Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh:
Ululazmi Husna R
12/331035/GE/07345
BAB I
PENDAHULUAN
(Ritohardoyo, 2013). Salah satu dari ancaman bahaya dan perubahan lingkungan
tersebut adalah bencana.
Bencana sering diartikan sebagai suatu kejadian yang mengakibatkan
kerusakan maupun kerugian. Mutaali (2014) menjelaskan apabila bencana dapat
dikelompokkan menjadi 3 jenis meliputi: bencana alam, bencana nonalam dan
bencana sosial. Kondisi morfologi Indonesia yang sangat bervariasi menyebabkan
Indonesia tidak terlepas dari ancaman bencana khusunya bencana alam. Bencana
alam terbesar yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah bencana erupsi
gunungapi Merapi yang terjadi pada tahun 2010. Kepala Balai Penyelidikan dan
Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta menyatakan
apabila berdasarkan indeks letusan, maka letusan pada tahun 2010 lebih besar
dibanding letusan gunungapi Merapi yang pernah tercatat dalam sejarah, yaitu
pada tahun 1872 (kompas.com, 9/11/2010).
Hasil publikasi rekapitulasi kerugian akibat erupsi gunungapi merapi oleh
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menunjukan kerugian terbesar
dialami oleh Kabupaten Sleman dengan korban jiwa meninggal mencapai 277
orang. Kerugian materiil khusunya rumah rusak berat mencapai 2.346 rumah yang
tersebar di sekitar lereng gunungapi merapi serta ratusan sarana dan prasaran yang
rusak dan tidak dapat digunakan lagi ( BNPB,2011). Banyaknya korban jiwa dan
kerugian materiil yang dirasakan masyarakat pasca erupsi Merapi di tahun 2010,
menyebabkan perlu adanya kegiatan manajemen bencana. Manajemen bencana
memiliki fokus utama sebagai suatu langkah konkrit dalam mengendalikan
bencana sehingga korban yang tidak diharapkan dapat terselamatkan dan upaya
untuk pemulihan pasca bencana dapat dilakukan dengan cepat (Mutaali, 2014).
Salah tahapan yang dilakukan dalam manajemen bencana adalah fase pemulihan
pasca bencana melalui kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi sarana-prasarana
pasca bencana.
Kegiatan rekonstruksi dan rehabilitas yang dilakukan pasca erupsi
gunungapi
Merapi
adalah
REKOMPAK
(Rehabilitasi
dan
Rekontruksi
Lokasi
muncul
ketersediaan
pihak
pengelola
dan
pemerintah
dalam
melakukan
10
Tabel 1.1. Data Korban Erupsi Gunungapi Merapi di provinsi DIY dan Jawa
Tengah
11
dan
keputusan-keputusan
administratif
dan
aktivitas-aktivitas
12
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkahlangkah nyata yang terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk
membangun kembali secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem
kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran
utama tumbuh berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat
sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di wilayah pasca bencana (PP
No 21 Tahun 2008).
Berdasarkan pada kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan apabila
rehabilitasi
merupakan
suatu
tindakan
dalam
bentuk
kegiatan
untuk
13
pemulihan keamanan dan ketertiban; (i) pemulihan fungsi pemerintahan; dan (j)
pemulihan fungsi pelayanan publik.
Prinsip rehabiltasi yang dikemukakan oleh Clinton (2006) saat ini telah
diadopsi dalam pelaksanaan rehabilitasi pasca bencana erupsi Merapi di
Yogyakarta. Berlandaskan pada pedoman build back better terbentuk suatu
program rehabilitasi dan rekonstruksi dengan nama REKOMPAK (Rehabilitasi
dan Rekontruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas). Program ini
dibuat untuk mewujudkan penataan pemukiman yang lebih baik sebagai
implementasi aksi penanggulangan bencana erupsi Merapi yang disusun oleh
BNPB dan Bappenas (PU,2012).
Tujuan awal dari program REKOMPAK adalah untuk menyediakan
rumah baru di luar area risiko bahaya, di lokasi yang didapatkan dan diakuisisi
oleh warga sendiri (Maly dan Nareswari, 2015). Penentuan lokasi yang berada di
luar area risiko bencana didasarkan pada zonasi kawasan rawan bencana yang
dibuat oleh Kementerian ESDM bagian BPPTK seperti yang terdapat pada
gambar 1. 1.
Gambar. 1. 1. Peta Kawasan Rawan Bencana G. Merapi Tahun
2010
14
kawasan
15
16
Rumah Tetangga
Pengungsian
Rumah keluaraga
17
18
komunikasi, sistem manajemen kepemilikan, drainase dan air kotor, dan tata letak
fisik.
Kajian mengenai hunian tetap (huntap) di sekitar lereng gunungapi
merapi dalam kerangka berpikir Geografi Permukiman. Menurut Yunus (2007),
kajian mengenai huntap termasuk dalam kajian permukiman skala meso, dimana
permukiman perkotaan atau perdesaan merupakan suatu area. sehingga dalam
sistem pendekatannya menggunakan pendekatan regional spatial. Permukiman
dalam skala meso menurut Yunus (2007) dapat dianalisis melalui pendekatan
fisikal (phisical approach) dan pendekatan administratif (administratif approach).
Terdapat beberapa upaya dalam mengenali tipe perukiman kota skala meso
meliputi etnis, religi, tingkatan penghasilan, kepadatan bangunan,legalitas atau
status tanah dimana bangunan berada. Standar pembangunan rumah yang
dibakukan, kualitasfisik perumahan, keteraturan bangunannya, pendidikan
penghuni dan struktur permukimannya.
Secara Etimologis, pola permukiman berasal dari dua kata meliputi pola
dan permukiman. Ritohardoyo (2000) juga mengartikan permukiman sebagai
benda yang tersusun menurut sistem mengikuti kecenderungan bentuk tertentu.
Bahasan mengenai pola permukiman dapat ditinjau dari individul permukiman
dan kelompok permukiman. Beberapa faktor yang mempengaruhi pola
permukiman antara lain: kemiringan lahan, ketinggian tempat, kedalaman air
sumur, curah hujan, kepadatan penduduk, tekanan penduduk terhadap lahan
pertanian dan presentase luas lahan sawah dari seluruh luas lahan petanian. Selain
itu, penyakapan tanah prasarana transportasi dan komunikasi, lokasi mineral dan
industri, sistem pembagian waris, keamanan dan politik agama atau ideologi.
1.5.3. Infrastruktur Permukiman
19
1.5.3.1. Infrastrukutur
Komponen dasar
dalam
pembangunan
permukiman
adalah
20
kapling), SAH, peresapan air limbah, penempatan bak sampah, alat pemadam
kebakaran,
karena begitu luasnya definisi dari infrastruktur yang boleh dikatakan sama
dengan istilah pekerjaan umum (Kondoatie, 2003). Agar permukiman baru yang
terbentuk pasca bencana (huntap) berkualiatas tentunya perlu mepertimbangakan
keberlanjutan dari program rehabilitasi dan rekonstruksi yang telah dibuat
sedemikian rupa. Hal yang perlu diperhatikan agar keberlanjutan dari permukiman
ini adalah pengelolaan yang baik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan pengelolaan sebagai
proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain.
21
Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai tema infrastruktur dan permukiman memang
bukanlah tema baru yang dalam penelitian. Akan tetapi penelitian dengan judul
22
23
24
utama
adalah
orang-orang yang
mengetahui proses
25
26
Nama
Roshani
Palliyaguru
Dilanthi
Amaratunga
(2008)
dan
Hibatullah
Hindami N A,
Tazkia
Agung
Fuadi,
Dimas
Rahmatullah,
Muhammad
Kholif L W P
(2014)
Gardyas
Bidari
Adninda
(2014)
Judul
Tujuan
Metode
penyelidik
an
dan
eksplorasi
pengurang
mempenga
konstruksi
hubungan
bencana da
Kualitaitf
Beberapa
Permanen
Kependud
sesuai S
Lingkunga
Nasional: J
induktifkualitatif
terdapat
prasarana
warga ma
lagi tidak
ada di m
prasarana
mengguna
yang tidak
jauh men
prasarana,
dan kekece
Ululazmi Husna
Rahmawati
Pengelolaan
1. mengidentifikasi pola permukiman baru masyarakat Survei
infrastruktur
lereng Gunungapi Merapi pasca erupsi Tahun 2010 di
Permukiman
Pasca Kabupaten Sleman
Erupsi
2010
di 2.mengidentifikasi kondisi infrastruktur permukiman
Kabupaten Sleman
baru masyarakat lereng Gunungapi Merapi pasca
erupsi Tahun 2010 di Kabupaten Sleman
3.menganalisis pengelolaan infrastruktur permukiman
baru oleh masyarakat lereng Gunungapi Merapi pasca
erupsi Tahun 2010 di Kabupaten Sleman
Sumber : 1) Palliyaguru dan Amaratunga (2008); 2) Usamah and Haynes (2012); 3) Hindami. Tazkia. Dkk
(2014); 4) Adninda (2014) .
1.3.Kerangka Pemikiran
Bencana Erupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010 menyebabkan terjadi
kerusakan fisik terutama hunian. Kerusakan terparah dirasakan oleh masyarakat
yang berdomisili di di Kabupaten Sleman. Rusaknya berbagai bangunan
menyebabkan terjadi kehidupan masyarakat menjadi lumpuh. Agar dapat segera
27
madiri dan huntap komunal. Baik huntap mandiri maupun huntap komunal
memiliki bentuk fisik permukiman yang berbeda-beda,
Selain pola permukiman, kajian terhadap permukiman dilakukan dengan
mengidentifikasi mengenai ketersediaan dan kondisi infrastruktur yang telah
sesuai dengan peraturan. Berdasarkan pada Perbup Sleman No 18 Tahun 2005 dan
Perbup Sleman No 12 Tahun 2006 tentang siteplan infrastruktur yang harus
tersedia di setiap perumahan meliputi prasarana fisik, fasilitas lingkungan dan
fasilitas ruang, namun tidak semua aspek dalam peraturan ini digunakan.
Infrastruktur yang akan di amati meliputi jaringan jalan, saluran pembuangan air
hujan dan peresapan air hujan, peresapan air hujan, perletakan tengki septictank,
28
air limbah komunal, bak sampah, sumur air bersih, alat pemadam kebakaran,
lampu penerangan dan jaringan listrik, peribadatan, dan ruang terbuka.
Pola permukiman huntap dan kondisi infrastruktur kemudian dihubungkan
dengan pengelolaan infrastruktur yang ada di huntap. Pegelolaan dititikberatkan
pada masyarakat sebagai subjek, sehingga analisis mengenai pegelolaan
infrastruktur dapat diperhatikan melalui koordinasi dan keterlibatan masyarakat
dalam mengelola permukiman, sehingga nantinya akan diketahui adaha hubugan
antara pengelolaan infrastruktur permukiman huntap di Kabupaten Sleman
terhadap Pola permukiman huntap dan kondisi infrastruktur. Kerangka pemikiran
dirujuk pada gambar 1.5.
29
30
1.4.Pertanyaan Penelitian
2.
Merapi di
kabupaten Sleman?
Tujuan Kedua penelitiaan ini adalah Mengidentifikasi kondisi
infrastrukutur huntap di lereng Gunungapi Merapi pasca erupsi Tahun
2010 di Kabupaten Sleman ? untuk mejawab tujuan tersebut maka
3.
32
BAB II
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini adalah metode survei. Metode survei menurut
Nazir (1983, dalam Yunus, 2010) dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dari
gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual dari suatu kelompok
ataupun daerah, dan hal ini dapat dilakukan secara sensus ataupun menggunakan
sampel. Pengambilan data yang akan digunakan adalah metode sampling acak
berimbang (proporsional random sampling). Metode ini dipilih berdasarkan
keseragaman (homogenity) sifat atau karakter suatu kenampakan berupa
masyarakat yang direlokasi ke hunian tetap di Kabupaten Sleman. Sifat dari
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan mendasarkan pada data kualitatif
(Yunus, 2010), Langkah-langkah dalam metode penelitian ini, meliputi (1) lokasi
(2) Variabel dan data penelitian (3) cara pengumulan data (4) analisis data dan (5)
batasan operasional
2.1.
33
Terdapat
12
lokasi
hunian
tetap
yang
berada
di
Nama
Batur
Pagerjurang
Karangkendal
Plosokerep
Gondang 2
dan 3
Dongkelsari
Kuwang
Rndusari
Gading
Jetisumur
Banjarsari
Koripan
Desa
Kepuharjo
Kepuharjo
Umbulharjo
Umbulharjo
Wukirsari
Kecamatan
Cangkringaan
Cangkringaan
Cangkringaan
Cangkringaan
Cangkringaan
Wukirsari
Argomulyo
Argomulyo
Glagaharjo
Glagaharjo
Glagaharjo
Sindumartani
Cangkringaan
Cangkringaan
Cangkringaan
Cangkringaan
Cangkringaan
Cangkringaan
Ngemplak
Jumlah KK
204
301
81
84
124
147
138
109
62
81
178
38
2.2.
34
a)
Data Primer
b)
Data sekunder
35
bentuk
permukiman
yang
diamatai
melalui
Dinas
No
Tujuan
Konsep
Vriabel
Data
Sumber Data
mengidentifikasi
pola permukiman
Pola
adminstras
Data jumlah
Data Instansi
36
penduduk hunian
tetap.
Data hunian tetap
yang ada di
Kabupaten Sleman
baru masyarakat
lereng Gunungapi
Merapi pasca erupsi
Tahun 2010 di
Kabupaten Sleman
i
permuki
man
(Bappeda)
Data Instansi
(Bappeda,
Rekompak,
PU,BPBD)
Data instansi (PU,
Bappeda,
Rekompak)
atau kuisioner
Bentuk
permukima
n
Pengamatan
menggunakan
citra/foto udara
(data spatial)
Data spatial
Jaringan Jalan
Kuisisoner dan
pengamatan
langsung
mengidentifikasi
kondisi infrastruktur
permukiman baru
masyarakat lereng
Gunungapi Merapi
pasca erupsi Tahun
2010 di Kabupaten
Sleman
Kondisi
Infrastrukt
ur
permukima
n
bak sampah
sumur air bersih
alat pemadam
kebakaran
lampu penerangan
dan jaringan listrik
Menganalisis
pengelolaan
infrastruktur
permukiman baru
oleh masyarakat
lereng Gunungapi
Merapi pasca erupsi
pengelo
aan
Pengelolaa
n
permukima
n
Kuisisoner dan
pengamatan langsung
Kuisisoner dan
pengamatan langsung
Kuisisoner dan
pengamatan langsung
Kuisisoner dan
pengamatan langsung
Kuisisoner dan
pengamatan langsung
Kuisisoner dan
pengamatan langsung
Kuisisoner dan
pengamatan langsung
peribadatan
Kuisisoner dan
pengamatan langsung
ruang terbuka
Kuisisoner dan
pengamatan langsung
Karakteristik
responden
Sistem Koordinasi
Wawancara
wawancara
37
Tahun 2010 di
Kabupaten Sleman
Sistem partisipasi
Wawancara
Observasi
Observasi merupakan kegiatan pengamatan langsung pada suatu objek
permukiman
huntap.
Observasi
dapat
dilakukan
dengan
Wawancara
Pengambilan data primer dilakukan wawancara dibantu dengan alat bantu
38
diperoleh melalui studi literatur. Data yang digunakan dalam penelitian ini
bersumber dari BAPPEDA Kabupaten Sleman, BPS, BNPB, REKOMPAK,
Kantor Kecamatan, maupun Kantor Desa. Pengumpulan data sekunder juga
39
didapatkan dari jurnal, buku dan mengunduh data dari internetyang berasal dari
web-web pemerintah.
2
siteplan
tersebut
khususnya
berkenaan
dengan
infrastruktur
permukiman
40
Unit analisa yang kedua adalah unit rumah tangga masyarakat yang tinggal
di huntap. Responden yang digunakan adalah kepala keluarga yang tinggal di
huntap. Informasi yang didapat dari responden digunakan untuk mengetahui
infrastruktur yang tersedia dan pengelolaan infrastruktur yang tersedia. Melalui
hasil wawancara tersebut akan dicari tahu bagaimana keterlibatan dan koordinasi
yang selama ini dilakukan oleh masyarakat dalam mengelola infrastruktur
permukiman
2.5. Teknik Analisa Data
Analisis
data
dilakukan
secara
kualitatif.
Hasil
dari
dugunakan
karena
lokasi
huntap
yang
berada
pada
41
Data
pengelolaan
yang
didapatkan
infrastruktur
kemudian
permukiman
dikaitkan
oleh
dengan
masyarakat.
apakah
keduanya
mempengaruhi
pengelolaan
2.6.Batasan Operasional
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prngelolaan infrastruktur
permukiman pasca erupsi Merapi 2010 lereng Merapi Bagian Selatan. Setiap
Kajian pastilah memiliki beberapa batasan operasional dalam pelaksanaan dan
beberapa hal yang mempengaruhi keefektifitasan penelitian. beberapa batasan
operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
42
fisikal
(phisical
approach)
dan
pendekatan
administratif
43
44
Daftar Pustaka
Adninda. 2014. Kemenduaan Warga terhadap Sarana dan Prasarana Hunian Tetap
Pagerjurang, Kabupaten Sleman. Skripsi. Yogyakarta: S1 Perencanaan
Wilayah dan Kota. UGM
Affan.F.M. 2014. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Untuk Permukiman Dan
Industri Dengan Menggunakan Sistem Informasi
Geografis (Sig).
Bappenas. 2002.
45
IRP. 2009. Recovery Status Report 1 The Yogyakarta and Central Java
Earthquake 2009. International Recovery Platform
Kondoatie, Robert, J. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur.Semarang:
Pustaka Pelajar
Maly, E., dan Nareswari, A,. Housing Relocation after the 2010 Eruption of Mt.
Merapi, Indonesia Conference 2015: Reconstruction and Recovery in
Urban Contexts.
Mardiana,. 2004 Sistem manajemen/pemeliharaan gedung dan infrastruktur rumah
sakit : Studi kasus Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Tesis. tidak
diterbitkan. Yogyakarta: S2 Teknik Sipil (Magister Pengelolaan Sarana
Prasa UGM)
Maulana, Taufik Ilham. 2013. Penaggulangan Bencana Penanggulangan Bencana
Demam Berdarah Dengue Dengan Cara Reka Ulang Bak Air
Bangunan. Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 2 Tahun 2013
Hal. 47-57
Mutaali,
Lutfi.
2014.
Perencanaan
Pengembangan
Wilayah
Berbasis
46
Pustaka Perundang-undangan
Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara RI Tahun 2007. No
4723. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2008.
2010.
Erupsi
Merapi
2010
Lebih
Besar
dari
1872.
http://megapolitan.kompas.com/read/2010/11/09/15573541/erupsi.Me
rapi.2010.lebih.besar.dari.1872. (di akses pada 23 Maret 2015 oleh
Ululazmi Husna R)
48