Anda di halaman 1dari 15

Hari Pers (?

)
oleh: Wisang

Beberapa waktu lalu, tepatnya


pada Rabu 10 Februari 2016, unitku,
Majalah Ganesha merayakan Hari Pers
yang jatuh pada satu hari sebelumnya.
Berkolaborasi dengan unit-unit media
lain, kami mengadakan acara nonton
bareng film tentang pers berjudul
?Revolution will not be televised?. Film
tersebut
bercerita
tentang
pemberontakan di Venezuela yang
berusaha menggulingkan Presiden Hugo
Chavez. Menariknya, kup tersebut
berhasil karena peran pers yang
menguasai opini publik. Ya meski hanya
bertahan sebentar. Aku bukan mau
bahas filmnya, tapi perayaan hari pers
itu sendiri. Aku, yang merupakan
anggota dari unit media bahkan tidak
mengetahui pada bulan apakah diantara
12 nama bulan yang berjejer rapi di
kalender,
hari
pers
diperingati.
Sepertinya aku cuma anggota abal-abal
yang kurang baca.

Lazimnya mahasiswa kampusku yang


sudah memiliki himpunan, aktivitasku
tak
lebih
dari
memakmurkan
himpunanku dengan permainan kartuku
yang payah. Yang lebih menarik adalah
aku datang saja tanpa repot-repot
mencari tau asal usul hari pers. Baru
setelah aku pulang dari diskusi selepas
nonton aku terpikir untuk mencari tau.
Dan jadilah ini. Opini singkat dan
ngawurku tentang hari pers.
Yang kutau, Hari Pers selalu
diikhtiarkan untuk dirayakan dengan
meriah.
Tidak
tanggung-tanggung,
Presiden langsung yang akan hadir,
bukan sekretarisnya atau ajudannya. Pun
juga tahun ini, perayaan Hari Pers
Nasional (HPN) digelar di Lombok, NTB.
Bahkan tahun ini diadakan sail of
journalist dimana para jurnalis berlayar
dari Makassar menuju Lombok dengan
mengadakan
berbagai
seminar
jurnalistik. Ironisnya adalah, ditengah

majalah ganesha zine #02 | 01

megahnya perayaan HPN, koran cetak


yang merupakan bagian dari pers
Indonesia tengah dilanda badai hebat
revolusi digital. Tiras menurun drastis.
Bahkan, koran legenda seperti Sinar
Harapan pun mengumumkan tidak
akan lagi menelurkan harian cetak.
Ada lagi yang menurutku lebih ironis
di HPN. Saat kutelisik lebih jauh
mengenai
sejarah
ditetapkannya,
ternyata
9
Februari
dipilih
berdasarkan
lahirnya
sebuah
organisasi
wartawan
bernama
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),
yang berdiri pada 9 Februari 1946.
Sebuah organisasi yang niat awal
pembentukannya
adalah
untuk
mengimbangi berita-berita kolonial
yang menyudutkan. Sampai disini
tidak ada masalah bagiku. Namun
ternyata penetapan hari lahir PWI
sebagai hari pers dilakukan pada masa
orde baru, tepatnya pada tahun 1985.
Pada masa itu pers telah dibekuk dan
PWI
telah
menjadi
organisasi
pemerintah. Disinilah masalah muncul,
seolah-olah
pemerintah
ingin
memanfaatkan momentum penetapan
hari pers ini untuk memberikan
legitimasi
kepada PWI
sebagai
organisasi wartawan yang mendukung
pemerintah. Lagi, adalah bahwa PWI
merupakan
sebuah
organsasi
wartawan yang keanggotaannya harus
dilamar. Tidak semua wartawan
merupakan anggota PWI.

organisasi wartawan? Mengapa bukan


hari lahir Serikat Penerbit Suratkabar
(SPS) yang lahir berdekatan dengan
PWI yaitu pada tanggal 8 Juni 1946?
Padahal tujuan pendiriannya juga
untuk
mengimbangi
pemberitaan
kolonial sehingga PWI dan SPS sering
disebut kembar siam. Mengapa?
Jangan tanya aku, karena aku pun tak
tau.
Seharusnya
hari
pers
diperingati
dengan
mengambil
momentum lahirnya pers Indonesia
yang benar-benar Indonesia. Dalam
artian pendirinya orang Indonesia dan
mewakili suara rakyat dan perjuangan
Indonesia. Singkatnya, hari pers
seharusnya
diperingati
dengan
momentum lahirnya pers nasional,
bukan lahirnya organisasi wartawan
yang terbatas. Lagipula penetapan hari
pers pada momentum lahirnya PWI
pada 1946 seolah mengangkangi
sejarah pers sebelum kemerdekaan.
Pada awal abad 20, menurutku sudah
lahir pers nasional yang pertama, yaitu
koran cetak bernama ?Medan Prijaji?
yang dirintis oleh Raden Mas Tirto
Adhi Soerjo. Meski tidak bertahan
sampai kemerdekaan, ?Medan Prijaji?
telah
memunculkan
gelumbang
perlawanan baru dan lebih mematikan
terhadap kolonialisme Belanda. Medio
1912-1945
menjadi
saksi
akan
pentingnya peran pers nasional dalam
memperjuangkan
kemerdekaan.
Menilik statusnya sebagai ?yang
pertama? dan dampak pendirian serta
suaranya dalam memperjuangkan
kepentingan bangsa, mungkin tanggal
penerbitan ?Medan Prijaji? yang
pertamalah yang seharusnya dijadikan
sebagai momentum untuk peringatan
Hari Pers Nasional. Ah aku terlalu
banyak membaca Pram. Aku ralat,
mungkin tanggal berdirinya Majalah
Ganeshalah yang seharusnya dijadikan
momentum Peringatan Hari Pers
Nasional.

Logikanya menurutku seperti


ini, wartawan merupakan bagian dari
pers, dan PWI merupakan bagian dari
wartawan. Jadi agak aneh jika
menjadikan momen munculnya yang
sebagian itu menjadi peringatan
kelahiran suatu kesatuan yang utuh.
Toh peringatan Ulangtahun Ofek tidak
dilakukan ketika dia menjadi Ketua
Majalah Ganesha, atau peringatan
ulang tahun Rey tidak dilakukan saat ia
terpilih menjadi Ketua TPBersatu.
Ulangtahun mereka diperingati pada
hari dimana mereka baru saja mbrojol
Eh ngomong-ngomong, kapan
dari perut emak masing-masing.
ya ulang tahun Majalah Ganesha?
Mengapa
harus
hari
lahirnya

majalah ganesha zine #02 | 02

Apasih definisi itu? Ketika kita belajar


tentang suatu hal, tak jarang kita harus
memulainya dengan memahami definisi hal
tersebut. Apalagi dalam pembicaraan suatu
ilmu,
sudah
pasti
diawali
dengan
pembahasan mengenai definisi obyek ilmu
tersebut. Definisi adalah pengetahuan yang
kita perlukan untuk menjelaskan pengertian
kata agar tidak terjadi kesimpang siuran
dalam penggunaannya. Mendefinisi adalah
menyebut sekelompok karakteristik suatu
kata sehingga kita dapat mengetahui
pengertiannya serta dapat membedakan kata
lain yang menunjuk pada obyek yang lain
pula.1 Mendefinisi harus dimulai dengan
mengenali karekteristik kata. Karakteristik
tersebut tidak lain adalah genera (jenis) dan

burung, mendefinisi ?mawar? harus dimulai


dari bunga, dan seterusnya. Salah satu hal
yang dapat dijadikan differentia (pembeda)
adalah sifat yang melekat pada obyek yang
akan didefinisikan.
Dalam logika ada sebuah batasan yang
sangat terkenal tentang manusia yakni
?binatang yang berpikir?.2 Definisi yang
seperti ini sudah sah secara logika karena
telah memiliki unsur genera dan differentia.
Sesuai dengan contoh definisi diatas genera
bagi
manusia
adalah
binatang
dan
differentianya adalah ` yang berpikir?. Sifat
yang dimiliki manusia, yaitu berpikir dipilih
sebagai differentia karena tidak ada binatang
lain yang berpikir. Sehingga dengan memilih
binatang sebagai genera, kita langsung
sampai
pada
pengertian
manusia.

differentia (pembeda). Mengapa perlu


genera?
Genera
dibutuhkan
untuk
mendekatkan kita pada obyek yang akan
didefinisikan. Oleh karena itu pemilihan
genera harus dalam lingkup yang terkecil
sehingga saat kita beri differentia (pembeda)
kita langsung sampai pada pengertian obyek
yang akan kita definisikan. Misalnya
mendefinisi ?elang? harus dimulai dengan

M anusia itu
Apa?

Seharusnya.
Tapi aku jadi berpikir, apa benar
binatang lain tidak bisa berpikir? Mungkin
saja mereka bisa berpikir, namun dengan cara
mereka sendiri. Mungkin saja, apa yang
disebut manusia sebagai insting adalah cara
berpikir binatang yang tidak manusia
mengerti. Jangan-jangan mereka sedang
menertawai kesombongan manusia yang
berpikir hanya manusia sahajalah yang dapat
berpikir. Mungkin dalam setiap embikan
kambing, kokokan ayam jantan saban subuh,
dan eongan kucing yang sering kena tendang
manusia, terselip nada ejekan akan definisi
manusia yang didefinisikan oleh manusia
sendiri dengan penuh kesombongan.
Apalagi
sekarang
jaman
sudah
semakin edan. Manusia dengan sombongnya

majalah ganesha zine #02 | 03

menyakiti binatang lain, bahkan makhluk


lain. Tak ketinggalan bumi milik bersama pun
dirusak semena-mena. Atas nama takhta,
wanita, dan tentunya harta. Aku bayangkan
pasti sekarang binatang bukan hanya
mengejek saja, tapi sudah pada tahap
menertawai manusia, yang mendefinisikan
diri sebagai binatang yang berpikir namun
tidak
menggunakan
pikirannya untuk
bertindak. Kelakuan si binatang yang berpikir
ini memang sudah keterlaluan, perang
dimana-mana,
hutan
ditebangi,
binatang-bintang diburu, bumi dikeruk habis,
yang kuat menindas yang lemah, kejahatan
dimana-mana, dan masih banyak lagi
kelakuan buruk si binatang yang berpikir ini.
Salah satu manusia yang menyadari kelakuan
buruk golongannya adalah penyair favoritku,
Mas Dwi Danto, dalam tembangnya yang
berjudul ?Bebal? mencoba mengingatkan kita
semua akan kelakuan buruk kita sebagai
binatang berakal, salah satu bait liriknya
seperti ini :
?? ? .Jika bumi adalah ibu, kita manusia
memperkosa ibunya
Setiap hari, setiap jam, setiap menit,
setiap detik
Jika laut adalah ibu, kita manusia
memperkosa ibunya
Setiap hari, setiap jam, setiap menit,
setiap detik
Jika hutan adalah ibu, kita manusia
memperkosa ibunya

melihat kelakuan manusia yang bertindak


tanpa berpikir. Hanya mengikuti nafsu
belaka. Jika para binatang dapat bertemu
dalam suatu kongres akbar, tentu mereka
akan menyusun gerakan protes dan
perlawanan terhadap manusia si binatang
yang berpikir. Para binatang, dengan cara
pikir
masing-masing,
mungkin
akan
membikin definisi baru yang lebih cocok buat
manusia. Binatang yang bernafsu? Kupikir
binatang lain juga memiliki nafsu, sehingga
?yang bernafsu?tidak cocok dijadikan sebagai
differentia.
Mungkin
?binatang
yang
berpakaian? akan menjadi salah satu calon
kuat sebagai definisi manusia menurut
binatang. Soalnya binatang lain kan tidak ada
yang berpakaian dan semua manusia,
sepanjang yang kutau, berpakaian meski
hanya sepotong kain kecil sebagai cawat.
Sehingga ?yang berpakaian? akan cocok
digunakan sebagai differentia.
Tapi definisi tersebut juga akan
menimbulkan permasalahan, kata kawanku
yang
menemani
soreku
ketika
aku
menyelesaikan tulisan ini. ?Bagaimana jika
manusia mandi? Ia tidak berpakaian? Berarti
jika menggunakan definisi ?binatang yang
berpakaian?, manusia yang mandi sudah
keluar dari definisi tersebut??, begitu
katanya. Kala itu kujawab ?Lalu apa bedanya
dengan definisi ?binatang yang berpikir?? Toh
banyak manusia yang sudah tidak lagi
berpikir . Berarti yang seperti itu bukan
termasuk manusia??. Ia hanya tertawa.

Setiap hari, setiap jam, setiap menit,


setiap detik? ? ..?
Mungkin binatang, tumbuhan dan
bumi sedikit terhibur menyaksikan masih ada
anak manusia yang sadar akan perilakunya,
bahkan
membikin
tembang
untuk
menyadarkan saudara-saudaranya yang lain.
Aku juga senang ada Mas Dwi Danto yang
menyuarakan isi hatiku lewat petikan
gitarnya. Soalnya, akhir-akhir ini aku sering
berpikir, tentang aku yang seorang manusia,
tentang alam, tentang binatang, tentang
tumbuhan, tentang bagaimana seharusnya
manusia sebagai binatang yang berpikir
berperilaku. Mungkin definisi binatang yang
berpikir hanya berlaku di kalangan manusia.
Aku jadi geli sendiri membayangkan para
binatang memprotes definisi sombong itu
majalah ganesha zine #02 | 04

Kampus sebagai perguruan tinggi


seharusnya
dijalankan
berdasarkan
prinsipnya yaitu tempat bagi pencarian
kebenaran ilmiah oleh sivitas akademika.
Kampus semestinya menjadi tempat yang
paling tepat bagi diskusi ilmiah, baik itu soal
ilmu sosial atau ilmu sains/ eksak, tidak
peduli isu yang dibahas adalah isu
kontroversial atau bukan. Karena diharapkan,
jika diskusi diadakan di lingkungan kampus,
diskusi tersebut akan terbebas dari pengaruh
yang non ilmiah seperti kepentingan politik
kelompok tertentu dan sebagainya.

Lalu jika pihak LK ITB beralasan bahwa


pelarangan diskusi ini karena narasumber
yang didatangkan terlalu memihak di satu
sisi, dalam hal ini pro kaum LGBT,
bagaimanakah
jadinya
jika
yang
penyelenggara datangkan adalah mereka
yang menolak keras keberadaan LGBT. Kita
yakin dan tahu pasti bedanya reaksi kampus
jika narasumber yang dihadirkan SGRC UI dan
reaksi kampus jika narasumber yang
dihadirkan Felix Siauw. Menarik untuk dilihat
bagaimana reaksi LK ITB jika unit yang kental
nuansa Arabnya itu mengadakan diskusi di
lingkungan kampus dengan tema yang
serupa. Atau memang sudah dilaksanakan
ya?

Tapi itu kan hanya ?seharusnya?.


Kenyataannya tentu berbeda. Di Institut
Tarbiyah Teknologi Bandung, keadaannya
dibalik 180 derajat. Pihak kampus, dalam
Maka, jika sikap pelarangan diskusi
kasus ini Lembaga Kemahasiswaan ITB (LK
yang ditunjukkan oleh ITB dimaksudkan
ITB) beserta ?kawan ? kawannya? , justru
untuk tetap menjaga nama baik kampus dari
menekan ruang bagi diskusi ilmiah yang
isu kontroversial dan berusaha bersikap
hendak diadakan oleh Unit Institut Sosial
netral terhadap isu yang hadir di masyarakat,
Humaniora ?Tiang Bendera? dan Unit Majalah
justru ITB malah menodai nama baiknya
Ganesha. Tema yang hendak diangkat, yaitu
sebagai perguruan tinggi karena telah ingkar
?Kampus dan LGBT?. Memang terdengar
dari tujuan dan prinsipnya sebagai perguruan
kontroversial
tinggi
yaitu
saat
pertama
sebagai tempat
terdengar,
bagi
pencarian
namun
kebenaran
semestinya tidak
ilmiah.
Lebih
akan
terlalu
jauh
lagi,
Oleh: Kudiw
kontroversial
pelarangan
ini
apabila LK ITB
mungkin
saja
terlebih dahulu mengajak obrol dan mencari
hanya awal dari pelarangan-pelarangan
tahu lebih lanjut soal diskusi ini dari pihak
diskusi ilmiah yang lain, misalnya tema yang
panitia penyelenggara lalu memutuskan
menentang ideologi Pancasila dan demokrasi
apakah akan memberi izin atau tidak.
seperti konsep negara islam. Eh. Itu sih
Bukannya sebaliknya, memutuskan untuk
mestinya dibuka ruang seluas-luasnya.
tidak memberikan izin baru menceramahi, eh
Karena satu-satunya cara memajukan bangsa
mengajak obrol panitia penyelenggara.
ini adalah memperjuangkan negara Islam.
Perjuangkan Khilafah Islamiyah! Perkuat
Padahal, seandainya LK ITB mau
persaudaraan Muslim! Demi masa depan
meluangkan sedikit saja dari waktunya untuk
Indonesia, Allahu Akbar!
mengajak obrol
pihak penyelenggara,

Cacat Pikir

Lembaga Kemahasiswaan ITB

barangkali beliau-beliau ini baru akan tahu


bahwa yang hendak kami diskusikan tidaklah
sesempit apakah perilaku LGBT itu benar
atau salah (sekiranya inilah hal yang mereka
maksud kontroversial dan mereka hindari).
Melainkan lebih luas lagi, bagaimana
seharusnya kampus bersikap tentang LGBT.
Bagaimana kiranya jika seorang mahasiswa
yang mengaku LGBT mencalonkan diri
sebagai pejabat strategis di struktur
kemahaiswaan? Bagaimana peluang dan
kesempatan
yang
dimilikinya?
Atau,
bagaimana, seharusnya dan realitanya, reaksi
massa kampus terhadap hal ini?

Lalu seperti diketahui, meski tanpa izin


dari LK, penyelenggara tetap mengadakan
diskusi yang bersifat tertutup pada hari dan
jam yang sama, dengan meminjam tempat
yang tentunya tanpa izin dari yang berkuasa.
Seberapa tertutup? Tertutup di sini ada pada
level: tempat diskusi dirahasiakan, calon
peserta
diskusi
mesti
menghubungi
narahubung terlebih dahulu untuk tahu
tempat diadakannya diskusi, tapi sebelum itu
narahubung terlebih dahulu menyeleksi
calon peserta diskusi dengan mengecek
profil facebook mereka, karena siapa tahu
intel ITB juga menyamar jadi calon peserta
majalah ganesha zine #02 | 05

diskusi. Ya, kampusmu pun punya intel. Nah,


setelah kamu bisa menyindir kampus ini
sebagai korporasi, sekarang kamu juga bisa
menyebut kampus ini badan intelijen. Ah,
inikah rasanya hidup di zaman orde baru?
Dan LK ITB tentunya sadar bahwa
orang-orang seperti kami ini tidak akan
berhenti hanya karena tidak diberi izin
sehingga mereka meningkatkan keamanan
pada jam-jam menjelang diskusi dengan
menaruh satpam dan intel lebih di titik
tertentu di kampus. Kami pun sadar bahwa
mereka hanya menjalankan tugasnya sebagai
lembaga
yang
mengawasi
kegiatan
kemahasiswaan kalau-kalau ada kegiatan
yang berpotensi mencoreng nama baik
kampus. Namun yang tidak mereka sadari
adalah dengan cara pengawasan yang
berlebihan, terutama pelarangan
dan
pembubaran
diskusi,
mereka
telah
menyamakan derajat mereka setingkat
dengan ormas-ormas anak kandung orde
baru yang senang membubarkan diskusi
berbau kekirian atau ormas-ormas ?yang
mengaku
beragama?
yang
gemar
mengganggu kebebasan beragama dan
kebebasan hidup orang yang mereka anggap
tidak sejalan dengan mereka. Jauh lebih
buruk dari itu, nama ITB yang dikenal sebagai
kampus yang paling nyaring dalam
menentang kekuasaan orde baru dulu, justru
masih memelihara dengan baik nilai-nilai
yang rezim tersebut tanamkan sampai
sekarang. Ironinya, nilai-nilai itulah yang
mereka tentang pada waktu dulu.
Maka,
apakah
pelarangan
dan
pembubaran diskusi ilmiah ini adalah awal
dari neo orde baru ala ITB? Atau mereka
cuma memasuki masa pubertas lagi di
usianya yang ke-57?

majalah ganesha zine #02 | 06

AKU DAN PENA


Oleh: Babe GS
Tahu tak kau ku kenapa?
Tak ku tahu kau kenapa
Tahu tak ku kau kenapa?
Tak kau tahu ku kenapa

JERUJI BENANG
Oleh: Babe GS
Secarik kert as hendak dirampas
Set et es tint a menghindar dari dusta
Pena gelap bangkit dari lelap
Dat uk duduk merajuk
Mabuk

majalah ganesha zine #02 | 07

Salah Arti

oleh Ayu Nurhuda

Ketika
kekalahan
sengaja
diperangkan, ketika diam menjadi senjata,
ketika semua itu disalah-artikan. Pendapat
setiap kepala jelas tak mungkin bisa
selalu satu suara. Sirkulasi darah di dalam
setiap otak yang memiliki akal itu
memiliki ?jenis arus? yang tak sama. Dan
fatalnya
ketika
seseorang
keliru
mengartikan makna dari kata mengalah.
?Kalau mau menjadi pemimpin itu harus
pandai berdebat. Kalau ga pandai berdebat,
Andai saja orang yang berbicara
sedemikian rupa tersebut memahami
bahwa diamnya seseorang itu tak selalu
mencerminkan kekalahan. Ketika dunia
sudah penuh dengan orang-orang yang
senang berbicara, diam bisa menjadi
suatu kemenangan, setidaknya jalan
untuk menuju kemenangan.
Orang diam bukan berarti dia
bodoh atau tidak mengetahui (misalkan
sesuatu perkara tertentu). Bahkan di balik
diamnya seseorang, kau tidak pernah
tahu, mungkin saja ia berkonotasi dengan
sebuah danau yang nampak tenang dan
terlihat setidaknya tidak membahayakan.
Namun pada kenyataannya, kita tidak
pernah tahu, apa saja yang sudah dilahap
habis dan disimpan di dalamnya. Kita
tidak bisa melihatnya, tentu saja.
Terkecuali ketika keadaan mendesak
datang, ia dapat dengan mudahnya
memutahkan beberapa isinya dari dalam,
bahkan seluruhnya. Atau ketika keadaan
mendesak tersebut tak kunjung datang,
maka tak ada cara lain selain kita
menyelaminya,
melihatnya
dan
menyentuhnya secara langsung.

Tak terduga? Mungkin.


Maka, jangan salahkan ketika
orang-orang asyik berbicara, semua
selak beluknya dapat sangat tampak
dengan sendirinya. Ketika ada orang
yang asyik berbicara, padahal dia
sedang berbicara satu sama lain (antar

SUBmaka
-HEAD
LINE
sesama yang suka berbicara)
tak
jarang ego muncul kepermukaan dan
?rasa saling tak mau mengalah? di
gembor habis habisan.
Jika
menilai
suatu
benda
berdasarkan apa yang tampak muncul
ke permukaan sebagai panutan, maka
tak heran jika hal tersebut sangat
sering terjadi timbulnya kesalahan
pahaman. Mungkin benar adanya,
bahwa pada penilaian awal yang
sempat
terbesit
di
dalam
neufron-neufron bisa menjadi salah
satu acuan. Namun pada akhirnya, itu
tentu masih dalam bentuk hipotesa
yang bisa jadi hanyalah sebuah
kumpalan asap jika tidak dilanjutkan ke
dalam sesi selanjutnya. Mengigit kuku
mungkin bisa menjadi salah satu solusi
jika hal setengah matang tersebut naik
ke permukaan.
Jika kalian melihat bagaimana
kepemimpinan seseorang dapat dilihat
dari bagaimana ia lihai dalam
perdebatan, maka itu adalah suatu
keliruan. Karena orang bijak pada
umumnya akan diam ketika situasi
masih dalam keadaan yang dapat
diatasi oleh permbicaraan damai dan
terbuka. Karena perdebatan tak jauh
dari panasnya kepala dan kerasnya
hati. Maka, hal tersebut jarang
mendekati sosok yang bijak.
Debat tentu saja boleh dilakukan
ketika hal tersebut memiliki ujung
yang nyata. Tanpa melahirkan masalah
baru. Karenanya, kiasan ?Diam itu
emas? memang ada benarnya. Namun
ketika diam saat keadaan genting, dan
diamnya tersebut semakin membuat
pemasalahan menjadi ?runyam?, maka
menjadi diam itu tidak dianjurkan,
sangat tidak.

majalah ganesha zine#02 | 08

fot o oleh : Ayu Nurhuda

Biarpun pagi tak disambut oleh kesegaran


pandangan gradasi warna yang terefleksikan
dari hamparan samudra di cakrawala kala itu,
namun tetap saja kawanan burung takkan
bisa lepas dari
rutinitas hariannya,
menebarkan output biologis mereka, yang
nyatanya juga memberikan suatu efek
lumrah, ?membangunkan? makhluk berakal
dari bunga tidurnya. Sudah jelas semua itu
bukanlah sebuah tujuan utama dari kicauan
dan kepakan sayap yang mereka tebarkan
dari balik dahan-dahan cemara atau
bentangan kabel-kabel hitam yang dipautkan
dengan puncak tiang baja setinggi kurang
lebih lima sampai enam meter yang berjajar
di setiap sisi jalan beraspal, atau bahkan dari
balik celah di dalam sebuah atap rumah yang
cocok untuk memandu kasih dengan
pasangan
dan
menjaga
kehangatan
telur-telur mereka.

Sudah sejak lama sih, sosok itu


mengagumi makhluk bersayap tersebut. Entah
sejak kapan ia baru sadar, yang mungkin sebuah
refleksi dirinya yang akhir-akhir ini sering
menamparnya. Kepercayaan adalah sebuah
landasan yang sudah dibentuk sejak dini pada
sosok itu, yang tentu saja lahir dari lingkungan
pertamanya, keluarga. Sudah mendarah daging
sepertinya, menjadi sebuah kebiasaan layaknya
sebuah kamuflase yang menjelma dari sebuah
layang-layang. Dilepas bebas namun tetap
dalam jangkauan.
Walau petang menyambutnya dengan
penampilan
semenarik
mungkin,
lagi
pesonanya yang begitu terlukiskan di
bentangan cakrawala saat itu dan sayangnya tak
bisa dideskripkan dengan kata-kata. Sosok itu
masih tertegun dan rupanya masih berkaca diri.
Ia termenung dan bertanya, sebenarnya
bagaimana proses ia menjadi tumbuh dan
berkembang sampai ia menjadi sekarang ini.

majalah ganesha zine#02 | 09

Pada akhirnya batu akan menjadi legok juga jika ia terus ditetesi air
pada suatu ?spot?tertentu.

Perumpamaan
yang
sebenarnya tidak terlalu cocok sih,
tapi itu salah satu kalimat inti
pribahasa yang selalu terenyam di
nadinya. Ia sadar, bahwa selama ini
perjalananlah yang membawanya
ke dalam sebuah perkembangan.
Perjalananlah yang membawanya
pada
kacamata
baru
dari
pandangannya yang mulai menjadi
keruh kembali jika ia lama tak
membawa kedua langkahnya ke
?tanah baru?. Benar apa yang
dikatakan
oleh
Mark
Twain
mengenai penyesalan yang akan
kamu raih terhadap apa yang tidak
kamu lakukan pada masa muda di
dua puluh tahun ke depan.

sangkar, ia akan bertanya pada


pemiliknya. Mengatakan seperti,
?Hewan bersayap dan bisa
terbang itu berasal dari dunia liar,
kenapa dimasukan ke dalam
sangkar?
Keahliannya
akan
menurun nanti..?

Walau percakapan penuh


rasa empati, tawa, diskusi, saling
bertukar
pikiran, bekerjasama
menuntaskan permasalahan yang
sedang
melanda
dengan
sosok-sosok lainnya, pada akhirnya
ia sangat sadar, bahwa energi yang
ia dapatkan semua itu berasal dari
rumahnya,
kediamannya,
keluarganya.
Sekuat
apapun
mengubah proses penyerapan
energi itu untuk ditukar, sampai
pada titik persentasi tertinggi yang
pernah diraihnya, tetap saja semua
akan kembali.
Mengenai
burung
dan
layang-layang, itu adalah salah satu
cara yang sejauh ini memberikan
sumbu koordinat yang cukup jauh
di atas rata-rata dalam dirinya.
Dibebaskan namun tetap terkait
pada tali yang diulurkan dan tentu
masih dalam jangkauan. Kadang
sosok itu jika melihat makhluk
bersayap yang berada dalam suatu

majalah ganesha zine#02 | 10

Seorang
PENGECUT ULUNG

Jujur saja, sebenarnya aku yang


sekarang adalah seorang pengecut.
Aku
berlindung di
balik
institusi agar keberadaanku ada. Agar
aku memiliki nilai. Bukan karena
karyaku. Bukan karena perbuatanku.
Bukan karena manfaatku pada orang
lain. Aku memang seorang pengecut.
Padahal, yang menentukan nilai
seseorang adalah apa yang sudah
diperbuatnya.
Karena
pengecut
tetaplah
pengecut sampai dia bisa berdiri di
atas kakinya sendiri. Tanpa tembok
organisasi yang melindungi. Aku
tetaplah pengecut sampai aku tak lagi
membawa-bawa
tempat
pendidikanku dulu dengan apa yang
kuperbuat pada sesama. Karena,
pelaku yang seharusnya melakukan
perbuatan itu adalah, bukan aku
sebagai
mahasiswa dari
suatu
kampus. Tapi aku, aku yang mewakili
diriku sendiri.

Himpunan yang itu. Juga bukan


sebagai aktivis majelis keagamaan
yang di sana.
Aku yang sekarang ini
memang pengecut. Tapi, aku akan
terus
mencari
pembelajaran.
Sampai akhirnya aku telah menjadi
aku yang bukan pengecut, aku
sebagai aku yang berjalan dengan
kakiku sendiri.
Pada akhirnya, aku yang
sebenarnya adalah aku saat diriku
mati. Dan aku adalah apa yang
sudah kuwariskan pada dunia.

- Farhad Zamani
STEI ITB 2015
16515327

Dan aku ingin menjadi diriku


sendiri. Bukan sebagai anggota
komunitas ini. Bukan sebagai Ketua

majalah ganesha zine#02 | 11

FEMINISMEDALAMPRIDEANDPREJUDICE:
SUBJEKDANBUKANOBJEK
oleh : praditaaprilia

Isu feminisme memang acap kali


dijadikan tema utama dalam suatu karya sastra.
Bahkan jauh sebelum A Room of One?s Own
(1929)-nya Virginia Woolf yang disebut-sebut
sebagai pelopor lahirnya isu feminisme ini,
seabad sebelumnya, Jane Austen dalam
novelnya yang berjudul Pride and Prejudice
sudah
terlebih
dahulu
mencoba
menyampaikan pesan mengenai kesetaraan
hak antara perempuan dan laki-laki ini. Pride
and Prejudice sendiri telah berusia lebih dari
200 tahun dan hingga kini masih menjadi salah
satu novel klasik terpopuler di tanah Britania
Raya itu, tentunya hal ini menjadi prestasi
tersendiri bagi suatu karya sastra.

Sekilas novel ini memang hanya


menawarkan kisah roman klasik antara
seorang gadis bernama Elizabeth Bennet
dan seorang bangsawan kaya raya, Mr
Darcy, dengan latar abad pertengahan. Tapi,

justru di sanalah perbedaan mendasar


diciptakan olehnya. Austen, bukan hanya
mencoba membongkar prespektif cinta
sebagai tragedi yang telah mendarah daging
sejak zaman Romeo and Juliet-nya Tuan
Shakespeare, tetapi, lebih jauh lagi? melalui
Elizabeth Bennet? Austen juga mengusung
gagasan feminisme, suatu hal yang luar biasa
mengingat Pride and Prejudice ditulis pada
masa-masa krusial setelah meledaknya
Revolusi Perancis yang menuntut adanya
persamaan dan kesetaraan hak.
Secara etimologis, feminis sendiri
berasal dari kata femme, berarti perempuan
yang bertujuan untuk memperjuangkan
hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai
suatu kelas sosial. Tujuan feminis adalah
tercapainya keseimbangan interelasi gender.

majalah ganesha zine#02 | 12

Dan di dalam Pride and Prejudice,


Elizabeth Bennet sebagai tokoh sentralnya,
mewakili sudut pandang masyarakat Inggris
pada abad ke-19. Dimana pada masa itu,
wanita masihlah dianggap sebagai objek
dan, secara semena-mena, sebagai alat balas
budi. Lahir dalam sebuah keluarga dengan
lima anak perempuan, termasuk dirinya
sendiri, tanpa memiliki saudara laki-laki
kandung seorang pun, membuat Bennet
bersaudara dipaksa untuk mencari suami
yang kaya raya dan dari golongan
terpandang oleh ibu mereka. Namun,
Elizabeth secara keras menentang hal itu.
Perlawanannya terhadap pandangan bahwa
perempuan hanyalah objek dari laki-laki
dalam suatu pernikahan, jika ditinjau dengan
pendekatan teori Woolf, termasuk dalam
gerakan feminisme liberal yang berakar
pada
pandangan
bahwa
kebebasan
(freedom) dan kesamaan (equality) berakar
pada rasionalitas dan pemisahan antara
dunia privat dan publik.
Feminisme
ini
berusaha
memperjuangkan agar perempuan mencapai
persamaan hak-hak yang legal secara sosial
dan politik. Mampu membawa kesetaraan
bagi perempuan dalam semua instansi
publik untuk memperluas penciptaan
pengetahuan bagi perempuan agar isu-isu
tentang perempuan tidak lagi diabaikan.
Feminisme liberal mengajukan gugatan agar
diadakan pengendalian agar perempuan
tidak dirugikan dalam suatu sistem yang ada.

Elizabeth meyakini bahwa dalam


suatu
pernikahan,
seharusnya
pihak
perempuan dan laki-laki memiliki hak yang
sama untuk memilih dan menentukan,
bahwa pihak perempuan tidak seharusnya
menyerahkan hidupnya kepada seorang
laki-laki yang tidak dicintainya hanya demi
memenuhi
tuntutan
sosial
dalam
masyarakatnya.
Dengan karakter kuatnya inilah yang
akhirnya membuat Elizabeth Bennet menjadi
salah satu tokoh fiksi perempuan yang
paling dicintai dalam literatur Inggris.
Kekuatan pemikiran dari Elizabeth ini,
tampaknya sedikit banyak dipengaruhi oleh
buku-buku bacaannya, yang mana, pada
zaman itu, aktivitas membaca lazimnya
dilakukan oleh kaum laki-laki kelas atas.
Pride and Prejudice memiliki kekuatan yang
bagus untuk sebuah buku sastra klasik yaitu
pengambaran karakter dan plot yang bagus,
penceritaan kondisi sosiologis dan politik
yang menarik pada saat itu, hingga pesan
yang ingin disampaikan secara tersirat
melalui sebuah buku yaitu feminisme.
Sebagai sebuah novel yang berhasil
menciptakan romantisme dalam kondisi
sosiologis masyarakatnya pada abad ke-19,
Pride and Prejudice sangat layak untuk
dibaca dan dipelajari tidak hanya untuk
orang-orang yang ingin tertarik pada sastra
namun juga yang tertarik dengan sejarah
dan sosiologi, dan tentu saja, feminisme itu
sendiri.

Dan hal itulah yang diyakini Elizabeth


saat menolak lamaran Mr Collins, sepupunya
sendiri yang berhak atas seluruh kekayaan
keluarga Bennet karena hukum waris di
Inggris pada saat itu tidak memperbolehkan
anak perempuan untuk mewarisi kekayaan
ayahnya. Elizabeth menolak pernikahan
yang
hanya
dilangsungkan
untuk
memberikan status sosial yang lebih baik
kepada pihak perempuan, yang mana tentu
saja, menempatkan perempuan hanya
sebagai objek dan pihak laki-laki yang lebih
superior sebagai subjek dalam pernikahan
itu.

majalah ganesha zine#02 | 13

Anda mungkin juga menyukai