Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Bagian Selatan
USULAN PENELITIAN
Sebagai syarat untuk persiapan menyusun Skripsi S-1 dalam
Program Studi Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
Disusun Oleh:
Ululazmi Husna R
12/331035/GE/07345
I.
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak gunung Api yang tersebar
di berbagai wilayah. Jumlah yang tercatat sampai saat ini diketahui terdapat 129
gunungapi aktif. Banyaknya jumlah Gunungapi di Indonesia menyebabkan
Indonesia tidak terlepas dari ancaman bencana erupsi gunungapi. Balai
Penyelidikan
dan
Pengembangan
Teknologi
Kegunungapian
(BPPTK)
menyebutkan salah satu gunungapi yang sampai saat ini masih aktif adalah
Gunung Merapi. Gunung Merapi secara geografis terletak pada 7 o 32 5" S dan
110o 265" E yang secara adminstratif berada di antara provinsi DIY dan propinsi
Jawa Tengah. Berdasarkan sejarah sejak tahun 1600-an, Gunung Merapi telah
meletus lebih dari 80 kali atau rata-rata meletus sekali dalam kurun waktu 4 tahun
dengan masa istirahat berkisar 1-18 Tahun.
Erupsi gunung Merapi terbesar terjadi pada tahun 2010. Seperti yang dilansir
pada kompas.com (2010) Kepala BPPTK menyatakan apabila letusan yang tejadi
pada 2010 merupakan letusan yang paling besar sepanjang sejarah sejak 1872.
Data dari BNPB tahun 2010 mencatat ada 341 korban meninggal yang tersebar di
Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten
Klaten dengan jumlah korban paling banyak berada di Kabupaten sleman yang
mencapai 243 jiwa. Erupsi Merapi yang terjadi tahun 2010 tidak hanya
mengakibatakan banyaknya korban jiwa, namun juga mengakibatkan kerugian
materiil. Kerugian materiil paling besar dialami oleh Kabupaten Sleman yang
meliputi rusaknya 2.346 rumah, 366 sekolah, 7 pasar, 10 puskesmas dan 5
puskesmas pembantu.
Hilangnya banyak jiwa dan kerugian materiil sekitar lereng Merapi
memberikan trauma tersendiri bagi masyarakat. Agar dapat mengembalikan
kehidupan masyarakat pasca erupsi Merapi Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang penanggulangan bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana menjelaskan perlu
adanya rehabilitasi masyarakat pascabencana. Rehabilitasi dilakukan agar dapat
memperbaiki dan memulihkan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat
sampai tingkat yang memadai sehingga dapat mengembalikan penghidupan
masyarakat pasca Erupsi Merapi. Konsep penghidupan sendiri oleh Ellis (2000,
dalam Baiquni, 2007) termasuk dalam gabungan dari aset, aktifitas dan akses yang
ketiganya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Konsep penghidupan ini yang
kemudian menjadikan rehabilitasi menjadi hal yang sangat penting dilakukan
pasca bencana.
Sesuai dengan Pedoman Nasional Pengkaji Risiko Bencana, Gunung Merapi
telah di bagi mejadi 3 kawasan berdasarkan indeks Ancaman yang disebabkan
erupsi Merapi. Kawasan Rawan Bencana (KRB) I termasuk dalam kelas Indeks
Rendah Ancaman. Kawasan Rawan Bencana (KRB) II termasuk dalam kelas
Indeks Sedang Ancaman dan Kawasan Rawan Bencana (KRB) III yang termasuk
dalam Kelas Indeks Tinggi. Pedoman ini masih tetap digunakan sampai saat ini
karena tidak ada zonasi maupun peta yang memiliki akurasi yang baik dalam
memetakan kawasan yang termasuk rawan dalam bencana (Lavigne,1999).
Berdasarkan zonasi yang dikeluarkan BNPB ini, kegiatan rehabilitasi diutamakan
bagi masyarakat yang berada di KRB III.
Kegiatan rehabilitasi pasca bencana salah satunya terkait hunian masyarakat.
Banyaknya kerusakan pada hunian masyarakat di sekitar lereng Merapi
meyebabkan penghidupan masyarakat pasca erupsi Merapi tahun 2010 menjadi
terhambat. ). Rehabilitasi dibidang permukiman ini dinilai sangat penting karena
menurut Budiharjo (1984) dalam Istiqomah (2013) dalam pembangunan
permukiman, tempat tinggal manusia merupakan komponen penting dalam
pembangunan manusia seutuhnya. Sehingga untuk dapat merehabilitasi dan
merekontruksi hunian masyarakat pasca merapi pembangunan permukiman
menjadi sesuatu yang urgent untuk diperhatikan.Oleh sebab itu, relokasi perlu
dilakukan khususnya bagi masyarakat di sekitar lereng Merapi yang termasuk
dalam KRB III dengan mewujudkan permukiman baru bagi masyarakat agar dapat
melanjutkan penghidupannya.
Pada dasarnya, relokasi tidak hanya bertujuan untuk memindahkan
permukiman
memberikan perubahan untuk kondisi yang lebih baik. Kondisi yang lebih baik
tersebut dapat berupa kondisi fisik permukiman, sosial dan ekonomi masyarakat
saja, tetapi juga terciptanya lingkungan permukiman baru yang berkelanjutan (De
Wet,2002). Agar dapat mencipatkan pemukiman yang baru, tentunya ada kriteriakriteria lokasi yang layak tinggal agar dapat mengembangkan kehidupuan
masyarakat menjadi lebih baik atau minimal sama dengan kondisi sebelumnya
RUMUSAN MASALAH
Hunian tetap di sekitar lereng Merapi merupakan produk dari program
pemerintah dalam rehabilitasi pasca bencana Merapi tahun 2010 yang di kenal
dengan nama REKOMPAK (Rehabilitasi dan Rekontruksi Masyarakat dan
Permukiman Berbasis Komunitas). Program rehabilitasi yang dilaksanakan
dilakukan untuk masyarakat yang mengalami kerugian khusunya asset yang
berupa tempat tinggal. Hunian ini diperuntukan bagi masyarakat yang berada di
KRB III yang dinilai mengalami kerugian materiil akibat erupsi Merapi. Kegiatan
rehabilitasi yang digarap oleh pemerintah ini dititkberatkan pada partisipasi
masyarakat untuk bersama menciptakan pemukiman baru yang berkelanjutan.
Pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat langsung dalam
pembangunan pemukiman tidak hanya dalam segi perencanaan saja, namun juga
dalam pembangunan, desain, dan
pada
latar
belakang
dan
uraian
tersebut
pokok
III.
TUJUAN PENELITIAN
3.1 Tujuan penlitian ini adalah:
1. mengidentifikasi pola persebaran permukiman masyarakat lereng Merapi
bagian selatan pasca erupsi Tahun 2010
2. mengidentifikasi kondisi infrastruktur permukiman baru masyarakat lereng
Merapi bagian selatan pasca erupsi Tahun 2010?
3. menganalisis pengelolaan infrastruktur permukiman baru oleh masyarakat
lereng Merapi bagian selatan pasca erupsi Tahun 2010?
3.2 Kegunaan Penelitian ini adalah
1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penelitian dalam (a)
menuangkan gagasan, ide dan pikiran dalam bentuk tulisan dan (b) melatih
dan mendorong untuk berpikir logis dan kritis, serta meningkatkan daya
serap informasi khususunya mengenai topik yang akan di teliti.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dalam hal (a) identifikasi pola persebaran permukiman
masyarakat pasca erupsi Merapi 2010 (b) identifikasi adaptasi masyarakat
dalam pegelolaan infrastruktur permukiman baru oleh masyarakat lereng
Merapi bagian selatan pasca erupsi Tahun 2010 dan (c) menjadi pedoman
bagi penelitian dimasa yang akan datang.
3. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat meberi masukan
kepada pihak pengelola dan pemerintah dalam melakukan reehabilitasi
pasca bencana dan menemukenali adaptasi masyarakat dalam pegelolaan
infrastruktur permukiman baru oleh masyarakat lereng Merapi bagian
selatan pasca erupsi Tahun 2010.
IV.
IV.1.
TINJAUAN PUSTAKA
penghidupan masyarakat
Penghidupan (livelihood) merupakan suatu kemampuan, aset (termasuk
sumberdaya material dan sosial), dan kegiatan yang diperlukan untuk menjalani
kehidupan (Chambers dan Conway, 1992, dalam Ritohardoyo, 2013). Definisi ini
finansial dan sosial kapital), aktivitas dan akses di dalamnya (diantara instiusi dan
hubungan sosial) yang secara bersama menentukan pencapaian kehidupan oleh
individu atau rumahtangga. Pengertian yang di kemukakan tersebut menjelaskan
apabila penghidupan merupakan gabungan dari tiga konsep yang terdiri atas aset,
aktifitas dan akses. Aset terkait dengan penguasaan atas sumberdaya, aset merupakan
suatu yang dimiliki oleh seseorang baik secara individu maupun rumah tangga. Aset
dapat dibedakan menjadi aset yang tampak seperti lahan, bangunan, alat, mesin dan
berbagai benda lainnya. sedangkan aset yang tak tampak dapat berupa pengetahuan,
kesehatan, ketrampilan, dan status sosial.
Departement for International Development atau DFID (1999) merumuskan
aset penghidupan (pentagon assets) meliputi modal (manusia, sosial, finansial, fisik,
dan alam) dan pengaruh serta akses yang dikuasai dan dimiliki tiap rumah tangga.
1. Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia atau human asset mencakup keterampilan, pengetahuan,
kemampuan untuk bekerja keras, serta kesehatan jasmani yang seluruhnya
memungkinkan untuk menerapkan berbagai macam strategi mata pencaharian
untuk mencapai sasaran kahidupannya. ,odal manusia merupakan jenis modal
yang paling terpengaruh oleh kebijakan program pemerintah dan investasi
sumberdaya manusia melalui pendidikan, pelatihan, dan pelayanan kesehatan.
2. Finansial (Keuangan)
Modal finansial merupakan sumberdaya keuangan yang digunakan untuk
mencapai tujuan penghidupan (DFID, 1999). Finansial juga berbicara
mengenai aliran atau peredaran uang yang dimiliki oleh seseorang atau
sekelompok orang. Finansial berkontribusi terhadap konsumsi serta produksi
sehingga mendorong setiap orang untuk memiliki strategi tersendiri dalam
pengelolaannya. Pada dasarnya, terdapat dua sumber utama modal keuangan
menurut DFID (1999):
Ketersediaan stok: umumnya berbentuk tabungan (uang tunai maupun
deposito bank), ternak, perhiasan.
Arus masuk uang secara reguler: umumnya berbentuk pensiunan, transfer
3.
Modal fisik terdiri dari infrastruktur dan produsen barang-barang dasar yang
dibutuhkan untuk mendukung dan menunjang penghidupan (DFID, 1999).
Infrastruktur terdiri dari perubahan lingkungan fisik yang membantuorang
untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka untuk menjadi lebih produktif.
Infrastruktur umumnya merupakan barang publik yang dapat digunakan tanpa
membayar secara langsung, namun tidak menutup kemungkinan juga adanya
pembayaran secara langsung seperti jalan tol dan pasokan energi. Menurut
DFID (1999), komponen-komponen infrastruktur yang bersifat penting demi
penghidupan
berkelanjutan
diantaranya
transportasi
yang
terjangkau,
bangunan yang baik dan aman, sanitasi, drainase, pasokan air yang memadai,
ketersediaan pasokan energi, komunikasi, dan lain-lain.
Selain infrastruktur, modal fisik juga dapat berupa barang atau alat dan
perlengkapan yang juga digunakan untuk membantu kegiatan menjadi lebih
produktif. Barang tersebut dapat dimiliki secara individu ataupun kelompok,
dimana umumnya bersifat canggih.
4. Sumberdaya Alam
Modal alam merupakan sumberdaya alam yang ada di sekitar masyarakat dan
berguna bagi kehidupan, misalnya tanah, pohon, air. Dalam kerangka
penghidupan yang berkelanjutan, hubungan antara modal alam dan konteks
kerentanan
sangat
dekat
karena
sumberdaya
alam
rentan
terhadap
2008
tentang
pedoman
Rehabilitasi
dan
rekontruksi
Pasca
Bencana
Prinsip rehabiltasi yang dikemukakan oleh clinton (2006) saat ini telah
diadopsi dalam pelaksanaan rehablitasi pasca bencana erupsi Merapi di
Yogyakarta.
kawasan
guna dan berhasil guna. Permukiman ini dapat berupa permukiman perkotaan
maupun permukiman perdesaan.
Menurut (Parwata, 2004 dalam Affan 2014) permukiman terdiri dari: (1) isi,
yaitu manusia sendiri maupun masyarakat; dan (2) wadah, yaitu fisik hunian yang
terdiri dari alam dan elemen-elemen buatan manusia. Dua elemen permukiman
tersebut, selanjutnya dapat dibagi ke dalam lima elemen yaitu: (1) alam yang
meliputi: topografi, geologi, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan iklim; (2)
manusia yang meliputi: kebutuhan biologi (ruang,udara, temperatur, dsb),
perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional, dan nilai moral; (3) masyarakat
yang
meliputi:
penduduk, kelompok
sosial,
daya beli, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, kelembagaan, dan
peran serta masyarakat. Siwono menjelaskan aspek kelengkapan sarana dan
prasarana dari suatu perumahan dan permukiman dapat mempengaruhi
perkembangan permukiman di suatu wilayah. Dengan adanya sarana dan
prasarana yang memadai dapat memudahkan penduduknya untuk beraktivitas
sehari-hari.
Menurut Grigg dalam Kondoatie, (2003) dalam Prasetyo dan firdaus (2009)
infrastruktur sebagai pendukung utama sistem sosial dan sistem ekonomi
dilaksanakan dalam konteks keterpaduan dan menyeluruh. Infrastruktur yang
merupakan fasilitas yang dikembangkan untuk fungsi-fungsi pemerintahan dalam
hal pelayanan publik tidak dapat berfungsi sendiri-sendiri dan terpisah.
Keterpaduan tersebut menentukan nilai optimasi pelayanan infrastruktur itu
sendiri. Berdasarkan jenisnya, infrastruktur dibagi dalam 13 kategori (Grigg,
1988) sebagai berikut :
1. Sistem penyediaan air : waduk, penampungan air, transmisi dan distribusi,
dan fasilitas pengolahan air (treatment plant),
2. Sistem pengelolaan air limbah : pengumpul, pengolahan, pembuangan,
3.
4.
5.
6.
lainnya,
7. Sistem transit publik,
8. Sistem kelistrikan : produksi dan distribusi,
9. Fasilitas gas alam,
10. Gedung publik : sekolah, rumah sakit, gedung pemerintahan, dll,
11. Fasilitas perumahan publik,
12. Taman kota: taman terbuka, plaza, dll, serta
13. Fasilitas komunikasi.
Pengertian Infrastruktur menurut Grigg (1988) merupakan sistem fisik yang
menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan gedung dan fasilitas
publik lainnya, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik
kebutuhan sosial maupun kebutuhan ekonomi Tiga belas jenis infrastruktur
tersebut kemudian dikelompokkan dalam 7 kelompok besar (Grigg dan Fontane,
2000) sebagai berikut:
1. Transportasi (jalan, jalan raya, jembatan),
2. Pelayanan transportasi (transit, bandara, pelabuhan),
3. Komunikasi,
4. Keairan (air, air buangan, sistem keairan, termasuk jalan air yaitu sungai,
saluran terbuka, pipa, dll),
5. Pengelolaan limbah (sistem pengelolaan limbah padat),
6. Bangunan, serta
7. Distribusi dan produksi energi. yang tersedia maka semakin banyak pula
orang yang berkeinginan bertempat tinggal di daerah tersebut.
Agar dapat menunjang keberadaan infrastruktur dalam permukiman maka
terdapat pedoman standar yang dibuat oleh menteri Permukiman dan Prasaran
Wilayah dalam pedoman penetuan standar pelayana
Nama
Judul
Tujuan Penelitian
Metode
Peneliti
Peneliti
(Tahun
an
Terbit)
Hibatullah
Hindami
A,
Kriteria
N Alih
Hasil Penelitian
Transformasi
Fungsi HUNTARA
HUNTARA di Desa
an
Agung
Hunian
Standar
Fuadi,
Permanen
Permanen
Dimas
Rahmatullah
Merapi
(3),
Desain
Sesuai
Hunian
fasilitas
Muhammad
Kholif L W
(2014)
Harry
Pembangunan
Priyanto
Putra (2012)
mengeksplorasi
metode
Penyelesaian
Huntara Pasca
proses
dedukti
pembangunan huntara
Bencana Merapi
perencanaan dan f
di
pelaksanaan
dengan
ACT
lebih
cepat
Kabupaten
pembangunan
pendek
dibandingkan
dengan
Sleman
huntara
1.
pasca atan
yang dikerjaan
Kabupaten f-
Sleman,
2. mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
Adapun
faktor-faktor
yang
eksplor
mempengaruhi proses
atif
perencanaan
huntara,
yaitu
sasaran
pembangunan huntara,
mempengaruhi
proses
perencananaan
dan pelaksanaan
pembangunan
huntara
pasca
bencana Merapi
di
oleh
Kabupaten
Sleman
pendataan, penentuan
lokasi,
partisipasi
publik,
dan
kesiapsiagaan.
Sementara,
faktor-
faktor
yang
mempengaruhi proses
pelaksanannya,
yaitu
partisipasi
dalam
pendanaan,
kondisi
site,
bahan
metode
pekerjaan
ketersediaan
baku,
dan
pelaksanaan
IV.5.
Kerangka Pemikiran
Erupsi Merapi 2010
Terganggunya penghidupan
masyarakat
Akses
Asset
Fisik permukiman
(Tempat tinggal )
Air bersih
Jalan pemukiman
Drainase
MCK
pembuangan limbah
pembuangan sampah
Pengelolaan infrastuktur
permukiman
Aktifitas
V.
METODE PENELITIAN
VI.
PUSTAKA
Affan.F.M. 2014. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Untuk Permukiman Dan
Industri Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Sig). Jurnal
Ilmiah Pendidikan Geografi. Vol. 2. Hlm 49-60.
Badan Pekerjaan Umum Indonesia, 2010.
Baiquni, M. 2007. Strategi Penghidupan di Masa Krisis. Yogyakarta: Ideas Media.
Bappenas. 2002. Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur dan Permukiman. Materi
Kuliah Disampaikan Pada Studium General Institut Teknologi Bandung
Clinton, William J.2006. Key Propositions for Building Back Better: Lessons Learned
from Tsunami Recovery,
De Wet, Chris. 2002. The Experience with Dams and Resettlement in Africa, World
Commission on Dams, Cape Town, South Africa.
Departement for International Development (DFID). 1999. Sustainable Livelihood
Guidance Sheet
Grigg, Neil S., Infrastructure Engineering and Management, John Wiley & Sons, 1988
Hindami. Tazkia. Dimas dan M. Kholif 2014. Kriteria Desain Alih Fungsi Huntara
Menjadi Hunian Permanen Korban Bencana Merapi Studi Kasus : Desa
Umbulharjo, Cangkringan, Yogyakarta. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014
35-40
Istiqomah dan Setyawati. 2013. Kualitas Lingkungan Permukiman Masyarakat
Hunian Tetap Korban Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010 Di Desa
Kepuharjo Dan Wukirsari Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman.
GEO EDUCASIA. Tahun II, Vol IV, Tahun 2013
Kompas.2010.
Erupsi
Merapi
2010
Lebih
Besar
dari
1872.http://megapolitan.kompas.com/read/2010/11/09/15573541/erupsi.me
rapi.2010.lebih.besar.dari.1872. (di akses pada 23 Maret 2015)
Lavigne, Franck. 1999. Lahar Hazard Micro-zoation and Risk Assessment in
Yogyakarta City, Indonesia. GeoJournal; 1999; 49, 2; ProQuestpg. 173
Palliyaguru, Roshani dan Dilanthi Amaratunga, 2008,"Managing disaster risks
through quality infrastructure and vice versa", Structural Survey, Vol. 26 Iss
5 pp. 426 434
Prasetyo.R.B dan Firdaus.M .2009. Pengaruh Infrastruktur Pada Pertumbuhan
Ekonomi Wilayah Di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan
Pembangunan, Vol.2(2): hlm 222-236
Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara RI Tahun 2007. No 4723.
Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2008.