Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS

FRAKTUR DIAFISIS HUMERI

Disusun Oleh:
Evan Regar

0906508024

Oviliani Wijayanti

0906487902

Narasumber:
dr. Dohar Tobing, Sp.OT K-Spine

MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
JANUARI 2014

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Kami yang namanya tertera di bawah ini,


1. Evan Regar, NPM 0906508024
2. Oviliani Wijayanti, NPM 0906487902

Dengan ini menyatakan bahwa makalah kami yang berjudul Presentasi Kasus: Fraktur
Diafisis Humeri adalah benar merupakan karya kami yang kami tulis tanpa mengandung unsur
plagiarisme. Apabila terdapat unsur plagiarisme di dalamnya, kami bersedia untuk mendapatkan
sanksi sesuai dengan yang berlaku di lingkungan Universitas Indonesia.

Jakarta, 27 Januari 2014

( Evan Regar )

( Oviliani Wijayanti )

BAB I
ILUSTRASI KASUS
I. Identitas

Nama

: Tn. PK

Tanggal lahir

: 20 Januari 1959

Usia

: 55 tahun

No. Rekam Medis

: 388-89-51

Alamat

: Utan Kayu, Jakarta Timur

Pendidikan terakhir

: SMA

Pekerjaan

: Tukang listrik

Agama

: Kristen Protestan

Status pernikahan

: Menikah

Masuk IGD

: 8 Januari 2014

II. Primary survey


Keluhan utama
Nyeri pada lengan atas kiri sejak 45 menit sebelum masuk rumah sakit.
Pemeriksaan fisik
Airway

: bebas

Breathing

: spontan, frekuensi 20 kali/menit, teratur, dalam

Circulation

: denyut nadi frekuensi 92 kali/menit, teratur, isi cukup, akral hangat,

CRT <2 detik, tidak tampak tanda perdarahan luar maupun perdarahan bawah kulit
Disability

: GCS E4MV5, pupil bulat isokor diameter 3 mm | 3 mm, refleks

cahaya langsung dan refleks cahaya tidak langsung positif pada kedua mata
Exposure

: tidak terdapat luka terbuka, terpasang bidai pada lengan kiri dari

sendi bahu sampai pergelangan tangan

III. Secondary survey


AMPLE
Allergies

: disangkal

Medication

: metformin 4 jam sebelum kejadian

Past illnesses

: diabetes melitus

Last meal

: roti 2 jam sebelum kejadian

Event surrounding the injury:


Sekitar 45 menit sebelum masuk rumah sakit, pasien terjatuh saat bekerja memperbaiki
kabel di atap plafon laboratorium setinggi kurang-lebih 2,5 meter. Pasien menggunakan
tangga seng yang disandarkan pada tembok dengan sudut sekitar 45 derajat. Tangga
kemudian merosot dan tidak ada orang yang menahan sehingga pasien terjatuh. Untuk
menghindari kaca dan sediaan laboratorium, pasien mengelak ke kiri dan merentangkan
tangan hingga lengan atas kiri sisi luar menghantam ujung meja. Kepala tidak terbentur,
tangga tidak menimpa tubuh pasien, tidak ada bagian lain tubuh pasien yang membentur
benda selain lantai. Pasien tidak kehilangan kesadaran. Selama 10 menit pasien merasa
lengan kiri sampai ujung jari seperti disetrum listrik dan sulit digerakkan, kemudian
selama 30 menit lengan kiri sampai ujung jari terasa kesemutan tetapi jari-jari sudah
dapat digerakkan. Tidak ada luka terbuka di tempat benturan, pasien tidak merasa
tulangnya berderak. Saat pemeriksaan rasa kesemutan sudah hilang, pasien hanya merasa
nyeri di lengan atas kiri tempat benturan (VAS 6). Di tempat kejadian pasien diberi
pertolongan pertama oleh staf laboratorium dengan bidai berupa karton kardus yang
dipasang dari sendi bahu sampai pergelangan tangan. Pasien maupun staf laboratorium
tidak melakukan manipulasi apapun terhadap lengan atas kiri tersebut.

Riwayat Penyakit Dahulu


Terdapat riwayat diabetes melitus, gula darah tertinggi 600 mg/dl, saat ini kisaran gula
darah 200 mg/dl dengan obat Metformin 3 x 500 mg. Riwayat hipertensi, alergi, asma,
perawatan di rumah sakit, operasi sebelumnya disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Terdapat riwayat diabetes melitus pada ibu. Riwayat hipertensi, alergi, asma, patah tulang
disangkal.

Riwayat Sosial
Pasien sudah menikah, memiliki 2 orang anak. Pendidikan terakhir SMA. Saat ini pasien
bekerja sebagai tukang listrik. Pembiayaan umum, saat ini sedang mengurus Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.
4

Pemeriksaan fisik
Kesadaran

: kompos mentis

Keadaan umum

: tampak sakit ringan

Tekanan darah

: 130/80 mmHg

Nadi

: 84 kali/menit, teratur, isi cukup

Suhu

: 36,5C

Pernapasan

: 20 kali/menit, teratur, dalam

Kulit

: sawo matang, tidak pucat, tidak sianotik, tidak ikterik, tidak tampak

ekimosis, turgor baik


Mata

: konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor

diameter 3 mm | 3 mm, refleks cahaya langsung dan refleks cahaya tidak langsung positif
pada kedua mata
Gigi dan mulut

: higienitas oral baik, gigi-geligi lengkap

Tenggorok

: arkus faring simetris, uvula di tengah, dinding faring posterior tidak

hiperemis, tonsil T1-T1 tenang


Leher

: JVP 5-2 cmH2O, trakea di tengah, tidak ditemukan pembesaran

kelenjar getah bening maupun kelenjar tiroid


Jantung

: bunyi jantung 1 dan 2 normal, tidak terdengar murmur maupun gallop

Paru

: gerakan dada simetris, fremitus kiri sama dengan kanan, vesikuler,

tidak terdengar mengi maupun ronki


Abdomen

: datar, lemas, tidak teraba benjolan, tidak teraba pembesaran hati

maupun limpa, nyeri ketok CVA negatif, ballottement negatif, pekak hati positif, shifting
dullness tidak ada, bising usus positif 4 kali/menit
Ekstremitas

: akral hangat, CRT <2 detik, tidak ada edema tungkai

Status lokalis
Look
Di sisi anterolateral lengan atas kiri, 8 cm proksimal dari olekranon, terdapat
pembengkakan sewarna kulit tanpa ekimosis maupun luka terbuka. Tampak adanya
deformitas berupa angulasi lateral.

Feel
Terdapat nyeri tekan pada lokasi benturan, tidak terdapat krepitasi, pulsasi arteri radialis
kiri teraba kuat dan sama dengan arteri radialis kanan, sensasi raba kasar pada anatomical
snuff box baik.

Move
Range of movement (ROM) sendi bahu dan sendi siku kiri terbatas. ROM sendi
pergelangan tangan, MCP, PIP, dan DIP semua jari tangan kiri baik.

Gambar 1.1 Gambaran klinis cedera

IV.

Pemeriksaan Penunjang
Foto polos humerus sinistra (AP dan lateral) pada 8 Januari 2014
Tampak fraktur oblik komplet pada midshaft os humeri sinistra dengan pergeseran
fragmen distal ke posteromedial. Soft tissue tampak baik, tidak terlihat dislokasi
articulatio glenohumeral maupun articulatio cubiti.

Gambar 1.2 Gambaran radiologis cedera

V. Diagnosis
Fraktur diafisis humeri sinistra komplit oblik tertutup, dengan pergeseran (displacement)
berupa angulasi anterolateral.

VI. Rencana Penatalaksanaan


-

Pertahankan kestabilan airway, breathing, circulation

Closed reduction dan imobilisasi dengan U-slab

Ketorolac 3 x 30 mg IV

VII.Prognosis
-

Ad vitam

: bonam

Ad functionam

: bonam
7

Ad sanationam

: bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

Penanganan Awal Trauma Muskuloskeletal


Penanganan trauma muskuloskeletal, seperti penanganan trauma pada umumnya,

dimulai dari prinsip penyelamatan jiwa yang meliputi airway, breathing, dan circulation.
Secara umum, penanganan kegawatdaruratan trauma muskuloskeletal dibagi menjadi 3 fase,
yaitu di tempat kejadian, selama perjalanan menuju rumah sakit (transfer), dan pertolongan
di unit gawat darurat rumah sakit.1
Pada penanganan di tempat kejadian, memanggil bantuan dan menilai serta
menangani ABC secara cepat menjadi kunci. Dalam penilaian dan pembebasan airway,
penting diingat untuk tidak menggerakkan leher pasien sebelum dipastikan tidak ada cedera
servikal. Dalam penilaian dan penyelamatan breathing dan circulation, resusitasi jantung
paru (RJP) diperlukan jika terjadi arrest. Untuk mencegah syok, usahakan untuk
meminimalkan perdarahan dan nyeri sedapat mungkin. Jika pada sirkulasi ditemukan
gangguan berupa perdarahan, penekanan secara lokal dianjurkan karena lebih aman dan
efektif ketimbang turniket. Perlakuan secara hati-hati diperlukan untuk menghindarkan
pasien dari nyeri yang lebih hebat. Perlu dicatat, makanan atau minuman apapun tidak boleh
diberikan per oral agar tidak menghambat rencana operasi segera yang mungkin diputuskan
dokter di rumah sakit.1
Untuk mengurangi nyeri dan mencegah cedera lebih jauh, fraktur dan dislokasi yang
terlihat jelas perlu diimobilisasi sebelum pasien dibawa ke fasilitas layanan kesehatan.
Traksi yang perlahan dan teratur merupakan cara efektif untuk meluruskan deformitas dan
memegang anggota gerak sementara bidai dipasang. Lengan dibidai pada batang tubuh,
sedangkan tungkai sebaiknya dibidai pada tungkai sebelahnya. Kemudian, informasi
mengenai mekanisme terjadinya cedera, cedera yang ada, dan perawatan awal perlu
disampaikan pada petugas yang membawa pasien ke rumah sakit.
Di rumah sakit, panduan ATLS dari American College of Surgeons menyebutkan,
informasi penting yang perlu digali meliputi allergies, medication taken prior to the
accident, past history of relevant diseases, last meal before the accident, dan events related
to the accident (AMPLE).2 Gangguan airway persisten ditata laksana dengan pengisapan
dan pemasangan pharyngeal airway, intubasi endotrakeal, atau bahkan trakeostomi.
Gangguan breathing yang tidak tertangani setelah jalan napas dibebaskan atau kondisi
pneumotoraks (jika ada) didekompresi mungkin memerlukan ventilator mekanik. Gangguan
9

circulation dari jantung mungkin memerlukan defibrilasi dan gangguan perdarahan yang
sulit berhenti dengan penekanan ungkin memerlukan penjepitan pembuluh darah.
Pencegahan syok meliputi penilaian tanda-tanda vital, pengambilan darah untuk pengecekan
golongan darah dan crossmatch, pemberian infus cairan (Ringer Laktat atau plasma
membantu mengontrol syok untuk sementara sampai persediaan darah datang), dan
pemberian antinyeri berupa morfin secara intravena jika tidak ada gangguan persarafan.1

II.

Fraktur
1. Definisi
Fraktur, baik tulang, lempeng epifisis, maupun kartilago didefinisikan
sebagai terputusnya kontinuitas struktural struktur tersebut. Fraktur jenis
apapun, biasanya melibatkan jaringan lunak dan mengakibatkan terjadinya
cedera (soft tissue injury).1 Pada makalah ini yang dimaksud dengan fraktur
adalah fraktur tulang, kecuali disebutkan dengan tegas.

2. Etiologi dan Biomekanika Fraktur


Pada umumnya penyebab fraktur adalah trauma, dan maraknya kasus
kecelakaan lalu-lintas mengakibatkan kecelakaan lalu-lintas merupakan salah
satu penyebab terjadinya fraktur yang paling banyak ditemui dalam
masyarakat.3 Trauma lain yang dapat mengakibatkan fraktur antara lain
kecelakaan kerja dan cedera olahraga. Dalam setiap fraktur, perlu dipikirkan
biomekanika fraktur. Dengan pemahaman dan implementasi ilmu fisika
sederhana, seseorang dapat memahami bagaimana fraktur dapat terjadi serta
komplikasi yang mungkin terjadi, seperti dislokasi sendi proksimal maupun
distal dari tulang yang mengalami fraktur.
Tulang memiliki kemampuan elastisitas dan fleksibilitas sampai batas
tertentu,

dengan

kata

lain

sesungguhnya

tulang

dapat

mengalami

pembengkokan tanpa harus mengalami patah. Pada gaya yang ekstrem, dapat
terjadi fraktur akibat kegagalan material elastik tulang mempertahankan
kondisi elastisitas tulang sehingga terjadi deformitas yang bersifat plastis dan
terjadi perubahan kekuatan struktural yang berakibat pada fraktur.
Terdapat dua macam trauma yang dapat mengakibatkan fraktur, yakni
trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung adalah
manifestasi langsung daripada trauma di tempat tersebut, sedangkan trauma
10

tidak langsung adalah trauma yang letaknya dengan fraktur berjauhan. Pada
trauma tidak langsung, terdapat benturan di tempat lain yang gayanya akan
diteruskan ke tempat lain dan mengakibatkan fraktur di tempat yang lain.

Gambar 2.1 Gaya dapat bekerja pada tulang melalui 3 mekanisme, yakni
secara berturut-turut bending, kompresi, dan puntiran (torsion)4

Gambar 2.2 Biomekanika fraktur tulang panjang akibat bending load

Gambar 2.2 menunjukkan apabila pada suatu tulang panjang dikenakan


gaya yang bersifat lengkung(bending), maka pada sisi yang mengalami gaya
tersebut akan mengalami tension, sedangkan pada sisi yang berlawanan justru
akan mengalami kompresi. Gaya kompresi lebih besar dibandingkan tension,
sehingga kemudian terjadi patahan di sisi tension.Akibatnya terbentuk garis
fraktur yang dapat membentuk angulasi, hingga pergeseran (displacement).
11

Dengan kata lain akan terbentuk garis fraktur yang bermula di bagian konveks
dari arah lengkungan (bending).
Dalam menghadapi kasus fraktur dan dislokasi, dasar yang perlu dianut
5

adalah :
i. Kecuali jika tulang sudah mengalami penyakit dan/atau kelainan,
fraktur hanya dapat terjadi jika terdapat gaya yang sedemikian kuat.
Dengan demikian hal ini mendasari anamnesis seorang klinisi untuk
mencari mekanisme cedera dan gaya yang bekerja sehingga terjadi
fraktur.
ii. Resultan gaya berperan dalam menentukan jenis fraktur
iii. Setiap jenis fraktur perlu diklasifikasikan
iv. Dari

klasifikasi

jenis

fraktur,

dapat

ditentukan

protokol

penatalaksanaan
v. Penyembuhan fraktur adalah proses yang multifaktorial, namun secara
kasar sebanding dengan tingkat cedera
vi. Komplikasi dapat terjadi, baik secara akut maupun secara kronik
vii. Setiap temuan fraktur dan dislokasi tulang dan sendi harus dipikirkan
cedera jaringan lunak, sebab cedera jaringan lunak selain mengganggu
fungsi juga dapat mengintervensi proses pemulihan cedera.

3. Pemeriksaan Klinis dan Penunjang Fraktur


Pendekatan dengan metode ATLS untuk semua pasien yang datang
dengan dugaan suatu kegawatdaruratan merupakan prioritas.Pendekatan ini
sudah di bahas di atas.
Serupa seperti pada pendekatan pasien lain, anamnesis dan
pemeriksaan fisik merupakan kunci awal pendekatan pasien untuk menuju
diagnosis yang tepat dan akurat. Secara umum pada pasien perlu ditanyakan
riwayat jatuh, cedera puntir, kecelakaan lalu-lintas. Informasi awal diperlukan
untuk menduga biomekanika cedera dan menduga apa jenis fraktur yang
terjadi. Pada kecelakaan lalu-lintas, perlu ditanyakan kecepatan saat tumbukan
terjadi, sebab energi trauma sebanding dengan kuadrat kecepatan yang
mengakibatkan

energi

pertambahan kecepatan.

bertambah

12

secara

kuadratik

seiring

dengan

Gejala yang umum adalah nyeri terlokalisir yang memberat dengan gerakan,
serta adanya penurunan fungsi.Nyeri yang sangat hebat biasanya merupakan
pertanda segmen fraktur yang tidak stabil dan banyak bergerak dan mengiritasi
persarafan periosteum.
Selain

mekanisme

trauma,

perlu

diperhatikan

riwayat

trama

sebelumnya, riwayat pembedahan sebelumnya, serta anamnesis standar untuk


penyakit lain seperti riwayat penyakit dalam keluarga, penggunaan obatobatan, alergi obat. Perlu pula ditanyakan makan dan minum yang terakhir
sebab berkaitan dengan persiapan operasi.
Pemeriksaan fisik, terutama status lokalis, menggunakan prinsip
sebagai berikut: inspeksi, palpasi (feel), dan gerakan (move), serta special
clinical tests (contoh: pengujian keutuhan ligamen, pemeriksaan neurologis).
Selain status lokalis, pemeriksaan fisik umum juga perlu dilakukan terhadap
pasien untuk menilai kondisi umum.

Inspeksi dapat melihat pembengkakan, deformitas (angulasi, rotasi,


pemendekan/aposisi). Perubahan warna kulit, seperti ekimosis akibat
ekstravasasi darah di jaringan subkutan dapat terlihat.1

Palpasi: nyeri tekan, pergerakan abnormal, krepitus, spasme otot yang


terutama terjadi di atas fraktur.

Gerakan: aktif maupun pasif, namun perlu diingat bahwa gerakan pada
fraktur dapat menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat.

Pemeriksaan khusus, seperti pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan


neurologis dapat menilai dan memperkirakan apakah terhadap cedera
terhadap saraf yang dapat bermanifestasi pada ekstremitas distal.
Pemeriksaan neurologis meliputi tonus, kekuatan, refleks, sensasi, dan
koordinasi.

Mencari kondisi khusus, seperti sindroma kompartemen dan cedera


vaskular.7

Pemeriksaan penunjang radiologi

sangat

diperlukan meskipun

pemeriksaan klinis sangat mendukung terjadinya fraktur. Pada


umumnya

digunakan

bidai

yang

radiolusen

(tahap

awal

penatalaksanaan fraktur), sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang.


Adapun syarat pengambilan foto rontgen adalah meliputi sepanjang
13

tulang yang dicurigai fraktur, kedua sendi (proksimal dan distal), dua
proyeksi (anteroposterior dan lateral). Beberapa fraktur membutuhkan
proyeksi khusus, seperti oblik (misal: tulang pelvis, vertebra).
Ada kemungkinan gambaran radiologi tidak menemukan kelainan,
namun kecurigaan klinis yang kuat tetap dapat membawa Anda untuk
memutuskan memberikan terapi fraktur tak bergeser (undisplaced
fracture), sebab pada kasus 1-2 minggu setelahnya justru akan terlihat
fraktur akibat proses penyembuhan yang berlangsung,1

4. Deskripsi Fraktur
Fraktur perlu diklasifikasikan berdasarkan beberapa parameter berikut ini:
a) Lokasi: diafisis, metafisis, epifisis, intraartikular, atau fraktur-dislokasi
b) Komplet atau inkomplet
c) Konfigurasi garis fraktur: transversal, oblik, spiral (jika satu garis
fraktur); kominutif (jika lebih dari satu garis fraktur)
d) Hubungan antarfragmen fraktur, bergeser (displaced) atau tidak
bergeser (undisplaced). Pada yang bergeser (displaced) dapat
mengalami translasi, angulasi, rotasi, distraksi, overriding, atau
impaksi. Secara sederhana displacement diartikan sebagai pergerakan
fragmen distal relatif terhadap fragmen proksimal.
e) Hubungan dengan lingkungan luar, yakni terbuka (simple) atau
tertutup (compound)
f) Komplikasi: dengan komplikasi (complicated) atau tanpa komplikasi
(uncomplicated). Komplikasi yang dimaksud dapat berupa komplikasi
lokal maupun sistemik

5. Fisiologi Penyembuhan Fraktur


Terdapat dua faktor yang berperan penting dalam penyembuhan fraktur, yakni
faktor biologis dan mekanis. Faktor biologis meliputi faktor pertumbuhan yang
disekresikan secara lokal oleh sel-sel di sekitar bagian yang patah. Faktor-faktor
pertumbuhan tersebut di antaranya anggota transforming growth factor beta (TGF), seperti insulin-like growth factor (IGF), platelet-derived growth factor (PDGF),
serta setidaknya tujuh macam bone morphogenetic proteins (BMP). BMP bersifat
osteoinduktif yang berarti dapat menginduksi sel mesenkimal perivaskuler untuk
14

memproduksi tulang di tempat fraktur. Golongan sitokin interleukin (IL) juga


mempercepat proses penyembuhan fraktur.1
Tahapan penyembuhan fraktur tulang kompak, termasuk diafisis, terbagi
menjadi beberapa fase, yaitu:
i.

Dampak awal fraktur


Fraktur diafisis menyebabkan putusnya pembuluh darah kecil dalam kanalikuli
sistem Havers. Terjadilah perdarahan lokal setempat yang berlanjut dengan
pembekuan darah, dari tempat fraktur sampai beberapa milimeter ke pembuluh
darah lain yang beranastomosis dalam tulang tersebut. Akibatnya, osteosit pada
lakuna di sekitar lokasi fraktur akan mati karena kekurangan suplai darah,
meninggalkan cincin jaringan avaskular pada masing-masing permukaan patahan.
Kedua permukaan tersebut tidak berperan dalam fase penyembuhan awal fraktur.1
Jika fragmen fraktur relatif tidak jauh bergeser, pembuluh darah yang terlibat
umumnya hanya cabang-cabang arteri nutrien dan arteri di periosteum sehingga
hematoma fraktur yang dihasilkan terpusat pada sekitar area patahan. Akan tetapi,
jika fragmen fraktur bergeser jauh dan terjadi cedera periosteum yang cukup berat,
arteri di jaringan otot dan lemak sekitar dapat pecah pula sehingga menghasilkan
hematoma masif yang melebar sampai ke jaringan lunak sekitar.1

ii.

Penyembuhan awal dari jaringan lunak


Hematoma fraktur menjadi medium utama penyembuhan awal patah tulang.
Sel-sel osteogenik berproliferasi dari lapisan dalam (kambium) periosteum untuk
membentuk kalus eksternal dan endosteum untuk membentuk kalus internal. Jika
cedera periosteum cukup berat, dibutuhkan sel-sel osteogenik hasil diferensiasi dari
sel mesenkimal di jaringan lunak sekitar. Proliferasi masif sel osteogenik pada
tahapan ini dikatakan lebih cepat dari bahkan neoplasma ganas tulang.
Pada fase ini, kalus memiliki konsistensi lunak dan hampir cair, mirip dengan
lem. Kalus semakin lama semakin kuat hingga akhirnya dapat menempelkan dan
meminimalkan gerakan fragmen patahan. Maturasi kalus ditandai dengan
pembentukan tulang oleh sel osteogenik yang berubah menjadi osteoblas, dimulai
pada lokasi yang relatif jauh dari fragmen patahan, memiliki periosteum dengan
suplai darah lebih baik, dan lebih sedikit bergerak. Pembentukan tulang baru secara
cepat menghasilkan tipe tulang anyaman primer (primary woven bone). Sementara
itu, di lokasi dekat fragmen patahan dengan suplai darah sedikit dan gerakan lebih

15

banyak, sel osteogenik berubah menjadi kondroblas dan membentuk tulang rawan.
Pada tahap ini, secara radiologis kalus masih tampak radiolusen.1
iii.

Penyatuan secara klinis


Kalus eksternal dan internal yang berkomposisikan campuran tulang anyaman
dan tulang rawan mengelilingi fragmen patahan. Lem biologis ini secara
bertahap menjadi semakin kuat dengan adanya osifikasi endokondral. Fase saat
kalus sudah cukup kuat sehingga tidak terjadi lagi pergerakan fragmen patahan
disebut dengan penyatuan klinis. Meski demikian, tulang belum kembali pada
kekuatannya semula. Secara radiologis, sudah terlihat komponen tulang pada kalus
yang ditandai oleh radioopasitas.1

iv.

Penyatuan secara radiografik


Kalus primer akan secara bertahap digantikan oleh tulang lamelar matur,
sedangkan kalus yang berlebih akan diresorpsi. Dalam hitungan bulan, seluruh
komponen tulang imatur dan tulang rawan dalam kalus akan digantikan oleh tulang
matur. Fase ini disebut konsolidasi atau penyatuan radiografik. Setelah konsolidasi
berlangsung, kalus berlebih akan diresorpsi hingga diameter tulang kembali
mendekati normal. Sisa-sisa angulasi, pergeseran, maupun tumpang-tindih akan
diproses melalui remodeling yang melibatkan deposisi dan reabsorpsi tulang secara
simultan (hukum Wolff). Meskipun proses tersebut dapat menghaluskan
permukaan angulasi, perubahan kesegarisan biasanya menetap, kecuali kasus-kasus
tertentu pada anak.1

Gambar 2.3 Gambaran Radiologis Fase Penyembuhan Fraktur

16

Apabila dilakukan reduksi dan dipasang fiksasi internal rigid di sekitar


fragmen patahan, proses penyembuhan yang terjadi akan berbeda. Tidak ada
stimulus untuk pembentukan kalus internal maupun eksternal. Penyembuhan
fraktur berlangsung dari korteks kedua fragmen patahan, disebut penyembuhan
tulang primer. Pada area kontak, osteoklas dan pembentukan osteon berjalan
mengikuti haversian remodeling sesuai aksis tulang. Alat fiksasi internal
melindungi situs fraktur dari stres sehingga memaparkan pada osteoporosis disuse.1
6.

Faktor yang Memengaruhi Penyembuhan Fraktur


Lama penyembuhan pada masing-masing individu sangat bervariasi. Meski

demikian, terdapat sejumlah faktor yang dapat membantu prediksi waktu yang
diperlukan untuk penyembuhan fraktur, di antaranya usia, lokasi dan konfigurasi
fraktur, pergeseran awal, dan suplai darah ke lokasi fraktur.
Penyembuhan fraktur, dibanding penyembuhan luka pada jaringan lain, sangat
bergantung pada usia. Fraktur saat lahir dapat segera sembuh, namun kemampuan
ini terus menurun seiring bertambahnya usia pada anak-anak, sampai lajunya
menetap pada dewasa muda hingga usia tua. Laju penyembuhan dipengaruhi
aktivitas osteogenik pada periosteum dan endosteum yang berkaitan dengan proses
remodeling tulang normal. Fraktur diafisis femur pada saat lahir akan sembuh
dalam 3 minggu, pada usia 8 tahun dalam 8 minggu, pada usia 12 tahun dalam 12
minggu, dan pada usia 20 tahun ke atas dalam 20 minggu.1
Fraktur pada tulang yang dikelilingi jaringan otot sembuh lebih cepat
dibanding tulang di persendian atau subkutan. Fraktur tulang spongiosa sembuh
lebih cepat daripada tulang kompak. Fraktur epifisis dua kali lipat lebih cepat
sembuh dibanding pada tulang yang sama pada kelompok umur yang sama.
Konfigurasi fraktur dengan permukaan patahan yang lebih luas, seperti oblik
panjang atau spiral, sembuh lebih cepat dibandingkan konfigurasi dengan
permukaan patahan sempit, misalnya transversus. 1
Fraktur dengan pergeseran fragmen yang jauh sembuh dua kali lipat lebih
lambat. Hal itu dipengaruhi keintakan periosteum. Semakin luas robekan
periosteum, semakin lama waktu yang diperlukan untuk penyembuhan. 1
Jika kedua fragmen patahan mendapatkan suplai darah yang cukup tanpa
komplikasi lain, penyembuhan fraktur akan terjadi spontan. Jika salah satu fragmen
kehilangan suplai darah, diperlukan imobilisasi dengan fiksasi rigid. Penyatuan
juga akan berlangsung lambat. Jika kedua fragmen kehilangan suplai darah, harus
17

diadakan revaskularisasi. Tanpa itu, penyembuhan tidak akan berjalan walaupun


dipasang fiksasi.

7. Komplikasi Fraktur
Fraktur dapat berkomplikasi, baik secara langsung, dini, maupun lanjut.
Komplikasi langsung antara lain:
a) cedera kulit, baik dari dalam maupun luar
b) cedera vaskular
c) cedera neurologi
d) cedera otot
e) cedera visera
Komplikasi dini antara lain:
a) lanjutan dari komplikasi lanjut, seperti nekrosis kulit, gangrene,
iskemia Volksmann (atau sindroma kompartemen), gas gangrene,
thrombosis vena, komplikasi cedera viscera
b) sendi (artritis septik)
c) tulang (infeksi osteomielitis, nekrosis avaskular segmen tertentu)
d) emboli lemak, emboli paru, pneumonia, tetanus, tremens delirium
Komplikasi lanjut antara lain:
a) sendi: kaku sendi persisten, artritis degeneratif pascatrauma
b) tulang: penyembuhan tidak normal (malunion, delayed union, nonunion)
c) gangguan pertumbuhan tulang
d) infeksi menahun (osteomielitis kronik)
e) osteoporosis pascatrauma
f) miositis osifikans, ruptur tendon
g) kalkuli renal

III.

Penatalaksanaan Fraktur Tertutup


Penatalaksanaan fraktur yang dibahas di bagian ini adalah penatalaksanaan
fraktur tertutup secara umum. Selain penatalaksanaan kegawatdaruratan di atas,
penatalaksanaan yang dibahas di bagian ini spesifik untuk penatalaksanaan masalah
ortopedi. Tujuan utama penatalaksanaan fraktur adalah: (1) meredakan nyeri; (2)
mereposisi dan mempertahankan posisi yang optimal; (3) menciptakan suasana yang
18

tepat dan kondusif untuk pemulihan fraktur; serta (4) mengembalikan fungsi, bukan
hanya tulang/sendi yang terlibat melainkan orang tersebut sebagai individu.1
1. Imobilisasi Akut Fraktur Tertutup
Nyaris seluruh fraktur memerlukan imobilisasi, sebab imobilisasi
mampu mengurangi nyeri, menjaga posisi terakhir, dan mempertahankan
struktur sekitar dari kerusakan lebih lanjut. Banyak metode untuk melakukan
imobilisasi, diantaranya adalah splint (bidai), casting (gips), fiksasi eksterna,
traksi eksterna, fiksasi interna, brace, maupun sling.

2. Terapi Definitif Fraktur Tertutup


Dari sekian banyak terapi definitif yang dapat dipilih untuk
penatalaksanaan

fraktur,

masing-masing

memiliki

indikasi

maupun

kontraindikasi.
a. Proteksi saja, tanpa imobilisasi maupun reduksi
Seperti pada penggunaan simple sling. Terapi ini digunakan untuk
fraktur yang undisplaced dan relatif stabil.
b. Imobilisasi dengan external splinting tanpa reduksi
Tindakan imobilisasi relatif, pada fraktur yang relatf undisplaced
namun relatif tidak stabil.
c. Reduksi tertutup dilanjutkan imobilisasi
Reduksi dilakukan dengan tindakan manipulasi dalam anesthesia (baik
umum, regional, maupun lokal).

Gaya reduksi pada umumnya

kebalikan dari gaya yang menyebabkan fraktur. Imobilisasi dilakukan


dengan plaster cast (gips). Terapi ini dilakukan pada fraktur yang
mengalami displaced dan memerlukan imobilisasi.
d. Reduksi tertutup dengan melalui traksi kontinu dilanjutkan imobilisasi
Traksi kontinu merupakan cara melakukan reduksi. Traksi dapat
melalui kulit maupun tulang (yang lebih definitif).Traksi umumnya
dilakukan sepanjang sumbu panjang (long axis).
e. Reduksi tertutup dilanjutkan brace
f. Reduksi tertutup dilanjutkan fiksasi eksterna
Dengan pin metal yang dimasukkan secar aperkutan menembus tulang
di atas dan di bawah daerah fraktur, kemudan kedua pin ditahan oleh

19

batang yang memfiksasi kedua pin ini. Diindikasikan untuk fraktur


yang kominutif dan relatif unstable.
g. Reduksi tertutup dilanjutkan fiksasi interna
h. Reduksi terbuka dilanjutkan fiksasi interna (ORIF)
Reduksi terbuka untuk kasus fraktur tertutup perlu dipikirkan dengan
matang, dan sangat dipikirkan untung-ruginya.Diindikasikan untuk
fraktur yang memang membutuhkan akses ke dalam, seperti jika
terdapat kerusakan vaskular maupun saraf.Secara umum tindakan ini
dikontraindikasikan untuk fraktur diafisis tibiae maupun humeri yang
dapat ditatalaksana dengan reduksi tertutup.
i. Eksisi fragmen fraktur, diganti dengan endoprostesis

IV.

Fraktur Diafisis Humeri


1. Klasifikasi Fraktur Diafisis Humeri
Salah satu klasifikasi fraktur diafisis humeri adalah menggunakan
klasifikasi AO.8

20

Gambar 2.4 Klasifikasi AO untuk fraktur diafisis humeri8

Pada klasifikasi ini, Tipe A adalah simple fracture, dengan A1 adalah


spiral, A2 adalah oblik (>30o), sedangkan A3 adalah transversal (<30o). Tipe
B adalah wedge fracture, dengan B1 adalah spiral, B2 adalah bending, B3
adalah fragmented. Sedangkan Tipe C adalah fraktur kompleks, dengan C1
adalah spiral, C2 adalah segmented, dan C3 adalah ireguler.

2. Mekanisme Fraktur
Pada umumnya fraktur diafisis humeri terjadi akibat trauma langsung 5
Trauma

langsung

cenderung

menghasilkan

garis

fraktur

berbentuk

transversal.1 Walaupun demikian dapat pula trauma jenis ini terjadi akibat
trauma tak-langsung, seperti akibat orang yang jatuh menahan tubuhnya
21

menggunakan ekstremitas atas, yang mana garis fraktur yang terjadi umumnya
berbentuk spiral.
Humerus dikelilingi oleh banyak otot, sehingga memiliki jaringan
periosteal yang relatif tebal.Dengan demikian fraktur humerus cenderung
mengalami penyembuhan yang baik dan cepat.Keberadaan n. radialis yang
mengelilingi sekitar bagian tengah diafisis humeri perlu menjadi perhatian
khusus.

Gambar 2.5 Sepanjang perjalanan menuju distal, n. radialis mengelilingi


daerah sekitar medial diafisis humeri, merentankan struktur ini terhadap
fraktur diafisis humeri5

3. Temuan Khas
Secara inspeksi, tampak pembengkakan di bagian tengah lengan atas.
Pasien juga mengatakan nyeri. Jika terjadi displacement, dapat terjadi
pemendekan lengan atas. Penderita tidak mampu menggunakan siku secara
aktif, melainkan perlu dibantu dengan tangan lain atau tenaga eksternal1.
Pemeriksaan n. radialis perlu diperiksa, sebab cedera terhadap n. radialis akan
mengakibatkan kehilangan kerja otot-otot ekstensor yang mengakibatkan wrist
drop. Pemeriksan lain yang perlu adalah bagian sensoris yang dipersarafi oleh
n. radialis (dorsum manum), pulsasi a. radialis, saraf lain (n. medianus
dengan oposisi ibu jari, dan n. ulnaris abduksi jari-jari).7 Komplikasi pada n.
radialis terjadi pada sekitar 10-15% fraktur diafisis humeri.
Pada umumnya fraktur yang lebih ke arah proksimal mengakibatkan
apeks mengalami angulasi medial karena aksi m. pectoralis major yang
menarik fragmen proksimal, sementara bagian distalnya ditarik oleh m.
22

deltoid. Sementara itu fraktur bagian tengah akan mengakbiatkan angulasi


lateral karena fragmen proksimal ditarik oleh m. deltoid, sementara fargmen
distal diatrik oleh m. biceps brachii dan m. triseps brachii.
Cedera bahu maupun siku perlu diperhatikan, baik secara klinis
maupun radiologis.

Gambar 2.6 Aksi dari otot-otot akan mengakibatkan kecenderungan arah


angulasi. Pada gambar (A), terjadi fraktur pada daerah yang cenderung
proksimal mengakibatkan angulasi medial, sedangkan pada gambar (B) terjadi
fraktur pada daerah tengah sehingga terjadi angulasi lateral7

4. Penatalaksanaan Khusus
Sebagaimana

penatalaksanaan

fraktur

pada

umumnya,

tujuan

penatalaksanaan fraktur diafisis humeri adalah untuk mencapai alignment


tanpa rotasi. Reduksi tidak harus sempurna, sebab bayonet apposition dinilai
sudah adekuat. Reduksi yang masih menyisakan sedikit pemendekan dapat
diterima. Dari pemahaman ini, dapat disimpulkan bahwa penatalaksanaan
fraktur diafisis humeri secara adekuat dapat terpenuhi dengan cara reduksi
tertutup. Reduksi tertutup terutama diperlukan untuk kasus fraktur dengan
garis fraktur transversal untuk menghasilkan kontak yang adekuat. Setelah
dilakukan reduksi, imobilisasi dengan U-shaped plaster slab (suger-tong
23

splint) dilakukan, dan diharapkan terjadi union dalam 6 minggu. Pilihan


terapi lain adalah dengan hanging cast yang dapat mengganggu pertemuan
kedua segmen fraktur, sehingga memperlambat terjadinya union. Fraktur jenis
spiral tidak membutuhkan reduksi.
Terdapat dua indikasi utama untuk dilakukan tindakan operatif berupa
reduksi terbuka, yakni apabila terdapat cedera a. brachialis (membutuhkan
perbaikan), serta terdapat functio laesa dari n. radialis.

Gambar 2.7 Hanging cast dan U-slab5

Gambar 2.8 Ilustrasi coaptation splint (sugar-tong)7


24

Gambar 2.9 Ilustrasi hanging arm cast7

25

BAB III
PEMBAHASAN
Pasien pada kasus kali ini merupakan seorang laki-laki berusia 55 tahun yang datang
ke rumah sakit dengan keluhan nyeri lengan atas kiri sejak 45 menit sebelum masuk rumah
sakit. Pasien mengatakan bahwa dirinya terjatuh saat memperbaiki kabel di atap plafon.
Berdasarkan anamnesis singkat di atas, secara sekilas pasien datang dengan riwayat trauma
sebelumnya. Penatalaksanaan ATLS membutuhkan penilaian singkat tentang ABCDE
sebagai dasar primary survey. Pada pasien, tidak didapatkan abnormalitas pada pemeriksaan
ABCDE, kecuali pada exposure. Exposure menunjukkan adanya abnormalitas pada inspeksi
ekstremitas atas sisi kiri, di mana tampak terdapat pembengkakan sewarna dengan kulit
disertai angulasi ke arah lateral pada kira-kira pertengahan lengan kiri atas.
Protokol ATLS mensyaratkan bahwa pasien perlu ditatalaksana secara segera sesuai
dengan temuan ABCDE. Pada pasien tidak ditemukan kegawatdaruratan yang membutuhkan
penatalaksanaan airway, breathing, dan circulation. Dengan demikian pada pasien
pemeriksaan dilanjutkan ke secondary survey. Dari anamnesis AMPLE, didapatkan bahwa
pasien tidak memiliki riwayat alergi, penggunaan obat metformin 500 mg 4 jam sebelum
kejadian dan makan roti 2 jam sebelum kejadian, pasien didiagnosis menderita diabetes
melitus. Kejadian pada kasus trauma membutuhkan informasi yang cukup lengkap mengenai
mekanisme terjadinya cedera.
Mekanisme terjadinya cedera pada pasien adalah lengan kiri atas sisi luar yang
membentur meja ketika pasien jatuh dari ketinggian sekitar 2,5 meter. Pasien merasakan
nyeri yang mana sesuai dengan gejala terjadinya fraktur. Eksplorasi fungsi pada pasien
dilakukan dengan melakukan penilaian gerakan, terutama pada kemungkinan cedera yang
terbesar. Pada kecurigaan fraktur humerus, diperlukan pemeriksaan nervus medianus, radialis,
dan ulnaris. Pada pasien ini tidak ditemukan penurunan fungsi di distal yang ditunjukkan
dengan tidak ditemukan gangguan fungsi yang terkait dengan ketiga nervus tersebut. Pulsasi
arteri radialis juga dinilai baik, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya cedera vaskular.
Tidak pula tampak tanda dan gejala yang mengarahkan kepada komplikasi akut lain seperti
sindroma kompartemen. Pada inspeksi untuk deskripsi fraktur, tampak terdapat
pembengkakan sewarna dengan kulit, tanpa luka terbuka. Terdapat pula angulasi ke arah
lateral. Pada palpasi terdapat nyeri tekan pada lokasi benturan, tidak ada krepitasi. Pada move
pasien mengeluhkan rasa nyeri apabila dilakukan pergerakan sendi bahu dan sendi siku

26

sehingga pemeriksaan ROM tidak dapat dilakukan dengan leluasa. Sementara itu ROM di
sendi pergelangan tangan, MCP, PIP, dan DIP semua jari tangan kiri baik.
Pada pasien kemudian dilakukan imobilisasi sementara dengan melakukan
pembidaian menggunakan karton kardus. Pembidaian dilakukan untuk mengurangi nyeri,
membatasi pergerakan, serta mencegah kerusakan lebih lanjut. Setelah pembidaian, dilakukan
pemeriksaan radiologi yang mengonfirmasi temuan klinis. Pada pemeriksaan radiologi
didapati fraktur diafisis humeri sinistra, dengan garis patah berbentuk oblik, terdapat
displacement berupa angulasi apex ke arah anterolateral. Tidak terdapat dislokasi dari sendi
proksimal maupun distal dari fraktur.
Mengingat tidak ada keterlibatan saraf dan vaskular dalam trauma, pada pasien
direncanakan dilakukan reduksi secara tertutup. Reduksi diperlukan sebab terjadi
displacement yang dapat mengakibatkan komplikasi pada penyembuhan, seperti mal-union.
Hal ini dilakukan sebab pada umumnya reduksi secara terbuka hanya diindikasikan pada
kondisi fraktur yang memang sudah terbuka (sekaligus untuk melakukan debirdement), serta
pada kasus lain seperti keterlibatan neurovaskular.
Pada pasien direncanakan penggunaan U-slab (coapation, atau disebut pula sugartong splint) setelah dilakukan reduksi tertutup. Setelahnya pasien perlu menggunakan sling.
Penggunaan ini dapat menyediakan traksi yang adekuat untuk mengatasi adanya
displacement berupa angulasi. Trauma yang adekuat dapat meluruskan kedua segmen tulang
yang fraktur. Pada umumnya clinical union akan tercapai dalam 6 minggu. Perlu diingat
bahwa clinical union akan tercapai terlebih dahulu dibandingkan dengan radiologic union,
sehingga pemeriksaan klinis menjadi mutlak.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system. 3rd edition.
Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 1999.
2. American College of Surgeons, Committee on Trauma. ATLS, advanced trauma life
support for doctors: student course manual. Chicago, IL: American College of Surgeons;
2008.
3. Buckley R. General Principles of Fracture Care [Internet]. Kumpul. Kuliah Ilmu Bedah.
2014. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1270717-overview
4. Theodore TL. Biomechanics of fractures and fixation [Internet]. 2009 [cited 2014 Jan 26].
Available from: ota.org/media/29251/G08_Biomechanics-Edited-with-Questions.ppt
5. Shenoy RM. Essentials of orthopedics. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers;
2010.
6. Rex C. Clinical assessment and examination in orthopedics. 2nd ed. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers; 2012.
7. Eiff MP, Hatch R, Kiggins MK. Fracture management for primary care. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2012.
8. Mostofi SB. Fracture classifications in clinical practice. London: Springer-Verlag; 2006.

28

Anda mungkin juga menyukai