Anda di halaman 1dari 13

PITYRIASIS ROSEA-TINJAUAN TENTANG TERAPI

YANG SPESIFIK
A.A.T. Chuh, Honorary Assistant Professor, Department of Medicine, University of Hong Kong
and T.S. Au, Specialist in Dermatology and Venereology, Dermatology Clinic, Department of
Health
Objektif: Untuk mengevaluasi bukti penggunaan terapi spesifik pada pityriasis rosea (PR),
membahas tentang mekanisme kerja dan merekomendasikan strategi penggunaan terapi tersebut.
Metode: Penelitian MEDLINE untuk terapi-terapi yang spesifik pada PR, dengan menyusun
peringkat bukti-bukti ke dalam empat level dan sub-level.
Hasil dan diskusi: Terdapat enam terapi spesifik (eritromisin, radiasi ultraviolet buatan,
kostikosteroid sistemik, dapsone, rivanol, dan streptomisin). Mekanisme kerja dari setiap terapi
telah didiskusikan. Penelitian ini merekomendasikan penggunaan strategi dengan terapi spesifik
ini.
Kesimpulan: Hampir seluruh terapi spesifik pada PR tidak didukung dengan bukti-bukti yang
cukup. Sebagian besar dari mekanisme kerja terapi tidak diketahui. Eritomisin seharusnya
diberikan kepada pasien dengan pruritus berat yang tidak berespon pada terapi yang tidak
spesifik, dan kortikosteroid sistemik seharusnya hanya digunakan sebagai pilihan terapi terakhir.
LATAR BELAKANG
Penyebab terjadinya PR tidak diketahui. Lebih dari 50% pasien PR mengalami pruritus,
dimana pada beberapa kasus dapat bersifat berat. Terapi yang diberikan dapat bersifat spesifik
maupun non-spesifik. Terapi spesifik bertujuan memodifikasi perjalanan penyakit; terapi nonspesifik seperti emolien dan agen antipruritus digunakan untuk mengurangi gejala. Penelitian
dengan double-blind controlled trials terkini, melaporkan manfaat yang potensial pada
penggunaan makrolid eritromisin dalam memodifikasi perjalanan penyakit. 1 Terlepas dari hal
tersebut, penggunaan dari beberapa terapi spesifik lainnya telah dicoba. Dan walaupun hampir

seluruh terapi tidak digunakan secara rutin, adanya pemahaman tentang level bukti-bukti tentang
manfaat terapi dapat memberi penjelasan tentang patogenesis dari kondisinya sehingga membuka
jalan untuk investigasi selanjutnya.
OBJEKTIF
Untuk mnegevaluasi bukti penggunaan terapi spesifik pada pityriasis rosea (PR),
membahas tentang mekanisme kerja dan merekomendasikan strategi penggunaan terapi tersebut.
METODE
Terapi spesifik ini didefinisikan sebagai suatu terapi yang dapat diberikan dengan
tujuan mempersingkat atau memodifikasi perjalanan penyakit (contohnya ruam pada PR), tidak
hanya untuk mengurangi gejala sementara saja (terutama pruritus pada PR). MEDLINE
digunakan dalam pencarian artikel pityriasis rosea dengan waktu input data yang tidak
terbatas; semua artikel yang berisi tentang terapi spesifik dibahas dan diurutkan peringkatnya ke
dalam level-level tertentu (dimodifikasi dari sumber-sumber lain).2, 3
I:

bukti tersedia dari sebuah tinjauan yang sistematik dari semua penelitian dengan
randomized controlled trials yang relevan;

II:

bukti tersedia dari paling tidak satu penelitian dengan randomized controlled trials yang
dengan baik;

III-1: bukti tersedia dari paling tidak satu penelitian pseudo-randomised controlled trial
(alokasi alternatif atau beberapa metode lainnya);
III-2: bukti tersedia dari studi komparatif dengan alokasi dan kontrol yang diadakan bersamaan,
tidak secara random (studi kohort), studi kasus kontrol, atau kuasi ekperimental pada
kelompok kontrol;
III-3: bukti tersedia dari studi komparatif dengan historical control, dua atau satu kelompok
studi, atau kuasi eksperimental tanpa kelompok kontrol yang paralel;
IV:

bukti tersedia dari serial kasus atau laporan-laporan kasus.

HASIL
Hasil penelitian dirangkum dalam Tabel 1. Enam terapi spesifik yang ditinjau adalah
eritromisin1,

4, 5

radiasi UV buatan,

6-10

kotikosteroid sistemik,

11, 12

dapsone,

13

rivanol14 dan

streptomisin.15 Sinar matahari dianjurkan untuk PR,7, 8 walaupun secara rasional terapi ini tidak
memodifikasi perjalanan penyakit secara spesifik. Oleh karena itu sinar matahari dianggap
sebagai terapi non spesifik.
Tidak ada modalitas terapi spesifik yang masuk dalam peringkat level I atau II.
Eritromisisn masuk dalam level III-1. Radiasi UV buatan, kortikosteroid sistemik, dapsone,
rivanol, dan streptomisin masuk dalam level IV. Dasar-dasar rasional tentang peringkat ini akan
dibicarakan selanjutnya.
DISKUSI
Bukti adanya modifikasi perjalanan penyakit.
Hasil menunjukkan bahwa terlepas dari eritomisin dan rasiasi UV buatan, manfaat dari
terapi spesifik lainnya tidak dievaluasi dengan uji klinis terkontrol. Untuk eritromisin, sebuah
double-blinded placebo controlled trial telah dipublikasikan pada tahun 2000. Ada 90 pasien
dengan PR yang datang ke bagian dermatologi di suatu rumah sakit di India dari tahun 19961998, yang diikutsertakan dalam studi ini. Diagnosis ditegakkan secara klinis. Ekslusi dilakukan
pada pasien dengan sifilis sekunder berdasarkan uji serologik. Pasien dibagi dalam kelompok
terapi dan kelompok plasebo. Sebanyak 33 pasien (66.0%) dalam kelompok terapi mencapai
respon sempurna setelah terapi dengan eritromisin selama 2 minggu. Sedangkan pada kelompok
kontrol tidak didapatkan respon terapi (p<0.00001).
Sharma et al. menyimpulkan bahwa eritromisin efektif dalam mengobati pasien dengan
PR.1 Tingkatan beratnya pruritus, gejala yang paling menonjol pada PR, tidak didokumentasikan
dalam uji ini.1 Hal ini tidak dapat diasumsikan bahwa adanya ruam yang menetap atau hilangnya
ruam secara tepat berhubungan dengan menetap atau menghilangnya pruritus. Selain itu, banyak
pasien yang tidak memiliki gejala awal pruritus. Hanya dua pasien dalam kelompok terapi yang
mengalami mual ringan. Hal ini secara signifikan berbeda jauh dengan adanya kejadian efek
samping gastrointestinal pada 25.0%16 dan 51.4%17 dalam sutudi lain yang menggunakan
eritromisin stearat. Adanya nilai pasien putus terapi 0% pada kedua kelompok, baik kelompok

Tabel 1. Tingkat Pembuktian Terapi Spesifik Pada Pityriasis Rosea

Terapi

Tingkat pembuktian

spesifik

efektivitas terapi

Laporan Penelitian

pada berbagai
bentuk modifikasi
Eritromisin

penyakit
III-1

Sebuah laporan pada tahun 19545 mencatat respon


parsial

pada

12

pasien

yang

diterapi

dengan

eritromisin 200 mg 4 x sehari selama 3 minggu.

Sebuah penelitian double-blind , uji klinis dengan


kontrol plasebo1, melaporkan bahwa dari 90 pasien
penelitian, 33 pasien (73,33%) yang mendapat terapi
eritromisin stearat (dosis 250 mg 4 x sehari selama 2
minggu untuk dewasa, dan 25-40 mg/kg dalam dosis
terbagi menjadi 4 bagian, selama 2 minggu untuk
anak-anak ),

berespon baik dengan hilangnya lesi

secara komplit dalam 6 minggu setelah terapi. Pada


kelompok plasebo tidak ada yang mencapai respon
terapi yang sama (p < 0,0001). Intensitas pruritus tidak
dicatat.

Sinar UV
buatan

IV

Radiasi sinar UV buatan dipercaya dapat mengurangi


lesi pada pityriasis rosea 6-8. Dalam sebuah studi
perbandingan tentang radiasi sinar UV bilateral 9, Sisi
kanan dari tubuh 20 pasien mendapat UV-B dengan
dosis eritem minimal 80% pada hari-1 dengan
peningkatan sebesar 17% tiap harinya. Sisi kiri tubuh
pasien diberi penutup/pelindung. Dari 19 pasien
dengan gejala awal pruritus, 15 tercatat mengalami
respon yang baik, dengan 9 diantaranya tercatat
mengalami perbaikan yang lebih besar pada sisi yang
diberi sinar. 2 dilaporkan tetap mengalami pruritus,
dan 2 lainnya dilaporkan mengalami pruritus yang
lebih berat. Luasnya lesi mengalami perbaikan pada 16
dari 20 pasien, dengan perbaikan yang lebih besar
pada sisi yang diberi sinar pada 10 pasien. Perbaikan
akan lebih bermanfaat bila terapi diperoleh dalam
minggu pertama terjadi erupsi. Pada sisi tubuh kiri
tidak diberikan terapi plasebo sama sekali. Pada
penelitian perbandingan bilateral lainnya 10, sisi tubuh
kanan dari 17 pasien dengan pityriasis rosea yang

terapi maupun kelompok kontrol telah dikritik sebagai hal yang tidak mungkin 4, walaupun
sebagai pemenuhan masih memungkinkan pencapaian lingkungan yang tepat dan dengan strategi
follow-up yang baik. Sesungguhnya, alokasi alternatif dari kelompok terapi dan kelompok
kontrol merupakan suatu pseudo-randomisation.2,

Oleh karena itu, eritromisin masuk dalam

level III-1.
Untuk radiasi UV buatan, data yang tersedia menunjukkan hasil yang bertentangan. Studi
perbandingan bilateral yang dilakukan oleh Arndt et al.9 menunjukkan hasil yang baik. Akan
tetapi, 20 pasien mengetahui bahwa sisi kanan tubuh mereka diberi paparan UV-B, sedangkan
sisi kiri diberi pelindung. Setelah menjalani terapi selama lima hari, mereka diberi pertanyaan
tentang bagaimana pruritus yang ada, apakah meningkat, menurun, atau menetap dan tidak
berubah pada kedua sisi. Perluasan ruam dinilai dengan standar yag bersifat subjektif, dan karena
mereka mengetahui bahwa sisi kanan telah terpapar sinar UV-B, bias mungkin dapat terjadi lagi.
Penelitian perbandingan bilateral dengan metode yang bersifat lebih ilmiah dilakukan
oleh Leenuthapong et al10. Sinar UV-B diberikan pada sisi tubuh kanan dari 17 pasien, dengan
sisi tubuh kiri diberi penutup. Sinar UV-A kemudian diberikan pada sisi tubuh kiri sebagai
bentuk terapi plasebo. Sebelum, selama dan sesudah 2 minggu terapi, distribusi dan keparahan
dari eritem dinilai dengan memakai Pityriasis Rosea Severity Score (PRSS) untuk mencapai
standar objektif yang lebih tinggi.Nilai skor menurun selama periode terapi, namun pruritus tidak
berkurang. Selama 2 minggu dan 4 minggu setelah terapi, baik sisi yang diberi terapi maupun
yang tidak diberi, tidak bisa dibedakan berdasarkan PRSS maupun pruritus.
Sebuah penelitian perbandingan bilateral, dapat dianggap bersifat pseudoacak18. Namun,
sebuah sumber bias yang signifikan muncul pada penelitian oleh Arndt 9, sedangkan penelitian
oleh Leenutaphong10 melaporkan tidak terdapat perubahan pada keseluruhan perjalanan penyakit.
Radiasi sinar UV buatan

memiliki tingkat pembuktian derajat IV. Namun, dengan adanya

kesadaran yang semakin meningkat mengenai efek samping jangka panjang dari radiasi sinar
UV, penggunaannya secara rutin untuk pityriasis rosea tidak dianjurkan.
Untuk penggunaan kortikosteroid sistemik, hanya laporan kasus yang tersedia sebagai
bahan penelitian, yang menunjukkan data kontroversial tentang efek potensial terjadinya
eksaserbasi/rebound. Peneliti menyadari peran kortikosteroid sebagai agen terapi konvensional
untuk kasus tertentu oleh beberapa dokter kulit 19. Kosrtikosteroid memiliki tingkat pembuktian
derajat IV. Penggunaannya dapat mengakibatkan efek samping jangka pendek dan jangka

panjang, dan potensial berbahaya untuk kelompok tertentu pasien yaitu pada pasien dengan
penyerta penyakit hepar atau yang sedang hamil. Pemberian kortikosteroid sistemik dilaporkan
pernah diberikan pada kasus dengan sifilis sekunder yang belum terdiagnosa19.
Manfaat pemberian dapson, rivanol dan streptomisin hanya didukung dengan uji coba
tanpa kontrol atau laporan kasus. Penggunaannya memiliki tingkat pembuktian derajat IV.
Namun penggunaan terapi tersebut dinilai bersifat terlalu toksik untuk penyakit yang bersifat
self-limiting (dapat sembuh sendiri).

Mekanisme Aksi
Manfaat potensial pemberian eritromisisn dapat mengungkapkan patogenesis yang
mendasari pityriasis rosea. Disamping efeknya pada streptokokus dan bakteri atipik sebagaimana
dilaporkan oleh Sharma1, eritromisin juga memiliki efek antiinflamasi dan imunomodulasi 20, dan
dianggap bahwa efek tersebut yang mendasari mekanisme aksinya pada pityruiasis rosea.
Data epidemiologi21 dan penelitian mikrobiologi secara umum mendukung etiologi virus
sebagai penyebab pityriasis rosea, dan oleh karenanya menimbulkan pertanyaan tentang apakah
manfaat eritromisin sesuai dengan etiologi virus tersebut.
Drago et al22,23 melaporkan deteksi terhadap DNAHHV7 dengan menggunakan metode
nested polymerase chain reaction pada kulit, sel mononuklear darah perifer dan plasma dari 12
pasien dengan pityriasis rosea. Namun Drago et al22,23 gagal mendeteksi virus yang sama pada 11
spesimen kontrol. Penelitian selanjutnya tentang peran HHV7 dalam pityriasis rosea masih
menghasilkan perdebatan24-26.
Hipotesis yang dianggap kuat yaitu terjadinya disfungsi imun sehingga menimbulkan
reaktivasi laten dari virus, termasuk HHV7. Hal tersebut dapat menjelaskan kenapa virus tersebut
terkadang dapat terdeteksi dan terkadang tidak terdeteksi pada pityriasis rosea. Kebanyakan
kasus merupakan akibat reaktivasi dan bukan merupakan infeksi primer sehingga serokonversi
tidak dapat dicatat. Fenomena tersebut ditemukan oleh Kosuge et al26. Disfungsi imun sebagai
kejadian primer juga dapat menjelaskan manfaat pemberian eritromisin yang berperan sebagai
suatu agen imunomodulasi.

Virus lainnya yang diduga terlibat sebagai etiologi pada pityriasis rosea yaitu EpsteinBarr virus (EBV). Bonafe et al27 mengadakan sebuah penelitian tentang peran virus influenza
A,B dan parainfluenza 1,2,3, adenovirus, respiratory syncitial virus, Mycoplasma pneumoniae,
ornithosis-psittacosis, Q-fever, herpes-virus, herpes-virus varicellae, cytomegalovirusdan EBV
pada pityriasis rosea. Dari penelitiannya dilaporkan bahwa sebagian besar pasien memiliki
antibodi yang positif terhadap EBV dan tidak ditemukan antibodi untuk tipe virus yang lain27.
Telah lama diketahui bahwa infeksi EBV memiliki efek imunomodulasi. Distribusi umur
pasien pada infeksi primer EBV sesuai dengan pasien dengan pityriasis rosea. Terdapat 2
hipotesis yang mungkin menjelaskan tentang keterlibatan EBV dalam pityriasis rosea. Hipotesis
pertama menjelaskan bahwa EBV merupakan agen yang menyebabkan modulasi imunitas seluler
sedangkan hipotesis kedua menjelaskan bahwa disfungsi imun awalnya dipicu oleh suatu
penyebab yang belum diketahui sehingga mengakibatkan reaktivasi EBV. Kedua hipotesis
tersebut sesuai dengan laporan tentang manfaat terapi eritromisin pada pityriasis rosea.
Karena disfungsi imun dan imunodefisiensi merupakan faktor etiologis pada pityriasis
rosea, sehingga penyakit tersebut kemungkinan besar dapat muncul pada pasien dengan
pengobatan memakai agen imunosupresif atau pada pasien yang berada pada kondisi
imunocompromised (pasien dengan HIV-AIDS, pasien dengan Diabetes). Pemberian preparat
emas28-31 dan agen imunosupresif diketahui dapat mempresipitasi munculnya pityriasis rosea 32.
Pada 4 kasus yang telah dikonfirmasi secara histologis positif pityriasis rosea, dilaporkan terjadi
pada resipien transplan sumsum tulang belakang33. Sebuah lesi yang menyerupai pityriasis rosea
dengan bentuk makula oval kemerahan menyebar ke daerah wajah, telapak tangan dan kaki, juga
telah dilaporkan terjadi pada pasien dengan infeksi HIV dan pasien AIDS34,35.
Selain virus, peran bakteri atipik mungkin juga dapat menjelaskan mekanisme aksi dari
terapi eritromisin. Sebuah penelitian case-control36 melaporkan bahwa antibodi

Legionella

micdadei dideteksi pada 12 kasus pityriasis rosea (33,3%) dan pada 1 kasus kontrol (5,2%)
dengan nilai p = 0,020. Penelitian yang sama memakai Mycoplasma spp memberikan hasil yang
meragukan .27,37,38
Mekanisme aksi dari radiasi sinar UV buatan pada pityriasis rosea masih belum
diketahui. Serupa dengan pengaruhnya pada kasus psoriasis, efek limfotoksik spesifik 39 dan nonspesifik40 mungkin terlibat. Perdebatan telahterjadi mengenai distribusi trunkal dari lesi, dengan
distribusi minimal pada daerah wajah dan ekstremitas distal, yang dianggap merupakan bukti tak

langsung bahwa lesi pityriasis rosea mengalami perbaikan dengan radiasi sinar UV 41. Namun,
hal tersebut tidak dapat menjelaskan kasus pityriasis rosea dengan distribusi pada akral 11,42-44.
Banyak jenis dermatosis yang lain yang mengalami perbaikan dengan radiasi sinar UV, sebagai
contoh pada psoriasis tipe plak.
Mekanisme aksi dari kortikosteroid sistemik pada beberapa pasien dengan pityriasis rosea
tampaknya merupakan proses antiinflamasi dan imunomodulasi. Sebuah penelitian melaporkan
bahwa 28% pasien dengan pityriasis rosea memiliki antibodi limfositotoksik T 45, sebuah penanda
autoimun yang muncul pada 82% pasien dengan penyakit Lupus. Namun, karena kortikosteroid
sistemik terkadang menyebabkan eksaserbasi pityriasis rosea, sehinga proses autoimunitas
ataupun hipersensitivitas tidak dipertimbangkan sebagai komponen tunggal dari patogenesis
pityriasis rosea.
Mekanisme aksi dari terapi spesifik tersebut sebenarnya masih belum sepenuhnya
dipahami, sehingga penelitian lebih lanjut terkait EBV, bakteri atipik dan disfungsi imunitas
seluler sebaiknya terus dilakukan.
Strategi penggunaan terapi spesifik
Berbeda dengan pruritus, transient cosmetic problem (gangguan kosmetik transien) dan
penyakit yang terkait stress psikososial, PR tidak menyebabkan ketakutan dan komplikasi lain.
Hal tersebut dikarenakan pasien-pasien tanpa pruritus tidak membutuhkan terapi sama sekali. 4
Untuk pasien dengan pruritus berat, kebanyakan berespon terhadap terapi nonspesifik. Terlepas
dari adanya penelitian membandingkan antara UVB dengan Amdt 9 dengan penemuan bias yang
cukup signifikan, tidak ada bukti langsung bahwa terapi spesifik lebih bermanfaat apabila
diberikan sesegera mungkin.
Sebagaimana PR jarang mengenai wajah, dan perluasan rash yang dikaitkan dengan
tingkat keparahan pruritus tidak pernah ditemukan, perluasan rash per se bukanlah guidline yang
baik untuk menentukan permulaan pemakaian terapi spesifik. Pemeriksaan terahadap tingkat
keparahan gejala dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi psikososial pasien adalah hal yang
lebih penting. Pemeriksaan tersebut dapat cukup objektif dan index kualitas hidup (Quality of
live index) menjadi alat yang berguna dalam pengambilan keputusan.
Kemungkinan munculnya sifilis sekunder adalah wacana tambahan yang harus
diperhatikan. Telah dijelaskan bahwa untuk menegakkan diagnosis PR pada dewasa dan dewasa

muda, kemungkinan sifilis sekunder harus disingkirkan dengan tes serologi yang tepat. 46 Akan
tetapi, penelitian prospektif tidak mendukung tes serologi sifilis pada semua pasien PR yang
tidak menunjukkan kecurigaan yang mengarah ke sifilis.47 PR disertai sifilis sekunder sangat
jarang terjadi meskipun tetap ada kemungkinan.48
Strategi berikut ini direkomendasikan untuk pedoman penggunaan terapi spesifik, antara
lain:

Pada pasien tanpa pruritus, tidak ada terapi spesifik yang diberikan, kecuali rash meluas dan
pasien secara psikologis mengalami distress karena adanya rash walaupun konseling yang

adekuat menjelaskan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri telah diberikan
Pada pasien dengan pruritus ringan yang tidak terganggu kualitas hidupnya membutuhkan

terapi spesifik seperti emolien atau antihistamin sedatif, diberikan satu kali pada malam hari
Pada pasien dengan pruritus yang mengganggu kualitas hidupnya diberikan terapi
nonspesifik terlebih dahulu selama 1 minggu, apabila terapi tersebut tidak menurunkan
gejala, maka baru diberikan eritromisin, tes VDRL harus dilakukan sebelum memulai terapi
tersebut, serta biopsi terhadap lesi harus dipertimbangkan jika ada lesi atipikal; pasien ini
harus mendapat penjelasan bahwa eritromisin masih belum pasti dapat memperbaiki penyakit
PR, efek samping eritromisin yang potensial terhadap sistem gastrointestinal dan diberi

kelonggaran untuk memilih tgerapi nonspesifik lain.


Penggunaan kortikosteroid sistemik tidak boleh diberikan kepada pasien dewasa, kecuali
pada PR rekalsitran dan simptomatik yang tidak respon terhadap terapi lainnya; hasil tes
VDRL harus sudah ada sebelum memulai terapi, biopsi lesi harus dipertimbangkan jika ada
lesi atipikal, kontraindikasi, termasuk kehamilan harus dipastikan tidak ada; ; pasien ini harus
mendapat penjelasan bahwa krtikosteroid masih belum pasti dapat memperbaiki penyakit PR,
data mengenai bertambahnya rash dan efek samping kortikosteroid sistemik yang potensial
harus didiskusikan dengan pasien dan pasein seharusnya diberi kebebasa untuk memilih

terapi lain;, dan


Dalam mengenali tingkat keparahan gejala dan efeknya terhadap kualitas hidup, index
kualitas hidup (QOL index) seperti Dermatology Life QualityIndex (DLQI) 49,50 dan
Childrens Dermatology Life Quality Index (CDLQI)51 dapat membantu proses pembuatan
keputusan.

SIMPULAN

Sebagian besar terapi spesifik untuk PR belum ditunjang oleh bukti yang kuat karena
mekanisme aksi dari terapi tersebut belum diketahui secara menyeluruh. Penelitia lebih lanjut
mengenai EBV, bakteri atipikal dan disfungsi imunitas seluler dapat sangat membantu.
Beberapa pasien PR tidak membutuhkan terapi spesifik; penggunaan eritromisin sebagai
terapi spesifik PR secara umum masih controversial. Penggunaannya ditujukan pada pasien
dengan pruritus berat yang tidak berespon terhadap terapi nonspesifik. Kortikosteroid harus
menjadi pilihan terakhir dan kasus pengecualian, yaitu kasus reklasitran dan simptomatik pada
dewasa dengan diagnosis yang sudah pasti dan tidak ada kontraindikasi.
Pemeriksaan terhadap keparahan gejala dan efek PR pada kualitas hidup lebih penting
daripadan pemeriksaan terhadap perluasan rash dalam memutuskanpenggunaan trapi spesifik;
penggunaan index QOL direkomendasikan dalam pengambilan keputusan.
REFERENSI
1 Sharma PK, Yadav TP, Gautam RK et al. Erythromycin in pityriasis rosea: A double-blind,
placebo-controlled clinical trial. J Am Acad Dermatol 2000; 42:241-4.
2 National Health and Medical Research Council. A guide to the development, implementation
and evaluation of clinical practice guidelines. Australia: NHMRC; 1999; 56.
3 US Preventive Services Task Force. Guide to clinical preventive services: an assessment of the
effectiveness of 169 interventions.Williams and Williams: Baltimore; 1989; 388.
4 Bigby MA. Remarkable result of a double-masked, placebocontrolled trial of erythromycin in
the treatment of pityriasis rosea. Arch Dermatol 2000; 136:775-6.
5 Robinson HM Jr, Zeligman I, Robinson RCV et al. Erythromycin in treatment of dermatoses.
Report on 1695 patients. Arch Derm Syph (Chic)1954; 70:325.
6 Merchant M, Hammond R. Controlled study of ultraviolet light for pityriasis rosea. Cutis 1974;
14:548-9.
7 Plemmons JA. Pityriasis rosea: an old therapy revisited. Cutis 1975; 16:120-1.
8 Baden HP, Provan J. Sunlight and pityriasis rosea. Arch Dermatol 1977; 113:377-8.
9 Arndt KA, Paul BS, Stern RS et al. Treatment of pityriasis rosea with UV radiation. Arch
Dermatol 1983; 119:381-2.
10 Leenutaphong V, Jiamton S. UVB phototherapy for pityriasis rosea: a bilateral comparison
study. J Am Acad Dermatol 1995; 33:996-9.
11 Tay YK, Goh CL. One-year review of pityriasis rosea at the National Skin Centre, Singapore.
Ann Acad Med Singapore 1999; 28:829-31.
12 Leonforte JF. Pityriasis rosea: exacerbation with corticosteroid treatment. Dermatologica
1981; 163:480-1.
13 Anderson CR. Dapsone treatment in a case of vesicular pityriasis rosea. Lancet 1971; 2:493.
14 Zaruba F, Kudela A, Belsan I. [Treatment of pityriasis rosea Gibert with rivanol]. Cesk
Dermatol 1968; 43:407-9.
15 Michalowski R, Chibowska M. Treatment of pityriasis rosea with streptomycin. Acta Derm
Venereol 1968; 48:355-7.

16 Sato M, Matsuyama R, Miyata M. Clinical studies on OE-7 chiefly in the treatment of acute
respiratory infections. Jpn J Antibiot 1975; 28:758-66.
17 Carter BL, Woodhead JC, Cole KJ et al. Gastrointestinal side effects with erythromycin
preparations. Drug Intell Clin Pharm 1987; 21:734-8.
18 Barrett AM, Schwartz RL, Crucian GP et al. Attentional grasp in far extrapersonal space after
thalamic infarction. Neuropsychologia 2000; 38:778-84.
19 Berger MS, Meffert JJ. A Palmar Rash. Am Fam Phys 1999; 59:1259.
20 Labro MT. Anti-inflammatory activity of macrolides: a new therapeutic potential? J
Antimicrob Chemother 1998; 41(Suppl B):37-46.
21 Messenger AG, Knox EG, Summerly R et al. Case clustering in pityriasis rosea: support for
role of an infective agent. BMJ (Clin Res Ed) 1982; 284:371-3.
22 Drago F, Ranieri E, Malaguti F et al. Human herpesvirus 7 in pityriasis rosea. Lancet 1997;
349:1367-8.
23 Drago F, Ranieri E, Malaguti F et al. Human herpesvirus 7 in patients with pityriasis rosea.
Electron microscopy investigations and polymerase chain reaction in mononuclear cells, plasma
and skin. Dermatology 1997; 195:374-8.
24 Yoshida M. Detection of human herpesvirus 7 in patients with pityriasis rosea and healthy
individuals (letter). Dermatology 1999; 199:197.
25 Kempf W, Adams V, Kleinhans M et al. Pityriasis rosea is not associated with human
herpesvirus 7. Arch Dermatol 1999; 135:1070-2.
26 Kosuge H, Tanaka-Taya K, Miyoshi H et al. Epidemiological study of human herpesvirus-6
and human herpesvirus-7 in pityriasis rosea. Br J Dermatol 2000; 143:795-8.
27 Bonafe JL, Icart J, Perpere M et al. Histopathologic, ultrastructural, immunologic and
virologic study of Giberts pityriasis rosea. Ann Dermatol Venereol 1982; 109:855-61.
28 Bonnetblanc JM. Cutaneous reactions to gold salts. Presse Med 1996; 25:1555-8.
29 Lizeaux-Parneix V, Bedane C, Lavignac C et al. Cutaneous reactions to gold salts. Ann
Dermatol Venereol 1994; 121:793-7.
30 Wilkinson SM, Smith AG, Davis MJ et al. Pityriasis rosea and discoid eczema: dose related
reactions to treatment with gold. Ann Rheum Dis 1992; 51:881-4.
31 Hofmann C, Burg G, Jung C. Cutaneous side effects of gold therapy. Clinical and histologic
results. J Rheumatol 1986; 45:100-6.
32 Corke CF, Meyrick TR, Huskisson EC et al. Pityriasis rosealike rashes complicating drug
therapy for rheumatoid arthritis. Br J Rheumatol 1983; 22:187-8.
33 Spelman LJ, Robertson IM, Strutton GM et al. Pityriasis rosea-like eruption after bone
marrow transplantation. J Am Acad Dermatol 1994; 31:348-51.
34 Staughton R. Skin manifestations in AIDS patients. Br J Clin Pract Suppl 1990; 71:109-13.
35 Sadick NS, McNutt NS, Kaplan MH. Papulosquamous dermatoses of AIDS. J Am Acad
Dermatol 1990; 22:1270-7.
36 Gjenero-Margan I, Vidovic R, Drazenovic V. Pityriasis rosea Gibert: detection of Legionella
micdadei antibodies in patients. Eur J Epidemiol 1995; 11:459-62.
37 Hudson LD, Adelman S, Lewis CW. Pityriasis rosea. Viral complement fixation studies. J Am
Acad Dermatol 1981; 4: 544-6.
38 Ishibashi A, Ueda I, Fujita K. Pityriasis rosea Gibert and Mycoplasma pneumoniae infection.
J Dermatol 1985; 12:97-100.
39 Ozawa M, Ferenczi K, Kikuchi T et al. 312-nanometer ultraviolet B light (narrow-band UVB)
induces apoptosis of T cells within psoriatic lesions. J Exp Med 1999; 189:711-8.

40 Green MH, Petit-Frere C, Clingen PH et al. Possible effects of sunlight on human


lymphocytes. J Epidemiol 1999; 9(Suppl 6):S48-57.
41 Horio T. Skin disorders that improve by exposure to sunlight.Clin Dermatol 1998; 16:59-65.
42 du Vivier A. Pityriasis rosea and lichen planus. In: Dermatology in Practice. London: Gower
Medical Publishing; 1992; 64-5.
43 Imamura S, Ozaki M, Oguchi M et al. Atypical pityriasis rosea. Dermatologica 1985;
171:474-7.
44 Gibney MD, Leonardi CL. Acute papulosquamous eruption of the extremities demonstrating
an isomorphic response. Inverse pityriasis rosea (PR). Arch Dermatol 1997; 133:651, 654.
45 Hosokawa H, Horio S, Takiuchi Y et al. Naturally occurring T lymphocytotoxic antibody in
viral and related skin diseases. Acta Derm Venereol 1984; 64:275-80.
46 Cavanaugh RM Jr. Pityriasis rosea in children. A review. Clin Pediatr (Phila) 1983; 22:200-3.
47 Horn T, Kazakis A. Pityriasis rosea and the need for a serologic test for syphilis. Cutis 1987;
39:81-2.
48 Secher L, Weismann K, Kobayasi T. Pityriasis rosea eruption in secondary syphilis: an
isomorphic phenomenon? Cutis 1985; 35:403-4.
49 Finlay AY, Khan GK. Dermatology Life Quality Index (DLQI): A simple practical measure
for routine clinical use. Clin Experiment Derm 1994; 19:210-6.
50 Finlay AY. Quality of life measurement in dermatology: a practical guide. Br J Dermatol
1997; 136:305-14.
51 Lewis-Jones MS, Finlay AY. The Childrens Dermatology Life Quality Index (CDLQI): initial
validation and practical use. Br J Dermatol 1995; 132:942-9.

Anda mungkin juga menyukai