereaksi terhadap b2GPI (beta 2 glikoprotein I), yang terikat

disertai dengan tanda aktivitas penyakit LES maka

chorionic gonadotropin) dar. menimbulkan gangguan

diketahui dengan pasti. Diduga antibodi fosfolipid


dengan trofoblas menekan produksi HCH (Human

2583

IG.TIAMILAN PADA LUPUS ERITEMAI1OSUS SISTEMIK

perlekatan plasenta.Faktor lain yang dapat menimbulkan

kematian janin atau abortus yaitu adanya aktivasi


komplemen yang menimbulkan trombosis pada plasenta
Pemberian heparin sub-kutan 20.000 U/hr bersamaan
dengan aspirin dosis rendah 80mg/hr pada kehamilan
dengan LES sangat efektif untuk mencegah abortus
maupun kematian janin akibat adanya antibodi fosfolipid.
Demikian juga dengan pemberian prednison 40 mglhr
bersama aspirin dosis rendah sama efektifnya dengan
pemberian heparin bersama aspirin dalam mencegah
abornrs dan kematian janin.

Pasien dengan kecenderungan preeklamsia dan


pecah ketuban dini lebih baik menggunakan heparin dari

pada prednison. Profilaksis aspirin baru bermanfaat


pada kehamilan dengan kadar antibodi fosfolipid yang

tinggi terutama untuk primipara tanpa riwayat


kehilangan janin dengan atau pada semua ibu hamil
dengan LES.
Segi obstetrik dan pediatrik LES dengan kehamilan

.
.
.
.

Meningkatnya risiko terjadinya preeklamsia


Hipertensi sistolik dan lupus nefritis

Antifosfolipid merupakan faktor risiko preeklamsia dan

fetal

loss

Fetal wastage,prefiat-r dan IUGR sering terjadi

deksametason melalui ibunya, walaupun banyak yang


masihmeragukan.

PENGELOLAAII KEHAMII-AN DAI\I PASCA PEIISAL|NAN

Prinsip Umum
Ibu hamil dengan LES, jelas merupakan kehamilan dengan
risiko sangat tinggi. Sejak awal kehamilan harus dibuat
sistem yang dapat mengawasi perubahan aktivitas penyakit,
termasuk pelibatan suami dan keluarganya. Sejak diketahui
ada kehamilan maka secepat mungkin menentukan organ
yang terkena,aktivitas penyakit, pada trimesterpertama harus
dievaluasi tiap bulan dan evaluasi ditingkatkan menginjak

trimester

II

dan

III,

pengukuran tekanan darah,

perkembangan janin, jantung janin, NST: non-stress test.


Evaluasi kondisi muskuloskletal khususnya pelvis dat hip
untuk mengantisipasi kemungkinan adanya komplikasi juga
sangat penting.

Pemeriksaan anti Ro dan anti La diperlukan untuk


memprediksi kemungkinan adany a neonatal lupus, selain
itu pemeriksaan antibodi antifosfolipid untuk memprediksi
kemungkinan abortus, prematur atau IUGR. Pada paruh
pertama kehamilan evaluasi dilakukan tiap bulan, dilakukan

pemeriksaan fisik, mulai dari tanda-tanda vital, kobaran

seperti; panas, ruam, peningkatan tensi. Pemantauan


SINDROM NEONATAL LUPUS ERITEMATOSUS
Sindrom NLE (Neonatal Lupus Eritematosus) terdiri dari

laboratorium juga dilakukan (Tabel5). Jika terdapat tandatanda kobaran baik selama hamil maupun postpartum harus
dilakukan terapi yang agresif. Bila ada lupus nefritis dan

CHB (congenital heart block; paling sering), ruam

atau tanpa HT aspirin dosis rendah mulai pada minggu

kutaneus transien, sitopenia, dan manifestasi sistemik


lainnya dari LES. Tidak hanya pada LES, NLE juga dapat

ke- 1 0 untuk mencegah preeklamsia, IUGR danfetal loss

timbul pada ibu hamil dengan sindrom Sjogren dan


penyakit reumatik lain yang membawa antibodi Anti SSA/
Ro danAnti SSB/La

melalui USG, ekokardiografi, dan non-stress test. Sectio


Caesaria harus dilakukan pada ibu dengan hipertensi

The Research Registryfor Neonatal Lupus di AS membuat


kriteria diagnosis NLE :
. Ibu dengan hasil tes terhadap 52 kD Anti SSdRo, 60 kD
Anti SSA/Ro, atau 48 kD Anti SSB/La, atau anti

ribonukleoprotein.
CHB atau ruam kutaneus transien

Pemantauan terhadap pertumbuhan

Anjuran

Pemeriksaan

Kunjungan pertama

Darah lengkap
Urin 24 jam pada nefritis lupus

Insiden CHB adalah sekitar 0,005% pada bayi lahir


hidup. Pada pasien LES dengan anti SSA,rRo positif risiko
CHB adalah sekitar 1,5%o dan 20,5%. Patogenesis CHB
belum j elas, diduga anti S SA./Ro dan anti S SB/La menembus
plasenta pada trimester 2 dan menimbulkan j ej as imunologrk

pada sistem hantaran jantung. Uji saring terhadap anti


Ro dan anti La sangat penting pada kehamilan dengan
LES.

Ekokardiografi janin harus dilakukan pada kehamilan


16-24 mhggu termasuk untuk mendeteksi kemungkinan
miokarditis dan regurgitasi. Jika pada ekokardiogram

serial kondisi klinis janin memburuk, misalnya


timbul dekompensasi jantung maka dapat diberikan

janin dilakukan

.
.

.
.
.
.
Kunjungan perbulan
setiap trimester

Tiap minggu pada akhir


trimester
(ibu dengan APL+)
Pada minggu 18 dan2
(ibu dengan antiRo/La+)

Bun, serum kreatinin,

kliren

kreatinin
Glukosa darah
Tes Coombs, C3 dan C4
VDRL, ACA dan APTT

Anti ds-DNA, anti SSA,

anti

SSB, anti Ul RNP


Darah lengkap/urinalisis
Kliren kreatinin,
Protein uria 24 jam komplemen
Anti ds-DNA
Antenatal fetal head rate testing
(non-sfress tesf)
Fetal echocardiogram

2s84

REI.,IMIIiION.OGI

berat, trombositopenia berat, ganguan fungsi ginjal berat,

diberikan pada ibu hamil dengan LES yang tidak menderita

penyelamatan nyawa ibu dengan kelainan jantung dan


paru yang berat, avaskular nekrosis pada caput femoris,
fetal distress, non-stress test yang abnormal, dan indikasi
obsterik biasa seperti disproporsi kepala panggul dan letak

hipertensi, mulai minggu ke-10 sampai ke-36 untuk

Aktif lupus bukan indikator untk terminasi


kehamilan, beberapa indikator ibu untuk mengakhiri
lintang.

kehamilan: LESJlare yang berat yg mengancam jiwa ibu,


gagal terapi,psikologis, sosialfet al dis tres s, amniotikJluid
indeks < 5 cm, eklamsia yang progresif, sindrom HELLP,
payah jantung berat dan trombositopenia berat

Penanganan Janin Selama Kehamilan

meminimalis timbulnyapre eklamsia. Aspirin dosis rendah


bersama dipiridamol dapat menurunkan insiden IUGR
secara signifikan. Aspirin pada postparhrm tetap diberikan
I bulan setelah postpartum untuk mencegah trombosis
sedang yang mengunakan heparin diganti dengan
antikoagulan oral selama 3 bulan.

Kortikosteroid
Prednison dan metilprenisolon sangat kecil dapat
menembus plasenta meskipun diberikan dosis besar pada
ibu, sehingga aman diberikan pada ibu hamil, golongan

Pertumbuhan dan perkembangan janin harus diperhatikan,

deksametason dan betametason sebaiknya tidak

beberapa yang mempengaruhi terkait dengan aktivitas

digunakan, karena dapat menembus plasenta. Penggunaan


kortikosteroid dapat menimbulkan palatoskisis pada

penyakit ibu, antibodi fosfolipid, anti Ro/anti La,


meningkatnya cx, fetoprotein pada pasien LES
mengindikasikan pratus prematur, tingginya dosis
prednison yang diterima ibu serta adanya antibodi
fosfolipid IgG mediasi trombositopenia mungkin dapat
melalui plasenta. Demikian juga IgG Coombs hemolitik
antibodi dapat menembus plasenta sehingga menimbulkan
anemia hemolitik pada janin, anti ds-DNA juga dapat

menembus plasenta tapi tidak berefek pada janin,


sedangkan antibodi fosfolipid sering menyebabkan
plasenta insufisiensi, IUGR& kematian janin. Sedangkan
antibodi Anti Ro/anti La menyebabkan neonatal lupus serta
heart block sehingga dianjurkan untuk elektrokardiografi
pada kehamilan 15-25 minggu. Kecepatan perhrmbuhan
janin dan volum plasenta sebaiknya dievalusi dengan USG,

seminggu sekali antepartumfetal heart rate testing,bila


ada bradikardi merupakan prediktor komplikasi janin.

OBAT.OBATAN PADA LES DENGAN KEHAMILAN

Aspirin dan OAINS


Aspirin dalam dosis besar (>3gr) dapat memperpanjang
waktu kehamilan maupun kelahiran, menimbulkan
oligohidroamnion, menyebabkan penutupan prematur
duktus arteriosus, hiperlensi pulmonal, dan perdarahan
postpartum, walaupun demikian aspirin tidak menimbukan
anomali kongenital. OAINS (obat anti inflamasi nonsteroid)
dapat bersifat teratogenik, mempengaruhi kontraksi uterus,

hewan, tetapi jarang pada manusia. Prednison,


prednisolon, metilprednisolon hanya sedikit yang melewati

plasenta ke janin, sehingga merupakan kortikosteroid


pilihan pada kehamilan. Fluorinat kortikosteroid seperti
deksametason dan betametason jangan digunakan pada
kehamilan karena dapat melewati plasenta jauh lebih
banyak dan hanya digunakan untuk mengobati kelainan
pada fetus. Kortikosteroid dosis tinggi dapat menimbulkan
ketuban pecah dini, IUGR (intraulerine growth restriction).Padapasien cangkok ginjal hamil yang diberi terapi
berbagai imunosupresan kortikosteroid yang memberi
insiden malformasi lebih trn ggi (3,5%) dibanding azatioprin
dan mofetil mikofenolat.

Ibu hamil yang menggunakan kortikosteroid lebih dari

2 tahun harus dipikirkan adanya insufisiensi adrenal


terutama menjelang partus. Untuk itu perlu pemberian
kortikosteroid selama partus, misalnya dengan pemberian
hidrokortison i.v 100 mg tiap 8 jam segera sebelum partus.
Pada hari ke-2 diturunkan 50 mg tiap 8 jam, kemudian
pada hari ke-3 diberikan sesuai dosis kortikosteroid
sebelumnya.

Klorokuin
Hidrosiklorokuin yang biasanya digunakan untuk artritis
atau untuk pencegahan kobaran, bisa diteruskan pada
kehamilan. Hidroksiklorokuin memang aman, tetapi
klorokuin dilaporkan dapat menimbulkan anomali
kongenital. Dilaporkan dari 36 kehamilan yang

mengganggu fungsi trombosit, dan menimbulkan

memakai hidrosiklorokuin tidak terdapat anomali

penutupan prematur duktus arteriosus. Sebaiknya OAINS


dan aspirin dosis tinggi dihindari pada ibu hamil dengan
LES. Pada suatu RCT (Randomised Controlled Tria[) dari
aspirin dosis rendah (0,45 mglkglBB) yang dikombinasi

kongenital.

Azatioprin
Azatioprin banyak digunakan untuk transplan ginjal dan

dengan heparin menurunkan angka abortus dan

dilaporkan amanuntuk kehamilan dengan LES, Azatioprin

prematuritas serta meningkatkan angka lahir hidup (71%)


dibanding aspirin dosis rendah saja (42%) odds rasio 3,37
(95% U 1,40-8,10). Penggunaan aspirin dosis rendah juga

bersifat teratogenik pada binatang, tetapi pada manusia


dilaporkan tidak menimbulkan anomali kongenital yang
berat, kecuali sangat jarang dapat menimbulkan polidaktili
dan pes ekuinovarus pada janin. Dilaporkan, pemberian

mencegah pre eklamsia. Aspirin dosis rendah dapat

2585

KEHAMILAN PADA LUPUS ERITEM/IfiIOSUS SISTEMIK

azatropilbersama prednison dapat menimbulkan IUGR,

BBL (berat badan lahir) rendah dan prematuritas pada


pasien cangkok ginjal. Sebaliknya banyak dilaporkan ibu
hamil dengan LES yang sukses dengan pemberian
azatioprin bersama kortikosteroid.

Siklofosfamid
Sebaiknya tidak digunakan pada kehamilan karena bersifat
teratogenik, walaupun ada laporan kehamilan yang sukses

dengan siklofo sfamid.

iklofosfamid j uga menimbulkan

risiko kanker yang meningkat pada janin yang pernah


terpapar.

Siklosporin A
Siklosporin A tidak teratogenik pada binatang, juga tidak
ada peningkatan risiko anomali kongenital pada manusia.
Pada pasien cangkok dengan 1 54 kehamilan hanya didapat

BBL rendah tanpa adanya kelainan kongenital.


Studi prospektif pada 22 anak dari ibu yang diterapi
dengan siklosporin menunjukkan tidak ada efek nefrotoksik.

Mofetil Mikofenolat
Mofetil mikofenolat merupakan imunosupresan yang relatif
baru. Pada terapi lupus nefritis, mofetil mikofenolat
menunjukkan hasil yang setara dengan siklofosfamid.
Belum ada laporan yang luas dari penggunaan mofetil
mikofenolat pada ibu hamil dengan LES. Terdapat satu
laporan kasus malformasi kongenital dari penggunaan
mofetil mikofenolat pada kehamilan.

Aspirin dosis tinggi dan OAINS sebaiknya dihindari


terutama pada beberapa minggu trimester ke-3
Kortikosteroid dan hidroksiklorokuin dapat digunakan
dengan hati-hati
Azatioprin dan siklosporin masih dapat digunakan sebagai
imunosupresan pada ibu hamil dengan LES
Siklofosfamid harus dihindari karena ieratogenik

MASALAKTASI

Laktasi dan Aktivitas LES


Prolaktinmempunyai peranmultipel pada sistem imun dan

bersifat imunostimulan. Pada kehamilan kadar


prolaktin meningkat pada trimester 2 atat 3 dan menetap
selama laktasi. Peningkatan ini disebabkan karena

Obat-obatan pada Laktasi


Aspirin sangat mudah melintas ke dalam ASI dan dapat
menimbulkan intoksikasi salisilat pada bayi. Pada
pemberian aspirin 450-650 mg pada ibu hamil, 0,lo -2loh
akan mencapai j anin dalam waktu 24 j am . AAP (Am er ic an
Academy of Pediatrics) merekomendasikan bahwa aspirin
harus diberikan dengan peringatan dan dosis yang besar

harus dihindari pada ibu yang menyusui. Kebanyakan


OAINS tidak diekskresi ke ASI. AAP merekomendasi
indometasin dan naproksen atau OAINS kerja pendek yang
lebih aman untuk ibu hamil, sedangkan OANS yang lewat
siklus enterohepatik (misalnya; sulindac) sebaiknya
dihindari.

AAP menganggap prednison dan prednisolon aman


untuk ibu menyrrsui. Tidak ada data pada penggunaan
deksametason dan betametason pada ibu menyusui.
Hidroksiklorokuin hanya sedikit diekskresi pada ASI, tetapi
AAP memperbolehkan penggunaannya pada ibu menyusui
dengan peringatan, karena hidroksiklorokuin eliminasinya
cukup lama. Siklofosfamid, azaliopin dan metotreksat

tidak direkomendasikan untuk ibu

menyusui.
Dikhawatirkan bisa timbul imunosupresi, gangguan
perhrmbuhan dan karsinogenesis pada bayi.

.
.
.
.
.

Laktasi dapat meningkatkan insiden kobaran


Aspirin dosis tinggi harus dihindari
OAINS adalah kontraindikasi pada ibu LES yang menyusui
Prednison, prednisolon, dan hidroksi klorokuin bisa
diberikan
Pada ibu LES yang mendapat imunosupresan seperti
siklofosfamid, azatioprin, siklosporin dan metotreksat tidak
boleh menyusui.

JENIS KONTRASEPSI
Estrogen memang berperan pada patogenesis LES.
Beberapa laporan kasus menunjukkan kontrasepsi oral

yang mengandung estrogen meningkatkan insiden


kobaran. Jungers et al melaporkan insiden kobaran
sebesar 43%o pada pasien LES dengan nefritis yang
menerima kontrasepsi oral, sebaliknya Julkunen et al
tidak menemukan kobaran pada 31 pasien LES yang
memakai kontrasepsi oral selama 12 minggu, sedangkan
Buyon et al melaporkan insiden kobaran sebesar 130lo

pada pasien LES yang memakai kontrasepsi oral.


Studi Safety of Estrogens Lupus Erythematosus National
Assessment (SELENA) di AS yang sedang berlangsung

adanya makroprolaktinemia yang persisten akibat adanya

akan memberi informasi yang lebih baik tentang pengaruh

antibodi antiprolaktin. Diduga peningkatan prolaktin

kontrasepsi estrogen pada LES.

meningkatkan aktivitas LES dan berperan pada kobaran


postpartum. Sebaiknya pada ibu menyusui dilakukan

pemantauan yang lebih ketat untuk mengantisipasi


kobaran.

Terdapat peningkatan insidens tromboemboli pada


pasien LES dengan ACA yang menggunakan kontrasepsi
oral lebih banyak. Kontrasepsi oral tidak boleh diberikan
kepada pasien dengan ACA. Pada pasien LES muda,

2586

RE[,MIIiIOT.OGI

normotesii tanpa ACA dan riwayat keluarga dengan


tromboemboli, dan penyakit yang inaktif stabil tidak

REFERENSI

dikontradiksikan untuk kontrasepsi oral. Pemantauan ketat


tanda tromboemboli harus dilakukan selama penggunaan

Boumpas

kontrasepsi oral. Progestogen dan depot progestogen


(Depo-Provera) dapat digunakan pada LES sebagai
pengganti preparat estrogen, tetapi dapat memberi efek

samping seperti iregularitas menstruasi, amenore,


spooting, edema dan peningkatan berat badan. IUD pada
pasien LES sering menimbulkan infeksi terutama pada
pemakai imunosupresan. Paling aman adalah kontrasepsi
mekanis seperti kondom dan diafragma.

Dl Howard A. Austin tIA, Ellen M. Vaughan EM, Cheryl


H. Yarboro, CH John H. Klippel JH, James E. Ballow JE.
Risk for sustained amenorrhea in patients with systemic lupus
erythematosus receiving intermittent.

Cortez-Hemandez J, Ordi-Ros J, Prededes F, Casselas

M, Castillo F,
Villardel-Tarres. Clinical predictors of fetal and maternal
outcome in systemic lupus erythematosus: A prospective study
on 1 03 pregnancies. Rheumatol.ogy 2002;4 | :643 -50.

CostedoalChalumeau N, Amoura Z,Hong DLT, Wechler B, Vauthier-

D, Ghilani P, Papo T fain O, Musset L, Piette JC.


Question about dexamethasone use for the prevention of
anti-SSA related congenital heart block. Ann Rheum Dis
Brouzes

2003:62:1O1

.
.
.
.

Estrogen dosis rendah dapat diberikan kepada pasien


dengan penyakit inaktif, tanpa risiko tromboemboli dan ACA
negatif
Progestogen dapat digunakan jika estrogen merupakan
kontraindikasi
IUD dapat meningkatkan risiko infeksi intrauterine.
Kondom dan diafragma paling aman

O-1 2.

Danesy R, Del Tacca M. Teratogenesis and immunosuppressive


treatment (abstract). Transplant Proc. 2004 Apr;36(3):7 05 -7 .
Georgiou PE, Politi EN, Katsimbri P, Sakka V, Drosos AA.,Outcome

of lupus pregnancy: A controlled study.

Rheumatology

2000;39:1014-19
Huong DLT, Wechsler B, Vautjier -Brouzes D, Seebacher J, Lefebvre,
Bletry O, Darbois J, Godeau P, Piette JC. Outcome of planned

pregnancies in systemic lupus erythematosus: A prospective


study on 62 pregnancies. Brit J Rreumatol. 1991;36-.712-777.
Hardy CJ, Palmer BP, Morton SJ, Muir KR, Powell RJ. Pregnancy
outcome and family size in systemic lupus erythematosus. A
case control study. Rheumatology 1999;38:559-663.
Ioannou Y, Isenberg DA. Current concepts for the management of
systemic lupus erythematosus in adults: a therapeutic challenge
Postgraduate Medical Iowr,al 2002;7 8:599-60.

402
SINDROM VASKULITIS
Laniyati Hamijoyo

PENDAHULUAN

Vaskulitis adalah suatu proses inflamasi pada pembuluh


darah dan menyebabkan kerusakan struktur dinding

pembuluh darah. Kehilangan integritas dinding


pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan, dan
adanya gangguan pada lumen pembuluh darah
menimbulkan iskemik maupun nekrosis. Secara umum,
vaskulitis dapat mengenai berbagai ukuran, tipe maupun
lokasi pembuluh darah, dan berhubungan dengan suatu
kelainan yang spesifik. Vaskulitis dapat terjadi sebagai
suatu proses primer ataupun sekunder dari penyakit lain

(penyakit reumatik, keganasan atau infeksi dll.).


Pembahasan di sini lebih ditujukan kepada vaskulitis
pnmer.

Eploeutolocr
Epidemiologi vaskulitis masih sulit dilaporkan karena
beberapa hal, antara lain: 1) kejadian vaskulitis yang masih

relatif jarang; 2) seringkali ditemukan kesulitan dalam


menegakkan diagnosis vaskulitis yang tepat (terutama
untuk membedakan satu bentuk vaskulitis dari yang lain);
3) kenyataan penyebab sebagian besar vaskulitis masih
belum diketahui; dan 4) riwayat ketidak pastian dalam
klasifikasi vaskulitis ini. Meskipun demikian epidemiologi
beberapa jenis vaskulitis telah dilaporkan.
Gambaran epidemiologi vaskulitis sangat bervariasi
sesuai dengan sebaran geografi. Variasi ini dapat

sutera. Demikian juga arteritis Takayasu dilaporkan hanya

ada 3 kasus baru per tahun di AS namun dilaporkan


merupakan penyebab paling sering stenosis arteri renal di
India, dimana insidensnya mencapai 200-300 kasus per satu
juta penduduk.

Usia juga merupakan suatu pertimbangan penting


dalam menegakkan diagnosis vaskulitis. Delapan puluh
persen penderita penyakit Kawasaki berusia di bawah 5
tahun. Sebaliknya arteritis temporalis tidak pemah terjadi
pada penderita berusia kurang dari 50 tahun. Usia juga
berpengaruh pada parahnya penyakit dan prognosis
penderita. Pada purpura Henoch Schonlein, mayoritas
kasus te{adipada anak-anak danumumnya sembuh sendiri

dalam beberapa minggu. Namun pada orang dewasa


sering menjadi kronis dan menyebabkan gangguan ginjal
yang buruk.

Distribusi jenis kelamin juga berpengaruh terhadap


bentuk vaskulitis. Penyakit Buerger predominan pada pria.
Predileksi tersebut mungkin disebabkan karena prevalensi
merokok lebih banyak di antara kaum pria. Sebaliknya arteritis Takayasu bertendensi lebih sering terjadi pada
wanita (9:1) dibandingkan pria, kenyataan ini masih belum
dapat dijelaskan hingga saat ini.
Beberapa bentuk vaskulitis lebih banyak pada suatu
etnik tertentu misalnya granulomatosa Wegener dan
arteritis temporalis lebih banyak pada orang kulit putih
sedangkan Takayasu dan Kawasaki lebih banyak pada
keturunan Asia.

Meskipun faktor risiko genetik tidak diragukan


merupakan faktor yang penting, namun kejadian vaskulitis
dalam keluarga sangat jarang. Hal ini menunjukkan bahwa

merefl eksikan keterlibatan faktor genetik, paparan terhadap


lingkungan yang berbeda, dan prevalensi faktor risiko yang
lain. Sebagai contoh penyakit Behcet, jarang sekali terjadi

di utara Amerika namun angka kejadian penyakit ini

penyakit ini poligenik dan kompleks. Contoh salah


satu vaskulitis yang berhubungan suatu gen tertentu
dengan vaskulitis adalah penyakit Behcet dengan gen

beberapa ratus kali lebih banyak di negara-negara jalur

HLA-Bs1.

2587

2588

REUMATOI.OGI

PATOGENESIS
Mekanisme pasti yang mendasari kelainan ini masih belum
jelas. Ada beberapa patogenesis berbeda yang diajukan
untuk membantu menjelaskan mengapa lesi pada jenis
vaskulitis tertentu hanya ditemukan pada pembuluh darah
tertentu.
1. Distribusi antigen yang bertanggung jawab terhadap
vaskulitis menentukan pola pembuluh darah yang
terlibat.
2. Akumulasi infiltrat radang ditentukan oleh sel endotel,
termasuk ekspresi dari molekul adhesi, sekresi peptida
dan hormon, dan interaksi yang spesifik dengan sel-sel

Selama lebih dari setengah abad, berbagai klasifikasi


vaskulitis telah diajukan, namun sampai saat ini belum ada
yang memuaskan, karena pengetahuan mengenai kondisi
penyakit ini terus berkembang. Semua skema klasifikasi
masih terus dalam perbaikan.

Vaskulitis dapat dibedakan berdasarkan pembuluh


darah yang dominan terlibat (Tabel 1).

Pembuluh darah yang


dominan
Pembuluh darah besar:

inllamasi.
Beberapa sel inflamasi lebih lanjut menarik sela-sel

Pembuluh darah sedang

radang, sementara sel yang lain tidak. Struktur non-endotel

dinding pembuluh darah bekerja mengontrol proses


keradangan. Selain sel endotel yang berfungsi sebagai
ko-stimulator, komponen sel-sel lain berfungsi sebagai
antigent presenting cell (APC) dan berkontribusi terhadap
mediator proinflamasi. Inflamasi umunmya terjadi pada
pembuluh darah arteri, namun dapat juga melibatkan

Pembuluh darah sedang


dan kecil
Pembuluh darah kecil

Tipe vaskulitis
Arteritis temporal (Giant cell
afteritis)
Arteritis Takayasu
Poliladeritis nodosa
Penyakit Kawasaki
Granulomatosa Wegener
Sindrom Churg-Strauss
Poliangiitis mikroskopi
Purpura Henoch-Schonlein
Kriog lobu linem ia

Vaskulitis lekositoklastik
kutaneus

pembuluh vena maupun kapiler.

Tanda dan gejala khas keradangan vaskular timbul


akibat gangguan fungsi dan perfusi serta terjadi kerusakan
pada organ yang terkena, contoh ekstrim adalah terjadinya
infark organ akibat adanya proses inflamasi pada lumen
pembuluh darah. Secara histologi, inhltrasi mielomonosit
yang prominen tampakpada dinding pembuluh darah yang

terlibat.

Infiltrasi granuloma seringkali tampak

sebagai

gambaran khas beberapa tipe vaskulitis. Infiltrasi ini pada

pembuluh darah arteri kadang menyebabkan destruksi


lamina elastik interna dan menimbulkan kelainan pada
lapisan intima, medial dan adventisia, membentuk trombus
dan menyebabkan oklusi total lumen pembuluh darah.

KLASIFIKASI
Vaskulitis seringkali merupakan penyakit yang serius dan
fatal yang membutuhkan deteksi dan terapi yang cepat.
Gejala yang melibatkan organ tubuh dapat muncul secara
terisolasi maupun kombinasi dengan keterlibatan organorgan lain. Keterlibatan suatu organ tertentu dapat menjadi
petunjuk untuk jenis vaskulitis tertentu namun dapat juga
terjadi overlap. Keterlibatan berbagai organ pada penyakit
vaskulitis ini dengan beragam manifestasi menjadi suatu
tantangan bagi klinisi untuk menegakkan diagnosa dan

memberikan terapi yatg tepat. Selain itu, pengenalan


proses patologik yang tepat sedini mungkin dapat
menolong mencegah sekuele yang berat yang dapat terjadi
akibat penyakit ini. Pengobatan dini yang tepat dan efektif
dapat memberikan perbaikan klinis maupun fungsional
yang berarti bagi penderita.

Klasifikasi vaskulitis berdasarkan konsensus


Ghapel Hill 1994
American college of Rheumatolog (ACR) mengeluarkan
suatu seri klasifikasi vaskulitis pada tahun 1990 yang
mengelompokan tujuh kelainan vaskulitis. Kriteria ini
dirancang untuk mengidentifikasi kelainan inflamasi pada
pembuluh darah danjugauntuk membedakan satu kelainan
vaskulitis dari yang lain (Tabel2)
Pada tahun 1994 suatu panel intemasional yang terdiri
dari para dokter dan ahli patologi mengeluarkan suatu
konsensus yang dinamakan Konsensus Chapel Hill untuk
menjawab beberapa kebingungan dalam kriteria yatg
dikeluarkan olehACR I 990. (Table 3).
Mereka mengemukakan penjelasan terhadap definisi
penyakit dan menetapkan terminologi diagnostik standart

yang digunakan dalam menggambarkan vaskulitis.


Klasifikasi yang dilakukan adalah menggolongkan
keradangan pembuluh darah berdasarkan kaliber pembuluh
darah yang terlibat. Pembuluh darah besar meliputi aorta
dan cabang-cabang paling besar (misalnyaartei subklavia
dan karotid); pembuluh darah sedang meliputi arteri utama

yang memberikan suplai darah ke organ-organ dalam


(misalnya arteri renal, hepatika, koroner dan mesenterika);
dan pembuluh darah kecil meliputi arteriol, kapiler dan
venul, termasuk di dalamnya arteri kecil yang memperdarahi
parenkim organ-organ yang terlibat (misalnya arteri renal
tetminal yang berhubungan dengan arteriol aferen pada
ginjal). Sebagai tambahan dari kriteria ACR, klasifikasi
Chapel Hill ini mengikutkan kadar antibodi sitoplasmik anti
netrofil (ANCA) dalam penentuan diagnosis. Contohnya

2589

SINDROMVASKULMS

Vaskulitis pembuluh darah besar


Arteritis temporalis
(Giant cell afteritis)

Arteritis Takayasu

Usia 250 tahun

Awitan nyeri kepala baru


LED >50 mm/jam
Bukti histologik arteriiis nekrosis, dengan inflamasi granulomatosa
disertai sel-sel giant yang multinuklear

Usia <40 tahun


Klaudikasio pada ekstremitas
Penurunan pulsasi arteri brakialis
Perbedaan tekanan darah sistolik >'10 mmHg antara kedua lengan
Bruitpada arteri subklavia atau aorta
Bukti adanya penyempitan atau oklusi pada aofta, cabang
primernya atau arteri besar ekstremitas proksimal atas maupun
ekstremitas bawah pada arteriografi

Vaskulitis pembuluh darah sedang


Poliarteritis nodosa

Penurunan berat badan >4 kg


Livedo retikularis
Nyeri dan nyeri tekan testikular
Mialgia

Mononeuropati atau polineuropati


Tekanan darah diastolik >90 mmHg
Peningkatan kadar BUN atau serum kreatinin
Adanya hepatitis B antigen dalam serum
Arteriografi abnormal
Pada biopsi terdapat infiltrasi granulosit atau leukosit campuran
pada dinding pembuluh darah

Vaskulitis pembuluh darah kecil


Granulomatosa
Wegener

Hematuria (sediment sel eritrosit atau >5 sel darah merah per
lapang pandang kecil)
Kelainan pada foto toraks (nodul, kavitas atau infiltrat)
Ulkus mulut atau sekret hidung
Bukti histologi adanya keradangan granulomatosa

Sindrom Churg-

Asma
Eosinofilia >1Ook pada hitung jenis lekosit
Mononeuropati (termasuk multipleks), polineuropati
lnfiltrat pada paru yang tidak menetap
Kelainan sinus paranasal
Bukti histologi adanya eosinofilia ekstravaskular pada dinding
pembuluh darah

Strauss

Purpura Henoch-

Usia s20 years

Sch6nlein

Purpura yang dapat diraba


Nyeri perut akut
Bukti histologi adanya granulosit pada dinding pembuluh darah
arteriol atau venul

Vaskulitis
hipersensitivitas

Usia >16 tahun

Riwayat obat-obatan pada saat awitan penyakit yang mungkln


merupakan faktor presipitasi
Purpura yang dapat diraba; ruam makulopapular
Bukti histolooi adanva qranulosit sekitar arteriol or venul

Klasifikasi vaskulitis berdasarkan konsensus Chapel Hill 1994

2590

REUMANOI.OGI

granulomatosa Wegener, sindrom Churg-Strauss dan


poliangiitis mikroskopi berhubungan erat dengan ANCA
yang positif.
Selain itu kriteria ACR tidak memisahkan
poliangiitis mikroskopi sebagai suatu kriteria tersendiri
melainkan memasukkannya kedalam PAN. Istilah vaskulitis

hipersensitif dihilangkan karena bukti adanya


hipersensitivitas sering tidak ditemukan pada
banyak kasus, mereka lebih memilih istilah angiitis
lekositoklastik kutaneus karena penyakit ini tipikal
melibatkan kulit dan predominan sel netrofil. Berbeda
dengan poliangiitis mikroskopi, angiitis lekositoklastik
kutaneus tidak melibatkan ginjal, paru-paru, saraf
perifer dan organ dalam lainnya dan tidak berhubungan
dengan ANCA.

Klasifikasi vaskulitis untu k pediatrik berdasarkan


EULAR2006
Dengan berkembangnya jaman, kriteria vaskulitis ini masih

dirasakan belum sempurna karena ifi Pediatric Rheumatologt European Sociegt (PRES) dan European League
against Rheumatism (EULAR) berusaha mencari koreksi
terhadap kekurangan dalam kriteria klasihkasi vaskulitis

khususnya untuk penderita anak-anak. Alasan dibuat


suatu klasifikasi baru ini adalah tidak semua vaskulitis
dijumpai pada anak, dan adanya perbedaan etiologi,
manifestasi klinis, faktor prognosis penderita anak dengan
dewasa terutama unfuk penyakit granulomatosa Wegener
dan

poliarteritis nodosa. Pada tahun 2006 panelis kelompok

kerja ini menl,usun kriteria klasifikasi untuk lima vaskulitis

yang bermanifestasi pada anak-anak yaitu: purpura

Vaskulitis pembuluh darah


besar
Arteritis temporalis (Giant cell

Arteritis granulomatosa yang melibatkan aoda dan

arteritis))

cabang utamanya dengan predileksi cabang-cabang


ekstrakranial arteri karotis. Sering mengenai arteri
temporalis Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50
tahun dan sering dihubungkan dengan polimialgia

Arteritis Takayasu

reumatika
Keradangan granulomatosa aorta dan cabang-cabang
utamanya Biasanya terjadi pada usia kurang dari 50
tahun.

Vaskulitis pembuluh darah


sedang
Poliarteritis nodosa

Keradangan nekrosis pembuluh darah sedang dan


kecil tanpa glomerulonefritis atau vaskulitis pada

Penyakit Kawasaki

Arteritis yang melibatkan arteri besar, sedang dan

arteriole, kapiler dan venul.

kecil , serta berhubungan dengan sindrom

mukokutaneus- kelenjar getah bening Arteri koronaria


sering terkena, juga aorta dan vena. Umumnya terjadi
pada anak-anak.

Vaskulitis pembuluh darah kecil


Granulomatosa Wegener *)

Keradangan granulomatosa yang melibatkan traktus

respiratorius, vaskulitis pembuluh darah kecil dan


sedang (seperti kapiler, venul, arteriol dan arteri)
Sindrom Churg-Strauss.)

Umumnya terjadi glomerulonefritis nekrosis


Hipereosinofilia dan keradangan granulomatosa yang
melibatkan traktus respiratorius, dan vaskulitis

nekrosis yang mengenai pembuluh darah kecil dan


serta berhubungan dengan asma dan

sedang,
Poliangiitis mikroskopi.)

Purpura Henoch-Schonlein

eosinofilia.
Vaskulitis nekrosis dengan sedikit atau tanpa deposit
imun, mengenai pembuluh darah kecil (seperti kapiler,
venul dan arteriol) Arteritis nekrosis yang melibatkan
arteri kecil dan sedang. Glomerulonefritis nekrosis
dan kapilaritis pulmonal sering terjadi
Vaskulitis dengan deposit imun lg-A yang dominan,
mengenai pembuluh darah kecil (seperti kapiler, venul

dan arteriol). Penyakit ini khas melibatkan kulit,


saluran cerna dan glomerulus, dan berhubungan
Vaskulitis hipersensitivitas

') berhubungan dengan ANCA

dengan artralgia atau artritis.


Vaskulitis dengan deposit imun krioglobulin, mengenai
pembuluh darah kecil (seperti kapiler, venul atau
arteriol) dan berhubungan dengan krioglobulin dalam
serum. Kulit dan glomerulus sering terlibat.

2591

SINDROMVASKULITIS

Henoch-Schonlein, penyakit Kawasaki, poliarteritis


nodosa, granulomatosa Wegener dan arteritis Takayasu
(Tabela)

membagi kelainan tertentu berdasarkan pembuluh darah


yang terlibat. Sehingga keterlibatan pembuluh darah
sedang bersama pembuluh darah kecil dapat terjadi.

PR3-ANCA: proteinase 3 antineutrophil cytoplasmic


antibodies atau C-ANCA: cytoplasmic -ANCA
Klasifikasi kriteria berdasarkan EULAR ini lebih jauh

PATOFISIOLOGI

membagi vaskulitis pembuluh darah kecil menjadi


keradangan granulomatosus dan bukan granulomatosus.
Panel ini mengusulkan penggunaan kata predominan dalam

Pembentukan kompleks imun dan deposit produknya pada

pembuluh darah dapat menerangkan patofisiologi

Vaskulitis pembuluh darah besar


Arteritis

Takayasu

Kriteria wajib: Angiografi yang abnormal pada aorta atau cabang-cabang


utamanya (secara konvesional, CT atau MRI)

ditambah'r'"i::i:"ty!;:3:,::::Trterr
periter atau kraudikasio ekstremitas;
perbedaan tekanan darah >10 mmHg;
bruitpada aorta atau cabang-cabang utamanya;

Vaskulitis pembuluh darah sedang


Poliarteritis nodosa pada anak

Kriteria wajib: Suaiu penyakit sistemik yang khas dengan adanya vaskulitis
nekrosis arteri kecil dan sedang pada biopsi ATAU angiografi yang abnormal
(aneurisma atau oklusi)
ditambah >2 kriteria berikut:
keterlibatan kulit (livedo retikularis; nodul subkutaneus yang nyeri
pada penekanan dan lesi vaskulitis lain);
mialgia atau nyeri tekan otot;
hiperlensi sistemik (relatif terhadap data normotensi pada anak);

mononeuropatiataupolineuropati;

analisis urin yang abnormal atau gangguan fungsi ginjal;


nyeri dan nyeri tekan testis;
tanda dan gejala mengarah pada vaskulitis sistim organ tubuh
(gastrointestinal, jantung, pulmonal atau sistim saraf pusat)
Kriteria wajib: Demam menetap sekurang-kurangnya 5 hari ditambah >4 dari
5 kelainan berikut:
Adanya perubahan pada ekstremitas bagian perifer atau area
perineal;
eksantem polimorfi;
injeksi konjungtiva bilateral;
perubahan pada bibir dan rongga mulut (injeksi mukosa mulut dan
farings);
limfadenopatiservikal;
Jika terdapat keterlibatan arteri koronaria (terdeteksi lewat ekokardiografi
maka demam ditambah <4 kriteria di atas sudah mencukupi

Penyakit Kawasaki

Vaskulitis pembuluh darah kecil


Granulomatosus

Granulomatosa Wegener

No

-g ra n u

lomatos

Harus terdapat >3 di antara 6 kondisi berikut:


urinalisis yang abnormal (hematuria atau proteinuria);
keradangan granulomatosa pada biopsi;
keradangan sinus nasal;
stenosis subglotis, trachea atau endobronkhial;
Radiografi toraks atau CT scan yang abnormal;
PR3-ANCA atau C-ANCA positif

Purpura Henoch-Schonlein

Kriteria wajib: Purpura yang dapat diraba


Ditambah adanya >1 di antara 4 kondisis berikut:
Nyeri abdomen yang difus;
Bukti histologis adanya predominan deposisi lgA;
artritis atau adralgia;
keterlibatan ginjal (baik hematuria maupun proteinuria)

PR3-ANCA: proteinase 3 antineutrophil cytoplasmic antibodies atau C-ANCA: cytoplasmic

ANCA

2592

REI.JMANOI.OGI

vaskulitis ini. Sistim organ yang umumnya terkena adalah

yang kaya akan pembuluh darah kecil seperti kulit


menimbulkan suatu rash lekositoklastik dengan purpura
yang dapat diraba, pada sendi menyebabkan poliartritis
inflamasi dan pada ginjal menyebabkan glomerulonefritis
dengan mediasi imun kompleks. Pada saat kompleks imun
ini menetap pada dinding pembuluh darah, maka timbul
aktivasi jalur efektor (seperti reseptor FcR, kaskade
komplemen klasik). Mediator mediator ini kemudaian
menyebabkan kelainan pada jaringan dan organ fubuh
melalui aktivasi kaskade komplemen dan pengumpulan selsel

mielomonosit.
Mekanisme patofi siologi granulomatosa Wegener atau

poliangiitis mikroskopi berbeda dengan vaskulitis yang


lain. Pada kedua vaskulitis tersebut arteriole dan arteri otot

yang berukuran sedang dan kecil merupakan target


inflamasi sehingga teqadi kerusakan jaringan dan organ
terminal akibat hipoperfusi. Infark dapat melibatkan saraf
perifer, saluran cerna dan fungsi ginjal. Kelompok antibodi

tertentu diperkirakan berperan dalam patogenesis


vaskulitis ini yaitu antibodi anti netrofil sitoplasma
(ANCA) yang bekerja melawan granula sitoplasmik dalam

netrofil polimorfonuklear sirkulasi. Antibodi tersebut


mengikat dan mengaktivasi netrofil yang berada dalam
dinding pembuluh darah, menyebabkan sitoplasmik
melakukan degranulasi dan merangsang respon
keradangan. Hasil akhir adalah kerusakan yang berlanjut
pada dinding pembuluh daran dan jaringan parenkim yang

diperdarahinya.

MANIFESTAS! KLINIS
Meskipun gambaran klinis vaskulitis sangat beragam,
gambaran umum dapat dikelompokan menjadi 5 kategori
klinis yang merujuk kecurigaan ke arah vaskulitis. (Tabel 5).
Gambaran klinis yang pefiama adalah gejala-gejala
konstitusional (seperti demam, malaise, berkeringat, lelah,

. Gejala-gejala konstitusional

2
3

Awitan yang subakut


Tanda dan gejala inflamasi
4 Nyeri
5. Bukti adanya penyakit multisistim

menentukan dengan pasti jam atau hari di mana sakitnya

dimulai. Hal ini seringkali menyebabkan diagnosis


vaskulitis menjadi terlambat. Petunjuk ketiga adalah tandatanda inflamasi berupa demam, artritis, rash, perikarditis,
anemia karena penyakit kronis, atau peningkatan LED yang
bermakna. Nyeri merupakan petunjuk berikutnya, bisa
berasal dari banyak sumber seperti artritis, mialgia, atau
infark pada jari, pembuluh saraf, saluran cerna maupun
testis. Petunjuk kelima adalah penyakit vaskulitis umumnya

menyebabkan kelainan yang melibatkan banyak sistim


tubuh. Kulit, sendi, sistim saraf, ginjal, paru-paru atau
saluran cerna merupakan organ target yang sering terkena
pada vaskulitis.
Selanjutnya manifestasi yang timbul dapat dibedakan
menurut tipe pembuluh darah yang terkena (Tabel 6).

Petunjuk manifestasi ini dapat membantu menentukan


pembuluh darah yang terlibat.

DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis vaskulitis merupakan tantangan
bagi paru klinisi, dengan anamnesis yang teliti dan
pemeriksaan fisik yang seksama dan didasarkan pada gejala
umum serta gejala dan tanda yang lebih spesifik bagi
pembuluh darah tertentu yang terlibat, dapat dibangun
suatu alur diagnosis (Gambar 1). Kriteria diagnosis
membantu dalam penggolongan penyakit ini dan biopsi
merupakan kunci pada sebagian besar diagnosis penyakit
vaskulitis.

nafsu makan menurun, dan berat badan turun) . Gej ala -gejala

yang tidak spesifik ini, tanpa adanya tanda yang lebih

khusus untuk suatu penyakit tertentu, biasanya


mengelabui perj alanan panyakit vaskulitis. Petunjuk kedua

adalah awitan yang subakut dalam beberapa minggu


sampai beberapa bulan. Bertolak belakang dengan
penderita infeksi akut, penderita vaskulitis tidak dapat

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium yang abnormal dapat dijumpai
pada penyakit vaskulitis menyertai kelainan klinis yang

terjadi. Beberapa kelainan tidaklah spesifik seperti


peningkatan laju endap darah (LED) dan anemia dapat

Pembuluh darah besar

Pembuluh darah sedang

Pembuluh darah kecil

Klaudikasio ekstremitas
Tekanan darah asimetrik
Tidak ada pulsasi
Bruit
Dilatasi aorta

Nodul kutaneus
Ulkus pada kulit
Livedo retikularis
Ganggren pada jari
Mononeuritis multipleks
Mikroaneurisms

Purpura
Lesi vesikulobulous Urlikaria
G lomeru lonefritis
Hemoragik alveolus
Granuloma kutaneus
nekrosis ekstravaskular Splinter hemoragik
Uveitis/episkleritis/skleritis

2s93

SINDROMVASKULITIS

Artritis
granulomatosa pada
penderita > 50thn

Artritis
granulomatosa Pada
penderita < 50thn

I
I

Atlnlis Giant Cell

Artntis takayasu

tanpa
bening

Artritis nekrosis dengan


Artritis nekrosis
sindrcma mukokutaneus sindroma mukokutaneus
kelenjar getah bening
kelenjar getah

tl

tt

pAN

Penyakit Kawasaki

Kompleks imun dalam pembuluh darah

lmunoglobulin daiam pembuluh darah


(berhubungan dengan ANCA)

Krioglobulin
dalam darah dan
oembuluh darah

reumatoid

Vaskulitis lmun
kompleks yang lain

Vaskulitis
kriglobulin

Vaskulitis SLEI
artritis reumaioid

Sumber lain
lmun kompleks
I

tanpa
ataupun
granuloma

Vaskulitis
asma

J++

I
I

MPA

tapi
asma

Granuloma
tidak ada

Hipereosinofilia,
asma, granuloma
I

SLEI

Sindrome Churg
Vaskulitis
artritis Agranulomatosa Strauss
wegener

Gambar '1. Skema untuk membantu diagnosis penyakit vaskulitis

ditemukan pada penyakit kronis yang lain. Beberapa hasil


laboratorium dapat memberikan hasil yang lebih spesifik
untuk kelainan vaskulitis seperti ANCA.

Pemeriksaan radiologi tergantung pada pembuluh


darah yang terlibat. Radiografi polos jarang memberikan
petunjuk penting kecuali gambaran sinusitis dan rontgen

dada pada granulomatosa Wegener (namun seringkali


memberikan gambaran yang tidak spesifik), CT scan lebih

sensitif dalam keadaan ini. Angiogram biasanya lebih


membantu dalam menegakkan diagnosis arteritis Takayasu,

poliarteritis nodosa dan vaskulitis pada susunan saraf


pusat.

Biopsi pada jaringan yang terlibat merupakan metoda


yang paling sering dapat membantu menegakan diagnosis vaskulitis. Secara umum biopsi pada area yang

simptomatik memberikan hasil positif sampai

66oh,

Pewarnaan tertentu kadang-kadang diperlukan untuk


menunjukkan derajat kerusakan pada lapisan arteri tedentu
atau adanya deposisi kompleks imun.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding vaskulitis sangatlah banyak. Salah satu
adalah penyakit infeksi yang menyerupai gejala vaskulitis

terutama bentuk diseminata. Infeksi

ini menyebabkan

gangguan pada berbagai organ menyerupai vaskulitis.


Dapat pula vaskulitis merupakan bagian dari infeksi itu
sendiri. Diagnosis banding yang lain adalah keganasan
termasuk kelainan limfoproliferatif dan mieloproliferatif,
metastasis dari suatu karsinoma.

Terapi dan Prognosis


kortikosteroid digunakan, sebelum tahun
1950-an, prognosis vaskulitis sangat buruk, dengan
harapan hidup 5 tahun hanya sekitar 15%. Setelah
Pada era sebelum

penemuan kortikosteroid dan penggunaannya pada


vaskulitis lebih dari 50% penderita tertolong.

Setelah pengenalan terapi imunusupresif dan


kemoterapi sebagai lini kedua terapi vaskulitis, terutama
siklofosfamid. Obat ini berpotensi mencapai remisi

penyakit, menurunkan kebutuhan dosis tinggi


kortikosteroid lebih cepat. Obat-obat lain yang digunakan
adalah azathioprin, klorambusil, dan metotreksat.
Sampai tahun-tahun terakhir strategi pengobatan
terhadap vaskulitis masih terbatas, dan masih kurang
penelitian dengan rancangan acak berganda kontrol
palsebo dalam terapi vaskulitis ini. Pengobatan dengan
agen biologi masih dikembangkan saat ini. Beberapa kasus
dilaporkan berespons baik terhadap agen terebut

2594

ARTERITIS TAKAYASU

Arteritis takayasu merupakan suatu inflamasi kronis,


progresifdan menyebabkan oklusi pada aorta dan cabangcabangnya. Autoimun mediasi sel mempunyai peran
penting terhadap mekanisme kerusakan pada pembuluh
darah.

REI.JMAIOI.OGI

Kelainan jantung antara lain regurgitasi aorta, angina,

infark miokardium, kardiomiopati dan miokarditis, gagal


jantung kongestif (penyebab utama kematian), aritmia dan
kematian mendadak.
Pada saluran napas dapat terjadi hipertensi pulmonal
(sering asimptomatik), hemoptisis, pleuritis, gangguan test
fungsi paru, gambaran abnormal pemeriksaan ventilasi/

perfusi (seringkali salah didiagnosis sebagai penyakit

Epidemiologi
Meskipun arteritis Takayasu memiliki distribusi di seluruh
dunia namun dalam observasi didapatkan lebih banyak di
Asia dan India daripada di Eropah dan Amerika, dengan
insidens diperkirakan 2,6 kasus perl juta penduduk per
tahun. Penderita dari Jepang dilaporkan lebih banyak
mengalami vaskulitis pada arkus aorta, dan penderita yang
berasal dari India lebih sering mengalami arleritis pada
arteri abdominalis dan torakalis, sementara di Amerika
serikat lebih banyak dilaporkan keterlibatan arteri subklavia

kiri, mesenterika superior dan aorta abdominalis.


Arteritis ini dilaporkan 80% teqadi pada wanita, berusia
rata-rata 30 tahun. Kurang dari l5o/o kasus yang terjadi
pada usia lebih dari 40 tahun.

Patogenesis
Penyebab arteri Takayasu ini belum diketahui hingga saat
ini. Faktor genetik mungkin berperan dalam patogenesis
arteritis ini, dengan kemungkinan keterkaitan kompleks
histokompatibiliti mayor. Pada penelitian di Jepang dan

Korea didapatkan adanya hubungan dengan human


leukocyte anligezs (HLA) -A10, 85, Bw52, DR2, dan DR4.
Namun hubungan ini belum terbukti pada penelitian di
negara trarat. Sementara di Amerika serikat didapatkan
berhubungan detga HL A-822.
Infiltrasi mononuklear pada lapisan adventisia terjadi
lebih dulu dalam perjalanan penyakit arteritis Takayasu.
Perubahan granulomatosa dapat diamati pada tunika
media dengan sel-sel Langerhans dan nekrosis sentral
serabut elastis. Gambaran panarteritiss dengan infiltasi
limfosit, sel plasma, histiosit dan sel giant dapat ditemukan,
selanjutnya terjadi fibrosis tunika media dan penebalan
tunika intima. Aktivasi endotelium menyebabkan status
hiperkoagulobilitas yang merupakan predisposisi terhadap
trombosis, selanjutnya diseksi pembuluh darah atau
aneurisma bisa terjadi pada area yang mengalami

keradangan.

Gejala klinis

tromboemboli).

Gejala vaskular lain yang bisa ditemukan adalah:


klaudikasio pada daerah rahang bawah.
Manifestasi yatgdapatterjadi pada ginjal antara lain:
hipertensi renovaskular (paling sering), glomerulonefritis
proliferatif mesangial dengan deposit imunoglobulin M,

G A dan C3 pada mesangial, glomerulonefritis


membranoproliferatif dan kresentik dan amioloidosis ginj al
(arang).
Pada kulit bisa ditemukan lesi nodular subakut yang
berulserasi, eritema nodosum, erupsi papulonekrosis, lesi
papular eritematosus pada tangan, gangrenosa pioderma
dan eritema multiform. Manifestasi pada gastrointestinal
berupa mual, muntah, diare dan nyeri abdomen dan kadang

terjadi perdarahan akibat iskemik pembuluh darah


mesenterium.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium. Reaktan fase akut dan parameter klinis yang
umumnya dipakai untuk menilai penyakitkeradangan akut
tidak seluruhnya merefleksikan inflamasi aktif pembuluh
darahpada penyakit arteritis Takayasu. Laju endap darah
(LED) umumnya meningkat pada sebagian besar kasus
namun tidak semua pasien dengan inflamasi aktif. Petanda
lain termasuk endotelin- 1 , faktor von Willebrand, antigen
faktor VIII dan trobomodulin yang dapat ditemukan namun
tidak adekuat untuk menilai aktifnya penyakit.

Radiologi. Meskipun pemeriksaan CT scan, atau MRI


menunjukkan pola khas stenosis atau aneurism apada al.tei,
angiografi tetap merupakan kriteria standard untuk diagnosis dan evaluasi perjalanan penyakit. Namun penelitian

belakangan

ini

menyimpulkan bahwa modalitas

pemeriksaan noninvasif seperti MRI, USG dan positron


emission tomogragphy (PET) scan dapat digunakan untuk

mendiagnosis awal penyakit dibandingkan dengan


angiografi standart dan dapat digunakan untuk memantau
aktivitas penyakit.
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah
magnetic resonance angiography (MRA) yang sama
atau bahkan lebih sensitif daripada angiografi untuk

Gejala umum vaskulitis (lihat Tabel 6) dapat ditemukan


ini dan gejala-gejala khusus yang
telah disebutkan dalam kriteria klasifikasi di atas.
Gejala neurologis berupa serangan iskemik transien,
stroke hemoragik atau iskemik, kebutaan pemanen atau

brakhiensefalik namun kurang sensitif dalam mendeteksi


cabang-cabangyalg lebih kecil yang terlibat. CT helical
scanning angiography juga telah terbukti lebih sensitif

sementara, nyeri kepala, kejang dan sindromasubclavian steal.

dan spesifik sebagai alat diagnostik. Sementara

pada arteritis Takayasu

menilai lesi dalam aorta dan cabang-cabang arteri

2595

SINDROMVASKULITIS

USG doppler dapat memberikan detail dinding pembuluh


darah, lumen dan aliran darah. Alat ini berguna untuk
skrining dan memantau arteritis terutama yang melibatkan
arleri carotis dan subklavia.

tidak beraturan dan lumennya menj adi sempit. Arteritis ini

berkembang menjadi stadium sklerotik dengan fibrosis


pada tunika intima dan adventisia dan terjadi jaringan parut
pada tunika media

Penatalaksanaan
Terapi intervensi termasuk kortikosteroid dengan atau
tanpa pemberian obat sitotoksik. Pemberian kortikosteroid
merupakan terapi utama pada afteritis Takayasu yang aktif'

namun beberapa penderita membutuhkan tambahan

Gambar 2.Penderita Arteritis Takayasu dengan penyempitan


aorta desending proksimal dan arteri brakhiensefalik kanan
(su mber:med scape )

sitotoksik untuk mencapai remisi.


. Kortikosteroid dimulai dengan dosis I mg/kgBB/hari
per oral sekaligus atau dosis terbagi dan diturunkan
bertahap dalam beberapa minggu atau beberapa bulan
setelah gejala berkurang. Dosis rendah steroidjangka
panjang mungkin diperlukan. Prevensi terhadap
osteoporosis harus dipertimbangkan untuk penderita
yang mendapat korlikosteroid jangka panjang.
. Obat sitotoksik diberikan kepada penderita yang
resisten terhadap kortikosteroid atau yang relaps'
Obat-obat ini biasanya dilanjutkan sampai satu tahun
sesudah remisi dan diturunkan secara bertahap sampai
akhirnya dihentikan. Dosis dan pemakaian sebagai
berikut:

Azatioprin 1-2 mgkg BB,4rari per oral (PO)


Metotreks at7 ,5-25 mg/minggu PO atau IM
Siklofosfamid 2 mg,4<gBB,&rari PO (diberikan kepada

penderita dengan kasus yang berat atau resisten)

Siklosporin A, juga digunakan untuk penderita yang


resisten terhadap steroid dengan dosis awal 5 mg/
kgBB/hari dan kemudian 2-3mg,&gBB/hari untuk
pemeliharaan

Mikofenolat mofetil (MMF)

2 glhati PO telah

digunakan bagi penderita arteritis Takayasu yang

resisten terhadap steroid dan obat-obat

imunosupresan Yang lain.

Anti tumor necrosis factor (TNF) dilaporkan dalam


beberapa seri- kasus arteritis Takayasu efektifpada

penderita yang aktif dan relaps meskipun telah

Gambar 3. Aortogram seorang penderita dengan aneurisma aorta


desending dan dilatasi arteri inominata (sumber: medscape)

diterapi dengan steroid dan beberapa obat


imunosupresan. Penelitian randomisasi terkontrol

dengan populasi yang lebih besar terhadap

Diagnosis
Menegakkan diagnosis arteritis Takayasu adalah dengan
biopsi dan dapat dibantu dengan kriteria diagnostik (lihat
Tabel2,3,4).
Biopsi terhadap pembuluh darah sedang dan besar
dapat menegakkan diagnosis pada stadium awal penyakit,
namun pada fase kronik, diagnosis dengan biopsi saja
kurang adekuat. Pada stadium awal terjadi reaksi inflamasi
granulomatosa yang menyeluruh atau sebagian pada
pembuluh darah yang melibatkan makrofag, limfosit dan
sel giantmultinuklear. Inflamasi awalnya terjadi pada vasa
vasontm, di mana pembuluh darah arleri menjadi menebal

penderita arteritis Takayasu menggunakan anti TNF


ini masih diperlukan.
Penatalaksanaan ketat terhadap risiko tradisional
kardiovaskular seperti dislipidemia, hipertensi dan

faktor gaya hidup harus diperhatikan untuk


mengurangi komplikasi sekunder, yang merupakan
kasus utama kematian pada penyakit ini' Sebagai
tambahan dosis kecil aspirin mungkin mempunyai
efek terapi pada vaskulitis pembuluh darah besar'

Terapi Bedah
Lesi stenosis yang kritis harus diterapi dengan angioplasti

2s96

REI.,MATI)I.OGI

atau bedah vaskular pada saat remisi. Indikasi untuk


dilakukan terapi bedah atau angioplasti adalah sebagai
berikut:
. Stenosis renovaskular yang menyebabkan hipertensi
. Stenosis arteri koronaria yang menyebabkan iskemik
miokardium
. Klaudikasio intermiten yang dipicu oleh aktivitas sehari-

hari.

.
.

Iskemia serebral danJatau stenosis pada 3 atau lebih


pembuluh darah serebral
Regurgitasi aorta
Aneurismaarteriabdominalis atau torakalis dengan di-

Koarktasio aofia yang berat

ameter lebih dari 5 cm

Prosedur bypass graft memlllki angka keberhasilan


jangka panjang yang tinggi.

temporalis, dengan adanya laporan kejadian GCA dalam


keluarga, dan penelitian dewasa ini mendapatkan adanya
hubungan GCA dengan gen human leukocyte antigen
(HLA) DR4 varian *040 I dan *0404.
Patogenesis GCA ini diawali oleh sel T pada tunika
intima sebagai respon terhadap antigen yang tidak
diketahui, kemudian merangsang sel T dan makrofag yang
lain untuk menginfiltrasi seluruh lapisan arteri yang terlibat
dan sitokin yang menyebabkan kerusakan lokal pembuluh
darah dan juga berefek sistemik. Ekspresi sitokin inflamasi
yang berbeda dapat menjelaskan manifestasi klinis yang
adapada GCA. Sebagai contoh penderita dengan kadar
interleukin 6 (IL-6) yang tinggi umumnya lebih banyak
mengalami demam dan sangat kurang mengalami kebutaan.

Gejala Klinis
Awitan gejala GCA umumnya perlahan-lahan dalam

Prognosis
Arteritis Takayasu berhubungan dengan morbiditas yang

tinggi dan dapat mengancam jiwa. Perjalanan penyakit


dapat berlangsung bertahun-tahun dengan variasi derajat

aktivitasnya.

Sekitar 20''/o penderita mengalami monofasik dan


sembuh sendiri. Sementara yang lain menjadi progresif atau

relaps dan membutuhkan terapi imunosupresif. Angka


harapan hidup 15 tahun dilaporkan mencapai90-95%

ARTERITIS TEMPORAL

Definisi
Arteritis temporal dikenal juga dengan nama Giant cell
arteritis (GCA), merupakan suatu panarteritis yang ter.ladi
terutama pada orang berusia lebih tua dan lebih sering
mengenai cabang-cabang ekstrakranial arleri karotid.
Komplikasi yang paling menakutkan adalah kebutaan
yang sebetulnya dapat dicegah dengan deteksi dini dan
terapi kortikosteroid.

beberapa minggu sampai beberapa bulan, namun sepertiga


kasus dapat terjadi secara mendadak. Manifestasi paling
sering adalah gejala konstitusional, sakit kepala, gangguan

penglihatan, klaudikasio rahang bawah dan polimialgia


reumatika (PMR). Hampir semua penderita mengalami satu

atau lebih gejala konstitusional seperti demam, lelah,


penurunan berat badan, dan malaise. Berdasarkan telaah
terhadap 247 5 penderita yang dilaporkan menderita GCA
didapatkan 7 60/o dengankeluhan sakit kepala. Sakit kepala

ini dideskripsikan sebagai nyeri fumpul yang sedang dan


paling sering dirasakan di daerah temporal. K-harakteristik
paling konsisten adalah penderita mengungkapkan rasa
nyeri kepala yang baru atau tidak lazim. Pada penderita
yang tidak diobati nyeri mungkin akan menghilang dalam
beberapa minggu walaupun aktivitas penyakit masih terus
berlangsung. Nyeri kepala GCA ini umumnya tidak
berhubungan dengan pemeriksaan fisik yang ditemukan.

Arteri temporal yang abnormal, seperti pembesaran,


bengkak, nyeri tekan atau hilangnya pulsasi, hanya
didapatkan pada seperdua dari semua penderita (lihat
Gambar 4). Beberapa penderita merasakan nyeri tekan
pada kulit kepala saat menyisir rambut.

Epidemiologi
Hampir semua kasus terjadi pada usia di atas 50 tahun
(rata-rata

2 tahun). Insiden GCA sangatlah bervariasi pada

populasi yang berbeda, tertinggi didapatkan di


Skandinavia dan terendah dilaporkan di Jepang dan India
utara. Insiden meningkat dengan bertambahnya usia dari
1,54 kasus per 100.000 orang pada dekade enam menjadi

20,7 kasus per 100.000 orang pada dekade delapan.


Kejadian GCA pada wanita didapatkan dua kali lebih sering
daripada pria.

Patogenesis
Etiologi GCA masih belum diketahui hingga saat ini. Faktor
genetik diperkirakan memegang peran pada arteritis

Gambar 4. Arteri temporalis yang melebar pada seorang penderita

arteritis temporalis (Gambar dikutip dari Hochberg et al (eds)

www. rheumtext com)

2597

SINDROMVASKULITIS

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium. Peningkatan LED > 50% ditemukanpada
:trtpuA:*l itl.lfl

kurang lebih 90% penderita GCA, juga peningkatan CRP.


Anemia normokrom normositer biasanya ringan, dan

trombositosis.
Ophthltl:ttlt

trdiry

(h'rilitll
,irI{ir1

Furial urtcrl

(';lrttlirl

.{11(l

ltft(rr

Radiologi. Ultrasonografi dengan color duplexpada afteri


temporal yang terlibat dapat menunjukkan gambaran "halo"
akibat adanya edema atau stenosis, namun teknik ini tidak
lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan fisik yang
teliti terhadap arteri temporalis. MRI dan CT scan dapat

memberikan penilaian non invasif terhadap penyakit

-1

GCAini.
Gambar 5. Arteri karotid dan cabang-cabangnya

Diagnosis
Gejala hilangnya penglihatan dan diplopia sering
terjadi pada GCA, bisa unilateral atau bilateral, sementara
atau seterusnya, dan sebagian atau seluruh penglihatan.

Hilangnya penglihatan yang berlangsung lebih dari satu


hari biasanya tidak akan pulih kembali. Hal ini sering
menunjukkan adanya neuropati optik iskemia anterior yang
disebabkan oleh oklusi arteri siliari posterior, cabang arteri

oftalmikus, yang memperdarahi nervus optikus. Arteri


oftalmikus adalah cabang dari arteri karotid interna.

Klasifrkasi kriteria dapat dilihat pada tabel2 dan 3. Adanya


abnormal arteri temporalis merupakan nilai prediktif positif
yang tinggi unfuk diagnosis GCA. Meskipun peningkatan
LED yang sangat tinggi (LED>100 mm/jam) sangat

mendukung diagnosis, peningkatan LED yang sedang

tidaklah spesifik dan LED yang normal tidaklah


menyingkirkan diagnosis. Pada prinsipnya diagnosis GCA

diduga berdasarkan gambaran klinis didukung oleh

Kebutaan pada GCA karena oklusi arteri retina lebih jarang

peningkatan LED dan dibuktikan dengan biopsi yang


positif pada afteri temporalis, yang mempakan standart

terjadi. Hilangnya penglihatan pada GCA ini umumnya

emas untuk diagnosis GCA. Gambaran biopsi menunjukkan

berat, lebih dari 80% penderita bahkan tidak dapat melihat


gerakan tangan.

adanya sel giant yang multinuklear.

Kurang lebih 30-50% penderita GCA mengalami


polimialgia reumatika (PMR). PMR didefenisikan sebagai
nyeri dan kaku pada area leher, bahu dan panggul,
biasanya lebih parah dirasakan pada pagi hari. Kriteria
diagnostik untuk PMR terdiri atas: (1) usia >50 tahun, (2)
nyeri dan kaku berlangsung sekurang-kurangnya satu
bulan, melibatkan sekurang-kuratgr'rya2 dari 3 area yang

Penatalaksanaan
Penderita dengan kecurigaan GCA yang mengalami hilang
penglihatan sementara dalam beberapajam harus segera
dirawat dan diberikan methylprednisolone intravena dosis
tinggi (1000 mg/hari) selama 3-5 hari. Beberapa penderita
dilaporkan membaik penglihatannya dengan terapi ini.

neurologi (mononeuritis multipleks, stroke, TIA,

Prednisone (dosis 40-60 mg/hari) harus diberikan


secara klinis diduga kuat menderita
rita segera dirujukuntukbiopsi arteri
temporalis. Respons GCA maupun PMR terhadap steroid
umumnya sangat dramatis dan menunjukkan perbaikan
yang bermakna dalam 2 hari. Dosis inisial prednisone
biasanya diberikan selama 2-4 minggu, kemudian dapat
diturunkan bertahap setiap minggu atau tiap 2 minggu,
sebanyak maksimum l0% dosis total perhari. Dosis yang
terlalu cepat diturunkan atau dihentikan akan
menyebabkan gejala relaps atau rekuren'
Penilaian gejala klinis, pemeriksaan LED dan CRP
secara regular sangat membantu dalam memantau penyakit
penderita. Terapi untuk satu sampai dua tahun umumnya

demensia, halusinasi), gejala keterlibatan arteri besar


(klaudikasio ekstremitas, tekanan darah yang tidak sama
antara kedua lengan, aneurisma aorta torakalis), lesi
menyerupai tumor (terutama pada payudara dan

Metotreksat (10-15 mg/minggu) dapat digunakan


sebagai obat sparing untuk kortikosteroid pada GCA,

disebutkan

di atas, (3) kaku pagi hari berlangsung

sekurang-kurangnya I jam, (4) LED > 40 mm/jam, (5)


Penyakit lain diekslusi kecuali GCA, dan (6) berespon cepat
terhadap pemberian prednison (<20mg/hari). Penderita
umunnyamelaporkan kesulitan turun dari ranjang, bangkit
dari toilet, atau sulit untuk sikat gigi. Pada pemeriksaan
fisik umunya tidak didapatkan kelainan yang bermakna
selain turunnya ruang lingkup gerak sendi baik secara

aktif

maupun pasif.

Gejala lain yang tidak khas dapat ditemukan pada


GCA antara lain gejala pada traktus respiratori (batuk
kering, nyeri tenggorokan dan nyeri pada lidah), gejala

ovarium) dan syndrome of inappropiate antidiuretic


hormone (SIADH).

kepad
GCA.

dibutuhkan, dan beberapa penderita bahkan membutuhkan


prednisone untuk waktu yang lebih lama.

namun pada penelitian masih didapatkan kontroversi'


Pemberian kalsium dan vitamin D maupun bifosfonat

2598

REI,JMANOIOGI

harus disertakan bagi mereka dengan yang mendapat


steroid jangka panjang.
Dosis kecil aspirin (80-100 mglharl) dilaporkan dapat
mengurangi risiko terjadinya kebutaan atau stroke pada

pada otot ditemukan mialgia. Manifestasi pada sarafperifer


adalah mononeuritis multipleks, terjadi pada kurang lebih

Prognosis

60%o penderita dengan PAN. Saraf yang paling sering


terlibat adalah suralis, peronealis, radialis dan ulnaris,
dengan gejala foot drop ata:u wrist drop. Manifestasi
saluran cerna meliputi angina intestinalis dengan keluhan
nyeri perut, sementara pada ginjal berupa inflamasi

Sekitar 30-50% penderita akan mengalami eksaserbasi akut

intraparenkim ginjal dengan hipertensi mediasi oleh renin

GCA.

dalam dua tahun pertama. Pada penderita tersebut


umumnya berespon dengan peningkatan pednison 5-10
mg dari dosis sebelumnya.

akibat adanya keterlibatan arteriol intra renal. Padajantung

terjadi infark miokard dan gagal jantung kongestif. Pada


sistim saraf pusat dapat terjadi ensefalopati atau stroke.
Manifestasi lain PAN adalah keterlibatan mata (skleritis),
pankreas, testis, payudara, ovarium dan ureter.

POLIARTERITIS NODOSA

Defenisi
Poliarteritis nodosa (PAN) yang klasik didefenisikan
sebagai inflamasi nekrosis pada arteri kecil atau sedang
yang tidak melibatkan arteriol atau kapiler dan tidak
berhubungan dengan glomerulonefritis. Dua hal yang
membedakan PAN dari vaskulitis yang lain adalah lebih
melibatkan arteri dari vena dan tidak terdapat keradangan
granulomatosa.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium. Anemia, lekositosis ringan, trombositosis
dan peningkatan CPR atau LED sering ditemukan.
Peningkatan kreatinin dan kadang-kadang sampai gagal
ginjal terminal dapat dijumpai pada PAN yang melibatkan
ginjal, demikian pula peningkatan serum transaminasi pada
keterlibatan arteri hepatik.

Radiologi. Arteriografi mesenterika dapat menunjukkan


aneurisma pada penderita dengan nyeri abdomen pada PAN.

Epidemiologi
Insidens tahunan PAN dilaporkan berkisar antara2-9 kasus
per I juta penduduk per tahun. Kejadian tertinggi (77 kasus

per 1 juta penduduk) dilaporkan di daerah Alaska pada


saat terjadi endemik hepatitis virus B. PAN dapat terjadi
pada semua usia, termasuk anak-anak, namun awitan

tertinggi pada dekade kelima dan keenam, dengan


perbandingan sekitar

2:1

attar a pria danwan ita. Meskipun

Diagnosis
Karena distribusi yang iregular menyebabkan biopsi
kadang-kadang sulit. Jika terdapat lesi purpura pada kulit
dapat dilakukan biopsi kulit. Biopsi pada saraf yang
paling sering dilakukan adalah saraf suralis. Gambaran
histopatologi berupa nekrosis transmural dan fibrinoid

ditemukan etiologi yang pasti.

terdapat infi ltrasi selular pleomorfik (sel polimorfonuklear


dan limfosit). Degranulasi netrofil di dalam dan sekitar
dinding arteri membentuk lekositoklastik.

Patologi

Penatalaksanaan.
Sekitar separuh penderita PAN mencapai remisi cukup

PAN dilaporkan timbul setelah infeksi, vaksinasi, atau


penggunaan obat (terutama amfetamin), namun tidak

Distribusi PAN bersifat p atchy, dimanaterdapat area pada

pembuluh darah yang nekrosis dan inflamasi diselingi


oleh area yang sama sekali tidak terlibat sehingga cenderung
terjadi aneurisma terutama pada sirkulasi mesenterika. Organ target yang lain adalah ginjal, sarafdanjantung.

Gejala klinis
Manifestasi klinis PAN biasanya didahului oleh gejala gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, penurunan berat
badan, mialgia dan atralgia dalam beberapa minggu atau
beberapa bulan. Dalam masa ini dapat terjadi kejadian akut

pada berbagai organ (kecuali paru-paru), akibat iskemik


atau infark padajaringan yang terlibat.
Gejala kulit yang ada berupa livedo retikularis, nodul,
papular, ulserasi dan iskemik jari sampai ganggren. Pada
sendi dapat terjadi atralgia terutama sendi-sendi besar, dan

dengan pemberian kortikosteroid saja. Dosis inisial


kortikosteroid adalahl mg/kg BB/hari, selama 4-8 minggu
kemudian diturunkan secara bertahap pada saat penyakit
sudah stabil tanpa ada tanda-tanda aktif. Pemberian
siklofosfamid (dosis 2 mg/kgBB/hari PO atau 0.6 mglm2l
bulan IV) diindikasikan untuk penderita yang refrakter
terhadap terapi kortikosteroid atau penderita dengan

keterlibatan organ vital. Alternatif pengganti untuk


siklofosfamid antara lain klorambusil, azatioprin,
metotreksast, dapson, siklosporin, dan plasmafaresis. Pada
penderita PAN yang berhubungan dengan hepatitis virus
B, pemberian terapi anti virus sangat membanfu.

Prognosis
Tanpa pengobatan PAN akan menjadi fatal umumnya
penderita akan meninggal dalam l-2 tahun. Namun jika

2599

SINDROMVASKULITIS

diobati 80% penderita dapat selamat, dengan sebagaian

Gejala klinis

besar mencapai remisi jangka panjang. Beberapa

MPA dikenal dengan penyakit sindroma pulmonari-renal,


namun pada kenyataanya kelainan yang melibatkan paru
dan sekaligus renal jarang terjadi. Manifestasi klinis yang
paling sering pada MPA antara lain glomerulonefritis,
penurunan berat badan, mononeuritis multipleks, demam

prognostikfaktor yang memprediksi tingginya probabilitas

mortaliti adalah proteinuria >1 grlhari, azotemia,


kardiomiopati, keterlibatan saluran cerna dan penyakit
susunan saraf pusat.
Gejala mononeuritis multipleks yang lanjut umumnya
dapat menimbulkan kecacatan pada penderita. Gejala residu
disfungsi saraf seperti kelemahan otot atau nyeri neuropati
umum ditemukan pada PAN

POLIANGIITIS MIKROSKOPI

Definisi
Poliangiitis mikroskopi (MPA) merupakan suatu vaskulitis
sistemik yang mengenai banyak organ vital dan umumnya
fatal. Vaskulitis nekrosis dengan sedikit atao tanpa
deposit imun kompleks ini melibatkan pembuluh darah kecil
(kapiler, arteriol dan venul) dan kemungkinan pembuluh
darah sedang; dan seringkali berhubungan dengan
glomerulonefritis nekro sis dan kapilaritis pulmonal. Tuj uh
puluh persen penderita MPA ini memiliki positif ANCA.
Penyakit ini dikenal juga dengan poliarteritis mikroskopi,
namun istilah poliangiitis mikroskopi lebih disukai karena
kecenderungan penyakit ini melibatkan baik pembuluh
darah arteri maupun vena.

Epidemiologi
Perkiraan insidens MPA berkisar altara 4 kasus per 1
juta penduduk per tahun, menjadikan MPA lebih banyak
daripada PAN klasik namun lebih sedikit dari Wegener.
MPA, mengenai semua etnik dengan predileksi pada

orang kulit putih, dan perbandingan jenis kelamin


seimbang 1:l antara pria dan wanita. Penyakit ini
mengenai semua usia dengan awitan puncak pada usia
65-75 tahrn

dan berbagai manifestasi kulit.

Pada daerah kepala dan tenggorokan, kelainan yang


ditimbulkan adalah rinitis, sinusitis, dan otitis medtaranpa
keradangan granulomatosa. Lesi pada mata (episkleritis,
konjungtivitis dan keratitis) pernah dilaporkan.

Kelainan pada paru meliputi kapilaritis dengan


manifestasi alveolar hemoragik dan sering hemoptisis. Di
samping itu dapat terjadi fibrosis interstisial dan pleuritis.
Kelainan ginjal paling sering dijumpai mencapai 80%

penderita MPA. Manifestasi klasik

adalah
(RPGN).
Beberapa
glomerulonefritis progresif cepat

penderita mengalami penurunan fungsi ginjal lebih lambat


dalam beberapa bulan. Manifestasi ginjal juga dapat
berupa proteinuri4 hematuria mikroskopi dan sedlmen eriffosit.

Pada sistim saraf terjadi mononeuritis multipleks


dengan pola polineuropati aksonal, distal dan asimetrik.
Gejala awal neuropati vaskulitis biasanya meliputi saraf
sensorik, berupa rasa kesemutan dan distesia, sementara

infark pada saraf motorik menyebabkan kelemahan


otot.
Manifestasi kulit meliputi purpura yatg dapat diraba,
lesi papul atau vesikobulosa dan hemoragik splinter. Ulkus,
nodul dan livedo retikularis juga dapat terjadi dan sering
melibatkan ekstremitas bawah. Artritis dan atralgia juga
sering dijumpai dan bersifat migratori, dapat pauci maupun
poliartritis.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium. Anemia, lekositosis ringan

dan

trombositosis umum dijumpai. Pada MPA terjadi


peningkatan reaktan fase akut dan 60-85% penderita
didapatkan ANCA positif.

Patogenesis
Berbeda dengan purpura Henoch Schonlein dan vaskulitis
krioglobulinemia, MPA umumnya tidak terdapat deposit rmun
kompleks. MPA, granulomatosa Wegener dan sindroma
Churg Strauss dicirikan dengan keberadaan autoantibodi
terhadap sitoplasma yang berisi netrofil dan monosit, yang

Meskipun diagnosis MPA dapat didasari oleh tampilan


klinis dan laboratorium, biopsi tetap lebih pasti dalam
menegakkan diagnosis MPA. Gambaran histologi yang

dikenal sebagai anti-neutrophil cytoplasmic antibodies


(ANCA). ANCA pada vaskulitis merupakan antibodi

glomerulonefritis pauci-imun nekrosis dan vaskulitis

terhadap proteinase 3 (PR3) atau myeloperoxidase (MPO).


Peran ANCA dalam patogenesis MPA adalah melepaskan
enzim litik, menginduksi aderens netrohl ke sel endotelium

dan merangsang netrofil untuk menglisis sel endotelium.


Interaksi antara ANCA dan netrofil ini terjadi lewat ikatan
fragment F(ab), terhadap MPO atau PR3 yang terekspresi
pada permukaan netrofil dan juga oleh ikatan fragmen Fc
nya kepada reseptor Fcy pada netrofil.

Diagnosis

dapat dijumpai adalah kapilaritis pulmonal,


leukositoklastik.

Penatalaksanaan
Karena MPA umumnya melibatkan organ utama (paru,
ginjal dan saraf) maka terapi kombinasi glukokortikoid dan
siklofosfamid merupakan pilihan utama. Pemberian dosis
tinggi steroid (methylprednisolone 1000 mglhari) untuk 3
hari ditambah dengan siklofosfamidbaik oralAari maupun

2600

RELJMA*IOL.oGI

IV/bulan. Setiap penderita yang mendapat terapi untuk


MPA harus diberikan trimetoprim sulfamethoxazole (TMP)
atau dapsone untuk profilaksis terhadap pneumonia oleh
pneumocystis jiroveci (dulu dikenal sebagai p.carinii).
Setelah terapi induksi penderita menjadi remisi maka

terapi kortikosteroid boleh diturunkan bertahap dan


siklofosfamid boleh diganti dengan azattoprine (dosis 2
mgkgAari) atau metotreksat (dosis sampai 25mglminggu).
Optimal durasi dari terapi pemeliharaan ini tidak diketahui

untuk jangka berapa lama, namun disarankan


dipertahankan sampai minimal

tahun setelah remisi. Bila


maka terapi pencegahan
1

terjadi kelainan pada ginjal


perburukan fungsi giryal juga harus segera diberikan
(kontrol tekanan darah, ACE inhibitor, dan restriksi garam).

Prognosis
Jika diagnosis MPA dini dan terapi cepat maka likelihood
tinggi (>90%) untuk mencapai remisi penyakit. Sayangnya
penyakit ini jarang cepat dikenali sebelum terjadi kerusakan
organ. Diperkirakan kurang lebih sepertiga penderita akan

dari respon imun ini belum jelas diketahui, studi in vivo


dan in vitro menunjukan aktivasi sel polimorfonuklear
(PMN) dan monosit menyebabkan translokasi PR3 dari

kompartmen intrasel ke permukaan se1, yang


memungkinkan untuk membentuk antibodi. ANCA
merangsang aktivasi netrofil, degranulasi dan juga
menyebabkan kerusakan sel endotelium.

Gejala Klinis
Sembilan puluh persen penderita WG mengalami kelainan
pada hidung, seringkali ini merupakan gejala awal. Gejala
yang khas meliputi rinorea, hidung tersumbat, epikstasis.

Keradangan kartilaginus dapat menyebabkan perforasi


septum nasal dan kolaps tulang hidung (deformitas saddle
nose) (ganbar 6). Erosi tulang ka.,um sinus adalah khas

pada WG namun biasanya terjadi setelah penyakit ini


berlangsung lama. Pada telinga dapat terjadi kehilangan

pendengaran

baik konduksi karena keradangan

granulomatosa pada telinga tengah maupun gangguan


sensorineural. Gusi merah stoberi, ulkus pada mulut, lidah

mengalami eksaserbasi setelah mencapai remisi.

dan palatum, stenosis subglotis dan gangguan mata

Prognosis lebih buruk bila terjadi alveolar hemoragik.

(pseudotumor orbita, skleritis, konjungtivitis dan skleritis)


juga dapat dijumpai. Pada paru-paru dapat ditemukan lesi
kavitas, noduler atau infiltrat non spesifik sampai
hemoragik alveolar. Gangguan katup jantung dan
perikarditis terjadi pada jantung. Glomerulonefritis,
vaskulitis mesenterika, manifestasi kulit vaskulitis, arlritis,
mononeuritis multipleks dan gangguan susunan saral
pusat juga dapat ditemukan pada WG.

GRANULOMATOSAWEGENER

Definisi
Granulomatosa Wegener (WG) merupakan vaskulitis
dengan keradangan granulomatosa dan nekrosis yang
melibatkan pembuluh darah kecil sampai sedang, baik arteri
maupun vena. Penyakit ini juga berhubungan dengan

ANCA

Epidemiologi
Penyakit ini dilaporkan l0 kasus per satujuta penduduk
per tahun. Timbul pada semua etnik dengan predominan
orang kulit putih. Rasio pria dan wanita kurang lebih
sebanding l:1. Meskipun usia rata-rata penderita WG
adalah 50 tahun, penyakit ini dapat mengenai orang dengan
usia lebih tua maupun anak-anak.

Patogenesa
Penyebab WG belum diketahui hingga saat

ini, tetapi

keterlibatan saluran pernapasan atas dan bawah yang


sangat sering menyebabkan dugaan adanya reaksi
terhadap antigen yang terinhalasi. Beberapa penelitian
memperkirakan inflamasi saluran pernapasan atas oleh
Staphylococcus aureus mungkin berperan dalam
terjdainya WG. WG berhubungan erat dengan PR3 ANCA,
meskipun ada juga dengan MPO-ANCA.

ini masih belum jelas pada


WG. Lesi keradangan granulomatosa pada WG
Peran patogenic antibodi

menunjukan keterlibatan respons imun, meskipun target

Gambar 6. Sadd/e nose pada granuloma


Wegener

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium. Gambaran laboratorium menyerupai yang
ditemukan pada MPA. LED dan CRP dapat digunakan untuk

aktivitas penyakit. Positif ANCA dapat


membantu dalam menegakkan diagnosis WG. Sesitivitas
PR3-ANCA sekitar 90% pada keadaan aktif dat4\%,pada
saat penyakit remisi, spesifitasnya 95%.
memantau

2601

SINDROMVASKULITIS

Diagnosis

glukokortikoid meningkat menjadi

Biopsi pada lesi inflamasi WG khas terdapat nekrosis,


perubahan granulomatosa dan vaskulitis. Jaringan yang
diambil dapat berasal dari hidung atau sinus paranasal.

mencapai 80%

Biopsi transbronkial 1arung dapat memberikan hasil yang


baik. Adanya kapilaritis pada jaringan paru dapat
menunjang diagnosis namun tidak spesifik. Pada jaringan
ginjal dapat ditemukan glomerulonefritis fokal atau difus
dengan lesi kresen dan sklerosis.

Penatalaksanaan
Diagnosis dini sangat penting dan pengobatan yang tepat
merupakan kunci keberhasilan terapi WG. Kombinasi
kortikosteroid dan agen sitotoksik biasanya digunakan
pada WG Inisial terapi menggunakan dosis tinggi steroid
(prednison I mg/kglhari atau lebih) dan dipertahankan
sampai keadaan stabil (fungsi ginjal stabil atau infiltrat
paru resolusi) lalu diturunkan bertahap, biasanya I bulan
sejak terapi inisiasi. Pendekatan lain adalah dengan pulse
methylprednisolone (1 g/hari) untuk 3 hari pada mereka
yang mengalami keadaan gawat yang mengancam jiwa
(hemoragik pulmonal yang difus atau RPGN).

Penggunaan siklofosfamid oral (2mglkglharl)


dikombinasikan dengan kortikosteroid merupakan terapi
standart bagi WG. Siklofosfamid dipertahankan sampai
sekurang-kurangnya satu tahun penderita mencapai remisi
sempuma dan kemudian diturunkarr25 mg setiap 2 sampai
3 bulan sampai berhenti atau sampai terjadi rekuren dan
dosis perlu ditingkatkan kembali. Beberapa penelitian
randomisasi menguji pemberian siklofosfamid secara pulse
3 minggu) memiliki efektivitas yang sama
dengan dosis harian per oral. Namun pemberian pulse ini
belum direkomendasikan sebagai standart terapi untuk WG.
Penggunaan metrotreksat masih belum memuaskan,
sementara imunoglobulin intravena dapat menjadi terapi
alternatifpada penderita dengan aktivitas penyakit yang
masih persistsn setelah pemberian terapi standar'
Terapi Tumor necrosis factor (TNF) inhibitor seperti
infliximab dan etanercept telah diberikan dalam beberapa
studi dan memberikan hasil remisi sebagian atau sempuma

IV (0.7 glm2tiap

pada beberapa penderita yang resisten terhadap


siklofosfamid. Agen ini cukup baik ditoleransi dan
minimal toksisitasnya. Pada saat ini masih sedikit data yang
mendukun inisiasi terapi anti TNF untuk penderita WG
yang belum pernah diterapi, namun obat ini memegang
peran penting pada keadaan resisten.
Terapi operasi mungkin diperlukan bagi mereka dengan

otitis media kronis, sinusitis kronis, obstruksi duktus


lakrimasi atau pseudotumor orbita. Bagi mereka dengan
gagal ginjal terminal dapat dilakukan transplantasi ginjal'

12

bulan. Namun sejak

terapi kombinasi agresif dengan menggunakan


glukokorlikoid dan siklofosfamid angka survival 5 tahun

SINDROM CHURG STRAUSS

Definisi
Sindroma Churg Strauss (CSS) atau angiitis alergika atau
granulomatosa alergika merupakan suatu kelalinat yang
ditandai oleh eosinofilia, keradangan granulomatosa pada

saluran pernapasan dan vaskulitis nekrosis pembuluh


darah sedang dan kecil yang berhubungan dengan asma.

Epidemiologi
Sindroma ini merupakan penyakit yang jarang
dibandingkan dengan bentuk vaskulitis yang lain. Insiden
tahunan sekitar 2.4 kasus per 1 juta penduduk, dengan
perbandingan seimbang antara pria dan wanita.

Patogenesis
Penyebab CSS belum diketahui, namun asosiasi terhadap
alergi dan kelainan atopik merupakan faktor yang dominan'

Beberapa kasus dewasa ini dilaporkan berhubungan


dengan penggunaan obat antagonis leukotrien, namun
hubungan yang pasti antara obat ini dengan vaskulitis

belum diketahui. Positif ANCA yang dijumpai pada


40-50% penderita CSS, terutama MPO-ANCA, memperkuat
dugaan adanya peranan ANCA dalam patogenesis CSS

Gejala klinis
Tiga fase penyakit yang sering dijumpaipada CSS adalah:
. Fase prodromal: ditandai oleh adanya penyakit alergi
(biasanya asma atau rinitis alergika)' Fase ini sering
berlangsung selama beberapa tahun.

Fase eosinofilia/ infiltrasi jaringan: eosinofilia perifer

dapat terjadi, dan infiltrasi jaringan oleh eosinofil


ditemukan pada paru-paru, saluran pencernaan dan
jaringan lain
Vaskulitis: vaskulitis nekrosis mengenai organ-organ
tubuh dari jantung dan paru sampai pembuluh saraf
dan kulit.

Lebih dari 90% penderita CSS mempunyai riwayat asma.

Kelainan pada organ tubuh antara lain: hidung (polip


nasal dan rinitis alergika), sinus (pansinusitis), telinga
(aringan granulasi pada telinga tengah dengan infiltrasi
eosinofil yang menyebabkan tuli konduktif)' Pada paru bisa

ditemukan infiltrasi ekstensif eosinofil dalam


alveolus dan interstitium selanjutnya vaskulitis nekrosis

Prognosis

dan granuloma.

Sebelum era penggunaan steroid, tata-rala survival


penderita WG adalah 5 bulan, dengan penggunaan

Keterlibatan jantung ditandai oleh arteritis koroner,

Kelainan pada saraf berupa mononeuritis multipleks'

2602

REI,JMII|TON.OGI

kelainan katup dan gagal jantung kongestif.


Glomerulonefritis jarang dijumpai. Kelainan muskuloskeletal berupa atralgia dan arlritis, bervariasi mulai dari
pauci artritis pada sendi besar ektremitas bawah sampai
poliartritis sendi-sendi tangan. Manifestasi kulit tidak ada
yang spesifik dan menyerupai gambaran vaskulitis yang lain.

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium. Eosinofilia denganjumlah eosinofil

dapat

mencapai 600/o dari total lekosit, atau melebihi 1500 sel/


mm3. Jumlah eosinofil merupakan marker yang sensitif

untuk menandai aktifnya penyakit, dan biasanya sangat


berespon dengan pemberian korlikosteroid. Peningkatan
IgE juga sering dijumpai. Serum komplemen biasanya nor-

IgA dan seringkali melibatkan kulit, saluran cema dan glomerulus, dan berhubungan dengan atralgia dan arlritis.

Epidemiologi
Penyakit ini merupakan bentuk vaskulitis sistemik yang
paling sering pada anak-anak, dengan insidens tahunan
mencapai 140 kasus per satu juta penduduk. Puncak
tertinggi penderita adalah pada dekade perlama dan kedua
dalam hidup (90% penderita berusia kurang dari l0 tahun),
dengan rasio pria:wanita sebesar 2: I . Insidens pada orang
dewasa sangat jaratg, namun biasanya lebih berat.
Meskipun HSP dilaporkan seimbang pada semua kelompok
etnik, namun ada kecenderungan lebih banyak pada
orang Amerika keturunan Afrika.

mal, namun reaktan fase akut meningkat. ANCAyang positif

membantu menegakkan diagnosis.

Radiologi. Infiltrat pulmonal terdapat pada sepertiga


penderita CSS, biasanya migratori dan timbul bilateral.
Diagnosis

Patogenesis
Hampir dua per tiga kasus HSP terjadi setelah infeksi
saluran pernapasan atas, dengan awitan rata-rata 1 0 hari
setelah infeksi saluran pernapasan. Meskipun demikian
tidak ditemukan satu mikroorganisme atau paparan dari

menguatkan diagnosis. Pembuluh saraf dan otot

lingkungan yang terbukti menjadi penyebab penyakit


ini. Asal IgAl yang terdapat dalam dinding pembuluh
darah pada HSP belum jelas diketahui. Total serum IgA
juga didapatkan meningkat pada kurang lebih 50%
penderita HSP, peningkatan ini dihubungkan dengan
peningkatan produksinya akibat stimulasi pada sistem

merupakan tempat terbaik untuk dilakukan biopsi.

imun mukosa.

Diagnosis CSS harus berdasarkan adanya bukti vaskulitis


nekrosis dengan infiltrasi eosinofilia padajaringan yang

terjadi pada penderita asma atau rinitis alergika.


Dokumentasi adanya granuloma ekstravaskular lebih

Penatalaksanaan

Gejala Klinis

Berbeda dengan vaskulitis asosiasi ANCA lainnya, CSS


umumnya berespon baik dengan pemberian glukokorlikoid

Presentasi klasik penyakit ini adalah awitan demam yang


akut, purpura yang dapat diraba pada ektremitas bawah
dan bokong, nyeri perut, artritis dan hematuria.
Manifestasi kulit pada HSP, selain purpura, dapat pula
ditemukan papula dan plak urtikaria, lesi bulosa dan
nekrosis (lebih sering pada orang dewasa), dan edema lokal
pada ekstemitas bawah yang tidak berhubungan dengan
proteinuria. Keterlibatan muskuloskeletal mencapai lebih
dai 80"/o penderita HSP, umumnya artral,gia atau artritis

saja. Namun siklofosfamid (2 mg/kgBB/hari) kadang


diperlukan terutama bagi mereka yang mengalami neuropati
vaskulitis atau glomerulonefritis. Pada keadaan yang lebih
ringan dapat diterapi dengan azatioprin (2mglkgBB/hari),
metrotreksat (l 5 -2 5 mgl ming gu) atau mikofeno lat mofetil
(2-3 glhari). Pada penderita dengan penyakit yatgtetap

aktif meskipun sudah diterapi dengan kombinasi


glukokortikoid dan obat sitotoksik, dapat diberikan interferon alfa, telah dilaporkan keberhasilannya pada beberapa
kasus namun masih sangat terbatas.

Prognosis
Meskipun remisi klinis dapat dicapai oleh lebih darigAYo
penderita, namun rekuren masih tinggi terutama setelah
terapi dihentikan.

PURPURA HENOCH.SCHONLEIN

Definisi
Purpura Henoch Shonlein (HSP) adalah suatu vaskulitis
pembuluh darah kecil dengan deposit imun yang dominan

sendi besar terutama lutut, pergelangan kaki, siku dan


pergelangan tangan.
Sekitar 60% penderita HSP mengalami nyeri p erut, 33Yo
bahkan mengalami perdarahan saluran cema. Nyeri perut
terjadi akibat edema dinding usus dan juga perdarahan
akibat vaskulitis mesenterika, umumnya bersifat kolik dan
semakin nyeri setelah makan. Iskemik mesenterika ini dapat
menyebabkan perforasi usus .Padaanak-anak dapat timbul
intususepsi di ileosaekal. Manifestasi pada ginjal paling
sering berupa glomerulonefritis dengan hematuria dan

proteinuria.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium. Enam puluh

persen penderita mengalami

2603

SINDROMVASKULITIS

peningkatan serum IgA. Peningkatan reaktan fase akut dan

PENYAKIT KAWASAKI

LED serta lekositosis ringan sampai sedang dapat


ditemukan pada pemeriksaan darah, sementara pada
pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan hematuria dan
proteinuria.

Definisi
Kawasaki merupakan suatu bentuk vaskulitis pada anakanak yang dapat sembuh sendiri dan melibatkan arteri
sedang.

Epidemiologi
Penyakit Kawasaki terjadi sporadik dengan insidens
berkisar artara 6 sampai 7,6 per 100.000 anak di bawah

Gambar 7 . Purpura yang dapat diraba pada lengan kiri seorang

usia 5 tahun yang dilaporkan di Amerika serikat sementara


insidens di Jepang mencapai 90 per 100.000 anak. Usia
rata-rata penderita adalah 1,5 tahun dengan pertandingan
pria:wanita adalah 1,5:1. Penyakit ini jarang dijumpai pada
anak-anak di atas usia 11 tahun.

penderita HSP

Patogenesis
Diagnosis
Meskipun manifestasi klasik ditemukan pada seorang
penderita, diagnosis HSP lebih ditentukan oleh biopsi.
Biopsi kulit pada HSP menunjukan suatu vaskulitis
leukositoklastik pembuluh darah kecil dalam lapisan
superfisial dermis. Jaringan nekrosis sering dijumpai
namun bukan keradangan granuloma. Pada pewarnaan
imunofluoresens tampak granular IgA kasar di dalam

dan sekitar pembuluh darah kecil. Sementara


pada biopsi ginjal sulit dibedakan dengan nefropati
IgA.

Presentasi klinis dan epidemiologi menunjukkan bahwa


penyakit ini berhubungan dengan infeksi namun sampai
saat ini belum diketahui mikroorganisme penyebabnya.
Pada beberapa observasi patologi didapatkan adanya
aktivasi endotelium dengan infiltrasi sel mononuklear pada

subendotelium, terutama sel T sitotoksik dan monosit/


makrofag di dalam arteri koroner. Sejauh ini disimpulkan
bahwa penyakit ini merupakan respons imun yang abnormal, dengan peningkatan produksi sitokin menyebabkan
kerusakan endotelium pada seorang host yang rentan
secara genetik. Adanya trombositosis yang sangat ektrim
(550.000 sampai 1.000.000/mm3) dapat menyebabkan
pembentukan trombus pada endotelium vaskular yang

Penatalaksanaan
Pemberian obat antiinflamasi non steroid dapat
memperbaiki artritis dan atralgia namun dapat

rusak.

menimbulkan gejala gastrointestinal dan harus dihindari


pada penderita dengan kelainan ginjal. Dapson (100mg/

Ada tiga fase pada penyakit Kawasaki: fase akut terdiri


atas demam, kemudian fase subakut berupa turunnya

hari), yang bekerja dengan cara menghambat interaksi IgA


dengan netrofil, dapat diberikan pada kasus HSP.

Kortikosteroid tampaknya tidak memperbaiki rash,


namun obat ini masih kontroversi efektifitasnya pada
penderita HSP dengan keterlibatan ginjal. Beberapa
penelitian menyarankan penggunaan dosis tinggi
methylprednisolone diikuti oleh prednisone oral atau
prednison dosis tinggi dikombinasikan dengan azattoprin
atau siklofosfamid untuk menolong penderita dengan

nefritis berat.

Prognosis
Prognosis umumnya baik, dan tergantung pada sistim
organ yang terkena serta usia penderita, semakin muda
semakin baik. Pada banyak kasus HSP sembuh sendiri
dalam 6-8 minggu. Rekuren ditemukan pada kurang lebih
33%o petderita. Hanya sejumlah kecil penderita mengalami
insufi siensi ginj al yang pro gresif.

Gejala klinis
demam disertai meningkatnya jumlah trombosit, dan fase
konvalesen dimana trombosit kembali ke nilai normal'
Gejata dimulai dengan demam, di mana suhu biasanya
mencapai 40 C bahkan lebih, yang berlangsung 5 sampai
25 hari, rata-rata 10 hari. Gejaia mukokutaneus berupa
injeksi konjuntiva, eritema pada bibir, mukosa mulut dan
lidah (lidah stroberi), yang mengelupas bahkan sampai
berdarah (lihat Gambar). Rash polimorfi menunjukkan

perivaskulitis dan vas


dan jaringan subkut
bening leher yang ti

sering ditemukan namun ce


turun. Eritema yang nyeri d

setelah demam
tangan' jari-jari

dan kaki muncul dalam hari-hari awal sakit'

Pada masa penyembuhan ditemukan deskuamasi dengan


pengelupasan kulit pada tangan dan kaki (lihat gambar 5)'
Keterlibatan organ lain dapat terjadi pada Kawasaki namun

hampir tidak pernah mengenai ginjal. Manifestasi yang

2604
REUMAiTOI.OGI

paling serius adalah vaskulitis koroner dan miokarditis.


Tanpa terapi vaskulitis koroner dengan pembentukan
aneurisma terjadi pada 25o/o penderita. pemberian

Penatalaksanaan

imunoglobulin intravena mengurangi kejadian ini hingga


kurang dari 5%o.

kurun 10 hari sejak awal sakit. pemberian korlikosteroid


masih kontroversi.

Prognosis
Hampir semua kematian dini dan kebanyakan kasus

kecacatan jangka panjang disebabkan oleh keterlibatan


jantung. Infark miokardium dilaporkan sekitar 2,5r%
kasus
dan sering terjadi pada fase subakut penyakit. Kematian
disebabkan oleh infark jantung, trombosis koroner dan
rupfur aneurisma.

Gambar 8. Seorang anak


dengan penyakit Kawasaki

VASKULITIS KRIOGLOBULINEMIA ESENSIAL

Definisi
Vaskulitis krioglubulinemia essensial adalah vaskulitis
dengan deposit
in yang mengenai
pembuluh darah
, dan berhubungan
dengan krioglobul

Epidemiologi
Insidens vaskulits krioglobulinemia belum diketahui jelas,
diperkirakan 5% pasien- pasien dengan hepatitis C kronik
akan mengalami sindoma ini, sementarag0o/o dariseluruh
kasus vaskulitis krioglubulinemia berhubungan dengan
infeksi virus hepatitis C (HCV).

Gambar 9. Deskuamasi pada tangan


(dikutip dari www.rheumtext.com- Hochberg et al)

Pemeriksaan penunjang
Patogenesis

Laboratorium. reaktan fas

sit meningkat

padapenyakitKawasaki. p
transaminase
dan piuria yang steril ju ga dapat ditemukan.

Radiologi. Ekokardiografi dua dimensi merupakan teknik


yang sangat sensitif untuk mendeteksi vaskulitis dan
aneurisma koroner proksimal. pemeriksaan ini harus
dilakukan sese

penyakitKawas
untuk

,dicurigai
Pe{alanan

penyakit

Diagnosis
didasarkan pada klinis,

r/
4)

aneurisma sangat

Patogensis kelainan ini adalah adatyakrioglobulin, yaitu


suatu imunoglobulin yang dipresipitasi oleh suhu dingin.

Ada 3 tipe krioglobulin yang dapat dideteksi. Tipe 1,


terdapat pada 10-l5oh penderita, terdiri atas faktor

IgM monoklonal. Tipe III, pada 3o-40%penderita, terdiri


atas faktor reumatoid IgM poliklonal dan IgG poliklonal.
Tipe II dan III secara kolektif disebut krioglobulin
campuran. Krioglubulin campuran ini ditemukan selama
infeksi bakteri kronik atau virus dan bagian dari penyakit
autoimun sistemik, terutama sindroma Sjogren.
Sisanya adalah idiopatik yang disebut krioglobulinemia

campuran esensial. Tampaknya banyak kasus

2605

SINDROMVASKULITIS

kioglobulinemia esensial ini berhubungan dengan infeksi HCV


Etiopatogenesis vaskulits krioglobulinemia esensial

tanpa infeksi HCV belum jelas diketahui, tetapi di


duga akibat aktivasi sel B poliklonal dan/atau

antigen/superantigen yang mengaktifkan sel B.


Pada krioglobulinemia yang berhubungan dengan infeksi

HCV, diperkirakan proteinB2 yang menyelubungi HCV


dapat berikatan dengan CD81, yang terdapat pada sel
hepatosit maupun limfosit dan memicu respon poliklonal
sel B. Selain itu IgG dengan reaktif anti-HCV dapat
menginduksi molekul faktor reumatoid IgM dengan suatu
idiotipe silang tertentu sehingga terbentuk krioglobulin
tipe III dalam titier yang rendah. Deposit dari kompleks
imun ini pada dinding pembuluh darah selanjugnya memicu

kaskade inflamasi dan menghasilkan sindroma klinis


vaskulitis krioglubulinemia esensial.

Gejala Klinis
Manifesatasi klinis berupa rash makula, paplula,
vesikobulosa dan urtikaria yang menunjukkan keterlibatan
pembuluh darah kecil, serta ulkus umumnya di sekitar
maleolus, yang menunjukkan keterlibatan pembuluh darah
sedang. Trombus vaskular juga sering ditemukan pada
banyak kasus krioglobulinemia. Purpura yang dapat diraba
dengan predileksi ekstremitas bawah merupakan tipikal
penyakit ini. Fenomena Raynaud dan akrosianosis juga

Hipokomplementemia (kadar C3,C4 dan CH50 yang

rendah) sering ditemukan karena protein komplemen


terpakai dalam pembentukan kompleks imun. Peningkatan

fase reaktan akut dan anemia juga ditemukan. Faktor


reumatoid dan anti HCV sering didapati positif. Pada
krioglobulinemia yang berhubungan dengan infeksi HCY
kuatitatif HCV RNA dapat digunakan untuk memantau
terapi antiviral tertentu.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan kombinasi dari (l)


manifestasi klinis vaskulitis krioglobulinemia, disertai
vaskulitis pembuluh darah kecil kutaneus; (2) isolasi
krioglobulin dari serum; (3) deteksi antibodi terhadap HCV
atau HCV RNA; dan (4) biopsi dari organ yang terlibat

untuk menyingkirkan diagnosis yang lain. Tidak


diwajibkan terdapat keempat kriteria di atas untuk
diagnosis karena pemeriksaan untuk krioglobulin tidak

100% sensitif dan tidak semua kasus vaskulitis


krioglobulinemia berhubungan dengan HCV.
Gambaran histopatologi pada biopsi kulit menunjukan
infiltrat inflamasi di sekitar dan di dalam diniding pembuluh
darah, dengan nekrosis fibrinoid, hiperplasia sel
endotelium dan hemoragik. Deposisi imunoglobulin dan
komplemen sering ditemukan. Pada biopsi ginjal biasanya
ditemukan glomerulonefritis membranoproliferatif.

dapat dijumpai.

Atralgia dan artritis merupakan manifestasi yang

prominen, melibatkan sendi interfalangs

dan

metakarpophalangea dan lutut. Pada sarat tepi terdapat


neuropati perifer dengan predominan pada sarafsensorik.
Keterlibatan ginjal meliputi 20% penderita, berupa

hematuria mikroskopi asimptomatik, proteinuria, dan'


berbagai derajat insufisiensi ginjal, namun jarang sampai

stadium terminal. Sementara pada liver penderita


krioglobulinemia yang berhubungan dengan infeksi HCV
bisa ditemukan inflamasi periportal, fibrosis, dan sirosis
pada biopsi hari. Pembentukan fotikel limfoid dalam hati
merupakan histologi yang khas pada infeksi HCV. Di dalam
folikel ini (dan juga pada sumsum tulang), dibentuk faktor
reumatoid IgM. Organ-organ lain yang jarang namun
dapat terlibat antara lain susunan sarafpusat, gastrointestinal, danparu-paru.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium. Pemeriksaan krioglobulin sering


berhubungan dengan hasil negatif palsu, karena salah
penanganan dalam pemeriksaannya. S e gera setelah sampel
darah diambil dari penderita harus dibawa ke laboratorium

pada suhu 37"C. Spesimen tersebut kemudian di sentrifus


juga pada suhu 37'C dan disimpan pada suhu 4oC selama 1

minggu. Adanya krioglobulin ditandai


terbentuknya presipitat putih pada dasar tabung.

dengan

Penatalaksanaan
Penyakit ini ditandai oleh periode remisi dan eksaserbasi,
serta tingkat beratnya penyakit yang sangat beragam,
mulai dari purpura yang ringan sampai vaskulitis nekrosis
yang berat, sehingga terapi harus didasarkan kepada

masing-masing penderita. Identifikasi penyebab


merupakan hal yang penting, jika terdapat infeksi HCV
maka interferon alfa dan ribavirin dapat merupakan pilihan.

Jika antiviral saja tidak cukup efektif, pilihan terapi seperti


obat anti inflamasi non steroid untuk artralgia dan artritis,
glukokortikoid dosis rendah untuk vaskulitis kutaneus dan
neuropati perifer, dan glukokortikoid dosis tinggi ditambah
terapi sitostatik untuk vaskulitis nekrosis yang melibatkan
organ vital diperlukan. Plasmafaresis juga dapat dilakukan
pada penderita dengan vaskulitis nekrosis yang berat.
Berdasarkan bukti adanya keterlibatan sel B klonal
dalam krioglobulinemia maka strategi inovasi terapi dengan

menggunakan Rituximab, yaitu suatu antibodi antiCD20


monoklonal telah dilakukan namun pemakaiannya harus
dengan hati-hati maengingat tingginya laju replikasi virus
pada penderita yarrg mendapat terapi imunosupresan.

Prognosis

Mortalitas akut akibat krioglobulinemia esensial jatatg


terjadi namun risiko kematian meningkat 3 kali lipat pada
penderita vaskulitis kriglobulinemia dengan keterlibatan

2606

ginjal dibandingkan tanpa keterlibatan ginjal. Kematian

biasanya disebabkan oleh gagal ginjal terminal,


penyakit kardiovaskular yang fatal infeksi dan gagal fungsi
hepar.

PENYAKITBEHCET

Definisi
Penyakit Behcet ini merupakan suatu kelainan vaskulitis
yang melibatkan multisistim dengan manifestasi ulkus oral
dan genital yang rekuren, inflamasi padamata danberbagai

organ lain seperti susunan saraf pusat, gastrointestinal.


Penyakit ini dinamakan Behcet sesuai dengan nama ahli
dermatologi Turki yang pertama kali mendiskripsikan
tentang kelainan ini pada tahun 1937.

Epidemiologi
Penyakit ini banyak ditemukan sepanjang Jalur Sutera (Sl/t
Road), dari Asia timur (Jepang, China, Korea) ke daerah
Mediterania, Timur tengah dan Timur jauh, dan sangat
jarang ditemukan di daerah lain. Prevalensi tertinggi adalah
di Turki, mencapai 400 kasus per 100.000 penduduk.
Biasanya mengenai orang berusia muda antara 20-30
tahun. Di daerah Timur tengah lebih banyak mengenai pria
dibandingkan dengan wanita, namun di daerah Jepang

REI.,,MATIOI.OGI

jaringan parut terutama pada daerah skrotum. Pada wanita


umumnya mengenai vulva atau vagina.
Pada kulit dapat bermanifestasi sebagai folikulitis,
eritema nodosum, eksantema seperti jerawat, dan kadangkadang berbentuk vaskulitis. Suatu bentuk inflamasi kulit
yang nonspesifik sebagai reaksi terhadap tusukan jarum
atau injeksi garam fisiologis secara intradermal (uji patergi)
merupakan manifestasi yang sering dijumpai dan spesifik.
Manifestasi pada mata berupa uveitis posterior atau
anterior, atau keduanya dan dapat menyebabkan kebutaan.

Kelainan ini yang paling ditakutkan pada penyakit Behcet.


Manifestasi lain berupa artritis perifer tanpa deformitas,
ulkus pada mukosa usus dan keterlibatan susunan saraf
pusat berupa nyeri kepada dan meningoensefalitis pernah
dilaporkan.

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Petanda inflamasi yang tidak spesifik seperti anemia,
lekositosis ringan dan peningkatan LED dapat ditemukan
pada keadaan aktif.

Radiologi
Angiogram atau MRA dapat memperlihatkan adanya kelainan
trombosis atau aneurisma yang melibatkan arteri besar.

ditemukan sebaliknya.

Diagnosis
Penyakit Behcet belum diketahui penyebabnya hingga saat

Pada biopsi lesi mukokutaneus dan gastrointestinal yang


terlibat umumnya menunjukan adanya reaksi neutrofil. Hal

ini, penyebaran geografi yang spesifik memungkinkan


adarya keterlibatan faktor lingkungan dan genetik.

ini tidak spesifik, karena itu dibuat suatu kriteria diagnosis


untuk penyakit Behcet (lihat Tabel 7)

Patogenesis

Berdasarkan penelitian genetik didapatkan hubungannya


dengan HLA 85l pada penderita yang tinggal sepanjang

jalur sutera.
Meskipun penyakit ini umumnya mengenai pembuluh
darah kecil dan sedang, namun beberapa kasus dilaporkan
juga mengenai pembuluh darah besar termasuk vena.
Inflamasi arteri dapat menyebabkan oklusi, aneurisma dan
ruptur, sementara pada vena menimbulkan trombosis vena.
Tidak seluruh manifestasi pada Behcet disebabkan oleh proses
vaskulitis, ulkus pada mukosa mulut dan usus tebih banyak
desebabkan oleh reaktivasi abnormal neutrofil dan limfosit.

Gambaran klinis
Ulkus pada rongga
mulut yang rekuren

Penjelasan

Sariawan minor atau mayor,

ulserasi berbentuk seperti herpes,


atau
dokter, yang berulang sekurangkurangnya 3 kali dalam periode
satu tahun
Ditambah 2 dari kriteria berikut ini:
Ulkus genital yang
Aptosa atau jaringan parut yang
rekuren
diamati oleh penderita atau dokter
Lesi pada mata
Uveitis anterior, uveitis posterior,

diamati oleh penderita

atau adanya sel debris

pada

vitreus mata pada pemeriksaan,

Gejala klinis
Ulkus pada mulut yang rekuren merupakan ciri khas
penyakit ini, biasanya nyeri, dangkal maupun dalam,
dengan tepi merah dan sentral yang berbasis nekrosis
kekuningan, timbul tunggal atau berkelompok dan dapat
mengenai berbagai lokasi dalam rongga mulut. Ulkus ini
menetap selama I sampai 2minggt dan membaik tanpa
meninggalkan jaringan parut. Ulkus pada daerah genital
lebih jarang. Pada pria biasanya tidak mengenai glans
penis atau uretra, dan sembuh dengan menimbulkan

dan vaskulitis retina yang diamati


oleh dokter mata
Lesi kulit

Eritema nodosum yang diamati

oleh penderita atau dokter,


pseudofolikulitis atau lesi
papulopustular, atau nodul seperti

jerawat yang diamati oleh dokter


pada seorang penderita dewasa
yang tidak sedang menggunakan
glukokortikoid
Uji patergi positif

Uji ini diinterpretasi oleh


pada
24-48 iam setelah dilakukan

dokter

2607

SINDROMVASKULITIS

stadium subakut atau kronis, lebih dominan sel

Keterlibatan membran mukosa dapat berespon dengan

mononukleus. Sel eritrosit sering mengalami ekstravasasi


dari pembuluh darah yang terlibat menyebabkan pu{pura
yang dapat diraba.

pemberian glukokortikoid topikal dalam bentuk obat kumur


atau pasta dan obat kolkhisin (0. 6- I 8 mg,Arari) atau Dapson
(50-100 mg/hari). Pada kasus yang lebih berat thalidomid
(100mg/hari) atau metotreksat (7.5-20 mg/minggu) atau
interferon alfa (3 -9 juta unit/minggu) memberikan hasil yang
.

efektif. Tromboflebitis dapat diterapi dengan aspirin


(325mglharl). Uveitis dan keterlibatan susunan saraf pusat
membutuhkan terapi glukokortikoid sistemik (prednisone
1 mg/kg/hari) dan azatioprin 2 sampai 3 mg/kg/hari atau
siklosporin 5 sampai 10 mg/kg/hari' Beberapa kasus
panuveitis dilaporkan berespon baik dengan penggunaan
terapi anti TNF atfa (infliximab 3 mg/kg tiap 6 to 8 minggu,

kulit tersebut bisa gatal atau bahkan nyeri dengan sensasi


seperti terbakar atau tertusuk, umumnya timbul di
ekstremitas bawah pada penderitayalg berjalan atau di

daerah sakrum pada penderita yang berbaring, hal ini


disebabkan oleh efek tekanan hidrostatik pada venul pasca
kapiler. Edema dapat menyertai lesi-lesi tertentu dan
hiperpigmentasi seringkali timbul pada lesi yang kronis

atau etanercept25 mgsf, 2 xper minggu)

Prognosis

Manifestasi penyakit Behcet yang terjadi berulang ini


umumnya akan menghilang setelah

atau rekuren.

atat2 dekade, kecuali

kelainan pada mata dan inflamasi pada pembuluh


darah besar. Kecacatan yang ditimbulkan adalah akibat
dari uveitis (kebutaan) atau penyakit susunan saraf
pusat (demensia atau stroke). Kematian terjadi akibat
penyakit susunan saraf pusat, ruptur aneurisma aorta

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium. Tidak

ada laboratorium yang

spesifftuntuk

lekositosis ringan dengan atau tanpa

gan peningkatan LED sering dijumpai'

dan komplikasi infeksi akibat terapi imunosupresan'

laboratorium lebih ditujukan untuk


menyingkirkan diagnosis penyakit lain.

VASKU LITIS LEKOSITOKLASTIK KUTAN EUS

Definisi
Vaskulitis lekositoklastik kutaneus (VLK) ini melibatkan
pembuluh darah kecil yang terbatas pada kulit dan
tidak berhubungan dengan vaskulitis primer maupun
sekunder yang lain. Penyakit ini dikenal juga dengan nama
vaskulitis hipersensitivitas atau angiitis lekositoklastik
kutaneus. Istilah vaskulitis hipersensitivitas digunakan

penyebab lain terutama vaskulitis sistemik disingkirkan'


Istilah lekositoklastik vaskulitis merupakan suatu istilah

aktor presipitasi yang menyertai, seperti obat atau


infeksi, namun sebetulnya tidak ditemukan penyebab

menyeluruh untuk menyingkirkan kemungkinan lain

oleh karena pada banyak kasus terdapat suatu

yang pasti, sehingga istilah ini mulai ditinggalkan'

p
6
v

hasil bioPsi, dan bukan


kasus denganhasilbioPsi
us harus dievaluasi secara

penyebabnya.

Penatalaksanaan

Epidemiologi
Insidens VLK tidak diketahui dengan pasti karena
kaburnya kriteria diagnostik, kejadian yang jarang dan
beragam perj alanan klinisnYa.

Patologi
Histopatologi khas VLK adalah adanya vaskulitis pada
pembutuh darah kecil. Venul pasca kapiler merupakan
pembuluh darah yang paling sering terlibat, sedangkan
tapiler dan arteriol lebih jarang. Vaskulitis ini ditandai oleh
adanyu lekositoklastik, suatu istilah yang mengacu pada
debris nukleus sisa neutrofil, yang menginfiltrasi ke dalam
dan sekitar pembuluh darah pada stadium akut' Pada

rkan'
Jika faktor pemicu VLK diketahui
yang
Bila faktor tersebut adalah mikrob
juga
akan
VLK
umumnya
diberikan,
segera
harus
sesuai
penyakit
atau
pemicu,
faktor
ditemukan
tidak
Jika
teratasi.
yang menYebabkan VLK,
api didasarkan atas beratnYa
BeberaPa

VLK

daPat sebuh

ersisten atau rekuren. Pada

2608

REI.,MITTOIIrI

dapson, kolkhisin dan obat anti inflamasi non steroid sudah

baik.

bagi

VLK

Prognosis
Prognosis VLK baik, hampir semua kasus yang diketahui

pemicunya sembuh dalam

l-4 minggu setelah

faktor

tersebut dihilangkan.

KESIMPULAN
Vaskulitis merupakan kelainan yang sulit untuk ditegakan,
namun dap4t dibantu dengan kriteria klasifrkasi dan biopsi
pada lesi yang terlibat. Pengenalan dini dan terapi yang

tepat dapat menghindarkan akibat yang fatal

pad,a

vaskulitis seperti kecatatan dan kebutaan.

REFERENSI
Ahmed MM, Wolf RE. Takayasu arteritis, Medscape February

14

2008. http://www.emedicine.comlmedltopic2232.htm

Andrews J,
advances
Jan 2007

in

Mason

JC. Takayasu,s arteritis_recent


imaging offer promise. Rheumatology (Oxford).

;46(l):6-15.

Ansell BM, Bacon PA, Lie JT,yazici H. The Vasculitides, Science


and practice. London. Chapman and Hall Medical. 1996
Arend, WP, Michel, BA, Bloch, DA, et al. The American College of
Rheumatology 1990 criteria for the classification ofTakayasu
arteritis Arthritis Rheum 1990; 33:1129.
Calabrese, LH, Michel, BA, Bloch, DA, et al. The American College
of Rheumatology 1990 criteria for the classification of hyper_
sensitivity vasculitis. Arthritis Rheum 1990; 33:110g.
Chung, L, Funke, AA, Chakravarty, EF, et al. Successful use of
rituximab for cutaneous vasculitis. Arch Dermatol 2006;
142:1407

Ferri C, Sebastiani M, Giuggioli D, et al. Mixed cryoglubulinemia:


demographic, clinical and serologic features and survival in 23 1
patients. Semin arthritis Rheum 2004;33 :335-341
Harris ED. Budd RC, Firestein GS, Genovese MC, Sergent JS, Sledge
CB. Kelley's Textbook of Rheumatology, 7,h ed. philadelphia,
Elsevier Saunders, 2005: 1336-1401
Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH.

ed Philadelphia, Mosby Elsevier 200g: 14g9609


Hoffman GS, Merkel PA, Brasington RD, et al. Anti-tumor necrosis
Rheumatology 4,h
1

factor therapy in patients with difficult to treat Takayasu


arteritis.Arthritis Rheum 2004; 50(7):2296_304
Hunder, GQ Bloch, DA, Michel, BA, et al The American College of
Rheumatology 1990 criteria for the classification of giant cell
arteritis. Arthritis Rheum 1990; 33:1122
Hunder, GG The use and misuse of classification and diagnostic
criteria for complex diseases (editorial). Ann Intern Med 199g;

403
SINDROM ANTIFOSFOLIPID ANTIBODI
SumaftiniDewi

PENDAHULUAN
Sindroma antifosfolipid antibodi, pertama kali dilaporkan
oleh Hughes, Harris dan Gharavi pada tahun 1986, dikenal
juga sebagai sindroma Hughes. Sindroma antifosfolipid
antibodi ini merupakan penyakit autoimun trombofilia yang

didapat, ditandai dengan adanya autoantibodi yang

antibodi terhadap suatu plasma protein yang berikatan


dengan fosfolipid anion (antibodi antifosfolipid-aPl)'
Sindroma antifosfolipid antibodi diklasifrkasikan pada
tahun 1999 oleh The Sapporo International Consensus
Statement on Preliminary Criteria for the Classification
of the Antiphospholipid Syndrome, dan diperbaharui pada
tahun 2006.

membentuk fosfolipid dan protein pengikat fosfolipid.

Manifestasi klinisnya bervariasi dari tanpa keluhan


sampai bentuk yang sangat berat dan mengancam jiwa

DIAGNOSIS

seseorang (catastrophic,4P,S / CAPS).


Secara umum telah dilaporkan bahwa presentasi klinis

terbanyak dari sindroma antifosfolipid antibodi itu adalah


trombosis vena dalam, terjadipada2g%o - 55% pasien dalam
6 tahun. Pada pasien-pasien tersebut, sedikitnya 50%
mengalami emboliparu.

Sindroma antifosfolipid antibodi primer umumnya


ditemukan pada penderita dengan aPL positif dengan
trombosis idiopatik tanpa disertai penyakit autoimun atau
faktor pencetus seperti infeksi, keganasan, hemodialisis
atau aPL yang terinduksi obat.
Istilah sindroma antifosfolipid antibodi sekunder
digunakan untuk pasien dengan gambaran klinis yang
terkait dengan penyakit autoimun (lupus eritematosus
sistemik primer dan rheumatoid arthritis) yang disertai
trombosis dengan aPL.

Kriteria diagnosis sindroma antifosfolipid (2006


The lnternational Gonsensus Statement on an Up'
date of the Classification Criteria for Definite
nti p h o s ph o I i pi d SY n d ro mel
Diagnosis pasti dari sindroma antifosfolipid antibodi
ditegakkan bila didapatkan minimal I kriteria klinis dan I

kriteria laboratorium.

Kriteria Klinis
Mengalami 1 atau lebih episode trombosis vena' arterial
kecil padajaringan atau organ tubuh,
kehamilan'
danl atau morb iditas
. Trombosis : dibuktikan dengan pemeriksaan imaging
atau histopatologi
. (Terbukti secara klinis adanya trombosis pada organ

atau pembuluh darah

DEFINISI
Sindroma antifosfolipid antibodi termasuk ke dalam
golongan penyakit autoimun yang bersifat sistemik
("organ nonspesifik"), dengan karakteristik adatya

trombosis vaskuler (arterial atau vena) dan/atau morbiditas


kehamilan yang berhubungan dengan tingginya titer

tubuh akibat trombosis pada pembuluh darah besar atau


kecil. Trombosis vena lebih banyak ditemukan daripada
kejadian trombosis pada arterial. Pemeriksaan serial
radiologi didapat trombosis pada 59% pembuluh vena,
28Yo padaarterial, dan l3%o pada keduanya)
Morbiditas kehamilan : satu atau lebih kematian janin
dengan morfologi normal pada usia kehamilan < 10

minggu, atau

2609

2610

REI.JMAIOI.OGI

Satu atau lebih kelahiran prematur sebelum usia

kehamilan 34 minggu karena eklampsi, preeklampsi berat


atau insufisiensi plasenta, atau
Tiga atau lebih kematian janin (< 10 minggu)/abortus

habitualis, tanpa adatya kelainan kromosom ayah dan


ibu atau kelainan anatomi uterus ibu atau kelainan
hormonal.

Kriteria Laboratorium
Memiliki titer antiphospholipid antibodies (apl.) yang
tinggi secara menetap, pada p ada2 ataulebih pemeriksaan
yang berbeda dalam jangka waktu minimal l2 minggu dan
tidak lebih dari 5 tahun sebelum terjadi manifestasi klinis,
terdeteksi menurut guideline the International Society on
Trombosis and Hemostasis.

kontak kaskade koagulasi dan konversi protrombin-

trombin. b2GPI berfungsi sebagai antikoagulan


plasma natural, sehingga adanya antibodi terhadap
protein ini dapat merangsang terjadinya trombosis,
karena fungsinya sebagai pengontrol aktivitas fosfolipid
prokoagulan (PL) yang mengandung enzim fosfolipaseA.2

(PLA2). b2GPI merupakan enzim yang terikat oleh


apolipoprotein-H (apo-H) sebagai penghambat enzim
PLA2. Selain dari b2GPI, secara alamiah tubuh juga
membentuk annexin V atau "placental anticoagulant
protein I" yang disebut juga sebagai "placental apl,,,

yang sangat kuat menghambat enzim pLA2,

terutama pada kehamilan dan kematian sel (apoptosis).


Penghambat PLA2 yalg secara patologis terbentuk

dikenal sebagai inhibitor Lupus yang Antikoagulan


Lupus (LA) yang terdiri dari 2 subgrup, yaitu
:

1. Antibodi antikardiolipin

baik dalam bentuk isotipe IgG


maupun IgM antibodi pada serum atau plasma, berada
dalam titer medium atau tinggi (> 40GpL,MpL, atau> 99
persentil, dengan ELISA)
2. Adanya aktivitas Lupus antikoagulan pada plasma

3. Antibodi

B2-glikoprotein

(p2-GpI) dalam bentuk

isotipe IgG atau IgM pada serum atau plasma (dengan


titer > 99 persentile).

LA tromboplastin sensitif yang menghambat


kompleks VIIa, III, PL, dan Ca2*, mengakibatkan

lnteraksi antara sel endothelial-apL :


. Antibodi antikardiolipin dan antibody B2Gpl akan
meningkatkan aktivasi dan adhesi trombosit pada
endotel

.
Penambahan kategori diagnosis sindrom pre-antifosfolipid
Penambahan kategori diagnosis sindroma fosfolipid
mikroangiopatik

o
o
o

Kriteria untuk diagnosis pasti sindrom antifosfolipid:


a

mengganti pemeriksaan aCL dengan anti- B2-Gpl


Penambahan pemeriksaan lgA untuk apL
Penambahan pemeriksaan antibodi anti-protrombin
Penambahan pemeriksaan antibodi anti-annexin V pada
pasien dengan riwayat abortus berulang
Penambahan pemeriksaan untuk jenis lain dari apl
Anjuran pendekatan terbaik untuk mendeteksi lupus
antikoagulan

PATOGEN ESIS DAN PATOFISIOLOGI

Adanya kerusakan atau aktivasi endotel vaskuler yang


akan meningkatkan ekspresi molekul adhesi
Ditemukan adanya antibodi antiendotelial
aPL menginduksi adhesi monosit pada selsel endotelial
peningkatan ekspresi dari tissue factor pada
permukaan monosit

lnteraksi dari aPl-trombosit

aktivasi trombosit
merangsang produksi tromboksan

lnteraksi antara aPL dengan sistim koagulasi

Penghambatan aktivasi dari Protein C melalui


kompleks trombomodulintrombin
Penghambatan aktivasi dari Protein C melalui jalur
kofaktor protein S
lnteraksi antara aPL dengan substrat dari protein C
aktif, seperti faktor Va dan Vllla
lnteraksi antara aPL dengan annexin V, anticoagulant
shield

lnhibisi aktivitas protein C, protein S dan faktor-faktor

Antibodi antifosfolipid

koagulasi

Antibodi antifosfolipid (apLA) didefinisikan


sebagai imunoglobulin yang bereaksi dengan dinding sel
bagian luar yang komponen utamanya adalah fosfolipid.

Antibodi antifosfolipid ini mempunyai aktivitas


prokoagulan terhadap protein C, annexin V, hombosit, dan
menghambat fibrinolisis. Fosfolipid antikoagulan disebut
juga sebagai antifosfolipid (aPL), yang secara stmktural
hampir menyerupai komplemen. Secara alamiah/fisiologis,

aPL yang dibentuk oleh tubuh adalah B2-glikoprotein I


(B2GPI). p2GPI akan berikatan dengan fosfolipid yang

bermuatan

negatif dan

menghambat aktivitas

lain.

Pada penderita dengan antibodi

antifosfolipid dapat ditemukan juga antibodi terhadap


heparin/heparan su lfat, protrombin, pl atelet-activati ng
factor, tissuelype plasminogen activator, protein S,
annexin (2, lV dan V), homboplastin, oxidized low
density lipoprotern, trombomodulin, kininogen, factor
Vll, Vlla dan Xlt. Antibodi terhadap oxidized low
density lipoprotern merupakan factor yang berperan
dalam terjadinya aterosklerosis.

hep
lll

Antibodi terhadap
lfat pada tempat ikatan
dengan antitrombin
vasi koagulasi dengan
cara menghambat pembentukan kompleks heparin-antitrombintrombin.

26tL

SINDROMA AITTIF1OSFOLIPID ANTIBODI

pemanjangan masa protrombin (PT), dan LA

dengan aCL tapi hanya 28%o dari jumlah tersebut yang

tromboplastin non-sensitif yang menghambat kompleks


VIIIa, IXa, PL,C{*
Aktivasi komplemen melalui perlekatan aPL ke

memiliki manifestasi klinis dari sindroma antifosfolipid

permukaan endotel dapat menimbulkan kerusakan endotel


dan merangsang trombosis yangberperan dalam terjadinya

antibodi.

Risiko trombosis pada pasien dengan sindroma


antifosfolipid antibodi diperkirakan sekitar 05% - 30%.
Pada penelitian terhadap 1000 pasien yang dilaporkan

kematianjanin.

dalam the multicenter Euro-Phospholipid Project,

Kehilangan Janin/Kehamilan (Preg nancy lossl

pada wanita dibdaningkan pria dengan rasio 5:

sindroma antifosfolipid antibodi lebih banyak ditemukan

Endocrine system

,i

????t

ry

Pada pasien lupus eritematosus sistemik, rasio pria/


wanita lebih tinggi. Pasien wanita juga memperlihatkan
gambaran klinis arthritis livedo retikularis, dan migrain yang
lebih sering dibandingkan pria, yang terutama memberikan
gejala klinis yang lain seperli infark miokard, epilepsi, dan

trombosis arleri pada tungkai bawah.


Manifestasi klinis dari sindroma antifosfolipid antibodi,
terutama terjadi pada usia rata-rata 31 tahun. Penyakit ini
dapat ditemukan pada anak-anak ataupun usia lanjut,
meskipun 85% pasien yang dilaporkan pada the EuroPhospholipid Project hanya ditemukan pada usia 15 -85
tahun, jarang ditemukan pada usia > 60 tahun. Pada pasien
yang manifestasi klinisnya baru terjadi pada usia > 50

Gambar 1. Mekanisme abortus/kematian janin pada sindrom


antifosfolipid antibodi

tahun, pria lebih banyak terkena dengan gejala klinis strok


dan angina pektoris danjarang disertai livedo retikularis.

Manifestasi Klinis
Secara umum, dikenal 5
Lupus anticoagulant (lgG & lgM)
Anticardiolipin antibodies (lgG, lgA, lgM)
Beta-2-Glycoprotein
Hexagonal phospholipid
Subgrup-subgrup antibodi
Anti-phosphatidylserine (lgG, lgA, lgM)
Anti-phosphatidylethanolamine(lgG, lgA, lgM)
Anti-phosphatidylinositol (lgG, lgA, lgM)
Anti-phosphatidylcholine (lgG, lgA, lgM)
Anti-phosphatidylglycerol (lgG, lgA, lgM)
Anti-phosphatidic acid (lgc, lgA, lgM)
Anti-Annexin-V antibodies (lgG & lgM)

antibodi

1.

o
o
o
o
o
o
o

kelompok Sindroma antifosfolipid

Sindroma antifosfolipid antibodi yang tidak berkaitan


dengan penyakit reumatik

2.

Sindroma antifosfolipid antibodi yang berkaitan dengan


penyakit reumatik/autoimun
3. Catastrophic,4P,S (CAPS)
4. aPL antibody (tanpa gejala)lpre-probable APS
5. Sindroma antifosfolipid antibodi seronegatif.

f"PL "b"".t

f;y.r".".-rI

f A,Cffi;;;-l

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi

aisease&aPr

fpi-P.#;l
lnpsl

Lupus antikoagulan dan antibodi antikardiolipin antibodi


(aCL) pada dewasa muda yang sehat hanya ditemukan 102

-s%.

Prevalensi meningkat seiring peningkatan usia,


terutama pada usia lanjut dengan penyakit kronis.
Meskipun trombosis dapat terjadi pada 50 - 70oh pasien
dengan aPL dan lupus eritematosus sistemik dalam
20-tahun follow-up, setidaknya 30% pasien tersebut tidak
mengalami sindroma antifosfolipid antibodi.
The Montpellier Antiphospholipid study, dengan 1014
jumlah subj ek yang datang berobat ke poli penyakit dalam
dengan berbagai diagnosis penyakit, ditemukan 7.1%

Definite
APS (without SLE- 'Prlmary")
APS
(with SLE - "Sooondary")

Gambar

2.

Spektrum klinis dari sindroma antifosfolipid antibodi.

aPL : antiphospholipid antibody ; SLE : Systemic lupus erythematosus

2612

REI.,IMIIIOIPGI

1. Sindroma Antifosfolipid Antibodi yang Tidak


Berkaitan dengan Penyakit Reumatik
Manifestasi klinis yang khas dengan atal tanpa adanya
hasil test positif untuk serologi aPL, namun tidak disebut

sebagai "definite" APS, melainkan dinamakan sebagai


probable APS / pre-APS. Pasien-pasien ini diklasihkasikan
sebagai probable APS ata:u pre-APS.

Manifestasi klinisnya meliputi : livedo reticularis,


chorea, trombositopenia, abortus, dan lesi pada katup
janfung.

Kelainan kulit yang paling sering ditemukan pada


sindroma antifosfolipid antibodi adalah livedo retikularis.
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa manifestasi
kelainan kulit merupakan menifestasi awal Sindroma
antifosfolipid antibodi yang terjadi pada > 47o/o pasien.

Livedo reticularis sendiri dapat memprediksi adanya


sindroma antifosfolipid antibodi dan komplikasi stroke
serta bentuk trombosis yang lainnya. Pasien-pasien ini
dapat di sertai hipertensi, kelainan katup j antung, epilep si
dan kelainan pada arteria renalis. Pemeriksaan lanjutan
diperlukan untuk menilai apakah seorang pasien yang

memenuhi kriteria pre-APS tersebut mendapatkan


keuntungan untuk terapi antikoagulan unfuk mencegah
kejadian trombosis vascular di kemudian hari.

Diperkenalkan juga satu jenis indroma antifosfolipid

antibodi baru, yang merupakan jenis sindroma


antifosfolipid antibodi mikroangiopati.
Kriteria tahun 2006 juga memperkenalkan pasien
dengan manifestasi klinis yang khas untuk sindroma

antifosfolipid antibodi hasil serologis aPl-nya negatif


(seronegative APS/SNAP), seperti yang ditemukan pada
pasien Sneddon's syndrome (dengan tiga gejala klinis :
stroke, livedo retikularis, dan hipertensi). Sebagian pasien
ini mengalami kejadian trombosis arteri atau vena idiopatik,

autoimun lain yang dilaporkan bersamaan dengan aPL


adalah polimialgia reumatika, sindroma Behcet's,
skleroderma, sindroma Sj ogren's, poliarteritis nodosa,
polikondritis berulang, giant cell arteritis, arteritis
Takayasu, anemia hemolitik autoimun, sindroma Evan's,
dan imun trombositopenia purpura.

Hubungan antara sindroma antifosfolipid antibodi


dengan lupus eritematosus sistemik dan arthritis
reumatoid banyak ditemukan, namun hubungan dengan
penyakit lain baru didapatkan pada laporan kasus.
Kurang lebih 12% - 34oh pasienhtpus diketahui disertai
aPL. Sekitar l2ok - 30%o memiliki antikardiolipin antibodi/
aCL dan lupus antikoagulan berkisar altara 15% - 34%,
dan20%o didapatkan P2-GPI. Pada pasien lupus dengan
aPL, 50o/o - 7 0%o menjadi sindroma antifosfolipid antibodi
yang didapat pada pengamatan selama 20 tahun. Namun

demikian sekitar 30% pasien dengan aPL tidak


memperlihatkan gejala klinis kejadian komplikasi trombosis.
Kelangsungan hidup secara kumulatif pada pasien lupus
dengan sindroma antifosfolipid antibodi (650/o) secara
signifikan 15 tahun lebih rendah daripada pasien yang
tanpa disertai sindroma antifosfolipid antibodi (90%).
Pasien dengan sindroma antifosfolipid antibodi dan
lupus lebih sering memberikan gejala klinis artritis, livedo
retikularis, trombositopenia, leukope nia, atau anemia
hemolitik. Dapat tegadi sumbatan pembuluh darah berbagai

ukuran pada pasien lupus dan sindroma antifosfolipid


antibodi akibat trombosis.
Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan
sel radang pada dinding pembuluh darah pasien lupus
dengan vaskulitis bukan akibat sindroma antifosfolipid
antibodi. Tromboemboli kardiak dapat terjadi pada pasien
lupus akibat vegetasi dari Libman-Sacks verukosa, yang

juga diduga bertanggungjawab sebagai penyebab

pada pemeriksaan sPL pertama hasilnya negatif.


Pemeriksaan pada beberapa bulan berikutnya baru
memberikan hasil positif

Jenis kelamin

r
o
o
r
o
o
.
.
.
o

Trombosis vena dalam (DVT)


Trombositopenia
Livedo retikularis
Stroke

:31.7o/o
:21.9o/o

Tromboflebitissuperfisialis

:9.1o/o

Emboli fulmonal
Kematian Fetus
Transient ischemic attack
Anemia hemolitik

:9.0%

:6.6%

Catastrophic APS

: sebagian kecil (0,8%)

:20o/o

13.1o/o

: 8.3%
:7.Oo/o

Skleroderma
Sindroma Behcet's
Sindroma Sjogren
Mixed connective tissue disease
Polimiositis dan dermatomiositis
Polimialgia reumatika
Osteoartritis
Gout
Multipel sklerosis
Vaskulitis

Penyakit tiroid autoimun

2. Sindroma Antifosfolipid Antibodi

Anemia hemolitik
Trombosipenia purpura imun
Artritis juvenile
Reumatoid Artritis
Artritis psoriatik

yang

Berkaitan dengan Penyakit ReumatiUAutoimun


Penyakit jaringan ikat yang banyak disertai sindroma
antifosfolipid antibodi adalah lupus eritematosus
sistemik (LES/lupus) dan artritis reumatoid. Penyakit

a
a

Persentase
(30%)
(7-50%)
(28%)
(25%)
(7-20yo)

(25-42%)
(22yo)
,)

(20%)
(<14%)
')
,)

')

26t3

SINDROMA ANTIFOSFOIJPID ANTIBODI

stenosis vah,ular, insufi siensi, dan dekompensasi janfung.


Lesi pada katup mitral dan aorta, berkaitan dengan aCL
dan manifestasi klinis sindroma antifosfolipid antibodi dan
juga berkaitan dengan pasien lupus, lama penyakit dan
aktivitas penyakit. Pasien dengan aPL dapat memiliki
kelainanjantung lain, bukan akibat dari penyakit lupusnya.

3. Catastrophic APS (CAPS)

Penderita sindroma antifosfolipid dapat mengalami


trombosis yang luas dengan gagal organ multipel. CAPS,
adalah suatu sindromayang mengenai sistim multiorgan
sebagai manifestasi klinis dari sindroma antifosfolipid
antibodi, pertama kali dilaporkan olehAsherson. Sindroma
rni dikenal dengan nama sindroma Asherson's pada tahun
2003. Terjadi pada kurang dari lo/o pasien sindroma
antifosfolipid antibodi, sindroma ini dikenali dengan
adanya penyumbatan multipel pada pembuluh darah kecil,
yang kemudian menyebabkan kegagalan multi organ dan

%), anti-Ro/S S-A ( 8 %), protein anti-ribonukl eat (8%),


S -B (2 %). F aktor-faktor presipitasi berperan
dalam terjadinya CAPS pada 11 kasus (22%), 3 kasus
dengan infeksi, 3 kasus menggunakan kontrasepsi oral, 4
kasus mengalami prosedur operasi (3 operasi minor dan I
operasi major), withdrawal pemakaian antikoagulan pada
2 kasus, dan histerektomi pada 1 kasus.
Analisis yang dilakukan oleh Asherson dan Cervena
pada tahun 2003 mencatat bahwa infeksi dapat mencetuskan
kejadian CAPS hingga 40%. Trombosis awal dapat berupa
trombosis akut yang khas pada pasien dengan sindroma
antifosfolipid antibodi, kemudian dapat secara cepat
(5

dan anti-LalS

berkembang menjadi mikroangiopati sistemik yang


dilaporkan oleh Kirchens sebagai suatu " thrombotic storm" .
Catastrophic APS sering berakibat fatal dengan angka

mortalitas 44-48%, meskipun telah diberikan terapi


antikoagulan dan imunosupresif.

meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyakit ini.


Sindroma ini memiliki onset yang akut dan ditemukan

1. Terbukti melibatkan 3 organ, sistem, dan/atau jaringan

keterlibatan sedikitnya 3 sistim organ tubuh yang berbeda


dalam hitungan hari atau minggu. Secara histopatologi,

ditemukan bukti adanya penyumbatan pada pembuluh


darah kecil dan besar. Gambaran yang khas pada sindroma
ini adalah adanya suatu mikroangiopati akut, dibandingkan
penyumbatan pada pembuluh darah besar, yang lebih
sering ditemukan pada pasien baik sindroma antifosfolipid
antibodi primer maupun sekunder. Gambaran klinis
berkaitan dengan adanya iskemik organ dan jaringan,

termasuk gagal ginjal akibat renal thrombotic


microangiopathy, acute respiratory failure akibat dari
adult respiratory distress syndrome, injuri serebral akibat
dari mikrotrombi danmikroinfark, dan gagal jantung akibat
danmikrotrombi.
Analisis yang dilakukan oleh Asherson dan kawankawan pada tahun 1998 terhadap 50 pasien (5 dari klinik
merika dan 45 yang didapat dari studi literatur), ditemukan
sekitar 28%o pasien dengan gambaran klinis yang khas

tubuh
Manifestasi klinis yang terjadi berlangsung < lminggu
3 Terbukti pada gambaran histopatologi dari penyumbatan
pembuluh darah kecil sedikitnya pada satu organ/jaringan
tubuh
aPL (+) (lupus antikoagulan
Konfirmasi Laboratorium
dan/atau aCL dan/atau p2-GPl antibodi)
Disebut Diagnosis Pasti CAPS bila memenuhi ke-4 kriteria
diatas
Disebut Probable CAPS bila memenuhi kriteria 2,3, dan 4,
disertai bukti keterlibatan 2 organ, sistim, dan/ atau jaringan

tubuh:

. Ke-4 kriteria

tersebut, tanpa konfirmasi laboratorium

terhadap pemeriksaan aPL dalam 6 minggu setelah hasil


(+) yang pertama (karena kematian yang terjadi sebelum

pasien sempat mengulangnya sebelum terjadi CAPS)


Kriteria 1,2, dan 4
Kriteria 1,3, dan 4, ditambah episode kejadian ke-3 dalam
>1 minggu <1 bulan, tanpa mendapat terapi antikoagulan

dari suatu disseminated intravascular coagulation.

4. aPL antibodi tanpa gejala klinis/asimptomatik

Kematian yang ditemukan pada dua studi besar, terhadap


total 130 pasien, lebih besar dari 48%o. Keterlibatan ginjal
terjadi pada '78o/o, dar 66Yo denganketerlibatan paru,560/o
dengan keterlibatan sistim vena sentral, 50% dengan
keterlibatan jantung, dan 50% dengan kelainan kulit. CAPS
lebih sering ditemukan pada wanita (66%) dibandingkan
pria (34%). Sebanyak28 pasien (56%) memiliki sindroma
antifosfolipid antibodi primer, 15 pasien (30%) ditemukan

Pasien dapat ditemukan dengan aPL positif meski tanpa


gejala klinis trombosis yang jelas atau manifestasi klinis
yang lain. Pasien dengan infeksi, keganasan, hemodialisis,
dan aPL terinduksi obat, kejadian trombosis lebih jarang
ditemukan.
Adanya aPL dalam tubuh seseorang masih belum
dimengerti patogenesisnya, Penjelasan tentang seseorang
dengan aPL tanpa disertai penyakit yang mendasarinya
juga masih belum diketahui. Mengapa kemudian sebagian
penderita tersebut mengalami trombosis dan sebagian
lainnya tidak terj adi j uga masih menj adi pertanyaan besar.
Bila keberad aar. aPL diatggap sebagai faktor predisposisi,
maka adanya faktor pencetus atau "double hit," dapat
menimbulkan kej adian tromb o sis pada seseorang.
Penting sekali untuk dapat mengenali berbagai faktor

dengan lupus, 6 pasien (12%) memiliki sindroma


"menyerupai lupus", dan I pasien (2%o) dengan artritis
reumatoid. Trombositopenia didapatkan pada 34 (68%)
pasien, dan anemiahemolitikpada 13 (26%) pasien.

Antibodi yang ditemukan, terutama :

lupus

antikoagulan (9 4%), aCL (9 4%), anti-double-stranded


DNA (87% pasien dengan Lupus), antibodi antinuklear

2614

REUMATIOI..oGI

risiko pada aPL atau sindroma antifosfolipid antibodi

asimptomatik (tanpa trombosis) yaitu dengan


ditemukannya lupus antikoagulan, dan peningkatan
kadar IgG aCL. Berbagai laporan telah menyebutkan
bahwa masing-masing faktor risiko tersebut meningkatkan

MANIFESTASI KLINIS SINDROMAANTIFOSFOLIPID

ANTIBODI

l. Berdasarkan Jenis Pembuluh Darah yang

risiko terjadinya trombosis hingga lima kali lipat.


Ditemukannya aPL yang menetap dalam waktu lama

juga secara progressif meningkatkan risiko kejadian


trombosis.

Terkena:

l.

Thombosispadavena-venabesar

a. Kelainan

neurologi '. transient ischemic attack,

stroke iskemik, chorea, kejang, demensia, mielitis


transversa, ensefalopati, migrain, pseudotumor

5. Sindroma antifosfolipid antibodi seronegatif

cerebri, trombosis vena cerebri, mononeuritis

Merupakan kelompok pasien yang sudah teridentihkasi


memberikan gambaran klinis sidnroma antifosfolipid
antibodi, tanpa adanya aPL, lupus antikoagulan,b2-GPI,
antiphospholipid subtipe antibodi, atau sebagian pasien
ditemukan aPL pada pemeriksaan laboratorium. Kelompok
pasien ini disebut memiliki sindroma SNAP. Sebagian
pasien ini mengalami kejadian trombosis arteri atau vena

multipleks.
Kelainan mata: trombosis vena dan/atau arleri retina,
amaurosis fugax
Kelainan kulit : flebitis superfisial, ulkus pada
tungkai, iskemik distal, blue toe syndrome
Kelainan jantung : infark miokard, vegetasi pada
katup, thrombus pada intrakardiak, aterosklerosis
Kelainan paru : emboli paru, hipertensi pulmonal,
trombosis arteri pulmonari, perdarahan alveolar.
Kelainan pada arterial: trombosis aorta, trombosis
pada arteri besar dan kecil.
Kelainan ginjal : trombosis arteri dan vena renalis,
infark ginjal, gagal ginjal akut, proteinuria, hemahrria, sindroma nefrotik

b.
c.
d.

idiopatik dan pada pemeriksaan pertama untuk aPL hasilnya

e.

negatif. Pemeriksaan pada beberapa bulan berikutnya baru


memberikan hasil positif.

f
o

36% lgc antibodi antifosfolipid


17% lgM antibodi antifosfolipid
14% lgA antibodi antifosfolipid
33% memiliki campuran dari ke-3 isotrpe

i.
Sindroma trombosis yang berhubungan dengan
antibodi antifosfolipid ;
1. Sindromatipe I :
a. Trombosis vena dalam dengan
paru

2.

Sindroma tipe II

ata:u

j.

tanpa emboli

a. Trombosis arteri koroner


b. Trombosis arteri perifer
c. Trombosis aorta
d. Trombosis afteri karotis
3. Sindroma tipe III
a. Trombosis arteri retina
b. Trombosis vena retina
c. Trombosis serebrovaskuler
d. Transient cerebral ischemic attacks
4. Sindromatipe IV
a. Sindroma tipe campuran dari tipe I, II dan III
5. Sindromatipe V
a. Trombosis vaskuler plasenta
b. Fetal wastage (sering pada trimester I, dapat terjadi

oligo-hidramnion, preeklampsia.

pada trimester 2 dan3)

c.
6.

Trombositopenimatemal

SindromatipeVl:
a. Antibodi antifosfolipid tanpa manifestasi klinis

Kelainan gastrointestinal: sindroma Budd-Chiari,


infark hepar, infark kandung empedu, infark usus,
infark limpa, pankreatitis, ascites, perforasi esophagus, kolitis iskemik.
Kelainan endokrin : infark ataukrisis adrenal, infark
testis, prostat, dan infark serla kegagalan hipofise.
Trombosis vena : Trombosis pada ekstremitas,
trombosis adrenal, trombosis hepatik, trombosis
mesenterika, trombosis pada vena-vena limpa,
trombosis vena cava.
Komplikasi obstetri : aboffus, intrauterine growth
retardation, anemia hemolitik, peningkatan enzim
hepar, dan trombositopenia (sindroma HELLP),

Kelainan hematologi : Trombositopenia, anemia


hemolitik, sindroma hemolilik-uremik, purpura
trombotik trombo sitopeni.
Lain-lain : perforasi septum nasalis, nekrosis
avaskuler pada tulang,

) tombosis arteri
Trombosis arterial lebih jarang dijumpai dibandingkan
dengan trombosis vena dan terjadi sebagai bagian dari
gejala klinis sindroma antifosfolipid antibodi primer.

Pasien-pasien dengan trombosis arteri, umumnya


mengalami transient ischemic attackatau stroke (50%)
atau infark miokard(23%). Kejadian serangan sumbatan

arteri tersebut umumnya diduga suatu sindroma


antifosfolipid antibodi , bila terjadi pada individu tanpa
faktor risiko aterosklerosis. Umumnya terjadi pada

2615

SINDROMA AT{TIFIOSFICUPID Ai{TIBODI

usia < 60 tahun, tanpa faktor risiko klasik untuk

aterosklerosis (riwayat keluarga, merokok,


hiperlipidemia, hipertension, diabetes mellitus)'
Ditemukannya aCL merupakan faktor risiko untuk
kejadian stroke. Trombosis arterial pada pasien
sindroma antifosfolipid antibodi dapat juga terjadi pada
pembuluh darah besar dan kecil, yang tidak khas untuk
penyakit thrombophilic disorders lain atau penyakit
sumbatan aterosklerotik lainnya. Lokasi trombosis arteri
ini umumnya terjadi pada arleri brakialis dan subklavia,

Livedo retikularis

arteri axillaris (sindroma arkus aorla), aorta, iliaka,


femoralis, renalis, mesenterika, retinal, dan arteri perifer
lainnya. Manifestasi klinis tentunya berkaitan dengan
ukuran diameter pembuluh darah dan lokasi arteri yang
terkena.

3. Trombosismikrovaskular
a. Kelainan pada mata : retinitis
b. Kelainan kulit : livedo retikularis,

l.
gangren

superfi sial, pu{pura, ekimosis, nodul subkutan

c.

Kelainan jantung : infark miokard, mikrotrombi

d.

miokard, miokarditis, kelainan katup


Kelainanparu: acute respiratory distress syndrome,
perdarahan alveolar

e. Kelainan ginjal : gagal ginjal akut, trombosis


mikroangiopati, hipertensi

Kelainan gastrointestinal: infark atau gangrene


usus, hepar, dan limPa

g.

h.

ll. Berdasarkan jenis organ atau jaringan tubuh


yang terlibat:

Kelainan hematologi '. disseminated intravascular


coagulation/DlC (hanya terjadi pada CAPS)
Lain-lain : mikrotrombi,mikroinfark

Beberapa gambaran klinis yang dapat ditemukanpada

pemeriksaan fisik pasien sindroma antifosfolipid


antibodi:

Kelainan kulit

Manifestasi kelainan kulit dapat merupakan gejala


klinis pertama dari APS. Secara histopatologi,
gambaran yang umum ditemukan adalah trombosis
vascular yang bersifat non inflamasi. Secara klinis,
pasien-pasien tersebut memiliki kelainan kulit seperti

livedo retikularis, necrotizing vaskulitis, livedoid


vaskulitis, ulserasi dan nekrosis kulit; makula
eritematosus, purpura, ekimosis, nodul kulit yang
terasa nyeri, dan subungual splinter hemorrhages'
Anetoderma, discoid lupus erythematosus, cutaneous
T-cell lymphoma, dan penyakit-penyakit yang serupa
dengan sindroma Degos dan Sneddon's juga pernah
dilaporkan meskipun jarang ditemukan. Pasien dengan

livedo retikularis dan APS sering disertai kejadian


trombosis pada jantung dan serebral, epilepsi, dan mi-

graine headaches.

2. Kelainanparu
Gambaran utama dari kelainan paru yang terkait dengan
APS adalah PE. Trombosis in situ juga pemah dilaporkan

pada suatu kejadian tromboembolisme' aPL


berhubungan dengan hipertensi pulmonal, dan pada
suatu penelitian terhadap 38 pasien dengan hipertensi
pulmonal prekapiler, ditemukan 30% memiliki aPL'
Vaskulopati pulmonal refrakter noninflamasi ditandai
dengan adanya trombosis mikrovaskulet dapat berdiri
sendiri atau terkait dengan CAPS.
Subungual splinter haemorrhage

3. KelainanGastrointestinal
Trombosis pada vena hepatica sebagai manifestasi
klinis sindroma antifosfolipid antibodi akibat dari
sindroma Budd-Chiari. Trombosis mesenterika dan vena

porta pada sindroma antifosfolipid antibodi telah


banyak dilaporkan. Manifestasi klinis lain dari trombosis
pada pembuluh darah besar dan kecil pada hati meliputi

infark hati, pancreatitis, nekrosis esophagus' iskemia


dan infark usus dan ulserasi kolon, kolesistitis akalkulus

Vaskulitis perifer

dengan nekrosis kandung empedu, dan ulserasi pada


giant gastric.

2616

REI,JMANOI.OGI

4. Manifestasi pada ginjal


Manifestasi utama sindroma antifosfolipid antibodi pada
ginjal terkait dengan adanya trombosis mikroangiopati,

hipo-protrombinemia didapat. Pemanjangan masa


prothrombin dan aktivasi dari masa parsial thromboplastin dapat berkaitan dengan keberadaan lupus
antikoagulan dan tidak selalu terkait dengan beratnya
defisiensi protrombin.

dikenal dengan nama aPL-associated nephropathy.


Komplikasi lain dapat berupa trombosis vena renalis,
infark ginjal, stenosis arteri renalis, dan trombosis
vaskuler pada allograft.

Keadaan-keadaan lain yang berhubungan

5. Kelainan retina

dengan antibodi antifosfolipid

Trombosis vena dan arteri pada pembuluh dara retina


sudah banyak dikenal sebagai manifestasi dari sindroma

antifosfolipid antibodi. Gambaran yang paling sering


diduga karena suatu aPL adalah sumbatan difus pada
arteriretita, vena atau keduanya, dan neovaskulerisasi
pada saat yang bersamaan. Manifestasi kelainan pada
mata lainnya adalah berupa neuropati optik dan
sumbatan arteri silioretina.

6.

Manifestasi klinis yang lain


Beragam gejala klinis lain yang telah dilaporkan terkait
dengan sindroma antifosfolipid antibodi telah banyak
dilaporkan. Jarang ditemukan namun cukup penting
adalah perdarahan adrenal, nekrosis sumsum tulang
(terutama pada CAPS), dan kehilangan pendengaran
tiba-tiba.

7.

Kelainan hematologi
Trombositopenia (hombosit <1 00,000) didapatkan pada
20% - 40%pasien sindroma antifosfolipid antibodi dan
umumnya bersifat ringan. Trombositopenia berat sering
ditemukan pada kasus CAPS dan disertai adanya disse

m in at e

int r av

a s cu I

ar

an

Iico

a gu I a t i o

atau TTp.

Hubungan antara aPL dengan purpura trombositopeni


autoimun telah dikenal sejak tahun 1985 yang dilaporkan

oleh Harris dan kawan-kawan dan baru-baru ini


dilaporkan pada 38%o pasien sindroma antifosfolipid
antibodi. Pada follow-up ditemukan trombosis pada 60%
pasien aPL dan hanya 2.3o/o pada pasien tanpa apl-.
Untuk membuktikan bahwa trombositopenia yang
terjadi pada pasien benar-benar terkait dengan apl-,
pasien-pasien yang diduga memiliki aPL-associated
thrombocytopenia apabila mereka memiliki aPL yang
memenuhi criteria laboratorium dengan trombositopenia
(hombosit <100,000) yang ditemukan sedikitnya dalam
2 kali pemeriksaan, dalam jangka waktu l2 minggu dan
dibuktikan tidak memiliki TTP, disseminated intravascul ar co a gu I a/ion, p seudotrombositopen ia, atau h ep arin- induc ed thro mb o cytop eni a.

8.

Perdarahan
Pada pasien dengan sindroma antifosfolipid antibodi
jarang tefadi perdarahan yang hebat. perdarahan dapat
diakibatkan oleh komplikasi koagulopati disseminated
intravascular coagulation, yang mungkin terjadi pada

Nekrosis ayaskular. Kejadian nekrosis avaskuler


meningkat pada pasien dengan aPlpositif, biasanya terjadi
pada pasien yang ketergantungan terhadap kortikosteroid
:73%o pasien SLE dengan nekrosis avaskuler ditemukan
memiliki aPL. Pada penelitian terbaru, didapatkan kejadian
asimptomatik nekosis avaskuler melalui MRI pada 20%
pasien sindroma antifosfolipid primer.

Sindroma antifosfolipid antibodi akibat induksi obat.


Sejumlah obat-obatan telah terbukti dapat mencetuskan
penyakit aPL. Diantaratya adalah chlorpromazine,
phenytoin, hy dralazite, procainamide, fansidar, quinidine,
interferon, dan cocaine. Terutama aPL dengan tipe IgM,
ditemukan pada kadar rendah, dan tidak berkaitan dengan
peningkatan insidensi kejadian trombosis.

Infeksi dengan sindroma antifosfolipid antibodi. Beberapa


agent infeksius dapat mencetuskan terjadinya aPL.
Antibodi-antibodi yang terinduksi oleh infeksi ini dikenali

sebagai anionic phospholipid epitopes yang secara


langsung bereaksi melalui kofaktor b2-GP L Autoantibodi
yang lebih sering ditemui adalah IgM dibandingkan IgG
aCL.
Gambaran klinis khas sindroma antifosfolipid antibodi

jarang ditemukan pada aPL yang disebabkan infeksi.


Beberapa infeksi, telah dibuktikan terkait dengan
pembentukan aPL dan a2-GPI danberhubungan dengan
kejadian trombosis :
. Bakteri : septikemi, leptospirosis, sifilis, Lyme disease
(Boneliosis), tuberkulosis, lepra,endokarditis infektif,

demam reumatik post infeksi streptokokus, infeksi

klebsiela.
Virus :parvovirus B19, HfV, HTLV-I, hepatitis virusA,B

Epstein-Barr, adenovirus, Rubella [56].


Parasit : malaria, pneumocystic carinii, leishmaniasis.

dan C, mumps, cytomegalovirus, varicella-zoster,

Infeksi berperan sebagai faktor pencetus pada lebih


kurang 40% kasus-kasus CAPS.
Keganasan dengan sindroma antifosfolipid antibodi. Telah
diketahui bahwa keganasan merupakan faktor risiko besar
untuk terjadinya trombosis vena. Variasi jenis keganasan
baik berbentuk solid atau keganasan hematologi telah

dilaporkan berkaitan dengan aPL. Hubungafl antara

pasien dengan CAPS. Kasus-kasus yang disertai


perdarahan yang hebat pada sindroma antifosfolipid

keganasan dengan kejadian aPL, dan trombosis masih sulit


dimengerti. Antibodi antifosfolipid ditemukan pada kanker

antibodi merupakan tanda dari beratnya penyakit, akibat

paru, kolon, serviks,prostat, ginjal, ovarium, papdara,

26t7

SINDROMA AIYTIF1OSF1OLIPID AT{TIBODI

hrlang, limfoma Hodgkin dan non Hodgkin, mielofibrosis,


polisitemia vera, leukemia mieloid dan limfositik.

Keadaan-keadaan Lain
Antibodi antifosfolipid juga ditemukan pada sickle cell
anemia, anemia pernisiosa, diabetes mellitus, inflammatory bowel disease, terapi pengganti ginjal dialysis dan
sindroma Klinefelter.

bermakna untuk pasien dengan aPL, penting juga

Pemeriksaan Penunjang

.
.
.

IgG IgM dan IgAantibodi antikardiolipin


IgG IgM danlgAanti p2-Glikoproteinl

mengenali pasien dengan faktor risiko lain untuk kejadian


trombosis arteri dan untuk melakukan intervensi dalam
mengurangi faktor-faktor risiko tersebut sebaik-baiknya'
Pada setiap faktor risiko untuk trombosis vena atau arteri,

Test lupus antikoagulan

risiko meningkat dalam merubah seorang pasien dari

Diagnosis Banding

.
.
.
'

adanya riwayat trombosis sebelumnya, pemberian


antikoagulan sebagai terapi pada individu dengan aPL
asimptomatik tidak mempunyai landasan ilmiah.
Berbeda dengan pasien aPL asimptomatik dan pasien
sindroma antifosfolipid antibodi dengan bukti adanya
kejadian trombosis pada vena besar ataupun kecil, atau
pada abortus, penting sekali dikenali secara individual yang
tanpa gejala klinis, karena memiliki risiko yang besar dan
memerlukan monitoring yang ketat terhadap kejadian
trombosis. Trombosis arteri merupakan risiko yang

Keguguran, kelahiran premature karena sebab lain


(kelainan hormonal, kelainan kromosom atau kelainan
anatomi uterus dan jalan lahir)

Sumbatanvenakarena sebab lain (kelainankoagulasi,


kanker, penyakit mieloproliferatif, sindroma nefrotik)
Sumbatan arterial karena sebab lain (aterosklerosis,
emboli karena fibrilasi atrial, miksoma, endokarditis)

keadaan aPL asimptomatik menjadi sindroma antifosfolipid


antibodi primer dengan kejadian trombosis.

Terapi untuk Trombosis pada Sindroma Antifosfolipid

Antibodi adalah :
. heparin dan warfarin. Pada umumnya warfarin

Trombotiktrombositopenipurpura
Sindromahemolitikuremik

.
Penatalaksanaan
Ditemukannya faktor risiko kejadian trombosis, tanpa

saja

sudah memadai untuk terapi trombosis vena.'Namun,

penambahan aspirin atau dipiridamol pada terapi


warfarin dapat mencegah trombosis arteri berulang.
Antiplatelet: aspirin,dipiridamol,klopidogrel.
Klopidogrel diduga mempunyai peranan dalam terapi
dan profi laksis primer dan sekunder APS, terutama pada

Bogon pemeriksqan loborolorium unluk


mendeteksi Sindrornq ontilostolipid qntibodi
Penyokityg lerksil

Gejolo ygled<oil

APS

Me

APS

Memoniong
Negulil

Fosilif

No

if

pot,"'l *

Bnsr

Menelopnyu lgM dlnr 6 minggu, lgG dlm l2 minggu, l.A dlm 6 minggu
Gambar 4. Diagnosis laboratorium untuk sindroma antifosfolipid antibodi. Bila hasil test negatif, namun secara klinis terdapat kecurigaan,
dapat dilakukan test terhadap subgroup antibodi antifosfolipid.

2618

REUM/r$OLOGI

penderita dengan riwayat alergi terhadap aspirin.

Hidroksiklorokuin
Data penelitian mengenai pemberian hidroksiklorokuin

dalam pencegahan tromboemboli pada sindroma


antifosfolipid antibody ini masih tebatas.

Hidroksiklorokuin lebih sering digunakan pada


penderita tanpa tromboemboli arterial.

Rekomendasi Regimen Antitrombotik pada


Trombosis yan g Disertai Anti bodi Antifosfol i pid
l. Sindroma tipe I
a. Heparin unfractionated/low molecular weight
heparin jangka pendek diikuti pemberian jangka

2.

panjang heparin subkutan


b. Klopidogrel jangka panjang
Sindromatipe II

a.

b.

Heparian unfractionated/low molecular weight


heparin jangka pendek diikuti pemberian jangka
panjang heparin subkutan
Ktopidogrel jangka panjang.
: klopidogrel dengan heparin sub
kutan jangka panjang

5.

tidakhamil
Kombinasi aspirin dan hidroksiklorokuin (s 6,5 mg/kg/hari)

Catastrophic APS
pemberikan anticoagulation, immune globulin intravena,
dan plasma exchange.

Rekomendasi terapi pada CAPS :


. Terapi factor pencetus (misalnya infeksi)
. Heparin, diikuti warfarin (target INR 2-3)
. Metilprednisolon I gram IV,/hari selama 3 hari, diikuti
steroid parenteral atau oral ekivalen dengan prednisone

'
.

Sindroma tipe IV
a. Terapi tergantung jenis trombosis
Sindroma tipe V

Aspirin 81 mglhari pada penderita asimptomatik yang

Pada pasien dengan CAPS, terapi agresif diberikan berupa

Retinal : klopidogrel, bila gagal, ditambahkan


heparin sub kutan jangka panjang.

4.

direkomendasikan adalah

3. Sindroma tipe III


a. Serebrovaskuler
b.

dengan aPL tanpa riwayat trombosis. Insidensi terjadinya


trombosis pada keadaan ini berkisar antara 70-7 5%o pada
titer antibody yang sangat tinggi. Terpai profilaksis yang

1-2 mg,4<gBB

(4}}mgkghari selama
5 hari) bila didapatkan adanya mikroangiopati

Plasma exchange dan/atau fVIG

(trombositopenia, anemi hemolitik mikroangiopati)


Siklofosfamid (diberikan pada sindroma antifosfolipid
yang berhubungan dengan lupus eritematosus sistemik
dengan komplikasi yang mengancam jiwa.

Terapi eksperimental (masih dalam penelitian)

fibrinolitik, prostasiklin, ancrod, dehbrotide, antisitokin,


immunoadsorptioin, anti sel B antibodi (rituximab)

a. Aspirin 81 mg/hari

sebelum konsepsi, diikuti


heparin 5000 unit setiap 12 jam segera setelah
konsepsi

6.

Sindroma tipe

VI

a. Tidak ada indikasi yang jelas untuk pemberian

terapi

antitrombotik

Catatan : terapi antitrombotik tidak boleh dihentikan


sebelum hasil pemeriksaan ulang antibodi antikardiolipin
menjadi negatif dalam waktu 4-6 bulan.

Kejadian Trombosis Pertama


Direkomendasikan pemberian antikoagulan warfarin
dengan target INR antara 2-3 pada penderita dengan
trombosis vena dalam atau emboli paru yang pertama kali
terjadi. Warfarin diberikan selama minimal

bulan.

Kejadian Trombosis Berulang


Direkomendasikan pemberian warfarin seumur hidup
dengan target INR 2-3. Bila terjadi trombosis berulang

selama terapi warfarin dengan target

INR 2-3,

direkomendasikan untuk menaikkan target INR menjadi


3,1- 4 dan latau dengan penambahan aspirin dosis rendah.

Terapi Profilaksis

Terapi profilaksis diberikan pada penderita asimptomatik

RINGKASAN
Sindroma antifosfolipid antibodi adalah suatu penyakit
dengan karakteristik manifestasi klinis yang beragam.
Gejala klinisnya meliputi banyak sistim organ atau jaringan
tubuh yang terkena akibat dari trombosis pada pembuluh
darah besar dan kecil. Spektrum klinisnya sangat luas pada
seorang penderita dengan aPL, dari yang tanpa gejala klinis

hingga sangat berat dan mengancam jiwa seseorang pada


CAPS. Pasien-pasien dapat memberikan gambaran klinis
sindroma antifosfolipid antibodi namun tidak memenuhi
kriteria International untuk suatu diagnosis pasti untuk
sindroma antifosfolipid antibodi. Pasien dengan SNAPS
memperlihatkan trombosis idiopatik yang khas, namun
tidak selalu ditemukan aPL pada awal pemeriksaan.
Seorang pasien didiagnosis pasti sindroma antifosfolipid
antibodi memperlihatkan adanya trombosis baik pada vena

maupun arteri, baik dengan atau tarrpa penyakit lupus


eritematosus sisternik. Sindroma antifosfolipid antibodi
mikroangiop ati dapat terj adi dengan kerusakan j aringan
atau organ yang terlokalisir dan dapat berkembang menjadi
suatu" thrombotic storm" pada CAPS.
Penatalaks an aan atau terapi sindroma antifosfolipid
yang umumnya dilakukan adalah pemberian antikoagulan
untuk trombosis atau untuk pencegahan pada kehamilan.

2619

SINDROMA AT{fi FOSFOLIPID ANTIBODI

Tidak ditemukan data-data yatg menganjurkan


pemberian antikoagulan untuk profilaksis terapi pada
penderita dengan aPl-positive tanpa ge;ala klinis, namun

penelitian besar terhadap kasus ini masih terus


berlangsung. Rekomendasi terkini untuk kasus tersebut
adalah pemberian aspirin dosis kecil ( 81 mg/hari) hingga
ditemukan data-data penunjang lain. Hindari faktor risiko
trombosis yang bersifat reversible (misalnya merokok atau

pemakaian oral kontrasepsi), dan pencegahan pada


periode dengan risiko tinggi seperti menghadapi operasi
kondisi imobilisasi merupakan hal yang penting.
Kelompokpenderita aPL yang ditandai dengan adartya
aPL dan komplikasi kehamilan saja; tidak secara rutin

atau pada

mendapatkan terapi profilaksis setelah persalinan. pasien

yang mendapatkan terapi aspirin dosis rendah terus


menerus ditemukan angka kejadian trombosis yang lebih
rendah 107o. Berdasarkan data tersebut, rekomendasi
terbaru terhadap penderita dengan komplikasi kehamilan
akibat sindroma antifosfolipid antibodi, pemberian aspirin
dosis rendah sangat dianjurkan.

Hughes GR, Khamashta MA. Seronegative antiphospholipid


syndrome. Ann Rheum Dis, 2003;62(12):1127 Petri M. Epidemiology of the antiphospholipid antibody syndrome'
J Autoimmun, 2000; 1 5(2): 145-5 1.
Levine SR, Salowich-Palm L, Sawaya KL, et a1. IgG anticardiolipin
antibody titer >40 GPL, dan the risk of subsequent thromboocclusive events dan death. A prospective cohort study Stroke
r997 ;28(9):1 660-5
Khamashta M, Cuadrado M, Mujic F, et al. The management of
trombosis in the antiphospholipid-antibody syndrome' N Engl
J Med 1995:332:993-1
Miret C, Cervera R, Reverter JC, et a1. Antiphospholipid syndrome
without antiphospholipid antibodies at the time of the
thrombotic event: transient "seronegative" antiphospholipid
syndrome? Clin Exp Rheumatol 1997;15:541-4.
Parkpian V, Verasertniyom O, Vanichapuntu M, et al. Specificity
dan sensitivity of antibeta(2)-glycoprotein I as compared with
.

anticardiolipin antibody dan lupus anticoagulant in Thai


systemic lupus erythematosus patients with clinical features of
antiphospholipid syndrome. Clin Rheumatol Mat 2, 2O01 '
Koenig M, Roy M, Baccot S, et al. Thrombotic microangiopathy
with liver, gut dan bone infarction (catastrophic antiphospholipid
syndrome) associated with HELLP syndrome. Clin Rheumatol

2005;2:166

8.

Asherson R, Cervera R. Antiphospholipid antibodies dan inflections'

REFERENSI

G Harris EN,GharaviA. The anticardiolipin syndrome'


J Rheumatol 1986;13:486-9.
Levine JS, Branch DW, Rauch J. The antiphospholipid syndrome
N Engl J Med, 2002;346(10):752 63WilsonW Gharavi A, Koike T, et al. International consensus
statement on preliminary classification kriteria for definite
antiphospholipid syndrome: report of an international
workshop Arthritis Rheum 1999;42:1309 11.
Miyakis S. lnternational consensus statement on an update of the
classification kriteria for definite antiphospholipid syndrome
(APS) J Thromb Haemost, 2006;4:295-306
Asherson R, Khamashta M, Ordi-Rios J, et al. The "primary"
antiphospholipid syndrome: major clinical dan serological
features. Medicine (Baltimore) 1 9 89 ;68 :3 66-T 4
Vianna JL, Khamashta M, Ordi J, et al. Comparison of the primary

Hughes

dan secondary antiphospholipid syndrome: a European

multicenter study. Am J Med 1994;96:3-9.


Alarcon-segovia D, Deleze M, O CV, et al. Antiphospholipid

antibodies dan the antiphospholipid syndrome in systemic


lupus erythematosus: a prospective analysis of 500 consecutive
patients. Medicine (Baltimore) 1989;68:353-65.
Merkel PA, Chang Y, Pierangeli SS, et al. The prevalence dan
clinical associations of anticardiolipin antibodies in a large
inception cohort of patients with connective tissue diseases'

Am J Med 1996;101(6):s76-83.
Cervera R, Piette JC, Font J, et al. Antiphospholipid syndrome:

clinical dan immunologic manifestations dan patterns of


disease expression in a cohort

of

1,000 patients.

Artkitis Meum,

2002;46:1019-27 .
Asherson RA. New subsets of the antiphospholipid syndrome in
2006: "PRE-APS" (probable APS) dan microangiopathic
antiphospholipid syndromes ("MAPS"). Autoimmun Rev,
2006;6(2):7 6-80.

Schofield Y. Systemic antiphospholipid syndrome. Lupus


2003;12:497

8.

Ann Rheum Dis 2003;62:388-93.


Zuckerman E, Toubi E, Golan T, et a1. Increased throm6oembolic
incidence in anti-cardiolipin-positive patients with malignancy
Br J Cancer 1995;72:447-51.

Piette JC, Cervera R, Levy RA, et al. The catastrophic


antiphospholipid syndrome-Asherson's syndroine' Ann Med
Inteme (Paris) 2003;154:195 6.

Asherson RA. Catastrophic antiphospholipid syndrome:


international consensus statement on classification kriteria dan
treatment guidelines Lupus 2003;12:530-4.
Erkan D, Cervera R, Asherson RA Catastrophic antiphospholipid
syndrome Arthritis Rheum 2003;48(12):3320 1.
Kirchens C. Thrombotic storm: when trombosis begets trombosis

Am J Med 1998:104: 381

5.

Sanna G, Bertolaccini ML, Hughes GR. Hughes syndrome,


the antiphospholipid syndrome: a new chapter in neurology'
Ann N Y Acad Sci 2005;1051:465 86
Carp HJA. Antiphospholipid syndrome in pregnancy' Curr Opin
Obstet Gynecol 2004;1 6 :129-3 5 Gibson G, SuW, Pittelkow M. Antiphospholipid syndrome dan the
skin. J Am Acad Dermatol 1997.36:9'70-82.
Toubi E, Krause I, Praser A, et al. Livedo reticularis as a marker for
predicting multisystem trombosis in antiphospholipid syndrome'
Clin Exp Rheumatol 2005;23:499-504.
Galli M, Finazzi G, Barbui T. Thrombocyopenia in the antiphospholipid
syndrome: pathophysiology, clinical relevance dan treatment Ann
Med Inteme (Paris) 1996;147(Suppl 1): 24-7.
Atsumi T, Furukawa S, Amengual O, et al Antiphospholipid
antibody associated thrombocytopenia. Lupus 2005 ;14:499-504'

William F. Baker, WF, Bick RL. The clinical spectrum of


antiphospholipid syndrome, Hematol oncol clin N Am 22
(2008):33-52.

William

F. Baker, WF,

Bick RL. Controversies and Unresolved Issuesin

Antiphospholipid Syndrome Pathogenesis and Management'


Hematol oncol clin N Am 22 (2008): 155-174.
Hoppensteadt DA,Fabbrini N, Messmore HL' Laboratory
Evaluation of the Antiphospholipid Syndrome' Hematol oncol
clin N Am 22 (2008): t9-32

404
SKLEROSIS SISTEMIK
Bambang Setiyohadi

DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI

Beberapa bahan kimia seperti vinilklorida, epoksi-resin dan

Sklerosis sistemik (skleroderma) adalah penyakitjaringan

pentazosin dan L-triptofan, juga dtketahui berhubungan


dengan timbulnya sklerosis sistemik. Pemajanan terhadap
vinil klorida diketahui berhubungan dengan timbulnya

trikloroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin,

ikat yang tidak diketahui penyebabnya yang ditandai


oleh fibrosis kulit dan organ viseral serta kelainan
mikrovaskular.
Kasus skleroderma pertama kali dilaporkan oleh Carlo
Curzio pada tahun 1753 di Napoli yang menyerang seorang
wanita yang berumur 17 tahun. Hubungan skeleroderma
dengan fenomena Raynaud, pertamakali dilaporkan oleh
Maurice Raynaud pada tahun I 865. Kemudian pada tahun-

tahun berikutnya diketahui bahwa penyakit ini juga


menyerang organ viseral. Pada tahun 1945, Goetz
mengusulkan istllah progresive systemic sclerosis yang
menggambarkan lesi yang luas, baik di kulit maupun di

organ viseral. Pada tahun 1964, Winterbauer

mendeskripsikan salah satu varian skleroderma yang


hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang
disebut CREST syndrome (calcinosis, Raynaudb phenom-

enon, esophageal dysmotility, sclerodactily,

teleangiectasis).
Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyak
kasus yang tidak dilaporkan, apalagi kasus yang tidak
disertai kelainan kulit. Penelitian pada masyarakat umum di
Carolina Selatan mendapatkan prevalensi sebesar 19-75
kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita
dan laki-laki 1,9-4 : L Padapenelitian di Tennessee, temyata
jumlah pasien skleroderma pada wanita usia reproduksi

skleroderma yang disertai fenomena Raynaud,


akroosteolisis dan fibrosis pam. Sedangkan pemakaian
bleomisin pada kanker testis, terutama bila dikombinasi

dengan sisplatinum, ternyata berhubungan dengan


timbulnya skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis
paru.

GAMBARAN PATOLOGI

Patologi Kulit
Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh
darah, merupakan gambaran patologis yang paling sering
ditemukan pada sklerosis sistemik. Peningkatan matriks
ekstraselular pada dermis, terutama kologen tipe I dan III,
yang disertai penipisan epidermis dan hilangnyarete pegs
merupakan gambaranpatologis yang khas pada sklerosis
sistemik. Hal ini menyebabkan penegangan kulit yang khas
pada sklerodema. Pada stadium awal, tampak infiltrasi sel
radang mononuklear di dalam dermis, terutama limfosit T
dan sel mast. Sel-sel ini banyak ditemukan mengelilingi
pembuluh darah dermis. Pada stadium akhir (fase atrofik),

kulit relatif aselular.

(20 -44 tahx) 15 kali jumlah pasien laki-taki pada usia yang
sama, sedangkan pada wanita usia 45 tahun atau lebih,
frekuensinya hanya 1,8 kali laki-laki pada usia yang sama.
Hubungan penyakit ini dengan ras tidakjelas, walaupun

Lesi vaskular pada kulit menunjukkan gambaran yang


sama dengan lesi pada organ lainnya. Tunika intima arteri

dan arteriola tampak berproliferasi sehingga lumennya


menjadi sempit. Dengan teknik nailfold capilaroscopy,

skleroderma pada kulit berwarna lebih banyak


dibandingkan kulit putih. Selain itu, beberapa faktor
lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya

akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler yang makin


lama makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan
tampak hiperplasi tunika intima, sehingga lumennya
menyempit dan akhirnya berobliterasi.

skleroderma, misalnya debu silika dan implantasi silikon.

2620

2621

SKLEROSIS SISTEMIK

Patologi Paru-paru
ditemukan 2 gambarat patologik,

Pada paru-paru, dapat


yaitu fibrosis paru dan kelainan vaskular. Walaupun kedua
keadaan ini sering bersamaan, tetapi pada wanita dengan

hemolisis mikroangiopatik akibat kerusakan fisis eritrosit


yang beredar pada gangguan sirkulasi renal yang berat.

Patologi Sistem Muskuloskeletal

skleroderma yang terbatas sering hanya didapatkan


kelainan pembuluh darah paru, yaitu penebalan tunika
media, sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul
hipertensi pulmonal yang dapat berakhir sebagai gagal
jantung kanan.
Stadium awal fibrosis paru pada sklerosis sistemik
merupakan reaksi radang akut yang ditandai oleh
peningkatan makrofag alveolar dan sel radang
polimorfonuklear. Pada penelitian in vitro, ternyata

Pada otot rangka, akan tampak jaringan fibrosis

makrofag alveolar pasien sklerosis sistemik memproduksi

sehingga gerak tendon terbatas dan akhimya dapat timbul


kontraktur fleksi, terutama pada jari-jari.

fibronektin dalam jumlah yang banyak yang berperan dalam

pertumbuhan fibroblas. Pada stadium lanjut, tampak


deposisi kolagen dan komponen jaringan ikat lainnya di
dalam ruang interstitial alveolar sehingga pada akhimya

akan tampak jaringan fibrosa yang lebih banyak


dibandingkan ruang udara alveolar. Akibatnya proses difusi
di dalam paru akan terhambat.

Patologi Jantung
Pada jantung, sklerosis sistemik dapat menyerang
perikardium dan miokardium. Kelainan pada perikardium
ditandai oleh fibrosis dan penebalan perikardium parietal
dan viseral yang akhirnya dapat berkembang menjadi
perikarditis konstriktif. Pada miokardium, tampak proliferasi
intima dan penyempitan pembuluh darah koroner. Di
sekeliling pembuluh darah koroner, ditemukan banyak

perivasikular yang menyebabkan penurunan kekuatan otot


dan peningkatatritganenzim otot dalam serum. Selain itu
dapat juga terjadi kelainan seperti tampak pada poli dan

dermatomiositis, yaitu infi ltrasi limfositik perivaskular,


nekrosis, degenerasi dan regenerasi jaringan otot. Secara

klinis akan tampak kelemahan otot proksimai

dan
peningkatan enzim otot serum yang bermakna' Pada tendon akan tampak deposisi fibrin dalam samng tendon,

Jenis
Sitokin

Sumber

Fibronektin

Fibroblas, sel endotel,


makrofag, hepatosit

tL-1

Makrofag, sel endotel,


limfosit, fibroblas, sel
epitel, osteofit,
osteoblas, keratinosit
Sel T

tL-2

PDGF
TGF-B

jaringan fibrosa. Akhimya dapat timbul vasospasme dan


infarkmiokard.

Peranannya pada
Patogenesis
Kemoatraktan
monosit dan
fibroblas, mitogen
fibroblas
Mitogen fibrcjblas,
merangsang
sintesis kolagen

Trombosit, fibroblas,
makrofag
Megakariosit,
makrofag, sel
epidermal, fibroblas
dan sel T

Patologi Saluran Cerna


Pada saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus,

walaupun gaster, usus halus proksimal dan kolon juga


dapat terserang. Secara histologis, tampak gambaran
fibrosis pada tunika propria dan submukosa, serta
peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat
fibrosis, peristaltis usus akan berkurang. Selain itu atrofi

Merangsang
sisntesis kolagen,
merangsang
sintesis fibronektin,
menghambat
pertumbuhan sel sel
endotel, mitogen
fibroblas indirek,
kemoatraktan
fibroblas dan
monosit
merangsang sekresi
tL-1.

CTAP

lapisan otot dan berkurangnya peristaltis akan


menimbulkan divertikel di kolon dengan mulut yang lebar'

TNF

Pada esofagus dapat timbul Barret's esophagus

Endotelin

(gastritis esofagus distal). Walaupun demikian, insiden,

IFN-y

CTAP l: limfosit
CTAP lll: trombosit
CTAP V: sel
mesenkimal
Makrofag, sel T, sel B,
sel NK
Sel endotel
Sel T, sel NK

adenokarsinoma esofagus pada keadaan ini sangat rendah'

Patologi Ginjal
Pada

Mengaktifkan sel
NK menjadi sel LAK
Mitogen fibroblas

Mitogen fibroblas
Meningkatkan
sintesis
glikosaminoglikan
Merusak endotel
Vasokonstriktor
Aktivator makrofag
diferensial sel T
menjadi sel T
sistolik,
pertumbuhan sel B

ginjal akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi

intima, penipisan tunika media dan reduplikasi lamina


elastika. Membran basal glomeruli mengalami duplikasi,
tetapi tidak ada tanda-tanda glomerulonefritis. Gambaran

sklerotik pada glomeruli merupakan tanda khas infark


korleks ginjal dan stadium akhir skleroderma. Pada sklerosis
sistemik yang diserlai kelainan ginjal, sering didapatkan

GAMBARAN IMUNOPATOLOGIS

Kelainan lmunitas Humoral

Kelainan serologis nonspesifik. Beberapa kelainan


serologis yang nonspesifik adalah ditemukannya

2622

REUMA:IOLOGI

hipergamaglobulinemia poliklonal, krioglobulunemia,


faktor reumatoid dan uji VDRL yang positifpalsu.

Antibodi antinuklear
(Anti nuclear antibody = ANA). pada 95yo pasien
sklerosis sistemik, didapatkan antibodi anti-nuklear
(antinuclear antibodies, ANA). ANA spesifik terhadap
DNA topoisomerase I (anti topoisomerase I, anti
Scl-70) didapatkan 20-300 , dan separuhnya terdapat
pada pasien sklerosis sistemik difus. Enzim DNA
topoisomerase

sangat penting perannya pada proses

transforming growth factor-B (TGF-B), platelet derived


growth factor (PDGF), tumor necrosis factor (TNF),
IL-1B, berbagai protease dan mediator lain yang penting
pada patogenesis sklerosis sistemik.
Sel lain yang banyak ditemukan di dalam dermis pasien
sklerosis sistemik adalah sel mast. Sel ini berperan dalam
memproduksi berbagai mediator seperti triptase yang dapat

merusak sel endotel, serta histamin yang dapat

pembukaan gulungan DNA untuk replikasi dan


transkripsi RNA. ANA spesifik yang lain adalah anti

merangsang proliferasi dan sintesis matriks fibroblas dan


menyebabkan retraksi sel endotel.

DN A-histone-complex yang banyak ditemukan pada


pasien sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi; anti

Berbagai sitokin meningkat kadarnya pada sklerosis


sistemik, seperti fibronektin, IL-l,IL-2, PDGF, TF-B,
connective tissue activating peptides (CTAP), endotelin

PM-Scl yang banyak ditemukan pada sistemik sklerosis


dengan miopati inflamasi dan kelainan ginjal; anti RNA
polimerase I, II dan III yang banyak ditemukan pada
sklerosis sistemik dengan kelainan ginjal; anti Ul -RNp

yang berhubungan dengan artritis dan hipertensi


pulmonal danANA spesifik lainnya.

Fagosit mononuklear mempunyai peran yang penting


pada patogenesis sklerosis sistemik, terutama makrofag
alveolar. Sel-sel ini memproduksi berbagai sitokin seperti

Autoantibodi lain
- Antibodi antisentromer. Antibodi antisentromer
terdapat pada 30% sklerosis sistemik yang terbatas
darr CREST syndrome. Ada 3 antigen sentromer
yang spesifik pada sklerosis sistemik, yaitu CENpB (80 kDa protein) dan CENP-C (120 kDa protein).
Adanya autoantibodi terhadap antigen sentromer
menunjukkan tingginya pemecahan kromosom.

Antibodi antimitokondrial. Bar.yak ditemukan

pada CREST syndrome, merupakan tanda khas


adanya sirosis bilier primer.
Antibodi anti-kolagen I,Iil,IV dan ZL Antibodi anti
kolagen tipe IV berhubungan dengan beratnya

kelainan paru pada sklerosis sistemik.

Antineutrophilic cytoplasmic anti bodles (ANCA).


Antibodi ini berhubungan dengan gagal ginjal dan

FAKTORGENETIK
Faktor keturunan yang berperan pada sklerosis sistemik
adalah jenis kelamin. Didapatkan rasio jenis kelamin wanita

dengan laki-laki berkisar dari 2:l sampai 20:1. Walaupun


demikian, peran hormon seks pada patogenesis penyakit
ini tidak diketahui.
Hasil penelitian mengenai hubungan antara sklerosis
sistemik dengan antigen MHC (major histocompatibility
complex) menunjukkan perbedaan yang bermakna arrtara
satu peneliti dengan peneliti dari negara lain. Penelitian di
Inggris menunjukkan hubungannya dengan HLA-A, B8,

DR, dengan DR, dan dengan DR*r2, sedangkan penelitian


di Amerika Serikat tidak menunjukkan hubungannya
dengan HLA-DR5. Penelitian di Jepang menunjukkan
hubungannya dengan HLABws2, DR, dan D\.
Gen lain yang dilaporkan juga berhubungan dengan
sklerosis sistemik adalah alel Co-null (CoAQo dan C* BQo).
AQo, dikatakan banyak terdapat pada sklerosis sistemik
yang rnengidap gen HLA-DR,.
Faktor genetik lain yang tampak pada pasien sklerosis
Co

perdarahan paru.

Kelainan Imunitas Selular


Secara umum didapatkan

dan interferon gama (INF-y).

limfopenia dengan rasio sel T dan

sel B yang normal, tetapi didapatkan peningkatan rasio sel


T-penolong (T,,*) terhadap sel T-penekan (Tr*). Selain itu
juga terdapat penurunan kadar sel NK (natural kilter) yang
pada permukaantyaterdapat antigen Tr*. Sel-sel inflamasi
mononuklear banyak terkumpul pada lapisan dermis pasien

sklerosis sistemik dan pada umumnya merupakan sel T:


penolong yang teraktivasi. Sel T berperan memproduksi
interleukin-2 (IL-2) yangdapat mengubah sel NK menjadi
sel LAK (lympho cyte- activated kill er) yang temyata sangat
penting pada kerusakan endotelial. Selain itu sel juga
berperan pada graft versus host disease (GYHD) pada pasien
yang menjalani transplantasi sumsum tulang. Kelainan ini
ditandai oleh adanya fenomena Raynaud, sklerosis dermal
(terutama pada jari) dan kelainan vaskular.

sistemik adalah instabilitas kromosom, yaitu terjadi


peningkatan pemecahan kromosom.

Beberapa penelitian menunjukkan frekuensi


autoantibodi pada berbagai grup etnik, ternyata berbeda.
Antibodi anti sentromer, banyak terdapatpadaorang kulit
putih di Amerika dan tidak pernah didapatkan pada orang
kulit hitam. Antibodi anti Ul-RNP, anti RNApolimerase
I,[,III dan anti U3-RNP banyak didapatkan pada orang
Jepang, orang kulit putih dan kulit hitam.

PATOGENESIS
Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui.

Diduga, sesuafu, faktor pencefus yang sampai sekarang

belum diketahui, mengaktifkan sistem imun dan

2623

SKLEROSIS SISTEMIK

menimbulkankerusakan sel endotel. Kerusakan sel endotel

akan mengaktifkan trombosit, sehingga trombosit


mengeluarkanbertagai mediator, seperti PDGF, TGF-B dan
CTAP-III, yang akan menyebabkan proliferasi fibroblas
dan sintesis matriks oleh fibroblas. Aktivasi sistem imun
juga akan berakhir pada proliferasi fibroblas dan sintesis
matriks.

FENOMENA RAYNAUD DAN KELAINAN VASKULAR

Fenomena Raynaud adalah perubahan warna yang


episodik (palor, sianosis, eritema) yang terjadi sebagai
respons terhadap lingkungan yang dingin atau stres
emosional. Walaupun perubahan yang spesifik umumnya
terjadi padajari tangan, tetapi dapatjuga mengenai ibujari
kaki, daun telinga, hidung dan lidah. Pada fase palor dan
sianosis, pasien akan merasa nyeri dan kaku, sedang pada
fase hiperemis akan merasa seperli terbakar.
Fenomena Raynaud dapat dijumpar pada berbagai
penyakit kolagen, yairu 95%o pada sklerosis sistemik, 9 1o%
pada mixed connective tissue diseases (MCTD) dan 40To
pada lupus eritematosus sistemik. Selain itu fenomena
Raynaud juga dapat dijumpai pada berbagai trauma akibat
pekerjaan (vibrasi, mikrotrauma, vinil klonda), efek samping
obat (penghambat reseptor beta), kelainan onkologik dan

hematologik (disglobulinemia), kelainan mieloproliferatif,


sindrom paraneoplastik) dan hipotiroidisme. Prevalensi
fenomen Raynaud pada populasi umum tidak diketahui
secara pasti, diperkirakan sekitar 10-20%. Fenomena
Raynaud pada penyakit kolagen, terutama pada sklerosis
sistemik umumnya berlangsung lama sebelum seluruh
gejala penyakit kolagen tersebut timbul, sehingga kadangkadang sulit membedakannya dengan fenomena Raynaud
primer yang tak diketahui penyebabnya.

Berbagai faktor turut berperan pada patogenesis


fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik. Sel endotel yang

rusak akan mengaktifkan trombosit. Trombosit yang


diaktilkan akan menghasilkan berbagai vasokonstriktor,
seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT), tromboksan-A, (Tx-Ar)
dan ADP. Untuk mengatasi hal ini, sel endotel yang masih
utuh akan menghasilkan vasodilator seperti prostasiklin,
monoamine-oxidase (MAO ) darr endothelium-dependent
relaxationJaclor (EDRF). Tetapi sel endotel yang rusak tak
dapat bereaksi terhadap vasodilator tersebut. Selain itu sel

endotel yang rusak juga menghasilkan vasokonstriktor

endotolin-1. Akibatnya akan ter.jadi vasokonstriksi.


Penyempitan lumen akan makin diperberat oleh adanya
hiperplasi intimal. Selain itu pada sklerosis sistemik juga
terj adi deformabilitas eritrosit, sehingga viskositas darah
akan makinberat.
Beratnya fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik

Aktivasi trombosit dan


pelepasan PDGF,
TGF-B dan CTAP-Ill

Gambar 1: Skema hipotesis patogenesis sklerosis sistemik

2624

REUIUATOI.OGI

ditandai oleh timbulnya iskemia jari yang akan diikuti oleh


ulserasi dan gangren.

bagian proksimal tubuh. Bersamaan dengan kelainan


tersebut, kulit akan tampak mengkilap dan terjadi hipo dan

Gambaran fenomena Raynaud juga terjadi pada


berbagai arteri kecil dan arteriola pada organ viseral,
sehingga timbul berbagai kelainan pada organ tersebut.
Kerusakan vaskular pada sklerosis sistemik akan

hiperpigmentasi.
Pada sklerosis sistemik yang difus, penebalan kulit
akan menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada dinding
dada dan abdomen, sedangkan pada kelainan yang terbatas
penebalan kulit hanya akan didapatkan padajari ataujari
dan muka.
Pada sebagian kecil pasien (2 o/o), dapat ditemukan tanpa
kelainan kulit (sklerosis sistemik sine skleroderma).
Pada fase awal indurasi, secara histologik akan tampak
peningkatan serat kolagen pada dermis, hiperplasi dan

menyebabkan peningkatan kadar berbagai petanda seperti

faktor von willebrand, trombomodulin, ICAM-l


(intercellularadhesion molecule-l) serum dan ELAM-l
(endhotelial leucocyte adhesion molecule-l) serum.
Peningkatan kadar faktor von willebrand berhubungan
dengan progresivitas fenomen Raynaud, keterlibatan
banyak organ dan tingginya angka moftalitas.

Pada sklerosis sistemik juga didapatkan gangguan


fibrinolisis, karena kerusakan sel endotel meyebabkan
penunrnan sisntesis aktivator plasminogen dan berbagai
faktor pro dan antikoagulan.
Secara non invasif, mikroangiopati pada sklerosis sistemik
dapat diperiksa dengan kapilaroskopi lipat kuku.

hialinisasi subintimal arteriola, dan infiltrasi limfosit,


terutama sel T.
Kulit yang menebal makin lama makin menebal. Tapi
kadang-kadang dapat terjadi pelunakan yang biasanya
dimulai dari bagian tubuh yang sentral. Jadi kulit yang
mengeras terakhir akan membaik lebih dulu.
Beberapa tahun kemudian akan tampak binti-bintik
teleagiektasis, terutama pada muka, jari, lidah dan bibir.

Teleangiektasis, terutama terjadi pada subtipe yang


KELAINAN KULIT
Pada tahap awal akan tampak edema padatangan dan jari
tangan yang tidak disertai rasa nyeri. Kadang-kadang dapat

terbatas (CREST syndrome),tetapi dapat juga terjadi pada


subtipe yang difus. Pada subtipe yang terbatas juga dapat
timbul kalsinosis subkutan. Kalsinosis subkutan dapat
hanya berupa titik kecil, tapi dapat juga berupa massa yang

disertai timbulnya sindrom terowongan karpal (carpal

besar.
Pada stadium akhir, akan timbul artrofi dan penipisan

tunnel syndrome) aktbatkompresi ner-l,us medianus. Edema

kulit, terutama pada bagian ekstensor sendi

ini berhubungan dengan disposisi glikosaminoglikan di


dalam dermis atau efek hidrostatik akibat kerusakan

kontraktur, sehingga dapat ter.ladi ulserasi akibat tarikan


mekanik pada bagian itu.

yang

vaskular.
Beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian, edema
akan diikuti dengan indurasi, sehingga kulit menjadi tebal
dan keras. Penebalan kulit akan mengenai jari tangan dan

bagian yang lebih proksimal, yaitu dorsum manus, lengan


atas, muka dan akhimya ke seluruh tubuh. Kelainan ini
patognomonik untuk sklerosis sistemik karena hampir tak
pernah ditemukan pada penyakit lain. Umumnya kelainan

pada bagian distal tubuh lebih berat daripada

Fenomen

Sklerosis

Raynaudprimer Sistemik
Perempuan : laki-laki
Umur mulai timbul
Frekuensi serangan
perhari
Faktor pencetus
Proliferasi intimal
Antibodi antinuklear
Antibodi antisentromer
Antibodi anti-Scl-70
Kapilaroskopi abnormal
Aktivasi trombosit rn vlvo

20:1

4:1

Pubertas

> 24 tahun

KELAINAN SISTEMIK
Berbagai kelainan sistemik dapat timbul pada sklerosis
sistemik yang pada umumnya terjadi akibat kelainan
vaskular pada organ yang bersangkutan.

Kelainan Paru
Pada paru dapat timbul fibrosis paru dan atau kelainan
vaskular paru. Fibrosis paru, umumnya terjadi pada kedua
basal paru yang dapat dilihatjelas pada gambaran radiologi
dada. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan kapasitas
difusi karbonmonoksida dan pada akhirnya akan terjadi
penurunan kapasitas difusi vital (penyakit paru restrikti!.

Pada bilasan akan ditemukan limfosit dan makrofag.


Kelainan pam umumnya lebih berat pada pasien dengan

> 10 x

5x

antibodi antitopoisomerase-

dingin, emosi
negatif
negatif
negatif
negatif
negatif

dingin

dan lebih ringan pada pasien dengan antibodi

negatif

positif
90-95%
50-605
20-30o/"

> 955
> 75o/o

dan anti U3-RNP yang positif

antisentrome yang positif.

Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada sebagian kecil


pasien, terutama pada subtipe terbatas dengan antibodi
antisentromer yang positif.
Untuk mencegah perburukan fungsi, deteksi dini

2625

SKLEROSIS SISTEMIK

kelainan pada sklerosis sistemik harus dilakukan.

peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, insufisiensi

Umumnya kelainan paru tidak memberikan gejala yang


spesifik, kecuali setelah ada kelainan hemodinamik atau
penurunan kapasitas vital yang berat. Untuk itu dianjurkan
pemeriksaan uji fungsi paru secara berkala (3-6 bulan sekali)

renal yang progresif dan hemolisis mikroangiopatik.

dan bila dicurigai terdapat penurunan fungsi paru.


dilakukan tomografi dengan komputer (CT-scan) dan
bilasan bronkoalveolar.

Kelainan ini umumnya terjadi pada subtipe yang terbatas.


Krisis renal merupakan penyebab kematian utama pada
sklerosis sistemik. Penyebab utama kelainan ginjal adalah
kelainan vaskular, terutama pada arleri arkuata dan interlobular. Pada dinding pembuluh darah tersebut terjadi
hiperplasia mukoid subintimal yang akan berkembang
menj adi nekrosis fibrinoid.

Kelainan Gastrointestina!
Kelainan pada sistem gastrointestinal dapat mengenai

Kelainan Muskuloskeletal

mulut, esofagus bagian distal dan saluran cerna yang lebih

Pada persendiaan dapat

bawah.
Xerostomia ditemukan pada2}-3}Yosklerosis sistemik
dan hal ini berhubungan dengan sklerosis atau infiltrasi
limfosit pada kelenjar liur. Separuh dari pasien xerostomia
memiliki antibodi terhadap presipitin Sjogren, yaitu anti
SS-A (Ro) dan anti SS-B(La).
Pada esofagus distal akan terjadi dismotilitas motorik
sehingga timbul disfagia dan refluks gastroesofageal.
Peristaltik esofagus akan menurun dan pada pemeriksaan
fluoroskopi akan tampak hipomotalitas. Pada esofagus
distal akan terjadi metaplasia mukosa (metaplasia Barret)
yang merupakan predisposisi timbulnya adenokarsinoma
esofagus, tetapi keganasan inijarang terjadi pada sklerosis
sistemik.

timbul poliartralgia, terutama pada


subtipe yang difus. Secara radiologis akan tampak
gambaran afiropati erosif. Pada falang distal, distal radius
dan ulna, ramus mandibula dan permukaan superior iga
posterior dapat terjadi osteolisis akibat hipovaskularisasi,
sehingga terjadi resorbsi tulang pada tempat tersebut.
Pada otot, dapat terjadi atrofi akibat keterbatasan
penggunaan sendi. Miopati yang lain juga dapat terjadi
yang ditandai oleh kelemahan otot, terutama ototproksimal
dan peningkatan kadar enzim otot serum (kreatin-kinase
dan aldolase). Secara histologis, akan tampak serat miofibril
yang mengalami fibrosis.

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

Pada usus kecil akan terjadi hipomotalitas dan


berkurangnya lapisan otot. Atropi pada lapisan mukosa
dan otot usus kecil, akan menyebabkan udara masuk ke

Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan berdasarkan


gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Secara klinis

dinding usus sehingga menimbulkan pneumatosis

agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum

intestinalis yang akan tampak pada gambaran radiologis.


Pada kolonjuga dapat terjadi atrofi lapisan otot sehingga
mengakibatkan timbulnya divertikel yang bermulut lebar
yang khas untuk sklerosis sistemik. Hipomotolitas kolon

timbul kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan

akan menyebabkan konstipasi dan pada beberapa keadaan

harus dilakukan karena memiliki spesifrsitas yang baik pada


sklerosis sistemik. Evaluasi terhadap berbagai organ yang

dapat terjadi atrofi otot sfingter ani yang mengakibatkan


inkontinensia alvi dan prolaps rekti.

sklerosis sistemik harus dipikirkan bila ditemukan gambaran

fenomen Raynaud pada wanita umur 20-50 tahun.


Pemeriksaan autoantibodi antitopo-l dan antisentromer

Kelainan Jantung
Kelainan miokardial jarang didapatkan pada sklerosis
sistemik, tetapi bila didapatkan akan meningkatkan angka
mortalitas. Umumnya akan terjadi fibrosis pada sistem

konduksi jantung, sehingga mengakibatkan timbulnya

Sklerosis Sistemik Terbatas

Sklerosis Sistemik Difus

Fenomen Raynaud berlangsung


dalam jangka waktu lama

dalam jangka waktu

aritmia dan kematian jantung mendadak. Berbeda dengan

organ lain, kelainan pada pembuluh koroner jarang


didapatkan pada sklerosis sistemik. Kadang kadang dapat
timbul penkarditis yang ditandai oleh penebalan perikardium

parietal dan viseral yang berakhir dengan perikarditis


konstriktif. Selain itu, dapat juga terjadi gangguan fungsi
ventrikel kanan sebagai akibat hipertensi pulmonal.

Kelainan Ginjal
Pada ginjal, sklerosis sistemik akan menyebabkan krisis
renal skleroderma akibat hiperreninemia yang ditandai oleh

Pembengkakan jari, intermiten,


dalam jangka waktu yang lama
Progresivitas lambat
Dapat disertai artralgia ringan,
jarang mengenai tendon
Problem utama: ulkus jari,
fibrosis esofagus usus halus
dan paru
'105 disertai hipertensi pulmonal
dan fatal
Antisentromer pada 50-90%
kasus; antitopi-1 pada 10-15%
kasus.

Fenomen Raynaud berlangsung


yang
singkat; kelainan kulit timbul
sebelum terjadi fenomen
Raynaud
Pembengkakan tangan dan
kaki

Progresivitas cepat
Disertai artralgia/ artritis,
sindrom terowongan karpal
Semua organ viseral dapat
terkena
Jarang disertai hipertensi
pulmonal
Antisentromer pada 5% kasus;
anti topi-1 pada 20-30o/o kasus

2626

REI,JMATIOI.OGI

mungkin terkena juga harus dilakukan. Bila keadaan


meragukan dapat dilakukan biopsi kulit.

klinis dan atau laboratorik sesuai dengan sklerosis


sistemik.

Pada tahun 1980, American Rheumatism Association

(ARA) mengajukan kriteria pendahuluan untuk klasifikasi


sklerosis sistemik progresif. Kriteria ini terdiri atas:

Kriteria Mayor
Skleroderma proksimal: penebalan, penegangan dan
kulit yang simetrik pada kulit jari dan kulit
proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau
pengerasan

metatarsofalangeal. Perubahan ini dapat mengenai seluruh


ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan
abdomen)

Kriteria Minor

.
.

Sklerodaktil: perubahan kulit seperti tersebut di atas,


tetapi hanya terbatas pada jari

jari

secara lokal tanpa disefiai kelainan sistemik. Keadaan ini


disebut skleroderma lokal dan harus dibedakan dari
sklerosis sistemik terbatas. Termasuk dalam kelompok ini
adalah:

Morfea. Morfea adalah perubahan skleroderma setempat


yang dapat ditemukan pada bagian tubuh mana saja.
Fenomena Raynaud sangat jarang didapatkan.

Skleroderma linier. Skleroderma linier umunya didapatkan


pada anak-anak, ditandai oleh perubahan skleroderma pada
kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disrtai atrofi
otot dan tulang di bawahnya.

atau hilangnya substansi jari.


jari atau

Skleroderma en coup de sabre. Merupakan varian


skleroderma linier, di mana garis yang sklerotik terdapat

hilangnya substansi jaringan jari terjadi akibat

pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dan kelainan

Pencengkungan

Daerah yang mencekung pada ujung

Skleroderma Lokal
Ada beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit

iskemia.

Fibrosis basal dikedua paru. Gambaran linier atau


lineonodular yang retikular terutama di bagian basal
kedua paru tampak pada gambaran foto dada standar.
Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau
seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan merupakan
kelainan primer panr.

Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan


1 kriteria mayor atat2 atau lebih kriteria minor.

tulang.

PENATALAKSANAAN

Penyuluhan dan Dukungan Psikososial


Penyrluhan dan dukungan psikolologis memegang peran
yang sangat penting dalam penatalaksanaan pasien
sklerosis sistemik, karena perjalanan penyakit ini lama dan
progresif.

KLASIFIKAS!
Secara

klinik, sklerosis sistemik dibagi dalam 5 kelompok,

yaitu:
Sklerosis sistemik difus, di mana penebalan kulit terdapat
di ekstremitas distal, proksimal, muka dan seluruh batang
tubuh.
Sklerosis sistemik terbatas, penebalan kulit terbatas pada
distal siku dan lutut, tetapi dapat juga mengenai muka dan
leher. Sinonimnya adalah CREST syndrorze (C:kalsinosis
subkutan; R:fenomen Raynaud; E:dismotilitas esofagus;
S:sklerosdaktili ; T:teleangiektasis)
Sklerosis sistemik sine skleroderma, secara klinis tidak
didapatkan kelainan kulit, walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran serologis yang khas untuk sklerosis
sistemik.

Sklerosis sistemik pada overlap syndrome, artritis


reumatoid atau penyakit otot inflamasi.

Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensial, yaitu


bila didapatkan fenomen Raynaud dengan gambaran

Penanganan Fenomena Raynaud dan Kelainan


Kulit
Fenomena Raynaud merupakan gejala yang dominan pada
sklerosis sistemik. Menghindari merokok dan udara dingin,
serta menjaga tubuh tetap dalam keadaan hangat, biasanya

cukup efektif mengatasi fenomen Raynaud yang ringan


dan sedang. Pada keadaan yang berat, misalnya bila
disertai ulkus pada ujung jari atau mengganggu aktivitas

sehari-hari, dapat dicoba penggunaan vasodilator,


misalnya nifedipin, prazosin atau nitrogliserin topikal.
Penggunaan nifedipin lepas lambat menunjukkan hasil
yang baik dengan efek hipotensifyang tidak terlalu besar.
Selain itu, nifedipin juga dapat memperbaiki pertrrsi miokard
pada sklerosis sistemik. Obat lain yang dapat dicoba untuk
mengatasi fenomena Raynaud adalah iloprost, suatu
analaog prostasiklin. Obat ini diberikan perdrip dengan
dosis 3 nglkbBB/menit, 5-8 jam,lhari selama 3 hari berturuthuut. Selain itu untuk mengatasi fenomen Raynaud, obat
inijuga dapat digunakan untuk mengobati ulkus padajari.
Perawatan kulit sangat penting diperhatikan, apalagi
bila sudah timbul ulkus. Pemberian antibiotik dapat

2627

SKLEROSIS SISTEMIK

dipertimbangkan bila ada infeksi sekunder. Bila luka cukup


dalam, mungkin dibutuhkan perawatan secara bedah,
nekrotomi dan pemberian antibiotik parenteral.

harus dipuasakan untuk mengistirahatkan usus dan


dilakukan dekompresi dengan pipa nasogastrik. Tindakan
bedah harus dihindari karena akan mencetuskan ileus dan
memperlama penyembuhan.

Pemberian Obat Remitif


Berbagai obat golongan remitif yang dapat diberikan pada
pasien sklerosis sistemik adalah D-penisilamin, kolkisin,
obat-obat imunosupresif dan sebagainya, tetapi hasilnya
masih belum menggembirakan.

D-penisilamin, menunjukkan hasil yang cukup baik


untuk mengatasi kelainan kulit pada sklerosis sistemik,
walaupun dibutuhkan pengobatan dalam jangka waktu
yang cukup lama.
Secara in vitro, interferon gama dapat menghambat
proliferasi fibroblast dan produksi kolagen. Pada beberapa
kasus, obat ini dapat mengurangi kekakuan kulit, tetapi
tidak efektif terhadap fenomena Raynaud. Obat lain yang
dapat mempengaruhi transporl prokolagen dan sekresi
prokolagen oleh fibroblas adalah kolkisin. Tetapi masih

harus diteliti efektivitasnya pada penggunaan jangka


panjang. Demikian juga penggunaan ketotifen, suatu
stabilisator sel mast; N-Asetil-sistein, suatu perangsang
pemecahan kolagen, fotoferesis dan globulin antitimosit
masih perlu diteliti efektivitasnya.

Penanganan Kelainan Muskuloskeletal


Artralgial artritis dan tenosinovitis, biasanya dapat diatasi
dengan memberikan anti inflamasi nonsteroid. Bila nyeri
tetap timbul, dapat diperlimbangkan pemberian injeksi
steroid lokal atau steroid sistemik dosis kecil dalam jangka

Penanganan Kelainan Paru


Pnemonitis interstitial merupakan keadaan yang harus
segera diatasi. Pemberian kortikosteroid atau siklofo sfamid
memberikan hasil yang cukup memuaskan. Hipertensi
pulmonal tanpa kelainan interstitial paru mempunyai
prognosis yang buruk, karena tidak ada satupun obat yang

dapat mengatasi keadaan ini.

Penanganan Kelainan Ginjal


Krisis renal dengan hipertensi berat merupakan komplikasi
yang serius dengan angka kematian yang cukup tinggi.

Dengan adatya obat inhibitor enzim pengkonversi


angiotensin, angka kematian dapat diturunkan secara
drastis. Obat ini tetap dapat diberikan walaupun fungsi
ginjal menurun dengan drastis. Jika diperlukan dapat
dilakukan dialisis. Pada kelainan ginjal pemberian steroid
dan plasmaferesis tidak ada gunanya.

PROGNOSIS
Angka harapan hidup 5 tahun pasien sklerosis sistemik
adalah sekitar 680/o. Harapat hidup akan makin pendek
dengan makin luasnya kelainan kulit dan banyaknya

agresif harus dilakukan untuk mencegah dan mengatasi


kontraktur.

keterlibatan organ viseral. Pada sklerosis sistemik difus,


kematian biasanya terjadi karena kelainan paru, jantung
atau ginjal. Sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas,
kematian terjadi karena hipertensi pulmonal dan

Penanganan Kelainan Gastrointestinal

malabsorbsi.
Pasien sklerosis sistemik mempunyai risiko yang tinggi

waktu yang singkat. Selain itu, fisioterapi yang

Dismotilitas esofagus, akan menimbulkan keluhan heartbut'n dat disfagia. Pasien dianjurkan untuk meninggikan

untuk mendapatkan keganasan, terutama karsinoma


payudara, paru dan limfoma nonHodgkin. Hal ini turut

kepalanya pada waktu berbaring, makan pada posisi tegak


dengan porsi yang kecil dan sering. Biasanya pemberian
antasid, antagonis-H2 dan obat sitoprotektif, cukup efektif
untuk mengatasi keluhan nyeri yang ringan dan sedang.
Pada keadaan yang berat, dapat dianjurkan pemberian
omeprazol. Obat prokinetik, dapat diberikan pada keadaan
disfagia. Bila terdapat striktur esofagus, harus dilakukan
dilatasi secara berkala.
Keterlibatan usus halus, akan menyebabkan gangguan
pasase makanan dan meningkatkan pertumbuhan bakteri.
Pada keadaan yang terakhir, dianjurkan untuk memberikan

meningkatkan angka kematian pasien sklerosis sistemik.


Satu hal yang unik adalah bahwa risiko timbulnya

antibiotik berspektrum luas selama 2 minggu. Untuk


mengatasi hipomotilitas usus dapat dicoba pemberian
prokinetik. Bila terdapat konstipasi, harus diberikan
pelunak tinja dan diet tinggi serat. Bila hipomotilitas usus
sangat berat sehingga timbul distensi abdomen, pasien

adenokarsinoma esofagus sangat rendah, walaupun


terdapat metaplasi mukosa esofagus distal (metaplasia
Barret).
Penetian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor
yang memperburuk prognosis skelrosis sistemik adalah:

.
.
.
.

.
.

usia lanjut (> 64 tahun)


penurunan tungsi ginjal (BUN< 16 mg/dl);
anemia (IIb <11g/dl)

penurunan kapasits difusi CO, pada paru (<50%


prediksi)
penumnan kadar protein serum total (6mg/dl)
penumnan cadangan paru (kapasitas vital paksa <80%
pada

IIb >l4gldl

padaHb

atau kapasitas vital paksa <650%

<l4gldl

2628

REI,JMAIOI.OGI

REFERENSI

Koopman WJ (eds). Primer on the Rheumatic Diseases. 10 th


ed. Asrthritis Foundation, Atlanta, Gerogagia 1993:127-30.

Altman RD. Medsger TA, Bloch DA et al. Predictors of survival in


systemic sclerosis (scleroderma). Arthritis Rheum

Reimer G Autoantibodies against nuclear, nucleolar and mithocondrial

t991;34(4):403-r3
Albar Z. Sklerosis sistemik. In: Soeparman (ed). Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi kedua. Balai Penerbit FKUI, Jakarta,

990; 1 6( 1 ): 1 69-84.
Seibold JR. Systemic sclerosis: clinical features, in: Klippel JH, Dieppe
P (eds). Rheumatology. 1st. Mosby-Year Book Europe Limited,

1987 :7 47 -52.

Hoogen FHJ, Putte

LBA. Treatment of systemic sclerosis Curr Op

Rheumatol 1994;6(6);637 -41.


Kahaleh MB. Raynaud's phenomenon and vascular scleroderma.
Curr Op Rheumatol 1994;6(6);621-7.
LeRoy EC, Silver RM. Systemic sclerosis and related syndrome:
epidemiology, pathology and phatogenesis. In: Schumacher HR,

Klippel JH, Koopman WJ (eds). Primer on the Rheumatic


Diseases. 10 th ed. Asrthritis Foundation, Atlanta, Gerogagia
1993:118-20.
Medsger TA, Steen V Systemic sclerosis and related syndromes:

clinical features and treatnent, In: Schumacher HR, Klippel JH,

antigens

in systemic sclerosis. Rheum Dis Clin A

Am

London 1994:8.1-14.
Silman AJ, Newman J. Genetic and enviromental factors in
scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994;6(6):607-11.
Smith EA, LeRoy EC. Systemic sclerosis: etiology and phatogenesis.
In; Klippel JH, Dieppe P (eds). Rheumatology. lst. Mosby-Year
Book Europe Limited, London 1994:9.1-10.
Steen VD. Systemic sclerosis: management. In; Klippel JH, Dieppe
P (eds). Rheumatology. 1st. Mosby-Year Book Europe Limited,
London 1994:10 1-8.
White B. Immunologic aspect of scleroderma. Curr Op Rheumatol
1994;6(6);612-5
Wigley FM Clinical aspects of systemic and localized scleroderma.
Curr Op Rheumatol 1994;6(6);628-36.
.

405
MIOLOGI
Bambang Setiyohadi

OTOT SKELET
Otot skelet merupakan organ kontraktil yang berfungsi
untuk pergerakan.

ebagian besar otot skelet berhubungan

dengan tulang melalui tendon. Otot skelet terdiri dari


sel-sel otot yang berbentuk serabut (/iber) dengan struktur
tertentu. Kumpulan serabut otot disebut fasikula (/ascicle),
dan setiap serabut di dalam fasikula dipersarafi oleh
neuron motor yar,g berbeda. Secara fungsional serabut
otot dikelompokkan kedalamunit motor yangterdiri dari

lower motor neuron yang berasal dai kornu anterior


medula spinalis dan serabut otot yang dipersarafinya.
Semua serabut otot dalam unit motor adalah dari jenis yang
sama.

Berdasarkan metabolisme dan responsnya terhadap


rangsangan, serabut otot dapat dibedakan atas 3 jenis,

yaitu:
Serabut otot tipe 1, disebut juga slow ttvitch oxydative
fibers (SO);memiliki respons terhadap rangsang listrik lebih

Iambat, intensitas kontraksi moderat dan tahan-lelah


terhadap rangsangan berulang. Serabut tipe I ini memiliki
sejumlah besar mitokondria dan banyak mengandung
lemak

Serabut tipe 2b, disebut juga/ast twitch glycolyticfibers


(FG); mempunyai respons terhadap rangsang listrik lebih
cepat dengan intensitas kontraksi yang kuat, tetapi cepat
lelah. Dalam serabut ini banyak terdapat miofosforilase dan
mioadenilat deaminase serta glikogen.

Serabut tipe 2a, disebut |uga fast twitch oxydativeglycolyticfibers (FOG), merupakan jenis antara serabut
tipe 1 dan tipe 2a.
Karakteristik setiap serabut otot biasanya terjadi dalam
masa pertumbuhan dan selanjutnya dipelihara melalui

interaksi altara neuron motor dengan otot yang

dipersarafinya. Distribusi dan spesifisitas serabut otot


dapat dipengaruhi oleh reinervasi, latihan fisik dan proses
penyakit. Setiap serabut otot terdiri dari sel multinuklear
yang dikelilingi oleh membran plasma yang disebut
sarkolema. Serabut otot mengandung protein kontraktil
yang disebut miofilamen yang terdiri dari aktin, miosin,
troponin dan tropomiosin. Miofilamen terendam dalam
sitoplasma yang disebut sarkoplasma, terdapat di antara
serabut otot dan dikelilingi oleh retikulum sarkoplasmik.
Komunikasi antara sarkolema dan retikulum sarkoplasmik
dijalankan melalui suatu lubang dan saluran yang disebut

sistem t-tubule.
Pada kontraksi otot, terjadi pemendekan miofilamen
yang terdapat di antara serabut otot. Kontraksi timbul
akibat rangsang listrik, kimiawi maupun fisik yang
mengawali timbulnya transmisi aksi potensial di sepanjang
sarkolema melalui sistem t-tubule ke retikulum endoplasmik

sehingga kalsium dilepaskan ke dalam sarkoplasma.

Apabila konsentrasi kalsium dalam sarkoplasma


meningkat, aktin akan dilepaskan dari hambatan sehingga
terjadi ikatan silang aktin-miosin yang mengakibatkan
pemendekan miofilamen. Pemendekan berlangsung terus
sampai kalsium dipompakan kembali secara aktif ke

retikulum sarkoplasmik, memutuskan ikatan silang


aktin-miosin dan terjadilah relaksasi.
Baik kontraksi maupun relaksasi otot, merupakan proses
aktif yang membutuhkan kadar elektrolit dan adenosin

trifosfat (ATP) yang normal. Natrium (Na), kalium (K),


kalsium (Ca) dan magnesium(Mg) sangat berperan pada
fungsi AIPase agar dapat bekerja efektif bagi kontraksi
dan relaksasi serabut otot. Na agar K berperan menjaga
polaritas sarkolema, sedangkan AIPase yang berfungsi
mengatur ikatan silang aktin-miosin sangat tergantung
pada Mg. ATPase yang tergantung Ca berfrrngsi memompa
Ca dari sarkoplasma ke retikulum sarkoplasmik sehingga
memungkinkan terjadinya relaksasi otot. Fosfor (P) juga

629

2630

REUMIffOI.OGI

merupakan ion yang penting karena bagi kontraksi otot


karena berperan dalam pembentukan energi yang terikat

Pemeriksaan Tambahan
Kadar SGOT, SGPT, kreatin fosfokinase (CPK),

dalamAIP.

aldolase akan meningkat; demikian juga laju endap darah


(LED) dan C-reactive protein (CRP). Di dalam urin juga

POLtMTOSITIS DAN DERMATOMIOSITIS (pM/DM)

kreatin. Beberapa autoantibodi memiliki spesifisitas dan


hubungan yang tinggi dengan miositis (Tabel I dan2)

dan

akan didapatkan peningkatan kadar mioglobulin dan

Polimiositis (PM) adalah peradangan difus nonsupuratif


otot skelet yang menyebabkan kelemahan simetrik disertai

atrofi otot, terutama mengenai otot-otot proksimal gelang


bahu, panggul, leher dan faring. Bila miositis ini diserlai
kelainan kulit yang khas, maka disebut dermatomiositis
@M). Penyakit ini relatifjarang ditemukan dengan insiden
tahunan 2-10 kasus/l juta penduduk, terbanyak pada usia
40-50 tahun dengan frekuensi wanita 2-3 kali dibandingkan
laki-laki.

Gambaran Klinik

Autoantibodi

Antigen

Anti-Jo-'l HistidiltRNA-sintetase
Anti-PL-7 Treonil{RNA-sinetase
Anti-EJ Glisil-tRNA-sintetase

Anti-PL-12 Alanil-tRNA-sintetase

Anti-OJ
Anti-KS
|.ti-P_Rl
Anti-Mi-2

mengangkat kepala, berjalan lurus dan sebagainya.


Kesulitan menelan menyebabkan ancaman aspirasi
yang dapat mengancam jiwa. Pada kasus berat semua otot
skelet dapat terkena, sehingga pasien terpaksa tinggal di
tempat tidur karena tak dapat bergerak. Nyeri otot

hanya ditemukan pada sebagian kecil

kasus.

Otot dapat membengkak, keras dan kaku. Sehubungan


dengan itu perlu dilakukan penilaian kekuatan otot-otot
untuk diagnosis dan penatalaksanaan selanjutnya.
Refleks tendon pada umumnya menurun.
Gejala sistemik dapat berupa badan lemah, demam,
malaise, anoreksia dan berat badan menurun.
Pada kulit akan tampakruam heliotrop,yaiitruam ungu
kemerahan agak bersisik yang dapat ditemukan di daerah
periorbital, malar, dahi dan lipatan nasolabial. Selain itu
juga dapat ditemukan papul Gottron, yaifi papul-papul
ungu kemerahan pada interfalang jari-jari. Di daerah dada

Autoantibodi

Miositis (pM>DM)
dengan artritis,
demam, pneumonitis
intersisial, fenomena
Raynaud, mechanic,s
hands, respons buruk
terhadap terapi.

lsoleusil{RNA-sintetase
Asparaginil-tRNA-sintetase
Signal recognition
Protein

particb
helikase

Manifestasi klinik yang utama adalah kelemahan otot yang


dapat mengenai sebagian atau semua otot skelet; timbul
akut atau subakut. Paling sering mengenai otot proksimal

gelang bahu dan gelang panggul; kadang-kadang dapat


juga mengenai otot lain, sehingga menimbulkan kesulitan

Gambaran klinik

Antisintetase Aminoasil{RNA-sintetase

Antigen

N4iositis,kardiomiopat,
resisten terhadap
terapi DM, respons
terapi baik

Gambaran klinik

Anti-PM-Scl

Tak diketahui

Miositis, Skleroderma,

Anti-Ku

DNA-binding proteins

Artritis
Overlap miositis-

Anti-KJ

Unidentified tran slation


factor

Anti-Fer

Elongation factor 1,

Anti-N,4J

Anti-MAS

Tak diketahui
tRNA"u' antigen related

Anti-U1RNP

U1 small nuclear RNP

Anti-snRNP's

U2-U6 small nuclear

Anti-Ro/SSA

RNP'S
Protein RNA

skleroderma-SLE
Pl\,4, pneumonitis
interstitial, fenomena
Raynaud
Miositis
DM Juvenil
Miositis, hepatitis,
rabdomiolisis alkoholik
MCTD (Mixed Conective
Ilssue Disease)
Overlap Pl\r-Skleroderma
Miositis dengan sindrom
Sjogren atau SLE

Pada elektromiografi didapatkan fibrilasi spontan dan

potensial polifasik serta berjangka pendek yang

dan leher dapat ditemukan ruam kemerahan yang


berkonfluens yang disebut V-sign rash; sedatgkan di
daerah bahu dan proksimal lengan dapat ditemukan

menunjukkan adany a aktifasi insersional.


Pada pemeriksaan radiologik didapatk an kals ffikas i
subkutan, terutama pada DM juvenil yang dapat sangat

ruam kemerahan yang disebut Shawl-sign raslr. pada kuku

ekstensif.

dapat ditemukan eritema periungual, pertumbuhan


kutikular dan dilatasi lengkung kapiler. Kadang-kadang
j

uga dapat ditemukan fen

om en

a Ray n aud.

Pada sendi dapat ditemukan sinovitis subakut


yang mungkin menyerupai gambaran artritis reumatoid.

Pada paru dapat ditemukan fibrosis paru dan


pneumonia interstitialis, sedangkan pada saluran cema

dapat ditemukan disfagia dan enterovaskulitis,


terutama pada anak-anak.

Pada pemeriksaan histopatologik akan tampak


gambaran nekrosis fokal serabut otot dengan garis-garis
serat lintang otot menghilang disertai inti sarkolemayalg

lebih gelap. Jaringan nekrosis diinfiltrasi dan mungkin


difagositosis oleh sel-sel radang akut dan kronik. Juga
tampak infiltrasi sel-sel radang ke daerah perivaskular;
kadang-kadang tampak gambaran vaskulitis. Sel-se1
limfosit tampak menginfiltrasi secara difus ke daerah-daerah

di antara serabut-serabut otot.

2631

MIOI]OGI

Diagnosis dan Klasifikasi


Diagnosis PM/DM pada hakekatnya merupakan diagnosis klinis, yang didasarkan adanya kelemahan otot skelet
proksimal yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium
yang sesuai (lihat Tabel 3). Lesi kulit yang klasik pada
DM merupakan gejala klinik yang spesihk. Biopsi yang
diambil dari otot yang terkena secara klinik, penting untuk
memastikan diagnosis.

melakukan latihan aktif, baik latihan isometrik maupun


isotonik. Peran fisioterapis sangat penting, tidak hanya
untuk membantu melakukan tes kekuatan otot, tetapi juga
dalam membuat perencanaan program latihan untuk
penguatan otot. Latihan-latihan ini sangat penting untuk
mencegah atrofi otot dan kontraktur.

Penatalaksanaan Farmakologik
Kofiikosteroid merupakan obat lini pertama untuk PM/
DM dengan dosis 60 mgAari sampai 2 mg,4<gBB prednison.
Perbaikan klinik akan terlihat pada minggu pertama

.
.

.
.
.

Kelemahan simetrik otot gelang bahu dan panggul dan otot


fleksor anterior leher yang progresif berminggu-minggu
sampai berbulan-bulan dengan atau tanpa disfagia atau
keterlibatan otot pernafasan,
Gambaran histologik otot skeletal menunjukkan tanda{anda
dan 2, fagositosis,
nekrosis pada serabut otot tipe
regenerasi dengan basofilia, inti sarkolema yang besar
dengan anak inti yang prominen, atrofi perifasikular, ukuran
serabut otot yang bervariasi dan eksudat inflamatorik'

Peningkatan kadar enzim otot skelet dalam serum (CK,


Aldolase, SGOT, SGPT dan LDH)
Gambaran elektromiografik menunjukkan triad unit motor
yang pendek, kecil dan polifasik; fibrilasi, gelombang positif
dan iritabilitas insersional; dan bizare high-frequency
discharges,

Gambaran dermatologik yang spesifik yang meliputi

diskolorisasi heliotrop pada kelopak mata disertai edema


periorbital; dermatitis eritematoskuamosa pada dorsum
manus, terutama pada derah MCP dan PIP (Goftron's sign);
dan keterlibatan lutut, siku, maleolus medial, muka leher
dan badan bagian atas

Bohan dan Peter membagi PM/DM kedalam 5 kelompof,

yaitu :
. Polimiosistisidiopatik
. Dermatomiositisidopatik
. DM atau PM yang berhubungan dengan keganasan
. DM Juvenil
. PM/DM yang berhubungan dengan penyakit kolagen
vaskulaf lainnya
Terdapat hubungan yang bermakna ar.tata PM/DM
dengan keganasan, yaitu sekitar I 0% pada pasien PM dewasa

dan l5o/o pada pasien DM dewasa; yang biasanya timbul


dalam l-2 tahun pertama. Berbagai keganasan yang sering
dilaporkan berhubungan dengan PMDM adalah keganasan
paru, lambung, ovarium, pa)'udara, pankreas dan limfoma
Hodgkin. Oleh sebab itu, pada setiap pasien PM,DM harus
dievaluasi terhadap kemungkinan hubungannya dengan
keganasan, yaitu dengan melakukan pemeriksaan klinis yang
teliti, darah samar dalam feses, foto paru-paru, mamografi
dan tes laboratorium, termasuk petanda kanker.

Penatalaksanaan Non-farmakologik
Pada fase akut, pasien dianjurkan untuk istirahat tirah
baring. Gerakan pasif harus dilakukan selama masa akut
untuk mencegah kontraktur. Kontraktur sering terjadi pada
DM juvenil. Setelah fase akut teratasi, pasien harus

pengobatan atau bertahap dalam waktu 3-6 bulan. Evaluasi

kekuatan otot dan kadar CPK harus dilakukan setiap 3


minggu sekali. Pada minggu ke-6, keputusan dosis steroid
harus ditentukan. Bila keadaan pasien membaik, maka dosis
awal steroid dipertahankan sampai kekuatan otot dan kadar

CPK kembali normal. Dosis tersebut masih harus


dipertahankan sampai 4-8 minggu kemudian, baru
diturunkan secara perlahan, yaitu l0 mg/hari setiap bulan'
Setelah dosis prednison mencapai 10 mg,4rari selama I
bulan, dosis diturunkan lagi menjadi 5 mg/hari dan
dipertahankan sampai I tahun. Bila selama penumnan

dosis steroid tinmbul kekambuhan, maka dosis steroid


dinaikkan lagi ke dosis sebelumnya.
Bila pada minggu ke-6 setelah steroid diberikan tidak
menunjukkan perbaikan yang diharapkan, maka dapat
ditambahkan azatioprin dengan dosis 2-3 mg,&gBB, dimulai
dengan dosis 50 mg, I kali,Arari. Bila setelah 3 minggu tidak
ada perbaikan, dosis azatioprin dinaikkan menjadi 1 00 mg/
hari dan dapat dinaikkan lagi sampai tercapai dosis
maks imal 1 5 0 m g,&rari. S elama p emb eian azatiopin, harus
hati-hati terhadap kemungkinan efek samping penekanan
sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.
Metotreksat juga dapat diberikan pada PM/DM baik
pada dewasa maupun anak-anak, dengan dosis awal 7,5
mg/minggu dan dapat dinaikkan sampai 15 mg/minggu
bila setelah 4-6 minggu tidak didapatkan perbaikan yang
diharapkan.
Siklofosfamid dan sklosporin-A j arang diberikan pada
PM,DM walaupun mungkin dapat memberikan efek yang
baik. Siklosporin-A memberikan hasil yang baik pada
miositis dengan anti-Jo-1 positif dan polimiositis refrakter.
Dosis siklosporin-A untuk miositis adalah 2,5-5 mg,&gBB/
hari. Selama pemberian siklosporin-A, tekanan darah dan
fungsi ginjal harus dimonitor secara ketat. Bila tekanan
darah dan kadar kreatinin meningkat 20% sejak awal
pemberian, maka dosis siklosporin-A harus diturunkan.
Lesi kulit pada DM memberikan respons yang baik
dengan pemberian hidroksiklorokuin 200 mg,/hari' Terapi

ini juga efektif untuk mengatasi DM yang berhubungan


dengan keganasan. Walaupun demikian, hidroksiklorokuin

tidak berefek terhadap miositisnya.

Prognosis
Harapan hidup 5 tahun pasien PM/DM cukup baik' dapat

2632

RELJM/TfiOLOGI

mencapai 85%; sedangkan pada pasien PM/DM yang

simetris. Tungkai lebih sering terserang dibandingkan

berhubungan debngan keganasan sangat tergantung pada


prognosis keganasannya. Harapan hidup 5 tahun pasien

lengan, terutama otot-otot paha anterior dengan atrofi otot


yang prominen.

yang memiliki antibodi anti-Mi-2 positif lebih baik lagi,


dapat mencap ai 9 0o . Pro gnosi s terburuk didapatkan pada
pasien yang memiliki antibodi anti-SI{P, dimana harapan
hidup 5 tahunnya hanya 30oh.

perifer dengan kehilangan refleks tendon dalam. Gambaran


EMG juga menunjukkan gambaran miopati dan neuropati.

MloslTIs BADAN |NKLUS! (rirCrUSrON BODY


MYOS'I'S, IBM)

jantung dan sendijarang ditemukanpadapasien IBM. ANA


di dalam serum dapat positii tetapi autoantibodi yang
spesifik terhadap miositis tidak pernah didapatkan. Biopsi
otot menunjukkan gambaran fokus sel-sel radang kronik
tanpa atrofi perifasikular. Inhltrat inflamasi terutama terdiri
dari sel T CD 8*. Gambaran histopatlogik yang khas adalah

Miositis Badan Inklusi (IBM) adalah radang otot idopatik

Beberapa pasien menunjukkan gambaran neuropati

Keterlibatan organ ekstramuskular seperti paru,

yang terutama menyerang lakiJaki kulit putih yang berumur


di atas 50 tahun. Mula timbulnya lebih lambat dan dapat

apabila ditemukan red-rimmed vacuoles yang berisi

menyerang baik otot proksimal maupun otot distal.


Kelemahan otot biasanya bilateral, tapi seringkali tidak

IBM menunjukkan respons terapi yang buruk,


baik terhadap kortikosteroid maupun imunosupresif.

B-amiloid.

Penyakit akan progresif secara lambat sehingga pasien


membutuhkan perawatan pendukung.

Demografik

Laki-laki > Perempuan


Umur > 50 tahun

Keterlibatan otot

Proksimal dan distal


Asimetris
Neuropati

Perempuan > Laki-laki


Semua umur, terutama
40-50 tahun
Proksimal
Simetris
Paru, jantung, sendi

Kadang-kadang positif
Tidak ada

Seringkali positif
Ada

Miopatik dan
Neuropatik
Infiltrat sel T CD 8.
Red-rimmed vacuoles
yang berisi p-amiloid
Buruk

Miopatik

Keterlibatan organ
ekstramuskular
ANA
Antibodi spesifik
miositis
EIVG

Biopsi otot

Respons terapi
imunosupresif

lnfiltrat sel T CD 8.

Seringkali baik

DERMATOMIOSITIS JUVENIL
Gambaran DM juvenil menunjukkan pola yang khas
walaupun kadang-kadang gambarannya mirip PM pada

dewasa. Perbedaan yang menyolok adalah adafiya


vaskulitis, kalsinosis ektopik, lipodistrofi dan kelemahan
otot yang dominan. Kelainan kulit dan kelemahan otot
selalu ditemukan pada DM juvenil walaupun beratringannya dan progresifitasnya dapat bervariasi antara
satu pasien dengan pasien lainnya. Pada beberapa kasus,
remisi sempurna dapat tercapai walaupun tanpa terapi,
tetapi pasien dengan vaskulitis menunjukkan prognosis

yang buruk. Enterovaskulitis seringkali berakibat


Kriteria patologik
Mikroskop elektron
Filamen mikrotubular didalam inklusi
Mikroskop cahaya
. Lined vacuoles
. lnklusi intranuklear atau intrasitoplasmik atau
keduanya

Kriteria klinik

.
.
.
.
.

Kelemahan otot proksimal (insidious)


Kelemahan otot distal
EMG menunjukkan gambaran miopati umum
Peningkatan kadar enzim otot (CPK, atau
aldolase atau keduanya)
Respons buruk kortikosteroid dosis tinggi
(prednison 40-60 mg/hari selama 3-4 bulan)
terhadap kelemahan otot

Definite IBM = kriteria patologik mikroskop elektron 1


dan kriteria klinik 1 plus satu kriteria klinik lain;
Probable IBM = kriteria patologik mikroskop cahaya 1
dan kriteria klinik '1 plus 3 kriteria klinik lain;
Possible IBM = kriteria patologik mikroskop cahaya 2
plus 3 kriteria klinik apapun.

perdarahan atau perforasi usus. Klasifikasi ektopik


seringkali terjadi di subkutan atau di otot.
Gambaran histopatologik DM juvenil tidak berbeda
dengan yang ditemukan pada dewasa, walaupun atrofi
perifasikuler lebih prevalen. Selain itu juga didapatkan
hiperplasia endotelial dengan deposisi IgG, IgM dan
komplemen yang prominen di dalam dinding pembuluh
darah.

MIOPATI METABOLIK

Miopati metabolik merupakan sekelompok kelainan yang


heterogen akibat metabolisme energi di otot yang abnormal sehingga menyebabkan disfungsi otot skeletal.
Kelainan ini dapat bersifat primer bila disebabkan oleh
defek biokimia yang mengganggu kemampuan otot ontuk
mempertahankan kadarAlP; dan sekunder bila disebabkan
oleh kelainan endokrin, misalnya kelainan tiroid, adrenal
atau gangguan elektrolit.

2633

MIOIOGI

Gangguan Metabolisme Glikogen


Defisiensi miofosforilase (McArdle

e),merupakan
satu dari sembilan gangguan metabolisme glikogen yang
b dis eas

berhubungan dengan gangguan sintesis glikogen,


glikogenolisis atau glikolisis. Kelainan ini seringkali disebut
glycogen storage dis eas e yangakan menyebabkan deposisi

dan akumulasi glikogen

di otot skeletal' Glikogen

merupakan cadangan karbohidrat yang terbesar didalam


tubuh dan merupakan sumber AIP terbesar untuk aktivitas
fisik yang singkat dengan intensitas yang tinggi atau dalam
keadaan anaerob. Glikogen akan diubah menjadi glukosa6-fosfat melalui glikogenolisis yang diawali oleh enzim
miofosforilase. Kemudian glukosa dan glukosa-6-fosfat
akan dimetabolisme melalui serangkaian reaksi jalan
glikolisis menjadi piruvat. Dalam keadaan aerob, piruvat
akan masuk kedalam siklus Krebs dan dimetabolisme
menjadi air dan COr. Padakeadaan aerob, 1 molekul glukosa
akan menghasilkan 38 molekul AIP. Pada keadan anerob,

piruvat tidak memasuki sklus Krebs dan dimetabolisme


menjadi laktat dan hanya dihasilkan 2 molekul

AlP dari

setiap molekul glukosa. Glikogenolisis aerob dapat


menghasilkan energi untuk kegiatan otot selama 90 menit,
sementara glikogenolisis anaerob hanya dapat memberikan
energi untuk kegiatan otot selama beberapa menit saja.

Manifestasi ktinik yang khas dari glycogen storage


disease adalah intoleransi terhadap latihan yang akan

menyebabkan timbulnya nyeri, fatigue, kekakuan,


kelemahan dan kejang otot. Biasanya pasien menunjukkan

tanpa gejala pada waktu istirahat dan dapat berfungsi


normal pada aktivitas tingkat rendah. Gejala akan muncul
bila pasien melalrukan kegiatan yang cepat dan memiliki
intensitas yang tinggi. Bila muncul gejala, pasien harus
beristirahat dan biasanya kegiatan dapat dilakukan lagi
setelah istirahat. Walaupun gejala muncul sejak masa anak-

.
.
.
.

Ambil darah vena tanpa pembendungan

(tourniquet)
untuk memeriksa kadar laktat dan amonia dasar,
Pasang tensimeter pada lengan atas dan pompa
balonnya sampai 20-30 mmHg di atas tekanan sistolik'
Penderita harus melakukan latihan tangan dengan cara
mengepalkan tangan berulang kali sampai lelah atau

minimum 2 menit dalam keadaan balon tensimeter


terpasang dan bertekanan,
Tekanan balon tensimeter dilepas, dan 2 menit kemudian
diambil lagi darah untuk pemeriksaan laktat dan amonia.

Dalam keadaan normal, baik kadar lakiat maupun amonia


setelah latihan tangan. Positif
3

akan meningkat

palsu

biasanya
Hasil

mencukupi.

n oleh

latihan yang tidak


harus dikonfirmasi dengan

pemeriksaan enzim otot

melalui pelepasan sitokrom-c dan homeostasis ion Ca.


Mitokondria memiliki 2 membran, y aitu membr an luar
dan membran dalam. Ruang di antara membran luar dan
membran dalam disebut ruang antar membran. Membran
bagian dalam berlipat-lipat mengelilingi ruang matriks yang
disebut krista. Adanya krista membuat permukaannya
menjadi luas dan meningkatkan kemampuannya dalam

memproduksi ATP. Membran luar mitokondria


mengandung sejumlah protein yang disebut porin yang
berperan membentuk pori-pori kecil yang memungkinkan
molekul-molekul berukuran f, 5kDa lolos dan masuk ke
dalam ruang antar membran. Sebaliknya membran dalam
bersifat impermeabel, sehingga molekul-molekul tersebut

tidak dapat masuk ke dalam matriks mitokondria.


Kandungan protein membran dalam mitokondria sangat
tinggi, sekitar 2l%o total protein mitokondria, sedangkan
kandungan rotein membran luar hanya 60/o. Berdasarkan
fungsinya, protein membran dalam mitokondria dalapat
dibagi dalam 3 kelompok, yaifi enzim dan futmponen rantai

anak, biasanya rabdomiolisis dan mioglobulinuria akibat


latihan yang diikuti gagal ginjal baru muncul setelah remaja

pernafasan, pengemban spesifik yang mengatur

atau dewasa. Kadang-kadang pasien menunjukkan

melalui membran dalam; dan ATP sintase yang berperan


pada produksi ATP di dalam matriks mitokondria. Rantai
respirasi terdiri dari 4 kompleks multipeptida dan 2
pengangkut elektron yang bebas bergerak ,yaifi ubikuinon
(Koenzim Q, Co) dan sitokrom c. Keempat kompleks

kelemahan otot proksimal disertai peningkatan CPK dan


gambaran EMG miopatik, sehingga sulit dibedakan dengan

polimiositis.
Diagnosis glycogen storage disease ditegakkan bila
didapatkan gejala klinik yang khas dan biopsi otot. Selain
itu juga dapat dilakukanforearm ischemic exercise test
(Tabel6)

Miopati Mitokondria
Mitokondria merupakan organel penghasil energi secara
biokimiawi dalam bentuk ATP melalui/o sforilasi oksidatif
yang sangat efisien, dimanapada orang dewasa, dihasilkan
1

kgATP/kgBB/hari. Didalam mitokondria terjadi perubahan

asam piruvat menjadi asetil-KoA, daur asam sitrat,

rantai pernafasan, penghancuran asam lemak melalui


oksidasi-p, dan sebagian daur urea. Selain itu, mitokondria

juga berperan pada apoptosis sel yang bersangkutan

transport metabolit keluar masuk matriks mitokondria

enzim rantai pernafasan adalah Komplehs I


(NADH-ubikuinon oksidoreduktase) ; Kompleks II
(suksinat-ubikuinon reduktase); Kompleks III
(ubikuinol-sitokrom c oksidoreduktase); dan Kompleks

IV (sitokrom oksidase). Kompleks enzim rantai pernafasan


bersama dengan pengangkut elektron dan AIP sintase
bersama-sama menyusun s is tem fo sforil as i oks idatif.
Bahan makanan (karbohidrat, lemak, protein) akan
diuraikan melalui asetil-KoA untuk menghasilkan molekul
berenergi tinggi NADH dan suksinat. Keduanya akan
mengalami serangkaian reaksi oksidasi dan melepaskan
energi yang akan dimanfaatkan oleh AIP sintase utntuk
membentuk 1 molekul AIP dari 1 molekul ADP dan fosfat

2634

REI.JMAIOI.OGI

inorganik. Oksidasi tiap molekul NADH akan menghasil 3


molekul AIP, sedangkan oksidasi tiap molekul suksinat
hanya akan menghasilkan 2 molekulAIP

Kelainan pada mitokondria akan mempengaruhi


biosintesis enzim yang dibutuhkan untuk fosforilasi
oksidatif sehingga cadangan AIP menurun, peningkatan
radikal bebas dan induksi apoptosis. Sebagian besar

sindrom klinik akibat kelainan mitokondria akan


menyebabkan miopati, kardiomiopati dan ensefalopati
karenajaringan-jaringan tersebut membutuhkanAfP yang
tinggi
Defisiensi karnitin palmitiltransferase. Kelainan ini
menyebabkan gangguan tamsport dan metabolisme asam
lemak sebagai sumber energi di mitokondri a.Enzim karnitin
palmitiltranferase (CPT) sangat penting peranannya pada
transport asam lemak rantai panjang kedalam mitokondria.
Defisiensi CPT merupakan kelainan autosom resesif yang

dapat menyebabkan mialgia dan mioglobulinuria yang


biasanya berhubungan dengan aktivitas fisik yang berat,
tetapi dapatjuga timbul akibat puasa, infeksi atau paparan

Otot-otot bulbar, respirasi dan esofagus sering terserang


sehingga menyebabkan disfagia, disfonia bahkan aspirasi.
Pada oftalmopati Grave juga didapatkan miopati okuler

yang progresif. Tirotoksikosis juga seringkali

menimbulkan paralisis periodik seperti pada keadaat


hipokalemia.Keadaan ini berhubungan dengan perubahan
elektrolit didalam serum maupun urin sebagai respons
terhadap glukosa, insulin, potasium dan istirahat pasca
latihan.

Miopati Steroid
Keadaan yang berhubungan dengan kelebihan
glukokorlikoid dapat terjadi baik akibat Sindrom Cushing
atau pemberian

glukokortikoid kronik dari luar. Pemberian

steroid dosis tinggi > 30 mg/hari sering berhubungan


dengan kelemahan otot proksimal bahkan miopati quad-

riplegia akut. Miopati lebih sering terjadi pada


penggunaan glukokortikoid yang mengandung fluor,
seperti deksametason, betametason dan triamsinolon.
Penghentian steroid, biasanya akan memperbaiki

dingin. Kadar CPK serum, EMG dan biopsi otot

miopatinya, tetapi pada keadaan miopati quadriplegia akut,

biasanya normal, kecuali pada episoda rabdomiolisis.


Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa aktivitas enzim
CPT di otot.

perbaikan akan memakan waktu lebih lama dan


membufuhkan perawatan pendukung.

Defisiensi karnitin. Kamitin merupakan pembawa asam

MiopatiAkibat Obat Penurun Lipid

lemak rantai panjang ke dalam mitokondria dimana oksidasi


beta berlangsung. Defisiensi kamitin menyebabkan deposisi

Semua kelas obat penurun lipid, baik fibrat, statin maupun

lemak di dalam otot skelet. Defisiensi kamitin primer dapat


dibagi atas tipe sistemik dan tipe otot. Pasien dengan
defisiensi kamitin otot akan menunjukkan gejala kelemahan

otot pada masa anak akhir, remaja atau dewasa awal.

niasin, seringkali berhubungan dengan toksisitas pada


otot. Mialgia, malaise dan kekakuan otot merupakan
keluhan yang sering ditemukan. Nyeri otot sering
didapatkan setelah latihan. Nekrosis otot sampai

Kelemahan otot terutama menyerang otot proksimal diikuti


otot fasial dan faringeal. Defisiensi kar:nitin otot seringkali
juga diikuti peningkatan CPK dan EMG miopatik sehingga
sulit dibedakan dengan polimiositis. Defisiensi karnitin

rabdomiolisis dan mioglobulinuria sering didapatkan pada


keadaan yang berat. Kombinasi statin dengan fibrat dan
siklosporin yang menyebabkan reaksi toksik yang lebih
berat dibandingkan dengan pemakaian tunggal. Pada
keadaan miopati steroid, kadar CPK akan meningkat, EMG

didapat sering didapatkan pada kehamilan, gagal ginjal

menunjukkan gambaran miopati dan pada biopsi otot

terminal dengan hemodialisis lama, sirosis hati tahap akhir,


miksedema, insufisiensi adrenal dan terapi valproat atau

didapatkan gambaran nekrosis otot. Keadaan ini


menunjukkan bahwa obat harus dihentikan; dan

pivampisilin.

penghentian obat akan memperbaiki miopatinya.

Miopati pada Penyakit Tiroid

Paralisis Periodik

Hormon tiroid berperan mengatur metabolisme berbagai


zat, seperti karbohidrat, lipid dan sintesis protein serta
enzim. Hormon tiroid juga merangsang kalorigenesis

Paralisis periodik merupakan kelainan yang dapat bersifat


bawaan (primer) atau didapat (sekunder akibat penyakit
lain). Bentuk yang primer diturunkan secara dominan-

didalam otot, meningkatkan penggunaan vitamin oleh otot


dan meningkatkan sensitifitas otot terhadap katekolamin.

Hipotiroidisme.

Pasien

hipotroidisme seringkali mengeluh

kram, nyeri otot, kaku otot bahkan kelemahan otot


proksimal. Kadang-kadang didapatkan peningkatan kadar
CPKserum.

Hipertiroidisme. Pasien tirotoksikosis seringkali


menunjukkan atrofi dan kelemahan otot proksimal.

autosom, tetapi 30oh kasus dapat timbul sporadis.


Pada bentuk yang primer, apakah berhubungan dengan
hipo atau hiperkalemia, maka kadar K selama serangan
selalu normal, sedangkan pada bentuk yang sekunder
kadar K dapat tinggi atau rendah.
Gambaran klinikumum paralisis periodik pada berbagai tipe
adalah sebagai berikut :

Seranganparalisis dapatberakhir dari kurang satujam


sampai dapat berlangsung dalam beberapa hari,

2635

MIOI.OGI

.
.

Kelemahan otot dapat terlokalisir atau umum,

Refleks tendon dalam menurun dan hilang selama


serangan,
Serabut otot resisten terhadap stimulasi elektrik selama
serangan,
Serangan dimulai dari otot proksimal dan berkembang

.
.

ke otot distal;,
Istirahat langsung setelah latihan dapat mencetuskan
serangan pada otot yang dilatih,
Paparan dingin juga dapat mencetuskan serangan

.
.
.
.

paralisis,
Pemulihan sempuma dapat te{ adr pada serangan pertam4
Pada kelainan primer, dapat terjadi kelemahan otot yang
perrnanen.

Paralisis periodik primer akibat hipokalemi. Dapat timbul


pada dekade pertama atau kedua, meningkat serangannya
selama masa dewasa awal dan berkurang atau berhenti pada
dekade keempat dan kelima kehidupan. Laki-laki lebih sering
terserang daripada wanita. Serangan timbul setelah diet

tinggi karbohidrat atau natrium atau setelah istirahat


langsung pasca latihan. Oleh sebab itu dianjurkan
menurunkan derajat latihan secara bertahap. Diagnosis
ditegakkan bila didapatkan hipokalemia dan dapat
disingkirkan berbagai penyebab sekunder.
Penatalaksanaan. Pemberian KCI oral 0,2-0,4 mMoL/kgBB
harus diberikan setiap 30 menit. Selama pemberian KCl,

kekuatan otot dan EKG harus dimonitor terus. Hindari


pemberian KCI bersama glukosa atau NaCl karena akan
memperburuk hipokalemi. Bila diperlukan KCI intravena,
larutkan KCI dalam manitol. Pasien juga harus diberikan
diet rendah karbohidrat dan rendah Natrium serta
menghindari latihan dan kegiatan fisik yang berlebihan.
Untuk mecegah serangan berikutnya, dapat diberikan

asetazolamid 125-1000 mg/hari dalam dosis terbagi


sehingga terjadi asidosis metabolik yang akan mencegah
inaktifasi sodium channel. Bila setelah pemberian
asetazolamid serangan masih timbul, maka harus
ditambahkan KCI peroral. Pada paralisis periodik akibat
tirotoksikosis, asetazolamid ternyata tidak efektif mencegah
serangan. Pada keadaan ini harus diberikan terapi antitiroid,
suplementasi KCI dan diet rendah karbohidrat dan rendah
Natrium.

ekskresinya dalam jumlah kecil akibat nekrosis otot tidak


akan merubah wama urin. Oleh sebab ifu perubahan warna
urin akibat mioglobin menunjukkan destmksi otot yang
masif dan akut (rabdomiolisis) dan dapat menyebabkan
kerusakan ginjal. Pigmen tersebut harus dibedakan dari

hemoglobin dan pofirin. Bila tidak ada hemoglobulinemia


dan hematuria,makates benzidin yang positif dalam urin
sangat kuat menunjukkan adany a mioglobinuria.
Secara klinik, mioglobinuria akan disertai gejala nyeri
otot, pembengkakan dan kelemahan otot. Selain itu fosfat,
K, kreatin dan enzim otot akan dilepaskan kedalam sirkulasi.
Didalam urin akan didapatkan proteinuria dan hematuria.

Fungsi ginjal akan memburuk yar,g akan' diikuti oleh


hiperfosfatemia, hipokalsiuria, tetani dan hiperkalemia yang
berat.
Serangan akut dapat diatasi dengan istirahat, hidrasi
dan diuretik, alkalinisasi urin dengan bikarbonat dan terapi
terhadap insufi siensi ginj al.

DISTROFIOTOT
Distrofi otot adalah miopati bawaan dengan etiologi yang
tidak diketahui dan berhubungan dengan kelemahan otot
yang progresif, destruksi dan regenerasi serabut otot
dimana serabut otot diganti dengan jaringan ikat dan
jaringan lemak. Klasifikasi Distrofr Otot ditunjukkanpada
TabelT.

Distrofi Duchene. Merupakan kelainan yang bersifat


terangkai-X, sehingga terjadi defrsiendi distrofin, yaitu
protein membran miosit. Secara klinik akan terjadi inabilitas
berjalan pada umur 11 tahun dengan hipertrofi otot betis.
Enzim CK akan meningkat dengan gambaran EMG miopatik
dan histopatologi otot menunjukkan perlemakan otot dan
inflamasi. Kematian dapat te{adi pada umur 20 tahun akibat
gagal nafas.

Distrofi Becker. Juga bersifat terangkai-X,

dengan

gambaran klinik seperti distroh Duchene, tetapi lebih ringan,

Distrofi otot yang bersifat terangkai-X resesif


Distrofi Duchene
Distrofi Becker

Distrofi Emery-Dreifuss dengan kontraktur sendi

dan

paralisis atrial

Distrofi Otot yang bersifat autosom-resesif

MIOGLOBINURIA
Mioglobulinuria adalah keadaan klinik yang ditandai oleh

warna urin yang kecoklatan oleh mioglobin dan


metmioglobin. Keadaan ini berhubungan dengan kelainan
metabolik, infeksi, iskemik atau traumak dan kelainan
sekunder akibat miopati lain. Mioglobin merupakan
protein dengan BM 17.000 yang biasanya terdapat didalam

I gram/kg. Ambang ekskresi


daripada hemoglobin, dan
ginjal
lebih
rendah
mioglobin di
otot dengan konsentrasi

Distrofi otot pada anak-anak resesif-autos om (l i mb-g i rdle)


Distrofi otot skapulohumeral (limb-girdle)
Distrofi otot distal resesif-autosom
Distrofi otot kongenital
Autosomal-recesslve ngtld-sp ine synd rome (?)

Distrofi otot yang bersifat autosom'dominan


Distrofi fasioskapulohumeral
Distrofi skapuloperoneal domian-autosom
Distrofi okulofaringeal
Distrofi miotonik
Distrofi distal domian-autosom

2636

dan pasien masih dapat berjalan sampai umur 16 tahun,


dan kematian terjadi setelah umur 40 tahun.

REI.JM'ffOT.OGI

Distro{i Otot Okulofaringeal. Bersifat autosomal-dominan


dan timbul pada dekade kelima sampai keenam dengan
gambaran ptosis dan disfagia yang progresif. Kematian
biasanya disebabkan starvasi yang berat dan pneumonia

aspirasi. Kelainan

ini harus dibedakan dengan miopati

mitokondral. Gambaran histopatologik menunjukkan


filamen fubular intranuklear dengat rimmed vacuolar pada

anterior. Otot tidak mengalami hipertrofi dan jarang


didapatkan kontrakh.u sendi. Kelainan ini jarang melibatkan

serabut otot, sedangkan pada miopati mitokondrial


didapatkan ragged red fibers.

organ sistemik walaupun sering disertai ketulian saraf dan


Coats disease (telengiektasis, eksudasi dan ablasio retina).

Penatalaksanaan

Enzim CPK dapat meningkat sampai 5 kali lipat dan pada


biopsi otot didapatkan gambaran inflamasi.

Tidak ada terapi khusus untuk semua jenis distrofia otot.


Untuk mencegah kontraktur, dapat dilakukan terapi fisik.

Limb-girclle dystrophy. Merupakan kelainan autosom-

Kadang-kadang dibutuhkan ortosis dan koreksi


ortopaedik. Bila terdapat gangguan konduksi jantung,
kadang-kadang dibutuhkan alat pacu jantung. Miotoni

dominan yang ditandai oleh kelemahan otot proksimal


ekstremitas atas dan bawah yang dimulai pada dekade
kedua sampai dekade keempat. Kadang-kadang timbul
insufi siensi respiratorik akibat kelemahan otot diafragma
dan dapat juga menyebabkan kardiomiopati. Kelainan ini
Jarang menyerang otot muka dan sulit dibedakan dari
polimiositis.

Distrofia miotonika. Merupakan kelainan yang bersifat

pada distrofia miotonika jarang menimbulkan masalah

klini!

bila diperlukan dapat diberikan fenitoin 0,3-0,6 gram/


hari atau kuinin 0,3- 1 ,5 gramhari.

MIASTENIAGRAVIS

autosomal-dominan yang ditandai oleh kelemahan otot


wajah, ptosis, kelemahan otot ekstremitas distal dan

Miastenia gravis adalah kelainan neuromuskular yang

gambaran sistemik yang meliputi botak, katarak, keterlibatan


kardiorespiratori dan gastrointestinal, katarak subkapsular,

antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) sehingga


jumlah AChR di neuromuscular junction berkurang.

atrofi testis dan disfungsi ovarium, gangguan mental dan


kelainan tengkorak yang meliputi hiperostosis kranii, sela
tursika yang kecil, sinus paranasal yang besar dan
prognatisme. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kelambatan
relaksasi otot dan kekakuan otot (miotonia). Bila beqabat
tangan, maka seringkali timbul ketidakmampuan relaksasi
genggaman tangan dan bila otot tenar dipukul dengan palu
refleks, maka akantimbul kontraksi miotonik ibujari tangan.
Secara histopatologik akan tampak serabut otot yang besar
dengan inti di tengah disertai massa sarkoplasmik, ringed
myofibers, dan atrofi serabut otot tipe l. Nekrosis serabut
otot jarang ditemukan sehingga secara laboratorik juga
didapatkan CPKyang normal atau hanya sedikitmeningkat.

Distrofia distal. Ada 2 tipe, yaitu tipe autosomal-domian

ditandai oleh kelemahan otot dan cepat Jelah akib at adanya

Patofisiologi
Dalam keadaan normal, di neuromuscular junction,
asetilkolin (ACh) disintesis di terminal saraf motorik dan
disimpan didalam vesikel-vesikel. Ketika potensial aksi
merambat sepanjang saraf motorik dan mencapai terminal
saraf tersebut, Ach dari 150-200 vesikel dilepaskan dan
melekat pada AChR yang banyak terdapat pada postsynaptic folds membuka berbagai saluran di AChR sehingga

memungkinkan masuknya berbagai kation terutama Na


sehingga menimbulkan depolarisasi end plate serabut otot
dan yang pada akhirnya menimbulkan kontraksi otot.
Proses ini secara cepat berakhir dengan cara hidrolisis

ACh oleh asetilkolinesterase (AChE) yang banyak

dan tipe autos omal-resesif, P ada tipe autosomal-dominan,


serangan akan timbul pada dekade keempat sampai keenam
dengan kelemahan dan atri pada extensor lengan bawah dan

terdapat pada synaptic folds.

otot infinsik tangan yang kemudian berkembang ke otot


tungkai anterior dan otot-otot kecil pada kaki. pada tipe

transmisi neuromuskular menjadi tidak efisien sehingga


kontraksi otot melemah.

autosomal-resesif serangan dimulai pada fase anak-anak dan

menyerang otot-otot tungkai sebelum akhirnya juga


menyerang otot-otot lengan. Peningkatan CpK hanya
didapatkan pada tipe autosomal resesif, sedangkan pada
tipe autosomal dominan, CPKbiasanyanormal atau sedikit
meningkat. Pemeriksaan EMG menunjukkan gambaran

miopatik, sedangkan gambaran histopatologik tidak


menunjukan distlofi yang spesifik.

Pada keadaan miastenia gravis, jumlahAChR menurun


dan postsynaptic folds menjadi lebih rata sehingga

Kelainan neuromuskular pada miastenia gravis


disebabkan oleh proses autoimun akibat adanya antibodi
spesifik terhadap AChR, sehingga jumlah AChR menjadi

turun. Etiopatogenesis proses autoimun pada miastenia


gravis, tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian
diduga kelenjar timus turut berperan pada patogenesis
miastenia gravis. Sekitar 75oh pasien miastenia gravis
menunjukkan timus yang abnormal, 65oh pasien

2637

MPI.GI

menunjukkan hiperplasi timus dan

100/o

berhubungan

yang positif. Antibodi terhadap musc


(MuSK) didapatkan pada

dengan timoma.

40olo

pasien den

negatif.

Gambaran Klinik
Insiden miastenia gravis mencapai 1 dari 7500 penduduk,
menyerang semua kelompok umur, terutama wanita pada
dekade kedua dan ketiga atau laki-laki pada dekade kelima
dan keenam. Secara keseluruhan wanita lebih banyak
diserang daripada laki-laki dengan rasio 3:2.
Gambaran klinik yang khas adalah kelemahan otot dan

cepat lelah terutama akibat kegiatan

fisik atau latihan

berulang yang akan membaik dengan istirahat atau tidur'


Distribusi kelemahan otot bervariasi. Kelemahan otot okuler
terutama pa$ebra dan otot ekstraokuler akan diserang pada
awal timbulnya penyakit yang menyebabkan ptosis dan
diplopia. Keterlibatan otot muka akan mempersulit pasien
bila akan tersenyum atau mengunyah makanan dan bila
berbicara terdengar sengau akibat kelemahan otot palatum'
Selain itu juga pasien akan kesulitan menelan makanan

sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi'


Kelemahan otot ekstremitas terutama menyerang otot
proksimal dan bersifat asimetri. Bila menyerang otot
pernafasan, maka pasien akan membufuhkan alat bantu

Diagno
Eaton,

uti sindrommiasteniklambert-

roidisme, botulisme, diplopia


external ophthalmopleprogressdive
akibat tekanan N II,
gla (miopati mitokondrial).

Penatalaksanaan
Pemberian antikolinesterase, pitidostigmin bromida
(mestinon) 60 mg, 3-5 kali per-hari akan membantu pasien
untuk mengunyah, menelan dan beberapa aktivitas seharihari. Pada malam hari, dapat diberikan mestinon long-acting l8O mg.Efek samping muskarinik meliputi diare, kejang
otot abdominal, salivasi dan nausea, dapat diatasi dengan
atropin 0,4-0,6 mg per-oral diberikan 2-3 kali per-hari'
Plasmaferesis dan imunoglobulin intravena (IVIg 400

berikan unutk

mg/kgBB/ha
mimperbaiki
keadaan kri

eratif atauPada

stenik adalah

eksaserbasi kelemahan otot yang diikuti gagal nafas yang


n intensif'
mengancam nyawa dan
Setain ltulug a

daPat

d, dimulai

nafas yang akan memperburuk keadaan pasien.

Diagnosis
Diagnosis Miastenia Gravis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang khas, tes
antikolinesterase, EMCI serologi untuk antibodi AChR dan
CT-scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma'
Tes antikolinesterase. Unhrk tes ini digunakan edrofonium
(tensilon), suatu antikolinesterase kerja pendek, YanB
diberikan intravena dalam beberapa detik dan efeknya akan

berakhir dalam beberapa menit. Mula-mula edrofonium


diberikan dalam dosis 2 mg intravena selama 15 deti( bila
dalam waktu 30 detik tidak terdapat respons, dapat
ditambahkan 8-9 mg. Respons yang diharapkan meliputi
derajat ptosis, derajat gerak mata dan kekuatan
mengggenggam. Efek samping kolinergik yang dapat
muncul antara lain fasikulasi,/ushing, lakimasi, kejang
otot perut, nausea, vomitus dan diare. Edrofonium harus
diberikan secara berhati-hati pada pasien dengan kelainan

jantung karena dapat menyebabkan bradikardi, blok


atrioventrikular, bahkan sampai henti jantung' Untuk

siklosporin, mofetil mikofenolat dan siklofosfamid, dapat


diberikan bersama glukokortikoid.
Timektomi dapat dilakukan dan menghasilkan remisi
jangka panjang terutama pada pasien dewasa'

SINDROM MIASTENIK LAMBERT.EATON


Merupakan kelainan autoimun didapat akibat adanya
autoantibodi yang menyebabkan defisiensi volategesensitive calcium channels pada terminal neuron motor
ghambat pengeluaran kalsium ke

ktu saraf tersebut mengalami


di atas 40 tahut,TUoh
perempuan, berhubungan dengan

depolansasi. Pada pasien yang berusia

tat<i-tatl dan

3O%o

mengatasi toksisitas edrofonium, dapat digunakan atropin'

keganasan, biasanya karsinoma sel kec

Elektromiografi. Akan tampak gambaran frekuensi yang


rendah (2-4 Hz); stimulasi berulang akan menghasilkan

berhubungan dengan autoimturitas, HLA-B8 dan DRw3 dan

penurunan amplitudo dai. evoked motor responses'

demikian, 30oZ kasus bersifat

aut

il t.t.*ut an otot Proksimal

demikian, hasil postif tidak berkorelasi dengan derajat

extremitas dan otot-otot tubuh, terutama otot ekstremitas


bawah. Refleks tendon hipoaktif atau negatif' Pada 50o/o

penyakit. Pada umumnya 80o% pasien memrnjukkan hasil


positif, sedangkan pasien dengan kelainan mata hanya 50Yo

disfungsi ereksi, penurunan produksi keringat atau

Antibodi AChR. Hasil positif bersifat diagnostik; walaupun

kasus didapatkan gejala otonom meliputi mulut kering'

2638

REUMA*IOLOGI

perubahan refleks pupil.

EMG menunjukkan frekuensi yang rendah; stimulasi


berulang pada 2 Hz menghasilkan penurunan amplitudo
yang lebihrendah, tetapi stimulasi 10 Hz akanmenghasilkan

amplitudo yang normal.


Antikolinesterase hanya sedikit memberikan respons
terapi. Pada kasus non-neoplastik, dapat dicoba pemberian
prednison dosis rendah atau azatioprin 2 mg/kgBB/hari.

Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis, radiologik,

MRI atau biopsi, Setelah diagnosis ditegakkan, tindakan


bedah eksploratif harus dilakukan untuk melihat luasnya

kerusakan, membuang jaringan nekrotik, mengurangi


tekanan pada daerah yang terinfeksi dan untuk
mendapatkan spesimen untuk kulfur dan pewamaan Gram.
Pemberian antibiotika yang adekuat secara empirik harus
segera dilakukan sambil menunggu hasil kultur dan tes

resistensi.

MIOSITIS INFEKTIF

Miositis infektif dapat disebabkan oleh infeksi virus


(influenza, dengue, coxsackie B) atau invasi parasit

REFERENSI

(trikinelosis, sistoserkosis, toksoplasmosis). Gambaran

Brown RH, Mendell JR. Muscular Dystrophy and other Muscle


Diseases. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL et al (eds).

klinik yang utama adalah nyeri otot yang hebat, bahkan


sampai rabdomiolisis akut, terutama akibat infeksi
klostridial dan streptokokal.

Di

daerah tropik, S. Aureus sering menyebabkan


piomiositis dengan porte d'entree yatTg tidak jelas;
terutama pada pasien dengan gizi buruk. Biasanya infeksi
bersifat lokal, tetapi bila kuman menghasilkan toksin dapat
menyebabkan sindom syok toksin.
Beberapa spesies kostridial (C. perfringens, C.
Septicum, C. Hystoliticum), bakteri-bakteri anerob atau

infeksi bakteri campuran, seringkali menyebabkan


mionekrosis. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan
trauma; walaupun demikian, dapat juga timbul spontan,
terutama pada pasien dengan neutropenia dan keganasan.
Pada50%o kasus, mionekrosis disertai dengan necrolizing

fasciilis.

Harrison's Principles of Intemal Medicine, vol

II, 16s ed. McGraw


Hill Medical Publishing Division, New York 2OO5: 252j-39.
Dalakas MJ. Polymyositis, Dermatomyositis, and Inciusion Body
Myositis. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo DL et al (eds).
Harrison's Principles of Intemal Medicine, vol II, l6s ed. McGraw
Hill Medical Publishing Division, New York 2005: 2540-44.

Drachman DB. Myasthenia Gravis and other Diseases of the


Neuromuscular junction. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo DL et
a1 (eds).

Harrison's Principles of Intemal Medicine, vol II, 16,h


Hill Medical Publishing Division, New york 2005:

ed. McGraw

2518-24.
Marzuki S, Artika I M, Sudoyo H et al. Eijkman'Lecture Serries I:
Mitochondrial Medcine. Lembaga Eijkman, Jakarta 2003:
I

-90.

Wortmann RL. Inflammatory Diseases of Muscle and other


Myopathies. In: Harris ED, Budd RC, Genovese MC et al (eds)
Kelley's Textbook of Rheumatology,2d ed.7,h ed. Elsevier
Saunders, Philadelphia 2005:1309-35

406
INFEKSI TULANG DAN SENDI
'Bambang Setiyohadi, A. Sanusi Tambunan

ARTRITIS BAKTERIALIS

Artritis septik akut yang disebabkan infeksi

non-

micobakterial merupakan masalah serius, yang dihadapi

baik di negara berkembang maupun dinegara maju.


Beberapa rute bakteri untuk mencapai sendi antara lain
secara hematogen, penyebaran langsung dari

osteomielitis,

penyebaran dari jaringan sekitar sendi yang mengalami


infeksi akibat tindakan prosedur diagnostik maupun
terapeutik seperti arlrosintesis ataupun astroskopi dan luka
tembus.
Pasien dengan artritis septik akut ditandai nyeri sendi

hebat, bengkak sendi, kaku dan gangguan fungsi, di


samping itu ditemukan berbagai gejala sistemik yang lain
seperti demam dan kelemahan umum.

Sendi lutut sering dikenai dan biasanya bersifat


indolent monoartritis. Beberapa faktor risiko antara lain.
1) Protesis pada sendi lutut dan sendi panggul disertai
infeksi kulit. 2)Infeksi kulit tanpa protesis. 3)Protesis
panggul dan lulut tanpa infeksi lutut tanpa infeksi kulit. 4)
umur lebih dari 80 tahun. 5) Diabetes melitus 6)Artritis
Reumatoid yang mendapat pengobatan immunosupresif'
7)Tindakan bedah persendian. Di Filipina dilaporkan bahwa

pasien pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES)


merupakan faktor risiko urutan kelima untuk terjadinya
artritis septik.
Bakteri yang masuk langsung kedalam rongga sendi,
akanberkembang di dalam cairan sendi, dan sebagian akan
mati akibat difagositosis oleh synovial lining cells dat
sebagian membentuk abses di dalam membran sinovial'
Bila bakteri mencapai sinovium melalui aliran darah, maka

kuman akan berkembang biak dan membentuk abses


subsinovial yang akhirnya pecah dan bakteri masuk ke
dalam rongga sendi.
Staphylococus aureus merupakan bakteri yang sering
menyebabkan artritis bakterialis dan osteomielitis pada

manusia. Diduga, kemampuan Staphylococus aureus


untuk menginfeksi sendi berhubungan dengan interaksi
attara bakteri tersebut dengan komponen matriks
ekstraselular.

Produk-produk bakteri seperti end.otoksin

(lipopolisakarida) bakteri gram negatif, fragmen dinding


sel bakteri gram positif dan kompleks imun, akan
merangsang sel-sel sinovial untuk melepaskan TNF - alfa
dan IL-l beta yang akan mencetuskan infiltrasi dan aktifasi
sel-sel PMN. Bakteri akan difagositosis oleh vacuolated
synovial lining ells dan sel-sel PMN. Sel-sel fagositik
tersebut, memiliki sistem bakterisidal, kemampuannya
mematikan bakteri tergantung pada virulensi bakteri yang

menginfeksi. Komponen bakteri yang membentuk


kompleks antigen-antibodi, akan mengaktifkan komplemen

melalui jalur klasik, sedangkan toksin bakteri akan


mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif'
Fagositosis bakteri yang mati oleh sel-sel PMN, juga dapat
menyebabkan autolisis sel, PMN akan melepaskan enzim
lisozomal ke dalam sendi yang menyebabkan kerusakan
sinovial, ligamen dan rawan sedi. Selain itu, sel PMN dapat
merangsang metabolisme asam arakidonat dan melepaskan
kolagenase, enzim-enzim proteolitik dan IL-l sehingga
reaksi inflamasi bertambah hebat.

Gambaran Klinis dan Diagnosis


Artritis bakterial ditandai oleh nyeri dan pembengkakan
sendi yang akut, biasanya monoartikular, terutama
mengenai sendi lutut dan hampir selalu ada penyakit
mendasarinya. Pada umumnya pasien akan mengalami
demam, tetapi jarang disertai menggigil.
Analisis kultur cairan sendi, merupakan prosedur

diagnostik yang penting untuk mendiagnosis artritis


bakterial. Agar kultur cairan sendi dapat memberikan hasil

yang adekuat, cairan sendi harus segera dikirim ke


laboratorium mikrobiologi. Bila diduga ada infeksi

639

2640

Nei,sseria atau Haemophillus, spesimen harus ditanam


pada agar coklat dan inkubasi di dalam lingkungan CO"
5-10%. Pewarnaan Gram cairan sendi dapat dilakukan

setelah cairan sendi disentrifugasi atau dilakukan


sitosentrifugasi. Pada bakteri Gram-negatif, kadang-kadang

erlu dilakukan pewarnaa n a c r i d i n e - o r an g e . Walaupun


tidak bersifat diagnostik, kecurigaan infeksi sendi dapat
juga dilihat dari hitung leukosit cairan sendi, yaitu bila
didapatkan leukosit lebih dari 50.000/ml dengan jumlah
PMN lebih dari80%o. Berbagai pemeriksaan kimia cairan
sendi, seperti glukosa, LDH, tidak banyak mendukung
diagnosis infeksi sendi.
p

Pada keadaan yang berat, harus dilakukan

kultur darah.
Selain itu juga harus dilakukan kultur dari fokal infeksi,
seperti kulit, urin dan lain sebagainya.
Perubahan radiologis biasanya terjadi beberapa
minggu setelah infeksi. Pemeriksaan radiologis pada
stadium awal dapat dilakukan sebagai data dasar untuk
menilai berbagai perubahan radiologis pada stadium
berikutnya. Pada minggu-minggu pertama, dapat terlihat
ostoeoporosis periartikular, penyempitan celah sendi dan

REI.JMITIOI.GI

antistafilokokal dan aminoglikosida atau sefalosporin


generasi ketiga. Pada pasien usia lanjut juga harus
diberikan antibiotik yang berspektrum luas dengan
memperhatikan fungsi berbagai alat tubuhnya, misalnya

fungsi ginjal. Golongan quinolon, cukup efektif


terhadap bakteri gram-negatifl tetapi sering cepat terjadi

resistensi. Umumnya konsentrasi antibiotik di dalam


cairan sendi yang terinfeksi cukup tinggi.
Setelah ada hasil kultur cairan sendi, maka antibiotik
diganti dengan yang telah sesuai dengan dosis yang
adekuat.

Joint drainage harus dilakukan dengan baik, baik


dengan aspirasi jarum, artroskopi atau artrotomi.

Tindakan bedah harus dipertimbangkan pada keadaan


sebagai berikut:
- Infeksi koksae pada anak-anak
- Sendi-sendi yang sulit dilakukan joint drainage

secara adekuat baik secara aspirasi jarum maupun


karena letak anatomiknya.
Bersamaan dengan osteomielitis

Infeksi berkembang kejaringan lunak sekitarnya.

erosi.

Scintigrafi, dapat mendeteksi adanya inflamasi pada


jam-jam pertama, tetapi tidak dapat membedakan apakah
inflamasi tersebut berasal dari infeksi atau bukan.
Magnetic Resonance Imaging merupakan prosedur
penentuan yang dapat digunakan untuk diagnostik dini,
yang akan menampakkan gambaran pembengkakan dan
pendesakan jaringan lunak sendi.

Penatalaksanaan

Pada dugaan terhadap kemungkinan arhitis bakterial,

aspirasi cairan sendi harus segera dilakukan untuk


analisis, pewamaan Gram dan kulfur cairan sendi
Bila cairan sendi bersifat purulen dan atau ditemukan

bakteri pada pewarnaan Gram, segera diberikan


antibiotik belspektrum luas. Karena pada umumnya
disebabkan oleh S. Aureus, maka pilihan utama
antibiotika adalah penisilin G, kloksasilin, klindamisin

Gambar 1. Perjalanaan infeksi tulang berdasarkan aliran darah


dan kematangan tulang

atau

ARTRITTS GONOROTKA (DTSSE


COCCAL INVENTION = DGI)

sulbaktam. Bila alergi terhadap penisilin, dapat diberikan

DGI merupakan infeksi sendi terbanyak pada beberapa

netilmisin yang diberikan secara parenteral. pilihan


antibiotik yang lain adalah kombinasi ampisilin dan

vankomisin atau klindamisin. Bila pada pewarnaan


didapatkan kokus Gram positif, pilihan antibiotik adalah

yankomisin. Bila didapatkan basil Gram negatif,

terutama pada pasien dengan daya tahan tubuh yang


menurun, harus diberikan golongan aminoglikosida atau
penisilin anti pseudomonas atau sefalosporin generasi
ketiga. Bila didapatkan bakteri Gram negatifpada orang
muda sehat, maka pilihan antibiotik adalah penisilin atau
seftriakson. Pada neonatus dan anak di bawah 2tahw,
antibiotik harus dipilih yang dapat mematikan _FL

inJluenzae, S. aureus dan Streptokokus grup B.

Antibiotik yang dapat diberikan adalah penisilin

UTTVA

TED oONO-

daerah urban. Umumnya pasien artritis DGI berusia muda,


sehat dan kehidupan seksualnya aktif. Secara klinis dapat

timbul dalam bentuk monoartritis, poliartritis atau


tenosinovitis. Selain itu juga dapat disertai berbagai
kelainan kulit seperti ptekie, papula, pustula, bula
hemoragik atau lesi nektrotik.

Kultur darah dan cairan sendi biasanya negatif, karena

gonokok sangat sensitif terhadap kekeringan. Hanya


kurang dari

50o/o ditemukan kultur yang positif. Spesimen


harus diambil bedside dari semua orifises dan lesi pada
kdlit selain dari cairan sendi dan darah, langsung ditanam

pada media coklat atau media Thayer

- Martin. Masa

2641

INFEKSI TUI.AIYG DAI\ SENDI

inkubasi dari kontak seksual sampai timbul DGI berkisar


antara I hari sampai 2 bulan. Hanya 25% pasien DGI
mempunyai keluhan genitourinari a dan 25"/o mempunyai
riwayat pernah menderita gonore. DGI jarang berulang,
bila hal ini timbul, maka harus dipikirkan kemungkinan
defisiensi komplemen terutama Cr-Cr. Wanita yang
terinfeksi sekitar masa menstruasi atau pada waktu hamil
memiliki risiko untukberkembang menjadi DGI.

Artritis Gonoroika (DlG)

Artritis Bakterial
nongonokokal

Selain menyerang usia


muda dan sehat yang

kehidupan

seksualnya

aktif atau pasien dengan

daya tahan
.
.
.
.
.
.

tubuh
menurun
Tidak didahului oleh
penyakit sendi atau
inteksi intraartikular
Secara klinis akan
ditandai oleh poliartritis,
poliartralgia, dermatitis
dan tenosinovitis
Kultur cairan sendi positif
pada < 25% kasus
Kultur darah jarang
positif
Terapi antibiotik
memberikan
penyembuhan yang
cepat
Prognosis baik > 95%

.
.

Biasanya terjadi Pada anak'


orang tua atau Pasien
denga daya tahan tubuh
menurun

Didahului penYakit sendi


tertentu, inteksi intra
artikular atau protesis sendi
Biasanya monoartritis

Kultur mikroorganisme, bila positif sangat menunlang


diagnosis, tetapi karena hany a I 0 -25o/o yang positif, maka
diagnosis biasanya ditegakkan secara klinis dan terapi
diberikan tanpa menunggu hasil kultur.

Penatalaksanaan
Terapi antibiotik sangat efektif untuk DGI biasanya dipilih
penisilin atau sefalosporin. Dalamwaktu 24-48 jam,demam
akan turun secara drastis dan kelainan sendi dan kulit akan
hilang dalam beberapa hari. Walaupun demikian, pasien
dengan efusi purulen yang banyak terjadi pada kasus yang
resisten terhadap penisilin. Dalam keadaan ini, harus dipilih

sefalosporin generasi ketiga, misalnya seftriakson,


pengobatan secara parenteral selama 7-10 hari dan
dilanjutkan dengan terapi otal flucloxacilin atatt
cephalospurir selama 6 minggu.

OSTEOMIELITIS
Osteomielitis adalah infeksi pada tulang yang biasanya
menyerang metafisis tulang panjang dan banyak terdapat

.
.

Kultur cairan sendi positif


pada > 95% kasus
Kultur darah 40-507o Positif

'

Memerlukan terapi
antibiotik jangka Panjang
dan joint drainage

Pognosis buruk Pada 3050% kasus

pada anak-anak. Bakteri mencapai tulang dapat secara


langsung (perkontinuitatum) atau dari aliran darah

(hematogen). Streptococos dan stapilococus aureus


terutama menyerang anak dan dewasa.t Pada saat ini, yang
menjadi problem adalah infeksi yang berasal dari prostesis
sendi. Secara klinis dapat dibagi atas osteomielitis akut,
serta osteomielitis subakut dan kronik. Osteomielitis akut
biasanya menyerang anak-anak sampai usia pubertas.

OSTEOMIELITIS PELVIK

Gejala Klinis dan Diagnosis


Poliartralgia yang berpindah-pindah selain artritis pada
sendi yang terinfeksi merupakan tanda awal sebagian besar

pasien DGI dan seringkali timbul 3 - 5 hari sebelum


diagnosis klinis ditegakkan. Gejala klinis lainnya adalah
demam, menggigil, tenosinovitis dan kelainan kulit.
Tenosinovitis umumnya didapatkan pada dorsum manus,
pergelangan tangan, pergelangan kaki atau lutut. Kelainan
kulit seperti yang disebutkan diatas biasanya terjadi pada

ekstremitas atau batang tubuh, tetapi membutuhkan


pemeriksaan yang teliti untuk mendapatkannya, karena
sering asimtomatik. Kadang-kadang lesi kulit baru timbul
setelah terapi antibiotik, tetapi biasanya segera menghilang
beberapa hari setelah pengobatan. Pada biopsi kulit, jarang

ditemukan N. gonorrhoeae.

Efusi purulen pada sendi hanya didapatkan pada


25-50% kasus. Hitung leukosit cairan sendi berkisar antara
35.000-70.000/ml cairan sendi. Kasus dengan tenosinovitis
dan dermatitis, biasanya memiliki hitung leukosit cairan
sendi yang rendah.

Osteomielitis pelvik, merupakan bentuk osteomielitis akut


yang menyerang simfisis pubis, sendi sakroiliak, os ilium
dan asetabulum ; biasanya disebabkan S, aureus. Pada
wanita dengan infeksi obstetrik atau ginekologik, infeksi
dapat berasal dari penyebaran infeksi tersebut dan sering
disebabkan oleh bakteri Gram-negatif atau bakteri anaerob'

Biasanya bersifat subakut dan sulit dideteksi, sehingga

diagnosis sering terlambat ditegakkan. Walaupun


demikian, prognosisnya baik dan jarang menimbulkan
sekuele.

SPONDILITIS
Infeksi pada korpus vertebra disebut spondilitis. Korpus
vertebra merupakan tempat yang sering terkena

osteomielitis hematogenik pada orang dewasa. Infeksi ini


dapat menyebar melalui ligamen yang berdekatan sehingga
sering mengenai 2 korpus vertebra yag berdekatan' Diskus
intervebral tidak memiliki vaskularisasi tapi dapat terinfeksi

2642

REI.JMAIOI.OGI

secara langsung dari abses vetebra. Infeksi dapat

Secara klinis tampak keadaan pasien sangat berat


disertai artritis septik dan renjatan, terutama bila

menyebar ke sentral ke dalam kanalis spinalis. Selain itu


dapatjuga menyebar ke jaringan lunak paraspinal. pada
daerah servikal, osteomielitis dapat menyebabkan abses
retrofaringeal atau mediastinitis; pada daerah torakal dapat

penyebabnya adalah S.areus. Pada umumnya didapatkan


leukositosis dan peningkatan LED. Infeksi dini dapat
dicegah dengan pemberian antiobiotik perioperatif yang
adekuat. Selain itu, pada masa pasca bedah, semua infeksi
terutama dari gigi, saluran napas dan saluran kemih kelamin
harus diatasi secara adekuat.

menyebabkan mediastinitis, empiema atau perikarditis, dan


pada daerah lumbal dapat menyebabkan peritonitis dan
abses subfrenik atau sepanjang fascia otot iliopsoas.

OSTEOITIS

Osteoitis adalah infeksi pada tulang pipih dan tulang


pendek, biasanya terjadi pada kaki tetapi kadang-kadang

juga dapat timbul pada tangan. Infeksi ini biasanya


didahului oleh infeksi pada kulit atau jaringan lunak dan
biasanya pasien memiliki penyakit dasar seperti diabetes
melitus atau arterosklerosis. Gejala klinisnya lebih ringan,
demam pun tidak ada dan nyeri serta pembengkakan tidak
seberat osteomielitis. Kadang-kadang timbul fistel dan
abrasi sehingga infeksi dapat menyebar ke jaringan sekitamya.

Problem diagnostik yang utama adalah membedakan


amtara artritis septik dengan kelonggaran prostesis yang
aseptik. Pada kedua keadaan tersebut dapat terjadi tanpa
demam maupun leukositosis, tetapipada infeksi hampir
selalu terdapat peningkatan LED. Kuman yang sering

diisolasi dari dari infeksi sendi prostetik adalah


stafifilokokus, streptokokts, E.coli dan bakteri anaerob.
Penatalaksanaan yang penting adalah pemberian

antibiotik yang adekuat dan debridement. BlIa prostesis


longgar, maka harus dilakukan revisi. Jika infeksi tidak
dapat diatasi dan sisa tulang setelah debridement sangat
sedikit,, prostesis harus dilepas dan terhadap sendi
dilakuk$n arlrodesis.

Penatalaksanaan
Begitu diagnosis ditegakkan, antibiotik berspektrum luas
dengan dosis yang adekuat harus segara diberikan. pada
osteomielitis akut, pemberian antibiotik selama 7 -10 hari
biasanya sudah menampakkan hasil yang baik, tetapi pada
osteomielitis kronik, kadang-kadang pemberian antibiotik

harus diteruskan sampai 6 bulan, apalagi bila kuman


penyebabnya adalah stafilokokus. prognosis sangat
tergantung dari kecepatan dan dosis antibotik yang
diberikan. Selain pemberian antibiotlk, drainage d,an

Prosedur

Pilihan Antibiotik dan Dosisnya

A. Prosedur pada gigi,


mulut

Amoksilin: 3 gram per oral , 1 jam


sebelum tindakan selanjutnya
1,5 gram, 6 jam setelah
pemberian yang pertama
Ampisilin: 2 gram + gentamisin
80 mg (1,6 mg/kgBB) diberikan
secara parenteral 30 menit
sebelum prosedur dilakukan
prosedur, selanjutnya amoksilin
1,5 gram per oral 6 jam setelah
pemberian yang peftama

Prosedur pada saluran


cerna

debridement juga harus dilakukan, apalagi bila sudah

timbul

abses.

INFEKSI PADA SEND! PROSTETIK


Infeksi merupakan komplikasi yang paling menyebabkan
kematian pada operasi prostesis sendi, karena hal ini dapat
menyebabkan kelonggaran prostesis dan sepsis. Risiko
tinggi infeksi pada sendi prostetik adalah pasien artritis

reumatoid, sendi yang pernah dioperasi atau revisi


artroplasti atau sendi dengan riwayat infeksi sebelumnya.

Risiko lain adalah penggunaan kortikosteroid, operasi


yang memakan waktu lama dan adanya infeksi di tempat
lain. Penggantian sendi harus ditunda sampai infeksi dapat
diatasi.
Dua pertiga infeksi sendi prostetik terjadi pada tahun

pertama dan harnpir selalu disebabkan oleh inokulasi


bakteri intra operatif atau bakteriemia pasca bedah.

Bakteriemia pasca bedah yang awal, biasanya


berhubungan dengan infeksi kulit, pneumonia, infeksi gigi
atau saluran kemih kelamin.

Untuk mencegah infeksi pada sendi prostetik, harus


dilakukan berb agai hal hal berikut:
. Cari dan eradikasi fokus infeksi pada gigi, saluran kemih
kelamin, dan kulit sebelum operasi.

Hentikan pemberian obat-obat kortikosteroid dan

.
.
.

Pemberianantibiotikpre-operatif
Atasi setiap infeksi setelah dilakukan prostesis sendi.
Gunakan antibiotik pada setiap tindakan yang potensial

lmunosupresan.

mencetuskan bakteriemia.

ARTRITIS TUBERKULOSIS

Tuberkulosis merupakan penyakit yang sudah lama


dikenal, tetapi sampai saat ini masih belum dapat
diberantas. Frekuensi tuberkulosis tulang dan sendi selama
3 dekade terakhir menurun bersamaan dengan menurunnya

frekuensi tuberkulosis paru. Artritis tuberkulosa

2643

INFEKSI TUIJ\IYG DAN SENDI

merupakan penyakit yarrg jarang ditemukan, yaitu kira-

kira hanya l-2o/o dari seluruh kasus tuberkulosis


ekstrapulmoner hampir separoh pasien mengidap
tuberkulosis pulmoner aktif maupun nonaktif. Umumnya
tulang dan sendi yang terkena adalah sendi penopang
berat badan, terutama korpus vertebra, disusul sendi

pinggul (koksae), sendi lutut kadang-kadang terjadi


serangan pada tangan

(dakilitis tuberkulosis

spina ventosa).

Gejala Klinis
Perjalanan klinis artritis tuberkulosis berlangsung lambat,

kronik dan biasanya hanya mengenai 1 sendi. Keluhan


biasanya ringan dan makin lama makin berat disertai
perasaan lelah pada sore dan malam hari, subfebris,
penurunan berat badan. Keluhan yang lebih berat seperli
panas tinggi, malaise, keringat malam, anoreksia biasanya
bersamaan dengan tuberkulosis milier.

Pada sendi, mula-mula jarang timbul gambaran yang


khas seperti pada artritis yang lainnya. Tanda awal berupa
bengkak, nyeri dan keterbatasan lingkup gerak sendi. Kulit
di atas daerah yang terkena teraba panas, kadang-kadang
malah dingin, berwarna merah kebiruan. Bisa terjadi sendi
berada dalam kedudukan fleksi berkelanjutan dan mungkin

disertai tenosinovitis.
Pada anak-anak dapat ditemukan spasme otot pada
malam hari (night start). Mungkin disertai demam, tapi
biasanya ringan. Pada kasus yang berat, kelemahan otot
bisa terjadi sedemikian cepatnya menyerupai lumpuh.
Bila pinggul yang terkena, maka terjadi kelemahan
tungkai dengan rasa tidak enak. Dalam keadaan yang lanjut
dan berat, pasien sukar menggerakkan dan mengangkat
tungkai pada sendi pinggul yang terkena, disertai rasa sakit
yang sangat mengganggu di sekitar paha dan daerah

pinggul tersebut.
Tuberkulosis verlebra (penyakit Pott) biasanya terjadi
di daerah torakolumbal. Penyakit Pott merupakan 50o% dari
seluruh kasus tuberkulosis tulang dan sendi. Pada mulanya

proses terjadi dibagian depan diskus intervertebra,


menyebabkan penyempitan ruang diskus, memberi keluhan

nyeri punggung yang menahun, kemudian disertai


munculnya kifosis runcing akibat hancurnya korpus
vertebra yang terkena yang disebut gibbus. Gangguan
neurologis terjadi karena terkenanya spinal cord atau
adanya meningitis.

Patologi
Tuberkulosis yang menyerang sistem muskoloskoletal,
terutama bersarang di sendi, walaupun fulang, sinovium,
bursa atau tendon mungkin juga terkena. Prosesnya diawali
dengan infeksi fokal berupa osteopenia atau erosi artikular
yang berlangsung berbulan-bulan.
Pada sendi penopang berat badan, terutama lutut dan
pinggul, erosi subkondral terjadi mendahului kerusakan
rawan sendi. Setelah itu, terjadi sekuestrasi tulang yang

menyebabkan penyempitan rongga sendi. Jadi perubahan


rongga sendi yang nyata, baru timbul setelah proses infeksi
berlangsung lama.
Osteomielitis pada tulang panjang dapat merupakan

komplikasi sinovitis tuberkulosa dan selanjutnya


osteomielitis tuberkulos4 ini j arang menyebabkan artritis septik.

Pada anak-anak tulang pendek seperti tulang-tulang


jari tangan dan kakijuga bisa terkena dan disebut daktilitis

tuberkulosa, ini jarang terjadi pada orang dewasa.


Tenosinovitis tuberkulosis biasanya menyerang bursa

ulnar dan radial dan membentuk ganglion palmar.


Terkenanya tendon-tendon ekstensor tangan, tendon
fleksor jari tangan atau kaki merupakan kejadian yang
jarang terjadi. Kedua lokasi yang terakhir biasanya
merupakan tuberkulosis sekunder dari tempat lain. Bila
tendon fleksor tangan terkena, akan timbul sindrom
terowongan karpal.

Reaksi terjadinya granuloma pada diafisis akan


menyebabkan destruksi medula, pencairan lesi dan lamelasi
periosteal. Lesi tunggal yang mencair pada tulang panj ang
perlu dibedakan dari tumor primer osteoblastoma. Adanya
granuloma pada sinovium tidak selalu ada hubungannya
dengan nekrosis kaseosa tuberkulosis. Jadi bila ditemukan
granuloma, perlu dipikirkan kemungkinan tuberkulosis dan
perlu dilakukan biopsi untuk membedaknnya dengan
granuloma karena jamur. Kadang-kadang pada biopsi dan

kultur dapat ditemukan mikobakterium dan jamur,


walaupun gambaran inflamasinya tidak spesifik. Tetapi
dengan tidak adanya granuloma belum berarti kemmgkinan
tuberkulosis atau jamur sudah dapat disingkirkan.

Sendi yang terkena biasanya memberikan gambaran


proliferasi dan efusi sinovium, mengakibatkan keterbatasan
lingkup gerak sendi yang progresif, otot di sekitarnya
menjadi spastik dan sering terjadi kelemahan otot yang

cepat yang menyerupai kelumpuhan (progressive


wasting).
Selain terjadi pannus sinovial mungkin juga terbentuk
beras
("rice bodies") yarg terdapat di tepi granuloma sinovial.
Rice bodies ini pertamakali dilaporkan oleh Reise pada

fibrin ekstravaskular dan benda amorf seperti

tahun 1895, pada kasus artritis tuberkulosa yang juga


dapat ditemukan pada arhitis reumatoid dan artritis kronik
lainnya.

Tuberkulosis pada vertebrata, pertama kali dilaporkan


oleh Pott pada tahun 1779,berupa kerusakan tulang di
bagian depan metafisis. Abses perkijuan bisa meluas
sampai ke kanalis spinalis, mengakibatkan iritasi meningeal
sumsum tulang belakang atau penekanan serabut sarafdi
leher, mediastinum bagian belakang atau abses iliopsoas.

Selain itu juga dapat mengenai satu atau kedua sendi


sakroiliaka. Infeksi bermula pada korpus vertebra dengan
vertebra dengan terbentuknya ruangan yang berisi bahan
perkijuan, dikelilingi jaringan fibrosis dan tulang yang
atrofi; proses ini bisa menyerang lebih dari satu korpus
verlebra . Kemudian proses berlanjut membentuk abses

2644

REI.JM'$OLCrcI

Nama Obat

Dosis
AnaUHari

Rifampisin

Dosis

Dosis Maksimum/Hari Efek Samping

Dewasa/Hari

10-20 mg/kg p.o

10 mg/kg BB p.o

(lNH)

10-20 mg/kg p.o

5 mg/kg BB p o

300 -400 mg

Pirazinamid

15-30 mg/kg p.o

15-30 mg/kg p.o

2gr

Streptomisin

20-40 mg/kg lM

15 mg/kg BB lM
(> 60 th:10 mg/kg)
15-25 mg/kg p.o

lsoniazid

Etambutol

15-25 mg/kg p.o

dingin di daerah anterior ligamentum komunis dan dapat


meluas, ke korpus vertebra yang lain. Lesi pada tulang
lainnya cenderung berlangsung tanpa gejala sampai
akhirnya terjdi kerusakan tulang di sekitar lesi dengan
terbentuknya abses dipermukaan sendi yang letaknya
dekat dengan lesi tersebut. Destruksi igajuga dapat terjadi
akibat adatya abses di bagian depan paravertebra.
Refration tulang terjadi akibat perkapuran serta
pembentukan tulang baru yang kemudian mengalami
campuran proses litik-sklerotik. Gambaran semacam ini

sangat sulit dibedakan dengan keganasan atau jamur


secara radiologi, karena itu perlu dibuktikan seara
histopatologik.
Pada pemeriksaan radiologis tahap awal terlihat
gambaran seperti osteoporosis dan suramnya gambaran
tulang. Selanjutnya terjadi erosi yang memperlihatkan

gambaran berupa permukaan sendi yang compangcamping. Sering pula.terlihat lesi kistik pada metafisis,
lempeng epifisis dan diafisi. Pada trokanter mayor yang
terkena akan tampak gambaran khas berupa luasnya bagian

yang erosi dan bayangan iregular lembar di bagian luas


akibat kalsifikasi perkijuan pada bursa subgluteal. Kadangkadang lesi tulang tidak khas dan sukar dibedakan dengan
kerusakan akibat sebab yang lain.
Pada pemeriksaan radiologis tulang punggung, terlihat
gambaran berupa destruksi tulang disertai pembentukan
tulang baru dibagian yang telah sembuh. Ada perbedaan
yang jelas antara kelainan ini dengan gambaran suatu
metastis, infeksi diskus intervertebral yang destruktif serta
menyebar ke korpus vertebra didekatnya.
Hampir separuh kasus artritis tuberkulosa mempunyai
gambaran radiologis paru yang normal.
Pemeriksaan laboratorium cairan sinovial bervariasi.
Secara makroskopik, cairan sinovial tampak berawan dan

berwarna kekuningan. Kadar glukosa cairan sinovial


cenderung menurun, 50% sampai mencapai nilai 50 mg/dl
dengan perbedaan konsentrasi di darah dan cairan sinovial
mencapai 40 mgldl laju endap darah meningkat. Jumlah
leukosit berkisar antara 1 000- I 00. 000/ml dengan r ata-r ata
.

600 mg

1gr

Hepatitis, febris,
diskolorisasi jingga pada
ufln
Hepatitis, neuropati
perifer
Hepatotoksisitas,
hiperurisemia, artralgia,
skin rash.
Ototoksisitas nefrotoksik

(>60 th: 750 mg lM)

2,5 gr

Neuritis optik, skrn rash

10.000-20.000/ml, terutama terdiri dari sel PMN walaupun


proporsinya jarang melebihi 85% seperti yang biasa terjadi
pada adristi piogenik.

Radiologi
Pada tahap awal terlihat gambaran seperti osteoporosis
dan suramnya gambaran tulang. Selanjutnya terjadi erosi
yang memperlihatkan gambaran berupa permukaan sendi
yang compang camping. Sering pula terlihat lesi kistik pada
metafisis, lempeng epifisis dan diafisis. Pada trokanter
mayor yang terkena akan tampak gambaran khas berupa
luasnya bagian yang erosi dan bayangan iregular lebar di

bagian luas akibat kalsifikasi perkijuan pada bursa


subgluteal. Kadang kadang lesi tulang tidak khas dan sukar
dibedakan dengan kerusakan akibat sebab yang lain.
Pada pemeriksaan radiologis tulang punggung, terlihat
gambaran berupa destruksi tulang disertai pembenhrkan
tulang baru dibagian yang telah sembuh. Ada perbedaan
yang jelas antara kelainan ini dengan dengan gambaran

suatu metastasis, infeksi diskus itervertebral yang


destruktif serta menyebar ke korpus vertebra didekatnya.
Hampir separuh kasus artritis tuberkulosa mempunyai
gambaran radiologis paru yang normal.

Laboratorium
Pemeriksaan cairan sinovial cukup bervariasi. Secara
makroskopik, cairan sinovial tampak berawan dan

berwarna kekuningan. Kadar glukosa cairan sinovial


cenderung menurun, 50% sampai mencapai nilai 50 mg/dl
dengan perbedaan konsentrasi di darah dan cairan sinovial

mencapai 40 mg/dl. Jumlah leukosit berkisar antara


1.000 - 100.000/ml dengan ruta-rata 10.000-20.000/m1,
terutama terdiri dari sel PMN walaupun proporsinya jarang
melebihi 85% seperti yang biasa te{adi pada artritis piogenik.

Diagnosis
Diagnosis artritis tuberkulosis tidak mungkin ditegakkan

berdasarkan gambaran

klinis saja. Mikobakterium

2645

INFEIGI TUI.ANG DAIY SENDI

nonspesifik dan jamur juga dapat memberi gambaran klinis

spirochaeta, microaerophilic bacterium yarrg tumbuh

yarrg sama. Kadang-kadang artritis reumatoid

baik pada suhu 33'C pada medium barbour-stoenner-kelly.


Selain dari lesi di di kulit yang berupa eritema migrans.
kultur spirokaeta sangat sulit diperoleh dari spesimen lain.
Saatinr B.burgdorferi dlbagi dalam 3 spesies, yaitu grup I
(B.burgdoferi), grup 2 (B. g ar inii) dan grup 3 (VS46 I ). S aat

monoartikular atau oligoartikular atau arkitis bakterial juga


dapat memberikan gambaran artritis granulomatosis.

Diagnosis artritis tuberkulosis ditegakkan bila


ditemukan basil tahan asam (BTA) pada cairan atau biopsi
sinovial dan kulturnya. Kultur cairan sinovial positif pada
80% kasus. Adanya granuloma dan atau BTApada cairan
sinovial dapat ditemukan pada lebih dari 90olo kasus. Kultur
mikobakterium dan biopsi sinovial juga memberikan angka

yang sama.

Uji mantoux dengan intermediate strength purffied


protein derivative (PPD), tidak mempunyai arti banyak
dalam menentukan diagnosis, tetapi hasil uji negatifdapat
menyingkirkan diagnosis.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan artritis tuberkulosa dapat dilakukan
secara konservatif atau operatif. Tujuan dasar
penatalaksanaan adalah:
. Kemoterapi untuk memberantas infeksi
. Memberikan istirahat pada sendi yang terkena sejak
permulaan dengan memberikan bidai atau lainnya.
. Operasi, bila ada abses dan infeksi menetap, misalnya
sinovektomi.
. Fiksasi sendi (artrodesis) atau artroplasti bila kerusakan

sendi sudah parah.

Pada era sebelum kemoterapi, penanggulangan


tuberkulosis tulang dan sendi terutama dengan melakukan
imobilisaasi serta istirahat di tempat tidur selama kira-kira
I 3 bulan. Bila penyakit memburuk, dilalarkan tindakan aktif
berupa insisi, drainase, eksisi, penyedotan cairan sendi atau

amputasi. Sejak keberhasilan pemakaian obat-obat


antituberkulosis tulang dan sendi, tindakan operatif hanya

dikerjakan secara selektif untuk drainase abses dan


membersihkan perkijuan di tulang punggung.

Pemakaian kombinasi streptomisin, isoniazid dan


paraamino salicylic acid (PAS) cukup memberi hasil yang
baik. Selain itu kombinasi rifampisin dan isonoazidtemyata
juga efektif. Kemoterapi sebaiknya diberikan selama l2-18
bulan. Bila diagnosis dapat ditegakkan sedini mungkin,
maka kemoterapi tanpa istirahat baring memberikan hasil
yang cukup baik.
Tindakan operatif bila memang diperlukan sebaiknya
didahului dengan pemberian kemoterapi sehingga tidak
terjadi bakteremia atau pembentukan fokus infeksi baru
pasca bedah.

PENYAKITLYME
Penyakit lyme merupakan penyakit multisistem yang
kompleks yang disebabkan oleh sejenis spirokaeta yaitu
borrela bugdorferi. Kuman ini merupakan tick-borne

ini yang diisolasi dari orang Amerika adalah grup

1,

sedangkan dari orang Eropa didapatkan ketiga grup


tersebut.
Spirokaeta penyebab penyakit Lyme, disebarkan oleh
sejenis kutu/ caplak yang merupakan bagian dari kompleks
trxodes ricinus ,yaitu Ldammirzl di Amerika Timur Laut dan
Amerika Barat Tengah, I.pacfficus di Amerika Barat,
I.ricinus di Eropa, dan Lpersulcatus di Asia.

Manifestasi Klinis
Infeksi awal: stadium I @ritema migrans terlokalisasi).
Setelah masa inkubasi selama 3-32 hari, timbul eritema
migrans pada tempat gigitan caplak yang dimulai sebagai
makula ataupapula merah, yangberkembang menjadi besar
berupa lesi anular (dapat mencapai diameter 15 cm), batas
tepinya merah terang, bagian tengah bersih dan berindurasi.
Walaupun tidak diobati, lesi ini akan menghilang sendiri
selama 3-4 minggu.

Infeksi awal: stadium 2 (disseminated infection). Dalam


waktu beberapa hari sampai beberapa minggu, spirokaeta
menyebar yang akan ditandai oleh kelainan pada kulit,
sistem sarafdan muskuloskeletal. Lesi kulit anular sekunder
dapat muncul pada setengah pasien hampir sama dengan
lesi awal tetapi lebih kecil dan tidak berpindah. Selain itu
pasien akan merasakan nyeri kepala yang hebat dan
kekakuan leher yang akan berakhir hanya dalam waktu
beberapa jam. Nyeri muskuloskeletal bersifat umum dan
berpindah-pindah dari sendi, bursa, tendon, otot dan tulang
yang akan berakhir dalam waktu beberapa j am atau beberapa
hari. Pasien juga merasakan kelemahan umun. Setelah
beberapa minggu, sekitar 2002 pasien mengalami kelainan
neurologik. Walaupun kelainan neurologis dapat bervariasi,
tetapi yang spesifik berupa triad meningitis, kelainan saraf

kranial dan neuropati perifer. Cairan serebrospinal


menunjukkan gambaran pleositosis limfositik kira-kira I 00
sel/ml yang selalu diikuti peningkatan kadar protein, tetapi

kadar glukosa normal. Kelumpuhan n.fasialis baik


unilateral maupun bilateral merupakan neuropati kranial
yang sering terjadi. Neuropati perifer, biasanya berupa
radikuloneuropati sensorik, motorik atau campuran yang
asimetri yang mengenai tubuh dan anggota tubuh. Kelainan
neurologis ini berakhir dalam beberapa bulan tetapi dapat
berulang dan menjadi kronik. Dalam beberapa minggu
setelah mulai timbul, akan timbul kelainan kardiak yang
biasanya berupa blok atrioventrikular, mioperikarditis akut,
disfungsi ventrikel kiri yang ringan dan kadang-kadang
kardiomegali dan perikarditis yang fatal. Kelainan kardiak

2646

ini berlangsung singkat (3 hari sampai 6 minggu); blok


jantung komplit jarang menetap lebih dari I minggu dan
pemasangan pacu jantung permanen tidak pernah
diperlukan.

Infeksi lanjut: stadium 3 (infeksi persisten). Rata-rata 6


bulan setelah mulai timbul, 60% pasien mengalami
oligoartritis yang asimetrik, terutama pada sendi-sendi
besar, misalnya sendi lutut. Kadang-kadang juga diikuti
serangan pada struktur periarlikuler termasuk entesopati.
Walaupun polanya bervariasi, episode artritis akan
memanjang pada tahun kedua dan ketiga penyakit. Pada
l0%o kasus, artritis menjadi kronik, yaitu serangan inflamasi
yang terus menerus selama I tahun atau lebih. Artritis kronik

ini biasanya hanya mengenai 1 atau kedua lutut

dapat
menimbulkan erosi pada rawan sendi dan tulang. Walaupun

didapatkan nyeri sendi, pembengkakan sendi jarang


didapatkan dalam jangka wakfu yang lama. Pada beberapa
kasus dapat ditemukan osteomielitis, panikulitis, atau

miositis. Beberapa bulan atau tahun kemudian, timbul

REUMANOI-OGI

imun akan ditekan. Dalam beberapa minggu tampak


hipereaktivitas sel B dengan peningkatan jumlah total dan
kadar IgM serum, kriopresipitat, circulating immune
complex, dan kadang dapat ditemukan faktor reumatoid
kadar rendah antibodi antinuklear (ANA) dan
antibodi antikardiolipin. Beberapa bulan kemudian,
respons imun selular dan humoral yang spesifik mulai

berkembang untuk menghadapi antigen spirokaeta.


Bersamaan dengan itu, beberapa sendi menjadi meradang
dan sel mononuklear reaktif meningkat jumlahnya di dalam

cairan sendi.

Artritis Lyme kronik, berhubungan dengan peningkatan


frekuensi alel HLA-D\ dan alel HLA-D\. Pada sendi akan
nampak gambaran hipertrofi vilous, hiperplasi sel sinovial,
mikro vaskularisasi yang prominen, deposisi fibrin, infilhasi

limfo-plasmaselular dan kadang-kadang folikel


pseudolimfoid. Pada beberapa pasien, dengan
menggunakan teknik imunohistologik, spirokaeta dapat

terlihat di sekitar pembuluh darah. Cairan sendi

kelainan neurologis, yang tersering adalah ensefalopati


yang terutama mengenai ingatan,mood dangangguan tidur.

Sistem

Pada pemeriksaan cairan serebrospinal dapat ditemukan

peningkatan kadar protein dan antibodi terhadap


spirokaeta. Sebagian besar pasien juga mengalami
polineuropati aksonal yang mengakibatkan parestesia
distal atau nyeri spinal atau nyeri radikular. Gambaran
elektromiografi menunjukkan kelaianan segmen saraf
proksimal dan distal yang ekstensif. Leukoensefalitis,
merupakan manifestasi neurologis yang berat dan jarang

yang mengakibatkan paraparesis spastik, disfungsi


kandung kemih tipe upper motor neuron dan lesi
periventrikular massa putih. Manifestasi kulit yang lanjut
berupa akrodermatitis kronik atrohkan biasanya timbul
pada daerah akral berupa eritema, edema dan indurasi;
secara bertahap eritema akan menghilang dan digantikan
oleh kulit yang atrofik. Gambaran akhir kelainan kulit akan
timbul beberapa bulan atau tahun yang berupa kulit yang
berkerut menyerupai kertas rokok. Di bawah lesi kulit
mungkin didapatkan subluksasi sendi kecil tangan,
periostitits atau erosi rawan sendi dan tulang.

INFEKSI KONGENITAL
Transmisi transplasental dari B. bur gdorferi dilaporkan
pada 2 bayi yang ibunya menderita penyakit Lyme dan
keduanya meninggal pada minggu pertama kehidupannya.
Walaupun demikian, bukti-bukti selanjutnya tidak pernah
diternukan adany a infeksi transplasental tersebut.

Patogenesis

lnfeksi awal
(lokal atau diseminata)
* Dewasa

Anak
(8 tahun atau kurang)

hematogen ke organ-organ lainnya. Pada awalnya, respons

Doksisiklin 2x100 mg/hari, per oral,


selama 10 - 30 hari
Tetrasiklin 4 x 250 mg/hari, per oral
selama 10 - 30 hari
Amoksisillin 4 x 500 mg/hari, per
oral,
selama 10 - 30 hari
Amoksisillin 20 mg/kg/hari, dalam

3 dosis, per oral, selama 10 -

30

hari

Adritis
(intermiten atau kronik)

Bila alergi penisilin, dapat


diberikan eritromisin 30 mg/kg/hari
dalam 3 dosis, per oral, selama 10
- 30 hari
Doksisiklin 2 x 100 mg/hari selama
30 hari

Amoksisillin
probenesid

4 x 500m9/hari +
4 x 500 mg/hari,

peroral, selama 30 hari


lV, sekali sehari,
Seftriakson 2
selama 14 hari
Penisillin 20 juta U/hari, dibagi
dalam 6 dosis, selama 14 hari
Seftriakson 2 gr l.V sekali sehari,
selama 14 - 30 hari
Sefotaksim 3x2grlhari lV, selama
14 - 30 hari
Penisilin G 20 juta U/hari, dibagi
dalam 6 dosis, selama 14 - 30 hari

Kelainan Neurologis
(awal atau lanjut)

Bila alergi penisilin

'Awal

* Awal atau lanjut


* Kelumpuhan fasial

Kelainan jantung

Setelah masuk kedalam kulit, B.burgdorferi akanmenyebar

membentuk eritema migrans dan menyebar secara

Regimen

Akrodermatitis

Doksisiklin 2 x 200 mg/hari, per


oral, selama 30 hari
Vankomisin 2 x 1 gr/hari selama
14 - 30 hari
Regimen oral
Regiman oral seperti pada infeksi
Regimen lV seperti pada
kelaianan neurologik
Regimen oral selama 1 bulan

2647

INFEKSI TUI.A.NG DAI\ SENDI

menunjukkan jumlah leukosit 500- I 1 0.000/ml, sebagian


besar merupakan sel PMN.

Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan serologis hanya bersifat membantu diagnosis.

Pada awal minggu-minggu pertama, beberapa pasien

menunjukkan tes yang positif terhadap antibodi


B.burgdorferi. Sebagaimana tes serologis yang lain, kadangkadang didapatkan hasil positif palsu atau negatif palsu.
Untuk memastikan hasil serologis positif palsu, dapat
dilakukan pemeriksaan western blot.

Penatalaksanaan

lebih berat lagi necrotizing vasculitis. Artralgia dapat


merupakanmanifestasi awal infeksi HIV dan dapattimbul
pada berbagai stadium infeksi HIV. Biasanya merupakan
nyeri yang sedang, intermiten dan oligoartikular, terutama
mengenai sendi-sendi besar seperti lutut, bahu dan siku.
Pada l0o/o kasus, nyeri sendi dapat berkembang sangat

hebat dan tidak dapat diatasi dengan pengobatan


konvensional dan disebut painful articular syndrome.
Kadang-kadang karena nyeri yang sangat hebat, pasien
harus dirawat untuk pemberian narkotik intravena.
Sindrom reiter, merupakan salah satu kelainan reumatik

yang berhubungan dengan infeksi HIY timbul dalam


waktu lebih dari 2 tahun dan sebagian besar merupakan
sindrom reiter inkomplit. Gejala artikular yang sering adalah

B.burgdorferi menunjukkan sensitivitas yang tinggi

oligoartritis pada sendi besar (tersering adalah lutut),

terhadap tetrasiklin, ampisilin dan sefalosporin generasi

diberikan pada penyakit Lyme.

entesopati dan manifestasi ekstraartikular lainnya seperti


balanitis sisrsinata, keratoderma blenoragika, stomatitis,
uveitis atau uretritis. Gejala klinis dan radiologis kelainan
sendi sakroiliaka dapat ditemukan dan hubungan dengan

KELAINAN REUMATIK PADA SINDROM IMUNODEFISIENSIAKUSISITA

HL A-827 tamp ak p ada 2/3 ka sus.


Psoriasis dan arhitis psoriatik banyak didapatkan pada
pasien yang terinfeksi HIV. Berbagai bentuk psoriasi dapat
ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV, seperli pso-

ketiga. Di bawah ini berbagai antibiotik yang dapat

Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) merupakan


kelainan defisiensi imun yang didapat yang sangat penting.
Pada stadium awal, infeksi HIV memberikan gejala yang
minimal, bahkan kadang-kadang tanpa gejala. Dengan
berkembangnya penyakit, berbagai gejala konstitusional
akan berkembang seperti demam, penurunan berat badan,
anoreksia, limfadenopati, berkembangnya berbagai infeksi
oportunistik (terutama pneumocystic pneumonia darr
candida) dan sarkoma kaposi. Pada stadium lanjut akan
timbul gangguan fungsi imun selular yang ditandai oleh

limfopenia, terbatasnya jumlah sel T, penekanan proliferasi

limfosit dan inversi rasio sel T-penolong menjadi sel


T-supressor/ sitotoksik. Keadaan ini disebut acquired
immuno deficiency syndrome (AIDS).

HIV merupakan retrovirus RNA yang termasuk famili


retroviridae. Peran HIV pada timbulnya kelainan reumatik
tidak sepenuhnya diketahui, danjarang ditemukan di dalam
cairan sendi atau membran sinovial. Adanya peningkatan
produksi sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, TNF dan
IFN-y baik pada model binatang percobaan dan infeksi
retrovirus pada manusia mendukung kemungkinan efek

tidak langsung infeksi retrovirus dengan manifestasi


reumatik. Selain itu faktor perhrmbuhan yang dirangsang
HIV ternyata berperan pada patogenesis sarkoma kaposi
dan berbagai komplikasi reumatikAIDS. Berbagai infeksi
oportunistik pada infeksi HIV, temyata berperan sebagai
pencetus artritis reaktif.

Manifestasi Reumatik
Berbagai spektrum kelainan reumatik dapat terjadi pada
infeksi HIV, mulai dari artralgia sampai artritis rektif dan

riasis vulgaris, gutata, sebosporiasis, pustular dan


eritroderma eksfoliatif. Perubahan kuku juga sering
didapatkan dan sering kulit dibedakan dengan infeksijamur
atau paronikia piogenik. Psoriasis atau artritis psoriatik
dapat mendahului gejala klinis AIDS.
Hubungan antara infeksi HIV dengan spondiloartropati
yang tidak terklasifikasijuga senng didapatkan. Pada pasien
ini tidak didapatkan gambaran klinis yang lengkap yang
mengarah kepada sindrom reiter, artritis psoriatik atau
spondilitis ankilosa.
Pada setengan pasien tampak perkembangan ke arah
Hl\-associated arthritis yang biasanya bersifat mono atau
poliartritis asimetrik yang mengenai sendi besar penopang
berat badan, seperti lutut dan pergelangan kaki. Pada

sebagian pasien tampak gambaran seperti artritis


reumatoid, tetapi tanpa erosi dan faktor reumatoid negatif.

Pasien HlY-associated arthritls biasanya tidak


menunjukkan manifestasi ekstraartikular seperti pada
sindrom reiter, artritis psoriatik dan spondiloartropati. Tes

HLA-B27 biasanya negatif dan tes terhadap HLA-DR


bersifat tidak spesifik.

Berbagai kelainan otot seperti mialgia atrofi otot,


dermatomiositis dan polimiositis dapat timbul pada pasien
yang terinfeksi HIV. Gambaran klinisnya tidak berbeda
dengan yang idiopatik, diserlai peningkatan enzim otot
dan kelainan elektromiografik dan histologik yang sesuai.
Berbagai kelainan otot lain yang sering timbul adalah
miopati akibat zidorudin, piomiositis dan miositis osifikan.
Miopati akibat zidovudin (AZT) ditandai oleh kelemahan
otot proksimal yang segera menghilang setelah pemberian
zir,udin dihentikan.

2648

REI.JMAIIOI.OGI

Kelaianan reumatik lain yang sering timbul pada infeksi

dan anti La(SS-B) danpredominan lfunfosit CD8*.

ekstensor tungkai bawah dan menghilang dalam waktu


6-8 minggu. Kelainan ini dapat berlangsung akut, kronik
atau berpindah-pindah, dan bersifat self limited. Kelainan
lain yang sering menyertainya adalah demam, poliartralgia,
sinovitis pada pergelangan kaki dan limfadenopati hilus.
Triad yang terdiri dari EN, poliartralgia-artritis dan
limfadenopati hilus disebut sindrom Lofgren. Separuh dari
pasien berhubungan dengan sarkoidosis dan separuh lagi

Selain itu berbagai bentuk vaskulitis juga dapat

berhubungan dengan infeksi. Artralgia dapat terus

HIV adalah sjdgren's like syndrome, detgan gambaran


xeroftalmia, xero stomia dan pembe saran kelenj ar parotis,
tetapi berbeda dengan bentuk yang idiopatik, kelainan ini

banyak terdapat pada laki-laki dan ditandai oleh


pembesaran kelenjaran parotis yang prominen, pembesaran
massa di leher, tanpa disertai artritis dan jarang didapatkan

altiRo(SS-A)

ditemukan pada pasien yang terinfeksi

HIY

termasuk

poliarthritis nodosa-like syndrome.


Arkitis septik relatif jarang didapatkan pada pasien
yang terinfeksi HIV, kecuali pada pasien hemofilia dan
penyalahgunaan obat. Kadang-kadan g dapat ditemukan
osteomielitis, baik bersamaan dengan artritis septik
maupun secara tersendiri.

Penatalaksanaan
Umumnya sebagian besar pasien memberikan respons

menetap walaupun erupsi kulit sudah menghilang.


Secara histologik akan tampak gambaraninflamasi dan
penebalan septa di dalam jaringan lemak. Laju endap darah
hampir selalu meningkat.
Untuk menegakkan diagnosis, harus dilakukan biopsi

kulit (full thickness skin biopsy). Pemeriksaan lain


tergantung pada kasus perkasus, seperti hitung leukosit,
hitung jenis, titer ASTO, foto dada, kultur faring dan tes
kulit untuk tuberkulosis, koksidioidomikosis, blastomikosis
dan histoplasmosis.

yang baik dengan analgetik atau obat inflamasi nonsteroid.

Pemberian sulfasalazin sangat efektif untuk mengatasi


sindrom reiter dan artritis psoriatik. Pada sindrom reiter
dan artritis psoriatik yang refrakter, dapat dicoba pemberian
imunosupresan, tetapi harus sangat hati-hati, karena akan

memperburuk status imunodefisiensinya dan


perkembangan sarkoma kaposi serta mencetuskan gejala
klinis AIDS yang lengkap.
Steroid topikal sangat efektif diberikan pada uveitis.

Injeksi steroid lokal dapat diberikan pada sendi yang


meradang. Pada polimiositis, dapat diberikan prednison
30-60 mg,rhari dikombinasi dengan metotreksat dan atau

AZT.

Psoriasis dan artritis psoriatik juga dapat diatasi


dengan pemb eriar, AZT dan kotrimoksazol.
Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah terapi
fisik dan rehabilitasi okupasi.

ERTTEMANODOSUM (EN)
Eritema nodosum (EN) adalah erupsi nodular pada kulit
yang timbul kulit dan ditandai oleh warna kemerahan dan
membenjol sebagai akibat inflamasi lemak subkutan. EN
pertamakali dideskripsikan oleh Robert Willan pada tahun
1798, dan pada awal abad 20 diketahui hubungan antara
EN dengan berbagai infeksi, terutama tuberkulosis dan
faringitis streptokokal. Kelainan ini sering ditemukan pada
wanita2,5-4kali daripada lakilaki, dan terutama menyerang
usia muda (2 5 -40 tahun). S elain itu EN juga berhubungan
dengan faktor genetik tertentu yaitu HLA-BS.

Gambaran Klinis dan Diagnosis


Secara klinik, EN tampak sebagai nodul kutaneus
berdiameter 1-10 cm, timbul terutama pada bagian

Etiologi dan Patogenesis


Berbagai keadaaan yang berhubungan dengan timbulnya
EN adalah infeksi, obat-obatan, sarkoidosis, keganasan
dan spondiloartropati. Infeksi yang berhubungan dengan
EN antara lain adalah infeksi tuberkulosis, lepra, faringitis,
streptokokus, gonore, limfogranuloma venereum, sivilis,
jamur, berbagai jenis virus dan lain sebagainya.Obatobatan yang dilaporkan berhubungan dengan EN adalah

sulfonamid, penisilin, kontrasepsi oral, garam emas,


prazosin, aspirin dan sebagainya. Pada pasien sarkoidosis,
EN merupakan manifestasi kuiit, dan sebagian besar akan
menunjukkan gambaranlimfadenopati hilus yang tampak
pada radiografi torak. Keganasan yang sering berhuungan
dengan EN adalah limfoma Hodgkin dan non Hodgkin. EN
jarang timbul sebagai fenomen paraneoplastik.

EN merupakan komplikasi spondiloartropati yang


jarang tetapi sering didapatkan pada beberapa kelainan
jaraingan ikat seperti penyakit Behcet dan inflamasi usus
kronik. Patogenesis EN tidak diketahui secarapasti, diduga
berhubungan dengan circulating immune complex. EN
merupakan bentuk cell mediated hypersensitivity dan
merupakan hasil interaksi yang berlebihan antara antigen
dan mekanisme imun selular. Bukti adanya mekanisme cel/
mediated hypersensitivity adalah adanya hasil tes kulit
yang positifterhadap bakteri yang merupakan antigen dari
EN, misalnya tes mantoux yang positif kuat pada
tuberkulosis dan tes Frei pada limfogranuloma venereum.
Penatalaksanaan
EN merupakal acute self limiting diseases. Pengobatan
yang terpenting adalah mengatasi penyakit dasamya. Tirah
baring, obat anti inflamasi nonsteroid, kalium iodida dan

kadang-kadang glukokortikoid oral, dapat membantu


mengatasi EN dan nyeri yang ditimbulkannya.

2649

INFEKSII TUIJ\IYG DAN SENDI

Lesi kulit akan menghilang dalam 6-8 minggu, tetapi


arhalgia akan bertahan lebih lama dan dapat mencapai lebih
dari 6 bulan. Dalam hal ini, obat anti inflamasi nonsteroid
sangat bermanfaat mengatasi nyeri sendinya.

REFERENSI
Louis JS, Bocanegra T. Mycobacterial, Brucella, Fungal and
Parasitic Arthritis. In: Hochbers M, Silman AJ, Smolen J (eds)
Rheumatology. Mosby Year Book Europe Limited 2003:
1077 -90

Lidgren L. Septic Arthritis and Osteomyelitis. In: Hochbers M, Silman


AJ, Smolen J (eds) Rheumatology. Mosby Year Book Europe
Limited 2003:1055-66.

Ho G, Naides SJ, Sigal LH,Ytterberg SR, Gibotrsky A, Zabriskie JB.


Infection Arthritis. In : Klippel JH(ed). Primer on the
Rheumatic Diseases. 12ft Ed. Arthritis Foundation, Atlanta,
Georgia 2001:259-84
Mahowald ML. Gonococcal Arthritis. In : Hochbers M, Silman AJ,
Smolen J (eds) Rheumatology. Mosby Year Book Europe Limited
2003:1067 -7 6
Sandra T. Osteoarticuler Tuberculosis. Abstract 9m APPLAR 2000
Bejing. China.

Torralba TP. Teresa SG and Navara S et al. Infection arthritis.


In:.Howe H.S (ed) Text book of clinical Rheumatology. ILAR
Singapore, Tan Tok Seng hospital Dept. of Rheumatology &
immunology

1997 '. 2I0

222

Vassilopoulos D, Calabrese L. Rheumatic Aspects of HIV infection


and other Immunodeficiens stases. In : Hochbers M, Silman AJ,
Smolen J (eds) Rheumatology. Mosby Year Book Europe Lim-

ited 2003:1i15-29.

407
OSTEOPOROSIS
Bambang Setiyohadi

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang

FAKTOR RISIKO OSTEOPOROSIS

ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan


perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi

Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi

rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National


Institute of Health (NIH) mengajukan definisi baru
osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang

multifaktorial. Umur dan densitas tulang merupakan faktor


risiko osteoporosis yang berhubungan erat dengan risiko
terj adinya fraktur osteoporotik.
Fraktur osteoporotik akan meningkat dengan
meningkatnya umur. Insidens fraktur pergelangan tangan
meningkat secara bermakna setelah umur 50-an, fraktur
vertebra setelah umur 60-an dan fraktur panggul setelah
umur 70-an. Pada perempuan, risiko fraktur 2 kali
dibandingkan laki-laki pada umur yang sama dan lokasi
fraktur tertentu. Karena harapan hidup perempuan lebih
tinggi dibandingkan laki-laki, maka prevalensi fraktur
osteoporotik pada perempuan akan menjadi jauh lebih
tinggi daripada laki-1aki.
Densitas massa tulang juga berhubungan dengan rsiko
fraktur. Setiap penurunan densitas massa tulang 1 SD
berhubungan dengan peningkatn risiko fraktur 1,5-3,0.
Walaupun demiakian, pengukuran densitas tulang tanpa
memperhatikan umur pasien juga tidak ada manfaatrya.
Seorang wanita yang berumur 80 tahun dengan T-score-1
akan memiliki risiko fraktur lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita berumur 50 tahun dengan T-score yang
sama. Tetapi terapi yang diberikan pada wanita yang
berumur 50 tahun akan lebih bermanfaat dibandingkan
terapi pada wanitayangberusia 80 tahun, karena harapan
hidup wanita yarg berumur 50 tahun lebih besar
dibandingkan wanita yang berumur 80 tahun. Selain itu
kegiatan pasien juga harus diperhatikan. Wanita umur 80
tahun yang masih aktif dalam berbagai kegiatan akan lebih
diprioritaskan untuk diterapi dari pada wanita yang
berumur sama, tetapi aktifitas fisiknya sudah minimal.
Perbedaan ras dan geografik juga berghubungan
dengan risiko osteoporosis. Fraktur panggul lebih tuinggi

ditandai oleh compromised bone strength sehinggatulang


mudah patah.

Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka


berbagai penyakit degeneratif dan metabolik, termasuk
osteoporosis akan menjadi problem muskuloskeletal
yang memerlukan perhatian khusus, terutama di negaranegara berkembang, termasuk Indonesia. Pada

survey kependudukan tahun 1990, ternyata jumlah


penduduk yang berusia 55 tahun atau leblhmencapai9,2o/o,

meningkat 50% dibandingkan survey tahun 1971.


Dengan demikian, kasus osteoporosis dengan berbagai
akibatnya, terutama fraktur diperkirakan juga akan
meningkat.
Penelitian Roeshadi di Jawa Timur, mendapatkan bahwa

puncak massa tulang dicapai pada usia 30-34 tahun dan


rata-rata kehilangan massa tulang pasca menopause

adalah l,4o/oltahw. Penelitian yang dilakukan di


klinik Reumatologi RSCM mendapatkan faktor risiko
osteoporosis yang meliputi umur, lamanya menopause

dan kadar estrogen yang rendah, sedangkan faktor


proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi,
riwayat berat badan lebih/obesitas dan latihan yang
teratur.

Berbagai problem yang cukup prinsipil masih harus


dihadapi oleh Indonesia dalam penatalaksanaan
osteoporosis yang optimal, seperti tidak meratanya alat
pemeriksaan densitas massa tulang (DEXA), mahalnya

pemeriksaan biokimia tulang dan belum adanya


pengobatan standard untuk osteoporosis di Indonesia.

2650

2651

OSTEOFOROSIS

insidensnya pada orang kulit putih dan lebih rendah pada


orang kulit hitam di Amerika Serikat dan di Afrika Selatan;
demikian juga pada orang Jepang baik yang tinggal di
Jepang maupun yang tinggal di Amerika Serikat.

Umur
Setiap peningkatan umur 1 dekade berhubungan dengan
peningkatan risiko 1,4-1 ,8

menyadarinya. Penelitian meta-analisis yang berbasios


populasi secara kohort mendapatkan berbagai faktor risiko
fraktur osteoporotik yang tidak tergantung pada BMD,
yaitu indeks massa tubuh yang rendah, riwayat fraktur,
riwayat fraktur panggul dalam keluarga, perokok, peminum
alkohol yang berat dan artritis reumatoid.
Glukokortikoid merupakan penyebab osteopo-

rosis sekunder dan fraktur osteoporotik

yang
terbanyak.Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan
absorbsi kalsium di usus dan peningkatan ekskresi kalsium

Genetik
Etnis (Kaukasus/Oriental > orang hitam/Polinesia
Gender (Perempuan > Laki-laki
Riwayat keluarga

lewat ginjal sehingga akan menyebabkan hipokalsemia,

hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan kerja


osteoklas. Selain itu glukokortikoid uga akan menekan

produksi gonadotropin, sehingga produksi estrogen


menurun dan akhirnya osteoklas juga akan meningkat
kerjanya. Terhadap osteoblas, glukokortikoid akan

Lingkungan
Makanan, defisiensi kalsium
Aktifitas fisik dan pembebanan mekanik
Obat-obatan, misalnya kortikosteroid, anti konvulsan,
heparin,
Merokok
Alkohol
Jatuh (trauma)

menghambat kerjanya, sehingga formasi tulang menurun.

Dengan adanya penin gkatan resorpsi tulang oleh


osteoklas dan penurunan formasi fulang oleh osteoblas,
maka akan terjadi osteoporosis yang progresif. Berdasarkan
meta-analisis didapatkan bahwa risiko fraktur panggul pada
pengguna steroid meningkat 2,1-4,4 kali. Oleh sebab itu

Hormon endogen dan penyakit kronik


Defisiensi estrogen
Defisiensi androgen
Gastrektomi, sirosis, tirotoksikosis, hiperkortisolisme

terapi osteoporosis pada pengguna steroid dapat dimulai


bila T-score mencapai -1 dan BMD serial harus dilakukan
tiap 6 bulan, bukan tiap 1-2 tahun seperli pada osteoporo-

Sifat fisik tulang


Densitas massa tulang
Ukuran dan geometri tulang
Mikroarsitektur tulang
Komoosisi tulano

sls pnmer.

Riwayat fraktur merupakan faktor risiko timbulnya


fraktur osteoporotik dikemudian hari dengan risiko 2kall
Risiko ini terutama tampak pada fraktur vertebra. Penderita
dengan 2 fraktur vertebra atau lebih akan memiliki risiko
untuk fraktur vertebra berikuhrya sampai 12 kali lipat pada

tingkatBMD manapun.
Indeks massa tubuh yang rendah juga merupakan

Faktor risiko klinis


Sampai saat ini, telah diketahui berbagai faktor risiko fraktur

osteoporotik selain umur dan densitas massa tulang.


Beberapa faktor risiko bervariasi tergantung pada umur.
Misalnya risiko terjatuh pada gangguan penglihatan,
imobilisasi dabn penggunaan sedatif akan menjadi risiko
fraktur yang tinggi pada orang tua dibandingkan pada
orang muda. Asupan kalsium yang rendah merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya fraktur panggul,
walaupun demikian, banyak dokter dan pasien tidak

lndikator risiko

Tanpa

faktor risiko untuk terjadinya osteoporotik fraktur. Risiko


ini tampak rryata pada orang dengan indeks massa tubuh

< 20 kglm2. Risiko fraktur pada orang kurus tidak


tergantung pada BMD.

Fraktur osteoporotik merupakan risiko yang penting


terhadap kejadian fraktur pada masa yang akan datang,

yaitu 2 kali dibandingkan orang yang tidak pernah


mengalami fraktur. Risiko ini tampak nyata pada fraktur
vertebra dan tidak tergan tung pada nilai BMD. Demikian

BMD

Dengan

95% Ct
lndeks massa tubuh (20 vs 25 kg/m^2)
(30 vs 25 kg/m')
Riwayat fraktur setelah 50 tahun
Riwayat parental dg fraktur panggul
Merokok
Pengguna kortikosteroid
Pengguna alkohol > 2 uniUhari
Artritis reumatoid

1,95
0,83
1,85
2,27
1,84
2,31

1,68
'1,95

1,71-2,22
0,69-0,99
1,58-2,17
1,47-3,49
1,52-2,22
1,67-3,20

1,19-2,36
1 .11-3,42

BMD
95% Ct

1,42
1,00
1,62
2,28
1,60
2,25
1,70
1.73

1,23-1 ,65
0,82-1,21
1,30-2,01
1,48-3,51
1,27-2,02
1

,60-3,1 5

1,20-2,42

0,94-3,20

26s2

REUMATIOI.OGI

juga riwayat fraktur osteoporotik dalam keluarga,

Estrogen vang terutama dihasilkan oleh ovarium adalah

merupakan faktor risiko fraktur yang juga independen


terhadap nilai BMD, terutama riwayat fraktur panggul

estradiol. Estron juga diohasilkan oleh tubuh manusia,


tetapi terutama berasal dari luar ovarium, yaitu dari
konversi androstenedion pada jaringan perifer. Estriol

dalam keluarga.

Peminum alkohol lebih dari 2 unit/hari juga merupakan

merupakan estrogen yang terutama didaopatkan didalam

faktor risiko terjadinya fraktur osteoporotik dan bersifat

urin, berasal dari hidroksilasi-16 estron dan estradiol.

dose-dependerl. Demikian juga merokok yang merupakan

Estrogen berperan pada perhrmbuhan tanda seks sekunder


wanita dan menyebabkan perhrmbuhan uterus, penebalan
mukosa vagina, penipisan mukus serviks dan pertumbuhan
saluran-saluran pada payudara. Selain itu estrogen juga
mempengaruhi prohl lipid dan endotel pembuluh darah,
hati, tulang, susunan saraf pusat, sistem imun, sistem
kardiovaskular dan sistem gastrointestinal.
Saat ini terlah ditemukan 2 macam reseptor estrogen
(ER), yaitu reseptor estrogen-d, (ERu) darr reseptor
estrogen-p (ERp. ERa dikode oleh gen yang terletak di
kromosom 6 dan terdiri dari 595 asam amino, sedangkan
ERb, dikode oleh gen yang terletak di kromosom 14 dan
terdiri dari 530 asam amino. Sampai saat ini, fungsi ERB
belum diketahui secara pasti. Selain itu, distribusi kedua
reseptor ini bervariasi pada berbagaijaringan, misalnya di
otak, ovarium, uterus dan prostat. Reseptor estrogen juga
diekspresikan oleh berbagai sel tulang, termasuk osteoblas,
osteosit, osteoklas dan kondrosit (lihat Tabel 2). Ekspresi
ERo dan ERB meningkat bersamaan dengan diferensiasi
dan maturasi osteoblas. Laki-laki dengan osteoporosis
idiopatik mengekspresikan mRNA ERo yang rendah pada
osteoblas maupun osteosit. Delesi ERcrpada tikus jantan

faktor risiko fraktur osteoporotik yang independen


terhadap nilai BMD.

Beberapa penyakit kronik berhubungan dengan


densitas tulang yang rendah, apalagi bila harus diterapi

dengan glukokortikoid jangka panjang. Pada artritis


reumatoid, risiko fraktur osteoporotik tidak tergantung pada
penggunaan glukokortikoid maupun nilai BMD.

OSTEOPOROSIS TIPE I DAN

II

Osteoporosis dlbagi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer


(involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis

primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui


penyebabnya, sedangkan osteoporosis sekunder adalah
osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Pada tahun
1940-ary Albright mengemukanan pentingnya estrogen
pada patogenesis osteoporosis. Kemudian pada tahun
1983, Riggs dan Melton, membagi osteoporosis primer atas
osteoporosis tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe I, disebut

juga osteoporosis pasca menopause, disebabkan oleh


defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe
II, disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh

gangguan absorpsi kalsium

di usus

sehingga

menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang


mengakibatkan timbulnya osteoporosis. Belakangan
konsep itu berubah, karena ternyata peran estrogen juga
menonjol pada osteoporosis tipe II. Selain itu pemberian
kalsium dan vitamin D pada osteoporosis tipe II juga tidak
memberikan hasil yang adekuat. Akhimya pada tahun 1990an, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan

mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang


sangat berperan pada timbulnya osteoporosis primel baik
pasca menopause maupun senilis.

Peran estrogen pada tulang


Struktur estrogen vetebrata terdiri dari I 8 karbon dengan
4 cincin. Estrogen manusia dapat dibagi 3 kelompok, yaitu

estron (El), lTftestradiol (82),estriol (83). Selain itujuga


terdapat jenis-jenis estrogen lain, seperti estrogen dari

tumbuh-tumbuhan (fitoestrogerz), estrogen sintetik


(misalnya etinilestradiol, dietilstilbestrol, klomifen
sitrat), xenobiotik (DDT, bifenol dll). Saat ini terdapat
struktur lain yang dikenal sebagai anti-estrogen, tetapi
pada organ non-reproduktif bersifat estrogenik; struktur

ini disebut selective estrogen receptor


(SERMs).

modulators

dan betina menyebabkan penurunan densitas tulang,


sedangkan perusakan gen ERB pada wanita teriyata
meningkatan bone mineral content (BMC) tulang kortikal
walaupun pada tikus tidak memberikan perubahan pada
tulang kortikal maupun trabekular. Delesai gen ERo, dan
ERB juga menurunkan kadar IGF-

serum.

Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan


homeostasis tulang yang penting. Estrogen memiliki efek
langsung dan tak langsung pada tulang. Efek tak langsung

meliputi estrogen terhadap tulang berhubungan dengan


homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorpsi
kalsium di usus, modulasi 1,25(OH)2D, ekslaesi Ca di ginjal
dan sekresi hormon paratiroid (PTH).
Terhadap sel-sel tulang, estrogen memiliki beberapa
efek, seperti tertera pada Tabel 3. Efek-efek ini akan
meningkatkan formasi tulang dan menghambat resorpsi
tulang oleh osteoklas.

Terjatuh
Penurunan respons protektif
Kelainan neuromuskular
Gangguan penglihatan
Gangguan keseimbangan
Gangguan penyediaan energi
Malabsorpsi
Peningkatan fragilitas tulang
Densitas massa tulang rendah
H ioeroaratiroidisme

2653

osTEoFoRosllt

Patogenesis Osteoporosis Tipe

Setelah menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat,

terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga

insidens fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius


distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada
tulang trabekular, karena memiliki permukaan yang luas dan
hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petanda

resorpsi tulang dan formasi tulang, keduanya meningkat

menunjukkan adanya peningkatan bone turnover.


Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai
sitokin oleh bone marrow stromal cellsl dart sel-sel
mononukleaq seperti IL-1, IL-6 dan TNF-a yang berperan

meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian


penurunan kadar estrogen akibat menopause akan
meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga
aktifitas osteoklas meningkat.
Selain peningkatan aktifitas osteoklas, menopause juga
menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan
ekskresi kalsium di ginjal. Selain itu, menopause juga

meningkatkan konsentrasi 1,25(OH)rD didalam plasma.


Tetapi pemberian estrogen transdermal tidak akan
meningkatkan sintesis protein tersebut, karena estrogen
transdermal tidak diangkut melewati hati. Walaupun
demikian, estrogen transdermal tetap dapat meningkatkan

absorpsi kalsium di usus secara langsung tanpa


dipengaruhi vitamin D.

Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat


menopause, maka kadar PTH akan meningkat pada wanita
menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat.
Pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan

kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh


menurunnya volume plasma, meningkatnya kadar
albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan kadar
kalsium yang terikat albumin danjuga kadar kalsium dalam
bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada
menopause terjadi akibat penumnan rangsang respirasi,
sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik. Walaupun
terjadi peningkatan kadar kalsium yang terikat albumin

menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa

dan kalsium dalam garam kompleks, kadar ion kalsium tetap

1,25(OH),D, sehingga pemberian estrogen akan

sama dengan keadaan premenopausal.

Tipe

Tipe ll

>70

Umur (tahun)

50-75

Perempuan : laki-laki
Tipe kerusakan tulang
Bone turnover
Lokasi fraktur terbanyak
Fungsi paratiroid
Efek estrogen
Etiologi utama

6:1

2'.1

Terutama trabekular

Trabekular dan kortikal

Tinggi

Rendah

Vertebra, radius distal

Vertebra, kolum femoris


Meningkat
Terutama ekstraskeletal
Penuaan, defisien

Menurun

Teruiama skeletal
Defisiensi estrogen

estrogen

sintesis DNA,
t alkali fosfatase,
J kolagen tipe l,
mineralisasi tulang,
t sintesis IGF-1
1 sintesis TGF-B,
sintesis BMP-6,
J sintesis TNF-o.,
t sintesis OPG
J aksi PTH,

tekspresi ERcr,
J aoootosis osteoblas

Reseptor estrogen

Osteoblas
Osteosit
Bone marrow stromal cells
Osteoklas
Kondrosit

ERo dan ERp


ERo dan ERp
ERcr dan ERp
ERq, dan ERp (?)
ERcr, dan ER0

Osteoklas

Osteosit

Osteoblas

Sel tulang

osis osteosit,
ekspresi ERo,

c-fos, c1un, TGF-p,


J rnnP, cathepsin B, D
t apoptosis osteoklas,
J formasi osteoklas

pertumbuhan endo kondral selama


pubedas,
mempercepat penutupan
lempeng epifisis

2654

REI,'MAIIOI.OGI

Patogenesis Osteoporosis Tipe ll

seringkali didapatkan pada orang tua, tetapi hal ini lebih

Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang

menunjukkan peningkatat turnoyer tulang dan bukan

spinalnya sebesar 42o/o dan kehilangan tulang femurrya


sebesar 58o/o. Pada dekade ke delapan dan sembilan
kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling

peningkatan formasi tulang.

penurunan fungsi osteoblas pada orang tua, diduga

tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan


formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan
menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan
mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur.

karena penumnan kadar estrogen dan IGF-1.


Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan
pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium
dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi dan

Peningkatan resorpsi tulang merupakan risiko fraktur yang

paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi


kalsium, akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang

independen terhadap BMD. Peningkatan osteokalsin

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti pebnyebab

Bone marrow
stromal cell +sel

mononuklear

ldiferensiasi dan
muturasi osteoklas

Gambar 1. Patogenesis osteoporosis pasca menopause

Definisi vitamin D,

Iaktifitas'1 -didroksilase,
resistensi thd vit D

'treabsorpsi Ca
di ginjal

0 sekresi GH

dan IGF-1

lrisiko terjatuh
(kekuatan otot,
0aktifitas otot,medikasi

gangguan keseimbangan,
gangguan penglihatan,
dan lain -lain

Gambar 2. Patogenesis Osteoporosis tipe

2655

OSTEOFOROSIS

persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi


tulang dan kehilangan massa tulang, terutama pada
orang-orang yang tinggal di daerah 4 musim.

Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein


yangFaktor lain yang juga ikut berperan terhadap
kehilangan massa tulang pada orang tua adalah faktor
genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan,
imobilisasi lama).
Defisiensi estrogen, ternyata juga merupakan masalah
yang penting sebagai salah satu penyebab osteoporosis
pada orang tua, baik pada laki-laki maupun perempuan.
Demikian juga kadar terstosteron pada laki-laki. Defisiensi
estrogen pada laki-laki juga berperan pada kehilangan
massa tulang. Penurunan kadar estradiol dibawah 40 pMoU
L pada laki-laki akan menyebabkan osteoporosis. Karena
laki-laki tidak pernah mengalami menopause (penurunan
kadar estrogen yang mendadak), maka kehilangan massa
tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi.
Falahati-Nini dkk menyatakan bahwa estrogen pada laki-

laki berfungsi mengatur resorpsi tulang, sedangkan


estrogen dan progesteron mengatur formasi tulang.
Kehilangan massa tulang trabekular pada laki-laki
berlangsung linier, sehingga terjadi penipisan trabekula,
tanpa disertai putusnya trabekula seperti pada wanita.
Penipisan trabekula pada laki-laki terjadi karena penurunan
formasi tulang, sedangkan putusnya trabekula pada wanita
disebabkan karena peningkatan resorpsi yang berlebihan
akibat penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu
menopause.
Dengan bertambahnya umur, remodeling endokortikal
dan intrakortikal akan meningkat, sehingga kehilangan

tulang terutama terjadi pada tulang kortikal dan


meningkatkan risiko fraktor tulang kortikal, misalnya pada
femur proksimal. Total permukaan tulang untuk remodel-

diperlukan anamnesis, pemeriksaan fi sik, laboratorium,


pemeriksaan radiologi dan kalau perlu biopsi tulang.

Anamnesis
Anamnesis memegang peranan yang penting pada
evaluasi penderita osteoporosis. Kadang-kadang, keluhan

utama dapat langsung mengarah kepada diagnosis.


misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis.
bowing leg pada riket, atau kesemutan dan rasa kebal di
sekitar mulut dan ujung jari pada hipokalsemia. Pada anakanak, gangguan perfumbuhan atau tubuh pendek, nyeri

tulang, kelemahan otot, waddling gait, kalsifikasi


ekstraskeletal, kesemuanya mengarah kepada penyakit
tulang metabolik.
Faktor lain yang harus ditanyakan juga adalah fraktur
pada trauma minimal, imobolisasi lama, penurunan tinggi
badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari,
asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, latihan yang teratur
yang bersifat weight-beari ng.
Obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang juga
harus diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormon tiroid,

anti konvulsan, heparin, antasid yang mengandung


alumunium, sodium-fluorida dan bifosfonat etidrbnat.
Alkohol dan merokok juga merupakan faktor risiko
osteoporosis. Penyakit-penyakit lain yang harus
ditanyakan yang juga berhubungan dengan osteoporosis
adalah penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin dan
insufisiensi pankreas. Riwayat haid, umur menarke dan
menopause, penggunaan obat-obat kontraseptif juga
harus diperhatikan. Riwayat keluarga dengan osteoporosis juga harus diperhatikan, karena ada beberapa penyakit
tulang metabolik yang bersifat herediter.

ing tidak berubah dengan bertambahnya umur, hanya

Pemeriksaan Fisik

berpindah dari tulang trabekular ke tulang kortikal. Pada


laki-laki tua, peningkatan resorpsi endokortikal tulang
panjang akan diikuti peningkatan formasi periosteal,
sehingga diameter tulang panjang akan meningkat dan
menurunkan risiko fraktur pada laki-laki tua.
Risiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah risiko
terjatuh yang lebih tinggi pada orang tua dibandingkan
orang yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan
penunman kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan

Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap


penderita osteoporosis. Demikian jloga gaya berjalan
penderita, deformitas tulang, leg-length inequality, ty ei

stabilitas postural, gangguan penglihatan, lantai yang licin


atau tidak rata dan lain sebagainya. Pada umumnya, risiko
terjatuh pada orang tua tidak disebabkan oleh penyebab

tunggal.

PENDEKATAN KLINIS OSTEOPOROSIS

Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, diperlukan


pendekatan yang sistematis, terutama untukmenyingkirkan osteoporosis sekunder. Sebagaimana penyakit lain,

spinal dan janngan parut pada leher (bekas operasi tiroid ?).

Sklera yang biru biasanya terdapat pada penderita


osteogenesis imperfekta. Penderita ini biasanya juga akan

mengalami ketulian, hiperlaksitas ligamen dan


hipermobilitas sendi dan kelainan gigr. Cafd-au-lail spots
biasanya didapatkan pada sindrom McCune-Albright.
Pada anak-anak dengan vitamin D-dependent rickets tipe
11, sering didapatkan alopesia, baik total atau hanya
berambut jarang.
Pada rikets, beberapa penemuan fisik sering dapat
mengarahkan ke diagnosis, seperti perawakan pendek,
nyeri tulang, kraniotabes, parietal pipih, penonjolan sendi
kostokondral (rashitic rosary), bowing deformiQ tulangtulang panjang dan kelainan gigi.
Hipokalsemia ditandai oleh iritasi muskuloskeletal,
yang berupa tetani. Biasanya akan didapatkan aduksi
jempol tangan, fleksi sendi MCP dan ekstensi sendi-sendi

2656

REI.JMANOIOGI

IP. Pada keadaan yang iaten, akan didapatkan tanda


Chovstek dan Trosseau.
Pada penderita hipoparatiroidisme

idiopatik, pemeriksa

harus mencari tanda-tanda sindrom kegagalan


poliglandular, seperti kandidiasis mukokutaneus kronik,
penyakit Adison, alopesia, kegagalan ovarium prematur,
diabetes melitus, tiroiditis otoimun dan anemia pernisiosa.
Pada penderita hiperparatiroidisme primer, dapat ditemukan

band keratoplasQ akibat deposisi kalsium fosfat pada tepi


limbikkomea.
Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan
kifosis dorsal atau gibbus (Dowager's hump) dan

penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan


protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral dan
kulit yang tipis (tanda McConkey).

PEMERIKSAAN BIOKIMIA TU LANG

tulang terdiri dari Bone-specific alkaline phosphatase


(BSAP), osteokalsin OC), Carboxy-terminal propeptide
of type I collagen (PICP) dan amino-terminal propeptide
of type I collagen (PINP). Sedangkan petanda resorpsi
terdiri dari hidroksiprolin urin,free and total pyridinolines
(Pyd) urin,free and total deoxypyridinolines (Dpd) urin,

N-telopeptide of collagen cross-links (NTx) urin,


C-telopeptide of collagen cross-links (CTx) urin,
cross-linked Ctelopeptide of type I collagen (ICTP)
serum dan tartrate-resistant acid phosphatase (TRAP)
serum.

Protein yang diproduksi oleh osteoblas, terutama


adalah kolagen tipe I, walaupun demikian, osteoblas juga
menghasilkan protein nonkolagen, seperti BSAP dan OC.

BSAP berperan pada proses mineralisasi tulang, pada


keadaan hipofosfatasia (def,rsiensi fo sfatase alkali), maka
akan terjadi gangguan mineralisasi tulang dan gigi. Peran
B SAP secara pasti sebenarnya belum j elas, diduga berperan

pada peningkatan kadar fosfat anorganik lokal, merusak


Pemeriksaan biokimia tulang terdiri dari kalsium total dalam

inhibitor perfumbuhan kristal mineral, transport fosfat,

serum, ion kalsium, kadar fosfor didalam serum, kalsium


urin, fosfat urin, osteokalsin serum, piridinolin urin dan
bila perlu hormon paratiroid dan vitamin D.
Kalsiurn serum terdiri dari 3 fraksi, yaitu kalsium yang
terikat pada albumin (40%), kalsium ion (48%) dan kalsium
kompleks (12%). Kalsium yang terikat pada albumin tidak

atau berperan sebagai protein pengikat Ca atau Ca*-adenosine triphosphatase (ATPase).


Fosfatase alkali (AP) yang beredar didalam darah,
terutama berasal dari tulang dan hati, dan sebagian kecil
berasal dari banyakjaringan, termasuk usus, limpa, ginjal,
plasenta dan beberapa jenis tumor.

di glomerulus. Keadaan-keadaan yang

Osteokalsin juga merupakan petanda aktifitas

mempengaruhi kadar albumin serum, seperti sirosis hepatik


dan sindrom nefrotik akan mempengaruhi kadar kalsium
total serum. Ikatan kalsium pada albumin sangat baik terj adi
pada pH 7-8. Peningkatan dan penumnan pH 0,1 secara
akut akanmenaikkan atau menurunkan ikatan kalsiumpada
albumin sekitar 0,12 mgldl. Pada penderita hipokalsemia
dengan asidosis metabolik yang berat, misalnya pada
penderita gagal ginjal, koreksi asidemia yang cepat dengan
natrium bikarbonat akan dapat menyebabkan tetani karena
kadar ion kalsium akan turun secara drastis.
Ion kalsium merupakan fraksi kalsium plasma yang
penting pada proses-proses fisiologik, seperti kontraksi
otot, pembekuan darah, konduksi saraf, sekresi hormon PTH
dan mineralisasi tulang. Pengukuran kadar ion kalsiumjauh
lebih bermakna daripada pengukuran kadar kalsium total.
Ekskresi kalsium urin24 jam juga harus diperhatikan
walaupun tidak secara langsung menunjukkan kelainan
metabolisme tulang. Pada orang dewasa dengan asupan
kalsium 600-800 mg/hari, akan mengekskresikan kalsium
1 00-2 5 0 mgl 24 jam. Bila ekskresi kalsium kurang dari I 00

osteoblas dan fosmasi tulang. Walaupun demikian, karena

dapat dif,rltrasi

OC banyak teruikat di matriks tulang dan akan turut


dilepaskan pada proses resorpsi tulang, maka kadamya
didalam serum tidak hanya menunjukkan aktifitas formasi,
tetapi juga resorpsi tulang. Fungsi OC juga belum jelas,

tetapi kadarnya didalam matriks akan meningkat


bersamaan dengan peningkatan hidroksiapatit selama
pertumbuhan tulang.
PICP dan PINP merupakan petanda yang ideal dari
formasi tulang, karena sebagaian besar protein yang
dihasilkan oleh osteoblas adalah kolagen tipe I, walaupun
demikian kolagen ini juga dihasilkan oleh kulit, sehingga
penggunaannya di klinik tidak sebaik BSAP dan OC,
karena pemeriksaan yang ada saat ini tidak dapat
membedakan PICP dan PNP yang berasal dari tulang atau

mgl24 jam, harus dipikirkan kemungkinan adanya


malabsorbsi atau hiperparatiroidisme akibat retensi

jaringan lunak.
Berbeda dengan formasi tulang, produk degradasi
kolagen sangat baik digunakan untuk petanda resorpsi
tulang. Pada tulang yang diresorpsi, produk degradasi
kolagen akan dilepaskan kedalam darah dan diekskresi
lewat ginjal. Kolagen pada matriks tulang merupakan
kumpulan fibril yang disatukan oleh covalent ceross-link.

kalsium oleh ginjal. Peningkatan ekskesi kalsium urin yang


disertai a-qidosis hiperkloremik menunjukkan adanya
asidosis tLrbuiar renal (RTA).
Untuk menentlkan turnover itlang, dapat diperiksa
petanda biokimkia tulang. Petanda biokimia tulang terdiri
dari petan la formasi dan resorpsi tulang. Petanda formasi

(piridinolin, Pyd) dan lisil-piridinolin (deoksipiridinolin,


Dpd). Pyd lebih banyak ditemukan didalam tulang
dibandingkan Dpd, tetapi Pyd juga ditemukan didalam
kolagen tipe II rawan sendi dan jaringan ikat lainnya,
sehingga Dpd lebih spesifik untuk tulang daripada Pyd.

Cross-link ini terdiri dari hidroksilisil-piridinolin

2657

OSTEOFOROSIS

CrossJinkPyd dan Dpd terj adipada2lokasi intermolekuler


pada molekul kolagen, yaitu dekat residu 930, dimata 2

PEMERIKSAAN RADIOLOGIK

aminotelopeptida berikatan membentuk struktur tripel


heliks (//-lelopeptide of collagen cross-link, NTx) dan
pada residu 87, dimana 2 karboksitelopeptida berikatan
membentuk struktur tripel heliks (C-telopeptide of
co I I agen cro s s - link, CTx).
Setelah resorpsi tulang oleh osteoklas, berbagai
produk degradasi kolagen termasuk Pyd dan Dpd akan
dilepaskan kedalam sirkulasi, dimetabolisme di hati dan
diekskresi lewat ginjal. Urin menganilng 40oh Pyd dan
Dpd bebas dan 60%o Pyd dan Dpd yang terikat protein.

Pemeriksaan radiologik untuk menilai densitas massa


tulang sangat tidak sensitif. Seringkali penurunan densitas
massa tulang spinal lebih dari 50oh belum memberikan
gambaran radiologik yang spesifik. Selain itu, tehnik dan

Pengukuran kedua bentuk Pyd dan Dpd (bebas dan terikat


protein) merupakan baku emas, tetapi memerlukan wakfu
yang lama dan sangat mahal, sehingga saat ini banyak
digunakan pengukuran Pyd dan Dpd bebas saja. Selain
itu, didalam urin juga dapat diperiksa NTx dan CTx.

Petanda resorpsi tulang yang dapat diperiksa dari

serum adalah Cross-linked C-telopeptide

of type I

collagen (ICTP) dan tartrate-resistant acid phosphatase


(TRAP). ICTP tidak banyak digunakan karena hasilnya
sebagai petanda resorpsi tulang tidak menggembirakan.

TRAP juga tidak banyak digunakan karena tidak


spesifikuntuk osteoklas dan relatif tidak stabil didalam
serum yang beku.

Beberapa hal yang harus dipertimbangkan pada


pemeriksaan petanda biokimia tulang adalah :
1. Karena petanda biokimia tulang hanya dapat diukur
dari urin, maka harus diperhatikan kadar kreatinin di
dalam darah dan urin karena akan mempengaruhi hasil
pemeriksaan.
2. Pada umumnya petanda formasi dan resorpsi tulang
memiliki ritme sirkadian, sehingga sebaiknya diambil
sampel urir;' 24 jam atau bila tidak mungkin dapat
digunakan urin pagi yang kedua, karena kadar teertinggi
petanda biokimia tulang didalam urin adalah antara j am
4.00-8.00 pagi. Kadar OC dan PICP juga mencapai kadar
tertinggi didalam serum antara j am 04. 00-08. 00.
3. Petanda biokimia tulang sangat dipengaruhi oleh umur,
karena pada usia muda juga terjadi peningkatan bone
turnover.

4. Terdapat

perbedaan hasil pada penyakit-penyakit


tertentu, misalnya pada penyakit Paget, BSAP

lebihtinggi peningkatannya dibandingkan OC, terapi


bisfosfonat akan menurunkan kadar Pyd dan Dpd yang
terikat protein tanpa perubahan ekskresi Pyd dan Dpd
bebas, sedangkan terapi estrogen akan menurunkan
ekskresi Pyd dan Dpd urin, baik yang bebas maupun
yang terikat protein.
Manfaat pemeriksaan petanda biokimia tulang :
1. Prediksi kehilangan massa tulang,
2. Prediksi risiko fraktur,
3. Seleksi pasien yang membutuhkan anti resorptif
4. Evaluasi efektifitas terapi

tingginya kilovoltage juga mempengaruhi hasil


pemeriksaan radiologik tulang.

Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis


adalah penipisan korteks dan daerah trabekuler yang lebih

lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra


yang memb erikan gambar art p i c tur e -fr am e v ert e b r a.
Pada tulang-tulang vertebra, pemeriksaan radiologik
sangat baik untuk mencari adanya fraktur kompresi, fraktur
baji atau fraktur bikonkaf. Pada anak-anak, fraktur kompresi
dapat timbul spontan dan berhubungan dengan os-

teoporosis yang berat, misalnya pada osteogenesis


imperfekta, rikets, artritis reumatoidjuvenil, penyakit Crohn
atau penggunaan steroidjangka panjang. Bowing deformity pada tulang-tulang panjang, sering didapatkan pada
anak-anak dengan osteogenesis imperfekta, rikets dan

displasia fibrosa.

Resorpsi subperiosteal merupakan gambaran


+ l0o/o

patognomonik hiperparatiroidsme, terlihat pada

kasus, terutama pada daerah radial falang medial jari II dan

III. Kelainan ini akan tampak dengan baik bila


menggunakan film mamograh. Selain itu dapatjuga terlihat

lesi fokal atau multipel yang juga spesifik untuk


hiperparatiroidisme yang disebut brown tumor
(osteoklastoma) yang berisi sel-sel raksasa yang sangat
responsif terhadap PTH. Kelainan ini akan hilang dengan
pembuangan adenoma paratiroid.

Vertebra
Gambaran osteoporosis pada foto polos akan menjadi lebih
radiolusen tetapi baru terdeteksi setelah terjadi penurunan
massa tulang sekitar 3\%o.Yariabilitas faktor teknis dalam
pengambilan foto polos, dan variasijenis serta ketebalan

jaringan lunak yang tumpang tindih dengan vertebra akan


mempengamhi gambaran radiologisnya dalam menilai
densitas tulang. Selain itu adanya kompresi vertebra, akan
meningkatkan densitas tulang karena terjadi perpadatan
trabekula dan pembentukan kalus. Tetapi ada pendapat
lain yang menyatakan bahwa angka 30o/o itu karena
berdasarkan misinterpretasi pada penelitian in vitro yang
telah dilakukan 40 tahun yang lalu. Lachman dan Whelan
menunjukkan bahwa hal tersebut benar untuk daerah
kortikal sedangkan pada tulang-tulang yang mempunyai
kadar trabekula tinggi osteoporosis dapat dilihat secara
radiogram bila terjadi defisit mineral tulang sebesar 8-14%.
Terdapat 6 kriteria yang dianjurkan dalam menentukan
osteoporosis vertebra :
1. Kriteria yang paling subyektifadalah peningkatan daya

tembus sinar pada korpus vertebra atau penurunan

2658

REUMATOI-OGI

densitas tulang.

osteopeni dengan pengukuran densitas mineral tulang

Hilangnya trabekula horisontal disertai semakin

DXA pada verlebra dan femur.

jelasnya trabekula vertikal. Resorpsi, penipisan dan

menghilang terutama pada trabekula horisontal


dibandingkan trabekula yang vertikal sehingga
menghasilkan gambaran densitas striata vertikal.
Adanya diskrepansi resorpsi trabekula dapat berkaitan
dengan efek dari kompresi, yang selanjutnya terjadi
tulang subkondral yang tipis dan tegas.

KiteiaBone Atrophy

Class (Silver Science Group, 1990)

merupakan salah satu metode yang dapat digunakan


dalam menilai osteoporosis berdasarkan perubahan
trabekulasi. Kriteria Bone Atrophy C/ass membagi
tingkatan perubahan trabekulasi menjadi 4 tingkatan,

Grade
- Grade

0 :
1 :

-)

0
I
II
III

Normal
Trabekula longitudinal lebih jelas
Trabekula longitudinal menjadi kasar
Trabekula longitudinal menjadi tidak jelas

Pengurangan ketebalan korteks bagian anterior korpus

vertebra. Pemeriksaan ini sangat sulit karena tebal


korteks yang sangat kecil sehingga menimbulkan
kesalahan dalam pengukuran selain sulit menentukan

kehilangan densitas minimal,

plates mulai memperlihatkan

end
efek

stensil.

-Grade2 :

garis striata vertikal lebih jelas; end


plates lebih tipis

- Grade

- Grade

3 :
4 :

kehilangan densitas tulang lebih berat


end plates menjadi
kurang terlihat

dari grade

2,

korpus vertebra ghost like, densitas


tidak lebih besar dari jaringan lunak
dan tak ada bentuk trabekula yang
terlihat.

yartu:
Klas
Klas
Klas
Klas

densitas tulang normal

Beat dkkmencoba membuat kriteria penilaian spesifik


perubahan yang terjadi pada vertebra yang dapat dilihat
pada foto lateral yaitu :
1. Derajat ketegasan (prominen) endplates dibanding
korpus vertebra lumbal- 1
vertebra dibanding jaringan lunak
yang berdekatan.

2. Densitas korpus
J.

Derajatbikonkaf

tepi korteks.

4.

Jumlah trabekula

Perubahan end plates, baik secara absolut maupun


relatif dengan membandingkan antara korpus vefiebra
dengan end plates. Penurunan kandungan kalsium
dalam vertebra menghasilkan end plates akan semakin
jelas terlihat. lndikator perubahan end plates ini
merupakan indikator yang paling sensitif dalam
menentukan osteoporosis.
Abnormalitas bentuk korpus vertebrae dapat berupa
bentuk baji (diameter verlebra anterior kurang atau lebih

5.

Ketegasan trabekula
Perkiraan keadaan osteopenia vefiebra lumbal- I

6.

l. Perkiraan

keadaan osteopeni seluruh vertebra

lumbal.

rendah dari bagian posterior), bikonka! fraktur kompresi

1. A.Hm<85%

(bila tinggi kedua tepi verlebra berkurang).


Menurut penelitian Oda dkk bahwa bentuk baji dari
vertebra merupakan deformitas tulang yang paling
sering terjadi, kemudian diikuti bikonkal flatlfraktur ver-

b. Ha<85% a

2. A. Hm<7lo/o

tebra. Terdapat beberapa cara dalam menilai

bikonkavitas vertebra, salah satu diantaranya Spine


score yang digunakan Barnet dan Nordin dengan
membandingkan persentase antara tinggi vertikal
korpus vertebra lumbal 3 bagian tengah (melalui pusat
vertebra) dengan tinggi vertikal bagian anterior pada
foto lateral vertebra lumbal. Apabila spine score < 80
menunjukkan osteoporosis. Salah satu usaha untuk
menentukan tingkat atau derajat skala osteopeniapada

tulang vertebra yaitu menggunakan metode Saville


dengan penilaian terhadap densitas, end plates dan
trabekula vertikal. Skor osteopenia semikuantitatif
Saville sederhana dan mudah diaplikasikan tetapi
membutuhkan interpretasi yang masih subyektif.
Terdapat korelasi yang kasar/luas antara nilai skor

Ha<7Oo/o

3. Hp,Hm,Ha <85%

<70%
Gambar 3. Radiomorfometri vertebra

Setelah dibandingkan dengan pengukuran densitas


mineral tulang melalui metode Q-CT pada vertebra pada
batas ambang fraktur yaitu 110 mg/cm3 (kehilangan
massa tulang sekitar 40% dibandingkan nilai maksimal
pada usia 35 sebesar 175 mg/cm3) temyata diperoleh
data bahwa kriteria radiologis yaitu keadaan osteopenia

2659

OSTEOFOROSIS

kearah atas dan berakhir pada permukaan superior

pada vertebra lumbal-l mempunyai korelasi yang pal-

ing tinggi, diikuti dengan densitas korpus vertebra


aringan lunak yang berdekatan.
dibandingkan
jumlah
Ketiga kriteria radiologis
trabekula.
Kemudian
pada
densitas mineral tulang
tersebut temyata bermakna
dengan j

trokhanter mayor.

4. Principal tensile group, kelompok

diatas 110 Mg/CM3. Sehingga disimpulkan kriteria


radiologis pada foto polos vertebra lumbaTlatetaldapat
memperkirakan densitas tulang pada penderita non os-

Metode terakhir dalam diagnosis osteoporosis dengan


rnenemukan fraktur spontan atau setelah trauma ringan

Secondary tensile group, kelompok trabekula yang


berjalan mulai dari korteks lateral dibawah kelompok
principal tensilekearuh superior dan medial menyilang
leher femur. Pada daerah leher femur terdapat area
segitiga disebut Segitiga Ward yang sangat sedikit
mengandung trabekula dan dikelilingi oleh kelompok
princip al compres s ive, s econdary c ompres sive dan

pada foto vertebra.

tensile.

Kondisi foto dan posisi kemiringan vertebra lumbar

Singh dkk telahmencoba menghubungkan bentuk dari

teoporosis (di atas ambang fraktur) serta dapat


memperkirakan kuantitas tulang vertebra (kehilangan
mineral tulan g di b aw ah 40%o).

6.

trabekula yang

berjalan kurvalinier dari korteks lateral tepat dibawah


trokhanter mayor menyilang leher femur kearah bagian
inferior kaput femoris, merupakan trabekulatensile yang
paling tebal.

sangat mempengaruhi penilaian densitas tulang. Perbedaan

kontras antara korpus vertebra dengan jaringan lunak


sekitamya akan memberikan perbedaan dalam penilainan

trabekula. Hal ini juga dipengaruhi oleh banyak faktor,


termasuk diantaranya ukuran kolimasi sumber sinar,
kilovoltage sinar-X, energi total sinar-X, jumlah sinar

hambur, efisiensi Potter-Buclcy grid, lipe

film yang

digunakan dan proses fotografik. Keadaan inspirasi dapat


memberikan keadaan lebih porotik pada vertebra torakal.
Yuan X, Takahashi dkk meneliti korelasi foto polos

vertebra lumbal lateral dari L2 sampai L4, ternyata


visualisasi radiografik L3 lebih baik dibandingkan L2
maupun L4 sehingga sangat membantu dalam mendeteksi

atrofi tulang secara radiografik.

5.

kelompok-kelompok trabekula tersebut dengan berat


ringannya osteoporosis dibandingkan dengan biopsi
tulang dan didapatkan hasil yang sangat bermakna. Dengan
resorpsi trabekula dini diperhatikan atenuasi dari sruktur
trabekula prinsipal compressive dan principal tensile.
Trabekula di proksimal femur dapat dilihat dengan baik
bila dibuat rontgenogram pada daerah hip (leher.femur)
dengan menggunakat exposure yang adekuat agar dapat
melihat detil makroskopis arsitektur susunan trabekulanya.
Pada perj alanan

steoporo sis terj adi penipisan trabekula

dan beberapa diresorpsi sempurna, sehingga trabekula


yang tebal akan lebih nyatapada foto polos. Bila proses
osteoporosis terus berlanjut, maka trabekula yang tebal
akan teresorpsi juga.
lndeks Singh terbagi dalam 6 grade yaitu

Femur Proksimal

trabekula terlihat,
segitiga Ward kurang jelas dan didalamnya tampak

Telah lama diketahui bahwabagianujung proksimal tulang

femur terdiri dari trabekula tulang yang tersusun dalam2


lengkung yang saling menyilang. Dan telah dibuktikan
melalui analisa matematika bahwa susunan trabekula ini
berkaitan dengan weight bearing dimana tekanan yang
diterima kaput femoris diteruskan ke shaft tulang femur
melalui susunan trabekula ini.
Pada tahun 1970 Singh dan kawan-kawan telah berhasil

menetapkan bentuk trabekula pada ujung atas femur


sebagai sebuah indeks osteoporosis. Terdapat 5 kelompok
anatomi trabekula sebagai berikut :
l. Princip al compr es s iv e group, berupa deretan trabekula
yang berjalan dari medial kortek leher femur ke arah
bagian atas kaput femoris, merupakan trabekula yang
paling tebal dan dense.
2. Secondary compressive group, trabektiayang berjalan

3.

sedikit melengkung dari medial leher femur dibawah dari


kelompok principal compressive ke arah trokhanter
mayor. Trabekulanya tipis dan agak renggang.
Greater trochanter group, mefl)pakan trabekula tipis
danberbatas kurang tegas dari kelompok tensileyang
berjalan dari lateral dibawah trokhanter mayor menuju

. 1. Grade 6, semua struktur kelompok

struktur trabekula tipis yang tidak lengkap yang

2.

menandakan tulang normal.


Grade 5, tampak atenuasi struktur kelomp ok principal

compressive dan principal tensile karena resorpsi


trabekula yang tipis. Secondary compressive kurang
jelas. Segitiga Ward tampakkosong dan lebih prominen.
Stadium ini menunjukkan stadium dini osteoporosis.
3. Grade 4, trabekula tensile tampak lebih berkurang, terjadi
resorpsi dimulai bagian medial, sehingga principal ten-

sile bagian lateral masih dapat diikuti garisnya,


sementara secondary tensile telah menghilang.
Sehingga segitiga Ward batas lateralnya terbuka'
Stadium ini menunjukkan transisi antara tulang normal
dengan osteoporosis.

4.

Grade 3, tampak principal tensile terputus di area yang

berseberangan dengan trokhanter mayor sehingga


trabekula tensile hanya terlihat di bagian atas leher
femur. Stadium ini menunjukkan keadaan definite
osteoporosis.

5.

Grade 2,hatya tampak principal compressive yang


prominen sedangkan kelompok trabekula lain tidak /

2660

REUMATOI.OGI

kurang jelas karena sebagian besar telah teresorpsi.

Keadaan

6.

ini menunjukkan moderatly

advanced

Metakarpal
Resorpsi pada korteks fulang dapat tampak

di 3 tempat

osteoporosis.

spesifik yaitu permukaan endosteal, intrakortikal dan

Grade I, principal compressive tidak menonjol dan


berkurang jumlahnya, keadaan ini menunjukkan

periosteal.
Pada pemeriksaan foto tangan yang perlu diperhatikan
adalah metakarpal ke 2 pada tangan kanan. Dilakukan

keadaan osteoporosis berat.


Pengukuran indeks Singh dapat dilakukan pada salah
satu sisi tubuh, karena telah dibuktikan tidak ada perbedaan
bermakna pada kedua sisi tersebut. Pada penelitian indeks
Singh, pengukuran dilakukan oleh 3 orang observer dan
dibandingkan hasilnya serta diulang pembacaan fotonya
masing-masing dalam 3 bulan. Temyata didapatkan hasil
tidak berbeda bermakna.
Ketebalan kortek leher femur diukur melalui trokhanter
minor bagian atas dan peneliti lain menyatakan sebagai

ketebalan dari calcar femorale. lndeks kortek leher


femur adalah rasio antara ketebalan korlek leher femur
dibagi diameter terpendek leher femur. Pada penelitian
Gutteridge (trnpublished) menunjukkan bahwa indeks
kortek femur berkorelasi dengan pengukuran DXA femur
pada wanita pasca menopause yang mempunyai fraktur
vertebra.

pengukuran tebal kortek yaitu selisih antara diameter


tulang dengan tebal medulla, serta rasio tebal korteks
dengan diameter tulang. Didapatkan hasil hubungan vang

bermakna antara rasio tebal kortek dan diameter tulang


terhadap hasil biopsi. Atau dilakukan perhitungan dengan
rumus:

- MW2
cA/lA- TW2TW'
CA/TA

perbandingan daerah korteks (CA) dengan


daerah keseluruhan (TA)

TW = tebalkeseluruhan MW =

tebalmedula

Nilai rata-rata dewasa muda 0,72-0,85. Angka ini akan

menurun sesuai bertambahnya umur, dan bila nilai


perbandingan kurang dari 0,72 menunjukkan adanya
osteoporosis korleks.

Skintigrafi Tulang
Skintigrafi tulang dengan menggunakan Technetium-99m
yang dilabel pada metilen difosfonat atau hidroksimetilen
difosfonat, sangat baik untuk menilai metastasis pada
tulang, tumor primer pada tulang, osteomielitis dan
nekrosis aseptik. Diagnosis skintigrafi tulang ditegakkan
dengan menc ari uptake yang meningkat, baik secara umum
maupun secara lokal.
Pada penyakit Paget, skintigrafi tulang sangat sensitif
untuk mencari daerah pagetik.

PEMERIKSAAN DENSITAS MASSA TULANG

Gambar 4. lndeks Singh

(DENSTTOMETRT)

Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan


tulang dan risiko fraktur. Berbagai penelitian menunjukkan
peningkatan risiko fraktur pada densitas massa tulang
yang menumn secara progresif dan terus menerus.
Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang
akurat dan presis untuk menilai densitas massa tulang,
sehingga dapat digunakan untuk menilai faktor prognosis, prediksi fraktur dan bahkan diagnosis osteoporosis.
Berbagai metode yang dapat digunakan untuk menilai

mrfl
_i

Combined Cortrcai Fhi(:knEss

Codifal

Cortical

Ind6x
Area

(CC-i-i T-M
{-f-Ml/f

0 788

' tTr-M i

densitas massa tulang adalah single-photon


absorptiometry (SPA) dan single-energy X-ray
absorptiomelry (SPX) lengan bawah dan lltmit; dual-

photon absorptiomelri (DPA) dal dual-energy X-ray


Gambar 5. RadiomorJometri metakarpal

absorptiometry @PX) lumbal dan proksirnal femur; dan


q uantitative computed tomo graphy (QCT).

266t

OSTEOFOROSIS

Single- Photon Ahsorptiometry $PA)


Pada SPA digunakan unsur radioisotop I yang mempunyai
energi photon rendah sekitar 28 keV guna menghasilkan
berkas radiasi kolimasi tinggi. Intensitas berkas radiasi

yang diabsorpsi ditangkap oleh scintillation counter.


Dengan menggunakan skening rektilinier densitas tulang
itu diukur. Dosis absorpsi yang diperoleh sekitar 5 mrad
(50 pcy). lntensitas berkas radiasi dibandingkan dengan

intensitas berkas radiasi pada phantom yang telah


diketahui densitasnya sehingga densitas mineral tulang
dapat ditentukan.
Karena SPAmenggunakan berkas radiasi energi tunggal

dari photon energi rendah, dimana berkas kolimasi yang


dipancarkan akan menembus komponen jaringan funak
dan tulang maka biasanya metoda ini digunakan hanya
pada bagian tulang yanq mempunyai jaringan lunak yang
tidak tebal seperti distal radius dan kalkaneus.
Kelemahan lainnya yaitu berupa sumber radioisotop
yang harus diganti tiap 6 bulan dan dapat juga terjadi
reposilioning error.
Nilai koehsien akurasi sebesar 4-6oh sedatgkan nilai
koefisien presisi sebesar 1-20%.
D u a l -P h oto n A b so rpti o m etry @ PA)
Metode ini mempunyai cara yang sama dengan SPA'
Perbedaannya berupa sumber energi yang mempunyai
photon dengan 2 tirgkat energi yang berbeda guna
mengatasi tulang dan jaringan lunak yang cukup tebal
sehingga dapat dipakai untuk evaluasi bagian-bagian
tubuh dan tulang yan mempunyai struktur geometri

komplek seperti pada daerah leher femur dan vertebra


Sumber energi yang paling sering digunakan adalah
Gd153 yang mempunyai 2 tingkat energi 44keY dan 100
keV, dosis yang diabsorpsi sekitar l5 mrad (150 pGy), waktu
paruhnya 240 hari dan dapat digunakan untuk selama
1 3 - 1 5 bulan. I 3,3 " Tingkat akurasi metode ini sekitar 94 - 98%

phantom berisi CaPO4.Nilai koefisien akurasi sebesar


5-15% dan nilai koefisien presisi sebesar 2-4olo.

Dual Energy X-Ray Absorptiometry @XA)


DXA merupakan metoda yang paling sering digunakan
dalam diagnosis osteoporosis karena mempunyai tingkat
akurasi dan presisi yang tinggi. Prinsip kerjanya sangat
mirip dengan DPA, tetapi sumber energinya berbeda yaitu
sinar-X yang dihasilkan dari tabung sinar-X. Alat tersebut
dapat menghasilkan 2 tingkat energi antara 70 kVp dan
140 kVp dalam2 sistem yaitu yang dapat berganti dengan

cepat satu sama lain atau dengan menggunakan filter


(K-edge filter) pada energi x ray yar'g konstan' Energi
efektifyang dihasilkan 45 dan 100 keV.
Hasil pengukuran dengan DXA berupa:
1. Densitas mineral tulang pada areayalg dinilai satuan
bentuk gram per CM2

2. Kandungan mineral tulang dalam satuan gram.


3. Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai
normal rata-ratadensitas tulang pada orang seusia dan
dewasa muda yang dinyatakan dalam persentase.

4. Perbandingan

hasil densitas mineral tulang dengan nilai

normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dan


dewasa muda yang dinyatakan dalam skore standar
deviasi (Z-score atau T-score).
Densitas mineral tulang yang rendah merupakan faktor

risiko utama yang dapat dicegah dan prediktor utama


terjadinya fraktur. Secara umum setiap terjadi penurunan
densitas tulang sebesar 1 standar deviasi di bawah ratarata densitas mineral tulang orang dewasa muda akan
meningkatkan terjadinya fraktur sebanyak 2-3 kali.
Pemeriksaan densitometri untuk mengetahui densitas
tulang pada osteoporotik dipakai standar WHO sebagai

berikut:

ataukoefisien akurasi 5 -10% dankoefisienpresisi 2 -4%.


Normal

ntitative Computer Tomography (OCT)


Merupakan densitometri yang paling ideal karena
Qu a

Osteopenia
Osteoporosis
Osteooorosis berat

>-1
< -,1
< -2,5 (tanpa fraktur)
< -2,5 (denqan fraktur)

mengukur densitas tulang secara volumetrik (g/CM3).

Terdapat beberapa kelebihan QCT dibandingkan


pemeriksaan BMD lain yaitu kemampuannya yang dapat
menilai hanya daerah trabekula saja, dan tidak terpengaruh
oleh adanya artefak kalsifikasi ekstra dan intraosseous
seperti kalsihkasi aorta dan osteofit sefia ukuran-ukuran
tinggi, berat badan pasien. Sedangkan kekurangannya

berupa dosis radiasi yatg dihasilkan lebih tinggi


dibandingkan DXA sekitar 60 pSv atau sekitar > 200 kaii
dibandingkan DXA. Pada tulang vertebrae Ll-4 dengan
potongan bidatgmidline akan tampak perbedaan atenuasi
antara kortek dan trabekula, sehingga dipilih daerah
trabekula dibawah kortek. Densitas volumetriknya (g/CM3
) dihitung dengan cara membadingkannya dengan densitas

Pada vertebra nilai densitas mineral tulang biasanya


yang dilihat adalah nilai rata-rata densitas tuJarrgL2-L4
dan pada sendi panggul yang dihitung adalah kolumna
femoris, segitiga Ward dan trokhanter mayor. DXA juga
dapat dilakukan pada tulang kalkaneus dan dikatakan dapat

dipergunakan untuk memprediksi resiko fraktur tulang


vertebra pada wanita dengan osteoporosis bila QCT tidak
bisa dilakukan, karena terbukti penurunan T -score nya
lebih besar dibandingkan DXA di tempat lain'
Fukunaga dkk metyatakan bahwa densitas pada
tulang metakarpal-2,radius dan lumbal tetap konstan pada
tmtr 25-44 tahun sedangkan leher femur konstan pada

2662

REUMI$OI.OGI

lll.rur 25-44 tahun, kemudian densitas semua tulang akan


menurun setelah menopause antara umur 45-55 tahun.
Setelah umur 70 tahun densitas tulang pada lumbar
menurun lebih lambat dibandingkanradius karena adanya
proses degeneratif. Radius merupakan tempat yang
paling baik digunakan untuk menilai densitas tulang pada
usia lanjut karena proses terjadinya degeneratif yang
sedikit dibanding tempat larn sertahasil presisinyayang tinggi.

Nilai koefisien akurasi DXA sebesar 4-lO,'/o dan


koefisien presisi 1-3%. Nilai koefesien presisi untuk
vertebra 0,26-2,6yo sedangkan untuk femur 0,7 - 2,1%o.
Faktor yang dapat mempengaruhi kesalahan dalam
perhitungan yaitu faktor tulang (osteofit, kompresi
vertebra, kalsifikasi aorta dll) dan non tulang (barium

alkohol.
14.

Insulin dependent diabetes melitus.

Bagian-bagian tulang yang diukur (Region of lnterest, ROI):


Tulang belakang (11-La)
Panggul
Femoral neck
Total femoral neck
Trokanter
Lengan bawah (33% radius), bila :
Tulang belakang dan/atau panggul tak dapat diukur
Hiperparatiroidisme
Sangat obes
Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah
yang digunakan untuk diagnosis osteoporosis

intraluminal, prothese, obat-obatan yang mengandung


kalsium, pergerakan pasien dll).
Indikasi densitometri tulang

l.

Wanita premenopause dengan risiko tinggi, misalnya

hipomenore atau amenore, menopause akibat


pembedahan atau anoreksia nervosa. Dengan fujuan
untuk evaluasi pengobatan.
Laki-laki dengan satu atau lebih faktorresiko, misalnya

hipogonadisme (testosteron rendah), pengguna


alkohol, osteoporosis pada radiografi atau fraktur karena
trauma ringan.
J. lmobilisasi lama (lebih dari I bulan).
4.

5.
6.

9.

Masukan kalsium yang rendah lebih dari l0 tahun.


Misalnya hiperkalsiuria dengan atav tarrpa batu ginjal
(4mglkglhr), malabsorpsi atau hemigastrektomi ( 1 0
tahun setelah operasi).
Artritis reumatoid alau- anlqtlosing spondylitis selama
lebih dari 5 tahun terus-menerus.
Awal pengobatan kortikosteroid atau methotrexat dan
setiap 1-2 tahun pengobatan.
Menggunakan terapi antikonr,ulsan dengan dilantin
atau fenobarbital selama lebih dari 5 tahun.
Kreatinin klirens <50 milmenit atau penyakit tubular
grrjul.
Osteomalasia dengan kalsium serum yang rendah,

fosfor serum rendah dan atau alkali fosfatase meningkat.


10. Hiperparatiroidisme dengan kalsium serum tinggi, fosfor
serum rendah dan atau hormon paratiroid meningkat
(terutama untuk kasus ringan atau non-bedah untuk
melihat efektifitas terapi).
11. Penggunaan terapi pengganti tiroid lebih dari I 0 tahun.
12.

Evaluasi terapi osteoporosis, yaitu estroger- atav


estrogen/progesteron, pengganti testosteron,
kalsitonin, vitamin D dan kalsium, difosfonat, fluorida
serta anabolik steroid.

13.

Wanita postmenopause dengan

atau lebih faktor

resiko. Misalnya dengan riwayat keluarga osteoporosis, masukan kalsium rendah, fraktur pada orang dewasa

dengan trauma minimal, osteopeni pada radiografi


konvensional, konhaindikasi atau intoleran terhadap
terapi estrogen, umur lebih dari 65 tahun, pengguna

BMD pasien
T-score
'1

BMD rata-rata orang dewasa muda

SD BMD rala-rala orangdewasa muda

BMD pasien
Z-score

- BMD rata-rata

orang seusia pasien

1 SD BMD rata-rata orang seusia pasien

Nilai Z-score tidak digunakan untuk diagnosis.Z-score yang

rendah (< -2,0) mencurigakan kearah kemungkinan


osteoporosis sekunder, walaupun tidak ada data pendukung.
Selain itu setiap penderita harus dianggap menderita
osteoporosis sekunder sampai terbukti tidak ada penyebab
osteoporosis sekunder

SONODENSlTOMETRI
Salah satu metode yang lebih murah dalam menilai densitas
tulang perifer dengan menggunakan gelombang suara dan

tanpa adanya resiko radiasi. Dilakukan pengukuran


densitas tulang berdasarkan dari kecepatan gelombang
suara, atenuasi ultrasound broadband dan kekakuan
(stffiess). Parameter-parameter diatas diketahui berkurang

pada penderita osteoporosis dan yang lebih penting


parameter sonografi dapat merupakan prediktor resiko

fraktur vertebra. Daya elastis tulang telah terbukti


berkaitan dengan kecepatan gelombang suara dan
kekuatan tulang berkaitan dengan atenuasi ultrasound
broadband.
Merupakan salah satu metode yang cukup menjanjikan
dan sedang banyak diteliti. Keuntungan metode ini tidak
adanya radiasi, mobile, ukuran kecil, pengukuranny a cepat

dan relatif murah. Jenis tokasi tulang yang diperiksa


merupakan daerah yang mengandung sedikit jaringan
lunak seperti kalkaneus dan patela. Belum adanya
kesepakatan penilaian status densitas tulang, korelasi
yang rendah artara alat yang satu dengan yang lain,

dan masih terbatasnya penelitian yang telah

2663

OSTEOFOROSIS

dilaporkan sehingga membuat metode ini belum luas

secepat pada wanita, karena laki-laki tidak pernah

digunakan.

mengalami menopause. Selain itu, pada laki-laki kehilangan


massa tulang lebih bersifat penipisan, sedangkan pada
wanita lebih diakibatkan oleh kehilangan elemen trabekula

Goldstein dan Nachtigall telah membandingkan hasil


densitometri dari Quantitative Ultrasound (QUS) pada
kalkaneus dengan DXA pada leher femur ternyata

ultrasonografi Sahara dapat digunakan untuk


mengidentifikasi pasien yang mempunyai faktor risiko
osteoporosls.

M AG N ETt C

RESONAA/CE

TMA

G,NG

Rl)

MRI mepunyai kemampuan yang cukup menjanjikan dalam


menganalisa struktur trabekula dan sekitarnya. Metode
ini mempunyai kqlebihan berupa tidak adanya radiasi.
Metode ini sedang banyak diteliti.
Elemen mineral tulang dapat dinilai melalui gambaran

karakteristik T2 decay berupa inhomogenitas yang


disebabkan oleh pengaruh perbedaan sumsum tulangnya.

Aplikasi MRI dalam menilai tulang trabekula melalui


2 langkah

yaitu pertamaT2 sumsum tulang dapat digunakan

untuk menilai densitas serta kualitas jaringan tulang


trabekula dan yang kedua untuk menilai arsitektur trabekula.
Pengaruh perbedaan medan magnet antara trabekula tulang

dan sumsum tulang akan menghasilkan inhomogenitas


spatial dalam medan magnet.

dari tulang yang bersangkutan. Selama pertumbuhan,


lakiJaki juga lebih besar daripada wanita.
Laki-laki juga memiliki tulang trabekular yang lebih tebal

massa tulang pada

korteksnya daripada wanita. Pada laki-laki, ukuran kolum


femoris akan makin besar dengan bertambahnya umur,
sedangkan pada wanita tidak. Hal ini akan menyebabkan
osteoporosis pada laki-laki lebih relatif lebih ringan dan
risiko fraktur relatif lebih kecil daripada wanita.
Fraktur verlebra pada laki-lakijuga lebihjarang, kirakira hanya 50o/o pada wanita. Pada umumnya fraktur

vettebra terjadi pada torakal bawah dan terutama


merupakan fraktur baji.

Etiologi Osteoporosis pada Laki-laki

1. Genetik
Laki-laki yang orang tuanya menderita osteoporosis,
ternyata memiliki densitas massa tulang yang lebih rendah
dibandingkan lakiJaki pada umunnya. Selain itu laki-laki
yang ibunya menderita fraktur panggul, ternyata memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk menderita fraktur verlebra.

Sampai saat

ini, tidak didapatkan gen spesifik

yang

mengatur massa tulang dan risiko fraktur pada laki-laki.

BIOPSI TULANG DAN HISTOMORFOMETRI

2. Hipogonadisme
Hipogonadisme merupakan salah satu penyebab

Biopsi tulang dan histomorfometri merupakan pemeriksaan

osteoporosis dan gagalnya pencapaian puncak massa


tulang pada laki-laki. Dalam hal ini, terapi pengganti
testosteron memiliki efek yang baik untuk meningkatkan
massa tulang pada laki-laki dengan hipogonadisme.

yang sangat penting untuk menilai kelainan metabolisme


tulang. Biopsi biasanya dilakukan didaerah transiliakal,
yaifi2 cm posterior SIAS dan sedikit inferior krista iliakal.
Alat yang digunakan adalah jarum Bordier-Meunier.
Indikasi biopsi tulang meliputi berbagai kelainan
metabolik fulang seperti osteoporosis pasca menopause,
osteodistrofi renal, osteomalasia, rikets, hiperparatiroidsme

primer, penyakit tulang akibat kelainan gastrointestinal


kronik atau pasca operasi gastrointestinal.

Berbagai penyebab hipogonadisme pada laki-laki


harus dicari pada laki-laki dengan osteoporosis,
misalnya sindrom Klinefelter, hipogonadisme akibat
hipogonadotropin, hiperprolak-tinemia, orkitis akibat parotitis, kastrasi dsb. Seringkali pemeriksaan hipogonadisme
pada laki-laki tidak mudah dideteksi, karena ukuran testes

yang tetap normal, libido yang tetap normal, kadar

testosteron yang tetap normal walaupun kadar


OSTEOPOROSIS PADA LAKI.LAKI
O

steoporosis pada laki-laki, seringkali kurang diperhatikan

luteinizxing hormon meningkat.


3. lnvolusi

wanita. Dengan bertambahnya umur, insidens fraktur pada


panggul makin meningkat, tetapi peningkatan insidens
frakturpada laki-laki lebih lambat 5-10 tahun dibandingkan
wanita.
Pada laki-laki, dengan bertambahnya umur, maka tulang

Dengan bertambahnya umur, terjadi penurunan massa dan


densitas tulang pada laki-laki, kira-kira 3-4Yo per-dekade
setelah umur 40 tahun, Setelah umur 50 tahun, kehilangan
massa tulang lebih besar lagi, walaupun demikian tetap
lebih rendah dibandingkan wanita. Resorpsi endosteal
pada laki-laki, tampaknya dapat dikompensasi dengan
formasi periosteal, sehingga risiko fraktur dan penurunan
densitas tulang tidak sehebat pada wanita. Pada tulang
trabekular, penurunan densitas massa tulang pada kedfua

kortikal akan makin menipis, tetapi penipisan ini tidak

jenis kelamin tampaknya sama, tetapi korteks tulang

dibandingkan dengan osteoporosis pada wanita. Pada


dewasa muda, insidens fraktur ternyata lebih tinggi pada
laki-laki daripada wanita; hal ini dihubungkan dengan
insidens trauma yang lebih tinggi pada laki-laki daripada

2664

REtJM/TfiOLOGI

trabekular pada laki-laki lebih tebal dibandingkan pada


wanita, sehingga risiko frakturjuga lebih rendah.

4. Penyakit dan obat-obatan

dapat menyebabkan osteoporosis. Dari berbagai


penelitian, diketahui bahwa penggunaan prednison lebih
dai 7,5 mglhari akan menyebabkan osteoporosis pada
banyak penderita.

Berbagai penyakit,obat-obatan dan gaya hidup dapat


menyebabkan osteoporosis sekunder pada laki-laki,
misalnya glukokortikoid, merokok, alkohol, insufisien
ginjal, kelainan gastrointestinal dan hati, hiperparatiroidisme, hiperkalsiuria, antikonvulsan tirotoksikosis,

Secara histomorfometri, glukokorlikoid akan mengakibat-

imobilisasi lama, artritis reumatoid dsb.

kan penurunan tebal dinding tulang trabekular, penumnan

Efek Glukokortikoid pada Tulang


1. Histomorfometri

mineralisasi, peningkatan berbagai parameter resorpsi

tulang, supresi pengerahan osteoblas dan penekanan

5. ldiopatik
Sekitar 300% osteoporosis pada laki-laki ternyata tidak
diketahui secarajelas penyebabnya. Diagnosis osteoporosis idiopatik ditegakkan setelah semua penyebab yang lain
dapat disingkirkan. Saat ini diduga terdapat hubungan
antara osteoporosis idiopatik dengan rendahnya kadar
IGF-I atau IGF -I binding protein 3 (IGFBP-3).

fungsi osteoblas.

2. Efek pada Osteoblas dan Formasi Tulang


Penggunaan glukokortikoid dosis tinggi dan terus menerus

akan mengganggu sintesis osteoblas dan kolagen.


Replekasi sel akan mulai dihambat setelah 48 jam paparan

dengan glukokortikoid. Selain

itu juga terjadi

penghambatan sintesis osteokalsin oleh osteoblas.

OSTEOPOROSIS AKIBAT GLUKOKORT! KOID

Glukokortikoid sangat banyak digunakan untuk


mengatasi berbagai penyakit, terutama penyakit
otoimun. Glukokortikoid merupakan penyebab
osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik yang
terbanyak.Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan
absorbsi kalsium di usus dan peningkatan ekskresi kalsium

lewat ginjal sehingga akan menyebabkan hipokalsemia,


hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan kerja
osteoklas. Selain itu glukokortikoid uga akan menekan
produksi gonadotropin. sehingga produksi estrogen
menurun dan akhirnya osteoklas juga akan meningkat
kerjanya. Terhadap osteoblas, glukokortikoid akan
menghambat kerj anya, sehingga formasi fulang menurun.

Dengan adanya penin gkatan resorpsi tulang oleh


osteoklas dan penurunan formasi tulang oleh osteoblas,
maka akan terjadi osteoporosis yang progresif. Berdasarkan
meta-analisis didapatkan bahwa risiko fraktur panggul pada

pengguna steroid meningkat 2,7-4,4 kali. Oleh sebab itu


terapi osteoporosis pada pengguna steroid dapat dimulai
bila T-score mencapail dan BMD serial harus dilakukan

3. Efek pada Resorpsi Tulang


In vitro, glukokortikoid menghambat diferensiasi osteoklas

dan resorpsi tulang pada kultur organ. Efek peningkatan


resorpsi tulang pada pemberian glukokortikoid in vivo,
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder
akibat penghambatan absorpsi kalsium di usus oleh
glukokorlikoid.

4. Efek pada Hoimon Seks


Glukokortikoid menghambat sekresi gonadotropin oleh

hipofisis, estrogen oleh ovarium dan testosteron oleh


testes. Hal ini akan memperberat kehilangan massa tulang
pada pemberian steroid.

5. Absorpsi Kalsium
di Ginjal

di Usus dan Ekskresi Kalsium

Penggunaan glukokortikoid dosis farmakologik akan


mengganggu transport aktif transelular kalsium.
Mekanisme yang pasti tidak diketahui dan tidak

pada

berhubungan dengan vitamin D. Gangguan absorpsi


kalsium di usus dan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal

Efek glukokortikoid pada tulang trabekularjauh lebih

menurun secara bermakna pada pengguna glukokortikoid.


Ekskresi kalsium urin dan kadar hormon paratiroid (PTH)

tiap 6 bulan, bukan tiap 1-2 tahun seperti


osteoporosis primer.

besar daripada efeknya pada tulang kortikal, dan

akan meningkat dalam 5 hari setelah seseorang

kehilangan massa tulang yang tercepat sampai terjadi

menggunakan glukokortikoid. Gangguan transport ini akan


makin memburuk pada asupan Natrium yang tinggi dan
akan menurun dengan pembatasan asupan Natrium dan
pemberian diuretik tiazid.

fraktur pada umumnya terjadi pada vertebra, iga dan ujung


tulang panjang. Kehilangan massa tulang tercepat terjadi
pada tahun pertama penggunaan steroid yang dapat
mencapai2}o/o dalam I tahun.
Insidens yang pasti fraktur akibat osteoporosis pada
pengguna steroid tidak diketahui secara pasti. Selain itu,
penggunaan steroid dosis rendah termasuk inhalasi juga

6.

Efek pada Metabolisme Hormon Paratiroid dan

Vitamin

Kadar PTH dan 7,25 dihidroksivitamin D (1,25(OH),D)

266s

OSTEOPOROSIS

berhubungan dengan perubahan reseptor kalsium sel yang


mengubah transport kalsium. Glukokortrkoid meningkatkan

teratur untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan


koordinasi sistem neuromuskular serta kebugaran,
sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai
latihan yarg dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60

sensitifitas osteoblas terhadap PTH, meningkatkan


penghambatan aktifitas fosfatase alkali oleh PTH dan

menit/hari, bersepeda maupun berenang.


2. Jagaasupan kalsium 1000-1500 mgAari, baik melalui

didalam serum meningkat pada pengguna glukokofiikoid,

walaupun kadar kalsium serum tinggi. Hal ini diduga

menghambat sintesis kolagen.


Efek 1,25(OH),D juga dihambat oleh glukokortikoid,
walaupun kadar 1,25(OH),D meningkat didalam darah. Hal
ini diduga akibat perubahan respons membran sel dan
perubahan reseptor. Ekspresi osteokalsin oleh osteoklas

yang dirangsang oleh 1,25(OH),D, juga dihambat oleh


glukokofiikoid.

([-

) dan

lL-6 mempunyai efek peningkatan

resprsi tulang dan menghambat formasi tulang.


Glukokortikoid akan menghambat produksi IL-1 dan IL-6
oleh limfosit-T. Pada penderita Artritis Reumatoid,
pemberian glukokortikoid akan menurunkan aktifitas
peradangan sehingga penurunan massa tulang juga
dihambat. Walaupun demikian, para ahli masih berbeda
pendapat, apakah hal ini merupakan efek glukokofiikoid
pada tulang atau ada faktor-faktor lainnya.
8.

5.
6.

7. Efek pada Sitokin


Interleukin-

3.
4.

Osteonekrosis

Osteonekrosis (nekrosis aseptik, nekrosis avaskular),


merupakan efek lain glukokorlikoid pada tulang. Bagian
tulang yang sering terserang adalah kaput femoris, kaput
humeri dan distal femur. Mekanismenya belum jelas, diduga
akibat emboli lemak dan peningkatan tekanan intraoseus.

makanan sehari-hari maupun suplementasi,


Hindan merokok dan minum alkohol,
Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi
testosteron pada laki-laki dan menopause awal pada
wanita.
Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat
menimbulkan osteoporosis.
Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada
penderita yang sudah pasti osteoporosis

7. Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan


penderita terjatuh, misalnya lantai yang licin, obat-obat

sedatif dan obat anti hipertensi yang dapat


menyebabkan hipotensi ortistatik,

pada orangatau pada


matahari
oralgyatg kurang terpajan sinar
Bila
SLE.
misalnya
penderita dengan fotosensitifitas,
25(OH)D
makakadat
D,
diduga ada defisiensi vitamin
serum harus diperiksa. Bila 25(OH)D serum menurun,
maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800 IU/
hari pada orang tua harus diberikan. Pada penderita
dengan gagal ginjal, suplementasi 1,25(OH),D harus

8. Hindari defisiensi vitamin D, terutama

diperlimbangkan.

9. Hindari

peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal

dengan membatasi asupanNatrium sampai 3 gram/hari

untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus


ginjal. Bila ekskresi kalsium urin > 300 mg/hari, berikan

diuretiktiazid dosis rendah (HCT 25 mglhari).


10. Pada penderita yang memerlukan

glukokortikoid dosis

PENATALAKSANAAN

tinggi dan jangka panjang, usahakan pemberian


glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan

Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara


menghambat kerja osteoklas (anti resorptifl.l datlatao

sesingkat mungkin,

meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang).

11. Pada

penderitaArtritis Reumatoid dan artritis inflamasi

pada

lainnya, sangat penting mengatasi aktifitas

umumnya bersifat anti resorptif. Yang termasuk golongan

penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan

obat anti resorptif adalah estrogen, anti estrogen,


bisfosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk
stimulator tulang adalah Na-fluorida, PTH dan lain

inflamatifyang aktif.

Walaupun demikian, saat

ini obat yang beredar

penurunan densitas massa tulang akibat artrituis

sebagainya. Kalsium dan vitamin D tidak mempunyai efek

Latihan dan Program Rehabilitasi

anti resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan


untuk optimalisasi mineralisasi osteoid setelah proses

Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi


dengan latihan Yang
bih lincah, tangkas dan

formasi oleh osteoblas. Kekurangan kalsium akan

menyebabkan peningkatan produksi PTH


(hiperparatiroidisme sekunder) yang dapat menyebabkan
pengobatan osteoporosis menj adi tidak efektif.

Edukasi dan Pencegahan

l.

Anjurkan penderita untuk melakukan aktivitas fisik yang

mudah terjatuh. Selain


erburukan osteoporosis
karena terdapat rangsangan biofi sikoelektrokemikal yang
akan meningkatkan remodeling tulang.
Pada penderita yalg belum mengalami osteoporosis'
maka sifat latihan adalah pembebanan terhadap tulang,
sedangkan pada penderiota yang sudah osteoporosis,

2666

REI,IMANOI-OGI

tumour n e cr o s is fac t or a (TNF a), interleukin- 1 ([dan interleukin-6 (IL-6). Sedangkan faktor lokal yang

maka latihan dimulai dengan latihantanpabeban, kemudian


ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan

CSF ),

beban yang adekuat.


Selain latihan, bila dibutuhkan maka dapat diberikan
alat bantu (ortosis), misalnya korset lumbal untuk penderita
yang mengalami fraktur korpus vertebra, tongkat atau alat

meninghkatkan kerja osteoblas adalah IL-4, dan


transforming growth factor p (TGFp.

l)

Secara pasti, tidak diketahui bagaimana mekanisme anti

bantu berjalan lainnya, terutama pada orang tua yang


terganggu keseimbangannya.
Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah mencegah
risiko terjatuh, misalnya menghindari lantai atau alas kaki
yang licin; pemakaian tongkat atau rel pegangan tarrgat,

resorptif estrogen terhadap tulang, walaupun demikian


diduga ada 2 mekanisme yaitu mekanisme langsung dan
tidak langsung.
Reseptor estrogen ditemukan baik pada osteoblas
normal maupun pada populasi osteoblast-like osteosar-

terutama di kamar mandi atau kakus, perbaikan penglihatan,

coma cell. Reseptor pada sel-sel tersebut relatif dalam


konsentrasi yang rendah bila dibandingkan dengan

misalnya memperbaiki penerangan, menggunakan kaca


mata dan lain sebagainya. Pada umulnnya fraktur pada
penderita osteoporosis disebabkan oleh terjatuh dan risiko
terjatuh yang paling sering justru terjadi didalam rumah,
oleh sebab itu tindakan pencegahan harus diperhatikan
dengan baik, dabn keluarga juga harus dilibatkan dengan
tindakan-tindakan pencegahan ini.

resptor pada sel target estrogen yang lain. Pada penelitian


in vitro, ternyata l Tpestradiol akan meningkatkan mRNA
pada sel osteoblas yang bertanggungjawab pada sintesis

rattai al prokolagen tipe I. Selain itu lTpestradiol juga


akan meningkatkan nRNA insulinJike growth factor-1
(IGF-l) dan PTH yang dirangsang oleh aktifitas adenilat
siklase.

Kelompok Bahan

Bahan
Makanan

Makanan
Susu dan produknya

Mg Ca/100

gr bahan

Susu sapi
Susu kambing
Susu manusia
Keju

116

129
33
90-1 1 80

Yoghurt
Teri kering

Sayuran

Kacang-kacangan dan
hasil olahannya

150

1200

769

Rebon
Teri segar
Sarden
kalengan (dg
tulang)
Daun pepaya
Bayam
Sawi
Brokoli
Kacang

353
267
220
110
347

panJang

250

500
354

Susu kedelai
(250 ml)
Tempe
Tahu
Serealia

129
124

213

Jali
Havermut

53

Wolf AD, Dixon AJ. Osteoporosis: A Clinical


Guide,2nd ed, Martin Dunitz, London 1998; Daftar
Komposisi Bahan Makanan, Direktorat Gizi Departemen
Sumber

Kesehatan Rl, Penerbit Bhratara, Jakarta 1996.

Estrogen
Proses resorpsi oleh osteojklas dan formasi oleh osteoblas

dipengaruhi olerh banyak faktor, seperti faktor humeral


(sitokin, prostaglandin, faktor pertumbuhan dll), dan faktor
sistemik (kalsitonin, estrogen, kortikosteroid, tiroksin dll).
Sitokin yang meningkatkan kerja osgteoklas adalah
gr anu

o cy t e-m a

cropha

c o I ony - s t

imul ating fact or s

(GM-CSF), macrophage colony-stimulating factors (M-

IL-l dan TNF merupakan sitokin yang akan


meningkatkan stimulasi osteoblas untuk perhrmbuhan dan
pematangan osteoklas dari prekursornya di sumsum
tulang. Selain itu, kedua sitokin tersebut juga akan
meningkatkan pelepasan mediator-mediator lain yang juga
berperan untuk pematangan osteoklas, seperti IL-6,
M-CSF dan GM-CSF. Pada penelitian, dapat dibuktikan
bahwa estradiol dapat menghambat pelepasan TNF oleh
monosit dan wanita yang telah mengalami ooforektomi
menunjukkan peningkatan konsentrasi IL-1 sampai IL-6.
Selain itu estrogen juga akan menghambat produksi IL-6
baik oleh osteoklas maupun sumsum tulang. Pada
penelitian biopsi tulang, didapatkan bahwa kadar mRNA

IL-la, Il-lfl TNFadan IL-6 pada wanita


yang menggunakan HRT ternyata lebih rendah
yang mengkoding

dibandi4gkan pada spesimen tanpa HRT. Penelitian lain


menunjukkan bahwa konsentrasi estrogen yang normal
akan menekan pelepasan IL-1 oleh monosit darah perifer.
Faktor lokal lain adalah prostaglandin, terutama PGE,
yangpada kadar rendah akan merangsang formasi tulang
sedangkan pada kadar tinggi akan merangsang resorpsi

tulang melalui osteoblas. Efek estrogen terhadap


prostaglandin tidak diketahui secara jelas, tetapi pada
kultur jaringan tulang yang diambil dari tikus yang
diooforektom i, terny ata estro gen dapat menghamb at
pelepasan prostaglandin.
Efek HRT terhadap produksi kalsitonin in vivo masih

kontroversial, sementara pada penelitian in vitro


didapatkan bahwa 17b-estradiol ternyata dapat
merangsang sel C-tiroid untuk meningkatkan produksi
kalsitonin.
Absorpsi estrogen sangat baik melalui kulit, mukosa
(misalnya vagina) dan saluran cema. Pemberian estradiol
transdermal akan mencapai kadar yang adekuat didalam
darah pada dosis l/20 dosis oral. Estrogen oral akan
mengalami metabolisme terutama di hati. Estrogen yang

2667

OSTEOFOROSIS

beredar didalam tubuh sebagian besar akanteikat dengan

sex hormone-binding globulin (SHBG) dan albumin,


hanya sebagian kecil yang tidak terikat, tapi justru fraksi
inilah yang aktif. Estrogen akan diekskresi lewat saluran
empedu, kemudian direabsorpsi kembali di usus halus
(sirkulasi enterohepatik). Pada fase ini, estrogen akan

dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif dan


diekskresikan lewat ginjal. Merokok ternyata dapat
menurunkan aktifitas estrogen secara bermakna. Efek

diferensiasi osteoklas dan kehilangan massa tulang. Pada


penelitian terhadap 251wanita pasca menopause, ternyata
raloksifen dapat menurunkan kadar kolesterol 5 - l0%o twrya
merangsang endometrium dan menurunkan petanda
resorpsi dan formasi tulang sama dengan estrogen. Gejala
klasik anti estrogen, seperti hot Jlushes, didapatkan pada
12-20% wanita yang mendapatkan raloksifen, sementara
mastalgia lebih banyak didapatkan pada wanita yang

samping estrogen meliputi nyeri payudara (mastalgia),

mendapat estrogen.
Aksi raloksifen diperantarai oleh ikatan raloksifen pada

retensi cairan, peningkatan berat badan, tromboembolisme


dan pada pemakaian jangka panjang dapat meningkatkan
risiko kanker payrdara.
Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan

reseptor estrogen, tetapi mengakibatkan ekspresi gen yang


diatur estrogen yang berbeda padajaringan yang berbeda.
Dosis yang direkomendasikan untuk mencegah osteoporosis adalah 60 mglhari.

dosis untuk anti resorptifnya adalah estrogen


terkonyugasi 0 ,625 mghai,l Tpestradiol otaT l-2 mglhai,
l7B-estradiol transdermal 50 mg/hari, 17B-estradiol

Pemberian raloksifen peroral akan diabsorpsi dengan


baik dan mengalami metabolisme di hati. Raloksifen akan
menyebabkan kecacatan janin, sehingga tidak boleh
diberikan apada wanita yang hamil atau berencana untuk

perkutan 1 ,5 mg,/hari dan l Tftestradiol subkutan 25-50 mg


swetiap 6 bulan.
Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah

kanker payudaran kanker endometrium, hiperplasi


endometrium, kehamilan, perdaran uterus disfungsional,
hipertensi yang sulit dikontrol, penyakit tromboembolik,

karsinoma ovarium dan penyakit hati yang berat.


Sedangkan kontraindikasi relatif termasuk infark miokard,

stroke, hiperlipidemia familial, riwayat kanker paytdara

dalam keluarga, obesitas, perokok, endometriosis,


melanoma malignum, migrain berat, diabetes melitus yang

tidak terkontrol dan penyakit ginjal.

Kombinasi estrogen dan progesteron akan


memrunkan risiko kanker endometrium dan harus diberikan
pada setiap wanita yang mendapatkan HRT, kecuali yang
telah menjalani histerektomi. Kombinasi ini dapat diberikan
secara kontinyus maupun siklik. Pemberian konyinyus
akan menghindari perdarahan bulanan.

Tibolon merupakan steroid sintetik yang dapat


mengkontrol gejala sindrom defisiensi estrogen, termasuk
osteoporosis, tetapi tidak menyebabkan perdarahan uterus.

hamil.

Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk
pengobatan osteoporosis, baik sebagai pengobatan
alternatif setelah terapi pengganti hormonal pada
osteoporosis pada wanita, maupun untuk pengobatan

osteoporosis pada laki-laki dan osteoporosis akibat


steroid.

Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri


dari 2 asam fosfonat yang diikat satu sama lain oleh atom
karbon.

oH Rl

tlt
ltl
OH R2

oH

O= P-C-P=O
OH

Gambar 6.Struktur umur bisfosfonat, R, dan R, dapat dimodiflkasi


untuk mengubah potensi dan profil efek samping

Raloksifen
Raloksifen merupakan anti estrogen yang mempunyai efek

seperti estrogen di tulang dan lipid, tetapi tidak


menyebabkan perangsangan endometrium dan payudara'

Golongan preparat ini disebut |uga selective estrogen


receptor modulators (SERM). Obat ini dibuat untuk
pengobatan osteoporosis dan FDA juga telah menyetujui
penggunaannya untuk pencegahan osteoporosis.
Dibandingkan dengan 1 Tpestradiol, raloksifen memiliki

efek konservasi tulang yang sama pada tikus yang


diovariektomi yang diperiksa dengan alat DXA.
Mekanisme kerja raloksifen terhadap tulang, sama
dengan estrogen, tidak sepenuhnya diketahui dengan
pasti, tetapi didugamelibatkan TGFB. yang dihasilkan oleh
osteoblas dan osteoklas dan berfungsi menghambat

Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh


osteoklas dengan cara berikatan pada permukaan tulang
dan menghambat kerja osteoklas dengan cara mengurangi
produksi proton dan enzim lisosomal dibawah osteoklas.
Selain itu, beberapa bisfosfonat juga dapat mempengaruhi

aktifasi prekursor osteoklas, diferensiasi prekursor


osteoklas menjadi osteoklas yang matang, kemotaksis,
perlekatan osteoklas pada permukaan tulang dan apoptosis
osteoklas.
Bisfosfonat juga memiliki efek tak langsung terhadap

osteoklas dengan cata merangsang osteoblas


menghasilkan substansi yang dapat menghambat
osteoklas dan menurunkan kadar stimulator osteoklas.

2668

REI.JMAIIOI.OGI

Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa bisfosfonat

Gangguan gastrointestinal atas juga sering didapatkan

dapat meningkatkan jumlah dan diferensiasi osteoblas.


Dengan mengurangi aktifitas osteoklas, maka pemberian
bisfosfonat akan memberikan keseimbangan yang positif
pada unit remodeling tulang.
Pemberian bisfosfonat oral akan diabsorpsi di usus
halus dan absorpsinya sangat buruk, kurang dari 5%o dari

dapat mengiritasi esofagus dan menyebabkan esofagitis


erosif. Oleh sebab itu alendronat harus diminum dengan
afu yang cukup banyak dan tidak boleh diberikan pada
penderita dengan gangguan esofagus, misalnya striktura

dosis yang diminum. Jumlah yang diabsorpsi juga


tergantung pada dosis yang diminum. Absorpsi jugaakan
terhambat bila bisfosfonat diberikan bersama-sama
dengan kalsium, kation divalen lainnya dan berbagai
minuman lain kecuali air. Bisfosfonat harus diminum

penderita-penderita yang tidak dapat tegak.


Reaksi fase akut, berupa demam dan limfopenia, sering
terjadi pada pemberian pamidronat parenteral, tetapi efek
ini akan berkurang pada pemberian berulang. Reaksi
idiosinkrasi berupa gagal ginjal akut, bronkokonstriksi,

dengan air, idealnya pada pagi hari pada waktu bangun


tidur dalam keadaan perut kosong. Setelah itu penderita
tidak diperkenankan makan apapun, minimal selama 30
menit
ta haru
tegak,

tidak
diberi

sus un
dapat
2 jams
karena
absorpsinya tidak terlalu dipengaruhi oleh makanan.
Sekitar 20-50% bisfosfonat yang diabsorpsi, akan
melekat pada permukaan tulang setelah 12-24 jam. S etelah
berikatan dengan tulang dan beraksi terhadap osteoklas,

bisfosfonat akan tetap berada didalam tulang selama


berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, tetapi tidak aktif
Iagi.

Bisfosfonat yang tidak melekat pada tulang, tidak akan

pada pemberian aminobisfosfonat, yaitu alendronat, karena

esofagus, akalasia, dismotilitas esofagus, dan juga pada

ketulian pada penderita otosklerosis, komplikasi pada mata,

peritonitis aseptik dan ruam pada kulit, dapattefiadipada


pemberian bisfosfonat. Sej auh ini, risedronat, ibandronat
dan zoledronat diketahui tidak bersifat toksik.

Beberapa Preparat Bisfosfonat

1. Etidronat
Untuk terapi osteoporosis, etidronat dapat diberikan
dengan dosis 400 mglhari selama 2 minggu, dilanjutkan
dengan suplementasi kalsium 500 mg/hari selama 76hari.
Siklus ini diulang tiap 3 bulan. Pemberian secara siklik
bertujuan untuk mengatasi gangguan mineralisasi akibat
pemberian etidronat jangka panjang terus menerus.

mengalami metabolisme didalam tubuh dan akan

2. Klodronat

diekskresikan dalam bentuk utuh melalui ginjal, sehingga


pemberiannya pada penderita gagal ginjal harus berhati-

Untuk osteoporosis, klodronat dapat diberikan dengan

hati.

dosis 400 mg/hari selama I bulan dilanjutkan dengan


suplementasi kalsium selama 2 bulan. Siklus ini dapat
diulang setiap 3 bulan. Sama halnya dengan etidronat,
pemberian klodronat jangka panjang terus menerus juga
akan mengganggu mineralisasi tulang. Untuk mengatasi

Efek Samping
Etidronat yang diberikan terus menerus oada dosis untuk
penyakit Paget, terenyata dapat mengganggu mineralisasi

penyakit Paget dan hiperkalsemia akibat keganasan,

tulang, dengan akibat akumulasi osteoid yang tidak

klodronat dapat diberikan dengan dosis 1500 mg secara

mengalami mineralisasi yang akan memberikan gambaran


klinik dan histologik seperti osteomalasia, iatu nyeri tulang
yang difus fanrisiko fraktur. Pemberian etidronat intermiten
akan menghilangkan efek terhadap gangguan mineralisasi
tulang.
Nausea dan vomitus juga sering didapat pada penderita

drip intravena selama

3.

yang mendapat etidronat dosis untuk penyakit paget,

Generasi I
Alkil pendek atau samping halida
Generasi ll
Grup aminoterminal
Generasi lll
Rantai samping siklik

jam atau 300 mg,&rari perdrip selama

Pamidronat

Pamidronat biasanya diberikan melalui infus intravena.


Untuk penyakit Paget, diberikan dengan dosis 60-90 mgl
kali selama 4-6 jam drip intravena, sedangkan untuk

tetapi jarang didapatkan pada dosis untuk osteoporosis.

Modifikasi kimia

5 hari berturut-turut.

Contoh

Rr

Etidronat
Klodronat
Tiludronat
Pamidronat
Alendronat
Risedronat
lbandronat
Zoledronat

OH

R2

Potensi anti.resorptif relatif

CHg

ct

CI

CH2-S-fenil.Dl

OH
OH
OH

CHz-CHzNHz

CHz-S-Piridin

OH

CHTCHTN(CH3)(pentil)

OH

CH2-imidazol

10
10
100

(cHr)3NH,

00-1 000

000-1 0.000
1 000-1 0.000
> 10 000
1

2669

OSTEOFOROSIS

hiperkalsemia akibat keganasan dapat diberikan sampai


90 mg/kali selama 6 jam drip intravena.

4. Alendronat
Alendronat merupakan aminobisfosfonat yang sangat
poten. Untuk terapi osteoporosis, dapat diberikan dengan
dosis 10 mg/hari setiap hari secara kontinyu, karena tidak
mengganggu mineralisasi tulang. Untuk penyakit Paget,
diberikan dosis 40 mg,/hari selama 6 bulan. Saat ini telah
dikembangkan pemberian alendronat 70 mg seminggu

sekali. Dosis

ini dikembangkan untuk meningkatkan

kepatuhan pasien. Efek samping gastrointestinal pada


dosis ini ternyata tidak berbeda bermakna dengan efek
samping pemberian setiap hari.

preparat kalsium 1000-1500 mg/hari. Pada penelitian


pemberian etidronat pada penderita yar'g mendapatkan
glukokortikoidjangka panjang yang diberikan dalam 100
hari setelah pemberian glukokortikoid, ternyata kelompok

yang mendapat etidronat selama

I tahun, tidak

menunjukkan perubahan BMD baik pada lumbal maupun


trokanter, dibandingkan dengan plasebo.
Pamidronat merupakan bisfosfonat generasi kedua
yang pemberiannya adalah intravena. Bisfosfonat ini
biasanya digunakan didalam klinik untuk mengobati
Penyakit Paget atau Hiperkalsemia akibat keganasan
dengan dosis 60 mg/kali per-drip sebulan sekali' Pada

pasien-pasien penyakit reumatik inflamatif yang


mendapatkan prednison dosis tinggi, pemberian
pamidronat 30 mglkali setiap 3 bulan selama 1 tahun
ternyata memberikan perbedaan BMD pada daerah lumbalo

5. Risedronat
Risedronat juga merupakan bisfosfonat generasi ketiga
yang poten. Untuk mengatasi penyakit Paget, diperlukan
dosis 30 mglTtari selama 2 bulan, sedangkan untuk terapi
osteoporosis diperlukan dosis 5 mglhari secara

kontinyu. Berbagai penelitian membuktikan bahwa


risedronat merupakan obat yang efektif untuk
mengatasi osteoporosis dan mengurangi risiko fraktur
pada wanita dengan osteoporosis pasca menopause dan

wanita dengan menopause artifisial akibat pengobatan karsinoma payudara. Sama halnya dengan
alendronat, untuk pengobatan osteoporosis, saat ini
tengah diteliti pemberian risedronat 35 mg seminggu

datdaerah trokanter 7,S%leblhb aik dibandingkan


yang mendapatkan suplementasi kalsium saja.
Alendronat 5 mg/hari dan risedronat 5 mg,&rari, juga
ternyata dapat melindungi tulang penderita-penderita yang
mendapatkan steroid dosis tinggi dan jangka panjang'
Dalam waktu I tahun, alendronat akan meningkatkan BMD
8,9%o

0,802, sedangkan kelompok yang tidak mendapat


alendronat, turun BMD-nya sampai 4,loh dalam waktu I
tahun. Pemberian risedronat 5 mg/hari sejak awal
pemberian steroid, juga memberikan perbedaan BMD yang
bermakna samp ai 3,8o/olebih baik dibandingkan kelompok
yang tidak mendapat risedronat.

sekali.

Bisfosfonat untuk Pengobatan Osteoporosis


Akibat Steroid

6. Asam Zoledronat

Pada penelitian selama 2 tahun terhadap 49 pasien yang

Asam zoledronat merupakan bisfosfonat terkuat yang saat


ini ada. Sediaan yangada adalah sediaan intravena yang
harus diberikan perdrip selama l5 menit untuk dosis 5 mg.
Untuk pengobatan osteoporosis, cukup diberikan dosis

mendapat glukokortikoid jangka panjang, ternyata


pemberian etidronat siklikal meningkatkan BMD lumbal
secara bermakna dibandingkan kontrol. Walaupun
demikian, BMD pada pinggul dan petanda biokimia tulang

5 mg setahun sekali, sedangkan untuk pengobatan


hiperkalsemia akibat keganasan dapat diberikan
4 mg per-drip setiap 3-4 minggu sekali tergantung

ternyata tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna'


Alendronat 10 mg/hari ternyata juga memberikan hasil

responsnya.

yang baik untuk


Dalam waktu 48

Penggunaan Bisfosfonat untuk Pencegahan


Osteoporosis Akibat Steroid

alendronat.
Risedronat2,5 mg'4rari dan 5 mg'rhari dalampengobatan

orosis akibat steroid'


MD Pada lumbal dan
leher femur meningkat pada kelompok alendronat dan
berbeda bermakana dibandingkan yang tidak mendapat

Bisfosfonat yang banyak diteliti untuk pencegahan dan

osteoporosis akibat steroid, juga secara bermakna

pengobatan osteoporosis akibat steroid adalah etidronat,


pamidronat, alendronat dan risedronat.
Etidronat adalah bisfosfonat generasi pertama yang
pertama kali digunakan untuk pengobatan osteoporosis'

meningkatkan BMD lumbal, leher femur dan trokanter


dibandingkan kelompok yang tidak mendapat risedronat'

Obat ini mempunyai kelemahan dapat mengganggu


mineralisasi tulang sehingga tidak dapat diberikan secara
kontinyus. Biasanya diberikan dengan dosis 400 mglhati

pengobatan selama 12 bulan.

selama 2 minggu, diselingi dengan waktu tanpa obat selama


l0 minggu. Pada waktu tanpa obat tersebut, dapat diberikan

Selain itu, risedronat 5 mg/hari juga lebih efektif


dibandingkan dengan risedronat 2,5 mglhari dalam
Dari berbagai penelitian dan meta-analisis terhadap

penelitian dengan bisfosfonat, ternyata bisfosfonat


mempunyai efek yang baik untuk pengobatan osteoporosis akibat steroid, terutama untuk meningkatkan BMD

2670

pada daerah lumbal. Selain itu penggunaan bisfosfonat

untuk terapi juga memberikan hasil yang lebih baik


dibandingkan untuk pencegahan.

Bisfosfonat pada Penyakit Tulang lainnya


Selain untuk osteoporosis, bisfosfonat juga dapat
digunakan untuk Penyakit Tulang lainnya, seperti penyakit
Paget, Osteolisis akibat keganasan, Hiperkalsemia nonskeletal, Kalsifikasi ektopik dan Osteogenesis Imperfekta.

Penyakit Paget merupakan gangguan remodeling


tulang fokal yang ditandai oleh resorpsi tulang yang eksesif
dilanjutkan dengan formasi tulang yang eksesif. Aktivitas

penyakit ini ditandai oleh peningkatan kadar fosfatase


alkali didalam darah. Bisfosfonat yang dapat digunakan
pada kelainan ini adalah etidronat 400 mglhari peroral
selama 6 bulan, klodronat 1600 mg,/hari peroral, selama 6
bulan atau diberikan perdrip 300 mg/hari, 5 hari berturutturut atau 1500 mg dosis tunggal, pamidronat 30 mg,&ari

perdrip, 3 hari berturut-turut atau 60-90 mg perdrip dosis

tlnggal, alendronat 40 mg/hari peroral selama 6 bulan dan


risedronat 30 mg4rari peroral selama 2 bulan. Keberhasilan
terapi ditandai dengan penurunan kadar fosfatase alkali
didalamserum.

Pada keganasan, sering terjadi hiperkalsemia.

REUMA*IOLOGI

turnover, meningkatkan densitas massa tulang,


meningkatkan ketebalan korteks tulang, menurunkan
korteks yang porotik dan menurunkan kejadian fraktur.

Kalsitonin
Kalsitonin (CT) adalah suatu peptida yang terdiri dari 32
asam amino, yang dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid dan
berfungsi menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas.
Aksi biologik ini digunakan didalam klinrk untuk mengatasi

peningkatan resorpsi tulang, misalnya pada penderita


osteoporosis, penyakit Paget dan hiperkalsemia akibat
keganasan.

Sekresi CT, secara akut diatur oleh kadar kalsium


didalam darah dan secara kronik dipengaruhi oleh umur
dan jenis kelamin. Kadar CT pada bayi, akan tinggi,
sedangkan pada orang tua, rendah kadamya. Pada wanita,
kadar CT ternyatajuga lebih rendah daripada laki-laki.
Saat ini, telah diketahui struktur kalsitonin dari l0
spesies yang berbeda, yang secara umum terdiri dari glisin
pada rersidu 28, amida prolin pada termninal karboksi dan
kesamaan pada 5 dari 9 asam amino pada terminal amino.

Sel C kelenjar tiroid merupakan sumber primer


kalsitonin pada mamalia, sedangkan pada hewan
submamalia, dihasilkan oleh kelenjar ultimobrankial. Selain

Hiperkalsemia akibat keganasan tidak selalu disertai metastasis, karena hiperkalsemia dapat disebabkan oleh

itu gen kalsitonin juga menghasilkan calcitonin gene


related producl (CGRP) yang merupakan peptida yang

peningkatan kadar PTHrP yang dihasilkan oleh tumor yang


bersangkutan. Terapi definitifkeadaan ini adalah dengan
pengangkatan tumor yang menjadi sumber pTHrp. Selain

terdiri dari 37 asam amino yang memiliki aktifitas biologik


berbeda dengan kalsitonin, yaitu sebagai vasodilator dan

itu hiperkalsemia harus diatasi dengan hidrasi yang


adekuat dan pemberian diuretik furosemid. Bila hal ini tidak

memberikan hasil yang adekuat, dapat diberikan


bisfosfonat, yaitu etidronat, klodronat atau pamidronat
dengan dosis sama dengan dosis untuk penyakit paget.

Kalsifikasi ektopik juga dapat diterapi dengan


bisfosfonat. Kalsif,rkasi ini biasanya terjadi pada jaringan
lunak dan dapat tef adi pada sklerodema, polimiositis dan
lain sebagainya. Mekanisme kalsifikasi ini tidak jelas,
diduga karena produksi berlebih protein morfogenetik
tulang. Bisfosfonat yang dapat digunakan untuk kelainan
ini hanya etidronat dengan dosis 20 mg/kgBB peroral,
maksimal selama 4 bulan. Etidronat dapat menghambat
mineralisasi normal maupun ektopik dengan cara mengikat
permukaan mineral. Urolitiasis juga dapat dihambat dengan

etidronat, tetapi dibutuhkan dosis yang tinggi yang akan


menghambat mineralisasi tulang, sehingga tidak dianjurkan
penggunaan etidronat pada urolitiasis.
Osteogenesis imperfekta adalah kelainan jaringan ikat

herediter yang disebabkan oleh gangguan kualitatif dan


kuantitatif kolagen tipe I sehingga tulang menjadi
osteopenia dan mudah fraktur. Bisfosfonat yang
nampaknya dapat digunakan untuk kelainan ini adalah
pamidronat dengan dosis 6,8 mglkgBB diberikan per-drip,

2 kali setahun. Pamidronat akan menurunkan bone

neurotransmiter dan tidak bereaksi dengan reseptor


kalsitonin. Jaringan lain yang juga menghasilkan kalsitonin
adalah sel-sel hipofisis dan sel-sel neuroendokrin yang
tersebar diberbagai jaringan, tetapi kalsitonin nontiroidal

ini tidak mempunyai peran yang penting pada kadar


kalsitonin di perifer. Kalsitonin merupakan petanda tumor
yang penting pada karsinoma tiroid meduler.
Efek biologik utama kalsitonin adalah sebagai
penghambat osteoklas. Dalam beberapa menit setelah
pemberian, efek tersebut sudah mulai bekerja sehingga
aktifitas resorpsi tulang terhenti. Selain itu, kalsitonin juga
mempunyai efek menghambat osteosit dan merangsang
osteoblas, tetapi efek ini masih kontroversial. Efek lain
yang penting adalah analgesik yang

kuat.

Banyak

hipotesis yang menerangkan mekanisme efek analgesik

kalsitonin, misalnya peningkatan kadar p-endorfin,


penghambatan sintesis PGE, perubahan fluks kalsiumpada
membran neuronal, terutarna di otak, mempengaruhi sistem

katekolaminergik, efek anti depresan maupun efek lokal


sendiri. Kalsitonin juga akan meningkatakan ekskresi
kalsium dan fosfat di ginjal, sehingga akan menimbulkan
hipokalsem,ia dan hipofosfatemia. Efek lain adalah efek
anti inflamasi, merangsang penyembuhan luka dan fraktur,
dan mengganggu toleransi glukosa.
Konsentrasi kalsium plasma merupakan regulator
sekresi kalsitonin yang penting. Bila kadar kalsium plasma

2671

OIITEOFOROIIIs

meningkat, maka sekresi kalsitonin juga akan meningkat,


sebaliknya bila kadar kalsium plasma menurun, sekresi
kalsitonin juga akan menurun. Walaupun demikian, bila
hiperkalsemia dan hipokalsemia berlangsung lama maka
efeknya terhadap sekresi kalsitonin nampaknya tidak
adekuat, mungkin terjadi kelelahan pada sel C tiroid untuk

terbukti efektif untuk pengobatan osteoporosis pada


berbagai penelitian multisenter. Fragmen yang tidak
mengandung asam amino l-32, tertyata kehilangan

mrerespons rangsangan tersebut.

trabekular, tetapi tidak ada perbaikan pada keseimbangan


kalsium dan densitas tulang kortikal.Kombinasi PTH dosis

Beberapa peptida gastrointestinal, terutama dati


kelompok gastrin-kolesistokinin merupakan sekretagogs
kalsitonin yang poten bila diberikan secara parenteral pada
dosis supraf,rsiologik.

Kalsitonin, merupakan obat yarg

telah

direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan penyakit-

penyakit yang miningkatakan resorpsi tulang dan


hiperkalsemia yang diakibatkannya, seperti Penyakit Paget,

Osteoporosis dan hiperkalsemia pada keganasan.


Pemberiannya secara intranasal, nampaknya akan
mempermudah penggunaan daripada preparat injeksi yang

pertama

kali diproduksi.Dosis yang dianjurkan untuk

pemberian intra nasal adalah 200 U perhari. Kadar puncak


didalam plasma akan tercapai dalam waktu 20-30 menit,
dan akan dimetabolisme dengan cepat di ginjal. Pada
sekitar separuh pasien yang mendapatkan kalsitonin lebih

dari 6 bulan, ternyata terbentuk antibodi yang akan


mengurangi efektifitas kalsitonin.

Strontium Ranelat
Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis yang
memiliki efek ganda, yaitu meningkatkan kerja osteoblas
dan menghambat kerja osteoklas. Akibatnya tulang
endosteal terbentuk dan volume trabelar meningkat.
Mekanisme kerja strontium ranelat belum jelas benar,
diduga efeknya berhubungan dengan perangsangan
Calsium sensing receptor (CaSR) pada permukaan selsel tulang. Dosis strontium ranelat adalah 2 gramlhari
yang dilarutkan didalam air dan diberikan pada malam
hari sebelum tidur atau 2 jam sebelum makanan dan 2 jam
setelah makan. Sama dengan obat osteoporosis yang lain,

pemberian strontium ranelat harus dikombinasi dengan

Ca dan vitamin D, tetapi pemberiannya tidak boleh


bersamaan dengan pemberian strontium ranelat. Efek
samping strontium ranelat adalah dispepsia. Pada
bebverapa kasus juga dilaporkan tromboemboli vena dan
reaksi obat yang disertai eosinofilia dan gejala sistemik
lainnya.

Hormon Paratiroid
Hormon Paratiroid berfungsi untuk mempertahankan kadar

kalsium didalam cairan ekstraseluler dengan cara


merangsang sintesis 1,25(OH)rD di ginjal, sehingga
absorpsi kalsium di usus meningkat. Selain itu juga
merangsang formasi tulang. Fragmen aminoterminal I -34
(hPTHt I -341) dari 84 asam amino polipeptida ini merupakan
komponen yang aktif yang telah dapat disintesis dan

efektifitasnya terhadap tulang. Penelitian pada I 6 penderita


osteoporosis yang diberikan 50-100 mg sehari subkutan

ternyata menunjukkan peningkatan densitas tulang


rendah (25-40 mg) dengan antiresorptif lain (HRT,
bisfosfonat atau kalsitonin) ternyata memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan pemberian antiresorptif saja'
Selain itu kombinasi ini juga akan menghindari kehilangan
massa tulang kortikal yang berlebihan akibat terapi PTH'

Reseptor PTH, ternyata tidak didapatkan pada


permukaan osteoklas, tetapi ditemukan dalam jumlahyang
sangat banyak pada sel preosteoblastik, sehingga diduga,
peningkatan rersorpsi osteoklas bersifat sejkunder melalui
berbagai faktor lokal. Penelitian in vitro mendapatkan
bahwa pemberian PTH terus menerus akan menghambat

sintesis kolagen oleh osteoblas, tetapi pemberian


intermiten akan meningkatkan efek osteoanabolik melalui
faktor lokal insulin-like growth factor 1 (IGF- 1 ). IGF juga
mampu menghambat apoptosis osteoblas, sehingga PTH
dapat meningkatkan jumlah osteoblas yang aktif melalui
peningkatan produksinya dan menghambat kematiannya'
Potensi anabolik PTH dapat terlihat pada pdenderita
gagal grnjal dengan hiperparatiroidisme sekunder, dimana
terlihat peningkatan massa tulang pada daerah end plate
korpus vertebra yang merupakan tanda khas radiologik
osteodistrofi rcnal (sandwich vertebra).
Walaupun efek anabolik PTH hanya terdapat pada
tulang trabekular, sedangkan pada tulang kortikal justru
rnenurunkan massa tulang , tetapi pada penelitian dengan
tikus, tidak pernah ditemukan tanda-tanda kehilangan
massa tulang kortikal selama pengobatan. Pada penderita

dengan hiperparatiroisme primer, PTH endogen yang


kontinyus ternyata akan menyebabkan osteoporosis
tulang kortikal yang berat.
Penelitian terhadap penggunaan PTH untuk terapi
osteoporosis, berkembang sangat lambat sejak 20 tahun
yang lalu; hal ini disebabkan oleh :

I.
2.
3.
4.
5.

Kesulitan memproduksi frakmen aktif PTH yang mumi


dalam jumlah yang cukuP,
Efekyangtidak baik terhadap tulang kortikal,
Pemberian harus secara parenteral setiap hari,
Tingginya ikatan hPTH dengan protein didalam tubuh
manusia, sehingga akan mengurangi efek terapetiknya,
Harga yang mahal dibandingkan obat yang lain'

Pada binatang percobaan (tiku$, PTH meningkatkan


risiko timbulnya osteosarkoma, oleh sebab itu PTH tidak
boleh diberikan pada pasien-pasien yang berisiko tinggi
terhadaop osteosarkoma, misalnya menderita penyakit
Paget, osteomalasia, metastasis tulang dan pasien-pasien
yang pernah menjalani radioterapi skeletal.

2672

Natrium fluorida
Natrium fluorida merupakan stimulator tulang yang sampai
sekarang belum disetujui oleh FDA, tetapi tetap digunakan
di beberapa negara. Saat ini tersedia 2 preparat, yaitu
natrium fluorida (It{aF) dalam bentuk tablet salut yang
bersifat lepas lambat, dan tablet monofluorofosfat (MFp).
Dua ratus mg disodium MFP setara dengan 36 mg NaF
atat16,4 mg ion fluorida. Walaupun dosis optimal masigh
diperdebatkan, penelitian pada umumnya menunjukkan
hasil yang baik pada dosis ion fluorida 20-30 mg perhari.
Sebagai perbandingan, dosis fluorida yang dibutuhkan
untuk mencegah karies dentis adalah 2-4 mgperhari.
Fluorida merupakan mitogenik terhadap osteoblas yang
aksinya membutuhkan keters ediaan faktor pertumbuhan.
Berbeda dengan efek anti resorptifyang sangat lambat,
pemberian fluorida akan meningkatkan massa tulang
spinal secara dramatik dan linier rata-ratagoZltahun selama
4 tahun. Walaupun demikian, ternyata pemberian fluorida
akan menyebabkan penurunan densitas pada tulang
kortikal sehingga meningkatkan risiko fraktur tulang perifer.
Risiko ini dapat dikurangi dengan pemberian fluorida
secara siklik (ada massa bebas fluorida) atau dengan
mengkombinasikannya dengan kalsium dan vitamin D.

Fluorida akan cepat diabsorpsi pada pemberian


peroral dan akan mencapai kadar puncak dalam waktu 30
menit. Absorpsi akan lebih baik bila diberikan dalam
keadaan perut kosong; adanya makanan didalam lambung
akan memrrunkan absorpsi sampai 30-50%. Ginjal akan
mengekskresikan fluorida sekitar 50Yo dan sisanya akan
disimpan di tulang. Ekskresi fluorida akan menurun bila
CCT menurun sampai 40-50 mVmenit.
Berdasarkan data yang terbatas, efek terapertik fluorida
akan tercapai bila kadar fluorida didalam serum mencapai
0,1 -0,25 mg/l (5- 1 0 mmolfl).

REUMITTq.OGI

diproduksi oleh osteoblas dan berperan pada proses


pematangan osteoklas. Dengan terikatnya RANKL, maka
receptor aclivator of nuclear factor kappa B (RANK)

pada permukaan prekursor osteoklas tidak akan


terangsang, sehingga maturasi dan diferensiasi osteoklas

tidak akan terjadi dan resorpsi tulang juga tidak akan


tery'adi.

Vitamin

Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium


di usus. Lebih dari 90% vitamin D disintesis didalam tubuh
dari prekursornya dibawah kulit oleh paparal sinar ultraviolet. Pada orang tua, kemampuan untuk aktifasi vitamin
D dibawah kulit berkurang, sehingga pada orang tua sering
te{adi defisiensi vitamin D. Kadar vitamin D di dalam darah
diukur dengan cara mengukurkadar25-OH vitamin D.
Pada penelitian didapatkan suplementasi 500 IU
kalsiferol dan 500 mg kalsium peroral selama 18 bulan
ternyata mempu menurunkan fraktur non-spinal sampai
50% (Dawson-Hughjes, 1997). Yitamin D diindikasikan
pada orang-orang tua yang tinggal di Panti Werda yang
kurang terpapar sinar matahari , tetapi tidak diindikasikan
pada populasi Asia yang banyak terpapar sinar matahari.

Kalsitriol
kalsitriol tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama
pengobatan osteoporosis pasca menopause. Kalsitriol
Saat ini

diindikasikan bila terdapat hipokalsemia yang tidak


menunjukkan perbaikan dengan pemberian kalsium peroral. Kalsitriol juga diindikasikan untuk mencegah
hiperparatiroidisme sekunder, baik akibat hipokalsemia
maupun akibat gagal ginjal terminal. Dosis kalsitriol untuk
pengobatan osteoporosis adalah 0,25 1t g, 1 -2 kali per-hari.

Dosis NaF dibawah 30-40 mglhari ternyata tidak


memberikan efek terapetik yangtyata,tetapi dosis diatas
75-80 mg/hari ak;n menyebabkan kelainan tulang. Fluorida
akan mengganggu mineralisasi tulang dengan mengganti
gugus hidroksil pada hidroksiapatit menjadi fluoroapatit
yang lebih tidak stabil tetapi resisten terhadap resorpsi.
Walaupun demikian tulang yang mengandung fluoroapatit
akan menunjukkan gambaran histologik yang abnormal,
mineralisasi yang rendah dan kurang kuat dibandingkan
tulang yang normal.
Efek samping lain selain peningkatan risiko fraktur
perifer adalah iritasi lambung dan artralgia yang mungkin
berhubungan dengan mikrofraktur atau remodeling tulang
yang terlalu cepat. Untuk mengatasi iritasi lambung, dapat
digunakan tablet salut NaF atau preparat MFp.

Denosumab
Denosumab merupakan antibodi monoklonal (IgGr)
manusia yang akan berikatan dengan receptor activalor
of nuclear factor kappa B ligand (RANKL) yang

Kalsium
Asupan kalsium pada pendyuduk Asia pada umumnya

lebih rendah dari kebutuhan kalsium

yar.g

direkomendasikan oleh Institute of Medicine, National


Academy of Science (1997), yaitu sebesar 1200 mg. Kalsium
sebagai monoterapi, ternyata tidak mencukup untuk
mencegah fraktur pada penderita osteoporosis. Preparat
kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat, karena
mengandung kalsium elemen 400 1t! grartdisusul Kalsium
fosfat yang mengabndung kalsium elemen 230 ltglgram,
kalsium sitrat yang mengandung kalsium elemen 211 ltgl
gram, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemen
130 lt"glgram dan kalsium glukonat yang mengandung
kalsium elemen 90 pglgram.

Fitoestrogen
Fitoestrogen adalah fitokimia yang memiliki aktifitas
estrogenik. Ada banyak senyawa fitoestrogen, tetapi yang
telah diteliti adalah isoflavon dan lignans. Isoflavon yang

2673

osrEoPoRosrlt

berefek estrogenik antara lain genistein, daidzein dan


gliklosidanya yang banyak ditemukan pada golongan

diperlukan tindakan bedah, sebaiknya segera dilakukan,

kacang-kacangan (Le gumino sae) seperti s oy bean dan r ed


clover. Sampai saat ini belum ada bukti dari cilincal trial
bahwa fitoestrogen dapat mencegah maupun mengobati
osteoporosis (Alekel, 2000; Potter I 998).

komplikasi fraktur yang lebih lanjut

sehingga dapat dihindari imobilisasi lama dan


Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi

yang stabil, sehingga mobilisasi penderita dapat


dilakukan sedini mungkin

Pembedahan
Pembedahan pada penderita osteoporosis dilakukan bila
terjadi fraktur, terutama fraktur panggul. Beberapa prinsip

yang harus diperhatikan pada terapi bedah penderita


osteoporosis adalah :
l. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila

Kelompok

Bisfosfonat

Kemasan

Nama generik
Alendronal

Tablet, 35 mg, 5 mg
Tablet 70 mg, 10 mg

Risedronat

Asupan kalsium tetap harus diperhatikan pada penderita


yang menjalani tindakan bedah, sehingga mineralisasi
kalus menjadi sempurna
Walaupun telah dilakukan tindakan bedah, pengobatan
medikamentosa osteoporo sis dengan bisfosfonat, atau
raloksifen, atau terapi pengganti hormonal, maupun
kalsitonin, tetap harus diberikan.

Osteoporosis : 35 mg, seminggu sekali atau 5 mg/hari


Osteoporosis : 70 mg, seminggu sekali atau 10 mg/hari
Osteoporosis : 150 mg sebulan sekali
Osteoporosis : 5 mg per-drip selama 15 menit, diberikan
setahun sekali
Hiperkalsemia akibat keganasan : 4 mg per-drip dalam
15 menit, dapat diulang dalam waktu 7 hari.
Metastasis tulang : 4 mg per-drip dalam 15 menit, tiap 3-

lbandronat

Tablet, 150 mg

Zoledronat

Vial,4 mg,
5mg

Pamidronat

Vial 15 mg/10 ml, 30 mg/

4 minggu sekali

Hiperkalsemia akibat keganasan, osteolisis akibat

10 m|,60 mg/Sml

keganasan: 60-90 mg, per-drip selama 4 jam.

Klodronat

Vial 300 mg/S ml

Hiperkalsemia akibat keganasan, osteolisis akibat


keganasan: 300 mg/hari per-drip selama 2 jam, 5 hari

Raloksifen

Tab, 60 mg

Osteoporosis

60 mg/hari, setiap hari

Kalsitonin

Kalsitonin

Amp 50 mg/ml, 100 mg/ml


Nasal spray 200 lU/dosis

Osteoporosis

200 lU/hari Nasal spray

Hormon seks

Estrogen terko-nyugasi
alamiah

Tab, 0,3 mg, 0,625

Sindrom defisiensi estrogen :0,3 1,25 mg/hari


Osteoporosis : 0,625 - 1,25 mg/hari dikombinasi dengan

Medroksiprogesteron
asetat (MPA)

Tab,2,5 mg, 10 mg

2,5

Testosteron
undecanoate

Tablet 40 mg

Hipogonadisme, osteoporosis akibat defisiensi


androgen: 120-160 mg/hari selama 2-3 minggu,

Kombinasi testosteron
propionat, tes{osteron
fenilpro-pionat,
testosteron dekanoat

Vial, 250 mg/ml

berturut-turut

Selectiveestro-gen

receptor
modulators
(SERMS)

1,25 mg

mg,

MPA2,5-5mg/hari.

5 mg/hari sebagai kombinasi dengan estrogen

dilanjutkan dosis pemeliharaan 40-120 mg/hari

Hipogonadisme, osteoporosis

akibat defi-

siensi

androgen : 1 ml lM, 3-4 minggu sekali

'. 2

gramlhari, dilarutkan dalam air,

Osteoporosis

ranelat

Bubuk,
2 gram/bungkus

Vitamin

Kalsitriol

Softcap, 0,25 pg

Osteoporosis, osteodistrofi renal, hiperparatitoidisme,


refractory rickets : 0,25 lLg, 1 - 2 kali perhari

Alfakalsidol

Kapsul, 0,25 pg, 1,0 pg

Kalsium karbonat

Bubuk
Tablet, 500 mg

Hipokalsemia, osteodistrofi renal : 1,0 pg/hari


Suplementasi kalsium : 500 mg, 2-3 kali per-hari
Suplementasi kalsium, 1 tablet, 2-3 kali/hari

Strontium

Kalsium

Kalsium hidrogen-fosfat

diminum pada malam hari, atau 2 jam sebelum makan

alau2jam setelah makan

2674

REI,JMIIilOI.OGI

Pada fraktur korpus vertebra, dapat dilakukan

pengobatan dan dinilai peningkatan densitasnya. Bila dalam


waktu I tahun tidak te{adi peningkatan maupun pemtrunan

densitas massa tulang, maka pengobatan sudah dianggap


berhasil, karena resorpsi tulang sudah dapat ditekan.
Selain mengulang pemeriksaan densitas massa tulang,

maka pemeriksaan petanda biokimia tulang juga dapat


digunakan untuk evaluasi pengobatan. penggunaan

Evaluasi Hasil Pengobatan


Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
mengulang pemeriksaan densitometri setelah l-2 tahtn

Presentasi

klinik
Fraktur karena trauma minimal

petanda biokimia tulang, dapat menilai hasil terapi lebih


cepat yaitu dalam waktu 3-4 bulan setelah pengobatan.

Yang dinilai adalah pemrrunan kadar berbagai petanda


resorpsi dan formasi tulang.

Pendekatan dioagnostik
Diagnosis osteoporosis tegak

Penatalaksanaan
Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologik

Dugaan fraktur

vertrbra
(nyeri punggung/ping-gang,
hiperkifosis, tinggi badan
turun,)
Pasien usia > 60 tahun

Radiografi spinal untuk memastikan


adanya fraktur vertebra

Densitometri

tulang

T-score <-2,5

Pembedahan atas indikasi


Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologik
Pembedahan atas indikasi
Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologik

Faktor risiko

osteoporo-sis

atau fraktur lainnya


Wanita pascamenopause

Densitometri

tulang

T-score >-1, <-2,s

Pembedahan atas indikasi


Edukasi dan pencegahan

T-score >-1

Latihan dan rehabilitasi


Edukasi dan pencegahan

T-score <-2,5

Latihan dan rehabilitasi


Edukasi dan pencegahan

Latihan dan rehabilitasi

Berat badan kurang


Asupan kalsium rendah

Risiko terjatuh

Terapi farmakologik
Pembedahan atas indikasi
T-score >-'1, <-2,5

Aktifitas fisik kurang

Riwayat

osteoporosis
atau fraktur osteoporotik
dalam keluarga

T-score >-1

Edukasi dan pencegahan


Latihan dan rehabilitasi

Edukasi dan pencegahan


Latihan dan rehabilitasi

Pengguna glukokorti-koid

jangka -panjang

Densitometri

T-score <-1

Edukasi dan pencegahan


Latihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologik

T-score >-1

Pembedahan atas indikasi


Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi

2675

osTEoFoRosrli

Asupan kalsium yang adekuat


Pada laki-laki muda dan anak laki-lakr pre-adolesen : 1000
mg/hari

Pada lakilaki > 60 tahun dan anak laki-laki adolesen : '1500


mg/hari

Asupan vitamin D yang adekuat, terutama pada penderita


yang tinggal di negara 4 musim
Latihan fisik yang teratur, terutama yang bersifat pembebanan
dan isometrik
Hindari merokok dan minum alkohol
Kenali defisiensi testosteron sedini mungkin dan berikan terapi
yang adekuat
Kenali faktor risiko osteoporosis dan lakukan tindakan
pencegahan
Kenali faktor risiko terjatuh dan lakukan tindakan pencegahan
Berikan terapi yang adekuat
Risedronat dan Alendronat merupakan terapi pilihan
hipogonadisme, dapat dipertimbangkan
pemberian testosteron

Bila ada

Pengobatan osteoporosis akibat steroid dimulai bila didapatkan :


Fraktur vertebral/non-vertebral non-traumatik dan/atau
Pada pemeriksaan BMD didapatkan T-score<-1
Penatalaksanaan umum
Gunakan steroid dengan dosis efektif serendah mungkin dan
sesingkat mungkin
Latihan yang bersifat pembebanan dan isometrik
Memelihara status gizi sebaik mungkin

Menghindari hiperparatiroidisme sekunder


Restriksi Na sampai 3 gr/hari untuk mencegah hiperkalsiuria
dan meningkatkan
absorpsi kalsium; bila perlu tambahkan tiazid
Menjaga asupan kalsium 1200-1500 mg/hari
Menjaga asupan vitamin D, terutama di negara 4 musim

Evaluasi densitas massa tulang dengan alat DEXA

bulan

sekali
Mulai pengobatan bila T-score < -1
Pengobatan osteoporosis

Bisfosfonat, yaitu risedronat atau alendronat merupakan


obat oilihan

REFERENSI
Isbagio H. Beberapa Aspek Perkembangan Terbaru di bidang
Reumatologi. Dalam: Sudoyo AW, Markum HMS et al (eds).
Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit
Dalam 1998. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
1998:137-54.
Favus J Murray et al (eds) Primer on The Metabolic Bone Disease
and Disorders of Mineral Metabolism. 6th ed. American Societry

for Bone and Mineral Research, Washington DC, 2008


Seeman E. Bone Quality. Advances in Osteoporotic Fracture
Management 2002;2(I):2-8
Watts NB. Bone Quality: Getting Closer to a Definition J Bone
Miner Res 2002;17 (7):1148-50.
Seeman E. Pathogenesis of bone fragility in women and men
Lancet 2002;359: I 84 1 -50
Kanis JA. Assessment of Fracture Risk. Who Should be Screened ?
In: Farus MJ et a1 (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases
and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. American Society

for Bone and Mineral Research, Washington DC,200f:316-23.


Kanis JA, Borgstrom F, De Laet C et al. Assessment of fiacture risk.
Osteoporosis Int 2005(16):581-9.
Marcus R. Feldman D, Nelson DA (eds). Osteoporosis. 3rd ed. Vol 2.
Elsevier Academic Press, London, 2008
Riggs B, Khosla S, Melton J. A Unitary model for involutional
osteoporosis: Estrogen deficiency causes both type I and type
II osteoporosis in postmenopausal women and contributes to
bone loss in aging men. J Bone Miner Res 1998;13:763-73.
Frost HM. On the Estrogen-Bone Relationshp and Postmenopausal
Bone Loss: A New Model. J Bone Miner Res 1999;14(9):1473-7.
Bonnick SL. Bone Densitometry in Clinical Practice: Application
and Interpretation, lst ed. Humana Press, Totowa, New Jersey,
1998.
Meunier PJ. Osteoporosis: Diagnosis and Management.

lst

ed. Mosby,

London,1998.
Wolf AD, Dixon AJ. Osteoporosis: A Clinical Guide. 2nd ed. Martin
Dunitz, London 1998.
Daftar Komposisi Bahan Makanan, Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan RI, Penerbit Bhratara, lakarta 1996.
Hauselmann HJ. Osteoporosis in men. Rheumatology in Europe
1 995 ;24(supp1 2):7 3 -6.
Sambrook PN. Glucocorlicoid Induced-Osteoporosis. Dalam : Favus
MJ (ed). Primer on the metabolic bone diseases and disorders of
mineral metabolism. 6th ed. American Society of Bone and

Mineral Research, Washington DC 2008:296-301


of Rheumatology Ad Hoc Committe on

American College

Glucocorticoid-Induced Osteoporosis. Recommendatiom lor the


Prevention and Treatment of Glucocorticoid-Induced Osteoporosis: 2001 Update. Arthritis Rheum 2001;44(7):1496-1503.
Lem WJ, Jacob JWG, Bijlsma JWJ. Corticosteroid indiced osteoporosis. Rheumatology in Europe 1995;24(suppl):76-9.
Spencer CP, Stevenson JC. Oestrogen and anti oestrogen for the
prevention and treatment of osteoporosis. In :Meunier PJ (ed).
Osteoporosis: Diagnosis and Management. Mosby. St Louis.

1998:111-22.
Wolf AD, Dixon ASJ. The menopause and hormonal replacement
therapy. In: Wolf AD, Dixon ASJ (eds) Osteoporosis: A Clinical
guide. 2nd ed. Martin Dunitz, London 7998: 195-214.
Watts NB. Pharmacology of agents to treat osteoporosis In: Favus
MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders
of Mineral Metabolism. 4th ed. Lippincott William & Wilkins.
Philadelphia 1999:27 8-83.
Russel RGG, Rogers MJ, Frith JC et al. The Pharmacology of
Bisphosphonates and New Insights into Their Mechanisms of
Action. J Bone Miner Res 1999;l4(suppl 2):53-65.
Grauer A, Bone H, McCloskey EV et al. Discussion:Newer
Bisphosphonates in the treatment of Paget's disease of Bone:
Where We are and Where we want to go. J Bone Miner Res
1 999; 14(suppi 2):7 4-8.
Harris ST, Watts NB, Genant HK. Effects of Risedronate treatment

on Vertebral and Nonvertebral fractures in women with


postmenopausal osteoporosis: A Randomized controlled trial.
Vertebral effrcacy with risedronate therapy (VERI) Study group.
JAMA 1 999;2 8 2(t 4):13 44- 52.
Mortensen L, Charles P, Bekker PJ et al. Risedronate increases bone

mass in an eariy postmenopausal population: Two years of


treatment plus one yer of follow up. J Clin Endocrinol Metab

r998;83(2):396-402.
Delmas PD, Balena R, Confravreux E et al. Bisphosphonate
Risedronate prevents bone loss in women with artificial
menopause due

to chemotherapy of breast cancer: A double

2676

blind, placebo- controlled study. J Clin Oncol 1997;15(3):955-62.


Reid IR, Brown JP, Burckhardt P et al. Intravenous zoledronic acid

in

Postmenopausal women with low bone mineral density. N


Eng J Med 2002;346(9):653-61.
Fleisch, Herbert. Bisphosphonates in Bone Disease: From the

Laboratory to tho Patient. Academic Press, SanDiego.

Ringe JD. Stimulators of bone formation for the treatment of


osteoporosis. In: Meunier PJ (ed). Osteoporosis: Diagnosis and
Management. Mosby. St Louis. 1998:131-48.
Harris Sl Wasnich R, Weiss ES. The effect of Risedronate Plus
Estrogen Compared with Estrogen Alone in Postmenopausal
Women. J Bone Minet Res 1999:5410.

REI.JMIII(M)GI

408
OSTEOMALASIA
Nyoman Keftia

PENDAHULUAN
Pertumbuhan tulang normal dan proses mineralisasi
membutuhkan vitamin D, kalsium dan fosfor yang
adekuat. Defisiensi yang lama dari berbagai hal di atas
mengakibatkan akumulasi matriks tulang yang tidak
dimineralisasikan. Penurunan mineralisasi pada pasien

muda menyebabkan riketsia karena kerusakan dari


pertumbuhan lempeng epifise. Kekuatan tulang menumn,

yang menyebabkan deformitas struktural pada tulang


penyangga berat badan. Pada orang tua dimana epifise
telah menutup dan hanya tulang yang terkena, gangguan
mineralisasi ini disebut osteomalasia. Osteoid secara
normal termineralisasi dalam 5-10 hari, namun padapasien
dengan osteomalasia interval bisa terjadi selama 3 bulan.

Penyebab riketsia/osteomalasia meliputi kurangnya


suplemen vitamin D atau fosfor, penggunaan susu
formula yang mengandung kurang dari 20 mg kalsium/dl,
nutrisi total parenteral dengan larutan tanpa kalsium dan
vitamin D yang adekuat, dan diet tinggi phytate yar,g
mengikat kalsium dalam usus. Hipovitaminosis D
disebabkan oleh defisiensi diet kronik; penurunan sintesis
disebabkan oleh paparan sinar matahari yang kurang;
menurunnya absorpsi vitamin D karena penyakit bilier,

kostokondral menonjol, suatu deformitas yang disebut


dengan rachitic rosaty. Tulang-tulang panjang menjadi
bengkok terutama di kaki serta kifosis di punggung dapat
menyebabka n gay a berj alan yang b ergoy ang- goy art'gl
waddling gait, bahkart bisa terjadi fraktur . TEngkorak
menunjukkan kepala frontal dan mendatarnya tulang
parietal. Radiograh pasien dengan riketsia menunjukkan
demineralisasi umum dengan penipisan permukaan kortikal
dari tulang-tulang panjang; pelebaran, penegangan dan
melengkungnya ujung distal tulang dan hilangnya zorra
kalsifrkasi kartilago sementara

Manifestasi klinis dari osteomalasia menyerupai


gangguan reumatik, meliputi nyeri tulang, mudah lelah,
kelemahan proksimal dan pelunakan periartikuler. Simptom
ini membaik dengan terapi untuk mengoreksi gangguan

mineralisasi. Beberapa pasien dengan osteomalasia


menunjukkan garis radiolusen kortikal tipis (sfress
fracture) yang tegak lurus dengan tulang dan seringkali

simetris . Pasien lain memiliki fraktur lama pada kosta yang


multipel dengan pembentukan kalus yang buruk.

Gambaran laboratorium dari osteomalasia akibat


defisiensi vitamin D adalah kadar kalsium serum rendah
atau normal, hipofosfatemia, meningkatny a kadat alkalin
fosfatase, kadar osteokalsin serum normal, meningkatnya
kadar hormon paratiroid serum (ika hipokalsemia ada) dan

pankreatitis, penyakit mukosa usus kecil proksimal,


gastrektomi atau resin pengikat asam empedu;

rendahnya kad ar 1,25 dihidroksi vitamin D ( 1,2 5 -(OH), D)


di dalam serum. Pada osteomalasia akibat defisiensi kalsium
ekskresi kalsium urin menurun, kadar hormon paratiroid
meningkat, kadar 1,25 (OH), D normal dan kadar fosfor

meningkatnya ekskresi vitamin D pada pasien dengan


sindrom nefrotik dan meningkatnya katabolisme vitamin D
akibat penggunaan obat seperti fenitoin, barbiturat dan
rifampisin.

serum bisa rendah atau normal. Osteomalasia akibat


hip ofos fatemia biasanya terj adi akibat hiperfo sfaturia,

dimana didapatkan kadar osteokalsin, hormon paratiroid


dan 25 hidroksi vitamin D (25-OH vitamin D) adalah
normal; kadar alkalin fosfatase biasanya meningkat, kadar
fosfor serum dan 1,25 (OH), vitamin D adalah rendah dan
ekskresi fosfor urin sangat tinggi. Pasien dengan asidosis

GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS


Pasien dengan riketsia mengalami hipotonia, kelemahan
otot dan pada kasus berat bisa terjadi tetani. Sambungan

2677

2678

tubular renal tipe II memiliki ganguan reabsorpsi bikarbonat

dan bermanifestasi asidosis hipokalemia hiperkloremia dengan hipofosfatemia yang disebabkan oleh
bertambahnya fosfaturia.
Rendahnya kadar 1,25 (OH), vitamin D pada beberapa
pasien menj adi konsekuensi dari abnormalitas metabolisme
tubular proksimal. Pasien dengan asidosis tubular renal
dan sindrom Fanconi juga mengekskresikan banyak
kalsium, magnesium, kalium, asam urat, glukosa, asam
amino dan sitrat. Osteomalasia akibat penggunaan
aluminium pada pasien dengan gagal ginjal kronik saat ini
sudah jarang terjadi karena pembatasan penggunaan
pengikat fosfat yang mengandung aluminium untuk
mengendalikan hiperfosfatemia dan perbaikan metode
untuk mempersiapkan larutan dialisat.

REUMAiNd.OGI

pasien dengan gagal ginjal membutuhkan terapi 1,25 (OH),


vitamin D. Pada pasien dengan malabsorbsi lemak, dosis

yang diperlukan lebih tinggi dan dosis ini harus


disesuaikan dengan respons terapi yang dinilai dari hasil
pemeriksaan kimiawi serum. Diperlukan terapi selama
beberapa bulan dalam penanganan pasien dengan
defisiensi vitamin D. Suplementasi kalsium harus diberikan.
Pasien harus di monitor hati-hati untuk toksisitas terapi
akibat pembeir 1,25 (OH)2 vitamin D, yang secara umum
bermanifestasi sebagai hiperkalsemia atau hiperkalsiuria.
Pada pasien dengan asidosis tubular renal, perbaikan

kadar bikarbonat serum menjadi normal dengan


menggunakan suplemen natrium bikarbonat dapat
mencegah resorpsi tulang dan hiperkalsiuria. Pasien dengan

osteomalasia yang disebabkan oleh hiperfosfaturia pada

sindrom Fanconi membutuhkan suplemen fosfat oral,


PENCEGAHAN DAN TERAPI
Bayi membutuhkan400 IUvitaminD per oral perhariuntuk
mencegah riketsia. Satu liter susu formula bayi standar
mengandung 400 IU vitamin D.8 Air susu ibu (ASI)

merupakan sumber vitamin D dan kalsium yang baik,


namun bisa tidak adekuat untuk mencegah osteoporosis
dan hiperparatiroid sekunder terutama jika produksi ASI
tidak cukup atau bayi menetek dengan jumlah yang tidak
cukup.e Dinyatakan bahwa kadar 2l-OHvitamin D untuk
kesehatan tulang adalah minimal 80 nmolil. Diet dengan
kandungan vitamin D 5 ug per hari (200IU) tidak adekuat

untuk mencegah osteoporosis dan hiperparatiroid


sekunder.

Vitamin D dapatjuga disintesis di kulit, namun sejumlah

faktor membatasi produksi vitamin D kutaneus seperti


peningkatan pigmentasi di kulit dan tabir surya. Akibat
proses menua maka terjadi penurunan kapasitas produksi
vitamin D di kulit. Pada lansia paparan sinar matahari ke

tangan, lengan bawah dan wajah selama 5-30 menit satu

hingga tiga kali seminggu direkomendasikan untuk


memenuhi kebutuhan vitamin D tubuh.

Pasien dengan riketsia nutrisional yang disebabkan


oleh defisiensi vitamin D bisa diterapi dengan 600.000 ru
vitamin D2 intramuskuler dan kalsium atau 2000-5000 IU
ergokalsiferol per hari selama 6-12 minggu, diikuti dengan
pemeliharaan dosis vitamin D. Perbaikan dalam kalsium,
fosfor, alkalin fosfatase dan 25 OH vitamin D serum dalam
4-l hari membedakan riketsia nutrisional dari penyakit
tulang metabolik genetik. Orang dewasa dengan kadar

vitamin D suboptimal dapat diterapi dengan 50.000 ru


ergokalsiferol sekali seminggu, dengan kadar dimonitor
dalam interval 2-3 bulan.

Ergokalsiferol (vitamin D2) kurang aktif dibandingkan

vitamin D3 (kolekalsiferol) dalam meningkatkan


kadar 25-OH vitamin D. Orang dengan penyakit hepar
semestinya terapi dengan 25 OH vitamin D, sedangkan

secara umum l-4 gperhari diberikan dalam 4-6 dosis. Pada


kondisi ini terapi dengan 1,25 (OH), vitamin D dengan dosis
0,5- 1,5 ug per hari juga tampak bermanfaat. Suplementasi

kalsium dibutuhkan untuk menghindari hipokalsemia


simptomatik namun tidak diberikan bersamaan dengan
suplemen fosfor. Jika penyakit tulang membaik, vitamin D
dapat dihentikan.

REFERENSI
Basha B, Rao D, Han Z, Parfrtt A.M., 2000 Osteomalacia due to
vitamin D depletion: a neglected consequence of intestinal
malabsorption. Am J Med ;108:296-300.
Chesney R.W., 1999 Fanconi syndrome and renal tubular acidosis. h:
Favus M, ed,. Primer on lhe metabolic bone diseases and
disorders of mineral melabolism,4'h ed. Chicago: Lippincott

Williams & Wilkins p. 340-3.


Elder G., 2002 Patophysiology and recent advanced in the
management of renal osteodystrophy. J Bone Miner Res ;
17:2094-105

Heaney R.P, Davies K.M, Chen T.C, 2003 Human serum


25-hydroxycholecalciferol response to extended oral dosing
with cholecalciferol. Am J Clin Nutr ; 77:204-70.
Holick M.F., i999 Vitamin D rz Shils M, Olson J. Shike M, Ross A,
eds. Modern nutrition in health and disease, 9th ed. Baltimore:
Williams & Wilkins, p.329-45.
Liberman U.A, Marx S., 1999 Vitamin D-dependent rickets. In:
Favus M, ed. Primer on the metabolic bone diseases and
disorders of mineral melabolism,4'h ed. Chicago: Lippincott
Williams & Wilkins. p:323-8.
Karaaslan Y, Haznedaroglu S, Ozturk M., 2000 Osteomalacia
associated with carbamazepine / valproate. Ann Pharmacother
:34:264-5.

Klein G.L., 1999 Metabolic bone

disease of total parenteral


nutrition. In:Favus MJ, ed. Primer on the melabolic bone
disease and disorders of mineral melabolism,4 th ed. Chicago:

Lippincott Wi1[iams & Wilkins. p. 319-23.


Mittal S.K, Dash S.C, Tiwari S.C, 1999 Bone histology in patients
with nephritic syndrome and normal renal function. Kidney Int ;
5

5: 1912 - 19.

Ozuah P., 2000 Planning the treatment of a patient who has

qITEOMAIAIIIA

rickets. Pediatr Rev ;21(8):,286.


Reginato A, Falasca G, Pappu R, 1999 Musculoskeletal manifestations of osteomalacia: report of 26 cases and literature review.
Arthritis Rheum; 28(5):287 -304

Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary


Reference Intakes., 7997 Dietary reference intake: calcium, p
hosphorus, magnesium, vitamin D and Jluoride. Washington,
DC: National Academy Press.
Shah B.R, Finberg L., 1994 Single day therapy for nutritional
vitamin D-deficiency rickets: a preferred method. J Pediatr
;125:487 -92.

L, 1998 Evidence that vitamin D3


increases serum 25-hydroxyvitamin D more efficiently than
does vitamin D2. Am J Clin Nutr;68:854-8.
Vieth R., 1999 Vitamin D supplementation, 2S-hydroxyvitamin D
concentrations and safety. Am J Clin Nutr ;69:842-56,
Trang H, Cole D, Rubin

2679

409
PENYAKIT PAGET
Nyoman Ketia

Serikat menunjukkan bahwa prevalensi penyakit

PENDAHULUAN

Paget menurut dalam20 tahun. Estimasi untuk prevalensi

Penyakit Paget merupakan gangguan di mana terdapat


peningkatan yang berlebihan dari turnover tulang pada

penyakit Paget pada pasien lebih dari 55 tahun

bagian yang terlokalisir dari skeleton. Kondisi ini

umur menetap. Berdasarkan studi ini, peneliti

menyebabkan struktur tulang menjadi abnormal yang


semakin lama semakin meluas sehingga mengakibatkan
deformitas, peningkatan risiko fraktur dan nyeri. Perubahan
pada bentuk tulang mengakibatkan perubahan mekanik
dan juga menyebabkan peningkatan tekanan yang bisa

mengestimasikan bahwa I 18.000 wanita dan 144.000 pria

menurun hingga 2%o, r,amun insidensi meningkat sesuai

di Enggris dan Wales mengalami penyakit Paget.

GAMBARAN KLINIS

menimbulkan nyeri pada sendi dan sindrom kompresi saraf.


Kompresi saraf yang terpenting adalah keterlibatan basis

Meskipun secara umum dapat diterima bahwa kebanyakan


pasien dengan penyakit Paget adalah asimtomatis, tidak
ada bukti nyata dari prevalensi simptom pada pasien
dengan penyakit Paget yang dideteksi secara radiologis.
Secara umum dapat diterima bahwa sekitar 5%o pasien
mengalami simptom, namun estimasinya bervariasi. Sulit
untuk menilai gejala klinis dari penyakit Paget pada
populasiumum.

kranii yang menyebabkan ketulian. Tulang dengan


penyakit Paget menunjukkan peningkatan aktivitas
metabolik dan aliran darah yang berperan terhadap
terjadinya rasa nyeri dan dapat juga meningkatkan
kemungkinan komplikasi neurologis sebagai bagian dari
vascular sleal syndrome.

EPIDEMIOLOGI
DIAGNOSIS
Penyakit Paget sering terjadi pada populasi keturunan
Eropa bagian utara. Studi radiologis di United Kingdom
yang dilakukan di tahun 1970 menyatakan bahwa

Klinis
Penyakit Paget bisa muncul dengan tanda dan simptom
yang jelas atau merupakan temuan insidental selama
pemeriksaan kondisi lain. Gambaran klinis tipikal terlihat

prevalensi pada waktu itu sebesar 5,4o% populasi setelah


berumur 55 tahun. Ada peningkatan tergantung umur
dimana prevalensi pada pasien lebih dari 85 tahun adalah
hampir lima kali di atas mereka yang berumur kurang dari

dalam Thbel 1.

60 tahun. Survei yang sama dilakukan pada waktu


yang sama di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
prevalensinya lebih rendah yaitu 2,3o/o dari populasi

.
.

attara umur 65 dan 74 tahun. Survei ini juga

.
.

menun-iukkan ketergantungan umur yang nyata. Studi

Iebih baru yang dilakukan dengan menggunakan

metodologi yang sama dan di kota yang sama diAmerika

2680

Nyeri: nyeri tulang, nyeri sendi

Deformitas: Tulang panjang membengkok, deformitas


tengkoraU kranium
Fraktur: komplit, fraktur fisura

Neurologis: Ketulian, palsy serabut saraf


lainnya, kompresi korda spinalis

Transformasineoplastik

kranial

2681

PENYAKITPAGET

Radiologis

dan derajat elevasi alkaline fosfatase pada penyakit Paget

Diagnosis penyakit Paget terutama adalah secara


radiologis. Sejumlah gambaran radiologis berbeda

yang tidak diterapi. Meskipun penyakit Paget terutama


merupakan akibat gangguan resorpsi tulang osteoklastik,
marker dari resorpsi tulang yang diperiksa kurang kuat

digambarkan oleh banyak peneliti. Meskipun sejumlah


besar diagnosis diferensial harus dipertimbangkan,
diagnosis radiologis biasanya bukan masalah. Jika dalam

foto polos tampak samar-samar, maka Computered

dengan sensitivitas yang agak rendah. Beberapa pedoman


yang bisa dipergunakan adalah :
. Alkaline fosfatase spesifik tulang kadarnya rendah

dibandingkan alkaline fosfatase total dan tidak


menunjukkan benefit utama dibandingkan alkali

Tomography (CT) scan bisa membantu, terutama jika teknik

resolusi tinggi digunakan untuk menunjukkan struktur

fosfatase total yang ada. Direkomendasikan bahwa


aktivitas alkaline fosfatase total plasma bisa digunakan

skeletal internal.

Foto polos kurang sensitif dibandingkan skintigrafi


pada diagnosis penyakit Paget. Tidak ada manfaat yang
didapatkan dari survei skeletal dari foto polos untuk menilai

luasnya keterlibatan skeletal sedangkan isotop scanning

bisa jadi lebih sensitif dan menggunakan sedikit


radiasi. Foto polos berharga dalam mendiagnosis
komplikasi sekunder penyakit Paget seperti artritis atau
fraktur. Ada beberapa hal yang bisa direkomendasikan
mengenai foto polos:
. Diagnosis penyakit Paget dapat ditegakkan dengan foto
polos dari minimal satu area tulang pada semua pasien

dengan kondisi ini.


Survei tulang menyeluruh tidak tepat untuk menegakkan

luasnya keterlibatan skeletal.


Area yang nyeri pada penyakit Paget harus diperiksa

dengan foto polos untuk menentukan apakah ada


penyebab yang mendasarinya.

sebagai marker standar dari turnover lulang pada pasien


dengan penyakit Paget.

Pada pasien dengan penyakit Paget, namun tanpa


peningkatan aktivitas alkaline fosfatase total dalam
plasma, maka direkomendasikan penggunaan alkaline
fosfatase spesifik tulang sebagai marker dari lurnover
tulang.
Pada pasien dengan penyakit hepar, direkomendasikan
penggunaan alkaline fosfatase spesifik tulang untuk
memonitor aktivitas penyakit Paget.

Histologis
Biopsi tulang jarang dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis penyakit Paget. Kadang, pemeriksaan ini
bermanfaat dalam membedakan metastase osteoblastik
atau osteosarkoma.

Isotope bone scanning dengan menggunakan 99mklabel ed bisphosphonat e tr ac er leblh sensitif dibandingkan
foto polos dalam mengidentifikasi lesi pagetik. Satu studi

menunjukkan bahwa isotope scanning seperti

ini

PENANGANAN

akan

mendeteksi hingga 50% lebih lesi dibandingkan yang terlihat

Simptomatik

pada foto polos. Teknik ini juga menguntungkan untuk


bisa memvisualisasikan seluruh tulang dan menilai luasnya

Simptom utama penyakit Paget adalah nyeri. Dalam


beberapa kasus nyeri ini tampaknya meningkat

penyakit. Seperti diketahui bahwa distribusi penyakit


berguna dalam merencanakan terapi (khususnya untuk
menentukan apakah basis kranii terlibat) maka

juga disebabkan oleh kompresi saraf sebagai akibat dari

berhubungan dengan penin gkatan turnover f.lJang, namun

isotope scintigraphy harus dipertimbangkan pada semua

deformitas tulang atau artritis yang sudah ada. Pada semua


pasien perlu dilakukan penilaian klinis yang hati-hati untuk

pasien untuk menilai luas dan aktivitas penyakit.

menentukan berbagai kemungkinan penyebab nyeri,

Direkomendasikan bahwa meskipun isotope scintigraphy


bukan merupakan metode pilihan untuk mendiagnosis

Paget adalah akibat dari peningkatan tumover tulang yang

penyakit Paget, semua pasien dengan penyakit Paget harus


menjalani scintigraphy untuk menilai luasnya keterlibatan
skeletal.

sehingga terapi yang tepat bisa diberikan. Nyeri tulang


merespons baik terhadap pemberian inhibitor osteoklas,
dimana nyeri ini meningkat untuk kompresi saraf namun
tidak demiki at pada osteoartritis. Penyebab-penyebab

nyeri ini harus diterapi dengan obat standar, seperti

Biokimiawi
Penyakit Paget berkaitan dengan peningkatan turnover
tulang. Marker turnover t.tlang pada umumnya meningkat
pada penyakit aktif. Aktivitas alkaline fosfatase plasma
meningkat pada 85o/o pasien dengan penyakit Paget yang

tidak diterapi. Pada banyak pasien dengan aktivitas


alkaline fosfatase 'normal' penyakit ini monostotik atau
terbatas pada sedikit tulang. Ada hubungan kuat antara
luasnya aktivitas penyakit yang diukur dengan skintigrafi

analgesik sederhana, NSAID atau opioid analgesik secara

sendiri-sendiri atau dalam kombinasi. Banyak pasien

mendapatkan manfaat dari penambahan terapi


antidepresan trisiklik dosis rendah sebagai regimen
analgesik. Metode fisik pengendalian nyeri bisa juga
membantu. Ini meliputi akupunktuq stimulasi saraf listrik
transkutaneus, fi sioterapi dan hidroterapi. Banyak pasien

juga mendapat manfaat dari cara lain seperti pemakaian


alat bantu tongkat berjalan dan juga sepatu khusus.

2682

Penggantian sendi harus dipertimbangkan pada pasien


dengan osteoartritis lanjut yang simptomnya menetap
walau sudah diterapi. Pembedahan juga diperlukan untuk
sindrom kompresi sarafyang tidak respons dengan terapi
medis.

Spesifik
Terapi spesifik untuk penyakit Paget bertujuan untuk
/zi rnover abnormal tulang. Karena defek primer
tampakya pada osteoklas, kebanyakan terapi berlujuan

menurunkan

menurunkan resorpsi tulang osteoklas. Terapi berbeda telah


digunakan selama bertahun-tahun. Dengan ditemukannya
bisfosfonat maka peluang pengobatan penyakit Paget
secara labih baik mulai terbuka. Penggunaan obat-obatan
ini mungkin dibatasi hanya di pusat spesialis saja.
Perbandingan efektivitas terapi antar satu regimen dengan
regimen lainnya sulit diketahui sebab kurangnya penelitian

mengenai respons terapi. Yang banyak adalah laporanlaporan awal yang menggambarkan respons mengenai
turunnya persentase aktivitas alkaline fosfatase. Selain
bisfosfonat maka ada beberapa jenis terapi lain yang bisa
diberikan yang akan dibahas di bawah ini.

a.

Bisfosfonat

Bisfosfonat awalnya dikembangkan penggunaannya dalam

industri deterjen dimana agen ini bisa mencegah


pembentukan skala air jeruk dalam pipa. Namun dalam
sistem biologis struktur kimianya menyebabkan ikatan
dengan permukaan hydroxyapatite kristal dalam tulang,
khususnya di daerah yang mengalami resorpsi osteoklastik
aktif. Bisfosfonat bekerja dengan dua mekanisme dasar
ttama y ang b erb e da yaitu : b i s fo s fo r,at y ang meng andung
nitrogen seperti pamidronat, alendronat dan risedronat
menghambat enzim dari jalur mevalonat. Inhibisi jalur ini
oleh bisfosfonat menghambat fungsi resorptif dan memicu
apoptosis. Bisfosfonat yang tidak mengandung nitrogen
seperti etidronat, klodronat dan tiludronat mengganggu

jalur metabolik selular dan juga memicu kematian sel

REI.,IMII|IOI.OGI

fosfatase antara40o/o dar70o/o dan reduksi yang sama pada


ekskresi hydroxyproline urin. Meskipun kendali biokimia
lebih baik dengan dosis etidronatyang lebih tinggi, dosisdosis ini berkaitan dengan efek samping yang lebih banyak

termasuk peningkatan efek samping gastrointestinal.


Penggunaan dosis rendah etidronat berhubungan dengan
rendahnya angka efek samping gastrointestinal mendekati
kondisi yang sama dengan populasi umum. Meskipun regimen dosis rendah memberi manfaat klinis, namun dosis ini
berhubungan dengan angka kegagalanterapi biokimia yang
lebih tinggi dibandingkan regimen dosis tinggi. Terapi
dengan etidronat dosis rendah juga brhubungan dengan
reistensi jangka panjang terhadap terapi.

Untuk menghindari defek mineralisasi, kini


direkomendasikan bahwa etidronat dapat diberikan dalam
dosis 400 mglhai selama tidak lebih dari 6 bulan. Setelah

periode 6 bulan bebas terapi maka terapi ulang bisa


diberikan kembali.

Pamidronat. Pamidronat secara original diberikan per oral


dalam manajemen penyakit Paget. Namun tingginya
insidensi efek samping saluran cerna mengakibatkan
penggunaannya lebih banyak sebagai infus intravena.
Berbagai regimen terapi berbeda telah diteliti, namun kini
protokol yang direkomendasikan untuk diberikan tiga infus
60 mg dengan interval 2 minggu atau 6 infus dari 30 mg
dengan interval waktu yang sama. Terapi ini menyebabkan
reduksi antara 50oh dan 80% dalam aktivitas alkaline
fosfatase plasma, perbaikan rasa nyeri dan perbaikan dalam

radiologis dan tampilan skintigrafi. Meskipun pamidronat


secara umum dapat ditoleransi dengan baik, obat ini
berhubungan dengan kejadian reaksi febris setelah terapi
intravena. Tampaknya paling sering terjadi setelah infus
pertama. Beberapa pasien mengalami peningkatan nyeri
tulang setelah infus pamidronat.

Tiludronat.Tiludronat adalah bisfosfonat yang


mengandung sulfur yang tersedia untuk manajemen
penyakit Paget selama bertahun-tahun. Secara normal agen
ini diberikan selama 3 bulan 400 mg sebagai dosis oral

dengan apoptosis.
Semua bisfosfonat hanya sedikit diabsorpsi di traktus
gastrointestinal. Agen ini akan berkombinasi dengan
kalsium yang ada dalam lambung sehingga absorpsinya
terhambat. Jika bisfosfonat diberikan per oral maka perlu
diperhatikan agar ager. ini tidak diberikan bersamaan
dengan makan atau minum yang mengandung kalsium.
Setiap bisfosfonat yang tersedia di pasaran memiliki
instruksi berbeda dalam penggunaan yang membutuhkan

tunggal per hari. Studi-studi awal dengan tiludronate


menunjukkan 600/o reduksi dalam turnover tulang.
Selanjutnya studi doubl e-b I ind c ontro l/ed menunjukkan

kepatuhan.

dengan baik namun kadang menyebabkan diare.

Etidronat.Etidronat adalah bisfosfonat pertama yang


digunakan dalam manajemen penyakit Paget. Ketika

Risedronat. Risedronat adalah bisfosfonat yang

diberikan per oral dalam dosis antara 5 dar20 mg,&g per


hari, ada perbaikaa dalam marker biokimia penyakit Paget,
seperti ditunjukkan oleh penurunan aktivitas alkaline

bahwa marker tumover tulang lebih baik disupresi dengan


tiludronat dibandingkan plasebo atau etidronat. Studi-studi

ini

menyatakan bahwa terapi tiludronat berhubungan


dengan penurunan sebesar 40-72% aktivitas alkaline
fosfatase. Juga ada perbaikan dalam simptom nyeri pagetik

tulang pasien. Tiludronat biasanya dapat ditoleransi

mengandung nitrogen dimana atom nitrogen merupakan


bagian dari cincin piridinil. Studi binatang menunjukkan

bahwa risedronat memiliki 1000 kali kemampuan


dibandingkan dengan etidronat untuk menghambat

2683

PEIYYAKITPAGET

resorpsi tulang. Dalam manajemen penyakit Paget, agen

ini

diberikan sebagai dosis tunggal 30 mg per hari selama 2


bulan. Studi uncontrolled awal dari 162 pasien dengan
penyakit Paget menunjukkan bahwa dosis risedronate
berhubungan dengan penurunan aktivitas alkaline
sebesar
fosfatase
60-1 0o/o dan memperbaiki nyeri tulang dalam banyak pasien.
Hasil ini tergantung pada dosis risedronate yang diberikan.
Perbandingan doubl ebl ind randomized, dari risedronat

dengan etidronat menunjukkan bahwa kadar alkaline


fosfatase menjadi normal pada hampir 75oh pasien yang
mendapatkan risedronat, sedangkan hanya sekitar safu dari
7 pasien yang mendapatkan etidronate mencapai aktivitas
alkaline fosfatase normal.

Klodronat. Klodronat adalah generasi pertama bisfosfonat


yang diijinkan di United Kingdom untuk penggunaan
hiperkalsemia maligna. Sekitar 10 kali potensinya
dibandingkan dengan etidronat dalam menghambat
resorpsi tulang namun obat ini mampu menghindari risiko
inhibisi mineralisasi. Pada penyakit Paget, jika diberikan
per oral atau intra vena, agen ini mampu menurunkan
turnover tllang dan memperbaiki simptom pagetik

Alendronat. Alendronat adalah generasi ketiga dari


bisfosfonat. Untuk penyakit Paget dosis biasa adalah 40
mg,4rari selama 6 bulan. Pada penyakit Paget, jika diberikan
dengan infus atau per oral, alendronate berkaitan dengan

penunrnan turnover tulang secara bermakna, yang diikuti


dengan perbaikan nyeri tulang. Alendronat lebih poten
dalam mensupresi aktivitas penyakit Paget dibandingkan
dengan etidronat. Pemeriksaan radiografi menunjukkan

bahwa terapi alendronat mengakibatkan penghentian


progresi radiologis dari penyakit Paget.

bermakna antara berbagaijenis bisfosfonat dalam respons


terhadap nyeri tulang.

Yang bisa direkomendasikan dalam penggunaan


bisfosfonat untuk terapi penyakit Paget adalah.
. Terapi primer untuk penyakit Paget adalah inhibisi
turnov er tulang dengan menggunakan bisfosfonat.
. Karena bisfosfonat oral lain memiliki aktivitas lebih besar
dan lebih sedikit efek samping, maka etidronat tidak
direkomendasikan dalam manaj emen penyakit Paget.

b. Kalsitonin
Kalsitonin adalah peptida 32-asam amino yang disekresikan

oleh sel C tiroid. Aksi fisiologis utama tampaknya


mensupresi konsentrasi kalsium plasma dengan kombinasi
menurunkan resorpsi tulang dan meningkatkan hilangnya
kalsium urin. Kemaknaan fisiologis pada mamalia yang
hidup di darat tidak jelas, meskipun efek ini jelas pada
ikan. Kalsitonin menghambat resorpsi tulang dengan aksi
langsung terhadap osteoklas, yang dimediasi oleh reseptor
kalsitonin yang ditemukan dalam sel-sel tersebut. Sebelum
adanya bisfosfonat, kalsitonin adalah terapi pilihan untuk
manaj emen penyakit Paget. Studi-studi menunjukkan

bahwa agen ini mampu menghambat aktivitas tulang


pagetik.
Sebagai polipeptida, kalsitonin dengan cepat dirusak
dalam saluran gastrointestinal dan perlu diberikan secara

parenteral (intravena). Awalnya dilakukan pemberian


dengan menggunakan injeksi subkutan dan intramuskuler
namun kedua rute pemberian ini berhubungan dengan efek

samping bermakna meliputi flushing, nausea dan vomiAktivitasnya lebih lemah, durasi aksi yang lebih pendek

tus.

dan efek samping yang lebih banyak dibandingkan

Ibandronat. Ibandronat adalah bisfosfonat baru yang poten.


Studi awal menunjukkan bahwa injeksi tunggal 2 mg
ibandronate mampu mensupresi aktivitas penyakit Paget.

dengan bisfosfonat menyebabkan kalsitonin tidak


direkomendasikan sebagai lini pertama manajemen
penyakit Paget. Agen ini memegang peran pada pasien
jika bisfosfonat tidak dapat ditoleransi atau terbukti tidak

Pada pasien dimana dosis ini tidak cukup menekan aktivitas

efektif.

penyakit, aplikasi dosis yang lebih tinggi bisa jadi lebih


efektif.

Olpadronat. Olpadronat secara kimiawi sama dengan


pamidronat dengan atom nitrogen yang dikonversikan
ryrenjadi amino tersier dengan penambahan kelompok dua
metil. Studi awal di Eropa dan Amerika Selatan menyatakan

bahwa senyawa ini menguntungkan pada manajemen


penyakit Paget, namun studi skala besar masih menunggu
hasil.

Zoledronat.Zoledronat adalah bisfosfonat baru yang poten


yang sedang dikembangkan. Studi awal menyatakan bahwa
agen ini adalah agen poten untuk terapi penyakit Paget.
Beberapa studi mendapatkan bahwa etidronat kurang

efektif dibandingkan dengan bisfosfonat lainnya dalam


mensupresi marker biokimia dari aktivitas penyakit Paget.
Tidak ada studi yang mampu menunjukkan perbedaan

c. Plikamisin
Plikamisin (dahulunya mitramisin) adalah antibiotika
sitotoksika yang mampu menghambat aktivitas osteoklas.
Meskipun bahan ini mampu menurunkan turnover filang
dan nyeri tulang pada pasien dengan penyakit Paget, efek
ini dibatasi oleh toksisitas sistemik yang berat, terutama
toksisitas terhadap sumsum tulang dan hepar. Obat ini
tidak direkomendasikan penggunaannya di luar pusat
spesialis dan diberikan hanya dengan indikasi yang tepat
dan tanpa adanya kontraindikasi.

d. Agen Lain
Berbagai agen lain kadang digunakan untuk manajemen
penyakit Paget. Agen ini meliputi galium nitrat, glukagon,
kortikosteroid dan berbagai agen sitotoksik. Di antara

2684

REI.JMAIOI.OGI

semua obat ini tidak ada yang bisa direkomendasikan dalam


manajemen rutin penyakit Paget.

Pembedahan
Dalam manajemen penyakit Paget, pembedahan secara
umum dibatasi untuk manajemen fraktur, deformitas atau
artritis. Meskipun dinyatakan bahwa karena tulang pagetik
lebih vaskular maka ada peningkatan risiko perdarahan
selama pembedahan, namun ini tidak dilaporkan oleh
banyak peneliti. Tampaknya beralasan untuk memberikan
terapi antipagetik sebelum pembedahan, hal ini untuk
meyakinkan bahwa terapi penyakit dasar tidak bisa
menggantikan perlunya pembedahan. Pembedahan kadang

dilakukan untuk memperbaiki kondisi fraktur, deformitas


dan artritis.

REFERENSI
Altman, R,D., Bloch, C.A., Hochberg, M.C., and Murphy, WA.
Prevalence of pelvic Paget's disease of bone in the United States.

J Bone Miner Res

I 5 :46

-465:2000

L.,

Guanabens, N., Peris, P., Monegal. A , Bedini, J L ,


Deulofleu, R., et al . Discriminative value of biochemical mark-

Alyarez,

ers of bone tumover in assessing the activity ol Paget's disease.


J Bone Miner Res 10:458-465:1995
Altman, R.D. Long-term lollow up of therapy with intermittent
etidronate disodium in Paset's disease ofbone Am.l Med 79:587590:1 985.

M and Lindsay, R. Mithramycin in Paget's disease.


Lancet i'.1177 -1 118: 1973
Brown, J.P., Hosking, D.J , Ste-Marie,L , Johnston, C.C.Jr.
Ryan,W.G., et al. Risedronate, a highly eflective, short-term
oral treatment for Paget's disease: A dose-response sfidy. Calci/'

Aitken, J.

Tissue

Int

64:93 -99 :1999.

W , Maricic, M.J.,
et al. Single infusion ofzoledronate in Paget's disease
of bone: A placebo-controlled, dose -ranging study Bone 24
(Suppl 5): 81S-85S: 1999.
Canfield, R., Rosner, W., Skinner, J., McWhorter, J , Resnick, L.,
Feldman, F., et al. Diphosphonate therapy ol Paget;s disease of
bone. -/. Clin Endocrinol Metab 44:96-106:1977.
Buckler, H., Fraser, w., Hosking, D , /Ryan,
Singer,

Cantril,J.A., Buckler, H.M., and Anderson, D C. Low

dose

intravenous 3-amino-1-hydroxypropylidene-1,1-bisphoshonate
(APD) for the featment fo Paget's disease of bone. Ann Rheum

Dls 45:1012-1018: 1986


Barker, D. J., Clough, P W., Guyer, P.B., and Gardner, M.J. Paget's
disease of bone in 14 British town..Br Med J. l:1181-1183 1977.
Bell, N. H., Avery S., and Johnston, c. C. Jr. Effects of calcitonin if
Paget's disease and polyostotic fibrous dysplasia. J Clin
Endocrinol Metab 31:283-290: 1970.
Bidner, S. and Finnegan, M. Femoral fractures in Paget's disease.
J Orthop Trauma 3:317-322: 1989.
Cooper, C., Schafheutle, K., Dennison, E., Kellingray,S., Guyer, P,
and Barker, D. The epidemiology of Paget's disease in Britain: Is
the prevalence decreasing? J Bone Miner Res 14:192-197'.1999.

Delmas, P.D and Meunier, P.J.Drug therapy: The management of


Paget's disease disease of bone. N Engl J Med 336:558-566:
1997

L, Duckworth, T., Kanis, JA., Preston, C, Beard, D.J.,


Smith. T W., et a1 Biochemical and clinical responses to
dichloromethylene diphosphonate (C12MDP) In Paget's
disease of bone Arthritis Rheum 23:1185-1 192:1980.
Eastell, R.Biochemical markers of bone tumover in Paget's disease
of bone. Bone 24(slpp1.5): 49S-50S:1999.
Douglas, D

Grauer, a., Heichel, S., Knaus, J., dosch,E., and,Ztegler, R. Ibandronate


treatment in Paget's disease of bone Bone 24(suppl 5): 87-89:

t999
Gonzales, D C., and Mautalen, C.A.. Short{erm therapy with oral
olpadronate in active Paget's disease of bone -/ Bone Miner Res

l4:2042-2047

Gennari, C

1999.

, Chierichetti, S M., and Piolini, M.


of synthetic salmon and human calcitonin (letter).

Passeri, M

Side-eflfects

Lancer l:5q4-5q5: 1981.


Hamdy, R. Paget's disease oJ bone asse,gsment and Management.
London:Praeger: 198 l.
Kanis, J.A. Palhophysiology ond Treatment of Paget's disease of
bone 2'd Ed.London: Martin Dunitz: 10:1998
Khairi, M R , Robb, J A , Wellman, H.N., and Johnston, C.C. Jr.
Radiographs and scans in diagnosing symptomatic lesion of
Paget's disease ol bone (osteitis deformans) Geriatrics 29:4954: 1914.
Kanis, J.A. Pathophysiology and Treatment of paget's diseose o.f
bone. 2'd ed London: Martin Dunitz:l 10-138:1998
Kanis, J.A. Palhophysiology and Treatmenl of Pagetb disease of
bone. 2"d ed.London: Martin Dunitz:139-158:1998.
Kanis, J A Pathophysiology and Treatment oJ paget's disease of
bone. 2"d ed.London: Martin Dunitz:99:1998
Ludkowski, P, and Wilson-Macdonald, J. Total arthroplasty in Paget's
disease of the hip. Clln Orthop Rel Res 255:160-167: 1990
Louette, L., Lammens, J., and Fabry G The Illizarov exlemal fixator
lor treatment of defomities in Paget's disease. C/iu Orthop Rel
Res 323:298-303:1996.
Miller, P.D., Brown, J P, Siris, E.S., Hoseyni, M S , Axelrod, D.W.,
and Bekker, P.J.A. A randomized, double-blinde comparison of
risedronate and etidronate in the treatment of Paget's disease
of bone Paget's Risedronate/Etidronate Study Group. lnl -/

Med 106:513-520: 1999.


Miller, PD., Brown, J.P., Siris, E.S., Hoseyni, M.S., Axelrod, D.W.,
and Bekker, P.J.A A randomized, double-blinde comparison ol
risedronate and etidronate in the treatment of Paget's disease
of bone. Paget's Risedronate/Etidronate Study Grotp. Am J

Med 106:513-520: 1999


O'Doherty, D P., Bickerstaff, DR., McCloskey, E.V, Hamdy, N.A.,
Beneton, M.N., Harris., et al. Treatment of Paget's disease of
bone with aminohydroxybutylidene bisphosphonate. J Bone

Miner Res 5:483-491: 1990.


Reginster, J.Y, Colson, F., Morlock,

G, Combe, B., Ethgen, D., and


Geusens, P. Evaluation of the efficacy and safety of oral
tiludronate in Paget's disease of bone. A double-blind, multipledosage, placebo-controlled sttdy. Arthritis Rheum 3 5 :967 -97 4:
1992.
Selby, PL., David, W.J., Ralston., Stone, M.D., Guidelines on the
Management of Paget's Diseases of Bone. Bone: 3l: 10-19:
2002.
Sochart, D.H., and Porter, M.L. Chamley low-friction arthroplasty
for Paget's disease of the hip. J Arthroplasty 15:210-219: 2000.
Wellman, H.N., Schauwecker, D., Robb, J A., Khairi, M.R., and
Johnston, C.C Skeletal scintimaging and radiography in the
diagnosis and management of Paget's disease. C/ln Orthop Rel
Res l2'7:55-62: 1977.

4to
HIPERI(ALSEMIA DAN HIPOKALSEMIA
Bambang Setiyohadi

Konsentrasi kalsium serum, dalam keadaan normal berkisar


antara 8,5-10,5mgldl(2,1-2,5 mMol). Sekitar 50% kalsium

serum berada dalam keadaan terikat dengan protein.


terutama albumin, dan sebagian kecil berada dalam bentuk
garam kompleks. Sisanya, menrpakan ion kalsium yang
bebas yang metupakan bentuk kalsium yang aktif untuk
metabolisme.
Kadar kalsium total sentm, sangat dipengaruhi oleh
kadar albumin serum. Pada keadaan hipoalbuminemia,

berlebihan. Resorpsi tulang oleh osteoklas dipengaruhi


oleh berbagai faktor, misalnya Hormon Paratiroid (PTH),
PTH-related protein (PTHTP) dan 1,25-dihidroksi vitamin
D [1,25(OHrD]. Beberapa sitokin juga dapat meningkatkan
resorpsi tulang oleh osteoklas, seperli IL- 1u, IL-1P, TNF,
limfotoksin dam TGF-cr. Peningkatan absorpsi kalsium di
saluran cema sebagai penyebab hiperkalsemia biasanya
lebih jarang; penyebabnya adalah peningkatan kadar
vitamin D serum, baik akibat intoksikasi maupun pada

kadar kalsium serum total juga akan turun, sehingga


diperlukan perhitungan koreksi pada keadaan
hipoalbuminemia untuk memperkirakan kadar kalsium
total yang sesungguhnya. Cara yang sedarhana adalah
dengan menambahkan 0,8 mgldl kadar kalsium untuk
setiap 1 g/dl albumin bila konsentrasi albumin serum
< 4 mgldl. Misalnya didapatkan kadar kalsium total 10,5
mg/dl pada albumin serum 2 g/dl, maka kadar kalsium
serum setelah koreksi adalah 10,5 + (2x0,8) : 12,1 mgldl.
Perubahan pH darah juga akan mempengaruhi kadar
kalsium, tetapi bukan kalsium total, melainkan kadar ion

limfoma.

kalsium. Dalam keadaan asidosis kadar ion kalsium akan


meningkat, karena banyak kalsium yang dilepas oleh
albumin pengikatnya, sebaliknya pada keadaan alkalosis
kadar ion kalsium akan menurun.

Gambaran klinik hiperkalsemia biasanya tergantung pada


penyakit primernya. Biasanya gambaran klinik yang nyata
timbul bila kadar kalsium serum mencap ai 14 mgldl.

Kadar kalsium didalam serum dipengaruhi oleh


keseimbangan antara pergeseran kalsium ke cairan
ekstraselular dari saluran cema, tulang dan ginjal; serta

Pada umumnya, hiperkalsemia akan selalu diikuti


dengan hiperkalsiuria. Walaupun demikian, beberapa
keadaan yang menyebabkan gangguan ekskresi kalsium
lewat urin juga dapat menyebabkan hiperkalsemia, atan
memperberat hiperkalsemia yang sudah ada. Beberapa
faktor yang mengganggu reabsorpsi kalsium di tubulus
distal ginjal antara lain adalah PTH, PTHTP, ADH dan
dehidrasi.

Gambaran Klinik

Gangguan gastrointestinal, seperti mual dan


muntah merupakan gejala yang sering didapatkan. Pada
hiperkalsemia akibat hiperparatiroidisme primer, kadangkadang didapatkan ulkus peptikum dan pankreatitis.

pergeseran kalsium keluar dari cairan ekstraselular kedalam


tulang dan keluar melalui urin.

Kadang-kadang juga didapatkan poliuria akibat gangguan

mengkonsentrasikan urin di tubulus distal. Sehingga


rehidrasi yang adekuat sangat perlu untuk mencegah
dehidrasi yang berat.

HIPERKALSEMIA
Hiperkalsemia terjadi bila pemasukan kalsium kedalam
darah lebih besar daripada pengeluararlr,ya. Penyebab

Hiperkalsemia akan meningkatkan repolarisasi j antung


sehingga akan memperpendek interval QT. Pada pasien
yang mendapat terapi digitalis, keadaan hiperkalsemia

hiperkalsemia yang tersering adalah resorpsi tulang

harus dicegah karena akan meningkatkan sensitifitas

osteoklastik dan penyerapan kalsium di saluran cema yang

terhadap obat tersebut.

268s

2686

REIJMATOI.OGI

Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan hiperkalsemia tergantung pada kadar

48-72 jam kemudian. Plikamisin sangat toksik terhadap


sumsum tulang, hepar dan ginjal sehingga saat ini

kalsium darah dan ada tidaknya gejala klinik akibat

penggunanya telah digartikan oleh bisfosfonat yang lebih aman

hiperkalsemia.Pada kadar kalsium < 12 mgldl, biasanya


tidak diperlukan tindakan terapetik, kecuali bila ada gejala
klinik hiperkalsemia. Pada kadar kalsium I 2 - 1 4 m gl dl, terapi

Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang


dihasilkan oleh sel parafolikular C kelenjar tiroid dan
mempunyai efek menghambat kerja osteoklas dan

agresif harus diberikan bila terdapat gejala klinik

meningkatkan ekskresi kalsium oleh ginjal. Obat ini bekerja


sangat cepat dan dapat menurunkan kadar kalsium dalam
waktu 2-6 jam setelah pemberian. Dosisnyaadalah4-8llJl
kgBB yang diberikan secara intra-muskular atau subkutan
setiap 6-8 jam. Sayangnya efek hipokalsemiknya tidak dapat
dijaga terus walaupun pemberiannya dilanjutkan. Biasanya
kadar kalsium akan turun 2 mg/dl dan akan naik lagi setelah

hiperkalsemia. Pada kadar > l4m/dl,terapi harus diberikan


walaupun tidak ada gejala klinik. Selain itu upaya mengatasi
penyakit primernya juga harus diperhatikan
Hidrasi dengan NaCl 0,9% per-infus3-4liter dalam24
jam merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan
pada keadaan hiperkalsemia. Tindakan ini kadang-kadang
dapat menurunkan kadar kalsium serum sampai I -3 mg/dl.
Hidrasi dengan NaCl 0,9% akan meningkatkan ekskresi
kalsium dengan jalan meningkatkan filtrasi glomerulus dan
menurunkan reabsorbsi kalsium di tubulu proksimal dan
distal.
Setelah hidrasi tercapai, tetapi kadar kalsium serum
masih tinggi, dapat diberikan dosis kecll loop diuretics,
misalnya furosemid 20-40 mg atau asam etakrinat. Diuretik
tidak boleh diberikan sebelum keadaan hidrasi tercapai,

karena akan memperberat dehidrasi dan hiperkalsemia.

24 jam walaupun pemberian kalsitonin dilanjutkan.


Kombinasi kalsitonin dengan bisfosfonat akan memberikan
efek yang lebih cepat dan lebih besar dibandingkan dengan
pemakaiannya secara funggal.
Pada hiperkalsemia akibat intoksikasi vitamin D atau
akibat penyakit-penyakit granulomatosa dan keganasan
hematologik (limfoma dan mieloma multipel), glukokortikoid dapat dipertimbangkan pemberiannya. Biasanya
diberikan hidrokortison intravena 200-300 mg/hari selama
3-5 hari.

Loop diuretic.r akan bekerja dengan cara menghambat


reabsorpsi kalsium dan natrium di ansa Henle. Diuretik
tiazid merupakan kontra-indikasi dalam penatalaksanaan
hiperkalsemia karena akan menurunkan ekskresi kalsium
lewat ginjal.
Pada keadaan hiperkalsemia yang berat, kadang-kadang

diperlukan tindakan dialisis dengan menggunakan cairan


dialisat yanbg rendak kalsium atau bebas kalsium.
Setelah keadaan klinik memungkinkan, pasien harus
dimotivasi untuk mobilisasi segera untuk mencegah
keseimbangan kalsium yang negatif.
Beberapa obat juga dapat diberikan pada penatalaksanaan hiperkalsemia, tetapi hidrasi harus diberikan

terlebih dahulu sebelum memikirkan penggunaan obatobatan.

Pamidronat merupakan salah satu bisfosfonat yang


dapat diberikan unhrk mengatasi hiperkalsemia karena obat
ini akan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Obat

ini dapat diberikan

secara per-infus dengan dosis 60-90

mg dalam waktu 4-6 jam. Efek samping obat ini adalah


demam, mialgia dan kadang-kadang hipertensi. Selain itu
obat ini juga dapat mengakibatkan hipokalsemia, sehingga
selama pemberian harus diawasi dengan ketat.

Plikamisin (dahulu disebut mitramisin), merupakan


sitotoksik yang dapat menghambat sintesis RNA didalam
osteoklas sehingga akan menghambat resorpsi tulang.
Dosis obat ini adalah l5-25 mglkgBB, diberikan per-infus
dalam waktu 4-6 jam. Efek hipokalsemia akan mulai terlihat
setelah 12 jam pemberian dan mencapai puncaknya dalam
wakts 48-72 jam. Pada umumnya dosis tunggal plikamisin
sudah mencukupi untuk mencapai keadaan normokalsemia,

tetapi bila diperlukan, pemberian dapat diulang setelah

HI

PERPARATIROI DISM E PRIMER

Hiperparatiroidisme primer merupakan salah satu dari 2


penyebab tersering hiperkalsemia; penyebab yang lain
adalah keganasan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua
usia tetapi yang tersering adalah pada dekade ke-6 dan
wamta lebih sering 3 kali dibandingkan lakiJaki. Insidensnya
mencapai 1:500-1000. Bila timbul pada anak-anak harus

dipikirkan kemungkinan endokrinopati genetik seperti


neoplasia endokrin multipel tipe I dan II.
Hiperparatiroidisme primer, terj adi akibat peningkatan
sekresi hormon paratiroid (PTH) yang tersering disebabkan
oleh adenoma kelenjar paratiroid yang biasanya bersifat
jinak dan soliter, oleh sebab itu, dari 4 kelenjar paratiroid,
biasanya hanya I kelenjar yang terserang. Penyebab lain

yang jarang adalah hiperplasi pada keempat kelenjar


paratiroid dan yang sangatjarang adalah karsinoma pada
kelenjar paratiroid.

Gambaran KIinik dan Laboratorik


Pada umumnya, hipereparatiroidisme primer bersifat
asimtomatik. Gambaran klinik yang tersering akan tampak
pada tulang dan ginjal. Peningkatan produksi PTH akan
menimbulkan keadaan di tulang yang disebut osteitis
fibrosa cystica yang ditandai oleh resorpsi subperiosteal
pada falang distal, a salt and pepper appearance pada
tulang kepala, kista tulang dan tumor coklat pada tulangtulang panjang. Kelainan-kelainan pada tulang ini dapat
dilihat dengan membuat foto radiografi konvensional.

2687

HIPERKALSEMIA DAI{ HIPOI(ALSEMIA

Pada ginjal, hiperparatiroidisme primer akan ditandai

oleh nefrolitiasis, nefrokalsinosis, hiperkalsiuria dan


penurunan klirens kreatinin.

Kelainan lain yang dapat timbul pada hiperparatiroidisme primer adalah miopati, ulkus peptikum dan
pankreatitis keratopati pita, gout dan pseudogout dan
kalsifikasi koroner dan ventrikel serta katup jantung.
Secara laboratorik akan didapat gambaran hiperkalsemia dengan kadar PTH yang tidak tertekan, dapat
normal tinggi atau meningkat. Ekskresi kalsium urin akan
menurun sedangkan ekskresi fosfat urin akan meningkat.

Kadar 25(OH)D biasanya rendah sedangkan kadar


1,25(OH),D biasanya meningkat, tetapi peningkatan ini

Cushing akibat sekresi hormon pertumbuhan dan ACTH


yang berlebihan. Tumnor pankreas pada MEN I umumnya
dalam bentuk islet cell tumours yar.g sering meningkatkan
sekresi gastrin sehingga menimbulkan sindrom ZollingerEllison dan kadang-kadang juga menyebabkan hipersekresi
insulin sehingga menimbulkan hipoglikemia puasa.
MEN IlA, pertama kali ditemukan oleh Sipple pada tahut
1961, bersifat otosomal dominan dan ditandai oleh karsinoma

tiroid meduler (MTC), faeokromositoma bilateral dan


hiperplasia paratiroid. MTC merupakan kelainan yang
dominan pada MEN IIA dan sering mengakibatkan kematian

akibat metastasisnya. Sedangkan hiperparatiroidisme


merupakan kelainan yang jarang terdapat pada MEN IIA.

tidak mempunyai nilai diagnostik yang penting.

Penatalaksanaan
Hiperparatiroidisme primer akan sembuh bila kelenjar
paratiroid yang abnormal dibuang. Walaupun demikian,
keputusan tindakan bedah tidak mudah karena sebagian
besar bersifat asimtomatik.

Indikasi pembedahan pada hiperparatiroidisme primer


adalah

.
.
.
.
.
.

Sindrom tumor rahang-hiperparatiroidisme merupakan

kelainan yang pertama kali ditemukan oleh Jackson pada


tahun 1958, diturunkan secara otosomal dominan dan saat
ini sudah diketahui bahwa kelainannya terletak pada
kromosom lq2l-q3. Penyakit ini ditandai dengan
hiperkalsemia yang berat sejak anak-anak dengan adenoma
soliter paratiroid yang besar. Kelainan tulang pada sindrom

ini

sangat eksklusif hanya menyerang maksila dan

mandibula.

Kadar kalsium serum > I mg/dl di atas batas normal


tertinggi,
Didapatkan komplikasi hiperparatiroidisme primer,
seperti nefrolitiasis, osteotis fibrosa cystica,
Episode akut hiperparatiroidisme primer dengan
hiperkalsemia yang mengancam j iwa.
Hiperkalsiuria yang nyata (> 400 mglhari)
Densitometri tulang pada radius distal yang menurun
dengan nilai skor T < -2,
Umur di bawah 50 tahun.
Bila pasien tidak dapat dilakukan tindakan pembedahan,

maka beberapa tindakan medik dapat dilakukan. seperti

hidrasi yang adekuat, asupan kalsium yang cukup,


pemberian preparat fosfat, terapi estrogen pada wanita
pasca menopause, bisfosfonat dan mungkin dimasa yang
akan datang dapat diberikan obat-obat kalsimimetik.
Pemberian kalsium pada pasien hiperparatiroidisme

primer harus mencukupi, tidak boleh terlalu tinggi


maupoun terlalu rendah. Asupan kalsium yang terlalu
rendah akan merangsang sekresi PTH lebih lanjut.

Sindrom Hiperparatiroid Familial


Sekitar I 0% kasus hiperparatiroid primer, disebabkan oleh
kelainan genetik, seperi Neoplasia Endokrin Multipel (MEN.)

tipe I (sindrom Wermer), MEN tipe IIA (Sindrom Sipple)


dan Sindrom Rahang-Hiperparatiroidisme.
MEN I pertama kali ditemukan oleh Wermer pada tahun
1954, diturunkan secara otosomal dominan dan ditandai
oleh tumor paratiroid, hipofisis anterior dan pankreas.
Tumor hipofisis yang tersering adalah prolaktinoma dan
kadang-kadang menyebabkan akromegali dan Sindrom

Familial Hypocalciuric Hypercalcemra (FHH)


FHH merupakan kelainan otosomal dominan yang ditandai
oleh hiperkalsemia dan hipokalsiuria relatif. Kelainan ini
bersifat asimtomatik. Secara biokimia, kelainan ini ditandai
oleh peningkatan kadar kalsium serum, ekskresi kalsium
urin yang normal dan kadar PTH dan 1,25(OH)rD yang

juganormal.
P aratiroidektomi, biasany a hany a memb erikan efek
normokalsemik yang sementara, walaupun demikian, tetap
diindikasikan pada keadaan:
. Hiperparatiroidisme primer pada neonatus akibat dosis

.
.

ganda gen FHH,

Orang dewasa dengan pankreatitis berulang


Anak-anak atau orang dewasa dengan hiperkalsemia
menetap> 14mgldl.

HIPERPARATIROIDISME SEKUNDER DAN TERSIER


Secara fisiologik, hormon PTH berfungsi memobilisasi
kalsium dan fosfat dari tulang, meningkatkan reabsorpsi
kalsium di tubulus distal ginjal, menurunkan reabsorpsi
fosfat dan meningkatkan produksi 1,25(OH)rD di tubulus
proksimal ginjal. Sebaliknya kadar kalsium, fosfat dan

1,25(OH)rD akan mengatur sekresi PTH baik secara


langsung maupun tidak langsung. Kalsium mengatur
sekresi PTH melalui aktifasi reseptor kalsium (CaR) pada
permukaan paratiroid yang menghasilkan peningkatan
sekresi PTH pada keadaan hipokalsemia dan penurunan
produksi dan sekresi PTH pada peningkatan kalsium
intraselular. Perubahan kadar kalsium serum juga dapat

2688

REUIVIAIIOI.OGI

mengatur sintesis PTH pada tingkat selular yaitu pada


transkripsi pre-pro-PTH dan secara langsung mengatur
proliferasi sel kelenj ar paratiroid.
Berbeda dengan kalsium, walaupun 1,25(OH)rD dapat
meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat di usus, tetapi
tidak dapat secara langsung mengatur produksi PTH.
Secara tidak langsung, 1,25(OH)rD dapat menekan
transkripsi gen PTH dan perhrmbuhan sel melalui reseptor

Karena PTHrP juga dapat berikatan dengan reseptor PTH,


maka aksi biologiknya juga sama dengan PTH, yaitu akan

vitaminD(\rDR).
Hiperparatiroidisme sekunder, merupakan kelainan
yang didapat yang timbul akibat hipokalsemia yang lama
yang dapat terjadi pada gagal ginjal terminal, defisiensi
vitamin D maupun keadaan resisten terhadap
vitamin D. Keadaan ini ditandai oleh peningkatankadar
PTH yang tinggi sekali dengan kadar kalsium semm yang

itu, ada beberapa perbedaan aksi biologik PTHrP

normal atau rendah.


Keadaan hipokalsemia yang lama akan menyebabkan
perubahan pada kelenjar paratiroid menjadi otonom dan
berkembang menjadi keadaan seperlri hiperparatiroidisme
primer; keadaan ini disebut hiperparatiroidisme tersier.
Hiperparatiroidisme tersier harus dibedakan dengan

menyebabkan hiperkalsemia, hipofosfatemia dan


peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun
demikian, ada reseptor PTH yang tidak dapat diikat oleh
PTHTP, yaitu reseptor PTH-2. Demikian juga, ada pula
reseptor PTHrP yang tidak dapat berikatan dengan PTH
yaitu reseptor PTHrP yang terdapat di otak dan kulit. Selain
dibandingkan dengan PTH, yaitu PTH akan meningkatkan
reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal, sedangkan PTHrP
tidak, sehingga akan teg'adi hiperkalsiuria. Selain itu, PTIITP
juga tidak meningkatkan produksi 1,25(OH),D dan absorpsi

kalsium di ginjal. Di tulang, PTH akan meningkatkan


aktivitas osteoblas dan osteoklas, sedangkan PTHrP
hanya meningkatkan aktivitas osteoklas, sehingga resorpsi

tulang tidak diimbangi oleh formasi yang adekuat.


Beberapa tumor yang secara spesifik menghasilkan

PTHrP adalah karsinoma sel skuamosa, ginjal dan

tidak memberikan respons yang baik oleh regulator

payudara. Pada hiperkalsemia akibat keganasan, akan


didapatkan peningkatan kadar PTHrP dan hiperkalsemia,
sedangkan kadar PTH akan ditekan. Pada hiperparatiroidisme, kadar PTH akan meningkat, sedangkan PTHrP
tetap normal. Oleh sebab itu, kadarPTHIP dapat digunakan
sebagai parameter keberhasilan terapi dan pembedahan
keganasan yang bersangkutan.
Dalam keadaan normal, PTHrP yang beredar didalam
tubuh sangat rendah, dan nampaknya tidak berperan pada

fi

siologik. Perubahan-perubahan pada tinbgkat jaringan,


selular dan molekuler diduga berperan pada keadaan ini,

metabolisme kalsium. Walaupun demikian, PTHrP diduga


berperan pada proses fisiologik lokal dari sel-sel dan

seperti peningkatan jumlah sel paratiroid, perubahan

jaringan penghasilnya, misalnya jaringan fetal, rawan


sendi, jantung, ginjal, folikel rambut, plasenta dan epitel

hiperparatiroidfisme sekunder yang refrakter. Pada


hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter, sekresi PTH
tetap tak dapat ditekan walaupun kelainan metaboliknya
sudah diperbaiki. Baik pada hiperparatiroidisme tersier
maupun hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter,
kelenjar paratiroid berada dalam keadaan hiperfungsi yang

mekanisme pada reseptor kalsium di kelenjar paratiroid dan


perubahan fungsi VDR. Selain itu, hiperfosfatemi dan

resistensi organ target terhadap PTH juga dapat


menyebabkan hiperparatiroidisme persisten walaupun
telah diberikan terapi kalsium dan vitamin D.

IPERKALSEMIA PADA KEGANASAN

Hiperkalsemia Humoral pada Keganasan


(Humoral Hypercalcemia of Malignancy, Hhm)

permukaan. Pada payudara normal, PTHrP berperan pada

morfogenesis paludara.
Penatalaksanaan terhadap HHM secara umum meliputi
Mengurangi massa fumor,

.
.
.

Mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas


Meningkatkan klirens kalsium di ginjal

iperkalsemia dan Destruksi Tulang pada Keganasan


Pada HHM, hiperkalsemia tidak diikuti dengan destruksi
H

Istilah HHM digunakan untuk mendeskripsikan sindrom


klinik yang ditandai oleh hiperkalsemia yangdisebabkan
oleh sekresi faktor kalsemik oleh sel kanker. Saat ini istilah
HHM dibatasi untuk hiperkalsemia akibat peningkatan
produksi Parathyroid Hormon related Protein (PTHTP).
P ar athyro i d- horm o ne -r el at e d p r ot ein (PTHTP)
pertama kali diketahui sebagai penyebab hiperkalsemia
pada keganasan. Protein ini memiliki 8 dari 13 asam amino

tulang. Bila selain hiperkalsemia juga didapatkan destruksi


tulang, maka harus dipikirkan 3 kemungkinan, yaitu :

pertama yang sama dengan PTH, sehingga dapat

Tulang merupakan tempat ketiga tersering dari metastasis keganasan setelah hepar dan paru. Tulang yang paling

mengaktifkan reseptor PTH. Dibandingkan dengan PTH


yang hanya memiliki 84 asam amino, PTHrP yang terdiri
dari 3 isoform, memiliki jumlah asam amino yang lebih
banyak, masing-masing 139, 141 dan 174 asam amino.

.
.

Produksi berbagai sitokin yang meningkatkan ker.1a


osteoklas, misalnya pada mieloma multipel,
Peningkatan produksi 1,25(OH)rD, misalnya pada
beberapatipe limfoma,
Metastasis sel tumor ke tulang, biasanya pada fumorfumor padat.

sering dihinggapi metastasis adalah vertebra, femur


proksimal, pelvis, iga, sterrlum dan humerus proksimal.
Keganasan yang sering metastasis ke tulang adalah

2689

HIPERKALSEMIA DAN HIPOKALSEMIA

keganasan pada paru, payudara dan prostat. Ada

2 lipe

akan mengaktifkan osteoklas pada permukaan endosteal

yaitu tipe osteoklastik

yang berdekatan. Selain itu lingkungan mikro di tulang juga

(menghasilkan osteolisis) dan tipe osteoblastik.


Metastasis tulang osteolitik merupakan metastasis
tulang yang paling sering ditemukan. Kelainan ini akan

terjadi lingkaran setan yang terus menerus. IL-6 yang

metastasis pada tulang,

mengakibatkan nyeri tulang, fraktur patologis, kompresi


saraf bila menimbulkan obstruksi pada lubang tempat

keluarnya saraf, destruksi tulang, hiperkalsemia dan


hiperkalsiuria. Bila suatu keganasan sudah betmetastasis
ke fulang, maka terapi kuratif hampir tak ada gunanya,
kecuali terapi paliatif. Sel tumor bermetastasis ke tulang
setelah terlepas dari tumor primernya. Pelepasan ini
dipengaruhi oleh produksi enzimproteolitik oleh sel kanker
yang bersangkutan sehingga sel-sel tersebut terlepas satu
sama lain. Sel kanker yang terlepas akan masuk ke sirkulasi
dan menyebar ke organ vaskular termasuk sumsum tulang.
Di dalam sumsum tulang, sel kanker akan bermigrasi ke

permukaan endosteal. Migrasi sel kanker dari sistem


sirkulasi ke endosteal melalui beberapa tahap, yaitu (l)
perlekatan sel kanker pada membran basalis; (2) produksi
enzim proteolitik oleh sel kanker yang akan merobek
membran basalis sehingga sel kanker dapat masuk ke stroma

tulang; (3) produksi mediator yang akan mengaktifkan


osteoklas pada permukaan tulang. Kanker pal.udara yang
bermetastasis ke tulang akan menghasilkan PTHrP yang

akan merangsang produksi RANKL dan menghambat


produksi OPG oleh osteoblas sehingga terjadi maturasi
osteoklas dan mengaktifkan resorpsi tulang. Tulang yang
diresorpsi akan menghasilkan TGF-b yang kemudian
akan merangsang sel kanker untuk menghasilkan PTHrP
kembali, sehingga terjadi lingkaran setan yang terus
menerus.

Melastasis tulang osteoblastik akan menghasilkan


pertumbuhan tulang baru di tempat metastasis sehingga
area tersebut tampak lebih padat dibandingkan dengan

sekitarnya. Secara laboratorium, metastasis tipe


osteoblastik akan menimbulkan peningkatan kadar alkali

fosfatase (hiperfosfatasia) dan kadng-kadang diikuti


hipokalsemia.

Karsinoma prostat akan bermetastasis ke tulang


dengan tipe osteoblastik, dan akan menimbulkan
peningkatan kadar alkali fosfatase (hiperfosfatasia)
sedangkan karsinoma payudara akan menghasilkan
metastasis tulang tipe osteolitik dan osteoblastik. Tumor
karsinoid ganas yang berasal dari jaringan embrionik
foregut dan hindgut akan menghasilkan metastasis tulang

tipe osteoblastik, demikian pula penyakit Hodgkin,


sedangkan sebagian besar limfoma malignum akan
menghasilkan metastasis osteolitik.

Destruksi Tulang pada Mieloma Multipel. Terjadi akibat


peningkatan aktivitas osteoklas. Sel mieloma didalam
sumsum tulang akan menghasilkan berbagai sitokin, seperti

limfotoksin, IL-l,PTI\P, Hepatocyte Growth Factor (HGF)


dan Mctcrophage InJlammatory Protein- l a (MIP- 1 a), yang

akan meningkatkan pertumbuhan sel mieloma, sehingga


dihasilkan oleh osteoklas dan osteoblas bersifat mitogenik
dan menurunkan apoptosis sel mieloma. Selain itu, IGF-1
yang dihasilkan oleh sel stromal sumsum tulang juga akan
mencegah kematian sel mieloma. Walaupun terj adi destruksi
tulang, lebih dari separuh pasien mieloma multipel tidak
mengalami hiperkalsemia. Pada umunya hiperkalsemia pada

multipel mieloma disebabkan oleh gangguan fungsi ginjal


sehingga ekskresi kalsium lewat urin menurun. Selain itu,
kadar alkali fosfatase pada mieloma multipel juga seringkali

tidak meningkat, karena aktivitas osteoblas juga tidak


meningkat. Oleh sebab itu, pada keadaan ini, seingkali bone
c anning juga memberikan hasil negatif.

HIPERKALSEMIA DAN HIPERKALSIURIA PADA


IMOBILISASI
Hiperkalsiuria adalah adanya peningkatan ekskresi kalsium
urin 24 jam > 300 mg pada laki-laki dan > 250 mg pada
wanita.

Hiperkalsemia pada imobilisasi (Hypercalcemia of


Immobilization :HCI) pertama kali diperkenalkan oleh
Albright pada tahun

941 .

sindrom ini meliputi peningkatan

kadar kalsium serum, hiperkalsiuria, peningkatan


ekskresi hidroksi prolin urin, osteopeni, nefrolitiasis dan

gagal ginjal. Paling sering terjadi pada trauma tulang


punggung, polimielitis, strok atau pada pasien
yang mengalami imobilisasi karena dipasang traksi dan
lain-lain.

Dari suatu studi yang dilakukan Sato, diketahui bahwa

terdapat hubungan yang erat antara insidensi fraktur


pangkal paha (hip fractur) dengat pasca strok. Tetutama
pada wanita usia lanjut yang mengalami jatuh. Insidensi
fraktur pangkal paha ini sekitar 4- 1 5%o dat79%oteqadi pada
sisi yang mengalami kelumpuhan (hemiplegia). Penurunan
massa tulang rata-rata terjadi 11,3 minggu pasca strok.

Pada 484 minggu pasca strok, sisi hemiplegi akan


kehilangan massa tulang

2 1o%

sedangkan sisi normal 4,5o%.

Hasil pemeriksaan densitometri massa tulang


memperlihatkan bahwa densitas massa tulang sisi yang
tidak mengalami kelumpuhan pada pasien pasca strok
menanglami penurunan dibanding orang normal. Pada leher

femur terdapat perbedaan densitas massa tulang sisi


hemiplegi dengan nonhemiplegiyaifi 6,3o/o pada wanita
pasca strok mempunyai korelasi dengan luasnya lesi pada
otak (hemisferkorteks serebn). Kadar 25(OH)D padapasien
pasca strok juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan

masukan yang kurang dan pasien tidak terpapar dengan


sinar ultraviolet (pada perawatan di rumah, 75o/o pasien
tidak terpapar dengan matahari sedangkan yang dirawat
di rumah sakit 100%).

2690

RELJM/{1I)LGI

Kadar 25(OH)D merupakan pemeriksaan yang sensitif

untuk menentukan indeks kandungan vitamin D aktif.


Kadar normal 25(OH)D didalam serum > 20ng. Defisiensi
25(OH)D bila kadarnya < 1Ong dan insufisiensi bila
I 0-20ng. Pada pasien pasca stroke dengan hemiplegi dalam
studi ini ditemukan :
. Enam puluh empat persen pasien rawat jalan dan 82o/o
pasien rawat inap mengalami defisiensi vitamin D
. Tiga puluh satu persen pasien rawat jalan dan 16%o
rawat inap mengalami insufisiensi vitamin D

Di

Amerika, Inggris dan Jepang, pasien usia lanjut

dengan penyakit kronik yang jarang keluar rumah temyata


mengalami defi siensi vitamin D.

Pada beberapa kasus ditemukan peningkatan kadar


hormon paratiroid karena kompensasi terjadinya defisiensi

2s(olDD.
Sorva dan kawan-kawan melakukan penelitian pada
pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi. Studi
tersebut mendapatkan bahwa peningkatan resorpsi tulang
tidak disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder tetapi
terjadi peningkatan resorpsi primer. Pemberian vitamin D
tidak memperlihatkan efek yang diharapkan. Mobilisasi
segera ternyata dapat mengurangi efek dari imobilisasi ini.

Patogenesis Hiperkalsiuria pada lmobilisasi


Mekanisme pasti hiperkalsemia dan hiperkalsiuria pada
imobilisasi masih belum jelas. Tetapi peningkatan proses
resorpsi massa tulang melalui aktivasi osteoklas atau
penurunan proses formasi massa fulang. Secara histologi
pada biopsi tulang panggul ditemukan peningkatanjumlah
osteoklas dan mencapai puncaknya l6 minggu setelah
imobilisasi. Hal ini juga bersamaan dengan peningkatan
sekresi hidroksiprolin urin. Formasi tulang menurun
dengan bukti pengurangan osteosit dan mineralisasi tulang.
Imobilisasi menginduksi hiperkalsemi a seperti high
bone turn over pada anak dan orang tua. Hal ini dapat
diketahui dengan mengukur ion kalsium dan kalsium
nonionik. Peningkatan kalsium serum ini mempunyai
korelasi yang erat dengan indeks Barthel. Secara
meyakinkan ditemukan peningkatan kons entrasi pyrinoline

crosslinked carboxyterminal telopeptide (ICTP). ICTP


adalah suatu kolagen tipe I dan merupakan petanda

aktivasi resorpsi tulang oleh osteoklas. Adanya


ini akan menghambat sekresi hormon

hiperkalsemia

paratiroid. Jadi akan ditemukan kadar hormon paratiroid


rendah atau normal. terjadijuga defisiensi atau insufisiensi
vitamin D karena intake yang buruk, kurang mendapat
sinar matahari atau karena keduanya.
Aktivitas dan imobilisasi mempunyai pengaruh pada

tulang. Menurut hukum Wolfe's formasi dan resorpsi


tulang dipengaruhi secara langsung ol.eh stres lokal pada
tulang. Stres (tekanan) terutama pada tulang penyangga
tubuh dan regangan kontraksi otot. Terdapat 4 model yang
sering dipakai untuk melihat pengaruh imobilisasi pada

tulang yaitu istirahat total, lingkungan bebas gaya


gravitasi (ruang angkasa), paralisis, imobilisasi
sebagian seperti pada traksi. Semua keadaan ini terbukti
meningkatkan kehilangan massa tulang. Pada percobaan
binatang, kehilangan massa tulang mulai terjadi sekitar 30

jam setelah imobilisasi. Penurunan massa tulang ini


bervariasi yaitu mulai hari ketiga sampai hari ke 10 setelah

imobilisasi. Tulang penyangga tubuh paling sering


mengalami kehilangan massa tulang. Dalam beberapa
minggu akan terjadi kehilangan kalsium total tubuh 4%.
Pada minggu 30 -36 imobilisasi, vertebra akan kehilangan
massa tulang sekitar 7o/o dan kalkaneus sekitar
45%.
Kecepatan kehilangan massa tulang paling tinggi terjadi
pada minggu ke l6 imobilisasi. Massa tulang akan kembali
normal melalui mobilisasi secara cepat dan adekuat tetapi

25

struktur tulang yatg ada tidak sebaik sebelum masa


imobilisasi.
Respons tulang terhadap adanya tekanan / stres secara in
atas tipe mekanik, yaitu :
. Tekanan kompresi akan meningkatkan massa tulang dan
regangan akan meningkatkan resorpsi tulang. Jadi
osteosit dan osteoblas mempunyai kemampuan untuk
memberikan sinyal dalam formasi dan resorbsi tulang.

vivo dibedakan

. Di samping itu terdapat perubahan

growth factor

(IGF,TGFB, BMPs, FGF, PDGF) yang tersimpan dalam

tulang.
Potensial elektrik endogen akan menurun karena beban
mekanik yang berkurang selama imobilisasi. Hal ini akan
mengurangi growth factor. Kekurangan growth factor ini
akan mempengaruhi aktivitas osteoblas. Osteoblas akan
melepaskan IL-l dan TNFcr sehingga memacu aktivasi

osteoklas. Damien dan kawan-kawan melakukan studi


terhadap tikus yang dilakukan imobilisasi pada kedua
tungkai depan. Dari hasil pemeriksaan histomorfometri
didapatkan korelasi peningkatan IL-l dan TNFcr oleh
osteoblas dengan reseptor estrogen. Diduga imobilisasi
memberikan efek yang sama dengan defisiensi estrogen.
Diduga sinyal elektrik endogen ini memiliki carakerja seperti
estrogen dan memacu aktivitas-aktivitas formasi tulang.
Kehilangan beban mekanik ini menyebabkan elektrik
endogen akan menurun. Osteoblas melepaskan mediator
inflamasi memberikan sinyal ke osteoklas untuk memacu
resorpsi tulang.
Peningkatan resorpsi menyebabkan hiperkalsemia.

Hiperkalsemia akan menimbulkan efek umpan balik


terhadap hormon paratiroid sehingga kadar hormon
paratiroid berkurang. Kadar hormon paratiroid yang rendah

mengakibatkan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal


menumn sehingga terjadi hiperkalsiuria. Di samping itu
hormon kalsitonin akan meningkat untuk menghambat
resorpsi tulang yang berlebihan oleh osteoklas. Kalsitonin

sendiri diperkirakan mempunyai efek menghambat


timbulnya reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal. Hal ini
semuanya akan menimbulkan suatu keseimbangan negatif

2691

HIPERKALSEMIA DAN HIPIOI(ALSEMIA

dari nitrogen dengan manifestasi peningkatan ekskresi


kalsium urin dan feses.
Osteoporosis dapat terjadi setelah imobilisasi yang
lama seperti strok atau koma. Pada strok lebih banyak
mengenai bagian tubuh yang lumpuh. Pada eksperimen
binatang, tungkai yang di imobilisasi dengan cara
menggunakan glps akan menimbulkan osteoporosis lokal.

Sebaliknya, aktivitas lokal akan menambah massa


tulang seperti hipertrofi metatarsal pada penari balet atau
peningkatan massa tulang tangan yang dominan pada

HIPOKALSEMIA
Hipokalsemia adalah penumnan kadar kalsium semm
yatg dapat terjadi pada beberapa keadaan, seperti

hipoparatiroidisme, defisiensi vitamin D, gangguan


metabolisme vitamin D, hipomagnesemia dan gagal ginjal

akut atau kronik. Dengan melihat kadar hormon PTH,


hipokalsemia dapat dikelompokkan kedalam 2bagiary y aint

hipokalsemia dengan kadar PTH yang rendah

petenis. Dengan latihan yang teratur ternyata

(hipoparatiroidisme) dan hipokalsemia dengan kadar PTH


yang meningkat (hiperparatiroidisme sekunder).

meningkatkan massa tulang.


Dari kedua hal ini terlihat bahwa stres (tekanan) yang
diterima oleh tulang-tulang penyangga tubuh mempunyai
peranan dalam resorpsi maupun formasi tulang. Lebih
lanjut, hilangnya massa tulang karena imobilisasi dapat
dikembalikan melalui remobilisasi dengan latihan yang
progresif.
Hiperkalsemia jarang terjadi dan biasanya normal
kecuali pada imobilisasi berat seperti paraplegi. Hal akan
menurunkan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal sehingga
menimbulkan hiperkalsiuria. Hiperkalisuria pada imobilisasi

Secara klinik, gejala utama hipokalsemia adalah


peningkatan iritabilitas neuromuskuler yang dapat
kesemutan pada uj ung-uj ung j ari dan sekitar mulut. Dalam
keadaan lanjut akan didapatkan tanda Chvostek dan
Trousseau. Tanda Chvostek adalah twitching pada daerah
sekitar mulut bila dilakukan ketokan pada nen'us fasialis
di anterior telinga. Tanda Trousseau adalah spasme karpal
yang terjadi bila dilakukan bendungan lengan dengan
menggunakan manset tensimeter pada tekanan 20 mmHg
di atas tekanan sistolik selama 3 menit. Spasme karpal yang
klasik akan berupa fleksi pergelangan tangan, ekstensi

merupakan faktor predisposisi pembentukan batu

interlalang dan aduksi jari-jari.

ginjal.
Gallacher SJ dkk yang mendapatkan hiperkalsemia pada

Gejala hipokalsemia yang lain adalah kejang otot yang


mengenai pinggang, tungkai dan kaki. Pada keadaan yang
berat dapat timbul spasme karpopedal spontan (tetani),
laringospasme atau bronkospasme, sampai kejang-kejang

pasien yang mengalami imobilisasi dengan sepsis


mengajukan postulat bahwa sitokin seperti IL- 1 dan TNFo
memberikan kontribusi pada hiperkalsemia pada imobilisasi

ini. Interleukin

dan TNFu merupakan sitokin yang

menstimulasi resorpsi fulang.


David dan kawan-kawan mendapatkat92o% pasien usia

umum.

Hipokalsemia berat dapat memperpanjang interval


QT pada EKG yang reversibel setelah hipokalsemia
dikoreksi.

lanjut dengan ventilator di ruang perawatan intensif


mengalami peningkatan kadar N telopeptida urin.
Sebanyak 42%o kasus tersebut disertai oleh peningkatan

hormon paratiroid dengan defisiensi vitamin D, 9oh


mengalami penurunan kadar hormon paratiroid yang
berhubungan dengan imobilisasi serta 49o/o didapatkan
hormon paratiroid normai dan berhubungan defisiensi
vitamin D dan imobilisasi.
Kecepatan resorpsi akan menurun secara bertahap
sampai tercapainya suatu keseimbangan setelah

Electrochemical
response

l-2 tahun.

Pada saat ini biasanya terdapat kehilangan trabekular


tulang> 40o/o. Kehilangan massa tulang sangat cepat pada
tulang penyangga tubuh serta trabekular tulang. Secara
radiologi akan terlihat pada bulan ke 2 atat 3. lebih cepat

pada usia muda atau imobilisasi yang menyeluruh.


Bila dilakukan mobilisasi akan memperbaiki massa

tulang walaupun proses ini berjalan lambat dan


inkomplit.

Gambar 1.Efek mechanical strain terhadap.formasi dan resorpsi


tulang

Penatalaksanaan Hipokalsemia Akut

Pertumbuhan dan remodeling tulang bergantung pada

Penatalaksaan hipokalsemia akut ditentukan oleh derajat

faktor pertumbuhan lokal dan sistemik, tersedianya


material serta beban mekanis pada tulang. Densitas
dan kekuatan pada tulang berhubungan dengan
tekanan/stres lokal yang dikontrol melalui faktor

dan kecepatan timbulnya hipokalsemia. Hipokalsemia


ringan (Ca serum 7,5-8,5 mg/dl) yang asimtomatik, cukup
diterapi dengankalsium oral500-1000 mg tiap 6jam disertai
pengawasan yang ketat. Bila terdapat tetani atau kadar
kalsium semm < 7 ,5 mgldl, diperlukan pemberian kalsium

pertumbuhan lokal.

2692

REI.JMAIOI.OGI

intravena. Pemberian kalsium glukonat (90 mg kalsium


elementaVl0ml ampul) lebih disukai daripada kalsium sitrat
(272 mg kalsium elementaVl 0 ml ampul) karena tidak iritatif.
Mula-mula, dapat diberikan 1-2 ampul kalsium glukonat
dalam 50-100 ml dekstrosa 5o/o dan diberikan per-infus
5-10 menit. Dosis ini dapat diulang bila masih didapatkan
gejala hipokalsemia. Hipokalsemia yang berat dan persisten
dapat diberikan kalsium per-drip dalam jangka waktu yang
lebih lama, misalnya 15 mg/kgBB kalsium elemental diinfus
selama 4-6 jam. Secara praktis dapat dilakukan dengan

melarutkan 10 ampul kalsium glukonat dalam I liter


dekstrosa 5o/o dar' diinfus dengan kecepatan 50 ml/jam
(45 mg kalsium elemental/jam). Larutan yang lebih pekat
dari 200 mg kalsium elementaVl00 ml dekstrosa 5olo harus
dihindari karena akan bersifat iritatif terhadap vena maupun

jaringan disekitarnya bila terjadi ekstravasasi.


Pada hiperkalsemia berat dan persisten, juga harus
dipikirkan kemungkinan pemberian kombinasi kalsium
oral l-2 gramlhari dan 1,25(OH)2D 0,5-1,0 mgrlhari.
Pada keadaan hipomagnesemia, maka terapi terhadap

maka dapat ditambahkan diuretik tiazid. Bila kadar kalsium


serum sudah normal, sedangkan kadar fosfat serum tetap

di atas 6 mgldl, maka perlu diberikan antasid yang tidak

diabsorpsi untuk mengurangi hiperfosfatemia dan


mencegah kalsifikasi metastatik.

PSEU DOHIPOPARATIROIDISM E

Pseudohipoparatiroidisme (PHP) adalah keadaan klinik


yang secara biokimia ditandai oleh gambaran hipoparatiroidisme, yaitu hipokalsemia dan hiperfosfatemia, tetapi
sekresi PTH meningkat danjaringan target tidak berespons
terhadap aktivitas biologis PTH. Seringkali PHP disertai
dengan kelainan perkembangan yang disebut Albrightb
hereditaty osteodystrophy (AHO) yang terdiri dari tubuh
pendek, muka bundar, obesitas, brakidaktili dan osifikasi
subkutan. Untuk membedakan dengan hipoparatiroidisme,
dapat dilakukan tes Ellswor1h-Howard (lihat di atas).

hipomagnesemia juga harus dilakukan selain terapi


terhadap hipokalsemianya.

HIPOPARATIROIDISME
Hipoparatiroidisme adalah produksi hormon PTH yang
tidak mencukupi untuk mempertahankan kadar kalsium
ekstraselular dalam batas normal. Secara umum, penyebab
hipoparatiroidisme dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu:
. Kelenjar paratiroid yang tidak berkembang,
. Destruksikelenjarparatiroid,
. Penurunan fungsi kelenjar paratiroid,
. Aksi PTH yang terganggu.
Secara

klinis, hipoparatiroidisme akan menunjukkan

ala hipokals emi a p ada berb agai tin gkatan


tergantung pada derajat hipoparatiroidismenya dan
gej ala- gej

hipokalsemianya.
Secara biokimia, akan tampak gambaran hipokalsemia,
hiperfosfatemia, PTH yang rendah atau tidak terdeteksi,
dan kadar 1,25(OH)rD yang rendah. Untuk membedakan
dengan PTH yang resisten, dapat dilakukan tes EllsworthHoward, yaitu dengan pemberian PTH bioaktif dan akan
tampak peningkatan ekskresi cAMP urin dan fosfat urin.
Pada gambaran radiologik dan CT-scan kepala, akan
tampak kalsihkasi basal ganglia.
Penatalaksanaan hipoparatiroidisme bertujuan untuk
memperbaiki kadar kalsium dan fosfat serum senonnal
mungkin. Dalam hal ini dapat diberikan preparatkalsium
dan vitamin D. Pada umumnya kebutuhan kalsium elemental adalah 1 g/hari. Dengan membaiknya kadar kalsium
plasma, maka hiperkalsiuria akan bertambah karena efek
PTH di ginjal tidak ada. Bila hiperkalsiuria tetap terjadi dan
kadar kalsium plasma tidak dapat mencapai kadar 8 mg/dl,

HIPOMAGNESEMIA
Hipomagnesemia ternyata ditemukan lebih banyak dari
dugaan sebelumnya. Umumnya hipomagnesemia terjadi
akibat pembuangan yang berlebihan baik lewat saluran
cerna maupun ginjal. Pembuangan Mg lewat saluran cema,

biasanya disebabkan oleh vomitus, diare, sindrom


malabsorpsi dan reseksi usus. Sedangkan ekskresi Mg
lewat urin tergantung dari reabsorpsi di tubulus yang
bersifat proporsional dengan Natrium dan Kalsium.
Pembuangan Mg yang berlebihan lewat urin akan
dipengaruhi oleh terapi cairan terutama NaCl 0,9%,
kelebihan cairan dalam tubuh dan hiperaldosteronisme
primer. Hiperkalsemia dan hiperkalsiuria juga akan

di ginjal sehingga akan


meningkatkan ekskresi Mg dan hipomagnesemia. Penyebab
lain ekskresi Mg yang berlebihan adalah diuresisosmotik,
misalnya akibat steroid dan juga diabetes melitus.
menghambat reabsorpsi Mg

Secara klinis, hipomagnesemia ditandai oleh


hipereksitabilitas neuromuskuler, termasuk tetani dan
dapat ditandai oleh tanda Chvostek dan Trousseau. Pada
EKG akan didapatkan perpanjangan interval PR dan QT

danAritmia.
Secara laboratoris, akan didapatkan hipokalemia
karena hipomagnesemia akan menyebabkan kehilangan

Kintrasel dan gangguan konservasi K oleh ginjal.


Hipokalsemia juga merupakan gejala utama hipomagnesemia. Dalam keadaan normal perubahan
kadar Mg yang akut akan mempengaruhi sekresi PTH
sama dengan perubahan kadar kalsium. Penurunan
kadar Mg yang akut akan merangsang sekresi PTH,
sebaliknya hipermagnesemia akan menghambat sekresi
PTH. Walaupun demikian, hipomagnesemia kronik akan

2693

HIPERKALSEMIA DAN HIFOI(ALSEMIA

mengganggu sekresi PTH dan hal inilah nampaknyayang


menjadi penyebab hipokalsemia pada hipomagnesemia.

beberapa cm pada tempat masuknya arteri nutrisia ke dalam


tulang yang merupakan s/res s fracture akibat pulsasi arteri.

Selain itu, hipokalsemia akibat hipomagnesemia juga


menunjukkan resistensi pada ginjal dan tulang terhadap

Gambaran laboratorium bervariasi tergantung pada


penyebabnya. Pada umumnya didapatkan kadar kalsium
yang rendah atau normal rendah, kadar fosfat inorganik
yang rendah dan 25(OH)D yangjuga rendah.

pemberian PTH eksogen, kalsium dan vitamin D. Resistensi

terhadap vitamin D, kemungkinan disebabkan oleh


gangguan metabolisme vitamin D karenakadar 1,25(OH)2D
rendah. Resistensi ini akan menghilang setelah diberikan
terapi Mg beberapa hari.
Pengobatan hipomagnesemia yang simtomatik dapat

diberikan injeksi 2 g MgSOo.lH2O (16,7 mEq) 50%


intra-muskuler tiap

jam atau drip intravena 48 mEql24

jam, karena injeksi intramuskuler sangat nyeri. Terapi harus

dilanjutkan sampai gejala klinik, hipokalemia dan


hipokalsemia teratasi. Kadar Mg serum yang normal tidak
menunjukkan defrsit Mg total dalam tubuh sudah teratasi,
karena Mg ekstraselular hanya loh dari total Mg tubuh,

dan sebagian besar berada intraselular. Pada pasien


hipomagnesemia yang disertai kejang, harus diberikan
injeksi 8-16 mEq Mg intravena dalam 5-10 menit,
dilanjutkan drip Mg 48 m8f,24 jam. Pemberian Mg harus
berhati-hati pada pasien gangguan fungsi ginjal, bila perlu
dosisnya diturunkan. Pada pasien dengan kehilangan Mg
yang kronik, dapat diberikan Mg elemental 300-600 mg
dalam dosis terbagi untuk mencegah efek katartik Mg.

Defisiensi vitamin D. Merupakan penyebab osteomalasia

yang tersering. Ada 3 penyebab tersering defisiensi


vitamin D, yaitu paparan sinar matahari yang rendah, asupan

vitamin D yang rendah (nutrisional) dan malabsorpsi.


Malabsorpsi dapat terjadi akibat sindrom malabsorpsi di
usus atau kelainan yang mengakibatkan steatorea, seperti
obstruksi bilier dan insufisiensi pankreas.

Vitamin D-D ependent Rickers (\{DDR) tlpe I. Disebutjuga


eudo-vitamin D deficiency, merupakan penyakit herediter
yang bersifat resesifautosomal, yang ditandai oleh kadar

ps

1,25(OH)rD yang rendah akibat gangguan aktivitas


25(OH)D-1 o-hidroksilase di ginjal, sehingga kadar 25(OH)D
didalam serum dapat normal atau tinggi sedangkan kadar
1,25(OH)rD didalam serum sangat rendah. Penyakit ini
sangat jarang, biasanya menyerang anak di bawah 2tahLn,
terutama pada 6 bulan pertama kehidupan dan dapat diatasi
dengan memberikan vitamin D dosis tinggi atau kalsitriol

dosis fisiologik.

Vitamin D-Dependent Rickets (VDDR) type II. Disebut


RIKETS DAN OSTEOMALASIA
Osteomalasia adalah kelainan pada mineralisasi dan
pertumbuhan tulang akibat aktivitas vitamin D yang
inadekuat, baik akibat defisiensi, maupun resistensi. Bila
timbul pada anak-anak seb ehtm epiphyseal plate menthtp
disebut rikets.
Gejala klinik yang paling sering terlihat adalah nyeri
tulang yang difus terutama di daerah panggul sehingga
menyebabkan pasien pincang (antalgic gail). Selain itu
juga akan timbul kelemahan otot proksimal. Kedua keadaan
ini (nyeri tulang dan kelemahan otot), pada keadaan yang
berat akan menimbulkan disabilitas, sehingga pasien hanya

dapat berbaring atau duduk di kursi roda. Terapi yang


adekuat, seperti pemberian vitamin D atau fosfat atau
koreksi asidosis akan memperbaiki kedua keadaan itu.
Tulang yang terserang osteomalasia, akan mudah fraktur
akibat trauma yang minimal.
Pada anak-anak yang menderita rikets, akan didapatkan
kelemahan otot, tetani, kaki yang bengkok (bowing legs)'
sendi kostokondral yang prominen yang disebut rachitic

rosary. Pada kepala akan didapatkan kalvarium yang


melunak yang disebut kraniotabes, dan keterlambatan
pertumbuhan gigi yang pennanen.
Gambaran radiologik osteomalasia seringkali tidak
spesifik dan sulit dibedakan dengan gambaran radiologik
osteoporosis. Gambaran yang agak spesifik adalah
ditemukannya pseudofraktur atau Looser's zones, yailt
gambaran garis radiolusen dari beberapa mm sampai

luga hereditary 1,25(OH) rD resistent rickets, merupakan


kelainan yang jarang yang juga menyerang anak-anak yang
diakibatkan oleh abnormalitas jumlah, afinitas dan fungsi
reseptor 1 ,25(OH)rD intraselular, sehingga kadar 1,25(OFI)rD
didalam serum tinggi, tetapi tidak berfungsi.

Defisiensi kalsium. Dapat terjadi akibat asupan yang


kurang atau ekskresi yang berlebihan lewat urin atau feses.
Ekskresi lewat urin yang berlebih dapat diakibatkan oleh
kebocoran di ginj al atau akibat penggunaan glukokortikoid

atau hiperkalsiuria idiopatik. Terapi pilihan adalah


dengan pemberian kalsium karbonat, karena selain
harganya murah, juga kandungan kalsium elementalnya
cukup tinggi.

Defisiensi fosfat. Dapat disebabkan oleh asupan fosfat


yang rendah, gangguan absorpsi fosfat di usus atau
peningkatan klirens fosfat di ginjal. Hipofosfatemia akan
mengakibatkan peningkatan aktivitas 25(OH)D-1uhidroksilase di ginjal, sehingga kadar 1,25(OH)rD

meningkat. Akibatnya akan terjadi hiperkalsemia,


hiperkalsiuria dan peningkatan resorpsi tulang oleh
osteoklas.

X-linked Hlpophosphalemra (vitamin D-resistent rickets,


VDRR). Disebabkan oleh defek pada transport fosfat
di tubulus ginjal sehingga terjadi pembuangan fosfat yang
berlebihan dan hipofosfatemia. Kelainan ini juga akan

mengakibatkan gangguan metabolisme vitamin D,


sehingga produksi 1,25(OH)rD menurun. Kelainan ini

2694

umumnya ditemukan pada anak-anak, tetapi kadangkadang ditemukan secara sporadik pada orang dewasa.

Ilipofosfatasia. Merupakan kelainan yang diturunkan secara


resesifautosomal dan ditandai oleh rendahnya kadar alkali
fosfatase di serum dan jaringan. Mekanisme osteomalasia
pada kelainan ini tidak jelas; diduga akibat kegagalan
hidrolisa pirofosfat yang merupakan inhibitor mineralisasi,
sehingga terjadi defek mineralisasi tulang.

De Toni-Debrti-Fanconi Syndrome. Ditandai oleh


fosfaturia, aminoasciduria, glikosuria, bikarbonaturia dan
kadang-kadang asidosis dan hiperkalsiuria. Kelainan tulang
biasanya berhubungan dengan asidosis, hipofosfatemia
dan metabolisme vitamin D yang abnormal.
Sindrom Nefrotik. Diakibatkan oleh pembuangan vitamin
D yang berlebihan lewat urin. Didalam darah, vitamin D
terikat pada cx-globulin yang disebut vitamin D-binding
protein (DBP). Pada sindrom nefrotik, DBP ikut terbuang
lewat urin sehingga vitamin D yang terikat DBP ikut
terbuang. Walaupun demikian, kadar vitamin D bebas
didalam serum tetap dalam batas normal, sehingga
pengukuran kadar vitamin D total dapat menyesatkan.

Penyakit hati kronik. Hati berperan pada hidroksilasi


vitamin D pada posisi 25, walaupun demikian, penumnan
kadar 25(OH)D terutama disebabkan oleh penurunan
sintesis DBP oleh hati, nutrisi yang buruk dan malabsorpsi.

Hipoparatiroidisme. PTH berperan sebagai stimulator


produksi 1,25(OH)2D, sehingga hipoparatiroidisme akan
mengakibatkan pemrrunan produksi 1,25(OH)rD.

Anti konvulsan.

REUMIIilOI.OGI

I,25(OH)rD dan reabsorpsi fosfat di ginjal sehingga timbul


sfaturia dan hipofosfatemia.

fo

Etidronat. Merupakan bisfosfonat generasi I yang dapat


menghambat kristalisasi kalsium fosfat, terutama pada dosis
5- 10 mg/kgBB. Efek ini tidak didapatkan pada bisfosfonat
lain.

Flourida. Garam ini dapat merangsang formasi tulang, tetapi


dapat mengganggu mineralisasi tulang dengan mekanisme
yang tidak diketahui.

REFERENSI
Abdulmutalib. Osteolisis pada keganasan. . Dalam: Markum HMS,
Hardjodisastro D (eds). Perkembangan Mutakhir Ilmu Penyaskit
Dalam. Bagian Ilmu Penyakit Dalam 1996:109-20.
Bikle DD. Osteomalacia and Rickets. In: Andreoli TE, Mandell GL,
Muray JF et al (eds) Cecil Textbook of Medicine Vol 2. 19th

ed Philadelphia: WB

Saunders

Co; 1988.p.1406-12

Bilezikian JP. Primary Hyperparathyroidism. In: Favus MJ et al


(eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders

of

Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins; 1999.p

187-92.

Indridason OS, Quarles

LD

Tertiary Hyperparathyroidism and

Refractory Secondary Hyperparathyroidism . In: Favus MJ et


al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders

of Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: Lippincott


Williams & Wilkins;1999:798-202.
Goltzman D, Cole DEC. Hypoparathyroidism. . In: Far.us MJ et al
(eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of
Mineral Metabolism. 4th ed Philadelphia,: Lippincott Williams

& Wilkins:

1999.p.226-30.

Penggunaan fenitoin atau fenobarbital


jangka panjang akan merangsang enzim sitokrom P450 di

Klein GL. Nutritional Rickets and Osteomalasia. In: Favus MJ et al

hepar sehingga mengganggu metabolisme vitamin D.

Mineral Metabolism. 4th ed Philadelphia: Lippincoft Williams

Akibatnya kadar 25(OH)D didalam serum turun, tetapi kadar


1,25(OH)rD tetap dalam batas normal. Selain itu, fenitoin

juga dapat menurunkan absorpsi kalsium di usus dan


meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun
demikian, penggunaan anti konvulsan jarang menimbulkan
gejala klinik osteomalasia, kecuali bila disertai faktor
predisposisi lain, seperti nutrisi yang buruk atau paparan
sinar matahari yang kurang.

(eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders

of

& Wilkins; 1999.p.315-9


Krane SM. Hyperostosis, Neoplasms and other disorders of bone
and cartilage. In: Isselbacher KJ, Adams RD, Braunwald E, et al
(eds). Harrison's Principles of Internal Medicine. 9th ed. New
York: Mc Graw-Hill Book Co; 1980:1863-9.
Pettifor JM. Nutritional and Drug-induced Rickets and Osteomalacia. In : Farus MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases
and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. Washington:
ASBMR; 2003.p.399-406
Roberts MM, Stewart AF. Humoral Hypercalcemia of Malignancy.
In: Far,us MJ et al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases
and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia:
.

Intoksikasi alumunium. Terjadi akibat asupan kalsium


yang berlebih, misalnya penggunaan pengikat fosfat yang

mengandung Alumunium, atau anatasida yang


mengandung alumunium atau penggunaan cairan dialisat
yang mengandung alumrurium pada pasien gagal ginjal yang

menjalani hemodialisis. Alumunium akan menghambat


aktivitas PTH dan I a,-hidroksilase, menghambat aktivitas
osteoblas dan mengganggu mineralisasi tulang.

Tumor-induced hypophosphatemic osteomalacia.


Diakibatkan oleh produksi faktor humoral oleh tumor
(biasanya mesenkimal) yang akan menekan produksi

Lippincott Williams & Wilkins; 1999.p.2083-7.


Shane E. Hypercalcemia: Pathogenesis, Clinical Manifestation,
Differensial Diagnosis and Management. In: Favus MJ et al
(eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of
Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins;1999.p. 1 83-7.


Shane E. Hypocalcemia: Pathogenesis, Differensial Diagnosis and
Management. In: Favus MJ et al (eds). Primer on the
Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism.

4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;


t999.p.223-6.

4tt
NYERI TULANG
Bambang Setiyohadi

Ada 5 keadaan yang dapat menyebabkan nyeri tulang,


yaitu:

1.

Osteoporosis,

2. Osteomalasia dan rikets,


3. Osteodistrofi renal
4. Osteonekrosis
5. Metastasis keganasan pada tulang.
Pada bab ini hanya akan dibicarakan osteodistrofi
renal dan osteonekrosis, karena masalah yang lain telah
dibicarakan pada bab terdahulu.

OSTEODISTROFI RENAL

Osteodistrofi renal merupakan komplikasi gangguan


fungsi ginjal. Pada gagal ginjal tahap akhir, umumnya sudah
terdapat kelainan histologik tulang. Hampir semua pasien
yang menjalani dialisis, mengidap osteodistrofi renal yang

secara klinis terlihat sebagai gangguan metabolisme


kalsium, fosfor, PTH, dan vitamin D.
Akibat penumnan fungsi ginjal, akan terjadi retensi
fosfat sehingga kadar fosfat serum meningkat dan kadar
kalsium serum menurun. Peningkatan kadar fosfat serum
akan menurunkan kadar 1,25 dihidroksivitamin D, sehingga
kadarkalsium akanmakin menurun karena absorbsi kalsium
menurun. Kadar kalsium dan 1,25 dihidroksivitamin D yang
menumn akan merangsang produksi PTH dan proliferasi
sel-sel kelenjar paratiroid, sehingga terjadi mobilisasi
kalsium dari tulang ke dalam darah. Pada pasien gagal
ginjal, terjadi resistensi tulang terhadap PTH, akibatnya
hiperparatiroidisme akan semakin berat.
Osteodistrofi renal, merupakan kelainan tulang dan
sendi dengan spektrum yang luas yang terjadi pada pasien
gagal ginjal. Kelainan ini ditandai oleh nyeri tulang,
kelemahan otot, deformitas skeletal, retardasi perlumbuhan

dan kalsifikasi ekstraskeletal. Ada 4 tipe osteodistrofi

renal, yaitu tipe high-bone turnover, low boneturnover,tipe campuran dan amiloidosis.
Osteodistroji renal tipe high bone-turnoYer. Kelainan ini
berhubungan dengan retensi fosfat, hipokalsemia,
gangguan produksi 1,25(OH)2D di ginjal, resistensi
skeletal terhadap efek kalsemik PTH dan penurunan
ekspresi VDR dan CaSR di kelenjar paratiroid, sehingga
terjadi hiperparatiroidisme sekunder dan hiperplasi kelenjar
paratiroid yang progresif. Peningkatan produksi PTH pada
tipe ini dapat sangat tinggi, yaitu 20-30 kali nilai normal,
sehingga lebih tinggi daripada keadaan hiperparatiroidisme
primer. Secara histologik akan tampak gambaran khas
osteitis fibrosa, yaitu jaringan fibrosa yang berdekatan
dengan trabekula tulang. Aktivitas osteoklas dan osteoblas

meningkat yang ditandai oleh banyaknya osteoklas dan


osteroblas, lakuna Howship, dan tulang kanselous yang
ditutupi oleh osteoid yang baru terbentuk. Secara
radiologik, akan tampak erosi subperiosteal pada
tulang-tulang panjang, terutama pada tepi falang digital,
ujung klavikula, antara iskium dan pubis, sendi sakroiliakal
dan sambungan metafisis dan diafisis pada tulang panjang.

Pada ruas tulang vertebra, akan tampak gambaran


osteosklerosis, sedangkan pada tulang kepala akan tampak
gambaran salt and pepper.
Osleo distroti renal tlrpe low bone-turnov er, Ada 2 subtipe,
yaitu tipe tulang adinamik dan tipe osteomalasia. Tulang
adinamik ditandai oleh formasi dan turnovei tulang yang
di bawah normal. Keadaan ini dapat ditemukan pada40oh
pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis rutin atau
' 50% pasien yang menjalani dialisis peritoneal. Kadar PTH
hanya meningkat sedikit atau bahkan dalam batas normal.
Pada tipe osteomalasia, akan tampak defek pada mineralisasi

tulang. Intoksikasi alumunium, merupakan penyebab


tersering adinamik tulang dan osteomalasia pada pasien
gagal ginjal. Tetapi kelainan ini sekarang sudah jatang

2695

2696

RELJMA*II)LOGI

didapatkan, karena Alumunium sudah tidak digunakan lagi


sebagai pengikat fosfat. Penyebab lain tipe osteodistrofi
ini adalah diabetes melitus, glukokortikoid, osteoporosis

senilis, suplementasi kalsium dan vitamin D yang


berlebihan. Baik kalsium maupun vitamin D
akan menekan kadar PTH didalam serum. Selain itu,

kalsitrol

juga akan menekan aktivitas osteoblas bila digunakan


pada pasien yang menjalani hemodialisis secara teratur.

OsteodistroJi renal tipe campuran. Gambaran campuran


osteitis fibrosa dan osteomalasia juga dapat ditemukan pada

sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Kelainan ini


ditandai oleh hiperparatiroidisme sekunder dengan defek
pada mineralisasi tulang. Secara biokimia akan didapatkan
hipokalsemi a danl atal hipofo s fatemia dan defi siens i
vitamin D. Keadaan ini dapat ditemukan pada pasien
osteitis fibrosa dengan intoksikasi alumunium yang awal,
atau pada pasien intoksikasi alumunium yang mulai
menunjukkan respons terhadap terapi deferoksamin dengan
peningkatan formasi tulang.

Pemberian kalsitriol dapat dimulai dengan dosis harian yang

rendah dan dinaikkan secara bertahap sesuai dengan


respons kliniknya, biasanya digunakan dosis 0,25- I ,5 mg/
hari. Pada pasien hemodialisis, kalsitriol dapat diberikan
intravena bersamaan dengan waktu dialisisnya. Padapasien

dengan dialisis peritoneal, kalsitriol juga dapat diberikan


intermiten 2-3kali per-minggu dengan dosis per-kali yang
lebih besar daripada dosis harian, misalnya 0,5-4,0 mg,&ali,
3 kali per-minggu atau 2,0-5,0 mglkali, 2 kali per-minggu.

Bila timbul hiperkalsemia setelah beberapa bulan


penggunaan kalsitriol dengan kadar PTH dan fosfatase
alkali kembali normal dari kadar yang tinggi sebelumnya,

maka hal ini menunjukkan bahwa osteitis fibrosa sudah


teratasi. Tetapi bila hiperkalsemia te4adi pada mingguminggu awal pemberian kalsitriol, maka hal ini menunjukkan

adanya osteodistrofi renal dengan low bone turnover


(misalnya karena intoksikasi alumunium) atau adanya
hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Dalam hal ini, bila

intoksikasi alumunium dapat disingkirkan, maka


diindikasikan untuk melakukan paratiroidektomi. Indikasi

Amiloidosis pada gagal ginjal. Dapat ditemukan pada

spesifik paeratiroidektomi adalah (1) hiperkalsemia

pasien gagal grnjal kronik yang telah meqjalani hemodialisis


lebih dari 7-10 tahun. Keadaan ini disebabkan oleh deposisi

persisten, dengan kadar kalsium di atas 11-12 mgldl; (2)

serat amiloid yang terdiri dari pr-mikroglobulin


Padapasien akan didapatkan kistitulang multipel,

(prp.
fraitur

pruritus yang tidak dapat diatasi dengan dialisis yang


intensif atau pengobatan medik lainnya; (3) kalsifikasi

sehingga menimbulkan gej ala muskuloskeletal. Secara

ekstrasekeletal yang pro gresif atau hiperfo sfatemia yang


persisten walaupun telah diberikan diet rendah fosfat yang
ketat dan bahan pengikat fosfat; (4) nyeri tulang yang berat
atau fraktur patologis; (5) timbulnya kalsifilaksis. Dalam
hal ini, penyebab hiperkalsemiayang lain, seperli intoksikasi
vitamin D atau sarkoidosis harus disingkirkan.

radiologis, kista multipel akan ditemukan pada ujung-ujung


tulang panjang, terutama pada kaput humeral dan kaput
femoris.

OSTEONEKROSIS

patologik, artritis sckapulohumeral yang erosif, sindrom


terowongan karpal dan spondiloartropati. Secara histologik,
serat amiloid BrM mirip dengan amiloid AA, tetapi serat
amiloid BrM banyak didapatkan di daerah osteoarlikular,

Penatalaksanaan. Tujuan pengobatan Osteodistrofi renal


adalah ( 1 ) mempertahankan kadar kalsium dan fosfat dalam
batas normal; (2) mencegah kalsifikasi ekstraskeletal; (3)

mencegah bahan-bahan toksik seperti alumunium dan


kelebihan besi; (4) mempertimbangkan penggunaan
steroid vitamin D dan pengikat fosfat; (5) secara selektif
menggunakan chelating agent seperti deferoksamin untuk
mengatasi intoksikasi alumunium. Sumber utama penyebab
osteodistrofi renal adalah retensi fosfat, oleh sebab itu diet

rendah fosfat dan penggunaan bahan pengikat fosfat


sangat penting sekali pada penatalaksanaan gagal ginjal
kronik. Pengikat fosfat yang baik adatah kalsium karbonat
dan kalsium asetat yang harus dimakan bersamaan dengan
waktu makan agar efek pengikatan fosfatnya maksimal.

Kalsium sitrat juga dapat digunakan, tetapi sitrat


akan meningkatkan absorpsi alumunium, sehingga
penggunaannya tidak dianjurkan. Penggunaan sterol
vitamin D, seperti kalsitriol, kalsifediol, 1G-OH-D dan
dihidrotakisterol sangat efektif untuk mengatasi
hiperparatiroidisme sekunder, bila hipokalsemia tidak dapat
diatasi walaupun kadar fosfat sudah dalam batas normal.

Disebutjuga ischemic bone necrosis, avascular necrosis


atau aseptic necrosis. Kelainan ini dapat terjadi akibat
beberapa keadaan klinis, misalnya akibat penyakit tertentu
(seperti penyakit Gaucher), akibat pengobatan (misalnya
glukokortikoid), keadaan fi siologik atau patologik tertentu
(kehamilan, tromboemboli) atau tidak diketahui (idiopatik).
Pada umumnya osteonekrosis menyerang ujung-ujung
tulang panjang, misalnya kaput femoris atau kaput humer;

tetapi dapat juga menyerang tulang lainnya.


Kematian tulang terjadi akibat putusnya vaskularisasi
arteri ke tulang, baik karena oklusi, vaskulitis, emboli lemak,

perdarahan, kelainan jaringan tulang, maupun akibat


penekanan sinusoid, misalnya pada proses infiltratif
(seperti pada penyakit Gaucher) atau peningkatan adiposit
di dalam sumsum tulang karena efek toksik terhadap
liposit (misalnya akibat glukokortikoid atau alkohol).
Akibat osteonekrosis akan terjadi peningkatan tekanan
intraoseus (IOP) yang akhirnya akan menjadi lingkaran
setan, karena iskemia dan kerusakan sel akan bertambah
berat.

2697

ITYERITUI,.ANG

Gejala utama osteonekrosis adalah nyeri tulang pada


areayalg terserang. Keadaan ini harus dicurigai pada
pasien yang menggunakan steroid dosis tinggi ataujangka
panjang yang mengeluh nyeri tulang. Pada stadium awal,
osteonekrosis tidak menunjukkan gambaran radiologik
yang bermakna dan diperlukan pemeriksaan MRI untuk

femoris. Akibatnya osteoblas, osteosit dan sel sumsum

tulang mati; kalsifikasi endokondral terhenti, tetapi


pertumbuhan rawan sendi tetap baik karena mendapat

osteosklerosis, rusaknya kaput femoris sampai kolaps


kaput femoris.

nutrisi dari cairan sinovial. Proses revaskularisasi ke area


yang nekrosis kemudian akan terjadi, dimulai dari daerah
perifer ke sentral, dan tulang baru akan tumbuh pada
permukaan korteks subkondral atau daerah trabekular di
sentral area yang nekrosis diikuti dengan pembersihan
tulang yang nekrosis. Proses resorpsi tulang akan lebih

MenurutArlet dan Ficat, osteonekrosis dapat dibagi dalam

aktif dibandingkan dengan proses formasi tulang, sehingga


tulang subkondral menjadi lemah. Bila tulang trabekular

mendeteksinya. Pada stadium lanjut akan tampak gambaran

5 stadium,

yaitu

Stadium 0

Stadiuml

manifestasi klinik dan radiologik tidak ada,


tetapi gambaran MRI jelas
manifestasi klinik ada, radiologik tid ak ada,

MRIjelas
Stadiumtr

gambaran osteopenia dan osteosklerosis


pada radiologik.

StadiumItr

StadiumIV

kolaps tulang awal yang ditandai oleh


crescent sign, yaitu tulang Subkortikal
yang translusen dikelilingi oleh area tulang
yangmati
kolaps tulang lanjut, yaituli attening kaput
femoris

Pada stadium 0, I, II, penatalaksanaan dapat dilakukan

secara konservatif atau dilakukan dekompresi untuk


mengurangi tekanan intra-osseus. Penatalaksanaan
konservatif meliputi penggunaan analgesik, terapi fisik
untuk menguatkan otot dan mencegah kontraktur dan
penggunaan alat bantu untuk mobilisasi. Bila nyeri tetap
berlanjut atau pada stadium III dan IV, perlu dilakukan
tindakan artroplasti. Pada osteonekrosis yang menyerang
sendi yang bukan penopang berat badan, tidak diperlukan
intervensi bedah, karena nyerinya ringan dan gangguan
fungsionalnya tidak berat.

Legg-Calvd-Perthes Disease (LCPD). Merupakan


osteonekrosis idiopatik pada epifisis kaput femoris anakanak umur 2-12 tahuln, yang tidak diketahui penyebabnya,
tetapi didapatkan terputusnya aliran darah ke epifisis kaput

mengalami kolaps, maka episoda nekrosis yang kedua akan


timbul kembali. Nyeri tulang biasanya timbul bila ada frakhr.

Biasanya anak-anak dengan LCPD akan pincang bila


berjalan disertai nyeri pada daerah lutut atau bagian
anterior tungkai atas dengan keterbatasan gerak pada koksa

yang disertai abduksi dan endorotasi. Prognosis LCPD


tergantung pada beratnya penyakit, deformitas kaput
femoris dan proses penyembuhannya. Dalam jangka
panjang, seringkali LCPD berkembang menjadi osteoartritis

sekunder. Pada anak perempuan, prognosis LCPD akan


lebih buruk dibandingkan anak laki-laki, karena anak

perempuan lebih cepat matang secara seksual


dibandingkan laki-laki sehingga lempeng pertumbuhan
lebih cepat menutup dan tidak memberikan kesempatan
bagi kaput femoris untuk melakukan modeling.

REFERENSI
Alarcon GS. Osteonecrosis. In: Klippel JH, editor. Primer on the
rheumatic diseases. 12'h edition. Atlanta:Arthritis Foundation;
2001 .p.503 -6.
WG Coburn JW, Slatopolsky E, et al. Renal osteodystrophy in adults and children. In : Favus MJ editor.Primer on the

Goodman

metabolic bone diseases and disorders of mineral metabolism'


5th edition. Washington:ASBMR;2003 p 430-48'
Krane SM, Holick MF. Metabolic bone disease. In: Isselbacher KJ,
Adams RD. Braunwald E, et al,edition. Harrison's principles of
intemal medicine. 9th edition. New York :Mc Graw-Hill Book;
1

980.p.1 849-60.

412
REUMATIK EKSTRA ARTIKULAR
Blondina Marpaung

PENDAHULUAN
Reumatik ekstra artikular (REA) adalah sekelompok
penyakit dengan manifestasi klinik umumnyaberupa nyeri
dan kekakuan padajaringan lunak, otot, atau tulang, tanpa
hubungan yangjelas dengan sendi bersangkutan ataupun
penyakit sistemik, serta tidak semuanya dapat dibuktikan
apa penyebabnya.

Walaupun penyebab penyakit

ini belum

semuanya

diketahui dengan pasti, namun terdapat dugaan kuat


adanya faktor pencetus yang dapat menimbulkan
penyakit ini, seperti beban kerja yang berlebihan, trauma,
kelainan postural, usia yang lanjut, degenerasi jaringan
ikat, dan juga beban stres psikologis seperti ketegangan
jiwa, depresi berat ataupun frustrasi.
Reumatik ekstra artikular dapat diklasifrkasikan dalam 5
kategori yaitu:
. Tendonitis dan bursitis seperti epikondilitis lateral
(tennis elbow) dan bursitis trokanter
. Gangguan struktural seperti sindrom nyeri akibat kaki
datar dan sindrom hipermobiliti.
. Neurovascular entrapment seperti sindrom carpal
tunnel dan sindrom thoracic outlet,
. Sindrom miofasial regional dengan trigger point yang
hampir sama dengan fibromialgia tetapi distribusi nyeri

bersifat lokal, seperti pada sindrom sendi temporomandibular.

sebagian kecil saja yang memberikan keluhan yang berat


sehingga memerlukan pengobatan khusus.
Beberapa peneliti membuktikan bahwa penyakit ini

lebih banyak dijumpai pada perempuan daripada


pria dengan perbandingan 2:1. Penelitian di Indonesia
menunjukkan bahwa penyakit ini juga cukup banyak
dijumpai. AR Nasution dkk di Jakarta ( I 983) mendapatkan
dari 4902 kasus penyakit reumatik yang berobat di

25o/o

RS Cipto Mangunkusumo. Di Medan, RS Dr. Pirngadi


(1983) OK Moehad Sjah mendapatkan 10oh dari kasus
penyakit reumatik yang berobat adalah REA. Indrawan
Mardik dkk di Semarang (1983) mendapatkan 4l% dai67
pasien reumatik yang diselidiki termasuk reumatik ekstra
arlikular, sedangkan Soenarto dkk di Semarang (1981)
mendapatkan I kasus REA dari 65 kasus penyakit reumatik
menahun yang diselidikinya.

FAKTORPENYEBAB
Ada 3 penyebab utama nyeri dan inflamasi pada REA yaitu:

Mekanikal
Nyeri dapat terjadi oleh karena trauma, baik akut maupun

kronik, Inflamasi yang selanjutnya terjadi

akan

menyebabkan pergerakan abnormal sekunder dan


penambahan peregangan. Mekanisme ini yang terjadi pada
beberapa entesopati dan bentuk-bentuk tenosinovitis atau

Sindrom nyeri generalisata seperti fibromiatgia


dan sindrom multipel bursitis-tendonitis, kejadiannya
lebih sering, bersifat kronik dan sulit untuk diterapi.

bursitis tertentu. Di mana strukturnya menjadi teriritasi


secara mekanis

lnflamasi

EPIDEMIOLOGI

Inflamasi dapat terjadi akibat salah satu penyakit reumatik


klasik. Nyeri osteoartritis sering berasal dari struktur

Penyakit REA ini dapat dijumpaipada setiap golongan


umur dalam derajat yang berbeda-beda, namun hanya

periartikular.

2698

2699

REUM/'ITIK EKSTRA ARTIKULAR

Deposisi kristal kalsium sering dijumpai pada jaringan


periartikular dan berperan penting dalam menginduksi

Rotator cuff tendinitis (impingement syndrome)- Rotator


culf tendiniti.s adalah penyebab nyeri bahu yang paling
sering dijumpai yang menyebabkan peradangan tendon

reaksi infl amasi intermiten.

pada subskapularis, supraspinatus, infraspinafu s dan teres

DeposisiKristal

mayor yang disebabkan oleh deposit mikrokristal,


penggunaan berlebihan, penekanan tendon atau penyakit

DESKRIPSI REU MATIK EKSTRA ARTIKU LAR


Beberapa REA yang penting dan sering dijumpai pada
umumnya diklasifikasikan dalam 4 bentuk di bawah ini.

Periartritis Kalsifik
Karakteristik periartritis kalsifik adalah dijumpainya
deposisi agregat kristal yang mengandung kalsium di
sekitar sendi. Biasanya mengandung hidroksiapatit,
meskipun kadang dijumpai kristal kalsium pirofosfat
dihidrat. Tempat yang biasanya dijumpai adalah pada

degeneratifpada usia tua. Dicurigai adanya penyakit ini


bila terdapat nyeri waktu abduksi aktif terutama pada sudut
600 -1200' nyeri hebat pada otot deltoid lateral dan nyeri
biasanya dijumpai pada malam hari. Pada kasus yang iebih
berat, nyeri dimulai pada awal abduksi dan dilanjutkan
sepanjatgrange ofmotion (PIOM). Spesifik dari pergerakan
bahu ini adalah nyeri hebat terutama bila gerakan abduksi
dikombinasi dengan rotasi. Progresivitas penyakit ini bisa
ditemukan dalam keadaan akut maupun kronis. Pengobatan

dengan: istirahat, obat oral anti inflamasi nonsteroid

(NSAID), fisioterapi (pemanasan, ultrasound) maupun


kortikosteroid.

tendon supraspinatus dekat sendi bahu; sendi interfalang

inj eksi lokal

distal dan sendi panggul apakah pada tendon rektus

Frouzen shoulder syndrome. Pada penyakit ini terdapat


keterbatasan gerak artikulus glenohumeral dan pada
akhirnya sendi tersebut sukar digerakkan karena nyeri.

femoris ataupun trokanter mayor femoris

Entesopati
Karakteristik entesopati adalah tenderness dan inflamasi
terlokalisasi pada insersi ligamen atau tendon. Dapat ter;'adi
oleh karena peregangan traumatik atau akibat inflamasi
reumatik yang mendasarinya. Contoh yang paling sering

adalah 'tenis elbow ' atau epikondilitis lateral dan


tendinitis achilles. Beberapa contoh lain adalah
epikondilitis medial (epitrokleitis atau sering juga disebut

golfers elbow), periartritis panggul, tendinitis pes


anserlnus.

Nyeri dirasakan pada bagian atas humerus dan menjalar ke


lengan atas bagian ventral, skapula, lengan bawah, serta
dirasakan terutama jika lengan atas digerakkan dan biasanya
kambuh pada malam hari. Pasien datang dengan keluhan
nyeri dan ngilu pada bahu serta getakan sendi yang terbatas

terutama dengan gerak abduksi dan elevasi. Terjadi


obliterasi kapsul sendi sefta fibrosis j aringan peri-kapsular
atau periartritis sendi bahu. Biasanya menyerang individu
di usia di atas 40 tahun, perempuan lebih sering terkena
dibanding laki-laki dan sering sebagai problem sekunder

atau bersamaan dengan penyakit bahu tipe lain, DM,


osteoartritis. Penyebabnya bermacam-macam, tetapt yang

Tenosinovitis
Tenosinovitis berbeda dengan entesopati. Pada entesopati
insersi tendon dan ligamen teriritasi, sementara pada

tenosinovitis sarung tendon sinovial mengalami


inflamasi.Oleh karena itu tenosinovitis merupakan bagian
dari sinovitis umum dan sering dijumpai pada penyakit
reumatik.contoh tenosikonitis de quervein

Bursitis
Bursa sinovial dapat mengalami inflamasi dan nyeri pada
suatu penyakit inflamasi sinovial sistemik seperti pada
artritis reumatoid. Dapat menjadi rusak oleh karena trauma
pada penonjolan tulang seperti pada lutut atau olekranon
siku.

Di bawah ini dideskripsikan beberapa penyakit reumatik


ekstra artikular berdasarkan lokasi bagian tubuh yang
dikenai.

Bahu
Berbagai kelainan reumatisme ekstra artikuler di bahu antara
lain:

sering adalah fraktur lengan dan bahu serta kontusio


jaringan. Diagnosis ditegakkan dengan gejala klinis, tes
rotasi dan pemeriksaan afirografi akan terlihat kapsulitis.
Pengobatan tergantung pada berat ringannya penyakit,
antara lain dengan: OANS, injeksi lokal kortikosteroid dan
silokain, fisioterapi dengan (pemanasan, ultr as ound, dan
short wave diatermi), manipulasi sendi dengan anestesi
umum dan blok pada ganglion stellate.
Tendinitis B isipital. Manifestasi klinis yang dijumpai yaitu
nyeri yang sifatnya lebih difus terdapat di daerah anterior
bahu. Nyeri biasanya kronis dan berkaitan dengan
penekanan tendon bisep oleh akromion. Palpasi di daerah
bisipital akan didapatkan lokasi tenderness dan ditemukan
tingkatan derajat tenderness pada palpasi banding di sisi
kontralateral. Nyeri direproduksi tendon bisipital pada

posisi supinasi lengan bawah yang melawan tahanan


(Yergasons sign), fleksi bahu melawan tahanan (speedb
test) atau dengan ekstensi bahu. kndinitis bisipital dan
rotator cuff tendonills bisa terjadi pada waktu yang
bersamaan. Pengobatan antara lain dengan; istirahat,
fisioterapi dengan (remanasan, ultras ound), latihan pasif

2700

diikuti

REUIVIATOI.OGI

dengan jarak gerakan aktif, OAINS, injeksi lokal

korlikosteroid dosis kecil disekitar samng tendon.

Thoracic Outlet syndrome. Thoracic outlet syndrome


adalah sekumpulan gejala yang diakibatkan adanya
kompresi di jaringan neurovaskular pada pleksus brakial
dan arteri/vena subklavikula. Jaringan neurovaskular
tersebut berada di pinggir bawah tulang iga pertama, di
depan otot anterior sklaneus dan di belakang otot medius
sklaneus. Gambaran klinis tergantung pada bagian mana
yang tertekan, apakah pembuluh saraf, pembuluh darah
atau kedua-duanya. Gejala neurologis adalah yang paling
tersering ditemukan berupa nyeri, parestesia, dan hilang
rasa di mana disebarkan dari leher dan bahu ke daerah
lengan dan tangan terutama j arike 4 dan 5. Tanda awal atau

sudah terjadinya perburukan gejala didapati sewaktu


aktivitas terutama dengan abduksi bahu. Kelemahan dan
atropi dari otot intrinsik sering terlambat ditemukan. Gejala
vaskular yang muncul adalah gangguan membedakan
warna, demam, nyeri aktivitas, danRaynaud's phenomenon.
Insidens laki-laki lebih sering terkena dibanding perempuan.

Diagnosis sulit ditegakkan, maka itu diperlukan beberapa


pemeriksaan antara lain dengatAdson test didapatidenyut
nadi melemah sewakfu menarik napas dalam dan dengan
manuyer hiperabduksi di mana lengan diletakkan di atas

kepala, ditemukan penurunan denyut nadi yang

politisi). Terjadi pada usia antara 20-50 tahun dan lebih


dominan dijumpai pada laki-laki, serta menyerang lengan
yang dominan tetapi kadang-kadang dapat bilateral. Gejala
klinis ditandai dengan nyeri lokal di sekitar epikondilus
lateral humeri atau epikondilus medialis, tidak drjumpai
hambatan pada pergerakan sendi. Kekuatan menggenggam

berkurang dan terjadi parestesia karena mekanisme


persarafan di nervus radialis terganggu. Nyeri bertambah
berat sewaktu dilakukan gerakan menggenggam dan lengan

bawah diekstensikan dengan posisi pergelangat tangan

dalam keadaan pronasi. Nyeri akan berkurang bila


difleksikan lengan dan telapak tangan. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala klinis, tes ekstensi dan
menggenggam. Pengobatan dengan menghindari faktor
pencetus atau penggunaan berlebihan pada otot lengan
bawah, kompres dengan air dingin, imobilisasi dengan bidai
mulai pergelangan tangan sampai siku, pemberian analgesik
topikal maupun sistemik, OAINS, injeksi lokal kortikosteroid

di daerah epikondilus lateralis dengan anastesi lokal,


fisioterapi dengan diatermi gelombang pendek, program

rehabilitasi dengan latihan khusus meregang dan


menguatkan otot ekstensor lengan atas, tindakan tenotomi.

Bursitis olekranon . Pada bursitis olekranon, bursa yang


menyelubungi prosesus olekranon membesar dan tender.
Inflamasi dapat terjadi akibat pukulan langsung atau iritasi

diindikasikan adanya kompresi arteri. pemeriksaan seperti


ini bisa dijumpai positip pada individu normal. Managemen
terapi adalah secara konservatif; difokuskan dengan
menjaga postur tubuh dengan baik, relaksasi otot sklaneus
dan pektoralis, mobilisasi skapula dan pasang korset di
daerah otot bahu, injeksi anestesi lokal bila dijumpai
trigger point pada otot sklaneus antikus.

berulang yang disebabkan seringnya bersandar pada siku.


Juga dapat terjadi sekunder akibat kondisi lain seperli artritis
pirai atau artritis reumatoid, atau akibat infeksibrTaadaport
d'entree bakteri.

Robekan Rotator Cuff, Robekan sporrtan rotator culfpada


orang muda jarang drjumpai bila tidak didapati penyakit

berulang dan pemberian antibiotik.

yang mendasarinya, dan biasanya dihubungkan dengan


trauma (terjatuh). Mengetahui adanyarobekan yang kecil
atau parsial (menyingkirkan inflamasi) sulit. Pengobatan
sama dengan rotator cuff tendinitis.

Jari dan Tangan

Harus dilakukan aspirasi bursa dan setelah infeksi


disingkirkan harus dilakukan injeksi kortikosteroid ke
dalam sakus. Bursitis septik perlu dilakukan aspirasi

Stenosing Tenosinovitis/Trigger finger

(jari pelatuk).

Stenosing tenosynovitis atau jari pelatuk adalah merupakan

inflamasi samng pembungkus tendon fleksor jari tangan.

Akibatnya beberapa jari-jari tatgan tidak dapat


Siku
Epikondilitis Lateral (Tennis Elbow) dan Epikondilitis
Medial (Golfer's Elbow). Keadaan ini ditandai dengan ciri
khas nyeri lokal subakut atau kronik padabagian medial
atau lateral sendi siku (regio epikondilus). Timbul akibat
gerakan fleksi dan ekstensi pergelangan tatgal berulang
serta rotasi dan supinasi lengan bawah. Karena gerakan

tadi terjadi secara simultan dan berulang, maka timbul

inflamasi dan degenerasi didaerah otot ekstensor dan


fleksor khususnya tendon ekstensor dan fleksor carpi
radialis brevis. tendinitis lateral umumnya timbul pada
mereka yang menggunakan lengannya secara berlebihan,
misalnya mengangkat beban berat, gemar berkebun, pemain
tenis atau golf, tukang cat, tukang las,tukang ka1u, dokter

gigi, terlalu sering berjabatan tangan (para pejabat

atau

diekstensikan karena sudah terkunci oleh proses metaplasia kartilago membentuk nodul yang terperangkap pada
daerah hbrotik samng tendon sendi metakarpofalangeal.
Gambaran klinis sangat bervariasi tergantung kepada tendon mana yang terlibat. Dijumpai adanya nyeri lokal pada
jari yang terkena, gerakan makin lama makin kaku sampai
suatu saat jari tak dapat diluruskan kembali yang terasa
terutama pada malam hari serta kadang-kadang dapat

muncul bengkak. Tenosynovitis bisa salah interpretasi


sebagai artritis di daerah pergelangan tangan. Penyakit ini
dapat timbul akibat penggunaan tangan berlebihan atau
berulang, episode trauma pada telapak tarrgar-, terkait
dengan osteoartritis atau rematoid atritis di tangan dan
mnngkin disebabkan penyakilpenyakit idiopatik. J ai yang
sering terkena adalah jari manis dan ibu jari dan bila terjadi

2701

REUMATIK EKSTRA ARTIKULAR

pada ibu

jari disebut trigger thumb (ibu jari pelatuk). Bila

terkena pada > 3 jari tar.gar,, mungkin dapat


dipertimbangkan kaitannya dengan diabetes dan
hipotiroid. Pengobatan adalah dengan mencegah

penggunaan tangan yang berlebihan, imobilisasi jari tangan


dengan pembidaian dalam posisi ekstensi selama 10 hari,

fisioterapi dengan ultrasound, OAINS, injeksi infiltrasi


kortikosteroid di sarung tendon, operasi dengan insisi
transversal bila sangat perlu
Tenosinovitis De Quervain. Adalah peradangan pada
sarung tendon pergelangan tangan yang melibatkan
abduktor polisis longus dan ekstensor polisis brevis yang
menimbulkan nyeri lokal pada bagian radial pergelangan
tangan. Keadaan ini sering kali diakibatkan oleh aktivitas
berulang atau penggunaan berlebihan dati ibu jari dan
pergelangan tangan atau muncul setelah kehamilan. Sering
terjadi pada ibu-ibu yang mengangkat bayinya dan pada
orang yang menggunakan tangan dengan aktivitas yang
berulang seperti menyulam, menjahit, berkebun dan
pekerjaan tangan lainnya yang menggunakan jarum atau
rajutan, mengupas buah-buahan. Gejala klinis yang muncul
adalah nyeri pada punggung pergelangan tangan, menjalar
ke ibu jari dan lengan atas sisi radial. Pada pemeriksaan
dapat dijumpai pembengkakan tendon di daerah prosesus
stiloideus radii, panas dan merah. Sedangkan keluhan yang
sering dikemukakan pasien adalah benda yang dipegang

sensasi geli makin menjadi pada saat mengefuk, memeras,


menggerakkan pergelangan tangan. Nyeri bertambah hebat
pada malam hari sehingga terbangun dari tidur (nocturnal
pain). Kadang kala pergelangan tangan terasa diikat ketat

dan kaku gerak. Selanjutnya kekuatan tangan menuflln,'


kaku dan terjadi atropi tenar. Pekerjaan yang berisiko
menyebabkan sindrom carpal tunnel yaitttpenjahit, peke{a
gannen, juru tulis, juru ketik, penyortir surat, tukang cuci
pakaian, operator komputer. Beberapa pemeriksaan yang
dapat membantu menegakkan diagnosis penyakit irii adalah
tes provokasi (phalen /esl positip) yaitu nyeri bertambah
dengan ekstensi maksimal atau fleksi maksimal pergelangan
tangan selama 60 detik. Tinnel\ sign yaifi perkusi ringan
pada n.medianus pergelangan tangan timbul rasa nyeri yang
menjalar ke lengan dan jari I, II, [I. Tes tomiket positifyaitu

pemasangan tensimeter pada lengan atas dan


dipertahankan selama 60 detik di atas tekanan sistolik
kemudian dilepaskan, mengakibatkan rasa seperti ditusuk-

tusuk jarum pada pergelangan tangan. Pemeriksaan


elektromiografi juga dapat menunjukkan gangguan
n.medianus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
tinnel b sign, phalen b /esl, tes tomiket dan elektromiografi'
sangan bidai pada

injeksi lokal kortik


area

carpal tunnel, bila terapi konservatif gagalmaka

dilakukan pembedahan.

terlepas sendiri dari genggaman tangannya. Diagnosis


disangkakan dengan menggunakan tes Finkeilstein yaitu

nyeri bertambah dengan aduksi ibu jari deviasi ulnar.

Pengobatan dengan imobilisasi dengan pembidaian, injeksi

lokal kortikosteroid pada sarung tendon, OAINS, insisi


sarung tendonbilaterapi konservatif sslama 4 minggu gagal.

Sindrom carpal tunnel. Sindrom carpal tunnel adalah


penyebab parestesia dan mati rasa yang paling sering
mengenai jari tangan pertama (ibujari), jari kedua, jari ketiga
dan jari keempat yang disebabkan oleh kompresi nenT rs

medianus melalui terowongan (tunnel) karpal oseosa


fibrosa. Pada pergelangaltalrga\ nerl'us medianus dan
tendon fleksor berjalan melewati suatu terowongan yang
berdinding kaku di mana di bagian dorsal dan sekitarnya
dibatasi oleh tulang karpal dan di bagian volar dibatasi
oleh ligamen karpalia transversal. Pada keadaan dimana
te{adi penebalan ligamen karpalia transversal, adanya nodul
seperti pada rematoid artritis adanya retensi cairan pada
perempuan hamil dapat menyebabkan kompresi nervus
medianus. Penyakit ini sering dihubungkan dengan
kehamilan, ederna, trauma, osteoartritis, inflamasi artritis,

gangguan infiltratif (amiloidosis), hipotiroid, DM,


akromegali, penggunaan kortikosteroid dan estrogen.
Gejala klinis yang ditimbulkan diawali dengan gangguan
sensasi rasa seperti parestesia, mati rasa, sensasi rasa geli

dan jari tengah (persarafan


pada jari-jari tersebut, dapat
nyeri
Timbul
n.medianus).
tangan. Mati rasa dan
telapak
dan
pada
tangan
terjadi

pada ibu

jari, telunjuk

Panggul
Bursitis Trokanterik. Bursitis adalah peradangan bursa
yang terjadi pada tempat perlekatan tendon atau otot
dengan tulang oleh sebab yang belum diketahui dengan
jelas. Gejala utama bursitis yaitu nyeri, pembengkakan
lokal, panas dan merah. Meskipun sering, bursitis
trokanterik kerap kali tidak terdiagnosis. Penyakit tersebut
dominan muncul pada usia pertengahan hingga usia tua
dan sedikit lebih sering didapati pada perempuan dibanding
laki-laki. Gejala utamanya adalah nyeri di daerah trokanter
mayor, nyeri tekan di atas daerah panggul lateral dan dapat
menjalar kebawah, ke kaki atau lutut. Rasa nyeri terutama

dirasakan pada malam hari dan bertambah nyeri kalau


dibengkokkan, rotasi internal atau kalau mendapat
penekanan. Nyeri secara intensif dirasakan sewaktu berjalan,

gerakan yang bervariasi dan berbaring pada sisi yang

terkena. Serangan bisa akut tetapi lebih sering secara


bertahap, dengan gejala-gejala yang timbul didapati
berbulan-bulan. Pada kasus kronis, pasien bisa
mengemukakan perasaan nyeri pada lokasi tersebut dan
klinisi sering kali gagal mengetahui penyakit tersebut
sehingga terlambat untuk dikoreksi. Adakalanya, nyeri bisa
menyerupai radikulopati, menyebar di daerah bagian lateral
paha. Cara terbaik mendiagnosis bursitis trokanterik adalah

dengan mempalpasi area trokanterik dan dijumpainya


tenderness point.Nyerr spesifik didapat dengan tekanan
yang dalam di area trokanterik. Perburukan nyeri bisa

2702

dijumpai dengan gerakan rotasi eksterna dan abduksi


melawan tahanan. Patogenesis yang berperan adalah foauma
lokal dan degenerasi, pada beberapa kasus bisa dijumpai
dengan kalsifikasi. Keadaan yang dapat memberi kontribusi
terhadap kejadian bursitis trokanterik yaitu adanya penyakit

penyefta pada lokasi tersebut seperti OA panggul atau


lumbar spin dan skoliosis. Pengobatan dengan injeksi lokal
kortikosteroid, NSAID, menurunkan berat badan,
memperkuat dan meregang otot gluteus medius dan iliotibial.

Bursitis illiopsoas (Illiopectinial). Bursa illiopsoas

REI,JMIIiIOI.OGI

Kistapopliteal kerapkali timbul sekunder dari penyakit RA,


OA dan gangguan intemal lutut. Klinis yang muncul berupa
pembengkakan yang difus dari betis, nyeri, kadang-kadang
timbul eritema dan edema dikaki. Konfirmasi dengan ar-

throgram lutut bisa mengetahui adanya kista dan


kemungkinan diseksi atau ruptur. (Jltrasound dipakai
membantu menegakkan diagnosa dan memonitor
perkembangan penyakit. Jika diperlukan, venogram bisa
menyingkirkan kemungkinan adanya tromboflebitis. Terapi
dengan injeksi lokal kortikosteroid di daerah sendi lutut
biasanya cepat mendapat perbaikan dan jika kista timbul
akibat OA atau gangguan internal lutut dapat dilakukan

berbatasan; di belakang dengan otot illiopsoas, di anterior


dengan sendi panggul, di lateral dengan pembuluh femoral.
Prevalensinya dijumpai I 5% dari seluruh gangguan regional

pembedahan dengan memperbaiki lesi sendi guna

panggul. Nyeri dijumpaipada sendi paha dan anterior paha


apabila bursa sudah terlibat dan dapat menjalar sepanjang

tungkai dan lutut. Nyeri bertambah berat dalam keadaan


hiperekstensi pasif dan panggul dan kadang-kadang pada
keadaan fleksi terutama dengan adanya tahanan. Guna
mengurangi nyerinya, pasien memilih posisi fleksi dan rotasi

ekstemal panggul. Diagnosis dikonfirmasi dengan adanya


riwayat trauma atau inflamasi artritis, gejala klinis, foto polos
dan injeksi zat kontras ke daerah bursa atau dengan MRI.
Secara umum bursitis illiopsoas respons terhadap terapi

konservatif termasuk dengan inj eksi korlikosteroid, eksisi


dari bursa dapat dilakukan bila terjadi rekurensi penyakit.

ursiti s is c hi al (I s c h io g I ute al). adalah peradangan burs a


yang disebabkan oleh trauma atau duduk yang berlama-

lama pada kursi yang keras (weaver's bottom). Gejala klinis


yang utama yaitu adanya nyeri pada bokong (pantat) dan

nyeri sering bertambah berat dalam keadaan duduk atau


tidur telentang dan dapat menjalar ke belakang paha.
Tbndetuess point dapat dijumpai di daerah tuberositas iskial.
Terapi dengan memakai bantal sebagai alas untuk duduk
dan injeksi kortikosteroid biasanya dapat membantu.

mencegah rekurensi kista.

ursitis unserlna Bursitis anserina sering disalahtafsirkan


sebagai OA lutut pada orang dewasa. Tampak dominan

pada perempuan bertubuh gemuk, dijumpai pada usia


pertengahan hingga usia tua dan sering didapati bersamaan

dengan OA lutut. Klinis yang muncul yaitu rasa nyeri,


tendentess, kadang-kadang membengkak dan terasa panas
di bagian medial inferior dan distal garis sendi lutut. Nyeri

bertambah berat bila naik tangga. Cedera (trauma),


penggunaan berlebihan dan infl amasi merupakan penyebab
dari kasus ini. Cedera bursa anserina terjadi karena tekanan
3-5 cm ke arah distal pada medial artikular line dansemal<tn

parah bila lutut difleksikan. Terapi dengan istirahat,

peregangan otot adduktor dan kuadrisep, injeksi


kortikosteroid di daerah bursa.
B wsitis

prepatelar (Housemaid's knee). Manifestasi klinis

berupa bengkak superfisial pada tempurung lutut


diakibatkan oleh trauma yang berulang-ulang. Keluhan
yang khas pada lutut yaitu rasa nyeri sewaktu berlutut,
terasa kaku, bengkak dan memerah pada bagian anterior
lutut Qtatella). Penyebab yang paling sering karena lutut
sering bertumpu pada lantai. Terapi dengan melindungi lutut

Lutut

dari trauma.

Beberapa struktur jaringan lunak di sekitar sendi lutut


berpotensi menimbulkan nyeri. Tendonitis dan bursitis
seringkali berkaitan dengan OA lutut atau penyakit artritis
lainnya seperti RA. Contoh-contoh kasus misalnya kista

Tendinitis palellar. Tendinitis patellar atau Jumper's knee


dijumpai predominan pada atlit yang harus berlari, melompat
dan menendang berulang. Nyeri dan tenderness dijumpai
di daerah tendonpatella. Pengobatan mencakup istirahat,
OAINS, es, knee bracing dan stretching dan penguatan

popliteal atau Baker, bursitis anserina dan bursitis


prepatellar atau "housemaidb knee." Kadang-kadang,
penting untuk menyingkirkan adanya infeksi terutama bila
tanda-tanda inflamasi jelas terlihat (misalnya rasa hangat

kuadriseps dan otot harmstring. Injeksi kortikosteroid


biasanya dikontraindikasikan oleh karena risiko ruptur.
Diperlukan tindakan bedah pada beberapa kasus.

dan kemerahan).
Kista popliteal (Kista Baker). Penyakit ini harus diwaspadai

Kaki dan Pergelangan

kemungkinan suatu diseksi atau ruptur. Terlihat adanya

Tendonitis achilles. Biasanya akibat trauma, aktivitas

pembengkakan lutut yang ringan mungkin merupakan tanda


awal penyakit, berlanjut dengan distensi kista dan rasa tidak

berlebihan pada atlit, penekanan sepatu yang terlalu sempit,


dorsofl eksi tiba-tiba dan infl amas i (anlqtlosing spondyli-

nyaman di lutut terutama dalam keadaan fleksi dan ekstensi


penuh. Kista terlihat jelas sewaktu pasien berdiri dan
diperiksa dari belakang. Dijumpai adanya penimbunan
cairan atau efusi sinovial di antara sendi lutut dan bursa.

tis, Reiter's syndrome, gout, RA). Pada pemeriksaan


tendon achilles, tampak pembengkakan, nyeri tekan dan
nyeri pada gerakan dorsofleksi serta teraba krepitasi tepat
di atas kalkaneus. Nyeri terasa pada pergerakan aktifdan

2703

REUMATIK EKSTRA ARTIKULAR

pasif. Terapi dengan istirahat, OAINS, koreksi keadaan


danukuran sepatu, meninggikan tungkaibawah waktu tidur,
fisioterapi, inj eksi kortikosteroid dapat mernperburuk
keadaan berupa ruptur tendon.

Fssiitis Plantaris. Merupakan salah bentuk entesopati, di


mana terjadi inflamasi tempat insersi fasia plantaris pada
kalkaneus. Sering terjadi pada usia 40 sampai 60 tahun
dengan karaktenstik nyeri p ada areaplarfiar tumit. Serangan
biasanya bertahap atau diikuti beberapa trauma atau

penggunaan berlebihan pada aktivitas atletik, berjalan


terlalu lama dan memakai sepatu yang tidak sesuai. Nyeri
karakteristik terjadi pada pagi hari dan bertambah berat
waktu berjalan beberapa langkah. Setelah pemulihan awal,
nyeri bisa memburuk di lain hari kemudian, khususnya
setelah berdiri atau berjalan lama. Palpasi yang tipikal
dirasakan di anteromed ial pada tuberkel kalkaneus medial
dari fascia plantaris. Secara umum pemeriksaan radiologis
tidak menunjukkan kelainan. Terapi dengan mengurangi
stres aktivitas, OAINS, memakai pembalut tumit, injeksi
lokal kortikosteroid dan tindakan operasi.

Gangguan Dinding Dada Anterior


Nyeri dinding dada akibat gangguan muskuloskeletal
sering sekali dijumpai. Nyeri juga dapat berupa nyeri
menjalar ke dada sebagai akibat penyakit pada tulang
servikal atau torakal. Ada 2 keadaan yang termasuk ke
dalamnya yait:u Tietze's Syndrome dan kostokondritis.

Karakteristik keduanya adalah tenderness dari tulang


rawan kosta. Keduanya dibedakan dengan adanya
pembengkakan lokal pada sindrom Tietze tetapi tidak pada

kostokondritis. Biasanya penyakit dapat menyembuh


sendiri. Pengobatan terdiri dari menenangkan hati, terapi
panas, peregangan otot dinding dada atau injeksi lokal
lidokain atau kortikosteroid ataupun keduanya.

PENATALAKSANAAN UMUM

Terapi Obat
Obat oral yang diberikan antara lain OAINS dan analgetik.
OAINS mengurangi inflamasi dan nyeri. Sebagai tambahan
untuk mengatasi nyeri dapat ditambahkan analgesik seperti

asetaminofen. Penatalaksanaan komprehensif harus

Fibrositis

dilakukan tidak hanya dengan pemberian obat oral tetapi

Fibrositis adalah peradangan pada jaringan ikat terutama

juga harus dievaluasi aspek penyebabnya dan dilakukan

pada batang tubuh dan anggota gerak, sehingga

modihkasi aktivitas.

memberikan gejala kekakuan dan perasaan nyeri pada otot


dan insersi tendon, tetapi tanpa ditemukan tanda objektif
lokal yang lain. Rasa kekakuan temtamaterjadipadapagi
hari, yang berlangsung selama kira-kira 30 menit yang
diikuti kelemahan umum, bangun pagi yang kurang terasa

segar dan badan terasa capek. Patogenesis fibrositis


dihubungkan dengan timbulnya edema pada serat otot
dan spasme otot akibat proses hipertonik otot. Penyakit
ini lebih banyak drjumpai pada usia tua, di mana perempuan
dua kali lebih sering dari pada pria. Fibrositis di negara
Barat dijump ai pada 23%o pasien kelainan muskuloskletal,
sedangkan di Asia 2l-31%. Terdapat tempat-tempat
predileksi terjadinya gejala klinik fibrositis, di antaranya
jaringan ikat subkutan, tempat insersi otot, aponeurosis
otot fascia, ligamen dan tendon terutama pada daerah
trapeziusbagian tengah, iga kedua pada pertemuan antara
bagian rawan dengan ttrJang, epicondylus lateralis l-2 cm
distal, origo m. supraspinatus dekatpertengahan skapula,
daerah vertebra servikalis bawah, daerah vertebra lumbalis
(L4-S 1), bagian atas lateral m. gluteus medius,
Untuk menegakkan diagnosis fibrositis, selain tempat

predileksi tersebut di atas juga dipakai kiteria: nyeri dan


kekakuan lebih dari 3 bulan, nyeri tekan lokal, tender point,
titik nyeri pada tempat yang berbeda, perheriksaan

laboratorium dan radiologis normal, kepribadian


perfeksionis.
Pengobatan dapat berupa pemberian OAINS, diazepam,
pemanasan, massage, ralgsangan listrik, latihan fisik, sikap
tubuh yang benar sewaktu duduk dan berdiri, psikoterapi
dan darmawisata/berlibur.

lnjeksi lntra Lesi


Injeksi kortikosteroid, lidokain lokal biasanya bermanfaat
untuk REA. Prinsip dasar injeksi intralesi mencakup teknik
aseptik, penggunaan jarum ukuran kecil (25 gauge).
Penggunaan kortikosteroid yang lebih larut dalam air akan

mengurangi kemungkinan kelemahan tendon yang


diinduksi oleh kortikosteroid atau kemerahan pasca injeksi.

Terapi Fisik
Tujuan terapi ini adalah meningkatkan fleksibilitas dengan
peregangan, meningkatkan kekuatan otot dengan latihan
resistif. Modalitas panas dan dingin akan menghilangkan
nyeri dan merelaksasi otot. Tetapi matfaat jatgkapanjang
masih dipertanyakan.

REFERENSI
Adnan M. Reumatik non artikuler. Simposium RNA. Semarang.
Oktober 1987;8-14
Badsha H. Soft tissue rheumatism and joint injection techniques for
family physicians. The Singapore Family Physician. 2002;28(2):

t9-27.
Biundo JJ. Regional rheumatic pain syndromes ln: Klippel JH. Editor. Primer on the rheumatic diseases. 11'h Ed. Atlanta: Arthritis
Foundation; 1997. p.136-48.
Celiker R. Nonarticular rheumatism physiopathology and rehabilitation. Hacettepe University, Faculty of Medicine, Departmenl
of Physical Medicine and Rehabilitation

2704

REI,IMIIilOI.OGI

Clauw DJ. Fibromyalgia. In: Ruddy S, Harris ED, Sledge CB. Editors.

Kelley's textbook of rheumatology.


Saunders Company; 2001. p. 417-27.

Effendi Z, Isbagio H, Setiyohadi B. Sindrom fibromialgia. Dalam:


Noer S, Waspadji S, Rahman AM, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 1, Edisi ke 3. Jakarta: Balai penerbit FK UI; 1996

h.

9'7 -107

Freundlich B, Leventhal L. Diffuse pain sy,ndromes. In: Klippel JH.


Editor. Primer on the rheumatic diseases. llh Ed. Atlanta:
Arthritis Foundation; 1997. p.123-6.
Jhon J, Peter E. Disorders of the joints. In: Fauci AS, Braunwald E,
Isselbacher KJ, et al, editors. Harrison's principles of internal
medicine. 14th Ed. New York: Mc Graw Hill; 1998. p.1928-35
Katz JN, Simmons BP. Carpal tunnel syndrome. N Engl J Med.

2002;23:

eds. eMedicine. Last updated November 17,2004. Available from

6th Ed. Philadelphia: WB

1807-12.

Muller D. Non articular rheumatism /regional pain syndrome.


In: Wolf RE, Talaver F, Diamond H, Mechaber AJ, Weinstein A

cited on April
200s
Nasution AR, Harry Isbagio. Penyakit reumatik di Indonesia Buku

Naskah Lengkap Kongres Nasional

I Ikatan

Reumatologi

Indonesia. Ikatan Reumatologi Indonesia. Semarang, 1983


Price GE. Rheumatology 6 - Localized rheumatism. In: Esdaile JM (ed).
Clinical Basics. Canadian Medical Association Joumal.2000; 163

(2): 116-83
Padang C, Nasution AR. Inflamasi ekstra-artikuler. Maj. Kedok
Indon. 1992; 4 OK Moehad Sjah. Reumatik ekstra artikuler.
Dalam: Setiyohado B, Kasjmir YI, Mahfudzoh S, editor. Naskah
lengkap Temu Ilmiah Reumatologi 2000. 62-9 (42): 199-203
Vischer TL. Non articular rheumatism. In: Dieppe PA, Bacon PA,
Bamji AN, Watt I eds. Atlas of clinical rheumatology. New
York: Gower Medical Publishing; 1986. p 20.02-14

413
GANGGUAN MU SKULOSKELETAL
AKIBAT KERIA
Zuljasri Albar

PENDAHULUAN
Dalam melaksanakan pekerjaannya, seseorang dapat saja
terkena gangguan atau cedera. Kebanyakan cedera akibat

per tahun. Insidens ini sangat meningkat dibandingkan


dengan insiden pada dekade yang lalu. Beberapa hal
yang mungkin menyebabkannya ialah perkembangan
teknologi ditempat kerja, perbaikan ketepatan diagnosis

kerja biasanya mengenai sistem muskuloskeletal.

dan pelaporan kasus, bertambahnya kesadaran pekerja


akan hak-haknya dan tuntutan terhadap pekerja untuk
melakukan lebih banyak tugas dengan lebih cepat dalam
waktu yang lebih singkat.

bermakna dalam timbulnya gangguan tersebut.

Faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya MSD dapat


dibagi dalam 2 golongan besar :
. Faktorfisik/biomekanika

:
Gangguan muskuloskeletal (Musculoskeletal disorders
(work-related)
MSD) dianggap berkaitan dengan kerja
jika lingkungan dan pelaksanaan kerja berperan secara
Dengan demikian, jelas bahwa gangguan muskuloskeletal
yang berkaitan dengan kerja dapat dibedakan dari penyakit

akibat kerja (Occupational disease), dimana


penyakit akibat kerja mempunyai hubungan sebab-akibat
langsung altara suatu bahanlbahaya dengan suatu
penyakit yang spesifik (misalnya asbestos dengan

..

Faktorkimia,/biokimiawi

Dari ke dua faktor ini, yang lebih sering berperan ialah

faktor fisik. Untuk selanjutnya pembicaraan dititik-

asbestosis, silika dengan silikosis), sedangkan gangguan

beratkan pada gangguan muskuloskeletal akibat faktor

muskuloskeletal yang berkaitan dengan kerja tidak.

hsik.

Sebelum mengatakan bahwa kelainan yang ditemukan

benar-benar disebabkan oleh pekerjaan, sangat


penting untuk menentukan apakah pada saat yang sama
pasien juga mempunyai kegiatan lain yang mungkin
merupakan predisposisi terhadap keluhan yang diderita
sekarang. Di samping itu, penilaian bentuk pekerj aatyang

dilengkapi dengan kunjungan ketempat kerja


memungkinkan pemeriksa menentukan hubungan kausal
antara pekerjaan dengan cedera muskuloskeletal dengan
lebih tepat.

EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, trauma kumulatif ( Car mul ativ e tr aum a
disorders) merupakan penyebab lebih dari 50% penyakit
akibat kerja dengan insidens 21 kasus per 100.000 pekerja

S ebelum membicarakan MSD lebih lanjut, ada beberapa


istilah yang perlu kita pahami lebih dahulu, yaitu faktor
rislkolOdds ratio (Ok), ergonomi dancumulative trauma
disorders (CTD).

Faktor Risiko dan Odds Ratio


Epidemiologi adalah pengetahuan tentang distribusi dan
faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan pada
populasi tertentu serta penerapan pengetahuan tersebut

untuk mengontrol masalah. Dari epidemiologi kita


mengenal antaralainistllah Odds ratio (OR), yaitu rasio
arfiara kasus dengan bukan-kasus yang terpajan terhadap
suatu faktor risiko. Sebagai contoh, suatu OR sebesar 3.0
pada suatu penyakit terhadap faktor pajanan tertentu
mempunyai arti bahwa faktor tersebut menyebabkan

peningkatan risiko terkena penyakit tersebut sebesar


tiga kali.

2706

RELIvIA*IIOL.oGI

Faktor risiko yang berperan pada MSD


. Jenis Industri

Angka MSD paling tinggi ditemukan pada industri


pengepakan daging, selanjutnya perusahaan peraj utan

pakaian dalam, kendaraan bermotor dan pengolah

makananternak.
Jenis Pekerjaan
Tukang batu, tukang ka1u, tukang sulam dsb.

Fisik
Beberapa keadaan seperti repetisi, beban dinamis/statis,

sikap/posisi tubuh, kurang istirahat dan sebagainya


berperan sebagai faktor risiko timbulnya MSD pada
leher, bahu, siku, pergelan gan tangan,sindrom terowongan

karpal, sindroma fibrasi lengan-tangan, nyeri pinggang


sebagaimana telah diteliti dalam banyak penelitian.

Faktor risiko yang lebih spesifik, dilihat dari segi perorangan,


fisik dan psikososial.

Psikososial
Bagi kebanyakan dokter, istilah faktor psikososial
sebenarnya tidak mempunyai batasan yang jelas.

Perorangan

Akibatnya banyak kebingungan dan kesalah-pahaman


kalau membicarakan faktor ini. Ada 3 mekanisme yang

Kelainan pada ekstremitas atas

Umur.
Jenis kelamin

banyak penelitian yang menunjukkan

bahwa prevalensi MSD pada wanita lebih tinggi


daripada pria.

Berat badan : berat badan, tinggi badan, indeks


massa tubuh dan obesitas telah dilaporkan

diduga berperan dalam hubungan antara faktor psikososial


dengan MSD. Salah satu di antaratyaialahbahwa tuntutan
psikososial mungkin melebihi mekanisme penyesuaian diri
pasien, sehingga menimbulkan respons stres. Respons
stres ini akan meningkatkan tegangan otot atau beban otot
dalam keadaan statis.

meru-pakan faktor risiko potensial terhadap

timbulnya sindrom terowongan karpal.


Nyeri pinggang :
- Umur : Nyeri pinggang bukan merupakan masalah
kesehatan yang terbatas pada pekerja usia lanjut

saja. Statistik menunjukkan angka tertinggi p adapia


ialah pada usi a 20 -24 tahun, pada wanita usia 3 0-3 4
tahun. Dilain pihak, osteoporosis yang merupakan
penyebab spesihk nyeri pinggang jelas berkaitan
dengan bertambahnya usia.
Jenis kelamin : Ternyata prevalensi nyeri pinggang
pada pria sama dengan wanita.
Tingkat sosial-ekonomi : Nyeri pinggang lebih sering
pada pasien dengan tingkat sosial-ekonomi yang
rendah, mungkin karena pekerjaan yang memerlukan
kegiatan fisik yang berat lebih sering dilakukan oleh

pekerja yang tingkat sosial ekonominya lebih


rendah.

Tinggi dan berat badan : Berat badan, indeks massa

tubuh dan obesitas merupakan faktor risiko

-'
-

terhadap timbulnya nyeri pinggang.

Riwayat kesehatan : riwayat sakit pinggang atau

Ergonomi
Ergonomi ialah studi tentang tingkah laku dan aktivitas
manusia yang bekerja dengan menggunakan mesin atau
peralatan mekanik dan listrik. Dengan perkataan lain,
ergonomi ialah studi mengenai hubungan antara manusia
dengan mesin, berdasarkan data yang diperoleh dari bidang

engineering, biomekanika, fisiologi, antropologi dan


psikologi. Tugas ahli ergonomi ialah merencanakan atau
memperbaiki tempat ke{a, perlengkapan dan prosedur kerja
para pekerja guna menjamin keamanan, kesehatan dan

keberhasilan perorangan maupun organisasi secara


efisien.
Cu mu lative Trau ma Disorders (CTD) :
Gangguan muskuloskeletal akibat kerja lebih sering

mengenai ekstremitas atas, punggung dan leher. Biasanya


timbul akibat aktivitas yang berulang-ulang dalam jangka
waktu lama. Istilah repetitive stress injury dan cumulative
trauma disorders digunakan untuk melukiskan suatu
spektrum kelainan yang luas, banyak di antaranya mirip
dengan chronic overuse syndrome pada atlet. Otot yang
aktifmelakukankegiatan berulang-ulang dan otot lain yang
harus tetap berkontraksi dalam jangka waktu lama untuk

ischialgia merupakan salah satu faktor prediktif yang


dapat diandalkan untuk terjadinya nyeri pinggang
yang berkaitan dengan kerja.

mempertahankan ekstremitas yang tidak ditopang oleh

Merokok : postulasi yang diajukan ialah bahwa

peralatan kerja sangat rentan terhadap kelelahan otot dan

nikotin mengurangi aliran darah kejaringan yang


vulnerable. Di samping itu batuk akibat merokok

robekan mikroskopis,

mengakibatkan strain mekanik.


Kebugaran tubuh dan latihan : masih terdapat pro
dan kontra dalam hal ini.
Kekuatan : Sebagian peneliti berpendapat bahwa
berkurangnya kekuatan otot fleksor dan ekstensor

tubuh merupakan akibat nyeri pinggang, bukan


merupakan penyebab.

yalg selanjutnya diikuti

oleh

inflamasi, edema dan gangguan fungsi.

KELUHAN DAN GEJALA


Contoh bentuk kegiatan atau situasi tempat kerja yang
dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal dapat
dilihat di bawah ini :

2707

GANGGUAN MUSKULOSKELETAL AKIBITT KERJA

Stres Fisik Akibat Tempat Kerja atau Peralatan


yang Buruk
Untuk mengatasinya diperlukan data antropometri.
Tindakan yangdapat dilakukan misalnya :
. Perbaikan disain dan tempat ke{a untuk menghindarkan
gerakan pinggang yang berlebihan, menghindarkan
posisi yang statis baik posisi tubuh maupun posisi
ekstremitas dalam memegang. Kontraksi otot yang
berlangsung lama serta pemakaian yang berulang-ulang

sering mencetuskan kelelahan otot yang berkaitan

dengan menurunnya kekuatan, kordinasi dan


kemampuan mempertahankan aktivitas. Ini telah terbukti
pada situasi kerja dimana lengan dipertahankan pada
posisi yangjauh dari tubuh tanpa penopang. Keadaan
ini misalnya ditemukan pada pekerja pabrik perakitan
mobil, montir dan tukang listrik yang sering mengerjakan
sesuatu lebih tinggi daripada kepala mereka sambil
memegang peralatan yang berat.
Contoh lain, peke{a yang selalu dalam sikap tubuh yang
statis dan harus mempertahankan lengan dalam posisi
abduksi atau ekstensi dalam jangka waktu lama atau
harus mempertahankan posisi leher yang diulur kedepan

ada tidaknya beban. Dapat terjadi penekanan saraf


ditempat-tempat terlentu. Pada ekstremitas atas misalnya
penekanan n.medianus pada pergelangan tangan (sindrom

terowongan karpal) dan n.ulnaris pada siku (sindrom


terowongan siku). Cedera langsung terhadap sarafini dapat
juga terjadi akibat tekanan dari luar yang berulang-ulang.
Beberapa contoh CTD :
. Sindrom Terowongan Karpal
Salah satu cedera muskuloskeletal akibat kerja yang
sering ditemukan ialah sindroma terowongan karpal.
Pasien mengeluh adanya rasa tingling pada jati 1,2 dan
3 yang dapat membangunkan merekamalam hari. Mereka
juga merasakan gangguan memegang dan spasme pada
ke tigajari tersebut. Pada pemeriksaan didapatkan uji
Tinel dan uji Phalen positip, atrofi otot thenar, parestesi
sepanjang daerah yang dipersarafi n.medianus. Jika

pemasangan bidai malam hari, pemberikan obat


antiinflamasi nonsteroid dan suntikan steroid lokal
tidak dapat menghilangkan nyeri dan terdapat pula
kelainan elektromiografi , perlu dipertimbangkan release

terowongan karpal dengan operasi atau melalui

akan menderita sindrom neck torsion. Sindrom ini


ditandai oleh nyeri sepanjang segmen paravertebra
tulang serfikal yang memanjang ke otot trapezius' Pada

pemeriksaan didapatkan spasme otot trapezius


bilateral, nyeri raba daerah yang terkena, berkurangnya
gerakan leher dan nyeri pada gerakan maksimum.

Perbaikan disain perlengkapan, misalnya mesin.

Kelelahan dan NyeriAkibat Tempat Duduk yang


Kurang Baik.
Dapat timbul keluhan berupa nyeri gluteus, nyeri pinggang

dan nyeri punggung.


Trau ma Ku m u latif (C u m u I ative trau m a d i so rders) :
Merupakan penyebab terpenting. P ada cumulative trauma
disorders (CTD) terdapat faktor risiko berupa :
. Aktivitas yang berulang-ulang, misalnya mengetik.
. Beban yang berat.
. Posisi sendi yang tidak wajar.
. Tekanan langsung.

.
.

Getaran.

Aktivitas statis atau posisi terpaksa yang lama,misalnya


mengelas.

Insiden keluhan dan cedera muskuloskeletal meningkat


jika terdapat} atau lebih faktor risiko.

secara bermakna

Cumulative trauma disorders mencakup spektrum

kelainan yang luas. Terdapat perbedaan faktor


predisposisi, gejala klinis serta pengobatan dan hasil
pengobatan pada masing-masing gangguan. Cedera saraf
perifer akibat sikap tubuh yang abnormal pada berbagai
situasi dan lingkungan kerja sering ditemukan. Mungkin
terjadi hipertrofi atau hipotrofi otot bergantung kepada

.
.
..
.
.

endoskopi. Harus diingat bahwa 25o/o pasiet sindrom


terowongan karpal juga mempunyai keluhan cedera
jaringan lunak lain seperti tendinitis pada berbagai
tempat atau malah penekanan saraf perifer lain.
Epikondilitis.
Ganglioma.

Neuritis jari-jari.

Tenosinovitis ekstensor/fleksor jari tangan (Trigger


finger).

Tenosinovitis De Quervain.
Yang khas, tendinitis berkaitan dengan rasa tidak enak
setempat yang bertambah bila dilakukan peregangan

pasif unit tendo-otot yang bersangkutan. Sering


terdapat kelemahan yang pain-induced, krepitasi
sepanjang tendo dan pembengkakan didaerah
subkutan.

. Di samping

itu terdapat kelainan yang batasannya


kurangjelas seperti keluhan punggung atau paraspinal
yang difus, rasa tebal dan letih atau lemah' Sebagian
besar pasien mempunyai beberapa faktor risiko. Sikap
abnormal tubuh yang berlangsung lama mengakibatkan

ketidak seimbangan otot dan meningginya tekanan


pada saraf perifer yang dapat mencetuskan kompresi
saraf multilevel dengan keluhannya.
Diperlukan pemeriksaan yang lebih luas terhadap pasien
dan tempat kerjanya karena sangat mungkin banyak faktor
yang berperan. Evaluasi sikap dan posisi tubuh pasien
dalam bekerja sering memperlihatkan kekurangan dalam hal
tempat duduk dan penempatan peralatan kerja. Di samping
itu, dengan mengamati pasien ditempat kerja dapat diketahui

otot mana yang memegang peranan utama dalam


melaksanakan pekerjaan dan otot mana yang merupakan
penunjang kegiatan.

2708

REI,JMIIiIOI.OGI

Cumulatiye trauma

dis

orders menimbulkan kerugian

PENATALAKSANAAN

besar akibat hilangnya produktifitas dan biaya kompensasi

yang harus dibayarkan perusahaan. Meskipun demikian,


CTD umumnya dapat dicegahmelalui penilaian lingkungan
kerja yang tepat oleh ahli ergonomi.

Akibat Kegiatan Fisik yang Dasarnya adalah


Mengangkat, Mendorong dan Menarik
Beberapa petunjuk untuk mencegah cedera akibat
mengangkat:

.
.

Beban yang diangkat tidak melebihi 50% batas kekuatan


perorangan (Personal strength limit).

Menghindarkan gerakan berputar sambil membawa


beban; jika memang perlu berputar, putarlah panggul.
Dekatkan beban kearah tubuh jika mengangkat dsb.

Beberapa petunjuk untuk mencegah cedera akibat


mendorong atau menarik:
. Pastikan daerah dihadapan beban rata dan tidak ada
yang menghalangi.
. Beban sebaiknya didorong, bukan ditarik. Keuntungan
lain ialah pandangan kearah gerakan dengan sendirinya

lebihbaik.
Gunakan sepafu yang kuat mencekam.

Secara umum, pengobatan CTD dilakukan dengan


mengistirahatkan bagian yang terkena dengan alat bantu
seperti pemasangan bidai-malam, neck braces dan korset
lumbal. Penanganan fase akut dapat berupa kompres es,
obat antiinflamasi nonsteroid, suntikan steroid lokal dan
perujukan ke ahli fisioterapi yang dapat memberi petunjuk

latihan peregangan dan penguatan yang tepat serta


membimbing pasien melaksanakan program aerobik
progresif untuk meningkatkan kebugaran tubuh secara
menyeluruh.
Tindakan pembedahan hanya dipertimbangkan jika
semua tindakan konservatif gagal setelah dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya selama paling sedikit 3 bulan.
Pengobatan CTD tidak terbatas pada tindakan medik
terhadap keluhan saja, melainkan juga mencakup saran

perbaikan/perubahan pada tempat kerja untuk


menghindarkan atau mengurangi cedera lebih lanjut, baik
terhadap pasien maupun teman sekerjanya. Ergonomi,
suafu cabang ilmu yang merencanakan kenyamanan sefta
produktifitas maksimal dengan cedera minimal ditempat
kerja telah berkembang menjadi bagian sangat penting
dalam penanganan cedera ditempat kerja.
Untuk mencegah berulangnya cedera, penilaian faktor

Gangguan Akibat Proses atau Bahan Kimia atau

Lain-lain
Bahan kimia dapat mempengaruhi metabolisme tulang
secara langsung, misalnya Cadmium menyebabkan

osteoporosis, pseudofraktur. Fluor mengakibatkan

risiko ditempat kerja memungkinkan diajukannya saran


perubahan seperti menggunakat alat yang berbeda,
mengurangi waktu beke4a ditempat dengan risiko tinggi
dengan melakukan rotasi kerja atau menggunakan alat
pelindung seperti bantalan dan bidai.

timbulnya daerah hipo- dan hipermineralisasi, eksostosis

pada tulang. Vinil klorida dapat menyebabkan


akroosteolisis. Pembenhrkan gelembung nitrogen dalam

jaringan pada penyakit Caisson dapat menyebabkan


gangguan aliran darah sehingga terjadi kelainan tulang

dan sendi.

Di

samping

itu dapat juga

mengganggu

koagulasi darah sehingga terjadi infark hipoksik pada sendi.

REFERENSI
Rock MD : Sports and occupational injuries. Dalam Klippel lH
(Ed.) Primer on the Rheumatic Diseases. Arthritis Foundation,
, Atlanta, GA, 1ln ed., 1997, p 149-54.
Hales TR, Bernard BP : Epidemiology of work-related musculoskeletal disorders. Dalam Orthopedic Clinics of North America.

27:4; 679-703, Oct 1996.


Gassett RS, Heame

P!

Keelan

B : Ergonomics

and body mechanics

in the work place. Dalam Orthopedic Clinics of North America.


27 :4:861-877, Oct 1996.
Ratti N, Pilling K : Occupational Medicine & Rheumatic diseases Back pain in the workplace. Brit J Rheumatol 16:260-264;
199'7.

414
FIBROMIALGIA DAN NYERI MIOFASIAL
O.K. Moehad Sjah

PENDAHULUAN

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Sindrom fibromialgia adalah suatu bentuk reumatisme

Sampai suut i.ri etiologi dan patogenesis fibromialgia belum

nonartikular yang karakteristik dengan nyeri muskul oskletal


kronik yang menyebar luas disertai rasa kelelahan dan
ditandai dengan tender point pada penekanan pada otot,

gambaran histologis belum diketahui.8'l1 Penelitian selama

ligamen dan insersi tendon. Sir Wiliam Gowers 1904,


pertama kali menggunakan istilah f,rbromiositis, kini istilah

tersebut ternyata kurang tepat. Berbagai nama lain


kemudian berkembang dan dikenal sebagai sinonim dari

fibromialgia : soft tissue rheumalism, tendomiopati'


miogelosis, neuroasthenia, muscular rheumatism'
myalgic encephalomyelitis, dll.

Tahun 1977, oleh Smythe dan Moldofsky

memperkenalkan untuk pertama kali istilah f,rbromialgia


sebagai suatu sindrom klinis dari gejala penyebaran nyeri

dan beberapa tanda tender point, disertai dengan


gambaran karakteristik yang lain yaitu gangguan tidur,

diketahui secara pasti. Kelainan laboratorium dan


1

0 tahun

terakhir ini difokuskan pada faktor psikologi, faktor

yang menyebabkan gangguan tidur, nocciception, dan


faktor neuroendokrin.

Benneth (2002) menyatakan bahwa sindrom


fibromialgia s emata-mata adalah kelainan psikosomatik dan
didapatkan sering bersamaan dengan kondisi ko-morbid
yang lain seperti irritable bowel syndrome, hiporertsi
postural, sakit kepala, migren, dysmenorchoe dan gangguan

tidur. Il
Gangguan neuroendokrin yang berhubungan dengan

hipotalamus, kelenjar hipopisis anterior, dan kelenjar


adrenal dikatakan mempunyai peran sebagai etiologi
f,rbromialgia.

puncak insiden antara umur 20 tahun-60 tahun, terutama


pada perempuan (lebih dari 75 % dibandingkan pria). Angka
prevalensi pada perempuan3,40/o dan pria 0,5%.
DiAmerika dilaporkan insiden sekitar 3-50%, Denmark

Faktor eksogen yang diduga sebagai penyebab antara


lain: trauma, infeksi virus, bakteri atau parasit.
Faktor genetik juga diduga mempunyai peran, di mana
pasien fibromialgia sering bersamaan dengan penyakit
autoimmun seperti: AR, SLE dan Sindrom Sjogren.
Namun sampai saat ini etiologi dan patogenesis
fibromialgia belum diketahui secara pasti. Kebanyakan

0,66o/o,Ftnlandia0,7Soh,Swedial,0o/o,Iermanl,9o/o,Afika
Selatan 3,2o/o,Kanada3,3oh, Norwegia 10,5% dan New

yaitu:

kekakuan dan stres emosional.


Insiden lrbromiatgia di seluruh dunia antara0,5o/o-12%o

dari seluruh populasi, mengenai seluruh usia dengan

Zealandl,loh.
Dari seluruh penyakit muskuloskletal, Tai melaporkan
bahwa insiden diAsia2l-39%, sedang di negarabarat23o/o.

Fibromialgia bukan merupakan suatu bentuk artritis


karena tidak menyebabkan kelainan sendi, tetapi dapat
muncul bersamaan dengan jenis artritis seperti artritis
reumatoid, LES ataupun penyakit jaringan ikat lain. Pada
pasien penyakit autoimun didapatkan sebanyak 20-25%
diserlai dengan fibromialgia.

sasaran penelitian dipusatkan pada tiga keadaan

.
.
.

Gangguan tidur
Perubahan otot dan
Parameterpsikologi.

Gangguan Tidur
Pasien fibromialgia sembilan puluh persen mengalami
gangguan tidur. Diduga growth hormon dan prolaktin
memegang peranan. Defisiensi growth hormon pada
orang dewas a dapat dihubungkan dengan fibromialgia

2710

REI,JII,IATOI.OGI

ini. Sekitar 80% produksi gr owth hormon dikeluarkan pada


tidur pada stage IY (non random eye movement sleep
atal: restorative sleep). Stage IY didapatkan pada saat
tidur yang paling dalam dan hal ini berhubungan dengan
intensitas dan tidur yang cukup. Growth hormon juga

KLASIFIKASI

saat

menyebabkan hati membentuk suatu protein yang


disebut somatomedin atau insulin like growth factor
yang paling banyak dikeluarkan pada saat tidur yang
dalam(stage IV). Bemeth dkk , (1992) mendapatkan kadar
somatomedin yang rendah pada pasien fibromialgia
dibandingkan group kontrol.
Prolaktin juga dikeluarkan pada saat tidur panjang
dalam dan diduga dapat meningkatkan efisiensi tidur.
Kadar prolaktin drjumpai rendah pada pasien fibromialgia.

Serotonin dan triptopan juga pegang peranan.


Triptopan adalah prekursor dari serotonin, suatu
neurotransmiter yang juga berperan dalam regulasi tidur,
dan jika kadar serotonin rendah dapat menimbulkan
insomnia.

Perubahan Otot
Growth hormon juga suatu peptida anabolik yang
menstimulasi peningkatan sintesis DNA, RNA dan
protein yang berperan pada pertumbuhan semua jaringan
fubuh dan pada orang dewasa memegang peran penting
pada homeostasis otot dalam hal memelihara otot yang
normal dan perbaikannya akibat dari pemakaian sehari-hari
dan kerusakan otot.

Pada fibriomialgia didapatkan kontraksi isokinetik


dan isometrik otot berkurang serta penurunan kapasitas

aerobik otot dan aliran darah otot juga berkurang.


Juga dijumpai penurunan kadar ATP dan ADP dan

Fibromialgia Primer
Gambaran karakterstik fibromialgia tanpa diketahui
penyebabnya atau penyakit yang melatarbelakangi.

Fibromialgia Sekunder
Gambaran karakteristik fibromialgia yang diketahui
penyebabnya atau penyakit yang melatarbelakanginya dan
dapat merupakan manifestasi penyakit lain yang erat
hubungannya dengan fibromialgia, dan ditandai dengan
hilangnya keluhan hbromialgia setelah penyakit primemya
teratasi.

Fibromialgia ReEional atau Terlokalisasi


Nyeri miofasial terlokalisir yang disertai dengan trigger
point,biasanya sekunder terhadap strain otot (pekerjaan
berulang) sangat mirip dengan sindrom miofasial lokal,
regional atau spesifik dan tidak memenuhi syarat kriteria
untuk fi bromial gia primer/sekunder.

Fibromialgia Usia Lanjut


Sama dengan fibromialgia primer atau sekunder, perlu

perhatian khusus terhadap kemungkinan adatya


polimialgia reumatika, penyakit degeneratif atau neurologik,
osteoporosis, penyakit Parkinson, sindrom otak organik
atau sindrom kelelahan pasca penyakit virus.

Fibromialgia Juvenile
Sama dengan fibromialgia primer pada pasien usia muda.

peningkatan AMP.

GAMBARAN KLINIS
Faktor Psikologi

Faktor psikologi juga memegang peranan penting


yang dapat menimbulkan spasme otot sehingga
muncul simptom fisik seperti nyeri otot, kaku dan
pembengkakan jaringan lunakyang tak dapat diterangkan.
Riwayat depresi pada keluarga lebih sering dijumpai
pada pasien fibromialgia dibandingkan dengan artritis
reumatoid.

Sindrom hbromialgia menampilkan

Selain hal-hal tersebut di atas maka diketahui pula

bahwa kadar serotonin yang rendah pada pasien


fibromialgia berkorelasi dengan jumlah tender point dan
kadar triptopan yang rendah menyebabkan serotoninjuga
menurun dan mengakibatkan rasa nyeri persisten yang
difus pada pasien fibromialgia.

Substansi P yaitu suatu neurotransmitter yang


berperan pada nyeri kronik juga meningkat pada
fibromialgia 3 kali dari nilai normal dan hal ini berhubungan
dengan nyeri di otot dan nyeri tekan. Peningkatan inijuga
mengakibatkan peningkatan transmisi rasa nyeri dan
direspons sebagai hiperalgesia.

jenis gambaran klinis

yang saling berkaitan, yaitu:

Gambaranutama, berupakeluhan nyeri muskulosekletal


generalisata kronis yang meluas dan nyeri tekan yang
terlokalisir pada otot dan insersi otot dengan tendon.
Keluhan ini ditemukan pada97%o pasien.
Garnbaran karakteristilq berupa keluhan

kelelalnt (fatique),

kaku pada pagi hari (morning stffiess), dan tidw tidak


nyenyak atau terganggu (non refresshed or disturbed
sleep),yang ditemukan pada lebih dari 75% kasus.
Gambaran umum, bukan merupakan keluhan penting,
ditemukan pada 25%o pasien. Keluhan tersebut antara
lain: irritable bowel syndrome, fenomena Raynaud,

nyeri kepala, rasa bengkak, parastesia, psikologik

abnormal dan disabilitas fungsi.


Koeksistensi dengan beberapa gangguan reumatik yang

gejalanya saling tumpang tindih dengan sindrom


fibromialgia seperti artritis, nyeri pinggang bawah, nyeri
tengkuk dan tendonitis.

27tt

FIBROMIALGIA DAN NYERI MIOFASIAL

Ada tiga gejala utama yang dikenal dengan triad fibromialgia, yaitu;

Nyeri Muskuloskletal
Lokasi nyeri yang sering dijumpai adalah pada aksial, yaitu
di sekeliling bahu, leher dan belakang bawah (low back).
Paling menonjol pada servikal dan lumbal. Sebagian pasien

mengeluh nyeri
objektif tidak ditemukan kelemahan otot.

otot dan rasa lemah, walaupun secara

Kekakuan (sfiffness)
Merupakan gejala umum paling sering dijumpai, seperti
pada pasien reumatik lainnya. Rasa kaku terutama pada
pagi hari dan membaik setelah bergerak, walaupun pada
beberapa pasien dapat berlangsung sampai 3 hari.

Kelelahan (fatique)
ini erat kaitannya dengan gangguan tidur.
Gangguan tidur berupa sering terbangun malam akan
menyebabkan pasien merasa tidak segar pada waktu
bangun tidur sehingga pasien merasa sangat lelah.
Keluhan

Keluhan gangguan tidur ini dialami oleh lebih dari dua per
tiga pasien. Gangguan tidur juga temyata berpengaruh
secara signifikan terhadap intensitas nyeri, kelelahan
sepanjang hari dan kaku pagi hari.
Dalam riwayat penyakit dapat ditemukan keluhan yang
bertambah berat bila kena air dingin, suara keras, kerja
berat, stres mental dan kecemasan. Sebaliknya keluhan
berkurang dengan udara hangat, mandi air panas, liburan,
aktivitas ringan, peregangan dan pemijatan.
Riwayat pengobatan menunjukkan pasien mengalami

dibandingkan dengan orang normal.


Tender point tidak hanya dijumpai pada pasien
sindrom fibromialgia, akan tetapi juga dapat ditemukan
pada regional pain syndrome, yang mirip dengan
fibromialgia tetapi tanpa disertai dengan kekakuan umum
dan kelelahan. Sindrom tersebut dikenal detgan sindrom

miofasial (myofacial pain syndrome). Untuk


membedakan kedua titik tersebut, maka titik pada sindrom

miofasial disebut dengan trigger point. Istilah ini


digunakan oleh karena penekanan pada titik tersebut
akan menimbulkan nyeri yang disebarkan ke daerah
sekitarrrya, sedangkan tender point hanya menimbulkan
nyeri lokal saja.
Pemeriksaan laboratorium biasanya memberikan hasil
yang normal. Pemeriksaan psikologik menunjukkan keluhan
ini memburuk bila ada stress. Ada yang beranggapan
fibromialgia sebenarnya merupakan depresi terselubung
atau gangguan ansietas yang somatisasi menonjol dan
hipokondria. Pasien f,rbromialgia yang jelas menunjukkan
depresi, ansietas dan hipokondria umumnya sukar untuk
disembuhkan. Hipotesis menyatakan adaty a lingkaran

setan antara kejang otot, gangguan tidur, psikologik


abnormal.

DIAGNOSIS
Diagnosis sindrom fibromialgia ditegakkan berdasarkan
Kriteria klasilrkasi American College of Rheumatology
(ACR) tahun 1990.

kegagalan dengan aspirin dan obat anti inflamasi


nonsteroid. Biasanya pasien akan memberikan daftar
panjang obat yang pernah diminumnya.

Riwayat nyeri yang menyebar luas. Dikatakan

Riwayat penyakit yang lebih lengkap biasanya


menunjukkan adanya berbagai kondisi yang erat
hubungannya dengan faktor stres, misalnya irritable
bowel syndrome, irritable bladder, tension headache,

menyebar luas apabila ditemui semua yang tertera berikut ini:


Nyeri pada sisi kiri tubuh,
Nyeri pada sisi kanan tubuh
Nyeri di atas pinggang .
Nyeri di bawah pinggang.
Nyeri aksial skeletal
(vertebra servikalis atau torak depan atau vertebra
torakalis atau low back)
Nyeri dengan palpasi jari pada sedikitnya 11 dari 18 tender
point :
Oksiput:bilateral pada insersi otot suboccipital
Servikalis bawah: bilateral, aspek anterior dari celah
intertransverse pada C5-C7
Trapezius:bilateral,bagian tengah batas atas
Supraspinatus:bilateral diatas tulang skapula didekat
garis medial.
lga ke ll:bilateral, sedikit ke lateral dari persendian
kos{okondral ke ll
Epikondilus lateralis:bilateral,2cm distal epicondilus
Gluteus: bilateral,kwadran atas lateral pada lipatan
otot anterior.
Trokanter mayor:bilateral ,pada posterior tonjolan
trokanter mayor.
Lutut: bilateral,pada bantalan lemak medial proksimal
garis sendi lutut

migren dan dismenorrhoe.


Suatu keadaan yang khas pada pemeriksaan fisik
pasien sindrom fibromialgia adalah tidak ditemukannya

kelainan atau gejala objektif yang setara dengan


keluhannya. Satu-satunya penemuan abnormal adalah
adanya beberapa titik nyeri (tender point). Pasien biasanya
sadar akan adanya titik nyeri ini dan merasa gembira bila
dokter dapat menemukannya. Bila pemeriksa tidak

mengenal lokasi titik-titik ini, biasanya hasil


pemeriksaannya normal dan pasien merasa kecewa.
Tender point dapat dirasakan dengan penekanan
menggunakan ibu jari tangan yang setara dengan beban
4kg.

Penelitian dengan menggunakan dolorimeter


menunjukkan bahwa pada lokasi tender point pasien
fibromialgia didapatkan ambang nyeri yang lebih rendah

nyeri

2712

REUMAIIOI.OGI

Palpasi harus dilakukan dengan tekanan yang


sedang.Tender point dikatakan positif apablla ada nyeri
pada palpasi. Nyeri tender point tidak sama dengan sakit.

Untuk tujuan klasifikasi, pasien disebut fibromialgia


apabila memenuhi kedua kriteria tersebut. Penyebaran
nyeri yang luas (difus) harus ada paling tidak selama
3 bulan

Adanya kelainan klinis kedua tidak menyingkirkan


diagnosis fibromialgia. Direkomendasikan untuk
menggunakan kriteria ini dalam menegakkan diagnosis
secara klinis oleh karena bisa dilakukan di mana saja,
sederhana dan ekonomis. Kriteria ini mempunyai
sensitifitas 88% dan spesifisitas 81%. Di samping
itu,beberapa penulis menegaskan pentingnya control
points dalammenegakan diagnosis. Control points ini tidak
nyeri apabila dilakukan palpasi pada lokasi tersebut.
Ini penting untuk membedakannya dengan reaksi konversi
dari reumatism psikogenik yang merasa nyeri pada semua
tempat.

Untuk membantu menegakkan diagnosis perlu


diketahui faktor-faktor yang bisa memperberat atau
memperingan keluhan. Faktor-faktor yang memperberat
adalah: cuaca dingin atau lembab, tidur yang tidak nyaman,
kelelahan fisik atau mental, aktivitas fisikyang berlebihan,

inaktivitas fisik dan stres/ansietas. Sedangkan faktor-faktor


yang memperingan adalah: cuaca hangat dan kering, mandi
air panas, tidur nyenyak dan aktivitas sedang yaitu latihan
peregangan dan

pr.1at.

Pemeriksaan laboratorium dan radiologis biasanya


memberikan hasil yang normal. Pemeriksaan ini dilakukan
untuk menyingkirkan gangguan atau kelainan lain.

DIAGNOSIS BANDING
Fibromialgia dapat sebagai penyakit yang berdiri sendiri
atau muncul bersama penyakit lain seperti LES, RA,
sklerosis multipel atau kelainan autoimun lain.
Diagnosis banding fibromialgia antara lain:

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Sindrom nyen miofasial

Aftritis reumatoid
Polimialgia reumatika/giant cell arteritis
Polimiositis/dermatomiositis.

Miopati karena kelainan endokrin hipotiroid, hipertioid,


hipoparatiroid, hiperparatiroid,insufi siensi adrenal)

Miopati metabolik (glycogen storage disease,lipid


myopathies)

Neurosis (depresi, ansietas)


Karsinoma metastase.
Sindrom/atique kronis.
Parkinsonisme (fase diskinetik)

Gambar 1. Lokasi tender points pada sindrom fibromialgia

Ada 4 kontrol points pada sindrom fibromialgia, yaitu:


. Titik tengah dari dahi.
. Aspek volar dari pertengahan lengan atas

.
.

Kuku ibu jari.


Otot-otot dari tungkai atas sisi anterior

Gambaran SindromFibromialgia SindromMiofasial


Regional / lokal
Biasanya tidak ada /

Nyeri
Kelelahan

Menyeluruh / difus
Sangat nyata / sering

Kekakuan

Generalisata / sering

Regional / Jarang

Tender points:
Tersebar luas / Difus
Latihan umum
Obat gangguan tidur

Trigger point:

Jarang

pagi hari
Palpasi
Terapi

Prognosis
Ernpal Control pointsi
1. Titik tengah dahi

Penyakit cenderung
kronik dengan beberapa
disabilitas fungsional

Regional / Lokal
Menghindari faktor

pemberat
Latihan peregangan
Diharapkan resolusi
sempurna, walaupun
sering kambuh

2. Sisi volar pertengahan lengan atas

3.Kuku ibu jari


4.Otot-otot dari tungkai atas sisi anterior

Gambar 2. Lokasi control points pada sindrom fibromialgia

PENGELOLAAN
Pendekatan awal penatalaksanaan memprioritaskan
pendidikan dan keyakinan pasien. Pasien harus diberitahu
bahwa hbromialgia bukanlah gangguan psikiatri dan gejala
yang dijumpai pada penyakit ini adalah sering juga ditemui
pada masyarakat umum dan penting menjelaskan bahwa

27t3

FIBROMIALGIA DAN NYERI MIOFASIAL

penyakit ini tidak mengancam kehidupan, bukan penyakit


degeneratif atau bentuk penyakit yang buruk.

Obat-obatan yang dapat diberikan:

Trisiklikantidepressant:
5-50 mg,4rari, Nortriptilin@amelor) l0-50 mg/
hari, Sinequan (Doksepin) 2,5-7 5 mglhari.
Selektif serotonin re uptake inhibitors (SSRI):
Trazodon (Desirel) 25-50 mg/hari, Fluoksetin (Prozak)
| -20 mglltut,Paroksetin (Paksil) 5-20 mgAari.
Musclerelaksan: Siklobenzaprin(Tlekseril) 10-30 mg/hari.

Amifiptilin

TUJUAN PENGELOLAAN
Adalah untuk mengurangi rasa nyeri, memperbaiki kualitas
tidur, dan meningkatkan aktivitas fisik untuk mendapatkan
kesehatan dan fungsi otot yang baik.

PENATALAKSANAAN SECARA UMUM TERBAGI

.
.
.
.

Untuk mendapatkan hasil yang baik pengobatan


farmakologi harus dikombinasikan dengan nonfarmakologi.

Pengobatan Secara Farmakologi


Pioro Boiset, Esdaile dan Fitzcharles (1996) mendapatkan
91% pasien Fibromialgia melakukan terapi komplementari
(rehabilitasi) atau medis altematif selama 1 tahun.

Pengobatan nonfarmakologi antara lain:

Latihan olahraga: peregangan, penguatan, aerobik.

Latihan olahraga merupakan pengobatan nonfarmakologi yang paling penting. Latihan olahraga
yang teratur dimulai dengan peregangan dan diikuti
aerobik dapat meningkatkan nilai ambang rasa nyeri.
meningkatkan oksigen ke otot, memperbaiki kondisi
secaraumum.

Pemanasan: dapat meningkatkan sirkulasi dan

mengurangl nyerl.
Terapi perubahan tingkah laku (kognitif); berfikir dan
tingkah laku yang positif.

.
.
.
.
.
.
.

Pendidikan: penyuluhan mengenai penyakit dan


pengobatannya, perbaikan tidur termasuk tidur teratur,
lingkungan bersih dan tidak ribut, menjauhi alkohol,
rokok dan kopi menjelang tidur.
Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS):
dapat meningkatkan opioid endogen.
Diet: rendah lemak dan tinggi serat
Suplement diet: Koenzim 10, Magnesium,VitB12.
Relaksasi, meditasi

Akupunrur. akupressure. pemijatan


Distraction, misalnya nonton film yang ltat(funny movie)
Relaksasi, misalnya mendengarkan musik yang lembut.

PENGOBATAN SECARA FARMAKOLOGI


Tidak ada obat khusus untuk pengobatan fibromialgia,

pengobatan simtomatis dengan obat-obatan akan


menghasilkan perbaikan sebanyak

Analgesik sederhana

lebih 4 grarn/hari)

Analgesik sentral golongan Opioid: Kodein, metadon,


Tramadol
Topikal krim:
Capsaicin 0,25%

PROGNOSIS
Pasien usia muda dengan gejala ringan cenderung
prognosisnya lebih baik, walaupun pasien memberikan
respons terhadap pengobatan kadang-kadang masih juga
ada keluhan yang ringan tetapi nyeri tersebut dapat

ditoleransi Penyembuhan akan sulit pada pasien yang


mempunyai stres emosional berupa ansietas dan
depresi, oleh karena itu perlu penatalaksanaan secara
multidisipliner.

REFERENSI

Alprazolam (X anax) 0,25 -1,25 I hart.


OAINS (Ibuprofen, selekoksib), Asetaminofen (tidak boleh

ATAS:

Pengobatan secara farmakologi dan nonfarmakologi.

Berlzodiazepir:
Klonazepam (Klonopin) 0,50-1 mg/trari,

0-50%.

Affleck G, Urrows S, Tennen H, Higgins B Abeles M. Sequential


daily relations of sleep, pain intensity, and attention to pain
among women with fibromyalgia. Pain .1996; 68: 363-8.
Bennett RM. Fibrositis. In: Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge

CB eds. Text book of rheumatology.

Philadelphia:WB

Saunders; 1 989 p.541 -53

Bennet, R. Scientific basis for understanding pain in


fibromyalgia. April 12, 2003. from http:/www.myalgia.com
Scientifi c%20basis.htm
Benneth RM, Clark SR, Campbell SM, Burckhardt CS . Low levels

somatomedin

of

C in patients with the fibromyalgia

syndrome.Arthritis and Rheumatism, 1992;35: 1113-6.

Clarke AK. Fibromyalgia.

In: Clarke AK. Rehabilitation

in

rheumatology. Singapore:Toppan Printing;1987.p.81-6.


Chichasova N, Igolkina E, Nasonov E, Folomeev MY, Repas Ch. A

long-term treatment of fibromyalgia with tramadol


(preeliminary report). IX Symposium Eular, Madrid 1996: 126
(Abstract).
Drewes AM. Pain and sleep disturbances with special reference to
Fibromyalgia and rheumatoid arthritis. Rheumatology 1999;

38:1035-44.

Freundlich B,Leventhal L.The

fibromyalgiasyndrome.

In:schumacher HR,Klippel JH, Koopmaan W J,eds. Primer on


the rheumatic disease. Atlanta:Arthritis Foundation; 1993:24'7 -9 For EA, Sexton H. Weather and the pain in fibromyalgia:are they

2714

REUMI(IOIOGI

related ? J Ann Rheum. Dis. 2002;61: 242-50.


Fibromyalgia. http://www.fmsni.freeserve co.uk
Fibromyalgia. http://www.muhealth.org/-vocrehab/fibro/index.htm

Griep EN. Fibromyalgia: neuroendocrine perspective and


pathophisiology. Proceeding of XIX ILAR Congress of
Rheumatology. Singapore: 1 997.p. 1 36-8.

Griffiths ID. Fibromyalgia. Lectures in rheumatology.


International teaching course

in

Penang

Rheumatology. Penang,

Practical Printers, 1990: 105-8.


LH. Pathogenesis of fibromyalgia. In: Toorralba T.! Amarte
CM, Navarra ST (Eds). Proceeding of the 5 th Asean Congress
of Rheumatology. 3rd Aplar Symposium on the Theraphy of
Rheumatic Disease. Mat1la.1998: 44-45.

Gerber

in females without psychiatric disorder Br J Rheumatol.


37:1279-86

1998;

Klemp P, Williams S.M, Stansfield S.A. Fibromyalgia in Maori and


European New Zealanders. APLAR Rheumato1.2002; (No.1):

l-5.
Lash .A A, Jones LE, Mc Coy D. Fibromyalgia: evolving concepts
and management in primary care setting. In: Journal Medsurg
Nursing Pro Quest Medical Library. 2003; vol 12: 145-90.
Mc Cain GA. Nonmedicinal featments in primary frbromyalgia. In;
Benneth RM, Goldenberg DL.Rheum dis clin North Am.
Philadelphia: WB Saunders; 1 989.p.73-90.
Non.Articular Rheumatism, In: Adreoli T.E, Bennet J.C, Carpenter

C, Plum F,eds. Cecil essentials of medicine. 4 th

ed.

Geel SE. The Fibromyalgia syndrome: Musculoskletal pathofisiology.


Seminars in Arthritis and Rheumatism 1994; 23: 347-53.

Philadelphia: W.B. Sounders;1997.p.634-6.


O.K Moehad Sjah. Fibromialgia and sindrom miofasial. ASEAN

Goldenberg DL. Treatment of fibromialgia . In: Benneth RM,


Goldengberg DL, Rheum Dis Clin Norlh Am. Phitadelphia: WB.

Meeting on Gout and Hyperuricemia, Ikatan Reumatologi

Saunders; 1 989.p.6I

-7 2.

Gilliland BG. Miscellaneus arthlitis and extraarticular rheumatism.


In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Kasper
DL, et al eds. Harrisons principles of internal medicine. 15 th
ed. New York:Mc Graw Hill;2001.p.2520-52
Hench PK. Evaluation and differential diagnosis of fibromyalgia.In
: Benneth RM, Goldenbrg DL. Rheum Dis Clin of North Am.
15. Philadelphia: B Saunders 1989.p.19-30.
Hannonen P, Malminiemi K, Yli-Kerttula U, Isomeri R, Roponen
P. A Randomized, double-blind, placebo-controlled study of
moclobemide and amitriptyline in the treatment of fibromyalgia

Indonesia, Jakarta, 2003.


Schochat T, Croft P, Raspe H. The epidemiology

Workshop

of Fibromyalgia.

of the standing committee on

epidemiology

European league against rheumatism (EULAR), Bad Sackingen,

19-21 November 1992. Br J Rheumatol 1994; 33: 783-6.


Wolfe F.Fibromyalgia:the clinical syndrome. In : Benneth RM,
Goldenberg DL. Rheum Dis Clin North Am.Philadelphia: WB
Saunders;1989 p 1-18.
Zainal E, Harry I, Bambang S. Sindrom frbromialgia. In: Syaifullah
Noer et al,eds. Jakarta:Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai

Penerbit FKUI; 1 996.p. 108-

I2

4t5
NYERI SPINAL
Yoga

Nyeri merupakan salah satu gejala yang membawa pasien


dengan kelainan muskuloskeletal mencari pertolongan.
Nyeri ini lebih bersifat subyektif, sehingga menyulitkan

I. Kasjmir

radiks saraf dalam foramen intervertebral atau spondilosis


yang dikaitkan dengan proses degeneratif yang berasal
dari penyakit pada diskus.

untuk membuat suatu batasan. Namun demikian


karakteristik nyeri seringkali membantu dalam hal mencari
penyebab nyeri.

Nyeri spinal timbul akibat berbagai keadaan yang


mengenai tulang belakang serta berbagai jaringan di
sekitarnya yang berkaitan langsung atau bahkan nyeri pada
daerah spinal yang merupakan nyeri alih dari tempat lain
atau organ lain yangjauh dari vertebra.
Di bawah ini dibahas nyeri servikal dan nyeri pinggang

bawah yang merupakan bagian dari nyeri spinal yang


banyak ditemukan di masyarakat.

Anatomi
Banyak jaringan yang merupakan sumber nyeri pada
daerah servikal. Umumnya rasa nyeri berasal dari jaringan

lunak atau ligamen, radiks saraf, faset artikular, kapsul,


otot serta dura. Nyeri dapat diakibatkan oleh iritasi, trauma,

inflamasi, atau infeksi. Pada gambar 1, dapat dilihat


berbagai jaringan di daerah servikal yang dapat merupakan

sumber nyeri.

Di samping itu perlu diperhatikan adanya nyeri alih dari


berbagai jaringan atau organ lain yang merupakan gambaran
distribusi dermatomal yang dipersarafi oleh saraf servikal.
Pemahaman anatomi berbagai jaringan di servikal ini

NYERISERVIKAL

sangat membantu dalam menetapkan penyebab nyeri servikal.

Walaupun insidensi nyeri servikal tidak sebanyak keluhan


nyeri pinggang bawah, namun penelusuran terhadap nyeri
tersebut seringkali menyulitkan para klinisi. Pada umumnya

sebelum timbul nyeri servikal pasien mengeluh kaku


servikal. Keluhan ini mulai menyerang pasien berusia
25-29 tahun dengan presentasi sebesar 25-30%o. Pada
mereka yang berusia di atas 45 tahun, prevalensinya
meningkat sampai 50%.
Penyebab terbanyak nyeri servikal adalah artritis dan
trauma, walaupun lebih tepat dikatakan adalah berbagai
faktor mekanik yang mengganggu pergerakan. Gangguan
pergerakan ini baik pada diskus, ligamen atau sendi dapat
memberikan sensasi nyeri, rasa tidak enak di servikal
bahkan disabilitas.
Terdapat beberapa istilah yang digunakan pada nyeri
servikal ini dan berkaitan dengan proses penyebab yang

mendasarinya. Di antaranya sindrom servikal (cervical


syndrome) dimana nyeri servikal disebabkan oleh iritasi

Gambar 1, Anatomi vertebra servikal dan lokasi jaringan sumber


nyen

Evaluasi Klinis Nyeri Servikal


Pada umumnya tipe nyeri sewikal, lokasi, frekuensi dan

lamanya nyeri servikal berkaitan erat dengan pergerakan


atau posisi. Seringkali tempat yang ditunjukkan pasien
adalah menrpakan sumber nyeri atau cerminan nyeri alih.
Anamnesis yang cermat untuk mengetahui mekanisme

2715

2716

RELJMA-IOLOGI

timbulnya nyeri servikal dapat diperoleh dengan


menanyakan pergerakan mana yang menimbulkan atau
menambah rasa nyeri serta yang menghilangkan atau
mengurangi rasa nyeri pada servikal.
Banyak keadaan atau posisi servikal yang berkaitan

Trauma fisis
lmobiltas
I

dengan pekerjaan atau kebiasaan seseorang akan


menimbulkan nyeri servikal tanpa disadari oleh yang
bersangkutan. Jenis pekerjaan sebaiknya ditanyakan

karena banyak posisi servikal tertentu padajenis pekerjaan


tertentu yang dapat memicu nyeri servikal ini.

Di samping itu faktor emosi dapat mendasari adanya


perubahan postur tubuh maupun vertebra servikal serta
mengakibatkan pula nyeri servikal. Tekanan yang
berlebihan atau berkepanjangan akan menimbulkan iskemia
dan menyebabkan tension myositis, kontraktur miostatik
sebagai akibat proses adaptasi, yang menimbulkan rasa
nyeri bila dilakukan tarikan, iritasi regangan miofasial pada
periosteum tempat insersi otot, serta kompresi diskusi yang
menetap.

Pada sindrom servikal, perlu dibedakan beberapa


penyakit atau keadaan yang dapat menyebabkan nyeri
pada servikal, yaitu gangguan lokal pada servikal, lesi yang
menyebabkan nyeri servikal dan bahu, nyeri servikal yang

disertai penjalaran akibat lesi tertentu dan sebagainya.


Pada Tabel l, diperlihatkan berbagai penyebab yang dapat
menimbulkan nyeri servikal.

Hambatan pemanjangan otot, restriksi gerakan sendi,


keterbatasan fungsi tendon, pemendekan fascia
I

v
Disabilitas fungsional klinis

Gambar 2. Mekanisme timbulnya nyeri leher serta disabilitas servikal

Parestesia baik pada daerah muka. servikal atau sampai

ujung jari menunjukkan adatya gangguan pada radiks


saraf servikal. Keluhan ini dapat timbul unilateral maupun
Gangguan lokal pada leher
Osteoartritis
Artritis Reumatoid
Artritis Reumatoid Juvenilis
Tendinitis
Stern okleid

om

astoid

eu

Strain Servikal Posterior Akut


lnfeksi Farings
Limfadenitis Servikal
Osteomielitis
Meningitis
Spondilitis Ankilosa
Penyakit Paget
Tortikolis
Keganasan (primer/
metastasis)
Neuralgia Oksipital
DISH (Dlrfuse ldiophatic
Ske

et a I Hyperosf osls)

Demam Reumatik
Gout

Lesi yang mengakibatkan


nyeri leher/ bahu
Gangguan postural
Artritis Reumatoid
Sindrom Fibrositis
Trauma
M

uskuloliga mentu m

Osteoartritis
Spondilosis Servikalis
Osteoartritis ntervertebra
Thoracic outlet syndrome
Trauma pada saraf
I

bilateral, seringkali berkaitan dengan pergerakn servikal.


Tekanan pada radiks saraf atau arterei vertebral,
disfungsi autonom, spasme otot oksipital serta osteoartritis
akan memberikan keluhan sakit kepala. Nyeri bersifat
tumpul dan diperberat pula oleh gerakan servikal, batuk
atau tarikan otot.
Beberapa gejala lain yang perlu diperhatikan adalaha
keluhan pseudoangina pektoris, kekaburan pandangan,
tinifus, disfagia, sesak napas, palpitasi sefia nausea. Hal
ini tergantung dari jenis kelaianan pada tulang servikal
tersebut.

Lesi yang mengakibatkan


nyeri leher disertai
penjalaran nyeri

Untuk memudahkan penelususan penyebab nyeri servikal


ini dapat diperhatikan pembagian seperti berikut:

Spondilosis servikalis
Artritis Reumatoid
Osteoartritis
Tumor medula spinalis
Sindrom neurovaskular
servikal

Nyeri servikal spesifik. Sifat nyeri biasanya terus menerus


dan berlangsung lama yang disebabkan oleh penyakit
tertentu seperti berbagai jenis artritis (osteoartritis, gout,
artritis reumatoid, spondiloartropati serone gatif), infeksi
keganasan, diabetes dan sebagainya.

Nyeri pada servikal perlu dispesifikasi secara cerrnat


seperti mula timbul (onset) nyeri, distribusi, kekerapan,
apakah nyeri menetap atau hilang timbul, lama nyeri,
kualitas nyeri, kaitan dengan gejala neurologis, lokasi nyeri
dan sebagainya. Pada Gambar 2. di bawah ini diperlihatkan
algoritma mekanisme penyebab disabilitas dan nyeri
servikal.

Nyeri servikal non-spesifik. Durasi nyeri biasanya lebih


pendek dan intermiten. Nyeri lebih banyak diakibatkan oleh
proses gangguan biomekanik (spondilosis). Kelainan

ini berkaitan dengan ruda paksa, postur salah dan


penggunaan berlebih. Nyeri servikal golongan ini dibagi
lagi menjadi tiga,yaitu: nyen diskogenik, nyeri mielogenik
dan nyeri neurogenik.

2717

NTERI SPIRAL

Nyeri diskogenik biasanya terasa tumpul atau linu dan


dalam. Nyeri alih dirasakan didaerah skapula medial, bahu
atas/ belakang, dan bagian posterior lengan bawah sampai
siku. Nyeri befiambah dengan fleksi servikal ke depan.

Nyeri mielogenik memberikan sensasi seperti


bergelombang dan merujuk ke bawah spinal sampai ke
ekstremitas.

Nyeri Neurogenik terasa lebih tajam, seperti tersengat


atau terbakar. Penjalaran nyeri ke arah lengan dalam daerah

dermatom radiks saraf.

Pemeriksaan Fisis
Memperhatikan postur tubuh pasien saat dilakukan
anamnesis merupakan pemeriksaan fisis awal yang dapat

Gambar 3. Distribusi dermatom persarafan servikal

membantu diagnosis. Biasanya postur tubuh tersebut


mencerminkan keadaan sebenarnya keluhan nyeri servikal
pasien, mengingat adanya faktor emosi yang tinggi dapat

mengubah postur pasien saat pemeriksaan fisis


sesungguhnya dilakukan.
Pemeriksaan lingkup sendi(range of motion) dilakukan
baik secara aktif maupun pasif pada arah fleksi anterior
atau ekstensi. Pada tindakan pemeriksaan pasif, perhatikan
keterbatasan yang merupakan cerminan gangguan j aringan
lunak, ligamen, kapsul atau otot yang berada di sekitar
diskus serta sendi posterior. Fleksi lateral dan rotasi terjadi
secara bersamaan. Bila terjadi keterbatasan gerak ke arah
lateral ini biasanya akan dikompensasi oleh gerak bahu
yang mengikuti arah fleksi lateral tersebut.

Adanya keterlibatan neurologis perlu ditetapkan


seperti sensasi kesemutan pada tangan yang menunjukkan
adatya iritasi radis servikal C6, Cl , C8 dan refleks serta
kekuatan otot. Biasanya gangguan neurologis yang terjadi

bersifat lower motor neuron. Gambar 3 menunjukkan


distribusi dermatom yang dipersarafi oleh saraf servikal.

Penetapan diagnostik nyeri servikal dapat lebih


dipermudah apabila dilakukan serangkaian pemeriksaan
khusus terhadap verlebra servikalis, yaitu: 1. tes kompresi
kepala; 2. tes distraksi kepala; 3. tindakan valsava; 4. tes
disfagia; 5. tes oftalmologik; 6. tes adson; 7. tes kelemahan
dan atrofi otot; 8. tes penekanan bahu; 9. pemeriksaan

sangat menenfukan penanganan yang akurat. Pemeriksaan


dari sisi lateral dapat melihat dislokasi dengan mudah. Hasil

ini diperkuat oleh posisi oblik untuk melihat foramen


interverterbral yang menyempit. Untuk melihat adatya
kemungkinan kecurigaan dislokasi perlu dibuat posisi yang
tepat dan sesedikit mungkin melakukan manipulasi pada

servikal. Apabila dislokasi terjadi ke arah anterior lebih


dari setengah tebal korpus, maka perlu diketahui apakah

telah terjadi kerusakan pada ligamen longitudinal,


interspinosus dan faset. Subluksasi dapat dilihat dengan
menggunakan posisi fleksi dan ekstensi penuh.
Mengingat keterbatasan gambaran diagnostik hanya
dengan satu posisi foto polos verlebra servikalis ini, maka
dianjurkan pemeriksaan dari sudut antero-posterior, foto
antlanto-aksial dengan mulut terbuka, posisi lateral dan

oblik. Akibat keadaan ini seringkali didapatkan


ketidakcocokan hubungan antara gambaran foto polos
servikal dengan manifestasi klinisnya.
Mielografi. Tindakan ini tidak memberikan hasil yang begitu
baik, karena sempitnya kanalis spinalis. Dengan mielografi
ini dapat dilihat kanal dura, ekstensi ke arah posterior dari
diskus, penonjolan tulang ke dalam kanalis spinalis.

Sedangkan diskografi yaitu dengan menyuntikan


zat kontras ke dalam diskus hanya memberikan

refleks, serta 10. pemeriksaan terhadap daerah sekitar servikal.

gambaran tentang diskus itu sendiri sebagai lokasi sumber

Tes distraksi kepala akan menghilangkan nyeri yang


diakibatkan oleh kompresi terhadap radiks saraf. Hal ini
akan dapat diperlihatkan apabila kecurigaan iritasi radiks
saraf lebih memberikan gejala dengan tes kompresi kepala,
walaupun penyebab lain belum dapat disingkirkan.

nyeri.

Pencitraan resonansi magnetik (magnetic resonance


imaging). Teknik ini banyak digunakan untuk melihat

Pemeriksaan Radiologis

adanya kelainan kongenital, siringomielia, neoplasma


medula spinalis, sklerosis multipel dan degenerasi diskus
awal. Di samping itu bermanfaat pula dalam pemeriksaan
terhadap kelainan ekstramedular dan trauma.

Foto polos. Evaluasi klinis lebih menentukan diagnosis

Elektrodiagnostik. Beberapa pemeriksaan ini membantu

penyebab nyeri servikal, sedangkan gambaran radiologis


dapat memberikan bantuan data serta harus berhati-hati

gambaran klinis. Di antaranya pemeriksaan elektromiografi

dalam mengambil kesimpulan. Fraktur atau dislokasi


vefiebra servikalis harus diketahui secara pasti, karena

(EMG), kecepatan hantar saraf (nerve conduction


v e Io c

ity I

NCY)

Dengan teknik

dan s om at o s en s o ry

ev oke

d r e sp ons e (SER).

ini dapat diperlihatkan

adanya polineu-

2718

ropati difus, neuropati karena jepitan saraf fokal,


radikulopati, miopati atau gangguan pada sambungan
neuromuskular.

Penatalaksanaan
Dalam menghadapi pasien dengan nyeri servikal, perlu
diperhatikan selain penyebabnya adalah berat ringannya

RELJTvIA*IOI.OGI

berupa atrofi otot serta kontraktur. Jangka waktu I -2 minggu

ini biasanya cukup untuk mengatasi nyeri pada nyeri


servikal non spesifik. Apabila disertai dengan iritasi radiks
saraf, adakalanya diperlukan waktu sampai 2-3 bulan.
Operasi. Tindakan ini lebih banyak ditujukan pada keadaan
yang disebabkan oleh kompresi terhadap radiks sarafatau

pada penyakit medula spinalis yang berkembang


lambat serta melibatkan tungkai sertai lengan. Pada

gejala, ada tidaknya keterlibatan neurologis, serla beratnya


gambaran radiologis.

penanggulangan kompresi tentunya harus dibuktikan

Pengobatan pada Fase Akut Nyeri

dengan adanya keterlibatan neurologis serta tidak


memberikan respons dengan terapi medikamentosa

Obat penghilang nyeri atau relaksan otot dapat diberikan

biasa.

pada fase akut. Obat-obatan ini biasanya diberikan selama

Pencegahan nyeri servikal. Seluruh pasien nyeri servikal

7-10 hari. Jenis obat-obatan yang banyak digunakan


biasanya golongan salisilat atau anti inflamasi nonsteroid.
Bila keadaan nyeri dirasakan begitu berat, kadang-kadang

diperlukan analgetik golongan narkotik seperti kodein,


meperidin, bahkan morfin. Ansiolitik dapat diberikanpada
mereka yang mengalami ketegangan mental. Pada kondisi
tertentu seperti nyeri yang diakibatkan oleh tarikan otot,

tindakan latihan ringan yang diberikan lebih awal dapat

mempercepat proses perbaikan. Kepala sebaiknya

sebaiknya diberitahukan mengenai masalah yang


dihadapinya serta memberikan gambaran pengobatan
maupun instruksi yang harus dilakukan seperti posisi saat
duduk, mengendarai kendaraan dan posisi servikal yang
berkaitan dengan berbagai pekerjaan atau aktivitas seharihari.

Anjuran pertama yang diberikan apabila timbul kembali

nyeri servikal adalah menghindari semua kegiatatyatg

tidak mengakibatkan gerakan ke arah lateral. Istirahat

dapat menimbulkan rasa nyeri. Di samping itu penguatan


otot-otot servikal harus dilakukan selama minimal 3 bulan
secara intensif tiap hari dan dilanjutkan secara intermiten
untuk seumur hidup.

memang diperlukan pada fase akut nyeri, terutama pada


spondilisis servikalis/ kelompok nyeri servikal non spesif,rk.

Latihan penguatan otot-otot servikal adalah sebagai

diletakkan pada bantal servikal sedemikian rupa yaitu sedikit


dalam posisi fleksi sehingga terasa nyaman oleh pasien dan

Tindakan Pengobatan Lanjutan


Traksi. Tindakan ini dilakukan apabila istirahat tidak dapat
menghilangkan nyeri atau pada pasien dengan gejalayang

berikut;

1.

Dengan kedua tapak tangan di belakang kepala, lakukan

dorongan ke depan dan otot-otot servikal berusaha


mempertahankan kedudukan kepala agar tidak terjadi
fleksi, selama I menit.

berat dan mencerminkan adanyakompresi radiks saraf Traksi

dapat dilakukan secara terus menerus atau intermiten.

Latihan. Berbagai modalitas dapat diberikan pada


penanganan nyeri pada servikal ini. Latihan ini dimulai pada
akhir minggu pertama. Latihan mobilisasi servikal ke arah

anterior, latihan mengangkat bahu atau penguatan otot


banyak membantu proses penyembuhan nyeri. Hindari
gerakan ekstensi maupun fleksi. Pengurangan nyeri yang
diakibatkan oleh spasme otot dapat ditanggulangi dengan
melakukan pijatan,

Cervical Collar. Pemakaian cervical collar lebih ditujukan


untuk proses imobilisai serta mengurangi kompresi pada
radiks saraf, walaupun belum terdapat satu jenis collar

2. Dengan kedua tapak tangan di dahi, lakukan hal yang


sama dengan cara I , yaitu tangan mendorong kepala ke
belakang sementara itu otot-otot servikal berusaha
mempertahankan kepala agar tidak mengalami ekstensi.
Lakukan tindakan ini selama I menit.

yang benar-benar dapat mencegah mobilisasi servikal. Salah


satu jenis collar yang banyak digunakan ad alah SO MI brace

(sternal occipital mandibular immobillizer). Collar


digunakan selama satu minggu secara terus menerus siang
maupun malam dan penggunaannya diubah pada minggu
kedua secara intermiten atau bila mengendarai kendaraan.

Harus diingat bahwa tujuan imobilisasi ini bersifat


sementara dan harus dihindari akibatnya yaitu di antaranya

tangan

,// L--/ W

otot

I\TYERI

3.

2719

SPIRAL

Pada posisi tangan kanan di pelipis kanan, lakukan


dorongan ke arah kiri dan otot-otot servikal melawan

gaya dorongan tersebut selama

menit, agar tidak

terjadi fleksi lateral. Hal yang sama diket'akan pada sisi


kiri.

Radikulopati
Kelainan ini banyak dijumpai akibat adanya proses
degeneratif seperti osteoartritis atau berbagai keadaan
yang mengakibatkan terjadinya kompresi radiks saraf.

Sindrom Skapulokostal
Iritasi radiks saraf diskogenik servikal dapat memberikan
sensasi nyeri pada daerah interskapula. Biasanya nyeri
ditimbulkan akibat postur tertentu yang berkaitan dengan
pekerj aan atau tekanan emosional. Tidak dijump ai adatya
manifestasi neurologis. Pengobatan dapat dilakukan
dengan pemberian obat anti radang nonsteroid atau
steroid, injeksi anestetik lokal dan latihan postur.
4

Pada posisi satu tangan kanan

di dahi dan tangan kiri

di belakang kepala, dilakukan putaran kepala


ke arah kanan, sedangkan otot-otot servikal
mempertahankan posisi kepala tetap menghadap
ke depan. Lakukan hal yang sama untuk gerakan ke
arahkiri.

Fibromiositis
Penyakit ini ditandai oleh nyeri otot, spasme, kekakuan
dan nodul. Banyak istilah yang dipakai untuk penyakit ini
seperti fibrositis, myofas c iitis, interstitial myofas ciitis,
tension miositis, dan psychogenic rheumatism. Kelainan
ini berkaitan dengan adanya ruda paksa atau sekunder
akibat denervasi terhadap otot yang berkaitan.

Kelainan Metabolik
Beberapa kelainan metabolik seperti gangguan
metabolisme kalsium pada osteoporosis, deposisi kristal
asam urat pada gout, deposit kalsium yang dijumpai pada
kalsifikasi ligamen flalum, sindrom arteri vertebralyang
diakibatkan oleh aterosklerosis di samping akibat lain

seperti osteoartritis, trauma atau artritis reumatoid,


merupakan beberapa keadaan yang perlu diperhatikan
sebagai penyebab nyeri servikal pada sindrom servikal.

DIAGNOSIS BANDING
Banyak penyakit atau kondisi patologis yang terdapat di
luar vertebra servikalis memberikan manifestasi nyeri pada
servikal. Di bawah ini dijelaskan berbagai penyakit serta
proses patologik yang menimbulkan rasa nyeri.

Neck Sprain/ Stain


Kelainan ini pada umumnya didasari oleh adanya ruda
paksa pada jaringan sekitar servikal. Kadangkala terdapat

juga faktor psikofi siologis

Keganasan
Fibrous displasia yang didasari kelainan genetik,
metastasis atau tumor primer pada vertebra servikal
merupakan penyebab lain, walaupun jarang, yang perlu

dipertimbangkan sebagai penyebab nyeri servikal di


samping adanya gejala lain proses patologik tersebut.

lnfeksi atau lnflamasi


Proses infeksi seperti osteomielitis pada vertebra servikai,
dislokasi C I -C2 atau C I -Oksipitoe akibat proses inflamasi

maupun infeksi merupakan kondisi lain penyebab servikal.

Anterior Scalene Syndrome


Biasanya nyeri tumpul dan dalam dirasakan oleh pasien
terutama pada daerah tangan atau jari-jari, disertai perasaan
mati rasa. Pemeriksaan yang paling baik dilakukan untuk
menentukan adanya kelainan ini adalah dengan tes Adson.
Pada kelainan ini yang disebabkan oleh adanya iritasi radiks

saraf, maka perbaikan fleksibilitas serta postur sangat


diperlukan. Tindakan ini ditujukan untuk mengurangi
lordosis servikal yang berlebihan dan membuka foramen
posterior.

Lain-lain
Thoracic outlet syndrome yarrg akan diakibatkan oieh
kelainan vaskular atau neurogeq double crush syndrome
pada radikulopati servikal maupun penjepitan radiks perifer,

sindrom esofagus yang berkaitan dengan osteoartritis,


ruda paksa maupun artritis reumatoid serta gangguan
mental dapat memberikan manifestasi nyeri servikal, yang
menyulitkan penetapan diagnosis penyebab nyeri servikal

tersebut.

2720

REUITIAIIOI-OGI

NYERIPINGGANG

Nyeri pinggang bawah atau low back pain merupakan


salah satu keluhan yang paling banyak d4umpai pada
pasien reumatik . Keluhan ini yang berkisar antara 65-80

persen dari populasi merupakan sepertiga keluhan


reumatik. Di Poliklinik Divisi Reumatologi, Departemen
Ilmu Penyakrt Dalam, FKUV RSLPN Cipto Mangunkusumo,
dalam kurun waktu 1 991 - I 994, nyeri pinggang merupakan

keluhan yang menempati urutan ketiga

di

bawah

osteoartritis dan reumatism ekstraartikuler. Unfuk daerah


rural sekalipun keluhan pada pinggang menempati urutan

kedua setelah nyeri pada sendi perifer. Masalah ini


mengakibatkan disabilitas pada mereka yang berusia muda,
serta berdampak lain yang merugikan seperti banyaknya

cuti sakit, hilangnya jam kerja serta besarnya biaya


pemeliharaan kesehatan yang harus dikeluarkan.
Penyebab keluhan nyeri pinggang ini sangat beragam
dan memerlukan suatu pendekatan yang sistematik dalam
upaya mencari penyebab utamanya. Faktor risiko potensial
untuk terjadinya nyeri pinggang bawah adalah merokok,

umumnya mengenai dermatom tertenfu, bersifat tumpul


dan terasa lebih dalam. Nyeri alih yang berasal dari spinal
lebih dirasakan di daerah sakroiliak, gluteus atau tungkai
atas sebelah belakang dan daerah nyeri alih tersebut
berasal dari jaringan mesodermal yang sama dalam
perkemb angan embrioniknya.
Nyeri radikularberkaitan dengan erat dengan distribusi
radiks saraf spinal (spinal nerye root), dan keluhan ini
lebih berat dirasakan pada posisi yang mengakibatkan
tarikan seperti membungkuk; serta berkurang dengan
istirahat. Salah satu penyebab yang perlu diperhatikan
adalah tumor pada korda spinalis yang ditandai oleh tidak
berkurangnya nyeri dengan istirahat atau lebih memburuk
terutama pada malam hari. Karakteristik lain yang dapat
ditemukan adalah perubahan neurologis seperti parestesia
dan baal serta dapat disertai oleh kelemahan motorik.

Diperlukan suatu analis hubungan attara faktor

penatalaksanaan keluhan nyeri pinggang tersebut

mekanik dengan nyeri pinggang bawah. Faktor mekanik


ini mencerminkan patofisiologi sumber nyeri. Nyeri
pinggang bawah akibat herniasi diskus cenderung
memburuk pada posisi postural yang lama. Pola nyeri lain
yang diakibatkan oleh stenosis spinal degeneratif adalah
nyeri yang bersifat klaudikasio neurogenik yang dirasakan
pada pinggang atau tungkai saat berjalan atau posisi

memerlukan seni tersendiri.

tegak.

multiparitas, mengendarai kendaraan bermotor dan


mengangkat beban berulang-ulang. Demikian pula dalam

Anatomi
Tidak semua bagian segmen vertebra lumbalis dapat
merupakan jaringan penyebab sumber nyeri pinggang. Di
samping itu kinetika pergerakan segmen vertebra lumbalis
tersebut perlu diperhatikan dengan seksama agar dapat
dicegah gerakan yang menimbulkan atau mengurangi nyeri.
Sumber nyeri dapat berasal dari persoalan kulit, otot, tulang

belakang, organ visera, ataupun kebiasaan (habit)


seseorang dalam posisi tertentu serla aktiviatas rutin dalam
peker.laan. Pada gambar di bawah ini dapat dilihat lokasi

jaringan sebagai sumber nyeri pinggang bawah.

Evaluasi Klinis pada Pasien Nyeri Pinggang


Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang berkaitan
erat dengan usia. Biasanya nyeri ini mulai dirasakanpada
mereka pada usia dekade ke dua dan insiden tinggi
dijumpai pada dekade ke lima. Keluhan nyeri ini juga
berkaitan erat dengan aktivitas mengangkat beban berat,
sehingga riwayat pekerjaan sangat diperlukan dalam
penelusuran penyebab serta penanggulangan keluhan ini.
Keluhan nyeri dapat beragam dan diklasifikasikan
sebagai nyeri yang bersifat lokal, radikular, menjalar
(reffered pan) atau spasmodik. Nyeri lokal berasal dari
proses patologik yang merangsang ujung saraf sensorik,
umumnya menetap, namun dapat pula intermiten, nyeri
dapat dipengaruhi perubahan posisi, bersifat nyeri tajam
atau tumpul. Biasanya dapat dijumpai spasme paraverlebral.

Nyeri alih atau menjalar dari pelvis atau visera

Pemahaman terhadap ragam jaringan yang dapat


merupakan sumber nyeri pinggang bawah akan
mempermudah pendekatan penanggulangan nyeri. Antara
lain perlu diketahui bahwa ligamen longitudinal posterior

atau anterior, anulus fibrosus, ligamen interspinosum,

ligamen flavum, foramen intervertebral dalam dimana


berjalan radiks saraf, dapat merupakan sumber nyeri yang
memerlukan pendekatan diagnosis maupun penanganan
yang seksama.
Pada Tabel 2 diperlihatkan karakteristik dari nyeri
pinggang bawah dikaitkan dengan berbagai sumber nyeri.

Beberapa penyakit lain perlu diperhatikan dalam


menegakkan diagnosis penyebab nyeri pinggang bawah
ini, yaitu: stenosis spinal dan jepitan radiks saraf lumbal,
penyakit inflamasi sistemik pada pinggang bawah, infeksi,
spondilosis, spondilolistesis, serta sumber nyeri pinggang
lain yang bukan berasal dari vertebra lumbalis.

Lig longitudinale
anterior

Anulus flbrosus

Korpus vertebra
Radiks

saf

Lig flavum

Gambar 8. Anatomi vertebra lumbalis dan lokasijaringan sumber


nyen

2721

NYERI SPIRAL

Distribusi

Sumber Nyeri

Sifat Nyeri

Faktor yang Memperberat

Perubahan Neurologis

Pergerakan

Tidak ada

Nyeri Diskus

Sklerotomal

Tajam
Tumpul
Dalam, aching

Nyeri Radiks Saraf

Radikular

Parestesia

Nyeri Spinal

Sklerotomal
Lokal

Peningkatan tekanan intra diskus seperti Tidak ada


membungkuk duduk, manuver valsava
Ada
Regangan akar

saraf

Baal

Multiple lumbar spinal


sfenosls
Nyeri alih visera

Radikular
Sklerotomal
Dermatomal

Pola klaudikasio
spinal
Dalam, aching

Ekstensi

lumbal

Ada

Berjalan

Berkaitan dengan organ yang

terkena

Tidak ada

Pada stenosis spinalis perlu diperhatikan apakah


kelainan tersebut memang idiopatik/ kongenital

Kemampuan membungkuk dapat diukur secara kasar


dengan perkiraan fleksi atau jarak ujung jari ke lantai.

atau sekunder akibat proses degeneratif, spondilosis


atau spondilolistesis, iatrogenik pasca laminektomi/

Lateral banding yang asimetrik

kemonukleolisis, atau akibat ruda paksa, penyakit paget


dan fluorosis.
Pada Tabel 3 diperlihatkan berbagai penyebab nyeri
pinggang bawah ditinjau dari segi reumatologi.
Mengingat banyaknya tumpang tindih dengan
manifestasi dari berbagai disiplin ilmu lainnya seperti
neurologi, bedah orlopedi dan sebaginya, maka diperlukan
suatu pendekatart yarg seyogyanya dilakukan secara
holistik.

Hiperekstensi untuk menyingkirkan nyeri akibat inflamasi


facet j oints. Tulang belakang dipalpasi untuk menentukan

Pemeriksaan Fisis pada Nyeri Pinggang Bawah


Pasien diperiksa dalam keadaan tidak berpakaian.
Dilakukan pemeriksaan terhadap tulang belakang saat

menunjukkan
kemungkinan adanya jepitan pada radiks saraf.

adanya nyeri tekan, step

off dari spondilolistesis,

detek spina bifida. Perkusi dilakukan untuk menimbulkan

nyeri lokal atau nyeri skiatik dan pada

daerah

kostovertebra untuk menyingkirkan nyeri yang berasal dari


grnjal.

Pemeriksaan terhadap kelainan neurologis diperlukan


bila didapatkan adanya keluhan yang mencerminkan iritasi
radiks saraf lumbal. Pada herniasi diskus biasanya yang
banyak terlibat adalah L5-S1 dan L4-L5. Pada Tabel4 di
bawah ini tercantum pemeriksaan lokasi nyeri berdasarkan
adanya keterlibatan radiks sarafpada herniasi diskus.

pasien berdiri untuk melihat lordosis lumbal, kiposis torakal,

kiposis dan tilt dari skoliosis skiatik, fleksi ekstremitas


bawah untuk mengurangi nyeri akibat tekanan pada radiks
saraf, spasme muskular darr skin nevi pada daerah tulang

belakang. Cara berjalan dan pergerakkan diperiksa


termasuk toe and heel gait, untuk menentukan adakah

saraf

Nyeri dan

Kelemahanotot

disestesia

dan

L4

Tungkai atas

Ouadriceps

Radiks

kelemahan muskular.
L5

Daerah pinggang bawah

osteoartritls
osteoporosis
spondilitis ankilosa
ketegangan (starain)
lumbosakral
spondilolistesis
hernia nukleus pulposus
fibrositis
skoliosis
sikap tubuh (postur) yang

jelek
bursitis
tumor (primer/ metastasis)
infeksi vertebra
nyeri alih (referred pain)

Daerah punggung atas

ibu jari

fibrositis

polimialgiareumatika
metastasis
mieloma multiple
skoliosis
fraktur vertebra

Daerah sakroiliaka

(posterolateral)
Tungkai bawah
(anteromedial)
Tungkai atas
(posterior)
Tungkai bawah
(anterolateral)
Kaki sisi medial dan

ketegangan
sakroiliaka
osteitis kondensa
ileum
spondilitis ankilosa
artritis psoriatika
sindrom reiter
lipomata sakral
nyeri alih
epifistis vertebra

S2-S4

atrofi

Tibialis

anterior

Gastrosoleus

Gluteus

maksimus

Hamstring

(posterior)
(posterior)
Kaki (plantar)

Tidak ada
Ankle jerk

Atrofi
kompartemen
anterior tungkai
bawah

(posterior)
Tungkai bawah
(posterior)
Kaki (posterolateral)
Jari sisi lateral
Gluteus dan

Tungkai bawah

Knee jerk

Extensor hallucis
longus

Tungkai atas

peflneum
Tungkai atas

Penurunan
relaks

Gastrosoleus

Foot intrinsic dan


fleksor longus,
sfinkter anal dan
kandung kemih

Ankle ierk

Ankle ierk

Absent
plantar
responses

2722

REI,JMIIilOT.OGI

Dalam posisi terlentang dilakukan pemeriksaan panjang

Mielografi. Tindakan ini ditujukan apabila terdapat

tungkai, melihat adanya atrofi otot. Ketidaksamaan


panjang tungkai dapat merupakan salah satu sebab

kemungkinan tindak lanjut operatifsaja karena banyak efek


samping akibat pemberian kontras seperti sakit kepala,
demam, mual, meningismus, nyeri punggung, gangguan

timbulnya nyeri pinggang dan keadaan ini dapat diatasi


dengan meninggikan alas sepatu. Laseque atau straight
legraising (SLR) dilakukan dalam keadaan lutut ekstensi
sampai pasien merasa nyeri dan otothamstringmeregang.

miksi, parestesia, ileus dan araknoiditis akut maupun


kronik. Akibat teknik tindakan dapat timbul hematom
epidural, retensi kontras, emboli paru, pembentukan

Apabila nyeri terjadi pada daerah pinggang dan bersifat

kista epidermoid. Keuntungan teknik ini adalah mudah

radikular, hal ini menunjukkan adanya hemiasi diskus.


Tes ini bernilai diagnostik apabila radiks yang terkena
lebih distal yaitu setinggi L5 dan Sl. Untuk mengenali
kelainan radiks yang lebih tinggi dari L5 dilakukan tes
Ely. Pasien dalam posisi telungkup, lutut difleksikan
dan dilakukan hiperekstensi panggul. Iritasi setinggi L3

mengetahui lokasi sumbatan serta jepitan pada radiks.

dan

L4 akan membatasi gerak hiperekstensi tersebut.

Sendi sakroiliaka diperiksa dengan tes fabere atau


Patrick. Dilakukan fleksi, abduksi, rotasi eksternal dan
ekstensi panggul.

Evaluasi psikologis diperlukan bilamana dijumpai

Sidik tulang (bone scan). Pemeriksaan dengan cara ini


dapat dipakai untuk mendeteksi adanya proses infeksi,
keganasan, dan ankilosing spondilitis awal. Di samping itu
defek pada bagian intrartikular yang tidak tampak
dengan foto polos dapat diperlihatkan oleh teknik
pemeriksaan ini.

Computed tomography. Teknik

ini banyak digunakan

sebagai alternatif tindakan mielografi, namun tidak sebagai

dalam upaya pengobatan. Salah satu cara penialaian

tindakan penapisan (screening). Hrniasi diskus dapat


dideteksi lebih dari 95%. Mengingat mahalnya tindakan
tersebut, maka teknik ini dipakai apabila dicurigai adanya

emosional pasien dilakukan dengan MMPI(The Minnesota

kelainan anatomik.

kelainan pada faktor kepribadian dan menyangkut kesulitan

Multiphasic Personality Inventory). Dengan metoda ini


mudah diketahui besamya skala histeria maupun hipokondria

pada pasien. Memang sangat sulit menentukan apakah


gangguan psikologis atau emosional terjadi akibat proses
nyeri itu sendiri atau sebaliknya.

Pencitraan resonansi magnetik (magnetik resonance


imaging). Dengan teknik ini dapat diperlihatkan kelainan
pada jaringan lunak. Korpus verteba, diskus serta kanalis

spinalis dengan mudah dapat dilihat tanpa menggunakan

kontras. Sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi


ditunjukkan dalam mendeteksi osteomielitis.

Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dijumpai satu pemeriksaan laboratorium yang dapat
digunakan sebagai penyaring penyebab keluhan nyeri
pinggang bawah. Tes laboratorium hanya dipakai sebagai

data tambahan terhadap berbagai penyakit kausal


yang memang memiliki karakteristik nilai laboratorik tertentu.

Penatalaksanaan
Penanggulangan nyeri pinggang bawah berhrjuan untuk
mengatasi rasa nyeri, mengembalikan fungsi pergerakan

dan mobilitas, mengurangi residual impairment,


pencegahan kekambuhan serta pencegahan timbulnya

nyeri kronik. Perlu diperhatikan walaupun yang


Pemeriksaan Radiologis
tr'oto polos. Standard pemeriksaan untuk nyeri pinggang
bawah adalah foto posisi anteroposterior, lateral dan coned
down lateral view.Datatambahan dapat diperoleh melalui

terbaik adalah memberikan pengobatan sesuai dengan


penyebab nyeri, tetapi sangat sulit menentukannya
pada fase akut nyeri atau bahkan pada nyeri kronik
sekalipun.

posisi foto oblik. Dengan diskus awal tampak apabila


terdapat pengurangan tinggi celah diskus di sisi anterior

Penanggulangan nyeri akut. Nyeri dapat diatasi dengan


pemberian obat-obatan, istirahat dan modalitas. Penjelasan

dan pergesaran intervertebra anteroposterior pada posisi


lateral fleksi dan ekstensi. Keadaan lebih tanjut akan tampak
berupa kolaps celah diskus, sklerosis serta pembentukan
osteofit. Akan tetapi kelainan lain seperti adanya osteofit
yang dijumpai pada osteoartritis lumbal dapatpula dijumpai
pada beberapa penyakit tulang belakang seperti sindrom
reiter, spondilitis ankilosa atau arhitis psoriatik serta adanya
kelainan pada diskus tidak mencerminkan sebagai stimber
nyeri pinggang bawah. Kelainan seperti skoliosis, lordosis

singkat penatalaksanaan perlu diberikan dan hindari


penggunaan istilah yang tidak banyak dimengerti oleh
awam atau dapat menimbulkan rasa takut seperti kata

lumbal yang meningkat mempengaruhi keluhan nyeri


tersebut di samping diskepansi panjang tungkai yang lebih

dai4,5cm.

nyeri skiatik, artritis, spasme, penyakit diskogenik

dan

sebagainya.

Pemberian obat anti radang nonsteroid (OAINS)


diperlukan untuk jangka waktu pendek disertai dengan
penjelasan kemungkinan efek samping dan interaksi obat.
Tidak dianjurkan penggunaan muscle relaxant karena
memiliki efek depresan. Pada tahap awal, apabila didapati
pasien dengan depresi premorbid atau timbul depresi
akibat rasa nyeri, pemberian anti depresan dianjurkan.

2723

NYERI SPIRAL

Istirahat secara umum atau lokal banyak memberikan


manfaat. Tirah baring pada alas yang keras dimaksudkan
untuk mencegah melengkungnya tulang punggung. Pada
episode akut ini diperlukan 3-5 hari tirah baring, kecuali
pada keadaan skoliosis disertai nyeri radikular hebat atau
herniasi diskus akutyang memerlukan istirahat lebih lama
Iagi sampai 5 minggu. Posisi tidur disesuaikan terhadap
rasa nyaman yang dirasakan pasien. Beberapa pasien
merasa lebih enak pada posisi terlentang dengan ekstensi
penuh, beberapa dengan posisi semi Fowler atau bahkan

dalam curled up fetal position. Istirahat pada nyeri

pinggang bawah ini tidak hanya diartikan tidur, tetapi


perlu dijelaskan lebih rinci pada pasien antara lain posisi
istirahat tidak dengan duduk tegak lurus, mengubah
posisi tidur miring ke arah berlawanan dikerjakan dengan

panggul dan lutut dalam fleksi, pinggang harus


dalam posisi sedikit fleksi pada keseluruhan pergerakan
tersebut, tidak membuat lordosis berlebihan selama
berdiri dan menjaga berat tubuh berada di tengah kedua
kaki.

Latihan mulai diberikan pada hari ketiga, keempat,


dengan memberikan fleksi ringan . Dilanjutkan dengan

pemberian modalitas lainnya. Modalitas yang


diberikan sangat beragam. Bila disertai stattr protective

mereka yang baru sembuh dari fase akut nyeri atau

bilamana kekerapan kambuh yang tinggi. Tujuan


penggunaan korset adalah mengurangi spasme yang
dilakukan sebagai tindakan bidai pada tulang belakang,
memperbaiki posfur dan mengurangi gerakan vertebra
lumbal.

DIAGNOSIS BANDING

Penyakit inflamasi sistemik pada tulang belakang.


Penyakit inflamasi sistemik seperti artritis reumatoid
seringkali menyebabkan kelainan pada vertebra lumbalis.
Selain itu proses inflamasi lain akibat spondiloartropati
seperti spondilitis ankilosa, dan spondilosis hiperostotik
memberikan keluhan nyeri pinggang bawah pula.

Infeksi. Osteomielitis piogenik dengan penyebaran


hematogen kuman golongan stafilokok atau basil
gram negatif, seringkali memiliki predileksi pada
kolumna vertebralis. Di samping itu nyeri dapat
berasal dari infeksi pada celah diskus. Keadaan ini lebih

sering setelah tindakan eksisi pada diskus dan lebih


merupakan infeksi iatrogenik. Infeksi lain yang

spasm pemberian kompres es atau semprotan etil


klorida, fluorimetan dapat membantu mengatasi
nyeri. Latihan dengan memberikan tarikan (strelching)
dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain
dengan latihan posisi knee chest dan fleksi lateral.
Traksi dianjurkan bila terdapat herniasi diskus
lumbal. Tarikan ini lebih ditujukan untuk mengurangi
lordosis dan menjauhkar facet joint serta membuka

memberikan gambaran nyeri pinggang bawah di


antaranya adalah blastomikosis, kriptokokosis,
aktinomikosis, koksidioidomikosis, tuberkulosis,
spondilitis sifilitik dan kista hidatid.

foramen.

menyebabkan fraktur pada bagian posterior vertebra seperti

Nyeri tidak selalu dapat diatasi dengan cara-cara di

Spondilolisis/spondilolistesis. Spondilolistesis dapat


disebabkan oleh proses degeneratif pada diskus dan
biasanya disertai dengan stenosis spinalis lokal atau
akibat ruda paksa. Kebanyakan akibat ruda paksa ini

atas. Terkadang diperlukan tindakan injeksi anestetik atau


anti inflamasi steroid pada tempat-tempat tertentu seperti

pedikel atau faset. Suatu proses patologik lain yang


mengakibatkan spondilolistesisi dapat ditemukan
pada dengan penyakit tulang atau mengenai tulang

injeksi pada faset, sekitar radiks saraf, epidural, intradural.

belakang seperti osteopetrosi, artrogriposis, penyakit

Keterampilan sangat menentukan dalam tindakan

paget, sifilis, artropati neurogenik, spondilitis

penyuntikan tersebut, karena sangat bergantung dari

tuberkulosa, giant cell tumor atau metastasis tumor.

lokasi jaringan sebagai sumber nyeri.


Pencegahan Kekambuhan

Setelah fase akut teratasi diperlukan tindak ianjut berupa


perbaikan fleksibilitas dan kekuatan otot, perbaikan postur
tubuh, kebiasaan kerja dan aktivitas sehari-hari (activities
of daily living IADL), perubahan serta modifikasi aspek

psikososial.

Pelatihan peregangan (low back slretching exercise).


Tarikan dimulai dengan latihan dalamcurled upJetal
position, kemudian dilanjutkan dengan latihan fleksi

lateral, gravitonic stretch exercise, latihan yoga,


pelvic tilting exercise, erect flat back exercise,
hamstring stretching exercise, heel cord stretching darr

exercise

for stretching

Spondilolistesis yang diakibatkan proses-proses patologik

tersebut biasanya mengenai segmen proksimal dari

hip flexor.

Korset/ bracing. Penggunaan korset diberikan pada

tulang vertebra lumbalis.

Sebab lain nyeri pinggang bawah. Sebagaimana telah


disebutkan dalam pendahuluan maupun pemeriksaan fi sis,
berbagai penyakit lain yang tidak bersangkutan dengan
tulang belakang dapat memberikan sensasi nyeri pada
daerah tersebut. Memang sangat jarang keluhan penyakit

non tulang belakang ini yang hanya memberikan


gambaran rasa nyeri pada pinggang bawah semata,
tetapi biasanya disertai gejala lain sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya. Organ visera intra-abdomi-

nal, retroperitoneal maupun pelvis memberikan


sensai nyeri alih dermatomal, tidak memburuk dengan

aktivitas dan nyeri tidak berkurang dengan istirahat.

2724

REUMANOI.OGI

Beberapa penyakit di antaranya adalah ulkus peptik, g


astritis, fumor pada duodenum, gaster atau pankreas, dan
pendarahan retroperitoneal. Pada wanita, tumor pada

uterus aatau vesika urinaria memberikan rasa nyeri


pinggang namun lebih ke arah sakral. Demikian pula
nyeri akibat haid dan malposisi uterus.

REFERENSI
Adnan M. Low Back Pain Dipandang dari Segi Reumatologis Dalam

Lumbantobing SM, Tjokronegoro A. Judana A, eds. Nyeri


Pinggang Bawah (Low Back Pain) Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. I 983:5 1-65.
Cailliet R. Low Back Pain. Philadelphia: EA Davis Company 1987.
Caitliet R. Neck and Arm Pa.in. Philadelphia: EA Davis Company.
1978.
Frymoyer JW, Booth RE, Rothmman RH. Osteoarthritis syndromes
of the lumbar spine. In: Moskowitz RW, Howell DS, Mankin HJ

Eds. Osteoarthritis, Diagnosis and Medical/

Surgical

Management. Philadelphia: WB Saunders Co. 1992: 683-136.


Hardin JG, Halla JT. Cervical spine syndrome In: McCarty DJ.
Koopman WJ. Eds. Arthritis and Allied Condition. l2ed.
Philadelphia: Lea & Febiger, 1993: 1563-71.
Hoppenfeld S. Physical Examination of The Spine and Extremities.
Norwalk Connecticut: Appleton Century Croft. 1976; 105-131,
237 -63.

Hart FD, Clarke AK. Clinical Problems in Rheumatology. Singapore:


Kin Keong Printing Co 1993:1-5,51-60
Hicks JE, Gerber LH. Rehabilitation in the management of patients
with osteoarlhritis. In: Moskowitz RW Howell DS, Mankin HJ.
Eds Osteoarthritis, Diagnosis and Medical/ Surgical
Management. Philadelphia: WB Saunders Co. 1992: 440-41.
Levine DB, Leipzig JM. The painful back. In: McCar[, DJ, Koopman
WJ. Eds. Arthritis and Allied Condition. 12ed Philadhelphia:
Lea & Febiger, 1993: 1583-1600.
Misbach J. Aspek Neurologi pada Nyeri Pinggang Bawah. Dalam:
Kumpulan Makalah Simposium Terobosan Baru di Bidang
Rheumatology, Jakarta: Indonesian Rheumatic Centre, Ikatan
Reumatologi Indonesia, WHO-COPCORD. 1995
Nasution AR. Peranan dan Perkembangan Reumatologi Dalam
Penanggulangan Penyakit Muskuloskeletal di Indonesia. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1995:4-5.
Nakano KK. Neck pain: In Kelley, Harris, Ruddy, Sledge, eds
Textbook of Rheumatology, 4th ed. Philadelphia: WB Saunders
Co. 1993:26-748.

Phull PS. Management of chervical spine In Delisa JA ed.


Rehabilitation of Medicine, Principles and Practice.
Philadelphia: JB Lippincott 1998: 749-64.
Padang C. Low back pain Dalam. Kumpulan naskah
WHO-COPCORD-IRA,

Post Graduate Corrse, Jakarta 1994:13 -20

Schumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ. Primer on the


Rheumatic Diseases, 9ed. Atlanta GA.: Arthritis Foundation
1993:269-12.

4t6
PENYAKIT JARINGAN IKAT HEREDITER
Faridin

PENDAHULUAN

Penyakit jaringan ikat herediter merupakan suatu


konsekuensi akibat gangguan struktur atau kuantitas
matriks ekstraselular, termasuk jaringan kolagen spesifft,
fibrilin-fibrilin, dan matriks ekstraselular nonkolagen serta
proteoglikan. Komposisi molekul dan organisasi jaringan
ikat disebut sebagai matriks ekstraselular yang luar biasa
kompleks. Masih banyak hal yang belum diketahui tentang

jumlah, struktur, lokasi gen yang mengontrol sintesis dan


metabolisme jaringan ikat ini. Gen yang terususun lebih
dari 195 protein, termasuk gen yang mengatur metabolisme
dan perkembangan skeletal telah diketahui. Mutasi dari
gen ini merupakan penyebab berbagai variasi kelainan dari
penyakitjaringan ikat. Kelainanjaringan ikat herediter akan
mengikuti hukum Mendel, namun memperlihatkan variasi
heterogenitas dalam anggota keluarga.
Penyakit jaringan ikat herediter pertama kali ditemukan
oleh McKusick pada tahun 1955, mencakup pada
Osteodistrofi Imperfecta (OI), sindrom Marfan (SMF),
sindrom Ehlers-Danlos (SED), pseudosantoma elastikum.
Karakteristik fenotip dari kelainanjaringan ikat herediter
kadang tidak jelas, masih memerlukan pemahaman genetik
dan biokimia. Lebih dari 200 kelainan termasuk kelainan
jaringan ikat herediter.

Berikut ini akan dij elaskan beberapa penyakilpenyakit


jaringan ikat herediter yang sering ditemukan.

SINDROM MARFAN

diteliti, kelainan dasar terdapat pada fibrillin-1. Protein


merupakan unsur utama mikrofrbrill ekstraselular, terletak
pada lokus 15q21 . Mikrofibril ditemukan di seluruh tubuh,
mempunyai ukuran 10-14 nm, membentuk ikatan dengan
tropoelastin berupa ikatan serat elastis. Fibrilin merupakan
molekul yang memiliki fungsi penting pada beberapa

organ yang mengandung serat elastis, seperti pada


pembuluh darah arteri, ligamen-ligamen, dan pada parenkim
paru.

Sindrom Marfan merupakan kelainan jaringan ikat


herediter yang diturunkan secara autosomal dominan,
dilaporkan mempunyai insidens l/10.000 sampai 20.000
kasus.

Manifestasi skeletal dari SMF berupa postur tubuh


sangat jangkung, proporsi segmen atas tubuh (lengan)

lebih pendek dibanding segmen bawah dari tubuh


(tungkai) disebut sebagai dolikostenomelia, ditemukan
juga pemanj angan jari-j ari tangan (araknodaktili). Kelainan
dinding dada depan berupa pektus ekskavatum, karinatum
atau dinding dada depan yang asimetris. Kelainan kolumna
vertebralis dalam hal ini hilangnya kifosis torakal yang
mengakibatkan bentuk dada lebih melurus, dan skoliosis.

Kontraktur sendi appendikuler, protrusio asetabulum,


hiperekstensi dari sendi lutut (genu rekurvatum), dan pes
planum.
Semua pasien SMF ditemukan gangguan penglihatan
karena miopia, diperkirakan setengahnya disertai dengan
subluksasio lentis (ektopia lentis). Dilatasi aorta asenden
secara gradual, berhubungan dengan pecahnya serat
elastis, regurgitasi aortayang merupakan penyebab utama
kematian.

Penatalaksanaan Sindrom Marfan adalah dengan


patiatif dan preventif. Kelainan kolumna vertebralis dapat
dikoreksi dengan bracing,khususnya pada anak-anak dan
dewasa muda. Bila kelengkungan vertebra sudah melebihi
40-45 derujat perlu stabilisasi dengan tindakan bedah'

Sindrom Marfan (SMF) ditemukan kelainan pada beberapa


organ dan jaringan, khususnya kelainan skeletal, mata,

kardiovaskular, paru-paru dan susunan saraf pusat.


Diagnosis didasarkan atas gejala klinis, bentuk herediter
autosom dominan. Pada beberapa kasus SMF yang telah

2725

2726

Ukuran aorta ascenden diperiksa dengan ekokardiografi, bila diameter aorta lebih dari dua kali ukuran normal
(sekitar 55 mm pada orang dewasa) harus dilakukan
tindakan bedah. Untuk mengurangi ketegangan dinding
aorta dapat diberikan beta adrenergik. Perempuan yang
menderita SMF mempunyai risiko terjadinya luptur aorta

RELJMA*IOLOGI

gen proko lag err- I atau u-2.

Diagnosis sindrom Sticler dipikirkan bilabayi baru lahir


dengan banyak kelainan kongenital, seperti pembesaran

pergelangan tafigat, atau pergelangan kaki dan lutut.


Sedangkan pada dewasa muda bila terdapat penyakit
panggul degeneratif.

pada masa kehamilan. Perempuan dengan diameter pangkal

aorta lebih dart 40 mm, merupakan kontra indikasi untuk


hamil.

Kelainan dinding dada berupa pektus ekskavatus dan


karinatus, atas indikasi kosmetik dapat dilakukan koreksi

dengan tindakan bedah. Kadang-kadang tindakan


dini diperlukan jika ada gangguan respirasi yang
membahayakan.

HOMOSISTINURIA

Homosistinuria dihubungkan dengan kelainan


metabolisme metionin sejak lahir, hal ini diakibatkan
oleh defisiensi ensim sistationin beta-sintase.
Gejala klinis mirip dengan SMF, seperti ektopia ientis,
postur tubuh yang tinggi, araknodaktili, dan kelainan

skeletal dan dinding dada, yang berbeda dengan


homosistinuria adalah ditemukan osteoporosis
generalisata, retardasi mental, trombosis arteri dan vena.

Dikenal tiga tanda kardinal dari gambaran klinis


homosistinuria adalah retardasi mental, kelainan jaringan
ikat dan trombosis. Patogenesis dari manifestasi klinis di
atas tidak diketahui.
Pasien dengan homosistinuria, sekitar 50%o akan
berespons dengan pemberian vitamin 86 (piridoksin) dosis
besar (dosis lebih dari 50 mg perhari), untuk menurunkan
plasma metionin plasma dan homosistinuria. Vitamin 86

merupakan ko-faktor untuk sintesis beta sistationin.


Adanya retardasi mental dan ektopia lentis yang terjadi
lebih dahulu, tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
vitamin 86, sangat diperlukan diagnosis dini sehingga
terapi dapat diberikan lebih dini pula. Diagnosis dini dapat
dilakukan dengan memeriksa kadar metionin darah saat
lahir. Pada pasien yang tidak berespons baik dengan
vitamin B6 (piridoksin-nonresponsders), terapi bisa
dilakukan dengan diet rendah metionin dan terapi oral
betain, terapi ini biasanya berhasil.

SINDROM STICLER
Sindrom Sticler merupakan kelainan autosom dominan
berut, yang ditandai dengan miopia progresif, degenerasi
vitreal, perlengketan retina, kehilangan pendengararryang

bersifat sensori-neural, hipoplasia mandibula, hiper dan


hipomotilitas sendi, displasia epifiseal tulang panjang,
dislokasi dan degenerasi sendi. Keadaan ini disebutjuga
artro-oftalmopati. Sindrom Sticler disebabkan oleh mutasi

SlNDROM EHLERS.DANLOS
Sindrom Ehlers-Danlos (SED) merupakan suatu kelompok
kelainan dengan variasi fenotip yang luas karena luasnya
variasi genetik yang terjadi. Tanda-tanda kardinal SED
berhubungan dengan kelainan sendi dan kulit, berupa
hiperekstensibilitas kulit, peningkatan mobilitas sendi, kulit
mudah memar, dan fragilitas jaringan abnormal. Terdapat 6
tipe SED, yang didasarkan pada gambaran fenotip dan
karakteristik hereditel dengan gejala-gejala klinis masingmasing tipe akan drjelaskan di bawah ini:

Sindrom ehlers-danlos tipe klasik. Tipe ini sebelumnya


dikenal pula sebagai SED tipe I dan II. Ditandai dengan
hiperekstensibilitas sendi dan kulit, kulit mudah memar dan
sangat rapuh, luka yang sukar menyembuh sekalipun hanya
karena trauma ingan, penutupan sutura yang terlambat.
Dislokasi sendi panggul saat baru lahir, pada usia tua sering

terjadi dislokasi sendi, efusi sendi, dan spondilolistesis,


skoliosis kadang-kadang berat.
Sindrom Ehlers-Danlos tipe klasik ini diturunkan secara
autosomal dominan dengan variasi yang luas. Penanganan
difokuskan pada pencegahan trauma dan perawatan luka.

Sindrom ehlers-danlos tipe hipermobilitas. Dahulu dikenal


dengan SED tipe IV. SED tipe ini, keterlibatan kulit jarang
ditemukanjika dibandingkan dengan tipe klasik. Umumnya
ditemukan kelainan sendi, berupa hiperekstensi bentuk
sedang hingga bentuk ekstrim. Bila seseorang didapatkan
keluhan kelemahan sendi tanpa disertai ketidakstabilan
sendi, dapat dikategorikan ke dalam tipe ini.

Sindrom ehlers-danlos tipe vaskular. Tipe ini sangat


berbahaya, oleh karena mudah terjadi ruptur arteri dan usus
yang dapat menyebabkan kematian. Pasien SED tipe
vaskular ditemukan defisiensi kolagen tipe III, akibat rnutasi
yang terjadi pada gen COL3A1. SED tipe vaskular
sebelumnya dikenal sebagai tipe SEDJ\'. Kulit sangat tipis,
translusen, hiperekstensibilitas dan ditemukan kelemahan
sendi terbatas pada sendi-sendi jari tangan. Diturunkan
secara autosomal dominan, dapat terjadi secara sporadik
dalamkeluarga.

Sindrom ehlers-danlos tipe kifoskoliosis. Sebelumnya


dikenal sebagai SED tipe V, disebut tipe kifoskoliosis karena
melibatkan sendi-sendi vertebra, berupa kifosis dan
skoliosis yang berlebihan. Kelainan lain yang dapat
ditemukan adalah bola mata yang rapuh, kulit dan
ketidakstabilan sendi. Diturunkan secara autosomal resesif.

2727

PEiIYAKIT JARINGAN IKAI HEREDITER

Sindrom ehlers-danlos tipe artrokalasia. Disebut


artrokalasia karena proses pembentukan

sendi semasa j

anin

COLIA1 dan COLIA2, merupakan pemeriksaan yang


sangat sensitif. Pemeriksaan ini penting dilakukan jika

tidak terjadi secara sempurna. Sehingga pada SED tipe ini


biasanya ditandai tidak adanya persendian, dislokasi sendi
kongenital, postur tubuh yang pendek, keterlibatan kulit
juga dapat ditemukan. Sebelunya dikenal sebagai SED tipe

gambaran klinis dan radiologis tidak dapat menyingkirkan

VIIAdanVIIB

penelitian sebagai pengobatan osteoporosis cukup aman

Sindrom ehlers-danlos tipe dermatosparaksis. SED tipe


ini ditemukan kelainan pada kulit, fasia otot serla kelainan

meresorbsi fulang. Pamidronat diberikan secara intravenous akan meningkatkan densitas massa tulang dan dapat

sendi. Sebelumnya dikenal sebagai SED tipe

VIIC'

SED tipe

derrnatosparaksis diturunkan secara autosomal resesif,


karena defisiensi N-propeptidase yang memecah
prokolagen tipe L

kausa lainnya.
Penatalaksanaan difokuskan pada kelainan tulang yang

terjadi, seperti osteoporosis. Bifosfonat pada beberapa

dan efektif, bekerja menghambat osteoklas yang


mengurangi kejadian fraktur pada anak dengan OI'
Penelitian yang dilakukan oleh Astrom E,dkk. pada 30 anak
(umur 3 - I 6 tahun) menderita OI berat diberikan pamidronat
intravena selama 4-6 bulan. Setelah 5 tahun dilakukan

pemeriksaan dengan dual-energy r-ray absorptiometry

SINDROM OSTEOGENESIS IMPERFEKTA

(DEXA).Densitas massa tulang vertebra lumbal meningkat,


dan kejadian fraktur menurun, namun tidak bermakna

Gambaran klinis yang sering ditemukan pada osteogen-

penurunan nyeri. Pemeriksaan regular setelah usia dewasa

esis imperfekta (OI) adalah pada tulang, mata. gigi,


gangguan pendengaran dan sistem kardiovaskular.
Gambaran klinis pada tulang berupa tulang yang sangat

secara statistik. Beberapa anak dilaporkan terjadi

untuk mengevaluasi pendengaran pasien OI sangat


dianjurkan.

rapuh, dapat terjadi fraktur intra-uterina didasarkan


diagnostik radiologi antenatal, fraktur tulang iga multipel.
Gambaran klinis pada mata adalah skleraberwamabiru,
atau kebiru-biruan (sering ditemukan pada OI tipe I, II dan
lll.). dan kornea mata tipis.
Gangguan pendengaran dapat terdeteksi pada dekade

dua atau ketiga dari kehidupan. Gangguan pendengaran


pada OI akibat dari otosklerosis yang terjadi sebelum usia
dewasa. Penyebab lain adalah akibat menipisnya membran

timpani, dan tulang-tulang pendengaran tidak saling


berhubungan (disconnected).
Manifestasi klinis pada gigi dari pasien OI adalah gigi
tampak berwarna biru atau kecoklatan baik pada gigi susu
maupun pada gigi permanen. Hal ini sangat mudah
diketahui hanya dengan observasi langsung dalam rongga
mulut. Kelainan akibat pada proses pertumbuhan gigi
semasa

janin.

Prolapsus katup mitral ditemukan sekitar l5o/o pada


pasien OI, dilatasi aorta kadang ditemukan, namun jarang
bila dibandingkan dengan MYP (mitral value prolaps).
Diagnosis banding OI seperti: osteoporosis juvenile
idiopatik, osteoporosis juvenile yang disertai dengan

gangguan pada mata dan retardasi mental, sindrom


Hadju-Cheney, piknodisostosis (sindrom dwarfisme,
tulang rapuh, ramus mandibula tidak terbentuk, fontanela
yang menetap. akroosteolisis), dan hipofosfatasia.

PENATALAKSANAAN
Pemeriksaan biomolekuler sangat penting untuk identifrkasi
adanya mutasi gen. Biopsi kulit untuk melihat perubahan

kolagen tipe-I, pemeriksaan DNA untuk melihat mutasi

PSEU DOSANTOMA ELASTIKU M

Keterlibatan organ skeletal dan sendi pada pseudosantoma


elastikum (PXE) tidak jelas, tetapi serat elastis seluruh
fubuh akan mengalami kalsifikasi. PXE diturunkan secara
resesif autosomal dan dominan autosoma.
Diagnosis didasarkan atas pemeriksaan secara histologi

ditemukannya serabut-serabut elastik yang mengalami


kalsifi kasi. Kelainan-kelainan dapat ditemuk an pada mata,
pembuluh darah dan kulit. Sklerosis arteriolar secara

histologipatologis mirip dengan arterioloklerosis


Mockenberg, hilangnya pulsasi arleri-arteri perifer secara

perlahan-lahan, infark miokard, dan perdarahan


gastrointestinal, komplikasi ini umumnya akan
menyebabkan kematian. Pada mata, kejadian yang sama

akan ditemukan, seperti pecahnya membran Bruch's,


perdarahan retina akan menyebabkan kebutaan yang
progresif.

FIBRODISPLASIA OSSIFTCAN PROGRESIF


Fibrodisplasia ossifican progresif (FOP) merupakan
osifikasi progresif pada ligamentum, tendon, dan
aponeurosis otot, terjadi sejak awal kehidupan dan akan
berlanjut sepanjang hidup. Penyebab FOP tidak diketahui
dengan pasti, beberapa kasus diturunkan secara dominan
autosomal. Gambaran klinis mirip dengan tanda-tanda
inflamasi, dapat ditemukan nodul di dinding dada bagian
belakang, leher, atau kepala. Panas yang bersifat lokal,
leukositosis dan peningkatan laju endap darah, sehingga
kadang didiagnosis dengan demam reumatik. Petunjuk

2728

yang dapat mengarahkan diagnosis FOP adalah bentuk


kaki pendek dan besar kadang disertai jempol kaki yang
pendek. FOP merupakan penyebab hallux valgus
kongenital. Harapan hidup pasien FOP akan menurun
akibat gangguan pernapasan yang disebabkan oleh
pengembangan paru-paru mengalami restriksi progresif.

REFERENSI
Astrom E, Soderhall S. Beneficial effect of long term intra-venous
bisphosphonate treatment of osteogenesis imperfecta. Arch Dis
Chi1d. 2002;86 : 356-364
Dolan AL, Arden NK, Grahame R, et a1 : Assessment of bone in

REI,'MITTOI.OGI

Ehlers- Danlos syndrome by ultrasound and densitometry. Ann


Rheum Dis. 1998;57 : 1167-1175
Gott VL, Greene PS, Alejo DE, et al : Replacement of the aortic
root in patients with Marfan's syndrome. N Engl J Med 1999;340

1307-13 13

Marini JC : Do bisphosphonates make children's bones brittle or


better? N Engl J Med. 2003;349 : 423-426
Pyeritz RE.Heritable disorders of connective tissue. In: Primer on
The Rheumatic Disease, 12'h ed, Edit by Klippel JH.
Atlanta: Arthritis foundation; 200 1.p. 483 -92
Sbapiro JR.Heritable disorders

of structural proteins. In: Kelley

Textbook of Rheumatology, 6'h Ed, Edit by Ruddy S, Harris ED,


Sledge CB. Philadelphia:W.B.Saunders; 2001.p.1433-61

Stewart DR, Pyeritz RE.Heritable and developmental disorders of


connective tissue and bone. In: Arthritis and allied conditions

15th ed edit by William J. Koopman, Larry WMoreland.


Philadelphia:Lippincot William & Wilkins; 2005.p 1991-2035

4t7
DISPLASIA TULANG DAN SENDI
Nyoman Keftia

Displasia tulang dan sendi merupakan kelompok dari

hanya sedikit dipahami, berbagai tipe dari gangguan pada

berbagai kondisi dimana perkembangan dan fungsi tulang

protein-protein

dan sendi terganggu. Kondisi-kondisi

ini melibatkan

kondrodisplasia, osteokondrosis, osteodisplasia seperti


sindroma osteogenesis imperfekta dan beberapa kondisi
Iain yang jarang terjadi atau hanya sedikit reievansinya
dengan reumatologi

KONDRODISPLASIA
Kata kondrodisplasia secara literatur berarti abnormalnya
pertumbuhan kartilago yang diturunkan secara genetik
yang akan menyebabkan gangguan fungsinya sebagai
template untuk pertumbuhan tulang. Gambaran klinis

secara khusus didominasi dengan berbagai derajat


dwarfisme (kerdil) dan adanya deformitas tulang dan sendi.

Karena gen yang mengandung mutasi kondrodisplasia


seringkali tidak spesifik terhadap pertumbuhan tulang,
maka manifestasi klinis seringkali tidak hanya pada
kartilago artikuler namun meluas ke kartilago-karlilago di
jaringan lainnya.

Patogenesis
Kebanyakan tulang berkembang dan tumbuh melalui
proses osifikasi endokondral, dimana kartilago berperan
sebagai template untuk pembentukan tulang. Pada
postembrionik pertumbuhan tulang dan osifikasi terjadi

pada lempeng pertumbuhan dekat ujung tulang.


Kondrodisplasia merupakan akibat dari terjadinya mutasi
pada gen yang mengkode struktur protein dari matriks
kartilago dan protein yang meregulasi fungsi lempeng
pertumbuhan, termasuk faktor pertumbuhan, reseptor dan
faktor transkripsi. Protein-protein ini berperan terhadap
berbagai aspek berbeda dari osifikasi endokondral yang
dibutuhkan untuk peftumbuhan tulang normal. Meskipun

ini akan mempengaruhi pertumbuhan

tulang dan menunjukkan manifestasi klinis lainnya.

Klasifikasi
Lebih dari 100 bentuk klinis dari kondrodisplasia kini telah
diketahui. Berdasarkan perbedaanny a pada presenta si
klinis, gambaran karakteristik dari radiografi tulang,
histologi lempeng pertumbuhan dan pola keturunan,
gangguan-gangguan ini dikelompokkan menjadi beberapa
kelas sesuai dengan gen yang mengalami mutasi.Skema
klasifikasi terbaru terutama berdasarkan pada genetika
molekuler, namun dasar genetika dari berbagai gangguan
banyak yang belum diketahui dan sebagai konsekuensinya
klasifikasi terus berkembang. Berikut akan dipaparkan
berbagai j enis kondrodisplasia.'

Akondroplasia. Kelas dari gangguan autosom dominan ini


melibatkan displasia tanatoforik yakni kondrodisplasia
tersering yang bersifat letal pada periode perinatal;
akondroplasi a yaflg merupakan kondrodisplasia non-letal

terbanyak dan hipokondroplasia. Meskipun ketiganya


berbeda dalam keparahannya, gambarannya secara
kualitatif tidak berbeda. Mutasi heterozigot dari gen yang
mengkode reseptor faktor perlumbuhan dari fibroblast telah
teridentifikasi pada ketiga kondisi ini.

Akondroplasia
Akondroplasia mempunyai prototipe dwarfisme dengan
tungkai pendek, sudah dapat diketahui pada saat lahir
dengan trunkus panjang dan sempit, tungkai pendek
(khususnya bagian proksimal) serta kepala besar dengan
bagian dahi prominen (menonjol) dan hipoplasia dari

wajah bagian tengah. Kebanyakan sendi dapat


mencapai hiperekstensi khususnya lutut, namun
mobilitas sikunya terbatas. Problem paling serius
berhubungan dengan kanalis spinalis yang sempit,

2730

REUMAIOI.OGI

khususnya pada tingkat foramen magnum. Anomali ini

bisa menimbulkan hipotonia, keterlambatan

perhrmbuhan, kuadriparesis, apnea bahkan kematian


bayi mendadak. Problem masa kanak-kanak yang sering
adalah infeksi telinga tengah, padatnya gigi-geligi dan
pembengkokan kaki. Harapan hidup adalah normal j ika
tanpa problem neurologis yang mengancam pada masa
bayi . Pada saat remaja. pria bisa mencapai tinggi 132
cm dan wanita 124 cm. Nyeri sendi saat berdiri sering
terjadi, mungkin disebabkan tidak lurusnya tulang yang
menopang berat badan dan obesitas yang juga sering
terjadi. Stenosis pada spina lumbalis bisa menyebabkan
parestesia, klaudikasio, mati rasa pada kaki serta
disfungsi miksi dan defikasi. Wanita hamil dengan

akondroplasia perlu dimonitor ketat dan sebaiknya

melahirkan dengan bedah sesar. prevalensi

akondroplasia heterozigot pada komunitas kerdil cukup


tinggi, jika orang dengan kondisi ini saling menikah
maka keturunan mereka memiliki risiko 25o/o terkena

akondroplasia

Hipokondroplasia

Hipokondroplasia biasanya tanda-tandanya tidak


diketahui hingga pertengahan sampai akhir masa kanak-

kanak. Orang dengan hipokondroplasia tampaknya


memiliki akondroplasia 'rrngan' dengan tungkai pendek
(kebanyakan segmen proksimal), dan kepala normal atau
sedikit membesar. Riwayat alamiah biasanya tidakjelas,

selain dari tubuhnya yang pendek. Insidensi yang pasti


dari hipokondroplasia tidak diketahui, sebab seringkali
tidak terdeteksi

Displasia Spondiloepifiseal
Kondisi ini merupakan kelas yang luas dari kelainan
autosom dominan dengan gambaran klinis yang
merefleksikan berbagai derajat disfungsi dari kolagen tipe II
yang merupakan stmktur utama dari protein kartilago. pada
bentuk yang parah, berbagai tipe dari kartilago danjaringan

lainnya yang mengandung kolagen tipe II terlibat, namun


pada bentuk yang lebih ringan hanya karlilago artikuler
yang terlibat. Beberapa contoh dari kelas ini adalah:

Displasia spondiloepifiseal kongenital. Bentuk dari


displasia ini adalah prototipe dari dwarfisme tubuh
pendek. Neonatus dengan displasia spondiloepif,rseal
kongenital memiliki leher pendek, hrbuh berbentuk tong

pendek, seringkali dengan celah palatum serta kaki


bengkok. Tungkai proksimal adalah pende( namun
tangan, kaki, kepala dan wajah tampak berukuran
normal. Skoliosis seringkali terjadi pada masa kanakkanak dan bisa menyebabkan gangguan respirasi.
Hipoplasia odontoid merupakan predisposisi menjadi

instabilitas servikomedular dan kompresi korda


spinalis, namun kematian mendadak jarang terjadi.

Osteoartritis, khususnya sendi panggul dan lutut


secara

tipikal tampak pada dekade ketiga. Miopia berat

sering terjadi dan lepasnya retina / ablasio sering terjadi


dengan bertambahnya umur anak. Rentang tinggi
badannya setelah dewasa adalah antarag5 hingga l2g
cm.

Displasia Kniest. Saat lahir, bayi dengan displasia Kniest


memiliki tubuh dan tungkai pendek, wajah datar dan
mata yang menonjol. Jai-jarinyapanjang, kaki bengkok
serta sering didapat celah palatum. Aspek yang paling
mengganggu adalah pembesaran sendi progresif selama

masa kanak-kanak yang berhubungan dengan


kontraktur dengan nyeri hebat dan bahkan osteoartritis.
Hilangnya pendengaran (ketulian) juga sering terjadi,
demikian juga miopia berat yang sering berkomplikasi

dengan lepasnya retina I ablasio.


Sindrom Stickler. Gambaran klinis dari sindroma Stickler didominasi dengan masalah okuler. Myopia berat
biasanya didapat pada saat lahir, demikian juga adanya
celah palatum danrahatgyang kecil. Lepasnya retina /
ablasio terjadi selama masa kanak-kanak, seperti juga

degenerasi koroidoretina dan vitrous. Hilangnya


pendengaran sensorineural seringkali terjadi selama
masa remaja. Osteoartritis sering terjadi pada dekade
kedua dan ketiga. Tubuh pendek bukanlah gambaran
dari sindrom Stickler, beberapa pasien menunjukkan
habitus tipe Marfan dan kelemahan sendi.
Displasia spondiloepifisial onset lambat. Beberapa mutasi
kolagen tipe II bermanifestasi terutama sebagai osteoartritis

prekok dari sendi penyangga berat badan. Radiografi


biasanya menunjukkan perubahan seperli apa yangterlihat
pada displasia spondiloepifisial, namun beberapa pasien
bertubuh normal dan tidak mengalami abnormalitas lainnya.
Kata familial osteoarthritis atau dominant autosom ost eo arthritis seringkali digunakan untuk menggambarkan
sindroma ini.

Displasia epifiseal multipel dan pseudoakondroplasia.


Kedua kelainan ini diklasifikasikan bersama karena mutasi
pada gen cartilage oligomeric matrix protein (COMP)
yang sama-sama ditemukan pada kedua gangguan ini.
Tipe Fairbank dari displasia epifiseal multipel biasanya
terdiagnosis pada masa kanak-kanak karena tungkai agak
pendek, cara berjalan bergoyang-goyang dan nyeri sendi.
Radiografi memrnjukkan keterlibatan epifi seal generalisata.

Tipe Ribbing dari displasia epifiseal multipel bisa tidak


terdeteksi hingga masa remaja. Karena keterlibatannya
khusus terbatas pada femur proksimal., tipe Ribbing dari
displasia epifiseal multipel seringkali dibingungkan dengan
penyakit Legg-Calve-Perthes bilateral. Kedua tipe dari
displasia epifiseal multiple ini seringkali berhubungan
dengan tubuh agak pendek dan osteoartritis dari sendi
penyangga berat badan.
Pseudoakondroplasia mempunyai

ciri khas yaitu

tampak pada tahun kedua atau ketiga kehidupan, dimana

terjadi perlambatan dramatis dari pertumbuhan tulang


bersamaan dengan gay a berjalan bergoyang-goyang dan

2731

DISPI.ASTIA TUI.ANG DAN SENDI

kelemahan sendi generalisata. Kepala dan wajah tampak

kardiorespirasi. Hipoplasia odontoid sering terjadi.

normal, namun tangan pendek dan besar dan deviasi


ulnar sering terjadi. Perlambatan pertumbuhan akan
memburuk sepanjang umur. Komplikasi utama paling
banyak mengenai sendi lutut, dimana terjadi berbagai
deformitas lutut. Osteoartritis sendi panggul dan lutut

Kebanyakan sendi menjadi besar yang menyebabkan


terbatasnya mobilitas. Kontraktur sering terjadi pada

sering terjadi.

panggul dan lutut.

Kondrodisplasi puntata. Kelainan ini dibedakan menjadi


dua jenis yaitu:

Kondrodisplasia risomelik yang tarnpak pada saat lahir


dengan ditandai pemendekan yang berat dan simetris
dari tungkai, kontraktur pada banyak sendi, katarak,
rash ikhtyosiformis, kebotakan, mikrosefali dan muka

Displasia diastrofik. Displasia diastrofik biasanya tampak


saat lahir. Bayi mempunyai ekstremitas yang sangat pendek

dengan tangan khas

dimanajari-jaityapendek dan salah

letak proksimal ibu jari (ibu jari seperti berboncengan).


Terdapat fusi tulang dari sendi metakarpopalangeal yang
menghasilkan simfalangisme dan deviasi ulnar dari tangan.
Celah palatum dan kaki bengkok sering tefadi. Telinga luar
sering mengalami inflamasi segera setelah kelahiran dengan
penyembuhan yang menyisakan jaringan fibrosis ringan
(deformitas cauliflower). Skoliosis dan kontraktur sendi
multipel biasanya mulai pada masa kanak-kanak dan
berkembang progresif dan berat. Tinggi badan saat dewasa
bervariasi dari 105-130 cm.

Kondrodisplasia metafiseal. Kondisi ini merupakan


kelompok gangguan heterogen yang melibatkan metafisis.
Ada tiga tipe dari kelainan ini yaitu tipe Jansen, tipe Schmid
dan tipe McKusick.
Pada tipe Jansen tungkai tampak sangat pendek, dahi
menonjol dan rahang yang kecil sudah tampak saat lahir.
Beberapa bayi mengalami kaki bengkok dan hiperkalsemia.

Sendi membesar dan kaku semasih masa kanak-kanak.

Kontraktur fleksi pada pinggul dan lutut sering


mengakibatkan postur sangat bungkuk.
Pada tipe Schmid gangguan biasanya muncul pada
umur 2-3 tahun karena pemendekan tungkai ringan, kaki
yang tampak bengkok, gaya berjalan bergoyang-goyang
dan seringkali nyeri pinggul. Setelah dewasa tampak
tubuhnya agakpendek dan tidak memiliki banyak masalah
yang menimpa sendinya.

Tipe McKusick juga disebut hipoplasia rambut


kartilago. Kelainan ini bermanifestasi sebagai
keterlambatan pertumbuhan pada umur 2-3 tahun. Ditandai

dengan tungkai yang pendek dan bengkok, tangannya


juga pendek dan agak besar dengan jari-jari pendek dan
kadang terpotong serta bisa didapat pelebaran ruang
interkosta bagian bawah. Kelemahan ligamentum tampak
nyata, rambut cenderung pirang dan tipis dengan kulit
berpigmen terang. Beberapa pasien mempunyai masalah
defisiensi imun, anemia, penyakit Hirschsprung dan
malabsorpsi. Orang dewasa menunjukkan dwarfisme nyata
serta mempunyai predisposisi terhadap infeksi tertentu,
keganasan kulit dan jaringan limfoid.

Displasia metatrofik. Bayi baru lahir dengan displasia


metatrofik memiliki tungkai pendek namun tubuh panjang
dan sempit. Kifoskoliosis yang bermula pada akhir masa
bayi atau awal kanak-kanak, bisa menyebabkan masalah

yang datar dengan hipoplasia dari ujung hidung.


Bayi yang menderita kelainan ini gagal tumbuh dengan
baik dan biasanya meninggal pada tahun pertama.
Kondrodisplasia terkait kromosom X
Kelainan ini bisa terkait kromosom X secara dominan
maupun resesif. Bentuk resesif dari kelainan ini adalah
simetris dan berat sedangkan bentuk dominan relatif
ringan dengan distribusi asimetris. Beberapa derajat
kontraktur, katarak, rash kulit dan kebotakan ditemukan
padakelainan ini. Kondisi asimetris bisa semakinburuk

dan skoliosis bisa terjadi sepanjang waktu, namun


orang dengan kelainan ini memiliki harapan hidup yang
normal.

Brahyolmia. Ada tiga tipe brahyolmia yang diketahui,


memiliki gambaran klinis yang mirip. Tampak dari
awal hingga pertengahan masa kanak-kanak mempunyai
tubuh agak pendek, terutama melibatkan bagian trunkus.
Nyeri punggung dan panggul khususnya terjadi selama
masa remaja dan berlanjut hingga masa dewasa. Kekakuan
punggung sering terjadi dan beberapa pasien mengalami
semuanya

skoliosis.

Diagnosis
Beberapa kondisi akondroplasia dapat terdiagnosis
dengan cara sederhana dengan pemeriksaan hsik pasien,
namun diagnosis biasanya dibuat berdasarkan data-data

kombinasi unik dari klinis, radiografis dan gambaran


genetik. Karena gambaran klinis terus berubah perlahan
sepanjang waktu maka riwayat alamiah harus dicatat ketika
mengevaluasi pasien. Informasi paling berguna biasanya
datang dari radiografi skeletal. Seperti gambaran klinis,
karakteristik radiografis berubah menurut umur' Film yang
diambil sebelum pubertas biasanya lebih informatif karena
penanda radiografi dari beberapa gangguan menghilang

setelah penutupan epifisis dan kenyataannya seringkaii

sulit membuat diagnosis khusus dari radiografi


postpubertas. Karena banyak pasien merupakan kasus
pertama dan satu-satunya dalam keluarga, maka silsilah
keluarga hanya sedikit membantu karena pola keturunan
tidak dapat ditentukan. Namun demikian, riwayat keluarga
seringkali memberikan kunci penting ke arah diagnosis.
Padazamandahulu tes laboratorium tidak berguna dalam

mendiagnosis kondrodisplasia, namun karena proses

2732

REI,JMAIOI.OGI

mutasi telah diketahui dengan baik, maka tes genetik

osteoartritis dari sendi penyangga berat badan,

membantu untuk gangguan yang disebabkan oleh mutasi

berdempetnya gigi geligi, kesulitan melahirkan, obesitas

berulang dalam populasi. Meskipun evaluasi histotogis


dari spesimen lempeng perlumbuhan sering menunjukkan
perubahan yang khas, biopsi jarang dilakukan karena diagnosis biasanya dapat dibuat dengan cara lain.

OSTEOKONDROSIS

UVENI L

Osteokondrosis juvenil merupakan kelompok gangguan


heterogen dimana terjadi artropati noninflamasi akibat dari

gangguan regional dari pertumbuhan skeletal. Anak-anak

dan problem psikologis berkaitan dengan tubuh yang


pendek. Rekomendasi umum dapat dibuat untuk mengatasi

berbagai masalah yaitu menghindari jenis olahraga dan

aktivitas yang bisa menyebabkan trauma dan beban


mekanik sendi. Penggantian sendi seringkali diperlukan
untuk osteoartritis progresif. Kendali diet harus dimulai
pada masa kanak untuk mencegah obesitas pada saat
dewasa. Perawatan gigi harus dimulai pada awal masa
kanak-kanak dalam hal penatalaksanaan kepadatan dan
salah arah (m i s a I i gnm en t). Kar ena tulang p elvis try a y alg

terbatasnya gerakan dari sendi yang terkena (seperti pada


penyakit Legg-Calve-Perthes dan penyakit Scheuermann)

kecil, wanita hamil dengan kondrodisplasia harus diberrkan


tatalaksana yang tepat, bahkan kadang harus diberikan
tatalaksana bedah sesar. Inteligensi biasanya normal pada
orang dengan kondrodisplasia nonletal, namun karena

atau dengan nyeri lokal dan kadang nyeri tekan dan


pembengkakan (seperti pada penyakit Freiberg, penyakit

pasien mudah dikenali sebagai 'berbeda' dari temantemannya, mereka dan keluarganya sering merasa lebih

Osgood-Schlatter dan osteokondritis disekan).


Pertumbuhan tulang menjadi tidak normal dan
menghasilkan deformitas seperti tibia yang bengkok

puas

pada penyakit Blount.

REFERENSI

Patogenesis dan Diagnosis

Horlon WA Bone and Joint Dysplasias in Klippel, J H., Crofford,L.J,


Stone,J.H., Weyand,C.M , Primer on the Rheumatic Diseases,
2001, 12 ed, pp 218-225. Arthritis Foundation, Georgia
Horton WA, Hecht JT. Chondrodysplasias:part I General concepts,

bisa merasakan nyeri ringan yang menyebabkan

jika mendapat dukungan sosial.

,
Patogenesis diduga melibatkan nekrosis iskemik dari pusat
osifikasi endokondral primer maupun sekunder. Beberapa

kasus bisa berhubungan dengan beban mekanik dan

trauma. Kebanyakan gangguan-gangguan ini terjadi


secara sporadis namun bentuk familial pemah dilaporkan.
Diagnosis osteokondrosis juvenil biasanya dapat

ditegakkan secara radiografis. Magnetic Resonance


Imaging (MRI) bisa berguna untuk menentukan lesi.

Penanganan
Tidak ada terapi definitif untuk mengatasi defek
pertumbuhan tulang akibat displasia sendi dan tulang.

Konsekuensinya, penanganan diarahkan untuk


pencegahan dan koreksi deformitas skeletal serta
mencegah komplilasi nonskeletal. Manajemen dipandu

dengan pemahaman tentang riwayat alamiah dari


gangguan-gangguan ini, sehingga problem khusus yang
berhubungan dengan gangguan ini dapat diantisipasi dan

diterapi lebih awal. Problem yang sering pada


kondrodisplasia melibatkan gangguan respirasi,

diagnostic and managemen considerations.


Steinmann B (eds). Connectiye Tissue and

ln: Royce P,
lts Heritable

Disorders. New York:Wiley-Liss (In Press) 2001

Morris N, Keene DR, Horton WA Morphology of connective


tissue: carlilage. In: Royce P, Steinmann: B (eds). Connective
Tissue and lts Heritable Disorders. New York: Wiley-Liss,
(InPress) 2001.
Horton WA. Molecular genetic basis olthe human chondrodysplasias.
Endocrinology Merab Clin North Am :1996:25:683-697.
Rinoin DL, Lachman RS. Genetic disorders of the osseous skeleton

In:BeightonP(ed). McKusick's Heritable Disorders of


Connective lissue,5th ed. St Louis: Mosby, 1993.p 557-690

Rinoin DL, Francomano CA, Giedion A, et al. International


nomenclature and classification of the osteochondrodysplasias. Am J Med Genet 1998:79:376-382.
Sharrard WJW. Abnormalities of the epiphyses and limb inequality.

In: Paediatric Orthopaedics and Fracture,3'd ed.Oxford:


Blackwell Scientific Publications, 1993:pp 7 19-814.
Tachdjian MO. Osteochondroses and related disorders. In. Pediatric
Orthopedics,2"d ed. Piladelphia: WB Saunders, 1,990.p 9321062.

4t8
NEOPLASMA TULANG DAN SENDI
Edward Stefanus Tehupeiory

PENDAHULUAN
Tumor primer atau kelainan-kelainan yang menyerupai

Itmor (tumor-like disorders) dari sendi atau lebih khusus


pada sinovium adalah sangat jarang, namun harus
dipertimbangkan kemungkinan adanya tumor (diagnosis

deferensial) bila ditemukan penyakit sendi yang


monoartikuler. Beberapa neoplasma berasal dari sendi itu
sendiri, atau sebagai hasil penetrasi dan metastasis dari
tempat lain. Keganasan dapat bermetastasis ke tulang
ataupun sendi. Neoplasma sendi dibagi atas neoplasma
sendi primer dan neoplasma sendi sekunder.
Klarifikasi tumor tulang berdasarkan perkembangan
tulang dan formasinya terbagi atas tipe yang spesifik yaitu

yang oseous dan nonoseous.


Neoplasma primer pada sendi jarang dan yang bersifat
ganas lebih jarang lagi. Neoplasma pada sendi dapat
berasal dari sendi itu sendiri atau berupa metastasis dari

tempat lain. Terdapat dua jenis kelainan yaitu


pigmented villonoduler synovitis dar' synovial
chondromatosls yang merupakan kelainan proliferatif yang
paling sering timbul dari dalam sendi. Lesi-lesi primer yang

lain seperti lipoma arborescens, hemangioma sinovia,


kondroma intrakapsuler dan kondrosarkoma sinovia'
Sarkoma sinovia dan sel tumor giant adalah neoplasma
yang biasa meluas kedalam sendi. Keganasan yang
bermetastasis ke sendi. Berdasarkan hal tersebut di atas
bahasan berikutnya hanya dibahas neoplasma sendi.

Klasifrkasi neoplasma sendi berdasarkan kausa adalah


primer dan sekunder.

synovitis G\rNS). Kelainan ini terjadi dalam 3 bentuk: (l)


Giant cell tumor dari selaput tendon (localized giant cell
tumor). (2) Nodul intra artikuler yang soliter (lokal PVNS)
dan (3) Lesi villous difus pigmen mengenai jaringan sinovia
(dffise tenosynovial giant cell tumor). Hanya bentuk (2)
dan (3) yang dibahas pada tulisan ini.

Bentuk giant cell tumor lokal merupakan bentuk


terbanyak pada sendi tangan dan kaki, tetapi juga pada
intra dan ekstraartikuler sekeliling sendi-sendi besar.
Tumor ini tumbuhnya pelan dalam masa multi noduler yang
berlokasi pada sendi-sendi tangan dan terbanyak pada
perempuan dengan umur 30 dan 50 tahun. Bentuknya khas
dengan ukuran kurang dari 5 Cm. Pada potongan tumor
terlihat berwarna kuning (mengandung kolesterol) dan
cokelat (hemosiderin). Pada pemeriksaan mikroskopis

menunjukkan suatubentuk selular dan multinoduler


dengan lapisan kapsul yang tipis.

Bentuk yang kedua Dffise tenosynovial giant cell


tumor secara morfologis hampir menyerupai Giant cell

tumor dan selaput tendon (tendon sheath), namun dari


presentasi klinik dan pertumbuhannya sangat berbeda
dengan kedua bentuk local dan yang difus.'Bentuk ini
terdapat sekeliling sendi-sendi besar yang berturut-turut
adalah sendi lutut, pinggul, ankle, siktt dan sendi bahu.
Gejala berupa nyeri sendi, bengkak dan disfungsi sendi.

Efusi sendi yang berisi darah sering ditemukan.


Didapatkan pada umur dewasa muda, dengan umur kurang
dari 40 tahun. Tumor ini ditemukan intra artikular yang
meluas sepanj ang permukaan sinovia, y ang dap at meluas
ke lapisanbursa periartikuler dan jaringan sekitamya. Sama
dengan bentuk lokal, wama dapat bervariasi tergantung

pada kandungan
NEOPLASMA SENDI PRIMER
Suatu kelainan proliferatifyang tidak diketahui kausanya
dan mempengaruhi sinovia adalah pigmentid vill onodul er

lipid dan hemosiderin. Kandungan

hemosiderin lebih sering dibandingkan dengan bentuk


tumor lokal.
Mikroskopis sama dengan bentuk lokal, tetapi lebih
banyak memberi gambaran mitosis' Gambaran klinik dari

2733

2734

REI.'ilIATOI.OGI

bentuk tumor difus ini lebih agresif dan menunjukkan lebih


banyak bersifat lokal.

mempunyai sifat oleh replacement jaringan adipose


pada orang dewasa pada stroma sel sinovia. Pemeriksaan

mikroskopis terdapat pergantian difus dari jaringan


lunak subsinovia dengan jaringan adipose yang dewasa.

NEOPLASMA SENDI SEKUNDER

Hubungannya dengan

lesi sendi

degeneratif,

menunjukkan bahwa kelainan ini merupakan kelainan

Sarkoma Sinovia

yang reaktif.

Bentuk ini jarang terdapat sel-sel sinovia yang ganas. Sendi


yang paling sering terkena adalah sendi ekstremitas bawah
dengan insiden tertinggi adalah pada umur I 5 dan 40 tahun.

Giant CellTumor
Bentuk tumor ini merupakan tumor jinak (lihat bahasan di
depan). Klasifikasi lain tumor sendi adalah tumor benigna
dan fumor ganas.

Fibroma of Tendon Sheafh


Fibroma dari selaput tendon adalah suatu tumor
multinoduler myofibroblastik yang primer pada tangan
yang sama dengan bentuk lokal dari tenosinovitis
noduler.Kelainan ini lebih banyak pada lelaki. Hasil
sitogenetik menunjukkan suatu kesamaan yang bukan
suatu kariotipe seperli pada giant cell tumor yang lokal.

Kondroma

TUMOR BENIGNA

Kondroma yang terdiri dari 2 jenis neoplasma kartilago


yang benigna dan terdapat disekitar sendi, yaitu: kondroma

Hemangioma Sendi
Tumor inijarang, secara eksklusifkhusus pada anak dan
dewasa muda. Penampilan tumor ini berupa sakit sendi

jaringan lunak dan kondroma intrakapsuler ekstra sinovia

atau hemartrosis yang rekuren.

temporomandibuler. Berbatas tegas, nodullobuler dan


berbeda tegas dengan kartilago dan beberapa bentuk

Identifikasi tumor ini biasa

gagal dengan pemeriksaan radiografis. Dengan


pemeriksaan MRI memberi hasil yang cukup baik. Tumor

ini

ada 3 jenis: hemangioma kapiler, hemangioma

kavernosa atau varises, dan hemangioma arteri venosus.


Ketiga bentuk ini dibedakan berdasarkan ukuran dan tebal
pembuluh darah. Kelainan-kelainan ini adalah benigna dan
diobati dengan cara eksisi.
Patogenesis dari lesi-lesi ini tidak diketahui secara
pasti, namun diduga adalah hamartoma, neoplasma asli
atau lesi reaktif karena trauma sekunder.

Lipoma Arborescens
Lipoma arborescens adalah lesi yang jarang. Kelainan ini

mengalami osif,ftasi. Jenis yang kedua, intra kapsuler ekstra


sinovial kondroma berbeda dalam hal lokasi yaitu di dalam
kapsul sendi. Beberapa laporan kasus didapat bahwajenis
kondroma ini terdapat utamanya pada lutut, kemudian pada
sendi elbow, dan panggul.

Miksoma
Insiden miksoma sukar ditentukan. Suatu penelitian dari
65 kasus ternyata miksoma tidak jarang ditemukan.
Beberapa kasus dilaporkan sebagai kista meniskus atau
parameniskus. Tumor sering ditemukan pada pria dekade
ke-3 dan ke-5 dan biasanya pada lutut danjuga dapat pada

Tumor of Osseous Origin


Osseous

Caftilaginous
Osteochondroma solitary and multiple
Chondroma
Chondromyxoid fibroma
Chondroblastoma, benign and malignant
Chondrosarcoma, primary or secondary

Osteomas and ossifying fibromas of skull


and jaws
Osteoidosteoma
Osteogenic sarcoma, sclerosing and
osteolytic
Parosteal osteoma and myositis ossificans

Marrow and Haversian Sysferns


Ewing's sarcoma
Primary reticulum sarcoma
Multiple myeloma
Chloroma and leukimia of bone
Reticuloendotheliosis
Xanthomas and granulomas of bone
*Flilzr rlin A^ri Oal

(dikutip dari 4). Jenis kondroma jaringan lunak


terdapat utama pada tangan dan kaki, pada sendi

Tumor of Nonosseous Origin


Metastatic Deposirs

ResorPtive
Bone cyst
Diffuse osteitis fibrosa (parathyroidism)

Fibrous dysplasia, polyostotic or monostotic


Giant cell tumor

etc.

By lnclusion or Direct lnvasion


Chordoma
Angioma, angiosarcoma
Fibroma and fibrosarcoma, fascial or nerye

Metastatic lymphomas and sarcomas

sheath

Carcinoma of prostate, breast, Kidneys,

Myosarcoma
Liposarcoma

2735

NEOPI.ASTMA TULAI\G DAN SENDI

sendi-sendi besar yang lainnya. Gejala klinik adalah sekat


pada sendi dan masa yang cepat tumbuhnya. Mikroskopis

tumor ini sama dengan miksoma pada jaringan lunak

Agiosarkoma
Agiosarkoma adalah tumor maligna dan endotelium.
Dengan demikian tumor ini dapat terjadi pada organ-

lainnya. Patogenesis dan miksoma belum diketahui secara


pasti. Penelitian Sciot R. dkk. dengan analisis sitogenetik
dilaporkan 2 bentuk klonal.

organ dengan jaringan lunak. Agiosarkoma pada sendi


sangat jarang, tetapi tumor ini dapat timbul dalam tulang

Sinovial Kondromatosis
Pada jenis tumor ini sinovium ditabur dengan nodul
kartilago dan biasanya rongga sendi mengandung
beberapa chondroid loose bodies. Jenis tumor ini lebih

Tumor Metastatik
Metastatis kedalam sinovium sangat latang. Pada

sering pada pria dan paling sering pada sendi lutut. Didapat
klinik berupa sakit sendi; bengkak

yang meliputi sendi.

penelitian akhir didapat 28 kasus; namun distribusi tipe


tumor sangat luas. Kanker paru adalah jenis kanker yang
paling sering metastasis ke sendi.

pada dekade ke-7. Gejala

dan disfungsi.
REFERENSI

TUMORGANAS (MALTGNA)

Kondrosarkoma
ini mengenai sendi melalui 2 cara: (l) Kondrosarkoma dari tulang dapat mengenai beberapa kasus yang
invasi pada sendi. (2) Kondrosarkoma timbul dalam sendi
itu sendiri. Banyak laporan mengenai jenis tumor ini. Salah
satu seri dari 53 kasus sinovia kondromatosis diketahui
sebanyak 3 jenis transformasi maligna. Penelitian lain
didapat kasus dimana mioid kondrosarkoma terjadi secara
Jenis tumor

primer dalam sinovium.

Clear Cell Sarkoma


Dari nama jenis fumor ini merupakan neoplasma yang
sangat yang sangat ganas yang terdiri dari sel epiteloid
denga sitoplasma yang jelas dengan pewarnaan. Karena
secara ultrastruktural, iminofenotipe dan hestogenetik
menyerupai melanoma maligna konvensional, maka dikenal
sebagai melanoma maligna jaringan lunak. Jenis tumor ini

biasanya ditemukan pada kelompok umur muda


dan terbanyak pada dekade ke-4. Pada penelitian Lucas

dkk. Didapat lebih banyak pada perempuan dan


paling sering pada sendi kaki dan tangan. Prognosis
tergantung pada ukuran, tingkat sekrosis dan nilai mito-

sis. Pengobatan berdasarkan pada pendekatan


multimodalitas dengan pembedahan yang merupakan
tindakan pertama. Pada beberapa kasus yangjarangdapat

timbul remisi sempurna dengan pengobatan 3 jenis


kemoterapi.

Limfoma
Limfoma biasanya meliputi tulang dan sumsum tulang
dan dapat bermetastasis kerongga sendi. Pada satu
penelitian pada kaput femoris didapat 3o/o detgan small
B- cell lymphoma. Kelainan primer pada sinovia sangat
jarang. Secara umum kelainan berupa proses proliferatif
dan bukan inflamasi.

Copeland M.M., Geshickter CF Tumors of the bone, joint and


soft parts of the extremitas christopher's textbook of surgery
7n Ed. W.B. Saunders and Co Philadelphia - London 1968
:

1t48-76

FR Lyon R., Loverna C. Synovial tumor Rheumatology


Eds Klippel JH. Dieppe P t al Mosby London 1991 :39.3 -39'7
Chung EB, Enzinger FM Chondroma of soft parts Cancer
19'78:41:1414-24.
Devancy K, Vinh TN. Sweet DE. Synovial hemangioma: a report
of 20cases with differential diagnostic consideration. Hum
pathol 1993 : 24 :137-45.
Da1 Cin P et al. Translocation 2 : 11 in a fibroma of tendon
sheath. Histopathology. 1998 : 32 : 433-5.

Convery

Davis RI et al. Primary synovial chondromatosis a clinicopathologic


review and assesment of malignant potential. Hum pathol
1

99 8:2 9:6 83 - 8.

Fujimoto M et al. Complete remission of metastatic clear


cellsarcoma with DAV chemotheraphy. Clin Exp Dermatol
2O03

: 28 :22-4

Gupta De et a[. Angiosarcoma of pelvis presenting clinically as


tubercolosis of hip. J Indian Med. Assoc 1976 '. 67 '. 42-3.
Hallel T, Lew S, Bansal M. Villous lipomatous proleleration of the
synovial membrane (lipoma arborescens). J Bone joint surg
Am 1988: 70 (2) :264-10

Klippel JH. Neoplasma of the joint primer on the rheumatic


diseases 12th Ed.
47

Arthritis foundation. Atlanta Georgia 2001

-6.

Kendblom LG, Angervall L. Myxoid chondrosarcoma of the


synovial tissue : a clinicophatologic histochemical and
ultrastruktural analysis cancer 1983 : 52 : 1886-95.
Lucan DR Nascimento AG et al. Clear cell sarcoma of 20th tissue
mayo clinic experience with 35 cases. Am J Surg Pathol 1992:

t6 : ll97-204.

Meis JM, Enzinger FM. Juxta- artikuler myxoma " a clinical and
p6thologih study of 65 cases. Hum pathol 1992 : 23 : 639-46.
Murphy F, Dahlin D. et al. Articular synovial chondromatosis. J
Bone joint surg Am 1962 : 44 : 77-86.
Rao AS, Vigorita VJ. Pigmented Villo noduler synovitas (Giant cell
tumor of the tendon sheath and synovial membrane) a review
of eighty one cases. J Bone Joint Surg Am 1934 ; 66 : 76-94.
Sreyaskumar R. et a1. Soft tissue and bone sarcoma and bone
metastases. Harrison's principle of Int Med vol -1 Eds
Braunwald et a1. 15th Ed Mc. Graw Hill and Co 625-32,2001.
Satti MB. Tendon sheath tumors : a pathological study of the
relation ship between giant cell tumor and fibroma of tendon
sheath. Histopathology 1992 ;20 :213-20.

2736

Sciot R., et al. Clonal chromosomal changes in juxta - articular


myxoma. Virchow arch 199 :434 : 177-80.
Sugihara S. et al. Histopathology of retrieved allografis of the
fumoral head. J Bone Joint Surg 1999 : 8 :336-45.
Winokur TS. Siegal GP Tumor like lesions and neoplasma of joint
and related structure. Arthritis and allied conditions.
A textbook of rheumatology 15th Edition Eds. Koopman WJ,
Moreland LW. Vol - 2. Lippencott Williams and Wilkins
Philadelphia 2.005 : 2117-28.
Yoanes M. et al. Monoarthritis secondary to joint metastasis. Two
cases report and litterature review. Joint Bone Spine 2002 :
495-8.
Zvaifler NJ. Cancer and miscellaneous arthropathy rheumatology.
Klipped JH. Dieppe PA. Mosby London 1994 : 38.1 -38.5.

REI.'MIIilOI.OGI

419
OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID
Najirman

PENDAHULUAN

Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) merupakan


sekelompok obat yang heterogen, akan tetapi mempunyai

banyak persamaan, baik efek terapeutik maupun efek


samping. Kelompok obat ini pertama kali dilaporkan oleh
Edmund Stone pada pertengahan abad ke 1 8 yang berkasiat

untuk mengobatan demam. Pada tahun 1829 Zat aklif


tersebut berhasil diisolasi oleh Leroux dan kemudian
dikenal dengan nama salisin. Hidrolisis salisin akan
menghasilkan glukosa dan salisilat alkohol yang
selanjutnya dikonversi menjadi asam salisilat. Sodium
salisilat perlama kali digunakan untuk pengobatan demam
reumatik dan gout tahun 1 875. Setelah terbukti mempunyai

khasiat sebagai anti inflamasi, maka tahun 1899 obat


tersebut pertama kali diperkenalkan pada dunia kesehatan
dan dikenal dengan nama aspirin, berasal darikata Spraea,
nama tumbuhan asal asam salisilat diekstraksi.
Obat anti inflamasi nonsteroid merupakan kelompok
obat yang paling sering diresepkan di seluruh dunia dan
merupakan salah satu kelompok obat yang paling sering
digunakan di bidang reumatologi. DiAmerika serikat saja

diperkirakan sekitar 60-70 juta OAINS diresepkan


setiap tahun dan lebih dari 30 miliar tablet terjual setiap

prostaglandin, bradikinin, leukotrien, interleukin, histamin,


serotonin, tumor nekrosis faktor alfa dan lain-lain. Obat
anti inflamasi non steroid bekerja terutama dengan cara
menghambat pembentukan prostaglandin dan leukotrien,

sehingga dapat mencegah/ mengurangi terjadinya


inflamasi. Di samping itu ada juga OAINS yang bekerja
menghambat bradikinin.
Prostaglandin mempunyai fungsi utama mengatur
proses fisiologis serta sebagai mediator nyeri dan inflamasi.
Prostaglandin G2 (PGG2) merupakan yang pertama
dibentuk dari asam arakidonat dan sangat tidak stabil.

Selanjutnya PGG2

ini

akan direduksi oleh enzim

siklooksigenase (COX) menjadi prostaglan dinH2 (PGH2),


dan pada akhirnya akan dikonversi lagi menjadi prostaglandin D2 (PGD2), prostaglandir,l2 (PGI2), prostaglandin
E2 (PGE2),prostaglandin F2 (PGF2) dan tromboksan,A'2
(TxA2) oleh enzim isomerase. Jenis prostaglandin yang
akan terbentuk tergantung pada jenis jaringan, karena
setiap jaringan mempunyai enzim isomerase yang berbeda.
Misalnya pada platelet akan membentuk tromboksat 42,

sedangkan PGI2 dibentuk oleh sel endotel pembuluh


darah.

tahunnya.

Efek terapeutik dan efek samping yang timbul akibat


penggunaan OAINS berkaitan dengan aktivitas obat
tersebut yang menghambat aktivitas enzim (COX), dalam
sintesis prostaglandin. Seperti tampak pada Gambar 1.
Enzim siklooksigenase bekerja merubah asam arakidonat

MEKANISME KERJA

menjadi prostaglandin (PG), di samping itu jugaadaenzim


lipoksigenase yang juga merubah asam arakidonat menjadi

Sebagian besar penyakit di bidang reumatologi ditandai


dengan adarya inflamasi sebagai respons tubuh terhadap
adarrya kerusakan jaringan dan inflamasi tersebut akan
menimbulkan rasa nyeri. Nyeri juga merupakan keluhan

leukotrien (LT). Asam arakidonat sendiri berasal dari


membran fosfolipid yang dihidrolisis oleh etzim
fosfolipase A2.

yang paling sering dijumpai dan yang mendorong

Penelitian berikutnya menemukan bahwa ternyata


siklooksigenase mempunyai 2 bentuk isoenzim yang

seorang pasien untuk berobat pada dokter. Pada proses


inflamasi dilepaskan sejumlah mediator inflamasi seperli

dikenal dengan istilah COX-l dan COX-2 dengan struktur


dan fungsi yang berbeda. Penemuan ini sangat penting

2737

2738

REI'MAIIOI.OGI

Asam Arakidon:

cox-2

COX-1

(Constitutive

(lnducible)

\c)_.--

C)

OAINS

ntegritas gastrointestine
Agregasi trombosit
Fungsi ginlal
I

llr rLnLniiLni

Tempat inflamasi
- l\4arofag

- Sinoviosit
- Sel endotel
Fungsi ginjal

Gambar l.Jalur pembentukan prostaglandin dan tromboksan oleh


enzim siklooksigenase dan pembentukan leukotrien oleh enzim
5-lipoksigenase

untuk menjelaskan cara kerja OAINS serta pengembangan


obat baru dengan toksisitas lebih rendah. Enzim COX-I

merupakan bentuk konstitutif dan terutama banyak


diekspresikan pada sebagian besar jaringan, platelet,
ginjal dan mukosa lambung, bertanggung jawab untuk
proteksi mukosa lambung, regulasi aliran darah di ginjal
serta agregasi trombosit. Sementara enzim COX-2
terutama diekspresikan pada jaringan yang mengalami
inflamasi dan berperan terhadap rangsangan yang terjadi
akibat proses inflamasi seperti oleh sitokin proinflamasi,

faktor pertumbuhan dan lipopolisakarida bakteri.


Di samping itu COX-2 juga diekspresikan pada sel
endotel dan otot polos pembuluh darah, sel podosit
intraglomerular, pada ovarium dan uterus serta pada
tulang, yang mengatur peran fisiologis organ tersebut.
Enzim COX-I dar COX-2 juga dijumpai pada jaringan
sinovium pasien reumatoid artritis dan osteoartritis.
Dengan demikian COX-l dan COX-2 mempunyai fungsi
yang saling tumpang tindih dan berperan penting dalam
menjaga homeostasis tubuh 6'TEnzim COX-1 dikode oleh
gen yang terletak pada kromosom 9, sebaliknya gen yang

mengkode enzim COX-2 teletak pada kromosom

1.

Enzim COX-l aktivitasnya relatif konstan dalam menjaga


fungsi homeostasis tubuh, sebaliknya enzim COX-2
aktivitasnya dapat meningkat menjadi 10-80 kali lipat
selama proses inflamasi dan proses patologis lainnya.
Perbedaan lainnya adalah, enzim COX-1 banyak terdapat
pada retikulum endoplasma, sedangkan enzim COX-2
sebanyak 80-90% terdapat pada membran nukleus.

Dengan ditemukannya isozim COX dan perannya


dalam mengkatalisis pembentukan berbagai prostaglandin, maka dikembangkanlah penelitian untuk menemukan
obat yang selektif bekerja menghambat COX-2, dan

hanya sedikit mempengaruhi kerja enzim COX-1.


Diharapkan obat baru tersebut mempunyai efek
samping yang lebih ringan, tanpa mempengaruhi fungsi

konstitutifnya. Dengan demikian ada obat yang


bekerja menghambat kedua enzim tersebut (nonselektif)
terhadap COX dan ada yang hanya selektif terhadap

cox-2.
Untuk menentukan apakah suatu OAINS bersifat non
selektif ataukah selektif terhadap C0X-2, parameter yang

Ovarium dan uterus


Pembentukan tulang

Gambar 2. lsoenzim siklooksigenase dan perannya

dinilai adalah kemampuan obat tersebut menghambat kerl'a


kedua isoenzim siklooksigenase tersebut. Dari penelitian
didapatkan bahwa selektivitas suatu OAINS terhadap COX
didefinisikan sebagai konsentrasi obat tersebut yang
diperlukan untuk menghamb at 50oh aktivitas COX (IC50).
Rasio IC50 COX-2 frC5A COX- 1 bila lebih kecil dari 1, maka
dikatakan obat tersebut bersifat selektif terhadap COX-2.
Bila rasio COX-2ICOX- 1 nilainya lebih besar dari 1, maka
obat tersebut lebih banyak kerj anya menghambat COX-

dan bila rasionya sama dengan 1, maka obat tersebut


bersifat non selektif. Sebagai contoh, bila rasio COX}21
COX- I adalah 0,01 arlinya konsentrasi obat tersebut untuk
menghambat aktivitas COX-1 adalah 100 kali dibanding
dengan konsentrasinya untuk menghambat aktivitas COX2. Atal dengan kata lain obat tersebut sangat selektif
terhadap C0X-2. Idealnya suatu OAINS pada dosis
terapeutik mampu menghambat aktivitas COX-2 secara
komplit tanpa mempengaruhi aktivitas COX-I. Dengan
demikian OAINS tersebut mempunyai efek samping
yangminimal, sedangkan efek anti inflamasi, analgetik dan
antipiretiknya dapat diperoleh secara optimal.

Nama Obat
Asetosal
Diklofenak
Flurbiprofen
lbuprofen
lndometasin
Ketoprofen

Meklofenamat
Mefenamic acid
Naproksen
Niflurnic acid
Piroksikam

Sulindak
Tenoksikam
Tolfenamic acid
Nabumeton
Etodolak
Meloksikam
Nimesulid
Celecoxib
Rofecoxib

RasiolCso COX-2/lCso COX-'l


5,251163
0,06/7,59
1,24t12,7
0,8/53

5,2t60
4,6
6,5/6,6
20
0,59/59
60

7,7t300
36,6/100
1,34
16,6
0,28t1,46
0,8
0,01/0,8
0,01/0,9
0,0027
0,001

2739

OBAT ANTI INFLAI\IASI NONSTEROID

proses pembentukan
prostaglandin, OAINS juga mempunyai mekanisme kerja
lain sebagai obat anti inflamasi yakni:
. Menghambat pelepasan lisosom
. Menghambat aktivasi komplemen
. Sebagai antagonis pembentukan/aktivasi kinin
. Menghambat kerja enzim lipooksogenase
. Menghambat pembentukan radikal bebas
. Memicu agregasi dan adesi neutrofil
. Meningkatkan fungsi limfosit
. Berperan pada aktivitas membran sel
. Menghambat pembentukan nitrik oksida dengan cara
menghambat NF-kB, sehingga nitric oxide synthetase

Di samping bekerja menghambat

tidak terbentuk.

FARMAKOKINETIK
Semua OAINS akan diserap secara komplit setelah
pemberian secara oral. Kecepatan absorpsi berbedaantara
satu orang denganyang lain, tergantung padaadahidaknya
kelainan pada saluran cerna serta pengaruh makanan.
Bentuk sediaan juga turut mempengaruhi absorpsi, seperti
bentuk "enteric coated' akan memperlambat absorpsi,

akan tetapi juga mempengaruhi obat tersebut secara


langsung terhadap mukosa lambung
Sebagian besar OAINS adalah bersifat asam lemah dan
lebih dari 95%o akanterikat dengan protein serum terutama
albumin. Pada keadaan di mana terdapat hipoalbuminemia,
seperti pada pasien penyakit kronis, penyakit hati kronis
dan usia lanjut, maka perlu ada penyesuaian dosis unfuk

mencegah efek samping yang terjadi. Sebab pada

KLASIFIKASI
Obat anti inflamasi nonsteroid dapat diklasifikasikan
berdasarkan berbagai cara, seperti berdasarkan nrmus

kimia, waktu paruh dalam plasma dan aktivitasnya


dalam menghambat kerja enzim COX. Berdasarkan
waktu paruhnya, OAINS dapat dibedakan atas OAINS
dengan masa kerj a pendek dan OAN S mas a kerj a panj ang
Di samping itu berdasarkan kemampuannya
menghambat enzim COX, Kelompok studi internasional
tentang COX-2 mengklasifikasikan OAINS kedalam 4

kategori yakni: Spesifik terhadap COX-1, nonspesifik,


preferensial terhadap COX-2 dan spesifik terhadap
COX-2. Berdasarkan rumus kimianya klasifrkasi OAINS
dapat dilihat pada Gambar 3.

hipoalbuminemia akan meningkatkan kadar obat bebas


dalam plasma, sehingga toksisitasnya juga akan
meningkat.

Hati merupakan tempat utama OAINS mengalami


metabolisme dan diekskresikan melalui urin. Di samping
itu ada beberapa OAINS yang mengalami siklus enterohepatik, seperti indometasin, piroksikam dan sulindak,

mengakibatkan waktu paruh yang lebih panjang'


Diklofenak, flurbiprofen, selekoksib dan rofekoksib
dimetabolisme di hati, sehingga harus berhati-hati
penggunaannya pada pasien penyakit hati. Sebagian besar
OAINS dan selekoksib mengalami metabolisme dengan
melibatkan isoenzim P450 CYP2C9, tetapi tidak dengan

rofekosib.

Waktu paruh

=I'/rlJam)

Dosis

Masa kerja obat

Nama OAINS

Masa kerja pendek

Diklofenac
Etodolac
Fenoprofen
Flurbiprofen
lbuprofen
lndomethacin
Ketoprofen
Ketorolac
Meclofenamate

1,2-2
I,J
2,3

Tolmetin
Celecoxib

1-1,5

Valdecoxib
Salisilat
Diflunisal

8-1

Nabumetone
Naproxen

24
12-15
49-60

500-1000 mg, 2 x/hari


250-500 mg, 2 x/hari

29-140

100-400 mg, 1 x/hari


10-20 mg, 1 x/hari
'150-200 mg, 2 x/hari

Masa kerja panjang

Oxaprozin
Phenylbutazone
Piroxicam

3-4
2-2,5

2-13
1-4
4-6
2-3

50-100 mg, 2rJhari


200-300 mg, 2 x/hari
300-600 mg, 3-4 x/hari
50-100 mg, 2-3 x lhari
300-800 mg, 3-4 ></hari
25-50 mg, 3-4 x/hari
50-75 mg, 3-4 x/hari
10 mg, 3-4 x/hari
50-'100 mg, 3 x/hari
400-600 mg, 3 x/hari
100-200 mg, 2 x/hari

11
1

2-3
7-15

30-86

Sulindac
Tenidap

16-18
12-48

Meloxicam
Rofecoxib

5-30
17

10-20 mg, l-zxlhati


2,4-6 glhari, dosis terbagi 4-5x
0,5-1,5 g/hari, dosis terbagi 2 x

600-1200m9,1xlhari

120 mg, 1 x/hari


7,5-15 mg, 1x/hari
12,5-25 mg, 1 x/hari

2740

REI.JMAIOI,.OGI

Aspirin
Diflunisal

Benorylate
Trisalicylate
salsalate
Sodium
Salicylate

Etodolac
lndomenthcine
Sulindac

Carprofen

Tolmetin
Tenidap

Ketoprofen
Oxaprozin

Zomepirac
Clopirac

Fenibufen
Flurpirofen

Suprofen

Tiaprofenic acid

Keterolac

lbuprofen
naproxen
Fenoprofen

Tromenthamine

lndoprofen
Benoxaprofen
Pirprofen

Oxyphenbutazone
Phenilbutazone
Azapropazone
Feprazone

Coxib - celecoxib
- Rofecoxib
- Valdecoxib
- Etoricoxib
- parecoxib
-Lumiracoxib

Gambar 3. Klasifikasi OAINS menurut rumus kimianya

FARMAKODINAMIK
Efek Antiinflamasi
Efek antiinflamasi OAINS terkait dengankemampuan obat

ini dalam menghambat sintesa prostaglandin, karena


prostaglandin baik langsung ataupun tidak langsung
bertindak sebagai mediator inflamasi. Dengan demikian
OAINS sering digunakan sebagai obat lini pertama untuk
mengatasi proses infl amasi.

Efek Analagesik
Obat anti inflamasi nonsteroid menghambat nyeri baik di
perifer ataupun di sentral. Obat ini efektif mencegah ketiga
jenis nyeri yakni nyeri fisiologis, nyeri inflamasi dan nyeri

neuropatik.

Efek Antipiretik

Prostaglandin E2 merupakan mediator terjadinya


peningkatan suhu tubuh. Selama demam terjadi
peningkatan kadar PGE2 di hipotalamus dan ventrikel ke

III.

Peningkatat

PGE

2 dihipotalamus mengakibatkan

dilepaskannya siklik adenosin monofosfat yang bertindak


sebagai neurotransmiter pada pusat pengaturan suhu
tubuh tersebut, sehingga suhu tubuh meningkat dan
pasien mengalami demam

Efek Antiplatelet
Obat anti inflamasi nonsteroid akan menurunkan agregasi
trombosit yang diinduksi oleh adenosin difosfat, kolagen

atau epinefrin. Selain dari aspirin, semua OAINS


menghambat agregasi trombosit secara reversible dan
tergantung pada konsentrasi obat tersebut pada trombosit,
Aspirin menghambat agregasi trombosit ber sifat irreversible dan dengan dosis 80 mg, lama hambatan ini dapat
mencapai 4-6 hari sampai sumsum tulang membentuk
trombosit yang baru. Golongan OAINS yang baru,
telutama yang COX-2 spesifik inhibitor hanya sedikit
menghambat agregasi trombosit.

Efek Lain
Pada akhir-akhir ini juga diteliti manfaat OAINS pada
penyakit Alzhaimer dan pada tumor kolorektal, telutama

2741

OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID

OAINS yang menghambat COX-2 secara spesifik,


karena ternyata pada kedua penyakit tersebut terjadi

mukosa, mengafur aliran darah, sekresi mukus, bikarbonat,

peningkatan ekspresi COX-2. Sehingga dengan demikian

kerusakan

diharapkan OAINS tersebut data memperbaikan

kontraksi uterus pada saat melahirkan, sehingga pemberian


OANS pada perempuan yang akan melahirkan mungkin
akan mengganggu proses persalinannya.

Untukmengurangi efek samping OAINS pada saluran


cerna dapat dilakukan beberapa hal seperti meminum
OAINS bersamaan derrgarr proton pump inhibitor (PPI),
misoprostol (analaog prostaglandin), histamin-2 reseptor
antagonis (H2 reseptor antagonis), dan memilih OAINS
spesifik inhibitor COX-2.

Efek samping.

Ginjal

kedua penyakit tersebut. Penelitian lain juga membuktikan

peran prostaglandin waktu terjadinya ovulasi dan

Efek samping OAINS selalu dikaitkan dengan kerja obat

tersebut menghambat COX-1. Efek samping yang


sering terjadi melibatkan saluran cerna, ginjal, hati,
paru, sistem reproduksi, susunan saraf pusat dan
hematologi.

proliferasi epitel, serta resistensi mukosa terhadap

Sebanyak 5% pasien yang mendapat OAINS akan


mengalami komplikasi pada ginlal. Manifestasi klinis yang
sering adalah edemaperifer, penurunan fungsi ginjal secara

akut hiperkalemia, nefritis interstisialis dan nekrosis


papila renalis.Sebagian besar dari efek samping pada ginjal

tersebut bersifat reversibel. Edema perifer terjadi


dise-babkan oleh peningkatan reabsorpsi natrium dan air

pada tubulus koligen akibat penurunan PGE2 yang

SALURAN CERNA

Sekitar 10-20% pasien yang mendapat OAINS akan


mengalami dispepsia. Dalam 6 bulan pertama pengobatan,
sebanyak 5-15% pasien

artritis reumatoid

akan

menghentikan pengobatan akibat timbulnya dispesia.


Faktor risiko terjadinya kelainan saluran cerna pada
penggunaan OAINS adalah usia lanjut, riwayat ulkus
sebelumnya, dosis OAINS yang tinggi, penggunaan
steroid atau anti koagulan yang bersamaan dengan OAINS,

adanyaHelikobakter pilori, penyakit sistemik yang berat,


merokok dan alkoholisme.
Terjadinya efek samping OAINS terhadap saluran cema

dapat disebabkan oleh efek toksik langsung OAINS

terhadap mukosa lambung sehingga mukosa


menjadi rusak. Sedangkan efek sistemik disebabkan
kemampuan OAINS menghambat kerja COX-1 yang
mengkatalis pembentukan prostaglandin. Prostaglandin
pada mukosa saluran cerna berfungsi menjaga integritas

,-

Systemic effect

\
i

berfungsi mengatur aliran darah pada bagian medula dan


tubulus koligen
Pada individu yang sehat OAINS tidak akan
mempengaruhi fungsi ginjal. Gangguan fungsi ginjal terjadi
bila pada pasien dehidrasi, sudah ada gangguan fungsi
sebelumnya, pasien diabetes dan sirosis hepatis atau
pasien usia lanjut. Gagal ginjal akut biasanya terjadi bila
OAINS diberikan dengan dosis besar.

Pemberian OAINS juga dapat menyebabkan terjadi


hiperkalemia. Hal ini terjadi karena terhambatnya prostaglandin yang berfungsi merangsang pelepasan renin dari

ginjal. Konsentrasi renin yang rendah mengakibatkan


produksi aldosteron juga berkurang dan pada gilirannya
terj adilah pengurangan ekskresi kalium. Hiperkalemia pada

pemberian OAINS ini dapat juga terjadi bila pada waktu


yang bersamaan juga diberikan obat anti hiperlensi hemat
kalium dan ACE inhibitor.

Komplikasi lain yang dapat terjadi tetapi jarang


ditemukan adalah nefritis interstitial, sindrom nefrotik dan
nekrosis papila renalis. Nefritis interstitial dan sindrom
nefrotik dapat terjadi setelah 8-18 bulan penggunaan
OAINS dan belum jelas patofisiologi yang mendasarinya.
Nekrosis papila renalis terjadi akibat defisiensi PG yang
bersifat vasodilator, sehingga mengakibatkan timbulnya
iskemik dan nekrosis pada papila ginjal.

Hati

Decrease in gastric
mucosal prostaglandins

Gambar 4. Mekanisme terjadinya kelainan mukosa saluran cerna


akibat OAINS

Kelainan hati akibat pemberian OAINS mulai dari yang


ringan sampai berat seperti hepatitis fulminant, walaupun
ini jarang terjadi. adanya gangguan fungsi hati dapat
diketahui dengan peningkatan enzim transaminase.
Insiden gangguan fungsi hati yang berat akibat OAINS
ditemukan sebanyak2,2 dari 100.000 pasien yang dirawat'

Sulindak merupakan OAINS yang paling sering

mengakibat gangguan fungsi hati.

2742

REI.,,MIIiIOI.OGI

Paru

Kulit

Pasien asma dapat mengalami serangan bila mengkonsumsi


OAINS, sebab OAINS menghambat jalur siklooksigenase
dari asam arakidonat. Akibat terhambat pembentukan pG,

Walaupun jarang ditemukan, OAINS dapat menimbulkan


kelainan pada kulit seperti eritema multi forme, sindrom
Stevens Johnson dan toksik epidermal nekrolisis. Obat

maka jalur lipooksigenase lebih aktif, sehingga akan


terbentuk leukotrien yang juga lebih banyak. Salah satu
leukotrien, yakni LIC4 dan LTD4 bersifat bronkokonstriktor
sehingga dapat mencetuskan serangan asma.

yang sering menimbulkan efek samping

ini

adalah

piroksikam, zomepirak, sulindak, sodium meklofenamat dan

benoksaprofen

Efek Samping Lain

Jantung
Obat anti inflamasi nonsteroid dapat mengakibatkan

Penggunaan OAINS pada kehamilan trimester

timbulnya hipertensi infark miokard dan gagal jantung. Hal


ini disebabkan berkurangnya pembentuk prostasiklin oleh
sel endotel, peningkatan trombositosis dan risiko untuk
kejadian gagal jantung, terutama pada usia lanjut.

prematur dan menimbulkan hipertensi pulmoner pada bayi,

Nama obat
Diklofenac
Etodolac
Fenoprofen
Flurbiprofen
lbuprofen
lndomethacin
Ketoprofen
Ketorolac
Meclofenamate
Tolmetin
Celecoxib

Valdecoxib
Salisilat

Warfarin
Sulfonylurea
Beta blocker
Hydralazine
Prazosin
ACEinhibitor
Diu16tics

Phanytoin

Nama obat

Metabolisme

Hati
Hati
Hati, siklus enterohepatik
Hati
Hati
Hati, siklus enterohepatik
Hati
Hati
Hati
Hati
Hati
Hati
Hati dan ginjal

Diflunisal
Nabumetone
Naproxen
Oxaprozin
Phenylbutazone
Piroxicam
Sulindac

Hati
Hati
Hati dan ginjal
Hati
Hati
Hati, siklus enterohepatik
Hati
Hati
Hati
Hati

Non selektif OAINS


Non s6lektif OAINS
Phenylbutazone
OAINS lainnya

OAINS
OAINS
OAINS
Sebagian besar OAINS
Aspirin
lndomethacin
Sallicylates
OAINS lainnya
Piroxicam
Sebagian besar
Sebagian besar

lycosides Sebagian besar

exate
.
valproate
Antacids
Cimetidine

besar OAINS
Probenecid
Naproxen
Chlestyramine Aspirin
Caffein
Aspirin dan lainnya
Sebagian

lvletoclopramide

dapat

sedangkan pada ibu dapat terjadi kesulitan waktu


persalinan dan perdarahan, karena hipotonia uteri.
Pada sistem hematopoeitik OAINS dikaitkan dengan

Metabolisme

Phenylbutazone
COX-1 spesifik
Phenylbutazone
Salisilat dosis tinggi
Non selektif OAINS

III

mengakibatkan penutupan duktus arteriosus secara

Tenidap
Meloxicam
Rofecoxib

lnhibisi metabolisme warfarin, peningkatan efek antikoagulan


Peningkatan risiko perdarahan karena inhibisi fungsi platelet, kerusakan mukosa lambung
lnhibisi metabilisme sulfonil urea, meningkatkan risiko hipoglikemia
Berpotensi menimbulkan hipoglikemia
Mengakibatkan hipotensi, tetapi tidak bersifat kronotropik/
inotropik negatif
Kehilangan efek hipotensi

Kehilangan sifat natriuretik, diuretik, efek hipotensi dari furosemide


lnhibisi metabolisme, meningkatkan toksisitas
Menggeser phenytoin dari protein plasma, menurunkan konsentrasi bentuk aktif
n konsentrasi lithjum da
gkatkan konsentrasi dig
gkatkan konsentrasi am
gkatkan konsentrasi me
bolisme valproate,

meni

te dalam plasma

Aluminium dalam antacid mengurangi absorpsi indomethacin


Sodium bikarbonat meningkatkan absorpsi indomethacin
Meningkatkan waktu paruh dan konsentrasi piroxicam dalam plasma
Mengurangi metabolisme dan klikrens OAINS diginjal
Mengurangi absorpsj naproxen
l\,4eningkatkan absorpsr asprrrn

lvleningkatkan absorpsi aspirin pada penderita migrrains

2743

OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID

kejadian anemia aplastik, agranulositosis

dan

trombositopenia. Sedangkan pada sistem sarafpusat dapat

timbul keadaan seperti dizzines, depresi, bingung,


halusinasi dan meningitis aseptik akut, walaupun jarang
dilaporkan.

Pelletier MJ, Lajeunesse D, Reboul P, Pelletier JP. Therapeutic role

of dual inhibitors of 5-LOX and COX, selective

and

non-selective non-steroidal anti-inflammatory drugs. Ann

Interaksi Obat
Obat antiinflamasi nonsteroid dimetabolisme dihati dan
ginjal serta mengalami siklus entero-hepatik. Interaksi

OAINS dengan obat lain akan mempengaruhi


farmakokinetik dan farmakodinamik obat tersebut.

Rheum Dis 2003;62:501-9


Robert JL II, Morrow JD. Analgesic-antipyretic and anti-inflammatory agents and drugs employed in the treatment of gout.
In : Wonsiewicz MJ, Morriss JM (Eds) Goodman and Gilman's
The Pharmacological basis of therapeutics, 10th. Mc Graw-Hill
Medical Publishing Division, New York, 2001: 687-'127.
Sabagun ES, Weisman MH. Nonsteroidal Anti-inflammatoey Drugs.
In: Ruddy S, Harris ED, Sledge (Eds).Kelley's Textbook of
Rheumatology 6'h edition. WB Sounders Company, Philadel-

phta 2001,:799-822
Sundy JS. Non Steroidal Antiinflammatory Drugs.

REFERENSI
Collier DH. Nonsteridal Antiinflammatory Drugs. In : West

(editors). Rheumatology Secrets 2'h edition. Hanley & Belfus


Inc, Philadelphia 2O02561 -51
De Broe ME, Elseviers MM. Analgesic Nephropathy NEJM

1998;338:452
Furst DE, Hillson

Osiri M, Moreland LW. Specific Cyclooxygenase 2 Inhibitors:


A New Choice of Non Steroidal Anti-Inflammatory Drug
Therapy. Arthritis Care and Research 1999;12(5):351-9

j. Aspirin

and Other Nonsteroidal Antiinflamma-

tory Drugs. In : Koopman WJ (Ed). Arthritis and Allied


Conditions 14th edition. Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia 2001: 665-703

Lelo A. Pertimbangan baru dalam pemilihan

selektivitas

penghambatan C0X-2 sebagai anti nyeri dan anti inflamasi.

Dalam : Setiyohadi B, Kasjmir


Reumatologi 2002:78-8 1

YI (Editor) Temu Ilmiah

In :Koopman,

Moreland LW (Eds). Arthritis and Allied Conditions 15'h


edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia 2005:
679-98
Simon LS. NSAIDs: Overview of adverse effects. http://www. UpTo

Date 2005
Wolfe MM, Lichtenstein DR, Sing G Gastrointestinal toxicity of
nonsteroidal antiinflammatory drugs. NEMJ 1999;17:
1

888-99.

Wilder RL. Nonsteroidal antiinflammatory drugs. In : Klippel JH


(Eds). Primer on The Rheumatic Diseases, 12th edition.
Arthritis Foundation. Atlanta 2001: 583-91

420
OPIOID, ANTI DEPRESAN DAN
ANTI KONVULSAN PADA TERAPI NYERI
RiardiPramudiyo

oPlolD

pada tingkatan korda spinalis. Pada sistem limbik, opioid


akan merubah respons emosional terhadap nyeri sehingga

Sudah puluhan tahun opioid dipakai dalam penanganan


nyeri baik sebagai obat tunggal maupun sebagai bagian

hal ini akan membuat lebih tahan terhadap nyeri.


Berdasarkan atas hal-hal tersebut di atas opioid dipakai
untuk mengatasi nyeri (Miyoshi & Leckband,200l).

dari terapi multimodal dan memberikan hasil yang cukup

baik. Bonica (2001) pada buku teksnya Bonica's


management of Pain edist sebelumnya menyatakan bahwa
opioid telah banyak dipakai dalam penanganan nyeri akan
tetapi tidak memberikan hasil yang memuaskan, hal ini
disebabkan oleh karena para dokter kurang terlatih dan

Pengaruh lain opioid (Miyoshi & Leckband,20O1l.


Supresi batuk. Opioidjuga akan mengakibatkan depresi
refleks batuk dengan cara langsung menekan pusat batuk
pada medulla. Tidak ada hubungan antara aktivitas supresi
batuk dengan efek depresi pemapasan. Jadi supresi batuk
oleh opioid tidak mengganggu ventilasi. Opioid dari jenis
ini yang banyak dipakai adalah kodein. Pada beberapa
pasien supresi refleks batuk akan memperburuk keadaan,
hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya proses
pembersihan dan sekresi sputum. Semua jenis opioid

kurang memahami pemakaian obat tersebut sehingga


akibatnya banyak dokter kurang memahami baik tentang
dosis maupun lama kerja obat tersebut serla rasa takut

akan terjadinya adiksi, ketergantungan dan depresi


pernapasan.
Mekanisme kerja dan pengaruh opiat. Opioid mempunyai
efek farmakologi pada hampir setiap organ dalam tubuh.
Beberapa efeknya menguntungkan dan yang lain merugikan
tubuh. Obat ini dapat mempengaruhi berbagai macam organ tubuh penting antara lain: susunan sarafpusat, saluran
cema, sistem kardiovaskular, paru-paru, genitourinaria.

sebaiknya tidak dipakai pada kasus yang sedang


mengalami serangan asma, oleh karena penglepasan
histamin, depresi pernapasan dan sekresi sputum yang
pekat dapat menyebabkan katastrofik (Miyoshi &
Leckband,2001).

Tempat dan mekanisme kerja. Bekerjanya opioid

Mual dan muntah. Mual dan muntah merupakan efek


samping yang sangat tidak disukai pada pengobatan
dengan opioid. Opioid akan merangsang langsung

tergantung dari besarnya dosis (dose dependent) dan pada

umumnya dapat mengendalikan setiap intensitas nyeri


dengan cara meningkatkan dosis sampai pada dosis induksi

zona kemoreseptor yang menyebabkan muntah-muntah.


Efek ini akan berlambah berat dengan adarrya rangsangan
vestibuler, oleh karena itu pada pasien-pasien yang

anestesi. Kekurangan opioid terletak pada efek samping

obat yang ikut bertambah dengan bertambahnya


dosis. Opioid sistemik akan menyebabkan analgesik
pada beberapa tingkatan (level) dari susunan saraf
pusat (SSP). Pada tingkat korda spinalis, opioid akan

berobatjalan akan mendapatkan efek samping ini lebih berat


dari pada pasien-pasien yang tiduran. Sebagai antagonis

mual dan muntah dapat dipakai obat-obatat yang


mempunyai efek memblok dopamin secara kuat,
misalnya klorpromasin dan domperidon (Miyoshi &

menghambat transmisi input nosisepsi dari perifer ke SSP.


Pada ganglia basalis, opioid akan mengaktifkan sistem
inhibisi desending yang memodulasi input nosisepsi perifer

Leckband,2O01).

2744

OPIOID, ANTI DEPRESAI\ DAN ANTI KOT{VULSAI\ PADA TERAPI NYERI

Sedasi. Sedasi yang berlebihan, rasa kantuk, rasa bingung,


pusing dan sempoyongan dapat terjadi selama beberapa
hari dan pada umumnya akan berakhir dalam waktu 3-5
hari. Bila sedasi dan rasa kantuk menetap, dapat diatasi
dengan cara menurunkan dosis opioid, tetapi frekuensi
pemberiannya ditingkatkan untuk tetap mendapatkan efek
analgesik, atau dengan cara menambahkan amfetamin untuk
waktu yang singkat. Pemberian obat-obatan psikotropik
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan kognitif dan
psikomotor. Pasien yang memakai opioid dengan dosis
tetap dalam jangka waktu lama, misalnya pada nyeri kanker

2745

dosis tinggi. Pemberian histamin-blocking agent hanya


mampu mempengaruhi secara parsial, sedang pemberian
nalokson dapat mengatasi hipotensi ini secara sempurna.
Di samping itu histamin juga dapat menyebabkan dilatasi

pembuluh darah perifer (kulit) yang mengakibatkan


timbulnya gejala fl us h ing dan berkeringat terutam a pada
muka dan tubuh. Morfin mempunyai efek vasodilatasi baik
pada arteriol maupun vena perifer, jadi pemberian morfin
pada pasien dengan hipovolemi dapat mengakibatkan
terj adinya syok hipovolemi. Pemberian morfin pada pasien
korpulmonal kronis harus sangat hati-hati, karena pernah

atau terapi pada heroin-abuse tidak menunjukkan

dilaporkan terjadinya kematian mendadak sesudah

gangguan tersebut; hal ini menunjukkan telah terjadinya


toleransi atau menjadi kebiasaan(fia bituation).

pemberian morfin. Hipotensi oleh karena opioid dapat


diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila
diperlukan dapat diberikan padrenergik agonis.

Kekakuan atau rigiditas. Opioid dosis tinggi yang


diberikan secara intravena dengan cepat dapat
mengakibatkan terjadinya rigiditas otot termasuk otot-otot
pernapasan sehingga tidak dapat bemapas. Opioid yang
dapat memberikan efek tersebut adalah opioid yang sangat
mudah larut dalam lemak (misalnya: alfentamil, remifentamil)
di mana terjadi keseimbangan dengan cepat kadar dalam
darah dan otak sesudah pemberian bolus intravena dengan
cepat.

Konvulsi. Beberapa opioid dapat menyebabkan konlulsi.


Untungnya dosis opioid yang dapat mengakibatkan
konr,ulsi jauh lebih tinggi dari pada dosis untuk analgetik.

Pruritus. Pruritus akibat pemberian opioid paling sering

Sistem pernapasan. Pemakaian morfin atau meperidin dosis


tinggi akan mengakibatkan terjadinya konstriksi bronkus,

walaupun demikian pada dosis analgetik hal ini jarang


terjadi. Pemberian opioid pada saat serangan asma tidak
dibenarkan sebab opioid akan menyebabkan hal-hal
sebagai berikut: depresi pada pusat pernapasan,
pengeluaran histamin, sekresi sputum lebih kental dan
penurunan refleks batuk. Hal-hal tersebut akan
memperburuk keadaan klinik pasien. Edema pulmonal pada
umumnya terjadi pada pemberian opioid dosis tinggi pada
penambahan dosis dengan cepat dan hal ini sering terjadi
pada penanganan nyeri kanker.

Pengaruh Opioid pada Organ Tubuh (Miyoshi &

Traktus gastrointestinat. Opioid mempunyai efek depresi


pada motilitas gastrointestinal. Peristaltik longitudinal
dihambat dan tonus sphinctermeningkat, akibatnya adalah
kontipasi. Hal ini merupakan efek samping yang menlulitkan
di samping rasa mual.

Leckband,2001

Lambung. Opioid sedikit menurunkan sekresi asam

terjadi pada pemberian intraspinal dan terjadi hanya pada


muka dan badan.

Opioid yang berbeda-beda dapat mempengaruhi berbagai


sistem organ tubuh dengan caru yarrg sama akan tetapi
intensitasnya berbeda. Berbagai opioid yang poten dan
diberikan dengan dosis ekuianalgesik (dosis yang dapat
memberikan efek analgesik yang sama) akan menghasilkan
efek yang sama, walaupun demikian ada sebagian pasien
menunjukkan kepekaan terhadap opioid yang berbeda.

Jadi setiap pasien yang mendapat terapi dengan opioid


harus dimonitor secara ketat akan efek samping yang
mungkin terjadi dan bila terjadi efek samping yang berat,
dapat dicoba dengan mengganti opioid jenis lain dengan
dosis ekuianalgesik.
Sistem kardiovaskular. Opioid dosis terapi pada umumnya

tidak akan berpengaruh terhadap miokard pasien sehat.


Pada pasien penyakit jantung koroner, pemberian morfin
dosis terapi akan mengakibatkan terjadinya penurunan:
kunsumsi oksigen, kerja jantung, tekanan ventrikel kiri dan
tekanan diastolik.

lambung, meningkatkan tonus antral dan menurunkan gerak


lambung sehingga waktu pengosongan lambung lebih lama
(sampai 12 jam) dengan konsekuensi absorpsi obat-obatan
peroral akanmenurun.
Usus Halus. Peristaltik dan pencemaan makanan di usus
halus menurun juga sekresi empedu dan pankreas tetapi
tonus otot polos meningkat. Absorpsi air dalam usus halus

meningkat sehingga viskositas makanan yang telah


berbentuk cair akan meningkat sehingga makanan tersebut
akan tinggal lebih lama dalam usus halus.

Usus Besar. Peristaltik pada kolon sangat menurun dan


makanan akantinggal lebih lamapadakolon, feses menjadi
keras dan terjadi konstipasi. Kebanyakan pasien yang
mendapatkan opioid kronis akan mengalami konstipasi oleh
karena itu dianjurkan sejak diberikannya terapi opioid sudah
disertai dengan perawatan usus, misalnya dianjurkan cukup
minum dan diberi pelunak feses.

Hipotensi yang timbul oleh karena penglepasan

Traktus Biliaris. Terjadi kontraksi atau spasme sfinkter

histamin dapat menjadi masalah pada pemberian morfin

Oddi yang akan berakhir antara 2- 12 j am sesudah pemberian

2746

REUMANOI.OGI

opioid dosis terapi sehingga tekanan pada traktus biliaris


meningkat dan mengakibatkan epigastrik-distres yang

besar untuk memakai obat, dan pemakaian obat untuk


tujuan lain dan bukan untuk menghilangkan rasa nyeri

dapat diatasi dengan pemberian nalokson dosis rendah,


nitrogliserin atau amilnitrat (relaksan otot polos).

walaupun akibatnya merugikan atau keasyikar. yang


diperoleh dari pemakaian obat. Pasien yang mengalami
adiksi mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh
kembali sesudah pemberian obat dihentikan. Ketakutan
untuk terjadinya adiksi, merupakan faktor utama dalam

Saluran kemih. Terjadi kenaikantonus pada otot detrusitor


dari vesika urinaria yang mengakibatkan te{adinya keluhan
urgency. Peningkatan tonus pada sfinkter visicae akan
mengakibatkan sulit buang air kecil bahkan kadang-kadang
perlu tindakan kateterisasi dan hal ini sering terjadipada
prra.

Uterus. Opioid dosis terapi akan menurunkan kontraksi


uterus dan dapat memperlambat persalinan. Dosis tinggi
sebaiknya tidak diberikan pada ibu hamil atau pada
persalinan oleh karena di samping berpengaruh pada ibunya
opioid dapat menembus plasenta dan masuk dalam SSP

janin dimana janin sensitif terhadap efek depresi


pernapasan.

Sistem Imun. Pemberian opioid dapat mengakibatkan


depresi imunitas. Morfin dapat merubah maturitas sejumlah
sel imunokompeten yang terlibat dalam respons imun selular

dan humoral. Telah terbukti bahwa adiksi opioid


meningkatkan kejadian limadenopati, komplikasi infeksi dan
kanker.

Toleransi dan Dependensi (Ketergantungan)


Toleransi. Toleransi adalah respons farmakologi normal
terhadap terapi opioid jangka lama. Definisinya adalah
penurunan respons terhadap obat sesudah pemberian
berulang kali, atau kebutuhan dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek tetap sama. Toleransi dapat terjadi
oleh karena faktor farmakokinetik, seperti: perubahan dalam

distribusi obat atau perubahan dalam kecepatan


metabolisme obat; atau oleh karena faktor farmakodinamik,

seperti: berubahnya densitas reseptor opioid atau


berubahnya jumlah relatif reseptor opioid atau terjadinya

desensitasi reseptor opioid. Dari hasil-hasil penelitian


diduga bahwa reseptor delta dan kappa mempunyai peran
spesifik dalam terjadinya toleransi dan reseptor NMDA

dan reseptor NO diperlukan untuk induksi dan


pemeliharaan toleransi. Tanda-tanda adanya toleransi dini
adalah: pasien mengeluh menurunnya efek analgesik dan

efeknya cepat hilang. Bila hal

ini terjadi dapat diatasi

dengan cara menambah dosis atau frekuensi pemberiannya

atau keduanya, atau mengganti dengan opioid jenis


lain.

Dependensi atau ketergantungan. Dependensi adalah


kemampuan untuk terjadinya sindrom abstinence sesudah
penghentian obat yang mendadak, pengurangan dosis atau
pemberian obat antagonisnya. Tanda-tanda sindrom abstinence
adalah menguap, lakrimasi, sering bersin, agitasi, tremor, insomnia, panas badan dan takikardia. Hal ini dapat dicegah dengan
cara: bila menurunkan dosis harus secara pelan-pelan l5-20oh
setiap hari atat

25 -40o/o.

Adiksi atau ketagihan. Adiksi adalah pola perilaku


pemakai obat yang ditandai dengan dorongan yang sangat

mengatasi nyeri oleh karena pemberian dosis yang terlalu

rendah, meskipun demikian adiksi opioid jarang terjadi


pada pasien-pasien yang mendapatkan opioid untuk
keperluan medis (Miyoshi & Leckband,2O0 1 ).

ANTIDEPRESAN

pasa saat ini dipakai juga untuk mengobatan


nyeri. Anti depresan yang paling banyak dipakai adalah
kelompok anti depresan trisiklik (TCA) dan dari banyak
obat yang termasuk dalam kelompok ini hanya amitriptilin

Anti depresan

sajalah yang banyak dipakai dan mempunyai hasil, bahkan


sampai saat ini masih merupakan terapi lirripertama (first

line therapy) untuk pengobatan nyeri khususnya nyeri


pada neuropati diabetik. (Dallocchio dkk,2000; Baron
R,2004) Mekanisme kerja utama anti depresan trisiklik
terutama pada kemampuannya unfuk menghambat ambilan

kembali serotonin (serotonin reuptake) dan norepinefrin


ke pre sinaps. Telah dibuktikan pula bahwa antidepresan
trisiklik mempunyai efek blokade pada u-adrenergik, kanal
natrium, dan antagonis NMDA. (Meliala dan Piruon,2004)
Menurut Baron R (2004), mekanisme kerja kelompok
antidepresan trisiklik adalah menghambat ambilan kembali
transmiter monoaminergik. Hal ini akan mempunyai
pengaruh potensiasi dengan aminergik pada jalw painmodulating susunan saraf pusat dan memblok kanal sodiumvoltage-dependent (efek anestesi lokal) dan respons
adrenergik. Dari golongan TCA, aminiptilin-lah y ang pada
saat ini banyak dipakai secara luas untukpengobatan nyeri
kronik. Dosis rata-rata yang dipakai untuk mengurangi rasa
nyeri antara 75-150 mglhari dan dosis ini biasanya lebih
rendah dari pada dosis yang diperlukan untuk mencapai
efek antidepresan. Amitriptilin dan golongan TCA lainnya
mempunyai efek samping yang signifikan. Efek samping
sebagai akibat dari blokade reseptor o,-adrenergik adalah

hipotensi ortostatik; dan sebagai akibat bloking reseptor


histamin adalah sedasi. Efek samping lain yang dapat
timbul adalah : retensi urin, hilangnya daya ingat dan

abnormalitas konduksi jantung (oleh karena efek


antikolinergik). Khususnya bagi pasien lansia, pemakaian
obat ini sebaiknya dimulai dengan dosis rendah (10 mg)
dan secara pelan-pelan dosis dinaikkan. (Baron R,2004)
Desiprarnin dan nortriptilin, keduanya bekerja dengan
cara memblok ambilan kembali norepinefrin dan efektif
untuk pengobatan nyeri pasca herpes dan neuropati
diabetik. Obat ini mempunyai efek antikolinergik dan sedasi
yang lebih ringan.(Baron R,2004)

2747

OPIOID, ANTI DEPRESAN DAN AIYTI KONVULSAN PADA TERAPI I\IYERI

baik. Pada pasien dengan neuropati diabetik perifer,


paroksetin dan citalopram memberikan efek sebagai

dan juga untuk berbagai nyeri neuropatik lain. Dosis


dimulai dengan 300 mg pada saat mau tidur malam hari,
dapat dinaikkan 300-600 mg per hari sampai mencapai
dosis antara 1200-2400 mg per hari. Metabolisme obat ini
melalui proses reduksi dan terjadi secara cepat, tidak

penghilang rasa nyeri lebih baik dari pada plasebo, sedang

mempengaruhi sistem sitokrom P450 dan tidak mempunyai

fluoksetin memberikan efek sama dengan plasebo.

metabolit epoksid, sehingga efek samping obat lebih

Penelitian tentang bupropion lepas lambat pada pasien

sedikit.
Penelitian Tomic dkk (2004) dapat membuktikan bahwa

SSRI (selective serotonin receptor inhibitor)


mempunyai efek samping yang lebih ringan dari pada
kelompok TCA dan pada umumnya dapat ditoleransi lebih

sindrom neuropati perifer dan sentral menunjukkan


pengurangan rasa nyeri yang bermakna dibandingkan
dengan plasebo, sedang penelitian dengan venlafaksin
(memblok ambilan serotonin dan juga norepinefrin) dan
imipramin hidroklorid pada pasien neuropati disertai nyeri,
kedua obat tersebut menunjukkan pengurangan rasa nyeri
yang bermakna dibanding dengan plasebo.(Baron R,2004)

ANTI KONVULSAN

Anti konvulsan adalah satu kelompok obat yang


mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan
abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf pusat yang
menjadi dasar bangkitan epilepsi. Epilepsi dan nyeri
neuropatik sama-sama timbul karena adanya aktivitas
abnormal sistem saraf. Epilepsi dipicu oleh
hipereksitabilitas sistem saraf pusat yang mengakibatkan
bangkitan spontan yang paroksismal, dan hal ini sama
dengan kejadian nyeri spontan pada yang paroksismal
pada nyeri neuropatik. (Chong dan Smith,2000) Mekanisme

kerja anti konvulsan dalam nyeri neuropati meliputi:


menghambat kanal natrium, menghambat kanal kalsium dan
bekerja pada sistem GABA. (Meliala dan Pinzon,2004)

Karbamasepin dan Okskarbasepin


Karbamasepin merupakan pilihan pertama untuk nyeri
neuralgia trigeminal. Mekanisme kerja utamanya adalah
dengan card memblok voltage-sensilive sodium chanel
(VSCC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan
frekuensi tinggi pada neuron. Efek lain dari karbamasepin
adalah memblok kanal kalsium (tipe L), memblok reseptor
NMDA. meningkatkan serotonin dan memblok reseptor
asetilkolin. (Chong dan Smith,2000) Dosis karbamasepin
dimulai dengan 200 mg dan dosis efektifrrya berkisar antara

karbamasepin dan okskarbasepin mempunyai potensi

untuk pengobatan nyeri inflamasi, berdasarkan atas


kemampuan kedua obat tersebut sebagai agonis reseptor
adenosin A, Adenosin ini diproduksi pada saat terjadi
inflamasi dan akan mengaktivasi ujung saraf aferen.
Rangsangan pada reseptor adenosinA, akan menimbulkan
efek anti nosiseptif, sedang rangsangan pada reseptor
adenosin Aro, Ar" dan A, akan mengaktifkan sistem
nosiseptif. Efek antinosiseptif baik dari karbamasepin

maupun okskarbasepin akan berkurang apabila


pemberiannya bersamaan dengan kopi, karena kopi
merupakan antagonis reseptor A, (Tomic dkk,2004)
Penelitian lain menunjukkan bahwa okskarbasepin
mempunyai efek menghambat penglepasan substasi-P,
meningkatkan ambang nosisepsi, dan mencegah
hiperalgesia. (Kiguchi dkk, 2004)

Gabapentin
Gabapentin [-(aminometil)sikloheksan asam asetat]
adalah obat antikonvulsan baru. Obat ini pertama kali
dikembangkan sebagai senyawa yang menyerupai asam
gama aminobutirat (GABA) dan diindikasikan untuk
serangan parsial. Dalam tubuh obat ini tidak mengalami
metabolisme dan dikeluarkan melalui urin secara utuh,
sehingga pada kerusakan ginjal akan mempengaruhi
ekskresinya. Gabapentin dapat terdialisis, oleh karenanya
pasien gagal ginjal yang mengalami hemodialisis dan
memerlukan gabapentin hendaknya mendapatkan dosis
pemeliharaan setiap kali selesai hemodialisis. Mekanisme
gabapentin pada nyeri neuropatik belum sepenuhnya
difahami, penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
gabapentin hanya mempunyai efek anti alodini sentral,

akan tetapi baru-baru

ini telah dibuktikan

bahwa

gabapentin dapat menghambat penglepasan ektopik dari

200- I 000 mg per hari. Walaupun karbamasepin memberikan

saraf perifer yang mengalami kerusakan. Gabapentin

hasil yang cukup baik, penggunaannya dibatasi oleh efek

mempunyai efek alodini melalui mekanisme sebagai berikut:


a) Pengaruh pada SSP (pada tingkat medula spinalis dan
otak) karena peningkatan hambatan padajalur-jalur yang

sampingnya yang kadang-kadang mengharuskan


penghentian pemberian obat tersebut.

Okskarbasepin merupakan obat antiepilepsi baru


dengan mekanisme kerj a: 1) memblok kanal natrium yang

mengakibatkan stabilisasi, menghambat cetusan listrik


berulang, dan menghambat penjalaran impuls;
2) memodulasi kanal kalsium (tipe L); dan 3) menghambat
aksi glutamat pasca s i n ap s (B eydoun A dan Kutluay, 2002)

Obat ini temyata efektif untuk terapi neuralgia trigeminal

diperantarai GABA, sehingga mengurangi input


eksitatoris; b) bersifat antagonis terhadap reseptorreseptor N-metil-D-aspartat (NMDA); c) antagonis
terhadap kanal kalsium di SSP dan inhibisi sarafperifer.
Sifat antagonis terhadap reseptor NMDA dan blokade
kanal kalsium adalah teori yang paling dianut. (Fong dkk,

2003) Menurut penelitian dari Dallacchio C dkk (2000)

2748

REI,JMATIOIOGI

dengan subyek 25 orang, membandingkan gabapentin


dengan TCA (amitriptilin) pada pasien nyeri neuropati
diabetik danlemyata gabapentin memberikan hasil yang
baik dan mungkin dikemudian hari dapat dipertimbangkan
sebagai terapi lini pertama, dan hal ini didukung oleh
kenyataan dimana obat ini dapat ditoleransi dengan baik,
prohl yang aman dan tidak ada interaksi dengan obat lain.
Di samping itu gabapentin mempunyai kemampuan untuk
masuk kedalam sel dan berinteraksi dengan reseptor o,16
yang mempakan subunit dari kanal kalsium. Gabapentin
dapat merubah aktivitas glutamik acid dekarboksilase,

protein rendah, sehingga dapat dikatakan tidak mempunyai


interaksi dengan obat lain. Pemberian gabapentin dengan
simetidin akan menurunkan laju filtrasi glomeruler dari
gabapentin dan mampu mengurangi clearence gabapentin

sehingga mampu meningkatkan GABA (inhibisi).

Baron R. Neuropathic Pain

Berdasarkan mekanisme kerja seperti di atas, gabapentin


dapat digunakan pada nyeri neuropatik maupun inflamasi.

Oleh karena marnpu mengantagonis induksi nyeri di


pusat.(Dallocchio dkk,2000) Gabapentin telah diuji coba
untuk mengatasi berbagai macam nyeri, antara lain : nyeri
pasca herpes, nyeri neuropati perifer pada diabetes,
sindrom nyeri neuropati campuran, nyeri phantom, sindrom

Guillian-Barre, nyeri akut dan kronik pada gangguan


sumsum tulang belakang menunjukkan pengurangan nyeri
yang signifikan dibandingkan dengan plasebo. Beberapa
pasien menunjukkan perbaikan dalam tidur, mood dan
kualitas hidupnya. Efek samping gabapentin: somnolen,

pusing, edema perifer ringan. Pada manula dapat


mengakibatkan kehilangan keseimbangan sehingga
jalannya sempoyongan dan gangguan daya ingat.
Penyesuaian dosis perlu dilakukan pada pasien dengan
insufisiensi ginjal. Efek samping terjadi terutama pada

waktu peningkatan dosis untuk mencapai dosis


terapeutik.(Baron R,2004) Interaksi obat. Gabapentin tidak
menghambat enzim mikosomal hati dan ikatannya dengan

sebesar 12o/o. Bila pemberian gabapentin bersamaan


dengan antasida akan mengurangi bioaviabilitasnya
sebesar 20o%.(Fong dkk, 2003)

REFERENSI

From Mecamisms to Symptoms to

Trealment : An Update. Int J Pain Med Pall Care 2004;3(3):78-90.

Beydoun A, Kutluay E. Oxcarbacepine. Expert Opinion in Pharma-

cology, 2002,3(

): 59-7 1.

Chong MS dan Smith TE. Anticonvulsants for the Management of


Pain Pain Review 2000;7:129-49.
Dallocchio C, Buffa C, Mazzarello P, Chiroli S. Gabapentin vs.
Amitriptyline in Painful Diabetic Neuropathy : An Open-Label
Pilot Study. J Pain Syndrome Manage 2000;20:280-5.
Fong GCY, Cheung BMY, Rukmana CR Gabapentin. Medical
Progress, 2003, p:41 -48,2003.
Kiguchi S, Imamura T, Ichikawa K, Kojima M Oxcarbazepin
Antinociception in Animals with Inflamatory Pain or Pianful

Diabetic Neuropathy. Clin Exp Pharmacol Physiol,


2004,31(2):57 -64.

Meliala L dan Pinzon

Patofisiologi dan Penatalaksanaan Nyeri


: Meliala L, Rusdi I, Gofir A, Pinzon R
Eds. Kumpulan lvfakalah Welcoming Symposium : Towards
Mecanism-Based Pain Treatment. Jogjakarta, 2004:83-9
Miyoshi HR, Lecband SG Systemic Opioid Analgesics In : Loeser
JD, Butler SH, Chapman CR, Turk DC Eds. Bonica's
Management of Pain 3th Ed. Part III. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia USA, 2001:1682-709.
Pasca Herpes. Dalam

421
PERAN KORTIKOSTEROID DI BIDANG
REUMATOLOGI
A.M.C. Karema-Kaparang, Candra Wibowo

PENDAHULUAN

menjadi permasalahan dan kontroversi, sebab efek samping


yang timbul dapat mendatangkan akibat fatal; sebaliknya

Sampai saat ini kortikosteroid masih merupakan salah satu


pengelolaan penyakit di bidang reumatologi; namun cara

pemakaian secara lokal lebih dipilih dan dianjurkan


walaupun memerlukan persyaratan tertentu. Meskipun
demikian, sebaiknya dilakukan evaluasi rutin terhadap

kerja, dosis, lama darr cara pemberiannya masih


kontroversi. Di samping itu, efek samping lokal maupun

semua pasien yang menerima pengobatan kortikosteroid


lokal, karena efek samping yang timbul baik lokal maupun

sistemik yang timbul cukup membahayakan kehidupan dan


kualitas hidup pasien, terutama pada penggunaanjangka
panjang, baik dengan dosis rendah apalagi tinggi. Adanya
kenyataan tersebut telah mengubah cara pandang para

sistemik masih mungkin terjadi.

obat yang penting dan sering digunakan dalam

ahli mengenai pemakaian kortikosteroid di bidang


reumatologi.
Pemakaian kortikosteroid pada penyakit-penyakit
inflamasi dan autoimun meningkat setelah ditemukannya

efek anti inflamasi sekitar tahun 1950-an. Namun,


bersamaan dengan peningkatan pemakaian steroid

REGULASI FISIOLOGIS KORTIKOSTEROID PADA


PROSES INFLAMASI
Hormon kortikosteroid mempunyai peran yang sangat
penting dalam pemeliharaan homeostasis tubuh baik dalam
keadaan basal maupun stres. Hormon ini disekresi oleh
korteks adrenal akibat rangsangan dari aksis hipotalamus-

dijumpai pula peningkatan kejadian efek samping yang

pituitari (AHP). Pada keadaan normal, sekresi

membahayakan pasien-pasien. Atas dasar itu, pada tahun


I 960-an dianjurkan pembatasan pemakaian kortikosteroid;

kortikosteroid mengikuti irama sirkadian; namun pada


keadaan stres terjadi peningkatan rangsangan AHP,
sehingga produksi dan sekresi hormon kortikosteroid

dan apabila memang diperlukan sebaiknya digunakan


dosis seminimal mungkin, kecuali dalam keadaan yang

jiwa di mana dosis besar dibutuhkan untuk


menyelamatkannya. Pada pertengahan tahun 1990-an
mengancam

muncul pandangan baru, yaitu pemberian steroid dengan


dosis tinggi sesingkat mungkin dan kemudian segera
dilakukan tapering off sampai tercapai dosis pemeliharaan
terkecil yang masih berefek, karena cara ini memberikan
hasil terapi yang lebih baik dengan efek samping lebih
sedikit serta tidak membahayakan.
Dalam bidang reumatologi, pemakaian korlikosteroid
dibagi menjadi dua, yaitu secara lokal (topikal, intra artikular/
intralesi) dan sistemik (oral, parenteral). Penggunaan

kortikosteroid secara sistemik sampai sekarang masih

meningkat secara nyata.


Pada proses inflamasi, sel mast, eosinofil, basofil,
bahkan sel-sel struktural (epitel, endotel, fibroblas, miosit),
dan terutama sel mononuklear, makrofag dan monosit
mampu mengaktivasi dan mensekresikan sitokin-sitokin
pro/inflamasi seperti TNF u, IL- 1 B dan IL-6. Sitokin-sitokin
ini merupakan sitokin awal yang mampu mengaktifkan
kaskade respons inflamasi lokal maupun sistemik secara
resiprokal. Pada keadaan fisiologis, sitokin-sitokin ini
merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi
kortikotrofin releasing hormone (CRH) serta arginin
vasopresin; dan merangsang kelenjar pituitari untuk

mensekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH),

2749

2750

REI.'MATIIIOGI

prolaktin serta migration inhibitoty factor (MIF); selain


itu merangsang kelenjar adrenal meningkatkan sekresi
kortisol. Korlisol menekan proses inflamasi melalui down
regulation pelepasan TNF o,, IL-1p dan IL-6; sebaliknya
prolaktin dan MIF memiliki efek berlawanan dengan
kortisol menjaga keseimbangan respons imun dan
inflamasi. Di sini AHP memproduksi hormon korlikosteroid
dengan mekanisme reaksi umpan balik; sehingga setelah
kadar kortikosteroid yang diinginkan tercapai, maka terjadi
supresi produksi sitokin-sitokin pro/infl amasi.

Pada tingkat molekuler, TNF a, IL-1p dan IL-6


mengawali sejumlah keja dian s ignalling intraselular yang
meliputi aktivasi transk:ripsi activator protein- I (AP- 1) dan

nuclear factor-kB (NF-rB) melalui disosiasi yang


tergantung pada proses fosforilasi dan atau degradasi
inhibitor-lB (I-rB) oleh enzimkinase spesifik (I-rB kinase
1 dan2). Peristiwa

ini akan meningkatkan produksi sitokin

pro/inflamasi. Faktor-faktor transkripsi inilah yang


merupakan sasaran dari kerja kortisol dan obat-obat
kortiko steroid lainnya. Nu c I e ar.fac t or- rB b erperan datram
patogenesis inflamasi penyakit sendi; di samping itu TNF
cr, IL- 1 p dan IL-6 juga mampu mengaktivasi jalur lz itogen-

activated protein kinase (MAPK) p38 yang dapat


memperpanjang masa dan proses inflamasi.

Sitokin sebagai Regulator Fisiologis Kortikosteroid


Selain sitokin-sitokin TNF cr, IL- 1 p dan IL-6 yang diketahui

berperan dalam regulasi fi siologis kortikosteroid melalui


AHP secara reaksi umpan balik; MIF yang disekresi oleh
kelenjar pituitari bersamaan dengan sekresi ACTH secara

sirkadian, dan juga disekresi oleh makrofag secara lokal

sebagai respons terhadap inflamasi atau saat kadar


kortikosteroid rendah, juga ikut mengatur fisiologis
kortikosteroid dalam tubuh. Efek MIF sendiri sebenarnya
berupa down regulalion imunosupresi kortikosteroid,
meskipun mekanismenya secara tepat belum diketahui.
MIF mampu meningkatkan fosfolipase A2 dan proliferasi
sel, mengatur sekresi IL-2 serta proliferasi sel T.

BIOAVAI LIBILITAS DAN BIOAKTIVITAS KORTIKO.


STEROID
Cara pemberian kortikosteroid penting dalam menentukan

bioavailabilitas maupun bioaktivitas. Contohnya,


pemberian oral pada pasien dengan malabsorbsi atau
gangguan saluran cerna akan memberikan kegagalan
respons terapi; meskipun kortikosteroid dapat melalui
membran sel secara baik namun kadar terapetik serum tidak

terpenuhi akibat gangguan absorbsi. Bioaktivitas


kortikosteroid diatur di dalam jaringantarget dan sel oleh
etzim 1 I - p-hydroxys t ero id dehydro genas e (11 -BHD).
Pada manusia l1-BHD terdiri dari 2 iso-enzim tipe 1 dan
tipe 2. Tipe I mengubah kortison menjadi kortisol serta

memperkuat aktivitas biologis kortikosteroid; sedangkan


tipe 2 menginaktivasi kortisol dengan mengubahnya dalam
bentuk kortison yang tidak aktif secara biologis.

AKTIVITAS BIOLOGIS KORTIKOSTEROI D SECARA


BIOMOLEKULER
Efek mekanisme kerja kortikosteroid dapat dibagi menjadi
2; yaitu pengaruh pada lingkungan di luar gen dan
lingkungan gen. Pengaruh kortikosteroid pada lingkungan

di luar gen terjadi dengan cepat, baik secara spesifik


maupun nonspesifik. Namun, mekanismenya belum
diketahui secara pasti pada saat ini. Kemungkinan
berhubungan dengan perubahan fungsi membran sel yang
terdiri dari lapisan lipid dan atau diperantarai oleh ikatan
steroid pada reseptor membran. Efek kortikosteroid pada
lingkungan di luar gen berupa analgesia dan hambatan
ekspresi molekul adhesi.
Efek korlikosteroid pada lingkungan gen diperantarai

melalui kortikosteroid reseptor (CR) yang mempunyai


fungsi penting dalam transaktivasi ikatan DNA. Gen CR
terletak dalam kromosom 5 (5q3 l), serta terdiri dari CR cr
dan CR B. Korlikosteroid berpengaruh dalam up regulallom produksi I-rB yang akan berikatan dengan NF-rB dan
menutupi sekuens lokalisasi inti sel; kemudian masuk ke
dalam sitoplasma dan menghambat translokasi inti sel. Di
dalam sitoplasma, NF-rB menetap sebagai heterodimer
subunit p50 dan p65 yang terikat I-kB. Aktivasi sel
menyebabkan fosforilasi dan degradasi I-xB. Akhimya NFkB dilepas dalam bentuk aktif yang dapat melakukan
translokasi ke inti sel untuk memulai transkripsi sejumlah
gen target yang mensintesis sitokin-sitokin pro/inflamasi.
Kompleks kortikosteroid dengan reseptornya (CS/CR) juga
mempengamhi ikatan NF-KB pada DNA site yang pada
akhimya menghambat translokasi NF-KB dari sitoplasma
ke inti sel, sehingga rangsangan produksi dan sekresi
sitokin-sitokin pro/infl amasi tidak terj adi.
Kortikosteroid pada tingkat molekular menghambat
interaksi AP-l dengan NF-KB melalui proses deasetilasi
dari inti histon. Asetilasi histon menyebabkan struktur
kromatin DNA kuat dan tak tergoyahkan, serta
meningkatkan kemampuan polimerase RNA dalam
melakukan transkripsi gen. Atas pengaruh kortikosteroid,
CR a bertindak sebagai penghambat langsung aktivitas
NF-rB yang dibangkitkan oleh histon asetilasi (HAIs); di
samping itu juga mengerahkan histon deasetilasi (HDACs)
dalam jumlah banyak ke kompleks NF-KB/IIAT, sehingga
transkripsi gen untuk memproduksi sitokin pro/inflamasi
tidak terjadi.
Kortikosteroid juga memicu proses apoptosis limfosit
dan timosit, tetapi efek penghambatan terhadap ekspresi
dan sekresi sitokin hanya sekunder dan tidak kuat. Selain
itu, kortikosteroid mampu memicu produksi mitogen-

2751

PERAN KORTIKOSTEROID DI BIDANG REUMANOLOGI

-/ (MKP-1) yang

ankilosing disertai artritis perifer, beberapa penyakit

menginaktivasi secara kuat fosforilase mitogen-activated

otoimun yang melibatkan sendi, osteoartritis, artritis gout,


bahkan inflamasi sendi akibat trauma.
Beberapa keadaan yang merupakan kontra indikasi
pemberian korlikosteroid lokal meliputi: terdapatnya infeksi

qctivated kinase phosphatase

kinase p38 (MAPK), sehingga menyebabkan destabilisasi


mRNA proiinflamasi. Efek kortikosteroid terakhir adalah
memicu produksi lipokortin, sebuah protein anti inflamasi
yang diproduksi oleh sel-sel mononuklear darah tepi akibat
pengaruh steroid.

PENGGU NAAN KORTIKOSTEROID LOKAL

lokal (artritis septik, abses, gangren, osteomielitis),


hipersensitivitas terhadap bahan yang disuntikan, diatesis
hemoragi, sendi yang tidak stabil, fraktur intra artikular,
sendi yang sulit dicapai pada penyuntikan, osteoporosis
juksta artikular yang berat, suntikan terdahulu tidak
memberikan hasil yang baik, tidak ada indikasi yang tepat,

Penggunaan korlikosteroid secara lokal ditujukan untuk


menghilangkan gejala inflamasi dan rasa nyeri pada tempat

tersebut; dengan tanpa atau sedikit efek samping


sistemiknya. Pemberian dapat dilakukan secara topikal oles,
intra artikular maupun ke dalam jaringan lunak (intra lesi)

tergantung indikasi dan jenis penyakitnya.


Pada berbagai penelitian yang dilakukan mendukung
bahwa pemberian kortikosteroid intra artikular/intra lesi
memberikan angka kesembuhan yang tinggi dengan efek
samping sistemik minimal dibandingkan dengan pemberian
kortikosteroid sistemik. Bahkan hilangnya tanda-tanda
inflamasi sendi diikuti dengan perbaikan gejala sistemik

dan kualitas hidup yang nyata. Meskipun demikian,


pemberian kortikosteroid lokal tidak dianjurkan sebagai

satu-satunya bentuk pengobatan, sekalipun untuk


pengobatan lokal; apalagi banyak penyakit sistemik
(terutama penyakit inflamasi kronik dan otoimun) yang
memberikan salah satu manifestasi klinisnya artritis.
Bahkan pemberian kortikosteroid lokal tidak dianjurkan jika
patogenesis penyakit yang mendasarinya belum dicari.
Demikian pula pada suntikan intra artikularlintra lesi yang

gagal memberikan perbaikan klinis, sebaiknya tidak


dilakukan tindakan ulangan kecuali akibat kegagalan teknis.

lndikasi dan Kontra lndikasi Penggunaan


Kortikosteroid Lokal
Indikasi pemberian kortikosteroid intra artikuler/intra lesi
adalah hanya satu/beberapa sendi perifer saja yang
mengalami inflamasi atau mengalami inflamasi yang lebih
berat dibandingkan sendi lain yang terserang; kontra
indikasi pemberian kortikosteroid sistemik; sebagai
tambahan terapi sistemik untuk penyakit sendi yang
resisten; membantu mobilisasi, mencegah deformitas sendi;

untuk gangguan non artikular (entesopati, bursitis,


sinovitis, tenosinovitis, tendinitis, nerve entrapment
syndrome); dan terutama untuk mendapatkan efek analgesla secara cepat.
Suntikan kortikosteroid intra arlikular sering dilakukan
untuk menghilangkan rasa sakit secara cepat. Hampir

semua kasus penyakit sendi

di bidang reumatologi

memberikan hasil terapi kortikosteroid intra artikular/intra

lesi yang menggembirakan; seperti artritis reumatoid,

artropati psoriatik, sinovitis enteropatik, spondilitis

lesi ireversibel yang tidak memberikan

respons

pengobatan, faktor psikologis pasien yang merasakan baik


jika disuntik lokal, pasien yang takut disuntik lokal.
Suntikan intra artikuler pada kasus afiritis gout dan

osteoartritis masih terdapat kontroversi beberapa ahli;


tetapi pada dasamya pemberian intra artikuler dianjurkan
jika terdapat sinovitis yang refrakter pada artritis gout atau
keluhan rasa sangat nyeri pada sendi yang mengganggu

aktivitas harian maupun kualitas hidup pasien


osteoartritis. Pemberian kortikosteroid intra arlikuler pada
artritis gout sangat efektif, tetapi harus dipastikan tidak
terdapat infeksi persendian karena gejala artritis gout mirip
dengan artritis septik. Penelitian Gray dkk dan Alloway
dkk mendapatkan manfaat pemberian kortikosteroid intra

artikular pada pasien-pasien gout dengan dosis


disesuaikan besar kecilnya sendi.
Tentang osteoartritis, Neustadt dkk pada

tahw 1992

menemukan kejadian Charcot-like arthropathy pada


pasien-pasien osteoartritis yang diberi suntikan intra
artikular kortikosteroid berulang kali. Namun, pada akhir
penelitian Saxne dkk menyimpulkan bahwa kortikosteroid
intra artikuler dapat mengurangi produksi mediator dan
sitokin pro/inflamasi serta enzim protease lainnya yang
berpengaruh pada degradasi kartilago; di samping itu efek
anti inflamasi steroid mampu menurunkan permeabilitas
vaskular sinovial dan mencegah berulangnya edema
maupun efusi ruang sendi. Penelitian klinis teracak yang
dilakukan Dieppe dkk rnenyimpulkan steroid intra artikuler
lebih efektif dibandingkan plasebo dalam menghilangkan
nyeri osteoartritis lutut dengan atau tanpa efusi ruang
sendi. Demikian pula Ravaud dkk dalam penelitian klinis
teracak menemukan hilangnya nyeri sendi dan perbaikan
firngsi sendi secara bermakna pada kelompok yang dikelola
dengan korlikosteroid intra artikuler selama 1-4 minggu
dibandingkan plasebo; namun setelah minggu ke-12

sampai 24 tidak didapatkan perbedaan bermakna.


Tampaknya manfaat kortikosteroid intra artikular pada
osteoartritis bersifat jangka pendek terutama yang
berhubungan dengan proses inflamasi.

Komplikasi Suntikan Lokal Kortikosteroid


Suntikan kortiko steroid lokal sebaiknya dilakukan dengan

hati-hati dan oleh ter,aga medis yang terlatih/

2752

REUMANOI.OGI

erpengalam an, kar ena berisiko terj adi komplikas i lokal


yang mengakibatkan kecacatan sendi dan menurunkan
kualitas hidup pasien. Tindakan aseptik dan antiseptik
b

harus diutamakan dalam melakukan suntikan lokal. Aspirasi


cairan sendi sebaiknya dilakukan untuk memastikan jarum

masuk ke dalam ruang sendi sebelum dilakukan


penyuntikan. Setelah dilakukan suntikan, sendi diatur
dalam posisi netral dan relaksasi sekitar 1 5-30 menit, sambil

digerakkan dalam lingkup gerak sendi yang fisiologis;


sedangkan bagi sendi yang memikul berat badan
sebaiknya dihindari w eigh-b earing selama 24-48 jam. P ada
pasien diabetes, pemakai antikoagulan atau pasien ulkus

peptikum sebaiknya ditunda sampai keadaan stabil/


terkontrol. Namun jika harus dilakukan, sebaiknya
dilindungi dengan tindakan serta obat-obatan yang mampu
mengendalikan kadar gula, perdarahan maupun ulkus
peptikum.
B eberapa komplikasi y ang dapat terj adi pada tindakan
suntikan korlikosteroid lokal adalah: infeksi lokal (angka
kej adian 1 dibanding I 000.

6.

000), perdarahan, kerusakan

rawan sendi fiika interval suntikan kurang dari 6 minggu


atau lebih dari 8 kali per tahun), nekrosis aseptik berupa
infark tulang subkondral akibat artropati steroid, atrofi kulit/

jaringan subkutan dan saraf, sinovitis kristal (akibat larutan


mikrokristal steroid yang kemudian hilang dalam waktu
4-24 jamdengan istirahat, kompres dingin atau analgetrka),
ruptur tendorVligamen, supresi korleks adrenal (arang dan
bersifat sementara).

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID SISTEMIK


Pada kasus-kasus yang melibatkan sistem imun dalam
proses inflamasinya (penyakit inflamasi kronik, penyakit
otoimun), maka perlu dipikirkan penggunaan kortikosteroid
secara sistemik dengan pemakaian jangka panjang yang
aman dan nyaman bagi pasien. Pemberian kortikosteroid
eksogen secara sistemik untuk tujuan menekan proses
inflamasi, terryata memberi efek supresi padaAHP. Supresi

otoimun lainnya membutuhkan pengobatan kortikosteroid


secara sistemik dan cukup lama; baik sebagai terapi utama

maupun sebagai bridging therapy.


Cara dan Dosis Pemberian Kortikosteroid Sistemik

Cara dan dosis pemberian kortikosteroid sistemik


bermacam-macam tergantung pada penyakitnya. Namun
yang dianjurkan saat ini adalah pemberian sesingkat dan
seminimal mungkinjika harus diberikan dalamjangka lama.
Demikian pula pemberian alternating day therapy dan
pulse steroid therapy sebenarnya ditujukan selain untuk

mencapai keberhasilan terapi juga meminimalkan efek


samping kortikosteroid.
Kortikosteroid dosis rendah (<0,5 mg/kg BB/hari atau

5-15 mg/hari prednison/prednisolon) diberikan untuk


mengatasi gejala klinis demam (sepsis), dermatitis,

arteritis. efusi pleura dan sebagai dosis terapi


pemeliharaan. Sebaiknya dosis inisial dipertahankan
minimal selama 4-6 minggu sebelum dilakukan tappering off.
Dosis tinggi steroid ( 1-2 mg,4<g BBAari) pada umumnya

ditujukan untuk mengatasi kegawatdaruratan yang


mengancam kehidupan pasien; seperti lupus serebral,
lupus nefritis, serositis berat, anemia hemolitik akut,
trombositopenia berat, atau penyakit-penyakit otoimun
stadium berat. Jika tidak didapatkan perbaikan klinis dalam
waktu 48 jam, maka dosis steroid sebaiknya dinaikkan
25-100% dari dosis awal tergantung keadaan klinis sampai
semua gejala akut teratasi. Dosis inisial ini sebaiknya
diberikan dalam dosis terbagi 3-4 kali sehari, serta

dipertahankan minimal 6-8 minggu sebelum dilakukan


tapering off.
Pulse steroid therapy biasanya diberikan pada
kegawatdaruratan yang mengancam kehidupan, krisis
lupus, kasus berat dengan manifestasi akut atau tidak
responsif terhadap pengobatan steroid dosis tinggi. Pzlse

steroid therapy merupakan pemberian kortikosteroid


intravena dengan dosis sangat tinggi (10-30 mg/kg BB/
kali atau 1 gram metilprednisolon) dalam 0,5-4 jam sekali

AHP sudah dapat diamati setelah

5-l hari pemberian


korlikosteroid; dan pengaruh supresi AHP dapat menetap
selama 6-12 bulan setelah korlikosteroid dihentikan. Efek
ini lebih nyata tampak pada pemberian dosis besar dan

sehari selama 1-3 hari atau 3-5 hari berturut-turut.


Tapering off merupakan salah satu cara menurunkan
dosis kortikosteroid secara bertahap sampai pada dosis
minimal yang masih efektif. Tujuannya adalah mencegah

jangka waktu yang lama. Salah satu upaya untuk


mengurangi pengaruh kortikosteroid terhadap supresi
AHP adalah pemberian dosis tunggal pagi hari sesuai

withdrawal phenomenone dan krisis adrenal akibat

dengan irama sirkadiannya. Hasil penelitianArvrdson dkk

prednisolon diturunkan 5-10% setiap minggu jika tidak


timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis mencapai 30 mg/

mengusulkan pemberian glukokortikoid dosis kecil


menjelang pagi, karena mereka menemukan efektivitas
IL-6 dengan glukokortikoid pada pukul 2 dini hari.
Pada penyakit arlritis reumatoid, lupus eritematosus

penekanan

sistemik, beberapa penyakit yang masuk dalam


spondiloartropati seronegatif, sindrom antibodi
antifosfolipid, poliartritis nodosa, vaskulitis, sklerosis
sistemik, polimiositis/dermatomiositis serta penyakit

penghentian steroid secara mendadak. Setelah dosis inisial

dipertahankan selama 6-8 minggu, dosis prednison/

hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg setiap


minggu; dan setelah dosisnya mencapai 10-15 mglhari,
maka penurunan dosis dilakukan I mg setiap minggu.
Apabila dijumpai eksaserbasi akut, harus kembali pada
dosis efektif sebelumnya selama beberapa mhggn (2-4

minggu) dan kemudian dicoba diturunkan kembali. Jika


dengan dosis inisial selama 4-6 minggu tidak diperoleh

2753

PERAN KORTIKOSTEROID DI BIDANG REUMATOLOGI

perbaikan klinis yang nyata, sebaiknya dipertimbangkan


untuk pemberian imunosupresan lainnya. Apabila berhasil
mencapai dosis minimal yang efektif sebaiknya diberikan
sekali sehari pada pagi hari.

Alternating doy therapy adalah pemberian


korlikosteroid selang sehari setelah dosis minimal yang
efektif tercapai; namun sering menimbulkan eksaserbasi
akut.

Bridging therapy merupakan cara pemberian


korlikosteroid yang bersifat sementara dan berlujuan untuk
memperantarai pengobatan kausal yang lebih rasional.
Pada umumnya diberikan pada keadaan akut, seperli pada
artritis reumatoid. Dosis yang digunakan pada bridging

therapy biasanya dosis rendah (5-7,5 mg prednison/


prednisolon) dan diberikan sekali sehari pada pagi hari.
Terapi ini sebaiknya dihentikan secara befiahap segera

setelah obat-obatan golongan disease modifying

anti rheumatoid drugs (DMARD) menunjukkan


khasiatnya.

27

0:286-90

M. Gene regulation by steroid hormones. Cell 1999; 56:335-9.


Cush JJ, Kavanaugh AF, Olsen NJ, Stein CM, Kazi S, Saag KG
Rheumatology diagnosis and therapeutics. Pennsylvania
Lippincott Williams & Wilkins. 1999.
Chikanza IC, Grossman AS. Reciprocal interactions between the
neuroendocrine and immune systems. Rheum Dis Clin North
Am 2000; 26: 6e3-712.
Chikanza IC, Kozaci DL. Corticosteroid resistance in rheumatoid

Beato

arthritis: molecular and cellular perspective. Rheum 2004; 43:


t331 -45.
Calandra T, Bucala R. Macrophage inhibitory factor: a glucocorticoid counter-regulator within the immune system. Crit Rev
Immunol 1997 ; l7 : 77 -88.
Dixon ASJ, Graber J. Local injection therapy in rheumatic diseases
Switzerland EULAR Publishers Basle 1983
Dieppe PA, Sathapatayavongs B, Jones HE, Bacon PA, Ring EF.
Intra-articular steroids in osteoarthritis. Rheumatol Rehabil
1990l. 19: 212-7.
Eskandari F, Sternber EM. Neural-immune interactions in health
and disease. Ann Rheum Sci 2002; 966:20-7.
Emmerson BT. The Management of gout. N Engl J Med 1996; 334:

445-5t.

Komplikasi Penggunaan Kortikosteroid Sistemik


Penggunaan kortikosteroid sistemik lebih sering
memberikan komplikasi, apalagi jika diberikan dalam dosis

besar dan waktu yang lama. Komplikasi yang sering


dijumpai adalah: sindrom Cushing, edema, hirsutisme,
moon face, striae, penambahan berat badan, osteoporosis, gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak,
psikosis, ginekomastia, atrofi testis, alopesia, supresi AHP,
rentan terhadap infeksi, hipertensi, toleransi glukosa
terganggu, dan gangguan keseimbangan elektrolit.

PENUTUP
Penggunaan kortikosteroid di bidang reumatologi masih
diperlukan sampai saat ini, dan tampaknya akan terus

digunakan mengingat perannya sebagai anti inflamasi

Gold R, Buttgereit F, Toyka KV. Mechanism of action of


glucocorticosteroid hormones: possible implications lor therapy

of neuroimmunological disorders J Neuroimmunol 2001; 2:


1 171-8.
Gray RG, Tenenbaum J, Gottlieb NL. Local corticosteroid injection
treatment in rheumatic disorders. Semin Arthritis Rheum 1988;
l0: 231-54.

Hart FD. Systemic corticosteroids and corticotrophin. In: Drug


Treatment of the Rheumatic Disease. 4'h ed Singapore PG
Publishing. 1998.p.92- 103.
Kassel O, Sancono A, Kratzschmar J, Kreft B, Stassen M, Cato AC
Glucocorticoids inhibit MAP kinase via increased expression and
decreased degradation of MKP-1. Endocrinol Metab J 200't;20:
7208-16.
M, Mahtani KR, Finch A, Brewer G, Saklatvala J, Clark AR.
Regulation of cyclo-oxygenase 2 mRNA stability by mitogen
activated protein kinase p38. Mol Cell Biol 2000;20: 4265-74.
Ono K, Han J. The p38 signal transduction pathway: activation
and function. Cell Signal 2000; 12: 1-1,3.
Lasa M, Abraham SM, Boucheron C, Saklatvala J, Clark AR.
Lassa

yang poten dalam sistem imun tubuh kita. Hal yang perlu

Dexamethasone causes sustained expression

diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid adalah


indikasi, kontra indikasi, cara dan dosis serta risiko
komplikasi yang sering dr.lumpai baik pada pemakaian

activated protein kinase (MAPK) phosphatase 1

secara lokal maupun sistemik. Bagai pedang bermata dua,

bila digunakan secara tepat akan bermanfaat; sebaliknya

jika digunakan secara membabi buta akan mendatangkan


bahaya yangfatal.

REFERENSI
Alloway JA, Moriarty MJ, Hoogland YT, Nashel DJ Comparison ol
triamcinolone acetonide with indomethacin in the treatment
ofacute gout arthritis. J Rheumatol 1998;20: 111-3.
Auphan N, Didonato JA, Rosette C, Helmberg A, Karin M.
Immunosuppression by glucocorticosteroids: inhibition of NFkB activity through induction of I-kB synthesis. Science 1995;

phosphatase-mediated inhibition

of

mitogenand

of MAPK p38. Mo1 Cell Biol

2002;22: 7802-ll.
Moll JMH. Rheumatology in clinical practice. OxfordBlackwell
Scientific Publications. 1997
Neustadt DH. Intraarticular steroid therapy. In: Moskowitz RW,
Howell DS, Goldberg VM, Mankin HJ (Eds) Osteoarthritis.
Diagnosis and Medical/Surgical Management. 2"d ed Philadelphia WB Saunders Company. 1991 p.439-92.
Ravaud P, Moulinier L, Giraudeau B, Ayral X, Guerin C, Noel E, et al.
Effects ofjoint lavage and steroid injection in patients with
osteoarthritis of the knee. Results of a multicenter, randomised,
controlled trial. Arthritis Rheum 1999; 42: 4'75-82.
Stein CM, Pincus T. Glucocorticoids. In: Kelly WN, Harris ED,
Ruddy S, Sledge CB (Eds). Textbook of rheumatology. 5'h ed.
Philadelphia WB Saunders Company. 1997.p.781 -804.
Scheinman RI, Cogswell PC, Lofquist AK, Baldwin AS. Role of
transcriptional activation of I-kB in the mediation ol immunosuppression by glucocorticoids. Science 1996; 270: 283-6.

2754

RET,JMIINOI.OGI

Sandeep TC, Walker BR. Pathophysiology

of modulation of local
glucocorticoid levels by I 1 beta-hydroxysteroid dehydrogenases. Endocrinol Metab 2001; 12:446-53.
Saxne T, Heinegard D, Wolheim FA. Therapeutic effects on
cartilage metabolism in arthritis as measured by release of
proteoglycan structures into the synovial fluid. Ann Rheum
Dis. 1996; 45:497-7.
Wilder RL. Corticosteroid. In: Klippel JH Ed. Primer on rheumatic
diseases. llh ed. Atlanta Arhritis Foundation. 1997.
Waldman SD. Pain management injection techniques. Phyiladelphia
WB Saunders Company. 2000.
28. Zarro VJ. Steroid pulse therapy. Ann Rheum Dis .1986; 33:
21'7

-9.

422
DISEASE MODIFYING ANTI RHEUMATIC

DRUGS (DMARD)
Hermansyah

PENDAHULUAN

untuk dapat mengontrol progresivitas penyakitnya.

Obat-obat yang mempengaruhi proses perjalanan artritis

Pertimbangan DMARD mana yang akan dipilih diserahkan


pada dokter yang menangani pasien, sebab mekahisme
kerja obat itu dipengaruhi oleh individual itu sendiri, yang

reumatoid (AR) disebut sebagai "Slow Acting Anti


Rheumatic Drugs" (SAARD) atau yang dikenal juga
Disease Modifiing Anti Rheumatic Drugs (DMARD) yang
menghambat progresivitas penyakit. Obat golongan ini

akan memperlihatkan efeknya setelah 4-6 bulan


pengobatan, dan tidak mempunyai efek langsung
menghilangkan sakit dan inflamasi, oleh karena itu
sambil menunggu kerja obat ini biasanya diberikan
obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS).
Dahulu pengobatan AR menggunakan sistem piramid,
di mana pengobatan dimulai dengan analgesik dan

OAINS disertai penyuluhan dan fisioterapi. Bila hasil


yang diperoleh tidak memuaskan, baru ditambahkan
DMARD satu-persatu sesuai dengan kebutuhan.
Bila timbul deformitas yang berat, dapat dipertimbangkan

tindakan operatif. Ternyata cara lama itu tidak


memberikan hasil yang memuaskan, bahkan sering
didapatkan destruksi sendi yang berat, sementara pasien

terus tersiksa oleh rasa nyeri dan inflamasi yang


berkepanjangan.

penting evaluasi tentang efektivitas obat

dan

toksis itasnya

GARA PENGGUNAAN DMARD PADA PASIEN AR


Pada dasarnya tedapat dua cara pendekatan pemberian
DMARD pada pengobatan pasien AR. Cara perlama adalah
pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang
sangat dini. Pendekatan

ini didasarkan pada pemikiran

bahwa detruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini

penyakit. Cara pendekatan lain adalah dengan


menggunakan dua atau lebih DMARD secara simultan atau

siklik seperti penggunaan obat-obatan


imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan.
secara

Kecenderungan untuk menggunakan kombinasi DMARD


dalam pengobatanAR timbul karena terapi DMARD secara
sekwensial pada jangka panjang tidak berhasil mencegah
terjadinya kerusakan sendi yang progresif.

Penggunaan DMARD yang menggunakan pola

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam

piramid telah banyak ditinggalkan. Saat ini lebih banyak


digunakan metode step down bridge detgan menggunakan
kombinasi beberapa jenis DMARD yang dimulai pada saat
yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada
saat aktivitas AR telah dapat terkontrol. Hal ini didasarkan

penggunaan DMARD pada AR, yaitu:


. DMARD harus dimulai sedini mungkin sebelum terjadi

pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektifhanya


dapat dicapai bila pengobatan dapat diberikan pada masa

dini penyakit.
Umumnya pada pasien yang diagnosisnya telah dapat
ditegakkan dengan pasti, DMARD dapat dimulai diberikan

destruksi sendi.
Gunakan DMARD secara tunggal atau kombinasi
secara telus-menerus selama penyakit masih aktif.

. Monitor disabilitas dan berbagai parameter

hasil pengobatan secara berkala dan teratur untuk

.
2755

mengetahui progresifitas penyakit secara baik.

Tentukan respons pengobatan yang akan dicapai,


sehingga bila diperlukan perubahan terapi dapat

2756

REI,JMATIOI.OGI

dilakukan untuk semua DMARD. Kontrol tambahan


untuk fungsi hati, kreatinin serum dan protein urin
diperlukan untuk beberapa DMARD. Lihat Tabel I

direncanakan dengan baik.

Gunakan analgesik dan OAINS sebagai terapi


tambahan untuk mengatasi nyeri dan inflamasi.

. Pilihan

obat dan dosis untuk pengobatan AR

dan 2.

hendaknya didasarkan pada faktor-faktor prognostik


yang dinilai pada kunjungan awal. Pasien dengan

prognostik yang baik biasanya dapat diobati


dengan satu DMARD saja, seperti metotreksat,

DMARD YANG LAZIM DIGUNAKAN UNTUK

sulfasalazin, atau leflunamid. Pada pasien dengan


prognosis yang kurang baik atau kalau hasil satu
macam DMARD belum menghasilkan perubahan
yang memuaskan setelah digunakan dalam dosis
yang adekuat selama 3 sampai 6 bulan, DMARD

hidroksikloroquin (HCE) dan sulfasalazin (SAS)

PENGOBATANAR

DMARD yang relatif baru seperti metotreksat (MTX),


mempunyai rasio efikasi/toksisitas yang lebih baik daripada

dalam bentuk kombinasi dengan DMARD yang

DMARD yang terdahulu seperti garam emas (MUC),


D-penisilamin (DP), dan azatioprin (AZA). Dalam
sepuluh tahun terakhir, telah dikembangkan DMARD

lain.

baruyang lebih efektif termasuk siklosporinA, leflunomid,

tersebut harus segera diganti atau tetap digunakan

etanersep dan infliksimab. Obat tersebut telah


diteliti sebagai obat tunggal maupun sebagai kombinasi

Pada umumnya angka kejadian efek samping


monoterapi maupun terapi kombinasi hampir sama,
karena itu kontrol darah tepi lengkap yang teratur perlu

Agen
antimalaria

dengan metotreksat.

Saat

Pemeriksaan penglihatan secara teratur

(pemeriksaan funduskopi,

evaluasi

lapangan penglihatan, atau penggunaan


AMSLER)
Sulfasalazin

CBC dan LFT setiap 2 minggu untuk 3


bulan pertama, kemudian setiap 1 bulan

D-Penicillamin

CBC dan urinalisa setiap 2 minggu pada

dosis awal atau perubahan

dosis,

selanjutnya 1-3 bulan


Senyawa emas
lnjeksi

Oral

Metotreksat
Siklofosfamid
Azatioprin

CBC dan urinalisis sebelum

setiap

suntikan awal,kemudian sebelum setiap

injeksi kedua atau ketiga. Urinalisis


dipantau oleh pasien
CBC dan urinalisis setiap 2-4 minggu
CNC dan LFTs setiap
minggu,
kemudian 1-3 minggu
CBC dan urinalisis setiap bulan setelah uji
minggu awal

KLOROKUIN

CBC setiap 1- 2 minggu, lalu

-3

Hidroksiklorokuin dan klorokuin telah dipergunakan


untuk pengobatan AR sejak tahun 1950. obat ini terikat

bulan:

kuat pada DNA, menghambat fungsi limfosit, menstabilkan

LFTs setiap 1-3 bulan


Klorambucil

membran lisosom, menurunkan kemotaksis, fagositosis,


dan produksi superoksid oleh leukosit polimorfonuklir,
menekan produksi dan pelepasan interleukin I (IL 1),
klorokuin mempunyai waktu paruh yang panjang, stea$t
state dalamdarah tercapai dalam waktu 3 sampai 4 bulan,
inilah yang menyebabkan efeknya lambat. Padapenelitian

CBC setiap bulan awalnya, kemudian


setiap 3 minggu

Cyclosporin

ini, DMARD yang banyak digunakan di

Indonesia adalah, klorokuin/sulfasalazin dan metotreksat,


baik sebagai DMARD tunggal, maupun dalam kombinasi.
Dahulu banyak digunakan D-penisilamin, tetapi saat ini
jarang digunakan karena efek terapeutiknya baru timbul
setelah pemakaian beberapa bulan. Walaupun demikian,
pemakaian D-penisilamin sebagai salah satu kombinasi
DMARD masih digunakan pada beberapa kasus. Garam
emas hampir tidak pernah digunakan, karena obat ini tidak
tersedia di Indonesia.

CBC, kreatinin serum, tekanan darah


setiap bulan, kemudian setiap 2-4 minggu
pada dosis maintenance.

CBC = complete blood count; LFT = liver funcfrbn tesf

Mukokutaneus Hematologi Gastrointestinal


Hidroksiklorokuin
Sulfasalazine
D-penicillamin
Emas oral
Emas parenteral
Azatioprin
Metotreksat
Siklofosfamid
Klorambucil
Siklosporin

++

++

+++

++
++

++
++

+++

+++

++
++

++

+++

+++
+++

++

+++

Hepatik

Ginjal

++
+
+
+

++
+

++

++
++

+
+

++

2757

DISMSE MODIFYING ANTI RITEUMATIC DRUGS (DMARD)

konsentrasi klorokuin dalam plasma harus dicapai 700-2 100

uglml agar obat ini mempunyai efek, sebagian besar


pasien AR dengan pengobatan hidroksiklorokuin tidak
mencapai konsentrasi ini. Atas dasar pemikiran inilah
kita beranggapan bahwa obat klorokuin relatif kurang
efektif. Di pihak lain peningkatan dosis akan meningkatan
efek samping.

Sebagian pasien akan menghentikan penggunaan


klorokuin pada suatu saat karena merasa bahwa obat ini
kurang bermanfaat bagi penyakitnya. Toksisitas klorokuin
sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Klorokuin
dapat digunakan dengan aman jika dilakukan pemantauan
yang baik selama penggunaannya dalam jangka waktu
yang panjang. Efek sampin gpadamata, sebenamya hanya
terjadi pada sebagian kecil pasien saja. Toksisitas klorokuin
pada retina hanya bergantung pada dosis harian saja dan

dalam bentuk kombinasi dengan DMARD lainnya.

Kurang lebrh 20% pasien AR menghentikan


pengobatan obat ini karena mengalami nausea, muntah
atau dispepsia. Gangguan susunan saraf pusat seperti
pusing atau iritabilitas dapat pula dijumpai. Neutropenia,
agranulositosis dan pansitomia yang reversibel telah
pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapatkan
SAS. Ruam kulit terjadi kurang lebih pada 7''/o sampai 5%o

dari pasien yang menggunakan SAS. Penurunan


jumlah sel spermatozoa yar'g reversibel jLrga pernah
dilaporkan, test fungsi hati harus dilakukan setiap minggu
pada tiga bulan pertama, kemudian setiap bulan setelah
rfu.

D.PENISILAMIN

bukan dosis kumulatifnya. Dosis anti malaria yang


dianjurkan untuk pengobatanAR adalah klorokuin fosfat
250 mglhai atau hidroksiklorokuin 400 mgl hari. Pada dosis
ini jarang sekali terjadi komplikasi penurunan ketajaman
penglihatan. Efek samping lain yang mungkin dijumpai

pada penggunaan anti malaria adalah dermatitis


makulopapular, nausea, diare dan anemia hemolitik.
Walaupun sangatjarang dapat pula terjadi diskrasia darah
atau neuromiopati pada beberapa pasien.

D-penisilamin (DP) mulai meluas penggunaannya sejak


tahun tujuh puluhan. Walaupun demikian, karena obat ini
bekerja sangat lambat, saat ini DP kurang disukai lagi untuk
digunakan dalam pengobatan AR. Umumnya diperlukan
pengobatan kurang lebih satu tahun untuk dapat mencapai

keadaan remisi yang adekuat, dan rentang waktu ini


dianggap terlalu lama bagi sebagian besar pasien AR.
Dalam pengobatan AR, DP (Kuprimin 250 mg atau
Troiovol 300 mg) digunakan dalam dosis I x 250 sampai

300 mg/hari kemudiarr dosis ditingkatkan setiap dua


SULFASALAZIN
Sulfasalazin (SAS) pertama kali ditemukan tahun 1930, yang
diindikasikan sebagai antibiotik terhadap bakteri, kemudian
dipergunakan untuk penyakit radang saluran cema (IBD
-- InJlamatory Bowel Disease). Dalam dekade terakhir obat
ini diketahui dapat dipergunakan untuk anti inflamasi baik

seropositif maupun sero negatif. Sulfasalazin sedikit


diabsorbsi dalam usus, dirobah oleh bakteri usus menjadi
5 aminofetil salisilik acid (5-ASA) dan sulfapiridin. 5-ASA
diekskresikan dalam feses, sedangkan sulfapiridin diserap

dan dimetabolisme dalam hati, komponen aktif dari


Sulfasalazin pada AR adalah sulfapiridin. Sulfasalazin
menghambat angiogenesis sinovium, menekan limfosit

sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk


mencapai dosis total 4 x 250 sampai 300 mgihari. Efek
samping DP antar lain adalah ruam kulit urtikaria atan
morbiliformis akibat reaksi alergi, stomatitis dan pemfigus.
DP juga dapat menyebabkan trombositopenia, leukopenia
dan agranulositosis. Pada ginjal DP dapat menyebabkan
timbulnya proteinuria ring arr y ar'g r ev ers ibl e sampai pada
suatu sindrom nefrotik. Efek samping lain yang j uga dapat

timbul adalah "lupus like syndrome", polimiositis,


neuritis, miastenia gravis, gangguan mengecap, nauseo,
muntah, kolestasis intra hepatik dan alopesia.

GARAM EMAS

dan fungsi polimorfonuklir. Dari penelitian klinik


sulfasalazin dapat menekan erosi sendi dibandingkan
dengan plasebo. Sulfasalazin mempunyai efektifitas
hampir sama dengan preparat emas dan d-penisilamin.
Untuk pengobatan AR. sulfasalazin dalam bentuk
enterik coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500

mgihari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap


minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg atau 2 x 1000
mg. Setelah remisi tercapai dengan dosis 2 g/hari, dosis
diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g/hari untuk
digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sernpurna
terjadi. Jika sulfasalazin tidak menunjukkan khasiat yang
dikehendaki dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan dan

digantikan dengan DMARD lain atau tetap digunakan

Auro sodium Tiomalat (AST) intramuskular telah dianggap


sebagai suattt "gold standard' bagi DMARD sejak 20
tahun terakhir ini. Khasiat obat ini tidak diragukan lagi,
walaupun penggunaan obat ini seringkali menyertal<an efek
samping dari yang ringan sampai yang cukup berat. AST
(Tauredon ampul 10, 20 dan 50 mg) diberikan secara infi a
muskular yang dimulai dengan dosis percobaan pertama
sebesar 10 mg, disusul dengan dosis percobaan kedua
sebesar 20 mg, kemudian, setelah 1 minggu, dosis penuh
diberikan sebesar 50 mg setiap 20 minggu' Jika respons
pasien belum memuaskan setelah 20 minggu, pengobatan
dapat diberikan dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3 minggu
sampai keadaan remisi yang memuaskan dapat tercopri

2758

REI,MAII)I.OGI

Efek sampingAST antara lain adalahpruritus, stomatis,


proteinuria, trombositopenia dan aplasia sumsum fulang.
Efek samping AST agaknya terjadi lebih sering pada
pengemban HLA-DR3A. Jika timbul efek samping yang

ringan, dosis AST dapat dikurangi atau dihentikan


sementara. Jika gejala efek samping tersebut menghilang,
AST kemudian dapat diberikan lagi dalam dosis yang iebih
rendah. Auranofin tablet 3 mg adalah preparat garam emas
oral telah dikenal sejak awal decade yang lalu dan dianggap

sebagai DMARD yang berlainan sifatnya dari AST.


Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam pengobatan

AR, lebih mudah digunakan serta tidak memerlukan


pemantauan yang ketat sepertiAST, banyakpara ahli yang
berpendapat bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik

dibandingkan dengan AST.

Auranofin sangat berguna bagi pasien AR yang


menunjukkan efek samping terhadap AST. Auranofin
diberikan dalam dosis 2 x 3 mg sehari. Efek samping
proteinuria dan trombositopenia lebih jarang dijumpai
dibandingkan dari penggunaan AST. Pada awal
penggunaan auranofin, banyak pendeirta yang mengalami

diare, yang dapat diatasi dengan menurunkan dosis

albumin, dan terakumulasi dalam hati sebagai poliglutamat.


Metoheksat dieliminasi dari tubuhmelalui ginjal dan sistem
bilier. Kerjanya menekan proliferasi limfosit dan produksi
faktor rematoid Gf'), meningkatkan kemotaksis PMN, dan
mempengaruhi produksi sitokin. Pemberian MTX umumnya
dimulai dalam dosis 7,5 mg (5 mg untuk orang tua) setiap
minggu. Walaupun dosis efektif MTX sangat bervariasi,
sebagian besar pasien sudah akan merasakan manfaatnya
dalam 2 sampai 4 bulan setelah pengobatan. Jika tidak
terjadi kemajuan dalam 3-4 bulan maka dosis MTX harus
segera ditingkatkan.

Efek samping MTX dalam dosis rendah seperti yang


digunakan dalam pengobatan AR umumnya jarang
dijumpai akan tetapi juga dapattimbul berupa kerentanan
terhadap infeksi, nausea, vomitus, diare, stomatitis,
intoleransi gastrointestinal, gangguan fungsi hati,
alopesia, aspermia atau leukopenia. Efek samping ini
biasanya dapat diatasi dengan mengurangi dosis atau
menghentikan pemberian MTX. Kelainan hati dapat
dicegah dengan tidak menggunakan MTX pada pasien
AR yang obese, diabetik, peminum alkohol atau pasien

pemeliharaan yang digunakan.

AZATIOPRIN
Azatioprin merupakan analog purin, yang mempengaruhi

sintesis DNA, obat ini dikonversikan dalam bentuk


metabolik aktif dalam sel eritrosit dan hati. Waktu paruh
plasma adalah 60 menit setelah pemberian peroral dan
diekskresikan melalui ginjal. Azatioprin menghambat
proliferasi limfosit dengan cara non spesifik, juga
berpengaruhi terhadap sel T dan sel B, sel monosit,
makrofag, dan aktivitas sel natural killer (NK). Dosis
harian azotioprin 1-2,5 mglkgBB. Dosis awal 25 mg
dinaikkan sampai 50 mg2 x sehari dosis maksimum2,5

mg/ kgBB. Efek samping mual,

Penggunaan pada AR dengan dosis 5-25 mglminggu,


waktu absorbsi rata-rata hamp ir 7 ,2 jam. Komponen utama
hasil metabolismenya dalam sirkulasi darah terikat dengan

yang sebelumnya telah memiliki kelainan hati.


Pada pasien AR yang menunjukkan respons yang baik
terhadap MTX, pemberian asam folinat dapat mengurangi
beratnya efek samping yang terjadi. Peningkatan enzim
hati dapat terjadi secara transien, tetapi tidak berhubungan
dengan timbulnya fibrosis hati, reaksi hipersensitivitas,
berupa ruam kulit telah dilaporkan, insiden pneumonitis
tidak diketahui, tetapi tidak lebih dari 5o/o kasus, yang paling sering mungkin terjadi dengan pemberian MTX adalah
fibrosis dan sirosis hepatis.

SIKLOSPORIN.A

neutropenia,

trombositopeni. Pemeriksaan rutin darah dan tes fungsi

hati sekali sebulan.

Siklosporin-A (CS-A), adalah suatu undekapeptida siklik


yang di isolasi dari jamurtolipokladium inflatum Gams pada

tahw 1972. dalam dosis rendah, CS-A telah terbukti


khasiatnya sebagai DMARD dalam mengobati pasienAR.

METOTREKSAT
Metotreksat (MTX) adalah suatu sitostatika golongan
antagonis asam folat yang banyak digunakan sejak 15

ini sangat mudah digunakan dan


rentang waktu yang dibutuhkan untuk dapat mulai bekerja
relatiflebih pendek (3-4 bulan)jika dibandingkan dengan
tahun yang lalu. Obat

DMARD yang lain. Dalam pengobatan penyakit


keganasan, MTX bekerja dengan menghambat sintesis
timidin sehingga menyebabkan hambatan pada sintesis
DNA dan poliferasi selular. Apakah mekanisme ini juga
bekerja dalam penggunaannya sebagai DMARD belum
diketahui dengan pasti.

Pengobatan dengan CS-A terbukti dapat menghambat


progresivitas erosi dan kerusakan sendi. Kendala utama
penggunaan obat ini adalah sifat nefrotoksik yang sangat
bergantung pada dosis yang digunakan. Gangguan fungsi
ginjal ini dapat menyebabkan teqadinya peningkatan kadar
kreatinin serum atau hipertensi. Efek samping lain CS-A

adalah gangguan fungsi hati, hipertrofi gingival,


hipertrikosis, rasa terbakar pada ekstermitas dan perasaan
le1ah.

Dosis awal CS-A umumnya diberikan dalam dosis


2,5-3,5 mglKgBB/hari yang dibagi dalam2 dosis. Setelah 4
sampai 8 hari dosis dapat ditingkatkan 0,5-1,0 mglKgBB/
hari setiap I sampai 2 bulan sehinggamencapai 5 mg/IQBB/

2759

DISEASE MODIFTING AAITI RI]EUMATIC DRUCS (DMARD)

hari. Jika dosis maksimal yang dapat ditolerir tercapai dan

pasien telah berada dalam keadaan stabil sekurangkurangnya 3 bulan, dosis CS-A harus dikurangi setiap 1
bdan sebesar 0, 5 mg/KgBB/hari. Jika tidak dr; umpai
respons klinis setelah penggunaan CS-A dalam dosis
maksimal yang dapat ditolerir selama 3 bulan, CS-A harus
dihentikan. Penggunaan CS-A merupakan kontra indikasi
atal- 2

pada keadaan:
. Terdapatnya ata:;' adarya riwayat penyakit keganasan
. Hiperlensi yang tidak terkontrol
. Penggunaan CS-A harus dilakukan secara berhati-hati
pada:
- Usia di atas 65 tahun

.
.
.

Hipertensiterkontrol
Infeksi aktif
Kondisipremalignan: leukoplakia, mielodisplasia
Kehamilan dan menyusui

Penggunaan obat-obatan lain seperti: anti epilepsi,

ketokonazol, flukonazol, trimetoprim, eritromisin,


verapamil, diltiazem, OAINS, dan agen alkilasi seperti
siklofosfamid.
Dalam usaha untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan

penggunaan CS-A sebaiknya dilakukan dengan


pemantauan yang ketat. Sebelum pengobatan dimulai
sebaiknya dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan sebagai berikut:
. Pemeriksaan tekanan darah sekurang-kurangnya 3 kali.

.
.

Pemeriksaan bilirubin dan enzim hati

Pemeriksaan kadar kalium, magnesium dan asam urat


darah
Pemeriksaan protein urin

Gangguan fungsi ginjal akibat CS-A dapat dihindari dengan


melalarkan:
Eksklusi pasien dengan faktor risiko potensial
Membatasi dosis maksimal sampai 5 mg/KgBB/hari
Pemantauan fungsi ginjal yang sering dan teliti

.
.
.

LEFLUNOMID
Leflunomid, suatu derivat isoksazol, merupakan salah satu
obat paling baru yang dipergunakan untukAR. Leflunomid
(LFM) telah disetujui untuk digunakan sebagai DMARD
oleh FDA sej ak bulan Oktober 1 99 8. uj i klinis yang dilakukan
membuktikan bahwa LFM memiliki khasiat yang setara
dengan MTX dan merupakan suatu altematif yang baik
bagi pasien AR yang gagal diobati dengan MTX atau
intoleran terhadap MTX. Sebagaimana dengan DMARD
lainnya, mekanisme kerja LFM belum sepenuhnya diketahui.
Diduga efek terapeutik LFM padaARberhubungan dengan
kemampuan LFM menghambat aktivitas enzim dehidrorotat
dehidrogenase. Progresivitas erosi sendi nyata lebih lambat
2 0 mg/hari leflunomid daripada

pada pasien yang menerima

metotreks at a tau

srrJrf azalazin.

Leflunomid efektif dan aman untuk mengurangi


kerusakan/erosi sendi dan tanda klinis AR. Efeknya
sebanding dengan metotreksat dan sulfasalazin dalam 4
parameter klinis, akan tetapi berlangsung lebih cepat. Di
samping itu dalam jangka yang lebih pendek, leflunomid

menghambat progresivitas penyakit berdasarkan


pemeriksaan radiografi dan lebih baik memperbaiki
kemampuan fungsional. Leflunomid juga relatif ditoleransi

dengan baik. Gangguan faal hati yang berlangsung


sebentar. Berbeda dengan DMARD yang lain, tak ada
toksisitas hematologik, pulmonal dan ginjal.

KombinasiDMARD
S

ej

ak tahun I 9 90 telah dianj urkan perubahan terapi

dengan menggunakan terapi kombinasi,

AR

di mana

penggunaan kombinasi DMARD dianjurkan diberikan sejak

awal penyakit dan tidak menunggu respons terhadap


OANS. Akan tetapi karena mekanisme kerja DMARD yang
jelas belum banyak diketahui pada waktu itu, kombinasi
yang dianjurkan hanya berdasarkan pengalaman saja.
Tujuan utamanya ialah meningkatkan efikasi, diharapkan
obat bekerja secara sinergis tanpa meningkatkan toksisitas.
Hal ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan
menggabungkan obat-obat yang mekanisme kerja dan efek

sampingnya berbeda.
Dengan ditemukanny a matfaat metotreksat dan lebih
dipahaminya mekanisme kerja DMARD yang lain, terapi

kombinasi semakin menarik dan memberikan tingkat


keberhasilan terapi yang lebih baik. Terapi kombinasi sering
dipergunakan apabila penggunaan DMARD secara tunggal
gagal. Gabungan MTX, SAS dan klorokuin memperlihatkan

hasil yang baik. Akhir-akhir ini gabungan siklosporin dan

MTX atau MTX dan SAS, lebih baik hasilnya


dibandingkan daripada MTX tunggal.

REFERENSI
American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Clinical
Guidelines. Guidelines for the Management of Rheumatoid
Arthritis. Arthritis Rheum. 1996 : 9 : 713-22
Avina, Zubieta JA, et al. long term effectiveness of anti malarial
drugs. In rheumatic disease. Ann Rheum Dis. 1998; 5T : 582-87.
Borigini MJ, Pualus HE. Rheumatoid arthritis. In: Weisman MH,
Weinblatt ME, Louise JS eds. Treatment of rheumatic diseases.
2"d ed. Philadelphia:W. B. Saunders; 2001,p.217-35.
Brooks P. Management of rheumatoid arthritis. Medicine Interna-

tiona1.2002.p.50-3.
Brooks P. disease modifying anti Rheumatic drugs. In: Klippel JH
ed. Primer on the rheumatic diseases. 11rh ed. Atlanta:Arthritis
Foundation; 1997 .p.432-6.
Chatham WW. Gold and d-Penicillamine. In Koopman JW (ed).
Arthritis and allied conditionts. 14'h ed. Lippincott WW.
Philadelphia, 2001; T 17 -33.
Cush JJ., Tugwell P., Weinblatt M, et a1 US consensus guidelines for use
of cyclosporine A. in rheumatoid arthritis. J. Rheumatol, 1999; 26:
1 l 76-86.
Daud R Combination of sulfasalazine and chloroquine in the

2760

REI,'MANOI.OGI

treatment of patients with rheumatoid arthritis. A Randomized


controlled triat. M. Sc. Thesis, Mc Master University, Hamilton,
Ontario, Canada, tr992.
Felson D! Anderson JJ, Meenan RF. The comparative efficacy and
toxicity of second-line drugs in rheumatoid arthritis. Results of
two metaanalyses. Arthritis Rheum 1990; 33: 1449-61.
Fox RI., kang HI. Mechanism of action of hydroxychloroquine as
an anti rheumatic drugs. Semin. Afihritis Rheum, 1993; 23 : 82-91.
Fermocioli GF., Baibak LW., Ferraris M. Effects of cyclospirine on
joint darnage in rheumatoid afihritis. Clin Exp Rheumatol. 1997;

15:583-9.
Jones SK. Ocular toxicity and hydroxychloroquine guidelines for
screening. Br J. Dermatol, 1999: 140 : 3-'7.
Jackson CG, Elegg DO. Sulfasalazine and minocycline. In Koopman

JW (ed). Arthritis and allied conditionts.

14th.

WW; 2001; 1 : 769-82.


Gornisiewicz M, Moreland L. Rheumatoid arthritis. In: Robin L
ed.Clinical care in rheumatic diseases. 2"d ed.Atlanta: American
ed.Philadelphia:Lippnicott

College of Rheumatology; 2001.p.89-96.


Kremer JM. Methotraxate and leflunomide. Biochemical basis for
cotnbination therapy in the rheumatoid arthritis. Semin Arthritis Rheum. 1993,29 : 14-25.
L.S, Sirnon and D. Yocum. New and drug therapies for rheumatoid
arthritis. B J Rheumatol. 2000 ; 39 (supp) : 36-42.
Leipold G, et al. Azathioprine induced severe pancytopenia due to a

homozygous two-point mutation of

thiopurine

in patient with juvenile. HLA 827.


spondylarthritis. Arthritis Meum, 1997; 40 : 1896-98

methyltransperase gene
Associatcd

Mc Casly DJ Personal Experience in the treatment of seropositive


rheumatoid arthtritis with drugs use in combination. Semin
Arthritis Rheum. 1993, 23 : 42-9.
Motonen T, et al. comparison of combination therapy with single
drug therapy in early rheumatoid arthtiris a ramdomized trial.
Lancet. 1999, 353 ; 568-1573.

O'Dell J , Left R., et al. Methotrexate (M) Hydroxychloroquine


(H), Sulfasalazine (S) versus M-H or M-S for rheumatoid
arlhritis; results a double blind study. Athritis Rheurr. 1999; 42:

117.

O'Del1 J. Combination DMARD therapy for rheurr,atoid arthritis,


apparent universal acceptance. Arlhritis Rheum. 1997; 40-550
O'Dell JR., Haire CE., et al Treatment of rheumatoid afihritis with
metotreksate alone, sulfasalazine and hydroxychloroquine or
combination at a1l three medications N Engl J Med. 1996; 334

:1287-91.
Pincus T, O'Del1 J.R., Kremer J.M. Combination therapy with
multiple disease modifying anti rheumatic drugs in rheumatoid
arthritis. Ann Intern N4ed. 1999; 131;768-74.
Paseo G., Priolo F., Marubini F. Slow progression joint damage in
early rheumatoid arthritis treatment with cyclosporine A.
Arthritis Rheum. 1996: 39 : 1006-105
Rau R, et al. Longterm treatment of destructive rheumatoid
arthritis with methotrexate. J Rheumatol, 1997;24 : 1881-9.
Rich 8., Moreland LW., Alarcon GS. Paucity of radiographic
progression in rheumatoid arthritis treated with methotrexate
as the first disease-modifuing anti rheumatic drug. J Rheumatol.
1999;26 :256-61.
Smolen JS and Emery P. Efficacy and safety of leflunomide in
active rheumatoid arthritis. B j Rheumatol 2000; 39, 48-56.
Weinblatt ME. Treatment of rheumatoid arthritis. In: Koopman
JW ed. Arthritis and allied conditions. 14'hed. Philadelphia:
Lippincott WW;200 I p.1245-60.
Wolfe F, Sharp JT. Radiographic outcome at recent-onset Rheumatoid arthritis A l9-year study of radiographic progression. Ar-

thritis Rheum, 1998;

41,

1571-82.

Weinblatt ME., Kremer JM., Coblin JS, et al. Pharmacokineties


safety and efficacy of combination treatment with methotrexate and leflunomide in patients with active rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum. 1999: 42 : 1322-8.

423
AGEN BIOLOGIK DALAM TERAPI
PENYAKIT REUMATIK
B.P. Putra Suryana

interaksi sel-sel atau sel-matriks ekstraselular, menghambat


ON dan oksigen reaktif, atau komplemen (Tabel l). Agen

Penemuan agen biologik telah memberikan kemajuan yang

luar biasa dalam terapi penyakit reumatik, seperti pada

biologik yang juga sedang dikembangkan mempunyai


target terhadap matrix metalloproteirase (MMP) atau

artritis reumatoid (AR) dan spondilitis ankilosa (SA)' Terapi


inhibitor TNF-cr dan interleukin-1 ([-l) menjadi terapi
pertama pada AR yang berdasarkan penemuan konseptual
sampai pada aplikasi klinis. Terapi tersebut tidak hanya
telah terbukti memperbaiki gejala klinis penyakit, tapi juga
memperlambat kerusakan sendi pada AR. Pengetahuan
tersebut juga telah membuka peluang terapi pada penyakit
reumatik lainnya yaitu lupus eritematosus sistemik (LES)
dan vaskulitis.
Agen biologik dibuat dengan tujuan untuk memblok
komponen autoimun yang berperan dalam patogenesis
suatu penyakit. Agen biologik diberi nama berdasarkan
komponen autoimun atau proses inflamasi yang menjadi
targetrrya. Sitokin merupakan target agen biologik yang

molekul signal intraselular.

ANTAGONIS TUMOR NEKROSIS FAKTOR


TNF-u pada awalnya disintesis dan diekspresikan sebagai
molekul transmembran, kemudian bagian ekstraselulamya
mengalami pemecahan oleh TNF-cr converting enzyme
(TACE) melepaskan molekul terlarut sebagai TNF-cr terlarut

(soluble TNF-u) dalam sirkulasi. TNF-u terlarut yang


berikatan dengan reseptor yang dikenalnya akan memicu
perubahan konformasional dan dimerisasi pada reseptor
tersebut. Reseptor TNF ada 2 yaitu reseptor TNF tipe I
(TNF-RI) dan tipe II (TNF-RII). Aktivitas biologis TNF-u
terlarut terutama melalui TNF-RI, sedangkan TNF-cx pada
sel melalui TNF-RII. Soluble TNF receptors (sTNFRs)
hanya sebagian kecil dari total reseptor TNF, dan mungkin
berperan sebagai antagonis endogen terhadap TNF-o
dalam sirkulasi. Ligan alami untuk reseptor TNF adalah
TNF-cr dan /y mph o t o x i n - a (Bazzoni,l99 6)
Upaya untuk memblok TNF paling banyak dilakukan
melalui berbagai penelitian yang meliputi penemuan obat
biologik berbasis protein yaitu antibodi monoklonal yang
menyerang TNF maupun reseptor terlarut TNF (sTNFR)
rekombinan. Molekul tersebut akan berikatan dengan
TNF-cx terlarut sehingga mencegah sitokin berikatan
dengan reseptor TNF pada sel, yang dapat mengaktifkan
jalur inflamasi. sTNFR rekombinan dibuat dari gabungan
protein ligan-binding portion dari reseptor TNF manusia
dengan immunoglobulin-like molecule manusia. Semua

paling banyak diteliti dan telah diaplikasikan secara klinis,


seperti anti-TNF dan anti-Il. Teknologi canggih seperti

teknik rekombinan DNA dan penciptaan molekul kecil


nonimunogenik seperti antibodi monoklonal (monoclonal
antibodies : MoAbs), reseptor terlarut (soluble receptor),
dan pengikat sitokin, memungkinkan para peneliti membuat

'alat' untuk memblok target tertentu (Shanahan,2005).

TARGET TERAPI AGEN BIOLOGIK


Target terapi agen biologik tidak hanya sitokin, tetapijuga

berbagai komponen lainnya yang berperan dalam


patogenesis penyakit reumatik. Saat ini anti sitokin masih
menjadi agen biologik yang paling banyak diteliti dan
dikembangkan, sefta telah diaplikasikan secara klinis. Agen
biologik lainnya masih dalam penelitian, seperti agen
biologik yang bekerja pada sel-sel imun (limfosit T dan B),

2762

REI,JM/{IOLOGI

Mekanisme kerja
Anti-sitokin

Target terapi
TNF-o (elanercept,
infliximab,
adalimumabl
lL-1 (anakinra) dan
tL-18
tL-6

tL-17
lL-12, lL-15 dan lL-7
MMIF
VIP
PIF
Sign

Anti limfosit T

a Ii

ng ntraseluler
i

CD4, CD5bdan CD7


Reseptor lL-2
CD28 , 87 -1 , 87 -2 dan
CTLA4
CD40 dan ligan CD40
CD'1'la/CD18

Anti limfosit B

CD20 (rituxinab)

Anti kemokin yang


berperan pada
interaksi sel dengan
sel atau sel dengan
matriks ekstraseluler
Mengaktifkan
apoptosis

tL-8

CCRl
RANTES
lntegrin
CD44
Reseptor Fas
Reseptor TRAIL
Metalloproteinase

I\,4enghambat

kerusakan jaringan
ak bat inflamasi

Oksida nitrit
Spesies oksigen
reaktif

Menghambat
komplemen
C3 convertase

Menghambat
reseptor Fc
Menghambat
osleoklas
MMIF,macrophage

FcyRlll
FcyRl
RANKL

Uji klinis

Extracellular
domain of
human P 75
TNF Rll receptor

AR, spondilitis
ankilosa, artritis
psoriatik, vaskulitis
AR (binatang coba)
AR (binatang coba)
Lupus (brnatang
coba)
AR (ex vivo model)
AR (binatang coba)
AR (binatang coba)
Sinovitis (binatang
coba)
Sinovitis (binatang
coba)
Artritis (binatang
coba)
AR
AR (binatang coba)
AR, LES (binatang
coba), Psoriasis

Fc region of
human lgG

Gambar 1. Struktur molekular etanercept (Dikutip dari Shanahan


and St Clair,2002)

LES

AR, LES (binatang


coba), Psoriasis
AR, LES, ITP,
vaskultis, limfoma
AR, artritrs psoriatik
Sel-sel sinovium
Sinovitis (binatang
coba)
AR (binatang coba)
AR
AR (binatang coba)
LES (binatang coba)
AR dan OA (binatang
coba)
Artr tis (binatang
coba)
AR (binatang coba)
Lupus like disease
(binatang coba)
Artritis dan sindroma
antifosfolipid
(binatang coba)
LES (binatang coba)
AR (binatang coba)
AR (binatang coba)

migration inhibitory factor , VlP,vasoactive intestinal peptide

(nama dagang : Remicade), merupakan anti-TNF MoAbs


gabungan (ch im er i c) manusia/tikus. Infl iksimab tersusun
oleh region konstan dari IgG16 dengan region Fv murine

anti-human TNF-x antibody (Gambar 2). Antibodi


tersebut mempunyai afinitas tinggi terhadap TNF-u
manusia alami maupun rekombinan, dan dapat menetralisir
sitotoksisitas TNF in vitro.Wakfi paruhnya 8,0-9,5 hari,

diberikan secara intravena dengan interval 8 minggu


setelah pemberian 3 dosis aw al

( Io

ad i n g dose) (E1liott,

19

93 ).

MNTEs,regulated upon activation normal T cell expressed and secreted


TRAIL,INF-reiated apoptosis-inducing ilgand ; RANKL,receptor activator of
,

nuclear faclor KB /lgand ; AR,artritis reumatoid ; LES,lupus eritematosus sistemik;


fi P,id iopath ic trombhocytopenic pu tpu ra

Fc region
human lgG

komponennya berasal dari protein manusia, tapi hubungan

attara kedua region tersebut menunjukkan urutan


asam-amino yang tidak alami sehingga berpotensi memicu
respons antibodi (Haque and Bathon,2005). Etanercept
(nama dagang : Enbrel) adalah sTNFR rekombinan yang
telah mendap at ljin Food and Drug Administration (FDA)
untuk dipakai dalam klinis. Etanercept adalahkonstruksi
dimer dari dua sTNF-RII berikatan dengan bagian Fc IgGl
manusia (Gambar 1), mempunyai afinitas yang lebih kuat
terhadap TNF-o (50- 1000 kali) dan masa paruh lebih lama.
Pada AR, waktu paruh dalam serurq sekitar 102 jam,
diberikan secara subkutan (Mohler, I 993).

Antibodi monoklonal terhadap TNF (Anti-TNF


MoAbs) yang telah dipakai secara klinis adalah infliksimab

Gambar 2. Struktur molekular infliximab. (Dikutip dari Shanahan


and St.Clair,2002)

Adalimumab (nama dagang: Humira) juga merupakan

antibodi terhadap TNF-c,, berbeda dengan infliksimab


karena seluruh komponennya berasal dari manusia.
Adalimumab juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap

TNF-o dengan masa paruh yang sama dengan IgGl


manusia yaitu sekitar 2 minggu, diberikan dengan injeksi
subkutan (van de Putte,l998).

Inhibisi TACE dapat menghambat pembentukan


TNF-o terlarut dan reseptor TNF-o terlarut, juga menjadi

2763

AGEN BIOLOGIK DALAM TERAPI PEITYAKIT REUMATOI.OGI

hanya memerhtkan lo/o-2o/o okupansi IL- 1 RI (Arend, 1 993),


sedangkan IL-IRII tidak dapat menimbulkan signal dan

strategi untuk melawan TNF yang masih dalam penelitian


(Haque and Bathon,2005).
Efek samping yang paling sering dilaporkan pada terapi
antagonis TNF adalah reaksi pada tempat injeksi dan
tempat infus seperti eritema dan indurasi, yang biasanya

tampaknya berperan sebagai decoy receplor untuk


(Collota, 1 993). Bentuk reseptor terlarut dari IL- 1RI dan
secara alami, mungkin berperan
sebagai antagonis endogen terhadap IL-1p (Symons,199 1).
Upaya memblok IL-l dilakukan dengan cara rekayasa

IL-

IL-lRII juga diproduksi

bersifat ringan. Efek samping yang paling mendapat

perhatian adalah peningkatan risiko infeksi dan


keganasan. Infeksi oportunistik seperti tuberkulosis,
histoplasmosis, aspergilosis, koksidioidomikosis,
listerosis, pneumonia Pneumocystis carinii, infeksi
kriptokokkus, kandidiasis, infeksi cytomegalovirus dar.
atipikal mikobakteria telah dilaporkan. Pengaruh anti sitokin
terhadap timbulnya keganasan masih belum diketahui
dengan jelas. Efeknya pada perburukan fungsi jantung
pada pasien penyakit jantung kongestif dan timbulnya
penyakit demielinisasi otoimun pada sistem saraf pusat
juga menjadi perhatian para ahli. Masalah lainnya adalah,
terbentuknya antibodi terhadap ketiga jenis antagonis TNF
tela\ dilaporkan, yang mungkin dapat mempengaruhi
efektifitasnya (Haque and Bathon,2005).

genetika untuk menciptakan bentuk rekombinan dari


IL-1Ra danreseptor IL-1 terlarut. Anakinra (tama dagang:
Kineret) adalah rekombinan IL-Ra manusia (rIL- l Ra) yang
telah dipakai pada terapi pasien AR dewasa. Anakinra
berikatan dengan IL-lRI dengan afinitas yang ekuir,alen
dengan lL- I p, sehingga mampu mencegah lL- 1 B berikatan
dengan IL-lRI pada sel. Waktu paruhnya singkat sekitar
4-6 jam, sehingga harus diberikan tiap hari melalui injeksi

subkutan. Data in

vitro metutjukkan bahwa IL-lRa

diperlukan 10 sampai 100 kali lebih banyak terhadap lL- i


untuk dapat menghambat 50% akitivitas biologis IL-1
(Arend,1990). Sehingga diperlukan sangat banyak IL- lRa
terhadap IL- I untuk dapat memblok inflamasi akibat IL- 1 ,
karena aktivasi sel hanya rnemerlukan l%-2% okupasi dari

IL-1RI. Hal tersebut mungkin menjelaskan efektifitas


anakinra yang relatif lebih lemah (Haque and
Agen biologik
Etanercept
(monoterapi atau
kombinasi dengan
MTX)

lnfliximab

Dewasa : 25 mg
injeksi subkutan, dua
kali seminggu
Anak-anak : 0,4
mg/kg (maksimal 25
mg) injeksi subkutan,
dua kali seminggu
3 mg/kg intravena
pada minggu 0,2 dan
6 selanjutnya tiap 8
minggu (dosis dapat

AR aktif sedangberat (dewasa


dan anak-anak),
artritis psoriatik.
spondilitis
ankilosa
AR aktif sedangberat (dewasa),
spondilitis
ankilosa

(kombinasi
dengan MTX)

Bathon,2005). Snategi lain untuk memblok IL- I masih dalam


tahap penelitian, seperti menciptakan rekombinan sIL- lRI
(Drevlow,1996) dan antibodi monoklonal terhaciap IL-1u
dan IL-l p (van den Berg,1994).lL-l trap }uga masih dalam

Dosis dan cara


pemberian

lndikasi

penelitian klinis, terbentuk oleh 2 molekul identik berikatan


kovalen melalui ikatan disLrlfida. Tiap molekul memptrnyai

2 sekuen reseptor ekstraselular dengan afinitas kuat


terhadap lL- I digabungkan dengan porsi Fc IgG I mantrsirt.

In vitro, ahnitas lL-l trap lebih kuat dibandingkan dengan


sIL- I RII dan sIL- 1 Rl, dan mempunyli masrr parr-rh saurptri
67 jam (Economides.2003 ).

dinaikkan sampai 10
Adalimumab
(monoterapi atau
kombinasi dengan
MTX)
Anakinra
(monoterapi atau
kombinasi dengan
MTX)

mg/kg)
40 mg injeksi
subkutan, tiap 2
mrnggu

AR aktif sedangberat (dewasa)

Antogonis

ptrcla berbagai
Bathon.2005).

100 mg/hari injeksi


bkutan

AR aktif sedangberat (dewasa)

IL-l

tidrrk mcningkatkan risiko inteksi

maupun keganasan. Belttm pernah clilaporkarr ltiatlra


int'eksi tubcrkr-rlosi s marlp rln int-e ks i tr portuni s tik I ir innl a

su

t4i klinis antltgonis lL-l lHlque lncl

AR,artritis reumatoid : MTX, metotreksat

ANTI-CD2O

ANTAGONIS INTERLEU KIN

('I)It) rJ.rtrrtr p jr.]rrri,r p;nnlik,rrttt scl 1,','/i.rrrr-lirL'L'tttLlIkcr)


\ rtlg I.r!llfrlt l'J.irr:cl lirlrtitsir tl rttLt.l'l sltrtlplli \ Illlg lllattll"

-1

-l rrri'liprrti l() prr,.ltrk t.tl \.ttt{ L'itk:tLt.ltt


.r:rI. tilu.rl:rrlr:r lt tti. ll -1fi. lt LR.t.l.rrr ll -1S II'Lt'L J.trt
tl lfi,rJ.rl.rtr :tgattts tittt.t,lir| r.i.pI\)t II -L 1ll LR), \'rltS
\trsrrrta:ls scL.,r.l.tr rtr.,lcktt[ ['r.'kutiol (1.r.) Il - Itr. J'ttt
prr, II lfl) It It. ttt.tttrt r.ttt{ Jt.ikti:L[.'ttt ttlitttLttt'trlk.ttl
Srrpirtitrrrli I[

cti'L pL,'Lrrt'l.trtt.t:i
1\'sapt\rt II

,1.tt L

ll L il

I r.lrr-l Illarllftlll\.tt

tl -lii licrrpt,rr Il I .rJrr I


(ll I [i.[) Jrrn rrpc It t ll - t lill)

ti.r .l.i.rl.itr Jlltr!aliti

.tt'ttttl.ts

\.1111.I \1a11l.lIl

r.titLt tcscpt,,r II

-l titri
ll - I

Iicsp,rtti lrirrlrrqis olclt

t'ir.rrrJ.r tir sc',.Lrt ti.1.i[. .lirirlLrk.ttt p'tdx scl .rr.'rll. sel pre-B
r.L .lcrl.irLriL .l:ltt :cl lrl'tsrtl't Pctitrt scl lillitbsit B
p.r.1.r p,rrot'iiLo1orL \li 1..'LLrrn dikctrlhui dcngrrn pilsti.
[r.'lr.' .1p.1 ttlik.ttt t : t t1.' r,rnS LLipr'r kir'.rklr rr lthla h berpetan
J.r 1.rrrr pi' rtttr irtt uk.ttt rttrr o rt rtt ilrotl i t'lr kto r reurnatoid.
Ir.':arlt,rsi .tttti-!irt rtlilrrlLli irit.'L-.lksi llttr'lstttlg sel-sel, dan
r11r.rr1.l.

[]r..hrkii sirokin
Ii.

rrks rrurrt. .iri.t

]:t't. II -(, Lirrn ll-- l()) 1Panaf i.2005).


rtlt tttrrtttrklorlrt I ll tltibtrcli IgG I 6 anti-

r rurg l.cr.tsrtl .lrtti t',trtttitsirt. Agen biologik ini


cnng Iirrttirsit I3 nrr'liprrti Iirlilbsir B iuratur. matru dan

t'l)lt)
11r.n\

2764

REIJMIIfl)I.oGI

sel B memori yang mengekspresikan antigen permukaan

CD20,sehingga jumlah limfosit B berkurang. Rituksimab


tidak menyerang sel plasma sehingga kadar imunoglobulin

pada pasien yang mendapat terapi rituksimab tidak


berubah. Ablasi limfosit B terjadi melalui kombinasi
sitotoksisitas yang diperantarai antibodi dan sitotoksisitas

yang diperantarai komplemen, juga melalui aktivasi


apoptosis akibat terjadinya cross-linking FcP. (Reff et

menunjukkan peningkatan jumlah sel limfosit B kembali


diserlai peningkatan titer faktor reumatoid (242 Shanahan).

Terapi rituksimab pada pasien AR aktif yang telah


mendapat

MTX tapi memberikan respons tidak adekuat

menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna dan


berlangsung lama. Kombinasi dengan MTX memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan dengan siklofosfamid
@anayi,2005).

al,l994) (Shan et a1,2000).

Spondilitis Ankilosa
TERAPI AGEN BIOLOGIK PADA PENYAKIT REUMATIK

Artritis Reumatoid
Efektivitas antagonis TNF pada AR yang refrakter telah

banyak dilaporkan melalui

uji klinis, baik sebagai

monoterapi ataupun kombinasi dengan metotreksat (MTX).


Etanercept adalah satu-satunya antagonis TNF yang
dipakai sebagai monoterapi pada AR dini, sedangkan
penelitian tentang infl iksimab dan adalimumab dikombinasi
dengan MTX padaAR dini sedang berlangsung. Uji klinis

mengenai perbandingan efektifitas dan keamanan


antagonis TNF terhadap dis

e-modifying antirheumatic
drug (DMARD) non-biologik telah dilakukan pada
etanercept (90). Antagonis TNF sebagai monoterapi pada
AR dibandingkan plasebo menunjukkan respons klinis
(kriteria respons American College of Rheumatology,ACR)
eas

lebih baik dalam waktu yang singkat (beberapa hari sampai

minggu). Penghentian terapi menyebabkan penyakit


menjadi aktif kembali, menunjukkan inhibisi TNF sangat
efektif menekan proses inflamasi tapi tidak bersifat kuratif.
Antagonis TNF dikombinasi dengan metotreksat (MTX)

juga menunjukkan respons klinis yang lebih baik


dibandingkan dengan MTX saja. Selain menekan
inflamasi, antagonis TNF juga terbukti menghambat
kerusakan sendi setara dengan MTX. Pasien AR yang
telah mendapat MTX tapi tetap mengalami kerusakan
sendi, penambahan antagonis TNF mampu menekan
progresifisitas kerusakan sendi tersebut secara bermakna.
Ketiga jenis antagonis TNF telah dibuktikan kemampuan
dalam menekan inflamasi dan menghambat kerusakan sendi

padaAR (Haque and Bathon, 2005).

Antagonis

IL-l

(anakinra) pada AR menunjukkan

respons yang lebih lemah dibandingkan dengan antagonis

Antagonis TNF juga digunakan untuk terapi spondilitis


ankilosa (SA), berdasarkan fakta bahwa TNF-cr banyak
diekspresikan pada sendi sakro-iliaka pasien SA. Infliksimab
dan etanercepr dilaporkan memberikan perbaikan klinis dan
gambaran radiologis yang bermakna pada pasien SA. Pasien
SA yang mendapat etanercept selama 3 bulan menunjukkan

respons klinis dan perbaikan mobilitas spinal yang lebih


baik dibandingkan dengan plasebo. Terapi infliksimab selama
12 minggu pada pasien SA juga menunjukkan perbaikan

klinis yang bermakna dibandingkan dengan plasebo


(Gorman,2002), di samping juga memperbaiki status
fi.mgsional dan kualitas hidupnya (Braun,2003). Pemeriksaan
magnetic resonance imaging (MRI) pada tulang belakang
juga menunjukkan perbaikan pada pasien SA yang mendapat
terapi infl iksimab @raun,2002).

Lupus Eritematosus Sistemik


Anti CD20 (rituksimab) digunakan untuk terapi

lupus
eritematosus sistemik (LES), tapi belum ada laporan resmi
tentang hasil dan efeknya pada pasien denganjumlah yang
cukup banyak. Pada beberapa kasus LES aktifdan refrakter,

terapi rituksimab 500 mg dua kali dalam 2 minggu


dikombinasi dengan siklofosfamid dan steroid dosis tinggi
menunjukkan perbaikan pada kadar C3, laju endap darah,
hemoglobin dan skor British Isles Assessment Group
(BILAG). Kondisi tersebut bertahan beberapa bulan
(Leandro,2002). Monoterapi rituksimab dicoba pada 16
orang pasien LES aktif non-organ-threatening, tapi tidak
memberikan efek pada dosis rendah dan dosis sedang.
Hanya 10 orang pasien mencapai pengurangan jumlah sel
B yang diharapkan menunjukkan perbaikan nilai skor
Systemic Loupes Activity Measure (SLAM), hanya 1 pasien
menunjukkan penurunan kadar anti-dsDNA (Arolik,2002).

TNF dalam hal menekan gejala klinis maupun


progresifisitas kerusakan sendi. Hal tersebut mungkin
dipengaruhi oleh waktu paruhnya yang singkat (Haque

Penyakit Reumatik Lainnya


Agen biologik juga dicoba pada beberapa penyakit

and B athon,2 00 5). E t an e rc ep t pada AR juvenil aktif yang

reumatik lainnya seperti artritis psoriatik dan vaskulitis.

tidak memberikan respons terhadap MTX dan obat anti


inflamasi menunjukkan perbaikan klinis dibandingkan

Sebuah penelitian pada 60 pasien arhitis psoriatik diberikan


terapi etanercept 25 mg subkutan dua kali seminggu selama

dengan plasebo (Criscione et a1,2002).

3 bulan atau mendapat plasebo, menunjukkan respons


klinis dan kesembuhan lesi psoriasis yang lebih baik pada
kelompok yang mendapat etanercept (Mease,2000).
E t aner c ep t menunj ukkan d i s e a s e - m o dify ing effe c t y ang

Rituksimab dengan berbagai kombinasi dengan


siklofosfamid dan glukokortikoid menunjukkan induksi
perbaikan aktivitas penyakit dan bertahan lama pada
pasien AR yang refrakter. Beberapa pasien yang rekuren

dapat menghambat kerusakan sendi (Ory2002). Etanercept

2765

AGEN BIOLOGIK DALAM TERAPI PET.TYAKIT REUMAIOI.OGI

decoy target for IL-1 that is regulated by

juga dilaporkan memberikan respons klinis yang baik pada


beberapa kasus granulomatosis Wagener (Stone,200 I ) dan
penyakit Behcet (Sfikakis,2002).

RINGKASAN

Agen biologik adalah molekul yang dibuat dengan


teknologi rekombinan DNA, yang dapat berupa antibodi
monoklonal, reseptor terlarut atau pengikat sitokin. Agen
biologik mempunyai target kerja pada komponen tertentu
dalam patogenesis inflamasi dan penyakit. Target kerja
agen biologik dapat pada sitokin, sel limfosit T dan B,
komplemen, serta proses inflamasi atau apoptosis. Agen
biologik yang telah banyak diteliti dan dikembangkan
adalah anti-TNFu (etanercept, infliksimab dan

adalimumab),

anti-Il-1 (anakinra) dan anti-CD20

modifying anti-rheumatic drug konvensional tidak


memberikan respons klinis yang memuaskaan. Anti-TNFo,
dan anti-Il-l telah digunakan untuk terapi AR aktif yang
refrakter terhadap dis eas e modifying anti-rheumatic drug
konvensional. Agen biologik sebagai monoterapi maupun
kombinasi pada terapi AR menunjukkan respons klinis
yang baik dan mampu menghambat kerusakan sendi.

Etanercept juga diindikasikan untuk terapi AR juvenil,

spondilitis ankilosa dan artritis psoriatik, sedangkan


rituksimab masih dalam tahap penelitianuntukpasien LES.
Efek samping terapi agen biologik adalah peningkatan risiko
infeksi oporhrnistik termasuk tuberkulosis.

REFERENSI
Anolik J, Campbell D, Felgar R, et al. B lymphocyte depletion in
the treatment of systemic lupus erythematosus: a phase I/II
trial of rituximab in SLE Arthritis Rheum 2002;46(supp1 9):289.
Arend WP. Interleukins and arthritis-IL- 1 antagonism in
inflammatory arthritis. Lancet 1993;341:155-6.
Arend WP, Welgus HG, Thompson RC, et a1. Biological properties
I

receptor antagonist. J Clin Invest 1990;85:1694-'7.


Braun J, Brandt J, Listing J, et al. Treatment of active ankylosing
spondylitis with infliximab: a randomised controlied multicentre
fiial. Lancet 2002'359:1187 -93.
Braun J, Baraliakos X, Golder W, et al. Magnetic resonance imaging
examination of the spine in patients with ankylosing spondylitis,

before and after successful therapy with infliximabevaluation of a new scoring system. Arhritis Rheum
2003;48:1126-36.
Bazzoni F, Beutler B. The tumor necrosis factor ligand and receptor
families. N Engl J Med 1996;334:1117-25.
Criscione LG St.Clair EW. Tumor necrosis factor-cx, antagonist for the
treatment of rheumatic diseases. Curr Opin Rheumatol
2002;14:204-1,1.

Colotta F, Re F, Muzio M, et al. Interleukin-l type

II

receptor:

Science

Drevlow BE, Lovis R, Haag MA, et al. Recombinant human


interleukin-1 receptor type I in the treatment ofpatients with
active rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1996;39:257-65.
Elliott MJ, Maini RN, Feldmann M, et a1. Treatment of rheumatoid
arthritis with chimeric monoclonal antibodies to tumor
necrosis factor alpha. Arlhritis Rheum 1993;36:1681-90.
Economides AN, Carpenter LR, Rudge JS, et al. Cytokine traps:
multi-component, high-affinity blocker of cytokine action. Nat
Med 2003;9:47 -52.
Gorman JD, Sack KE, Davis JC. Treatment of ankylosing spondylitis

by inhibition of tumor necrosis factor alpha. N Engl J Med


2002;346:1349-56.
U and Bathon JM. Cytokine inhibitors: tumor necrosis factor

Haque

and interleukin-1. In : Koopman WJ, Moreland LW (eds).


Arthritis and allied conditions. A textbook of rheumatology,l5Lh
ed, vol.1. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2005

:839-53.

G et al. An open study of B


lymphocyte depletion in systemic lupus erythematosus.
Arthritis Rheum 2002;46:267 3-77.
Mease PJ, Goffe BS, Metz J, et a1. Etanercept in the treatment of
psoriatic arthritis and psoriasis: a randomised trial. Lancet

Leandro MJ, Edwards JC, Cambridge

(rituksimab). Indikasi terapi agen biologik pada penyakit


reumatik adalah apabila terapi anti-inflamasi dan disease

of recombinant human monocyte-derived interleukin

IL-4

1993;261:472-5.

2000;356:385-90.
Mohler KM, Torrance DS, Smith CA, et al. Soluble tumor necrosis
factor (TNF) receptors are effective therapeutic agents in
lethal endotoxinemia and function simultaneously as both TNF
carriers and TNF antagonists. J Immunol 1993;151:1548-61.
Ory P, Sharp JT, Salonen D, et a1. Etanercept (Enbrel) inhibits
radiographic progression in patients with psoriatic arthritis.
Arthritis Rheum 2002;46(suppl 9): 196.
Reff ME, Camer K, Chambers KS, et al. Depletion of B ce11s ir vryo
by a chimeric mouse human monoclonal antibody to CD20.
Blood 1994;83:435-45.
Shanahan J, Moreland LW. Investigational biologic therapies for
the treatment of rheumatic diseases. In : Koopman WJ,
Moreland LW (eds) Arthritis and allied conditions. A textbook

of rheumatology,l5'h ed, vo1.1. Philadelphia : Lippincott


Williams & Wilkins, 2005 :859-76.
Shanahan JC and St.Clair EW. Short analytical review. Tumor
necrosis factor-g blockade: a novel therapy for rheumatic
disease. Clinical Immunolo gy 2002;103:23 I -42.
Shan D, Ledbetter JA, Press OW. Signaling events involved in
anti-CD20-induced apoptosis of malignant B cells- Cancer
Immunol Immunot her 2000;48:673-83.
Sfikakis PP. Behcet disease: a new target for anti-tumor necrosis
factor treatment. Ann Rheum Dis 2002;61(suppl 2):52-3.
Stone JH, Uhllelder ML, Hellmann DB, et al. Etanercept combined
with conventional treatment in Wegener's granulomatosis: a
six-month open-label trial to evaluate safety. Arthritis Rheum
2001;44:1149-54.
Symons JA, Eastgate JA, Duff GW. Purification and characterization of a novel soluble receptor for interleukin l. J Exp Med
l99l;17 4:1251-4.
Panayi GS. B cell-directed therapy in rheumatoid arthritis-clinical
experience. J Rheum 2005;32 (suppl 73):19-24.
van de Putte LBA, van Riel PLCM, den Broeder A, et al. A single
dose placebo controlled phase I study of the fully human
anti-TNF antibody D2E7 irt patients with rheumatoid arthritis.
Arthritis Rheum 1998;41 (suppl):57.
vandenBerg WB, Joosten LAB, Helsen M, et al. Amelioration of
established murine collagen-induced arthritis with anti-Il--l treatmeil. Clin Exp Immunol 1994;95:237'43-

Anda mungkin juga menyukai