Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan
perfusi jaringan dan oksigenasi jarngan,dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis. Gangguan dari
perfusi jaringan yang terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke sel
dengan kebutuhan oksigen dari sel tersebut, sehingga menimbulkan hipoksia jaringan.
Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Celland tentang fisiologi keadaansyok dan homeostasis, syok adalah
keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigenke jaringan.Syok merupakan respon tubuh terhadap gangguan
pada system peredaran darah yang menghambat darah mengalir dalam jumlah yang cukup keseluruh bagian
tubuh, terutama ke alat tubuh yang penting. cedera pada jantung atau pembuluh darah, atau berkurangnya
jumlah darah yang mengalir, bias menyebabkan syok
Klasifikasi syok menurut etiologi :
1. Syok hipovolemik: dehidrasi, kehilangan darah, luka bakar.
2. Syok distributif: kehilangan tonus vascular (anafilaktik, septik, syok toksik).
3. Syok kardiogenik: kegagalan pompa jantung.
4. Syok obstruktif: hambatan terhadap sirkulasi olehobstruksi instrinsik atau ekstrinsik.
Emboli paru,robekan aneurisma dan tamponade perikard.
Syok hemoragik adalah syok hipovolemik yang disebabkan kehilangan darah yang
banyak akibat perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat terbuka atau tersembunyi dalam organ
tubuh. Syok hipovolemik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah syok hipovolemik
hemoragik perioperatif, yaitu syok yang terjadi preoperatig, intraoperatif, ataupun postoperatif.
Pasien yang kehilangan darah akan mengalami masa hipotensi sampai akhirnya
pemberian infus cairan tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien tersebut. Hal ini disebut
sebagai syok ireversibel. Sebagian klinisi percaya bahwa pasien syok dapat diresusitasi dengan
pemberian cairan, koreksi hipotermia dan pemberian obat inotropik. Tapi tetap saja masih
banyak pasien yang meninggal tidak hanya karena efek akut dari syok ireversibel tapi juga dari
efek syok berat yang lama.
Mempertahankan perfusi darah yang memadai pada organ-organ vital merupakan
tindakan yang penting untuk menyelamatkan jiwa penderita. Perfusi organ tergantung tekanan
perfusi yang tepat, kemudian curah jantung dan resistensi vakuler sistemik. Pasien bisa
menderita lebih dari satu jenis syok secara bersamaan.
Syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan
gawat. obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat
mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi
kematian atau cacat organ tubuh menetap.
1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sindrom gangguan pathofisiologi berat yang berhubungan dengan metabolisme


selluler yang abnormal, kegagalan sirkulasi
Syok atau renjatan dapat diartikan sebagai keadaan terdapatya pengurangan yang
sangat besar dan tersebar luas pada kemampuan pengangkutan oksigen serta unsur- unsur gizi
lainnya secara efektif ke berbagai jaringan sehingga timbul cidera seluler yang mula- mula
reversible dan kemudian bila keadaan syok berlangsung lama menjadi irreversible.
(Isselbacher, dkk, 1999, hal 218)
KLASIFIKASI SYOK
Klasifikasi syok yang dibuat berdasarkan penyebabnya menurut Isselbacher, dkk,
(1999, hal 219) :
1. Syok Hipovolemik atau oligemik
Perdarahan dan kehilangan cairan yang banyak akibat sekunder dari muntah, diare,
luka bakar, atau dehidrasi

menyebabkan pengisian ventrikel tidak adekuat, seperti

penurunan preload berat, direfleksikan pada penurunan volume, dan tekanan end diastolic
ventrikel kanan dan kiri. Perubahan ini yang menyebabkan syok dengan menimbulkan isi
sekuncup (stroke volume) dan curah jantung yang tidak adekuat.
2. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik ini akibat depresi berat kerja jantung sistolik. Tekanan arteri sistolik
< 80 mmHg, indeks jantung berkurang di bawah 1,8 L/menit/ m2, dan tekanan
pengisian ventrikel kiri meningkat. Pasien sering tampak tidak berdaya, pengeluaran urin
kurang dari 20 ml/ jam, ekstremitas dingin dan sianotik
Penyebab paling sering adalah 40% lebih karena miokard infark ventrikel kiri,
yang menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri yang berat, dan kegagalan pompa
ventrikel kiri. Penyebab lainnya miokarditis akut dan depresi kontraktilitas miokard setelah
henti jantung dan pembedahan jantung yang lama.
Bentuk lain bisa karena gangguan mekanis ventrikel. Regurgitasi aorta atau mitral
akut, biasanya disebabkan oleh infark miokard akut, dapat menyebabkan penurunan yang
berat pada curah jantung forward (aliran darah keluar melalui katub aorta ke dalam sirkulasi
arteri sistemik) dan karenanya menyebabkan syok kardiogenik.
3. Syok Obstruktif Ekstra Kardiak
Syok ini merupakan ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama diastole,
sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup (Stroke Volume) dan berakhirnya curah
2

jantung. Penyebab lain bisa karena emboli paru masif.


4. Syok Distributif
Bentuk syok septic, syok neurogenik, syok anafilaktik yang menyebabkan
penurunan tajam pada resistensi vaskuler perifer. Patogenesis syok septic merupakan
gangguan kedua system vaskuler perifer dan jantung.
STADIUM SYOK
Stadium-Stadium Syok Syok memiliki beberapa stadium sebelum kondisi menjadi
dekompensasi atauirreversibel sebagaimana dilukiskan dalam gambar berikut:
Stadium 1:
anticipation stage

Stadium 2.
pre-shock slide

Compensated shock
bisa berangkat dengan tekanan darah yang normal rendah,suatu kondisi yang disebut
normotensive, cryptic shock
. Banyak klinisi gagal
mengenali bagian dini dari stadium syok ini.
Compensated shock
memiliki artikhusus pada pasien DBD dan perlu dikenali dari tanda-tanda berikut:
Capillaryrefill time
> 2 detik; penyempitan tekanan nadi, takikardia, takipnea, akraldingin
Stadium 4:
decompensated shock, reversible

Di sini sudah terjadi hipotensi. Normotensi hanya bisa dipulihkan dengan cairanintravena
dan/atau vasopresor.
Stadium 5.
decompensated irreversible shock

DERAJAT SYOK
Berat dan ringannya syok menurut Tambunan Karmel, dkk, (1990).
1. Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan prgan non-vital seperti kulit, lemak, otot rangka,
dan tulang. Jaringan ini relative dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa
adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu,
produksi urin normal atau anya sedikit menurun, asidosis metabolic tidak ada atau
ringan.
2. Syok Sedang
5

Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal, dan lainnya).
Organ- organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti lemak, kulit,
dan otot. Oligouria bisa terjadi dan asidosis metabolic. Akan tetapi kesadaran relative
masih baik.
3. Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi untuk
menyediakan aliran darah ke dua organ vital.
Pada syok lanjut terjadi vasokonstriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oligouria dan
asidosis berat, ganguan kesadaran dan tanda- tanda hipoksia jantung (EKG Abnormal,
curah jantung menurun).
MANIFESTASI KLINIS
1. Syok Hipovolemik
Manifestasi klinik dari syok adalah hipotensi, pucat, berkeringat dingin, sianosis, kencing
berkurang, oligouria, ganggua kesadaran, sesak nafas. (Tambunan Karmel, dkk, 1990,
hal 6).
2. Syok Septik/ Syok Bakteremik
1

Fase Hiperdinamik/ Syok panas (warm shock): Gejala dini:

1) Hiperventilasi
2) Tekanan vena sentral meninggi
3) Indeks jantung naik
4) Alkalosis
5) Oligouria
6) Hipotensi
7) Daerah akral hangat
8) Tekanan perifer rendah
9) Laktikasidosis
2

Fase Hipodinamik:

1) Tekanan vena sentral menurun


2) Hipotensi
3) Curah jantung berkurang
4) Vasokonstriksi perifer
5) Daerah akral dingin
6) Asam laktat meninggi
7) Keluaran urin berkurang
3. Syok Neurogenik
Tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bradikardi, sesudah pasien menjadi tidak
6

sadar, barulah nadi bertambah cepat. Pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler, dan
vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan.
4. Syok Kardiogenik
a. Pasien tidak sadar atau hilangnya kesadaran secara tiba- tiba. b.
Sianosis akibat dari aliran perifer berhenti
c. Dingin

SYOK HIPOVOLEMIK
Perdarahan dan kehilangan cairan yang banyak akibat sekunder dari muntah, diare, luka
bakar, atau dehidrasi menyebabkan pengisian ventrikel tidak adekuat, seperti penurunan
preload berat, direfleksikan pada penurunan volume, dan tekanan end diastolic ventrikel
kanan dan kiri. Perubahan ini yang menyebabkan syok dengan menimbulkan isi sekuncup
(stroke volume) dan curah jantung yang tidak adekuat. Terdapat cairan sedikitnya setengah
dari berat badan pada orang dewasa yang sehat. Volume total cairan (dalam liter) sebanding
dengan 60% berat badan (dalam kilogram) pada pria, dan 50% pada wanita. Jumlah cairan dan
perkiraan volume darah berdasarkan berat badan ditunjukkan pada tabel 1.1
Tabel 1. Cairan Tubuh dan Volume Darah
Cairan
Total cairan tubuh
Whole blood
Plasma
Eritrosit

Pria
600 mL/kg
66 mL/kg
40 mL/kg
26 mL/kg

Wanita
500 mL/kg
60 mL/kg
36 mL/kg
24 mL/kg

Respons Kompensasi
Hilangnya darah memicu respons kompensasi tertentu yang membantu untuk mempertahankan
volume darah dan perfusi jaringan. Respons yang paling awal meliputi perpindahan cairan
interstisial ke dalam kapiler. Pengisian transkapiler ini dapat menggantikan sekitar 15% dari
volume darah, namun hal ini menyebabkan terjadinya kekurangan cairan interstisial.
Kehilangan darah yang akut juga memicu aktivasisistem renin-angiotensin-aldosteron
oleh ginjal, untuk mempertahankan kadar natrium.Natrium yang dipertahankan berdistribusi
dalam cairan ekstraseluler. Karena cairan interstisial menyusun sekitar 2/3 cairan ekstraseluler,
natrium yang dipertahankan akan membantu menggantikan kekurangan cairan interstisial yang
diakibatkan oleh pengisian transkapiler. Kemampuan natrium untuk menggantikan kekurangan
cairan interstisial, bukan volume darah interstisial, merupakan alasan bahwa cairan kristaloid
yang mengandung natrium klorida (cairan salin) lebih disukai sebagai cairan resusitasi untuk
perdarahan akut.
7

Dalam beberapa jam setelah onset perdarahan, sumsum tulang mulai meningkatkan
produksi sel darah merah. Respons ini terbentuk secara perlahan-lahan, dan penggantian
sepenuhnya eritrosit yang hilang dapat dicapai dalam 2 bulan.
Respons kompensasi ini dapat mempertahankan volume darah yang adekuat pada kasus
perdarahan sedang (misalnya kehilangan < 15% volume darah). Saat darah yang hilang
melebihi 15% volume darah, umumnya diperlukan penggantian volume darah.
Perdarahan Progresif
Perdarahan Kelas I (kehilangan 0-15%)
1. Bila tidak ada komplikasi, hanya terlihat takikardiaminimal.
2. Biasanya tidak ada perubahan dalam TD, tekanan nadi,atau frekuensi napas.
3. Keterlambatan pengisian kembali kapiler lebih dari 3detik sebanding dengan
kehilangan volume 10%.
Perdarahan kelas II (kehilangan 15-30%)
1. Gejala klinik mencakup takikardia ( >100 detak permenit), takipnea, penurunan
tekanan nadi, kulit dingin dan lembab, pengisian kapiler terlambat dan sedikit cemas.
2. Penurunan tekanan nadi adalah hasil dari peningkatan kadar katekolamin yang
menyebabkanpeningkatan tahanan pembuluh darah tepi yang disusul
denganpeningkatan TD diastolik.
Perdarahan Kelas III (kehilangan 30-40%)
1. Pada titik ini, biasanya pasien sudah takipnea dantakikardia mencolok, TO sistolik
turun, oliguria, perubahan status mental bermakna, misal bingung atau gaduh gelisah.
2. Pada pasien tanpa cedera lain atau tanpa kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah
terkecil dari kehilangandarah yang selalu menyebabkan penurunan TD sistolik.
3. Sebagian besar dari pasien ini membutuhkan transfusi darah, namun keputusan
memberikan darah harus didasarkan atas respons awal terhadap pemberiancairan.
Perdarahan Kelas IV (kehilangan >40%)
1. Gejala-gejala mencakup: takikardia dan penurunan TDsistolik mencolok, tekanan nadi
mengecil (atau tekanan diastofik tidak terukur), jumlah urin sedikit atau tidak ada,
status mental depresi (atau kehilangankesadaran), kulit dingin dan pucat.
2. Jumlah perdarahan ini mengancam jiwa.
3. Pada pasien trauma, perdarahan biasanya dianggap sebagai penyebab syok. Walaupun
demikian, ini harus dibedakan dari sebab-sebab syok lainnya, antara lain:tamponade
8

jantung ( bunyi jantung halus, vena leher distensi), tension pneumothorax (deviasi
trakea, bunyi napas berkurang pada satu sisi), dan trauma medulla spinalis (kulit
hangat, takikardia tidak sebesaryang diduga, defisit neurologis)

Evaluasi Klinis
Evaluasi klinis pada pasien-pasien yang mengalami perdarahan bertujuan untuk menentukan
seberapa besar kekurangan volume darah dan pengaruhnya terhadap aliran sirkulasi dan fungsi
organ.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis pada pasien dengan syok hemoragik dilakukan untuk mengetahui sebab dan jumlah
darah yang keluar akibat terjadinya perdarahan seperti mekanisme trauma, lama perdarahan,
dan kelainan yang terdapat pada pasien. Selain itu, perlu ditanyakan penanganan pre rumah
sakit terutama pemberian cairan, perubahan tanda vital, dan lama penanganan yang diberikan.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi:
1. Kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan
a. Sumber perdarahan biasanya terlihat
b. Aliran darah kulit kepala banyak dan dapat menghasilkan perdarahan yang signifikan
c. Perdarahan intrakranial terutama pada usia muda
2. Dada
a. Perdarahan rongga toraks dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik
b. Hemotoraks dapat meliputi distres pernapasan, penurunan bunyi napas, dan perkusi
pekak
c. Tension hemothorax
3. Abdomen
a. Perlukaan terhadap hati atau limpa adalah penyebab umum syok perdarahan. Ruptur
spontan

aneurisma

aorta

abdominal

dapat

juga

menyebabkan

perdarahan

intraabdominal berat dan syok


b. Darah dapat mengiritasi rongga peritoneal dan dapat menimbulkan nyeri tekan dan
peritonitis
c. Distensi abdominal progresif pada syok perdarahan menjadi temuan pada perdarahan
intraabdominal
4. Pelvis
a. Fraktur dapat menyebabkan perdarahan masif
b. Ekimosis pada panggul belakang dapat mengindikasikan perdarahan retroperitoneal
5. Ekstremitas
9

a. Perdarahan ekstremitas dapat terlihat atau tersembunyi


b. Fraktur femur dapat menyebabkan kehilangan darah signifikan
6. Sistem Saraf
a. Agitasi dapat dilihat pada tahap awal syok perdarahan
b. Penurunan kesadaran dapat timbul apabila terjadi hipoperfusi serebral
Tanda Vital
Takikardi (denyut nadi > 90 kali per menit) sering diasumsikan sebagai hal yang umum
ditemukan pada pasien hipovolemik, namun pada posisi terlentang tidak dtemukan takikardi
pada mayoritas pasien dengan perdarahan sedang hingga berat. Kenyataannya, dapat lebih
sering ditemukan bradikardi pada perdarahan akut. Hipotensi (tekanan darah sistolik < 90
mmHg) pada posisi terlentang juga merupakan penanda perdarahan akut yang tidak sensitif.
Hipotensi umumnya timbul pada hipovolemia tahap lanjut, saat kehilangan darah melebihi
30% dari volume darah total. Metode yang digunakan untuk mengukur tekanan darah
merupakan pertimbangan yang penting pada pasien yang mengalami perdarahan, karena pada
tahap aliran rendah, pengukuran noninvasif sering memberikan nilai rendah yang palsu. Untuk
mendapatkan hasil yang sebenarnya, direkomendasikan pemeriksaan intraarterial langsung
untuk memonitor tekanan darah pada pasien yang mengalami perdarahan.

Hematokrit
Penggunaan hematokrit (dan konsentrasi hemoglobin dalam darah) untuk menentukan luasnya
perdarahan akut cukup sering dilakukan meskipun tidak pada tempatnya. Perubahan kadar
hematokrit tidak terlalu berkorelasi dengan kurangnya volume darah dan eritrosit pada
perdarahan akut. Perdarahan akut meliputi kehilangan whole blood, dengan penurunan yang
proporsional pada volume plasma dan eritrosit. Akibatnya, hematokrit tidak akan berubah
secara signifikan pada periode awal setelah darah hilang. Bila resusitasi volume tidak
dilakukan, pada akhirnya hematokrit akan menurun karena hipovolemia mengaktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron, sehingga memicu ginjal untuk mempertahankan natrium dan air
dan menambah volume plasma. Proses ini dimulai pada 8 hingga 12 jam setelah perdarahan
akut dan diperlukan beberapa hari untuk benar-benar terbentuk.
Penatalaksanaan Syok Hipovolemik
Penatalaksanaan pasien dengan syok hemoragik adalah resusitasi cairan. Selain itu dicari
sumber perdarahan dan dilakukan usaha menghentikan perdarahan yang terjadi. Seperti halnya
resusitasi kasus lain, jalan napas dan pernapasan (airway dan breathing) tetap diperhatikan.2,5
10

Kombinasi dari syok dan gagal napas mengakibatkan mortalitas yang sangat tinggi. Dengan
demikian setiap pasien syok harus diberikan oksigen tinggi menggunakan masker. Bila
pernapasan tidak adekuat, intubasi secepatnya dilakukan.
Perdarahan luar yang terlihat segera dikontrol dengan penekanan lokal. Bila usaha resusitasi
menunjukkan kemungkinan perdarahan intraabdominal atau perdarahan intratorakal yang
sedang berlangsung. Pemeriksaan yang rumit seminimal mungkin dilakukan dan usaha operasi
definitif secepatnya dilakukan
a.

Mempertahankan Suhu Tubuh

Suhu

tubuh

dipertahankan dengan

memakaikan selimut

pada penderita untuk

mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh
penderita karena akan sangat berbahaya.
b.

Pemberian Cairan

1)

Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual,

muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
2)

Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius dan

yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).


3)

Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada

indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi mual atau
muntah.
4)

Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama

dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume


interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan
tekanan onkotik intravaskuler.
5) Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan
jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan
yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus diganti
dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti dengan
larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid memerlukan
volume 34 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila menggunakan larutan koloid
memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah diketahui
bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama
efektifnya dengan darah lengkap.
6)

Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang

berlebihan.
7)

Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan

yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk
menghilangkan nyeri.
8)

Pemberian

cairan

pada

syok

septik

harus

dalam

pemantauan

ketat,
11

mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ
Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, Swan Ganz
kateter, dan pemeriksaan analisa gas darah.
Keberhasilan dalam penanganan pasien dengan hipovolemi ditentukan oleh penggantian cairan
dengan cepat, di mana angka kematian akibat syok hipovolemik secara langsung berhubungan
dengan derajat dan durasi hipoperfusi organ. Di bawah ini dibahas mengenai resusitasi cairan
dan hal-hal yang berhubungan.4
Kanulasi Vena
Hal yang perlu dipikirkan dalam resusitasi cairan adalah akses pemberian cairan. Pada pasien
dengan trauma multipel berat syok hemoragik, akses vena diperlukan untuk mengembalikan
cairan yang hilang. Faktor yang mempengaruhi akses vena adalah letak anatomis vena,
beratnya cedera pada tubuh serta kemampuan dan pengalaman dokter yang menolong. Akses
vena tidak boleh diberikan pada ekstremitas yang terluka. Jika terdapat cedera pada tubuh
dibawah difragma, akses vena setidaknya pada vena yang berhulu pada vena kave superior.
Pada pasien dengan trauma dada dan abdomen, akses vena diberikan pada satu vena di atas dan
satu vena di bawah diafragma. Kateter yang digunakan sebaiknya yang pendek dengan
diameter yang besar. Terdapat kecenderungan untuk melakukan kanulasi vena sentral untuk
resusitasi karena vena yang lebih besar memungkinkan jumlah cairan masuk lebih banyak.
Walaupun begitu laju volume infus tidak bergantung pada besar vena melainkan pada panjang
kateter vena. Kateter yang digunakan pada kanulasi vena sentral panjangnya bisa mencapai 1520 cm sementara kateter vena perifer hanya 5 cm saja.Dengan begitu untuk resusitasi cairan
pada hipovolemi, kanulasi vena perifer pendek lebih dipilih dibanding kanulasi vena sentral
yang panjang.
Diameter kateter yang besar akan menghasilkan laju yang lebih cepat. Laju yang sangat
cepat dapat dicapai dengan penggunaan kateter introducer. Panjang kateter ini adalah 12,5-15
cm dengan diameter 2,7-3 mm. Kateter introducer umumnya digunakan pada pemasangan
kateter vena sentral tapi alat ini dapat digunakan bila diinginkan laju infus yang cepat. Dengan
gaya gravitasi, laju cairan viskositas rendah bebas sel lewat kateter ini mencapai 15 ml/detik,
sedikit lebih rendah dari kateter vena biasa dengan diameter 3 mm yaitu 18 ml/detik.
Menurut acuan dari ATLS, pada kasus syok hemoragik, akses vena yang disarankan
adalah dua infus vena dengan diameter besar. Pilihan pertama adalah infus perifer seperti vena
pergelangan tangan dan punggung tangan, pada fosa antekubiti dan vena savena. Tempat lain
yang jarang dipilih adalah vena femoralis dan jugularis. Vena subklavia dan jugular interna
sebaiknya tidak secara rutin diberikan pada syok hipovolemik. Komplikasinya tinggi dan
keberhasilannya rendah karena vena sering kolaps. Akses cairan melalui vena perifer dapat
12

menjadi sulit pada pasien syok hipovolemik dengan vena yang sudah kolaps, edema,
kegemukan, jaringan parut, riwayat penggunaan obat intravena dan luka bakar. Pada keadaan
tertentu akses vena sentral dengan kateter diameter besar dapat dicoba pada vena femoral
secara perkutan atau vena seksi. Akses vena subklavia menyediakan akses cepat dan aman di
tangan ahli. Komplikasi tersering adalah pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi pada paru kiri
karena secara anatomis pleura pada paru kiri lebih tinggi. Komplikasi lainnya seperti perforasi
vena atau arteri atau emboli udara vena. Pada pasien trauma, akses vena jugular jarang
digunakan karena kecurigaan trauma servikal.
Aliran Cairan Resusitasi
Terdapat tiga jenis cairan resusitasi, yaitu:
1. Cairan yang mengandung sel darah merah (whole blood dan konsentrat eritrosit/
packed cells)
2. Cairan yang mengandung molekul-molekul besar yang kemampuan terbatas untuk
keluar dari pembuluh darah (cairan koloid)
3. Cairan yang hanya mengandung elektrolit (natrium dan klorida) dan molekul-molekul
kecil yang dapat keluar masuk pembuluh darah secara bebas (cairan kristaloid)
Laju aliran ketiga jenis cairan resusitasi ini bergantung pada viskositasnya. Cairan yang
mengandung sel darah merah adalah satu-satunya cairan resusitasi yang memiliki viskositas
lebih tinggi dari air. Viskositas yang tinggi ini adalah akibat dari kepadatan eritrosit atau
hematokrit. Dengan demikian laju aliran whole blood lebih rendah dari air dan albumin 5%
sementara aliran packedRBCs adalah yang paling lambat. Aliran yang lambat ini dapat
ditingkatkan dengan pemberian tekanan pada kolf darah menggunakan manset. Dapat juga
ditambahkan cairan garam faal pada infus yang dapat menurunkan viskositas darah.
Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah pernyataan bahwa laju aliran koloid lebih rendah
dibanding laju aliran cairan kristaloid atau air. Viskositas adalah fungsi dari densitas sel
sehingga laju aliran cairan tanpa sel sama dengan laju aliran air.
Strategi Resusitasi
Resusitasi yang dilakukan dalam mengatasi syok hemorargik terdrir atas dua tahap yaitu
resusitasi dini (early resuscitation) dan resusitasi lambat (late resuscitation).6 Pembagian kedua
tahapan ini dikarenakan adanya suatu siklus yang menyebabkan resusitasi tidak dapat
dilakukan hanya di awal saja. Ketika terjadi syok hemorargik dan dilakukan resusitasi cairan,
akan terjadi dilusi dari sel darah merah yang akan mengurangi pengantaran oksigen. Hal
tersebut akan menyebabkan hipotermia dan koagulopati. Selain itu, cairantubuh yang
meningkat akan meningkatkan tekanan darah, dan karena adanya efek reversal dari
vasokonstriksi pembuluh darah akan menyebabkan perdarahan yang semakin banyak sehingga
13

membutuhkan lebih banyak cairan resusitasi. Pada akhirnya, siklus kenaikan tekanan darah
dalam waktu singkat, perdarahan yang makin banyak, dan kembali ke hipotensi akan terjadi
terus menerus bila resusitasi tidak dilakukan dalam dua tahap.
Resusitasi dini dilakukan ketika perdarahan aktif masih berlangsung pada pasien.
Resusitasi lambat dilakukan setelah seluruh perdarahan dapat dikontrol. Karena dilakukan pada
kondisi yang berbeda, maka tujuan dari kedua resusitasi ini berbeda.
Tujuan dari resusitasi dini adalah:6
-

Mempertahankan tekanan darah sistolik pada level 80-100 mmHg.

Mempertahankan hematokrit 25-30%.

Mempertahankan PT dan PTT pada kisaran normal.

Mempertahankan trombosit > 50.000.

Mempertahankan kalsium terionisasi serum dalam batas normal.

Mempertahankan suhu > 35C.

Mempertahankan fungsi oksimetri denyut.

Mencegah peningkatan serum laktat.

Mencegah perburukan asidosis.

Setelah perdarahan terkontrol, resusitasi akan memasuki fase selanjutnya yaitu fase lambat.
Tujuan dari resusitasi fase lambat adalah: 6
-

Mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 100 mmHg.

Memperahankan hematokrit di atas batas transfusi individu.

Normalisasi status koagulasi.

Normalisasi keseimbangan elektrolit.

Normalisasi temperatur tubuh.

Mengembalikan output urin ke batas normal.

Maksimalisasi curah jantung dengan metode invasif maupun non invasif.

Memperbaiki asidosis sistemik.

Menurunkan laktat ke batas normal.

Pada saat resusitasi fase lambat ini dilakukan, pemberian cairan tetap dilakukan sampai
diyakini sudah terjadi perfusi sistemik yang adekuat.
Tujuan utama penggantian cairan pada kehilangan darah akut adalah mempertahankan
ambilan oksigen (VO2) oleh jaringan dan mempertahankan kelangsungan metabolisme
aerobik.4 Cairan pengganti logikanya sesuai dengan cairan yang keluar atau yang mendekati.
Kontroversi masih terjadi seputar penggunaan cairan kristaloid maupun koloid sebagai
pengembang plasma. Pendukung koloid berpendapat bahwa resusitasi menggunakan koloid
lebih cepat dan aman bagi paru-paru. Sementara pengguna kristaloid berpendapat bahwa
kristaloid lebih tepat menangani syok karena menggantikan cairan intravaskular dan
14

ekstravaskular (karena pada syok terjadi pengecilan volume cairan ekstraselular). Kristaloid
lebih murah walaupun dibutuhkan volume yang lebih besar (dibutuhkan 2-4 kali cairan
kristaloid agar efek resusitasinya sama dengan koloid). Cairan koloid memiliki efek alergi
lebih sedikit. Walaupun begitu tidak terdapat bukti yang mengharuskan seseorang
menggunakan salah satu cairan. Penggunaan kedua cairan bersama-sama sering digunakan
dalam klinis sehari-hari.
Kehilangan darah akut mempengaruhi dua komponen yaitu curah jantung dan konsentrasi
hemoglobin dalam darah. Dengan begitu resusitasi mencakup bagaimana cara meningkatkan
curah jantung dan mengoreksi kekurangan hemoglobin.
Meningkatkan Curah Jantung
Konsekuensi dari curah jantung yang menurun jauh lebih membahayakan dari konsekuensi
anemia, jadi prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien dengan perdarahan adalah
meningkatkan curah jantung.
Cairan resusitasi dan curah jantung
Kemampuan setiap jenis cairan untuk meningkatkan curah jantung dinilai dengan mengukur
dan membandingkan infus whole blood (1 unit = 450 ml), packed cells (2 unit = 500 ml),
dextran-40 (500 ml). Didapatkan efek infus ketiga cairan ini selama satu jam dalam
meningkatkan curah jantung adalah sama. Sedangkan kemampuan cairan Ringer laktat (1 L)
adalah dua kali cairan lainnya. Bila dibandingkan volume per volume maka cairan koloid
adalah yang paling efektif. Koloid dua kali lebih efektif dibanding whole blood, enam kali
lebih efektif dari packed cells dan delapan kali lebih efektif dibanding cairan kristaloid (RL).
Kemampuan darah yang terbatas untuk meningkatkan curah jantung adalah karena efek
viskositas darah. Jika peningkatan curah jantung adalah prioritas pertama dalam
penatalaksanaan perdarahan akut maka darah bukanlah cairan yang dipilih sebagai terapi awal
resusitasi cairan.
Cairan koloid dan kristaloid
Kedua jenis cairan ini memiliki viskositas mendekati air karena keduanya tidak mengandung
sel. Perbedaan keduanya adalah pada distribusi volume cairannya. Cairan kristaloid tersusun
atas natrium yang terdistribusi merata pada cairan ekstraselular. Plasma darah mewakili 20%
cairan ekstraselular sehingga cairan kristaloid yang mengisi pembuluh darah hanya 20% cairan
yang masuk. Delapan puluh persen sisanya akan keluar ke cairan interstisial. Cairan koloid di
lain pihak akan menambah volume plasma karena molekul koloid yang besar tidak dengan
mudah keluar pembuluh darah. Sekitar 75 atau 80% cairan infus koloid akan tetap berada di
ruang vaskular dan menambah volume plasma paling tidak pada jam-jam awal infus.
Peningkatan curah jantung adalah efek dari peningkatan preload (peningkatan volume darah)
15

dan efek penurunan afterload (efek dilusi dari viskositas darah). Berikut poin penting dalam
resusitasi cairan:

Cairan koloid lebih efektif dari whole blood, packed cells dan cairan kristaloid untuk
meningkatkan curah jantung

Konsentrat eritrosit relatif tidak efektif untuk meningkatkan curah jantung sehingga
sebaiknya tidak digunakan sendirian pada resusitasi

Cairan koloid menambah volume plasma sementara cairan kristaloid menambah


volume interstisial

Untuk mendapatkan efek yang sama pada curah jantung, volume infus cairan kristaloid
setidaknya tiga kali lebih banyak dari volume infus cairan koloid

Memperkirakan volume cairan total


Pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Memperkirakan jumlah volume darah normal. Caranya adalah dengan menghitung berat
badan dikali 66 ml (laki-laki) atau 60 ml (perempuan).

Memperkirakan jumlah darah yang keluar. Kelas I bila kehilangan darah < 15% volume
darah, kelas II bila kehilangan darah 15-30% volume darah, kelas III bila kehilangan darah
30-40% dan kelas IV bila kehilangan darah lebih dari 40% volume darah.

Menghitung defisit volume dengan mengkalikan volume darah normal dikali % kehilangan
darah

Menghitung jumlah cairan untuk masing-masing jenis cairan yang dibutuhkan dengan
anggapan bahwa peningkatan volume darah adalah 100% volume infus whole blood, 5075% volume infus cairan koloid dan 20-25% volume infus cairan kristaloid. Volume
resusitasi setiap cairan dihitung dari defisit volume dibagi persen retensi cairan. Sebagai
contoh jika defisit volume 2 L dan cairan resusitasi yang digunakan adalah koloid (50-75%
tertahan di intra vaskular) maka volume resusitasi adalah 2/0,75 = 3 L hingga 2/0,5 = 4 L
cairan koloid.

16

SYOK KARDIOGENIK
Patogenesis dan Patofisiologi Syok Kardiogenik
Patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi kontraktilitasmiokard yang
mengakibatkan lingkaran setan penurunan curah jantung, tekanan darahrendah,insufisiensi
koroner, dan selanjutnya terjadi penurunan kontraktilitas dan curah jantung. Syok kardiogenik
ditandai dengan gangguan fungsi ventrikel kiri, yangmengakibatkan gangguan berat pada
pefusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. Yang khas pada syok kardiogenik oleh
infark miokardium akut adalahhilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri.
Selain dari kehilangan masif

jaringan otot ventrikel kiri juga ditemukan daerah-daerah

nekrosis fokal diseluruhventrikel. Nekrosis fokal diduga merupakan kibat dari ketidak
seimbangan yang terusterhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen jantung oleh
aktivitas responkompensatorik seperti perangsangan simpatik. Sebagai akibat dari proses
infark,kontraktilitas ventrikel kiri dan kinerjanya menjadi sangat terganggu.Ventrikel kiri
gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakancurah jantung yang memadai
untuk mempertahankan perfusi jaringan. Maka dimulailahsiklus berulang. Siklus dimulai
dengan terjadinya infark yang berlanjut dengangangguan fungsi miokardium. Gangguan
fungsi miokardium yang berat akanmenyebabkan menurunnya curah jantung dan hipotensi
arteria. Akibatnya terjadinyaasidosis metabolik dan menurunnya perfusi koroner, yang lebih
lanjut mengganggufungsi ventrikel dan menyebabkan terjadinya aritmia

17

SYOK ANAFILAKTIK
AnamnesisPada anamnesis didapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat,disengat
hewan, makan sesuatu atau setelah test kulit ), timbul biduran mendadak, gataldikulit, suara
parau sesak ,sekarnafas, lemas, pusing, mual,muntah sakit perut setelahterpapar sesuatu.
Pemeriksaan fisik:
1.Keadaan umum : baik sampai buruk
2.Kesadaran: composmentis sampai koma
3.Tensi : hipotensi,
4.Nadi :takikardi,
5.Kepala dan leher : sianosis, dispneu, konjungtivitis, lakrimasi, edema periorbita, perioral,
rinitis
6.Thorax aritmia sampai arrest pulmo bronkospasme, stridor, rhonki dan
wheezing
,abdomen : nyeri tekan, bising usus meningkat7.Ekstremitas : urtikaria, edema.Pemeriksaan
Penunjang:
1.Pemeriksaan Tambahan Hematologi : Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah seldarah
putih yang banyak atau sedikit, dan jumlah faktor pembekuan yang menurun.Jika terjadi gagal
ginjal, kadar hasil buangan metabolik (seperti urea nitrogen)dalam darah akan meningkat.
18

Hitung sel meningkat hemokonsentrasi,trombositopenia eosinofilia naik/ normal / turun.


Biakan darah dibuat untuk menentukan bakteri penyebab infeksi.
2.Analisa gas darah menunjukkan adanya asidosis dan rendahnya konsentrasioksigen.
3.X foto : Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus plug,
4.EKG

Gangguan

konduksi,

atrial

dan

ventrikular

disritmia

atau

menunjukkanketidakteraturan irama jantung, menunjukkan suplai darah yang tidak memadai


keotot jantung.
Diferensial Diagnosis
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti :
1.Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan,
pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal
nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanandarahnya turun tetapi masih
mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah sepertianafilaktik.
2.Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atautanpa
penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi
saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeridada.
3.Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain.Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darahkadang-kadang menurun
tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas.Sedangkan pada reaksi anafilaktik
ditemui obstruksi saluran napas.
4.Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atausianosis.
Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkantanda-tanda diatas
dijumpai pada reaksi anafilaksis.
5.Carsinoid syndrome
Pada sindrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala,diare, serangan
sesak napas seperti asma.
6.Chinese restaurant syndrome
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapamenit
setelah mengkonsumsi MSG (monosodium glutamat) lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih
dari 5gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah,kecepatan denyut nadi, dan
pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yangdiberi makanan tanpa MSG.
19

7.Asma bronkial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas yang berbunyi
ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu,aktivitas fisik, dan
makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari.
8.Rinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidungyang hilangtimbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus, mis.debu,terutama di udara
dingin.dan hampir semua kasus asma diawali dengan RA
Penatalaksanaan syok anafilaktik menurut Haupt MT and Carlson RW (1989, hal 9931002) adalah
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah
jantung dan menaikkan tekanan darah.
b. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
1) Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar
lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi
kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
2) Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tandatanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik
yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau
parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obatobatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan
jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi.
3) Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar
yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru. Thijs L G. (1996 ;
1 4)
a. Segera berikan adrenalin 0.30.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau
0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang
20

tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus
kontinyu adrenalin 24 ug/menit.
b.

Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi

respons, dapat ditambahkan aminofilin 56 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan
0.40.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
c. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason
510 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok
anafilaktik atau syok yang membandel.
d.

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk

koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama
dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan
curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid
dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat
terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 34 kali dari perkiraan kekurangan
volume plasma.
Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20
40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan
dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu
dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan
histamin.
e.

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik

dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan,
maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin
sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter.
Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
f.

Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus

diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah
mendapat terapi adrenalin lebih dari 23 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam
untuk observasi.

SYOK SEPTIK
Patogenesis Syok Septik
Pada umumnya penyebab syok septik adalah infeksi kuman gram negatif yang berada dalam
darah/endotoksin. Jamur dan jenis bakteri juga dapat menjadi penyebabsepticemia. Syok
septik sering diikuti dengan hipovolemia dan hipotensi. Hal ini dapatdisebabkan karena
21

penimbunan cairan disirkulasi mikro, pembentukan pintasanarteriovenus dan penurunan


tahanan vaskuler sistemik, kebocoran kapiler menyeluruh,depresi fungsi miokardium.
Beberapa faktor predisposisi syok septic adalah trauma,diabetes, leukemia, granulositopenia
berat, penyakit saluran kemih, terapikortikosteroid jangka panjang, imunosupresan atau
radiasi. Syok septik sering terjadi pada bayi baru lahir, usia di atas 50 tahun, dan penderita
gangguan sistem kekebalan
SYOK NEUROGENIK
Patogenesis Syok Neurogenik
Syok neurogenik disebut juga syok spinal merupakan bentuk dari syok distributif
.Syok neurogenik terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor karena hilangnyatonus pembuluh
darah secara mendadak di seluruh tubuh sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah
pada pembuluh darah padacapacitance vessels. Hasil dari perubahan resistensi pembuluh
darah sistemik ini diakibatkan oleh cidera pada sistemsaraf (seperti : trauma kepala, cedera
spinal atau anestesi umum yang dalam). Syok neurogenik juga disebut sinkop.
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yangmengakibatkan terjadinya
vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus sehinggaaliran darah ke otak berkurang.
Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhulingkungan yang panas, terkejut, takut, atau
nyeri hebat. Pasien merasa pusingdan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan,
umumnya keadaan berubahmenjadi baik kembali secara spontan. Trauma kepaa yang
terisolasi tidak akanmenyebabkan syok. Adanya syok pada trauma kepala harus dicari
penyebab yang lain.Trauma pada medulla spinalis akan menyebabkan hipotensi akibat
hilangnya tonussimpatis. Gambaran klasik dari syok neurogenik adalah hipotensi tanpa
takikardi atauvasokonstriksi perifer.
Penatalaksanaan Syok Neurogenik
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti fenilefrin
dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter
prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul
ditempat tersebut. Penatalaksanaannya menurut Wilson R F, ed.. (1981; c:1-42) adalah
a. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi
Trendelenburg).
b. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan
masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan
endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini

untuk
22

menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi yang
berulang. Ventilator mekanik juga

23

dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan oksigen dari


otot-otot respirasi.
c. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan.
Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara
cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah,
akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
d.

Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat
vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti
ruptur lien) :

Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit,


berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.

Norepinefrin: Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan


darah. Epinefrin. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya
terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien
tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan
vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik

Dobutamin: Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh


menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui
vasodilatasi perifer.

24

DAFTAR PUSTAKA

Russell JA . Management of Sepsis , N Engl J Med ,2006 ,Oct 19 ; 355 (16) : 1699
713.
Jean, Daniel, et all. Circulatory Shock. N. Engl J Med 2013, Oct 13. Diakses pada tanggal 27
Deember 2015.
Alexander R H, Proctor H J. ., 1993, Shock , Dalam buku: Advanced Trauma Life
Support Course for Physicians. USA,
Boswick John. A, 1997., 1997., Perawatan Gawat Darurat., EGC., Jakarta
Guthrie Mary. M, 1982, Shock, Churchill Livingstone, New York
Haupt M T, Carlson R W., 1989, Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. Dalam
buku: Shoemaker W C, Ayres S, Grenvik A eds, Texbook of Critical Care. Philadelphia
Muhiman, Muhardi, dkk. Anestesiologi. 2004. Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi
intensif FKUI.
Kobayashi L, Costantini TW, Coimbra R. 2012. Hypovolemic Shock Resuscitation. Division
of Trauma, Surgical Critical Care, and Burns, Department of Surgery, University of
California San Diego School of Medicine: USA. 1404-1416
American Heart Association. 2005American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care of pediatric and
neonatal patients: Pediatric advanced life support. Pediatrics 2006;117:E100S-28.
Sudoyo, W Aru,dkk. Syok Hipovolemik .Dalam : Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV Jilid 1.
Pusat Penerbitan FKUI. Jakarta. 2009. Hal:183-184
Alwi I, Nasution. Syok Kardiogenik. Dalam: ilmu penyakit dalam. Edisi IV jilid I. Pusat
penerbitan FKUI. Jakarta. 2009. Hal: 245

25

Anda mungkin juga menyukai