Anda di halaman 1dari 21

Farmakoterapi Hipertensi

Pada Dewasa

Makalah

Disusun Oleh:
Kelompok 1
Helda. P. Purba

6152750028

Restiara Meiriani

6152750038

Hilda Syifa Syahida

6152750049

Myra Kharisma. I

260112150539

Mega Al-Fajri

260112150549

Aulia Chintara .W

260112150559

Martua Agustinus

260112150569

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
mata kuliah Farmakoterapi Terapan, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran.
Kami juga berterimakasih pada Bapak Ahmad Muhtadi, M.Si., Apt. yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini sangat berguna dalam menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai farmakoterapi terapan pada kasus
hyperlipidemia dan obesitas. Kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan
dan jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kriik, saran, dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
meningat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran membangun. Semoga
makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Jatinangor, Maret 2016

Penulis

1. Hipertensi
Hipertensi adalah terjadinya peningkatan tekanan darah diatas normal
yang sifatnya permanen. Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih
dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Wilson LM, 1995).
Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah.
Tekanan darah (TD) ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan
resistensi perifer. Curah jantung adalah hasil kali denyut jantung dan isi sekuncup.
Besar ini sekuncup ditentukan oleh kekuatan kontraksi miokard dan alir balik
vena. Resistensi perifer merupakan gabungan resistensi pada pembuluh darah
(arteri dan arteriol) dan viskositas darah. Resistensi pembuluh darah ditentukan
oleh tonus otot polos arteri dan arteriol dan elastisitas dinding pembuluh darah
(Ganiswara,1995).
2. Patofisiologi Hipertensi
Hipertensi adalah kelainan heterogen yang bisa muncul dari penyebab
spesifik (hipertensi sekunder) atau dari mekanisme patofisiologi yang tidak
diketahui penyebabnya (hipertensi primer atau esensial) (Dipiro, 2012). Hipertensi
sekunder terjadi pada 10% kasus dan sebagian besar disebabkan oleh penyakit
ginjal kronis atau penyakit renovaskular. Kondisi lain yang menyebabkan
hipertensi sekunder adalah sindrom cushing, koarktasi aorta, hiperparatiroidisme,
pheochromocytoma, aldosteronisme primer, dan hipertiroidisme. Obat-obatan
yang dapat meningkatkan tekanan darah mencakup kortikosteroid, estrogen,
nonsteroidal obat antiinflamasi (NSAIDs), amfetamin, sibutramin, siklosporin,
takrolimus, eritropoetin, dan venlafaxin (Dipiro, 2012).
Beberapa faktor dapat menyebabkan pengembangan hipertensi primer,
termasuk:
a. Abnormalitas humoral, termasuk sistem renin-angiotensin-aldosteron,
b.

hormon natriuretik, atau hiperinsulinemia;


Gangguan patologis pada CNS, serabut saraf otonom, reseptor adrenergik,

c.

dan baroreseptor;
Kelainan baik pada ginjal atau proses autoregulatori jaringan untuk
ekskresi natrium, volume plasma, dan konstriksi arteriol;

d.

Kekurangan sintesis lokal dari substan vasodilatasi dalam endotel vaskular


(prostasiklin, bradikinin, dan nitrat oksida) atau kelebihan substansi

e.

vasokonstriktor (Angiotensin II dan endothelin I);


Asupan natrium yang tinggi atau kurangnya diet kalsium.
Penyebab utama kematian pasien hipertensi adalah kejadian

serebrovaskular, kardiovaskular, dan gagal ginjal. Kemungkinan kematian


prematur berkaitan dengan tingkat keparahan naiknya tekanan darah (Dipiro,
2012).
3. Manifestasi Klinik
Dampak atau perkembangan yang ditimbulkan dari keadaan hipertensi di
antaranya :
1

Pasien dengan hipertensi primer yang tidak disertai komplikasi kadang

tidak menimbulkan gejala.


Sakit kepala, epitaksis (mimisan), marah, telinga berdengung, rasa berat di
tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan pusing.
(Priyanto, 2008)
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan

darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti
perdarahan, eksudat, penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat dapat
ditemukan edema pupil (edema pada diskus optikus). Menurut Price, gejala
hipertensi antara lain sakit kepala bagian belakang, kaku kuduk, sulit tidur,
gelisah, kepala pusing, dada berdebar-debar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan
pusing (Price, 2005). Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis
timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun adalah nyeri kepala saat
terjaga, kadang kadang disertai mual dan muntah yang disebabkan peningkatan
tekanan darah intrakranial (Corwin, 2005).
4. Diagnosis Hipertensi
Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran
tekanan darah, tetapi ditegakkan setelah 2 kali atau lebih pengukuran pada
kunjungan yang berbeda, kecuali terjadi peningkatan tekanan darah yang tinggi

atau gejala-gejala klinis pendukung pada pemeriksaan yang pertama kali


(Priyanto, 2008).
Gambar 1. Berikut merupakan klasifikasi tekanan darah menurut Joint National

Committee 7.
(NIH, 2003)
5. Hasil terapi yang diinginkan
a. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas, Mortalitas dan morbiditas
yang berhuungan dengan kerusakan organ target (misalnya : kejadian
kardiovaskular atay serebrovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal)
(Priyanto, 2009; Depkes, 2006).
b. Menurunkan tekanan darah hingga mencapai:
- <140/90 mmHg pada hipertensi non komplikasi
- <130/85 mmHg pada pasien DM dan gagal ginjal
- <125/75nmmHg pada gangguan ginjal berat
- <140 mmHg pada hipertensi sistolik (Priyanto, 2009).
c. Menghindari hipotensi dan Efek samping obat yang lain serta mencegah
kerusakan organ (stroke, retinofati, gagal jantung, gagal ginjal dan infark
jantung) (Priyanto, 2009).
6. Terapi Hipertensi
6.1. Terapi Non Farmakologis
a. Mengidentifikasi dan mengurangi faktor resiko seperti merokok,
dislipidemia, diabetes melitus, obesitas (Body Mass Index atau BMI 30
kg/m2), penyakit jantung, riwayat keluarga yang menderita hipertensi,
dan aktivitas fisik yang kurang (Priyanto, 2009).
b. Modifikasi gaya hidup dengan menurunkan berat badan bila kelebihan
(BMI 27 kg/m2), membatasi konsumsi alkohol, meningkatkan aktvitas
aerobik, mempertahankan asupan kalium yang adequate, berhenti

merokok, mengurangi asupan garam dan mengurangi asupan lemak dan


kolesterol (Priyanto, 2009).
c. Terapi relaksasi ditujukan untuk menangani faktor psikologis dan stress
yang dapat emnyebabkan hipertensi. Hormon epineprin dan kortisol yang
dilepaskan saat stress menyebabkan peningkatan tekanan darah dengan
menyempitkan pembuluh darah dan meningkatkan denyut jantung.
Besarnya peningkatan tekanan darah tergantung pada beratnya stress dan
sejauh mana kita dapat mengatasinya. Penanganan stress yang adekuat
dapat berpengaruh baik terhadap penurunan tekanan darah (Hikayati
et.al., 2010).
6.2. Terapi Farmakologis
a. Pemilihan obat harus berdasarkan pada efektivitasnya dalam mengurangi
morbiditas dan mortalitas, keamanan, dan biaya penyakit yang
menertainya dan faktor resiko yang lain (Priyanto, 2009).
Berikut adalah alogaritma pemilihan obat untuk hipertensi :
Terapi
Hipertensi

Tidak ada
penyakit
lain

Hipertensi dengan
TD (140-159/90-99)
Pilihan Pertama :
Diuretik thiazid,
alternatif (ACR, Ca,
dan -blocker), ARB
atau kombinasi

Hipertensi dengan
TD (>160/>100)
Kombinasi 2 obat,
diuretik thiazid
dengan (ACE
inhibitor,Ca dan blocker) dan ARB

Ada
penyakit
lain
Obat-obat tertentu
yang sesuai dengan
penyakit yang
menyertai.

(Priyanto, 2009)
b. Pilihan awal tergantung pada tingginya tekanan darah (TD) dan adanya
kondisi khusus tertentu yang akan mempengaruhi pemilihan obat
(compelling). diuretik tipe tiazid bila memungkinkan sebagai terapi lini
pertama untuk kebanyakan pasien, baik sendiri atau dikombinasi dengan
salah satu dari kelas lain (ACEI, ARB, penyekat beta, CCB). Diuretik tipe
thiazide sudah menjadi terapi utama antihipertensi pada kebanyakan trial.
Pada trial ini, termasuk yang baru diterbitkan Antihypertensive and Lipid-

Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial (ALLHAT), diuretik


tidak tertandingi dalam mencegah komplikasi kardiovaskular akibat
hipertensi (Depkes, 2006).
c. Kondisi khusus yang akan mempengaruhi pemilihan obat antihipertensi
antara lain:
Diuretik, -blocker, ACE inhibitors, angiotensin II reseptor blocker
(ARBs) dan calcium channel blockers adalah pilihan pertama
berdasarkan efektivitas dan keamanan terhadap organ tertentu, serta

berdasarkan mprbiditas dan mortalitas.


1-blocker, central 2 agonis, penghambat adrenergik dan vasodilator

adalah obat alternatif setelah obat pertama


Hanya sekitar 40% tujuan pengobatan dicapai dengan pemberian obat
tunggal. Pemberian obat kedua dipilih yang efeknya adiktif dengan obat
pertama. Jika diuretik bukan pilihan obat pertama, obat tersebut harus

merupakan obat kedua jika tidak adakontraindikasi (Priyanto, 2009).


d. Pemilihan obat antihipertensi pada kondisi tertentu:
Gagal Jantung : Diuretik dan Inhibitor ACE -blocker

Antagonis aldosteron
Setelah infark : -blocker dan inhibitor ACE Antagonis aldosteron
Resiko Koroner tinggi : -blocker Diuretik dan inhibitor ACE dan

inhibitor ca
Diabetes melitus : inhibitor ACE Diuretik -blocker dan

inhibitor ca
Sakit ginjal kronis : Inhibitor ACE
Mencegah stroke kambuh : Diuretik dan Inhibitor ACE

Terapi Kombinasi
Rasional kombinasi obat antihipertensi:
Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Mempunyai efek aditif,


Mempunyai efek sinergisme,
Mempunyai sifat saling mengisi,
Penurunan efek samping masing-masing obat,
Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target, tertentu,
Adanya fixed dose combinationakan meningkatkan kepatuhan pasien
(adherence)
(Depkes, 2006)

Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai berikut:


1.
2.
3.
4.
5.

Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan diuretic,


Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretic,
Penyekat beta dengan diuretic,
Diuretik dengan agen penahan kalium,
Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan antagonis

kalsium,
6. Agonis -2 dengan diuretic,
7. Penyekat -1 dengan diuretik
(Depkes, 2006)
7. Evaluasi Hasil Terapeutik
Monitoring klinis berbasis BP adalah standar untuk mengatur hipertensi.
Respon BP harus dievaluasi 2 sampai 4 minggu setelah memulai atau membuat
perubahan dalam terapi. BP diajag dibawah 140/90 mm Hg. Setelah nilai BP
diperoleh, monitoring BP dapat dilakukan setiap 3 sampai 6 bulan, dengan asumsi
tidak ada tanda-tanda atau gejala penyakit organ akut. Evaluasi yang diperlukan
pada pasien dengan riwayat pengontrolan yang rendah, ketidakpatuhan, kerusakan
target organ yang progresif, atau gejala efek samping obat (Adnyana dkk, 2008).
Pengukuran BP mandiri atau pemantauan BP rawat jalan dapat berguna
untuk menentukan kontrol efektif selama 24 jam. Teknik-teknik ini sekarang
direkomendasikan hanya untuk memilih situasi seperti diduga white coat
hypertension. Pasien harus dipantau untuk tanda-tanda dan gejala atau penyakit
progresif target organ. Riwayat sakit berguna untuk menilai adanya komplikasi
seperti nyeri dada (atau tekanan), palpitasi, pusing, dyspnea, ortopnea, sakit
kepala, perubahan penglihatan secara tiba-tiba, lemah satu sisi, slurred speech,
dan kehilangan keseimbangan (Adnyana dkk, 2008).
Parameter klinis lain yang harus dipantau secara berkala termasuk
perubahan funduskopi pada pemeriksaan mata, hipertrofi ventrikel kiri pada EKG,
proteinuria, dan perubahan fungsi ginjal. Pemantauan efek samping obat harus
yang terjadi khusus 2 sampai 4 minggu setelah pemberian obat baru atau
peningkatan dosis, dan kemudian setiap 6 sampai 12 bulan
pada pasien stabil. Pemantauan tambahan mungkin diperlukan secara bersamaan
untuk penyakit lainnya (Adnyana dkk, 2008).
Pasien yang menggunakan antagonis aldosteron harus dinilai konsentrasi
kalium dan fungsi ginjal dalam waktu 3 hari dan 1 minggu selanjutnya setelah

permulaan untuk mendeteksi potensi hiperkalemia. Kepatuhan pasien dengan


regimen terapeutik harus dinilai secara teratur. Pasien harus dipertanyakan secara
berkala tentang perubahan kesehatan secara umum, tingkat energi, berfungsinya
keadaan fisik, dan kepuasan pengobatan secara keseluruhan(Adnyana dkk, 2008).
Jadi secara garis besar evaluasi terapi yang dapat dilakukan pada penderita
hipertensi adalah sebagai berikut:
1

Clinic based BP monitoring adalah standar untuk mengelola hipertensi. BP


respon harus dievaluasi 2 sampai 4 minggu setelah memulai atau membuat
perubahan dalam terapi. Setelah tujuan BP diperoleh, monitoring BP bisa
dilakukan setiap 3 sampai 6 bulan, dengan asumsi tidak ada tanda-tanda
atau gejala penyakit target organ akut. Lebih sering evaluasi yang
diperlukan pada pasien dengan riwayat kontrol yang buruk,
ketidakpatuhan, kerusakan target organ yang progresif, atau gejala efek
samping obat (Adnyana dkk, 2008)..

Self-measurement of BP dapat berguna untuk membangun efektif kontrol


24 jam. Teknik-teknik ini saat ini direkomendasikan hanya pada situasi
yang sudah diduga terkena white coat hypertension (Adnyana dkk, 2008)..

Pasien harus dipantau untuk tanda-tanda dan gejala penyakit target organ
progresif. Anamnesis yang cermat harus diambil untuk tekanan nyeri
dada), palpitasi, pusing, dyspnea, ortopnea, sakit kepala, kelemahan satu
sisi, bicara cadel, dan kehilangan keseimbangan untuk menilai adanya
komplikasi (Adnyana dkk, 2008)..

Parameter klinis lain yang harus dipantau secara berkala termasuk


perubahan funduskopi pada pemeriksaan mata, hipertrofi ventrikel kiri
pada EKG, proteinuria, dan perubahan fungsi ginjal (Adnyana dkk, 2008)..

Pemantauan efek samping obat biasanya terjadi 2 sampai 4 minggu


setelah memulai agen baru atau peningkatan dosis, dan kemudian setiap 6
sampai 12 bulan pada pasien yang stabil. Pemantauan tambahan mungkin
diperlukan untuk penyakit con-comitant lainnya. Pasien yang memakai
antagonis aldosteron harus memiliki konsentrasi kalium dan fungsi ginjal

yang dinilai dalam waktu 3 hari dan sekali lagi pada 1 minggu setelah
inisiasi untuk mendeteksi potensi hyperkalemia (Adnyana dkk, 2008).
8. Studi Kasus
8.1. Deskripsi dan Analisis Kasus.
Tn. Arif (47 tahun) dengan bobot badan 90 kg dan tinggi badan 175 cm
telah didiagnosis mengidap DM tipe 2 sejak tahun 2015, maka dari itu dokter
memberikan glipizide 5 mg dua kali sehari. Perkembangan terapi dilaporkan
meningkat dan dapat dilihat dari nilai HbA1C sebesar 6.8%. Akhir-akhir ini Tn.
Arif sering mengeluh merasa pusing yang tidak tertahankan, merasa sangat mudah
lelah, serta mengalami stres karena sering bertengkar dengan istrinya akhir-akhir
ini, dan karena itu juga Tn. Arif menjadi peminum alkohol.
Data Objektif pemeriksaan fisik pasien Tn Arif yaitu berat Badan 90 Kg;
tinggi badan 175 cm; dan HbA1c menurun menjadi 6,8%. Data Subjektif pasien
Tn. Arif berusia 47 tahun; merasa mudah lelah; stres karena pertengkaran dalam
rumah tangga; dan peminum alkohol.
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
No
.

8.2.

Pengujian

Hasil

1.

Total Kolesterol

250 mg/dL

2.

LDL

195 mg/dL

3.

TG

505 mg/dL

4.

Tekanan darah

5.

HAb1C

145/90 mmHg
6,8 %

Representatif hasil dari data laboratorium


Tekanan darah pasien 145/90 mmHg sehingga termasuk kedalam kategori
hipertensi stadium 1.

Kadar HBA1C pasien 6,8%, dari gambar dapat dilihat pasien masuk kedalam
kategori diabetes.

Berdasarkan hasil laboratorium Tuan Arif, dokter mendiagnosis Tn. Arif


mengidap penyakit diabetes disertai hiprtensi. Dokter memberikan terapi untuk
menurunkan dan menjaga gula darah dan juga untuk menurunkan tekanan darah
Tn. Arif.
8.1.

Terapi yang diberikan.


Tn. Arif memiliki riwayat penggunaan obat Glipizide untuk diabetes yang

dideritanya. Berdasarkan dari hasil laboratorium, maka dokter meresepkan :


1. Amlodipin 5mg 1 dd 1
2. Captopril 25mg 2 dd 1
3. Simvastatin 10 mg 1 dd 1
4. Glipizide 5mg 2 dd 1

Amlodipin

Amlodipine 5 mg tablet (1 box berisi 3 strip @ 10 tablet), No. Reg : KL0708513910A1.


Amlodipine 10 mg tablet (1 box berisi 3 strip @ 10 tablet), No. Reg :
GKL0708513910B1.
Farmakologi :
Amlodipine merupakan antagonis kalsium golongan dihidropiridin (antagonis ion
kalsium) yang menghambat influks (masuknya) ion kalsium melalui membran ke dalam
otot polos vaskular dan otot jantung sehingga mempengaruhi kontraksi otot polos
vaskular dan otot jantung. Amlodipine menghambat influks ion kalsium secara selektif,
di mana sebagian besar mempunyai efek pada sel otot polos vaskular dibandingkan sel
otot jantung.
Efek antihipertensi amlodipine adalah dengan bekerja langsung sebagai vasodilator
arteri perifer yang dapat menyebabkan penurunan resistensi vaskular serta penurunan
tekanan darah. Dosis satu kali sehari akan menghasilkan penurunan tekanan darah yang
berlangsung selama 24 jam. Onset kerja amlodipine adalah perlahan-lahan, sehingga
tidak menyebabkan terjadinya hipotensi akut.
Indikasi :
Amlodipine digunakan untuk pengobatan hipertensi, angina stabil kronik, angina
vasospastik (angina prinzmetal atau variant angina). Amlodipine dapat diberikan sebagai
terapi tunggal ataupun dikombinasikan dengan obat antihipertensi dan antiangina lain.
Kontraindikasi:
Amlodipine tidak boleh diberikan pada pasien yang hipersensitif terhadap
amlodipine dan golongan dihidropiridin lainnya.
Dosis:
Penggunaan dosis diberikan secara individual, bergantung pada toleransi dan
respon pasien. Dosis awal yang dianjurkan adalah 5 mg satu kali sehari, dengan dosis
maksimum 10 mg satu kali sehari. Untuk melakukan titrasi dosis, diperlukan waktu 7-14
hari. Pada pasien usia lanjut atau dengan kelainan fungsi hati, dosis yang dianjurkan
pada awal terapi 2,5 mg satu kali sehari. Bila amlodipine diberikan dalam kombinasi
dengan antihipertensi lain, dosis awal yang digunakan adalah 2,5 mg.
Dosis yang direkomendasikan untuk angina stabil kronik ataupun angina

vasospastik adalah 5-10 mg, dengan penyesuaian dosis pada pasien usia lanjut dan
kelainan fungsi hati. Amlodipine dapat diberikan dalam pemberian bersama obat-obat
golongan tiazida, ACE inhibitor, -bloker, nitrat dan nitrogliserin sublingual.
Kontra Indikasi:
Secara umum amlodipine dapat ditoleransi dengan baik, dengan derajat efek
samping yang timbul bervariasi dari ringan sampai sedang. Efek samping yang sering
timbul dalam uji klinik antara lain : edema, sakit kepala, fatigue, nyeri, peningkatan atau
penurunan berat badan.
Pada keadaan hamil dan menyusui : belum ada penelitian pemakaian amlodipine
pada wanita hamil, sehingga penggunaannya selama kehamilan hanya bila
keuntungannya lebih besar dibandingkan risikonya pada ibu dan janin. Belum diketahui
apakah amlodipine diekskresikan ke dalam air susu ibu. Karena keamanan amlodipine
pada bayi baru lahir belum jelas benar, maka sebaiknya amlodipine tidak diberikan pada
ibu menyusui. Efektivitas dan keamanan amlodipine pada pasien anak belum jelas.
Peringatan dan Perhatian:
Pasien dengan gangguan fungsi hati :
Waktu paruh amlodipine menjadi lebih panjang, sehingga perlu pengawasan.

Captopril

Indikasi:
Untuk hipertensi berat hingga sedang, kombinasi dengan tiazida memberikan
efek aditif, sedangkan kombinasi dengan beta bloker memberikan efek yang kurang
aditif. Untuk gagal jantung yang tidak cukup responsif atau tidak dapat dikontrol dengan
diuretik dan digitalis, dalam hal ini pemberian kaptopril diberikan bersama diuretik dan
digitalis.
Kontra Indikasi:
Penderita yang hipersensitif terhadap kaptopril atau penghambat ACE lainnya

(misalnya pasien mengalami angioedema selama pengobatan dengan penghambat ACE


lainnya).

Cara Kerja Obat:


Kaptopril merupakan obat antihipertensi dan efekif dalam penanganan gagal
jantung dengan cara supresi sistem renin angiotensin aldosteron. Renin adalah enzim
yang dihasilkan ginjal dan bekerja pada globulin plasma untuk memproduksi angiotensin
I yang besifat inaktif.

"Angiotensin Converting Enzyme" (ACE), akan merubah

angiotensin I menjadi angiotensin Il yang besifat aktif dan merupakan vasokonstriktor


endogen serta dapat menstimulasi sintesa dan sekresi aldosteron dalam korteks adrenal.
Peningkatan sekresi aldosteron akan mengakibatkan ginjal meretensi natrium dan
cairan, serta meretensi kalium. Dalam kerjanya, kaptopril akan menghambat kerja ACE,
akibatnya pembentukan angiotensin ll terhambat, timbul vasodilatasi, penurunan sekresi
aldosteron sehingga ginjal mensekresi natrium dan cairan serta mensekresi kalium.
Keadaan ini akan menyebabkan penurunan tekanan darah dan mengurangi beban
jantung, baik 'afterload' maupun 'pre-load', sehingga terjadi peningkatan kerja jantung.
Vasodilatasi yang timbul tidak menimbulkan reflek takikardia.

Dosis:
Kaptopril harus diberikan 1 jam sebelum makan, dosisnya sangat tergantung dari
kebutuhan penderita (individual).
Dewasa:
Hipertensi, dosis awal: 12,5 mg tiga kali sehari. Bila setelah 2 minggu, penurunan
tekanan darah masih belum memuaskan maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 25 mg
tiga kali sehari. Bila setelah 2 minggu lagi, tekanan darah masih belum terkontrol
sebaiknya ditambahkan obat diuretik golongan tiazida misal hidroklorotiazida 25 mg

setiap hari.

Peringatan dan Perhatian:


Keamanan penggunaan pada wanita hamil belum terbukti, bila terjadi kehamilan
selama pemakaian obat ini, maka pemberian obat harus dihentikan dengan segera.
Harus diberikan dengan hati-hati pada wanita menyusui, pemberian ASI perlu dihentikan
karena ditemukan kadar dalam ASI lebih tinggi daripada kadar dalam darah
ibu. Pemberian pada anak-anak masih belum diketahui keamanannya, sehingga obat ini
hanya diberikan bila tidak ada obat lain yang efektif.
Pemakaian pada lanjut usia harus hati-hati karena sensitivitasnya terhadap efek
hipotensif. Hati-hati pemberian pada penderita penyakit ginjal. Pengobatan agar
dihentikan bila terjadi gejala-gejala angiodema seperti bengkak mulut, mata, bibir, lidah,
laring juga sukar menelan, sukar bernafas dan serak. Konsultasikan ke dokter bila
menggunakan suplemen potassium, potassium sparing diuretic dan garam-garam
polassium. Pemakaian obat penghambat ACE pada kehamilan dapat menyebabkan
gangguan/kelainan organ pada fetus atau neonatus, bahkan dapat menyebabkan kematian
fetus atau neonatus.
Pada kehamilan trimester ll dan lll dapat menimbulkan gangguan antara lain:
hipotensi, hipoplasia tengkorak neonatus, anuria, gagal ginjal reversible atau irreversible
dan

kematian.

Juga

dapat

terjadi

oligohidramnios,

deformasi

kraniofasial,

perkembangan paru hipoplasi, kelahiran prematur, perkembangan retardasi-intrauteri,


paten duktus arteriosus. Bayi dengan riwayat di mana selama di dalam kandungan
ibunya mendapat pengobatan penghambat ACE, harus diobservasi intensif tentang
kemungkinan terjadinya hipotensi, oligouria dan hiperkalemia.

Efek Samping:
Kaptopril menimbulkan proteinuria lebih dari 1 g sehari pada 0,5% penderita dan

pada 1,2% penderita dengan penyakit ginjal. Dapat tejadi sindroma nefrotik serta
membran glomerulopati pada penderita hipertensi. Karena proteinuria umumnya terjadi
dalam waktu 8 bulan pengobatan maka penderita sebaiknya melakukan pemeriksaan
protein urin sebelum dan setiap bulan selama 8 bulan pertama pengobatan.
Neutropenia/agranulositosis terjadi kira-kira 0,4 % penderita. Efek samping ini
terutama terjadi pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal. Neutropenia ini muncul
dalam 1 - 3 bulan pengobatan, pengobatan agar dihentkan sebelum penderita terkena
penyakit infeksi. Pada penderita dengan resiko tinggi harus dilakukan hitung leukosit
sebelum pengobatan, setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama pengobatan dan secara
periodik. Pada penderita yang mengalami tanda-tanda infeksi akut (demam, faringitis)
pemberian kaptopril harus segera dihentikan karena merupakan petunjuk adanya
neutropenia.
Hipotensi dapat terjadi 1 - 1,5 jam setelah dosis pertama dan beberapa dosis
berikutnya, tapi biasanya tidak menimbulkan gejala atau hanya menimbulkan rasa pusing
yang ringan. Tetapi bila mengalami kehilangan cairan, misalnya akibat pemberian
diuretik, diet rendah garam, dialisis, muntah, diare, dehidrasi maka hipotensi tersebut
menjadi lebih berat. Maka pengobatan dengan kaptopril perlu dilakukan pengawasan
medik yang ketat, terutama pada penderita gagal jantung yang umumnya mempunyai
tensi yang nomal atau rendah. Hipotensi berat dapat diatasi dengan infus garam faal atau
dengan menurunkan dosis kaptopril atau diuretiknya.

Interaksi Obat:
Alkohot.
Obat anti inflamasi terutama indometasin. Suplemen potassium atau obat yang
mengandung potassium. Obat-obat berefek hipotensi.

Cara penyimpanan:

Simpan di tempat sejuk dan kering, terlindung dari cahaya.

Simvastatin

Farmakologi:
Simvastatin merupakan obat yang menurunkan kadar kolesterol, yang dihasilkan
secara sintetis sebagi produk fermentasi Aspergillus terreus. Secara in-vivo simvastatin
akan dihidrolisis menjadi metabolit aktif. Mekanisme kerja dari metabolit aktif tersebut
adalah dengan cara menghambat 3-hidroksi-3-metilglutaril koenzim A reduktase (HMG
Co-A reduktase). Dimana enzim ini mengkatalisasi perubahan HMG Co-A menjadi asam
mevalonat yang merupakan langkah awal dari biosintesis kolesterol.
Indikasi:
Menurunkan kolesterol LDL dan kolesterol total pada hiperkolesterolemia primer
dan sekunder bila pengaturan pola makan (diet) dan tindakan non-farmakologikal
lainnya tidak mencukupi.
Kontraindikasi
-

Hipersensitif terhadap simvastatin

Penyakit hati aktif atau peningkatan transaminase serum yang menetap yang tidak
jelas penyebabnya

Wanita hamil atau menyusui

Dosis dan Cara Pemberian:


Pasien harus melakukan diet pengurangan kolesterol sebelum dan selama pengobatan
dengan Simvastatin:
-

Dosis awal yang dianjurkan 5- 10 mg/hari sebagai dosis tunggal pada malam hari.
Dosis awal untuk pasien dengan hiperkolesterolemia ringan sampai sedang adalah 5
mg/hari. Pengaturan dosis dapat dilakukan dengan interval tidak kurang dari 4

minggu sampai maksimukm 40 mg sehari sebagai dosis tunggal malam hari.


Lakukan pengukuran kadar lipid dengan interval tidak kurang dari 4 minggu, dan
dosis disesuaikan dengan respon penderita.
-

Pasien yang diobatai bersamaan dengan immunosupresan, diberikan dosis terendah


yang dianjurkan.

Bila kadar kolesterol LDL turun dibawah 75 mg/dl (1,94 mmol/L) atau kadar total
kolesterol plasma turun dibawah 140 mg/dl (3,6 mmol/L) perlu dipertimbangkan
pengurangan dosisnya.

Pada penderita dengan gangguan insufisiensi ginjal tidak perlu penyesuaian dosis
karena simvastatin tidak diekskresikan melalui ginjal secara bermakna. Walaupun
demikian, hati-hati pemberian pada insufisiensi ginjal parah, dosis awal 5 mg sehari
dan harus dipantau ketat.

Efek Samping:
-

Nyeri perut, konstipasi, kembung, asthenia, sakit kepala, miopati, rabdomiolisis.


Pada kasus tertentu terjadi angioneurotik edema.

Efek samping lain yang pernah dilaporkan pada golongan obat ini antara lain:

Neurologi : disfungsai saraf cranial tertentu, tremor, pusing, vertigo, hilang

ingatan, parastesia, neuropati perifer, kelumpuhan saraf perifer.


Reaksi hipersensitif : anafilaksis, angioedema, trombositopenia, leucopenia,

anemia hemolitik.
Gastrointestinal : anoreksia, muntah.
Kulit : kerontokan rambut, pruritus.
Reproduksi : ginekomastia, kehilangan libido, disfungsi ereksi.

Glipizide
Glipizide adalah obat anti diabetes mellitus tipe 2 yang termasuk ke dalam

golongan sulfonilurea generasi kedua. Obat-obat sulfonilurea generasi kedua memiliki


efek lebih kuat dan memiliki waktu paruh lebih pendek dari sulfonilurea generasi
pertama. Oleh karena itu glipizide disebut juga rapid and short acting anti diabetic drug.
Obat ini menurunkan kadar gula darah dengan cara memblokir sebagian potassium
chanelsantara sel-sel beta dari pulau langerhans pada organ pankreas.
Menghalangi potassium channels, sel mengalami depolarisasi yang menyebabkan

pembukaan voltage-gated calcium channels. masuknya kalsium mendorong pelepasan


insulin dari sel beta. Seperti sulfonilurea lainnya, glipizide juga menyebabkan penurunan
serum glukagon dan mempotensiasi aksi insulin pada jaringan ekstra pankreatik.
Glipizide biasanya dipasarkan dengan kadar 5 mg/ tablet atau 10 mg / tablet.
Obat ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan obat anti
diabetes oral lain atau insulin. Kombinasi dengan anti diabetes oral lain, beberapa
tersedia sebagai dosis tetap dalam satu tablet, sehingga pemakaiannya lebih nyaman,
daripada harus mengkonsumsi dua atau lebih tablet.
Indikasi
Kegunaan glipizide adalah untuk pengobatan diabetes mellitus tipe 2 jika kadar
gula darah tidak cukup dikendalikan dengan diet, latihan fisik dan penurunan berat badan
saja.
Kontra indikasi
Jangan menggunakan obat ini jika anda mempunyai riwayat hipersensitif (alergi)
terhadap glipizide atau obat-obat yang termasuk golongan sulfonilurea dan sulfonamide
lainnya.

Orang-orang dengan defisiensi G6PD (enzim yang melindungi sel darah merah),
sebaiknya tidak menggunakan obat golongan sulfonilurea, karena diketahui bisa
menyebabkan hemolisis akut.

Orang-orang yang memiliki gangguan pada ginjal, hati, kelenjar adrenal atau
kelenjar pituitari penggunaan obat ini harus dilakukan secara hati-hati.

Obat ini juga tidak disarankan jika anda akan menjalani operasi, memiliki infeksi
berat, atau usia di atas 70 tahun.

Penderita diabetes mellitus tipe 1, prekoma dan koma diabetes atau pasien yang
dalam urinenya terdapat senyawa keton (ketoasidosis) dilarang menggunakan
obat ini.

Penderita diabetes gestasional (diabetes pada wanita hamil), dilarang


menggunakan obat ini.

Efek Samping
Berikut adalah beberapa efek samping glipizide yang umum terjadi :

Efek samping glipizide pada saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare,
sembelit dan nyeri pada ulu hati.

Efek samping lain seperti sakit kepala, demam, kenaikkan berat badan, dan reaksi
alergi pada kulit terutama pada orang-orang yang peka.

Hati-hati dengan resiko terjadinya hipoglikemia (kadar gula darah yang terlalu
rendah), terutama jika digunakan untuk jangka waktu lama dan dengan dosis
yang lebih tinggi. Resiko hipoglikemia lebih rentan pada orang-orang usia lanjut.

8.2.

Analisis Drug Related Problem (DRP)

Pasien mengidap hipertensi stage 1 sehingga belum membutuhkan terapi


obat kombinasi, maka dapat dipilih salah satunya saja yaitu captopril

Kombinasi antara amlodipin dengan simvastatin dapat meningkatkan


kadar serum simvastatin sehingga dapat berisiko terjadinya gangguan
ginjal

Kombinasi antara captopril dengan glipizide dapat berpotensi menurunkan


kadar glukosa darah secara ekstrem sehingga dapat menimbulkan
hipoglikemia

Pasien memiliki BMI 29.41 maka terapi untuk DM tipe 2 dapat


direkomendasikan menggunakan metformin 500 mg tiga kali sehari

8.3.

Rekomendasi terapi farmakologi


Metformin 500 mg 3 dd 1 pada saat makan
Captopril 25 mg 2 dd 1
Simvastatin 10 mg 1 dd 1

8.4.

Terapi non farmakologi


Pasien dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik selama 60 menit setiap
harinya.

Minum air mineral yang banyak dan mengurangi asupan garam dalam
makanan.
Mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension)
yang kaya akan kalsium dan kalium
Mengurangi konsumsi alkohol

DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., dan Sukandar, E. Y. 2008.
ISO Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan: Jakarta
Corwin, E. 2005. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.
Depkes, 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat Bina
Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan
Dipiro, J. T. 2012. Pharmacotherapy Handbook, Eighth Edition. London:Mc
Graw Hill.
Ganiswara, 1995. Farmakologi dan Terapan. Edisi IV. Bagian Farmakologi.
Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta
Hikayati., Rostika, F., dan Sigit, P. Penatalaksanaan Non Farmakologis Terapi
Komplementer Sebagai Upaya Untuk Mengatasi Dan Mencegah
Komplikasi Pada Penderita Hipertensi Primer Di Kelurahan Indralaya
Mulya Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Pengabdian Sriwijaya. 2014.
Price, S.A., dan Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis dan ProsesProses Penyakit Edisi 6. EGC. Jakarta.
Priyanto, 2009, Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Leskonfi, Depok
National Institutes of Health. 2003. Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure (JNC 7). U.S. Department Of Health And Human Services.
U.S.
Sukandar, dan Elin, Y. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan
Wilson, L.M., & Price, A.P., 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi ke-4. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai