Anda di halaman 1dari 38

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan


bertanggung jawab terhadap pergerakan. Komponen utama sistem utama sistem
muskuloskeletal adalah jaringan ikat. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot
rangka, tendo, ligamen, bursa, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan
struktur-struktur ini. Beragamnya jaringan dan organ sistem muskuloskeletal
dapat menimbulkan berbagai macam gangguan. Salah satu gangguan yang
menyerang sistem muskuloskeletal adalah reumathoid artritis.
Reumathoid artritis (RA) merupakan penyakit autoimun yang terjadi pada
individu rentan setelah respon imun terhadap agen pemicu, seperti bakteri,
mikoplasma, atau virus yang menginfeksi sendi atau mirip sendi secara antigenik.
Penyakit ini dapat mengakibatkan inflamasi kronis yang menyebabkan degenerasi
jaringan penyambung. Inflamasi tidak berkurang dan menyebar ke struktur sendi
disekitarnya, termasuk kartilago artikular, dan kapsul sendi fibrosa, tetapi jaringan
penyambung yang biasanya mengalami kerusakan pertama kali adalah membran
sinovial yang melapisi sendi. Pada inflamasi kronis, membran sinovial mengalami
hipertrofi dan menebal sehingga menyumbat aliran darah dan lebih lanjut
mrnstimulasi nekrosis sel dan respon implamasi yang secara lambat dapat
merusak tulang dan menimbulkan nyeri hebat serta deformitas.
Berdasarkan survey WHO di Jawa ditemukan bahwa reumathoid artritis
menempati urutan pertama (49%) dari pola penyakit lansia dan wanita lebih
sering terkena daripada pria. Kunci keberhasilan penatalaksanaan reumathoid
artritis adalah diagnosis dini dan penanganan yang tepat seperti istirahat yang
cukup, kompres panas dan dingin secara bergantian dan menggunakan terapi obat
anti-inflamasi dan anti-TNF supaya inflamasi terhambat.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa definisi dari Reumathoid artritis?


1.2.2 Bagaimana epidemiologi dari Reumathoid artritis?
1.2.3 Apa saja etiologi dari Reumathoid artritis?
1.2.4 Bagaimana klasifikasi dari Reumathoid artritis?
1.2.5 Apa saja manifestasi klinis dari Reumathoid artritis?
1.2.6 Bagaimana patofisiologi dari Reumathoid artritis?
1.2.7 Apa saja komplikasi pada Reumathoid artritis?
1.2.8 Apa saja penatalaksanaan dari Reumathoid artritis?
1.2.9 Bagaimana Pemilihan Obat terhadap pasien Reumathoid artritis?
1.2.10 Bagaimana pathway dari Reumathoid artritis?
1.2.11 Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan Reumathoid artritis?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari Reumathoid artritis


1.3.2 Untuk mengetahui epidemiologi Reumathoid artritis
1.3.3 Untuk mengetahui etiologi Reumathoid artritis
1.3.4 Untuk mengetahui klasifikasi dari Reumathoid artritis
1.3.5 Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Reumathoid artritis
1.3.6 Untuk mengetahui patofisiologi dari Reumathoid artritis
1.3.7 Untuk mengetahui komplikasi dari Reumathoid artritis
1.3.8 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Reumathoid artritis
1.3.9 Untuk mengetahui emilihan Obat terhadap pasien Reumathoid artritis
1.3.10 Untuk mengetahui pathway dari Reumathoid artritis
1.3.11 Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan Reumathoid
artritis

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Reumathoid artritis (RA) adalah penyakit inflamasi sistemik kronis yang


tidak diketahui penyebabnya, dikarakteristikkan oleh kerusakan dan proliferasi
membrane synovial yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis,
dan deformitas. Mekanisme imunologis tampak berperan penting dalam memulai
dan mengekalkan penyakit dimana remisi spontan dan ekserbasi tak diperkirakan
kejadiannya (Doenges, 2012).
Artritis rheumatoid adalah gangguan kronik yang menyerang berbagai
system organ. Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit jaringan
ikat difus yang diperantai oleh imunitas dan tidak diketahui penyebabnya. Pada
pasien biasanya terjadi destruksi sendi progresif, walaupun episode peradangan
sendi dapat engalamai masa remisi. (Price dan Wilson, 2006)
Reumathoid artritis (RA) merupakan penyakit autoimun yang terjadi pada
individu rentan setelah respon imun terhadap agen pemicu, seperti bakteri,
mikoplasma, atau virus yang menginfeksi sendi atau mirip sendi secara antigenik.
Penyakit ini dapat mengakibatkan inflamasi kronis yang menyebabkan degenerasi
jaringan penyambung. Jaringan penyambung yang pertama kali rusak biasanya
membran sinoval yang melapisi sendi. Inflamasi tidak berkurang dan menyebar ke
struktur sendi disekitarnya, termasuk kartilago artikular, dan kapsul sendi fibrosa,
tetapi terjadi pada ligamen dan tendon. Pada inflamasi kronis, membran sinovial
mengalami hipertrofi dan menebal sehingga menyumbat aliran darah dan lebih
lanjut menstimulasi nekrosis sel dan respon imflamasi. Sinovial yang menebal
menjadi ditutup oleh jaringan granular inflamasi yang disebut panus. Panus dapat
menyebar keseluruh sendi sehingga dapat membentuk jaringan parut. Proses ini
secara lambat dapat merusak tulang dan menimbulkan nyeri hebat serta
deformitas.

2.2 Epidemiologi

Menurut Suarjana (2009) prevalensi rheumatoid arthritis di seluruh dunia


relatif konstan yaitu sekitar 0,5-1%. Dalam ilmu penyakit yang ada di dalam buku
Harrison edisi ke-18, insidensi dan prevalensi rheumatoid arthritis bervariasi
berdasarkan lokasi geografis dan Siantar berbagai grup etnik dalam suatu negara.
Misalnya, masyarakat asli Amerika,Yakima,Pima, dan suku-suku Chippewa di
Amerika Utara yang dilaporkan memiliki rasio prevalensi dari berbagai studi
sebesar 7%. Prevalensi ini merupakan prevalensi yang tertinggi di dunia. Berbeda
dengan hasil studi populasi yang terletak di Afrika dan Asia yang menunjukkan
hasil prevalensi lebih rendah yaitu sekitar 0,2%-0,4% (Longo,2012). Menurut
Suarjana (2009) prevalensi RA di India dan di negara barat kurang lebih sama
yaitu sekitar 0,75%.
RA adalah penyakit inflamasi rematik yang paling sering terjadi dengan
prevalensi 0,5% sampai 0,8% pada populasi dewasa. Insidensinya meningkat
seiring busi, 25 hingga 30 orang dewasa per 100.000 pria dewasa dan 50 hingga
60 per 100.000 wanita dewasa (Schneider,2013). Studi RA di negara Amerika
Latin dan Afrika menunjukkan predominansi angka kejadian pada wanita lebih
besar dari pada laki-laki, dengan rasio 6-8 :1 (Longo :2012)

2.3 Etiologi

Penyebab RA sendiri belum dapat diketahui dengan pasti, namun menurut


pendapat dari beberapa orang yang melakukan penelitian tentang RA yaitu
Suratun, Heryati, Manurung dan Raenah (2008) ada faktor predisposisi yaitu
mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi virus.
Sedangkan meurut Suarjana (2009) kejadian RA dikorelasikan dengan interaksi
yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Berikut faktor-faktor
penyebab RA yaitu :
a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRBI dan faktor ini memiliki
angka kepekaan dan ekspresi sebesar 60%

b. Hormon sex, perubahan hormon berupa stimulasi dari Placental


Contricotraonin

Releasing

Hormone

yang

mensekresi

dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting dalam


sintetis estrogen plasenta. Pada RA respons TH1 lebih dominan sehingga
hormon estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan
terhadap perkembangan penyakit RA.
c. Faktor infeksi, ada beberapa agen infeksi yang diduga bisa menginfeksi sel
induk semang (host) dan dapat merubah reaktivitas atau respons sel T
sehingga munculnya penyakit RA.
d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai
respons terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam
amino homolog. Diduga terjadi adanya kemiripan molekul dimana
antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host
sehingga dapat menyebabkan terjadinya aksi silang antara limfosit dengan
sel Host sehingga mencetuskan rraksi imunologi.
e. Faktor lingkungan, adapun faktor lingkungan yang juga mempengaruhi
terjadinya RA salah satunya adalah merokok (Longo,2012)

2.4 Klasifikasi

Selama ini diagnosis AR memakai kriteria ACR tahun 1987 dengan


sensitivitas 77-95% dan spesifikasi 85-98%. Tapi kriteria ini mulai dipertanyakan
kebenarannya dalam mendiagnosis AR dini sehingga dipandang perlu untuk
menyusun kriteria baru yang memiliki tingkat kebenaran lebih baik.
Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosa menurut
American College Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010.
Yaitu :

Tabel 1. Kriteria Klasifikasi AR ACR/EAULAR 2010


SKOR
A

Keterlibatan Sendi
1 sendi besar

2-10 sendi besar

1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)

4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)

Lebih dari 10 sendi (minimal 1 sendi besar)

Serologi (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)


RF dan ACPA negatif

RF dan ACPA positif rendah

RF dan ACPA positif tinggi

Reaktan Fase Akut (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk


klasifikasi)

LED dan CRP normal

LED atau CRP abnormal

Lamanya Sakit
Kurang 6 minggu

6 minggu atau lebih

Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru. Di samping itu,
pasien dengan gambaran erosi sendi yang khas AR dengan riwayat penyakit yang
cocok untuk kriteria sebelumnya diklasifikasi sebagai AR. Pasien dengan penyakit
yang lama termasuk yang penyakit tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan)
yang berdasarkan data-data sebelumnya didiagnosis AR hendaknya tetap
diklasifikasikan sebagai AR.
Pada pasien dengan skor kurang dari 6 dan tidak diklasifikasikan AR,
kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat terpenuhi seiring
berjalannya waktu.
Terkenanya sendi adalah adanya pembengkakan atau nyeri sendi pada
pemeriksaan yang dapat didukung oleh adanya bukti sinovitas secara pencitraan.

Sendi DIP,CMCI, dan MTPI tidak termasuk dalam kriteria. Penggolongan


distribusi sendi diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan jumlah sendi yan g
terkena, dengan penempatan ke dalam kategori yang tertinggi yang dapat di
mungkinkan.
Sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha dan pergelangan kaki.
Sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, IP ibu jari dan pergelangan tangan.
Hasil laboratorium negatif adalah nilai yang kurang atau sama dengan batas atas
ambang batas normal: Positif rendah adalah nilai yang lebih tinggi dari batas
normal tapi sama atau kurang dari 3 kali nilai tersebut: Positif tinggi adalah nilai
yang lebih tinggi dari 3 kali batas atas. Ika RF hanya diketahui positif atau negatif,
maka positif harus dianggap sebagai positif rendah. Lamanya sakit adalah keluhan
pasien tentang lamanya keluhan atau tanda sinovitas (nyeri, bengkak atau nyeri
pada perabaan). Dalam menegakkan diagnosis AR sangatlah penting untuk
mengelompokkannya berdasarkan waktu di mana di katakan recent onset jika
sudah menderita kurang dari 2 tahun.

2.5 Manifestasi Klinis

Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita rheumatoid
artitis. Gambaran klinis tidak harus timbul sekaligus, pada saat yang bersamaan
oleh karena itu penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala

konstitusional,

misalnya

lelah,anoreksia,berat

badan

menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.


2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di
tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal.
Hampir semua sendi diartodial dapat terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam : dapat bersifat generalisata
tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan
kekakuan sendi pada osteoartriti, yang biasanya hanya berlangsung selama
beberapa menit dan selalu kurang asri satu jam.

4. Artritis erosi merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.
Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini
dapat dilihat pada radiogram.
5. Deformitas : kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ular atau deviasi jari, subluksasi sendi
metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah
beberapa deformitas tangan yang sering di Kum[pai pada penderita. Pada
kaki terdapat protrusi(tonjolan) kaut metatarsal. Sendi-sendi yang besar
juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak
terutama dalam melakukan gerakan ekstensi.
6. Modul-nodula rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa penderita artritis reumatoid. Lokasi yang
paling seringdari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau di
sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodulanodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempatlainnya. Adanya nodulanodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif
dan lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikuler: artritis reumatoid juga dapat menyerang
organ-organlain di luar sendi. Jantung(perikarditis), paru-paru(pleuritis),
mata, dan pembuluh darah dapat rusak. (Price dan Wilson, 2006).

2.6 Patofisiologi

Reumathoid artritis merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang


sendi dan bereaksi pada jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari
proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular

dan

terjadi

proliferasi

sel-sel

endotel

kemudian

terjadi

neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh
bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadinya pertumbuhan iregular pada
jaringan sinovial yang mengalami inflamasi disebut pannus. Pannus kemudian
akan menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon imunologi

melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan. Respon


ini mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik (Surjana, 2009).

2.7 Komplikasi
Komplikasi yang sering muncul pada reumathoid artritis yaitu;
a. Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan
ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti
inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (
disease modifying antirhematoid drugs/ DMARD).
b. Nodulus reumathoid ekstrasional dapat terbentuk pada katup jantung atau
pada paru, mata, atau limpa. Fungsi pernafasan dan jantung juga dapat
terganggu. Glaukoma dapat terjadi apabila nodulus yang menyumbat
aliran keluar cairan okular terbentuk pada mata.
c. Vaskulitis (inflamasi sistem vaskuler) dapat menyebabkan trombosit dan
infark.
d. Penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari,
depresi, dan stress keluarga dapat menyertai eksaserbasi penyakit

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan

artritis

neumatoid

didasarka

pada

pengertian

patofisiologi dari penyakit ini. Selain itu, perhatian juga ditujukan terhadap
manifestasi psikofisiologis dan kekacauan-kekacauan psikososial yang
menyertainya yang disebabkan oleh perjalanan penyakit yang iluktuatif dan
kronik. Untuk membuat diagnosa yang akurat dapat memakan waktu sampai
bertahun-tahun, tetapi pengobatan dapat dimulai secara lebih dini.
Tujuan utama dari program pengobatan adalah sebagai berikut:
1. Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.
2. Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari
penderita.

3. Untuk mencegah dan/atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada


sendi.
Ada sejumlah cara penatalaksanaan yang sengaja dirancang untuk
mencapai tujuan-tujuan ini: pendidikan, istirahat, latihan fisik dan termoterapi,
gizi, dan obat-obatan.
Langkah

pertama

dari

program

penatalaksanaan

ini

adalah

memberikan pendidikan yang cukup tentang penyakit kepada penderita,


keluarganya, dan siapa saja yang berhubungan dengan penderita. Pendidikan
yang diberikan meliputi pengertian tentang patofisiologi, penyebab dan
prognosis penyakit ini, semua komponen program penatalaksanaan termasuk
rajimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi
penyakit ini, dan metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang
diberikan oleh tim kesehatan. Proses pendidikan ini harus dilakukan secara
terus-menerus. Bantuan dapat diperoleh dari klub penderita, badan-badan
kemasyarakatan, dan dari orang-orang lain yang juga menderita artritis
reumatoid, serta keluarga mereka.
Istirahat adalah penting karena artritis reumatoid biasanya disertai rasa
lelah yang hebat. walaupun rasa lelah tersebut dapat saj timbul setiap hari,
tetapi ada masa-masa dimana penderita merasa lebih baik dan lebih berat.
Kekakuan dan rasa tidak nyaman dapat meningkat apabila beristirahat. Hal ini
berarti bahwa penderita sangat mudah terbangun dari tidurnya pada malam hari
karena nyeri. Karena itu metode-metode untuk menguranginyeri malam hari
harus diajarkan, misalnya dengan pemberian obat anti radang kerja lama dan
analgesik. Selain itu penatalaksanaan juga harus mencakup perencanaan
aktivitas. Penderita harus membagi waktu seharinya menjadi beberapa kali
waktu beraktivitas yang diikuti oleh masa istirahat. Jika ada suatu aktivitas
tertentu yang sangat berat, misalnya pesta, maka sebelumnya harus beristirahat.
Latihan-latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan
fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi
yang sakit, sedikitnya dua kali sehari. Obat-obatan untuk menghilangkan nyeri
mungkin perlu diberikan sebelum memulai latihan. Kompres panas pada sendi10

sendi yang sakit dan bengkak, mungkin dapat mengurangi nyeri. Mandi parafin
dengan suhu yang bisa diatur dan mandi dengan suhu panas dan dingin dapat
dilakukan dirumah. Latihan dan terapi panas ini paling baik diatur oleh pekerja
kesehatan yang sudah mendapatkan latihan khusus, seperti ahli terapi fisik atau
terapi kerja.

Latihan yang berlebihan dapat merusak struktur-struktur

penunjang sendi yang memang sudah lemah oleh adanya penyakit. (Price dan
Wilson, 2006)

2.9 Pilihan Pengobatan

1. Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD)


Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD) adalah obat yang
memiliki potensi untuk mengurangi kerusakan sendi, mempertahankan
integritas dan fungsi sendi dan pada akhirnya mengurangi biaya perawatan
dan meningkatkan produktivitas pasien AR. Obat-obatan yang sering
digunakan pada pengobatan AR adalah metotreksat (MTX), sulfasalazine,
leflunomide, klorokuin, siklosporin, azatioprin.

2. DMARD yang digunakan pada pengobatan Artitis Reumatoid

DMARDS

Mekanisme

Dosis

Efektifitas Efek
Samping

Metotreksat

Menurunkan
kemotaksis
PMN dan
mempengaruhi
sintesis DNA

7,5 25
mg/minggu

+++

Sulfasalasin

Menghambat
angiogenesis
dan migrasi
PMN

2 X 500
mg/hari
ditingkatkan
sampai 3 x
1000 mg

++

Persiapan
penatalaksanaan

Fibrosis
Awal: foto thorax,
hati,
DPL, TFG,
pneumonia Selanjutnya DPL
interstinal
dan TFH tiap
dan
bulan
supresi
sumsum
tulang
Supresi
Awal pengobatan:
sumsum
G6PD, DPL tiap
tulang
4 minggu 3 bulan
selanjutnya tiap 3
bulan, TFH 1

11

Klorokuin
Basa

Menghambat
6,5 mg/kg
lisosom dan
bb/hari (150
pelepasan IL-1
mg)

Jarang,
kerusakan
makula

Leflunomid
e

Menghambat
enzim
dihidroorotat
dehidrogenase
sehingga
pemelahan sel
limfosit T auto
reaktif
menjadi
terhambat

20 mg/hari

+++

2,5 5
mg/kgbb

+++

Diare,
alopecia,
rash. Sakit
kepala,
secara
teoritis
beresiko
infeksi
karena
imunosupr
esi
Gagal
ginjal

Siklosporin

Memblok
sintesis IL-1
dan IL-2

bulan selanjutnya
tiap 3 bulan
Pemeriksaan mata
pada awal
pengobatan, lalu
setiap 3-6 bulan
DPL, TFG, TFH

Awal: krilen
kreatinin, DPL,
TFG, TFH, tiap 2
minggu, 3
minggu dan
selanjutnya tiap 4
minggu

Catatan: Pemberian loading dose pada leflunomide sudah tidak


dianjurkan lagi. Beberapa obat yang bisa dipakai untuk pengelolaan AR
seperti hidroksiklorokuin, preparat emas dan D-penicillamin tidak tersedia di
Indonesia.

Klorokuin

mempunyai

efektifitas

yang

setara

dengan

hidroksikorokuin tapi dengan toksisitas yang lebih besar.

3. DMARD biologic yang digunakan untuk pengobatan Artritis rheumatoid


Beberapa DMARD biologik dapat berkaitan dengan infeksi bacterial
yang serius, aktif kembalinya hepatitis B dan aktivasi TB. Mengingat hal itu,
perlu pemeriksaan awal dan pemantauan yang serius untuk infeksi. Khususnya
untuk anti TNF-, dimana Indonesia merupakan daerah endemis untuk Tb,
maka skrining untuk Tb harus dilakukan sebaik mungkin (termasuk tes
tuberkulin dan foto thorax). Efek samping DMARD biologik yang lain adalah
reaksi infus, gangguan neurologis, reaksi kulit dan keganasan.

12

Obat

Mekanis

Dosis

me

Waktu

Efek

Timbulny

Samping

Monitoring

a Respon
Etanercept

Anti TNF-

25 mg sc

2-12

Infeksi, TB,

TB, jamur,

2x/mingg

minggu

demielinisas

infeksi lain:

i saraf

TT, DPL,

u atau 50
mg

TFH saat

sc/minggu

awal lalu
tiap 2-3
bulan

Infliximab

Anti TNF-

3 mg/kg

2-12

Infeksi, TB,

TB,

iv pada

minggu

demielinisas

demielinisas

i saraf

i saraf TB,

minggu
0,2 & 4,

jamur,

kemudian

infeksi lain:

tiap 8

TT, DPL,

minggu

TFH saat
awal lalu
tiap 2-3
bulan

Golimumab

Anti TNF-

50 mh im

2-12

Infeksi TB,

TB, jamur,

tiap 4

minggu

demieliisasi

infeksi lain:

saraf

TT,DPL,

minggu

TFH saat
awal lalu
tiap 2-3
bulan
Rituximab

Anti CD20 1000 mg


iv pada

12 minggu

Reaksi

TB, jamur,

infus,

infeksi lain:

13

hari 0,15

aritmia, HT,

TT,DPL,

infeksi,

TFH saat

reaktivasi

awal lalu

hepatitis B

tiap 2-3
bulan

Tocilizumab

Anti ll-6R

8 mg/kg
iv tiap 4

2 minggu

Infeksi

B, jamur,

TB,HT,

infeksi lain:

gangguan

TT,

fungsi hati

DPL,TFH,
profil lipid
saat awal
lalu tiap 2-3
bulan

Selain obat-obat yang tersebut diatas, ada beberapa agen biologik yang
dilaporkan memberikan respon pengobatan untuk AR tapi belum beredar di
Indonesia seperti CTLA-4 Ig (abatacept), anti TNF- (adalimumab,
certolizumab, anti il-1 (anakinra), dan tofacitinib.

4. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral dosis rendah/sedang bisa menjadi bagian dari
pengobatan AR, tapi sebaiknya dihindari pemberian bersama OAINS sambil
menunggu efek terapi dari DMARDS. Berikan kortikosteroid dalam jangka
waktu sesingkat mungkin dan dosis serendah mungkin yang dapat mencapai
efek klinis. Dikatakan dosis rendah jika diberikan kortikosteroid setara
prednisone <7,5 mg sehari dan dosis sedang jika diberikan 7,5 mg-30 mg
sehari. Selama penggunaan kortikosteroid harus diperhatikan efek samping
yang dapat ditimbulkannya seperti hipertensif, retensi cairan, hiperglikemi,
osteoporosis, katarak, dan kemungkinan terjadinya aterosklerosis dini.

5. Obat Anti Inflamasi Non Steroid

14

Obat anti inflamasi non steroid dapat diberikan pada pasien AR.
OAINS harus diberikan dengan dosis efektif serendah mungkin dalam waktu
sesingkat mungkin. Perlu diingatkan bahwa OAINS tidak mempengauhi
perjalan penyakit ataupun mencegah kerusakan sendi. Pemilihan OAINS
yang

dipergunakan

tergantung

pada

biaya

dan

efek

sampingnya

(cost/benefit). Cara penggunaan, monitor dan cara pencegahanefek samping


dapat dilihat lebih detail pada rekomendasi penggunan OAINS. Kombinasi 2
atau lebih OAINS harus dihindari karena tidak menambah efektivitas tetapi
meningkatkan efek samping.

15

BAB. 3 PATHWAY

Reaksi factor R dengan

Kekakuan sendi

MOBILITAS FISIK

antibody, factor
metabolic, infeksi dengan

HAMBATAN

Reaksi peradangan

NYERI

kecenderungan virus

Synovial menebal

Pannus

Kurangnya informasi
tentang proses penyakit

Nodul

Infiltrasi dalam os.


subcondria

Deformitas Sendi

PENGETAHUAN
Hambatan nutrisi pada

GANGGUAN CITRA

DEFISIENSI

,ANSIETAS

kartilago artikularis
Kartilago nekrosis

TUBUH
Kerusakan kartilago
dan tulang
Mudah luksasi dan
subluksasi

RESIKO CIDERA

Erosi kartilago

Tendon dan ligament

Adhesi pada permukaan

melemah

sendi

Hilangnya kekuatan otot

Kekakuan sendi

Ankilosis fibrosa

Ankilosis tulang

HAMBATAN
MOBILITAS FISIK
16

BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN

4.1. Pengkajian
4.1.1. Pengkajian Awal

a) Identitas pasien
Nama

: Ny. A

Umur

: 50 th

Jenis Kelamin : perempuan


Suku bangsa : setiap orang memiliki resiko RA
Pekerjaan

: petani

Pendidikan

: lulusan SMP

Agama

:-

Status

: janda denga anak 2 (laki-laki dan perempuan)

Alamat

: setiap orang memiliki resiko RA

b) Keluhan utama : pasien mengeluh bahwa nyeri pada bagian kaki


kiri dan kanannya, pernah terjadi pembengkakan pada kaki kiri dan
kanannya serta dirinya merasa letih.

4.1.2. Riwayat Penyakit

a) Riwayat Penyakit Sekarang


Ny A. mengatakan belum pernah memeriksakan nyerinya ini ke
fasilitas kesehatan sebelumnya. Ny. A mengatakan bahwa kaki
kanan dan kirinya sering terasa nyeri sejak 6 minggu yang lalu,
Pernah bengkak pada kedua kakinya namun sudah sedikit
mengempes tapi rasa nyerinya masih ada. untuk menghilangkan
nyerinya Ny. A memakai ramuan yaitu daun ubi, pala, jahe,
kemudian ditumbuk dan airnya di sapukan di kaki yang bengkak
Pasien mengatakan saat kedua kakinya dibawa berjalan nyerinya

17

semakin menghilang. Pasien sambil memijat-mijat kedua kakinya


dengan wajah meringis menahan rasa nyeri. Pasien mengatakan
bahwa nyerinya sangat mengganggu aktivitasnya sehari-hari.

b) Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan bahwa tidak pernah mengalami penyakit yang


parah sebelumnya hanya saja penyakit ringan seperti demam, flu,
batuk ringan saja. Pasien mengatakn untuk mengobati sakitnya
tersebut hanya dengan obat-obatan yang dibeli di warung-warung
terdekat. Pasien mengatakan tidak pernah di operasi sebelumnya.
Pasien juga mengatakan tidak mempunyai alergi apapun.

c) Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan bahwa dahulu orang tuanya tidak memiliki


riwayat penyakit rheumatoid artitis. Namun ada saudaranya ada
yang memiliki riwayat penyakit tersebut yang kini telah meninggal
dunia. Kedua orang tuanya meninggal karena usianya yang sudah
terlalu tua. Suami meninggal karena kecelakaan.

4.1.3. Pemeriksaan Fisik

a) Keadaan Umum : pasien dalam kurang baik dan terlihat keadaan


kakinya lemah.
b) Tanda-tanda vital
TD = 150/90 mmhg
HR = 80 kali/menit
R

= 24 kali/menit

BB = 62 Kg
TB = 162 cm

18

c) Pemeriksaan Head to Toe

1.

Kepala dan Rambut


a. Kepala
Bentuk

: Simetris

Kulit kepala

: bentuk kepala tampak kotor

b. Rambut
Rambut sudah beruban dan berbau keringat

2.

3.

4.

Mata
a. Bentuk

: simetris terhadap wajah

b. Ketajaman penglihatan

: kurang baik (rabun dekat)

c. Konjungtiva

: tidak anemia

d. Seklera

: tidak ikterus

e. Pupil

: isokor

f. Pemakaian alat bantu k

: memakai kaca mata

Hidung
a. Bentuk

: simetris

b. Fungsi penciuman

: baik

c. Pendaharan

: tidak ada pendarahan

Telinga
a. Bentuk telinga

: simetris

b. Lubang telinga

: terdapat serumen tapi dalam

batas normal
c. Ketajaman pendengaran

: pendengaran tidak jelas

karena usia

5.

Mulut dan Faring


a. Keadaan bibir

: kering

19

b. Keadaan gusi dan gigi

: -tidak ada pendarahan gusi


-gigi kurang bersih dan tidak
lengkap

c. Keadaan lidah

6.

: normal

Leher
a. Tyroid

: normal

b. Suara

: pasien mengelurkan suara

yang jelas

7.

8.

c. Denyut nadi karotis

: teraba

d. Vena jugularis

: teraba

Pemeriksaan Integumen
a. Kebersihan klien

: pasien tampak bersih

b. Warna

: kulit putih

c. Turgor

: cukup baik

d. Kelembaban

: agak keriput

Pemeriksaan Tharax
a. Bentuk tharax

: simetris

b. Pernafasan

: frekuensi 24kali/menit
irama

teratur,

tidak

ada

suara tambahan

9.

10.

Pemeriksaan Paru
a. Palpasi getaran suara

: irama teratur

b. Perkusi

: resonan

c. Auskultasi

: teratur

Pemeriksaan Abdomen
a. Bentuk abdomen

: simetris

20

11.

b. Benjolan

: tidak ada

c. Tanda dan nyeri tekan

: tidak ada

d. Hepar

: tidak terjadi pembengkakan

Pemeriksaan Kelamin
Tidak terkaji karena pasien tidak bersedia untuk dilakukan
pemeriksaan.

12.

13.

Pemeriksaan Muskoloskeletal
a. Bentuk Otot

: simetris

b. Edema

: ada

c. Kekuatan oto

: otot berkurang kekuatannya

Pemeriksaan Neurologis
a. Tingkat kesadaran
GCS : 15
b. Status mental
-kondisi emosi stabil
-pasien dapat berorientasi dengan baik mengenai tempat,
waktu dan orang
-ingatan pasien agak menurun Karena usia
-pasien ingin cepat sembuh
c. Fungsi motorik
-cara berjalan pasien terlihat sangat susah untuk berjalan
-pasien mampu membolakbalikkan tangan
-pasien mampu berdiri dengan bantuan
d. Fungsi sensori
-test tajam tumpul : pasien dapat membedakan benda yang
tajam dan tumpul
-test pana dan dingin: pasien dapat mebedakan panas dan
dingin

21

-test reflek

: tidak dilakukan karena tidak ada

alat

d) Pola Kebiasaan Psikososial


1.

Pola tidur dan kebiasaan


Selama ini pasien tidur dalam rentang norma 6-7 Jam. Tidak
terdapat masalah dalam pola tidur, namun ketika rasa nyeri
timbul dapat mengganggu aktivitas tudur pasien.

2.

Pola Eliminasi
BAB 1kali sehari namun kadang tersa nyeri ketika menjongkok
pada kedua kakikanya. BAK 6-7 kali/hari.

3.

Pola makan dan minum


Nafsu makan tidak adekuat, mual, anoreksia dan kesulitan
dalam mengunyah.

4.

Pola kebersihan diri / personal hygiene


Mandi 2kali/hari, gosok gigi 2kali/hari, kuku dipotong tetapi
meminta bantuan keluarga

5.

Pola kegitan / Aktivatas


Sejak sering merasakn nyeri pada kedua kakinya membuat
pasien berhenti bekerja hanya melakukan kegiatan dirumah.

e) Pengkajian 11 Pola fungsi Gordon


1.

2.

Persepsi dan pemeliharaan kesehatan


Apabila sakit, klien menunda untuk berobat ke fasilitas
kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas dll)
Pola nutrisi / metabolik
Intake makanan
a. Sebelum sakit: 3x sehari, makan habis 1 porsi, sayur, laukpauk
b. Selama sakit: 3x sehari, makan habis setengah porsi, sayur,
lauk-pauk
Intake cairan
a. sebelum sakit: 5-7 gelas sehari, air putih
b. selama sakit : 3-5 gelas sehari, air putih

22

3.

4.

Pola eliminasi
Buang air besar
a. Sebelum sakit
b. Selama sakit
Buang air kecil
a. sebelum sakit
b. Selama sakit

: 1x sehari, warna kuning


: 1x sehari, warna kuning
: 6-7x sehari, warna kuning
: 3-5x sehari, warna kuning

Pola aktivitas dan latihan


a. Sebelum sakit
Kemampuan perawatan

diri
Makan/minum

Mandi

Toileting

Berpakaian

Mobilitas ditempat tidur

Berpindah

Ambulasi / rom

Keterangan :
0 = mandiri
1 = alat bantu
2 = dibantu orang lain
3 = dibantu orang lain dan alat
b. Selama sakit
Kemampuan perawatan

diri
Makan/minum

Mandi

Toileting

Berpakaian

23

Mobilitas ditempat tidur


Berpindah
Ambulasi / rom

V
V
V

Keterangan :
0 = mandiri
1 = alat bantu
2 = dibantu orang lain
3 = dibantu orang lain dan alat
5.

Pola tidur dan istirahat


a. lama tidur siang 1 jam
b. lama tidur malam 5 jam
c. pasien mengatakan bermasalah dengan tidurnya apabila nyeri
terasa

6.

Pola kognitif dan persepsi sensori


Keadekuatan alat sensori, seperti penglihatan, pendengaran,
pengecapan, sentuhan, penghidu, persepsi nyeri, kemampuan
fungsional kognitif. Kelainan pada pola kognitif dan perseptual
bisa mempengaruhi konsep diri pasien dan akhirnya dapat
mempengaruhi jumlah stressor yang dialami pasien dan
kemungkinan dapat terjadi serangan asma berulang yang
semakin tinggi.

7.

Pola persepsi diri


Klien kurang yakin akan kesembuhannya.

8.

Pola sesualitas dan reproduksi


Klien sudah menikah namun suaminya telah meninggal dan
mempunyai 2 orang anak (laki-laki dan perempuan).

9.

Pola peran hubungan


Klien sebagai ibu rumah tangga yang memiliki hubungan baik
dengan keluarganya.

10.

Pola managemen koping-stress

24

Klien mengatakan apabila ada masalah selalu dibicarakan


dengan keluarganya
11.

Sistem nilai dan kepercayaan


Klien beragama dan selalu berdoa untuk kesembuhannya.

4.1.4. Pemeriksaan Penunjang

a) Laju endapan darah

: umumnya meningkat pesat (80-100 mm/h)

mungkin kembali normal sewaktu gejal-gejala meningkat


b) Protein C-reaktif

: positif selama masa eksaserbasi

c) Sel darah puti

: meningkat pada waktu timbul prosaes

inflamasi
d) Haemoglobin

: umunya menunjukkan anemia sedang

e) Ig (Ig M dan Ig G)

: peningkatan besar menunjukkan besar

menunjukkan proses autoimun sebagai penyebab AR


f) Sinar X dari sendi yang sakit: menunjukkan pembengkakan pada
jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang
berdekatan (perubahan awal) berkembang menjadi formasi kista
tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan
osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
g) Scan radionuklida

: identivikasi perdangan sinovium

h) Biopsy membrane synovial: menunjukkan perubahan inflamasi dan


perkembangan panas

25

4.1.5. Analisa Data

Data
DS

Etiologi

Masalah

pasien

reaksi factor R dengan

bahwa

anti body, factor

dengan perubahan patologis

kaki kanan dan kirinya

metabolic, infeksi

oleh artritis rheumatoid

mengatakan

sakit

apalagi

saat

berjalan

Nyeri

akut

berhubungan

dengan kecenderungan
virus

reaksi peradangan
DO : pasien memijatmijat kakikanya saat

pannus

dilakukan pengkajian,
wajahnya

tampak

Nyeri

keluarga

Peradangan pada sendi

meringis

DS

mengatakan kesulitan
dalam

melakukan

aktivitas,

merasa

tidaknyaman,

terjadi

penurunan

Gangguan

mobilitas

fisik

berhubungan
pannus

dengan

kerusakan integritas struktur


tulang, kekakuan sendi

kekakuan sendi

rentang

gerak
gangguan mobilitas fisik
DO :

pasien tampak

berhati-hati dan pelanpelan

melangkahkan

kakinya saat berjalan


DS

mengatakan

pasien
sering

Lansia

Resiko cidera berhubungan


dengan hilangnya kekuatan

26

sendirian

dan

melakukan

aktivitas

sendiri walaupun nyeri

DO : DS

Hilangnya kekuatan otot

Resiko cidera
:

pasien

mengatakan
tidak

Penurunan fungsi tulang otot, rasa nyeri

bahwa

percaya

dengan

Reaksi Peradangan

diri

citra

tubuh

berhubungan
Pannus

keadaannya

saat ini

Gangguan

dengan

perubahan penampilan tubuh,


sendi, bengkok, deformitas

Nodul

DO : pasien tampak
malu

Gangguan citra tubuh

deangan

keadaannya
DS

pasien

Reaksi peradangan

mengatakan tidak tahu


mengenai

penyakit

Defisiensi

pengetahuan

berhubungan
Nyeri

dengan

kurangnya informasi

yang dialaminya saat


ini

Kurangnya informasi
tentang proses penyakit

DO : pasien tidak
dapat menjawab saat
ditanya

Defisiensi pengetahuan

mengenai

penyakitnya
DS

pasien

Reaksi peradangan

mengatakan khawatir

Ansietas berhubungan dengan


kurangnya informasi tentang

akan penyakit yang

Kuranganya informasi

dideritanya tidak dapat

tentang penyakit

sembuh

penyakit,

penurunan

produktifitas (status keehatan


dan fungsi peran)

ansietas
DO : pasien tampak

27

gelisah

saat

menjelaskan

4.2. Diagnosa

No

Diagnosa Keperawatan

Nyeri akut berhubungan dengan perubahan patologis oleh artritis rheumatoid

Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan tubuh,


sendi, bengkok, deformitas

Resiko cidera berhubungan dengan hilangnya kekuatan otot, rasa nyeri

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas


struktur tulang, kekakuan sendi

Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi

Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit,


penurunan produktifitas (status keehatan dan fungsi peran)

4.3. Intervensi

No
1

Diagnosa
Nyeri akut
berhubungan
dengan perubahan
patologis oleh

Tujuan dan Kriteria hasil


NOC :

Intervensi
NIC:
1) Lakukan

Paint level
Paint control
Comfort level

secara

pengkajian

nyeri

komprehensif

termasuk lokasi, karateristik,

artritis

Setelah dilakukan perawatan

durasi, frekuensi, kualitas dan

rheumatoid

324

factor predisposisi.

jam,

mengalami

pasien
nyeri

tidak
dengan

kriteria hasil :
a) Mampu mengontrol nyeri

2) Pemberian analgesik
3) Ajarkan kompres panas dan
dingin secara bergantian

28

b) Melaporkan bahwa nyeri


berkurang

dengan

menggunakan

skala

manajemen nyeri

4) Ajarkan latihan: peregangan


5) Ajarkan massase sederhana
6) Tingkatkan istirahat
7) Terapi

c) Mampu mengenali nyeri


d) Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang

latihan:

mobilitas

sendi
8) Manajemen

lingkungan:

kenyamanan
9) Monitor tanda-tanda vital

Gangguan

NOC:

NIC

mobilitas fisik

Joint movement: active

berhubungan

Mobility level

dengan kerusakan

Self-care: ADLs

2) Terapi aktivitas

integritas struktur

Transfer performance

3) Pemantauan neurologis

kemampuan

pasien

dalam mobilisasi

tulang, kekakuan
sendi

1) Kaji

4) Manajemen nyeri
Setelah dilakukan perawatan

5) Ajarkan : latihan / aktivitas


yang direncanakan

324 jam
Gangguan

mobilitas

fisik

teratasi dengan kriteria hasil :


a) Klien meningkat dalam
aktivitas fisik
b) Mengerti

tujuan

dari

peningkatan mobilitas
c) bantu

bergerak

bantuan

dengan

seminimal

mungkin
3

Resiko cidera

NOC:

NIC

berhubungan

Risk control

dengan hilangnya

Immune status

kekuatan otot,

Safety behavior

rasa nyeri

1) Menejemen

lingkungan:

keselamatan
2) Peningkatan keamanan
3) Ajarkan

pendidikan

29

Setelah dilakukan perawatan

kesehatan terkait pencegahan

324 jam

jatuh

Pasien tidak mengalami injury

4) pengawasan

dengan kriteria hasil :

5) Anjurkan

a) Pasien

terbebas

dari

keluarga

untuk

menemani pasien

cidera
b) Pasien
menjelaskan

mampu
metode

untuk mencegah cedera


c) Pasien

mampu

menjelaskan faktor resiko


dari lingkungan/perilaku
personal

Gangguan citra

NOC:

NIC

tubuh

Body image

1) Kaji secara verbal dan non

berhubungan

Self esteem

verbal respon klien terhadap

dengan perubahan

tubuhnya

penampilan

Setelah perawatan 324 jam

tubuh, sendi,

Gangguan citra tubuh teratasi

bengkok,

dengan kriteria hasil :

deformitas

a) Body image positif


b) Mampu mengidentifikasi
kekuatan personal
c) Mendeskripsikan secara
factual perubahan fungsi
tubuh
d) Mempertahankan
interaksi sosial

2) Monitor frekuensi mengkritik


tubuhnya
3) Dorong

klien

mengungkapkan perasaannya
4) Diskusikan

arti

dari

kehilangan atau perubahan


pada

pasien

atau

orang

terdekat
5) Bantu

pasien

mengidentifikasi

untuk
perilaku

positif yang dapat membantu


koping
6) Ikut sertakan pasien dalam

30

merencanakan perawatan dan


membuat jadwal aktivitas
6

Defisiensi
pengetahuan

NOC:

berhubungan
dengan

NIC:
Knowledge:

disease

kurangnya

penilaian

tentang

tingkat pengetahuan pasien

process

1) Berikan

Knowledge:

health

tentang proses penyakit yang


spesifik

behavior

informasi

2) Jelaskan

patofisiologi

dari

Setelah dilakukan perawatan

penyakit dan bagaimana hal

324 jam pasien menunjukkan

ini

pengetahuan mengenai proses

anatomi dan fisiologi, dengan

penyakit dengan kriteria hasil :

cara yang tepat

a) pasien

dan

menyatakan

keluarga
pemahaman

berhubungan

dengan

3) Gambarkan tanda dan gejala


yang

biasa

muncul

pada

tentang penyakit, kondisi,

penyakit, dengan cara yang

prognosis, dan program

tepat
4) Sediakan

pengobatan
b) pasien

dan

mampu

keluarga

melaksanakan

pasien

informasi
tentang

pada
kondisi,

dengan cara yang tepat

prosedur yang dijelaskan


secra benar
c) pasien
mampu
kembali
dijelaskan

dan

keluarga
menjelaskan

apa

yang

perawat/tim

kesehatan lainnya
7

Ansietas

NOC:

NIC:

berhubungan

Control kecemasan

dengan

Koping

kurangnya

1) Temani
meberikan

pasien
keamanan

mengurangi takut

31

untuk
dan

informasi tentang

Setelah dilakukan perawatan

penyakit,

324 jam pasien kecemasan

penurunan

teratasi dengan kriteria hasil :

produktifitas

2) Dengarkan

a) pasien mampu mnjelaskan


gejala cemas dan tehnik

dan fungsi peran)

mengontrol kecemasan

dengan

penuh perhatian
3) Dorong

(status keehatan

pasien

pasien

mengungkapkan

untuk
perasaan,

ketakutan, dan persepsi

b) postur tubuh dan tingkat


aktivitas

menunjukkan

berkurangnya kecemasan

4.4. Implementasi

Tanggal

Implementasi

Paraf

Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan


perubahan patologis oleh artritis rheumatoid
1) Melakukan
komprehensif
durasi,

pengkajian
termasuk

frekuensi,

nyeri
lokasi,

kualitas

secara

karateristik,
dan

factor

predisposisi.
2) Memberikan dorongan ke pasien agar sering
mengubah posisi.
3) Memberikan massase yang lembut
4) Memberikan kompres panas dan dingin secara
bergantian
5) Mengajarkan pasien tentang teknik kompres
dingin dan panas
6) Memberikan analgesic sesuai tipe dan berat
nyeri

32

7) Meningkatkan istirahat
8) Memonitor penerimaan pasien tentang nyeri
9) Memonitor vital sign sebelum dan sesudah
Diagnosa : Hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan

kerusakan

integritas

struktur

tulang,

kekakuan sendi
1) Meonitoring vital sign sebelum dan sesudah
latihan serta lihat respon pasien saat latihan
2) Mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
3) Melatih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
4) Mengaajarkan

pasien

bagaimana

merubah

posisi dan berikan bantuan jika diperlukan


Diagnosa : Resiko cidera berhubungan dengan
hilangnya kekuatan otot, rasa nyeri
1) Menyediakan lingkungan yang aman untuk
pasien
2) Mengkaji tingkat fungsi fisik
3) Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
(misalnya memindahkan perabotan)
4) Memasang side rail tempat tidur
5) Menganjurkan

keluarga

untuk

menemani

pasien

Diagnosa : Gangguan citra tubuh berhubungan


dengan

perubahan

penampilan

tubuh,

sendi,

bengkok, deformitas
1) Mengkaji secara verbal dan non verbal respon
klien terhadap tubuhnya
2) Memonitor frekuensi mengkritik tubuhnya

33

3) Mendorong klien mengungkapkan perasaannya


4) Mendiskusikan

arti

dari

kehilangan

atau

perubahan pada pasien atau orang terdekat


5) Membantu

pasien

untuk

mengidentifikasi

perilaku positif yang dapat membantu koping


6) Mengikut sertakan pasien dalam merencanakan
perawatan dan membuat jadwal aktivitas
Diagnosa : Defisiensi pengetahuan berhubungan
dengan kurangnya informasi
1) Memberikan

penilaian

tentang

tingkat

pengetahuan pasien tentang proses penyakit


yang spesifik
2) Menjelaskan patofisiologi dari penyakit dan
bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi
dan fisiologi, dengan cara yang tepat
3) Mengggambarkan tanda dan gejala yang biasa
muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
4) Menyediakan informasi pada pasien tentang
kondisi, dengan cara yang tepat
Diagnosa : Ansietas berhubungan dengan kurangnya
informasi tentang penyakit, penurunan produktifitas
(status keehatan dan fungsi peran)
1) Menemani pasien untuk meberikan keamanan
dan mengurangi takut
2) Mendengarkan pasien dengan penuh perhatian
3) Mendorong

pasien

untuk

mengungkapkan

perasaan, ketakutan, dan persepsi

34

4.5. Evaluasi

Tanggal

No. Dx

Evaluasi

S : -pasien menyatakan bahwa kaki kiri dan

Paraf

kanannya masih sakit


O : -pasien memijat-mijat kakiknya
-wajah klien terlihat menhan rasa nyeri
A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
2

S : -pasien menyatakan bahwa dapat


melakukan aktivitas sehari-hari sedikit
bantuan
O : -pasien mampu menggerakkan kakinya
lebih baik dari sebelumnya
A : Masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi

S : -keluarga menyatakan bahwa tidak setiap


saat menemani pasien
O:A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi

S : -pasien menyatakan dirinya tidak malu


lagi dengan keadaannya
O : -pasien terlihat berkomunikasi dengan
anggota keluarga tidak terlihat malu
-wajah klien terlihat tidak takut untuk
berkomunikasi
A : Masalah teratasi
P : Hentikan intervensi

35

S : -pasien menyatakan bahwa telah mengerti


tentang tanda dan gejala yang biasa
muncul pada penyakit, dengan cara
yang tepat
O : -pasien tampak lancar ketika menjelaskan
tentang tanda dan gejala yang biasa
muncul pada penyakit, dengan cara
yang tepat
A : Masalah teratasi
P : hentikan intervensi

S : -pasien menyatakan bahwa tidak lagi


merasa cemas terhadap penyakitnya
O : -pasien tampak tidak cemas
-tanda-tanda vital normal
A : Masalah teratasi
P : hentikan intervensi

36

BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Reumathoid artritis (RA) merupakan penyakit autoimun yang terjadi pada
individu rentan setelah respon imun terhadap agen pemicu, seperti bakteri,
mikoplasma, atau virus yang menginfeksi sendi atau mirip sendi secara antigenik.
Penyakit ini dapat mengakibatkan inflamasi kronis yang menyebabkan degenerasi
jaringan penyambung, yang biasanya mengalami kerusakan pertama kali adalah
membran sinovial yang melapisi sendi. Penderita reumathoid artritis biasanya
datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada sendi dibagian tangan, pergelangan
tangan, lutut, siku, pergelangan kaki, bahu, dan panggul yang biasanya bersifat
simetris.

Penyebab reumathoid artritis

masih belum diketahui secara pasti,

namun menurut beberapa orang yang melakukan penelitian faktor predisposisi


seperti mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi
virus. Selain itu faktor genetik dan lingkungan juga berpengaruh.

5.2 Saran
Mengingat bahwa reumathoid artritis merupakan penyakit yang banyak
menyerang wanita khususnya lansia, namun tidak menutup kemungkinan juga
dapat menyerang pada usia muda maka penanganan pada penyakit ini harus
diupayakan secara maksimal dengan pencegahan sejak dini dan peningkatan mutu
pelayanan kesehatan. Dalam hal ini keluarga pasien di harapkan mampu memberi
membantu dan memotivasi klien dalam proses penyembuhan.
Sebagai mahasiswa kita diharapkan mampu menguasai konsep reumathoid
artritis dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien dan memberikan
penyuluhan pada keluarga klien maupun pada klien sendiri untuk melakukan
pencegahan dan penanganan sehingga proses penyembuhan dapat terjadi secara
cepat tanpa ada komplikasi yang menyertai. Mahasiswa juga harus menjalin kerja
sama dengan keluarga dan perawat agar dapat melakukan asuhan keperawatan
secara optimal.
37

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi revisi 3.


Jakarta: EGC.
Dochterman

dan

Bulechek.

2004.

NURSING

INTERVENTIONS

CLASSIFICATION (NIC). Edisi 4. Amerika: Barbara Cullen


Doenges, Marilynn E, dkk. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman

Untuk

Perencanaan

dan

Pendokumentasian

Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC


Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing
Diagnoses: Definitions & Classification, 20152017. 10nd ed.
Oxford: Wiley Blackwell.
http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-ismayadi2.pdf.

diakses

pada tanggal 04 Maret 2016 pukul 20.00 WIB


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24610/4/Chapter%20II.p
df diakses pada tanggal 04 maret 2016
http://www.reumatologi.or.id/var/rekomendasi/Panduan_Diagnosis_dan_
Penatalaksanaan_Reumatoid_Artritis.pdf di akses pada tanggal
09 Maret 2016 pukul 10.00 WIB
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan
Keperawatan: Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NicNoc.edisi revisi jilid 3. Jogjakarta: Mediaction.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2006. PATOFISIOLOGI:Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: EGC
Somantri,

Irman.

2007.

Keperawatan

Keperawatan

Pada

Pasien

Medikal

Dengan

Bedah:

Asuhan

Gangguan

Sistem

Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

38

Anda mungkin juga menyukai