Abstract
This paper explores a sociological analysis of the reconstruction of social identity in the
local communities in Indonesia-Malaysia border. Social identity is the collective orientation
has been being formed of dynamic social interaction. Politics, economic, and socio-cultural
factors, is an important pull factor in constructing national identity in the border
communities are highly liquid. Therefore, the government's development policy is required in
order to be a driving factor so that Indonesia become internalized social identity in the life
of local communities, and thus became the pillars of state sovereignty at the border.
Key words: identity, nationalism, contestation, border communities, sovereignity
Pendahuluan
Proses terbentuknya negara-bangsa di Asia Tenggara adalah konsekuensi dari
pembagian teritori wilayah di masa kolonial pada abad 19-20, ketika para penguasa
kolonial membagi Asia Tenggara berdasarkan kepentingan ekonomi-politik mereka,
tanpa sepengetahuan para subyek jajahan mereka. Faktor-faktor kultural, agama,
linguistik, pola mobilitas, formasi-formasi hubungan sosial maupun jaringan
perdagangan tradisional tidak menjadi dasar pertimbangan bagi penentuan batas
negara. Akibatnya, batas-batas negara di Asia Tenggara tidak dapat berpotongan
dengan batas-batas kultural secara persis (Lumenta, 2009). Hal ini pula yang berlaku
pada perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan, awalnya adalah garis di
atas peta yang ditorehkan melalui perjanjian dua negara penjajah, Belanda dan
Inggris pada 20 Juni 1891. Pulau Borneo pun kemudian dibelah memanjang dari
timur ke barat.
Munculnya negara sebagai realitas sosial baru menyebabkan masyarakat di
kedua sisi batas, yang sebagian masih bertalian saudara dipaksa untuk memiliki
identitas kebangsaan (politik) yang berbeda. Sebelah selatan garis menjadi wilayah
kekuasaan Dutch Borneo dan sebelah utara berada di bawah British Protectorates.
Setelah berakhirnya era kolonialisasi Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia,
pulau yang terbelah secara paksa itu diwariskan kepada bekas jajahannya masingmasing. Indonesia mewarisi sekitar dua pertiga tanah Borneo di sebelah selatan,
sisanya terbagi antara Malaysia dan Brunei. Dilihat dari sudut kepentingan negara,
wilayah perbatasan dianggap sebagai titik persinggungan antara kepentingan
kedaulatan nasional dan negara tetangga sehingga ditempatkan sebagai wilayah yang
rawan, sebuah frontier yang harus dijaga dari ancaman luar. Akibatnya, mobilitas
lintas negara yang kerap dilakukan warga komunitas di perbatasan ditafsirkan
sebagai gejala yang menyimpang dan dianggap sebagai indikasi lunturnya rasa
nasionalisme.
Namun demikian, kehadiran negara dengan batas-batas teritorial sebagai
realitas politik, tampaknya tidak serta merta menjadi fakta sosial baru yang bisa
menggantikan atau mengeliminasi norma-norma dan nilai-nilai kultural sebagai
pattern of behavior, yang menjadi pedoman warga komunitas lokal di perbatasan
dalam berperilaku dan menjalin hubungan sosial di antara mereka. Garis batas fisik
negara tidak dapat menghapus realitas sosial-budaya yang sudah ada sebelumnya.
Sampai saat sekarang, individu dan unit-unit sosial yang berada di antara garis batas
tetap meneruskan irisan itu, terutama dalam hal migrasi penduduk, perdagangan, dan
penggarapan lahan. Pada akhirnya, di mata sebagian masyarakat tradisional di
perbatasan, batas negara yang ditorehkan secara paksa oleh kolonial Inggris dan
Belanda, yang kemudian diteruskan oleh Malaysia dan Indonesia, adalah garis batas
wilayah yang imajiner. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kemudian sebagian
warga perbatasan memiliki identitas kewarganegaraan ganda. Kebanyakan yang
terjadi adalah warga negara Indonesia yang kemudian berpindah menetap ke
kampung di Malaysia (Kompas, 14 Agustus 2009).
Memperhatikan fenomena dan realitas sosial yang berkembang di daerah
perbatasan Indonesia-Malaysia, secara umum ada tiga dimensi permasalahan pokok
yang terjadi yaitu: Pertama, permasalahan yang berdimensi lokal, yaitu gambaran
kemiskinan sebagai akibat dari tidak fokusnya intervensi kebijakan di masa lalu
sehingga terabaikannya pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia, kemudian
diikuti dengan penanganan perbatasan yang masih kental dengan nuansa sentralistik.
Kedua, permasalahan yang berdimensi nasional, yaitu munculnya kegiatan ekonomi
ilegal diantaranya illegal logging, TKI dan penyelundupan lainnya (trafficking in
persons), eksploitasi sumber daya alam secara tidak beraturan, lemahnya sistem
pengawasan, semangat otonomi mengenai status dan kewenangan penanganan, serta
politik nasional, yang memberi identitas kepada mereka sebagai warga negara. Di
samping itu, mereka juga dihadapkan pada realitas dinamika sosial, ekonomi, dan
politik yang berlangsung terus menerus di daerah perbatasan sehingga menuntut
warga komunitas untuk selalu mengadaptasikan dirinya dengan kondisi tersebut.
Persoalan identitas sosial komunitas perbatasan menjadi isu krusial dalam
studi ini, khususnya terkait dengan etnisitas dan kebangsaan, yang secara geopolitik
maupun geokultural melibatkan dua negara yang berbeda -- Indonesia dan Malaysia.
Dalam konteks geopolitik (nation-state), komunitas perbatasan merupakan bagian
dari warga negara dengan identitas politik atau kebangsaan tertentu. Identitas
tersebut membedakan dan memisahkannya dengan warga negara lain. Sedangkan
secara geokultural (ethnicity), pemisahan batas politik tersebut tidak berarti
merupakan pemisahan batas etnik yang secara historis telah hadir sebelum batas
politik terbentuk. Konsekuensinya, perbedaan kewarganegaraan tidak mencerminkan
perberdaan etnik. Dengan kata lain, meskipun komunitas lokal di perbatasan berbeda
secara geopolitik, tetapi secara geokultural mereka merupakan komunitas yang sama.
Konsekuensinya, identitas nasional tidak kongruen dengan identitas etnis,
batas kultural tidak berpotongan (cross-cutting) dengan batas politik. Kondisi ini
terjadi karena komunitas etnis sebagai realitas sosial-budaya telah hadir jauh sebelum
munculnya negara-bangsa dengan batas teritorialnya yang terbentuk kemudian oleh
kekuatan kolonial. Implikasi lebih lanjut, kehadiran negara sebagai realitas politik
tidak dengan serta merta membatasi hubungan sosial, budaya, dan ekonomi yang
sudah terbangun dalam kerangka hubungan etnisitas pada komunitas di perbatasan.
Selain faktor historis dan sosial-kultural, tak dapat dipungkiri adanya
ketimpangan yang tajam dalam dinamika pembangunan antara Sarawak-Kalimantan
Barat dan Sabah-Kalimantan Timur, menjadi faktor krusial yang dapat memberikan
kontribusi terhadap perubahan orientasi dan idenfikasi sosial penduduk di
perbatasan. Di mana, pengalaman masa lalu -- sebelum diberlakukannya UndangUndang Otonomi Daerah -- kawasan perbatasan secara politis dianggap sebagai
kawasan yang rawan terhadap penyelundupan, penyusupan, ataupun kegiatan
kriminal lainnya yang dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas keamanan negara
(Wirjanto, 2003). Oleh karena itu, pemerintah menerapkan kebijakan melalui
pendekatan keamanan (security approach) dengan menempatkan aparat militer di
sosial-ekonomi
yang
dapat
menunjang
pencapaian
tingkat
untuk memeliharanya. Dengan demikian, identitas harus dipahami dalam dua tataran
konstruksi; tataran identitas personal dan tataran kolektif atau identitas sosial
(Berger, 1991:3).
Identitas sosial bersifat multi-facet. Individu dalam keberadaannya sebagai
anggota dari suatu kelompok atau komunitas tertentu, menyandang berbagai identitas
sosial yang merepresentasikan keberadaan kelompok atau komunitasnya tersebut.
Melalui identitas sosial individu menempatkan dirinya dalam berbagai posisi dalam
kehidupan masyarakat. Atau dengan kata lain, individu ada di dalam konteks struktur
sosial. Sebagaimana dikemukakan Cooley (1902), Coleman (1990), dan Stryker
(2002) bahwa individu dan masyarakat merupakan dua sisi dari koin yang sama.
Masyarakat (struktur sosial) diciptakan oleh tindakan individu, dan di sisi lain
tindakan tersebut dihasilkan dalam konteks struktur sosial, mereka menciptakan dan
dipengaruhi oleh konteks ini. Jadi, karakteristik individu dan karakteristik
masyarakat saling mempengaruhi secara timbal balik (Burke & Stets, 2009:4).
Berbagai definisi identitas sosial yang dikemukakan para sarjana di atas,
pada dasarnya menunjukkan bahwa identitas sosial terbentuk melalui proses sosial
yang dinamis dan dialektis, melibatkan negosiasi dan kontestasi di antara para pelaku
dengan berbagai struktur atau kekuatan sosial yang muncul di dalam masyarakat,
atau dengan kata lain, konstruksi identitas merupakan produk dari proses negosiasi
aktor dengan situasi sosial atau kekuatan eksternal yang saling berkontestasi.
Sebagaimana dikemukakan Giddens (2004:37) bahwa dalam masyarakat modern
individu harus membentuk dan membentuk kembali dirinya agar mampu
menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Karena kondisikondisi baru secara konstan muncul di sekitar individu yang harus dijadikan masuk
akal. Individu harus mengelola dan melekatkan makna kepada dunia yang secara
inheren tidak stabil.
Dengan demikian, identitas sosial yang melekat pada seorang individu tidak
fix, melainkan berubah dan bersifat fluktuatif, relasional, dan situasional,
dikonstruksikan melalui praktik dan interaksi sosial. Kategori identitas bersifat
multiple dan makro, tersebar bebas dalam lingkungan kehidupan di mana individu
bisa memilih atau mengabaikannya, tergantung pada kalkulasi kepentingan,
kebutuhan situasional, derajat sugestibilitas yang dihadapi pada saat itu. Identitas
kolektif
memainkan
peran
penting
dalam
membingkai
tindakan,
namun
Eropa Barat telah mengganggu sistem integrasi masyarakat tradisional dan telah
menginisiasi restrukturisasi dari yang lama dan munculnya institusi sosial baru.
Karena itu, masyarakat industri modern didasarkan pada ide pertumbuhan abadi.
Mereka menuntut tenaga kerja yang sangat mobil, terdidik, dan terspesialisasi.
Permintaan ini telah membentuk kembali institusi negara untuk melakukan
transformasi masyarakat dari yang sebelumnya terpusat dan tertutup tergabung
menjadi terdesentralisasi, terbuka dan terspesialisasi (Gellner, 1983: 14). Terutama
melalui
sarana
pendidikan
yang
tersentralisasi
low
culture
yang
ada
ditransformasikan menjadi high culture, yaitu suatu kultur yang ditandai oleh
standarisasi, literasi, dan sistem komunikasi yang berbasis pendidikan (Gellner,
1983:54). Sistem pendidikan ini menghapus perbedaan budaya regional dan
mencetak penduduk ke dalam komunitas nasional yang sama. Periode transisi ini
sekarang diberi nama era nasionalisme.
Pendekatan yang lain dari perspektif modernisme melihat bangsa dan
nasionalisme sebagai sarana bagi proses sistem sosial budaya dalam masyarakat
modern. Mereka adalah Anderson (1983) dan Hobsbawm (1989). Sedangkan
Breuilly (1982) dan Brass (1991), memahami nasionalisme sebagai gerakan politik
yang dimotori oleh elit nasionalis. Bagi Hobsbawm (1989), kebangkitan bangsa dan
nasionalisme terjadi melalui reintegrasi sosial dan budaya dari masyarakat tradisional
yang telah hancur. Proses transisi harus menggantikan tradisi yang hilang dan
menciptakan basis baru bagi solidaritas penduduk. Hobsbawm juga melihat bahwa
nasionalisme terjadi dalam transformasi yang cepat di dalam masyarakat ketika
tradisi lama berhenti menjalankan tugas untuk mana mereka dirancang. Nasionalisme
menawarkan
penggantinya,
tradisi
baru
yang
hanya
dihasilkan
dari
10
yang juga bisa memberikan model-model kepercayaan, sistem nilai dan perilaku
yang diinginkan; (3) melalui formasi komunitas seperti bangsa, yang dapat
membangkitkan perasaan identifikasi baik di dalam komunitas itu maupun dengan
institusi yang mewakili, mengekspresikan atau mensimbolisasikannya (1985:9).
Ditempatkan dalam cara ini, bangsa menjadi alat yang sempurna untuk integrasi
sosial-budaya baru dalam masyarakat modern dan dikonstruksikan dalam pikiran.
Sementara itu, Benedict Anderson (1983) menjelaskan kemunculan bangsa
dan nasionalisme sebagai instrumen integrasi sosial-budaya baru dalam masyarakat
yang telah hancur oleh industrialisasi yang cepat, modernisasi dan kemajuan dalam
teknologi. Transisi dari pra-modern menuju masyarakat modern ditandai oleh proses
sekularisasi umum, standarisasi konsep waktu dan penemuan cetak komersial. Proses
tersebut menurut Anderson, membuat nasionalisme menjadi mungkin. Proses
pertama telah mentransfer loyalitas komunitas religius menjadi komunitas yang
ditakdirkan, yaitu bangsa. Proses kedua telah membuka ruang imajinasi dalam suatu
homogenitas, di mana seorang individu bisa mengidentifikasikan dirinya dengan
massa yang tidak dikenal dari bangsa yang sama (Anderson, 1983: 24). Munculnya
print-capitalism, khususnya surat kabar, telah menciptakan standarisasi bahasa
daerah dan menawarkan satu gambaran dunia yang berakar jelas dalam kehidupan
sehari-hari. Proses-proses tersebut telah berhasil menciptakan bangsa, yaitu suatu
komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara
inheren dan berkedaulatan (Anderson, 1983:6).
Dalam cara pandang yang berbeda dengan Anderson dan Hobsbawm,
Breuilly (1982) menggunakan konsep nasionalisme mengacu pada gerakan politik
untuk mencari dan menjalankan kekuasaan negara, serta menjustifikasi tindakan
tersebut dengan argumen nasionalis. Nasionalisme adalah doktrin politik yang
dibangun di atas tiga pernyataan: (1) adanya suatu bangsa dengan karakter yang jelas
dan khas; (2) kepentingan dan nilai bangsa ini didahulukan di atas semua
kepentingan dan nilai yang lain; dan (3) bangsa harus independen dan memiliki
kedaulatan politik.
Menurut Breuilly, nasionalisme tidak dapat dijelaskan hanya oleh faktorfaktor kepentingan kelas, modernisasi ekonomi, kebutuhan psikologi atau kultur.
Tidak satu pun dari faktor-faktor tersebut dapat membantu memahami nasionalisme
11
secara umum. Ia berpendapat bahwa politik, dalam hal ini adalah kekuasaan (power),
merupakan poin krusial di atas semua faktor lain untuk memahami nasionalisme.
Kekuasaan dalam dunia modern adalah terutama berkaitan dengan kontrol negara.
Oleh karena itu, yang terpenting adalah menghubungkan nasionalisme dengan tujuan
perolehan dan penggunaan kekuasaan negara. Selanjutnya, kontribusi faktor-faktor
lain seperti kelas, kepentingan ekonomi atau budaya dapat dipertimbangkan
(1982:1).
Tokoh modernisme lainnya, Brass (1991), dalam studi nasionalismenya
menekankan pada sifat instrumental dari etnisitas. Bahwa identitas etnik dan
identitas nasional merupakan instrumen bagi kelompok elit yang bersaing untuk
menghasilkan dukungan massa dalam perjuangan universal bagi kekayaan,
kekuasaan dan prestise (Smith, 1986: 6). Bertentangan dengan primordialis yang
memperlakukan etnisitas sebagai suatu kondisi manusia yang given, Brass
menyatakan keterlibatan etnis dan nasional secara kontinu meredefinisikan dan
merekonstruksikan untuk menanggapi perubahan kondisi dan manipulasi elit politik.
Kerangka teoritik Brass dibangun di atas beberapa asumsi dasar. Pertama
mengenai variabilitas identitas etnik, yaitu adanya kebangkitan identitas etnik dan
transformasinya menjadi nasionalisme. Kedua, konflik etnik tidak muncul dari
perbedaan kultural, tetapi dari lingkungan politik dan ekonomi yang lebih luas, yang
juga membentuk sifat kompetisi antar kelompok elit. Ketiga, kompetisi ini juga
mempengaruhi definisi kelompok etnik yang relevan dan keberlangsungannya. Hal
ini, karena bentuk-bentuk kultural, nilai, dan praktik kelompok-kelompok etnik
menjadi sumber-sumber politik bagi elit dalam memperjuangkan kekuasaan dan
prestise. Semua asumsi tersebut menunjukkan bahwa proses formasi identitas etnik
dan transformasinya menjadi nasionalisme adalah reversible, tergantung pada
kondisi politik dan ekonomi, elit bisa memilih untuk mengecilkan perbedaan etnik
dan mengupayakan kerjasama dengan kelompok-kelompok lain atau otoritas negara
(Brass, 1991: 13-16).
Argumen-argumen modernis di atas bertentangan dengan penjelasan Smith,
yang melihat bahwa eksistensi negara-bangsa berakar dalam komunitas kekerabatan
alami pra-modern. Bagi Smith (1991), bangsa modern secara langsung berasal dari
komunitas etnis yang memiliki keasliannya sendiri. Pengakuan keturunan yang sama
12
dengan
berbagai
proporsi
dalam
kasus-kasus
tertentu.
Multidimensionalitas yang amat sangat ini telah membuat identitas nasional menjadi
fleksibel dan bertahan menguatkan kehidupan dan politik modern, serta
memungkinkannya bergabung secara efektif dengan ideologi dan gerakan yang kuat
lainnya, tanpa kehilangan karakternya.
Berdasarkan dimensi-dimensi di atas, fungsi identitas nasional dapat
digolongkan ke dalam konsekuensi tujuan eksternal dan internal. Fungsi eksternalnya
adalah teritorial, ekonomi, dan politik. Secara teritorial, bangsa menentukan ruang
sosialnya secara definitif di mana para anggotanya harus tinggal dan bekerja, dan
membatasi sejarah teritori yang menempatkan komunitas dalam waktu dan ruang.
Mereka juga menyediakan individu dengan pusat sakral, obyek ziarah spiritual dan
sejarah, yang mengungkapkan keunikan geografi moral bangsa mereka.
Secara ekonomi, bangsa juga membiayai pencarian untuk mengontrol
sumber daya teritorial, termasuk tenaga kerja. Mereka juga menguraikan pembagian
kerja tunggal dan mendorong mobilitas barang dan tenaga keja, serta
mengalokasikan sumber-sumber di antara para anggotanya di tanah air. Dengan
13
didasarkan
pada
kriteria
kepentingan
nasional,
yang
diduga
mencerminkan kemauan nasional dan identitas nasional dari penduduk yang inklusif.
Fungsi politik dari identitas nasional yang paling menonjol adalah legitimasi hak
hukum dan tugas institusi hukumnya, yang mendefinisikan nilai dan karakter khas
bangsa serta kebiasaan dan adat-isitiadat masyarakat yang sudah lama ada. Daya
tarik identitas nasional telah menjadi legitimasi utama bagi tatanan sosial dan
solidaritas sosial saat ini (Smith, 1991: 14-16).
Dengan demikian, bangsa dibentuk atas dasar inti etnis, meskipun terdapat
tumpang tindih dalam sejarah dan konseptual antara komunitas etnis dan bangsa.
Komunitas etnis tidak mempunyai beberapa atribut bangsa, mereka tidak merupakan
tempat tinggal dalam arti wilayah teritorial. Budaya mereka tidak menjadi budaya
publik atau umum bagi seluruh anggota. Mereka tidak perlu dan sering tidak
menunjukkan suatu pembagian kerja bersama atau kesatuan ekonomi. Atau tidak
perlu memiliki kode hukum yang umum dengan hak-hak umum dan tugas-tugas
untuk semua anggota. Atribut-atribut bangsa tersebut merupakan produk dari sejarah
dan kondisi sosial tertentu yang bekerja pada inti etnik dan minoritas etnik
sebelumnya.
Dari berbagai definisi dan penjelasan teoritis di atas, baik dalam perspektif
modernisme maupun primordialisme, dapat disimpulkan bahwa
bangsa dan
14
yang
memiliki
identitas
politik
tertentu,
yang
memisahkan
dan
15
16
17
18
kehidupan
ekonomi
masyarakat
daerah
perbatasan
mempunyai
ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal ini pun, selain dapat
menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan harkat dan
martabat bangsa.(Bappenas, 2002).
Dalam dimensi etnisitas, komunitas lokal di perbatasan Indonesia-Malaysia
merupakan satu sistem komunitas etnis yang terlepas dari batas politik antarnegara.
Sebagaimana dikemukakan King (1993), penduduk asli di pulau Kalimantan
tersebar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki karakteristik yang unik.
Namun demikian, ada kategori umum bahwa orang Dayak dianggap sebagai the
natives people of Borneo. Mereka teridiri dari kelompok penduduk seperti Iban,
Kayan. Bidayuh. Kendayan, Mayoh atau Kayan, Lun Bawang, dan lain-lain. Di sisi
lain. orang Dayak dikontraskan dengan orang Melayu karena perbedaan agama yang
dianut. Melayu diidentikan dengan Islam, meskipun sesungguhnya orang Melayu dan
orang Dayak juga bisa dibedakan dari bahasa dan adat isitiadat yang mereka
gunakan. Dalam perkembangan lebih lanjut, di daerah pedalaman Kalimantan Barat,
cukup banyak kelompok-kelompok penduduk Dayak, seperti Kendayan, Bidayuh,
dan Maloh yang menjadi muslim, kemudian mereka menamakan diri sebagai Melayu
Kapuas (Dikutif dari Tirtosudarmo, 2002:126).
Kemudian, kehadiran negara di perbatasan yang antara lain diwujudkan
dalam bentuk pembangunan infrastruktur, regulasi, pelayanan publik, dan
pengamanan, merupakan faktor yang diperhitungkan dan dimaknai keberadaannya
oleh komunitas di perbatasan. Oleh karena itu, kuantitas dan kualitas kehadiran
negara tersebut akan menjadi variabel signifikan yang dapat menguatkan identitas
kebangsaan komunitas lokal di perbatasan. Namun sampai saat ini, kehadiran negara
19
Komunitas Perbatasan
Poltical
Interests
Sociocultural
Interests
Economic
Interests
Aktor/Agensi
Negara
Aktor /Agensi
non-Negara
kesehatan,
dan
pelestarian
budaya
lokal
yang
mendukung
20
aspek kepentingan tersebut memiliki makna dan merupakan pull factors (faktor
penarik) yang dapat memberi kontribusi dan merekonstruksi konsepsi kebangsaan
dalam kehidupan komunitas lokal di perbatasan. Kemudian, sejauhmana negara dan
aktor-aktor/agensi yang memiliki kepentingan terhadap daerah perbatasan hadir dan
berinteraksi, memaknai, merespon, dan mengkonstruksikan semua kepentingan di
atas sehingga menjadi push factors (faktor pendorong) bagi terbentuknya konsepsi
dan manifestasi nilai-nilai kebangsaan pada komunitas lokal di perbatasan. Di sisi
lain, adanya kontestasi kepentingan antarnegara Indonesia-Malaysia di perbatasan,
berpeluang mengkonstruksikan makna kebangsaan seiring intensitas kehadiran
kedua negara tersebut di wilayah perbatasan. Pada akhirnya, nilai-nilai kebangsaan
dimaknai dan dikonstruksikan secara terus menerus dalam kehidupan komunitas
lokal, yang merefleksikan kepentingan subyektif dan obyektif, kekuatan pull factors
dan push factors, yang hadir di wilayah perbatasan.
Keseluruhan studi mengenai konstruksi identitas sebagaimana dipaparkan di
atas menunjukkan bahwa etnisitas dan nasionalisme dikonstruksikan dalam konteks,
situasi, sejarah, dan kepentingan yang berbeda-beda. Terutama kepentingan politik,
ekonomi, dan sosial-budaya menjadi pertimbangan yang sangat mendasar, yang
mendorong gerakan etnis dan nasionalis serta para elit untuk memobilisasi dan
mengkonstruksikan identitas etnis dan kebangsaan, dengan cara membangkitkan
memori kolektif, mitos keturunan dan budaya yang sama, sehingga mencapai
kemandirian bangsa atau sebaliknya mengintegrasikan diri dengan bangsa lain yang
lebih besar yang dapat memberikan keuntungan secara politik maupun ekonomi.
Kesimpulan dan Diskusi
Identitas komunitas lokal di perbatasan bersifat cair; dikonstruksikan dan
dikonstruksikan kembali dalam situasi yang dinamis, di tengah-tengah kontestasi
berbagai kepentingan subyektif dan obyektif, antara individu, kelompok, dan negara.
Identitas komunitas lokal di perbatasan dibentuk secara terus-menerus oleh berbagai
kekuatan yang saling berinteraksi dalam kehidupan masyarakat. Pertama, kekuatan
internal yang bersumber dari aspek primordial yang mencerminkan dinamika
etnisitas dan kebangsaan. Kedua, kekuatan eksternal yang merefleksikan adanya
kontestasi kepentingan politik dua negara di perbatasan (indonesia dan Malaysia),
21
Hubungan sosial lintas batas seperti dalam bentuk perdagangan, migrasi, dan
hubungan kekerabatan bukan semata-mata motif ekonomi, tetapi mencerminkan
kohesi sosial dan solidaritas di antara warga komunitas sebagai konsekuensi dari
keterikatan etnisitas dan struktur sosial yang sama.
22
Pada akhirnya, daerah perbatasan harus dipahami secara komprehensif. Di satu sisi
merupakan
politik
atau
kedaulatan
wilayah
negara,
tetapi
juga
harus
23
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict. 2006. Imagined Communities.Third Edition. London, Verso.
Berger, Peter L. Humanisme Sosiologi. Terjemahan Daniel Dakhidae. Jakarta. PT.
Inti Sarana Aksara. 1985.
Berger, Peter L. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta. Terjemahan
Hartono. LP3ES. 1991
Brass, P. 1991. Ethnicity and Nationalism: Theory and Comparison . New Delhi,
Sage.
Breuilly, J. 1982. Nationalism and the State . Manchester, Manchester University
Press.
Brown, D. 2000. Contemporary Nationalism: Civi, Ethnocultural & Multicultural
Politics. New York, Rotledge
Burke, Peter J and Jane E. Stets. 2007. Identity Theory. New York. Oxford
University Press.
Calhoun, Craig. 1997. Nationalism: Concepts in Social Thought. Minneapolis. Open
University Press.
Connor, W. 1994. Ethnonationalism: The Quest for Understanding . Princeton,
Princeton University Press.
Dahbour, O. and Ishay. M.R. (eds) 1995. The Nationalism Reader . New Jersey,
Humanities Press.
Eilenberg, Michael. 2012. At the Edges of the State: Dynamics of State Formation in
the Indonesian Borderlands. Leiden: KITLV Press.
Fina, Ana De, D. Schiffin, Michael Bamberg (eds). 2006. Discourse and Identity.
New York: Cambridge University Press.
Gellner, E. 1983. Nations and Nationalism . Oxford, Blackwell.
Giddens, Anthony.1985. The Nation-State and Violence, Cambridge: Polity Press.
Giddens, Anthony. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Membentuk Kehidupan
Kita. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 2003.
Hauugard, Mark. Nationalism and Modernity in Sinisa Malesevi and Mark
Haugaard (eds). 2002. Making Sense of Collectivity Ethnicity,
Nationalism and Globalisation London, Pluto Press.
Hechter, M. and Levi, M. 1979. The Comparative Analysis of Ethno-Regional
Movements, Ethnic and Racial Studies 2(3):26074.
Hobsbawm, E. 1990. Nations and Nationalism Since 1780 . Cambridge, Cambridge
University Press.
Hutchinson, J. 1994. Modern Nationalism , London, Fontana, Harper Collins.
Ichijo, Atsuko and Gordana Uzelac (eds). 2005. When is the Nation? Towards an
Understanding of Theories of Nationalism. London. Routledge.
Kymlicka, W. 1995a. Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights.
Oxford, Clarendon Press.
McCrone, David.1998. The Sociology Of Nationalism. London. Routledge
Minogue, K.R. 1967. Nationalism . London, Batsford.
Martinnusen. 1997. Society, State, and Market: A Guide a Competing Theories of
Development. Dhaka. University Press Ltd.
Ohmae, K. 1995. The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies .
London, Harper Collins.
24
25