Malaria Berat
Malaria Berat
Malaria Berat
Eva Roswati
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/
RS H. Adam Malik, Medan, Sumatera Utara, Indonesia
ABSTRAK
Malaria adalah penyakit infeksi parasit Plasmodium yang menyerang eritrosit, ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah.
Infeksi malaria dapat berlangsung akut atau kronik, tanpa komplikasi atau mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.
Dilaporkan satu kasus malaria berat berasal dari daerah Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Kepulauan Riau, dengan parasitemia Plasmodium falciparum dan mengalami komplikasi malaria serebral, anemia berat, gangguan ginjal akut, malaria algid (gagal sirkulasi), perdarahan
saluran cerna, ikterik, kelainan hati (malaria biliosa), hemoglobinuria (black water fever), hiperlaktatemia. Terapi berupa oksigenasi, resusitasi
cairan dan transfusi darah, artemeter injeksi 160 mg IM (loading dose), selanjutnya 80 mg IM sampai kesadaran membaik (hari ke-3), primakuin
3 tablet (dosis tunggal), artesunat 8 tablet (4 tablet pagi, 4 tablet malam) selama 3 hari, dan hemodialisis 4 kali. Pasien menunjukkan perbaikan
klinis setelah dirawat selama 15 hari dan minta pulang berobat jalan di daerah asalnya.
Kata kunci: malaria berat, Plasmodium falciparum, artemeter, artesunat
ABSTRACT
Malaria is an infectious disease caused by Plasmodium parasites that attack erythrocytes, characterized by the presence of asexual form in
blood. Malaria infection can occur acutely or chronically, without or with systemic complication known as severe malaria. One case of severe
malaria was reported, which found at Bangkinang area, Kampar District, Province of Kepulauan Riau, with Plasmodium falciparum parasitemia
and complications of cerebral malaria, severe anemia, acute kidney injury, malaria algid (circulation failure), gastrointestinal bleeding, icterus,
liver disorder (malaria biliosa), hemoglobinuria (black water fever), and hyperlactatenia. The treatment consisted of oxygenation, fluid rescucitation and blood tranfusion, injection of artemeter 160 mg IM (loading dose) then 80 mg IM until consciousuess improved (day 3), primaquine
3 tablets (single dose), artesunate tablets (4 tablets morning, 4 tablets evening) for 3 days, and hemodialysis 4 times. Patient showed clinical
improvement after 15 days of treatment and decided to continue the treatment as ambulatory patient in her city.
Kata kunci: severe malaria, Plasmodium falciparum, artemeter, artesunate
PENDAHULUAN
Malaria adalah penyakit infeksi parasit disebabkan Plasmodium yang menyerang eritrosit
dan ditandai dengan ditemukannya bentuk
aseksual dalam darah. Plasmodium yang sering dijumpai ialah Plasmodium vivax (malaria
tertiana, benign malaria) dan Plasmodium falciparum (malaria tropika, malignant malaria),
sementara Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale sangat jarang. Infeksi malaria
memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan splenomegali.
Memasuki milineum ke-3, infeksi malaria
masih merupakan problem klinis bagi negara
tropis/subtropis, berkembang maupun yang
sudah maju; diperkirakan terjadi 200-300 juta
kasus malaria baru dan 1-3 juta penduduk
dunia meninggal per tahunnya. Infeksi malaria dapat berlangsung akut atau kronik, tanpa
komplikasi ataupun mengalami komplikasi
sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.
518
CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 518
7/8/2012 12:17:53 PM
LAPORAN KASUS
darah 110-120/60 mmHg, nadi 80-96 kali/
menit, frekuensi napas 20-24 kali/menit, suhu
36,5-37,0 C, volume urin 700-2.100 mL/hari.
519
7/8/2012 12:17:55 PM
LAPORAN KASUS
Malaria serebral merupakan komplikasi yang
paling berbahaya, mortalitasnya 20-50% dengan pengobatan. Gejalanya ditandai de-ngan
apatis, disorientasi, somnolen, delirium, stupor,
koma dan perubahan tingkah laku yang dapat terjadi perlahan dalam beberapa hari atau
mendadak dalam waktu hanya 1-2 jam, sering
disertai kejang. Pada malaria serebral diduga
terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak
menyebabkan anoksi otak. Sumbatan tersebut terjadi karena eritrosit yang mengandung
parasit sulit melalui pembuluh kapiler karena
proses sitoadherensi dan sekuestrasi parasit.
520
CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 520
Monoterapi golongan artemisinin akan mengakibatkan rekrudensi. Karena itu, WHO memberikan petunjuk penggunaan artemisinin-based
combination therapy (ACT). Kombinasi ini dapat
berupa fixed dose dan non-fixed dose. Contoh
kombinasi dosis tetap (fixed dose): (1) co-artem
(artemeter 20 mg + lumefantrin 120 mg), dosis
4 tablet 2 x sehari selama 3 hari, (2) artekin (dihidroartemisinin 40 mg + piperakuin 320 mg), dosis awal 2 tablet, 8 jam kemudian 2 tablet, 24 jam
dan 32 jam kemudian masing-masing 2 tablet.
Contoh kombinasi dosis tidak tetap (non-fixed
dose): (1) artesunat + meflokuin, (2) artesunat
+ amodiakuin, (3) artesunat + klorokuin, (4)
artesunat + SP (sulfadoksin-pirimetamin), (5)
artesunat + pironaridin, (6) artesunat + klorproguanil-dapson, (7) dihidroartemisinin +
piperakuin + trimetoprim, (8) dihidroartemisinin + piperakuin + trimetoprim + primakuin,
(9) dihidroartemisinin + naptokuin. Dari
kombinasi tersebut, yang tersedia di Indonesia saat ini adalah artesunate + amodiakuin.
Dosis orang dewasa yaitu artesunate 200mg
(4tablet) pada hari I-III, amodiakuin (200mg/
tablet): 3 tablet hari I-II dan 1 tablet hari III.
Dosis amodiakuin adalah 25-30mg/kgBB selama 3 hari.
Walaupun resistensi terhadap obat standar
golongan non ACT telah dilaporkan, di beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap
klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin (kegagalan <25%).
Obat non-ACT adalah:
1. Klorokuin difosfat/sulfat, 250 mg garam
(150 mg basa). Dosis 25 mg basa/kgBB untuk
Sediaan
Oral: 50 mg, 200 mg
Dosis
Hari I: 2 mg/kgBB, 2 x sehari
Hari II-V: dosis tunggal
Artemeter
Artemisinin
Dihidroartemisinin
Arte-eter
Oral: 40 mg, 50 mg
Injeksi 80 mg/amp
Oral: 250 mg
Suposituria: 80 mg
7/8/2012 12:17:56 PM
LAPORAN KASUS
3 hari; hari I-II 10mg/kgBB dan hari III 5 mg/
kgBB. Pada orang dewasa, biasa dipakai dosis
4 tablet hari I-II dan 2 tablet hari III. Dipakai untuk P. falciparum maupun P. vivax.
2. Sulfadoksin-Pirimetamin (SP) (500 mg sulfadoksin + 25 mg pirimetamin). Dosis orang
dewasa 3 tablet (dosis tunggal). Pada anak,
dosis pirimetamin 1,25 mg/kgBB. Hanya dipakai untuk P. falciparum dan tidak efektif
untuk P. vivax. Dapat digunakan jika gagal dengan pengobatan klorokuin.
3. Kina sulfat (1 tablet 220 mg). Dosis yang
dianjurkan 3 x 10 mg/kgBB selama 7 hari. Dapat dipakai untuk P. falciparum maupun P. vivax.
Kina dapat dipakai sebagai obat cadangan untuk mengatasi resistensi terhadap klorokuin
dan SP.
4. Primakuin (1 tablet = 15 mg). Dipakai sebagai obat pelengkap/pengobatan radikal
terhadap P. falciparum maupun P. vivax. Pada
P. falciparum, dosisnya 45 mg (3 tablet) dosis
tunggal untuk membunuh gamet. Untuk P.
vivax, dosisnya 15 mg/hari selama 14 hari untuk
membunuh gamet dan hipnozoit (antirelaps).
Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi multiresistensi, juga belum tersedia obat golongan artemisinin, dapat menggunakan kombinasi obat standar, yaitu (1)
klorokuin + sulfadoksin-pirimetamin (SP), (2)
SP + kina, (3) klorokuin + doksisiklin/tetrasiklin, (4) SP + doksisiklin/tetrasiklin, (5) kina +
doksisiklin/tetrasiklin, (6) kina + klindamisin.
Pemberian obat antimalaria pada malaria berat berbeda dari malaria biasa karena pada
malaria berat, diperlukan daya membunuh
parasit secara cepat dan bertahan cukup lama
dalam darah untuk segera menurunkan derajat parasitemi. Oleh karenanya dipilih cara parenteral (injeksi) yang berefek langsung dalam
peredaran darah dan kurang menyebabkan
resistensi:
I. Derivat artemisinin (Tabel 1)
II. Kina (Kina HCl/Kinin Antipirin)
(a) Loading dose 20 mg/kgBB kina HCl dalam
100-200 mL cairan isotonis selama 4 jam, dilanjutkan dengan dosis 10 mg/kgBB dalam 200
mL selama 4 jam setiap 8 jam. Apabila pasien sudah sadar, diberikan kina peroral dengan dosis 3
x 400-600 mg selama 7 hari, dihitung dari pemberian pa-renteral hari I (10 mg/kgBB/8 jam).
(b) Digunakan dosis tetap 500 mg kina HCl
(BB rata-rata 50 kg), dilarutkan dalam cairan
isotonis selama 6-8 jam berkesinambungan,
tergantung kebutuhan cairan tubuh.
(c) Dapat diberikan secara intramuskular dengan dosis 20 mg/kgBB, terbagi pada 2 tempat suntikan, dilanjutkan dengan dosis 10 mg/
kgBB tiap 8 jam sampai pasien dapat minum
peroral.
III. Kuinidin. Bila kina tidak tersedia, kuinidin
(isomernya) cukup aman dan efektif. Loading
dose 15 mg basa/kgBB, dilarutkan dalam 250
mL cairan isotonik selama 4 jam, dilanjutkan
dengan 7,5 mg basa/kgBB dalam 4 jam, tiap 8
jam, dilanjutkan peroral setelah pasien sadar.
IV. Klorokuin. Loading dose: 10 mg basa/kgBB,
dilarutkan dalam 500 mL cairan isotonis diberikan dalam 8 jam, dilanjutkan dengan dosis 5
mg basa/kgBB per infus selama 8 jam, diulang
3 kali (dosis total 25 mg basa/kgBB selama 32
jam). Bisa juga diberikan secara intramuskuler
atau subkutan dengan dosis 3,5 mg basa/
kgBB tiap 6 jam atau 2,5 mg basa/kgBB tiap 4
jam. Bila penderita sudah dapat minum oral,
pengobatan parenteral segera dihentikan.
Exchange transfusion (transfusi tukar) dapat
dipertimbangkan pada malaria berat walaupun indikasi pemberiannya belum disepakati.4 Transfusi tukar dapat menurunkan keadaan
parasitemia secara cepat. Pada malaria berat,
transfusi tukar berguna untuk mengeluarkan
eritrosit yang berparasit, mengurangi toksin
hasil parasit dan metabolismenya (sitokin dan
radikal bebas), serta memperbaiki anemia.
Indikasi transfusi tukar (exchange blood transfusion):
Parasitemia >30% tanpa komplikasi berat
Parasitemia >10% disertai komplikasi berat lainnya, seperti malaria serebral, gangguan
ginjal akut, ikterus (bilirubin total >25 mg%),
dan anemia berat
Parasitemia >10% disertai gagal pengobatan setelah 12-24 jam pemberian antima-
DAFTAR PUSTAKA
1.
Paul NH. Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: FKUI, 2007; 1732-44.
2.
Iskandar Z, Budi S. Malaria berat. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: FKUI, 2007; 1745-48.
3.
4.
White NJ, Breman JG, et al. Malaria. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et al, editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. pp. 128093.
5.
Bradley W. Malaria. Oxford Textbook of Medicine. 4th ed. vol. 1, 2003; pp. 1721-48.
6.
Elias P, Kartika W. Anemia hemolitik autoimun. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI, 2007; p. 660.
521
7/8/2012 12:18:17 PM