Bagi Hobbes, kehidupan sosial sebelum terbentukya sebuah negara adalah anarkis.
Hukum yang berlaku adalah homo homini lupus, yang artinya manusia yang satu merupakan
binatang buas bagi manusia yang lain. Suasana kehidupan sosial berada dalam keadaan
perang untuk merebutkan hak-hak dalam kehidupan sosial. Model kehidupan di mana pihak
yang kuat merampas hak-hak pihak yang lemah menyebabkan hak-hak manusia tidak
terlindungi. Proses perebutan hak-hak terjadi mulai dari antar individu hingga pada perebutan
antarakelompok satu dengan kelompok lain. Di sisi lain, kehidupan manusia juga
mendambakan ketentraman, kenyamanan, keamanan dan terjaminnya hak-hak hidup
manusia. Kesadaran akan arti pentingnya ketertiban dan jaminan hak-hak hidup ini
melahirkan dorongan kuat masyarakat untuk bernaung dalam satu kelompok untuk
menggalang kekuatan demi terjaminnya ketertiban dan hak-hak hidup mereka. Akan tetapi,
bernaung dalam kelompok saja tidaklah cukup tanpa adanya kekuasaan untuk melindungi
hak-hak hidup dan menjamin ketertiban masyarakat.
Dalam kelompok tersebut, terjadilah perjanjian di antara mereka, di mana masingmasing individu menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pihak yang dianggap memiliki
kekukatan untuk menjamin ketertiban sosial dan menjamin hak-hak hidup masyarakat.
Adapun pihak yang menerima mandat kekuasaan ini mulai membentuk kekuatan, seperti
tentara dan persenjataannya. Adapun sebagian dari hak individu yang diserahkan kepada
pihak yang dipercayai ini adalah menyerahkan semacam pajak kepada pihak yang dipercaya
untuk mengamankan dan menjamin hak hidup kelompok ini sebagai jaminan hidup pihak
yang mendapatkan kekuasaan dari rakyat yang menyerahkan kekuasaan ini. Dalam
falsafahnya, Hobbes berpendapat bahwa penguasa mendapatkan kekuasaan dari rakyat
sepenuhnya, maka bentuk sistem kekuasaan atau sistem pemerintahan yang ideal menurutnya
yaitu pemerintahan yang otoriter.
Jika Hobbes dalam pemikirannya lebih menekankan pada bentuk perjanjian alamiah,
di mana hak-hak hidup diserahkan kepada penguasa yang akhirnya menimbulkan bentuk
pemerintahan kerajaan mutlak, maka Jhon Locke tidak demikian halnya. Bagi Locke,
individu-individu memiliki hak-hak kodrat semenjak ia hidup dan dalam keadaan alamiah,
maka bentuk perjanjian dalam kelompok ini tidak bergantung pada kontrak. Bagi Lock,
fungsi utama perjanjian ini adalah untuk menjamin dan melingdungi hak-hak kodrat ini. Hasil
perjanjian menurut Locke menghasilkan negara konstitusional, dan sistem pemerintahan
demokrasi. Dalam konsep pemikiran Locke, kekuasaan yang ada pada diri sang penguasa
adalah berasal dari rakyat yang terlibat dalam proses perjanjian ini, maka kekuasaan yang
melekat padanya harus memihak kepada rakyat. Dengan demikian, sumber kekuasaan bagi
Thomas Hobbes dan Jhon Locke adalah berasal dari rakyat yang memberinya kekuasaan dan
kewenangan.
Jean Jaques Rousseaulah yang pertama kali menamakan proses ini sebagai proses
perjanjian sosial (social contract). Pada mulanya keadaan sosial masyarakat sebagaimana
yang dikemukakan oleh Rousseau sama dengan kondisi sosial yang dikemukakan oleh
Hobbes dan Locke. Hanya kondisi alamiah kehidupan manusia hasil pemikiran Rousseau
lebih mendekati pendapat Locke. Dalam hal ini Rousseau berpendapat bahwa negara yang
dibentuk melalui perjanjian sosial merupakan kemauan seluruh masyarakat yang tidak
mungkin salah, khilaf, dan keliru. Kemauan umum (general will) inilah yang dijadikan
sebagai dasar keadulatan rakyat. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kemauan umum tidak
berarti kemauan seluruh rakyat, sebab ada kalanya terdapat perbedaan-perbedaan antara
kemauan umum dan kemauan seluruh rakyat (will of all). Kemauan umum selalu benar dan
ditujukan kepada kepentingan bersama, sedangkan kemauan seluruh rakyat lebih mengarah
pada kemauan individual. Dalam hal ini, perjanjian sosial dalam konsep pemikiran Rousseau
menghasilkan bentuk kedaulatan suatu negara berada dalam kemauan umum yang lazim
disebut kedaulatan rakyat.