KEDIRI - Kasus aborsi yang berujung kematian terjadi Kediri. Novila Sutiana (21), warga
Dusun Gegeran, Desa/Kecamatan Sukorejo, Ponorogo, Jawa Timur, tewas setelah berusaha
menggugurkan janin yang dikandungnya. Ironisnya, korban tewas setelah disuntik obat
perangang oleh bidan puskesmas.
Peristiwa nahas ini bermula ketika Novila diketahui mengandung seorang bayi hasil
hubungannya dengan Santoso (38), warga Desa Tempurejo, Kecamatan Wates, Kediri.
Sayangnya, janin yang dikandung tersebut bukan buah perkawinan yang sah, namun hasil
hubungan gelap yang dilakukan Novila dan Santoso.
Santoso sendiri sebenarnya sudah menikah dengan Sarti. Namun karena sang istri bekerja
menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Hongkong, Santoso kerap tinggal sendirian di
rumahnya. Karena itulah ketika bertemu dengan Novila yang masih kerabat bibinya di
Ponorogo, Santoso merasa menemukan pengganti istrinya. Ironisnya, hubungan tersebut
berlanjut menjadi perselingkuhan hingga membuat Novila hamil 3 bulan.
Panik melihat kekasihnya hamil, Santoso memutuskan untuk menggugurkan janin tersebut
atas persetujuan Novila. Selanjutnya, keduanya mendatangi Endang Purwatiningsih (40),
yang sehari-hari berprofesi sebagai bidan di Desa Tunge, Kecamatan Wates, Kediri.
Keputusan itu diambil setelah Santoso mendengar informasi jika bidan Endang kerap
menerima jasa pengguguran kandungan dengan cara suntik.
Pada mulanya Endang sempat menolak permintaan Santoso dan Novila dengan alasan
keamanan. Namun akhirnya dia menyanggupi permintaan itu dengan imbalan Rp2.100.000.
Kedua pasangan mesum tersebut menyetujui harga yang ditawarkan Endang setelah turun
menjadi Rp2.000.000. Hari itu juga, bidan Endang yang diketahui bertugas di salah satu
puskesmas di Kediri melakukan aborsi.
Metode yang dipergunakan Endang cukup sederhana. Ia menyuntikkan obat penahan rasa
nyeri Oxytocin Duradril 1,5 cc yang dicampur dengan Cynaco Balamin, sejenis vitamin B12
ke tubuh Novila. Menurut pengakuan Endang, pasien yang disuntik obat tersebut akan
mengalami kontraksi dan mengeluarkan sendiri janin yang dikandungnya.
"Ia (bidan Endang) mengatakan jika efek kontraksi akan muncul 6 jam setelah disuntik. Hal
itu sudah pernah dia lakukan kepada pasien lainnya," terang Kasat Reskrim Polres Kediri
AKP Didit Prihantoro di kantornya, Minggu (18/5/2008).
Celakanya, hanya berselang dua jam kemudian, Novila terlihat mengalami kontraksi hebat.
Bahkan ketika sedang dibonceng dengan sepeda motor oleh Santoso menuju rumahnya,
Novila terjatuh dan pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakit. Apalagi organ intimnya
terus mengelurkan darah.
Warga yang melihat peristiwa itu langsung melarikannya ke Puskemas Puncu. Namun karena
kondisi korban yang kritis, dia dirujuk ke RSUD Pare Kediri. Sayangnya, petugas medis di
ruang gawat darurat tak sanggup menyelamatkan Novila hingga meninggal dunia pada hari
Sabtu pukul 23.00 WIB.
Petugas yang mendengar peristiwa itu langsung menginterogasi Santoso di rumah sakit.
Setelah mengantongi alamat bidan yang melakukan aborsi, petugas membekuk Endang di
rumahnya tanpa perlawanan. Di tempat praktik sekaligus rumah tinggalnya, petugas
menemukan sisa-sisa obat yang disuntikkan kepada korban. Saat ini Endang berikut Santoso
diamankan di Mapolres Kediri karena dianggap menyebabkan kematian Novila.
Lamin (50), ayah Novila yang ditemui di RSUD Pare Kediri mengaku kaget dengan
kehamilan yang dialami anaknya. Sebab selama ini Novila belum memiliki suami ataupun
pacar. Karena itu ia meminta kepada polisi untuk mengusut tuntas peristiwa itu dan
menghukum pelaku.
Akibat perbuatan tersebut, Endang diancam dengan pasal 348 KUHP tentang pembunuhan.
Hukuman itu masih diperberat lagi mengingat profesinya sebagai tenaga medis atau bidan.
Selain itu, polisi juga menjeratnya dengan UU Kesehatan nomor 23 tahun 1992. Belum
diketahui secara pasti sudah berapa lama Endang membuka praktik aborsi tersebut.
(Hari Tri Wasono/Sindo/jri)
indosiar.com, Jember - Kasus dugaan malpraktek kembali terjadi. Di Jember Jawa Timur,
seorang ibu muda mengalami luka robek di bagian anusnya, hingga tidak bisa buang air.
Diduga korban yang kini harus buang air besar melalui organ kewanitannya, disebabkan
kelalaian bidan yang masih magang di puskesmas setempat menangani persalinannya. Kini
kasus dugaan malpraktek ini ditangani Dinas Kesehatan Kota Jember.
Kasus dugaan malpraktek ini dialami Ika Agustinawati, warga Desa Semboro Kidul,
Kecamatan Semboro, Jember.
Ibu muda berusia 22 tahun ini, menjadi korban dugaan malpraktek, usai menjalani proses
persalinan anak pertamanya, Irza Praditya Akbar, yang kini berusia 1 bulan.
Diduga karena kecerobohan bidan yang masih magang saat menolong persalinannya di
Puskesmas Tanggul, Ika mengalami luka robek di bagian organ vital hingga ke bagian anus.
Akibatnya, selain terus-terusan mengalami kesakitan, sejak sebulan lalu korban terpaksa
buang kotoran melalui alat kelaminnya.
Saat menjalani proses persalinan 3 Februari lalu, korban dibantu oleh beberapa bidan
magang, atas pengawasan bidan puskesmas. Namun, salah seorang bidan magang diduga
melakukan kesalahan saat menggunting dinding kemaluan korban.
Terkait kasus ini pihak Puskesmas Tanggul saat ini belum memberikan keterangan resmi.
Namun, Kepala Dinas Kesehatan Kota Jember tengah menangani kasus ini.
Jika terbukti terjadi malpraktek, Dinas Kesehatan berjanji akan menjatuhkan sanksi terhadap
petugas persalinan tersebut, sesuai ketentuan yang berlaku. (Tomy Iskandar/Sup)
Kasus 3 : Bidan 34 Puskesmas Dikumpulkan
Sumber : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/02/04/97759/Bidan-34Puskesmas-DikumpulkanPengungkapan Kasus Aborsi
KLATEN-Bidan, direktur rumah sakit, dan pimpinan 34 Puskesmas se-Kabupaten Klaten, Rabu (3/2)
dikumpulkan di Mapolres untuk menyikapi kasus aborsi yang diungkap Sat Reskrim pekan lalu.
Selain itu, mereka dihadirkan untuk antisipasi maraknya kasus penculikan bayi akhir-akhir ini.
Kapolres AKBP Agus Djaka Santosa mengatakan, elemen kesehatan diundang untuk menyikapi
beberapa persoalan terutama kejahatan terhadap ibu dan anak.
Polres saat ini sedang memproses hukum kasus aborsi dan kami akan transparan menangani,
ungkapnya, Rabu (3/2) saat memberi pengarahan. Selain jajaran Dinas Kesehatan,
pertemuan diikuti semua kepala satuan di Polres. Kapolres menjelaskan, kasus aborsi yang diungkap
merupakan kejahatan bidang medis.
Kasus itu dan kejahatan terhadap anak-anak saat ini sangat diatensi Polda Jateng. Untuk itu, Polri
merasa perlu menyamakan persepsi menangani dan mencegah kasus-kasus semacam itu.
Dikatakan, kasus aborsi itu terungkap dari kecurigaan warga yang melapor ke Polres Wonogiri. Kasus
semacam itu bukan tidak mungkin dapat dilidik awal jika ada kerja sama Puskesmas, bidan dan
polisi.
Sebab, bisa saja pelaku sebelumnya memeriksakan diri dengan wajah ketakutan. Jika ada kerja sama
dengan Polri sejak awal, Puskesmas atau bidan bisa mencermati dan memberikan informasi awal ke
polisi.
Sehingga jika nantinya ada kasus segera bisa diungkap. Dengan pertemuan itu diharapkan ada
persepsi sama dalam menangani masalah kejahatan anak dan ibu.
Bahkan jika memungkinkan patroli Polres akan mendatangi Puskesmas atau lokasi bersalin guna
mengecek setiap saat.
Penculikan Bayi Kapolres menambahkan, selain aborsi kasus penculikan bayi juga diatensi. Untuk itu
langkah pengawasan dan koordinasi Polri, RS, bidan dan Dinas Kesehatan sangat perlu.
Di Sumsel saat ini telah berjalan program pengobatan gratis, khususnya diperuntukkan bagi warga
kurang mampu di daerah ini, sehingga mendorong optimalisasi fungsi puskesmas dan puskesmas
pembantu maupun RS pemerintah dan RS swasta jejaring layanan gratis tersebut.
Kasus 5 : Gara-Gara Divakum Bocah 3 Tahun Cuma Bisa Nangis
Sumber : http://www.detiknews.com/read/2004/09/06/133819/203462/10/bocah-3-tahun-cumabisa-nangis?nd992203605
Jakarta - Pulang dan melihat buah hati umumnya menjadi saat yang menggembirakan bagi seorang
ibu. Tapi tidak bagi Mesdiwanda. Ibu berumur 35 tahun itu justru selalu menangis jika pulang dan
melihat anaknya, Andreas. Andreas, buah hati Mesdiwanda telah berusia 3 tahun 4 bulan. Di usia itu,
anak kecil biasanya sudah pintar berlari dan berbicara dengan ceriwis. Namun tidak demikian
dengan Andreas. Ia tak ubahnya masih seperti seorang bayi. Hanya bisa tidur dan menangis. Tangan
Andreas pun kaku dan tak bisa menggerakkan tubuhnya. Bahkan untuk sekadar menyatakan ingin
buang air besar (BAB) atau kecil saja, Andreas tak bisa. "Saya suka sedih kalau sampai di rumah. Saya
nggak tega melihat dia belepotan kotoran karena nggak bisa bilang ingin BAB," tutur Mesdiwanda.
Mesdiwanda, Senin (6/9/2004) melaporkan kondisi anaknya itu ke Polda Metro Jaya atas dugaan
malpraktek terhadap bidan Herawati di RS Pasar Rebo. Herawati adalah bidan yang membantu
kelahiran Andreas pada 21 April 2001 lalu. Ibu yang tinggal Jl. Perintis II Romawi, Cipayung, Jaktim
menuturkan, Herawati melakukan vakum sampai 3 kali saat membantu kelahiran Andreas. Akibat
vakum itu, kepala Andreas sampai terluka. Dokter Benyamin dari LBH Kesehatan yang mendampingi
Mesdiwanda menyatakan, Andreas mengalami kegeseran tempurung kepala akibat vakum sehingga
fungsi otaknya terganggu. Cemas dengan kondisi anaknya, Mesdi sempat menemui dokter spesialis
anak di RS Pasar Rebo. Dokter itu menganjurkan supaya Andreas dioperasi dan dirujuk ke RSCM.
Namun di RSCM, dirujuk lagi supaya operasi di RSPAD Gatot Subroto. Sayangnya ketika ke RSPAD
Gatot Subroto, pasangan Mesdi dengan Vimelson Sinaga sudah kehabisan dana. RSPAD
memberitahu harus membayar uang muka Rp 10 juta untuk operasi. Sebagai orang yang kerjanya
serabutan, pasangan itu tak memiliki biaya sebesar itu. Akhirnya hingga kini Andreas belum juga
dioperasi. Di tengah kebingungan itu, keluarga itu akhirnya mengadu ke LBH Kesehatan dan
kemudian menggugat bidan Herawati. "Saya minta pertanggungjawaban RS supaya anak saya
diobati. Saya ingin anak saya bisa normal seperti anak lainnya," kata Mesdi sedih. Selain orang tua
Andreas, ikut melaporkan malpraktek ke Polda Metro Jaya Maena Nurrochmah (25). Perempuan
yang tinggal di Pondok Labu melaporkan dr. Muharyo, dokter bedah dan dokter Hari Syarif di RS
Setia Mitra Fatmawati. Maena sejak kecil mengalami kesulitan buang air besar (BAB) karena urat
syaraf pada usus besarnya tidak bisa memberi tekanan. Umur 12 tahun, perempuan itu dioprasi di
RS Setia Mitra dengan oleh Muharyo. Setelah operasi itu kondisinya Maena membaik. Tapi
kemudian umur 23 tahun, kondisinya memburuk, perutnya sering nyeri dan mengeras. Maena
kembali ke RS yang sama. Dia kembali ditangani dokter Muharyo. Sang dokter menyatakan Maena
menderita kista di rahim. Selain dengan dokter Muharyo, Maena juga bekonsultasi dengan dokter
Hari. Sama dengan dokter Muharyo, Hari juga memberi diagnosis yang sama, ada kista di rahim.
Bulan Juni, 2002, Maena dioperasi untuk mengangkat kistanya. Tapi saat operasinya berlangsung,
dokter Hari menyatakan rahim bersih tak ada kista. Operasi kemudian dibatalkan. Sedangkan dokter
Muharyo menyatakan yang bermasalah usus besar Maena. Katanya ada sisa kotoran yang
mengendap setelah operasi pertama tahun 1987. Namun sayangnya setelah operasi kedua itu
kondisinya Maena justru memburuk. Ia jadi susah buang air dan perutnya kembung. Selain itu di
bekas luka operasi ada benang yang tersisa sehingga menimbulkan luka kecil yang kemudian
melebar dan berdarah. (iy/)
SANKSI SANKSI PELANGGARAN ETIKA PROFESI BIDAN
yaitu UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, yang mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan tindakan, kewenangan, sanksi, maupun pertanggungjawaban tarhadap kesalahan atau
pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sebagai subyek peraturan tersebut.
Menurut Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, yang dimaksud
dengan Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Tenaga kesehatan berdasarkan Pasal 50 UU Kesehatan adalah bertugas menyelenggarakan
atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan
tenaga kesehatan yang bersangkutan. Sedangkan mengenai ketentuan mengenai kategori,
jenis, dan kualifikasi tenaga kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Tenaga kesehatan terdiri dari :
1. tenaga medis;
2. tenaga keperawatan dan bidan;
3. tenaga kefarmasian;
4. tenaga kesehatan masyarakat;
5. tenaga gizi;
6. tenaga keterapian fisik; dan
7. tenaga keteknisian medis.
Dalam rangka penempatan terhadap jenis tenaga kesehatan tertentu ditetapkan kebijaksanaan
melalui pelaksanaan masa bakti terutama bagi tenaga kesehatan yang sangat potensial di
dalam kebutuhan penyelenggaraan upaya kesehatan. Disamping itu tenaga kesehatan tertentu
yang bertugas sebagai pelaksana atau pemberi pelayanan kesehatan diberi wewenang sesuai
dengan kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga terkait erat dengan hak dan
kewajibarnya. Kompetensi dan kewenangan tersebut menunjukan kemampuan professional
yang baku dan merupakan standar profesi untuk tenaga kesehatan tersebut.
Dari sejumlah tenaga medis tersebut, bidan merupakan salah satu unsur tenaga medis yang
berperan dalam mengurangi angka kematian bayi dan ibu yang melahirkan, baik dalam
proses persalinan maupun dalam memberikan penyuluhan atau panduan bagi ibu hamil.
Melihat besarnya peranan bidan tersebut, maka haruslah ada pembatasan yang jelas mengenai
hak dan kewajiban dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan bidan tersebut. Maka, dibuatlah
Kode Etik bidan, dimana kode etik tersebut merupakan suatu pernyataan kemprehensif dan
profesi yang memberikan tuntutan bagi anggota untuk melaksanakan praktek profesinya, baik
yang berhubungan dengan klien sebagai individu, keluarga, masyarakat, maupun terhadap
teman sejawat, profesi dan diri sendiri, sebagai kontrol kualitas dalam praktek kebidanan.
Untuk melengkapi peraturan yang ada, maka dibuatlah sebuah kode etik yang dibuat oleh
kelompok-kelompok profesi yang ada di bidang kesehatan, dengan ketentuan pokok bahwa
peraturan yang dibuat tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya.
Contoh kode etik profesi adalah kelompok dokter yang mempunyai kode etik kedokteran, dan
untuk kelompok bidan mempunyai kode etik kebidanan. Dalam kode etik tersebut terdapat
pengenaan sanksi apabila ada pelanggaran yang berupa sanksi administratif, seperti
penurunan pangkat, pencabutan izin atau penundaan gaji.
Proses implementasi kebijakan dapat dirumuskan sebagai tindakan-tindakan baik dari
institusi pemerintah maupun swasta atau kelompok masyarakat yang diarahkan oleh
keinginan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan di dalam kebijakan. Sedangkan
implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program
dinyatakan berlaku atau dirumuskan. Fokus perhatian inplementasi kebijakan mencakup
kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah diberlakukannya kebijakan
negara, baik usaha untuk mengadministrasikannya maupun akibat/dampak nyata pada
masyarakat. Kebijakan ditransformasikan secara terus menerus melalui tindakan-tindakan
implementasi sehingga secara simultan mengubah sumber-sumber dan tujuan-tujuan yang
pada akhirnya fase implementasi akan berpengaruh pada hasil akhir kebijakan.
Sebagai seorang tenaga kesehatan yang langsung memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat, seorang bidan harus melakukan tindakan dalam praktek kebidanan secara etis,
serta harus memiliki etika kebidanan yang sesuai dengan nilai-nilai keyakinan filosofi profesi
dan masyarakat. Selain itu bidan juga berperan dalam memberikan persalinan yang aman,
memastikan bahwa semua penolong persalinan mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan
alat untuk memberikan pertolongan yang aman dan bersih.
Dalam melakukan praktek kebidanan, seorang bidan berpedoman pada KEPMENKES
Nomor 900/ MENKES/ S/ VII/ 2002 tentang Registrasi dan Praktek Bidan. Tugas dan
wewenang bidan terurai dalam Bab V Pasal 14 sampai dengan Pasal 20, yang garis besarnya
adalah : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang meliputi pelayanan kebidanan, pelayanan keluarga berencana, dan pelayanan
kesehatan masyarakat.. Sebagai pedoman dan tata cara dalam pelaksanaan progesi, sesuai
dengan wewenang peraturan kebijaksanaan yang ada, maka bidan harus senantiasa berpegang
pada kode etik bidan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Hal yang dilematis terjadi ketika kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
meningkat, terutama pelayanan bidan, tidak dibarengi oleh keahlian dan keterampilan bidan
untuk membentuk suatu mekanisme kerja pelayanan yang baik. Masih sering dijumpai
pelayanan bidan dengan seadanya, lamban dengan disertai adanya pemungutan biaya yang
mahal. Oleh karena itu, diperlukan penegakan hukum terhadap pelanggaran kode etik bidan.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian hukum
mengenai Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Kode Etik Bagi Bidan Dalam
Menjalankan Profesinya
sumber :
www.lawskripsi.com
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/05/pelanggaran-kode-etik-bidan/