Anda di halaman 1dari 32

Tanaman Lada

Disusun Oleh :
Kelompok 1
ANDRE BAYU PRAKASA
125040100111068
ARI NIRWANA
125040107111005
WAHYU ARDY PRAMONO
135040100111008
RIZKI AYU AMILA
135040100111014
MUHAMMAD FEBRIAN
135040100111026
MASNUR NISRINA
135040100111030
NOVITA S SIMANULLANG
135040100111066

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
I.

Luas Lahan Lada di Indonesia

No

1
2

Tahun

Luas Areal (Ha)

Produksi

Produksi

Produktivit

(Ton)

(Kg/Ha)

as

2011
177.490
87.089
490
2012
178.622
88.160
494
Sumber: Dinas Perkebunan Propinsi Lampung Tahun 2012

(Kg/Ha)
784
785

Berdasarkan data diatas dapat dikatakan bahwa luas lahan areal lada dari tahun 2011 ke
2012 semakin menurun.Pada tahun 2011 luas lahan lada di Indonesia sebesar 177.490 ha.
Sedangkan pada tahun 2012 luas lahan lada sebesar 178.622 ha. Selain luas lahan yang
turun produksi dan produktivitas lada juga ikut menurun. Luas lahan pada tahun 2014 dan
tahun 2015 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel Luas lahan Lada di Indonesia tahun 2014 dan 2015

Sumber : DirektoratJenderal Perkebunan

Keterangan: *) angkas ementara kecuali karet, kelapa sawit dan kakao masi ATP
2014
Dari tabel diatas dapat diambil kesimpulan bahwa luas lahan lada pada tahun 2014
sebesar 171.20 ha. Sedangkan luas lahan lada sementara pada tahun 2015 diperkirakan
sebesar 165.751 ha. Luas lahan ladad ari tahun ketahun semakin menurun. Menurunnya
luas lahan lada di Indonesia dikarenakan pengalihfungsi lahan. Lahan yang digunakan
sebagai pemukiman dan di gunakan untuuk menanam tanaman lain selain lada. Sedangkan
produktivitas lada pada tahun 2014 lebih kecil dibandingkan perkiraan tahun 2015 yaitu
sekitar 818 kg/ha.
II.

Daerah Penghasil Lada di Indonesia

Luas areal tanaman lada di Indonesia hampir 90% dimiliki oleh perkebunan rakyat
estimasi tahun 2000 seluas 130.178 ha dari total areal 130.557 ha, dengan total potensi
produksi lada Indonesia sekitar 65.227 ton. Daerah penghasil lada terbesar di Propinsi
Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Hasil
pengolahan lada ada 3 jenis yaitu lada hitam, putih dan hijau, dari 3 jenis olahan yang
dikenal hanya lada hitam dan putih. Untuk hasil olahan lada dari Propinsi Lampung dikenal
dengan sebutan Lampung black pepper dan hasil olahan lada dari Provinsi Kepulauan
Bangka-Belitung dikenal dengan sebutan Muntok white pepper. Sebutan tersebut dikenal
karena Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar di dunia. Kondisi perkebunan
lada Indonesia saat ini sekitar 11,50% dari seluruh luas komoditi perkebunan dengan
kemampuan modal yang lemah. Dampak dari kondisi tersebut diatas mengakibatkan
perkembangan

teknologi

ditingkat

petani

untuk

perbaikan

mutu,

budidaya/pengembangan tanaman sangat lambat dan tidak mengalami perubahan.


(Anonymous, 2012)
III.

Perdagangan International Lada

Indonesia merupakan produsen dan eksportir utama lada di dunia. Indonesia termasuk
kedalam lima besar utama negara produsen lada di dunia khususnya lada hitam dan lada

putih. Kedudukan lada sebagai komoditi ekspor hasil perkebunan cukup penting yaitu
nomor enamsetelah karet, kelapasawit, kakao, kopi dan kelapa serta lada juga dikenal
dengan King of Spices(Raja Rempah) untuk golongan komoditi rempah-rempah. Indonesia
juga memiliki peluang yang cukup besar untuk mendominasi perdagangan di dunia.
Potensi dan peluang yang dimiliki Indonesia dalam perdagangan lada di pasar
internasional cukup besar, diantaranya Indonesia sudah lama dikenal sebagai produsen
utama lada dunia terutama lada hitam (Lampung Black Pepper) yang dihasilkan di Propinsi
Lampung dan lada putih (Muntok White Pepper) yang berasal dari Propinsi Bangka
Belitung. Produksi lada putih Indonesia mencapa isekitar 80 persen pasokan dunia
sedangkan untuk lada hitam produksi Indonesia mencapai 15 persen produksi dunia
(Anonymous , 2007).
Permintaan lada oleh negara konsumen dapat dilihat dari impor lada yang dilakukan
oleh negara konsumen. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, yaitu antara tahun 1997
sampai dengan 2006, total impor lada dunia mengalami kenaikan yang cukup besar dengan
pertumbuhan rata-rata kenaikan sekitar 3,4 persen per tahun (Anonymous, 2007).
Amerika Serikat merupakan negara konsumen terbesarl ada di dunia, dengan total
impor mencapai 22 hingga 24 persen dari total impor lada dunia. Selain itu, negara
pengimpor lada utama lainnya adalah beberapa negara di kawasan Uni Eropa, Jepang,
Rusia, Korea, dan Pakistan. Sementara itu, negara pengekspor utama lada selain Indonesia
antara lain Brazil, India, Malaysia, Vietnam, Sri Lanka, Thailand, China, danMeksiko.
Vietnam merupakan pendatang baru dalam perdagangan lada dunia tetapi merupakan
pesaing utama Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Vietnam merupakan negara
pengekspor lada nomo rsatu di dunia sejak tahun 2001 hingga 2006, mengungguli
Indonesia di peringkat ketigas etelah Brazil. Berdasarkan potensi dan kemampuan yang
dimiliki, Indonesia harus mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat di pasar
internasional terutama dalam menghadapi liberalisasi perdagangan dimana tidak ada
hambatan dalam perdagangan. Hal ini menuntut adanya mutu dan kualitas yang baik pada
komoditi yang diperdagangkan sehingga dapat berperan penting dalam perdagangan
internasional.

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007


Gambar diatas merupakan kondisi ekspor-impor lada di mata dunia dikutip
dari Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2007.

IV.
Pengolahan Lada
A. Panen dan Pegolahan
a. Panen
Pada umur 3 tahun, tanaman sudah dapat dipanen dan pertumbuhannya mencapai
ujung tiang penegak dengan ketinggian 3,5 cm. Selanjutnya hasilnya mulai bertambah
sampai tanaman berumur 8 tahun, kemudian mulai menurun. Kalau tanaman dipelihara
baik, tanaman masih dapat berproduksi sampai 15 tahun atau lebih. Sejak bunga keluar
sampai buah masak, memakan waktu 7-9 bulan. Buah lada yang masih muda berwarna
hijau muda, kemudian berubah menjadi hijau tua dan apabila sudah masak menjadi kuning
kemerah-merahan. (Anonymous, 2007)
Berdasarkan tujuannya, ada dua macam pemanenan buah lada:
1. Pemanenan hasil untuk lada hitam.

1.1. Kriteria petik :


Buah sudah tua, diketahui dengan memecahkan atau memencet/ memijit buah
lada,
bila keluar cairan putih maka buah lada tersebut belum bisa dipetik. Biasanya
dalam satu dompolan, terdiri atas buah lada merah (2%), kuning (23%)
dan hijau (75%)
1.2 Waktu Petik:
Sesuai dengan musim panen daerah masing-masing. Biasanya berkisar Mei s/d
September.
1.3. Cara petik.
Alat yang digunakan untuk panen atau pemetikan pohon lada tinggi umumnya
menggunakan tangga. Lada dipetik dengan tangan dan hasilnya ditampung
dalam suatu wadah atau karung goni. Panen atau pemetikan dilakukan 5 - 10
kali petik
2. Pemanenan hasil untuk lada putih
2.1 Kriteria petik
Buah sudah masak dan biasanya dalam satu dompolan terdiri atas buah lada merah
(18%), kuning (22%) dan hijau (60%)
2.2. Waktu dan cara pemetikan sama seperti lada hitam
b. Pengolahan
1. Lada Hitam
Tahap-tahap pengolahan lada hitam adalah sebagai berikut :\
1.1 Perontokan

Untuk mempercepat perontokan atau pelepasan gagang buah lada atau


dompolan, maka buah lada yang baru dipetik ditumpuk pada lantai beralas tikar
dengan ketebalan tumpukan antara 30 cm sampai + 1 meter selama 2 - 3 hari.
Tumpukan tersebut biasanya ditutup dengan karung.

Setelah itu lada dipisahkan dari dompolan atau gagang dengan menggunakan
saringan yang terbuat dari anyaman bambu dan ditempatkan agak tinggi serta

dibawahnya ditaruh suatu wadah atau tampah sebagai penampung buah lada.
Tangkai atau gagang dari buah yang tertinggal pada saringan bambu dipisahkan

dan ditampung pada wadah khusus.


1.2. Pengeringan.
Buah lada yang sudah terpisah dari gagangnya, kemudian dijemur dibawah sinar

matahari selama 3 - 7 hari tergantung dari keadaan cuaca.


Pengeringan buah lada dilakukan dengan mempergunakan tikar, tampah atau
plastik. Untuk meningkatkan efisiensi pengeringan dan mencegah pengotoran
lada, pengeringan dapat diperbaiki dengan mempergunakan lantai pengeringan

yang dibuat lebih tinggi dari tanah.


Pada waktu proses pengeringan, tumpukan lada dibolak-balik atau ditipiskan
dengan ketebalan tumpukan 10 cm menggunakan garuk dari kayu agar

pengeringan lebih cepat dan merata.


Penentuan akhir dari pengeringan lada dapat dilakukan secara organoleptik yaitu
dengan diraba atau dipijat dengan jari tangan dimana lada dianggap kering bila
dipijat memberikan suara menggeretak dan pecah. Di samping itu dapat juga
dilakukan dengan alat pengukur kadar air, sesuai dengan kadar air yang

diinginkan.
1.3. Pembersihan dan Sortasi
Lada kering kemudian ditampi dengan tampah, yaitu untuk membuang bahanbahan
yang ringan serta benda asing lainnya seperti tanah, pasir, daun kering, gagang,
serat-serat dan juga sebagian lada enteng.
1.4 Pengemasan dan Penyimpanan
Lada kering yang telah bersih kemudian dimasukkan dalam karung atau wadah

penyimpanan lain yang kuat dan bersih.


Karung atau wadah tersebut kemudian disimpan diruangan penyimpanan yang
kering dan tidak lembab ( 70 %), dengan diberi alas dari bambu atau kayu

setinggi 15 cm dari permukaan lantai sehingga bagian bawah karung tidak

berhubungan langsung dengan lantai.


Untuk pengolahan hasil lada hitam, dari 100 kg lada basah yang masih
bergagang
diperoleh lada basah tanpa gagang antara 70 - 80 kg atau rata-rata 80 kg serta
selanjutnya akan diperoleh lada hitam kering sebanyak antara 25 - 33 kg atau
ratarata 31 kg. (Anonymous, 2007)

Sumber : Kadin Indonesia,2007


2. Lada Putih.
Tahap-tahap pengolahan hasil lada putih adalah sebagai berikut:

2.1 Perendaman.

Buah lada masak yang baru dipetik dimasukkan dalam karung goni
direndam dalam bak yang airnya mengalir selama 7 - 10 hari atau rata-rata 8 hari
untuk melunakkan kulit buah supaya mudah terlepas dari biji.
Pada tahap ini perlu diperhatikan, bahwasannya air rendaman harus bersih dan

mengalir, agar dihasilkan lada yang baik (putih bersih). Penggunaan air rendaman
yang kotor dan tidak mengalir akan menghasilkan lada putih yang kurang baik
(kotor, warna abu-abu atau kecoklatan).
2.2. Pembersihan atau Pencucian
Lada hasil rendaman, dikeluarkan dari karung dan dimasukkan dalam tampah

atau ember, lalu kulitnya dipisahkan dari biji dengan menggunakan tangan.
Kemudian lada tersebut dimasukkan dalam karung atau bakul pada air mengalir

sambil digoyang-goyang supaya kulit hanyut atau terbuang ke luar.


Setelah biji bersih dari kulit dan tangkai buah, kemudian lada ditiriskan sampai

airnya tidak menetes lagi.


2.3. Pengeringan.
Buah lada bersih kemudian dijemur dibawah sinar matahari selama 3 - 7 hari,

sampai cukup kering.


Pengeringan buah lada

dilakukan

dengan

mempergunakan

tikar

atau

tampah/plastik atau mempergunakan lantai penjemuran yang dibuat lebih tinggi

agar lebih efektif.


Pada waktu proses pengeringan, tumpukan lada dibolak-balik atau ditipiskan
dengan mempergunakan garuk dari kayu agar pengeringan lebih cepat dan

merata.
Lada dianggap kering, bila dipijit memberikan suara menggeretak dan pecah.
2.4. Pembersihan dan sortasi.
Setelah lada cukup kering, kemudian lada ditampi dengan tampah,
yaitu untuk membuang bahan-bahan yang ringan serta benda asing lainnya
seperti tanah, pasir, daun kering, gagang, serat-serat dan juga sebagian lada
enteng.
2.5. Pengemasan dan Penyimpanan.

Selanjutnya lada yang telah kering dan bersih ini dimasukkan dalam karung atau
wadah penyimpanan lain yang kuat dan bersih. Hasil kemasan kemudian
disimpan diruangan simpan yang kering dan tidak lembab (Rh 70%), dengan
diberi alas dari bambu atau kayu setinggi 15 cm dari permukaan lantai
sehingga bagian bawah karung tidak berhubungan langsung dengan lantai.
(Anonymous, 2007)

Sumber : Kadin, 2007


Pada pengolahan hasil lada putih, dari 100 kg lada basah yang masih bergagang
diperoleh antara 25 - 40 kg lada putih

Rendemen pengolahan hasil dari buah lada basah menjadi lada hitam
dan lada putih tergantung pada jenis tanaman dan tua mudanya buah disamping
cara pengolahan hasil itu sendiri.

B. Standar Mutu Lada


Penetapan standarisasi mutu hasil telah disesuaikan dengan standar mutu nasional
(SNI). Dengan semakin meningkat dan berkembangnya peranan jaminan mutu atau
standarisasi mutu hasil dalam pemasaran produksi perkebunan di masyarakat internasional,
maka penerapan standarisasi mutu hasil terutama perkebunan rakyat semakin dituntut untuk
melaksanakan standar mutu ISO 9000, ISO 14000, HACCP dan SPS, sehingga mampu
bersaing di pasar negara maju. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka diupayakan
penekanan pencapaian standarisasi mutu hasil lada sejak penyediaan bahan baku/ bahan
olah sampai pada pengepakan dan pemasaran hasil, termasuk pengoptimalan kadar air,
kebersihan, keutuhan dan kemurnian. Sehingga standarisasi mutu yang ditetapkan eksportir
dapat dipenuhi produsen (petani/ pengolah) dan dapat dipasarkan baik perorangan maupun
kelompok/ kemitraan.
Untuk mencapai tingkat standarisasi mutu hasil yang baik harus didukung dengan
pembinaan sumberdaya yang diarahkan kepada pembinaan petani dan kelompok tani yang
penekanannya mulai penanganan pasca panen, pengolahan, sortasi/ grading, pengepakan
sampai pemasaran hasil yang diarahkan kepada pola kemitraan dengan perusahaan mitra
atau pihak lainnya. Berdasarkan mutu standard lada yang dikeluarkan BSN terdapat 2 (dua)
standard mutu, yaitu:

a. Standar Mutu Lada Putih (SNI 01-0004-1995).


Syarat Umum :
Dari segi kebersihan dan secara visual, biji lada bebas dari serangga hidup

maupun mati serta bebas dari bagian-bagian yang berasal dari binatang
Warna putih kekuning-kuningan sampai putih keabu-abuan/
kecoklatcoklatan

putih

Sumber : kadin, 2007


b. Standar Mutu Lada Hitam (SNI 01-0005-1995)
Syarat Umum: Dari segi kebersihan dan secara visual, biji lada bebas dari
serangga hidup maupun mati serta bebas dari bagian-bagian yang berasal
dari binatang

Sumber : Kadin, 2007


C. Diversifikasi Lada
Diversifikasi produk lada dapat dilakukan secara vertikal maupun horisontal.
Diversifikasi vertical dilakukan melalui pengembangan produk lada hitam dan lada putih
dari bentuk curah menjadi bentuk produk yang siap digunakan oleh konsumen akhir (end
product) seperti industri makanan, rumah tangga, dan restoran. Diversifikasi horizontal
dilakukan melalui penganekaragaman produk lada, di antaranya: lada hijau, minyak lada,
dan oleoresin. Persyaratan umur panen buah lada berbeda, untuk setiap jenis produk karena
setiap tingkat kematangan buah lada memiliki komposisi yang berbeda. Kadar minyak atsiri
dan piperin menunjukkan peningkatan sampai menjelang matang penuh dan setelah itu
menurun selama periode pemasakan buah. Kadar pati menunjukkan kecenderungan
meningkat selama periode pematangan buah. (Rishaferi, 2012)

A.

Diversifikasi Vertikal
Selama ini lada hanya diolah menjadi lada hitam dan lada putih yang diekspor
dalam bentuk curah. Di negara pengimpor, lada tersebut diproses lebih lanjut melalui
proses sterilisasi, grading, milling dan packaging, menjadi produk yang siap digunakan
oleh industri makanan, rumah tangga, dan restoran. Produk lada hitam umumnya dikemas
dalam bentuk butiran utuh, butiran pecah (10- 30 mesh) dan bubuk (60 mesh), sedangkan
lada putih umumnya dikemas dalam bentuk butiran utuh dan bubuk (60 mesh). Produk lada
tersebut telah melewati tahap sterilisasi sehingga bebas dari kontaminasi mikroba.
Sterilisasi lada dapat dilakukan dengan pencucian dengan air panas/uap, irradiasi dan
microwave
Sterilisasi dengan air panas/uap, dilakukan melalui pencucian buah lada dengan air
panas atau uap, kemudian dikeringkan dan diproses lebih lanjut sesuai bentuk produk yang
akan dihasilkan. Sterilisasi dengan uap dapat dimodifikasi dengan sterilisasi uap
bertekanan. Semua tahapan proses setelah sterilisasi harus terjamin higienitasnya,

sehingga produk lada yang telah mengalami sterilisasi tersebut tetap terjaga mutunya.
(Rishaferi, 2012)
B. Diversifikasi Horizontal
a. Lada Hijau
Produk lada hijau diolah dari buah yang belum terlalu tua sehingga memiliki flavor
dan kepedasan yang lebih ringan dibandingkan lada hitam dan lada putih. Berdasarkan cara
pengolahannya dikenal beberapa bentuk produk lada hijau, yaitu lada hijau kering beku
(freeze-dried green pepper) dan lada hijau kering (dehydrated green pepper). Produk lada
hijau banyak digunakan oleh industri saus dan pengolahan daging serta aneka masakan
berbahan daging. Dalam pengolahan lada hijau, warna hijau alami dari buah tersebut
dipertahankan dengan menghambat aktivitas enzim polyphenol oxidase yang berperan
dalam pembentukan warna hitam. Aktivitas enzim tersebut dapat dihambat dengan
pemanasan beberapa menit dalam air mendidih, penurunan pH dengan perendaman dalam
larutan asam, dan pembekuan12. Teknologi pengolahan lada hijau kering relatif sederhana
dan biaya investasinya rendah sehingga memungkinkan dikembangkan pada agroindustri
perdesaan dan industri kecil. Teknologi pengolahan lada hijau dalam larutan garam dapat
dikembangkan pada industri kecil dan menegah, sedangkan teknologi pengolahan lada
hijau kering beku dapat dikembangkan pada industri menengah dan besar karena
membutuhkan penguasaan teknologi dan biaya investasi yang lebih tinggi. (Rishaferi,
2012)
b. Lada hijau kering
Lada hijau kering (dehydrated green pepper) diperoleh melalui pengeringan
terkontrol dan warna hijaunya dipertahankan dengan menginaktifkan enzim polifenol
oksidase. Buah lada yang digunakan untuk pembuatan lada hijau kering, dipersayaratkan
yang masih dalam kondisi segar, warna hijau gelap, biji sudah keras tetapi buah belum
matang. Setelah buah lada tersebut dipanen, harus segera diproses untuk menghindari
buah lada menjadi hitam akibat aktivitas enzim polifenol oksidase. Dianjurkan 3-4 jam
setelah dipanen buah harus segera diolah, bila tidak langsung diolah, buah lada dapat
direndam dalam larutan garam dapur 2% selama kurang lebih 12 jam. Selain dapat

mempertahankan mutu buah lada, perendaman juga berfungsi menarik kotoran


yang ikut terbawa saat pemanenan.
Proses pembuatan lada hijau kering diawali dengan pemisahan buah lada dari
tangkainya dengan cara dipipil dengan tangan atau dengan mesin perontok. Buah lada
dicuci sampai bersih. Buah yang rusak dan mengapung di permukaan air dipisahkan. Buah
lada yang sudah bersih diblansir dengan cara direndam dalam air panas (suhu 90-100oC)
selama 15 menit. Setelah proses pemblansiran, buah lada direndam dalam larutan asam
organik 2% (asam sitrat, asam tatrat atau asam malat) selama 30 menit. Kedua perlakuan
tersebut bertujuan untuk menginaktifkan enzim polifenol oksidase sehingga warna hijau
buah lada dapat dipertahankan, dan tidak berubah menjadi kehitaman (reaksi browning).
Reaksi browning tersebut terjadi karena aktivitas enzimatis terhadap substrat polyphenolic
yang terdapat pada kulit buah lada.
Buah lada yang telah mengalami perlakuan inaktivasi enzim polifenol oksidase
tersebut, dikeringkan dengan sinar matahari atau menggunakan alat pengering sampai kadar
air mencapai 8-10%. Pengeringan dengan menggunakan alat pengering lebih dianjurkan,
karena pengeringan dengan sinar matahari dapat merusak klorofil yang mengakibatkan
intensitas warna hijau pada buah lada berkurang. Suhu pengeringan dengan menggunakan
alat pengering tipe rak yaitu 50-60oC. Rendemen lada hijau kering yang dihasilkan berkisar
antara 18,5-19,5%. Produk dikemas dengan plastik kerapatan rendah (plastik polietilen atau
polipropilen) pada bagian dalam, dan bagian luarnya dengan karton. Setiap kemasan
memiliki berat 10-15 kg. Produk harus disimpan di tempat yang sejuk (antara 15- 25oC)
dan kering (RH 50%), serta terhindar dari cahaya.
Lada hijau kering memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki lada putih
dan lada hitam, yaitu warnanya hijau alami menyerupai buah lada segar. Lada hijau kering
setelah dilarutkan dalam air akan menyerupai lada hijau yang baru dipanen. Mutu lada hijau
kering yang baik ditandai oleh warnanya yang hijau alami, bentuk relatif utuh, aroma dan
rasa mendekati aslinya, bebas dari kontaminasi kotoran dan mikroorganisme. Lada
hijau kering digunakan dalam bentuk bubuk atau hancuran, umumnya dipakai sebagai
flavor dalam sup, daging dan sosis. (Rishaferi, 2012)

c. Lada hijau kering beku


Lada hijau kering beku (freeze-dried green pepper) diolah dari buah lada yang
masih hijau dengan kadar air sekitar 66%, melalui proses pembekuan pada suhu rendah (30 C) - (-40C) dan tekanan vakum tinggi. Lada hijau kering beku memiliki kadar air 2 - 4
persen

dan

bobot

yang

sangat

ringan.

Produk

tersebut

memiliki

warna

yang alami (hijau terang sampai kehijauan), aroma dan teksturnya lebih unggul
dibandingkan

lada

hijau

kering

baik

yang

dikeringkan

dengan

penjemuran,

solar dryer atau oven24. Prinsip dasar dalam pengering beku sublimasi, dimana air dalam
bentuk padat (beku) langsung dirubah menjadi uap untuk mengeluarkannya dari bahan
yang akan dikeringkan. Kelebihannya warna, flavor dan nutrisi produk lebih unggul
dibandingkan pengeringan lainnya. Metode kerja freeze-drying, materi yang akan dikering
bekukan ditempatkan pada ruang pengering. Dalam kondisi ruang pengering tertutup,
kompresor bekerja untuk menurunkan suhu dalam ruangan. Ketika materi membeku, air
akan terpisah dari segala sesuatu di sekitarnya pada tingkat molekuler. Pompa vakum akan
memaksa udara keluar dari ruangan, dengan menurunkan tekanan dibawah atmosfer. Unit
pemanas kemudian mengalirkan sejumlah kecil panas ke rak, menyebabkan es berubah
fase. Karena tekanan sangat rendah, es berubah langsung menjadi uap air. Uap air mengalir
keluar dari ruang beku-kering, melewati kumparan beku. Uap air mengembun ke kumparan
membeku dalam bentuk es padat, dalam cara yang sama air mengembun. Proses ini
berlangsung kontinyu dan membutuhkan waktu cukup lama (berjam-jam), sementara materi
secara bertahap akan mongering. (Rishaferi, 2012)
d. Lada hijau beku
Produk lada hijau beku berbeda dengan lada hijau kering. Lada hijau beku
penampilannya lebih alami karena kadungan air (kesegaran) dalam buah lada tetap
dipertahankan, sedangkan pada lada hijau kering beku kandungan air dihilangkan.
Pembekuan adalah proses mengawetkan dengan cara hampir seluruh kandungan air dalam
produk menjadi es. Keadaan beku menyebabkan aktivitas mikrobiologi dan enzim

terhambat sehingga daya simpan produk menjadi panjang. Proses pembekuan berlangsung
pada suhu -18C atau lebih rendah. Jenis

pembekuan terbagi menjadi dua

golongan yaitu pembekuan cepat (quick freezing) dan pembekuan lambat (slow freezing).
Pada pembekuan cepat, produk yang dibekukan mempunyai kristal es yang halus. Saat
dicairkan, air yang terbentuk akan diserap kembali oleh jaringan makanan dan hanya
sedikit yang lolos menjadi tetesan air. Pada proses pembekuan lambat akan menghasilkan
kristal es yang besar dan tajam yang akan lolos sebagai tetesan air pada waktu
pencairan.
Lada hijau beku digunakan dalam salad segar dan makanan beku. Pasar produk ini
terutama diarahkan ke Eropa Barat, meskipun produk tersebut mulai diterima di Amerika
Serikat dan Kanada. Lada hijau beku ini telah diproduksi di India dan hanya ditujukan
untuk ekspor. (Rishaferi, 2012)
e. Minyak Lada
Aroma lada ditentukan oleh kandungan minyak atsiri. Komposisi utama minyak
lada sebagian besar merupakan campuran kompleks dari senyawa terpen hidrokarbon dan
senyawa oksigen yang memiliki titik didih 80 200oC. Variasi komposisi senyawa tersebut
di dalam minyak lada tergantung pada varietas, lahan tempat tumbuh dan kondisi
agroklimat serta mutu bahan baku. Kegunaan minyak lada terutama sebagai flavor
pada berbagai produk makanan, bahan obat, aromaterapi, dan juga digunakan pada
beberapa jenis parfum.
Minyak lada diperoleh dengan cara penyulingan uap langsung (steam) atau
penyulingan uap-air (dikukus). Penyulingan dengan uap langsung memungkinkan
penyulingan

dilakukan

dalam

kapasitas

besar

(volume

ketel

2.500 l), tetapi membutuhkan dua unit peralatan yaitu ketel penyuling dan mesin
pembangkit uap, sehingga biaya investasinya cukup tinggi. Penyulingan dengan cara
dikukus dapat dikerjakan pada kapasitas volume ketel 1000 liter, dan tidak
memerlukan mesin pembangkit uap sehingga lebih berpeluang diterapkan di tingkat petani
atau kelompok tani karena investasinya lebih murah. Sebelum disuling buah lada harus
dihancurkan, kemudian segera disuling.

Ekstraksi minyak atsiri menggunakan teknik konvensional memiliki keterbatasan,


seperti daya ekstraksi rendah dan selektivitas rendah, terjadinya degradasi komponen tidak
tahan

panas.

Ekstraksi

minyak

lada

dengan

metode

Supercritical

Fluid Extraxtion (SFE) dengan menggunakan karbon dioksida superkritis sebagai pelarut
dapat mengeliminir kelemahan pada ekstraksi (penyulingan) minyak lada secara
konvensional.
Minyak lada diperoleh melalui penyulingan lada hitam atau dari hasil samping (sisa
sortasi) pengolahan lada hitam dan lada putih, berupa lada enteng dan menir untuk
meningkatkan

nilai

tambahnya.

Pemanfaatan

lada

enteng

untuk

menghasilkan minyak lada lebih menguntungkan karena merupakan pemanfaatan hasil


samping dari pengolahan lada hitam. Selain itu, rendemen minyak dari lada enteng lebih
tinggi (3 3,5%) dibandingkan dari lada hitam (2,5 - 3%). (Rishaferi, 2012)
f. Oleoresin Lada
Oleoresin lada merupakan konsentrat yang diperoleh melalui proses ekstraksi lada
hitam dengan menggunakan pelarut organik seperti aseton, etanol, etilen diklorida, etil
asetat dan pelarut organik lainnya. Oleoresin lada terdiri dari campuran minyak lada, resin
dan senyawa alkaloid yang berperan terhadap tingkat kepedasan oleoeresin. Sebagai
konsentrat lada, satu kilogram oleoresin tersebut dapat menggantikan pemakaian
10

kilogram

lada

sebagai

flavor

dalam

industry

pengolahan

pangan.

Produksi oleoresin dapat dilakukan melalui satu atau beberapa tahap ekstraksi. Lada hitam
yang akan diekstraksi digiling menjadi partikel yang berukuran 30-40 mesh untuk
memudahkan proses ekstraksi karena bertambah luas permukaan bahan yang kontak
dengan pelarut. Hasil ekstraksi dipisahkan dari ampasnya dengan metode penyaringan.
Bahan yang terekstrak dalam pelarut dipisahkan dengan metode evaporasi karena titik didih
pelarut lebih rendah dari komponen yang terlarut. Evaporasi dilakukan pada
suhu tidak lebih dari 80oC. Pelarut yang menguap dilewatkan ke dalam kondesor untuk direcycle, dan pelarut tersebut dapat digunakan kembali. Pelarut yang masih tersisa pada
oleoresin, dipisahkan dengan evaporasi vakum pada kondisi vakum kurang dari 20 mmHg.
Pada prinsipnya suhu dan kondisi vakum yang digunakan pada evaporasi pelarut tidak

menyebabkan terikutnya komponen oleoresin. Rendemen dan mutu oleoresin yang


dihasilkan dipengaruhi oleh kelarutan bahan dari pelarut yang digunakan (jenis pelarut),
metode ekstraksi, suhu, lama ekstraksi dan kehalusan partikel yang diekstrak. Piperin
memiliki kelarutan yang rendah dalam heksan, sehingga pemakaian heksan dalam
pembuatan

oleoresin

lada

tidak

direkomendasikan.

Pemakaian

pelarut

etanol

memberikan hasil rendemen oleoresin dan kandungan minyak yang lebih tinggi
dibandingkan pelarut yang lain, risiko toksik dan harga pelarutnya lebih rendah, serta
mudah diperoleh. Rendemen oleoresin berkisar 10-13%, berbentuk pasta berwarna gelap,
memiliki aroma dan rasa yang lebih tajam karena mengandung 15-20% minyak atsiri dan
35-55% komponen rasa pedas (piperin). Kualitas oleoresin ditentukan oleh kandungan
minyak dan piperin di dalamnya. Bila dibandingkan dengan lada hitam, hanya
mengandung minyak 2,5-3,5 % dan piperin 4-6 %.
Oleoresin digunakan sebagai flavor pada industri pengolahan makanan seperti
pengalengan daging, saos, pembuatan minuman ringan, bahan baku obat farmasi, industri
kosmetik

dan

parfum,

industri

kembang

gula

dan

roti.

Penggunaan

oleoresin lebih disukai bagi industri makanan karena memiliki rasa dan aroma seperti
aslinya. Keuntungannya, oleoresin lebih efisien dalam transportasi dan penyimpanan,
pemakaiannya dapat distandarkan, bebas dari mikroba, daya simpan lama, dan tidak
mempengaruhi

penampakan

dan

volume

produk

karena

pemakaiannya

sangat

sedikit. Kelemahan penggunaan oleoresin tersebut antara lain sangat pekat dan
kadangkadang lengket sehingga sulit ditimbang dengan tepat, sulit terdispersi pada
pencampuran

kering,

stabilitas

flavor

kurang

baik

dalam

penyimpanan

yang lama, dan masih terkandung residu pelarut. Karakter perisa oleoresin dapat berubah
selama penyimpanan atau pengolahan dan menimbulkan off-flavor. Oleh karena itu,
oleoresin memerlukan penanganan khusus selama penyimpanannya agar terhindar dari
pengaruh panas, cahaya, oksigen dan kelembaban. (Rishaferi, 2012)

V.
Ragam Budidaya Lada
A. SYARAT TUMBUH
Tanaman lada tumbuh dengan baik pada daerah:
a. Ketinggian mulai 0-700 m di atas permukaan laut (dpl).
b. Penyebaran tanaman lada sangat luas berada di wilayah tropika antara 20 0 LU
dan 200 LS.
c. Curah hujan dari 1.000-3.000 mm per tahun yang merata sepanjang tahun.
d. Mempunyai hari hujan 110-170 hari per tahun, musim kemarau hanya 2-3 bulan
per tahun.
e. Kelembaban udara 63- 98% selama musim hujan, dengan suhu maksimum 35 oC
dan suhu minimum 20oC.
f. Lada dapat tumbuh pada semua jenis tanah, terutama tanah berpasir dan gembur
dengan unsur hara cukup, drainase (air tanah) baik, tingkat kemasaman tanah
(pH) 5,0-6,5.
B. RAGAM BUDIDAYA LADA
1. Budidaya Lada DenganTegakan Hidup
Tegakan hidup pada umumnya digunakan pada budidaya tanaman lada secara
ekstensif dan semi intensif. Penggunaan tegakan hidup pada budidaya lada yang
intensif saat ini belum dilakukan dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Tidak
semua jenis tanaman dapat dipakai sebagai tegakan lada.
Tegakan hidup hendaknya memiliki sifat:
a. Berumur panjang
b. Memungkinkan akar lada melekat dengan baik
c. Efek negatif terhadap tanaman lada tidak begitu besar, seperti adanya kompetisi
akan hara, air dan CO2, efek alelopati
d. Mudah dan cepat tumbuh serta tahan pangkas
e. Murah dan mudah diperoleh

Gambar. 1 Budidaya dengan tegakan hidup


Tegakan hidup memberikan naungan sehingga kondisi iklim mikro dibawahnya ikut
terpengaruh yang berakibat pada seluruh aspek agronomis tanaman dibawahnya. Oleh
karena itu, budidaya lada dengan tegakan hidup sifatnya sangat kompleks dan
memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang cermat. Pengenalan sifat-sifat dan
kebutuhan tanaman lada perlu dikuasai untuk dijadikan sebagai acuan dalam
memanipulasi tegakan hidup.
Tegakan hidup yang populer adalah tanaman glirisidia atau gamal (Gliricidia
maculata) dan dadap cangkring (Erythrina fusca). Kedua jenis tanaman ini termasuk
famili leguminoseae yang toleran terhadap hama dan penyakit yang menyerang
tanaman lada. Karena tanaman ini diperbanyak dengan setek, maka perakarannya
dangkal sehingga menimbulkan kompetisi unsur hara dan air dengan tanaman lada.
Selama ini budidaya tanaman lada dengan tegakan hidup dinilai kurang baik.
Produktivitas tanaman lada relatif rendah akibat kompetisi akan hara, air dan CO2,
serta efek alelopati dan naungan yang berlebih. Berbagai upaya telah dicoba untuk
mengurangi efek negatif dari tegakan hidup melalui manajemen kebun yang baik.
Tanaman lada membutuhkan 50- 70 % intensitas sinar matahari. Pada intensitas sinar
yang rendah laju fotosintesisnya akan rendah dan serapan unsur-unsur hara juga
lambat, yang berakibat poduksi tanaman rendah. Karena itu disarankan agar tanaman
penegak dipangkas 3 kali/tahun selama musim penghujan. Pemangkasan ini diatur agar
sebaran dan ukuran percabangan dapat merata sehingga dapat diperoleh cahaya dengan
intensitas yang cukup untuk fotosintesa. Hasil pemangkasan, berupa biomas, dapat
bermanfaat untuk menambah bahan organik tanah, menghalangi permukaan tanah dari
terpaan air hujan, mengurangi perkembangan dan penyebaran penyakit, mempengaruhi

iklim mikro dalam kebun dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi penggunaan
pupuk anorganik.
2. Budidaya Lada DenganTegakan Mati
Ada kecenderungan bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman lada lebih baik
apabila menggunakan tegakkan mati dari pada tegakan hidup. Pada budidaya lada
dengan tegakan mati tidak ada persaingan akan unsur-unsur hara, air dan CO2, selain
itu tanaman lada mendapat intensitas sinar matahari yang tinggi sehingga laju
fotosintesisnya dipacu.
Beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh tegakan mati adalah :
a. Tahan lama
b. Permukaannya agak kasar
c. Diameter tegakan tidak terlalu besar
d. Relatif tahan terhadap hama dan penyakit
e. Tidak menyerap panas matahari terlalu banyak
f. Relatif murah dan mudah diperoleh

Gambar 2. Budidaya dengan tegakan mati


Masalah pada penggunaan tegakkan mati adalah tingginya harga dan terbatasnya
tegakan mati yang baik seperti kayu besi, mendaru dan melangir yang dapat bertahan
sampai 15 tahun. Tegakan ini diambil dari bagian tengah pokok tanaman yang cukup
tua sehingga kayu yang diperoleh sangat keras dan cukup tahan terhadap serangan
hama, seperti rayap, ngengat, dan sebagainya. Tegakan yang relatif murah, seperti kayu
pelawan, gelam, seru, hanya bertahan 2-4 tahun. Selain itu adanya larangan

penebangan pohon-pohon dihutan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan


hidup makin membatasi ketersediaan kayu untuk tegakan mati.
Upaya untuk menjawab permasalahan tegakan mati telah dimulai di Bangka tahun
1974 dengan cara membandingkan tegakan kayu, beton, tanaman dadap dan kapok
terhadap pertumbuhan dan produksi beberapa varietas lada. Ternyata tegakan lada
mulai yang terbaik adalah tegakan kayu yang tidak berbeda nyata dengan tegakan
pohon dadap, tegakan pohon kapok dan tegakan beton.Pengaruh penggunaan tegakan
hidup pohon dadap sama baiknya seperti kayu mati.
Untuk menghemat penggunaan tegakan kayu dapat dilakukan kombinasi 58%
tegakkan kayu (mendaru) dengan 4 % tegakan hidup (glirisidia). Selain itu,
penggunaan bahan pengawet pada tegakan kayu yang relatif murah dan masih dalam
taraf penelitian awal. Hasil sementara menunjukkan adanya harapan untuk
menggunakan bahan pengawet tertentu asalkan tidak mengandung senyawa-senyawa
yang dapat merugikan pertumbuhan tanaman lada.
3. Budidaya Lada Perdu
Sebagai alternatif dalam budidaya lada, budidaya lada perdu mampu menekan biaya
produksi sehingga meningkatkan efisiensi usaha tani lada. Keunggulan-keunggulan
komparatif budidaya lada perdu terhadap budidaya lada dengan tiang panjat antara
lain :
a. Lebih efisien dalam penggunaan bahan tanaman untuk perbanyakan
b. Tidak memerlukan tiang panjat
c. Populasi tanaman per satuan luas (4.000 4.500 tanaman/ha) lebih banyak,
sehingga penggunaan lahan lebih efisien
d. Pemeliharaan dan panen lebih mudah
e. Dapat berproduksi lebih awal (umur 2 tahun)
f. Dapat ditanam dengan pola tanam campuran atau tumpang sari dengan tanaman
tahunan lainnya

Gambar 3. Budidaya lada perdu


Secara teknis perbedaan antara budidaya lada perdu dengan lada tiang panjat
terletak pada aspek agronomi yang meliputi: penyiapan dan perbanyakan bahan
tanaman, pendederan dan pembibitan, pemeliharaan, dan panen. Sedangkan untuk
aspek pengendalian dan penyakit serta pasca panen lada perdu, pada dasarnya sama
dengan yang diterapkan pada lada tiang panjat.
Lada perdu diperoleh dari perbanyakan secara vegetatif (setek) cabang buah
tanaman lada. Pengambilan setek pada kondisi yang cocok untuk akumulasi
fotosintat akan menghasilkan setek dengan perakaran yang baik. Pengambilansetek
antara pukul 11.00 12.00 merupakan waktu yang paling baik untuk pertumbuhan
akar dan tunas setek lada perdu mengingat pada saat kandungan karbohidrat
tanaman paling tinggi.
Setek bahan tanaman dapat disiapkan dengan dua cara yaitu:
a. Setek cabang bertapak
Setek cabang bertapak bahan tanaman berasal dari cabang primer dengan 34 daun dengan menyertakan satu buku sulur panjat haus dibuang agar tidak
terbentuk kembali sulur panjat.
b. Setek cabang buah
Setek cabang buah berasal dari cabang buah primer, sekunder, dan tersier.
Namun demikian untuk setek cabang buah sebaiknya berasal dari cabang

buah sekunder (2-3 buku) dengan 2 4 tahun karena menghasilkan


persentase tumbuh yang lebih baik.
C. Analisis Biaya Usahatani Studi Kasus Desa Lau Sireme, Kecamatan Tiga
Lingga, Kabupaten Dairi, Kota Medan
Biaya produksi usahatani merupakan keseluruhan biaya yang timbul akibat dari
penggunaan faktor-faktor produksi usahatani lada mulai dari penanaman sampai panen.
Total biaya terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Penerimaan merupakan hasil
perkalian antar jumlah produksi dengan jumlah harga. Pendapatan usahatani adalah total
penerimaan dikurangi dengan total biaya usahatani sedangkan pendapatan keluarga
merupakan total penerimaan dikurangi total biaya produksi dtambah dengan nilai tenaga
kerja dalam keluarga. Adapun biaya produksi, penerimaan, pendapatan usahatani dan
pendapatan keluarga dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Rata-rata biaya produksi, penerimaan, pendapatan usahatani dan pendapatan
keluarga per petani dan per Ha (1-10 Tahun)

VI.

Hama dan Penyakit Pada Tanaman Lada


A. Hama Penting
a) Kepik pengisap buah lada
Dasynus piperis, Famili Miridae, Ordo Hemiptera
PEPPER BERRY BUG
Kepik
menyerang

pengisap

buah

lada

merupakan

hama

penting,

terutama
buah

lada umur antara 4-5 bulan (masak susu). Kepik ini mengisap buah lada
sehingga
menjadi kosong, kering, dan menghitam. Serangan yang berat pada tunas
dapat

menyebabkan buah layu dan tunas mati. Hama ini biasanya dikendalikan
secara
alami oleh banyak musuh alami. Delapan puluh persen diparasitasi oleh
Anastatus
dasyni. Nimfanya dibunuh oleh laba-laba lompat dan predator lain. Kepik
dewasa yang terbang ditangkap oleh lalat buas. Kepik ini juga dikendalikan
oleh musuh alami lain termasuk tiga macam tawon parasitoid yang membunuh
telur kepik. Pengendalian nimfa dan dewasa dengan penyemprotan cendawan
Beauveria sp. dan Spicaria sp. dapat dilakukan. (Anonymous, 2002)

Daur hidup

Daur hidup seluruhnya dari telur sampai dewasa berkisar antara 6-14
minggu.

Telur

diletakkan pada permukaan daun dan tandan lada dalam kelompok terdiri dari
3-11 telur. Ada Anastatus dasyni, Ooencyrtus malayensis dan satu jenis tawon
parasitoid lagi yang dapat membunuh hingga 90% dari semua telur yang
diletakkan oleh Dasynus. Dewasa mampu bertelur maksimum 200 butir. Kepik
lada

biasanya

makan

pada

pagi

sampai sore hari. Pada siang hari mereka menyembunyikan diri di dalam
mahkota pohon lada. (Anonymous, 2002)

b) Penggerek cabang lada


Lophobaris piperis, Famili Curculionidae, Ordo Coleoptera
SMALL PEPPER WEEVIL
Larva kumbang moncong ini membuat lubang bulat dekat pangkal percabangan
muda

dan

kemudian

masuk

dan

menggerek

ke

dalamnya.

Larva

kumbang

moncong makan bagian tengah cabang, sehingga mengakibatkan tidak produktif.


Gejala

awal

Lophobaris

adalah

perubahan

warna.

Cabang

akan

berubah

menjadi kuning, coklat, kemudian hitam. Cabang lada biasanya akan mati. Lubang
gerekan

dapat

juga

ditempati

oleh

serangga-serangga

kecil

lainnya.

Dapat

menjadi tempat masuknya penyakit tanaman. Pengendalian dengan memotong cabang

terserang, dimasukkan dalam karung dan dibawa keluar kebun kemudian dibakar.
(Anonymous, 2002)

Daur hidup

Telur Lophobaris diletakkan satu per satu di lubang kecil pada ruas cabang muda.
Setelah telur menetas, larva Lophobaris membuat sebuah lubang masuk cabang itu,
hingga cabang jadi lemah, pertumbuhan cabang terhenti, layu, kering dan mati.
Larva kemudian menjadi pupa di dalam lubang. Kumbang dewasa keluar dari cabang
untuk kawin dan berkembang biak. Daur hidup dari telur sampai dewasa antara
45-60 hari. Larva Lophobaris dapat diparasitasi oleh tawon kecil, Spathius. Tawon betina
Spathius masuk ke dalam cabang pohon dan meletakkan sebuah telur pada larva
Lophobaris. Larva Spathius tersebut mengisap dan membunuh larva Lophobaris.
(Anonymous, 2002)

B. Penyakit Penting
a) Busuk pangkal batang
Phytophthora capsici, Family Pythiaceae, Ordo Pythiales
STEM AND ROOT ROT
Penyakit ini disebabkan oleh jamur P. capsici yang dapat menyerang dan
mematikan semua bagian tanaman lada. Serangan pada akar atau pangkal batang
menyebabkan kelayuan daun mulai dari pucuk lalu ke bawah hingga tanaman mati.
Akar dan batang tanaman lada yang terserang berwarna hitam. Daun yang
terserang terlihat bercak di bagian tepi daun atau bentuk bulat kehitaman di bagian
tengah daun. Penyebaran penyakit sangat cepat pada lingkungan yang lembab, hingga
tanaman dapat mati dalam waktu dua minggu setelah muncul layunya daun. Spora
disebarkan oleh angin dan air, ternak, peralatan lapangan hingga penyakit ini dapat
menyebar dengan cepat.
Pengendalian penyakit ini dilakukan dengan membuat parit isolasi pada tanaman
terserang ukuran lebar 30 cm dan kedalaman 40 cm. Membuat saluran drainase di dalam
dan di luar kebun. Mengumpulkan dan membakar tanaman dan daun yang terserang.

Membiarkan tanah terbuka kena sinar matahari; disulam setelah 1-2 tahun kemudian.
Untuk pencegahannya sulur tanaman lada dekat permukaan tanah di pangkas sampai
ketinggian + 30 cm diatas permukaan tanah. Melakukan pemangkasan tajar hidup secara
teratur. Menanam tanaman penutup tanah Arachis pintoi disekitar pohon lada.
Melakukan

pemupukan

dengan

pupuk

organik

untuk

meningkatkan

jamur

antagonis seperti Trichoderma sp. (Anonymous, 2002)


b) Penyakit keriting daun (PKD)
LEAF CURL VIRUS
Penyakit ini disebabkan oleh virus yang yang dapat ditularkan oleh serangga
Aphis sp, Planococcus sp, Pseudococcus sp, dan melalui alat gunting pangkas.
Gejala tanaman terserang, daun-daun berwarna hijau kekuningan, belangbelang kemudian
pinggir daun menggulung kedalam atau keriting sehingga bentuk daunnya memanjang dan
mengecil. Daun-daunnya terlihat jarang, tangkai buah pendek, buahnya kecil dan sedikit.
Pada gejala lanjut pertumbuhan tanaman terhambat atau kerdil dan tidak berbuah.
Penyebaran penyakit lebih cepat pada musim kemarau karena serangan serangga yang
membawa PKD ini lebih aktif, sehingga penyebarannya lebih cepat dibandingkan musim
hujan. Penyebaran penyakit ini juga terjadi melalui gunting pangkas yang digunakan pada
tanaman sakit. Apabila di dalam kebun ditemukan hanya satu pohon yang
menunjukkan gejala penyakit ini, harus langsung dicabut dan dikubur dalam
lubang

yang

cukup

dalam.

Jangan

dibiarkan

berserakan

di

dalam

kebun.

Jangan menggunakan tanaman lada di areal terserang sebagai stek untuk bahan
tanaman baru yang akan ditanam. Gunting/alat pangkas harus dipanaskan dengan korek api
sebelum dipakai lagi ke tanaman berikutnya. (Anonymous, 2002)

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2002. Musuh alami, hama dan penyakit tanaman lada. Direktorat
Perlindungan Perkebunan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan
Departemen Pertanian
Anonymous, 2007. Lada. Direktorat Jenderal Perkebunan
Anonymous,2007. UKM teknologi lada. Kamar Dagang dan Industri Indonesia
Anonymous, 2012. Lada. Dinas Perkebunan Provinsi Lampung
Suprapto dan Yani, Alvi. 2008. Teknologi Budidaya Lada. Bogor: Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan.
Syakir, M. 2008. Ragam Budidaya Lada.Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.
(Online).

(http://balittro.litbang.pertanian.go.id/ind/images/file/Perkembangan

%20TRO/20no1/2Syakir.pdf. Diakses pada tanggal 2 Maret 2016)


Rishaferi, 2012. Diversifikasi Produk Lada (PiPeR NigRuM) untuk peningkatan nilai
tambah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung
Sitanggang, Erick. 2008. Analisis Usahatani dan Tataniaga Lada Hitam. Medan:
Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai