Anda di halaman 1dari 25

KONTESTASI IDENTITAS DI PERBATASAN:

Memahami Identitas Sosial Komunitas di Perbatasan Kalimantan


Aris Munandar
FISIP Universitas Nasional
arismuda2407@ymail.com

Abstract
This paper explores a sociological analysis of the reconstruction of social identity in the
local communities in Indonesia-Malaysia border. Social identity is the collective orientation
has been being formed of dynamic social interaction. Politics, economic, and socio-cultural
factors, is an important pull factor in constructing national identity in the border
communities are highly liquid. Therefore, the government's development policy is required in
order to be a driving factor so that Indonesia become internalized social identity in the life
of local communities, and thus became the pillars of state sovereignty at the border.
Key words: identity, nationalism, contestation, border communities, sovereignity

Pendahuluan
Proses terbentuknya negara-bangsa di Asia Tenggara adalah konsekuensi dari
pembagian teritori wilayah di masa kolonial pada abad 19-20, ketika para penguasa
kolonial membagi Asia Tenggara berdasarkan kepentingan ekonomi-politik mereka,
tanpa sepengetahuan para subyek jajahan mereka. Faktor-faktor kultural, agama,
linguistik, pola mobilitas, formasi-formasi hubungan sosial maupun jaringan
perdagangan tradisional tidak menjadi dasar pertimbangan bagi penentuan batas
negara. Akibatnya, batas-batas negara di Asia Tenggara tidak dapat berpotongan
dengan batas-batas kultural secara persis (Lumenta, 2009). Hal ini pula yang berlaku
pada perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan, awalnya adalah garis di
atas peta yang ditorehkan melalui perjanjian dua negara penjajah, Belanda dan
Inggris pada 20 Juni 1891. Pulau Borneo pun kemudian dibelah memanjang dari
timur ke barat.
Munculnya negara sebagai realitas sosial baru menyebabkan masyarakat di
kedua sisi batas, yang sebagian masih bertalian saudara dipaksa untuk memiliki
identitas kebangsaan (politik) yang berbeda. Sebelah selatan garis menjadi wilayah
kekuasaan Dutch Borneo dan sebelah utara berada di bawah British Protectorates.
Setelah berakhirnya era kolonialisasi Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia,
pulau yang terbelah secara paksa itu diwariskan kepada bekas jajahannya masingmasing. Indonesia mewarisi sekitar dua pertiga tanah Borneo di sebelah selatan,

sisanya terbagi antara Malaysia dan Brunei. Dilihat dari sudut kepentingan negara,
wilayah perbatasan dianggap sebagai titik persinggungan antara kepentingan
kedaulatan nasional dan negara tetangga sehingga ditempatkan sebagai wilayah yang
rawan, sebuah frontier yang harus dijaga dari ancaman luar. Akibatnya, mobilitas
lintas negara yang kerap dilakukan warga komunitas di perbatasan ditafsirkan
sebagai gejala yang menyimpang dan dianggap sebagai indikasi lunturnya rasa
nasionalisme.
Namun demikian, kehadiran negara dengan batas-batas teritorial sebagai
realitas politik, tampaknya tidak serta merta menjadi fakta sosial baru yang bisa
menggantikan atau mengeliminasi norma-norma dan nilai-nilai kultural sebagai
pattern of behavior, yang menjadi pedoman warga komunitas lokal di perbatasan
dalam berperilaku dan menjalin hubungan sosial di antara mereka. Garis batas fisik
negara tidak dapat menghapus realitas sosial-budaya yang sudah ada sebelumnya.
Sampai saat sekarang, individu dan unit-unit sosial yang berada di antara garis batas
tetap meneruskan irisan itu, terutama dalam hal migrasi penduduk, perdagangan, dan
penggarapan lahan. Pada akhirnya, di mata sebagian masyarakat tradisional di
perbatasan, batas negara yang ditorehkan secara paksa oleh kolonial Inggris dan
Belanda, yang kemudian diteruskan oleh Malaysia dan Indonesia, adalah garis batas
wilayah yang imajiner. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kemudian sebagian
warga perbatasan memiliki identitas kewarganegaraan ganda. Kebanyakan yang
terjadi adalah warga negara Indonesia yang kemudian berpindah menetap ke
kampung di Malaysia (Kompas, 14 Agustus 2009).
Memperhatikan fenomena dan realitas sosial yang berkembang di daerah
perbatasan Indonesia-Malaysia, secara umum ada tiga dimensi permasalahan pokok
yang terjadi yaitu: Pertama, permasalahan yang berdimensi lokal, yaitu gambaran
kemiskinan sebagai akibat dari tidak fokusnya intervensi kebijakan di masa lalu
sehingga terabaikannya pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia, kemudian
diikuti dengan penanganan perbatasan yang masih kental dengan nuansa sentralistik.
Kedua, permasalahan yang berdimensi nasional, yaitu munculnya kegiatan ekonomi
ilegal diantaranya illegal logging, TKI dan penyelundupan lainnya (trafficking in
persons), eksploitasi sumber daya alam secara tidak beraturan, lemahnya sistem
pengawasan, semangat otonomi mengenai status dan kewenangan penanganan, serta

gejala degradasi nasionalisme. Ketiga, permasalahan yang berdimensi regional


antarnegara, lebarnya kesenjangan sosial ekonomi antara penduduk negeri sendiri
dengan negeri tetangga, pergeseran atau hilangnya patok tapal batas negara sehingga
menimbulkan konflik mengenai garis batas dan kasus-kasus lainnya (Tirtosudarmo,
2004).
Ketiga permasalahan yang berkembang di daerah perbatasan baik dalam
dimensi lokal, nasional, maupun regional antar negara, sebagaimana digambarkan di
atas pada dasarnya lebih mencerminkan disparitas sosial-ekonomi antar negara, yang
berdampak pada disparitas sosial-ekonomi antar warga negara. Kondisi ini menjadi
ancaman potensial bagi berkembangnya masalah yang lebih kompleks di wilayah
perbatasan, seperti menurunnya loyalitas dan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah, meningkatnya arus migrasi keluar dan pelanggaran tapal batas, ditambah
dengan semakin terbukanya wilayah perbatasan, memungkinkan mobilitas warga
komunitas di wilayah perbatasan semakin meningkat untuk mengejar kesempatan
sosial-ekonomi yang lebih baik di negara tetangga. Dalam beberapa derajat tertentu,
kondisi ini akan menjadi ancaman bagi kedaulatan negara (Indonesia). Oleh karena
itu, kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan yang berorientasi pada pembangunan
sosial-ekonomi dan bermuara pada pembangunan negara-bangsa (nation-building)
merupakan suatu program prioritas yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Tulisan ini merupakan telaah kritis dengan menggunakan perspektif
sosiologi untuk memahami keunikan identitas sosial pada komunitas lokal di wilayah
perbatasan negara. Informasi dan data sekunder yang terbatas mengenai komunitas
lokal di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di pulau Kalimantan, dijadikan
sebagai subyek analisis untuk menggambarkan bagaimana kontestasi dan konstruksi
identitas sosial komunitas terbentuk. Namun demikian, untuk memahami realitas
sosial secara lebih kritis dan mendalam perlu dilakukan penelitian empiris lebih
lanjut.
Konstruksi Identitas: Etnisitas versus Kebangsaan
Kehidupan komunitas lokal di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia di
Kalimantan Barat dihadapkan pada realitas sosial yang kompleks. Pertama, realitas
yang terkonstruksikan dari dinamika budaya etnisitas yang memandu kehidupan
mereka sehari-hari. Kedua, realitas yang dikonstruksikan oleh kekuatan struktur

politik nasional, yang memberi identitas kepada mereka sebagai warga negara. Di
samping itu, mereka juga dihadapkan pada realitas dinamika sosial, ekonomi, dan
politik yang berlangsung terus menerus di daerah perbatasan sehingga menuntut
warga komunitas untuk selalu mengadaptasikan dirinya dengan kondisi tersebut.
Persoalan identitas sosial komunitas perbatasan menjadi isu krusial dalam
studi ini, khususnya terkait dengan etnisitas dan kebangsaan, yang secara geopolitik
maupun geokultural melibatkan dua negara yang berbeda -- Indonesia dan Malaysia.
Dalam konteks geopolitik (nation-state), komunitas perbatasan merupakan bagian
dari warga negara dengan identitas politik atau kebangsaan tertentu. Identitas
tersebut membedakan dan memisahkannya dengan warga negara lain. Sedangkan
secara geokultural (ethnicity), pemisahan batas politik tersebut tidak berarti
merupakan pemisahan batas etnik yang secara historis telah hadir sebelum batas
politik terbentuk. Konsekuensinya, perbedaan kewarganegaraan tidak mencerminkan
perberdaan etnik. Dengan kata lain, meskipun komunitas lokal di perbatasan berbeda
secara geopolitik, tetapi secara geokultural mereka merupakan komunitas yang sama.
Konsekuensinya, identitas nasional tidak kongruen dengan identitas etnis,
batas kultural tidak berpotongan (cross-cutting) dengan batas politik. Kondisi ini
terjadi karena komunitas etnis sebagai realitas sosial-budaya telah hadir jauh sebelum
munculnya negara-bangsa dengan batas teritorialnya yang terbentuk kemudian oleh
kekuatan kolonial. Implikasi lebih lanjut, kehadiran negara sebagai realitas politik
tidak dengan serta merta membatasi hubungan sosial, budaya, dan ekonomi yang
sudah terbangun dalam kerangka hubungan etnisitas pada komunitas di perbatasan.
Selain faktor historis dan sosial-kultural, tak dapat dipungkiri adanya
ketimpangan yang tajam dalam dinamika pembangunan antara Sarawak-Kalimantan
Barat dan Sabah-Kalimantan Timur, menjadi faktor krusial yang dapat memberikan
kontribusi terhadap perubahan orientasi dan idenfikasi sosial penduduk di
perbatasan. Di mana, pengalaman masa lalu -- sebelum diberlakukannya UndangUndang Otonomi Daerah -- kawasan perbatasan secara politis dianggap sebagai
kawasan yang rawan terhadap penyelundupan, penyusupan, ataupun kegiatan
kriminal lainnya yang dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas keamanan negara
(Wirjanto, 2003). Oleh karena itu, pemerintah menerapkan kebijakan melalui
pendekatan keamanan (security approach) dengan menempatkan aparat militer di

setiap kawasan perbatasan. Selain itu, kawasan perbatasan ditempatkan sebagai


halaman belakang negara (outward looking) sehingga masyarakat di sepanjang
kawasan perbatasan menjadi terisolir dari dinamika pembangunan.
Kondisi yang sangat timpang tampak di sepanjang perbatasan Kalimantan
yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Pemerintah Malaysia menganggap
negara Indonesia bukan merupakan ancaman bagi negaranya dalam mengelola
kawasan perbatasan, mereka sudah sejak lama menerapkan pendekatan kemakmuran
(prosperity approach). Dengan kebijakan tersebut, daerah di sepanjang kawasan
perbatasan Malaysia dibangun infrastruktur yang lengkap, sehingga daerah
perbatasannya berkembang dengan pesat. Kesenjangan sosial yang tajam membuat
penduduk perbatasan Indonesia yang terisolasi akses kehidupan sehari-harinya
cenderung berorientasi ke negara tetangga yang mempunyai sarana dan prasarana
yang jauh lebih lengkap serta kegiatan ekonomi yang lebih maju. Apalagi
kebanyakan dari mereka terdiri dari kelompok etnis yang serumpun dan bersaudara
dengan masyarakat di negara tetangga. (Husnadi, 2006).
Anderson (1983) mencatat bahwa terdapat perbedaan pandangan terhadap
wilayah perbatasan antara negara modern dan tradisional. Di Asia Tenggara negara
tradisional ditentukan oleh pusatnya dan bukan oleh wilayah perbatasannya. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila pemerintahan negara-negara itu memberikan
perhatian kepada pusat pemerintahannya dibandingkan dengan wilayah-wilayah yang
dianggap jauh dari jangkauan pusat. Ini pula yang menyebabkan mengapa penduduk
di wilayah perbatasan yang dianggap sebagai kelompok minoritas seringkali merasa
kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Kondisi ini terjadi pada komunitas
perbatasan di Kalimantan, mereka masih ditempatkan sebagai halaman belakang dari
negara sehingga kurang mendapatkan perhatian yang memadai, khususnya dalam
pembangunan

sosial-ekonomi

yang

dapat

menunjang

pencapaian

tingkat

kesejahteraan di daerah perbatasan. Dalam beberapa derajat tertentu, kondisi ini


akan menjadi ancaman bagi kedaulatan negara Indonesia, mengingat wilayah
perbatasan negara tetangga menunjukkan perkembangan sosial-ekonomi yang lebih
maju. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan yang berorientasi
pada pembangunan sosial-ekonomi dan bermuara pada pembangunan negara-bangsa

(nation-building) merupakan suatu program prioritas yang harus dilakukan oleh


pemerintah.
Perspektif Sosiologis tentang Konstruksi Identitas
1. Identitas Sosial
Identitas sosial dipahami sebagai hubungan kategoris, yaitu didefinisikan
oleh batas yang mengecualikan beberapa anggota lain dari kelas yang sama. Identitas
yang diatribusi atau dihubungkan dengan orang lain dalam upaya untuk
menempatkan mereka dalam ruang sosial. Biasanya didasarkan pada peran sosial
yang mapan, atau kategori sosial yang lebih luas atau lebih inklusif, seperti kategori
gender atau kategori etnis dan nasional, dan sering disebut sebagai "identitas peran"
(Stryker, 1980) dan "identitas kategoris" (Calhoun, 1997). Namun, apapun basis
spesifik sosio-kultural mereka, identitas sosial adalah fundamental bagi interaksi
sosial di mana mereka menyediakan suatu orientasi.
Dengan demikian, identitas sosial adalah konsep yang merepresentasikan
suatu gagasan yang menunjukkan orientasi kekitaan dalam kelompok dan
menekankan kesamaan atribut-atribut sosial tertentu di antara anggota-anggota yang
tergabung dalam suatu kelompok atau komunitas tertentu. Giddens mengemukakan
bahwa identitas sosial terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu
kelompok sosial, yang di dalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting
yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya (Giddens, 2003:44).
Sebagai kategori sosial yang dikonstruksikan melalui relasi dan interaksi
sosial di dalam masyarakat, maka identitas sosial bukan warisan biologis yang
dibawa bersama dengan kelahiran seseorang. Sebagaimana dikemukakan Berger
bahwa setiap biografi individu adalah suatu episode dalam sejarah masyarakat yang
sudah ada sebelumnya serta akan terus berlanjut sesudahnya. Di dalam masyarakat
lah dan sebagai hasil dari proses sosial, individu menjadi sebuah pribadi. Ia
memperoleh dan berpegang pada suatu identitas dan ia melaksanakan berbagai
aktivitas yang menjadi bagian kehidupannya. Sebagai anggota masyarakat, individu
terlibat dalam proses dialektika antara identifikasi oleh orang lain dan identifikasi
oleh diri sendiri, antara identitas yang diperoleh secara obyektif dan identitas
subyektif. Individu tidak hanya mengambil peran dan sikap dari orang lain, tetapi
juga mengambil dunianya, sehingga landasan sosial dan proses sosial itu diperlukan

untuk memeliharanya. Dengan demikian, identitas harus dipahami dalam dua tataran
konstruksi; tataran identitas personal dan tataran kolektif atau identitas sosial
(Berger, 1991:3).
Identitas sosial bersifat multi-facet. Individu dalam keberadaannya sebagai
anggota dari suatu kelompok atau komunitas tertentu, menyandang berbagai identitas
sosial yang merepresentasikan keberadaan kelompok atau komunitasnya tersebut.
Melalui identitas sosial individu menempatkan dirinya dalam berbagai posisi dalam
kehidupan masyarakat. Atau dengan kata lain, individu ada di dalam konteks struktur
sosial. Sebagaimana dikemukakan Cooley (1902), Coleman (1990), dan Stryker
(2002) bahwa individu dan masyarakat merupakan dua sisi dari koin yang sama.
Masyarakat (struktur sosial) diciptakan oleh tindakan individu, dan di sisi lain
tindakan tersebut dihasilkan dalam konteks struktur sosial, mereka menciptakan dan
dipengaruhi oleh konteks ini. Jadi, karakteristik individu dan karakteristik
masyarakat saling mempengaruhi secara timbal balik (Burke & Stets, 2009:4).
Berbagai definisi identitas sosial yang dikemukakan para sarjana di atas,
pada dasarnya menunjukkan bahwa identitas sosial terbentuk melalui proses sosial
yang dinamis dan dialektis, melibatkan negosiasi dan kontestasi di antara para pelaku
dengan berbagai struktur atau kekuatan sosial yang muncul di dalam masyarakat,
atau dengan kata lain, konstruksi identitas merupakan produk dari proses negosiasi
aktor dengan situasi sosial atau kekuatan eksternal yang saling berkontestasi.
Sebagaimana dikemukakan Giddens (2004:37) bahwa dalam masyarakat modern
individu harus membentuk dan membentuk kembali dirinya agar mampu
menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Karena kondisikondisi baru secara konstan muncul di sekitar individu yang harus dijadikan masuk
akal. Individu harus mengelola dan melekatkan makna kepada dunia yang secara
inheren tidak stabil.
Dengan demikian, identitas sosial yang melekat pada seorang individu tidak
fix, melainkan berubah dan bersifat fluktuatif, relasional, dan situasional,
dikonstruksikan melalui praktik dan interaksi sosial. Kategori identitas bersifat
multiple dan makro, tersebar bebas dalam lingkungan kehidupan di mana individu
bisa memilih atau mengabaikannya, tergantung pada kalkulasi kepentingan,
kebutuhan situasional, derajat sugestibilitas yang dihadapi pada saat itu. Identitas

kolektif

memainkan

peran

penting

dalam

membingkai

tindakan,

namun

keberdadaannya tidak berifat baku atau fondasional (Jennifer Todd, 2005).


Dalam konteks studi mengenai komunitas di perbatasan IndonesiaMalaysia, pemahaman mengenai identitas sosial komunitas menjadi menarik dan
penting, terutama terkait dengan identitas nasional sebagai perwujudan dari
kedaulatan negara-bangsa. Komunitas lokal di perbatasan, dihadapkan pada realitas
politik yang dikonstruksikan oleh negara Indonesia dan Malaysia. Bagaimana
kontestasi antara kedua negara tersebut yang tercermin dalam dinamika sosialbudaya, ekonomi, dan politik di daerah perbatasan direspons oleh komunitas lokal,
yang kemudian mempengaruhi loyalitas dan sentimen nasionalisme mereka. Proses
pemaknaan akan bekerja di dalam masyarakat, yang melibatkan para aktor dan
institusi sosial untuk melakukan kalkulasi dan menegosiasikan identitas sosial
mereka dengan realitas dan dinamika sosial yang berkembang di daerah perbatasan,
sehingga dalam situasi sosial perbatasan yang dinamis menggambarkan kontestasi
antar negara, identitas sosial (nasionalisme) menjadi cair dikonstruksikan dan
dikonstruksikan kembali oleh masyarakat, seiring dengan dinamika sosial, ekonomi,
dan politik yang berlangsung.
2. Bangsa dan Nasionalisme
Pendekatan teoritis mengenai bangsa dan nasionalisme sebagai identitas
sosial yang bersumber dari perspektif primordialisme Anthony Smith dan pendekatan
modernisme dari Ernest Gellner, Benedict Anderson, Eric Hobsbawm, John Breuilly,
dan Paul R. Brass, akan digunakan sebagai landasan teori pokok dalam tulisan ini.
Bagi kaum modernis, nasionalisme adalah ideologi budaya dan politik dari
modernitas, sarana penting dalam transformasi besar dari tradisionalisme menuju
industrialisme, dan khususnya dalam pembentukan negara modern (McCrone, 1998).
Kaum modernis beranggapan bahwa ada diskontinuitas antara nasionalisme modern
dan pra-modern (Hutchinson, 1994). Pendekatan teori modern mengemukakan
sejumlah detil sejarah dan analisis sosiologi dalam menjelaskan proses sosial formasi
bangsa dan nasionalisme pada level struktur, kultur, dan agensi. Secara umum,
perspektif modernisme dalam menjelaskan konsep bangsa dan nasionalisme
didasarkan pada beberapa asumsi yang anti-historis dan bersifat rasional (Smith
1983: 18):

1. Bangsa tidak berada dalam pengertian kuno atau purbakala.


2. Keberadaan bangsa tidak berarti kodrati, ada dengan sendirinya di alam atau
pada saat pertama kali.
3. Banyak negara dalam kenyataannya relatif baru, baik di Eropa dan kemudian di
Afrika dan Asia, hal ini menyangkal karakter bangsa sebagai purba atau
primordial.
4. Kita tidak bisa dan tidak akan membaca elemen bangsa dan nasionalisme
kembali ke awal, kolektivitas dan sentimen pra-modern. Nasionalisme
restropektif semacam ini semakin mendistorsi pemahaman mengenai identitas
yang sangat berbeda, komunitas dan hubungan dalam dunia kuno dan abad
pertengahan.
5. Bangsa bukan produk alam atau mengakar dalam kekuatan sejarah, melainkan
perkembangan sejarah terakhir dan dari aktivitas yang rasional, terencana,
dimungkinkan dan diperlukan oleh kondisi era modern.
Prinsip-prinsip utama dari paradigma modernis, khususnya model nationbuilding menekankan sifat politik dari bangsa, dan peran aktif warga negara serta
para pemimpin dalam mengkonstruksikannya. Meskipun teori dan ideologi mereka
berbeda, tetapi semuanya sepakat bahwa usia negara-bangsa adalah baru dan
modern. Kondisi modern menyediakan tanah yang subur bagi formasi bangsa dan
nasionalisme, sebagai salah satu ideologi yang sukses dalam modernisasi (Smith
1998: 24).
Ernest Gellner, salah satu tokoh teori modern, mendifinisikan bangsa
sebagai masyarakat dengan budaya tinggi (high culture), yang ditanamkan secara
khusus, terstandarisasi, berbasis pendidikan, dan budaya literasi. Dia menyebut hal
ini sebagai taman budaya untuk membedakannya dari yang liar, budaya spontan
dan tidak terarah yang biasanya ditemukan dalam masyarakat agroliteracy, yang
tidak memerlukan disain kesadaran, pengawasan, dan nutrisi khusus. Di sisi lain,
pembudayaan atau taman budaya, kaya dan kompleks, ditopang oleh personel
spesialis untuk bertahan hidup, harus dipelihara oleh institusi pembelajaran khusus
yang banyak, berdedikasi, profesional penuh waktu (Gellner 1983:50-52).
Lebih lanjut, Gellner mengemukakan bahwa bangsa adalah fungsional bagi
masyarakat industri. Industrialisasi yang cepat, urbanisasi dan kemajuan teknologi di

Eropa Barat telah mengganggu sistem integrasi masyarakat tradisional dan telah
menginisiasi restrukturisasi dari yang lama dan munculnya institusi sosial baru.
Karena itu, masyarakat industri modern didasarkan pada ide pertumbuhan abadi.
Mereka menuntut tenaga kerja yang sangat mobil, terdidik, dan terspesialisasi.
Permintaan ini telah membentuk kembali institusi negara untuk melakukan
transformasi masyarakat dari yang sebelumnya terpusat dan tertutup tergabung
menjadi terdesentralisasi, terbuka dan terspesialisasi (Gellner, 1983: 14). Terutama
melalui

sarana

pendidikan

yang

tersentralisasi

low

culture

yang

ada

ditransformasikan menjadi high culture, yaitu suatu kultur yang ditandai oleh
standarisasi, literasi, dan sistem komunikasi yang berbasis pendidikan (Gellner,
1983:54). Sistem pendidikan ini menghapus perbedaan budaya regional dan
mencetak penduduk ke dalam komunitas nasional yang sama. Periode transisi ini
sekarang diberi nama era nasionalisme.
Pendekatan yang lain dari perspektif modernisme melihat bangsa dan
nasionalisme sebagai sarana bagi proses sistem sosial budaya dalam masyarakat
modern. Mereka adalah Anderson (1983) dan Hobsbawm (1989). Sedangkan
Breuilly (1982) dan Brass (1991), memahami nasionalisme sebagai gerakan politik
yang dimotori oleh elit nasionalis. Bagi Hobsbawm (1989), kebangkitan bangsa dan
nasionalisme terjadi melalui reintegrasi sosial dan budaya dari masyarakat tradisional
yang telah hancur. Proses transisi harus menggantikan tradisi yang hilang dan
menciptakan basis baru bagi solidaritas penduduk. Hobsbawm juga melihat bahwa
nasionalisme terjadi dalam transformasi yang cepat di dalam masyarakat ketika
tradisi lama berhenti menjalankan tugas untuk mana mereka dirancang. Nasionalisme
menawarkan

penggantinya,

tradisi

baru

yang

hanya

dihasilkan

dari

ketidakmampuan menggunakan atau beradaptasi dengan tradisi yang lama.


Pendekatan ini juga mempertimbangkan formasi bangsa sebagai suatu
proses modern, tetapi metodenya ditemukan di dalam invensi-tradisi. Hobsbawm
melihat praktik ini sebagai metode untuk mengimplementasikan nilai-nilai dan
norma-norma perilaku tertentu hanya dengan pengulangan. Untuk menciptakan
kohesi dan stabilitas diperlukan masyarakat seperti itu. Hobsbawm mengemukakan
tiga cara pokok inklusi dan kontrol: (1) dengan membangun atau melegitimasi
institusi; (2) dengan menemukan sistem status baru dan model-model sosialisasi,

10

yang juga bisa memberikan model-model kepercayaan, sistem nilai dan perilaku
yang diinginkan; (3) melalui formasi komunitas seperti bangsa, yang dapat
membangkitkan perasaan identifikasi baik di dalam komunitas itu maupun dengan
institusi yang mewakili, mengekspresikan atau mensimbolisasikannya (1985:9).
Ditempatkan dalam cara ini, bangsa menjadi alat yang sempurna untuk integrasi
sosial-budaya baru dalam masyarakat modern dan dikonstruksikan dalam pikiran.
Sementara itu, Benedict Anderson (1983) menjelaskan kemunculan bangsa
dan nasionalisme sebagai instrumen integrasi sosial-budaya baru dalam masyarakat
yang telah hancur oleh industrialisasi yang cepat, modernisasi dan kemajuan dalam
teknologi. Transisi dari pra-modern menuju masyarakat modern ditandai oleh proses
sekularisasi umum, standarisasi konsep waktu dan penemuan cetak komersial. Proses
tersebut menurut Anderson, membuat nasionalisme menjadi mungkin. Proses
pertama telah mentransfer loyalitas komunitas religius menjadi komunitas yang
ditakdirkan, yaitu bangsa. Proses kedua telah membuka ruang imajinasi dalam suatu
homogenitas, di mana seorang individu bisa mengidentifikasikan dirinya dengan
massa yang tidak dikenal dari bangsa yang sama (Anderson, 1983: 24). Munculnya
print-capitalism, khususnya surat kabar, telah menciptakan standarisasi bahasa
daerah dan menawarkan satu gambaran dunia yang berakar jelas dalam kehidupan
sehari-hari. Proses-proses tersebut telah berhasil menciptakan bangsa, yaitu suatu
komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara
inheren dan berkedaulatan (Anderson, 1983:6).
Dalam cara pandang yang berbeda dengan Anderson dan Hobsbawm,
Breuilly (1982) menggunakan konsep nasionalisme mengacu pada gerakan politik
untuk mencari dan menjalankan kekuasaan negara, serta menjustifikasi tindakan
tersebut dengan argumen nasionalis. Nasionalisme adalah doktrin politik yang
dibangun di atas tiga pernyataan: (1) adanya suatu bangsa dengan karakter yang jelas
dan khas; (2) kepentingan dan nilai bangsa ini didahulukan di atas semua
kepentingan dan nilai yang lain; dan (3) bangsa harus independen dan memiliki
kedaulatan politik.
Menurut Breuilly, nasionalisme tidak dapat dijelaskan hanya oleh faktorfaktor kepentingan kelas, modernisasi ekonomi, kebutuhan psikologi atau kultur.
Tidak satu pun dari faktor-faktor tersebut dapat membantu memahami nasionalisme

11

secara umum. Ia berpendapat bahwa politik, dalam hal ini adalah kekuasaan (power),
merupakan poin krusial di atas semua faktor lain untuk memahami nasionalisme.
Kekuasaan dalam dunia modern adalah terutama berkaitan dengan kontrol negara.
Oleh karena itu, yang terpenting adalah menghubungkan nasionalisme dengan tujuan
perolehan dan penggunaan kekuasaan negara. Selanjutnya, kontribusi faktor-faktor
lain seperti kelas, kepentingan ekonomi atau budaya dapat dipertimbangkan
(1982:1).
Tokoh modernisme lainnya, Brass (1991), dalam studi nasionalismenya
menekankan pada sifat instrumental dari etnisitas. Bahwa identitas etnik dan
identitas nasional merupakan instrumen bagi kelompok elit yang bersaing untuk
menghasilkan dukungan massa dalam perjuangan universal bagi kekayaan,
kekuasaan dan prestise (Smith, 1986: 6). Bertentangan dengan primordialis yang
memperlakukan etnisitas sebagai suatu kondisi manusia yang given, Brass
menyatakan keterlibatan etnis dan nasional secara kontinu meredefinisikan dan
merekonstruksikan untuk menanggapi perubahan kondisi dan manipulasi elit politik.
Kerangka teoritik Brass dibangun di atas beberapa asumsi dasar. Pertama
mengenai variabilitas identitas etnik, yaitu adanya kebangkitan identitas etnik dan
transformasinya menjadi nasionalisme. Kedua, konflik etnik tidak muncul dari
perbedaan kultural, tetapi dari lingkungan politik dan ekonomi yang lebih luas, yang
juga membentuk sifat kompetisi antar kelompok elit. Ketiga, kompetisi ini juga
mempengaruhi definisi kelompok etnik yang relevan dan keberlangsungannya. Hal
ini, karena bentuk-bentuk kultural, nilai, dan praktik kelompok-kelompok etnik
menjadi sumber-sumber politik bagi elit dalam memperjuangkan kekuasaan dan
prestise. Semua asumsi tersebut menunjukkan bahwa proses formasi identitas etnik
dan transformasinya menjadi nasionalisme adalah reversible, tergantung pada
kondisi politik dan ekonomi, elit bisa memilih untuk mengecilkan perbedaan etnik
dan mengupayakan kerjasama dengan kelompok-kelompok lain atau otoritas negara
(Brass, 1991: 13-16).
Argumen-argumen modernis di atas bertentangan dengan penjelasan Smith,
yang melihat bahwa eksistensi negara-bangsa berakar dalam komunitas kekerabatan
alami pra-modern. Bagi Smith (1991), bangsa modern secara langsung berasal dari
komunitas etnis yang memiliki keasliannya sendiri. Pengakuan keturunan yang sama

12

ini, kemudian dipolitisasi oleh kaum intelejensia yang berusaha memobilisasi


dukungan. Smith menekankan bahwa bangsa-bangsa modern dengan sangat baik
dapat melegitimasi dirinya sendiri dengan mengacu pada mitos etnis yang otentik
dan sudah ada dalam memori kelompok.
Lebih lanjut, Smith (1991) mengemukakan bahwa identitas nasional pada
dasarnya multidimensi, tidak dapat direduksi pada elemen tunggal, bahkan oleh
faksi-faksi nasionalis tertentu, juga tidak bisa dengan mudah diinduksikan dengan
cepat dalam suatu populasi melalui cara-cara yang artifisial. Identitas nasional dan
bangsa merupakan konstruk yang kompleks, gabungan dari sejumlah komponen
yang saling berkaitan etnik, budaya, teritori, ekonomi, dan politik legal mereka
mementingkan ikatan solidaritas di antara anggota-anggota komunitas yang
dipersatukan oleh memori, mitos, dan tradisi bersama yang bisa atau tidak bisa
menemukan kenyataannya dalam negara mereka sendiri tetapi seluruhnya berbeda
dari ketentuan hukum dan birokrasi negara yang murni. Secara konseptual, bangsa
telah muncul untuk memadukan dua perangkat dimensi civic dan teritorial, etnik dan
genealogi

dengan

berbagai

proporsi

dalam

kasus-kasus

tertentu.

Multidimensionalitas yang amat sangat ini telah membuat identitas nasional menjadi
fleksibel dan bertahan menguatkan kehidupan dan politik modern, serta
memungkinkannya bergabung secara efektif dengan ideologi dan gerakan yang kuat
lainnya, tanpa kehilangan karakternya.
Berdasarkan dimensi-dimensi di atas, fungsi identitas nasional dapat
digolongkan ke dalam konsekuensi tujuan eksternal dan internal. Fungsi eksternalnya
adalah teritorial, ekonomi, dan politik. Secara teritorial, bangsa menentukan ruang
sosialnya secara definitif di mana para anggotanya harus tinggal dan bekerja, dan
membatasi sejarah teritori yang menempatkan komunitas dalam waktu dan ruang.
Mereka juga menyediakan individu dengan pusat sakral, obyek ziarah spiritual dan
sejarah, yang mengungkapkan keunikan geografi moral bangsa mereka.
Secara ekonomi, bangsa juga membiayai pencarian untuk mengontrol
sumber daya teritorial, termasuk tenaga kerja. Mereka juga menguraikan pembagian
kerja tunggal dan mendorong mobilitas barang dan tenaga keja, serta
mengalokasikan sumber-sumber di antara para anggotanya di tanah air. Dengan

13

mendefinisikan keanggotaan, batas dan sumber daya, identitas nasional memberikan


alasan untuk cita-cita otarki nasional.
Secara politis, identitas nasional juga mendasari negara dan organ-organnya,
atau pra-politik mereka setara dengan bangsa-bangsa yang tidak memiliki negara
sendiri. Pemilihan personel politik, pengaturan perilaku politik dan pemilihan
pemerintah

didasarkan

pada

kriteria

kepentingan

nasional,

yang

diduga

mencerminkan kemauan nasional dan identitas nasional dari penduduk yang inklusif.
Fungsi politik dari identitas nasional yang paling menonjol adalah legitimasi hak
hukum dan tugas institusi hukumnya, yang mendefinisikan nilai dan karakter khas
bangsa serta kebiasaan dan adat-isitiadat masyarakat yang sudah lama ada. Daya
tarik identitas nasional telah menjadi legitimasi utama bagi tatanan sosial dan
solidaritas sosial saat ini (Smith, 1991: 14-16).
Dengan demikian, bangsa dibentuk atas dasar inti etnis, meskipun terdapat
tumpang tindih dalam sejarah dan konseptual antara komunitas etnis dan bangsa.
Komunitas etnis tidak mempunyai beberapa atribut bangsa, mereka tidak merupakan
tempat tinggal dalam arti wilayah teritorial. Budaya mereka tidak menjadi budaya
publik atau umum bagi seluruh anggota. Mereka tidak perlu dan sering tidak
menunjukkan suatu pembagian kerja bersama atau kesatuan ekonomi. Atau tidak
perlu memiliki kode hukum yang umum dengan hak-hak umum dan tugas-tugas
untuk semua anggota. Atribut-atribut bangsa tersebut merupakan produk dari sejarah
dan kondisi sosial tertentu yang bekerja pada inti etnik dan minoritas etnik
sebelumnya.
Dari berbagai definisi dan penjelasan teoritis di atas, baik dalam perspektif
modernisme maupun primordialisme, dapat disimpulkan bahwa

bangsa dan

nasionalisme merupakan identitas kolektif modern yang dikonstruksikan secara


politis seiring dengan perkembangan dan formasi negara-negara modern. Sebagai
ideologi modern, nasionalisme digunakan untuk menciptakan kohesi dan loyalitas di
antara individu yang berpartisipasi di dalam sistem yang berskala besar. Dia
merangkai suatu eksistensi komunitas yang diimajinasikan berdasarkan budaya yang
sama dan menyatu di dalam negara, di mana loyalitas masyarakat dan keterikatan
mereka diarahkan ke negara bukan pada komunitas asal berdasarkan ikatan
primordial atau tanah leluhurnya.

14

Kontestasi dan Rekonstruksi Identitas di Perbatasan


Ada dua pandangan yang fundamental mengenai konsep etnisitas dan
nasionalisme sebagai identitas sosial (Martinnusen, 1997:323). Perspektif pertama,
memandang identitas etnik dan nasional didasarkan pada karakteristik umum yang
obyektif, seperti bahasa, ras, dan agama. Identitas tersebut yang sudah ada
sebelumnya berdasarkan beberapa jenis identifikasi dan loyalitas primordial.
Konsepsi formasi identitas ini dalam beberapa hal dihubungkan dengan pandangan
normatif yang menyatukan orang-orang dalam karakteristik yang sama dan
memisahkannya dari orang-orang lain yang karakteristiknya berbeda, merupakan
fenomena alamiah yang harus diterima sebagai fakta kehidupan.
Perspektif fundamental kedua, melihat etnisitas dan nasionalitas sebagai
fenemona yang secara sosial dan ideologi dikonstruksikan, dan bahkan mungkin
secara politik dimanipulasi oleh elit-elit yang bertarung untuk mengontrol sumber
daya dan privilese (Gellner, 1983; Hobabawn, 1991; Brass, 1991). Menurut konsepsi
ini, bahasa, agama, dan afinitas teritorial hanya diperlukan jika dan ketika mereka
digunakan sebagai basis penciptaan kesadaran dan moblisasi sosial. Identitas sosial
bukan merupakan cara yang sudah diberikan sebelumnya sebagai identitas
primordial, sebaliknya, merupakan perasaan komunitas dan solidaritas yang terlibat
dalam proses sosial dan oleh karena itu tergantung pada konteks. Identitas kolektif,
seperti etnisitas dan nasionalisme yang diekspresikan secara berbeda-beda,
merupakan konstruksi ideologis dari hubungan antara negara, civil society, dan aktoraktor individual. Dalam hubungan ini, komunitas etnik dan nasional secara tipikal
mengandung banyak intervensi dan imajinasi tentang warisan kultural bersama,
pahlawan bersama, norma dan adat-istiadat bersama, dan sebagainya. Jadi, menurut
persepektif ini, etnisitas dan nasionalisme bisa dijelaskan dan dibenarkan dalam
suatu konteks yang berbeda (Martinnusen, 1997:328).
Dalam konteks daerah perbatasan yang menjadi fokus studi ini, dua aspek
identitas sosial; etnisitas dan kebangsaan merupakan isu krusial karena terkait
dengan eksistensi dua negara, Indonesia dan Malaysia, sebagai kekuatan politik yang
secara langsung atau tidak langsung, terlibat dalam membentuk identitas komunitas
lokal di perbatasan. Dalam konteks kebangsaan, komunitas perbatasan adalah warga
negara

yang

memiliki

identitas

politik

tertentu,

yang

memisahkan

dan

15

membedakannya dengan wargan negara lain. Namun, keberadaan mereka di daerah


perbatasan, seringkali identitas kebangsaan mereka menjadi tidak jelas, bahkan
dalam banyak kasus, di antara mereka memiliki identitas kewarganegaraan ganda.
Kondisi ini dimungkinkan, karena batas-batas etnisitas seringkali tidak identik
dengan batas-batas negara, batas kultural tidak berpotongan (cross-cutting) dengan
batas politik.
Di sisi lain, situasi sosial yang dinamis di perbatasan, menunjukkan
terjadinya kontestasi kepentingan ekonomi, politik, dan sosial-budaya antar
masyarakat dan negara, yang memberi ruang bagi warga komunitas lokal untuk
menegosiasikan dan mengkonstruksikan kembali identitas sosialnya sesuai dengan
situasi sosial yang dihadapi dan kalkulasi kepentingan tertentu. Dengan demikian,
identitas sosial komunitas lokal di perbatasan akan dikonstruksikan secara terus
menerus, dalam hal ini etnisitas dan kebangsaan, serta dinamika situasi sosial yang
berlangsung di daerah perbatasan, akan dijadikan sebagai dasar rekonstruksi identitas
sosial. Etnisitas dan kebangsaan akan dimaknai, digunakan atau tidak digunakan,
tergantung pada konteks sosial yang dihadapi, di mana kontestasi dan negosiasi
dalam kehidupan ekonomi, politik, dan sosial-budaya berlangsung.
Komunitas lokal di perbatasan, dihadapkan pada berbagai bangunan
identitas legitimasi, antara lain dominasi institusi politik, ekonomi, dan budaya yang
mencerminkan persaingan kepentingan antara Indonesia dan Malaysia, serta
dominasi nilai-nilai tradisional yang dibangun oleh kekuatan sejarah dan budaya
etnisitas yang melampaui batas-batas teritorial negara secara formal. Bagaimana
masyarakat atau para aktor di daerah perbatasan memaknai dan melakukan negosiasi
dengan kekuatan eksternal tersebut dalam rangka mengkonstruksikan identitas sosial
mereka? Apakah masyarakat mengidentifikasikan dirinya dengan kekuatan dominan
yang bersumber dari identitas legitimasi, atau mereka mengembangkan prinsipprinsip yang berbeda dengan kekuatan dominan (identitas resisten)? Atau, bahkan
melakukan transformasi struktural dan membentuk identitas baru. Semua
kemungkinan tersebut, akan sangat tergantung pada kalkulasi kepentingan,
kebutuhan situasional, dan derajat sugestibilitas yang dihadapi oleh masyarakat.
Proses pemaknaan dan negosiasi akan bekerja di dalam masyarakat yang kemudian

16

mereka mengkonstruksikan identitas sosialnya yang dianggap sesuai untuk


membingkai peran dan tindakan sosial mereka.
Beberapa hasil penelitian terkait dengan isu identitas sosial komunitas
perbatasan menunjukkan bahwa identitas sosial bersifat cair, terbentuk melalui
interaksi dan kontestasi yang dinamis. Laporan Bappenas (2002) menyatakan bahwa
kawasan perbatasan dengan negara tetangga di Propinsi Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur merupakan perbatasan wilayah darat dan laut yang mempunyai
pola keterkaitan pada daerah perbatasan darat antara wilayah Propinsi Kalimantan
Barat dengan Negeri Sarawak dan antara Propinsi Kalimantan Timur dengan Negeri
Sabah. Kedua kawasan tersebut relatif berhubungan langsung satu sama lain karena
merupakan perbatasan darat. Kondisi yang berbeda satu sama lain, dimana wilayah
Malaysia relatif lebih maju dibandingkan dengan wilayah Indonesia, maka terjadi
kecenderungan perubahan orientasi kegiatan sosial ekonomi penduduk di wilayah
Indonesia ke wilayah Malaysia.
Hasil penelitian Maunati (2008) mengemukakan bahwa daerah perbatasan
memiliki keunikan karena lokasinya di grey area dalam bebagai aspek. Dalam
aspek kekerabatan, komunitas lokal warga Negara Indonesia dan warga Negara
Malaysia memiliki hubungan yang kental karena mereka percaya berasal dari
kelompok yang sama. Hubungan dagang dan mobilitas berlangsung karena adanya
hubungan kekerabatan dan secara historis memang telah terjadi hubungan sebelum
terjadi garis demarkasi yang tegas memisahkan wilayah ke dalam dua negara yang
berbeda (Ardhana, et.al., 2006).
Kemudian, studi yang dilakukan LIPI pada tahun 2007 di Krayan
Kalimantan Timur, Long Pasia, Sabah-Malaysia, dan Lun Bawan di Ba Kelalan,
Sarawak-Malaysia, ketiganya adalah desa-desa yang berdampingan di sepanjang
perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara, menunjukkan bahwa ikatan
antara masyarakat yang berbeda kewarganegaraan di perbatasan tersebut telah terjadi
begitu lama melalui interaksi perdagangan. Apalagi mereka mempunyai ikatan etnis
yang sama (Sellato, 1994 dan Crain 1994). Sampai saat ini, kendati menghadapi
kendala fisik seperti ketiadaan akses jalan raya dan terisolir dari bagian propinsi yang
lain (landlocked) namun hubungan perdagangan dan perekonomian tersebut masih
berlangsung (John Haba, et.al. 2007).

17

Eilenberg (2012) dalam penelitiannya di daerah perbatasan Kapuas Hulu


Kalimantan Barat, mengemukakan bahwa perbatasan Kalimantan Barat secara
keseluruhan, memiliki sejarah panjang keterbelakangan ekonomi dibandingkan
dengan bagian lain dari provinsi ini. Infrastruktur sosial-ekonomi yang buruk, pasar
regional yang terisolasi, dan kelangkaan investasi skala besar menandai perbatasan.
Sampai saat ini perbatasan telah sangat militeristik sebagai akibat dari ketegangan
antara Indonesia dan Malaysia, yang dipicu oleh konfrontasi bersenjata antara kedua
negara di awal tahun 1960-an dan diikuti oleh operasi militer anti-Komunis di
pertengahan 1960-an hingga 1970. Hal ini diikuti oleh eksploitasi sumberdaya skala
besar. Selain itu, komunitas perbatasan di Kapuas Hulu mengalami kesulitan berada
di salah satu pelosok negara Indonesia yang paling terpencil dan terbelakang secara
ekonomi. Kurangnya infrastruktur transportasi dan diperkuat oleh perasaan terisolasi
dari daerah lain di Indonesia, sementara melihat jarak ke arah Sarawak lebih dekat.
Perjalanan ke ibukota provinsi Pontianak memakan waktu hampir dua hari (dalam
musim hujan lebih panjang lagi) dengan perjalanan yang berbahaya dan mahal.
Pontianak merupakan wilayah asing bagi mayoritas penduduk setempat, yang hanya
memiliki sedikit atau tidak sama sekali kontak sosial kekerabatan. Oleh karena itu,
selain dari elit kecil perbatasan (banyak di antaranya memiliki rumah kedua di
Pontianak), hanya sebagian kecil dari penduduk perbatasan pernah keluar dari daerah
mereka sendiri. Namun sebaliknya, banyak yang telah mengunjungi Sarawak.
Kuching, dan pusat ekonomi utama di seberang perbatasan, yang jaraknya kurang
dari setengah hari perjalanan dengan menggunakan bis ber-AC di atas jalan yang
mulus. Tidak mengherankan, selain dari elit kecil perbatasan, hanya beberapa orang
di perbatasan yang telah mengunjungi ibukota provinsi mereka yang jauh, namun
banyak yang berjalan menyusuri pantai menuju kota Kuching di Sarawak. Pada
umumnya, perasaan komunitas di perbatasan terutama diarahkan pada pusat daerah
yang berdekatan di Sarawak daripada dengan pusat provinsi atau nasional mereka
(Eilenberg, 2012:11-12).
Bukti-bukti empiris yang ditemukan dalam penelitian di atas menunjukan
bahwa aspek kebangsaan (nasionalisme) sangat cair dalam kehidupan komunitas
lokal di daerah perbatasan. Bahkan, kecenderungan identifikasi kebangsaan kepada
negara Malaysia sangat dimungkinkan oleh karena perbedaan kondisi ekonomi yang

18

timpang dengan Indonesia. Kondisi perekonomian Malaysia di daerah perbatasan


lebih maju dibandingkan dengan Indonesia. Sebagaimana dikemukakan dalam
laporan Bappenas (2002) bahwa kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan
perbatasan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga.
Kondisi tersebut berpotensi untuk mengundang kerawanan di bidang politik, karena
meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial,
namun dimungkinkan adanya kecenderungan untuk bergeser ke soal politik, terutama
apabila

kehidupan

ekonomi

masyarakat

daerah

perbatasan

mempunyai

ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal ini pun, selain dapat
menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan harkat dan
martabat bangsa.(Bappenas, 2002).
Dalam dimensi etnisitas, komunitas lokal di perbatasan Indonesia-Malaysia
merupakan satu sistem komunitas etnis yang terlepas dari batas politik antarnegara.
Sebagaimana dikemukakan King (1993), penduduk asli di pulau Kalimantan
tersebar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki karakteristik yang unik.
Namun demikian, ada kategori umum bahwa orang Dayak dianggap sebagai the
natives people of Borneo. Mereka teridiri dari kelompok penduduk seperti Iban,
Kayan. Bidayuh. Kendayan, Mayoh atau Kayan, Lun Bawang, dan lain-lain. Di sisi
lain. orang Dayak dikontraskan dengan orang Melayu karena perbedaan agama yang
dianut. Melayu diidentikan dengan Islam, meskipun sesungguhnya orang Melayu dan
orang Dayak juga bisa dibedakan dari bahasa dan adat isitiadat yang mereka
gunakan. Dalam perkembangan lebih lanjut, di daerah pedalaman Kalimantan Barat,
cukup banyak kelompok-kelompok penduduk Dayak, seperti Kendayan, Bidayuh,
dan Maloh yang menjadi muslim, kemudian mereka menamakan diri sebagai Melayu
Kapuas (Dikutif dari Tirtosudarmo, 2002:126).
Kemudian, kehadiran negara di perbatasan yang antara lain diwujudkan
dalam bentuk pembangunan infrastruktur, regulasi, pelayanan publik, dan
pengamanan, merupakan faktor yang diperhitungkan dan dimaknai keberadaannya
oleh komunitas di perbatasan. Oleh karena itu, kuantitas dan kualitas kehadiran
negara tersebut akan menjadi variabel signifikan yang dapat menguatkan identitas
kebangsaan komunitas lokal di perbatasan. Namun sampai saat ini, kehadiran negara

19

(Indonesia) di daerah perbatasan, lebih banyak muncul dalam wujud pendekatan


keamanan melebihi pelayanan publik dan pembangunan infrastuktur.
Secara skematik, kontestasi dan rekonstruksi identitas komunitas di
perbatasan dapat digambarkan sebagai berikut:

Komunitas Perbatasan

Poltical
Interests
Sociocultural
Interests

Economic
Interests

Aktor/Agensi
Negara

Aktor /Agensi
non-Negara

Konsepsi dan Manifestasi Kebangsaan


Komunitas Lokal Perbatasan

Nasionalisme sebagai identitas kebangsaan pada komunitas di perbatasan


dipahami sebagai proses rekonstruksi sosial yang dinamis, produk dari berbagai
kekuatan yang saling berinteraksi dalam kehidupan masyarakat lokal. Pertama,
kepentingan politik (political interets) dalam rangka membangun integrasi nasional
dan pemberian otonomi pada komunitas lokal untuk membangun wilayahnya (selfdetermination) dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kedua, kepentingan ekonomi (economic interests) dalam bentuk ketersediaan dan
akses terhadap sumberdaya ekonomi; sumber daya alam, lapangan pekerjaan,
fasilitas dan infrastruktur perekonomian yang mendukung terhadap pemenuhan
kebutuhan ekonomi masyarakat di perbatasan. Ketiga, kepentingan sosial-budaya
(socio-cultural interests) dalam bentuk tersedianya akses dan fasilitas pelayanan
pendidikan,

kesehatan,

dan

pelestarian

budaya

lokal

yang

mendukung

keberlangsungan kehidupan komunitas perbatasan sebagai suatu entitas. Seluruh

20

aspek kepentingan tersebut memiliki makna dan merupakan pull factors (faktor
penarik) yang dapat memberi kontribusi dan merekonstruksi konsepsi kebangsaan
dalam kehidupan komunitas lokal di perbatasan. Kemudian, sejauhmana negara dan
aktor-aktor/agensi yang memiliki kepentingan terhadap daerah perbatasan hadir dan
berinteraksi, memaknai, merespon, dan mengkonstruksikan semua kepentingan di
atas sehingga menjadi push factors (faktor pendorong) bagi terbentuknya konsepsi
dan manifestasi nilai-nilai kebangsaan pada komunitas lokal di perbatasan. Di sisi
lain, adanya kontestasi kepentingan antarnegara Indonesia-Malaysia di perbatasan,
berpeluang mengkonstruksikan makna kebangsaan seiring intensitas kehadiran
kedua negara tersebut di wilayah perbatasan. Pada akhirnya, nilai-nilai kebangsaan
dimaknai dan dikonstruksikan secara terus menerus dalam kehidupan komunitas
lokal, yang merefleksikan kepentingan subyektif dan obyektif, kekuatan pull factors
dan push factors, yang hadir di wilayah perbatasan.
Keseluruhan studi mengenai konstruksi identitas sebagaimana dipaparkan di
atas menunjukkan bahwa etnisitas dan nasionalisme dikonstruksikan dalam konteks,
situasi, sejarah, dan kepentingan yang berbeda-beda. Terutama kepentingan politik,
ekonomi, dan sosial-budaya menjadi pertimbangan yang sangat mendasar, yang
mendorong gerakan etnis dan nasionalis serta para elit untuk memobilisasi dan
mengkonstruksikan identitas etnis dan kebangsaan, dengan cara membangkitkan
memori kolektif, mitos keturunan dan budaya yang sama, sehingga mencapai
kemandirian bangsa atau sebaliknya mengintegrasikan diri dengan bangsa lain yang
lebih besar yang dapat memberikan keuntungan secara politik maupun ekonomi.
Kesimpulan dan Diskusi
Identitas komunitas lokal di perbatasan bersifat cair; dikonstruksikan dan
dikonstruksikan kembali dalam situasi yang dinamis, di tengah-tengah kontestasi
berbagai kepentingan subyektif dan obyektif, antara individu, kelompok, dan negara.
Identitas komunitas lokal di perbatasan dibentuk secara terus-menerus oleh berbagai
kekuatan yang saling berinteraksi dalam kehidupan masyarakat. Pertama, kekuatan
internal yang bersumber dari aspek primordial yang mencerminkan dinamika
etnisitas dan kebangsaan. Kedua, kekuatan eksternal yang merefleksikan adanya
kontestasi kepentingan politik dua negara di perbatasan (indonesia dan Malaysia),

21

dengan berbagai program dan kebijakannya yang dikonstruksikan di wilayah


perbatasan, terutama dalam aspek politik, sosial-budaya, dan ekonomi.
Kemudian, interaksi dan kontestasi antar berbagai kekuatan internal dan
eksternal tersebut dikonstruksikan sebagai identias sosial pada komunitas lokal di
perbatasan. Pada aras kehidupan kolektif, identitas sosial tersebut yang tercermin
dalam institusi sosial masyarakat, termasuk di dalamnya nilai, norma, dan simbolsimbol yang digunakan. Sedangkan, dalam aras individual, identitas sosial tersebut
dapat terefleksikan dari sentimen, persepsi, dan orientasi tindakan individu,
khususnya tekait dengan etnisitas dan orientasi kebangsaan mereka. Antara dimensi
kolektif dan dimensi individual, pada dasarnya saling terkait atau berinteraksi
sebagai bentuk kesatuan identitas sosial komunitas.
Pada akhirnya, ada beberapa kesimpulan penting berkaitan dengan
konstruksi identitas sosial komunitas sebagai realitas sosial di daerah perbatasan
Indonesia-Malaysia di pulau Kalimantan:

Etnisitas dan kebangsaan merupakan acuan utama dalam membentuk identitas


sosial komunitas lokal di daerah perbatasan. Tetapi identias sosial tersebut
bersifat cair, merupakan proses konstruksi sosial yang dinamis dari interaksi
sosial, negosiasi dan kalkulasi, antara kekuatan internal (komunitas) dan
kekuatan eksternal (negara).

Hubungan sosial lintas batas seperti dalam bentuk perdagangan, migrasi, dan
hubungan kekerabatan bukan semata-mata motif ekonomi, tetapi mencerminkan
kohesi sosial dan solidaritas di antara warga komunitas sebagai konsekuensi dari
keterikatan etnisitas dan struktur sosial yang sama.

Perbedaan kondisi sosial ekonomi antaranegara perbatasan (Malaysia-Indonesia)


menjadi dasar bagi proses social comparison yang menentukan posisi dan status
identitas sosial kebangsaan (nasionalisme) warga komunitas lokal di perbatasan.

Dalam realitas sosial komunitas lokal di perbatasan Indonesia-Malaysia,


konstruksi identitas sosial yang muncul dalam struktur sosial, norma, simbol,
perilaku sosial, dan persepsi kebangsaan menunjukkan indikasi adanya sikap
mendua atau bahkan lebih berpihak terhadap negara tetangga. Kondisi ini
dimungkinkan oleh karena arah kebijakan pembangunan wilayah perbatasan
cenderung masih berorientasi inward looking, yakni menempatkan kawasan

22

perbatasan seolah-olah hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan


negara.

Pendekatan atau kebijakan pengelolaan daerah perbatasan selama ini dinilai


kurang memperhatikan realitas budaya masyarakat di perbatasan yang telah
berlangsung secara turun temurun sebelum negara sebagai realitas politik hadir.
Akibatnya implementasi kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan tidak efektif
mengatasi permasalahan di daerah perbatasan.

Sampai saat ini, permasalahan beberapa wilayah perbatasan masih ditangani


secara ad-hoc (khusus), sementara (temporer), parsial serta lebih didominasi oleh
pendekatan keamanan (security) melalui beberapa kepanitiaan (committee),
sehingga belum memberikan hasil yang optimal.

Wilayah-wilayah perbatasan masih dianggap bukan merupakan wilayah prioritas


pembangunan oleh pemerintah pusat maupun daerah, sehingga komunitas lokal
mengalami marjinalisasi dan ketertinggalan secara ekonomi dan politik. Lebih
lanjut, identifikasi kebangsaan terhadap negara tetangga menjadi pilihan sebagai
bentuk perlawanan terhadap ketidakpedulian pemerintah.

Pada akhirnya, daerah perbatasan harus dipahami secara komprehensif. Di satu sisi
merupakan

realitas sosial-kultural yang tidak dibatasi oleh batas negara secara

admisnistratif. Di sisi lain, merupakan realitas politik yang memisahkan warga di


perbatasan yang berasal dari komunitas yang sama ke dalam dua identitas politik
(kewarganegaraan) yang berbeda. Sehubungan dengan itu, pendekatan pengelolaan
daerah perbatasan harus mengintegrasikan secara arif dua kepentingan -- kultural dan
politik yang seringkali bertentangan.
Pengelolaan wilayah perbatasan seyogyanya tidak hanya berorientasi pada
kepentingan

politik

atau

kedaulatan

wilayah

negara,

tetapi

juga

harus

mengakomodasi realitas sosial-budaya yang menjadi identitas warga perbatasan.


Pendekatan keamanan, pembangunan ekonomi dan infrastruktur di wilayah
perbatasan adalah suatu keniscayaan yang penting dilakukan sebagai wujud
pemerataan pembangunan yang berkeadilan, tetapi bukan berarti membatasi
hubungan sosial pada masyarakat perbatasan sebagai realitas sosial.

23

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict. 2006. Imagined Communities.Third Edition. London, Verso.
Berger, Peter L. Humanisme Sosiologi. Terjemahan Daniel Dakhidae. Jakarta. PT.
Inti Sarana Aksara. 1985.
Berger, Peter L. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta. Terjemahan
Hartono. LP3ES. 1991
Brass, P. 1991. Ethnicity and Nationalism: Theory and Comparison . New Delhi,
Sage.
Breuilly, J. 1982. Nationalism and the State . Manchester, Manchester University
Press.
Brown, D. 2000. Contemporary Nationalism: Civi, Ethnocultural & Multicultural
Politics. New York, Rotledge
Burke, Peter J and Jane E. Stets. 2007. Identity Theory. New York. Oxford
University Press.
Calhoun, Craig. 1997. Nationalism: Concepts in Social Thought. Minneapolis. Open
University Press.
Connor, W. 1994. Ethnonationalism: The Quest for Understanding . Princeton,
Princeton University Press.
Dahbour, O. and Ishay. M.R. (eds) 1995. The Nationalism Reader . New Jersey,
Humanities Press.
Eilenberg, Michael. 2012. At the Edges of the State: Dynamics of State Formation in
the Indonesian Borderlands. Leiden: KITLV Press.
Fina, Ana De, D. Schiffin, Michael Bamberg (eds). 2006. Discourse and Identity.
New York: Cambridge University Press.
Gellner, E. 1983. Nations and Nationalism . Oxford, Blackwell.
Giddens, Anthony.1985. The Nation-State and Violence, Cambridge: Polity Press.
Giddens, Anthony. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Membentuk Kehidupan
Kita. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 2003.
Hauugard, Mark. Nationalism and Modernity in Sinisa Malesevi and Mark
Haugaard (eds). 2002. Making Sense of Collectivity Ethnicity,
Nationalism and Globalisation London, Pluto Press.
Hechter, M. and Levi, M. 1979. The Comparative Analysis of Ethno-Regional
Movements, Ethnic and Racial Studies 2(3):26074.
Hobsbawm, E. 1990. Nations and Nationalism Since 1780 . Cambridge, Cambridge
University Press.
Hutchinson, J. 1994. Modern Nationalism , London, Fontana, Harper Collins.
Ichijo, Atsuko and Gordana Uzelac (eds). 2005. When is the Nation? Towards an
Understanding of Theories of Nationalism. London. Routledge.
Kymlicka, W. 1995a. Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights.
Oxford, Clarendon Press.
McCrone, David.1998. The Sociology Of Nationalism. London. Routledge
Minogue, K.R. 1967. Nationalism . London, Batsford.
Martinnusen. 1997. Society, State, and Market: A Guide a Competing Theories of
Development. Dhaka. University Press Ltd.
Ohmae, K. 1995. The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies .
London, Harper Collins.

24

Ozkirimli, Umut. 2000. Theories of Nationalism: Critical Introduction. London.


MacMillan Press Ltd.
Ritzer, George-Douglas J.Goodman. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan
Alimandan. Jakarta. Prenada Media. 2004.
Ronen, D. 1979. The Quest for Self-Determination . New Haven, Yale University
Press.
Spencer, Philip and Howard Wollman. 2002. Nationalism: A Critical Introduction.
London. Sage Publication.
Smith, A.D. 1998. Nationalism and Modernism . London, Routledge.
Smith, A.D. 2008. The Cultural Foundations of Nations. Oxford: Blackwell
Publishing Ltd
Wilson, Thomas M. and Hastings Donnan. 1998. Borders Identities: Nation and
State at International Frontiers. New York. Cambridge University Press.
Artikel, Jurnal Ilmiah, Laporan Penelitian
Ardhana, I Ketut, et.al. Dinamika Etnisitas dan Hubungan Ekonomi pada Wilayah
Perbatasan di Kalimantan Timur Sabah, Studi Kasus di Wilayah
Krayan dan Long Pasia. Jakarta : Pusat Penelitian Sumber Daya
Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2006.
Haba, John, et.al. Dinamika Sosial-Budaya di Daerah Perbatasan Kalimantan Barat
dan Sarawak. Jakarta, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Kebudaayaan-LIPI. 2002.
Husnadi. 2006. Menuju Model Pengembangan Kawasan Perbatasan Daratan Antar
Negara (Studi Kasus : Kecamatan Paloh dan Sajingan Besar Kabupaten
Sambas, Kalimantan Barat). Tesis Magister Teknik Pembangunan
Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro Semarang.
Lumenta, Dave. Diperlukan Analisis Perbatasan Melalui Pendekatan
Transnasional. http://tabloiddiplomasi.com/index.php/previous-isuue 20
Agustus 2009.
Nagel, Joane. 1994. Constructing Ethnicity: Creating and Recreating Ethnic Identity
and Culture. Source: Social Problems, Vol. 41, No. 1, Special Issue on
Immigration, Race, and Ethnicity in America (Feb., 1994), pp. 152-176.
http://www.jstor.org/stable/.
Todd, Jennifer. 2005..Social Transformation, Collective Categories, and Identity
Change. Source: Theory and Society, Vol. 34, No. 4 (Aug., 2005), pp.
429-463. Published by: Springer. http://www.jstor.org/stable/.
Tirtosudarmo, Riwanto.. Tentang Perbatasan dan Studi Perbatasan Sebuah
Pengantar. Jurnal Antropologi Indonesia 67. Jakarta 2002.
Usman, Syafaruddin. 2011. Sejarah Wilayah Perbatasan Kalbar-Malaysia.
www.kalbariana.net/sejarah-wilayah-perbatasan-kalbar-malaysia-2.

25

Anda mungkin juga menyukai