Pengantar
Semua manusia mengharapkan kebahagiaan, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan
dalam hidupnya. Namun idealisme semacam ini ternyata bukan sesuatu yang mudah untuk
diejawantahkan. Bukan karena manusia itu sendiri tidak menghendaki, namun karena sering
kali kehendak manusia itu harus berhadapan dan berbenturan dengan fakta lain yang sama
sekali tidak dikehendakinya, yaitu fakta kejahatan.
Kejahatan hadir di tengah hamparan kehidupan manusia sebagai sebuah fakta yang tak
bisa disangkal dan dihindari.1 Dalam konteks pemahaman dan penghayatan iman agama-agama
kejahatan dilihat sebagai problem teologi karena problem ini sering kali menghantar manusia
kepada pertanyaan-pertanyaan mendasar perihal eksistensi Allah. Allah yang diyakini sebagai
Maha Baik, Maha Pemurah, Maha Adil, Maha Cinta, Maha Bijaksana seakan-akan, dengan
adanya kejahatan, tidak bisa ditemukan lagi. Akhirnya pada titik tertentu muncullah pelbagai
pertanyaan fundamental yang bernuansa menyangsikan keberadaan Allah. Jalan pikiran yang
tercetus dalam hal ini biasanya seperti berikut: Akejahatan ada, maka Allah tidak ada@.2
Memang, runyamnya fenomena kejahatan sering kali merupakan pemicu lahirnya
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan eksistensi Allah. Berkembangnya realitas kejahatan
dan penderitaan, sering kali selalu dibarengi dengan pertanyaan-pertanyaan yang merujuk pada
sikap skeptis akan eksistensi Allah. Allah itu ada atau tidak? Kalau Allah itu ada mengapa Ia
membiarkan bentuk-bentuk kejahatan itu berkembang di bumi ini? Di mana letak
kemahakuasaan Allah? Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang intinya berusaha
mempertanyakan peranan Allah dalam aneka situasi kejahatan.
Penyangsian eksistensi Allah kiranya tidak hanya terjadi dalam dunia kaum ateis.
Bahkan harus dikedepankan bahwa dalam dunia kita dewasa ini pun aneka pertanyaan yang
bernada skeptis itu juga mengemuka dalam diri kaum agamis; kaum yang mengklaim dirinya
sebagai insan beriman. Sungguh-sungguh ironis!!!
2Bdk. Prof. Dr. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Kanisius, Yogyakarta dan
BPK Gunung Mulia, 1993, hal. 270
3Bdk. Prof. Dr. Louis Leahy, Manusia Di Hadapan Allah 3: Kosmos, Manusia dan Allah,
1
sangat ringkas dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu kejahatan moral dan kejahatan fisik.
Kejahatan fisik adalah kejahatan yang berhubungan dengan dunia material, yaitu kejahatan
yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar diri manusia atau ulah manusia yang tidak lahir dari
kehendak bebasnya.4 Misalnya kelaparan, banjir, cacat fisik, dan lain sebagainya. Kejahatan
fisik sering juga disebut dengan penderitaan.
Sedangkan kejahatan moral adalah kejahatan yang dilakukan seserong dengan bebas di
mana pelaku itu sendiri dengan sadar dan bebas memilih untuk melakukan suatu tindakan yang
salah. Dengan demikian kejahatan moral selalu berhubungan dengan kebebasan dan kesadaran
manusia sebagai pelaku yang bebas dan sadar.5 Contoh kejahatan ini adalah sikap tidak adil,
tidak jujur, egois, dan lain sebagainya.
4Bdk. ED. L. Miller, Questiones That Matter, Mc Graw-Hill, Inc. New York, 1987, hal. 357
5Bdk. Julius Runtu, Rasa Berontak Terhadap Kejahatan Sebagai Titik Tolak Suatu Jalan
Menuju Pengakuan Eksistensi Allah, STFT Widya Sasana, Malang, 1993, hal. 14-16
6Bdk. Louis Leahy, Manusia Di Hadapan Allah 3: Kosmos, Manusia dan Allah, Op.Cit.,hal
105
2
peristiwa-peristiwa alamiah campur tangan Allah tidak bisa dilihat secara mudah. Seperti halnya
jika ada rem sepeda yang aus sehingga sepeda tersebut bisa saja menimpa semua orang, begitu
juga tak peduli apakah orang itu jahat atau baik, kalau dia bekerja tanpa istirahat pasti akan
jatuh sakit. Dalam persoalan-persoalan penderitaan semacam ini campur tangan Allah harus
dilihat dalam perspektif tanggapan manusia atas peristiwa-peristiwa yang mereka alami.
Penutup
Feuerbach, seorang filsof Jerman, berpendapat bahwa Tuhan itu pada dasarnya adalah
ciptaan manusia. Ketika manusia mengakui bahwa Tuhan itu ada maka Tuhan ada. Dan ketika
manusia mengakui bahwa Tuhan itu tidak ada maka Tuhan juga tidak ada. Dengan beberapa
gagasan di atas, dan itu ditegaskan dengan gagasan yang terakhir ini, BAGAIMANA KITA
HARUS MEMPERTANGGUNG-JAWABKAN IMAN KITA?